jual beli dan riba

29
MAKALAH JUAL BELI DAN RIBA Dosen Pengampu: Nurul Afifah, M.Pd.I Disusun Oleh kelompok 10: Kelas D/VI Nama NPM Lara Shindy Cintya 1292377 Mutia Retno Maharti 1292687 Novi Citra Nuryanti 1292787 PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO 2015

Upload: mutiaretnomaharti

Post on 08-Nov-2015

34 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Makalah Jual Beli dan Riba untuk mata kuliah Fiqh

TRANSCRIPT

  • i

    MAKALAH

    JUAL BELI DAN RIBA

    Dosen Pengampu: Nurul Afifah, M.Pd.I

    Disusun Oleh kelompok 10:

    Kelas D/VI

    Nama NPM

    Lara Shindy Cintya 1292377

    Mutia Retno Maharti 1292687

    Novi Citra Nuryanti 1292787

    PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

    SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

    (STAIN) JURAI SIWO METRO

    2015

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

    kekuatan, kesempatan, dan kasih sayang yang di curahkan sehingga penulis dapat

    menyelesaikan tugas mandiri yang berupa makalah. Yang mana diharapkan dapat

    memberikan manfaat dan dapat mendukung perkembangan pembelajarn mengenai

    Jual Beli dan Riba yaitu pada mata kuliah Fiqh 2 yang di ampu oleh Ibu Nurul

    Afifah, M.Pd.I yang mana telah diselesaikan tepat pada waktunya.

    Harapan penulis, semoga makalah ini memberikan manfaat yang berarti

    bagi pembaca pada umumnya dan bagi penyusun pada khususnya. Tiada gading

    yang tak terak, kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk kebaikan di

    kemudian hari.

    Metro, 20 Maret 2015

    Penulis

  • iii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

    DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

    BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

    A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

    B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1

    C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2

    BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

    A. Pengertia Jual Beli..................................................................................... 3

    B. Landasan Hukum Jual beli ........................................................................ 3

    C. Rukun Jual Beli ......................................................................................... 4

    D. Syarat-syarat Jual Beli ............................................................................... 5

    E. Klasifikasi Jual Beli .................................................................................. 8

    F. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam ........................................................ 10

    G. Pengertian Riba ......................................................................................... 17

    H. Dalil Keharaman Riba ............................................................................... 19

    I. Macam-Macam Riba ................................................................................. 21

    BAB III PENUTUP .............................................................................................. 24

    A. Kesimpulan ............................................................................................... 24

    B. Pendapat Kelompok .................................................................................. 25

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri

    yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan

    hidupnya. Baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinja-

    meminjam, bercocok tanam atau usaha-usaha yang lain, baik

    dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.

    Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka

    agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya.

    Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata

    AMALA-YUAMILI-MUAMALATAN yang berarti saling

    bertindak, saling berbuat dan saling beramal. Menurut Louis

    Maluf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang

    berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia seperti

    jual beli, perdagangan dan lain sebagainya.

    Jual beli adalah kegiatan tukar-menukar barang dengan cara

    tertentu yang setiap hari pasti dilakukan yang kadang kita tidak

    tahu apakah sah ataupun tidak. Utang piutang juga suatu kegiatan

    yang sangat kental dalam kehidupan manusia, dan kedua kegiatan

    muamalah tersebut sangat erat dengan riba.

    Oleh karena itu, pada makalah ini akan membahas tentang

    jual beli beserta komponen-komponennya dan riba.

    B. Rumusan Masalah

    Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah:

    1. Apa yang dimaksud dengan jual beli?

    2. Apa saja landasan hukum yang mendasari jual beli?

    3. Apa saja yang termasuk rukun jual beli?

    4. Apa syarat-syrat yang harus dipenuhi dalam melakukan jual beli?

  • 2

    5. Bagaimana pembagian dan jenis-jenis jual beli?

    6. Jual beli apa sajakah yang dilarang dalam Islam?

    7. Apa yang dimaksud dengan riba?

    8. Apa saja dalil yang menerangkan tentang keharaman riba?

    9. Apa saja jenis-jenis riba?

    C. Tujuan penulisan

    Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

    1. Untuk memahami konsep mengenai jual beli.

    2. Untuk mengetahui landasa hukum jual beli.

    3. Untuk mengetahui rukun dalam melaksanakan jual beli.

    4. Untuk mengetahui syarat-syarat terlaksananya jual beli.

    5. Untuk mengetahui klasifikasi jual beli.

    6. Untuk mengetahui jual beli yang dilarang dalam Islam.

    7. Untuk memahami konsep mengenai riba.

    8. Untuk mengetahui dalil yang menjelaskan tentang keharaman riba.

    9. Untuk mengetahui jenis-jenis riba.

  • 3

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Pengertian Jual Beli

    Jual beli merupakan dua kata yang memiliki arti berlawanan, namun

    masing-masing sering digunakan untuk memberi arti kata yang lain secara

    bergantian. Adapun secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan

    harta.1 Dengan kata lain, jual beli adalah menukar suatu barang dengan

    barang yang lain dengan cara yang tertentu. Sedangkan secara terminologis

    jual beli dimaknai sebagai transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan

    kenikmatan.2 Jual beli juga didefinisikan berbeda-beda oleh para ulama.

    Diantara para ulama tersebut antara lain:3

    1. Menurut ulama Hanafiyah

    Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang

    dibolehkan).

    2. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu':

    Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.

    3. Menurut Ibnu Qudaimah dalam kitab Al-Mugni:

    Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.

    Dari beberapa pengertian jual beli di atas, kemudian dapat ditarik

    kesimpulan bahwa jual beli merupakan transaksi tukar menukar harta atau

    barang yang dilakukan sesuai akad (perjanjian).

    B. Landasan Hukum Jual Beli

    Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Quran, sunah, dan ijma'4, yakni:

    1. Al-Quran

    1 Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Ma La Yasa at-Tajira Jahluhu,

    diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Jakarta: Darul Haq, 2008),

    hlm 87. 2 Ibid. 3 Rachmat Syafe'I, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm73-74. 4 Ibid, hlm. 74-75.

  • 4

    Artinya:

    Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.

    Al-Baqarah: 275).

    Artinya:

    Janganlah kamu makan harta yang ada di antara kamu dengan jalan batil

    melainkan dengan jalan jual-beli suka sama suka. (An-Nisa': 29).

    2. As-sunah

    Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik.

    Beliau menjawab, Seseorang bekerja dengan tangannya dan jual-beli

    yang mabrur. (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya daru Rifa'ah Ibn

    Rafi').

    Maksud mabrur dalam hadis tersebut adalah jual-beli yang terhindar

    dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

    Jual-beli harus dipastikan harus saling meridhoi.

    (HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah).

    3. Ijma'

    Jual beli disyariatkan berdasarkan konsensus kaum Muslimin. Ulama

    telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa

    manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa

    bantuan orang lain. Walaupun demikian, bantuan atau barang milik orang

    lain yang dibutuhkan harus diganti dengan barang lain yang sesuai.

    C. Rukun Jual Beli

    Para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam menetapkan

    rukun jual-beli. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli hanya ada dua,

    yaitu ijab dan qabul yang mana telah menunjukkan pertukaran barang secara

    ridha, baik engan ucapan maupun perbuatan.5

    5 Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar Ala Dar Al-Mukhtar, juz IV hlm 5, seperti dikutip oleh

    Rachmat Syafe'I, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm 76.

  • 5

    Sedangkan menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:

    1. Bai' (penjual)

    2. Mustari (pembeli)

    3. Shighat (ijab dan qabul)

    4. Ma'qud 'alaih (benda atau barang).

    D. Syarat Jual Beli

    Dalam transaksi jual beli, tidak jarang terjadi pertentangan atau

    perselisihan terkait dengan kegiatan jual-beli yang berlangsung. Oleh karena

    itu, untuk menghindari pertentangan di antara umat manusia dan agar jual beli

    dapat dilaksanakan secara sah serta memberi pengaruh yang tepat, perlu lah

    untuk merealisasikan beberapa syarat terelaksananya jual beli. Secara umum,

    tujuan penetapan syarat-syarat jual beli adalah untuk menjaga kemaslahatan

    orang yang sedang akad, menghindari jual beli gharar (terdapat unsur

    penipuan) dan lain-lain.

    Dalam jual beli terdapat empat macam syarat yang harus terpenuhi,

    yaitu syarat terjadinya akad (in'iqad), syarat sahnya akad, syarat

    terlaksananya akad (nafadz), dan syarat lujum.6

    1. Syarat terjadinya akad (in'iqad)

    In'iqad adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara'. Apabila

    persyaratan ini tidak terpenuhi, maka jual beli terhitung batal. Mengenai

    syarat ini, ulama Hanafiyah telah menetapkan empat syarat, yaitu:

    a. Syarat aqid (orang yang ber-akad)

    Terdapat dua syarat yang perlu dipenuhi oleh aqid, sebagai

    berikut:

    1) Berakal dan mumayyiz

    Ulama Syafi'iyah mensyariatkan bahwa aqid harus baligh. Namun

    demikian, ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah tidak

    mensyaratkan bahwa aqid haruslah dewasa atau baligh.

    6 Ibid, hlm. 76-85.

  • 6

    2) Aqid harus dilakukan minimal oleh dua orang, yaitu pihak yang

    menjual dan membeli. Adapun baik penjual maupun pembeli

    haruslah dalam keadaan sukarela (tanpa paksaan) serta saling

    meridho'i ketika melakukan jual beli.

    b. Syarat dalam akad

    Syarat ini hanya satu, yakni harus sesuai antara ijab

    dan qabul. Walaupun demikian, dalam ijab-qabul terdapat

    tiga syarat berikut ini.

    1) Ahli akad

    2) Qabul harus sesuai dengan ijab

    3) Ijab dan qabul harus bersatu; yakni berhubungan antara ijab dan

    qabul walaupun tempatnya tidak bersatu.

    c. Tempat akad

    Tempat akad harus bersatu atau berhubungan antara

    ijab dan qabul.

    d. Objek akad (Ma'qud 'alaih)

    Ma'qud 'alaih harus memenuhi empat syarat:7

    1) Ma'qud 'alaih harus ada. Tidak lah boleh akad atas barang-barang

    yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah

    yang masih belum tampak, atau jual beli anak hewan yang masih

    di dalam kandungan. Secara umum dalil yang digunakan

    sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa

    Rasulullah SAW melarang jual belu buah yang belum tampak

    hasilnya.

    2) Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin

    dimanfaatkan dan disimpan.

    3) Benda tersebut milik sendiri atau menjadi wakil orang lain.

    4) Dapat diserahkan.

    5) Barang yang diperjualbelikan harus suci.

    7 Alaudin Al-Kasyani, Badai' Ash-Shanai fi tartib Asy-Syarai, juz V, hlm 138-148, seperti

    dikutip oleh Rachmat Syafei dalam buku Fiqh Muamalah, hlm. 78-79.

  • 7

    6) Barang yang dimaksud harus jelas dan diketahui oleh kedua orang

    yang ber-akad.

    2. Syarat pelaksanaan akad (nafadz)

    Terdapat dua syarat pelaksanaan akad, sebagai berikut:

    a. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akad.

    b. Pada benda tersebut tidak terdapat hak milik orang lain.

    Oleh karena itu, tidak diperkenankan menjual barang sewaan atau

    barang gadai, sebab barang-barang tersebut bukan miliknya sendiri,

    terkecuali jika diijinkan oleh pemilik sebenarnya, yakni jual beli yang

    ditangguhkan (mauquf).

    3. Syarat sahnya akad

    Syarat ini terbagi menjadi dua, yaitu:

    a. Syarat umum

    Merupakan syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk

    jual beli yang telah ditetapkan syara'. Di antaranya adalah syrat-syarat

    yang telah disebutkan sebelumnya. Termasuk juga harus terhindar dari

    kecacatan jual beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan

    dengan waktu (tauqit), penipuan (gharar), kemadaratan, dan

    persyaratan yang merusak lainnya.

    b. Syarat khusus

    Merupakan syarat-syarat yang hanya ada pada barang-barang

    tertentu. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai

    berikut:

    1) Barang yang diperjualbelikan dapat dipegang, yaitu pada jual beli

    benda yang harus dipegang sebab apabila dilepaskan akan rusak

    atau hilang.

    2) Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.

    3) Serah terima barang harus dilakukan sebelum berpisah, yaitu

    untuk jual beli yang bendanya ada di tempat.

    4) Terpenuhi syarat penerimaan.

  • 8

    5) Harus seimbang dalam ukuran timbangan, yaitu dalam jual beli

    yang memakai ukuran atau timbangan.

    6) Barang yang diperjualbelikan sudah menjadi tanggung jawab

    pribadi. Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang yang masih

    berada di tangan penjual.

    4. Syarat lujum (kepastian)

    Syarat ini hanya ada satu, yakni akad jual beli harus terlepas atau

    terbebas dari khiyar yang berkaitan dengan kedua pihak yang ber-akad

    dan menyebabkan batalnya akad. Khiyar sendiri artinya boleh memilih

    antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkannya dalam arti

    ditarik kembali atau tidak jadi jual beli. Ditetapkannya khiyar oleh syara'

    adalah bahwa agar kedua orang yang ber-akad jual beli dapat memikirkan

    kemaslahatan masing-masing lebih jauh lagi, supaya tidak akan terjadi

    penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.

    E. Klasifikasi Jual Beli

    Adiwarman A. Karim dalam buku Fikih Ekonomi Keuangan Islam

    mengklasifikasikan jual beli menjadi tiga macam, yaitu:8

    1. Klasifikasi jual beli dari sisi objek dagangan

    Ditinjau dari sisi inim jual beli dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

    a. Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.

    b. Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yakni penukaran uang

    dengan uang.

    c. Jual beli muqayadhah atau barter, yakni menukar barang dengan

    barang.

    2. Klasifikasi jual beli dari sisi standarisasi harga

    Jual beli dibagi menjadi tiga, sebagai berikut:

    a. Jual beli bargain (tawar-menawar)

    Merupakan jual beli dimana modal barang yang dijual tidak

    diberitahukan oleh penjual.

    8 Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Op. cit., hlm 88-89.

  • 9

    b. Jual beli amanah

    Merupakan jual neli dimana harga modal barang dagangan

    diberitahukan oleh si penjual.

    c. Jual beli muzayadah (lelang)

    Merupakan jual beli dengan cara penjual menawarkan barang

    dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambah

    jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan

    menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut.

    Kebalikan dari jual bel jenis ini adalah jual beli munaqashah

    (obral) yang merupakan tipe jual beli dimana si pembeli menawarkan

    diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalu para penjual

    berlomba menwarkan dagangannya, kemudian si pembeli akan

    membeli dengan harga termurah yang ditawarkan penjual.

    3. Klasifikasi jual beli dilihat dari cara pembayaran

    Ditinjau dari sisi ini, jual beli terbagi menjadi empat bagian sebagai

    berikut:

    a. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.

    b. Jual beli dengan pembayaran tertunda.

    c. Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.

    d. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran yang sama-sama

    tertunda.

    Adapun menurut Al-Juhaili (1989), pada umumnya jual beli dibagi

    menjadi empat macam berdasarkan pertukarannya, yaitu:

    1. Jual beli saham (pesanan)

    Jual beli saham merupakan jual beli dengan cara menyerahkan

    terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.

    2. Jual beli muayadhah (barter)

    Merupakan jual beli dengan cara menukar barang dengan barang.

    Misalnya, menukar baju dengan dengan sepatu.

  • 10

    3. Jual beli muthlaq

    Merupakan jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati

    sebagai alat pertukaran, seperti uang.

    4. Jual beli alat penukar dengan alat penukar

    Jual beli jenis ini adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai

    alat penukar dengan alat penukar lainnya, misalnya uang perak dengan

    uang emas.

    Selain itu, jual beli pun dibagi menjadi empat bagian jika dilihat

    berdasarkan segi harga, yakni:

    1. Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah).

    2. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual sesuai dengan harga

    aslinya (at-tauliyah).

    3. Jual beli rugi (ak-khasarah).

    4. Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetai

    kedua orang yang ber-akad saling meridho'i; jual beli semacam inilah

    yang berkembang sekarang.9

    F. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam

    Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah Al-

    Juhaili meringkasnya sebagai berikut.10

    1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)

    Jumhur ulama telah sepakat bahwa jual beli dianggap sahih apabila

    dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu

    ber-tasharruf secara bebas dan baik. mereka yang diasumsikan tidak sah

    jual-belinya adalah sebagai berikut.

    a. Jual beli orang gila

    Selain orang gila, mereka yang sejenis dengan orang gila, seperti

    orang mabuk atau sakalor, juga tidak dipandang sah dalam melakukan

    jual beli.

    9 Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, juz IV, hlm 595-596, seperti dikutip

    oleh Rachmat Syafe'I dalam Fiqh Muamalah hlm 101-102. 10 Ibid, hlm 93-101.

  • 11

    b. Jual beli anak kecil

    Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum

    mumayyiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang

    ringan atau sepele. Menurut ulama Syafi'iyah, jual beli anak

    mumayyiz yang belum baligh tidaklah sah dikarenakan tidak ada

    ahliah. Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah,

    jual beli anak kecil dipandang sah-sah saja apabila diijinkan walinya.

    c. Jual beli orang buta

    Jual beli orang buta dikategorikan sahih menurut jumhur jika

    barang yang dibelinya diberi sifat, dalam artian dijelaskan sifat-sifat

    barang yang dimaksud. Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah jual beli

    orang buta tidaklah sah karena orang buta tidak dapat membedakan

    barang yang jelek dan yang baik.

    d. Jual beli terpaksa

    Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa sama

    seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa seiijin pemiliknya), yakni

    ditangguhkan (mauquf). Oleh karena itu, keabsahannya ditangguhkan

    sampai hilang rasa terpaksa. Menurut ulama Malikiyah, jual beli ini

    tidaklah lazim karena baginya ada khiyar. Sementara itu, menurut

    ulama Syafiiyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak lah sah sebab

    tidak ada keridhoan ketika akad.

    e. Jual beli fudhul

    Merupakan jual beli milik orang tanpa seijin pemiliknya. Menurut

    ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli jenis ini adalah

    ditangguhkan sampai ada ijin dari pemiliknya. Sedangkan menurut

    ulama Hanabilah dan Syafi'iyah, jual beli fudhul tidak sah.

    f. Jual beli orang yang terhalang

    Yang dimaksud terhalang adalah terhalang karena kebodohan,

    bangkrut, ataupun sakit.

  • 12

    g. Jual beli malja'

    Jual beli malja' merupakan jual beli orang yang sedang dalam

    bahaya; tujuannya adalah menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli

    tersebut, menurut ulama Hanafiyah, adalah fasid, dan menurut ulama

    Hanabilah adalah batal.

    2. Terlarang sebab Shighat

    Ulama fiqih telah sepakat bahwa sah tidaknya jual beli adalah

    didasarkan pada keridhoan di antara pihak yang ber-akad, ada kesesuaian

    di antara ijab dan qabul; berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh

    suatu pemisah. Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut

    dipandang tidak sah. Berikut ini adalah macam-macam jual beli yang

    dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama:

    a. Jual beli mu'athah

    Merupakan jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad,

    berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai

    ijab-qabul.

    b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan

    Para ulama fiqih sepakat bahwa jual beli melalui surat atau utusan

    adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat dari aqid pertama

    dan aqid kedua. Namun, apabila qabul melebihi tempat, seperti surat

    tidak sampai ke tangan orang yang dimaksud, akad tersebut dipandang

    tidak sah.

    c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan

    Akad dengan isyarat atau tulisan dipandang sah khususnya bagi

    yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga

    menunjukkan apa yang ada di dalam hati aqid. Namun, jika isyarat

    tidak dapat dipahami serta tulisannya jelek (tidak terbaca), akad

    menjadi tidak sah.

    d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad

  • 13

    Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di

    tempat akad adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat in'iqad

    (terjadinya akad).

    e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul

    Berdasarkan kesepakatan ulama, jual beli semacam ini dipandang

    tidak sah. Akan tetapi, dalam hal yang lebih baik seperti meninggikan

    harga, menurut ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama

    Syafi'iyah menganggapnya tidak sah.

    f. Jual beli munjiz

    Merupakan jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat atau

    ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Menurut ulama

    Hanafiyah, jual beli ini dipandang fasid. Sedangkan jumhur ulama

    memandang jual beli munjiz ini batal.

    3. Terlarang sebab ma'qud alaih (barang jualan)

    Secara umum, ma'qud alaih merupakan harta yang digunakan

    sebagai alat pertukaran oleh orang yang ber-akad, yang biasa disebut

    mabi' (barang jualan) dan harga.

    Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma'qud

    alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat

    diserahkan, dapat disaksikan oleh orang-orang yang ber-akad, tidak

    bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari syara'.

    Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama namun

    masih menjadi perdebatan diantara ulama lainnya, diantaranya adalah

    sebagai berikut:

    a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada

    Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau

    dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.

    b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan

    Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, misalnya burung

    yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan

    ketetapan syara'.

  • 14

    c. Jual beli gharar

    Merupakan jual beli barang yang mengandung kesamaran.

    Menurut Ibn Jazi Al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 macam:11

    1) Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih

    dalam kandungan induknya.

    2) Tidak diketahui harga dan barang,

    3) Tidak diketahui sifat barang atau harga,

    4) Tidak diketahui ukuran barang dan harga,

    5) Tidak diketahui masa yang akan datang, misalnya, Saya akan

    menjual barang ini jika Malik datang.

    6) Menghargakan dua kali pada satu barang.

    7) Menjualkan barang yang diharapkan selamat,

    8) Jual beli husha', misalnya pembeli memegang tingkat, jika tongkat

    jatuh wajib membeli.

    9) Jual beli munabadzhah, yaitu jual beli dengan cara lempar

    melempari, seperti seseorang melempar bajunya, kemudian yang

    lain pun melempar bajunya maka jadilah jual beli.

    10) Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain, maka wajib

    membelinya.

    d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis

    Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis,

    seperti khamar. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang barang

    yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan,

    seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama Hanafiyah

    membolehkannya untukm barang yang tidak untuk dimakan,

    sedangkan Ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.

    e. Jual beli air

    Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki, seperti air sumur

    yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama

    11 Al-Qawain Al-Fiqhiyah, hlm. 256, seperti dikutip oleh Rafmat Syafe'i dalam buku Fiqih

    Muamalah, hlm 98.

  • 15

    madzhab empat. Sebaliknya ulama Zhahiriyyah melarang secara

    mutlak. Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah, yakni

    yang semua manusia boleh memanfaatkannya.

    f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)

    Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasid

    sedangkan menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan

    pertentangan diantara manusia.

    g. Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad (gaib), tidak dapat

    dilihat

    Menurut Ulama Hanafiyah, jual beli ini dibolehkan tanpa harus

    menyebutkan sifat sifatnya, tetapi pembeli berhak khiyar ketika

    melihatnya. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah,

    sedangkan Ulama Malikiyah membolehkannya bila disebutkan sifat-

    sifatnya dan mensyaratkan 5 (lima) macam:

    1) Harus jauh sekali tempatnya

    2) Tidak boleh dekat sekali tempatnya

    3) Bukan pemiliknya harus ikut memberi gambaran

    4) Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh

    5) Penjual tidak boleh memberi syarat

    h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang

    Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat

    dipindahkan sebelum dipegang, tetapi untuk barang yang tetap

    diperbolehkan. Sebaliknya,, Ulama Syafi.iyah melarangnya secara

    mutlak. Ulama Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan Ulama

    Hanabilah melarang atas makanan yang diukur.

    i. Jual beli buah buahan atau tumbuhan

    Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah

    ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ulama

    Hanafiyah dan batal menurut Jumhur ulama. Adapun jika buah-

    buahan atau tumbuhan itu telah matang, akadnya dibolehkan.

  • 16

    4. Terlarang sebab Syara

    Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan

    dan rukunnya. Namun demikian, ada beberapa masalah yang

    diperselisihkan diantara para ulama, diantaranya berikut ini.

    a. Jual beli riba

    Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah,

    tetapi batal menurut jumhur ulama.

    b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan

    Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi akad

    atas nilainya, sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab

    ada nash yang jelas dari hadis Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah

    SAW mengharamkan jual beli khamar, bangkai, anjing, dan patung.

    c. Jual beli barang dari pencegatan barang

    Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat

    yang dituju sehingga orang yang menjegatnya akan mendapatkan

    keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu makruh

    tahrim. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh

    khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu

    termasuk fasid.

    d. Jual beli waktu adzan Jumat

    Yakni bagi laki laki yang berkewajiban melaksanakan shalat

    Jumat. Menurut ulama Hanafiyah pada waktu azan pertama, seangkan

    menurut ulama lainnya, azan ketika khatib sudah berada di mimbar.

    Ulama Hanafiyah menghukuminya makruh tahrim, sedangkan ulama

    Syafiiyah menghukumi sahih haram. Tidak jadi pendapat yang

    masyhur di kalangan ulama Malikiyah, dan tidak sah menurut ulama

    hanabilah.

    e. Jual beli anggur untuk dijadikan khammar

    Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah zahirnya sahih, tetapi

    makruh, sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah

    batal.

  • 17

    f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil

    Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.

    g. Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain

    Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun

    masih dalam khiyar, kemudian datang orang lain yang menyuruh

    untuk membatalkannya sebab ia akan membelinya dengan harga lebih

    tinggi.

    h. Jual beli memakai syarat

    Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti,

    Saya akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit

    dulu. Begitu pula menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika

    bermanfaat. Menurut ulama Syafiiyah dibolehkan jika syarat

    maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan

    menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat

    bagi salah satu yang akad.

    G. Pengertian Riba

    Riba menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:

    1. Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan

    dari sesuatu yang dihutangkan.

    2. Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah

    membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada

    orang lain.

    3. Berlebihan atau menggelembung.12

    Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al Mali

    ialah: Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui

    pertimbangannya menurut ukuran syara, ketika berakad atau dengan

    mengakhirkan tukaran kedua belah pihak salah satu keduanya.

    12 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2005). hlm. 57.

  • 18

    Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad

    yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak

    menurut aturan syara atau terlambat salah satunya.13

    Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum

    terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan

    tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara

    bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

    Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba

    pinjaman adalah haram. Adapun dalil yang terkait dengan perbuatan riba,

    berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadits. Di antara ayat tentang riba adalah

    sebagai berikut:

    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan

    berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat

    keberuntungan. QS Ali Imran : 130.

    Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah

    pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa

    yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai

    keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang

    melipat gandakan (pahalanya). QS. Rum : 39.

    Dan di antara hadits yang terkait dengan riba adalah :

    : :

    :

    Dari Jabir r.a Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk) orang yang

    makan riba, wakilnya, penulisnya dan dua saksinya. HR. Muslim.

    13 Ibid. Hlm. 58

  • 19

    H. Dalil Keharaman Riba

    Riba diharamkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunah, dan Ijma:

    1. Al-Quran

    Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Al-

    Baqarah : 275)

    Juga terdapat firman Allah SWT yang lainnya:

    Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan

    tinggalkanlah sisa-sisa riba. jika memang kamu orang yang

    beriman. Jika kamu tidak melakukannya, maka terimalah

    pernyataan perang dari Allah dan rasul Nya dan jika kalian

    bertobat maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat

    zalim dan tidak pula dizalimi. (QS. Al-Baqarah : 278- 279)

    2. As-Sunah

    Hadits Abu Hurairah

    Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi SAW. Bersabda,

    Tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan. Sahabat

    bertanya, Apakah itu, ya Rasulullah? Jawab Nabi, (1) Syirik

    (mempersekutukan Allah); (2) Berbuat sihir (tenung); (3) Membunuh

    jiwa yang diharamkan Allah, kecuali yang hak; (4) Makan harta riba; (5)

    Makan harta anak yatim; (6) Melarikan diri dari perang jihad pada saat

    berjuang; dan (7) Menuduh wanita mukminat yang sopan (berkeluarga)

    dengan tuduhan zina

    3. Ijma

    Seluruh ulama sepakat bahwa riba diharamkan dalam islam.14

    Dasar Logis Pelarang Riba

    Salah satu dasar pemikiran utama yang paling sering dikemukakan

    oleh para cendikiawan muslim adalah keberadaan riba dalam ekonomi

    merupakan bentuk eksploitasi sosial dan ekonomi, yang merusak inti ajaran

    14 Rachmat Syafei, Op. cit., hlm:261.

  • 20

    islam tentang keadilan sosial. Karena itu, penghapusan bunga dari sistem

    ekonomi ditujukan untuk memberikan keadilan, ekonomi, keadilan sosial,

    dan perilaku ekonomi yang benar secara etis dan moral.

    Riba, yang mempresentasikan keuntungan keuangan yang tidak setara

    dan karena itu tidak dibenarkan, adalah berbeda dari perdagangan, yang

    menghasilkan pertukaran nilai yang setara.dengan menghilangkan riba, tiap

    pihak dalam akad mendapatkan imbalan yang adil dan setara, yang pada

    akhirnya akan mengarah kepada distribusi penghasilan yang setara dan

    kemudian kepada sistem ekonomi yang lebih adil.

    Riba melanggar prinsip hak milik dalam Islam, Al-Quran dengan

    jelas dan tegas melarang akuisisi terhadap milik orang lain melalui cara

    yang tidak benar. Islam menganl dua tipe hak milik, yakni:

    1. Hak milik yang merupakan hak kombinasi kerja individual dan sumber

    daya alami,

    2. Hak atau klaim hak milik yang didapat melalui pertukaran, pembayaran

    yang dalam Islam disebut sebagai hak orang miskin untuk menggunakan

    sumber daya yang menjadi hak mereka (zakat dan infak), bantuan tunai

    dan warisan.15

    Riba tidak dibenarkan karena bunga adalah hak milik yang diklaim di luar

    kerangka hak millik individual sah yang diakui Islam dan bersifat instan

    karena segera setelah akad pinjaman atas harta peminjam telah tercipta,

    terlepas dari hasil dari usaha dimana uang tersebut digunakan.

    I. Macam-Macam Riba

    1. Menurut Jumhur Ulama

    15 Zamir Iqbal dan Abbas Marakhor, Pengantar keuangan Islam: Teori dan Praktik,

    (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 81-83.

  • 21

    Jumhur ulama16 membagi riba dalam dua bagian, yaitu

    riba fadhl dan riba nasiah.

    a. Riba Fadhl

    Riba fadhl adalah jual-beli yang mengandung unsur riba pada

    barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda

    tersebut. Oleh karena itu jika melaksanakan akad jual-beli

    antarbarang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar

    terhindar dari unsur riba.

    b. Riba Nasi'ah

    Menurut ulama Hanafiah,17 riba nasiah adalah: Dikerjakan oleh

    orang jahiliyah, seperti seseorang membeli dua kilogram beras pasa

    bulan Januari dan akan dibayar dengan dua setengah kilogram beras

    pada bulan Februari. Contoh lain dari riba nasiah yang berlaku

    secara umum sekarang adalah bunga bank.

    Menurut pendapat setengah ulama, riba ada empat bagian, yaitu:18

    a. Riba fadhli, yaitu menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidak

    sama.

    b. Riba qardhi, yaitu utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang

    mempiutangi.

    c. Riba yad, yaitu bercerai dari tempat akad sebelum timbang terima.

    d. Riba nasa', yaitu penukaran yang disyaratkan terlambat salah satu

    dua barang.

    Barang-barang yang berlaku riba padanya adalah emas, perka, dan

    makanan yang menyenangkan atau yang berguna untuk yang

    mengenyangkan seperti garam. Jual beli tersebut, kalau sama jenisnya

    seperti emas dengan emas, gandum ddengan gandum, diperlukan tiga

    syarat, yaitu tunai, timbang terima, serta sama timbangan atau

    16 Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Miqtashid, juz II. hlm:129, seperti

    dikutip oleh Rahmat Syafe'i dalam buku Fiqih Muamalah, hlm 262. 17 Alaudin Al-Kasani, Badai Ash-Shani fi Tartib Asy-Syarai, juz V.hlm: 183, seperti

    dikutip oleh Rahmat Syafe'i dalam buku Fiqih Muamalah, hlm 262. 18 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cetakan ke- 25, (Bandung: CV Sinar Baru Bandung,

    1992), hlm. 273.

  • 22

    sukatannya. Kalau berlainan jenisnya, satu 'ilat ribanya seperti emas

    dengan perak, boleh tidak sama timbangannya, tetapi mesti tunai dan

    timbang terima. Kalau berlainan jenis dan 'ilat ribanya, seperti perak

    dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang-barang lain,

    berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.

    2. Madzhab Malikiyah

    Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan

    perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan,

    mereka berbeda pendapat dalam hubungannya dengan riba nasiah dan

    riba fadhl.

    Illat diharamkannya ria nasiah dalam makanan adalah sekadar

    makanan saja (makanan selain untuk mengobati), baik karena pada

    makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan pokok) dan kuat

    disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut.

    Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan

    tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama,

    seperti gandum, padi, jagung, dll.

    3. Madzhab Syafii

    Illat riba pada emas dan perak adalah harga, yakni kedua barang

    tersebut dihargakan atau menjadi harga sesuatu. Begitu pula uang,

    walaupin bukan terbuat dari emas, uang pun dapat menjadi harga sesuatu.

    Illat pada makanan adalah segala sesuatu yang bisa dimakan dan

    memenihi 3 kriteria berikut:

    a. Sesuatu yang bisa ditunjukkan sebagai makanan atau makanan

    pokok.

    b. Makanan yang lezat atau yang dimaksudkan untuk melezatkan

    makanan, seperti ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan

    padanya, seperti tin dan anggur kering.

    c. Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan

    memperbaiki makanan, yakni obat. Ulama syafiiyah antara lain

  • 23

    beralasan bahwa makanan yang dimaksudkan adalah untuk

    menyehatkan badan termasuk pula obat untuk menyehatkan badan.

    Menurut ulama Syafiiyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya,

    seperti menjual gandum dengan jagung, dibolehkan adanya tambahan.

    Selain itu dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak

    sama meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan

    tepung jagung.19

    4. Madzhab Hambali

    Pada madzhab ini terdapat tiga riwayat tentang illat riba, yang

    paling mashyur adalah seperti pendapat ulama Hanafiah. Hanya saja,

    ulama Hanabilah mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang

    ditimbang dengan kurma.

    Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan oleh

    ulama Syafiiyah.

    Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah setiap makanan

    yang ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak

    dikategorikan riba walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu

    yang tidak dimakan manusia. Hal itu sesuai dengan pendapat Said Ibn

    Musayyab yang mendasarkan pendapatnya pada hadist Rasullulah SAW :

    Tidak ada riba, kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan

    dan diminum.20

    5. Madzhab Zhahiri

    Menurut golongan ini, riba tidak dapat di illatkan, sebab ditetapkan

    dengan nash saja. Kesimpulan dari pendapat para ulama di atas antara

    lain: illat riba menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah timbangan

    atau ukuran (alkail wa alwajn), sedangkan menurut ulama Malikiyah

    adalah makanan pokok dan makanan tahan lama, dan menurut ulama

    Syafiiyah adalah makanan.

    19 Prof. DR. H. Rachmat Syafei, MA, Op. cit., hlm: 267-268 20 Ibid

  • 24

    BAB III

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya, didapat beberapa intisari,

    yaitu sebagai berikut:

    1. Jual beli merupakan transaksi tukar menukar harta atau barang yang

    dilakukan sesuai akad (perjanjian).

    2. Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Quran, sunah, dan ijma'.

    3. Rukun jual beli ada empat, yakni Bai' (penjual), Mustari (pembeli),

    Shighat (ijab dan qabul), dan Ma'qud 'alaih (benda atau barang).

    4. Dalam jual beli terdapat empat macam syarat yang harus terpenuhi, yaitu

    syarat terjadinya akad (in'iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya

    akad (nafadz), dan syarat lujum.

    5. Jual beli dibagi menjadi empat macam berdasarkan pertukarannya, yaitu

    jual beli saham, jual beli muayadhah (barter), jual beli muthlaq, jual beli

    alat penukar dengan alat penukar.

    6. Terdapat beberapa jenis jual beli yang dilarang dalam Islam dilihat dari

    sebab ahliah (ahli akad), sebab shighat, sebab ma'qud alaih (barang

    jualan), dan sebab syara'.

    7. Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli

    maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip

    muamalat dalam Islam.

    8. Riba diharamkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunah, dan Ijma.

    9. Salah satu dasar pemikiran utama yang paling sering dikemukakan oleh

    para cendikiawan muslim adalah keberadaan riba dalam ekonomi

    merupakan bentuk eksploitasi sosial dan ekonomi, yang merusak inti

    ajaran islam tentang keadilan sosial.

    10. Secara umum, riba dibagi menjadi dua, yaitu yaitu riba fadhl dan riba

    nasiah.

  • 25

    B. Pendapat Kelompok

    Jual beli dapat dikatakan sebagai transaksi yang paling sering dilakukan

    manusia. Telah disebutkan juga bahwa manusia adalah makhluk social yang

    membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu cara

    yang paling umum dilakukan untuk menjalankan fungsi social tersebut adalah

    jual beli.

    Dalam melakukan jual beli, sejalan juga dengan kenyataan bahwa kita

    adalah Muslim, ada banyak hal yang sangat perlu diperhatikan. Sebagai

    contoh, rukun dan syarat jual beli adalah dua poin penting dalam melakukan

    jual beli. Selain itu, terdapat pula beragam jenis jual beli yang dilarang oleh

    Islam sehingga jual beli tersebut pula lah yang harus dihindari. Termasuk

    juga riba, yang merupakan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-

    beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan

    prinsip muamalat dalam Islam, merupakan perbuatan haram yang telah

    dijelaskan pula di dalam Al-Quran.

    Selebihnya, hal menarik yang ditemukan mengenai pembahasan jual

    beli adalah ketidakmampuan kita terlepas dari pendapat-pendapat ulama

    mengenai pembahasan jual beli. Ada beberapa ulama yang memiliki pendapat

    berbeda, bahkan kerap kali bertentangan, berkenaan dengan satu topic. Hal ini

    harusnya membuat kita semakin bijak ketika memilih untuk diri kita sendiri

    pendapat mana yang akan kita ikuti. Serta, kita juga perlu bersikap lebih bijak

    terhadap mereka yang tidak memiliki persamaan pemahaman dengan diri

    kita.

  • 26

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Ma La Yasa at-Tajira Jahluhu, diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir, 2008, Fikih Ekonomi Keuangan

    Islam, Jakarta: Darul Haq.

    H. Sulaiman Rasjid, 1992, Fiqh Islam, Cetakan ke- 25, Bandung: CV Sinar Baru

    Bandung.

    Hendi Suhendi, 2005, Fiqih Muamalah, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.

    Rachmat Syafe'i, 2001, Fiqih Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia.

    Zamir Iqbal dan Abbas Marakhor, 2008, Pengantar keuangan Islam: Teori dan

    Praktik, Jakarta: Kencana.