jsm juli 2013_061213.indd

23

Upload: trinhdang

Post on 12-Jan-2017

246 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Kelekatan Kelembagaan: Industri Distro Fesyen di Bandung

R o c h m a n A c h w a nDepartemen Sosiologi Universitas Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Artikel ini berupaya memperkaya perspektif dalam kajian industri kreatif, yakni cultural entrepreneurship, social contract, dan contextual knowledge, dengan menggunakan pendekatan institusional. Argumen utamanya adalah kelekatan kelembagaan memiliki peran sangat penting dalam mempromosikan distro fesyen kreatif di Bandung yang berdasarkan sejarah dikenal sebagai kota fesyen. Metode kualitatif digunakan untuk mengumpulkan data dari berbagai narasumber. Studi ini mengungkapkan bahwa ketidaklekatan antara negara dan dunia bisnis fesyen kreatif dan dalam masyarakat fesyen menjadi sesuatu yang menonjol dalam bisnis yang berjalan. Akibatnya, kreativitas para pengusaha fesyen tidak mampu menjadi lebih baik dan organisasi bisnis yang dibangun secara internal sulit menjadi mapan. Perkembangan terbaru studi ini mengindikasikan para aktor ekonomi dengan modal besar dan pemerintah lokal mulai bekerja sama dengan industri fesyen distro. Perkembangan ini memberi kesan bahwa problematika ketidaklekatan dapat ditransformasikan dengan melekatkan negara sebagai pelaku bisnis sama halnya dengan melekatkan aktor dalam bisnis. Kedepannya distro fesyen kreatif di Bandung akan bergantung pada kekuatan perjuangan untuk melekatkan berhadapan ketidaklekatan negara, ekonomi, dan asosiasi yang menyokongnya.

Abstract

This paper tries to enrich three perspectives for the study of creative industry, cultural entrepreneurship, social contract, and contextual knowledge, by employing an institutional approach and argues that institutional embbededness plays a vital role in promoting creative fashion distro (distribution store) in Bandung that historically well-known city of fashion. Qualitative method has been used to collect data from various informants. This study reveals that disembeddedness between state and creative fashion business and within society of fashion become a mayor feature of the business. As a consequence, creativity of fashion entrepreneurs unable to prosper and internal business organisation is difficult to mature. Recent development, however, indicates that big economic actors and local state begin to co-operate with industry of fashion distro. This development suggests that problems of disembeddedness can be transformed into embeding business actors-state as well as actors within the business. The future of creative fashion distro in Bandung will depend on the struggle of forces of embedding againt disembedding state, the economic, and the association tha support it.

Keywords: institutional embeddedness, fashion distro, creativity province, voluntary association, Bandung

140 | R O C H M A n A C H W A n

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

PE n DA H U LUA n

Di Indonesia, industri kreatif dipandang sebagai industri yang menjanjikan. Lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pemerintah telah merumuskan perencanaan pengembangan ekonomi kreatif jangka lima tahunan. Beberapa pemerintah daerah bahkan sudah memiliki aspirasi mengembangkan kotanya sebagai kota kreatif berdasarkan penilaian banyaknya karya seni yang dihasilkan kota tersebut. namun, antusiasme ini belum ditopang oleh body of knowledge tentang karakter industri kreatif, termasuk yang berbasis pada kearifan lokal. Secara umum, jika industri kreatif ingin dikembangkan, setidaknya terdapat beberapa aspek yang penting diketahui, yaitu macam industri kreatif yang berkembang, teknologi informasi yang digunakan, macam keahlian, jaringan, lingkungan institusi ekonomi, dan industri kreatif apa saja yang mempunyai peluang pasar, baik domestik maupun internasional. Atas dasar inilah pemerintah mengambil kebijakan untuk mengembangkan industri kreatif tertentu. Banyak negara yang menginginkan industri kreatifnya masuk dalam pasar global. Ini berarti bahwa aspek-aspek tersebut harus diletakkan dalam konteks global pula.

Selama ini semua industri kreatif dipandang dapat dikembangkan tanpa perlu pemfokusan dan cukup mempertimbangkan peluang pasar. Suatu negara yang ingin meletakkan industri kreatif sebagai bagian dari skema pembangunan ekonomi, perlu mengetahui apa makna dari mengembangkan industri ini, baik secara ekonomi maupun sosio kultural. Pengembangan industri kreatif menyangkut tujuan pembangunan yang lebih luas dimensinya, seperti penguatan identitas positif, memberikan konsumen barang yang bermanfaat, memperkuat kohesi komunitas, dan aktualisasi ke arah yang lebih tinggi dari kearifan lokal.

Dengan demikian, politik pengembangan industri kreatif akan selalu ditentukan oleh jalinan hubungan internal kelembagaan industri kreatif dan hubungan eksternal industri ini dengan lembaga negara. Studi ini bermaksud menyumbang pengetahuan atas aspek tersebut dengan memfokuskan pada industri distro fesyen di Bandung. Distro adalah singkatan dari distribution store, suatu konsep khusus industri fesyen yang akan dibahas dalam sub bagian distro fesyen. Lebih khusus, studi ini, pertama, berusaha memahami organisasi sosial industri distro fesyen dan hubungannya dengan dinamika

K E L E K A T A n K E L E M B A g A A n | 141

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

perkembangan pasar fesyen. Kedua, menjelaskan peran lembaga negara dalam mendorong ataupun menghambat perkembangan industri distro fesyen.

M E TODE PE n E L I T I A n

Penelitian dinamika perkembangan industri distro fesyen di Bandung ini menggunakan metode kualitatif. Dibantu dengan kuesioner terbuka, penulis melakukan wawancara mendalam dengan 30 pelaku dari total jumlah 160 pelaku usaha distro fesyen di kota Bandung. Data sekunder berupa data statistik dan dokumen pemerintah berkenaan dengan kebijakan pengembangan ekonomi kreatif juga dikumpulkan. Wawancara mendalam juga dilakukan terhadap aktor yang terkait dengan keberadaan industri distro fesyen seperti Kamar Dagang dan Industri (KADIn) Kota Bandung, pejabat pemerintah kota, asosiasi, forum masyarakat sipil, komunitas industri penjahitan, perajutan, dan sablon. Yang terakhir, mengumpulkan informasi lewat situs yang dimiliki oleh para pelaku distro fesyen.

Bagian lain yang penting adalah meninjau perkembangan ilmu sosial dalam membahas industri kreatif, khususnya dalam sosiologi. Tujuannya adalah melihat kecenderungan dan perkembangan ilmu sosial dalam melihat fenomena yang semakin penting dalam perekonomian. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana konsep-konsep yang sudah ada digunakan untuk menganalisa masalah industri kreatif. Kemudian, apakah ada konsep, teori baru, atau pendekatan baru dalam menganalisa industri kreatif.

DA R I T EOR I ORg A n IS A SI M E n U J U K E L EK ATA n K E L E M BAg A A n

Di tingkat internasional pembahasan industri kreatif mempunyai akar dalam teori organisasi dan sumber daya manusia, khususnya dalam mempelajari pembangunan regional (Donald 2010). Pendekatan pembangunan regional melihat bekerjanya efek mobilitas dan aglomerasi sumber daya (resources) dari unit-unit ekonomi yang ada pada suatu wilayah. Pembanguan regional juga melihat posisi dari suatu unit wilayah, yaitu kota dalam konteks keunggulan komparatif dibandingkan dengan kota lain. Pendekatan ini menggunakan banyak perhitungan kuantitatif dalam ilmu ekonomi untuk melihat

142 | R O C H M A n A C H W A n

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

permintaan, efek berganda (multiplier effect), dan efisiensi penggunaan sumber daya (Porter 1998). Dalam industri kreatif, faktor kedekatan input tetap membutuhkan inovasi dalam memanfaatkannya.

Perspektif teori organisasi dalam sejarahnya bertujuan mengembangkan pengetahuan bagaimana organisasi muncul, bertahan dan berkembang. Hingga dasawarsa delapan puluhan, pendekatan yang ada didominasi oleh aspek pengelolaan internal organisasi, terutama perusahaan. Sejak pertengahan dasawarsa delapan puluhan, ilmu manajemen mulai banyak membahas interaksi dinamis antara perusahaan dengan lingkungan eksternal. Ilmu manajemen mulai mengadopsi banyak pikiran dari bidang ilmu lain yang membahas organisasi seperti sosiologi. Melalui interaksi berbagai bidang ilmu, muncul pembahasan yang lebih banyak dimensinya tentang keberadaan dan interaksi antar organisasi (Knoke 2001). Dimensi ketidaksamaan posisi, kredibilitas, wewenang, dan kekuasaan, masuk dalam pembahasan. Hubungan organisasi dibahas tidak lagi dari aspek keberadaan kluster, misalnya, melainkan mulai dibahas tentang organisational interlocking, dan jaringan. Dasawarsa sembilanpuluhan dan seterusnya, ilmu organisasi semakin banyak menggunakan pendekatan hubungan aktor dan struktur. Hal ini sejalan dengan perkembangan pendekatan organisational institutionalism (greenwood et al. 2008).

Perkembangan ini dapat dilihat pada salah satu jurnal paling terkemuka di bidang ilmu manajemen yaitu Academy of Management Review. Selain itu, wilayah yang semakin mendapat perhatian adalah interaksi antara sektor bisnis dan sosial sebagai bagian private governance yang baru dan hingga saat ini masih berkembang dan belum menghasilkan sesuatu yang mapan. Beberapa dimensi yang mendapat perhatian adalah konsep arena interaksi, percampuran antara norma formal dan informal, dan masalah legitimasi organisasi.

Di tingkat internasional mulai ditemukan buku-buku yang memuat kasus perbandingan Eropa dan Asia. Hal ini menunjukkan bahwa peran dan perhatian negara berkembang dalam industri kreatif telah diakui dalam analisa di tingkat internasional dan sebagai bahan studi kebijakan. Pembahasan menyangkut beberapa aspek penting, antara lain kebijakan yang menunjang industri kreatif, penajaman klaster industri kreatif di berbagai negara, latar belakang kelas atau kelompok kreatif dan bagaimana interaksinya dengan institusi atau organisasi penunjang kreativitas, serta ekonomi politik industri kreatif

K E L E K A T A n K E L E M B A g A A n | 143

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

(Kong dan O’Connor 2009). Dengan demikian, pembahasan sudah melampaui pendekatan ekonomi dan manajemen dalam memahami perkembangan industri kreatif.

Sosiologi ekonomi cenderung mengembangkan analisa mikro dan meso dalam mempelajari industri kreatif. Analisa mikro memfokuskan pada individu aktor dan organisasi industri. Para pengikut analisa ini berpendapat bahwa tingkah laku individu dan organisasi industri kreatif berbeda dengan industri konvensional. Swedberg (2006:260) membedakan antara antara kewiraswastaan ekonomi dengan kewiraswastaan budaya.

“Pada dasarnya, kewiraswastaan ekonomi bertujuan menciptakan sesuatu yang baru (dan menguntungkan) di wilayah ekonomi, sementara, kewiraswastaan budaya menciptakan sesuatu yang baru (dan dihargai) di wilayah budaya. Sungguhpun keuntungan f inansial merupakan komponen penting kewiraswastaan budaya, namun komponen tersebut bukanlah fokus utama. Oleh karena itu, kewiraswastaan budaya dapat didefinisikan sebagai kegiatan inovatif mengkombinasikan unsur-unsur tertentu untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan dihargai di wilayah budaya.”

Wilayah budaya ini mencakup dunia yang luas meliputi estetika, citarasa, simbol, identitas, dan status sosial. Dengan demikian, industri kreatif, sebagai bagian dari kewiraswastaan budaya, memproduksi barang dagangan yang memiliki nilai budaya dan ekonomi. Kedua nilai yang melekat inilah yang menyebabkan pengaturan organisasi industri kreatif berbeda dengan industri konvensional. Dalam studi industri kreatif di Masyarakat Barat, Cave (2003) berargumentasi bahwa ‘kontrak sosial’ perlu dibangun antara produsen dan pedagang mengingat organisasi internal industri ini sangat spesifik. Seorang pelukis terkenal, misalnya, tidak mungkin memasarkan hasil lukisannya tanpa membangun hubungan dengan pedagang seni, art dealer. Lewat strategi pemasaran, pedagang seni dapat membangun branding, packaging, kampanye media dan menjalin hubungan dengan pusat-pusat penjualan atau lelang barang budaya dan seni.

Aspers (2006), pengikut analisis meso, memperkenalkan pendekatan pengetahuan kontekstual (contextual knowledge). Tesis utama yang ia bangun adalah bahwa kreativitas bukanlah urusan

14 4 | R O C H M A n A C H W A n

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

individu melainkan urusan kelompok atau masyarakat. Tesis ini meruntuhkan tesis lama yang berpandangan sebaliknya. Dalam studinya tentang industri fesyen di Barat, ia menyatakan bahwa perancang fesyen (creative designer) merupakan tulang punggung perkembangan industri ini. Karena produk fesyen cepat berubah dari waktu ke waktu, perancang fesyen dituntut menemukan ide baru untuk menghasilkan produk fesyen yang kemungkinan besar dapat merajai arena perdagangan fesyen internasional. Ide baru itu ia peroleh di ‘provinsi makna’. Penulis menyebut terminologi ini sebagai ‘provinsi kreativitas’ karena wilayah itu dihuni oleh pelbagai aktor kreatif. ‘Provinsi kreativitas’ adalah wilayah makna sebagai sumber inspirasi di mana anggota-anggotanya berasal dari latar belakang profesi yang beragam. Dengan kata lain, ‘provinsi kreativitas’ adalah jaringan sosial antar aktor kreatif.

Analisis mikro dan meso tentu banyak manfaatnya. namun kedua analisa tersebut cenderung mengabaikan analisa makro yang menekankan pentingnya hubungan institusi negara, ekonomi, dan masyarakat. Tingkat analisa yang terakhir ini sama pentingnya dengan kedua analisa tersebut dalam mempelajari industri kreatif di Indonesia. Oleh karena itu, penulis berargumentasi bahwa kelekatan kelembagaan (institutional embeddeness) memainkan peran penting dalam mendorong dan menghambat perkembangan industri fesyen di Indonesia.

Pendekatan kelekatan kelembagaan diperkenalkan oleh Block dan Evans (2005). Walaupun mereka tidak membahas secara khusus mengenai industri kreatif, namun kerangka analisisnya dapat membantu menjelaskan dinamika kelembagaan industri distro fesyen di kota Bandung. Secara umum, kelekatan kelembagaan dapat didefinisikan sebagai bentuk hubungan saling ketergantungan antara negara, ekonomi, dan masyarakat. Kelekatan kelembagaan bersifat dinamis dan dapat berubah lewat inovasi kelembagaan (pembaruan internal manajemen perusahaan, pembaruan pola hubungan negara dan perusahaan). Perubahan ini dapat dilakukan oleh aktor dalam negara, ekonomi, mapun masyarakat (Achwan 2012). Kelekatan hubungan yang saling melengkapi sering menjadi faktor penting keberhasilan kegiatan bisnis.

K E L E K A T A n K E L E M B A g A A n | 145

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

BA n DU ng: KOTA K R E AT I F

Kota Bandung dikenal memiliki banyak wajah. Bandung dikenal sebagai “Paris from Java” di zaman dahulu, sementara di zaman sekarang Bandung dijuluki sebagai kota mode atau fesyen. Beberapa tahun yang lalu, kota Bandung menerima penghargaan sebagai salah satu kota kreatif di belahan Asia Pasifik. Salah satu faktor yang mendorong popularitas tersebut adalah semangat warganya berasosiasi atau berhimpun (spirit of association) untuk mengejar tujuan kemasyarakatan tertentu. Asosiasi-asosiasi warga tersebut membentuk keberagaman aktivitas kreatif mulai dari musik, fesyen, kuliner, pelestarian lingkungan hingga siaran radio. Voluntary association atau asosiasi sukarela, suatu tipe organisasi sosial di mana keanggotaannya berdasarkan prinsip sukarela, merupakan unsur penting mengapa Bandung dijuluki sebagai kota kreatif.

Berkumpul dan berdiskusi menjadi darah kehidupan masyarakat kota Bandung. Itulah sebabnya mengapa di kota ini lahir banyak band musik cadas (rock), yang beberapa dikenal luas seperti PAS, Puppen, dan Burger Kill. Kelompok musik ini menggalang kerja sama dengan radio setempat untuk membangun dan memperluas hubungannya dengan publik pengikutnya atau fansnya. Mereka melakukannya dengan menjual t-shirt khusus, gambar, dan kata-kata yang melambangkan identitas musik keras ini. Kegiatan pelestarian lingkungan juga menjadi embrio aktivisme Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Common Room. Aktivisme ini bertujuan mempengaruhi kalangan pengambil keputusan publik, dunia bisnis, dan masyarakat luas mengenai pentingnya lingkungan dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dewasa ini aktivisme lingkungan ini memainkan peran penting sebagai watchdog alokasi anggaran pemerintah kota (Achwan dan ganie-Rochman 2009).

Rangkaian asosiasi sukarela ini juga berinteraksi dengan lembaga pendidikan tinggi setempat. Sejumlah dosen memainkan peran aktif dalam mendorong asosiasi sukarela berkembang. Mereka membentuk Bandung Creative City Forum (BCCF). Dalam seminar mengenai industri kreatif di Universitas Pajajaran di Bandung pada tanggal 18 Juli 2012, ketua forum, seorang arsitek dan sekarang (tahun 2013) menjadi wali kota di kota tersebut mengatakan:

146 | R O C H M A n A C H W A n

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

“Berkumpul dan berdiskusi sebagai kebiasaan masyarakat Bandung dapat didefinisikan sebagai modal sosial sepanjang kegiatan tersebut menemukan solusi atas masalah sosial yang ada. Tanpa solusi, berkumpul dan berdiskusi tidak ada gunanya”.

BCCF dibentuk 21 Desember 2008 dengan tujuan menciptakan lingkungan yang mendukung komunitas dan wirausaha kreatif berkembang. Fokus utama kegiatannya adalah melakukan pendidikan berbasis kreativitas, perbaikan perencanaan infrastruktur kota, city branding, dan pengembangan jaringan bisnis. Forum ini juga membentuk Creative Entrepreneur Networks (CEn) sebagai pusat jaringan pembentukan kerjasama bisnis. CEn bekerja sama dengan kreative Independent Clothing kommunity (KICK), komunitas tempat bernaung pengusaha distro fesyen. KICK menyelenggarakan forum diskusi rutin tentang dunia fesyen dengan mengundang pelaku bisnis yang telah berhasil sebagai narasumber. Asosiasi ini menyelenggarakan festival fesyen setiap tahun di Bandung memamerkan hasil rancangan fesyen terbaru dari anggotanya.

Tidaklah berlebihan bila kota Bandung disebut sebagai kota dengan ciri masyarakat yang kuat (strong society), karena kota ini ditandai oleh tradisi semangat berhimpun. Keseluruhan asosiasi sosial ini sesungguhnya dapat mentransformasikan diri dari tujuan sosial menjadi tujuan ekonomi dan politik. Akan tetapi, transformasi tersebut memerlukan kecakapan pemimpin dan kelembagaan di dalam tubuh asosiasi itu sendiri sehingga mereka dapat menjalin kerjasama dengan dunia bisnis dan pemerintah setempat.

DIS T RO FE S Y E n DA n ‘PROV I nSI K R E AT I V I TA S’

Distro fesyen muncul pada dasawarsa sembilan puluhan sebagai kelanjutan menjamurnya factory outlet (FO) di Bandung. Distro fesyen menjual busana pria dan wanita, tas, sepatu dan, merchandise lain yang melambangkan identitas khusus bagi para pemakainya. Kemunculannya tidak dapat dilepaskan dari aktivisme kelompok pemuda yang bernaung dalam Reverse Music Studio. Studio musik ini adalah markas besar kelompok pemuda kreatif Bandung. Di samping memproduksi compact disk musik indie dan aksesori musik, studio musik ini juga menjual merchandise yang melambangkan identitas

K E L E K A T A n K E L E M B A g A A n | 147

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

khusus. Desain t-shirt atau kaos oblong untuk kaum muda pendukung atau fans musik indie, misalnya, berbeda dengan fans musik rock. Identitas khusus juga mewarnai busana kelompok hobi seperti klub pecinta mobil VW klasik dan klub Harley-Davidson. Bahkan tata letak interior gerai busana mencerminkan identitas tertentu. Seorang pengusaha distro fesyen mengatakan:

“Saya memiliki ide khusus sebelum menyiapkan rancangan busana termasuk T-shirt untuk kelompok sasaran yang ingin saya tuju. Ide tersebut saya wujudkan dalam identitas khusus produksi busana untuk klub pencita VW, pencita Sepeda, pencita Marcedes Benz, dan pencita musik tradisional. Klub-klub ini merupakan kelompok strategis yang dapat mempengaruhi calon pelanggan membeli produk busana yang saya hasilkan” (wawancara dengan pemilik perusahaan C59, 27 Juli 2012).

Ada dua perbedaan utama antara FO dengan distro fesyen. Pertama, FO menjual busana atau fashionable apparel dan merchandise lain dengan ‘merek dagang internasional terkenal’, sedangkan distro fesyen menjual komoditi yang sama dengan merek dagang sendiri dengan jumlah produksi yang terbatas. Pelaku bisnis setempat, sembari berbisik, mengatakan bahwa merek busana yang dijual di FO tidak asli. Kedua, FO didukung oleh modal besar dan gerai penjualannya yang luas terletak di wilayah paling bergengsi di kota Bandung. Dewasa ini sejumlah FO mengembangkan konsep one stop shopping dengan menyediakan gerai kuliner yang lengkap dan luas atau food court dan tempat bermain anak.

Menjamurnya FO tidak dapat dipisahkan dengan dua perkembangan yang terjadi di kota itu. Pertama, pembukaan jalan tol Cipularang memungkinkan meningkatnya para pelancong akhir pekan dari Jakarta berbelanja di Bandung. Dewasa ini, perjalanan mobil dari Jakarta ke Bandung dapat dicapai dalam waktu satu setengah jam dibandingkan sebelumnya empat jam. Kedua, dibukanya bandara di Bandung sebagai bandara internasional memungkinkan perusahaan penerbangan yang beranggaran murah mendarat di bandara tersebut. Dewasa ini jumlah wisatawan dari Malaysia yang pergi berbelanja ke Bandung semakin meningkat. Kedua perkembangan tersebut mendorong menjamurnya FO di Bandung. Menurut pengusaha FO

148 | R O C H M A n A C H W A n

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

yang sudah mapan, ia dapat memperoleh keuntungan bersih sekitar 50-100 juta rupiah per pekan (Harian Bisnis Indonesia, 17 September 2010).

“Berbeda dengan FO, distro fesyen mengembangkan konsep pemasaran yang mereka sebut sebagai premium store, konsep yang menggabungkan pemasaran fesyen independen dan eksklusif dengan café dan salon kecantikan atau hanya fesyen eksklusif. Ukuran gerainya tidak seluas gerai FO dan lokasinya di daerah kelas dua bergengsi di kota itu. Umumnya pemilik distro fesyen adalah pengusaha muda yang baru menamatkan kuliahnya di perguruan tinggi. Mereka memiliki modal yang terbatas dan menciptakan merek dagang sendiri. Merek dagangnya tergolong unik dengan sentuhan bahasa Inggris. Merek dagang tersebut antara lain Airplane Systm, Evil Army, Hyperfreak, Ouval Research, Anonim, Flashy, Harder, no Label, Monik, dan Riotic. Sementara data resmi tidak tersedia, diperkirakan jumlah pengusaha distro fesyen sekitar 160” (wawancara dengan Ketua kICk, 22 Juni 2012).

Perkembangan distro fesyen ditandai dengan dua tipe menonjol. Pertama, distro fesyen yang memproduksi barang dagangan dengan kualitas rendah dengan kelompok remaja dari latar belakang ekonomi menengah dan rendah sebagai target sasaran. Kelompok distro ini memiliki gerai di lokasi yang kurang bergengsi seperti di Parahiyangan Plaza. Mereka menjual barang dagangannya lewat pedagang perantara dalam jumlah besar (grosir) dan pedagang tersebut menjualnya ke kota-kota kecil di seluruh Indonesia. Kedua, kelompok distro yang tetap berusaha memegang ‘doktrin’ eksklusivisme fesyen. Seperti telah dijelaskan, kelompok ini memiliki gerai di daerah bergengsi kelas dua di kota Bandung. Mereka saling berkompetisi dan berjuang menduduki posisi strategis dalam arena pasar fesyen eksklusif. Kerasnya kompetisi ini ditandai oleh perubahan model fesyen yang cepat dari model fesyen lama ke model yang baru.

Walaupun pelaku bisnis ini cukup banyak, namun perlu dipelajari seberapa besar peran lingkungan sosial budaya dalam mendorong terciptanya produk fesyen sebagai karya seni dan komersial. Berbeda dengan industri konvensional, industri distro fesyen memperhitungkan dimensi estetika dalam memproduksi fesyen. Posisi strategis dimensi

K E L E K A T A n K E L E M B A g A A n | 149

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

estetika ini mendorong aktor terus menerus berinteraksi dengan aktor lain baik yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan industri kreatif. Fesyen jalanan (street fashion) di Jepang adalah contoh yang menarik. Perusahan-perusahan besar fesyen di Jepang selalu memantau “the state of the art” fesyen jalanan sebelum memproduksi busana dan merekrut pemimpin fesyen jalanan tersebut menjadi pegawainya (Kawamura 2006).

Dalam artikelnya berjudul Contextual knowledge, Aspers (2006) memperkenalkan konsep ‘provinsi makna’, ‘provinsi kreativitas’, yang menekankan arti penting sumbangan struktur sosial dalam mendorong keberhasilan industri fesyen. Seperti telah dijelaskan, perancang fesyen atau busana menduduki posisi strategis dalam industri tersebut. Ia harus mengembangkan hubungan dengan aktor-aktor kreatif lain, seperti wartawan foto model, pemimpin redaksi majalah busana, penjahit, konsumen, dan seniman untuk menemukan ide dalam membuat disain fesyen yang baru.

Studi Aspers tersebut sangat berharga karena ia menemukan masyarakat kreatif sebagai variabel bebas dalam kaitannya dengan keberhasilan industri fesyen. Ia juga berhasil dalam mengubah asumsi yang selama ini mendominasi studi industri fesyen. Menurutnya, bukan individu yang menentukan kreativitas perancang busana, melainkan masyarakat. namun demikian, ia nampaknya mengabaikan pengaruh lingkungan institusional makro dalam membentuk organisasi industri fesyen.

Berbeda dengan studi Asper tentang industri fesyen di Barat, kualitas jaringan ‘provinsi kreativitas’ antar pelaku industri distro fesyen di Bandung tergolong masih rendah. Jaringan mereka yang terbatas ditandai oleh hubungan konvensional dengan pemasok bahan baku, pewarna benang dan kain, serta penjahit. Jaringan hubungan semacam ini tentu menyulitkan perancang busana dalam melahirkan ide baru dalam mendesain fesyen. Mereka hanya mengandalkan internet dalam mendesain fesyen baru.

TA n TA ng A n DA n PE LUA ng

Rendahnya kualitas ‘provinsi kreativitas’ ini melahirkan sejumlah tantangan besar yang harus dihadapi oleh para pengusaha distro fesyen. Tantangan besar tersebut mereka hadapi di bidang produksi, distribusi, dan hubungan mereka dengan institusi negara. Tantangan

150 | R O C H M A n A C H W A n

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

pertama, menyangkut persaingan yang sangat keras melawan produk busana dari Cina dan FO. Produk busana luar negeri, terutama dari Cina, mulai menyerbu pasar domestik semenjak dilaksanakannya perjanjian pasar bebas Cina-Asean tahun 2010. Produk busana Cina bukan saja mempengaruhi industri distro fesyen di Bandung, namun juga menyaingi industri garmen yang tersebar di Pulau Jawa. Di Bali, eksportir garmen mengalami keresahan akibat penetrasi produk Cina di arena internasional (Achwan 2013).

Seperti pengusaha distro fesyen, pengusaha FO juga memanfaatkan citra dan ciri kota Bandung sebagai kota yang menghargai gaya (style) dan kebebasan berkarya. Kapitalisasi budaya setempat oleh pengusaha FO mengakibatkan berkurangnya keunikan sentuhan kreativitas pengusaha distro fesyen. Keadaan ini diperparah dengan harga jual busana di distro fesyen yang lebih mahal dibandingkan dengan harga jual di FO. Tekanan dari pengusaha FO ini sering mengakibatkan terjadinya pembajakan perancang kreatif (creative designer) distro fesyen oleh perusahaan garmen bermodal besar.

Semua tantangan tersebut mendorong terjadinya ketegangan antar pemilik distro fesyen dan berakibat pecahnya kerjasama untuk menggalang bisnis mereka. Dewasa ini muncul keresahan antar pengusaha distro fesyen, terutama yang berlokasi di wilayah bergengsi, mengenai masa depan bisnis mereka:

“Kita sekarang dapat menggolongkan dua tipe distro fesyen yang berlokasi di daerah bergengsi. Pertama, pengusaha distro oportunis. Pengusaha tipe ini cenderung mengejar keuntungan semaksimal mungkin tanpa memperdulikan identitas produk yang dihasilkan. Ruang pamernya (showroom) dipenuhi oleh busana fesyen dengan kualitas rendah dan jumlah tidak terbatas. Mengunjungi ruang pamer mereka seolah-olah sedang mengunjungi pusat perbelanjaan Tanah Abang. Kedua, pengusaha distro idealis. Pengusaha ini tetap mempertahankan keseimbangan antara tujuan komersial dan seni” (wawancara dengan pengusaha distro fesyen, 1 Juli 2012).

Kedua, tantangan di arena nasional dan internasional. Tantangan ini sering dihadapi oleh pengusaha besar yang telah lama berkecimpung di dunia distro fesyen. Walaupun mereka berhasil menjalin kerjasama dengan pelaku bisnis nasional maupun

K E L E K A T A n K E L E M B A g A A n | 151

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

internasional, mereka tetap gagal menduduki posisi strategis di arena pemasaran fesyen. Akibatnya, mereka gagal melakukan transformasi dari organisasi industri yang sederhana menjadi organisasi modern:

“Saya telah mengembangkan pelbagai strategi pemasaran produk fesyen semenjak dasawarsa sembilan puluhan. Saya mulai menjadi pemasok produk fesyen ke sejumlah toko serba ada (department stores) di kota-kota besar di Indonesia. Toko serba ada berubah menjadi ‘patron’ yang tidak sehat karena mereka mengontrol setiap tahap transaksi bisnis. Saat ini saya mengembangkan strategi pemasaran baru dengan mengundang pengusaha kecil, menengah, dan besar untuk memproses produksinya di pabrik yang saya miliki. Mereka membayar dengan sistem borongan. Di samping itu saya tetap menjaga hubungan dengan kelompok hobi sebagai konsumen setia” (wawancara dengan pengusaha besar distro fesyen, 27 Juli 2012).

Pola hubungannya dengan toko serba ada jauh berbeda dibandingkan dengan pola hubungan sejenis di Taiwan dan Korea Selatan. Dalam wawancaranya dengan Vadim Radaev, ahli sosiologi ekonomi Rusia, gary Hamilton, penulis buku Market Makers (2012) menjelaskan:

“Keberhasilan ekonomi Taiwan dan Korea Selatan ditandai oleh kesinambungan pola hubungan saling menguntungkan antara pengusaha busana di kedua negara tersebut dengan sejumlah pengusaha toko serba ada di Amerika Serikat. Pengusaha Amerika pergi ke kedua negara tersebut membangun hubungan bisnis dengan menawarkan ‘contract manufacture’ dengan pengusaha fesyen setempat untuk memproduksi fesyen yang telah disetujui bersama. Pesrsetujuan tersebut meliputi kualitas, kuantitas, desain, dan merek. Pengusaha Amerika juga menawarkan kredit murah. Dalam dasawarsa berikut, kerja sama bisnis ini memungkinkan pengusaha Taiwan dan Korea memiliki kemampuan memproduksi fesyen dan mengekspor ke Amerika dengan menggunakan merek dagang sendiri” (Radaev 2012:35).

152 | R O C H M A n A C H W A n

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

Pandangan Hamilton sejalan dengan gereffi (2005) mengenai arena perdagangan global. gereffi membedakan antara internasionalisasi ekonomi dengan globalisasi ekonomi. Konsep yang pertama sekedar menunjuk pada perluasan kegiatan ekonomi melintasi batas negara. Sedangkan, konsep yang kedua menunjuk pada integrasi fungsional kegiatan ekonomi yang tersebar di ranah internasional. Arena ekonomi dan perdagangan internasional dibentuk oleh rentetan panjang aktor ekonomi yang terintegrasi secara fungsional.

gereffi memperkenalkan konsep yang ia sebut sebagai Global Commodity Chains (gCC) untuk menggambarkan bekerjanya globalisasi ekonomi di bidang bisnis busana (apparel). Salah satu komponen gCC adalah rantai nilai yang digerakkan oleh pembeli (buyer-driven chain). Aktor utama dari gCC ini memiliki kekuasaan dalam menentukan desain dan pemasaran produk busana. Keberhasilan bisnis busana di Taiwan dan Korea Selatan, menurut gereffi, disebabkan pengusaha di kedua negara tersebut berhasil menjadi bagian penting dari gCC di bidang busana. ‘Keanggotaan’ dalam gCC tidaklah mudah karena aktor pengikut (pengusaha busana Taiwan dan Korea Selatan) perlu memiliki keahlian dalam industri busana, memiliki keunggulan komparatif dibanding dengan pengusaha sejenis dari negara lain, dan dipercaya menepati waktu dalam pengiriman barang ke negara tujuan. Itulah sebabnya banyak negara seperti Indonesia mengalami kegagalan dalam industri garmen, busana, dan fesyen, karena kesulitan memasuki gCC.

Ketidakberhasilan pengusaha besar di bidang fesyen di Bandung menjadi bagian dari gCC mengubah strategi pemasaran dari orientasi internasional menjadi orientasi domestik. Seperti telah disinggung sebelumnya, pengusaha besar fesyen mengambil jalan tradisional dengan menghidupkan kembali sistem borongan (putting out system). Sistem ini memungkinkan pengusaha fesyen yang ada menyerahkan bahan mentah untuk diproduksi di pabriknya. Sistem ini ia tempuh dengan tujuan mempertahankan identitas sebagai pelopor dan pengusaha fesyen yang berhasil. Dalam dunia fesyen, identitas memiliki posisi penting dalam mempertahankan keberadaannya. Tiga cara yang ia tempuh untuk mempertahankan identitas fesyen, antara lain: study tour ke pabrik fesyen miliknya, menjadi motivator kewiraswastaan tingkat nasional, dan mempertahankan produksi t-shirt.

K E L E K A T A n K E L E M B A g A A n | 153

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

Ia melakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar di Jakarta dan biro perjalanan dalam merancang study tour. Peserta study tour dapat menyaksikan semua proses produksi fesyen, mendengarkan ceramah mengenai asal usul dan perkembangan industri distro fesyen hingga mengunjungi ruang pamer yang tersedia di pabrik tersebut. Sebagai motivator kewiraswastaan, pengusaha besar ini sering melakukan perjalanan ke kota-kota besar di Indonesia, mendiskusikan pengalamannya dalam mengelola produksi dan distribusi produk fesyen. Keseluruhan cara yang ia tempuh mengandung pesan dan makna khusus. Ia ingin mengatakan kepada publik di seluruh Indonesia bahwa perintis distro fesyen di Bandung bukanlah pengusaha FO atau pengusaha busana lain akan tetapi dirinya sendiri.

Ketiga, organisasi internal industri distro fesyen. Industri ini mudah dimasuki oleh setiap orang mengingat modal yang diperlukan tidak terlalu besar. Mudahnya setiap orang menjadi pengusaha di industri ini membentuk struktur sosial yang relatif heterogen. Itulah sebabnya mengapa persaingan yang keras antar pengusaha distro fesyen mengakibatkan gulung tikarnya bisnis ini:

“Cukup banyak industri distro fesyen yang gulung tikar di tahun 2009. Karena industri tersebut tidak dikelola oleh seorang yang berjiwa wiraswasta. Mereka tidak memiliki visi dan pengalaman mengelola bisnis. Meraka sekedar melakukan dengan trial and error. Sering kerjasama membentuk bisnis antar mereka tidak berlanjut karena perbedaan pandangan yang tidak dapat dijembatani” (wawancara dengan tim peneliti industri kreatif, Sekolah Bisnis dan Manajemen, ITB, 10 Juli 2012).

Kutipan di atas cenderung mewakili situasi sebagian besar pengusaha distro fesyen. Umumnya, mereka belum memiliki standar baku mengenai kualitas bahan dasar dan cita rasa calon konsumen. Berbeda dengan pengusaha fesyen di Jepang, pengusaha di Bandung cenderung mengabaikan peran konsumen atau pelanggan dalam memberi sumbangan kepada penciptaan desain fesyen baru. Secara individual, mereka mendefinisikan sendiri rancangan dan produk fesyen tanpa melibatkan aktor kreatif lain. Mereka cenderung mengarahkan desainnya untuk calon konsumen dari kalangan status sosial yang tinggi.

154 | R O C H M A n A C H W A n

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

Cara ini mengingatkan kalangan ahli sosiologi ekonomi mengenai tesis yang dikembangkan oleh Throstein Veblen (2007). Dalam studinya mengenai kaitan antara fesyen dan status sosial, Veblen berargumentasi bahwa kelompok status sosial tinggi harus menjadi sasaran pasar agar industri fesyen dapat berkembang dan maju. Hal itu karena sekali fesyen tersebut populer di antara anggota kelompok status ini, maka kelompok status sosial dibawahnya akan mengikuti memakai fesyen tersebut. Pandangan Veblen ini sudah lama ditolak oleh ahli sosiologi ekonomi karena kenyataannya fesyen tidak mengenal latar belakang kelas sosial. Sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Moeran (2006) di Eropa, Kawamura di Jepang (2006), dan Entwistle di Inggris (2006), justru menyimpulkan masyarakat konsumen memegang peran penting dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan produk fesyen.

Dari uraian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa secara umum organisasi internal industri distro fesyen di Bandung masih tergolong sederhana. Organisasi ini ditandai oleh peran dominan pemilik industri sebagai perancang kreatif, produsen, dan penjual dalam waktu yang sama. Peran individu, bukan peran jaringan bisnis, cenderung menjadi prinsip pengaturan dominan dalam produksi dan distribusi produk fesyen. Dominannya peran individu ini sesungguhnya mendorong kerentanan bisnis fesyen itu sendiri. Sebab bila terjadi serbuan produk fesyen dari luar maka organisasi bisnis tersebut mudah retak dan akhirnya tenggelam.

Kegairahan asosiasi sukarela yang menjadi ciri masyarakat Bandung ternyata belum dapat meresap dan membentuk jaringan kreatif bisnis fesyen. Ketiga tantangan yang telah dibahas tersebut di atas terlalu berat dipikul oleh masyarakat distro fesyen. Pengusaha distro fesyen sulit menaiki tangga ekonomi yang lebih tinggi di arena bisnis ini. Akibatnya mereka mengalami kesulitan membentuk jaringan hubungan bisnis dengan aktor kreatif lain yang ada di Bandung maupun Indonesia. Situasi semacam ini membuat kelekatan institusional internal atau kerjasama bisnis antar mereka dan inovasi kelembagaan sulit terjadi.

Keempat, kelemahan peran negara. Pemerintah Kota Bandung sudah lama mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi industri kecil. Salah satu pusat pertumbuhan tersebut adalah Sentra Binong Jati yang memproduksi pakaian wanita, anak-anak, kerundung muslim, dan menjual benang tenun. Pada umumnya, hasil

K E L E K A T A n K E L E M B A g A A n | 155

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

produksinya dijual di Pasar Tanah Abang Jakarta. Keahlian menjahit pakaian merupakan kelebihan dari sentra ini. Yang lainnya adalah Sentra Suci, yang dikenal sebagai pusat sablon di Bandung. Para penyablon memiliki keahlian dalam mencampur pewarna tekstil. Para pelanggan datang dari Kota Bandung dan kota sekitarnya. Pemerintah kota juga menyelenggarakan pameran tahunan karya yang dihasilkan oleh pengusaha kecil dan menengah.

Walaupun langkah-langkah yang dilakukan pemerintah kota itu penting, namun sentra-sentra tersebut belum mampu membentuk jaringan provinsi kreativitas dengan pengusaha distro fesyen, karena masing-masing sentra berkembang mencari ceruk pasar sendiri. Kalangan pengusaha distro fesyen menyatakan pemerintah kota sesungguhnya belum memiliki rencana strategis pengembangan industri ini. Dalam seminar industri kreatif yang diselenggarakan oleh pemerintah kota di Universitas Pajajaran 18 Juli 2012, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengecam walikota Bandung. Ia mengatakan, bagaimana mungkin Bandung dapat meraih predikat kota kreatif bila walikota sebagai penyelenggara seminar tidak hadir? Dan anehnya panitia penyelenggara tidak dapat menjelaskan mengapa Walikota tidak dapat hadir. Sedangkan pembicara lain, ketua BCCF mengatakan sebagai berikut:

“Masyarakat ekonomi kreatif di Bandung tidak memerlukan dukungan finansial dari pemerintah kota. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah kota adalah menyiapkan infrastruktur jalan yang layak agar kemacetan dapat dipecahkan. Bila infrastruktur jalan dibenahi maka industri kreatif di Bandung dapat berkembang.”

Walaupun tantangan besar menghantui masa depan pengusaha distro fesyen, namun ada sejumlah indikasi yang kemungkinan besar dapat mengurangi beban tantangan yang sedang dihadapi oleh mereka. Pertama, terpilihnya ketua BCCF sebagai walikota Bandung. Ia dosen arsitektur di institut teknologi ternama di kota itu. Berbeda dengan di Jakarta, dosen-dosen di universitas di Bandung menjalin hubungan dengan asosiasi sukarela di pelbagai kehidupan kemasyarakatan. Lewat karya arsitekturnya yang telah dinikmati oleh banyak kalangan dan rentetan kegiatan produktif BCCF, walikota terpilih dapat berperan

156 | R O C H M A n A C H W A n

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

sebagai jembatan penghubung antara pengusaha distro fesyen dengan pelbagai kelompok ekonomi di kota itu.

Kedua, kemunculan pengusaha busana besar membangun ‘rumah perdagangan’ (trading house) di Bandung. Pengusaha muda ini berpengalaman luas dibidang pertekstilan dan memiliki pabrik garmen bermerek Watchout. Produk Watchout dapat ditemukan di toko serba ada yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Ia menyatakan pandangannya mengenai masa depan industri busana di kota Bandung:

“Saat ini saya sedang merintis ‘rumah perdagangan’, berfungsi sebagai pusat pembelian dan penjualan busana, termasuk produk distro fesyen, tingkat nasional. Langkah pertama yang sedang saya lakukan adalah pelatihan pengusaha distro fesyen dan pengusaha busana lain memproduksi busana dengan standar yang lebih baik. Langkah kedua adalah menampung hasil produksi mereka dan dijual oleh rumah perdagangan” (wawancara dengan pemilik ‘rumah perdagangan’, 16 Juni 2012).

Usahanya melakukan pelatihan kepada pengusaha busana dapat dipertimbangkan sebagai langkah awal dalam perjalanan panjang membangun kembali industro distro fesyen. Ia dapat bekerjasama dengan KICK, asosiasi pengusaha distro fesyen dalam melakukan inovasi desain sekaligus mendorong kerjasama antar pengusaha dis-tro fesyen. Sebab kerjasama bisnis dan membangun jaringan bisnis, bukan bekerja secara individual, sudah menjadi aturan umum dalam dunia bisnis.

Ketiga, kemudahan pinjaman dari bank swasta. Bank konvensional, baik pemerintah maupun swasta, tidak dapat memberikan pinjaman kepada para pengusaha distro fesyen karena mereka tidak memiliki agunan yang cukup sebagai persyaratan peminjaman. namun berkat lobi yang dilakukan oleh ketua asosiasi distro fesyen (KICK), satu bank swasta bersedia memberikan pinjaman kepada anggota atas rekomendasi asosiasi tersebut (wawancara dengan ketua KICK, 30 Juni 2012). Langkah bank swasta ini patut ditiru oleh bank lain dalam membawa kembali kelompok pengusaha distro fesyen ke dalam arus utama perekeonomian busana di Bandung.

K E L E K A T A n K E L E M B A g A A n | 157

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

Indonesia merupakan contoh sukses di mana dunia perbankan menggunakan cara-cara yang tidak kaku dalam memberi pinjaman kepada para nasabah. BRI unit desa dan Badan Kredit Kecamatan (BKK) menjadikan kepala desa sebagai ‘agunan’ bagi warganya yang ingin meminjam kredit. Kinerja keuangan kedua lembaga perbankan tersebut justru berhasil terbukti dengan kecilnya persentase kredit bermasalah (Achwan 2012).

Keempat, peluang kerjasama dengan pengusaha busana besar. Peluang ini tetap terbuka sejauh pengusaha distro fesyen telah memiliki identitas produk di arena pemasaran busana di Bandung. Seorang pengusaha muda distro fesyen berhasil melakukan kerjasama dengan pengusaha busana nasional. Kerjasama tersebut dalam bentuk penggabungan perusahaannya ke dalam salah satu divisi di perusahaan nasional tersebut. Pengusaha muda tersebut memperoleh saham 50 persen dan tetap dipercaya memimpin divisi tersebut (wawancara dengan pemilik distro fesyen Mahanagari, 25 Juli 2013).

Distro fesyen ini memproduksi t-shirt dan merchandise yang melambangkan kekayaan budaya setempat seperti bangunan bersejarah, musik angklung, dan lain lain. Bisnis budaya ini menarik perhatian turis mancanegara. namun, setelah terjadinya Bom Bali 2002, bisnis mereka mulai merosot. Dalam beberapa tahun terakhir, pengusaha muda tersebut bangkit kembali dengan menyewa gerai di sejumlah pusat perbelanjaan di Bandung untuk memasarkan produk budayanya.

Kelima, rencana kerjasama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) kota Bandung dengan pengusaha busana dari Cina dan Hongkong. Mereka sedang merintis perjanjian “Contract Manufacture”, di mana pengusaha Asia Timur tersebut memiliki kekuasaan dalam menentukan kualitas, standar, dan merek dagang. Perjanjian semacam ini, seperti telah dijelaskan oleh Hamilton, telah membawa keberhasilan industri busana di belahan Asia tersebut. Kadin dapat memainkan peran sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pengusaha Asia Timur dengan pengusaha distro fesyen. Sesungguhnya contract manufacture dapat membuka saluran perdagangan baru yang menghubungkan bisnis fesyen di Bandung dengan pasar busana internasional.

Jalan panjang nampaknya harus ditempuh oleh pengusaha distro fesyen mengingat beban tantangan yang harus dihadapi. namun, kekuatan pendorong ke arah kemajuan industri ini juga tersedia di

158 | R O C H M A n A C H W A n

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

Bandung. Masa depan industri distro fesyen akan bergantung pada kemampuan pengusahanya dalam memecahkan tantangan tersebut dan mendorong kekuatan konstruktif menuju kemajuan industri fesyen.

K E SI M PU L A n

Dari keseluruhan pembahasan tersebut di atas nampak dengan jelas bahwa kerapuhan kelekatan kelembagaan mewarnai perkembangan industri distro fesyen di Bandung. Kerapuhan ini bukan saja terjadi antar lembaga makro, namun juga jaringan hubungan antar aktor dalam industri itu sendiri. Pemerintah kota cenderung enggan mendorong perkembangan industri ini. Rendahnya posisi pengusaha industri ini di arena pemasaran fesyen mengakibatkan mereka mengembangkan prinsip pengaturan ekonomi yang bersifat individual. Provinsi kreativitas sebagai darah kehidupan bisnis fesyen telah gagal berkembang. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimana melekatkan antar institusi makro dan bagaimana menumbuhkan provinsi kreativitas agar supaya industri ini berkembang.

Seperti telah dibahas, Block dan Evans (2005) menyatakan bahwa kehidupan ekonomi tidaklah berdiri sendiri. Ia saling melekat dengan institusi negara dan asosiasi atau jaringan bisnis. Menurutnya, pende-katan kelekatan kelembagaan bersifat dinamis. Ia berubah sepanjang waktu lewat inovasi kelembagaan yang dilakukan di tubuh negara, ekonomi ataupun asosiasi. Kelekatan antar lembaga tersebut dapat membawa akibat positif dan negatif terhadap perkembagan ekonomi.

Dengan menggunakan pendekatan ini, dua isu dapat diidentifikasi. Pertama, rapuhnya kelekatan pemerintah kota dengan industri distro fesyen. Kedua, rapuhnya kelekatan antar pelaku didalam industri tersebut. Kerapuhan ini dapat di atasi lewat perubahan kelembagaan yang dapat saja dilakukan oleh aktor didalam institusi pemerintah kota, Kadin, ataupun asosiasi. Kini telah muncul aktor perubahan di masing-masing institusi tersebut. Bila mereka – walikota baru, pemilik rumah perdagangan, ketua Kadin kota dan, ketua KICK – dapat menjalin hubungan konstruktif, maka industri distro fesyen di Bandung akan berkembang. Masa depan industri distro fesyen di Bandung akan bergantung pada perjuangan kekuatan perubahan melawan kekuatan perusak kelekatan kelembagaan.

K E L E K A T A n K E L E M B A g A A n | 159

Jurna l Sosiolog i M ASYA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju l i 2013: 139-160

DA F TA R PUS TA K A

Achwan, Rochman. 2012. “The Fountain of Love Credit Union: A Vibrant Microfinance Institution in A Hostile Inter-Ethnic Society”. Asian Case Research Journal 16 (1): 93-114.

Achwan, Rochman, dan Meuthia-ganie Rochman. 2009. “Civic Or-ganisations and governance Reform in Indonesian Cities”. Asian Journal of Social Science 37: 799–820.

Adkins, Barbara, et al. 2007. ”Ecologies of Innovation: Symbolic Aspects of Cross-Organizational Linkages in the Design Sector in an Australian Inner-City Area”. Dalam  American Behavioral Scientist, 50 (7): 922-934.

Asper, Patrick. 2006. “Contextual Knowledge”. Current Sociology 54: 745-763.

Block, Fred, dan Peter Evans. 2005. “The State and the Economy”. In n. Smelser, & R. Swedberg, (eds.), the Handbook of Economic Sociology (2nd Edition). Princeton: Princeton University Press.

Caves, Richard E. 2003. “Contract between Art and Commerce”. the Journal of Economic Perspectives 17 (2): 73-84.

Donald, Betsy. 2010. “The Creative Economy”. Paper presented at the Queen’s University Monieson Centre Seminar Series, January 26.

Entwistle, Joanne. 2006. “The Cultural Economy of Fashion Buying”. Current Sociology 54: 704-724.

gereffi, gary. 2005. “The global Economy: Organization, gover-nance, and Development”. In n. Smelser, & R. Swedberg, (eds.), the Handbook of Economic Sociology (2nd Edition). Princeton: Princeton University Press.

greenwood, Royston et al. 2008. Handbook of Organisational Institutionalism. London: Sage.

Kawamura, Yuniya. 2006. “Japanese Teens as Producers of Street Fas-hion”. Current Sociology 54: 784–801.

Knoke, David. 2001. Changing Organization: Business Networks in New Political Economy. Westview.

Kong, Lily dan Justin O’Connor (eds.). 2009. Creative Economies, Creative Cities: Asian-Eropean Perspectives. Springer.

Moeran, Brian. 2006. “More than Just a Fashion Magazine”. Current Sociology 54: 725-744.

Radaev, Vadim. 2012. “Interview with Professor gary Hamilton”. Economic Sociology-the European Electronic Newsletter 13 (3): 34-40.

Porter, Michael E. 1998. “The Adam Smith Address: Location, Clusters, and the “new” Micro-economics of Competition”. Business Economics, January 1998: 7-13

Swedberg, Richard. 2006. “The Cultural Entrepreneur and the Creative Industries: Beginning in Vienna”. Journal of Cultural Economics 30: 243-261.

Veblen, Thorstein. 2007. the theory of the Laisure Class. Oxford: Oxford University Press.