journal edit

35
Pedoman Bologna untuk diagnosis dan penatalaksanaan adhesive small bowel obstruction (ASBO): 2013 update pedoman berbasis- bukti dari perkumpulan kelompok kerja dunia bedah darurat ASBO Salomone et al Latar belakang pedoman WSES Obstruksi perlekatan usus halus atau adhesive small bowel obstruction memerlukan penatalaksanaan yang sesuai dengan diagnosis dan jalur terapeutik yang benar. Indikasi dan lamanya penatalaksanaan non- operatif serta waktu yang tepat untuk dilakukan operasi yang menunjukkan masalah yang berbahaya. Tertundanya pembedahan dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara substansial. Namun, laparotomi dan adhesiolisis berulang dapat memperburuk proses terjadinya perlengketan dan beratnya. Selain itu, beberapa tambahan dalam peningkatan tingkat kesuksesan NOM dan menklarifikasi indikasi serta waktu operasi telah tersedia, seperti medium kontras hiperosmolar larut air. 1

Upload: rahim-mohamad-nor

Post on 08-Nov-2015

67 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

bologna

TRANSCRIPT

Pedoman Bologna untuk diagnosis dan penatalaksanaan adhesive small bowel obstruction (ASBO): 2013 update pedoman berbasis- bukti dari perkumpulan kelompok kerja dunia bedah darurat ASBOSalomone et al

Latar belakang pedoman WSESObstruksi perlekatan usus halus atau adhesive small bowel obstruction memerlukan penatalaksanaan yang sesuai dengan diagnosis dan jalur terapeutik yang benar. Indikasi dan lamanya penatalaksanaan non- operatif serta waktu yang tepat untuk dilakukan operasi yang menunjukkan masalah yang berbahaya. Tertundanya pembedahan dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara substansial. Namun, laparotomi dan adhesiolisis berulang dapat memperburuk proses terjadinya perlengketan dan beratnya. Selain itu, beberapa tambahan dalam peningkatan tingkat kesuksesan NOM dan menklarifikasi indikasi serta waktu operasi telah tersedia, seperti medium kontras hiperosmolar larut air. Tidak ada consensus yang telah dicapai dalam mendiagnosis dan menangani pasien dengan ASBO dan pedoman khusus serta terupdate masih kurang.Kami membuat review menyeluruh dengan literature bahasa Inggris dan menemukan bahwa terdapat sedikit bukti tingkat tinggi pada bidang ini, dan tidak menerangkan manual praktikum secara sistematik. Yang terpenting, tidak ada kriteria diagnostik dan pedoman penatalaksanaan terapetik ASBO yang terstandarisasi, sehingga, kami menentukan standard untuk hal ini. Pedoman Bologna mencakup pengobatan berbasis bukti dan mencerminkan konsensus internasional yang diperoleh melalui diskuksi di kalangan profesional dalam bidang ini pada tanggal 1- 3 Juli 2010, di Pusat Konvensi Belmeloro, Bologna, Itali. Kami bertujuan untuk memvalidasi dan memperbaiki pedoman versi pertama, membuat hipotesis bahwa model, yang terdapat dalam algoritma penatalaksanaan, dapat menjadi prediktif, yang akan mencegah tertundanya penatalaksanaan strangulasi dan dengan sukses membaik.Oleh karena itu, pada tahun 2013 pedoman telah direvisi dan diupdate oleh Kelompok Kerja WSES pada ASBO dengan pengembangan algoritma diagnosis dan penatalaksanaan berbasis- bukti (Gambar 1, Gambar 2).

Gambar 1. Algoritma berbasis bukti untuk diagnosis dan penilaian ASBOLebih lanjut, penatalaksanaan yang biasa dapat membantu untuk menstandarisasi perawatan di seluruh daerah, wilayah, atau Negara dalam memenuhi kebutuhan pemerintah dalam efikasi klinis dan "efisiensi ekonomis" dengan hasil perbaikan hasil dan penurunan biaya. Perbaikan hasil adalah hal yang diinginkan dalam setiap praktek pedoman penatalaksanaan.

Gambar 2. Algoritma berbasis bukti mengenai penatalaksanaan ASBOCatatan mengenai penggunaan pedomanPedoman ini berdasarkan- bukti, dengan tingkat rekomendasi juga berdasarkan bukti. Pedoman menunjukkan metode diagnostic dan terapeutik untuk penatalaksanaan yang optimal dan pencegahan ASBO. Pedoman praktek diumumkan pada kerja ini tidak mewakili standar praktek. Mereka merencanakan perawatan, berdasarkan bukti terbaik yang ada dan konsensus pakar, tetapi mereka tidak menolak pendekatan lain sebagai standard praktek. Sebagai contoh, mereka sebaiknya tidak digunakan untuk memaksa pematuhan terhadap metode penatalaksanaan yang telah diberikan, metode yang mana yang akhirnya menentukan pada kondisi institusi kesehatan yang relevan (tingkat staf, pengalaman, peralatan, dan lain-lain) dan karakteristik pasien. Namun, tanggung jawab terhadap hasil pengobatan terletak pada mereka yang terlibat secara langsung, dan bukan pada kelompok konsensus.DefinisiPerlekatan abdomen, yang terbentuk dalam beberapa jam setelah operasi, menunjukkan penyebab tersering obstruksi usus yang bertanggung jawab terhadap 60% hingga 70% SBO. Obstruksi perlengketan usus halus pasca operasi ditandai oleh adanya nyeri abdomen, muntah, distensi, dan obstipasi, yang dikonfirmasi dengan pencitraan.Faktor- faktor resikoPasien dengan ASBO ditangani non bedah memiliki waktu tinggal dirumah sakit lebih pendek, namun mereka memiliki angka rekurensi yang tinggi, waktu kembali masuk lebih pendek, meskipun resiko operasi dalam menangani ASBO sama (Tingat bukti 2b).SBO dapat diklasifikasikan berdasarkan komplitnya, parsial vs komplit (atau derajat tinggi vs derajat rendah), berdasarkan etiologi: Adesi vs non- adesi, berdasarkan waktu: cepat vs lambat (> 0 hari setelah operasi).Walaupun Zielinski dan Bannon mengajukan untuk menukar focus tradisional dalam membedakan SBO dari NOM yang diprediksi gagal dengan tujuan memaparkan pasien dengan kegagalan yang dapat terjadi.Faktor resiko yang paling penting pada perlekatan SBO adalah jenis operasi dan luasnya kerusakan peritoneal. Teknik prosedur (terbuka VS laparoskopi) berperan penting dalam terjadinya perlekatan terkait morbiditas. Dalam review retrospektif pada 446.331 operasi abdomen, Galinos et al. Menyadari bahwa insidensnya sebesar 7,1% pada kolesistektomi terbuka vs 0.2% pada laparoskopi; 15,6 pada histerektomi total abdomen terbuka vs 0,0% pada laparoskopi; 23,9% pada operasi adnexal terbuka vs 0,0% pada laparoskopi dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara apendektomi terbuka dan laparoskopi (1,4% vs 1,3%).Pada makalah terbaru yang dibuat oleh Reshef et al. Yang membandingkan resiko ASBO pada 205 pasien yang dilakukan operasi laparoskopi kolorektal dan 205 yang dilakukan operasi serupa terbuka, keduanya tanpa riwayat operasi terbuka sebelumnya. Setelah rata- rata follow up selama 41 bulan penulis mendapatkan bahwa walaupun tingkat penerimaan ASBO sama (9% vs 13%, p = 0,3 untuk kelompok laparoskopi yang dan kelompok terbuka), kebutuhan intervensi operasi ASBO secara signifikan lebih rendah setelah operasi laparoskopi (2% vs 8%, p = 0,006). Data- data ini menunjukkan bahwa insidens adesi diduga lebih rendah setelah operasi laparoskopik yang menjadi manfaat jangka panjang dalam menurunkan SBO.Faktor resiko lain yang diketahui mencakup operasi kolon dan rectum (yaitu kolektomi local dengan anastomosis ileal pouchanal), operasi ginekologik, umur kurang dari 60 tahun, laparotomi sebelumnya dalam waktu 5 tahun, peritonitis, multiple laparotomi, operasi darurat, reseksi omental, dan trauma abdomen penetrasi, terutama luka tembak, jumlah episode ASBO sebelumnya yang tinggi.Penilaian awalSetelah pemeriksaan fisik yang akurat dan evaluasi pada WBC, Laktat, Elektrolit, BUN/ kreat; langkah kerja diagnostik pertama ASBO adalah foto abdomen supine dan erek yang dapat menunjukkan multiple air- fluid level, distensi loop- loop usus halus, dan tidak adanya gas pada bagian kolon.Semua pasien yang dievaluasi untuk obstruksi usus halus sebaiknya dilakukan foto polos (Tingkat Bukti 2b GoR C).Penilaian sekunderCT Scan adalah alat diagnostic tinggi pada SBO dan memiliki nilai yang baik pada semua pasien dengan foto polos yng tidak dapat disimpulkan apakah tingkat SBO komplit atau tingkat tinggi SBO. Namun, CT- scan tidak rutin dilakukan dalam proses penentuan- keputusan, kecuali apabila riwayat klinis, pemeriksaan fisik, dan foto polos tidak dapat menyimpulkan diagnosis obstruksi usus halus (Tingkat bukti 2b GoR B).CT scan sering digunakan untuk menkonfirmasi adanya obstruksi komplit dalam mengdiagnosis penyebab SBO, yang juga mengeksklusi patologi non- adesi dan menilai terjadinya strangulasi dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari 90% dan NPV mendekati 100%.Hubungan CT Scan dengan tanda- tanda iskemia usus seharusnya menunjukkan ambang rendah terhadap campur tangan operasi (Tahap Bukti 2a GoR B).Ultrasound memiliki nilai terbatas dalam obstruksi usus atau pada pasien dengan distensi usus, karena udara dapat menggelapkan temuan yang ada. Temuan US yang biasa adalah distensi, peristalsis (diagnosis banding ileus vs SBO mekanis), perbedaan pada lipatan mukosa disekitar titik transisi, cairan bebas (tanda- tanda iskemia).Penggunaan MRI sebaiknya dibatasi pada pasien dengan kontraindikasi CT atau kontras iodin (Tingkat bukti 2c GoR C). Kontras larut- air bernilai pada pasien yang dilakuka penatalaksanaan konservatif non- operatif awal dalam menilai ASBO komplit dan memprediksi kebutuhan operasi (Tingkat Bukti 1b GoR A). Pemberian kontras larut air memiliki nilai diagnostic dan terapeutik.Penyelidikan ini lebih aman daripada barium dalam kasus dan penyebaran peritoneal dan memiliki nilai terapeutik dalam kasus obstruktif adesif usus halus.Penatalaksanaan konservatif dan waktu operasiPenatalaksanaan ASBO menjadi kontroversi karena operasi dapat memicu perlengketan baru, dimana penatalaksanaan konservatif tidak menghilangkan penyebab obstruksi. Penatalaksanaan konservatif melibatkan intubasi nasogastric, pemberian cairan intravena, dan observasi klinis. Strangulasi usus membutuhkan operasi segera, tetapi iskemia usus sulit untuk ditentukan secara klinis. Model operasi perawatan akut atau acute care surgery (ACS) dapat mempengaruhi pasien yang datang dengan SBO karena mereka diserahkan dari dokter bedah ke dokter bedah lain tanpa perawatan definitif. Pasien ini tidak membutuhkan operasi awal tetapi membutuhkan tindakan setelahnya karena terjadinya komplikasi atau jika SBO tidak membaik dengan pengobatan konservatif. Pada satu studi retrospektif di Australia yang dilakukan oleh Lien et al. diperhatikan bahwa, pada periode ACS, tidak terdapat perbedaan tingkat komplikasi atau lamanya tinggal dirumah sakit yang signifikan pada mereka yang di oper dari dokter yang lain maupun yang tidak, pada periode pew- ACS dan ACS.Penulis menyarankan bahwa konsul klinis memberikan titik- audit pada penatalaksanaan dan oportunitas pasien untuk input kolaboratif. Selain itu, partisipasi dokter dengan pengalaman klinis yang tinggi dapat meminimalisir kesalahan dalam transfer informasi akibat peningkatan ketajaman dalam mengetahui komplikasi pasien.Penundaan operasi SBO meningkatkan resiko dilakukannya reseksi usus. Pada review retrospektif yang dilakukan oleh Leung dan teman menemukan bahwa pasien muda (P = 0,001), tanpa riwayat operasi sebelumnya (P