“jerit keprihatinan anak wayang orang” -...
TRANSCRIPT
-
1
Titik Widarningsih (Koo Kwe Lian)
Jerit Keprihatinan Anak Wayang Orang
Foto: Titik di belakang panggung.
BY REDAKSI MALANG PAGI ON 06 MARCH 2016 - 7:28 AM 630 VIEWSSENIMAN
http://www.malangpagi.com/titik-widarningsih-koo-kwe-lian-jerit-keprihatinan-anak-wayang-orang.html
Wayang Wwang atau Wayang Wong (Wayang Orang) adalah seni pertunjukan Wayang
yang dimainkan oleh manusia dengan memerankan tokohnya masing-masing sesuai dengan
cerita yang dimainkan. Wayang Wwang pernah dimainkan tahun 930, hal ini tercatat
dalam serat Wimalasrama di Jawa Timur. Selain itu juga ditulis dalam prasasti Balitung
(tahun 907) pada jaman Mataram Kuno. Pada masa ini Wayang Wwang memainkan lakon
Mahabaratha dan Ramayana, dimana untuk lakon Ramayana semua pemainnya memakai
Topeng, namun tidak untuk lakon Mahabaratha. (Rustopo, Menjadi Jawa, Ombak, Jogja,
2007: hal 108).
Wayang Orang (W.O.) sebagai produk Budaya Bangsa
Indonesia telah diakui dunia akan keindahannya dan
memiliki kandungan filsosofi tinggi. Dalam sejarahnya,
Setelah Mataram pecah (Perjanjian Giyanti), Kraton
Yogyakarta menciptakan dramatari yang kemudian
disebut Wayang Wong yang membawakan wiracarita
Mahabarata. (Rustopo:2007, hal 109). Abad 18 19
dengan pecahnya Mataram yang ditandai dengan
Perjanjian Giyanti, maka Surakarta akhirnya juga
menggubah Wayang Wong dalam Istana Mangkunagaran
dibawah ayoman Pangeran Adipati Mangkunegara I
(1757-1796) dan melakukan penulisan kembali teks
Kakawin (Jawa lama) kedalam kesusastraan Jawa Baru.
http://www.malangpagi.com/author/redaksihttp://www.malangpagi.com/category/profil/senimanhttp://www.malangpagi.com/titik-widarningsih-koo-kwe-lian-jerit-keprihatinan-anak-wayang-orang.htmlhttp://www.malangpagi.com/wp-content/uploads/2016/03/titik-7-dibalik-panggung.jpg
-
2
Pada akhir abad 19 20 pintu Kraton Surakarta terbuka, maksudnya mulai melakukan
interaksi sosial budaya dengan rakyatnya. Tercatat nama G.P.H Prabuwinata yang mulai
gerakan egaliternya dengan cara menyediakan diri untuk melatih karawitan dan tari gaya
Keraton kepada publik. Tawaran ini disikapi oleh Go Tik Swan, seorang peranakan
Tionghoa, pencipta Batik Kembang Bangah, dengan mendaftar sebagai murid untuk
belajar langsung seni Tari dan Karawitan dari sang Prabu. Dengan ketekunan dan
kecintaannya pada kebudayaan Jawa, sampailah Go Tik Swan berhasil juga menciptakan
Gending PMS Pembuka Lancaran, Laras Pelog Barang. Atas jasanya ini yang dianggap
turut melestarikan Kebudayaan Jawa, maka Pakubuwana XII memberinya hadiah dengan
mengangkat saudara Go menjadi seorang Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung
Hardjonagoro. (Rustopo, 2007: hal 38 & 66).
Menurut Guru Besar bidang Seni dan Sejarah Budaya, Prof. DR. RM. Soedarsono, konon
ada seorang peranakan Tionghoa bernama Gan Kam, pedagang kaya yang kebetulan
menjadi sahabat Mangkunegara V. Berkat kedekatannya Gan Kam memberanikan diri
merayu Gusti Prabu untuk memboyong Wayang Wong Mangkunegaran keluar dari tembok
Istana untuk dipasarkan dan dinikmati oleh masyarakatnya. Sejak itulah Wayang Orang
menjadi kesenian rakyat yang dimainkan oleh rakyat dan untuk rakyat.(Solo 1895).
Sejarah kota Malang mencatat tahun
1923 telah lahir organisasi etnis Tionghoa
yang diberi nama Ang Hien Hoo, sebuah
organisasi sosial kemasyarakatan yang
diketuai Tjioe A Hang. Dalam
perjalanannya Organisasi ini mewadahi
gagasan masyarakatnya dan mendirikan
Perkumpulan Wayang Orang yang dinamai
Wayang Orang Ang Hien Hoo. Dalam
buku Kumpulan Kolom Budaya berjudul
Dari Ang Hien Hoo, Ratna Indraswari
Ibrahim Hingga Hikajat Kebonagung,
Abdul Malik penulis tinggal di Malang,
menuliskan bahwa W. O. Ang Hien Hoo
adalah sebuah penanda bahwa 100 tahun
lalu di Malang, sejumlah warga Indonesia keturunan Tionghoa telah bersetia melakukan
uri-uri seni budaya. (Abdul Malik, 2016: hal 8). Artinya dimasa itu sudah terjadi
inkulturalisasi budaya secara harmonis dalam masyarakat Malang.
-
3
Keberadaan W.O. Ang Hien Hoo mendapat sambutan baik dan menjadi salah satu
kebanggaan masyarakat Malang sendiri. Lebih jauh lagi Wayang Orang ini nyatanya
mendapat popularitas di tingkat nasional bahkan internasional. W. O. Ang Hien Hoo ini
hampir seluruh pemainnya didominasi keturunan Tionghoa, dikabarkan mereka sudah 12
kali diundang main di Istana Negara, Jakarta, oleh Bung Karno. Bahkan dalam satu
peristiwa, Presiden yang flamboyant itu sempat dibuat terkagum-kagum dengan
permainannya yang apik; Juga oleh kecantikan seorang anak wayang yang bernama Nelly
(21 tahun). Karena kekaguman itu Presiden kemudian menghadiahi sang primadona (Nelly)
dengan sebuah nama panggilan baru yakni Ratna Djuwita. Tentu pemberian ini dapat
diartikan sebagai bentuk kehormatan yang pantas dikenang.
Jaman iku owah gingsir (Jaman itu serba berubah), demikian dituliskan dalam pepatah
Jawa. Demikian juga dalam perjalanan kejayaan W. O. Ang Hien Hoo yang terus berubah.
Kali ini perubahanan itu menurun perlahan-lahan meski akhirnya merosot juga karena
berbagai halnya. Keadaan demikian ini dipertegas sejak terjadi pergantian nama menjadi
Wayang Orang Panca Budhi sebagai akibat tekanan politik (1965). Sekarang kita hanya
dapat menjumpai tetes terakhir generasi W. O. Panca Budhi (baca: W.O. Ang Hien Hoo).
Kami rasanya menjadi generasi terakhir Wayang Orang Panca Budhi. Setahun paling
kami main Wayang Orang sekali atau
maximum duakali. Tahun ini dimulai pada
gelaran yang kemarin, saya bersama Mas
Toni Subroto dan pak Roy Wijaya pentas di
acara Cap Go Meh di hall Klenteng Eng An
Kiong, Malang. Ucap Titik Widarningsih
alias Koo Kwe Lian yang kala itu berperan
sebagai Dewi Sembodro, istri Raden
Arjuna.
Menyoal pengkaderan pemain Wayang
Orang, Titik menerangkan secara terbuka,
Jaman sekarang sulit sekali mencari kader
pemain Wayang Orang. Alasan umumnya
mereka tidak diijini orang tua, dengan
alasan menjadi pemain Wayang Orang tidak
menjamin masa depannya. Saya tentu bisa
mengerti dan memahami, sebab saya
melakoni sebagai penari sejak usia Taman
Kanak Kanak (TK) hingga sekarang.
-
4
Sambung perempuan itu dengan suara sedih. Memang kalau diukur dari sisi penghasilan,
profesi sebagai penari Wayang Orang, terlebih di daerah , boleh dibilang kecil sekali dan
tidak bisa dijadikan tumpuan hidup keluarga. Karena itu saya dan suami menjalani profesi
sampingan sebagai perias Temanten Jawa dan menerima pesanan Ronce Melati untuk
berbagai keperluan. diakui perempuan paruh baya ini di samping suaminya, Toni Subroto
yang penari merangkap Pranatacara Temanten Jawa.
Titik Widarningsih terlahir dengan nama Koo Kwe Lian, lahir di Malang, 12 Nopember
1968. Kwe Lian lahir dari pasangan Koo Sie King alias Sudarmadji lelaki tampan yang
berprofesi seorang buruh kebun apel di kota Batu, dengan Nyo Sie Ing alias Warsiin.
Menurut Titik, Ibundanya seorang Peranakan Tionghoa yang sabar dan ibu rumah tangga
biasa yang telah membaur dengan para tetangga di kampung Bunul. Sehari-hari mama
mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya. Beliau akrab dan menyatu dengan
warga di kampung tanpa membedakan etnis dan agama, sebaliknya wargapun bisa
menerimanya dengan akrab melebihi saudara. Ujar Titik penuh kenangan. Kami satu
kelurga 6 orang. Papa dan mama ditambah 4 orang anaknya. Yang sulung kakak laki-laki
bernama Koo Ko Sin alias Eko Sukoyo, lalu Koo Kwak Ming alias Budi Santoso, yang ketiga
Koo Kok Lieng atau Kusdjatmiko dan si bungsu saya sendiri, Koo Kwee Lian alias Titik
Widarningsih. Saya berupaya menjadi Jawa dalam arti yang sesungguhnya. Saya lahir,
besar dan kelak seda juga di tanah Jawa. Saya meresapi adat dan budayanya, memahami
filosofi Jawa yang sangat saya agungkan. Kesungguhan itu saya buktikan dengan memilih
mas Toni, yang beretnis Jawa sebagai suami tercinta. Hebatnya lagi, papa-mama dan
keluarga bisa merestui cinta kasih kami yang mewujud dalam sebuah Penikahan.Tambah
Titik dengan suara gembira.
Menurut Titik darah seni yang mengalir dalam dirinya, entah menurun dari siapa.
Seingatnya dalam keluarga besarnya tidak ada yang berkecimpung dalam dunia seni.
Saya tidak melihat kerabat keluarga di bidang seni. Saya tiba-tiba senang menari dan
hal itu dimulai sejak dari kecil. Kecintaan saya pada dunia tari dari usia TK karena
seringnya melihat tayangan acara tari di stasiun TVRI. Padahal jaman itu, TV di rumah
berukuran kecil dan hitam putih. Sambil menonton tari yang ditayangkan saya meniru
gerakannya. Hal itu ternyata jadi perhatian mama, sehingga orang tua sepakat
mencarikan saya guru tari klasik Jawa. Pilihannya jatuh kepada pak Guru Hermanu,
seorang guru tari di kampung. Sejak itu saya tambah rajin berlatih menari, seminggu
saya mesti les minimum sekali dengan bayaran uang les sebesar Rp 5,- per bulan. Ketika
di usia SD saya tambah bersemangat, sebab mulai diikutkan pentas menari di acara 17
Agustus-an di Lapangan Pasar Bunul, Malang. Di Pentas meriah itu saya menari Tari
Merak, sungguh senang rasanya. Kenang Titik akan masa lalunya yang manis. Semasa
-
5
SMP, saya pindah berguru tari kepada pak Mulyono selama 5 tahun. Di masa-masa ini saya
sudah bisa memberi kursus tari kepada anak-anak. Saya mengajar anak di jalan Tawang
Mangu, Malang.
Kecintaan Titik pada dunia tari tak dapat
dibendung lagi, tekadnya sebagai seniman tari
terus bergelora. Sampai suatu hari,
perempuan muda nan cantik ini memberanikan
diri untuk ikut group Wayang Orang, Saya
mulai di bon main oleh Mbah Suprapto Salyo
Pati, seorang pelatih Wayang Orang yang
terkenal. Mbah Prapto selain pakar juga
melatih W. O. Ang Hien Hoo sampai kelak di
era W.O.Panca Budhi. Dalam pentas Wayang
Orang, beliau seringkali memberi saya peran
Dewi Sembodro, yang jadi idola perempuan
Jawa. Dewi Sembrodro cantik jelita, anggun,
lembut, tenang dan setia kepada sang suami,
Raden Arjuna. Mungkin dulu Mbah Prapto
melihat saya begitu, ya? komentar Titik
seraya tertawa bangga, Tapi kalau sekarang,
pasti akan berbeda lagi. Postur tubuh saya
yang gemuk dan kecantikannya tinggal sisa,
jauh dari citra Sembodro, hehehe. Tambahnya merendah.
Jagad Wayang Orang digeluti Titik alias Kwe Lian sudah cukup lama. Secara kronologi, ia
tidak njamani masa kejayaan Wayang Orang Ang Hien Hoo (tahun 1957 sampai 1965).
Kesertaan Titik ke W. O. Panca Budhi dimulai tahun 1986, karena itulah kisah-kisah
kejayaan group W. O. Ang Hien Hoo ini, hanya ia dengarkan lewat tuturan para seniornya.
Ketika penulis mewawancarai Titik di rumahnya, di Perum Cassava Regency, Jalan Ubi Kav.
23 Bumi Ayu, Malang, memang terkesan banyak hal belum ia ketahui. Hal ini tentu bisa
dimaklumi, sebab selama ini belum ada catatan sejarah W. O. Ang Hien Hoo yang cukup
signifikan. Kalau toh ada data, boleh dibilang itu selintas, hanya cuplikan kecil dari
sebuah gunung sejarahnya yang besar dan hebat. Soal sejarah Ang Hien Hoo, memang
perlu segera dipikirkan bersama. Kalau tidak segera mencatatnya, tentu nara sumber
yang tersisa ini bakal lewat juga. Mumpung ada kesempatan, mari kita tulis sejarahnya
bersama-sama tanpa ada rasa ketakutan masa silam. Demikian ajakan Abdul Malik,
penulis, budayawan Malang, kala bersilahturahmi ke rumah penulis (1 Maret 2016).
-
6
Soal sekolah Titik menjelaskan begini: Saya sekolah di SMA Taman Harapan Malang.
Waktu itu saya sudah jadi anggota di Perkumpulan W. O. Panca Budhi. Karena ada
undangan menari ke Jepang mewakili pabrik sumpit di Pasuruan, maka sekolah dan
kegiatan menari di Panca Budhi harus saya tinggalkan selama setahun. Di negeri Sakura,
saya. Sandy Prajudawati (dari Panca Budhi), Emmi, Retno (Bandung), Eva dan Wiwin dari
Jakarta. Kami ber 6 menari klasik Jawa. Di kota Okayama, saya menari Gambyong,
Adaninggarkelasworo, Minakjinggo Dayun, Gambiranom dan banyak lagi. Kesan saya
masyarakat Jepang sangat menghargai seni-budaya klasik kita. Bahkan bisa dibilang
antusias, mereka melihat seni tradisi kita sebagai suguhan istimewa yang indah dan
pantas dikagumi.
Hal demikian ini beda dengan disini, Di sini, seni-budaya kita yang adiluhung ini malah
dianggap biasa-biasa saja, bahkan ada kecenderungan ditinggalkan diganti dengan seni
budaya milik orang luar. Bukankah ini sangat menyedihkan? Saya berharap pada
Masyarakat, Pemerintah, Seniman, Budayawan dan Pers dapat menyadari kembali arti
pentingnya seni-budaya bagi kejayaan Bangsa Besar ini. Selain juga untuk diwariskan
kepada generasi kedepan. pesan Titik atau Kwe Lian kepada bangsa Indonesia yang
sangat dicintainya.
Dikatakan Rustopo dalam bukunya berjudul
Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa
yang menjadi Jawa, yaitu mereka yang
mengadopsi, menggunakan dan memproduksi
simbol-simbol kebudayaan Jawa (Rustopo,
2007: hal 11). Terhadap udaran Rustopo ini,
mungkin saja Titik Widarningsih belum
membaca atau malah tidak tahu. Sekalipun
demikian, Titik Widarningsih alias Kwee
Lian nyatanya sudah menjalani apa yang
diisyaratkan oleh Rustopo di hampir
separuh hidupnya. Saya meski terlahir
sebagai keturunan Tionghoa, tapi jiwa dan
hati saya sudah Jawa. Saya sekeluarga
sejak kecil tidak pernah mempermasalahkan
hal itu. Saya dan suami dan anak-anak
sungguh merasa menjadi orang Jawa
seutuhnya. Demikian dinyatakan Peranakan
Tionghoa ini dengan kesungguhan hati.
-
7
Fakta sejarah Nusantara memang telah membukti pernyataan di atas. Peranan etnis
Tionghoa dalam membangun bangsa Indonesia sudah dimulai sejak jaman Sriwijaya,
Singhasari, Majapahit, Mataram Islam, jaman Kemerdekaan hingga hari ini. Jadi
sesungguhnya persoalan diskriminasi dan sejenisnya yang seringkali masih dimunculkan
sebagai alat politik kekuasaan sebaiknya dihentikan. Kita bersatu, berpegang teguh pada
Panca Sila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai Pusaka Bangsa.
Dalam mempertajam rasa ke-Jawa-annya, Titik sejak kelas 4 SD sudah diikutkan
menjadi asisten ibu Retno, seorang penari dan perias Temanten Jawa. Dari ibu Retno
saya belajar rias Temanten Jawa dan berbahasa Jawa dengan benar. Disitu saya
mengerti budaya Jawa banyak menyimpan unggah-ungguh yang wajib dilakoni (dilakukan).
Misalnya tatanan wicara yang mengenal tingkatan, dari berbahasa Ngoko di arus
pergaulan ke bahasa Krama di tingkat yang lebih atas dan Krama Hinggil halus untuk
yang dihormati. Demikian diterangkan ibu tiga anak ini dengan serius, Yang saya
rasakan, dengan belajar kebudayaan Jawa, kita sebenarnya diarahkan untuk belajar
mengoreksi diri sendiri. kata si mbah, Urip kuwi kudu sumeleh (hidup itu harus lurus
pikir, rendah hati, menerima dan tidak jumawa atau sombong). sambungnya berfilsafat.
Setelah cukup lama saya nyantrik (ikut
serta) kepada Ibu Retno, akhirnya saya
terbiasa berbahasa Jawa dengan benar dan
lancar. Hal ini menjadi bekal saya memasuki
dunia Jawa selain sebagai persyaratan
utama bermain Wayang Orang. Dalam
pentas Wayang Orang, seorang pemain
dituntut untuk bisa Antawancana
(berbicara) secara benar dalam tata bahasa
juga aksennya. Selain itu diwajibkan bisa
nembang atau palaran (bernyanyi) selain
menari atau gandrungan (menari). Ketiga
persyaratan ini dibarengi tuntutan 3 hal
berikutnya yakni Wiraga, yakni yang terkait
fiksik misalnya menari. Lalu Wirama yang
menyangkut kebisaan mendengar, bernyanyi,
bergerak seiring musik. Terakhir sekali
adalah Wirasa yang butuh latihan serius dan
panjang. Hal ini yang paling sulit, sebab
-
8
dituntut agar bisa merasakan apa yang tengah kita lakukan. Ini menyangkut ruh dan
penjiwaan seseorang dalam melakonkan karakter seorang tokoh dalam Wayang Orang.
Jelas ibu tiga anak ini dengan mantab.
Diterangkan lebih lanjut bahwa hal yang paling sulit dalam pentas Wayang Orang adalah
ketika memasuki babak Perang. Dalam babak ini, kita sambil bergerak dituntut untuk
berbicara bahkan bernyanyi. Hal demikian ini tentu cukup sulit bagi pemula, sebab butuh
konsentrasi ganda. Menghafal percakapan dan menghafal gerak. Selain masih harus
mensinkronkan gerak tersebut dengan isi ucapan, atau alur nyanyian agar selaras cerita.
Komentar Titik. Persoalan praktiknya tidak berhenti disitu tapi berlanjut masih harus
menyatukan dengan jenis irama gamelan, terutama dengan kendang.
Dalam Wayang Orang ada istilah dol tinuku maksudnya di satu sisi anak wayang terus
bergerak mengikuti alur cerita, dipihak lain panjak atau penabuh gamelan yang dimotori
oleh Pengendang, wajib meresponnya dengan benar secara waktu dan jenis pukulan
kendang. Begitu diterangkan Pak Toni Subroto yang beberapa malam sebelumnya pentas
dengan memerankan tokoh Rahwana, Untuk iringan menari, saya dan istri paling cocok
kalau di- kendang-i pak Miskun yang kini
sudah almarhum. Beliau ahli kendang dan
bisa meresapi gerak kami berdua
manakala menari tarian tunggal semisal
Cucuk Lampah, Gambyong, Gatot Kaca
Sekar dan Karonsih. Namun tentu juga
ketika kami main dalam pentas Lakon
Wayang Orang.
Ada peristiwa tragis terkait pentas tari
yang dialami oleh pasangan Titik
Widarningsih dan Toni Subroto ini.
Kisahnya terjadi tahun 1997, kala itu
walikotanya pak Soesamto, yang perhatian
sekali pada Budaya Jawa. Karena itu order
menari datang begitu padat; boleh dikata
kami berdua yang pasangan penari ini
selalu dibanjiri order. Suatu hari kami
diundang menari di jamuan pernikahan
Jawa. Seperti biasa saya menari dengan
suami tarian Gatot Kaca Sekar. Saat itu
-
9
kami bawa putra kami, Agung Bayu Aji yang masih kecil. Ditengah kami tengah menari,
lelaki kecil kami itu duduk diam diantara tamu-tamu undangan yang tengah berpesta pora.
Mungkin dalam pikiran anak saya, kok enak orang-orang ini makan dan minum sambil
ketawa-ketawa, sementara ayah-ibu saya harus mandi keringat menari untuk menghibur
mereka. Ini tidak adil protesnya! Mungkin begitu, sehingga diam-diam air mata lelaki
kecilku itu meleleh di pipinya. Hati kami terenyuh menyaksikan hal demikian ini yang
sontak telah menyadarkan kami sebagai orang tua. Usai menari bergegas kami hampiri
putra kami dan merangkulnya erat sambil mengucap maaf. Sejak peristiwa itu kami selalu
mengatur waktu untuk menari dan menyadarkan resiko profesi kami kepada anak-anak.
Demikian dituturkan Titik dan Toni dalam kenangan mereka yang abadi.
Saya lulus dari STIBA (Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa) tahun 1992 di jurusan Inggris dan
Jepang. Setelah lulus langsung berprofesi sebagai penari dan menari diberbagai kota
mulai Malang, Surabaya, Tulung Agung, Kediri, Surakarta, Jogjakarta, Jakarta dan
banyak lagi. Terang Titik akan perjalanan keseniannya. Pernah rombongan kami,
Wayang Orang Panca Budhi, diminta main di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta. Kami
semua diangkut dengan pesawat Herkules dari Lanud Abdurachman Saleh, Malang.
Disana kami main dengan lakon Sumantri Ngenger. Kebetulan saya ditunjuk sutradara
untuk berperan sebagai Dewi Citrawati. ingat Titik lebih detil.
Kalau ditanya kenapa saya mau menari kemana
saja padahal imbalan materinya kecil?
Dasarnya adalah kecintaan pada seni tradisi ini,
seni Wayang Orang. Namun sekarang saya
tidak lagi menari lepas karena faktor phisik,
yakni bentuk tubuh dan usia saya. akunya
singkat, Dalam tarian lepas dibutuhkan
remaja yang parasnya cantik dan bentuk
tubuhnya ideal (langsing). Ditambah lagi
stamina yang prima, gesit dalam bergerak
untuk mencapai keindahan. Dalam gerak tari
seringkali gerak menyiratkan sesuatu, misalnya
pada tangan dan jemari, seperti nyempurit,
ngruji, kepelan yang masing-masing punya
maksud tersendiri.
Toni Subroto, sang suami.
-
10
Titik Widarningsih bersama sang suami, Toni Subroto ibarat Rama dan Shinta,
Sembodro dan Arjuna yang harmonis. Awalnya kami ketemunya di tempat latihan.
Karena seringkali latihannya malam hari, maka mas Toni sering menjemput dan
mengantar pulang ketika latihan di Panca Budhi, jalan Laksamana Martadinata, Malang.
Ada pepatah mengatakan witing tresna jalaran saka kulina (artinya: benih cinta bisa
tumbuh dari terbiasanya perjumpaan), mungkin pepatah ini yang terjadi pada kami.
Karena seringnya mas Toni antar jemput saya, maka diam-diam muncul benih cinta di hati
kami. Terbukti tahun 1988 kami mulai berpacaran hingga 8 tahun dan kami akhiri dengan
akad nikah di tahun 1996. Dari buah cinta pernikahan kami, lahir 3 orang anak yang kami
sayangi. Yang pertama laki-laki, kami beri nama Agung Bayu Aji, masih kuliah di Politeknik.
Adiknya seorang perempuan cantik bernama Ratih Nurmalita Hapsari, duduk di bangku
SMA. Ratih inilah yang sebenarnya mewarisi bakat menari orang tuanya. Terakhir si
bungsu perempuan juga bernama Nurmalia Praba Gupito masih di SMP.
Malang, 3 Maret 2016
Ditulis oleh: Bambang AW.