journal dv

15
JOURNAL READING IDENTITAS JURNAL Judul Jurnal : Clinical, epidemiological, and therapeutic profile of dermatophytosis Penulis : Pires CAA, Cruz NFS, Lobato AM, Sousa PO, Carneiro FRO, Mendes AMD Penerbit : Anais Brasileiros de Dermatologia Tanggal Terbit : 25 April 2013 PENDAHULUAN Infeksi jamur pada kulit, utamanya yang disebabkan oleh jamur dermatofita, adalah salah satu infeksi jamur yang paling sering ditemui diseluruh dunia. Infeksi jamur ini dapat ditemukan pada seluruh kelompok usia dan menimbulkan dampak negatif pada kualitas hidup penderita. Diperkirakan bahwa infeksi jamur superficial mempengaruhi sekitar 20-25% dari populasi dunia. Di Brazil, Survei oleh Siqueira dkk (2006) dan Brilhante dkk (2000) menunjukkan bahwa prevalensi dermatofitosis antara lesi kulit berkisar 18,2-23,2% dari populasi. Diwilayah Amazon, dermatofitosis menempati urutan teratas dalam infeksi jamur superficial. Hal ini disebabkan karakteristik faktor lingkungan wilayah ini, seperti suhu tinggi dan kelembaban relatif, yang memberikan kondisi menguntungkan untuk penyebaran dan pertumbuhan jamur. Faktor-faktor sosiodemografi, seperti status sosial ekonomi rendah, pergaulan bebas, lama kontak dengan hewan, dan

Upload: huda-n-rakhman

Post on 17-Jan-2016

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal dermatovenerologi

TRANSCRIPT

Page 1: Journal DV

JOURNAL READING

IDENTITAS JURNAL

Judul Jurnal : Clinical, epidemiological, and therapeutic profile of dermatophytosis

Penulis : Pires CAA, Cruz NFS, Lobato AM, Sousa PO, Carneiro FRO, Mendes AMD

Penerbit : Anais Brasileiros de Dermatologia

Tanggal Terbit : 25 April 2013

PENDAHULUAN

Infeksi jamur pada kulit, utamanya yang disebabkan oleh jamur dermatofita,

adalah salah satu infeksi jamur yang paling sering ditemui diseluruh dunia. Infeksi jamur

ini dapat ditemukan pada seluruh kelompok usia dan menimbulkan dampak negatif pada

kualitas hidup penderita. Diperkirakan bahwa infeksi jamur superficial mempengaruhi

sekitar 20-25% dari populasi dunia. Di Brazil, Survei oleh Siqueira dkk (2006) dan

Brilhante dkk (2000) menunjukkan bahwa prevalensi dermatofitosis antara lesi kulit

berkisar 18,2-23,2% dari populasi.

Diwilayah Amazon, dermatofitosis menempati urutan teratas dalam infeksi jamur

superficial. Hal ini disebabkan karakteristik faktor lingkungan wilayah ini, seperti suhu

tinggi dan kelembaban relatif, yang memberikan kondisi menguntungkan untuk

penyebaran dan pertumbuhan jamur. Faktor-faktor sosiodemografi, seperti status sosial

ekonomi rendah, pergaulan bebas, lama kontak dengan hewan, dan kondisi kebersihan

yang buruk, juga kondusif untuk meningkatkan angka kejadian dan perkembangbiakan

infeksi mikotik di daerah ini

Dermatofitosis adalah dermatomikosis disebabkan oleh kelompok jamur tertentu

yang dikenal sebagai ring-worm atau tinea, yang terdiri dari Microsporum, Trichophyton,

dan Epidermophyton. Transmisi dermatofit dapat terjadi melalui kontak langsung dengan

orang yang telah terinfeksi atau hewan atau kontak tidak langsung, melalui kontak dengan

kotoran yang terkontaminasi.

Manifestasi klinis bervariasi tergantung pada agen penyebab dan pada respon

imunitas host. Gejala dapat berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dan mungkin

Page 2: Journal DV

asimtomatik atau manifestasinya hanya gatal. Dalam sebagian besar kasus, manifestasi

dari infeksi berupa blistering, fisura, sisik, atau bintik-bintik.

Tanda-tanda klinis yang dominan tergantung pada lokasi yang terkena Manifestasi

ini termasuk: lesi kulit kepala, yang disebabkan oleh tinea capitis (scalp ringworm); Lesi

luas yang disebabkan tinea corporis; lesi pada interdigital dan daerah plantar kaki,

disebabkan oleh pedis tinea (athlete`s foot); dan lesi kuku yang disebabkan oleh tinea

unguium (Gambar1-3).

Gambar 1. Gambar 2.

Gambar 3.

Diagnosis dermatomikosis terutama ditegakkan oleh pengamatan klinis dan oleh karakteristik distribusi lesi. Bila perlu, langsung dilakukan pemeriksaan tambahan untuk mengkonfirmasi diagnosis.

Pilihan pengobatan yang adekuat ditentukan oleh lokasi dan luasnya lesi, spesies

jamur yang terlibat, dan efektivitas, keamanan, dan farmakokinetik dari agen antijamur

yang tersedia.

Page 3: Journal DV

Terapi lini pertama didasarkan pada penggunaan agen topikal, biasanya antijamur

imidazol. Ketika terapi tidak efektif, terapi oral dengan antijamur seperti terbinafine,

itraconazole, ketoconazole, dan flukonazol biasanya diberikan.

Terapi kombinasi dengan antijamur topikal dan oral dan anti-inflamasi telah

digunakan dalam upaya untuk meningkatkan angka kesembuhan. Meskipun dalam angka

mortalitas dan morbiditas tidak berat, penyakit kulit memiliki konsekuensi klinis yang

besar, jika menjadi kronis sulit untuk mengobati lesi kulit. Selain itu juga dapat

menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien dan menyebabkan cacat, yang berdampak

pada harga diri, dan bahkan dapat mengakibatkan diskriminasi sosial.

Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan tingginya prevalensi dan besarnya

keterkaitan dermatofitosis, tidak hanya untuk infeksi itu sendiri tetapi juga untuk

komplikasinya, penelitian ini berusaha untuk menentukan profil klinis, epidemiologis, dan

terapi infeksi dermatofit pada pasien yang terdaftar di Layanan dermatologi dari

Universidade do Estado do Pará, Brasil, dari Juli 2010 sampai September 2012

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, retrospektif, cross sectional.

Penelitian observasional dilakukan di Belem, Negara bagian Para di Brasil, yang terdiri

dari 145 pasien yang ada pada layanan Dermatologi dari Centro de Ciencias Biológicas e

da Saúde da Universidade Estadual do Pará, pusat rujukan sekunder daerah untuk penyakit

kulit setempat.

Sampel dari penelitian terdiri dari seluruh pasien yang berobat pada antara bulan

Juli 2010 dan September 2012 dengan diagnosis dermatofitosis, terlepas dari spesies

penyebab, tempat infeksi, usia, jenis kelamin, atau terapi sebelumnya. Kasus dengan

diagnosis klinis yang tidak meyakinkan dikonfirmasi dengan pemeriksaan langsung jamur

yang dilakukan di laboratorium rujukan. Pasien dengan data yang tidak lengkap atau

hilang dalam grafik dan mereka dengan diagnosis klinis dan / atau mikologi yang tidak

sesuai dengan dermatofitosis dikeluarkan dari subjek (kriteria eksklusi)

Data yang telah dikumpulkan berbentuk review grafik dan data yang menarik

dicatat dalam protokol yang dikembangkan oleh peneliti. Kuisioner dirancang untuk

Page 4: Journal DV

mengumpulkan informasi tentang data epidemiologis, aspek klinis dan terapi yang

diresepkan.

Microsoft Word 2010 dan Microsoft Excel 2007 digunakan untuk memproses

naskah, grafik, dan tabel. Analisis statistik dilakukan dengan Bioestat 5.0 software. Chi-

squared dan Williams corrected G-test digunakan untuk analisis data dalam penelitian ini.

Penelitian ini telah disetujui oleh Universidade do Estado do Pará, Komite Etika

Penelitian dengan nomor legal 180,297 / 2012 .

HASIL

Analisis data menunjukkan total pasien adalah 145 orang, sebanyak 89 pasien

merupakan perempuan (61,4%) dan 56 pasien laki-laki (38,6%). Prevalensi usia tersering

adalah 51-60 tahun.

Temuan klinis yang terbanyak dari kasus dermatofitosis adalah onikomikosis

(38,6%), diikuti tinea corporis (24,1%), tinea capitis (22,1%), dan tinea pedis (15,2%).

Jumlah proporsi pasien onikomikosis dan tinea pedis lebih banyak pada rentang

usia dewasa (P<0,001), sedangkan tinea capitis lebih sering terjadi pada anak-anak dan

remaja (P=0,010). Sedangkan untuk kasus dermatofitosis lainnya tidak terjadi perbedaan

persebaran usia yang signifikan.

Mengenai pengobatan, didominasi oleh model kombinasi terapi antara terapi

sistemik dan topical (62,8%), dengan fluconazole (33,1%) dan ciclopirox olamine (49%)

sebagai obat yang sering diresepkan. Dari keseluruhan data ditemukan 31% pasien tidak

menghadiri proses follow-up

Page 5: Journal DV
Page 6: Journal DV

DISKUSI

Analisis karakteristik sampel penelitian menunjukkan bahwa populasi perempuan

yang terkena dermatofitosis adalah sekitar 1,5 kali lebih besar dari populasi laki-laki

(Tabel 1). Demikian juga pada penelitian lain yang telah melaporkan bahwa prevalensi

lebih tinggi pada perempuan. Perbedaan ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa perempuan

lebih mungkin untuk mencari bantuan medis.

Usia rata-rata pasien dengan diagnosis dermatofitosis bervariasi tergantung

penelitian dan wilayah. Dalam sebuah studi 2010, Araújo dkk. menemukan bahwa pasien

berusia 0-20 tahun menyumbang hampir setengah dari semua kasus dermatofitosis di

negara bagian Paraíba di Brasil. Pada wilayah lain di Natal, negara bagian Rio Grande do

Norte, Calado dkk, (2006) menemukan rata-rata usia pasien adalah 47 tahun. Hal tersebut

menguatkan temuan ini, prevalensi tertinggi dermatofitosis dalam sampel penelitian ini

berada di antara rentang usia 51-ke-60 (Tabel 1).

Terdapat beberapa bentuk klinis dari dermatofitosis, sedangkan dalam penelitian

ini didominasi oleh onikomikosis, diikuti oleh tinea corporis, tinea capitis, dan tinea pedis

(Tabel 2). Pada penelitian sebelumnya di Italia dan Kroasia melaporkan bahwa urutan

yang sama persis pada prevalensi bentuk klinis dermatofitosis.

Studi epidemiologi lainnya mengkonfirmasi tingginya kejadian onikomikosis

berhubungan dengan bentuk lain dari dermatofitosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan

tingginya penggunaan kolam renang, antusias dalam olahraga yang tinggi, memakai alas

kaki dalam jangka waktu lama, baik dalam pekerjaan dan selama waktu luang, dan

meningkatnya kejadian diabetes dan penyakit pembuluh darah.

Pada penelitian ini ditemukan bahwa angka kejadian onikomikosis yang relatif

rendah pada anak-anak, yang mungkin disebabkan pertumbuhan kuku yang lebih cepat,

luas permukaan kuku yang lebih kecil sehingga mempersulit invasi spora untuk menular,

dan kejadian trauma yang lebih rendah. Sebaliknya, 98,2% pasien dewasa atau orangtua

dengan onikomikosis, mungkin akibat dari penurunan laju pertumbuhan kuku dan

peningkatan kemungkinan trauma pada rentang usia ini (Tabel 3).

Page 7: Journal DV

Penelitian ini memberikan bukti lebih lanjut adanya hubungan erat antara usia dan

distribusi dan topografi lesi, peneliti menemukan bahwa kulit kepala merupakan lokasi

dermatofitosis yang dominan pada anak-anak (Tabel 3). Binder dkk, (2011) dan Cortez

dkk, (2012) memiliki kesimpulan yang sama. Sehingga kesimpulan yang ditemukan

melaporkan bahwa prevalensi tertinggi tinea capitis ditemukan pada populasi anak-anak

Tinea capitis dianggap sebagai penyakit masa kanak-kanak, seperti yang terlihat

dalam penelitian ini, kelompok dewasa jarang terkena. Prevalensi ini terjadi karena tidak

adanya sekresi sebum dan kolonisasi oleh Malassezia spp. Ciri khas masa kanak-kanak,

dimana rendahnya kemampuan kulit kepala untuk melindungi diri dari infeksi oleh

dermatofit tersebut. Selain itu, anak-anak lebih terekspos faktor risiko lain, seperti

kebersihan yang buruk, tempat tertutup yang ramai (fasilitas penitipan anak dan sekolah),

kontak langsung dengan hewan peliharaan rumah tangga, dan bermain dengan pasir.

Pengobatan dermatofitosis umumnya lama dan rumit, biasanya melibatkan

penggunaan antifungal golongan allylamine (seperti terbinafine) dan golongan azol

(ketokonazol, mikonazol, oxiconazole). Kebanyakan infeksi dapat diterapi dengan terapi

topikal saja, namun dalam upaya untuk meningkatkan angka kesembuhan, terapi topikal

dan sistemik (oral) sering digabungkan. Dalam sampel ini, 62,8% dari pasien menerima

kombinasi topikal dan terapi sistemik (Tabel 4)

Terapi topikal menggunakan antifungal fungisida allylamine memiliki kemampuan

sedikit lebih baik dan lama pengobatan yang lebih pendek dibandingkan dengan

pengobatan menggunakan fungistatik golongan azoles. Namun, keunggulan pengobatan

ini diimbangi dengan harga obat yang lebih mahal. Oleh karena itu, penelitian ini

menyarankan agar memperhatikan kondisi masyarakat. Harus memperhatikan kondisi

ekonomi masyarakat. Hal ini berkaitan dengan temuan penelitian mengapa tidak

didapatkannya terapi topical terbinafine.

Diikuti oleh terbinafine topikal, ciclopirox olamine adalah agen yang paling efektif

terhadap infeksi pada dermatofitosis. Hal ini membantu menjelaskan temuan dari

penelitian ini, di mana ciclopirox olamine menyumbang 49% dari resep topikal (Tabel 4).

Tingginya efektifitas dari ciclopirox yang ditemukan disebabkan fakta bahwa

onikomikosis adalah bentuk klinis yang paling banyak ditemui dari dermatofitosis dalam

Page 8: Journal DV

sampel penelitian ini. Ciclopirox enamel adalah obat lini pertama pilihan untuk kondisi

ini, karena dapat digunakan pada pasien yang tidak mampu atau tidak mau menjalani

terapi sistemik.

Butenafine adalah antifungal-like allylamine, merupakan agen topikal kedua yang

paling sering diresepkan di pada penelitian ini. Hal ini menguatkan temuan pada penelitian

sebelumnya, yang memaparkan bahwa Butenafine menjadi pilihan yang sangat baik,

terutama untuk tinea corporis, pedis, dan cruris, karena reaksi anti-inflamasi dan retensi

kulit berkepanjangan akibat penggunaan obat topikal (Tabel 4).

Terapi sistemik ditunjukkan ketika lesi yang luas, berulang, kronis, atau tidak

responsif terhadap terapi topikal. Rejimen pengobatan oral konvensional berhubungan

dengan durasi pengobatan yang panjang dan rendahnya tingkat kepatuhan.

Antijamur sistemik yang paling banyak digunakan adalah terbinafine, itraconazole,

ketoconazole, dan flukonazol. Tiga terakhir memerlukan konsentrasi tinggi untuk

mencapai efek fungistatik, yang sesuai mekanisme kerja antijamur golongan azol.

Dalam beberapa penelitian komparatif lainnya menemukan bahwa flukonazol

dinilai sebagai antijamur yang paling aktif , dengan efek yang bervariasi yang tergantung

pada spesies penyebab. Namun demikian, dalam sampel penelitiani, fluconazole adalah

agen yang paling banyak digunakan untuk pengobatan sistemik dalam dermatofitosis

(Tabel 4)

Griseofulvin adalah antijamur sistemik kedua yang tersering digunakan dalam

penelitian ini. Agen ini dianggap sebagai standar pengobatan, terutama untuk tinea capitis

(Tabel 4). Dibandingkan dengan ketoconazole, griseofulvin menghasilkan hasil yang

sangat baik, dengan onset cepat dan tidak ada efek samping.

Karena perbedaan biaya antara antijamur golongan azole dan allylaminer,

penggabungan pertimbangan ekonomi (seperti analisis efektivitas biaya) untuk tinjauan

sistematis yang ada akan membantu menentukan pilihan terapi menghasilkan yang terbaik

klinis hasil sesuai dengan kondisi keuangan penderita, dan dengan demikian terapi akan

lebih efisien untuk setiap kondisi.

Page 9: Journal DV

Pada akhirnya, penelitian ini menemukan bahwa 31% pasien tidak terlibat dalam

follow-up. Tingginya tingkat ketidakhadiran ini mungkin disebabkan oleh perbaikan dari

lesi sebelum follow-up dilakukan, rata-rata waktu pengobatan yang dibutuhkan untuk

dermatofitosis (tidak termasuk onikomikosis) berlangsung 20 sampai 45 hari, Dimana

rata-rata sampel melewatkan kunjungan awal di fasilitas di mana penelitian dilakukan.

KESIMPULAN

Penelitian ini memberikan bukti tentang pentingnya analisis profil epidemiologi

dermatofitosis untuk memberikan terapi yang benar dan manajemen pencegahan penyakit

ini, yang memiliki konsekuensi klinis yang signifikan yaitu kronis sehingga sulit untuk

mengobati lesi, yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup pasien dan

menyebabkan kecacatan.

Page 10: Journal DV

CRITICAL APPRAISAL of DESCRIPTIVE RESEARCH

(http://joannabriggs.org/)

No Pertanyaan Jawaban

1 Apakah penelitian berdasarkan sampel

acak atau semi acak?

Pengacakan dilakukan pada waktu

pengambilan sampel, yitu pada bulan Juli

dan September 2010

2 Apakah criteria yang dimasukkan

kedalam sampel jelas?

Ya, kriteria yang dimasukkan dalam

sampel adalah pasien pada bulan Juli

sampai Semptember 2010 dengan

diagnosis dermatofitosis, tanpa melihat

penyebabnya.

3 Apakah faktor yang mengacaukan

penelitian diidentifikasi dan apakah cara

menanggulanginya dijelaskan?

Lepasnya 31 responden yang tidak

diantisipasi pada awal penelitian.

4 Apakah hasil dinilai menggunakan

criteria yang objektif?

Pada penelitian ini hanya

menggambarkan profil dari insidensi

dermatofitosis, epidemiologi dan terapi.

5 Apakah perbandingan dalam setiap

temuan dijelaskan ?

Ya, pada penelitian ini menjelaskan

pertimbangan temuan klinis,

epidemiologi dan terapi yang dilakukan.

Seperti kecepatan pengobatan

menggunakan kombinasi antara

antifungal sistemik dan topikal

6 Apakah intervensi dilakukan dalam

waktu yang cukup?

Pada penelitian ini dilakukan potret

terhadap data pasien.

7 Apakah sample drop-out dijelaskan dan

dianalisis ?

Ya, jumlah sampel drop out sebanyak 31

pasien

8 Apakah hasil diukur dengan cara yang

dapat dipercaya?

Ya,

9 Apakah analisis data dilakukan dengan

tepat ?

Ya, dalam penelitian ini menggunakan

beberapa metode pengolahan data

penelitian.

Page 11: Journal DV

Penutup

Hasil Penelitian ini valid ? Ya

Hasil Penelitian ini penting ? Ya

Hasil Penelitian ini relevant untuk diterapkan ? Ya