japonicum
DESCRIPTION
Japonicum ParasitologiTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Atas limpahan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas parasitologi dengan judul schistosoma japonikum. Dalam penyusunan tugas ini, penulis banyak mendapat dorongan dari semua pihak. Tak lupa kami ucapkan terima kasih. Penulis menyadari bahwa tugas ini masih banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan dari semua pihak. Penulis berharap kiranya makalah ini bermanfaat bagi analis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDULDAFTAR ISIBAB I KATA PENGANTARBAB II KELAS TREMATODA2.1 Schistosoma Japonicum2.2 Morfologi2.3 Siklus Hidup 2.4. Hospes2.5. Patologi dan Gejala Klinik2.6. Epidiemologi di Indonesia2.7. Pencegahan2.8. Diagnosa2.9. Pengobatan BAB III PENUTUP3.1 Kesimpulan3.2 SaranDAFTAR PUSTAKA
2.1. Schistosoma Japonicum
Cacing darah atau Schistosome adalah cacing pipih parasit yang dapat hidup di dalam
tubuh manusia selama beberapa dekade. Mereka melakukan perjalanan yang agak
mengerikan. Setelah menetas di dalam air yang terkontaminasi oleh kotoran, kemudian
parasit berpindah ke tubuh manusia melalui siput kecil yang membuat liang melalui kulit.
Pada manusia ditemukan 3 spesies penting: Schistosoma japonicum, Schistosoma mansomi,
dan Schistosoma haematobium. Dari ketiga spesies tersebut Schistosoma Japonicum adalah
yang paling berbahaya.
Schistosoma Japonicum adalah bangsa helminthes golongan trematoda yang
merupakan penyebab penyakit schistosomiasis. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan
yang signifikan terutama di daerah danau dan rawa. Salah satu gejela penderita yang
terinfeksi oleh schistosomes adalah demam Katayama akut. Infeksi Schistosoma Japonicum
ditemukan di Jepang pada tahun 1904 dan merupakan penyakit yang endemik di Jepang. Jika
tidak diobati, maka akan berkembang menjadi kondisi kronis yang ditandai oleh penyakit
hepatosplenic dan perkembangan fisik dan kognitif terganggu.
2.2. Morfologi
Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5 –
19,5mm x 0,9mm. badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat
tonjolan halus sampai kasar, tergantung spesiesnya. Di bagian ventral badan terdapat canalis
gynaecophorus, tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di
dalam pelukan cacing jantan. Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran
16,0 – 26,0mm x 0,3mm. pada umumnya uterus berisi 50-300 butir telur. Cacing trematoda
ini hidup di pembuluh darah terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan
selaput lender usus atau kandung kemih.
Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunya operculum.
Telur cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi duri tergantung pada spesiesnya.
Telur berukuran 95 – 135 x 50-60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh
darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk
kemudian ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air dan larva yang
keluar disebut mirasidium.
2.3. Siklus Hidup
Siklus hidup Schistosoma Japonicum dan Schistosoma Mansoni sangat mirip. Secara
singkat, telur dari parasit dilepaskan dalam tinja dan jika mengalami kontak dengan air
mereka menetas menjadi larva yang berenang bebas, yang disebut miracidia . Larva
kemudian harus menginfeksi keong dari genus Oncomelania seperti jenis lindoensis
Oncomelania dalam satu atau dua hari. Di dalam keong, larva mengalami reproduksi aseksual
melalui serangkaian tahapan yang disebut sporocysts. Setelah tahap reproduksi aseksual,
cercaria yang dihasilkan dalam jumlah besar, yang kemudian meninggalkan keong dan harus
menginfeksi inang vertebrata yang cocok. Setelah cercaria menembus kulit tuan rumah
kehilangan ekornya dan menjadi sebuah schistosomule, Cacing kemudian bermigrasi melalui
sirkulasi, berakhir di pembuluh darah mesenterika dimana mereka kawin dan mulai bertelur.
Setiap pasangan desposits sekitar 1500 - 3500 telur per hari dalam dinding usus. Telur
menyusup melalui jaringan dan terdapat dalam tinja.
2.4. Hospes
Hospes definitifnya adalah manusia. Binatang dapat berperan sebagai hospes
reservoar. Cacing Schistosoma Japonicum hanya mempunyai satu macam hospes perantara
yaitu keong air, tidak terdapat hospes perantara kedua.
2.5. Patologi dan Gejala Klinik
Perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan oleh 3 stadium cacing ini, yaitu
serkaria, cacing dewasa, dan telur.yang penting adalah yang disebabkan oleh telur.
Perubahan-perubahan pada skistosomiasis dibagi dalam 3 macam stadium:
1. Masa tunas biologik
Gejala kulit dan alergi
Waktu antara serkaria menembus kulit sampai menjadi dewasa disebut masa tunas
biologic. Perubahan kulit yang timbul berupa eritem dan papula yang disertai
perasaan gatal dan panas. Bila banyak jumlah serkaria menembus kulit, maka akan
terjadi dermatitis. Biasanya kelainan kulit hilang dalam waktu dua atau tiga hari.
Gejalan paru
Gejala batuk sering ditemukan, kadang-kadang disertai dengan pengeluaran dahak
yang produktif dan pada beberapa kassus bercampur dengan sedikit darah. Pada kasus
yang rentan gejalan= dapat menjadi berat sekali hingga timbul serangan asma.
Gejala toksemia
Pada stadium ini dapat timbul gejala seperti: lemah, malaise, tidak nafsu makan, mual
dan muntah, sakit kepala dan nyeri tubuh. Diare disebabkan oleh keadaan
hipersensitif terhadap cacing. Pada kasus berat gejala tersebut dapat bertahan sampai
3 bulan. Kadang-kadang terjadi sakit perut dan tenesmus. Hati dan limpa membesar
dan nyeri pada perabaan.
2. Stadium akut
Stadium ni dimulai sejak cacing betina bertelur. Telur yang diletakkan di dalam
pembuluh darah keluar dan masuk ke dalam jaringan sekitarnya, dan mencapai lumen
dengan cara menembus mukosa. Keluhan yang terjadi pada stadium ini adalah
demam, malise, dan berat badan menurun. Sindrom disentri biasanya ditemukan pada
infeksi berat dan pada kasus yang ringan hanya ditemukan diare.
3. Stadium menahun
Pada stadium ini terrjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jarinhan ikat
(fibrosis). Hepar yang semula membesar karena peradangan, kemudian mengecil
karena terjadi fibrosis, hal ini disebut sirosis. Pada skistosomamiasis, sirosis yang
terjadi adalah sirosis periportal, yang mengakibatkan terjadinya hipertensi portal
karena adanya bendungan di jaringan hati. Gejala yang timbul adalah: speinomegali,
edema yang biasanya ditemuka pada tungkai bawah, dapat pula pada alat kelamin.
Dapat ditemukan asites dan ikterus. Pada stadium lanjut sekali dapat terjadi
hematemesis yang disebabkan karena pecahnya varises pada esophagus.
2.6. Epidiemologi di Indonesia
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu
di daerah danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit ini ditemukan pada
tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972.
Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai
hospes reservoar; yang terpenting adalah berbagai spesies tikus sawah (rattus). Selain itu rusa
hutan, babi hutan, sapi, dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.
Hospes perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis Lindoensis baru ditemukan
pada tahun 1971 (Carney dkk, 1973). Habitat keong di daerah danau Lindu ada 2 macam,
yaitu:
1. Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi, atau di
pinggir parit di antara sawah.
2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah.
Cara penanggulangan skistomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak
tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman (Subdit, P2M dan PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari
kira-kira 37% turun menjadi kira-kira 1,5% setelah pengobatan.
2.7. Pencegahan
Memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis tentang cara-cara
penularan dan cara pemberantasan penyakit ini diantaranya:
Membuang air besar dam buang air kecil dijamban yang saniter agar telur cacing tidak
mencapai badan-badan air tawar yang mengandung keong sebagai inang antara
Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi S. japonicum perlu dilakukan tetapi biasanya
tidak praktis
Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian
Mengurangi habitat keong dengan membersihkan badan-badan air dari vegetasi atau
dengan mengeringkan dan mengalirkan air.
Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida (biaya yang tersedia
mungkin terbatas untuk penggunaan moluskisida ini).
Untuk mencegah pemajanan dengan air yang terkontaminasi gunakan sepatu bot karet.
Untuk mengurangi penetrasi serkaria setelah terpajan dengan air yang terkontaminsai
dalam waktu singkat atau secara tidak sengaja yaitu kulit yang basah dengan air yang
diduga terinfeksi dikeringkan segera dengan handuk. Bisa juga dengan mengoleskan
alkohol 70% segera pada kulit untuk membunuh serkaria.
Persediaan air minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian hendaknya diambil dari
sumber yang bebas serkaria atau air yang sudah diberi obat untuk membunuh
serkariannya.
2.8. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan biopsi
hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah COPT (Circumoval precipitin test), IHT
(Indirect Haemagglutation test), CFT (Complement fixation test), FAT (Fluorescent antibody
test) dan ELISA (Enzyme linked immuno sorbent assay).
2.9. Pengobatan
- Emetin (Tartras emetikus)
Tartars emetikus atau antimony kalium tartrat dapat dikatakan sebagai obat schistosomisida
yang cukup efektif, akan tetapi mempunyai efek samping yang agak berat, antara lain mual,
muntah, batuk, pusing, sakit kepala, nyeri pada tubuh, miokarditis yang tampak pada EKG,
bradi atau takikardia, shok dan kadang-kadang mati mendadak. Dengan pengobatan ini,
penyembuhan penderita skhistosomiasis dapat dicapai dalam waktu 3 hari, tetapi
pengobatan tersebut menimbulkan efek samping yang lebih berat.
- Obat Niridazol (1-Nitro-2, thiazoyl-2 imidazolidnone) (Ambilhar, Ciba-32, 644, Ba)
Niridazol agak lambat diserap dari traktus intestinalis dan diuraikan di dalam hati menjadi
metabolit yang tidak toksik. Pengobatan infeksi S.japonicum dengan Niridazol telah
dilakukan di Jepang, Filipina, dan Indonesia. Dosis yang dipakai adalah 25 mg/kg berat
badan/hari selama 10 hari berturut-turut dan mendapatkan hasil 20% masih positif 2 bulan
setelah pengobatan, 13% masih positif 6 bulan setelah pengobatan 21,8% positif 11 bulan
setelah pengobatan. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah keluhan gastrointestinal
seperti mual, muntah, tidak nafsu makan dan diare.
- Obat Prazikuantel (Embay® 8440; Droncit®, Biltricide®) Bayer, A.G. dan Merck
Darmstadt
Di Indonesia prazikuantel dipakai untuk pertama kali sebagai pengobatan percobaan pada
infeksi S.japonicum (Joesoef dkk, 1980). Dosis yang dipakai adalah 35 mg per kg berat
badan, diberikan 2 kali dalam satu hari sehingga dosis total adalah 70 mg/kg berat badan per
hari. Efek samping adalah mual (3,7%), pusing (6,1%), demam (2,4%) dan disentri (1,8%).
Dari hasil pengobatan yang diuraikan diatas ternyata obat ini cukup baik dengan hasil
penyembuhan cukup besar serta efek samping dapat dikatakan ringan, sehingga prospek obat
ini cukup baik untuk dipakai dalam pengobatan masal sebagai obat anti Schistosoma di
daerah Danau Lindu dan Napu, Sulawesi Tengah.
BAB IIIPENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari hasil pembelajaran kami, manusia yang terinvasi schistosoma tetap menunjukkan gejala klinis, hal ini disebabkan oleh terapi yang belum memuaskan. Oleh sebab itu perlu perhatian semua pihak untuk dapat menyembuhkan orang yang sakit schistostomiasis. Penyakit yang disebabkan oleh cacing, tidak boleh dianggap gampang dan perlu perhatian khusus agar mereka dapat berkarya serta berprestasi. 3.2 SARAN Hendaknya pemerintah lebih perhatian terhadap kasus kecacingan, karena dapat menjadi wabah apabila dibiarkan. Perlu adanya penyuluhan tentang kebersihan pribadi dan lingkungan, bahaya yang mengancam akibat schistosoma dan pencegahan serta pengobatannya. Warga harus proaktip dan mendukung kebijakan pemerintah sehingga tercipta lingkungan yang bersih dan sehat. Sehingga mereka dapat bekerja dan berkarya lebih maksimal menuju masyarakat yang makmur dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada Srisasi. Parasitologi Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1992.
Soejoto , dkk. 1988. Parasitologi medik, jilid 2, helmintologiMahon and Manuselis, 2000. The life cycle of Schistosoma. Wikipedia, the free encyclopedia, Katsurada, 1904Nature, come homepagePosted 17th March 2012 by Mazzaguz Labels: MAKALAH