jalan terjal menurunkan aki

88
Jalan Terjal Menurunkan Angka Kematian Ibu didukung oleh: editor: Irawan Saptono Laporan Penelitian INFID No. 1/2013

Upload: infid

Post on 20-Oct-2015

133 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Jalan-Terjal-Menurunkan-AKI

TRANSCRIPT

Page 1: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan TerjalMenurunkan Angka Kematian Ibu

didukung oleh:

editor: Irawan Saptono

Laporan Penelitian INFID No. 1/2013

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105

Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12540Tel: (021) 781.9734, 781.9735

Fax: (021) 788.44703Email: infi d@infi d.org

Website: www.infi d.org

Page 2: Jalan Terjal Menurunkan AKI
Page 3: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan TerjalMenurunkan Angka Kematian Ibu

INFID dan ISAI2013

Page 4: Jalan Terjal Menurunkan AKI

II

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kematian Ibu

Editor: Irawan Saptono

Peneliti dan Penulis:Irawan Saptono, Helena Rea, dan Wiratmo Probo

Asisten Peneliti:Jumono (DKI Jakarta) ; Chrisandi Demio (Jateng) ;Fricas Abdillah (Jatim) ; Herkulanus Agus (Kalbar) ;Sunardi Hawi (Sulsel) ; Indarwati Aminuddin (Papua)

Penerbit: International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)Jl. Jatipadang Raya Kav. 3 No. 105, P. MingguJakarta, 12540Tel: (021) 781.9734, 781.9735Fax: (021) 788.44703Email: infi d@infi d.orgWebsite: www.infi d.org

Cetakan pertama, Oktober 2013

Atas Dukungan dari:

III

Daftar Isi

Pengantar

Tiga Tujuan yang Tak Tercapai

Misteri Angka Kematian Ibu Melahirkan

Kemiskinan, Kematian dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

Kematian dan Tradisi Melahirkan

Akses dan Hak Memperoleh Informasi Kesehatan

Program Instan Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi

Agenda Pembangunan Pasca 2015: Dibutuhkan Per-panjanganWaktu

v

1

23

31

51

57

65

73

Hal.

Page 5: Jalan Terjal Menurunkan AKI

III

Daftar Isi

Pengantar

Tiga Tujuan yang Tak Tercapai

Misteri Angka Kematian Ibu Melahirkan

Kemiskinan, Kematian dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

Kematian dan Tradisi Melahirkan

Akses dan Hak Memperoleh Informasi Kesehatan

Program Instan Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi

Agenda Pembangunan Pasca 2015: Dibutuhkan Per-panjanganWaktu

v

1

23

31

51

57

65

73

Hal.

Page 6: Jalan Terjal Menurunkan AKI
Page 7: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih menjadi peker-jaan rumah yang harus diselesaikan Indonesia hingga saat ini. Tercatat 228 kematian ibu untuk setiap 100.000

kelahiran hidup pada 2007 dan bahkan menjadi 359 kematian ibu pada 2012. Kenyataan tersebut bertolak belakang dengan ke-inginan pemerintah Indonesia sendiri, yang menargetkan penu-runan AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015 sebagai bagian dari upaya pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). Lebih ironis, kondisi AKI saat ini tidak berbeda jauh dengan kondisi 22 tahun lalu yang angkanya mencapai 390 kematian ibu.

Kenyataan tersebut jualah yang mendorong INFID untuk me-nelusuri serta mencari bukti-bukti yang menjadi penyebab ting-ginya AKI. Bekerjasama dengan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) beragam persoalan yang disinyalir sebagai penyebab AKI seperti lemahnya kebijakan, buruknya pelaksanaan kebijakan hingga persoalan budaya di masyarakat coba ditelusuri secara cermat. Pencarian bukti-bukti ini berlangsung selama tiga bulan dari Juli hingga September 2013 dan tidak hanya dilakukan den-gan melihat data-data sekunder namun juga melalui wawancara langsung dengan pengambil kebijakan di tingkat pusat, wakil

Pengantar

Page 8: Jalan Terjal Menurunkan AKI

VI

rakyat, akademisi ditambah kunjungan ke beberapa daerah di Indonesia, seperti Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara (NTT), Kabupaten Muna (Sulawesi Tenggara), Ka-bupaten Pangkep dan Bone (Sulawesi Selatan), Kabupaten Pegu-nungan Arfak dan Mamberamo (Papua), dan Kabupaten Kubu Raya (Kalimantan Barat). Hasil penelusuran tersebut, kemudian kami rangkai dalam sebuah laporan yang berjudul Jalan Terjal Menurunkan Angka Kematian Ibu.

Laporan yang berisi fakta empiris dari berbagai daerah ini di-maksudkan INFID untuk menggerakkan dan menggegaskan In-donesia, terutama para elit politik dan pengambil kebijakan guna melakukan aksi, koreksi dan perubahan untuk menyelamatkan kaum perempuan dan kaum ibu Indonesia, sebelum semuanya terlambat. Maksud lain tentu saja, laporan ini dapat memberi-kan manfaat bagi aktivis-aktivis NGO, jurnalis, dan masyarakat sipil lainnya dalam memahami persoalan AKI di Indonesia.

Tidak lupa kami menghaturkan banyak terima kasih kepada Irawan Saptono dan Wiratmo Probo yang telah bekerja keras un-tuk menyelesaikan laporan ini. Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada Bapak Rachmat Sentika (Staff Ahli Menkokes-ra), Ibu Diah Saminarsih (Asisten KUKPRI-MDGs), Ibu Vivi Yulaswati (Direktur Perlindungan dan Kejahteraan Masyarakat, Bappenas), Bapak Ahmad Syafi q (peneliti UI) dan narasumber lainnya serta kepada Yayasan TIFA yang telah mendukung ha-dirnya laporan ini.

Jakarta, 26 Oktober 2013Hamong SantonoProgram Offi cer MDGs dan Pembangunan Paska-2015, INFID

Page 9: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Situs MDGs memasang hitungan mundur. Seperti injury time di pertandingan sepakbola, waktu untuk mencapai target-target dalam MDGs sudah hampir habis. Batas ak-

hirnya 1 Januari 2015. Lonceng akan berbunyi pada hari itu dan negara-negara PBB yang 15 tahun lalu sepakat untuk memenuhi target-target dalam delapan tujuan pembangunan yang disepa-kati, harus melihat lagi apakah mereka telah berhasil. “Ada tiga tujuan yang tidak bisa kita capai pada 2015,” kata dr. Tb Rach-mat Sentika, staf ahli Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Bidang Pencapaian MDGs.

Tiga tujuan adalah, No. 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu; No. 6: Melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, dan No. 7: Menjamin Kelestarian Lingkungan. Pada midterm re-view Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RP-JMN) Prioritas Nasional 3, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2013, tujuan MDGs yang targetnya tidak

Selama 15 tahun dikejar, tiga dari delapan tujuan dalam Millenium Development Goals (MDGs) tidak akan dicapai

pada 1 Januari 2015. Dua di antaranya di sektor kesehatan.

Tiga Tujuan yang Tak Tercapai

Page 10: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

2

mungkin tercapai ada empat, yakni dengan tambahan tujuan No. 4: Menurunkan Angka Kematian Bayi. Namun, Kantor Kemen-terian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra) me-yakinkan bahwa tujuan No. 4 bisa dicapai targetnya sebelum 1 Januari 2015. Sentika menegaskan, bahwa angka kematian bayi bisa ditekan dan mencapai target seperti yang ditetapkan MDGs.

MDGs adalah agenda PBB yang diluncurkan pada konferensi tingkat tinggi PBB, September 2000. Ini merupakan pertemuan pemimpin dunia terbesar dalam sejarah. Konferensi menyetujui Deklarasi Milenium PBB, mengabungkan diri pada kemitraan global baru untuk mengurangi kemiskinan dan menetapkan serangkaian target dengan tenggat waktu hingga 2015. MDGs menetapkan delapan tujuan agenda pembangunan dengan 18 target untuk mengatasi kemiskinan ekstrim, kelaparan, penya-kit, tempat tinggal yang tidak layak, mempromosikan kesetaraan gender, pendidikan, dan kelestarian lingkungan. MDGs juga berusaha memenuhi hak-hak dasar manusia dari setiap orang di muka bumi dalam hal kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan keamanan.

Klaim Keberhasilan, Kegagalan dan ApologiPresiden Susilo Bambang Yudhoyono, 26 Maret 2013, dalam

acara MDGs Award di Bali, menyerukan dalam waktu yang ter-sisa, satu setengah tahun ke depan agar Indonesia memenuhi semua target MDGs. Kantor Kemenkokesra menyatakan ada tiga tujuan MDGs yang sulit dicapai yakni tujuan No. 5: Mening-katkan Kesehatan Ibu; No. 6: Melawan HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya, dan No. 7: Menjamin Kelestarian Lingkungan. Tapi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menam-bah satu tujuan yang bagi mereka juga sulit dicapai yakni tujuan No. 4: Menurunkan Angka Kematian Bayi. Dengan demikian se-mua tujuan yang sulit dicapai pada 2015, kecuali tujuan tentang

Page 11: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

3

lingkungan, adalah tujuan di sektor kesehatan.Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono,

khawatir karena batas waktu pencapaian delapan tujuan MDGs sudah hampir habis dan menyerukan agar semua sektor peme-rintah segera melakukan percepatan pencapaian tujuan MDGs dan memastikan semua dukungan bagi pencapaian MDGs. Laksono juga menyerukan agar semua kementerian fokus pada target-target dengan status yang memerlukan kerja keras. Tar-get-target dikelompokkan dalam tiga status yakni: Target yang Sudah Dicapai; Membutuhkan Kerja Keras; dan Target Sulit Di-capai.

Menurut Sentika, menteri juga menyerukan agar masalah-masalah yang tidak bisa terselesaikan di daerah, segera dilaku-kan koordinasi untuk mencari jalan keluar. Namun ia mengakui Rencana Aksi Daerah MDGs berupa peraturan daerah hingga sekarang baru diselesaikan di 22 provinsi, masih ada 11 provinsi yang belum menyelesaikan.

Pada 2012 Kementerian Pembangunan Nasional/Badan Per-encanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menerbitkan laporan berjudul, Laporan Pencapaian Tujuan Pembangu-nan Milenium di Indonesia 2011 yang membagi capaian MDGs dalam tiga status yakni (1) Telah Tercapai (2) Mengalami Kema-juan Signifi kan dan (3) Perlu Kerja Keras.

Midterm review RPJMN, Kementerian Pembangunan Na-sional/Bappenas Bidang Kesehatan, 2013 menetapkan sembilan indikator pembangunan kesehatan RPJMN yang harus memper-oleh perhatian serius. Sembilan indikator ini ditetapkan dari 51 indikator yang disusun Bappenas yang harus dicapai untuk men-dorong pencapaian sejumlah target MDGs di bidang kesehatan. Dari sembilan indikator tersebut, ada lima indikator yang tidak mungkin tercapai pada 1 Januari 2015, yakni (1) Angka Kema-tian Ibu Melahirkan; (2) Angka Kematian Bayi; (3) Total Fertil-

Page 12: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

4

ity Rate; (4) Presentase Jangkauan Akses Sumber Air Bersih; dan (5) Menurunnya Kasus Malaria.

Tapi data terakhir yang dikumpulkan oleh Kemenkokesra, Bappenas dan Kemenkes angka kematian bayi bisa ditekan dan pada 2015 mencapai sesuai target MDGs. Pada 25 Juli 2013, menurut Sentika, Pemerintah Indonesia siap melaporkan bahwa target angka kematian bayi per 1.000/kelahiran hidup itu akan tercapai. Menurut data yang dikumpulkan per 25 Juli, angka ke-matian bayi sudah 30-34 jiwa dari target 23. Angka ini, kata Sen-tika, sudah lumayan bagus, tapi data ini belum dipublikasikan.

Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian ibu melahirkan mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Ini berarti dalam sejam, tiga hingga empat ibu di Indonesia meninggal karena melahirkan. Sehari ada 72 hingga 96 kematian ibu melahirkan, sebulan 2.160 hingga 5.760 dan se-tahun 25.000 hingga 34.560 ibu meninggal karena melahirkan. Lebih banyak dari kematian akibat perang Vietnam yang seban-yak 20 ribuan orang.

Menurut Sentika, sekarang perhatian pemerintah pada angka

Infogra� s 1Capaian MDGs Indonesia yang Telah Tercapai

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 1Menanggulangi Kemiski-nan dan Kelaparan

Proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari US$ 1,00 (PPP) per kapita per hari.

MDGs 3Mendorong Kesetaraan Gender dan Pember-dayaan Perempuan

Angka partisipasi murid perempuan terhadap laki-laki SMA/Madrasah Aliyah/Paket C dan rasio angka melek huruf pe-rempuan terhadap laki-laki umur 15-24 tahun.

MDGs 6Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya

Pengendalian penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru tuberkulosis (TB). Pencapaian ini diindikasikan oleh angka kejadian dan tingkat kematian, serta proporsi tuberkulosis yang ditemukan, diobati dan disembuhkan dalam program DOTS (internationally recommended TB control strategy).

Sumber: Tb.Rachmat Sentika, Staf Ahli Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Republik Indonesia, Agustus 2013.

Page 13: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

5

Infogra� s 2Capaian MDGs Indonesia yang Mengalami Kemajuan Signi� kan (2011)

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 1Menanggulangi Kemiski-nan dan Kelaparan

Terdapat kemajuan yang sangat signifi kan dari indeks kedalaman kemiskinan, proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja dan prevalensi balita dengan badan rendah/kekuarangan gizi.

MDGs 2Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua

Angka partisipasi murni sekolah dasar, proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, dan angka melek huruf pen-duduk usia 15-24 tahun, perempuan dan laki-laki semuanya sudah mendekati 100%.

MDGs 3Mendorong Kesetaraan Gender dan Pember-dayaan Perempuan

Rasio Angka Partisipasi Murni perempuan/laki-laki di tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah/Paket A Sekolah Menengah Pertama/Ma-drasah Tsanawiyah/Paket B dan pendidikan tinggi hampir mendekati 100% dan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian dan proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR meningkat.

MDGs 4Menurunkan Angka Kematian Anak

Penurunan sudah mendekati dua pertiga angka kematian neonatal, bayi dan balita serta proporsi anak usia 1 tahun yang mendapat imunisasi campak yang meningkat pesat.

MDGs 5Meningkatkan Keseha-tan Ibu

Peningkatan angka pemakaian kontrasepsi bagi perempuan menikah dengan menggunakan cara modern, penurunan angka kelahiran re-maja perempuan umur 15-19 tahun, peningkatan cakupan pelayanan antenatal baik 1 maupun 4 kali kunjungan, dan penurunan kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (unmet need).

MDGs 6Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya

Mengendalikan penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS berupa peningkatan proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan Antiretroviral (ARV). Selain itu, pengendalian penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru malaria yang diindikasikan oleh peningkatan proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida belum memadai dalam rangka menurunkan jumlah kasus baru malaria.

MDGs 7Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup

Penurunan konsumsi bahan perusak ozon, proporsi tangkapan ikan yang tidak melebihi batas biologis yang aman, serta rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan dan rasio rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial yang keduanya meningkat.

MDGs 8Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan

Keberhasilan pengembangan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif yang diindikasikan oleh rasio ekspor dan impor terhadap PDB, rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum, dan rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR yang semuanya meningkat pesat. Selain itu juga keberhasilan dalam menangani utang untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang yang diindikasikan oleh rasio pinjam-an luar negeri terhadap PDB dan rasio pembayaran pokok utang dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor yang menurun tajam. Keberhasilan selanjutnya adalah dalam hal peman-faatan teknologi informasi dan komunikasi, yang diindikasikan oleh peningkatan proporsi penduduk yang memiliki jaringan telepon tetap dan telepon seluler.

Sumber: Tb.Rachmat Sentika, Staf Ahli Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Republik Indonesia, Agustus 2013.

Page 14: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

6

kematian ibu, walaupun sulit mencapainya. Mengapa? Rachmat Sentika mengajukan dua sebab utama, pertama usia perkawinan dini dan fasilitas kesehatan yang terbatas. “Masalahnya sebe-narnya adalah bagaimana menunda perkawinan dengan mening-katkan usia kawin dari 15 menjadi 22 hingga 25 tahun,” kataya.

Kematian ibu dan bayi yang tinggi di Indonesia sudah bisa diperkirakan akan sulit ditekan karena pernikahan usia muda yang meningkat. Ibu muda pemahamannya sangat kurang ten-tang kesehatan dan reproduksi. “Meningkatkan usia kawin akan mencegah terjadinya kematian, karena sekarang ini kematian ibu, dan kematian bayi sebagian besar karena perkawinan muda. Sekarang jumlah ibu hamil naik tinggi. Apakah bisa diturunkan? Tidak mungkin, karena soal hamil dan kawin itu hak asasi tidak boleh dihalangi,” tambahnya.

Infogra� s 3Capaian MDGs Indonesia yang Mememerlukan Kerja Keras (2011)

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 1Menanggulangi Kemiski-nan dan Kelaparan

Penurunan hingga setengahnya persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional.

MDGs 5Meningkatkan Keseha-tan Ibu

Penurunan hingga tiga perempatnya angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.

MDGs 6Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya

Mengendalikan penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS berupa penurunan prevalensi HIV dan AIDS, penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi, dan peningkatan proporsi penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS, baik laki-laki maupun perempuan menikah dan belum menikah.

MDGs 7Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup

Rasio luas kawasan tertutup pepohonan, jumlah emisi CO2, konsumsi energi primer per kapita, elastisitas energi, serta proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terha-dap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak di perkotaan dan perdesaan.

MDGs 8Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan

Peningkatan proporsi rumah tangga dengan akses internet dan kepemilikan komputer pribadi yang belum memadai.

Sumber: Tb.Rachmat Sentika, Staf Ahli Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Republik Indonesia, Agustus 2013.

Page 15: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

6

kematian ibu, walaupun sulit mencapainya. Mengapa? Rachmat Sentika mengajukan dua sebab utama, pertama usia perkawinan dini dan fasilitas kesehatan yang terbatas. “Masalahnya sebe-narnya adalah bagaimana menunda perkawinan dengan mening-katkan usia kawin dari 15 menjadi 22 hingga 25 tahun,” kataya.

Kematian ibu dan bayi yang tinggi di Indonesia sudah bisa diperkirakan akan sulit ditekan karena pernikahan usia muda yang meningkat. Ibu muda pemahamannya sangat kurang ten-tang kesehatan dan reproduksi. “Meningkatkan usia kawin akan mencegah terjadinya kematian, karena sekarang ini kematian ibu, dan kematian bayi sebagian besar karena perkawinan muda. Sekarang jumlah ibu hamil naik tinggi. Apakah bisa diturunkan? Tidak mungkin, karena soal hamil dan kawin itu hak asasi tidak boleh dihalangi,” tambahnya.

Infogra� s 3Capaian MDGs Indonesia yang Mememerlukan Kerja Keras (2011)

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 1Menanggulangi Kemiski-nan dan Kelaparan

Penurunan hingga setengahnya persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional.

MDGs 5Meningkatkan Keseha-tan Ibu

Penurunan hingga tiga perempatnya angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.

MDGs 6Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya

Mengendalikan penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS berupa penurunan prevalensi HIV dan AIDS, penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi, dan peningkatan proporsi penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS, baik laki-laki maupun perempuan menikah dan belum menikah.

MDGs 7Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup

Rasio luas kawasan tertutup pepohonan, jumlah emisi CO2, konsumsi energi primer per kapita, elastisitas energi, serta proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terha-dap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak di perkotaan dan perdesaan.

MDGs 8Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan

Peningkatan proporsi rumah tangga dengan akses internet dan kepemilikan komputer pribadi yang belum memadai.

Sumber: Tb.Rachmat Sentika, Staf Ahli Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Republik Indonesia, Agustus 2013.

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

7

Pada 2013 Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat menerbitkan Status Pen-capaian MDGs Indonesia sebagai berikut:

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 1Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan

Penanggulangan kemiskinan.

MDGs 3Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Kesetaraan gender dalam semua jenis dan tingkat pendidikan.

MDGs 6Memerangi HIV/AIDS, Ma-laria dan Penyakit Menular Lainnya

Penurunan prevalensi TBC.

Target yang Sudah Dicapai

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 1Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan

Penurunan prevalensi balita dengan berat badan ren-dah, Gizi Kurang 17,9%, Gizi Buruk 4,9%.

MDGs 2Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua

Angka partisipasi murni untuk pendidikan dasar dan angka melek huruf penduduk

MDGs 3Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Rasio partisipasi murni perempuan terhadap pria pada pendidikan menengah dan tinggi.

MDGs 4Menurunkan Angka Kematian Anak

Angka kematian balita yang menurun.

MDGs 8Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan

Kemitraan internasional.

Target yang Dapat Dicapai pada 2015 (on the track)

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 5Meningkatkan Kesehatan Ibu

Angka Kematian Ibu yang tinggi (228/100.000) dari target 102/100.000 dan tingkat fertilitas stagnan di 2,6 (target 2,1)

MDGs 6Memerangi HIV/AIDS, Ma-laria dan Penyakit Menular Lainnya

Jumlah penduduk dengan HIV/AIDS yang meningkat.

MDGs 7Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup

Tingkat emisi gas rumah kaca yang tinggi, air bersih dan sanitasi yang layak.

Target yang Sulit Dicapai

Sumber: Tb.Rachmat Sentika, Staf Ahli Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Republik Indonesia, Agustus 2013.

Page 16: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

8

Ia menyodorkan data, menurut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) jumlah penduduk Indonesia sekarang 252 juta dan menurut SDKI 2012, sebanyak 242 juta. Kalau dipakai jum-lah penduduk menurut SDKI 2012 yakni 242 juta jiwa saja, den-gan total fertility ratio mencapai 2,6 dan jumlah perkawinan mudanya tinggi maka diperkirakan 4,5 sampai 5 juta bayi akan lahir setiap tahun. Di SDKI 2012 diindikasikan bahwa 82% pa-sangan usia subur yang berusia 15 sampai 24 tahun ingin punya anak dua dan tiga di tahun ini dalam dua tahun ke depan jadi persoalan. Dengan ledakan pertambahan penduduk sebesar ini maka kemungkinan kematian juga sangat tinggi.

Jalan keluarnya, menurut Sentika adalah revitalisasi program keluarga berencana, terutama pada kelompok muda. Peserta ak-tif keluarga berencana sekarang untuk kelompok muda sebesar 61% harus dipertahankan.

Selain pernikahan dini, menurutnya, sebab utama kedua ke-matian ibu adalah masalah ketersediaan akses kesehatan. Ke-tersediaan fasilitas kesehatan baru melayani 82% persalinan. Ini artinya ada 18% dari 5 juta orang yang memiliki risiko kematian saat melahirkan. Sebanyak 18% yang berisiko ini kemungkinan besar berada di wilayah Indonesia Timur. Tapi bagi Sentika, masalahnya tidak bisa dilihat per wilayah, karena setiap wilayah memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Wilayah tengah Indone-sia, terutama Pulau Jawa dan Bali di mana jumlah penduduknya tidak terkendali, pelayanan kesehatan terlalu berat, beban ker-janya terlalu tinggi. Di sisi lain, wilayah timur penduduknya leb-ih sedikit tapi fasilitas kesehatannya sangat kurang. “Pertanya-annya sekarang, mana yang harus diprioritaskan?” sergahnya.

Kualitas pelayanan kesehatan sangat penting ditingkatkan. Karena penyebab kematian ibu tertinggi disebabkan oleh pen-darahan, eklampsi dan infeksi maka untuk mengatasi tiga pe-nyebab itu harus ditingkatkan keahlian dan pengetahuan para

Page 17: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

8

Ia menyodorkan data, menurut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) jumlah penduduk Indonesia sekarang 252 juta dan menurut SDKI 2012, sebanyak 242 juta. Kalau dipakai jum-lah penduduk menurut SDKI 2012 yakni 242 juta jiwa saja, den-gan total fertility ratio mencapai 2,6 dan jumlah perkawinan mudanya tinggi maka diperkirakan 4,5 sampai 5 juta bayi akan lahir setiap tahun. Di SDKI 2012 diindikasikan bahwa 82% pa-sangan usia subur yang berusia 15 sampai 24 tahun ingin punya anak dua dan tiga di tahun ini dalam dua tahun ke depan jadi persoalan. Dengan ledakan pertambahan penduduk sebesar ini maka kemungkinan kematian juga sangat tinggi.

Jalan keluarnya, menurut Sentika adalah revitalisasi program keluarga berencana, terutama pada kelompok muda. Peserta ak-tif keluarga berencana sekarang untuk kelompok muda sebesar 61% harus dipertahankan.

Selain pernikahan dini, menurutnya, sebab utama kedua ke-matian ibu adalah masalah ketersediaan akses kesehatan. Ke-tersediaan fasilitas kesehatan baru melayani 82% persalinan. Ini artinya ada 18% dari 5 juta orang yang memiliki risiko kematian saat melahirkan. Sebanyak 18% yang berisiko ini kemungkinan besar berada di wilayah Indonesia Timur. Tapi bagi Sentika, masalahnya tidak bisa dilihat per wilayah, karena setiap wilayah memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Wilayah tengah Indone-sia, terutama Pulau Jawa dan Bali di mana jumlah penduduknya tidak terkendali, pelayanan kesehatan terlalu berat, beban ker-janya terlalu tinggi. Di sisi lain, wilayah timur penduduknya leb-ih sedikit tapi fasilitas kesehatannya sangat kurang. “Pertanya-annya sekarang, mana yang harus diprioritaskan?” sergahnya.

Kualitas pelayanan kesehatan sangat penting ditingkatkan. Karena penyebab kematian ibu tertinggi disebabkan oleh pen-darahan, eklampsi dan infeksi maka untuk mengatasi tiga pe-nyebab itu harus ditingkatkan keahlian dan pengetahuan para

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

9

Sebab-Sebab Kematian Ibu Melahirkan

Grafi k ini menunjukkan distribusi persentase penyebab kematian ibu melahirkan, berdasarkan data tersebut tiga faktor utama penyebab kematian ibu melahirkan yakni, pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre-eklamsia dan infeksi.

Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%), anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang meru-pakan faktor kematian utama ibu.

Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh pendarahan; proporsinya berkisar antara kurang dari 10% sampai hampir 60%. Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan paska persalinan, namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan. Persentase ter-tinggi kedua penyebab kematian ibu yang adalah eklamsia (24%), ke-jang bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan.

Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan, dan akan kembali nor-mal bila kehamilan sudah berakhir. Namun ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hi-pertensi sudah diderita ibu sebelum hamil. Sedangkan persentase ter-tinggi ketiga penyebab kematian ibu melahirkan adalah infeksi (11%).

Page 18: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

10

bidan. Namun demikian, menurut Sentika, untuk kematian ka-rena perdarahan, seperti pendarahan karena anteparkum untuk mencegahnya dibutuhkan alat USG guna mengetahui lebih awal terjadinya kelainan, misalnya plasenta-nya rentan.

“Deteksi dini bisa mencegah pendarahan. Tetapi masalah-nya apakah di wilayah-wilayah terpencil ada fasilitas USG? Alat ini sebenarnya tidak mahal, sekitar Rp 17 juta untuk satu unit USG,” katanya.

USG alat maha penting karena dengan USG petugas kesehat-an bisa mengetahui masalah kehamilan lebih dini dan bisa me-rujuknya ke Puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Puskesmas PONED adalah puskesmas yang memiliki fasilitas dan kemampuan memberikan pelayanan un-tuk menanggulangi kasus kegawatdaruratan obstetri dan neona-tal selama 24 jam. Sebuah Puskesmas PONED harus memenuh-i standar yang meliputi standar administrasi dan manajemen, fasilitas bangunan atau ruangan, peralatan dan obat-obatan, tenaga kesehatan serta fasilitas penunjang lain. Puskesmas PONED juga harus mampu memberikan pelayanan yang meli-puti penanganan pre-eklampsi, eklampsi, perdarahan, sepsis, sepsis neonatorum, asfi ksia, kejang, ikterus, hipoglikemia, hi-potermia, tetanus neonatorum, trauma lahir, berat badan lahir rendah (BBLR), sindroma gangguan pernapasan dan kelainan kongenital. Pusksemas PONED dibuat sebagai salah satu pro-gram menekan angka kematian ibu dan bayi. Selain Puskesmas PONED, di rumah sakit rujukan juga harus disediakan Instalasi awat Darurat Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergency Kompre-hensif (IGD PONEK), sebagai rujukan jika Puskesmas PONED tidak mampu menangani persalinan yang sulit.

Menurut Sentika, jika program Puskesmas PONED dan IGD PONEK berjalan, maka bisa mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Tapi meningkatkan semua Puskesmas menjadi Puskesmas

Page 19: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

11

PONED dan melengkapi rumah sakit dengan IGD PONEK men-urut Sentika terlalu mahal. Program ini tidak dikerjakan hanya diwacanakan. Masyarakat, katanya juga kurang peduli dengan program PONED dan PONEK. “Baru 2.000-an dari 9.000-an Puskesmas yang sudah menjadi Puskesmas PONED. Puske-masnya, alat-alatnya ada, tapi dokter tidak ada, bidannya tidak ada, bukan Puskesmas PONED. Dokter-nya ada, bidannya ada tapi tidak punya alat-alat bukan PONED juga. Jadi Puskesmas di seluruh Indonesia yang ada alat-alat PONED-nya dan dokternya baru 30%,” katanya.

Masalahnya memang anggaran. Pengangkatan pegawai kese-hatan direkrut dua tahun sekali, alokasinya sedikit. Kekurangan tenaga dokter bukan karena dokternya tidak bersedia bertugas di daerah, tapi soal alokasi anggaran. “Indonesia membutuhkan, 24 ribu sampai 30 ribu dokter untuk ditugaskan di daerah meng-isi ribuan Puskesmas yang kosong,” katanya. Namun, anggaran yang tersedia hanya untuk dua ribu sampai tiga ribu dokter. Pe-nyediaan tenaga dokter merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dalam hal ini kabupaten dan kota. Menurut Sentika, dari 535 kabupaten dan kota ada sekitar 191 yang bermasalah dengan ketersediaan tenaga kesehatan dan alat-alat kesehatan.

“Fasilitas kesehatan yang tersedia baru melayani 82% persali-nan. Ini artinya ada 18% dari 5 juta ibu memiliki risiko kematian saat melahirkan. Sebanyak 18% yang berisiko ini kemungkinan besar berada di wilayah Indonesia Timur”.

Bagaimanapun masalahnya adalah disparitas dalam fasili-tas pelayanan kesehatan. Para petugas medis seahli apapun dia, harus dibantu alat-alat kesehatan yang memadai untuk mem-bantu persalinan. Sebagai gambaran, menurut Sentika, Indo-nesia bagian barat yang disebut sebagai Regional Barat sudah aman dari ancaman kematian ibu dan bayi. Lalu Indonesia ba-gian tengah yang disebut sebagai Regional Tengah beban kerja-

Page 20: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

12

nya masih terlalu berat, sedangkan Regional Timur sangat berat. Mana yang harus didahulukan penanganannya? “Yang dipilih untuk diprioritaskan penanganannya adalah yang korbannya banyak, yaitu di Pulau Jawa, karena jika kematian ibu dan bayi di Jawa turun maka dampaknya akan menurunkan angka kematian ibu dan anak secara nasional,” katanya. Ini memang soal angka. Jika ibu-ibu dan bayi di wilayah Indonesia bagian timur tidak menjadi prioritas untuk diselamatkan, semata-mata hanya un-tuk mengejar agar angka kematian ibu dan bayi bisa memenuhi target MDGs.

Seorang dokter senior yang lama bertugas di lapangan, dan kini bekerja di Kemenkes. Ia tak bersedia dikutip namanya dan menuturkan bahwa sangat sulit menekan angka kematiann ibu dan bayi. “Itu pekerjaaan yang sulit. Selama puluhan tahun, sejak saya menjadi dokter muda di Puskesmas di sebuah kabu-paten di Jawa Barat, awal 1980, angka kematian ibu dan anak tidak beranjak turun. Mengapa? Faktor penyebabnya banyak. Di pedesaan tempat saya bertugas di Puskesmas, berpindah dari satu Puskesmas ke Puskesmas lainnya, di Jawa Barat masalah yang saya hadapi sama: kemiskinan, masalah kebiasaan setem-pat dan tingkat pengetahuan yang berhubungan dengan pendi-dikan” katanya.

Kemiskinan, kata dia, menyebabkan perempuan hamil tidak melakukan pemeriksaan di awal kehamilan, atau trimester per-tama yakni di minggu ke-12 kehamilan yang sangat penting un-tuk mengetahui apakah ada kelainan pada kehamilannya. Jika kelainan diketahui di awal kehamilan lebih mudah bagi tenaga medis untuk mengatasinya daripada diketahui menjelang kela-hiran. “Mereka kebanyakan tidak datang ke Puskesmas karena tidak memiliki uang, walaupun biaya di Puskesmas sangat mu-rah, bahkan gratis, namun biaya transportasinya tidak bisa gra-tis,” tuturnya.

Page 21: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

12

nya masih terlalu berat, sedangkan Regional Timur sangat berat. Mana yang harus didahulukan penanganannya? “Yang dipilih untuk diprioritaskan penanganannya adalah yang korbannya banyak, yaitu di Pulau Jawa, karena jika kematian ibu dan bayi di Jawa turun maka dampaknya akan menurunkan angka kematian ibu dan anak secara nasional,” katanya. Ini memang soal angka. Jika ibu-ibu dan bayi di wilayah Indonesia bagian timur tidak menjadi prioritas untuk diselamatkan, semata-mata hanya un-tuk mengejar agar angka kematian ibu dan bayi bisa memenuhi target MDGs.

Seorang dokter senior yang lama bertugas di lapangan, dan kini bekerja di Kemenkes. Ia tak bersedia dikutip namanya dan menuturkan bahwa sangat sulit menekan angka kematiann ibu dan bayi. “Itu pekerjaaan yang sulit. Selama puluhan tahun, sejak saya menjadi dokter muda di Puskesmas di sebuah kabu-paten di Jawa Barat, awal 1980, angka kematian ibu dan anak tidak beranjak turun. Mengapa? Faktor penyebabnya banyak. Di pedesaan tempat saya bertugas di Puskesmas, berpindah dari satu Puskesmas ke Puskesmas lainnya, di Jawa Barat masalah yang saya hadapi sama: kemiskinan, masalah kebiasaan setem-pat dan tingkat pengetahuan yang berhubungan dengan pendi-dikan” katanya.

Kemiskinan, kata dia, menyebabkan perempuan hamil tidak melakukan pemeriksaan di awal kehamilan, atau trimester per-tama yakni di minggu ke-12 kehamilan yang sangat penting un-tuk mengetahui apakah ada kelainan pada kehamilannya. Jika kelainan diketahui di awal kehamilan lebih mudah bagi tenaga medis untuk mengatasinya daripada diketahui menjelang kela-hiran. “Mereka kebanyakan tidak datang ke Puskesmas karena tidak memiliki uang, walaupun biaya di Puskesmas sangat mu-rah, bahkan gratis, namun biaya transportasinya tidak bisa gra-tis,” tuturnya.

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

13

Tingkat pengetahuan yang rendah tentang kesehatan menye-babkan keluarga-keluarga tidak menganggap bahwa memerik-sakan kehamilan adalah sesuatu yang penting agar kandungan-nya sehat. Bagi mereka, hamil adalah hal yang alamiah sehingga masalah-masalah kehamilan akan selesai dengan sendirinya se-cara alamiah. “Padahal tidak demikian. Masalah ini tidak hanya terjadi di desa-desa yang jauh dari kota, namun juga terjadi di daerah seperti Kota Bekasi yang tidak begitu jauh dari ibukota, Jakarta. Ketika saya menjadi dokter Puskesmas di sana, ham-batan tidak hanya masalah kemiskinan, tradisi setempat, namun juga tiadanya niat pemerintah daerah untuk mengatasi masalah ini,” tambahnya.

Menurut pengamatan sumber ini, sejumlah kebijakan peme-rintah pusat maupun daerah tentang kesehatan seringkali juga menghambat pekerjaan para tenaga medis di lapangan dan para kader kesehatan di Puskesmas-Puskesmas. “Seringkali kebijak-an yang dibuat dengan kalimat-kalimat indah, tidak bisa diim-plementasikan di lapangan,” katanya.

Vivi Yulaswati, Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Bappenas memberi evaluasi ringkas mengapa kita tidak bisa mencapai target MDGs dalam hal menurunkan angka kematian ibu. “Umumnya penyebabnya adalah penanganan tiga terlambat: terlambat membawa ke fasilitas kesehatan, terlambat mendiagnosa atau merujuk, dan terlambat penanganan di fasili-tas kesehatan,” katanya.

Penyebab utama tiga terlambat ini antara lain karena per-masalahan klinis, dengan banyaknya kasus seperti perdarahan (20,4%), eklampsi (16,2%), hipertensi (9,2%) dan aborsi (4,1%). Penyebab lainnya karena fasilitas kesehatan, ditunjukkan pada kurang memadainya tempat persalinan (63,2%) dan tidak terse-dianya rumah tenaga medis dan non fasilitas kesehatan lainnya. Hal ini ditambah lagi sulitnya akses wilayah sehingga kunjungan

Page 22: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

14

kehamilan, pertolongan kehamilan, dan kunjungan nifas tidak berjalan, terutama di daerah-daerah terisolir. Lalu permasalahan administrasi dan sumber daya manusia seperti rendahnya kapa-sitas petugas kesehatan, kurangnya pelatihan, kurangnya per-alatan pendukung, gaji yang sering terlambat atau dirapel enam bulan sekali, insentif yang tidak memadai, masalah keamanan, dan lain sebagainya. “Belum lagi penyebab non-kesehatan, se-perti budaya seperti tidak mau diperiksa tenaga medis laki-laki, faktor tetua adat seperti lebih percaya berobat ke dukun, tingkat pendidikan, biaya, dan lain sebagainya memperburuk keadaan,” kata Vivi Yulaswati.

Diah S. Saminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI un-tuk MDGs, menambahkan faktor penyebab kematian ibu mela-hirkan yakni Otonomi Daerah. Menurutnya, Otonomi Daerah bagus, tapi bila pengetahuan mengenai MDGs tidak merata ke semua daerah, ketika pemerintah daerah menentukan anggaran, tidak akan memprioritaskan hal-hal yang menjadi perhatian MDGs di daerahnya. “Saya yakin itu bukan sesuatu yang di-sen-gaja tapi itu hanya lack of information dan lack of knowledge pemda atau kepala pemdanya. Ini yang harus diperbaiki. Jadi untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak penting pem-berdayaan pemerintah daerah supaya berdaya, memiliki peng-etahuan untuk bisa memprioritaskan hal-hal seperti kesehatan, pendidikan dan infrastruktur yang tepat,” katanya

Ahmad Syafi q peneliti dan pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia berpendapat lain. Penyebab utama terjadinya kematian ibu dan anak di Indonesia karena kekurangan gizi. Pada ibu, kekurangan gizi yang berhubung-an dengan kematiannya adalah kurang energi kronik (KEK) dan ane-mia, kekurangan zat gizi besi. Sedangkan pada anak kekurangan gizi penyebab kematiannya terutama kurang energi dan protein (KEP). “Juga kekurangan zat gizi mikro seperti vitamin A dan

Page 23: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

14

kehamilan, pertolongan kehamilan, dan kunjungan nifas tidak berjalan, terutama di daerah-daerah terisolir. Lalu permasalahan administrasi dan sumber daya manusia seperti rendahnya kapa-sitas petugas kesehatan, kurangnya pelatihan, kurangnya per-alatan pendukung, gaji yang sering terlambat atau dirapel enam bulan sekali, insentif yang tidak memadai, masalah keamanan, dan lain sebagainya. “Belum lagi penyebab non-kesehatan, se-perti budaya seperti tidak mau diperiksa tenaga medis laki-laki, faktor tetua adat seperti lebih percaya berobat ke dukun, tingkat pendidikan, biaya, dan lain sebagainya memperburuk keadaan,” kata Vivi Yulaswati.

Diah S. Saminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI un-tuk MDGs, menambahkan faktor penyebab kematian ibu mela-hirkan yakni Otonomi Daerah. Menurutnya, Otonomi Daerah bagus, tapi bila pengetahuan mengenai MDGs tidak merata ke semua daerah, ketika pemerintah daerah menentukan anggaran, tidak akan memprioritaskan hal-hal yang menjadi perhatian MDGs di daerahnya. “Saya yakin itu bukan sesuatu yang di-sen-gaja tapi itu hanya lack of information dan lack of knowledge pemda atau kepala pemdanya. Ini yang harus diperbaiki. Jadi untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak penting pem-berdayaan pemerintah daerah supaya berdaya, memiliki peng-etahuan untuk bisa memprioritaskan hal-hal seperti kesehatan, pendidikan dan infrastruktur yang tepat,” katanya

Ahmad Syafi q peneliti dan pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia berpendapat lain. Penyebab utama terjadinya kematian ibu dan anak di Indonesia karena kekurangan gizi. Pada ibu, kekurangan gizi yang berhubung-an dengan kematiannya adalah kurang energi kronik (KEK) dan ane-mia, kekurangan zat gizi besi. Sedangkan pada anak kekurangan gizi penyebab kematiannya terutama kurang energi dan protein (KEP). “Juga kekurangan zat gizi mikro seperti vitamin A dan

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

15

mineral yang berhubungan dengan sistem imun seperti mineral metalik seperti zinc dan zat besi,” kata Ahmad Syafi q.

Menurutnya pemerintah sudah meluncurkan beberapa pro-gram untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan anak. Misalnya program gizi rutin melalui program suplemen-tasi zat besi bagi ibu hamil, suplementasi vitamin A, iodium, penimbangan berat badan, suplementasi makanan tambahan melalui pos pelayanan terpadu (Posyandu), program pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS), program Desa Siaga, Program Keluarga Harapan, Gerakan Keluarga Sadar Gizi, dan Program Seribu Hari Pertama Kehidupan. Namun, menu-rutnya organsiasi non-pemerintah belum banyak yang tertarik mengatasi masalah gizi, beberapa mulai mencoba dengan mel-akukan analisis situasi masalah gizi dan mencoba beberapa pen-dekatan misalnya Plan Indonesia dan juga beberapa LSM lain yang menggunakan pendekatan positive deviance.

Menurut Ahmad Syafi q, beberapa program dan kebijakan su-dah dilaksanakan pemerintah, namun menurutnya ada persoalan mendasar mengapa kematian dan kesehatan ibu dan anak belum juga dapat diatasi secara tuntas, yakni kesungguhan pemerintah belum optimal. “Kebijakan pemerintah selalu merupakan kebi-jakan dan program bersifat top-down, parsial, non-partisipatif, dan short-cut,” katanya.

Untuk mengatasi tingginya angka kematian ibu dan bayi, menurut Vivi Yulaswati pemerintah telah melakukan banyak hal seperti perbaikan fasilitas, dan alat kesehatan, penyediaan tena-ga kesehatan, peningkatan fasilitas rumah sakit dan puskesmas, menggalakkan lagi program KB dan peningkatan gizi, dan koor-dinasi tingkat kabupaten dan kota seperti penyediaan tenaga kesehatan dan alat kesehatan, fasilitas pelayanan sesuai standar. “Pemerintah juga gencar melakukan pemberdayaan masyarakat untuk promosi kesehatan, peningkatan komunikasi, informasi

Page 24: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

16

dan edukasi di tingkat provinsi dan kabupaten dan kota, serta penguatan local wisdom yang mendukung kesehatan ibu dan anak, penguatan Posyandu dan Desa Siaga Aktif,” jelasnya.

Pencapaian target-target MDGs terhambat oleh banyak sebab. Salah satunya adalah Otonomi Daerah. Para kepala daerah

dan jajaran di bawahnya, tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang MDGs. Berikut ini merupakan catatan implementasi MDGs dari Diah S. Saminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs:

Bagaimana evaluasi Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs dalam hal pencapaian tujuan MDGs terutama untuk ke-matian ibu melahirkan dan kematian bayi?

Kalau kita bicara MDGs ada delapan goals, kecenderungan kita adalah melihatnya satu persatu, padahal kedelapannya in-terconected. Tidak mungkin satu goal bisa dicapai jika goal-goal lainnya tidak tercapai. Kita ingin menurunkan angka kematian ibu tapi yang disasar hanya kaum ibu saja, dikasih obat, dikasih persalinan gratis, kontrasepsi gratis, supaya ibu bisa mengatur jarak kehamilan.

Tapi kita lupa bahwa ada kaitan antara, seorang ibu sebelum hamil dengan misanya keadaan gizinya. Ibu bersangkutan ni-kah muda tidak, kalau dia nikah muda jarak antara kehamilan satu dan lainnya berapa lama. Berapa sebenarnya usia ideal utuk menikah. Pertanyaan-pertanyaan ini kaitannya dengan populasi, gizi sebagai seorang ibu muda. Kalau waktu muda gizinya kurang bagus, bisa terkena anemi dan ketika hamil risikonya mening-kat, bisa perdarahan dan meninggal saat melahirkan. Ibu yang tinggal di Jakarta, punya uang dan ke dokter swasta, berapapun biayanya bisa bayar.

“Otonomi Daerah adalah Salah Satu Kendala Pencapaian MDGs”

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

17

Bagaimana dengan ibu hamil yang harus menempuh jarak yang jauh ke Puskesmas terdekat, naik turun gunung? Lalu, sampai Puskesmas tidak ada dokternya? Diberi obat dan per-salinan gratis juga tidak akan menolong memperkecil risiko ibu itu. Ini sudah terkait dengan infrastruktur, soal jarak tempuh ke Puskesmas terdekat dan ketiadaan tenaga medis. Kaitannya banyak, ada infrastruktur, ada gizi dan lain-lain. Kalau seorang perempuan hamil, dia akan berfi kir minum vitamin, kalau uang terbatas dia akan berfi kir minimal berapa kali harus ketemu dok-ter, makanan apa yang seharusnya dimakan. Untuk berfi kir se-perti ini, seseorang membutuhkan edukasi. Ini kaitannya dengan MDGs yang ke-2. Bukan hanya sekolah formal, misalnya seorang pekerja rumah tangga dia sekolah formalnya minim, tadi tere-dukasi soal akses informasi, dia jadi tahu, bagaimana merawat anak majikannya dengan benar, itu artinya dia teredukasi. Ada tantangan tentang edukasi, edukasi juga bukan hanya sekolah formal tapi juga pendidikan. Pendidikan non-formal, ibu-ibu di pengajian bisa mendapatkan pengetahuan itu. Kita bicara pen-didikan, infrastruktur, fasiltas (sarana dan prasarana).

Masalahnya kait mengkait, tadi gizi, terus kemampuan ekono-mi. Kalau seseorang punya kemampuan ekonomi, aksesnya be-sar, dia bisa mempersiapkan dirinya. Rumah jauh dari Puskes-mas, dari petugas kesehatan profesional yang bisa membantu, jadi harus mondok dulu di kota kabupaten. Ini yang membutuh-kan uang. Kalau harus operasi cesar karena komplikasi, butuh kemandirian ekonomi. Jadi kita sudah bicara MDGs 1, 2, 5, 7, kita sudah lihat kaitannya.

Apa penyumbang terbesar kematian ibu melahirkan?Penyumbang kematian ibu terbesar adalah perdarahan. Per-

darahan sebabnya banyak, penyebab terbesar pendarahan ada-lah amenia, penyebab terbesar amenia adalah kurang gizi. Kon-tribusi culture mungkin besar tapi tidak sebesar perdarahan itu. Bahayanya adalah, kalau ibu hamil ditolong dukun kemudian terjadi komplikasi dan perdarahan, dukun itu tidak bisa meno-

Page 25: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

17

Bagaimana dengan ibu hamil yang harus menempuh jarak yang jauh ke Puskesmas terdekat, naik turun gunung? Lalu, sampai Puskesmas tidak ada dokternya? Diberi obat dan per-salinan gratis juga tidak akan menolong memperkecil risiko ibu itu. Ini sudah terkait dengan infrastruktur, soal jarak tempuh ke Puskesmas terdekat dan ketiadaan tenaga medis. Kaitannya banyak, ada infrastruktur, ada gizi dan lain-lain. Kalau seorang perempuan hamil, dia akan berfi kir minum vitamin, kalau uang terbatas dia akan berfi kir minimal berapa kali harus ketemu dok-ter, makanan apa yang seharusnya dimakan. Untuk berfi kir se-perti ini, seseorang membutuhkan edukasi. Ini kaitannya dengan MDGs yang ke-2. Bukan hanya sekolah formal, misalnya seorang pekerja rumah tangga dia sekolah formalnya minim, tadi tere-dukasi soal akses informasi, dia jadi tahu, bagaimana merawat anak majikannya dengan benar, itu artinya dia teredukasi. Ada tantangan tentang edukasi, edukasi juga bukan hanya sekolah formal tapi juga pendidikan. Pendidikan non-formal, ibu-ibu di pengajian bisa mendapatkan pengetahuan itu. Kita bicara pen-didikan, infrastruktur, fasiltas (sarana dan prasarana).

Masalahnya kait mengkait, tadi gizi, terus kemampuan ekono-mi. Kalau seseorang punya kemampuan ekonomi, aksesnya be-sar, dia bisa mempersiapkan dirinya. Rumah jauh dari Puskes-mas, dari petugas kesehatan profesional yang bisa membantu, jadi harus mondok dulu di kota kabupaten. Ini yang membutuh-kan uang. Kalau harus operasi cesar karena komplikasi, butuh kemandirian ekonomi. Jadi kita sudah bicara MDGs 1, 2, 5, 7, kita sudah lihat kaitannya.

Apa penyumbang terbesar kematian ibu melahirkan?Penyumbang kematian ibu terbesar adalah perdarahan. Per-

darahan sebabnya banyak, penyebab terbesar pendarahan ada-lah amenia, penyebab terbesar amenia adalah kurang gizi. Kon-tribusi culture mungkin besar tapi tidak sebesar perdarahan itu. Bahayanya adalah, kalau ibu hamil ditolong dukun kemudian terjadi komplikasi dan perdarahan, dukun itu tidak bisa meno-

Page 26: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

18

long menyelamatkan nyawa ibu yang melahirkan. Oleh karena itu tidak boleh ada persalinan yang ditolong oleh

tenaga non medis, karena tidak bisa mengatasi komplikasi. Cul-ture lokal melahirkan tidak kita inginkan untuk dihilangkan, mereka punya hak asasi untuk mempertahankan culture-nya itu. Namun yang seharusnya adalah bagaimana tenaga ahli profe-sional bisa mendekati para dukun bayi di masyarakat adat dan diberi pelatihan, diberitahu ke mana dia harus bertindak dengan merujuk ke lembaga-lembaga kesehatan. Kapan tanda-tanda ibu akan melahirkan. Misalnya seorang dukun bayi tahu bayi dalam kandungan posisinya melintang atau sungsang. Jangan ditolong sendiri, jangan diurut dan lain-lain, tapi dirujuk. Pengetahuan itu yang seharusnya dimiliki oleh orang yang berada di ranah culture ini.

Kita seharusnya jangan meniadakan peran mereka, kecuali kita sudah bisa menugaskan bidang yang kompeten, tapi bila be-lum siap yang bisa dimintai tolong oleh masyarakat. Maternal instinc, setiap ibu yang melahirkan ingin tetap hidup agar bisa merawat anaknya. Maka harus didorong kepada mereka agar tetap hidup di sinilah seharusnya melahirkan. Cara begini mem-bahayakan nyawa. Harus ada yang mendampingi para dukun ini. Kita tidak boleh bilang, tidak boleh melahirkan dengan cara sep-erti itu. Dan memberi edukasi terus-menerus kepada para dukun ini. Itu yang mesti dilakukan.

Kalau kita bicara statistik yang meninggal karena melahirkan dengan cara adat itu tidak memiliki kontribusi sebesar yang men-inggal karena perdarahan, karena kurang gizi, karena terlambat datang ke rumah sakit. Cuma harus dilihat lebih jauh perdarah-annya karena apa dan pada waktu perdarahan dia ada di mana. Dia terlambat karena apa, karena keluarganya berembuk dulu apakah harus dibawa ke rumah sakit atau ke dukun. Terlambat ke rumah sakit karena apa. Setiap angka pasti ada maknanya. MDGs itu targetnya kuantitatif, angka. Selama angkanya bagus, ya bagus. Tapi di balik angka itu kan ada manusianya. Tidak bisa hanya dilihat angkanya harus dilihat reason-nya, dan apakah be-

Page 27: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

18

long menyelamatkan nyawa ibu yang melahirkan. Oleh karena itu tidak boleh ada persalinan yang ditolong oleh

tenaga non medis, karena tidak bisa mengatasi komplikasi. Cul-ture lokal melahirkan tidak kita inginkan untuk dihilangkan, mereka punya hak asasi untuk mempertahankan culture-nya itu. Namun yang seharusnya adalah bagaimana tenaga ahli profe-sional bisa mendekati para dukun bayi di masyarakat adat dan diberi pelatihan, diberitahu ke mana dia harus bertindak dengan merujuk ke lembaga-lembaga kesehatan. Kapan tanda-tanda ibu akan melahirkan. Misalnya seorang dukun bayi tahu bayi dalam kandungan posisinya melintang atau sungsang. Jangan ditolong sendiri, jangan diurut dan lain-lain, tapi dirujuk. Pengetahuan itu yang seharusnya dimiliki oleh orang yang berada di ranah culture ini.

Kita seharusnya jangan meniadakan peran mereka, kecuali kita sudah bisa menugaskan bidang yang kompeten, tapi bila be-lum siap yang bisa dimintai tolong oleh masyarakat. Maternal instinc, setiap ibu yang melahirkan ingin tetap hidup agar bisa merawat anaknya. Maka harus didorong kepada mereka agar tetap hidup di sinilah seharusnya melahirkan. Cara begini mem-bahayakan nyawa. Harus ada yang mendampingi para dukun ini. Kita tidak boleh bilang, tidak boleh melahirkan dengan cara sep-erti itu. Dan memberi edukasi terus-menerus kepada para dukun ini. Itu yang mesti dilakukan.

Kalau kita bicara statistik yang meninggal karena melahirkan dengan cara adat itu tidak memiliki kontribusi sebesar yang men-inggal karena perdarahan, karena kurang gizi, karena terlambat datang ke rumah sakit. Cuma harus dilihat lebih jauh perdarah-annya karena apa dan pada waktu perdarahan dia ada di mana. Dia terlambat karena apa, karena keluarganya berembuk dulu apakah harus dibawa ke rumah sakit atau ke dukun. Terlambat ke rumah sakit karena apa. Setiap angka pasti ada maknanya. MDGs itu targetnya kuantitatif, angka. Selama angkanya bagus, ya bagus. Tapi di balik angka itu kan ada manusianya. Tidak bisa hanya dilihat angkanya harus dilihat reason-nya, dan apakah be-

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

19

nar angka sebesar itu?

Jadi untuk menekan angka kematian ibu melahirkan dan ke-matian bayi, semua goal harus dicapai?

Kalau ditanya apa upaya pemerintah untuk menurunkan ang-ka kematian ibu dan bayi, berarti harus ada upaya pembuatan infrastruktur, jalan harus dibuat dan diperbaiki untuk akses ken-daraan bermotor roda empat, pendidikan bukan hanya formal, mendorong sebanyak mungkin orang ke sekolah tapi juga men-dorong pendidikan non formal, pendidikan anak usia dini, policy yang mendukung itu semua. Banyak sekali policy sudah diterbit-kan, misalnya Jampersal (Jaminan Persalinan) untuk persalinan gratis.

Ibu-ibu yang tidak mampu bisa menggunakan Jampersal. Sekarang sudah banyak pendidikan non-formal untuk economic empowerment perempuan, ada di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menkokesra punya PNPM Mandiri untuk mendorong kemandirian ekonomi.

Jadi sebenarnya sudah banyak policy, hanya kendala yang kita hadapi adalah kendala geografi s. Beragam sekali kondisi geografi snya, sulit. Kedua adalah kendala populasi yang me-mang sangat besar jumlahnya. Jadi sudah fokus ke satu tempat, hasilnya tidak kelihatan juga. Kendala lainnya adalah Otonomi Daerah.

Otonomi Daerah bagus, tapi bila pengetahuan mengenai MDGs tidak merata ke semua daerah, ketika pemerintah daerah menentukan anggaran maka mereka tidak memprioritaskan hal-hal yang menjadi perhatian MDGs di daerahnya. Saya yakin itu bukan sesuatu yang disengaja tapi itu hanya lack of information dan lack of knowledge pemda atau kepala daerahnya. Ini yang harus diperbaiki. Jadi pemberdayaan pemerintah daerah pent-ing supaya pemdanya berdaya, memiliki pengetahuan untuk bisa prioritaskan hal-hal seperti kesehatan, pendidikan dan infra-struktur yang tepat untuk pembangunan.

Misalnya di tengah hutan dibangun mall, padahal angka ke-

Page 28: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

20

matian ibu dan anak, angka HIV-nya tinggi, kan tidak ada re-levansinya. Ini bisa dibilang otonomi daerah menjadi kendala. Pemerintah pusat tidak bisa lagi mencampuri kebijakan pem-bangunan pemerintah daerah, tidak bisa melarang pemda mem-bangun mall. Pemerintah Pusat sekarang hanya memfasilitas-inya. Prioritasnya ada di policy pemda sendiri.

Jadi sebenarnya ujung tombak pencapaian target MDGs ada di tangan pemerintah daerah namun di pihak lain, banyak pemerintah daerah tidak memahami MDGs?

MDGs harus dibuat sebagai alat agar menyatukan visi dan persepsi semua daerah, sebagai guideline untuk prioritas pem-bangunan. Harus ada edukasi untuk pemerintah daerah untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Kematian ibu dan anak sangat erat kaitannya dengan apakah seorang perempuan bisa mengakses informasi Puskesmas atau tidak, dekat kaitan-nya apakah dia menikah terlalu muda, dan punya anak terlalu sering.

Pemerintah pusat harus membuat perencanaan keluarga, perencanaan populasi, kalau populasi demikian besar, maka akan banyak ibu dan anak yang meninggal. Presiden SBY ada-lah presiden yang paling banyak anaknya, 4,5 hingga 5 juta anak per tahun dikalikan 8 tahun jadi presiden. Sekarang ini kita menikmati bonus demografi karena keberhasilan KB Orde Baru. Jika tidak maka populasi kita bisa lebih banyak lagi. Tiga ken-dala tadi semuanya kendala utama, ditambah satu lagi, sistem anggaran yang mendukungnya. Karena itu berkaitan erat den-gan apa yang dilaksanakan daerah di pembangunan daerahnya. Dulu pembangunan sentralisasi, sekarang desentralisasi. Daerah harus menentukan dari kerangka pembangunan nasional, dae-rah maunya apa.

Sehubungan dengan MDGs, Bappenas menyusun rencana aksi daerah. Ini bagus sekali karena memaksa daerah untuk mem-prioritaskan pembangunan daerah secara seragam, jadi Pemda

Page 29: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

20

matian ibu dan anak, angka HIV-nya tinggi, kan tidak ada re-levansinya. Ini bisa dibilang otonomi daerah menjadi kendala. Pemerintah pusat tidak bisa lagi mencampuri kebijakan pem-bangunan pemerintah daerah, tidak bisa melarang pemda mem-bangun mall. Pemerintah Pusat sekarang hanya memfasilitas-inya. Prioritasnya ada di policy pemda sendiri.

Jadi sebenarnya ujung tombak pencapaian target MDGs ada di tangan pemerintah daerah namun di pihak lain, banyak pemerintah daerah tidak memahami MDGs?

MDGs harus dibuat sebagai alat agar menyatukan visi dan persepsi semua daerah, sebagai guideline untuk prioritas pem-bangunan. Harus ada edukasi untuk pemerintah daerah untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Kematian ibu dan anak sangat erat kaitannya dengan apakah seorang perempuan bisa mengakses informasi Puskesmas atau tidak, dekat kaitan-nya apakah dia menikah terlalu muda, dan punya anak terlalu sering.

Pemerintah pusat harus membuat perencanaan keluarga, perencanaan populasi, kalau populasi demikian besar, maka akan banyak ibu dan anak yang meninggal. Presiden SBY ada-lah presiden yang paling banyak anaknya, 4,5 hingga 5 juta anak per tahun dikalikan 8 tahun jadi presiden. Sekarang ini kita menikmati bonus demografi karena keberhasilan KB Orde Baru. Jika tidak maka populasi kita bisa lebih banyak lagi. Tiga ken-dala tadi semuanya kendala utama, ditambah satu lagi, sistem anggaran yang mendukungnya. Karena itu berkaitan erat den-gan apa yang dilaksanakan daerah di pembangunan daerahnya. Dulu pembangunan sentralisasi, sekarang desentralisasi. Daerah harus menentukan dari kerangka pembangunan nasional, dae-rah maunya apa.

Sehubungan dengan MDGs, Bappenas menyusun rencana aksi daerah. Ini bagus sekali karena memaksa daerah untuk mem-prioritaskan pembangunan daerah secara seragam, jadi Pemda

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

21

tahu prioritasnya apa. Tapi harus dilihat lebih jauh, rencana aksi ini pelaksanaannya bagaimana. Kalau hanya di atas kertas tapi operasionalisasinya mengikuti itu percuma saja. MDGs mung-kin kelihatan simpel, tapi sebenarnya akan benar-benar simpel jika kita melihatnya secara holistik. Tidak melihatnya per kotak-kotak. Sudah diberi vitamin, obat, kok ibunya mati terus ya? Seolah-olah menggarami air laut. Kita lupa bahwa harus dibawa ke hulu: lihat populasinya bagaimana, tingkat edukasinya seperti apa, infrastruktur agar ibu bisa mengakses ke pelayanan keseha-tan bagaimana, kualitas pelayanan kesehatan bagaimana? Lalu, anggaran Pemda menunjang tidak? Kita harus menganalisa ini secara kritis. Tidak bisa hanya bisa melihat angka kematian ibu melahirkan dan kematian anak tinggi.

Soal MDGs dibandingkan negara-negara lain cukup baik pen-capaiannya. Namun di setiap angka ada manusianya. Kita punya amanah, agar tidak ada satu ibu pun yang meninggal saat mela-hirkan dan tidak ada satu bayipun mati saat dilahirkan. Setiap orang harus punya akses air bersih secara berkelanjutan. MDGs menurut saya beyond numbers, soal kemanusiaan. Kalau ditan-ya angka kami terus berusaha, yang penting orang tidak boleh tidak bersekolah, orang tidak boleh tidak mampu beli beras.

Bagaimana dengan Agenda Pembangunan Post 2015?Target-target MDGs tidak bisa disamaratakan untuk semua

negara. Target harus ditentukan oleh negara itu sendiri. Jadi ada global goals, orang tidak boleh lapar, ibu melahirkan tidak boleh meninggal tapi berapa angkanya kita sendiri yang harus menen-tukan. Seperti kerangka pembangunan Post 2015, Global Goals National Targets. Nasional yang menentukan sendiri target-targetnya dengan begitu tidak ada generalisasi. Kalau digene-ralisasi rasanya kita jelek sekali. Padahal kita sudah berusaha. Kalau kita hanya mengejar aspek kuantiatifnya kita lupa aspek kualitatifnya.

Page 30: Jalan Terjal Menurunkan AKI
Page 31: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Angka itu akhirnya diumumkan setelah lama disimpan, yakni: 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Ini angka kema-tian ibu melahirkan. Angka ini lama tidak diumumkan

karena hasilnya mengejutkan. Pada 28 September 2013, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat mengumumkan angka kema-tian ibu melahirkan menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012. Sebelumnya, Kementerian Kese-hatan (Kemenkes) menolak hasil survei ini, metodenya dianggap salah. Ang-ka ini naik hampir 40% dari angka SDKI 2007. SDKI dilakukan setiap lima tahun sekali. Angka kematian ibu melahir-kan 359 per 100 ribu kelahiran hidup ini sangat mengkawatir-kan. Ini berarti dalam satu jam, tiga hingga empat ibu meninggal karena melahirkan. Sehari ada 72 hingga 96 kematian, sebulan 2.160 hingga 5.760 dan setahun 25.000 hingga 34.560 ibu men-inggal karena melahirkan. MDGs mentargetkan angka kematian ibu melahirkan 102 per 100 ribu kelahiran hidup. Artinya, angka

Kementerian Kesehatan menyembunyikan angka kematian ibu melahirkan baik angka hasil Sensus 2010 maupun hasil

SDKI 2012.

Misteri Angka Kematian Ibu Melahirkan

Page 32: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

24

kematian ibu melahirkan ini lebih dari 300% dari target MDGs.Kemenkes menghadapi tekanan dari dalam dan luar negeri

untuk segera mengumumkan angka ini. Tapi tekanan-tekanan itu tidak membuat Kemenkes ini goyah.

Sampai, Fasli Jalal, Kepala BKKBN, 19 Agustus 2013, di depan acara BKKBN, mengumumkan angka tersebut. “Angka kema-tian ibu di Indonesia mengalami kenaikan dari 228 per 100 ribu kelahiran hidup pada 2007, menjadi 359 per 100 ribu kelahiran hidup pada 2012 menurut SDKI 2012. Dengan adanya fakta ter-baru ini, walhasil upaya Indonesia untuk mencapai target pe-nurunan angka kematian berdasarkan Millenium Development Goals semakin mustahil untuk dicapai,” tegasnya.

Setelah pengumuman Fasli Jalal ini, Menkokesra, Agung Lak-sono, mengumumkan angka itu, 28 September 2013. Ia meng-atakan, “Terhadap penolakan hasil survei tersebut agar semua instansi pemerintah dapat menerima hasil pendataan SDKI 2012. Semua instansi harus menerima fakta bahwa memang ada lonjakan angka kematian ibu melahirkan yang cukup tinggi,” kata Agung Laksono.

Menurutnya, sangat masuk akal jika SDKI 2012 mencatat ra-ta-rata angka kematian ibu melahirkan melonjak. Itu antara lain kata Agung Laksono, karena sejumlah program terobosan untuk menekan kematian ibu melahirkan seperti Jaminan Persalinan (Jampersal) diakui kurang berhasil. “Selain itu sejak otonomi daerah, dukungan pemerintah daerah pada program KB jauh menurun,” kata Agung.

Kemenkes, mau tidak mau harus menerima angka tersebut sebagai sebuah kegagalan. Namun, Nafsiah Mboi, Menteri Ke-sehatan bisa sedikit lega, karena angka kematian ibu melahirkan hasil Sensus 2010 yang juga sampai sekarang belum diumum-kan, menurut bocoran dari Fasli Jalal, angkanya 259 per 100 ribu kelahiran hidup atau 100 poin lebih rendah dari hasil SDKI

Page 33: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Misteri Angka Kemati an Ibu Melahirkan

25

2012. Angka kematian ibu melahirkan di Sensus 2010 juga belum diumumkan, ini juga mengherankan. Rachmat Sentika, Staf Ahli Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Bidang Pencapaian MDGs mengatakan angka kematian ibu dalam Sensus 2010 be-lum bisa diketahui karena belum selesai diolah, datanya masih mentah, walau sudah tiga tahun pengolahannya. “Ini karena konsultan BPS yang mengolah sensus bukan konsultan di Sensus 2000. Mungkin karena konsultan BPS untuk Sensus 2010 dari universitas yang berbeda dengan konsultan Sensus 2000” kata Rahmat Sentika.

Laporan SDKI 2012 sebenarnya sudah dipublikasikan pada Desember 2012, namun laporan yang bisa diunduh di internet, tidak menyajikan angka kematian ibu melahirkan. Angka kema-tian bayi dan balita diumumkan di laporan survei ini, mungkin karena angkanya menurun dan bisa mencapai target MDGs pada 2015. SDKI 2012 dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Be-rencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan. Survei dibiayai oleh Pemerintah Indonesia dan United State Agency for International Development (USAID), badan kerjasama luar ne-geri pemerintah Amerika. Menurut pejabat BKKBN, hasil SKDI 2012 sudah dilaporkan kepada pemerintah akhir 2012, namun khusus untuk angka kematian ibu melahirkan, belum mendapat izin pemerintah untuk diumumkan. Maka, Laporan SDKI 2012 tidak mencantumkan angka kematian ibu melahirkan, hingga angka itu diumumkan oleh Fasli Jalal.

Menurut Fasli Jalal, angka ini belum disepakati pemerintah, namun ia mengumumkan sendiri angka ini agar jajaran BKKBN lebih bekerja keras dan turut memberikan kontribusi dalam pe-nurunan angka kematian ibu dan anak. Pengumuman oleh Fasli Jalal ini mengejutkan. Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi mem-bantah hasil survei itu, padahal Kemenkes juga terlibat dalam

Page 34: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

26

survei dimaksud. Nafsiah mempertanyakan metode perhitungan survei itu. Di survei sebelumnya yakni SDKI 2007 angka kema-tian ibu 228 per 100 ribu kelahiran hidup, setelah lima tahun naik menjadi 359 per 100 ribu kelahiran hidup (SDKI 2012). “Ada kemungkinan metode perhitungannya kurang tepat,” kata Nafsiah, karena lonjakan kenaikannya dibanding SDKI sebe-lumnya terlalu jauh.

Untuk sementara waktu, kata Nafsiah hasil SDKI 2012 belum bisa diumumkan ke publik. Tapi, Kepala BKKBN Fasli Jalal su-dah mengumumkannya.

Pada tahun yang sama dilakukannya SDKI, yang menemukan angka kematian ibu melahirkan yang mengejutkan ini, seorang dokter aktivis anti-rokok, Tobacco Control Support, bernama Hakim Sorimuda Pohan mencoba membandingkan angka ke-matian ibu melahirkan dengan angka kematian karena merokok. Ia mengatakannya di media dan mencoba mengecilkan angka kematian ibu melahirkan dengan mengatakan begini: “Di Indo-nesia, kematian akibat rokok angkanya mencapai 239 ribu per tahun. Ini lebih besar dibandingkan kematian ibu akibat persali-nan dan nifas, yang sekarang menjadi perhatian pemerintah dan dunia. Angka kematian akibat rokok sangat besar. Sekarang 239 ribu per tahun, tidak ada yang mengalahkan. Kematian ibu aki-bat persalinan dan nifas yang sering digembar-gemborkan, itu tidak seberapa dibandingkan merokok.”

Angka kematian ibu melahirkan tidak seberapa dibanding-kan kematian karena merokok? Pernyataan seperti ini tidak saja tidak metodologis, tidak bertanggungjawab, namun juga tidak adil terhadap ibu yang berjuang mempertahankan hidupnya dan hidup bayinya di seluruh Indonesia. Merokok adalah tindakan yang disengaja oleh seseorang, semua tahu rokok berbahaya bagi kesehatan, pemerintah sudah memberi peringatan bahaya itu, perokok tahu asap rokok membahayakn dirinya, jadi kema-

Page 35: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Misteri Angka Kemati an Ibu Melahirkan

27

tian karena merokok adalah tanggungjawab perokok itu sendiri. Tapi, kematian karena melahirkan? Semua ibu tidak ingin mati karena melahirkan, ia ingin hidup untuk merawat dan membe-sarkan anak yang dilahirkannya. Ini semua kesalahan dan tang-gungjawab pemerintah, bukan kesalahan ibu melahirkan. Dalam hal merokok kematian adalah kesalahan dan tanggungjawab perokok sendiri.

Angka kematian ibu melahirkan menurut SDKI 2012 ini lebih besar dari Malaysia yang diperkirakan hanya 25 per 100 ribu kelahiran hidup. Kemenkes sebenarnya memiliki angka yang tidak dipublikasikan. Direktorat Jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kementerian Kesehatan, meng-hitung angka kematian ibu. Datanya dikumpulkan dari laporan provinsi-provinsi. Data ini tidak dipublikasikan tapi bisa diakses di www.gizikia.depkes.go.id/data/. Menurut data itu, pada 2012 angka kematian ibu adalah 196,3 per 100 ribu kelahiran hidup. Pada 2011 angkanya 173,8 per 100 ribu kelahiran hidup, pada 2010 adalah 118,61 per 100 ribu kelahiran hidup. Jadi ada ten-densi kenaikan dari tahun ke tahun, namun pada 2012 angkanya berbeda dengan angka SDKI 2012.

Pemerintah Indonesia mengakui tidak mampu memenuhi se-mua target tujuan pembangunan MDGs dan tidak akan menca-pai target seperti yang diminta MDGs. Angka kematian ibu dan anak di Indonesia masih menjadi masalah serius. Menteri Kese-hatan, Nafsiah Mboi, di media massa mengumumkan kegagalan itu dan hingga kini pemerintah terus mendata dan mengkaji cara menekan kematian ibu dan bayi.

Hasil pendataan menjadi bahan evaluasi untuk mempercepat capaian target MDGs, yaitu angka kematian ibu maksimal 102 per 100 ribu kelahiran hidup dan angka kematian bayi 23 per 1000 kelahiran hidup. Data? Benar, data tentang angka kema-tian ibu belum bisa dihitung oleh pemerintah. Dalam midterm

Page 36: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

28

review RPJMN Bidang Kesehatan, angka kematian ibu dari 2010 hingga 2012 tidak tersedia. Ini sangat mengejutkan. Bagaimana pemerintah tidak bisa menghitung angka kematian ibu selama tiga tahun? Bagaimana Menteri Kesehatan bisa menyimpulkan bahwa Indonensia tidak mampu memenuhi target MDGs jika data tidak tersedia? Di Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, hanya ditemukan data kematian bayi pada 2010 yakni mencapai angka 26 per 1000 kelahiran hidup. Ketika ditanyakan lebih lan-jut ke Kementerian Pembangunan Nasional/Bappenas menge-nai ketiadaan data kematian ibu melahirkan antara 2010 hingga 2012.

Vivi Yulaswati, Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Bappenas, memberi jawaban bahwa kelengkapan data MDGs selalu diperbaiki melalui berbagai survei, baik yang dilakukan BPS maupun pihak lain. Namun, kata dia, updating data-data tersebut tidak dapat dilakukan setiap tahun mengingat biayanya cukup besar untuk diadakan setiap tahun dan secara metodologi membutuhkan waktu untuk mengukurnya meng-ingat kematian ibu melahirkan dan juga angka kematian anak mencakup beberapa indikator atau parameter pendukung lain-nya yang tidak selalu tersedia pada kurun waktu yang sama.

Tapi, Diah S. Saminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs, mengatakan bahwa angka kematian ibu melahirkan dan anak dihitung Bappenas setiap tahun. Kantor Utusan Khu-sus Presiden RI untuk MDGs, kata Diah S. Saminarsih, merujuk pada angka kematian ibu dan bayi dari Bappenas yang diambil dari BPS, Riset Kesehatan Dasar dan Survei Sosial Ekonomi Na-sional. Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs meng-kritisi dan menilai lebih jauh mencari benar atau tidak angka itu. “Kalau dilihat kondisi sekarang angka-angka yang ada tidak bisa dipakai, karena dari mana-mana menyebutkan angkanya makin tinggi. Pada 2010 angka kematian ibu dirilis dan 2012 angkanya

Page 37: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

28

review RPJMN Bidang Kesehatan, angka kematian ibu dari 2010 hingga 2012 tidak tersedia. Ini sangat mengejutkan. Bagaimana pemerintah tidak bisa menghitung angka kematian ibu selama tiga tahun? Bagaimana Menteri Kesehatan bisa menyimpulkan bahwa Indonensia tidak mampu memenuhi target MDGs jika data tidak tersedia? Di Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, hanya ditemukan data kematian bayi pada 2010 yakni mencapai angka 26 per 1000 kelahiran hidup. Ketika ditanyakan lebih lan-jut ke Kementerian Pembangunan Nasional/Bappenas menge-nai ketiadaan data kematian ibu melahirkan antara 2010 hingga 2012.

Vivi Yulaswati, Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Bappenas, memberi jawaban bahwa kelengkapan data MDGs selalu diperbaiki melalui berbagai survei, baik yang dilakukan BPS maupun pihak lain. Namun, kata dia, updating data-data tersebut tidak dapat dilakukan setiap tahun mengingat biayanya cukup besar untuk diadakan setiap tahun dan secara metodologi membutuhkan waktu untuk mengukurnya meng-ingat kematian ibu melahirkan dan juga angka kematian anak mencakup beberapa indikator atau parameter pendukung lain-nya yang tidak selalu tersedia pada kurun waktu yang sama.

Tapi, Diah S. Saminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs, mengatakan bahwa angka kematian ibu melahirkan dan anak dihitung Bappenas setiap tahun. Kantor Utusan Khu-sus Presiden RI untuk MDGs, kata Diah S. Saminarsih, merujuk pada angka kematian ibu dan bayi dari Bappenas yang diambil dari BPS, Riset Kesehatan Dasar dan Survei Sosial Ekonomi Na-sional. Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs meng-kritisi dan menilai lebih jauh mencari benar atau tidak angka itu. “Kalau dilihat kondisi sekarang angka-angka yang ada tidak bisa dipakai, karena dari mana-mana menyebutkan angkanya makin tinggi. Pada 2010 angka kematian ibu dirilis dan 2012 angkanya

Misteri Angka Kemati an Ibu Melahirkan

29

juga dirilis Bappenas, tapi tidak digembar-gemborkan seperti angka tahun 2010,” katanya.

Menurut Rachmat Sentika, bahan dasar data untuk menghi-tung angka kematian ibu juga sulit didapatkan. Angka pemba-ginya 100 ribu, tidak ada kabupaten atau kota yang kelahirannya 100 ribu. Basis penghitungan angka kematian ibu dalam sebuah negara menggunakan data sensus, namun Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010 belum bisa digunakan karena para kon-sultan ahli yang sedang menghitung itu sampai hari ini belum bisa menyelesaikannya. Itu sebabnya angka kematian ibu untuk 2010, 2011 dan 2012 belum bisa dipublikasikan.

Page 38: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Kompas, 12 November 2012 menulis: “Adelina Lakbanu (38 tahun), yang mengandung anak kesembilan dan ten-gah hamil tua, berjualan kayu bakar di tepi jalan antara

Kupang (ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur) - Atambua, di Desa Boentuka, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Ten-gah Selatan. Kayu itu dikumpulkan suaminya, Anton Lakbanu (46). Ia sudah berjualan dua hari, tetapi baru laku tiga ikat kayu seharga Rp 15.000. Dua anaknya, Mince (12 tahun) dan Stefi (7 tahun), tampak kurus kurang gizi. Uang hasil penjualan kayu dikumpulkan untuk biaya persalinannya. Dari delapan anak yang dilahirkan, tiga orang meninggal. Lima anak yang tersisa semuanya perempuan. Adelina hanya sekolah sampai kelas tiga sekolah dasar. Ia belum memeriksakan kandungan sejak usia kandungan masuk delapan bulan. Ia takut tak mampu bayar bi-aya pemeriksaan Puskesmas. Keluarga ini sudah dihapus dari daftar warga miskin penerima Raskin per Juni 2012. Selama ini

Kematian terus menghantui ibu melahirkan dan bayi di banyak daerah.

Kemiskinan, Kematian danLayanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

Page 39: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Kompas, 12 November 2012 menulis: “Adelina Lakbanu (38 tahun), yang mengandung anak kesembilan dan ten-gah hamil tua, berjualan kayu bakar di tepi jalan antara

Kupang (ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur) - Atambua, di Desa Boentuka, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Ten-gah Selatan. Kayu itu dikumpulkan suaminya, Anton Lakbanu (46). Ia sudah berjualan dua hari, tetapi baru laku tiga ikat kayu seharga Rp 15.000. Dua anaknya, Mince (12 tahun) dan Stefi (7 tahun), tampak kurus kurang gizi. Uang hasil penjualan kayu dikumpulkan untuk biaya persalinannya. Dari delapan anak yang dilahirkan, tiga orang meninggal. Lima anak yang tersisa semuanya perempuan. Adelina hanya sekolah sampai kelas tiga sekolah dasar. Ia belum memeriksakan kandungan sejak usia kandungan masuk delapan bulan. Ia takut tak mampu bayar bi-aya pemeriksaan Puskesmas. Keluarga ini sudah dihapus dari daftar warga miskin penerima Raskin per Juni 2012. Selama ini

Kematian terus menghantui ibu melahirkan dan bayi di banyak daerah.

Kemiskinan, Kematian danLayanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

Page 40: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

32

Adelina melahirkan anak di rumah, tetapi kali ini ia ingin mela-hirkan di Puskesmas. Alasannya, ia takut mengalami nasib yang sama dengan tetangganya, Marta (41 tahun), yang meninggal Agustus lalu. Marta mengalami kesulitan persalinan. Meski sem-pat dibawa ke rumah sakit, Marta tidak tertolong. Anak Marta meninggal dua hari setelah kematian Marta.”

“Mitos bahwa ibu hamil tua harus bekerja keras agar persalin-annya lancar masih berlaku hingga kini di kampung-kampung kami,” kata Sarah Lery Mboeik, aktifi s Yayasan Piar, Kupang.

Lery yakin ini terkait dengan pembagian kerja secara seksual dalam tradisi setempat, di mana perempuan, baik dalam kondisi hamil maupun tidak hamil harus bekerja ekstra keras. Ibu-ibu hamil, walaupun usia kandungannya sudah mendekati kelahir-an, tetap bekerja, bahkan bekerja lebih keras untuk membiayai kelahirannya sendiri, entah di dukun beranak atau di Puskesmas dan rumah sakit.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2012 mencatat lebih dari satu juta orang penduduk NTT miskin. Total pen-duduknya mencapai lima juta. Kemiskinan menghambat mere-ka memperoleh pelayanan kesehatan. Kemiskinan berhubungan erat dengan kematian ibu dan anak. Data statistik menunjukkan, semakin miskin provinsi semakin tinggi angka kematian ibu dan anak. Kemiskinan berkaitan dengan layanan kesehatan. Pendu-duk miskin tidak mampu membayar biaya kesehatan, pemerin-tah yang dananya terbatas tidak mampu menyediakan layanan kesehatan yang memadai. Secara nasional, empat dari lima kela-hiran bayi dibantu oleh tenaga kesehatan, tapi di NTT, hanya satu dari dua kelahiran. Banyaknya pulau mengakibatkan ba-nyak warga yang sukar dicapai oleh sarana dan prasarana sosial ekonomi. Keterbatasan jalan membuat warga sukar untuk saling berhubungan dan memperoleh pelayanan yang seharusnya dise-diakan pemerintah.

Page 41: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Kemiskinan, Kemati an dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

33

Angka Kematian Ibu (AKI) di NTT sebanyak 306 per 100 ribu kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 57 per 1.000 kelahiran hidup. Mengenai tingginya AKI dan AKB ini, seorang pejabat di Dinas Kesehatan NTT menuturkan banyak faktor yang menyebabkan mengapa angka kematian ibu dan anak di NTT sangat tinggi, bahkan tertinggi di Indonesia. “Faktornya ban-yak, teknis dan non teknis. Teknis, berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang belum memadai baik dari segi jumlah dan kuali-tas, baik sumberdaya manusia maupun sarana penunjang. Non teknis berhubungan dengan aspek sosial masyarakat,” katanya.

Menurutnya, kemiskinan, akses terhadap pembangunan yang belum merata, juga beberapa faktor budaya menyangkut peman-faatan sarana yang tersedia, mitos dan tabu dan lain-lain me-nambah masalah ini. “Untuk mengatasi tingginya kematian ibu melahirkan dan bayi, Provinsi NTT menjalankan program Revo-lusi Kesehatan Ibu dan Anak. Dengan adanya Revolusi KIA, ang-ka kematian ibu dan anak di beberapa kabupaten di NTT sudah menunjukan penurunan,” tuturnya.

Selain miskin, perempuan hamil di NTT harus tunduk pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal. Di Kabupaten Kupang, perempuan yang memasuki masa hamil tua diminta bekerja lebih keras untuk mempermudah proses kelahiran, seperti ditu-lis Kompas di awal tulisan. Padahal, akibat bekerja keras pada usia kehamilan delapan sampai sembilan bulan membuat en-ergi terkuras, dan mengalami pendarahan yang berakibat fatal saat melahirkan. Kebiasaan lain perempuan yang tengah hamil dilarang makan ikan, dengan alasan air susu ibu akan berbau amis. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan perempuan yang baru melahirkan hanya diberi makan jagung bose (jagung rebus khas Timor) tanpa garam, padahal dibutuhkan makanan lain yang lebih bergizi untuk ibu yang baru melahirkan. Ada larangan juga untuk ibu yang baru pertama kali melahirkan, yakni dilarang

Page 42: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

34

memberikan air susu pertama, karena dianggap kotor, padahal air susu pertama memiliki zat anti bodi untuk ketahanan bayi. Air susu ibu yang keluar pertama kali warnanya agak kuning dan itu dinilai kotor oleh masyarakat, padahal mengandung zat anti bodi. Mitos-mitos yang berkembang menjadi kepercayaan lokal ini mengalahkan informasi-informasi kesehatan yang datang dari luar.

Menurut Ferderika Tadu Hungu, dulu bekerja sebagai Gender Coordinator, AUSAID Kupang, memastikan tradisi itu. “Sampai kini tradisi-tradisi ini masih berlangsung khususnya di daerah pelosok Pulau Timor. Tradisi setempat memaksa ibu pada usia kehamilan tua untuk bekerja lebih keras. Tujuannya agar pada proses melahirkan lebih mudah. Ini biasanya disarankan oleh para orang tua atau mertua calon ibu dan oleh suami,” kata Fer-derika.

Hal lain, menurut Ferderika, terkait dengan proses mengejan si ibu yang akan melahirkan diyakini lebih kuat jika ibu dalam masa kehamilan tua bekerja keras ketimbang ibu yang dalam masa kehamilannya tidak melakukan aktivitas. Setelah mela-hirkan dan sebelum melahirkan sang ibu tidak boleh mengkon-sumsi ikan, khususnya di daerah pelosok, karena dengan meng-konsumsi ikan diyakini susu bayi akan berbau amis. Ibu yang baru melahirkan hanya diberi nasi putih atau bubur saja tanpa tambahan menu yang lain. “Dua hal ini yang berkontribusi besar atas tingginya angka kematian ibu dan anak. Di samping dua hal tersebut, masyarakat NTT menganggap bahwa anak itu sebagai aset, sehingga jarak kelahiran di NTT sangat dekat,” tutur Fer-derika.

Dalam mengambil keputusan proses merawat, menjaga dan melahirkan pun, lanjut Ferderika, si ibu tidak bisa mengambil keputusannya sendiri, pihak suami orang tua atau mertua justru lebih dominan, hal ini juga menjadi persoalan bagi perempuan

Page 43: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Kemiskinan, Kemati an dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

35

di NTT. “Hal lain adalah usia perkawinan yang terlalu muda atau terlalu tua. Angka kematian ibu dan anak di NTT umumnya disebabkan karena kekurangan darah pada saat proses melahir-kan,” tambahnya.

Ermi Ndoen, doktor kesehatan masyarakat lulusan Universi-tas Griffi th, Australia mengakui mitos ini masih berkembang di Pulau Timor, pulau terbesar di provinsi itu. Untuk menghapus mitos ini menurutnya dibutuhkan studi antropologi kesehatan untuk mencari tahu mengapa mitos itu muncul atau mengapa masyarakat percaya akan mitos tersebut. Menurut Ermi, orang asli Timor, mendengar mitos tersebut sejak dia kecil, orang tua-nya menyatakan kerja keras saat hamil akan memudahkan saat melahirkan. “Hingga sekarang, mitos itu masih berkembang. Ia mengatakan ibu hamil tidak hanya tidak boleh makan ikan, tapi juga tidak boleh makan daging yang berwarna merah. Mitos ini tersebar di masyarakat tapi sedikit sekali kajian ilmiah yang dibuat untuk memahami fenomena-fenomena ini,” tutur Ermi.

Menurut Ermi, hal lain lagi yang harus diperhatikan adalah, seringkali pendekatan medis terlalu teknikal dan tidak melihat tradisi setempat. Harusnya walaupun ada mitos yang salah, masyarakat jangan langsung dipersalahkan karena mereka su-dah mempercayai sesuatu yang berumur ratusan tahun, mung-kin. “Akan baik kalau mereka didekati dan dijelaskan secara perlahan sehingga pesan-pesan kesehatan tidak dianggap ajaran baru yang mengacaukan budaya mereka,” tambahnya.

Tradisi dan kebiasaan juga terjadi Provinsi Sulawesi Teng-gara. Di Desa Latompe, Muna, penduduk mempercayai mitos se-hingga bayi yang baru lahir diberi makanan padat seperti pisang. Mereka percaya tangisan bayi adalah tanda bahwa dia lapar. Jadi, setiap bayi menangis maka orang tua akan memberikan pi-sang kerik (pisang yang dikerik dengan sendok) meski sang bayi baru berusia satu atau dua hari. Tidak ada ASI eksklusif. Mem-

Page 44: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

36

beri makan pisang kerik pada bayi baru lahir di Latompe meru-pakan tradisi turun-temurun. Bayi-bayi baru lahir yang menan-gis selalu dianggap lapar dan pemberian ASI saja dianggap tidak cukup sehingga perlu makanan padat. Orang tua akan merasa malu bila tangisan bayinya yang melengking sampai terdengar hingga ke rumah tetangga, karena masyarakat akan mengang-gapnya orang tua tidak mampu memberi makan anaknya. Mem-beri makanan padat pada bayi yang baru lahir bisa menyebabkan kematian bayi karena usus terlipat, sembelit, dan diare. Bayi juga bisa tersedak karena belum mampu mencerna makanan padat, dan menimbulkan penyumbatan pada jalan napas. Usus terlipat karena usus bayi belum sanggup mencerna makanan padat.

Tradisi lokal seperti ini juga terjadi di Papua. Tradisi ibu hamil setempat sudah berlangsung lama di pedalaman yang memba-hayakan ibu dan anak. Antie Soleman, sudah 25 tahun berkarya di bidang kesehatan di pedalaman Papua. Ia perempuan berusia 60 tahun, datang ke Papua pada 1986. Di pedalaman Papua ia menemukan tradisi melahirkan yang membuatnya sangat ce-mas. Ia menuturkan, di wilayah Kabupaten Pegunungan Arfak, seorang ibu yang siap melahirkan akan pergi ke pondok dan berjuang sendiri untuk melahirkan. Dua minggu kemudian, dia akan muncul dengan bayinya atau tanpa bayi. Jika ia datang sendirian, itu berarti anaknya sudah meninggal dan sudah di-kuburkan. Atau ketika lahir anak kembar, ibu itu harus menen-tukan untuk membunuh salah satu dan hanya membawa pulang salah satu dari mereka, karena ada keyakinan bahwa anak kem-bar adalah dua saudara yang akan tumbuh saling bermusuhan. Untung saja, ia jarang menemukan kasus lahir kembar di Papua. “Di Kabupaten Mamberamo, seorang ibu yang akan melahirkan akan pergi ke sungai, berdiri di atas batuan padat dan memegang sebuah pohon di tepi sungai. Ketika darah mulai menetes buaya menunggu di bawahnya. Saat bayi muncul, sang ibu harus cepat

Page 45: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

36

beri makan pisang kerik pada bayi baru lahir di Latompe meru-pakan tradisi turun-temurun. Bayi-bayi baru lahir yang menan-gis selalu dianggap lapar dan pemberian ASI saja dianggap tidak cukup sehingga perlu makanan padat. Orang tua akan merasa malu bila tangisan bayinya yang melengking sampai terdengar hingga ke rumah tetangga, karena masyarakat akan mengang-gapnya orang tua tidak mampu memberi makan anaknya. Mem-beri makanan padat pada bayi yang baru lahir bisa menyebabkan kematian bayi karena usus terlipat, sembelit, dan diare. Bayi juga bisa tersedak karena belum mampu mencerna makanan padat, dan menimbulkan penyumbatan pada jalan napas. Usus terlipat karena usus bayi belum sanggup mencerna makanan padat.

Tradisi lokal seperti ini juga terjadi di Papua. Tradisi ibu hamil setempat sudah berlangsung lama di pedalaman yang memba-hayakan ibu dan anak. Antie Soleman, sudah 25 tahun berkarya di bidang kesehatan di pedalaman Papua. Ia perempuan berusia 60 tahun, datang ke Papua pada 1986. Di pedalaman Papua ia menemukan tradisi melahirkan yang membuatnya sangat ce-mas. Ia menuturkan, di wilayah Kabupaten Pegunungan Arfak, seorang ibu yang siap melahirkan akan pergi ke pondok dan berjuang sendiri untuk melahirkan. Dua minggu kemudian, dia akan muncul dengan bayinya atau tanpa bayi. Jika ia datang sendirian, itu berarti anaknya sudah meninggal dan sudah di-kuburkan. Atau ketika lahir anak kembar, ibu itu harus menen-tukan untuk membunuh salah satu dan hanya membawa pulang salah satu dari mereka, karena ada keyakinan bahwa anak kem-bar adalah dua saudara yang akan tumbuh saling bermusuhan. Untung saja, ia jarang menemukan kasus lahir kembar di Papua. “Di Kabupaten Mamberamo, seorang ibu yang akan melahirkan akan pergi ke sungai, berdiri di atas batuan padat dan memegang sebuah pohon di tepi sungai. Ketika darah mulai menetes buaya menunggu di bawahnya. Saat bayi muncul, sang ibu harus cepat

Kemiskinan, Kemati an dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

37

merebut dan berbaring di pinggir sungai untuk memotong tali pusar,” tuturnya.

Apakah tradisi masyarakat lokal, seperti yang terjadi di Pa-pua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara dan lain-lain, tu-rut menyumbang angka kematian ibu dan bayi?

Diah S. Saminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI un-tuk MDGs Bidang Perencanaan Program dan Sinergi Komuni-tas mengatakan tradisi melahirkan dalam masyarakat lokal yang seringkali menyebabkan kematian ibu dan anak, bukanlah pe-nyumbang terbesar angka kematian ibu dan anak.

Bagi Sarah Lery Mboeik penyebab angka kematian ibu dan bayi NTT tinggi, karena sulitnya perempuan mengakses pela-yanan kesehatan, sedikitnya ketersediaan fasilitas kesehatan di pedesaan, ketersediaan dokter dan bidan yang juga sangat sedikit. Di Kabupaten Timor Tengah Utara, tidak ada dokter ahli kandungan sehingga ibu-ibu hamil jika ingin berkonsultasi kehamilan harus ke Kabupaten Belu yang jaraknya bisa dua jam perjalanan darat. “Risiko kehamilan jadi tinggi. Di ibukota kabu-paten saja sangat sulit akses publik kepada kesehatan, apalagi di pedesaan,” katanya.

Lery juga mengeluhkan sarana dan prasarana kesehatan. Di sejumlah tempat, menurutnya, ada Puskesmas, tapi tidak ada air bersih dan bahkan tidak ada bidan sehingga ibu hamil juga eng-gan melahirkan di Puskesmas walaupun ada Jampersal. Apalagi, implementasi Jampersal oleh pemerintah daerah seringkali tidak masuk akal dan menghambat tujuan Jampersal itu sendiri yakni mengurangi angka kematian ibu dan bayi. “Misalnya, di Desa Tubuhue, Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan jika pasien ibu hamil melahirkan namun tidak di Puskesmas Amanuban Tengah maka ibu hamil akan didenda Rp. 300 ribu (US$ 30). Itu aturan yang diterbitkan pemerintah daerah sebagai Petunjuk Teknis Jampersal,” katanya.

Page 46: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

38

Di pedalaman Timor, uang sebesar itu sangat berarti. Padahal Desa Tubuhue lebih dekat lokasinya dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Jaraknya hanya sekitar sembilan kilometer se-dangkan ke Puskesmas Amanuban Tengah jaraknya lebih kurang 38 kilometer. Menurut Lery, petunjuk teknis yang diterbitkan bupati itu menyebabkan ibu-ibu hamil tidak bisa mengakses pelayanan Jampersal di RSUD karena takut didenda. Mereka memilih melahirkan di rumah dengan bantuan dukun beranak. “Jadi di Provinsi NTT, kebijakan Jampersal belum dipahami se-cara baik oleh pelaku kebijakan. Melahirkan di rumah dengan bantuan dukun beranak yang tidak memiliki kemampuan medis memadai dan tidak memiliki peralatan dan obat-obatan, sangat berisiko,” tuturnya.

Lery mengamati, selain alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan daerah kepulauan yang miskin dan infrastukturnya buruk, juga tingginya korupsi anggaran untuk hak-hak dasar. Menurut Lery, banyak dokter tidak mampu bertahan bertugas di daerah ini karena fasilitasnya buruk, insentif untuk para dokter ahli tidak pernah diberikan sehingga mereka memilih mening-galkan NTT. Program Revolusi KIA diluncurkan pemerintah Provinsi NTT, tapi itu hanya cashing saja. Itu menurut Lery, dan dia mengatakan lagi bahwa isi program Revolusi KIA tidak ber-arti apa-apa jika dilihat dari alokasi anggarannya.

Provinsi Sulawesi SelatanKabupaten Pangkep, Mei 2013, seorang ibu bernama Aisyah

kehilangan anak dalam kandungannya. Bayi dinyatakan men-inggal, namun para petugas medis di rumah sakit tidak segera mengeluarkan jenasah bayi dari dalam kandungan Aisyah. Ala-sannya Aisyah tidak memiliki Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk Pangkep untuk mengakses pelayanan kesehatan gra-tis rumah sakit melalui program Jamperda dan Jamkesmas.

Page 47: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

38

Di pedalaman Timor, uang sebesar itu sangat berarti. Padahal Desa Tubuhue lebih dekat lokasinya dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Jaraknya hanya sekitar sembilan kilometer se-dangkan ke Puskesmas Amanuban Tengah jaraknya lebih kurang 38 kilometer. Menurut Lery, petunjuk teknis yang diterbitkan bupati itu menyebabkan ibu-ibu hamil tidak bisa mengakses pelayanan Jampersal di RSUD karena takut didenda. Mereka memilih melahirkan di rumah dengan bantuan dukun beranak. “Jadi di Provinsi NTT, kebijakan Jampersal belum dipahami se-cara baik oleh pelaku kebijakan. Melahirkan di rumah dengan bantuan dukun beranak yang tidak memiliki kemampuan medis memadai dan tidak memiliki peralatan dan obat-obatan, sangat berisiko,” tuturnya.

Lery mengamati, selain alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan daerah kepulauan yang miskin dan infrastukturnya buruk, juga tingginya korupsi anggaran untuk hak-hak dasar. Menurut Lery, banyak dokter tidak mampu bertahan bertugas di daerah ini karena fasilitasnya buruk, insentif untuk para dokter ahli tidak pernah diberikan sehingga mereka memilih mening-galkan NTT. Program Revolusi KIA diluncurkan pemerintah Provinsi NTT, tapi itu hanya cashing saja. Itu menurut Lery, dan dia mengatakan lagi bahwa isi program Revolusi KIA tidak ber-arti apa-apa jika dilihat dari alokasi anggarannya.

Provinsi Sulawesi SelatanKabupaten Pangkep, Mei 2013, seorang ibu bernama Aisyah

kehilangan anak dalam kandungannya. Bayi dinyatakan men-inggal, namun para petugas medis di rumah sakit tidak segera mengeluarkan jenasah bayi dari dalam kandungan Aisyah. Ala-sannya Aisyah tidak memiliki Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk Pangkep untuk mengakses pelayanan kesehatan gra-tis rumah sakit melalui program Jamperda dan Jamkesmas.

Kemiskinan, Kemati an dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

39

Meski sudah mendapatkan Surat Keterangan Tempat Tinggal dari pemerintah desanya, tapi rumah sakit juga masih belum melakukan upaya medis. Peristiwa ini menggemparkan. Para ak-tifi s NGO melakukan protes, juga anggota-anggota DPRD Pang-kep. Rumah sakit akhirnya mengoperasi Aisyah.

Peristiwa serupa Aisyah juga terjadi di Kabupaten Bone, Januari 2013, karena dokter spesialis kandungan RSUD Tenria-waru Watampone, Kabupaten Bone menikmati libur tahun baru, maka Jumrida, ibu berusia 27 tahun, yang diketahui bayinya mati dalam kandungan terpaksa menunggu dokter ini yang ber-libur ke Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Bayi pun sudah empat hari meninggal dalam kandungan. Dokter umum rumah sakit yang menangani Jumrida, mengetahui bayi itu me-ninggal tapi ia tidak mampu mengeluarkan jenazah bayi itu. Satu-satunya dokter yang mampu mengeluarkan jenasah bayi sedang berlibur.

Itu soal layanan yang membahayakan nyawa ibu melahir-kan. Menurut Sunardi Hawi, Direktur Active Society Institute (ACSI), Makassar, yang melakukan penelitian tentang kematian ibu melahirkan dan kematian bayi di Sulawesi Selatan. Sunardi menemukan di wilayah terpencil, ibu hamil enggan memeriksa-kan kehamilannya di layanan kesehatan. Kemudian persoalan lainnya adalah akses ke layanan kesehatan yang buruk dan ke-percayaan warga kepada dukun beranak yang masih di anggap ampuh membantu persalinan bagi ibu hamil. “Ini juga diakui se-jumlah petugas kesehatan desa yang mengaku kesulitan meng-ontrol serta meyakinkan ibu hamil yang bermukim di wilayah terpencil untuk memeriksakan kehamilannya secara rutin di layanan kesehatan karena permasalahan akses jalan yang sulit,” kata Sunardi.

Di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, masih terdapat se-jumlah wilayah yang tidak bisa dilalui kendaraan bermotor. Kes-

Page 48: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

40

ulitan akses inilah yang memicu kejadian kematian ibu dan bayi. Selain itu, ibu hamil di desa juga masih harus mengeluarkan bi-aya tambahan untuk petugas medis apabila mereka memilih ber-salin di rumah. Biaya tambahan itu adalah biaya pembelian se-jumlah obat dan uang transportasi bagi petugas medis. Besarnya mencapai Rp. 500 ribu. Jadi bagi warga yang kurang mampu, biaya tambahan ini menjadi beban tambahan.

Di Desa Bonto Birao, Kecamatan Tondong Tallasa, menurut catatan medis Pusat Kesehatan Desa (Puskesdes), dari 21 kelahi-ran, terdapat tiga kematian bayi. Penyebabnya, kelahiran prema-tur. Kelahiran prematur ini menurut petugas medis dipicu oleh kebiasaan ibu yang masih tetap bekerja di ladang atau sawah saat kehamilannya sudah menjelang bulan kelahiran. Penyebab lain adalah untuk mendapatkan pertolongan, terhambat jarak tem-pat tinggal petugas medis ke rumah pasien. “Juga tidak terdapat fasilitas pendukung seperti inkubator di Puskesdes dan Puske-mas pembantu hingga ke Puskesmas, termasuk layanan ambu-lan ketika terjadi keadaan darurat. Hal ini juga dialami warga yang bermukim di pulau-pulau kecil, bahkan lebih sulit dalam mengakses layanan kesehatan,” tutur Sunardi lagi.

Menurut pengamatan Sunardi, yang dilakukan oleh pemerin-tah terkait dengan peningkatan kesehatan ibu dan pengurangan risiko kematian ibu dan anak, masih sangat bergantung dengan program pemerintah pusat. Program itu misalnya Jampersal, Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) melalui Posyandu dan program-program yang merupakan kerjasama dengan pihak lain seperti Pengurangan Angka Gizi Buruk melalui program Perbai-kan Gizi melalui Pemberdayaan Masyarakat/Nutrition Improve-ment through Community Empowerment (NICE) serta program Kesehatan Gizi Masyarakat. “Pelaksanaan program Posyandu juga masih belum mendapatkan perhatian serius, khususnya bagi kader Posyandu yang lebih banyak berperan dalam pelak-

Page 49: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Kemiskinan, Kemati an dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

41

sanaan pelayanan,” lanjut Sunardi.Beban kerja kader Posyandu sangat tidak sebanding dengan

insentif yang mereka terima. Di Pangkep, insentif setiap kader hanya Rp 15 ribu setiap bulan. Itupun tidak berlaku bagi selu-ruh desa. Insentif ini hanya didapatkan melalui kebijakan Kepala Puskesmas yang mengalokasikan belanja pegawai untuk diberi-kan kepada kader Posyandu.

Sunardi juga menemukan hambatan dalam pelaksanaan Jampersal di Pangkep, walaupun oleh sejumlah warga sangat membantu. Namun, masih terdapat sejumlah hambatan dalam pelaksanaan program ini. “Di antaranya, belum ada kebijakan khusus untuk menangani warga yang berada di daerah terpencil, seperti kelengkapan fasilitas kesehatan serta insentif bagi petu-gas medis desa. Selain itu, program Jampersal hanya berlaku ketika ibu hamil melakukan persalinan di layanan kesehatan, dan ketika persalinan dilakukan di rumah sendiri, maka akan dikenakan biaya tambahan,” tuturnya.

Provinsi Kalimantan BaratKabupaten Kubu Raya bisa ditempuh sejauh setengah jam

perjalanan dengan mobil dari Pontianak, ibukota Provinsi Ka-limantan Barat. Ini kabupaten yang mampu menekan angka kematian ibu dan bayi. Pelaksana Kepala Dinas Kesehatan Ka-bupaten Kubu Raya, Titus Nursiwan melaporkan statistik ke-matian ibu cendrung menurun setiap tahunnya. Dari data yang tercatat di satistik dari 2010 hingga 2012 cendrung menurun. Pada 2012 Angka Kematian Ibu 16 per 100 ribu kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi 55 per 1.000 kelahiran hidup. Menu-rut Nursiwan, angka kematian bisa lebih rendah lagi jika seluruh masyarakat menyadari bahwa datang ke Puskesmas dan rumah sakit, dan bukannya datang ke dukun beranak bisa mengurangi risiko kematian.

Page 50: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

42

Untuk pencegahan dan penanggulangan kematian ibu dan anak, upaya yang dilakukan Pemda Kubu Raya adalah memak-simalkan kerja tenaga-tenaga kesehatan yang ada di desa den-gan harapan masyarakat dapat memanfaatkan tenaga keseha-tan yang ada. Di samping itu Pemda memiliki program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) bagi keluarga yang kurang mam-pu dan Jampersal. “Sebagian dari petugas kita sudah menjalan-kan program Pemda yang kita buat. Di Kubu Raya, Puskesmas tidak hanya melayani pasien yang sakit dan butuh bantuan me-dis, namun juga melayani informasi kesehatan, seperti informa-si Jampersal. Program ini masih akan dikembangkan, dengan harapan ke depan rumah-rumah sakit swasta dapat mensukses-kan program pemerintah,” ujar Nursiwan. Pemerintah daerah berharap rumah sakit swasta dapat mengambil peranan yang sama dalam upaya kesehatan masyarakat.

Martinus, seorang dokter yang bekerja di Puskesmas Ling-ga, berbangga karena angka kematian ibu dan anak di wilayah Puskesmas di mana ia bertugas tergolong rendah. Walaupun rendah, tetap saja ada kematian, satu nyawapun sangat berarti untuk diselamatkan. Mengapa masih ada kematian? Menu-rut Martinus, karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk melahirkan atau bersalin di Puskesmas. Mereka masih memilih ke bidan kampung, atau dukun beranak. Sebagian besar kema-tian disebabkan oleh pendarahan ketika melahirkan, hipertensi dalam kehamilan dan infeksi. Artinya, ancaman kematian da-tang dari dua periode, yakni periode sebelum dan saat melahir-kan. “Kami berusaha keras menurunkan angka kematian ibu dan anak di wilayah Puskesmas Lingga dengan dana, tenaga dan alat yang ada. Kisah suksesnya ada penurunan angka kematian ibu dan anak di wilayah Puskesmas Lingga. Kendalanya, masih terbatasnya tenaga kesehatan. Karena jumlah pasien yang harus dilayani juga banyak,” papar Martinus.

Page 51: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Kemiskinan, Kemati an dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

43

Beruntung, semua tenaga medis Puskemas Lingga memaha-mi cara-cara pencegahan kematian ibu dan anak. Peralatan me-dis untuk menangani pemeriksaan kemamilan dan persalinan masih harus ditambah. Karena pada situasi tertentu masih harus dirujuk ke rumah sakit. Untuk obat-obatan kami cukup. Peme-rintah daerah tidak menganggarkan dana khusus bagi puskes-mas-puskesmas di Kabupaten Kubu Raya, termasuk Puskesmas Lingga untuk program pencegahan kematian ibu dan anak. “Kami menggunakan anggaran yang disediakan pemerintah daerah un-tuk operasional puskesmas. Saya kira sesuai dengan kondisi di lapangan tambahan dana untuk mengurangi angka kematian ibu dan anak masih sangat dibutuhkan,” pinta Martinus.

Angka kematian ibu dan bayi memang rendah di Kabupaten Kubu Raya, rendah artinya masih ada peristiwa kematian. Jika pemerintah daerah bekerja lebih keras lagi maka angka kema-tian bisa lebih rendah lagi. Seorang ibu yang namanya minta di-sembunyikan mengisahkan, bayinya meninggal beberapa waktu setelah dilahirkan, beberapa bulan lalu. “Saya tidak tahu persis mengapa bayi saya meninggal. Beberapa saat dilahirkan kondi-sinya semakin melemah. Saya melahirkan di bidan, lalu dibawa ke Puskesmas. Di Puskesmas ditangani dengan baik tapi dokter merujuk ke rumah sakit umum Pontianak (ibukota Provinsi Kali-mantan Barat). Saya tidak mendapat informasi dari rumah sakit tentang apa penyebab anak saya meninggal, karena saya tidak bertanya,” kisahnya.

Tapi, sang ibu tidak dikenai biaya apapun, dan tidak tahu be-rapa biayanya karena semua biaya perawatan ditanggung peme-rintah. “Kalau saya lihat, para dokter di Puskesmas dan rumah sakit sudah berusaha, hanya mungkin kematian anak saya sudah kehendak Tuhan,” tuturnya.

Si ibu menyimpulkan para tenaga medis, Puskesmas dan ru-mah sakit sudah bertindak maksimal menyelamatkan anaknya.

Page 52: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

44

Oleh karenanya ia merasa bahwa kematian anaknya bukan salah siapapun. Tetapi ia merasa apa yang terjadi pada anaknya ka-rena ia miskin. Selama hamil tidak rutin memeriksakan kan-dungannya ke Puskesmas, apalagi rumah sakit. Ia memang per-nah mengetahui dari media bahwa orang pemerintah pernah bicara soal pencegahan kematian ibu dan anak, walau ia tidak tahu bahwa pemerintah memiliki program Jampersal yang bisa membebaskan semua biaya persalinan dan pemeriksaan semasa hamil. “Saya berharap pemerintah berbuat lebih baik lagi untuk orang-orang miskin seperti saya.,” katanya.

Jadi kuncinya adalah informasi, jika pemerintah bisa me-nyebarkan informasi seluas-luasnya, dia tidak perlu kehilangan anaknya secara sia-sia.

Provinsi Jawa TimurKabupaten Bondowoso di Provinsi Jawa Timur berupaya

keras menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Empat tahun terakhir angka kematian ibu cenderung turun. Namun pada Juli 2013 kematian bayi cenderung naik. Kematian ibu meningkat sebagian besar karena penyakit jantung dan penyakit penyerta. Sementara kematian bayi lebih banyak disebabkan berat badan lahir rendah. Pemerintah Kabupaten Bondowoso memiliki pro-gram di bidang kesehatan keluarga. Bupati juga meluncurkan program Ummi (Ibu) Persameda (Pendamping Persalinan Aman, ASI Eksklusif dan Inisiasi Menyusui Dini). Program ini diluncur-kan Desember 2012. Para kiai (pemuka agama Islam dari Nah-dlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia) diundang menjadi peserta lomba ceramah tujuh menit tentang persalinan aman, menyusu dini dan ASI eksklusif. Para kiai dan 200 pasan-gan muda berjanji bersama-sama untuk mewujudkan persali-nan aman dan menjaga kesehatan bayinya. USAID membantu Pemerintah Kabupaten Bondowoso, dalam upaya menurunkan

Page 53: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Kemiskinan, Kemati an dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

45

kematian ibu dan anak. Kabupaten Bondowoso juga memiliki program Bunda Kespro yang berusaha mencegah perkawinan usia dini. Salah satu program ini untuk mengurus administrasi kependudukan untuk menikah pasangan calon pengantin pe-rempuan harus melampirkan foto copy ijazah SMP.

Tapi Puskesmas Wonosari, Kabupaten Bondowoso kehilangan nyawa tiga ibu antara 2011 hingga 2013. Menurut dokter Luk-man, Kepala Puskesmas, para ibu meninggal karena perdarahan. Walaupun selama tiga tahun tiga kematian, para petugas medis di Puskesmas itu bersedih. Satu kematianpun merupakan pukul-an besar, apalagi tiga. Dokter Lukman berupaya keras agar tidak ada kematian lagi. Puskesmasnya menjalankan semua program yang dicanangkan pemerintah kabupaten. “Di Puskesmas saya ada program antenatal care yakni kunjungan ibu hamil ke tena-ga kesehatan untuk mendeteksi secara dini kelainan atau risiko ibu hamil. Antenatal care juga memungkinkan tenaga kesehatan berkunjung ke rumah ibu hamil untuk pemeriksaan langsung. Saya bisa menekan angka kematian ibu dan anak di Puskesmas saya, karena kualitas penanganan kesehatan di Puskesmas saat ini semakin baik,” kata Lukman.

Sekarang kematian ibu, kata Lukman, rata-rata tidak terjadi di sarana layanan dasar, karena ada peningkatan pertolongan persalinan dari tenaga kesehatan. Dulu, 65 persalinan ditolong dukun, tetapi saat ini hanya ada lima persalinan yang ditolong dukun, karena sebagian besar sudah ditangani tenaga kesehatan Puskesmas. Kendalanya kunjungan ibu hamil ke petugas kese-hatan masih kurang, karena mereka enggan memeriksakan jika usia kehamilannya masih dini. Padahal itu fase penting untuk mendeteksi adanya kelainan.

Puskesmas Wonosari meningkatkan kapasitas para petugas medisnya terkait program program pencegahan kematian ibu dan bayi, seperti Desa Siaga, Kunjungan Ibu Hamil, Kelas Ibu

Page 54: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

46

Hamil dan lain-lain. Bidan dan perawat cukup, namun tenaga dokter masih kurang. Tapi beberapa sarana masih kurang se-perti ruang persalinan. Dana untuk Puskesmas ini tidak secara khusus dialokasikan untuk program kesehatan ibu dan anak. Ada dana sebesar Rp 60 juta setahun. Sebagian besar digunakan untuk pencapaian target MDGs, sekitar 50% digunakan untuk program kesehatan ibu dan anak.

Tidak hanya Puskesmas Wonosari yang kekurangan dokter, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Bondowoso juga kekurangan dokter. Kepala RSUD Kabupaten Bondowoso, Agus Suwardjito menuturkan RSUD kekurangan dokter obgyn, dok-ter anastesi dan tenaga bidan. Tenaga bidan masih kekurangan enam orang, tenaga pos kesehatan butuh tiga orang, sementara jururawat yang ada baru satu orang. Karena kekurangan tenaga bidan inilah, program Inisiasi Menyusu Dini belum bisa dilak-sanakan sepenuhnya. Anggaran RSUD juga masih kurang, ter-utama untuk pembangunan fi sik, seperti ruangan Pediatric In-tensive Care Unit (PICU), Neonatal Intensive Care Unit (NICU) dan Instalasi Gawat Darurat (IGD) Pelayanan Obstetrik Neona-tal Emergency Komprehensif (Ponek).

Ruangan NICU dan PICU adalah ruang perawatan intensif un-tuk bayi (sampai usia 28 hari) dan anak-anak yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus, guna mencegah dan mengo-bati terjadinya kegagalan organ-organ vital. NICU berguna un-tuk observasi bayi baru lahir secara intensif untuk mendapatkan terapi oksigen, mendapatkan terapi intervena dan pemberian makanan melalui alat. Menurut Agus Suwardjito, program un-tuk mencegah kematian ibu dan anak perlu ditunjang sarana dan prasarana yang memadai. “Harapannya dengan dicukupi semua sarana dan prasarana, bisa menurunkan angka kematian ibu dan bayi,” tuturnya.

Bondowoso adalah kabupaten di Jawa Timur, lima jam per-

Page 55: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

46

Hamil dan lain-lain. Bidan dan perawat cukup, namun tenaga dokter masih kurang. Tapi beberapa sarana masih kurang se-perti ruang persalinan. Dana untuk Puskesmas ini tidak secara khusus dialokasikan untuk program kesehatan ibu dan anak. Ada dana sebesar Rp 60 juta setahun. Sebagian besar digunakan untuk pencapaian target MDGs, sekitar 50% digunakan untuk program kesehatan ibu dan anak.

Tidak hanya Puskesmas Wonosari yang kekurangan dokter, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Bondowoso juga kekurangan dokter. Kepala RSUD Kabupaten Bondowoso, Agus Suwardjito menuturkan RSUD kekurangan dokter obgyn, dok-ter anastesi dan tenaga bidan. Tenaga bidan masih kekurangan enam orang, tenaga pos kesehatan butuh tiga orang, sementara jururawat yang ada baru satu orang. Karena kekurangan tenaga bidan inilah, program Inisiasi Menyusu Dini belum bisa dilak-sanakan sepenuhnya. Anggaran RSUD juga masih kurang, ter-utama untuk pembangunan fi sik, seperti ruangan Pediatric In-tensive Care Unit (PICU), Neonatal Intensive Care Unit (NICU) dan Instalasi Gawat Darurat (IGD) Pelayanan Obstetrik Neona-tal Emergency Komprehensif (Ponek).

Ruangan NICU dan PICU adalah ruang perawatan intensif un-tuk bayi (sampai usia 28 hari) dan anak-anak yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus, guna mencegah dan mengo-bati terjadinya kegagalan organ-organ vital. NICU berguna un-tuk observasi bayi baru lahir secara intensif untuk mendapatkan terapi oksigen, mendapatkan terapi intervena dan pemberian makanan melalui alat. Menurut Agus Suwardjito, program un-tuk mencegah kematian ibu dan anak perlu ditunjang sarana dan prasarana yang memadai. “Harapannya dengan dicukupi semua sarana dan prasarana, bisa menurunkan angka kematian ibu dan bayi,” tuturnya.

Bondowoso adalah kabupaten di Jawa Timur, lima jam per-

Kemiskinan, Kemati an dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

47

jalanan darat dari Surabaya, ibukota provinsi. Bukan daerah ter-pencil, tapi RSUD-nya kekurangan fasilitas untuk menangani ibu melahirkan dan bayi yang butuh pertolongan. Tapi di Bondowo-so, upaya mengatasi kematian ibu dan bayi hanya dilakukan oleh pemerintah daerah melalui rumah sakit daerah dan puskesmas-puskesmas. Rumah-rumah sakit swasta belum dilibatkan dalam program ini. Rumah Sakit Kusuma Bakti, Bondowoso misalnya tidak secara khusus diajak terlibat secara penuh dalam program pemerintah kabupaten. Biasanya hanya diajak saat Dinas Kese-hatan melakukan program penyuluhan. Pemerintah kabupaten hanya sebatas melakukan imbauan untuk mendukung kegiatan pemerintah kabupaten dalam hal pencegahan kematian ibu dan bayi. Sehingga sampai saat ini upaya mencegah atau menekan angka kematian ibu dan anak masih ditangani sendiri oleh ru-mah sakit swasta.

Di Rumah Sakit Kusuma Bakti belum ada kasus kematian ibu atau bayi, karena jika ada kendala dalam penanganan pasien, langsung dirujuk ke rumah sakit yang mampu menangani.

Kematian ibu melahirkan dan bayi baru dilahirkan masih ada di Bondowoso. Saat mewawancarai ayah dari bayi yang meninggal setelah dilahirkan. Ayah ini tidak bersedia menyebut namanya. Ia menuturkan kalau bayinya meninggal karena mun-tah darah dan beratnya hanya 1,3 kilogram, atau dalam bahasa medisnya Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Bayi dilahirkan dalam kondisi prematur dan sempat dirawat di ruang inkuba-tor di RSUD Bondowoso selama 10 hari. Namun nyawanya tidak tertolong. “Bayi tersebut langsung ditangani petugas me-dis. Tenaga medis menjelaskan bayi tersebut lahir dengan be-rat badan kurang dan muntah darah. Setelah dijelaskan kondisi sebenarnya tentang anak itu, rumah sakit memberikan rincian biaya penanganannya sebesar Rp. 600 ribu rupiah, yang ditang-gung Jampersal,” tuturnya.

Page 56: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

48

Belum lama juga, Dian Oktalia, ibu berusia 25 tahun, me-ninggal saat melahirkan di Bondowoso. Ia meninggal karena serangan jantung dan gagal ginjal. Ia sudah mengidap penyakit itu saat hamil. Saat hamil, keluarganya pernah memeriksakan-nya ke dokter terdekat, kemudian dokter menyarankan tes darah di laboratorium di rumah sakit. Dari hasil cek darah, Dian dapat diketahui mengidap penyakit serius. Tetapi dia menolak dirawat di rumah sakit, dengan alasan tidak ingin membebani keluarga dengan biaya rumah sakit.

Dinas Kesehatan Kota Probolinggo, memiliki cara yang unik untuk mengurangi ketergantungan ibu hamil terhadap dukun bayi. Di Probolinggo salah satu penyebab kematian ibu dan bayi karena mereka menyerahkan proses kehamilan dan kelahir-an bayinya ditangani oleh dukun bayi. Dukun bayi kebanyak-an tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan medis untuk mengetahui dan merawat kesehatan janin, apalagi membantu persalinan. Sebagian besar kematian ibu dan bayi di Probolinggo adalah persalinan yang ditangani dukun bayi. Di Probolinggo, tradisi melahirkan dibantu dukun bayi lazim di masyarakat. Faktor menyerahkan kehamilan dan persalinan ke dukun bayi beraneka macam.

Dukun tidak mengenal empat faktor keterlambatan penangan ibu hamil yang akhirnya menjadi penyebab kematian ibu dan bayi. Empat itu adalah terlambat menentukan diagnosa, ter-lambat merujuk atau mengirim ke fasilitas kesehatan, terlambat mendapat transportasi dan terlambat mendapat pertolongan yang lebih memadai. Dinas Kesehatan meluncurkan program, membayar dukun bayi Rp. 75.000 (US$ 7,6) jika sang dukun me-nyerahkan seorang ibu hamil yang datang kepadanya ke bidan setempat. Program ini dibuat karena banyak ibu hamil lebih per-caya dukun daripada bidan. Program ini ingin menjalin kemi-traan antara bidan dan dukun. Ini salah satu cara mengakhiri

Kemiskinan, Kemati an dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

49

aktifi tas dukun dalam persalinan yang membahayakan nyawa ibu dan bayinya. Sejak diluncurkan pada 2009, persalinan yang ditolong dukun mulai berkurang. Dokter Ninik Ira Wibawanti, Kepala Dinas Kesehatan Kota Probolinggo menuturkan pada 2011, persalinan yang dibantu dukun masih 26 orang, pada 2012 turun jadi sembilan orang dan pada 2013, hingga Juli hanya seorang yang persalinannya dibantu dukun. “Seiring dengan menurunnya kelahiran dibantu dukun, maka kematian ibu juga menurun, dari 191/100.000 kelahiran hidup pada 2011 menjadi 106/100.000 kelahiran hidup pada 2012,” kata Ninik.

Setiap tahun tidak ada hentinya pemerintah melakukan so-sialisasi kepada para dukun beranak agar tidak membantu persalinan. Beberapa waktu lalu, Dinas Kesehatan Kota Probo-linggo bersama Persatuan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Probolinggo membujuk dukun untuk mendukung pencapaian tujuan MDGs di bidang kesehatan ibu dan anak. Apabila ada ibu hamil datang ke dukun, dukun diharapkan membawa ibu hamil ke petugas kesehatan minimal empat kali selama hamil. Dukun harus meminta ibu hamil untuk meminta petugas ke-sehatan membantu persalinannya, dan menganjurkan ikut KB setelah melahirkan. Program ini sebenarnya adalah mengubah peran dukun bayi menjadi kader kesehatan yang tugasnya men-yalurkan ibu hamil ke petugas dan lembaga-lembaga kesehatan terdekat. Dukun tidak menolong persalinan lagi, dukun hanya boleh merawat ibu nifas dan bayi baru lahir dan dukun diharap bisa aktif menemukan ibu hamil secara dini. Kemitraan para dukun yang dimaksud, dapat memotivasi ibu hamil dan keluar-ganya dalam merencanakan dan menentukan tempat bersalin, memilih tenaga kesehatan terlatih untuk menolong persalinan-nya, menyiapkan transportasi, menyiapkan biaya persalinan (atau mengajukan klaim Jampersal) dan menyiapkan siapa yang akan mendampingi bila melahirkan.

Page 57: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Kemiskinan, Kemati an dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

49

aktifi tas dukun dalam persalinan yang membahayakan nyawa ibu dan bayinya. Sejak diluncurkan pada 2009, persalinan yang ditolong dukun mulai berkurang. Dokter Ninik Ira Wibawanti, Kepala Dinas Kesehatan Kota Probolinggo menuturkan pada 2011, persalinan yang dibantu dukun masih 26 orang, pada 2012 turun jadi sembilan orang dan pada 2013, hingga Juli hanya seorang yang persalinannya dibantu dukun. “Seiring dengan menurunnya kelahiran dibantu dukun, maka kematian ibu juga menurun, dari 191/100.000 kelahiran hidup pada 2011 menjadi 106/100.000 kelahiran hidup pada 2012,” kata Ninik.

Setiap tahun tidak ada hentinya pemerintah melakukan so-sialisasi kepada para dukun beranak agar tidak membantu persalinan. Beberapa waktu lalu, Dinas Kesehatan Kota Probo-linggo bersama Persatuan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Probolinggo membujuk dukun untuk mendukung pencapaian tujuan MDGs di bidang kesehatan ibu dan anak. Apabila ada ibu hamil datang ke dukun, dukun diharapkan membawa ibu hamil ke petugas kesehatan minimal empat kali selama hamil. Dukun harus meminta ibu hamil untuk meminta petugas ke-sehatan membantu persalinannya, dan menganjurkan ikut KB setelah melahirkan. Program ini sebenarnya adalah mengubah peran dukun bayi menjadi kader kesehatan yang tugasnya men-yalurkan ibu hamil ke petugas dan lembaga-lembaga kesehatan terdekat. Dukun tidak menolong persalinan lagi, dukun hanya boleh merawat ibu nifas dan bayi baru lahir dan dukun diharap bisa aktif menemukan ibu hamil secara dini. Kemitraan para dukun yang dimaksud, dapat memotivasi ibu hamil dan keluar-ganya dalam merencanakan dan menentukan tempat bersalin, memilih tenaga kesehatan terlatih untuk menolong persalinan-nya, menyiapkan transportasi, menyiapkan biaya persalinan (atau mengajukan klaim Jampersal) dan menyiapkan siapa yang akan mendampingi bila melahirkan.

Page 58: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Suku bangsa Mairasi di Kabupaten Kaimana, Provinsi Pa-pua Barat, adalah suku pedalaman yang hidup berpindah-pindah (nomaden). Populasi mereka sekitar 3.000 jiwa.

Suku Mairasi, dulu biasa menempuh perjalanan ratusan kilo-meter untuk menemukan wilayah baru. Namun setelah mereka memeluk agama Kristen, Suku Mairasi mulai menetap di Teluk Arguni hingga ke Teluk Triton dan Teluk Wondama. Walau telah memeluk Kristen, orang-orang Mairasi tetap mempertahankan adat dari kelahiran, pernikahan, bermasyarakat hingga kema-tian. Sebagian dari mereka masih mengenakan cawat dari serat kayu untuk pergi ke gereja dan bersekolah.

Ibu muda berusia 16 tahun seperti Pince Uriyo biasa menem-puh sekitar 150 kilometer berjalan kaki dari kampungnya menu-ju Kota Teluk Wondama. Ia berjalan kaki karena anak-anak Suku Mairasi selalu berjalan kaki menyusuri hutan. Jarak itu tak jauh bagi Pince. Ia misalnya kemana-mana dengan baju kaus, namun

Kisah perempuan Suku Mairasi di Papua Barat bekerja keras melahirkan dan merawat bayinya.

Kematian dan Tradisi Melahirkan

Page 59: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Suku bangsa Mairasi di Kabupaten Kaimana, Provinsi Pa-pua Barat, adalah suku pedalaman yang hidup berpindah-pindah (nomaden). Populasi mereka sekitar 3.000 jiwa.

Suku Mairasi, dulu biasa menempuh perjalanan ratusan kilo-meter untuk menemukan wilayah baru. Namun setelah mereka memeluk agama Kristen, Suku Mairasi mulai menetap di Teluk Arguni hingga ke Teluk Triton dan Teluk Wondama. Walau telah memeluk Kristen, orang-orang Mairasi tetap mempertahankan adat dari kelahiran, pernikahan, bermasyarakat hingga kema-tian. Sebagian dari mereka masih mengenakan cawat dari serat kayu untuk pergi ke gereja dan bersekolah.

Ibu muda berusia 16 tahun seperti Pince Uriyo biasa menem-puh sekitar 150 kilometer berjalan kaki dari kampungnya menu-ju Kota Teluk Wondama. Ia berjalan kaki karena anak-anak Suku Mairasi selalu berjalan kaki menyusuri hutan. Jarak itu tak jauh bagi Pince. Ia misalnya kemana-mana dengan baju kaus, namun

Kisah perempuan Suku Mairasi di Papua Barat bekerja keras melahirkan dan merawat bayinya.

Kematian dan Tradisi Melahirkan

Page 60: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

52

celana dalamnya tetap cawat kayu tumbuk. Ia membawa noken, tas dari anyaman serat kayu yang berisi sirih. Pince tak boleh bertanya pada lelaki apa yang akan dilakukan lelaki itu. Perem-puan hanya boleh bertanya pada perempuan (bila terkait peker-jaan perempuan) dan lelaki pada lelaki tentang pekerjaan lelaki.

Sebaliknya Suku Mairasi punya aturan ketat terhadap laki-laki Mairasi. Mereka harus memperlakukan gadis-gadis Mairasi dengan baik. Bila mereka menggangu gadis-gadis, maka mereka bisa dihukum denda. Di era sekarang, sebagian laki-laki Mairasi meninggalkan kampungnya dan bersekolah, namun tetap meng-gunakan noken untuk menyimpan pinang.

Ibu muda itu, Pince Uriyo, hamil tua. Untuk melahirkan, sesuai adat istiadat suku, ia harus berjalan selama dua jam ke dalam hutan. Keluarga Pince punya rumah yang dibangun pemerintah, bantuan untuk untuk keluarga-keluarga Suku Mai-rasi dengan harapan suku ini bisa hidup lebih modern. Tapi ru-mah itu, walaupun tanpa listrik, bukan pilihan untuk melahir-kan. Ia, sesuai tradisi Suku Mairasi, harus melahirkan di hutan, di sebuah pondok sederhana. Puskesmas tidak menjadi pilihan Pince untuk melahirkan. Melahirkan di hutan adalah tradisi kuno untuk ibu-ibu hamil Suku Mairasi. Ibu-ibu hamil suku ini melahirkan bayinya dengan cara mengucilkan diri dalam hutan, dan sang suami menjauhinya hingga sebulan lebih. Dalam pro-ses kelahiran tidak boleh ada lelaki hadir. Para lelaki itu percaya, rambut mereka akan segera beruban, gigi rontok dan kehilangan kekuatan sebagai laki-laki bila mendampingi perempuan mela-hirkan.

Ritual kelahiran kemudian dilanjutkan. Karena ini bayi pe-rempuan maka Pince tidak boleh meminum air apapun selama empat hari, termasuk makanan berkuah, atau menyantap daging dari hewan yang memiliki kuku. Andai, anak yang dilahirkannya laki-laki, maka ia harus puasa air atau makanan berkuah selama

Page 61: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Kemati an dan Tradisi Melahirkan

53

tujuh hari. Selama masa puasa, Pince hanya menyantap pisang bakar. Bila terjadi siatuasi darurat, misalnya perdarahan atau demam tinggi, maka kerabat Pince mencari tumbuhan hutan yang mengandung air. Ia tak boleh meminum air yang menga-lir atau mengucur atau yang paling sering terjadi, keluarganya mencampur bubuk dari tungku masak ke air dan meminumkan-nya. Bagaimana bila terjadi infeksi? Kerabat akan sibuk mencari udang-udang kecil, membakarnya dan memberikannya pada Pince.

Lainnya, Pince tak boleh menyentuhkan air ke badannya, ini artinya ia tak mandi selama sebulan lebih. Darah nifas yang tertampung dalam cawat dicuci oleh keluarganya. sedang anak mungilnya, mulai menyantap pisang masak di hari pertama, anak itupun tak boleh mengenakan selimut, kain atau baju hing-ga berusia satu tahun.

Untung, persalinan Pince dibantu Oktovina Waropen, bidan desa, dia orang asli Papua, yang bertugas di komunitas Suku Mairasi. Oktovina memulai tugas pertamanya pada 1996 di pedalaman tempat Suku Mairasi menetap. Malam hari, seperti warga lain, ia menyalakan api damar dan setelah makan malam ia segera mematikan api damar itu. Tugas pertamanya adalah mendampingi persalinan dalam pondok tengah hutan yang ber-jarak 10 kilometer dari kampung. Pondok itu, rumah kayu kecil tanpa jendela, tertutup rapat disediakan bagi perempuan yang hendak melahirkan.

Saat memasuki gubug tersebut, Oktovina diwajibkan mele-paskan pakaiannya. Ia harus mengenakan baju dari serat kayu. Di pondok itu sudah ada sekitar sepuluh perempuan tua, meng-enakan baju adat dan mengisap tembakau linting yang mem-buat ruangan pondok dipenuhi asap. Oktovina mengingatkan agar mereka berhenti menghisap tembakau, karena asapnya bisa mengganggu bayi Pince, tapi para perempuan tua itu menolak,

Page 62: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

54

menurut mereka asap tembakau akan membantu bayi lahir den-gan selamat.

Proses persalinan Pince berjalan lancar. Bayi lahir, namun Oktavina bisa memotong tali pusarnya sesegera mungkin, ia harus menunggu plasenta keluar dari rahim Pince. Tapi belum sempat bidan itu memotong tali pusar, salah seorang perempuan tua itu menggunakan daun labu, membungkus tali pusar bayi itu, menariknya dan memotongnya dengan bilahan bambu tipis.

Pince, beberapa saat setelah melahirkan, tergeletak lemas di atas lantai yang hanya beralaskan kain. Dekat kakinya, ada tumpukan kayu bakar yang akan dinyalakan pada malam hari, agar pondok jadi hangat dan binatang buas tidak mendekat. Muka Pince pucat. Ia bahkan tak menggerakkan badan saat bayi sulungnya, perempuan, telanjang bulat, di letakkan di samping-nya. Pince baru berusia 16 tahun, dua hari lalu, saat hamil tua, berjalan kaki ke hutan selama dua jam dari rumahnya. Setelah kuat habis melahirkan, ia akan berjalan lagi dari hutan kembali ke kampungnya dengan bayi tanpa kain, dan nanti tumbuh besar juga tanpa kain.

Di tahun-tahun selanjutnya, Oktovina mulai memadukan penanganan kelahiran teknis medis dan tradisional. Ia menggu-nakan alat medis yang dipandang aneh oleh Suku Mairasi. Okto-vina mengatakan semua alat medis perlu dijelaskan, bila tidak mereka menganggap alat itu terlarang. Ia juga mengajarkan menyusu dini pada ibu-ibu muda. Tapi ketika ia menyelimuti bayi dengan kain, kepala suku marah kepadanya. Bayi telanjang adalah tradisi suku turun-temurun dan tidak bisa diubah begitu saja. Oktovia dengan sedih melepas kain itu lagi.

Adat-istiadat yang seringkali dianggap tidak masuk akal atau bertentangan dengan standar layak sehat memiliki akar yang dalam di Suku Mairasi, sehingga tidak mudah mengubahnya begitu saja. Sejak itu, Oktovina tidak lagi bersikeras memaksa

Page 63: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

54

menurut mereka asap tembakau akan membantu bayi lahir den-gan selamat.

Proses persalinan Pince berjalan lancar. Bayi lahir, namun Oktavina bisa memotong tali pusarnya sesegera mungkin, ia harus menunggu plasenta keluar dari rahim Pince. Tapi belum sempat bidan itu memotong tali pusar, salah seorang perempuan tua itu menggunakan daun labu, membungkus tali pusar bayi itu, menariknya dan memotongnya dengan bilahan bambu tipis.

Pince, beberapa saat setelah melahirkan, tergeletak lemas di atas lantai yang hanya beralaskan kain. Dekat kakinya, ada tumpukan kayu bakar yang akan dinyalakan pada malam hari, agar pondok jadi hangat dan binatang buas tidak mendekat. Muka Pince pucat. Ia bahkan tak menggerakkan badan saat bayi sulungnya, perempuan, telanjang bulat, di letakkan di samping-nya. Pince baru berusia 16 tahun, dua hari lalu, saat hamil tua, berjalan kaki ke hutan selama dua jam dari rumahnya. Setelah kuat habis melahirkan, ia akan berjalan lagi dari hutan kembali ke kampungnya dengan bayi tanpa kain, dan nanti tumbuh besar juga tanpa kain.

Di tahun-tahun selanjutnya, Oktovina mulai memadukan penanganan kelahiran teknis medis dan tradisional. Ia menggu-nakan alat medis yang dipandang aneh oleh Suku Mairasi. Okto-vina mengatakan semua alat medis perlu dijelaskan, bila tidak mereka menganggap alat itu terlarang. Ia juga mengajarkan menyusu dini pada ibu-ibu muda. Tapi ketika ia menyelimuti bayi dengan kain, kepala suku marah kepadanya. Bayi telanjang adalah tradisi suku turun-temurun dan tidak bisa diubah begitu saja. Oktovia dengan sedih melepas kain itu lagi.

Adat-istiadat yang seringkali dianggap tidak masuk akal atau bertentangan dengan standar layak sehat memiliki akar yang dalam di Suku Mairasi, sehingga tidak mudah mengubahnya begitu saja. Sejak itu, Oktovina tidak lagi bersikeras memaksa

Kemati an dan Tradisi Melahirkan

55

bayi-bayi dikenakan kain yang hangat. Namun ia berhasil meng-ajarkan dukun di sana untuk memahami persalinan yang bisa menyelamatkan bayi dan ibu.

Oktovina meninggalkan Suku Mairasi tahun 2000-an. Ia mendapati sejumlah persalinan yang berakhir dengan kematian karena kesalahan penanganan. Ini sering terjadi pada ibu muda dengan bayi pertama. Karena proses melahirkan tak berjalan lancar, perut ibu hamil diurut paksa. Atau misalnya, pintu bu-kaan di sobek sehingga terjadi perdarahan.

Suku Mairasi dikenal sebagai suku yang baik hati. Mereka menggunakan sistem sama rata dalam bermasyarakat. Hasil bu-ruan rusa misalnya wajib dipotong dan dibagi rata terhadap se-luruh warga, tidak terbatas pada kerabat. Bila dalam satu rumah terdapat lima anggota keluarga, plus janin dalam kandungan, maka si pembagi menyerahkan enam bagian daging yang jum-lahnya sama rata pada keluarga tersebut.

Tembakau linting dan gelang merupakan dua hal yang pen-ting dalam proses penjajakan muda mudi di Suku Mairasi. Laki-laki dan perempuan Mairasi yang jatuh cinta menunjukkan cinta mereka dengan cara bertukar rokok atau saling memberikan gelang. Selanjutnya bisa ditebak, pria mengajukan lamaran dan untuk menyunting gadis idamannya ia wajib membayar mahar yang mahal sekali.

Laki-laki Mairasi boleh menikahi 2-3 perempuan dan me-nempatkannya dalam satu rumah sekaligus. Bagi perempuan Mairasi, berbagi lelaki bisa berarti meringankan beban perem-puan. Sedang bagi lelaki, memiliki banyak perempuan menun-jukkan kekuatan mereka.

Hutan sendiri merupakan segalanya bagi Suku Mairasi. Hu-tan tak hanya memberikan ruang bagi kelahiran bayi-bayi anak Suku Mairasi, tapi sekaligus menjadi tempat di mana percintaan dilakukan. Pasangan suami istri menuju ke hutan untuk berseng-

Page 64: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

56

gama, mereka ke hutan untuk mencari makan, ke hutan untuk ritual kematian dan ke hutan untuk kelahiran.

Bayi perempuan Pince lahir pada 9 April 2013. Karena dua amberi — sebutan untuk orang pendatang non-Papua - berkun-jung dan memegang jemari mungilnya maka keluarga bermurah hati memberikan kehormatan menggunakan nama dua amberi pada bayi milik hutan ini, dan nama itu itu adalah: Indarwati Wahyuni, nama teman dan nama saya. Nama itu akan melekat hingga pembaptisan Kristennya, dan dikenang sebagai nama modern di anak Suku Mairasi. Segera setelah pemberian nama itu, saya digetarkan oleh respek, cinta dan semilir bau hutan. Bayi itu mungkin sedikit dari bayi yang dilahirkan yang selamat dari kematian.

Page 65: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Sri Mulyani berusia lima tahun. Sudah dua minggu disergap demam tinggi. Ia tinggal di rumah petak kontrakan di atas selokan di sebuah gang di Utan Kayu, Jakarta Timur. Ibu-

nya membawa ke Puskesmas terdekat berulang-ulang tapi tidak juga reda panasnya. Ayahnya, yang hanya pesuruh di sebuah kantor di dekat rumahnya, sudah berkali-kali meminta informasi ke Puskesmas bagaimana caranya membawa anaknya ke rumah sakit untuk dirawat dan gratis. Kartu Jakarta Sehat (KJS) kelu-arga itu belum jadi. Tapi berkali-kali Puskesmas tidak memberi jawaban. Para petugas medis mengatakan agar pasien dicoba dulu disembuhkan dengan obat-obatan Puskesmas. Pekan lalu, seseorang memberi sang ayah uang untuk diperiksa darahnya di laboratorium swasta, hasilnya Sri terkena demam berdarah.

Ini di Jakarta, pusat kekuasaan, tapi akses informasi keseha-tan sulit didapat. Apalagi di luar Jakarta. “Di Nusa Tenggara Timur, akses informasi kesehatan juga sulit diperoleh, terutama

Akses informasi kesehatan juga menjadi masalah yang menyulitkan warga negara yang membutuhkan layanan

kesehatan murah.

Akses dan HakMemperoleh Informasi Kesehatan

Page 66: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

58

di Puskesmas-Puskesmas di Kabupaten” kata Sarah Lery Mboeik, anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Nusa Tenggara Timur.

Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, di bidang kese-hatan juga sudah menerbitkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), warga negara Indonesia bisa mengakses informasi pub-lik, termasuk informasi kesehatan, ke badan-badan publik. Un-dang-undang tersebut juga memberi mandat kepada pemerintah untuk membuka akses seluas-luasnya informasi publik kepada publik. Di sektor kesehatan, UU KIP didukung oleh UU No. 36/

1 Pasal 7 Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan.

2 Pasal 8 Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan

3 Pasal 17 Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap infor-masi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

4 Pasal 56 (1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

5 Pasal 62 (1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilaku-kan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup sehat.

6 Pasal 72 (d) Setiap orang berhak memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat

7 Pasal 73 Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.

8 Pasal 168 (1) Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan efi sien diperlukan informasi kesehatan.(2) Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi dan melalui lintas sektor.

9 Pasal 169 Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk mem-peroleh akses terhadap informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Pasal-pasal yang Berhubungan dengan Hak PublikMemperoleh Akses Informasi Kesehatan dalam UU Kesehatan

Page 67: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Akses dan Hak Memperoleh Informasi Kesehatan

59

2009 tentang Kesehatan yang memberi hak atas informasi ke-sehatan kepada warga negara.

Selain UU Kesehatan, kebebasan memperoleh informasi ke-sehatan juga terdapat dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit disusun setelah peristiwa yang menimpa Prita Mulyasari yang dipidana karena membuka praktek-praktek rumah sakit yang tidak benar. Untuk melindungi pasien dan untuk mem-pertegas kewajiban-kewajiban rumah sakit, DPR menyusun UU Rumah Sakit. “Undang-undang Rumah Sakit membuka akses informasi kesehatan seluas-luasnya untuk publik. Jauh lebih ter-buka daripada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Tidak ada informasi yang dikecualikan di undang-undang ini,” kata Tjipta Ribkaning, Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Rumah Sakit.

Informasi yang dikecualikan adalah informasi publik yang tidak bisa diakses oleh publik, namun bisa diakses setelah badan publik yang bersangkutan mengizinkan untuk diakses atau di-perintahkan oleh Komisi Informasi.

Informasi yang dikecualikan atau yang tergolong rahasia ne-gara, ada di Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik. Pasal ini memang selalu dijadikan dasar alasan untuk menolak per-

1 Pasal 6 Tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan infor-masi kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

2 Pasal 32 Setiap pasien mempunyai hak:a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang ber-laku di Rumah Sakit; mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.j. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.

3 Penjelasan Pasal 15 ayat (4)

Informasi harga obat (perbekalan farmasi) harus transparan atau dicantu-mkan di dalam buku daftar harga yang dapat diakses oleh pasien.

Hak-hak Publik Memperoleh Informasi Kesehatan

Page 68: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

60

mintaan informasi oleh publik, terutama untuk informasi-in-formasi yang sensitif. Pejabat Pengelola Informasi dan Doku-mentasi (PPID) di setiap badan publik, memiliki kewenangan uji konsekuensi yakni kewenangan untuk menentukan apakah sebuah informasi merupakan informasi rahasia atau informasi publik yang terbuka untuk publik. Sebaliknya, undang-undang memberi hak uji publik yakni dengan mengajukan gugatan ke Komisi Informasi untuk menguji apakah sebuah informasi yang dianggap rahasia oleh PPID benar merupakan informasi publik yang dikecualikan untuk terbuka atau merupakan informasi ter-buka untuk publik. Tapi proses gugatannya panjang sekali dan memakan waktu yang lama.

Murti Utami, Kepala Pusat Informasi Publik, Kementerian Kesehatan, PPID di Kemenkes. Mengenai informasi kesehatan yang tergolong rahasia ia berpendapat informasi memang harus diklasifi kasi. Misalnya status kesehatan seseorang. Medical re-cord itu berbahaya untuk dipublikasikan. “Itu adalah jenis yang dikecualikan yang tidak bisa dipublikasikan, karena akan mem-bahayakan diri seseorang. Selain medical record, yang termasuk infomasi yang dikecualikan di bidang kesehatan adalah alat kon-trasepsi yang digunakan seseorang,” kata Murti.

Dan, untuk mengklasifi kasikan informasi, “Kami menggu-nakan UU KIP dan UU Kesehatan, untuk menganalisis medical legal-nya. Menurut Pasal 17 UU KIP, untuk menentukan yang dikecualikan itu harus ada uji konsekuensi. Seperti apa uji kon-sekuensi? Di Kemenkes, klasifi kasi informasi yang dikecualikan dibahas selama dua tahun sejak PPID ditunjuk pada 2010, pro-sesnya panjang.”

Seberapa panjang proses uji konsekuensi informasi keseha-tan? UU KIP dan UU Kesehatan sudah memberikan panduan yang cukup jelas, mana informasi rahasia dan mana yang ter-buka. Prosesnya tidak akan panjang sehingga layanan akses in-

Page 69: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Akses dan Hak Memperoleh Informasi Kesehatan

61

formasi kesehatan oleh publik tidak akan terhambat. Tapi, Ke-menkes merasa kesulitan melakukan uji konsekuensi. Mereka meminta bantuan Kemenkominfo untuk memberi panduan, tapi menolak bekerjasama dengan NGO.

Tapi menurut Ribka Tjiptaning, semua informasi kesehatan adalah informasi terbuka untuk publik. Bahkan termasuk doku-men rekam medis sepanjang pasien ingin membuka informasi rekam medisnya. Menurut Tjiptaning, pengecualian informasi rekam medis itu didasari atas adanya kode etik kedokteran. Na-mun, ia berpendapat, sepanjang pasien ingin membuka informa-si mengenai rekam medisnya itu menjadi hak si pasien. “Dengan terbitnya UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit, rekam medik jadi terbuka. Pasien berhak dan keluarga terdekat, bukan untuk umum, boleh meminta rekam medik ke rumah sakit,” katanya.

Surya Chandra Surapaty, anggota DPR dari Komisi Keseha-tan juga, rekan satu fraksi Tjiptaning berpendapat rekaman me-dis pasien baik rakyat biasa maupun pejabat publik merupakan informasi yang dikecualikan. Dari dua pendapat legislator itu, bisa disimpulkan bahwa hanya ada satu informasi yang dikecua-likan dalam informasi kesehatan, yakni rekam medis. Artinya di luar itu, semua informasi kesehatan terbuka untuk publik. Tidak ada alasan bagi Kementerian Kesehatan, dinas-dinas keseha-tan, rumah-rumah sakit pemerintah dan puskesmas-puskesmas menutup akses informasi kesehatan. Bahkan harus sebaliknya, menyebarluaskan informasi seluas mungkin ke masyarakat agar khalayak ramai memngetahui informasi-informasi yang meng-untungkan mereka. Jampersal salah satunya informasi yang harus diketahui masyarakat luas.

Tertutupnya akses informasi kesehatan di lingkungan peme-rintahan daerah terjadi misalnya di Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Peneliti lapangan ISAI-INFID, sepanjang akhir Juli 2013 hingga awal Agustus 2013, kesulitan mengakses data kes-

Page 70: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

62

ehatan ibu dan anak di Kota Salatiga. Semua instansi menutup diri. Instansi-instansi yang menutup diri adalah Kantor Walikota Salatiga, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Umum Daerah, sejum-lah Puskesmas. Para petugas instansi pemerintah memang tidak serta merta menolak, namun meminta peneliti ISAI-INFID me-minta izin akses informasi ke pemerintahan provinsi di Sema-rang, ibukota Jawa Tengah. Salatiga adalah kisah buruk tentang akses informasi kesehatan, terutama akses informasi kesehatan ibu dan anak. Seharusnya tidak ada informasi kesehatan ibu dan anak yang perlu disembunyikan oleh Pemerintah Kota Salatiga karena data statistik angka kematian ibu dan anak cukup baik di kota ini. Tapi mengapa mereka menutup akses informasi publik?

Beda Salatiga, beda Kota Probolinggo Provinsi Jawa Timur. Dalam focus group disccussion (FGD) yang diselenggarakan ISAI yang dihadiri hampir semua dinas di pemerintahan kota, termasuk Dinas Kesehatan, mereka terbuka terhadap akses in-formasi oleh masyarakat. Mereka diajak berdiskusi tentang apa saja kira-kira informasi milik dinas yang tergolong informasi yang dikecualikan (rahasia negara). Setelah diskusi panjang hanya ada dua informasi yang dikecualikan, dari Dinas Keseha-tan tentang medical record dan dari Dinas Pendidikan yakni soal ujian nasional. Ini artinya di Kota Probolinggo, semua informasi kesehatan bisa diakses oleh publik kecuali medical record pasien yang memang menjadi rahasia pribadi seseorang. Informasi ten-tang layanan kesehatan ibu dan anak adalah informasi publik dan bisa diakses publik kapan saja. Di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, FDG yang dilakukan ISAI bersama beberapa dinas di pemerintahan kabupaten, termasuk Dinas Kesehatan, komit-men membuka akses informasi publik termasuk akses informasi kesehatan sangat kuat. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kabupaten paham akan tatacara akses informasi publik menu-rut UU KIP, dan dia mendorong dinas-dinas di pemerintahan

Page 71: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

62

ehatan ibu dan anak di Kota Salatiga. Semua instansi menutup diri. Instansi-instansi yang menutup diri adalah Kantor Walikota Salatiga, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Umum Daerah, sejum-lah Puskesmas. Para petugas instansi pemerintah memang tidak serta merta menolak, namun meminta peneliti ISAI-INFID me-minta izin akses informasi ke pemerintahan provinsi di Sema-rang, ibukota Jawa Tengah. Salatiga adalah kisah buruk tentang akses informasi kesehatan, terutama akses informasi kesehatan ibu dan anak. Seharusnya tidak ada informasi kesehatan ibu dan anak yang perlu disembunyikan oleh Pemerintah Kota Salatiga karena data statistik angka kematian ibu dan anak cukup baik di kota ini. Tapi mengapa mereka menutup akses informasi publik?

Beda Salatiga, beda Kota Probolinggo Provinsi Jawa Timur. Dalam focus group disccussion (FGD) yang diselenggarakan ISAI yang dihadiri hampir semua dinas di pemerintahan kota, termasuk Dinas Kesehatan, mereka terbuka terhadap akses in-formasi oleh masyarakat. Mereka diajak berdiskusi tentang apa saja kira-kira informasi milik dinas yang tergolong informasi yang dikecualikan (rahasia negara). Setelah diskusi panjang hanya ada dua informasi yang dikecualikan, dari Dinas Keseha-tan tentang medical record dan dari Dinas Pendidikan yakni soal ujian nasional. Ini artinya di Kota Probolinggo, semua informasi kesehatan bisa diakses oleh publik kecuali medical record pasien yang memang menjadi rahasia pribadi seseorang. Informasi ten-tang layanan kesehatan ibu dan anak adalah informasi publik dan bisa diakses publik kapan saja. Di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, FDG yang dilakukan ISAI bersama beberapa dinas di pemerintahan kabupaten, termasuk Dinas Kesehatan, komit-men membuka akses informasi publik termasuk akses informasi kesehatan sangat kuat. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kabupaten paham akan tatacara akses informasi publik menu-rut UU KIP, dan dia mendorong dinas-dinas di pemerintahan

Akses dan Hak Memperoleh Informasi Kesehatan

63

kabupaten untuk membuka diri seluas-luasnya akses informasi publik.

Di Kementerian Kesehatan, Jakarta, petugas di bagian Pusat Informasi Publik menjelaskan bahwa dokumen-dokumen lapo-ran kesehatan yang disusun kementerian tidak bisa diakses di kementerian, namun di Bappenas. Menurut petugas tersebut, laporan-laporan Kemenkes harus diverifi kasi dan divalidasi oleh Bappenas sebelum bisa diakses oleh publik. Artinya, hak publik atas informasi kesehatan terhambat. Seharusnya menurut UU KIP, setiap badan publik pemerintah bisa mengelola informasi dan dokumentasi milik mereka sendiri melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Sementara Kemenkes su-dah mempunyai PPID pada 2010.

Kementerian ini merupakan salah satunya, selain Kemente-rian Komunikasi dan Informatika yang pertamakali menunjuk PPID untuk menjalankan kebebasan publik mengakses infor-masi di bidang kesehatan. Kami menghubungi Kantor Hubun-gan Masyarakat Bappenas, Agustus 2013, menanyakan apakah benar bahwa Kementerian Kesehatan tidak memiliki wewenang memberikan data tentang laporan kesehatan, terutama untuk data kematian ibu dan anak kepada pemohon informasi dan apa-kah benar kewenangan untuk memberikan data laporan terse-but menjadi kewenangan Bappenas, staf Humas Bappenas tidak memiliki jawaban. Dia menjawab tidak tahu ada pelimpahan kewenangan pengelolaan informasi tersebut. Menurut UU KIP kewenangan menyimpan dan mengelola informasi publik men-jadi kewenangan PPID di badan publik masing-masing dan tidak bisa diserahkan kepada badan publik lain karena kewenangan uji konsekuensi melekat pada PPID masing-masing badan publik.

Page 72: Jalan Terjal Menurunkan AKI
Page 73: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Pemerintah Indonesia menerapkan program raksasa ber-nama Jaminan Persalinan yang disingkat Jampersal. “Ba-yangkan sebanyak hampir 20 juta ibu hamil dan melahir-

kan di seluruh Indonesia ditanggung biayanya oleh negara,” papar Rachmat Sentika, Staf Ahli Menteri Koordinator Kes-ejahteraan Rakyat, Bidang Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs).

Jampersal dibuat untuk mempercepat pencapaian MDGs yang berakhir pada 1 Januari 2015, khususnya menurunkan ang-ka kematian ibu melahirkan. Jampersal mulai dijalankan pada 2011, meliputi pelayanan antenatal, pertolongan persalinan, pe-layanan nifas termasuk pemasangan kontrasepsi paska persalin-an serta pelayanan bayi baru lahir baik normal maupun dengan kasus komplikasi yang perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih mampu.

Tapi entah mengapa, serapan dana Jampersal jauh dari yang

Jaminan Persalinan diciptakan di saat-saat akhir, untuk mengejar target angka kematian ibu melahirkan dan

kematian bayi.

Program InstanMenurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi

Page 74: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

66

diinginkan. Rendahnya serapan dana Jampersal tergambar di Puskesmas Dupak, Surabaya, menurut survei yang dilakukan In-tan Nina Sari dan Widodo J. Pudjiraharjo dari Fakultas Keseha-tan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya. Dalam laporan survei berjudul Ekuitas dalam Pemberian Pelayanan Kesehatan dimuat di Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia, Volume 1 Nomor 1 Januari – Maret 2013.

Intan dan Widodo menemukan hal yang mengejutkan. Jum-lah pemanfaatan Jampersal di Puskesmas Dupak hanya sebe-sar 36,80% dari target 100%. Tidak seluruhnya jenis pelayanan kesehatan pada program Jampersal dipergunakan oleh sasaran. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Intan dan Widodo, ter-hadap 17 responden (ibu hamil dan ibu nifas) hanya tiga orang yang sudah menggunakan Jampersal. Mayoritas masih belum menggunakan Jampersal karena tidak mengetahui tentang pro-gram Jampersal (64,28%) dan menganggap bahwa prosedur mengikuti Jampersal rumit (21,42%) sehingga mereka tidak me-manfaatkannya.

Bagaimana bisa 64,28% ibu hamil dan ibu nifas tidak menge-tahui adanya Jampersal yang membebaskan mereka dari se-mua biaya persalinan? Ini hal yang luar biasa. Prosentasenya mayoritas. Siapa yang salah? Tentu saja pemerintah. Ibu-ibu itu tidak bisa dipersalahkan jika mereka tidak tahu. Bukankah bidan, tenaga layanan masyarakat di Puskesmas, rumah sakit pemerintah, bisa memberitahu mereka ketika mereka datang memeriksakan kehamilannya? Bagaimana pemerintah menye-barkan informasi bahwa ada jaminan sosial bernama Jampersal ke masyarakat? Melalui media apa saja? Bagaiman peran Dinas Kesehatan? Kecamatan? Kelurahan? Seorang ibu di Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat yang bayinya meninggal juga tidak tahu-menahu bahwa ia bisa melahirkan gratis dengan dana Jampersal.

Page 75: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Program Instan Menurunkan Angka Kemati an Ibu dan Bayi

67

JAMPERSAL adalah jaminan pembiayaan untuk pemerik-saan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas ter-masuk pelayanan KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir yang pembiayaannya dijamin oleh pemerintah. Program ini penting mengingat masih banyaknya ibu hamil yang belum memiliki jaminan pembiayaan untuk persalinannya. Dengan de-mikian kendala penting yang dihadapi masyarakat untuk meng-akses persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dapat diatasi dengan program Jampersal. Tidak hanya angka ke-matian ibu melahirkan yang hendak diturunkan oleh Jampersal, juga angka kematian bayi, sehingga target MDGs dapat tercapai.

Layanan Jampersal ini tidak hanya sebatas proses persalinan saja, tapi juga meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan oleh tenaga kesehatan, termasuk pela-yanan bayi baru lahir dan KB paska persalinan.

Ibu Hamil Ibu Bersalin Ibu Nifas

Penimbangan berat badan. Persalinan normal. Penimbangan berat badan.

Pengukuran tekanan darah. Perawatan bayi baru lahir nor-mal termasuk inisiasi menyusu dini.

Pemeriksaan nifas.

Pemeriksaan kehamilan Imunisasi bayi baru lahir. Pemberian Kapsul Vitamin A pada ibu

Pemberian Tablet Tambah Darah

Pemberian Kapsul Vitamin A bagi ibu

Pemeriksaan dan perawatan bayi baru lahir

Pemberian imunisasi Teta-nus, Toksoid

Konsultasi menyusui dini dan “rawat gabung”.

Pelayanan KB sesudah melahirkan pada masa nifas

Konsultasi kesehatan ibu hamil, tanda bahaya dan persiapan persalinan.

Nasihat kebutuhan gizi, KB, pemberian ASI eksklusif dan perawatan bayi baru lahir.

Nasihat kebutuhan gizi, KB, pemberian ASI eksklusif dan perawatan bayi baru lahir.

Jika ada komplikasi, akan dirujuk untuk mendapatkan pemeriksaan dan pelayanan lebih lanjut.

Jika ada komplikasi, akan dirujuk untuk mendapatkan pemeriksaan dan pelayanan lebih lanjut.

Jika ada komplikasi, akan dirujuk untuk mendapatkan pemeriksaan dan pelayanan lebih lanjut.

Pelayanan yang Ditanggung dalam Program Jampersal

Page 76: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

68

Tetapi ternyata peserta program Jampersal juga tidak lebih baik nasibnya. Dian Agustin Dewi Lestari, ibu berusia 20 tahun, meninggal bersama bayi dalam kandungannya di Rumah Sakit Umum Daerah Ibnu Sina, Gresik, Provinsi Jawa Timur. Dia pe-serta Jampersal, memegang kartu Jampersal. Pada dini hari 22 April 2013, Dian Agustin Dewi Lestari dibawa ke rumah sakit umum daerah. Bidan yang sebelumnya merawat merujuknya ke rumah sakit karena terjadi sesuatu dan dia tidak mampu menanganinya. Agus Budianto, suami pasien, menuturkan ke-pada media massa, ia membawa istrinya ke bidan desa. Bidan tidak mampu menangani dan memintanya membawa istrinya ke RSUD Gresik. Waktu itu hari Jumat. Istrinya sudah kesakitan dan kelelahan karena sudah bukan satu. Namun, sampai esok harinya belum ada penanganan berarti. Isterinya hanya diberi obat pendorong kelahiran. Dia malah merasa sesak dadanya, tapi kondisi itu dibiarkan hingga Minggu pagi. Pasien hanya di-beri tabung oksigen, setelah petugas rumah sakit meminta biaya penggantian tabung oksigen. Katanya, oksigen tidak ditanggung Jampersal. Tapi oksigen itu ternyata tidak menolong. “Sejak

Jenis Pelayanan Frekuensi Tarif Jumlah

1 Pemeriksaan kehamilan 4 kali Rp 10.000,-(US$ 1)

Rp. 40.000,-(US$ 4)

2 Persalinan normal 1 kali Rp. 350.000,-(US$ 35)

Rp. 350.000,-(US$ 35)

3 Pelayanan nifas termasuk pelayanan bayi baru lahir dan KB pasca persalinan

3 kali Rp. 10.000,-(US$ 1)

Rp. 30.000,-(US$ 3)

4 Pelayanan persalinan tak maju dan atau pelayanan pra-rujukan bayi baru lahir dengan komplikasi

1 kali Rp.100.000,-(US$ 10)

Rp. 100.000,-(US$ 10)

5 Pelayanan pasca keguguran, persalinan per vaginam dengan tindakan emergensi dasar.

1 kali Rp. 500.000,-(US$ 50)

Rp. 500.000,-(US$ 50)

Besaran Tarif Pelayanan Jampersal

Page 77: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

68

Tetapi ternyata peserta program Jampersal juga tidak lebih baik nasibnya. Dian Agustin Dewi Lestari, ibu berusia 20 tahun, meninggal bersama bayi dalam kandungannya di Rumah Sakit Umum Daerah Ibnu Sina, Gresik, Provinsi Jawa Timur. Dia pe-serta Jampersal, memegang kartu Jampersal. Pada dini hari 22 April 2013, Dian Agustin Dewi Lestari dibawa ke rumah sakit umum daerah. Bidan yang sebelumnya merawat merujuknya ke rumah sakit karena terjadi sesuatu dan dia tidak mampu menanganinya. Agus Budianto, suami pasien, menuturkan ke-pada media massa, ia membawa istrinya ke bidan desa. Bidan tidak mampu menangani dan memintanya membawa istrinya ke RSUD Gresik. Waktu itu hari Jumat. Istrinya sudah kesakitan dan kelelahan karena sudah bukan satu. Namun, sampai esok harinya belum ada penanganan berarti. Isterinya hanya diberi obat pendorong kelahiran. Dia malah merasa sesak dadanya, tapi kondisi itu dibiarkan hingga Minggu pagi. Pasien hanya di-beri tabung oksigen, setelah petugas rumah sakit meminta biaya penggantian tabung oksigen. Katanya, oksigen tidak ditanggung Jampersal. Tapi oksigen itu ternyata tidak menolong. “Sejak

Jenis Pelayanan Frekuensi Tarif Jumlah

1 Pemeriksaan kehamilan 4 kali Rp 10.000,-(US$ 1)

Rp. 40.000,-(US$ 4)

2 Persalinan normal 1 kali Rp. 350.000,-(US$ 35)

Rp. 350.000,-(US$ 35)

3 Pelayanan nifas termasuk pelayanan bayi baru lahir dan KB pasca persalinan

3 kali Rp. 10.000,-(US$ 1)

Rp. 30.000,-(US$ 3)

4 Pelayanan persalinan tak maju dan atau pelayanan pra-rujukan bayi baru lahir dengan komplikasi

1 kali Rp.100.000,-(US$ 10)

Rp. 100.000,-(US$ 10)

5 Pelayanan pasca keguguran, persalinan per vaginam dengan tindakan emergensi dasar.

1 kali Rp. 500.000,-(US$ 50)

Rp. 500.000,-(US$ 50)

Besaran Tarif Pelayanan Jampersal

Program Instan Menurunkan Angka Kemati an Ibu dan Bayi

69

Minggu siang, istri saya mulai kejang-kejang. Karena itu, saya minta agar dilakukan operasi caesar. Namun, petugas RSUD tidak menuruti bisa melayani, kecuali jika saya mencabut pro-gram pasien Jampersal dan menanggung semua biaya operasi sendiri,” kata Agus.

Agus setuju, tapi kemudian petugas rumah sakit membatal-kan persetujuan Agus, dengan alasan tidak perlu dilakukan oper-asi caesar. “Senin dini hari, isteri dan anak kami dalam kandung-an meninggal. Istri saya tidak ditangani secara layak,” tuturnya.

Kisah ini mengejutkan. Ibu dan bayi di kandungannya, se-harusnya bisa diselamatkan jika memang ada niat untuk me-nyelamatkan nyawanya. Tak ada alasan untuk tidak bisa dise-lamatkan. Bidan desa yang meminta pasien segera dibawa ke rumah sakit sudah benar dan suami pasien yang dengan cepat membawanya ke rumah sakit juga sudah memenuhi prosedur keselamatan ibu hamil. Tapi justru rumah sakit yang tidak men-jalankan prosedur keselamatan ibu dan anak yang dikandung-nya. Kasus ini memberi penjelasan yang gamblang, mengapa angka kematian ibu dan anak di Indonesia tidak bergerak turun dengan cepat, dan mengapa Indonesia gagal mencapai target an-gka minimal kematian ibu dan anak.

Ahmad Syafi q, peneliti dan pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, menilai Jampersal merupa-kan program yang baik. Menurutnya, Jampersal memiliki po-tensi untuk mampu mereduksi angka kematian ibu dan anak. Namun perlu dicermati syarat-syarat penerimaan Jampersal terutama yang terkait dengan kondisi mengikat bagi penerima yang berhubungan dengan determinan kematian ibu dan anak, misalnya kewajiban mengikuti KB setelah melahirkan. “Bebera-pa hasil penelitian misalnya disertasi doktor Dian Kusuma men-unjukkan bahwa Jampersal berkontribusi positif bagi status gizi dan kesehatan. Keunggulannya biaya persalinan menjadi lebih

Page 78: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

70

ringan bagi masyarakat, secara teoretis, tapi dalam pelaksanaan-nya perlu ada pengawasan bersama agar tidak terjadi penyim-pangan,” kata Ahmad.

Diah S. Saminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI Bi-dang Perencanaan Program dan Sinergi Komunitas, Kantor Utu-san Khusus Presiden RI untuk MDGs bertanya, “Jampersal bisa menurunkan angka kematian ibu dan anak?”

Ia bilang, sebuah policy selalu diciptakan dengan niat baik. Namun menurutnya, policy yang melahirkan Jampersal belum menganut paham research base, jadi policy yang diterbitkan be-lum komperherensif. “Setahu saya Jampersal diluncurkan untuk mendorong agar perempuan melahirkan di puskesmas atau di rumah sakit. Tapi yang dilupakan adalah implikasi dari adanya policy ini. Misalnya kurang lengkap, Jampersal diberikan untuk anak keberapa, untuk berapa anak, bagaimana syarat-syarat un-tuk medapatkannya. Apa implikasi terhadap tenaga kesehatan? Bagaimana fee seorang bidan dan dokter? Bersalin itu dua pihak, pasien dan tenaga kesehatannya. Pasiennya gratis, tapi bagaima-na tenaga kesehatannya? Berapa besar fee yang diperoleh para tenaga kesehatan? Jika fee-nya kecil tenaga medis akan meno-lak. Bidan memperoleh fee sebesar Rp 350 ribu.,” sergahnya.

Menurut Diah, ada sejumlah manipulasi yang terjadi dalam implementasi di tingkat daerah, terutama dalam penganggaran. Ada daerah yang memanfaatkan Jampersal untuk mendapatkan pendapatan ekstra. “Ada pemerintah daerah yang memotong fee pertugas kesehatan Rp 80 ribu, dan dibayarnya empat sampai enam bulan kemudian,” kata Diah.

Akhirnya program tidak jalan, yang dirugikan masyarakat. Policy tidak dipikirkan operasionalisasinya. Diah mengusulkan Jampersal, sebuah policy yang bagus ini bisa dijalankan bahkan mungkin di dalam sebuah Jaminan Sosial Nasional. Lalu, kata Diah, Pemda harus diingatkan bahwa Jampersal bukan business

Page 79: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Program Instan Menurunkan Angka Kemati an Ibu dan Bayi

71

opportunity, revenue opportunity. “Ini mirip dengan Kartu Jakarta Sehat, maksudnya baik, orang dapat akses kesehatan, segera dan gratis tidak membedakan status ekonomi. Namun karena anggarannya belum disiapkan akhirnya ribut, ada rumah sakit yang menolak karena utang Pemda sudah terlalu besar. Ru-mah sakit butuh dana operasional. Jadi yang salah adalah per-siapan sebelum policy dikeluarkan,” lanjut Diah.

Catatan Diah diperkuat Lery Mboeik, Anggota DPD asal Nusa Tenggara Timur. Menurut Mboeik, di sejumlah tempat di NTT ibu hamil enggan melahirkan di puskesmas walaupun ada Jampersal. Implementasi Jampersal oleh pemerintah daerah seringkali tidak masuk akal dan menghambat tujuan Jampersal itu sendiri yakni mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Mi-salnya, di Desa Tubuhue, Kecamatan Amanuban Tengah, Kabu-paten Timor Tengah Selatan jika pasien ibu hamil melahirkan namun tidak di Puskesmas Amanuban Tengah maka ibu hamil akan didenda Rp. 300 ribu (US$ 30). Itu aturan yang diterbit-kan pemerintah daerah sebagai Petunjuk Teknis Jampersal. Di pedalaman Timor, uang sebesar itu sangat berarti. Padahal Desa Tubuhue lebih dekat lokasinya dengan Rumah Sakit Umum Dae-rah (RSUD). Jaraknya hanya sekitar sembilan kilometer sedang-kan ke Puskesmas Amanuban Tengah jaraknya lebih kurang 38 kilometer.

Menurut Mboeik, Petunjuk Teknis yang diterbitkan Bupati itu menyebabkan ibu-ibu hamil tidak bisa mengakses pelayan-an Jampersal di RSUD karena takut didenda. Mereka memilih melahirkan di rumah dengan bantuan dukun beranak. “Jadi di Provinsi NTT, Kebijakan Jampersal belum dipahami secara baik oleh pelaku kebijakan. Melahirkan di rumah dengan bantuan dukun beranak yang tidak memiliki kemampuan medis mema-dai dan tidak memiliki peralatan dan obat-obatan, sangat ber-isiko,” kata Mboeik.

Page 80: Jalan Terjal Menurunkan AKI
Page 81: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Pada Juli 2012, tiga tahun menjelang MDGs berakhir pada 2015, Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki Moon, memberi tugas kepada tiga pemimpin negara anggota PBB, yakni Presiden

Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Perdana Menteri Ing-gris, David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, untuk memimpin High Level Panel (HLP) of Eminent Person, Agenda Pembangunan Pasca 2015. Panel ini beranggotakan 27 orang. Para pemimpin negara tadi tidak mewakili negaranya masing-masing namun ditunjuk sebagai pribadi. HLP ditugas-kan Sekjen PBB menyusun rekomendasi agenda pembangunan pasca 2015, yakni agenda kelanjutan dari MDGs 2015 yang su-dah dimulai pada 2000. HLP mengadakan pertemuan pertama di New York, Sekretaris Jenderal menantang HLP menghasilkan visi yang berani namun praktis untuk pembangunan pasca 2015.

Dalam pertemuan di London, HLP membahas kemiskinan rumah tangga: realitas kehidupan sehari-hari untuk bertahan

Seperti dalam sepakbola, waktu perpanjangan dibutuhkan untuk menciptakan gol kemenangan.

Agenda Pembangunan Pasca 2015:Dibutuhkan PerpanjanganWaktu

Page 82: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

74

hidup. HLP membahas berbagai dimensi kemiskinan, keseha-tan, pendidikan, lapangan kerja, dan tuntutan akan keadilan, akuntabilitas yang lebih baik, dan mengakhiri kekerasan terha-dap perempuan. HLP juga mendengar cerita inspiratif tentang bagaimana individu dan masyarakat bekerja dengan cara mere-ka sendiri untuk kemakmuran.

Di Monrovia, HLP membahas transformasi ekonomi dan pembangunan yang diperlukan untuk pertumbuhan yang mem-berikan inklusi sosial dan menghormati lingkungan: bagaimana memanfaatkan kecerdikan dan dinamika bisnis pembangunan berkelanjutan. HLP melihat dengan mata kepala sendiri, tentang kemajuan luar biasa bagaiman suatu negara yang hancur oleh konfl ik mampu membangun perdamaian dan keamanan.

Di Bali, HLP sepakat tentang pentingnya pusat semangat baru untuk membimbing kemitraan global untuk semua orang ber-dasarkan prinsip kemanusiaan. HLP sepakat mendorong negara maju untuk di samping menghormati komitmen bantuan mere-ka, tetapi juga mereformasi sistem perdagangan mereka, kebi-jakan pajak dan transparansi, dengan memperhatikan kaidah untuk lebih mengatur keuangan global dan komoditas pasar dan dengan memimpin jalan menuju berkelanjutan pembangunan. HLP sepakat bahwa negara-negara berkembang telah berbuat banyak untuk membiayai pembangunan mereka sendiri, dan akan dapat meningkatkan pendapatan. HLP juga sepakat pada kebutuhan untuk mengelola konsumsi dunia dan pola produksi yang lebih lestari dan adil. HLP sepakat bahwa visi baru harus menawarkan harapan, tetapi juga tanggung jawab untuk semua orang di dunia.

Di Bali, HLP mengundang Global CSOs Forum on Post 2015 untuk bergabung dalam sesi pembahasan rekomendasi. Sebe-lumnya, 23-24 Maret 2013, Global CSOs melakukan sidang untuk menyepakati usulan agenda mereka dalam rekomendasi

Agenda Pembangunan Pasca 2015: Dibutuhkan PerpanjanganWaktu

75

HLP yang akan diserahkan kepada Sekjen PBB. Sebelum berga-bung dalam HLP Tuan rumah konferensi pendahuluan ini ada-lah Koalisi CSO Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca 2015 dan Asia Working Group Post-2015 Development Agenda. Koalisi CSO Indonesia dibentuk oleh seratusan lembaga swadaya masyarakat. Pertemuan pendahuluan ini bertajuk, Strengthen-ing the Global Comunnity’s Voices. Konferensi ini diikuti seki-tar 300 peserta dari dalam dan luar negeri. Peserta asing datang dari 31 negara, seperti Seira-Leon, Malawi, Uganda, Mesir, In-dia, Mexico, Guatemala, Karabia, Kanada, AS, Australia, New Zealand, Jepang, Korea Selatan dan lain-lain. Dalam konfe-rensi pendahuluan ini, diserukan bahwa kelompok-kelompok masyarakat pesisir, buruh migran, masyarakat miskin di per-batasan, kaum lesbian, gay, bisexsual dan transgender (LGBT) adalah kelompok-kelompok yang tidak diuntungkan dalam Mil-lenium Development Goals (MDGs). Isu kelompok-kelompok masyarakat dunia yang tidak diuntungkan oleh MDGs ini akan dibawa ke HLP. Konferensi mendorong, untuk Asia, pembangu-nan harus dijalankan dalam konteks Asia, dalam forum ini akan dibahas bagaimana menjalankan pembangunan manusia dalam konteks Asia. Jaminan terhadap pekerjaan yang layak bagi setiap warga dunia.

HLP memberi rekomendasi kepada Sekjen PBB bahwa MDGs harus dilanjutkan ke milenium berikutnya 2015-2030 dalam laporan berjudul A New Global Partnership: Eradicate Poverty And Transform Economies Through Sustainable Development: The Report of the High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda. Laporan ini memberi reko-mendasi untuk pembangunan milenium paska 2015, sebagian merupakan usulan Global CSO. HLP menekankan lima prioritas transformasi yang harus dijalankan pada Agenda Pembangunan Post 2015 yakni: (1) Leave No One Behind; (2) Put Sustainable

Page 83: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Agenda Pembangunan Pasca 2015: Dibutuhkan PerpanjanganWaktu

75

HLP yang akan diserahkan kepada Sekjen PBB. Sebelum berga-bung dalam HLP Tuan rumah konferensi pendahuluan ini ada-lah Koalisi CSO Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca 2015 dan Asia Working Group Post-2015 Development Agenda. Koalisi CSO Indonesia dibentuk oleh seratusan lembaga swadaya masyarakat. Pertemuan pendahuluan ini bertajuk, Strengthen-ing the Global Comunnity’s Voices. Konferensi ini diikuti seki-tar 300 peserta dari dalam dan luar negeri. Peserta asing datang dari 31 negara, seperti Seira-Leon, Malawi, Uganda, Mesir, In-dia, Mexico, Guatemala, Karabia, Kanada, AS, Australia, New Zealand, Jepang, Korea Selatan dan lain-lain. Dalam konfe-rensi pendahuluan ini, diserukan bahwa kelompok-kelompok masyarakat pesisir, buruh migran, masyarakat miskin di per-batasan, kaum lesbian, gay, bisexsual dan transgender (LGBT) adalah kelompok-kelompok yang tidak diuntungkan dalam Mil-lenium Development Goals (MDGs). Isu kelompok-kelompok masyarakat dunia yang tidak diuntungkan oleh MDGs ini akan dibawa ke HLP. Konferensi mendorong, untuk Asia, pembangu-nan harus dijalankan dalam konteks Asia, dalam forum ini akan dibahas bagaimana menjalankan pembangunan manusia dalam konteks Asia. Jaminan terhadap pekerjaan yang layak bagi setiap warga dunia.

HLP memberi rekomendasi kepada Sekjen PBB bahwa MDGs harus dilanjutkan ke milenium berikutnya 2015-2030 dalam laporan berjudul A New Global Partnership: Eradicate Poverty And Transform Economies Through Sustainable Development: The Report of the High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda. Laporan ini memberi reko-mendasi untuk pembangunan milenium paska 2015, sebagian merupakan usulan Global CSO. HLP menekankan lima prioritas transformasi yang harus dijalankan pada Agenda Pembangunan Post 2015 yakni: (1) Leave No One Behind; (2) Put Sustainable

Page 84: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

76

Development at the Core; (3) Transform Economies for Jobs and Inclusive Growth; (4) Build Peace and Effective, Open and Ac-countable Public Institutions; (5) Forge a new Global Partner-ship.

1 Leave No One Behind (Jangan Tinggalkan Seorang pun di Belakang)

Kita menyelesaikan MDGs 2000. Dalam Agenda Post 2015 kita harus mengakhiri kemiskinan kemiskinan, dalam segala bentuknya. Kita harus memastikan bahwa tidak ada seorangpun, tanpa memandang etnis, jenis kelamin, asal geografi , kecacatan, ras atau status lain-nya, didiskriminasi hak asasi manusia universalnya dan kesempatan ekonomi dasarnya. Kita harus merancang tujuan yang fokus pada menjang-kau kelompok yang tidak terjangkau, misalnya dengan memastikan kemajuan di semua tingkat pendapatan, dan dengan memberikan perlindungan sosial untuk membantu masyarakat membangun ketahanan terha-dap ketidakpastian hidup.Kita bisa menjadi generasi pertama dalam sejarah manusia untuk mengakhiri kelaparan dan memastikan bahwa setiap orang mencapai standar dasar kese-jahteraan. Tidak boleh ada alasan untuk tidak. Ini adalah agenda universal, di mana semua orang harus menerima bagian yang sepantasnya dari tanggung jawab.

2 Leave No One Be-hind Put Sustainable Development at the Core (Letak-kan Pembangunan Berkelanjutan dalam Keutamaan)

Selama dua puluh tahun, masyarakat internasional bercita-cita mengintegrasikan pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan keberlanjutan, tetapi belum ada negara yang mencapainya. Kita harus bertin-dak sekarang untuk menghentikan perubahan iklim yang menghawatirkan dan degradasi lingkungan yang menimbulkan ancaman bagi kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini merupakan tan-tangan universal, untuk setiap negara dan setiap orang di muka bumi. Hal ini akan membutuhkan perubahan struktural, dengan solusi baru, dan akan memberikan peluang baru. Negara-negara maju memiliki peran khusus, mengembangkan teknologi baru dan membuat kemajuan cepat dalam mengurangi konsumsi yang boros dan tidak berkelanjutan. Banyak perusahaan be-sar di dunia yang sudah memimpin transformasi ini ke ekonomi hijau dalam konteks pembangunan berkelan-jutan dan pengentasan kemiskinan. Hanya dengan memobilisasi aksi sosial, ekonomi dan lingkungan bersama-sama kita bisa mengentaskan kemiskinan dan memenuhi aspirasi delapan miliar orang pada 2030.

Page 85: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

76

Development at the Core; (3) Transform Economies for Jobs and Inclusive Growth; (4) Build Peace and Effective, Open and Ac-countable Public Institutions; (5) Forge a new Global Partner-ship.

1 Leave No One Behind (Jangan Tinggalkan Seorang pun di Belakang)

Kita menyelesaikan MDGs 2000. Dalam Agenda Post 2015 kita harus mengakhiri kemiskinan kemiskinan, dalam segala bentuknya. Kita harus memastikan bahwa tidak ada seorangpun, tanpa memandang etnis, jenis kelamin, asal geografi , kecacatan, ras atau status lain-nya, didiskriminasi hak asasi manusia universalnya dan kesempatan ekonomi dasarnya. Kita harus merancang tujuan yang fokus pada menjang-kau kelompok yang tidak terjangkau, misalnya dengan memastikan kemajuan di semua tingkat pendapatan, dan dengan memberikan perlindungan sosial untuk membantu masyarakat membangun ketahanan terha-dap ketidakpastian hidup.Kita bisa menjadi generasi pertama dalam sejarah manusia untuk mengakhiri kelaparan dan memastikan bahwa setiap orang mencapai standar dasar kese-jahteraan. Tidak boleh ada alasan untuk tidak. Ini adalah agenda universal, di mana semua orang harus menerima bagian yang sepantasnya dari tanggung jawab.

2 Leave No One Be-hind Put Sustainable Development at the Core (Letak-kan Pembangunan Berkelanjutan dalam Keutamaan)

Selama dua puluh tahun, masyarakat internasional bercita-cita mengintegrasikan pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan keberlanjutan, tetapi belum ada negara yang mencapainya. Kita harus bertin-dak sekarang untuk menghentikan perubahan iklim yang menghawatirkan dan degradasi lingkungan yang menimbulkan ancaman bagi kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini merupakan tan-tangan universal, untuk setiap negara dan setiap orang di muka bumi. Hal ini akan membutuhkan perubahan struktural, dengan solusi baru, dan akan memberikan peluang baru. Negara-negara maju memiliki peran khusus, mengembangkan teknologi baru dan membuat kemajuan cepat dalam mengurangi konsumsi yang boros dan tidak berkelanjutan. Banyak perusahaan be-sar di dunia yang sudah memimpin transformasi ini ke ekonomi hijau dalam konteks pembangunan berkelan-jutan dan pengentasan kemiskinan. Hanya dengan memobilisasi aksi sosial, ekonomi dan lingkungan bersama-sama kita bisa mengentaskan kemiskinan dan memenuhi aspirasi delapan miliar orang pada 2030.

Agenda Pembangunan Pasca 2015: Dibutuhkan PerpanjanganWaktu

77

3 Transform Econo-mies for Jobs and Inclusive Growth (Transfor-masi Ekonomi untuk Pekerjaan dan Per-tumbuhan Inklusif)

Kami menyerukan lompatan quantum ke depan dalam peluang ekonomi dan transformasi ekonomi yang men-dalam untuk mengakhiri kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup. Ini berarti pergeseran cepat untuk pola berkelanjutan konsumsi dan produksi - memberikan inovasi, teknologi, dan potensi bisnis swasta untuk menciptakan nilai lebih dan mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif (terbuka bagi semua negara). Diversifi kasi ekonomi, dengan kesempatan yang sama bagi semua, dapat menciptakan lapangan kerja dan mata pencaharian, terutama bagi orang-orang muda dan perempuan. Ini adalah tantangan bagi setiap negara di bumi: untuk memastikan kemungkinan pekerjaan yang baik, berkelanjutan walaupun dengan sumber daya alam yang terbatas. Kita harus memasti-kan bahwa setiap orang memiliki apa yang mereka bu-tuhkan untuk tumbuh dan berkembang, termasuk akses terhadap pendidikan yang berkualitas dan keterampi-lan, kesehatan, air bersih, listrik, telekomunikasi dan transportasi. Kita harus mempermudah setiap orang untuk berinvestasi, memulai bisnis dan perdagangan. Dan kita bisa berbuat lebih banyak untuk mengambil keuntungan dari urbanisasi: kota adalah mesin dunia untuk bisnis dan inovasi. Dengan manajemen yang baik mereka dapat memberikan pekerjaan, harapan dan pertumbuhan, sambil mendorong pembangunan yang berkeberlanjutan.

4 Build Peace and Effective, Open and Accountable Public Institutions (Bangun Perdamaian yang Efektif, Buka Institusi Publik yang Akuntabel)

Bebas dari rasa takut, konfl ik dan kekerasan adalah hak asasi manusia yang paling mendasar, dan landasan penting untuk membangun masyarakat yang damai dan sejahtera. Pada saat yang sama, orang di seluruh dunia mengharapkan pemerintah mereka untuk bersikap jujur, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan rakyatnya. Kami menyerukan perubahan mendasar, menjadi perdamaian dan pemerintahan yang baik sebagai elemen inti kesejahteraan, bukannya sebagai plihan. Ini merupakan agenda universal untuk semua negara. Lembaga-lembanga yang memiliki legitimasi harus responsif dan mendorong supremasi hukum, hak milik, kebebasan berbicara dan kebebasan pers, pilihan politik terbuka, akses terhadap keadilan, dan pemerintahan dan badan-badan publik yang akuntabel. Kita perlu sebuah revolusi transparansi, agar warga dapat melihat persis di mana dan bagaimana hasil dari pajak dan industri dibelanjakan.

Page 86: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

78

Lima prioritas transformasi tersebut kemudian dirinci oleh HLP ke dalam 12 tujuan agenda pembangunan pasca 2015. Se-banyak 12 tujuan, lebih banyak daripada tujuan MDGs tahun 2000. Tujuan ditentukan dan dicapai sama-sama, namun ber-beda dengan MDGs 2000 di mana target ditentukan bersama, dalam rekomendasi HLP, target ditentukan oleh negara masing-masing. Maka muncul: universal goals and national target. Tujuan ditetapkan bersama-sama dan berlaku di seluruh dunia, namun target pencapaian tujuan ditetapkan sendiri oleh masing-masing negara.

Diah S. Sasminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs, mendukung universal goals and national tar-

Forge a New Global Partnership (Men-empa Kemitraan Global Baru)

Sepertinya perubahan transformatif yang paling penting adalah menuju semangat baru solidaritas, kerjasama, dan tanggung jawab bersama yang harus mendukung agenda pembangunan pasca-2015. Sebuah kemitraan baru harus didasarkan pada pemahaman umum tentang kemanusiaan kita bersama, fondasi saling menghormati dan saling menguntungkan. Kemi-traan ini harus melibatkan pemerintah tetapi juga termasuk orang lain: orang yang hidup dalam kemiski-nan, mereka yang cacat, perempuan, masyarakat sipil dan masyarakat adat dan lokal, kelompok masyarakat tradisional yang terpinggirkan, lembaga multilateral, pemerintah lokal dan nasional, komunitas bisnis, akademisi dan fi lantropi swasta. Setiap daerah yang menjadi prioritas dalam agenda pasca-2015 harus didukung oleh kemitraan yang dinamis. Sudah saatnya bagi masyarakat internasional untuk menggunakan cara baru untuk bekerja, melampaui agenda bantuan dan menempatkan rumah sendiri dalam rangka: menera-pkan penghapusan korupsi, arus keuangan terlarang, pencucian uang, penggelapan pajak, dan kepemilikan aset tersembunyi. Kita harus memerangi perubahan iklim, mempromosikan perdagangan bebas, inovasi teknologi, kekebasan transfer dan mempromosikan stabilitas keuangan. Karena kemitraan ini dibangun di atas prinsip-prinsip kemanusiaan dan saling menghor-mati, maka kita harus memiliki semangat baru dan benar-benar transparan. Setiap orang yang terlibat harus bertanggung jawab penuh.

Page 87: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

78

Lima prioritas transformasi tersebut kemudian dirinci oleh HLP ke dalam 12 tujuan agenda pembangunan pasca 2015. Se-banyak 12 tujuan, lebih banyak daripada tujuan MDGs tahun 2000. Tujuan ditentukan dan dicapai sama-sama, namun ber-beda dengan MDGs 2000 di mana target ditentukan bersama, dalam rekomendasi HLP, target ditentukan oleh negara masing-masing. Maka muncul: universal goals and national target. Tujuan ditetapkan bersama-sama dan berlaku di seluruh dunia, namun target pencapaian tujuan ditetapkan sendiri oleh masing-masing negara.

Diah S. Sasminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs, mendukung universal goals and national tar-

Forge a New Global Partnership (Men-empa Kemitraan Global Baru)

Sepertinya perubahan transformatif yang paling penting adalah menuju semangat baru solidaritas, kerjasama, dan tanggung jawab bersama yang harus mendukung agenda pembangunan pasca-2015. Sebuah kemitraan baru harus didasarkan pada pemahaman umum tentang kemanusiaan kita bersama, fondasi saling menghormati dan saling menguntungkan. Kemi-traan ini harus melibatkan pemerintah tetapi juga termasuk orang lain: orang yang hidup dalam kemiski-nan, mereka yang cacat, perempuan, masyarakat sipil dan masyarakat adat dan lokal, kelompok masyarakat tradisional yang terpinggirkan, lembaga multilateral, pemerintah lokal dan nasional, komunitas bisnis, akademisi dan fi lantropi swasta. Setiap daerah yang menjadi prioritas dalam agenda pasca-2015 harus didukung oleh kemitraan yang dinamis. Sudah saatnya bagi masyarakat internasional untuk menggunakan cara baru untuk bekerja, melampaui agenda bantuan dan menempatkan rumah sendiri dalam rangka: menera-pkan penghapusan korupsi, arus keuangan terlarang, pencucian uang, penggelapan pajak, dan kepemilikan aset tersembunyi. Kita harus memerangi perubahan iklim, mempromosikan perdagangan bebas, inovasi teknologi, kekebasan transfer dan mempromosikan stabilitas keuangan. Karena kemitraan ini dibangun di atas prinsip-prinsip kemanusiaan dan saling menghor-mati, maka kita harus memiliki semangat baru dan benar-benar transparan. Setiap orang yang terlibat harus bertanggung jawab penuh.

Agenda Pembangunan Pasca 2015: Dibutuhkan PerpanjanganWaktu

79

get. Menurutnya, target-target MDGs tidak bisa disamaratakan untuk semua negara. Target harus ditentukan oleh negara itu sendiri. “Jadi ada global goals, orang tidak boleh lapar, ibu me-lahirkan tidak boleh meninggal tapi berapa angkanya kita sendiri yang harus menentukan, dengan begitu tidak ada generalisasi. Kalau digeneralisasi rasanya kita jelek sekali. Padahal kita sudah berusaha. Kalau kita hanya mengejar aspek kuantitatifnya kita lupa aspek kualitatifnya,” tutur Diah.

Page 88: Jalan Terjal Menurunkan AKI

Jalan TerjalMenurunkan Angka Kematian Ibu

didukung oleh:

editor: Irawan Saptono

Laporan Penelitian INFID No. 1/2013

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105

Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12540Tel: (021) 781.9734, 781.9735

Fax: (021) 788.44703Email: infi d@infi d.org

Website: www.infi d.org