“jerit keprihatinan anak wayang orang” -...

Download “Jerit Keprihatinan Anak Wayang Orang” - gelora45.comgelora45.com/news/AngHienHoo_JeritKeperihatinanWayangOrang.pdf · disebut Wayang Wong yang membawakan wiracarita Mahabarata

If you can't read please download the document

Upload: lamhanh

Post on 06-Feb-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    Titik Widarningsih (Koo Kwe Lian)

    Jerit Keprihatinan Anak Wayang Orang

    Foto: Titik di belakang panggung.

    BY REDAKSI MALANG PAGI ON 06 MARCH 2016 - 7:28 AM 630 VIEWSSENIMAN

    http://www.malangpagi.com/titik-widarningsih-koo-kwe-lian-jerit-keprihatinan-anak-wayang-orang.html

    Wayang Wwang atau Wayang Wong (Wayang Orang) adalah seni pertunjukan Wayang

    yang dimainkan oleh manusia dengan memerankan tokohnya masing-masing sesuai dengan

    cerita yang dimainkan. Wayang Wwang pernah dimainkan tahun 930, hal ini tercatat

    dalam serat Wimalasrama di Jawa Timur. Selain itu juga ditulis dalam prasasti Balitung

    (tahun 907) pada jaman Mataram Kuno. Pada masa ini Wayang Wwang memainkan lakon

    Mahabaratha dan Ramayana, dimana untuk lakon Ramayana semua pemainnya memakai

    Topeng, namun tidak untuk lakon Mahabaratha. (Rustopo, Menjadi Jawa, Ombak, Jogja,

    2007: hal 108).

    Wayang Orang (W.O.) sebagai produk Budaya Bangsa

    Indonesia telah diakui dunia akan keindahannya dan

    memiliki kandungan filsosofi tinggi. Dalam sejarahnya,

    Setelah Mataram pecah (Perjanjian Giyanti), Kraton

    Yogyakarta menciptakan dramatari yang kemudian

    disebut Wayang Wong yang membawakan wiracarita

    Mahabarata. (Rustopo:2007, hal 109). Abad 18 19

    dengan pecahnya Mataram yang ditandai dengan

    Perjanjian Giyanti, maka Surakarta akhirnya juga

    menggubah Wayang Wong dalam Istana Mangkunagaran

    dibawah ayoman Pangeran Adipati Mangkunegara I

    (1757-1796) dan melakukan penulisan kembali teks

    Kakawin (Jawa lama) kedalam kesusastraan Jawa Baru.

    http://www.malangpagi.com/author/redaksihttp://www.malangpagi.com/category/profil/senimanhttp://www.malangpagi.com/titik-widarningsih-koo-kwe-lian-jerit-keprihatinan-anak-wayang-orang.htmlhttp://www.malangpagi.com/wp-content/uploads/2016/03/titik-7-dibalik-panggung.jpg

  • 2

    Pada akhir abad 19 20 pintu Kraton Surakarta terbuka, maksudnya mulai melakukan

    interaksi sosial budaya dengan rakyatnya. Tercatat nama G.P.H Prabuwinata yang mulai

    gerakan egaliternya dengan cara menyediakan diri untuk melatih karawitan dan tari gaya

    Keraton kepada publik. Tawaran ini disikapi oleh Go Tik Swan, seorang peranakan

    Tionghoa, pencipta Batik Kembang Bangah, dengan mendaftar sebagai murid untuk

    belajar langsung seni Tari dan Karawitan dari sang Prabu. Dengan ketekunan dan

    kecintaannya pada kebudayaan Jawa, sampailah Go Tik Swan berhasil juga menciptakan

    Gending PMS Pembuka Lancaran, Laras Pelog Barang. Atas jasanya ini yang dianggap

    turut melestarikan Kebudayaan Jawa, maka Pakubuwana XII memberinya hadiah dengan

    mengangkat saudara Go menjadi seorang Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung

    Hardjonagoro. (Rustopo, 2007: hal 38 & 66).

    Menurut Guru Besar bidang Seni dan Sejarah Budaya, Prof. DR. RM. Soedarsono, konon

    ada seorang peranakan Tionghoa bernama Gan Kam, pedagang kaya yang kebetulan

    menjadi sahabat Mangkunegara V. Berkat kedekatannya Gan Kam memberanikan diri

    merayu Gusti Prabu untuk memboyong Wayang Wong Mangkunegaran keluar dari tembok

    Istana untuk dipasarkan dan dinikmati oleh masyarakatnya. Sejak itulah Wayang Orang

    menjadi kesenian rakyat yang dimainkan oleh rakyat dan untuk rakyat.(Solo 1895).

    Sejarah kota Malang mencatat tahun

    1923 telah lahir organisasi etnis Tionghoa

    yang diberi nama Ang Hien Hoo, sebuah

    organisasi sosial kemasyarakatan yang

    diketuai Tjioe A Hang. Dalam

    perjalanannya Organisasi ini mewadahi

    gagasan masyarakatnya dan mendirikan

    Perkumpulan Wayang Orang yang dinamai

    Wayang Orang Ang Hien Hoo. Dalam

    buku Kumpulan Kolom Budaya berjudul

    Dari Ang Hien Hoo, Ratna Indraswari

    Ibrahim Hingga Hikajat Kebonagung,

    Abdul Malik penulis tinggal di Malang,

    menuliskan bahwa W. O. Ang Hien Hoo

    adalah sebuah penanda bahwa 100 tahun

    lalu di Malang, sejumlah warga Indonesia keturunan Tionghoa telah bersetia melakukan

    uri-uri seni budaya. (Abdul Malik, 2016: hal 8). Artinya dimasa itu sudah terjadi

    inkulturalisasi budaya secara harmonis dalam masyarakat Malang.

  • 3

    Keberadaan W.O. Ang Hien Hoo mendapat sambutan baik dan menjadi salah satu

    kebanggaan masyarakat Malang sendiri. Lebih jauh lagi Wayang Orang ini nyatanya

    mendapat popularitas di tingkat nasional bahkan internasional. W. O. Ang Hien Hoo ini

    hampir seluruh pemainnya didominasi keturunan Tionghoa, dikabarkan mereka sudah 12

    kali diundang main di Istana Negara, Jakarta, oleh Bung Karno. Bahkan dalam satu

    peristiwa, Presiden yang flamboyant itu sempat dibuat terkagum-kagum dengan

    permainannya yang apik; Juga oleh kecantikan seorang anak wayang yang bernama Nelly

    (21 tahun). Karena kekaguman itu Presiden kemudian menghadiahi sang primadona (Nelly)

    dengan sebuah nama panggilan baru yakni Ratna Djuwita. Tentu pemberian ini dapat

    diartikan sebagai bentuk kehormatan yang pantas dikenang.

    Jaman iku owah gingsir (Jaman itu serba berubah), demikian dituliskan dalam pepatah

    Jawa. Demikian juga dalam perjalanan kejayaan W. O. Ang Hien Hoo yang terus berubah.

    Kali ini perubahanan itu menurun perlahan-lahan meski akhirnya merosot juga karena

    berbagai halnya. Keadaan demikian ini dipertegas sejak terjadi pergantian nama menjadi

    Wayang Orang Panca Budhi sebagai akibat tekanan politik (1965). Sekarang kita hanya

    dapat menjumpai tetes terakhir generasi W. O. Panca Budhi (baca: W.O. Ang Hien Hoo).

    Kami rasanya menjadi generasi terakhir Wayang Orang Panca Budhi. Setahun paling

    kami main Wayang Orang sekali atau

    maximum duakali. Tahun ini dimulai pada

    gelaran yang kemarin, saya bersama Mas

    Toni Subroto dan pak Roy Wijaya pentas di

    acara Cap Go Meh di hall Klenteng Eng An

    Kiong, Malang. Ucap Titik Widarningsih

    alias Koo Kwe Lian yang kala itu berperan

    sebagai Dewi Sembodro, istri Raden

    Arjuna.

    Menyoal pengkaderan pemain Wayang

    Orang, Titik menerangkan secara terbuka,

    Jaman sekarang sulit sekali mencari kader

    pemain Wayang Orang. Alasan umumnya

    mereka tidak diijini orang tua, dengan

    alasan menjadi pemain Wayang Orang tidak

    menjamin masa depannya. Saya tentu bisa

    mengerti dan memahami, sebab saya

    melakoni sebagai penari sejak usia Taman

    Kanak Kanak (TK) hingga sekarang.

  • 4

    Sambung perempuan itu dengan suara sedih. Memang kalau diukur dari sisi penghasilan,

    profesi sebagai penari Wayang Orang, terlebih di daerah , boleh dibilang kecil sekali dan

    tidak bisa dijadikan tumpuan hidup keluarga. Karena itu saya dan suami menjalani profesi

    sampingan sebagai perias Temanten Jawa dan menerima pesanan Ronce Melati untuk

    berbagai keperluan. diakui perempuan paruh baya ini di samping suaminya, Toni Subroto

    yang penari merangkap Pranatacara Temanten Jawa.

    Titik Widarningsih terlahir dengan nama Koo Kwe Lian, lahir di Malang, 12 Nopember

    1968. Kwe Lian lahir dari pasangan Koo Sie King alias Sudarmadji lelaki tampan yang

    berprofesi seorang buruh kebun apel di kota Batu, dengan Nyo Sie Ing alias Warsiin.

    Menurut Titik, Ibundanya seorang Peranakan Tionghoa yang sabar dan ibu rumah tangga

    biasa yang telah membaur dengan para tetangga di kampung Bunul. Sehari-hari mama

    mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya. Beliau akrab dan menyatu dengan

    warga di kampung tanpa membedakan etnis dan agama, sebaliknya wargapun bisa

    menerimanya dengan akrab melebihi saudara. Ujar Titik penuh kenangan. Kami satu

    kelurga 6 orang. Papa dan mama ditambah 4 orang anaknya. Yang sulung kakak laki-laki

    bernama Koo Ko Sin alias Eko Sukoyo, lalu Koo Kwak Ming alias Budi Santoso, yang ketiga

    Koo Kok Lieng atau Kusdjatmiko dan si bungsu saya sendiri, Koo Kwee Lian alias Titik

    Widarningsih. Saya berupaya menjadi Jawa dalam arti yang sesungguhnya. Saya lahir,

    besar dan kelak seda juga di tanah Jawa. Saya meresapi adat dan budayanya, memahami

    filosofi Jawa yang sangat saya agungkan. Kesungguhan itu saya buktikan dengan memilih

    mas Toni, yang beretnis Jawa sebagai suami tercinta. Hebatnya lagi, papa-mama dan

    keluarga bisa merestui cinta kasih kami yang mewujud dalam sebuah Penikahan.Tambah

    Titik dengan suara gembira.

    Menurut Titik darah seni yang mengalir dalam dirinya, entah menurun dari siapa.

    Seingatnya dalam keluarga besarnya tidak ada yang berkecimpung dalam dunia seni.

    Saya tidak melihat kerabat keluarga di bidang seni. Saya tiba-tiba senang menari dan

    hal itu dimulai sejak dari kecil. Kecintaan saya pada dunia tari dari usia TK karena

    seringnya melihat tayangan acara tari di stasiun TVRI. Padahal jaman itu, TV di rumah

    berukuran kecil dan hitam putih. Sambil menonton tari yang ditayangkan saya meniru

    gerakannya. Hal itu ternyata jadi perhatian mama, sehingga orang tua sepakat

    mencarikan saya guru tari klasik Jawa. Pilihannya jatuh kepada pak Guru Hermanu,

    seorang guru tari di kampung. Sejak itu saya tambah rajin berlatih menari, seminggu

    saya mesti les minimum sekali dengan bayaran uang les sebesar Rp 5,- per bulan. Ketika

    di usia SD saya tambah bersemangat, sebab mulai diikutkan pentas menari di acara 17

    Agustus-an di Lapangan Pasar Bunul, Malang. Di Pentas meriah itu saya menari Tari

    Merak, sungguh senang rasanya. Kenang Titik akan masa lalunya yang manis. Semasa

  • 5

    SMP, saya pindah berguru tari kepada pak Mulyono selama 5 tahun. Di masa-masa ini saya

    sudah bisa memberi kursus tari kepada anak-anak. Saya mengajar anak di jalan Tawang

    Mangu, Malang.

    Kecintaan Titik pada dunia tari tak dapat

    dibendung lagi, tekadnya sebagai seniman tari

    terus bergelora. Sampai suatu hari,

    perempuan muda nan cantik ini memberanikan

    diri untuk ikut group Wayang Orang, Saya

    mulai di bon main oleh Mbah Suprapto Salyo

    Pati, seorang pelatih Wayang Orang yang

    terkenal. Mbah Prapto selain pakar juga

    melatih W. O. Ang Hien Hoo sampai kelak di

    era W.O.Panca Budhi. Dalam pentas Wayang

    Orang, beliau seringkali memberi saya peran

    Dewi Sembodro, yang jadi idola perempuan

    Jawa. Dewi Sembrodro cantik jelita, anggun,

    lembut, tenang dan setia kepada sang suami,

    Raden Arjuna. Mungkin dulu Mbah Prapto

    melihat saya begitu, ya? komentar Titik

    seraya tertawa bangga, Tapi kalau sekarang,

    pasti akan berbeda lagi. Postur tubuh saya

    yang gemuk dan kecantikannya tinggal sisa,

    jauh dari citra Sembodro, hehehe. Tambahnya merendah.

    Jagad Wayang Orang digeluti Titik alias Kwe Lian sudah cukup lama. Secara kronologi, ia

    tidak njamani masa kejayaan Wayang Orang Ang Hien Hoo (tahun 1957 sampai 1965).

    Kesertaan Titik ke W. O. Panca Budhi dimulai tahun 1986, karena itulah kisah-kisah

    kejayaan group W. O. Ang Hien Hoo ini, hanya ia dengarkan lewat tuturan para seniornya.

    Ketika penulis mewawancarai Titik di rumahnya, di Perum Cassava Regency, Jalan Ubi Kav.

    23 Bumi Ayu, Malang, memang terkesan banyak hal belum ia ketahui. Hal ini tentu bisa

    dimaklumi, sebab selama ini belum ada catatan sejarah W. O. Ang Hien Hoo yang cukup

    signifikan. Kalau toh ada data, boleh dibilang itu selintas, hanya cuplikan kecil dari

    sebuah gunung sejarahnya yang besar dan hebat. Soal sejarah Ang Hien Hoo, memang

    perlu segera dipikirkan bersama. Kalau tidak segera mencatatnya, tentu nara sumber

    yang tersisa ini bakal lewat juga. Mumpung ada kesempatan, mari kita tulis sejarahnya

    bersama-sama tanpa ada rasa ketakutan masa silam. Demikian ajakan Abdul Malik,

    penulis, budayawan Malang, kala bersilahturahmi ke rumah penulis (1 Maret 2016).

  • 6

    Soal sekolah Titik menjelaskan begini: Saya sekolah di SMA Taman Harapan Malang.

    Waktu itu saya sudah jadi anggota di Perkumpulan W. O. Panca Budhi. Karena ada

    undangan menari ke Jepang mewakili pabrik sumpit di Pasuruan, maka sekolah dan

    kegiatan menari di Panca Budhi harus saya tinggalkan selama setahun. Di negeri Sakura,

    saya. Sandy Prajudawati (dari Panca Budhi), Emmi, Retno (Bandung), Eva dan Wiwin dari

    Jakarta. Kami ber 6 menari klasik Jawa. Di kota Okayama, saya menari Gambyong,

    Adaninggarkelasworo, Minakjinggo Dayun, Gambiranom dan banyak lagi. Kesan saya

    masyarakat Jepang sangat menghargai seni-budaya klasik kita. Bahkan bisa dibilang

    antusias, mereka melihat seni tradisi kita sebagai suguhan istimewa yang indah dan

    pantas dikagumi.

    Hal demikian ini beda dengan disini, Di sini, seni-budaya kita yang adiluhung ini malah

    dianggap biasa-biasa saja, bahkan ada kecenderungan ditinggalkan diganti dengan seni

    budaya milik orang luar. Bukankah ini sangat menyedihkan? Saya berharap pada

    Masyarakat, Pemerintah, Seniman, Budayawan dan Pers dapat menyadari kembali arti

    pentingnya seni-budaya bagi kejayaan Bangsa Besar ini. Selain juga untuk diwariskan

    kepada generasi kedepan. pesan Titik atau Kwe Lian kepada bangsa Indonesia yang

    sangat dicintainya.

    Dikatakan Rustopo dalam bukunya berjudul

    Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa

    yang menjadi Jawa, yaitu mereka yang

    mengadopsi, menggunakan dan memproduksi

    simbol-simbol kebudayaan Jawa (Rustopo,

    2007: hal 11). Terhadap udaran Rustopo ini,

    mungkin saja Titik Widarningsih belum

    membaca atau malah tidak tahu. Sekalipun

    demikian, Titik Widarningsih alias Kwee

    Lian nyatanya sudah menjalani apa yang

    diisyaratkan oleh Rustopo di hampir

    separuh hidupnya. Saya meski terlahir

    sebagai keturunan Tionghoa, tapi jiwa dan

    hati saya sudah Jawa. Saya sekeluarga

    sejak kecil tidak pernah mempermasalahkan

    hal itu. Saya dan suami dan anak-anak

    sungguh merasa menjadi orang Jawa

    seutuhnya. Demikian dinyatakan Peranakan

    Tionghoa ini dengan kesungguhan hati.

  • 7

    Fakta sejarah Nusantara memang telah membukti pernyataan di atas. Peranan etnis

    Tionghoa dalam membangun bangsa Indonesia sudah dimulai sejak jaman Sriwijaya,

    Singhasari, Majapahit, Mataram Islam, jaman Kemerdekaan hingga hari ini. Jadi

    sesungguhnya persoalan diskriminasi dan sejenisnya yang seringkali masih dimunculkan

    sebagai alat politik kekuasaan sebaiknya dihentikan. Kita bersatu, berpegang teguh pada

    Panca Sila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai Pusaka Bangsa.

    Dalam mempertajam rasa ke-Jawa-annya, Titik sejak kelas 4 SD sudah diikutkan

    menjadi asisten ibu Retno, seorang penari dan perias Temanten Jawa. Dari ibu Retno

    saya belajar rias Temanten Jawa dan berbahasa Jawa dengan benar. Disitu saya

    mengerti budaya Jawa banyak menyimpan unggah-ungguh yang wajib dilakoni (dilakukan).

    Misalnya tatanan wicara yang mengenal tingkatan, dari berbahasa Ngoko di arus

    pergaulan ke bahasa Krama di tingkat yang lebih atas dan Krama Hinggil halus untuk

    yang dihormati. Demikian diterangkan ibu tiga anak ini dengan serius, Yang saya

    rasakan, dengan belajar kebudayaan Jawa, kita sebenarnya diarahkan untuk belajar

    mengoreksi diri sendiri. kata si mbah, Urip kuwi kudu sumeleh (hidup itu harus lurus

    pikir, rendah hati, menerima dan tidak jumawa atau sombong). sambungnya berfilsafat.

    Setelah cukup lama saya nyantrik (ikut

    serta) kepada Ibu Retno, akhirnya saya

    terbiasa berbahasa Jawa dengan benar dan

    lancar. Hal ini menjadi bekal saya memasuki

    dunia Jawa selain sebagai persyaratan

    utama bermain Wayang Orang. Dalam

    pentas Wayang Orang, seorang pemain

    dituntut untuk bisa Antawancana

    (berbicara) secara benar dalam tata bahasa

    juga aksennya. Selain itu diwajibkan bisa

    nembang atau palaran (bernyanyi) selain

    menari atau gandrungan (menari). Ketiga

    persyaratan ini dibarengi tuntutan 3 hal

    berikutnya yakni Wiraga, yakni yang terkait

    fiksik misalnya menari. Lalu Wirama yang

    menyangkut kebisaan mendengar, bernyanyi,

    bergerak seiring musik. Terakhir sekali

    adalah Wirasa yang butuh latihan serius dan

    panjang. Hal ini yang paling sulit, sebab

  • 8

    dituntut agar bisa merasakan apa yang tengah kita lakukan. Ini menyangkut ruh dan

    penjiwaan seseorang dalam melakonkan karakter seorang tokoh dalam Wayang Orang.

    Jelas ibu tiga anak ini dengan mantab.

    Diterangkan lebih lanjut bahwa hal yang paling sulit dalam pentas Wayang Orang adalah

    ketika memasuki babak Perang. Dalam babak ini, kita sambil bergerak dituntut untuk

    berbicara bahkan bernyanyi. Hal demikian ini tentu cukup sulit bagi pemula, sebab butuh

    konsentrasi ganda. Menghafal percakapan dan menghafal gerak. Selain masih harus

    mensinkronkan gerak tersebut dengan isi ucapan, atau alur nyanyian agar selaras cerita.

    Komentar Titik. Persoalan praktiknya tidak berhenti disitu tapi berlanjut masih harus

    menyatukan dengan jenis irama gamelan, terutama dengan kendang.

    Dalam Wayang Orang ada istilah dol tinuku maksudnya di satu sisi anak wayang terus

    bergerak mengikuti alur cerita, dipihak lain panjak atau penabuh gamelan yang dimotori

    oleh Pengendang, wajib meresponnya dengan benar secara waktu dan jenis pukulan

    kendang. Begitu diterangkan Pak Toni Subroto yang beberapa malam sebelumnya pentas

    dengan memerankan tokoh Rahwana, Untuk iringan menari, saya dan istri paling cocok

    kalau di- kendang-i pak Miskun yang kini

    sudah almarhum. Beliau ahli kendang dan

    bisa meresapi gerak kami berdua

    manakala menari tarian tunggal semisal

    Cucuk Lampah, Gambyong, Gatot Kaca

    Sekar dan Karonsih. Namun tentu juga

    ketika kami main dalam pentas Lakon

    Wayang Orang.

    Ada peristiwa tragis terkait pentas tari

    yang dialami oleh pasangan Titik

    Widarningsih dan Toni Subroto ini.

    Kisahnya terjadi tahun 1997, kala itu

    walikotanya pak Soesamto, yang perhatian

    sekali pada Budaya Jawa. Karena itu order

    menari datang begitu padat; boleh dikata

    kami berdua yang pasangan penari ini

    selalu dibanjiri order. Suatu hari kami

    diundang menari di jamuan pernikahan

    Jawa. Seperti biasa saya menari dengan

    suami tarian Gatot Kaca Sekar. Saat itu

  • 9

    kami bawa putra kami, Agung Bayu Aji yang masih kecil. Ditengah kami tengah menari,

    lelaki kecil kami itu duduk diam diantara tamu-tamu undangan yang tengah berpesta pora.

    Mungkin dalam pikiran anak saya, kok enak orang-orang ini makan dan minum sambil

    ketawa-ketawa, sementara ayah-ibu saya harus mandi keringat menari untuk menghibur

    mereka. Ini tidak adil protesnya! Mungkin begitu, sehingga diam-diam air mata lelaki

    kecilku itu meleleh di pipinya. Hati kami terenyuh menyaksikan hal demikian ini yang

    sontak telah menyadarkan kami sebagai orang tua. Usai menari bergegas kami hampiri

    putra kami dan merangkulnya erat sambil mengucap maaf. Sejak peristiwa itu kami selalu

    mengatur waktu untuk menari dan menyadarkan resiko profesi kami kepada anak-anak.

    Demikian dituturkan Titik dan Toni dalam kenangan mereka yang abadi.

    Saya lulus dari STIBA (Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa) tahun 1992 di jurusan Inggris dan

    Jepang. Setelah lulus langsung berprofesi sebagai penari dan menari diberbagai kota

    mulai Malang, Surabaya, Tulung Agung, Kediri, Surakarta, Jogjakarta, Jakarta dan

    banyak lagi. Terang Titik akan perjalanan keseniannya. Pernah rombongan kami,

    Wayang Orang Panca Budhi, diminta main di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta. Kami

    semua diangkut dengan pesawat Herkules dari Lanud Abdurachman Saleh, Malang.

    Disana kami main dengan lakon Sumantri Ngenger. Kebetulan saya ditunjuk sutradara

    untuk berperan sebagai Dewi Citrawati. ingat Titik lebih detil.

    Kalau ditanya kenapa saya mau menari kemana

    saja padahal imbalan materinya kecil?

    Dasarnya adalah kecintaan pada seni tradisi ini,

    seni Wayang Orang. Namun sekarang saya

    tidak lagi menari lepas karena faktor phisik,

    yakni bentuk tubuh dan usia saya. akunya

    singkat, Dalam tarian lepas dibutuhkan

    remaja yang parasnya cantik dan bentuk

    tubuhnya ideal (langsing). Ditambah lagi

    stamina yang prima, gesit dalam bergerak

    untuk mencapai keindahan. Dalam gerak tari

    seringkali gerak menyiratkan sesuatu, misalnya

    pada tangan dan jemari, seperti nyempurit,

    ngruji, kepelan yang masing-masing punya

    maksud tersendiri.

    Toni Subroto, sang suami.

  • 10

    Titik Widarningsih bersama sang suami, Toni Subroto ibarat Rama dan Shinta,

    Sembodro dan Arjuna yang harmonis. Awalnya kami ketemunya di tempat latihan.

    Karena seringkali latihannya malam hari, maka mas Toni sering menjemput dan

    mengantar pulang ketika latihan di Panca Budhi, jalan Laksamana Martadinata, Malang.

    Ada pepatah mengatakan witing tresna jalaran saka kulina (artinya: benih cinta bisa

    tumbuh dari terbiasanya perjumpaan), mungkin pepatah ini yang terjadi pada kami.

    Karena seringnya mas Toni antar jemput saya, maka diam-diam muncul benih cinta di hati

    kami. Terbukti tahun 1988 kami mulai berpacaran hingga 8 tahun dan kami akhiri dengan

    akad nikah di tahun 1996. Dari buah cinta pernikahan kami, lahir 3 orang anak yang kami

    sayangi. Yang pertama laki-laki, kami beri nama Agung Bayu Aji, masih kuliah di Politeknik.

    Adiknya seorang perempuan cantik bernama Ratih Nurmalita Hapsari, duduk di bangku

    SMA. Ratih inilah yang sebenarnya mewarisi bakat menari orang tuanya. Terakhir si

    bungsu perempuan juga bernama Nurmalia Praba Gupito masih di SMP.

    Malang, 3 Maret 2016

    Ditulis oleh: Bambang AW.