japonicum

12
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Atas limpahan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas parasitologi dengan judul schistosoma japonikum. Dalam penyusunan tugas ini, penulis banyak mendapat dorongan dari semua pihak. Tak lupa kami ucapkan terima kasih. Penulis menyadari bahwa tugas ini masih banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan dari semua pihak. Penulis berharap kiranya makalah ini bermanfaat bagi analis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Amin. Penulis

Upload: julia-asia-evrina

Post on 29-Dec-2015

42 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Japonicum Parasitologi

TRANSCRIPT

Page 1: Japonicum

KATA PENGANTAR

          Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Atas limpahan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas parasitologi dengan judul schistosoma japonikum.          Dalam penyusunan tugas ini, penulis banyak mendapat dorongan dari semua pihak. Tak lupa kami ucapkan terima kasih.          Penulis menyadari bahwa tugas ini masih banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan dari semua pihak.          Penulis berharap kiranya makalah ini bermanfaat bagi analis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Amin.

                                                                             Penulis

                                                  

Page 2: Japonicum

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDULDAFTAR ISIBAB I KATA PENGANTARBAB II KELAS TREMATODA2.1    Schistosoma Japonicum2.2    Morfologi2.3    Siklus Hidup 2.4. Hospes2.5.   Patologi dan Gejala Klinik2.6. Epidiemologi di Indonesia2.7.   Pencegahan2.8.   Diagnosa2.9.   Pengobatan BAB III PENUTUP3.1 Kesimpulan3.2 SaranDAFTAR PUSTAKA

Page 3: Japonicum

2.1. Schistosoma Japonicum

Cacing darah atau Schistosome adalah cacing pipih parasit yang dapat hidup di dalam

tubuh manusia selama beberapa dekade. Mereka melakukan perjalanan yang agak

mengerikan. Setelah menetas di dalam air yang terkontaminasi oleh kotoran, kemudian

parasit berpindah ke tubuh manusia melalui siput kecil yang membuat liang melalui kulit.

Pada manusia ditemukan 3 spesies penting: Schistosoma japonicum, Schistosoma mansomi,

dan Schistosoma haematobium. Dari ketiga spesies tersebut Schistosoma Japonicum adalah

yang paling berbahaya.

Schistosoma Japonicum adalah bangsa helminthes golongan trematoda yang

merupakan penyebab penyakit schistosomiasis. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan

yang signifikan terutama di daerah danau dan rawa. Salah satu gejela penderita yang

terinfeksi oleh schistosomes adalah demam Katayama akut. Infeksi Schistosoma Japonicum

ditemukan di Jepang pada tahun 1904 dan merupakan penyakit yang endemik di Jepang. Jika

tidak diobati, maka akan berkembang menjadi kondisi kronis yang ditandai oleh penyakit

hepatosplenic dan perkembangan fisik dan kognitif terganggu.

2.2.     Morfologi

Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5 –

19,5mm x 0,9mm. badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat

tonjolan halus sampai kasar, tergantung spesiesnya. Di bagian ventral badan terdapat canalis

gynaecophorus, tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di

dalam pelukan cacing jantan. Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran

16,0 – 26,0mm x 0,3mm. pada umumnya uterus berisi 50-300 butir telur. Cacing trematoda

ini hidup di pembuluh darah terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan

selaput lender usus atau kandung kemih.

Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunya operculum.

Telur cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi duri tergantung pada spesiesnya.

Telur berukuran 95 – 135 x 50-60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh

darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk

kemudian ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air dan larva yang

keluar disebut mirasidium.

Page 4: Japonicum

2.3. Siklus Hidup

Siklus hidup Schistosoma Japonicum dan Schistosoma Mansoni sangat mirip. Secara

singkat, telur dari parasit dilepaskan dalam tinja dan jika mengalami kontak dengan air

mereka menetas menjadi larva yang berenang bebas, yang disebut miracidia . Larva

kemudian harus menginfeksi keong dari genus Oncomelania seperti jenis lindoensis

Oncomelania dalam satu atau dua hari. Di dalam keong, larva mengalami reproduksi aseksual

melalui serangkaian tahapan yang disebut sporocysts. Setelah tahap reproduksi aseksual,

cercaria  yang dihasilkan dalam jumlah besar, yang kemudian meninggalkan keong dan harus

menginfeksi inang vertebrata yang cocok. Setelah cercaria menembus kulit tuan rumah

kehilangan ekornya dan menjadi sebuah schistosomule, Cacing kemudian bermigrasi melalui

sirkulasi, berakhir di pembuluh darah mesenterika dimana mereka kawin dan mulai bertelur.

Setiap pasangan desposits sekitar 1500 - 3500 telur per hari dalam dinding usus. Telur

menyusup melalui jaringan dan terdapat dalam tinja.

2.4. Hospes

Hospes definitifnya adalah manusia. Binatang dapat berperan sebagai hospes

reservoar. Cacing Schistosoma Japonicum hanya mempunyai satu macam hospes perantara

yaitu keong air, tidak terdapat hospes perantara kedua.

2.5. Patologi dan Gejala Klinik

         Perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan oleh 3 stadium cacing ini, yaitu

serkaria, cacing dewasa, dan telur.yang penting adalah yang disebabkan oleh telur.

Perubahan-perubahan pada skistosomiasis dibagi dalam 3 macam stadium:

1. Masa tunas biologik

Gejala kulit dan alergi

Waktu antara serkaria menembus kulit sampai menjadi dewasa disebut masa tunas

biologic. Perubahan kulit yang timbul berupa eritem dan papula yang disertai

perasaan gatal dan panas. Bila banyak jumlah serkaria menembus kulit, maka akan

terjadi dermatitis. Biasanya kelainan kulit hilang dalam waktu dua atau tiga hari.

Gejalan paru

Gejala batuk sering ditemukan, kadang-kadang disertai dengan pengeluaran dahak

yang produktif dan pada beberapa kassus bercampur dengan sedikit darah. Pada kasus

yang rentan gejalan= dapat menjadi berat sekali hingga timbul serangan asma.

Gejala toksemia

Page 5: Japonicum

Pada stadium ini dapat timbul gejala seperti: lemah, malaise, tidak nafsu makan, mual

dan muntah, sakit kepala dan nyeri tubuh. Diare disebabkan oleh keadaan

hipersensitif terhadap cacing. Pada kasus berat gejala tersebut dapat bertahan sampai

3 bulan. Kadang-kadang terjadi sakit perut dan tenesmus. Hati dan limpa membesar

dan nyeri pada perabaan.

2. Stadium akut

Stadium ni dimulai sejak cacing betina bertelur. Telur yang diletakkan di dalam

pembuluh darah keluar dan masuk ke dalam jaringan sekitarnya, dan mencapai lumen

dengan cara menembus mukosa. Keluhan yang terjadi pada stadium ini adalah

demam, malise, dan berat badan menurun. Sindrom disentri biasanya ditemukan pada

infeksi berat dan pada kasus yang ringan hanya ditemukan diare.

3. Stadium menahun

Pada stadium ini terrjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jarinhan ikat

(fibrosis). Hepar yang semula membesar karena peradangan, kemudian mengecil

karena terjadi fibrosis, hal ini disebut sirosis. Pada skistosomamiasis, sirosis yang

terjadi adalah sirosis periportal, yang mengakibatkan terjadinya hipertensi portal

karena adanya bendungan di jaringan hati. Gejala yang timbul adalah: speinomegali,

edema yang biasanya ditemuka pada tungkai bawah, dapat pula pada alat kelamin.

Dapat ditemukan asites dan ikterus. Pada stadium lanjut sekali dapat terjadi

hematemesis yang disebabkan karena pecahnya varises pada esophagus.

2.6. Epidiemologi di Indonesia

Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu

di daerah danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit ini ditemukan pada

tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972.

         Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai

hospes reservoar; yang terpenting adalah berbagai spesies tikus sawah (rattus). Selain itu rusa

hutan, babi hutan, sapi, dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.

        Hospes perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis Lindoensis baru ditemukan

pada tahun 1971 (Carney dkk, 1973). Habitat keong di daerah danau Lindu ada 2 macam,

yaitu:

1.    Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi, atau di

pinggir parit di antara sawah.

2.    Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah.

Page 6: Japonicum

  Cara penanggulangan skistomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak

tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemen

Kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan Pemukiman (Subdit, P2M dan PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari

kira-kira 37% turun menjadi kira-kira 1,5% setelah pengobatan.

2.7. Pencegahan

Memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis tentang cara-cara

penularan dan cara pemberantasan penyakit ini diantaranya:

Membuang air besar dam buang air kecil dijamban yang saniter agar telur cacing tidak

mencapai badan-badan air tawar yang mengandung keong sebagai inang antara

Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi S. japonicum perlu dilakukan tetapi biasanya

tidak praktis

Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian

Mengurangi habitat keong dengan membersihkan badan-badan air dari vegetasi atau

dengan mengeringkan dan mengalirkan air.

Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida (biaya yang tersedia

mungkin terbatas untuk penggunaan moluskisida ini).

Untuk mencegah pemajanan dengan air yang terkontaminasi gunakan sepatu bot karet.

Untuk mengurangi penetrasi serkaria setelah terpajan dengan air yang terkontaminsai

dalam waktu singkat atau secara tidak sengaja yaitu kulit yang basah dengan air yang

diduga terinfeksi dikeringkan segera dengan handuk. Bisa juga dengan mengoleskan

alkohol 70% segera pada kulit untuk membunuh serkaria.

Persediaan air minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian hendaknya diambil dari

sumber yang bebas serkaria atau air yang sudah diberi obat untuk membunuh

serkariannya.

2.8. Diagnosa

       

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan biopsi

hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan

diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah COPT (Circumoval precipitin test), IHT

(Indirect Haemagglutation test), CFT (Complement fixation test), FAT (Fluorescent antibody

test) dan ELISA (Enzyme linked immuno sorbent assay).

Page 7: Japonicum

2.9. Pengobatan

- Emetin (Tartras emetikus)

Tartars emetikus atau antimony kalium tartrat dapat dikatakan sebagai obat schistosomisida

yang cukup efektif, akan tetapi mempunyai efek samping yang agak berat, antara lain mual,

muntah, batuk, pusing, sakit kepala, nyeri pada tubuh, miokarditis yang tampak pada EKG,

bradi atau takikardia, shok dan kadang-kadang mati mendadak. Dengan pengobatan ini,

penyembuhan penderita skhistosomiasis dapat dicapai dalam waktu 3 hari, tetapi

pengobatan tersebut menimbulkan efek samping yang lebih berat.

-  Obat Niridazol (1-Nitro-2, thiazoyl-2 imidazolidnone) (Ambilhar, Ciba-32, 644, Ba)

Niridazol agak lambat diserap dari traktus intestinalis dan diuraikan di dalam hati menjadi

metabolit yang tidak toksik. Pengobatan infeksi S.japonicum dengan Niridazol telah

dilakukan di Jepang, Filipina, dan Indonesia. Dosis yang dipakai adalah 25 mg/kg berat

badan/hari selama 10 hari berturut-turut dan mendapatkan hasil 20% masih positif 2 bulan

setelah pengobatan, 13% masih positif 6 bulan setelah pengobatan 21,8% positif 11 bulan

setelah pengobatan. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah keluhan gastrointestinal

seperti mual, muntah, tidak nafsu makan dan diare.

-  Obat Prazikuantel (Embay® 8440; Droncit®, Biltricide®) Bayer, A.G. dan Merck

Darmstadt

Di Indonesia prazikuantel dipakai untuk pertama kali sebagai pengobatan percobaan pada

infeksi S.japonicum (Joesoef dkk, 1980). Dosis yang dipakai adalah 35 mg per kg berat

badan, diberikan 2 kali dalam satu hari sehingga dosis total adalah 70 mg/kg berat badan per

hari. Efek samping adalah mual (3,7%), pusing (6,1%), demam (2,4%) dan disentri (1,8%).

Dari hasil pengobatan yang diuraikan diatas ternyata obat ini cukup baik dengan hasil

penyembuhan cukup besar serta efek samping dapat dikatakan ringan, sehingga prospek obat

ini cukup baik untuk dipakai dalam pengobatan masal sebagai obat anti Schistosoma di

daerah Danau Lindu dan Napu, Sulawesi Tengah.

BAB IIIPENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Page 8: Japonicum

          Dari hasil pembelajaran kami, manusia yang terinvasi schistosoma tetap menunjukkan gejala klinis, hal ini disebabkan oleh terapi yang belum memuaskan. Oleh sebab itu perlu perhatian semua pihak untuk dapat menyembuhkan orang yang sakit schistostomiasis. Penyakit yang disebabkan oleh cacing, tidak boleh dianggap gampang dan perlu perhatian khusus agar mereka dapat berkarya serta berprestasi.          3.2 SARAN          Hendaknya pemerintah lebih perhatian terhadap kasus kecacingan, karena dapat menjadi wabah apabila dibiarkan. Perlu adanya penyuluhan tentang kebersihan pribadi dan lingkungan, bahaya yang mengancam akibat schistosoma dan pencegahan serta pengobatannya.          Warga harus proaktip dan mendukung kebijakan pemerintah sehingga tercipta lingkungan yang bersih dan sehat. Sehingga mereka dapat bekerja dan berkarya  lebih maksimal menuju masyarakat yang makmur dan sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

Gandahusada Srisasi. Parasitologi Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1992.

Soejoto , dkk. 1988. Parasitologi medik, jilid 2, helmintologiMahon and Manuselis, 2000. The life cycle of Schistosoma. Wikipedia, the free encyclopedia, Katsurada, 1904Nature, come homepagePosted 17th March 2012 by Mazzaguz Labels: MAKALAH