iv. pembahasan
DESCRIPTION
Pembahsan sementara laporan skripsiTRANSCRIPT
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan selama penelitian diperoleh data utama yaitu : waktu
laten pemijahan, fekunditas, diameter telur, derajat pembuahan, derajat penetasan,
survival rate dan kualitas air sebagai parameter pendukung.
Data utama yang telah diperoleh sebelum analisis ragam data ( ANOVA),
terlebih dahulu diuji normalitas (prosedur Liliefors) dan homogenitas (prosedur
Bartlett). Berikut keseluruhan data utama yang diamati dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 6. Hasil pengamatan rerata keseluruhan parameter yang diamati.
PerlakuanParameter Pengamatan
Latensi Time (Jam)
Fekuditas (Butir)
Dameter Telur (mm)
Pembuahan (%)
Penetasan (%)
SR (%)
A 11.68 472175 0.90 90.617 32.30 33.70
B 9.02 440569 1.03 90.98 38.10 31.51
C 8.97 513078 0.83 91.10 34.05 42.88Sumber : Data primer yang diolah (2014)
A. Waktu Laten
Waktu laten dihitung mulai dari saat penyuntikan akhir sampai terjadinya
pemijahan yang ditandai dengan keluarnya telur. Hasil pengamatan rerata waktu
laten dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 2.
Secara keseluruhan dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa kisaran
rerata waktu laten pemijahan ikan patin dengan pemberian hormon ovaprim yang
berbeda adalah 8.97 jam sampai dengan 11.68 jam. Dari hasil pengamatan dapat
dilihat bahwa waktu laten yang paling singkat terdapat pada perlakuan C (0,7
ml/kg) yaitu 8,97 jam kemudian perlakuan B (0,6 ml/kg) dengan rerata waktu
laten 9,02 jam dan yang paling lambat terdapat pada perlakuan A (0,5 ml/kg)
yaitu 11,68 jam.
29
Gambar 2. Grafik rerata waktu laten ikan patin
Uji normalitas Lilliefors untuk fekunditas telur ikan patin didapatkan nilai
Lmaks lebih kecil dari nilai Ltabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti data
menyebar normal. Selanjutnya, pada uji homogenitas Bartlett didapatkan nilai
data X2hitung lebih kecil dari X2
tabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti
data homogen.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh data Fhitung
perlakuan lebih besar dari Ftabel (0,05) tetapi lebih kecil dari Ftabel (0,01) yang
berarti bahwa antar perlakuan berpengaruh nyata. Dengan demikian terdapat
perbedaan yang nyata diantara perlakuan atau dengan kata lain perlakuan
berpengaruh nyata terhadap perbedaan dosis penyuntikan ovaprim dengan waktu
laten ikan patin.
Dari ketiga perlakuan semua ikan memijah hal ini dikarenakan semua
induk yang digunakan sudah matang gonad, akan tetapi waktu laten ketiga
perlakuan ini berbeda nyata. Berbeda nyatanya waktu laten di duga karena adanya
perbedaan kandungan gonadotropin dalam tubuh ikan yang dihasilkan dari
pemberian hormon ovaprim. Menurut Fujaya (1999), induk yang disuntik dengan
30
hormon hipofisa, LHRH, dan lain-lain dapat menambah atau meningkatkan
konsentrasi hormon gonadotropin dalam darah sehingga mampu menginduksi
perkembangan telur dan pemijahan.
Ovulasi dipengaruhi oleh kandungan gonadotropin dalam tubuh. Induk
ikan akan mengalami ovulasi ketika kebutuhan hormon gonadotropin tercukupi.
Biasanya keterlambatan waktu ovulasi terjadi karena kebutuhan hormon
gonadotropin belum tercukupi.
Mekanisme yang terjadi dalam ovulasi dan pemijahan, yaitu sinyal
lingkungan diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus,
sebagai respon, hipotalamus akan melepaskan hormon GnRH (Gonadotropin
Releasing Hormon) yang selanjutnya bekerja pada hipofisis. Pada tahap ini
hipofisis tidak mensekresikan Gonadotropin 1 melainkan Gonadotropin 2 yang
juga bekerja pada lapisan teca 2 di Oosit. Akibat kerja hormon Gonadotropin 17 α
hidrokisil progesterol dan enzim 20 β hidrosterol sebagai missal yang umum pada
ikan. Ada ikan tertentu seperti spotled sea trout menggunakan 17 α 20 β 21
trihidroksi trogesterol. Selanjutnya steroid pemicu pematangan akan merangsang
pembentukan faktor perangsang pematangan yang akan menyebabkan inti telur
bermigrasi kearah mikrofil kemudian melebur. Setelah proses peleburan inti,
lapisan partikel akan pecah dan telur dikeluarkan menuju rongga ovary dalam
proses yang dikenal dengan proses ovulasi. Setelah proses ovulasi, telur telah
dikatakan mencapai kematangan secara fisiologis dan siap dibuahi oleh sperma.
Kemampuan ovulasi ikan sangat berkaitan dengan dosis penyuntikan yang
efektif untuk tiapa spesies. Matty (1985), menjelaskan bahwa penyuntikan
hormon ovaprim bukan untuk merangsang perkembangan gonad, tetapi untuk
31
mempercepat terjadinya ovulasi semakin tinggi dosis yang yang diberikan
semakin cepat waktu pemijahan.
Berpengaruhnya pemberian hormon ovaprim yang berbeda terhadap waktu
laten ikan patin merupakan pembuktian yang sangat penting bahwa dengan
pemberian hormon ovaprim yang berbeda akan mempengaruhi waktu laten
pemijahan ikan patin. Pemberian hormon yang tepat akan mempercepat proses
ovulasi dan pemijahan, akan tetapi dengan dosis yang berlebihan waktu laten
pemijahan ikan patin akan lambat kembali. Hal ini sesuai dengan pendapat
Jansen (1979), bahwa kerja hormon eksterogen bekerja lambat pada konsentrasi
rendah dan terus meningkat sejalan dengan pertambahan konsentrasi sampai
ketitik optimalnya dan kembali berjalan lambat diatas konsentrasi optimumnya.
B. Fekunditas
Fekunditas merupakan jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh indukan
ikan dalam satu siklus pemijahan. Dari sejumlah telur yang dihasilkan pada
umumnya tidak semua terbuahi dan tidak semua menetas. Hasil pengamatan rerata
fekunditas dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 3.
Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa rerata fekunditas ikan
patin berkisar antara 440.569 butir sampai dengan 513.078 butir. Dari hasil
pengamatan dapat dilihat bahwa fekunditas yang paling rendah terdapat pada
perlakuan B (0,6 ml/kg) yaitu 440.569 butir kemudian perlakuan A (0,5 ml/kg)
dengan rerata fekunditas 472.175 butir dan yang paling tinggi terdapat pada
perlakuan C (0,7 ml/kg) yaitu 513.078 butir.
32
Gambar 3. Grafik rerata fekunditas telur ikan patin
Uji normalitas Lilliefors untuk fekunditas telur ikan patin didapatkan nilai
Lmaks lebih kecil dari nilai Ltabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti data
menyebar normal. Selanjutnya, pada uji homogenitas Bartlett didapatkan nilai
data X2hitung lebih kecil dari X2
tabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti
data homogen.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh data Fhitung
perlakuan lebih kecil dari Ftabel (0,05) dan Ftabel (0,01) yang berarti bahwa antar
perlakuan tidak berpengaruh nyata. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan
yang nyata diantara perlakuan atau dengan kata lain perlakuan tidak berpengaruh
nyata terhadap dosis penyuntikan ovaprim terhadap fekunditas ikan patin.
Menurut Fujaya (2004) bahwa fekunditas merupakan salah satu fase yang
menentukan dalam kelangsungan populasi dengan dinamikanya. Berdasarkan
fekunditas ini maka dapat dilakukan penaksiran jumlah anakan yang dihasilkan.
Selanjutnya dikemukakan bahwa di alam, pemijahan (spawning) dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan (eksternal), misalnya : hujan, habitat, oksigen terlarut, suhu
dan lain-lain. Kondisi lingkungan ini akan mempengaruhi kontrol endokrin untuk
33
menghasilkan hormon yang mendukung proses perkembangan gonad dan
pemijahan.
Perhitungan fekunditas secara tidak langsung dapat menaksir jumlah
anakan ikan yang dihasilkan dan akan menentukan jumlah ikan dalam kelas umur
yang bersangkutan. Dalam hal ini ada hubungan yang sangat erat dengan strategi
reproduksi dalam rangka mempertahankan kehadiran spesies itu di alam (Effendi,
1997).
Menurut Nurman (1998), bahwa fekunditas dipengaruhi oleh ukuran ikan
(panjang dan berat) dan umur. Ikan yang memiliki ukuran besar cenderung
memiliki fekunditas lebih besar daripada ikan yang berukuran kecil. Selain itu,
nilai fekunditas juga dipengaruhi oleh nilai diameter telur. Makin besar nilai
diameter telur maka, nilai fekunditas akan semakin kecil. Sehingga adanya
perbedaan fekunditas pada setiap perlakuan bukan dipengaruhi oleh dosis ovaprim
yang diberikan. Hal ini sesuai dengan data penelitian bahwa nilai fekunditas yang
kecil mempunyai nilai diameter telur yang lebih besar.
C. Diameter Telur
Telur yang dihasilkan oleh induk memiliki ukuran yang bervariasi. Ukuran
telur dapat dilihat dengan menghitung diameter telur. Hasil pengamatan diameter
telur dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 4.
Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa rerata diameter telur
ikan patin berkisar antara 0,8 mm sampai dengan 0.9 mm. Dari hasil pengamatan
dapat dilihat bahwa diameter telur yang paling kecil terdapat pada perlakuan B
(0,6 ml/kg) yaitu 440.569 butir kemudian perlakuan A (0,5 ml/kg) dengan rerata
fekunditas 472.175 butir dan yang paling tinggi terdapat pada perlakuan C (0,7
ml/kg) yaitu 513.078 butir.
34
Gambar 4. Grafik diameter telur ikan patin
Uji normalitas Lilliefors untuk diameter telur ikan patin didapatkan nilai
Lmaks lebih kecil dari nilai Ltabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti data
menyebar normal. Selanjutnya, pada uji homogenitas Bartlett didapatkan nilai
data X2hitung lebih kecil dari X2
tabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti
data homogen.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh data Fhitung
perlakuan lebih kecil dari Ftabel (0,05) dan Ftabel (0,01) yang berarti bahwa antar
perlakuan tidak berpengaruh nyata. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan
yang nyata diantara perlakuan atau dengan kata lain perlakuan tidak berpengaruh
nyata terhadap dosis penyuntikan ovaprim terhadap diameter telur ikan patin.
Kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi umur induk, ukuran induk dan
genetika. Faktor eksternal meliputi pakan, suhu, cahaya, kepadatan, dan populasi.
Genetika induk ikan mempengaruhi telur yang dihasilkan. Dua faktor
internal non genetik yang mempengaruhi mutu telur adalah umur induk dan
ukuran. Beberapa penelitian menunjukan bahwa ikan betina memijah pertama kali
35
menghasilkan telur berdiameter kecil. Diameter telur meningkat dengan jelas
ketika pemijahan kedua dan laju peningkatan ini lebih lambat pada pemijahan-
pemijahan selanjutnya.
Menurut Effendi (1997), umumnya pertambahan bobot gonad ikan betina
pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10 – 25% dari bobot tubuh.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin meningkat tingkat kematangan gonad,
diameter telur semakin besar.
Berbedanya ukuran diameter telur pada penelitian ini diduga karena
adanya perbedaan jumlah granula kuning telur yang tersedia selama proses
vitelogenin. Hal ini sesuai pendapat Nagahama (1995), bahwa bertambahnya
granula kuning telur dalam jumlah dan ukuran sehingga menyebabkan volume
oosit akan semakin besar sampai pada ukuran maksimum.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa telur yang berukuran besar
menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Unus (2009)
mengemukakan bahwa semakin besar ukuran diameter telur akan semakin baik,
karena dalam telur tersebut tersedia makanan cadangan sehingga larva ikan akan
bertahan lama. Larva yang berasal dari telur yang besar memiliki keuntungan
karena memiliki cadangan kuning telur yang lebih banyak sebagai sumber energi
sebelum memperoleh makanan dari luar. Ukuran diameter telur dapat menetukan
kualitas yang berhubungan dengan kandungan kuning telur dimana telur yang
berukuran besar juga dapat menghasilkan larva yang berukuran besar.
D. Derajat Pembuahan
Hasil pengamatan derajat pembuahan dapat dilihat pada Tabel 6,
sedangkan Grafik derajat pembuahan telur ikan patin disajikan pada Gambar 5.
36
Gambar 5. Grafik derajat pembuahan ikan patin
Uji normalitas Lilliefors untuk derajat pembuahan ikan patin didapatkan
nilai Lmaks lebih kecil dari nilai Ltabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti
data menyebar normal. Selanjutnya, pada uji homogenitas Bartlett didapatkan
nilai data X2hitung lebih kecil dari X2
tabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang
berarti data homogen.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh data Fhitung
perlakuan lebih kecil dari Ftabel (0,05) dan Ftabel (0,01) yang berarti bahwa antar
perlakuan tidak berpengaruh nyata. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan
yang nyata diantara perlakuan atau dengan kata lain perlakuan tidak berpengaruh
nyata terhadap dosis penyuntikan ovaprim terhadap derajat pembuahan ikan patin.
Derajat pembuahan tertinggi terdapat pada perlakuan C (91,10%)
kemudian diikuti perlakuan B (90,98%) dan yang terendah terdapat pada
perlakuan A (90,617%). Keberhasilan pemijahan sangat ditentukan oleh kualitas
dan kuantitas sperma, (Yustina dkk, 2003).
Menurut Nurman (1998), bahwa pembuahan adalah proses terjadinya
pertemuan antara spermatozoa dengan sel telur. Proses pembuahan pada sel telur
37
sangat dipengaruhi oleh kualitas telur, kualitas sperma dan kecepatan sperma
untuk bergerak spontan sehingga mampu masuk ke dalam lubang mikrofil pada
sel telur. Selanjutnya Masrizal dan Efrizal (1997) menambahkan tingginya
tingkat pembuahan dikarenakan pergerakan spermatozoa yang semakin aktif.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa derajat pembuahan tidak dipengaruhi oleh
injeksi ovaprim yang diberikan pada setiap perlakuan.
Derajat pembuahan sangat dipengaruhi oleh kualitas air, terutama suhu
pada media pemijahan artinya suhu relatif stabil dan sesuai dengan kebutuhan
sehingga pembuahan dapat berlangsung dengan optimal. Telur yang dikeluarkan
oleh ikan bentuknya tidak teratur, setelah masuk kedalam air akan menjadi bulat
dan menggelembung dalam waktu yang cepat. Air masuk ke dalamnya
diantaranya chorin (kulit telur) dan isi telur membentuk ruang yang disebut ruang
perivitella. Sperma akan masuk kedalam untuk membuahi inti telur dan inti telur
akan tertutup dalam waktu singkat, lamanya penutupan tergantung dari jenis ikan
(Satyarani, 2008).
E. Derajat Penetasan
Pengamatan derajat penetasan dilakukan dengan menghitung jumlah telur
yang berhasil menetas, diperoleh dari jumlah telur sampel dikurangi jumlah telur
yang tidak menetas. Perhitungan dilakukan sesaat setelah telur menetas. Derajat
penetasan dinyatakan sebagai persentase jumlah telur yang berhasil menetas dari
seluruh telur yang terbuahi.
Hasil pengamatan derajat pembuahan dapat dilihat pada Tabel 6,
sedangkan grafik derajat pembuahan telur ikan patin disajikan pada Gambar 6.
38
Gambar 6. Grafik derajat penetasan ikan patin
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh data Fhitung
perlakuan lebih kecil dari Ftabel (0,05) dan Ftabel (0,01) yang berarti bahwa antar
perlakuan tidak berpengaruh nyata. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan
yang nyata diantara perlakuan atau dengan kata lain perlakuan tidak berpengaruh
nyata terhadap dosis penyuntikan ovaprim terhadap derajat penetasan ikan patin.
Penetasan adalah perubahan intracapsular (tempat yang terbatas) ke fase
kehidupan, hal ini penting dalam perubahan-perubahan morfologi hewan.
Penetasan merupakan saat terakhir masa pengeraman sebagai hasil beberapa
proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya.
Penetasan terjadi karena dua hal, yaitu : 1) kerja mekanik dan 2) kerja
enzimatik. Kerja mekanik adalah oleh karena embrio sering mengubah posisinya
karena kekurangan ruang dalam cangkangnya, atau karena embrio telah lebih
panjang dari lingkungannya dalam cangkangnya (Lagler et al., 1997). Dengan
pergerakan-pergerakan tersebut bagian cangkang telur yang lembek akan pecah
sehingga embrio akan keluar dari cangkangnya. Kerja enzimatik adalah enzim dan
unsur kimia lainya yang dikeluarkan oleh kalenjer endodermal didaerah pharynk
39
embrio. Enzin ini oleh Blaxter (1969) disebut chorionase yang kerjanya bersifat
mereduksi chorinyang terdiri atas pseudokeratine menjadi lembek. Biasanya pada
bagian cangkang yang pecah akibat gabungan kerja mekanik dan kerja enzimatik,
ujung ekor embrio dikeluarkan terlebih dahulu, kemudian menyusul bagian
kepalanya.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa derajat penetasan tertinggi
terdapat pada perlakuan B (38,10 %) diikuti perlakuan C (34,05%) dan derajat
penetasan terendah terdapat pada perlakuan A (32,30%). Rendahnya derajat
penetasan pada penelitian ini diduga bukan akibat dari kualitas sperma yang
buruk, hal ini dikarenakan semua perlakuan dari yang paling cepat memijah
memiliki tingkat derajat penetasan yang hampir sama atau tidak berbeda nyata
antara semua perlakuan. Akan tetapi rendahnya derajat penetasan ini diduga
akibat kualitas telur yang kurang baik.
Semakin tinggi persentase kematangan akhir dan semakin baik pula
spermatozoa semakin tinggi pula persentasi penetasannya. Beberapa faktor luar
yang mempengaruhi pada penetasan telur ikan antara lain : suhu, oksigen terlarut,
pH, salinitas dan intensitas cahaya. Artinya dalam penelitian ini perlakuan yang
diberikan berpengaruh tidak langsung terhadap parameter pengamatan. Diduga
kematangan fisiologis telur diperoleh dari perlakuan yang diberikan,misalnya :
pemberokan dan keberhasilan ovulasi pemijahan.
F. Survival Rate (Sintasan)
Sintasan dinyatakan sebagai persentase dari jumlah ikan yang hidup
selama masa pemeliharaan dalam jangka waktu tertentu. Hasil pengamatan derajat
pembuahan dapat dilihat pada Tabel , sedangkan grafik derajat pembuahan telur
ikan patin disajikan pada Gambar .
40
Gambar 7. Grafik sintasan ikan patin
Uji normalitas Lilliefors untuk fekunditas telur ikan patin didapatkan nilai
Lmaks lebih kecil dari nilai Ltabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti data
menyebar normal. Selanjutnya, pada uji homogenitas Bartlett didapatkan nilai
data X2hitung lebih kecil dari X2
tabel (lampiran), sehingga H0 diterima yang berarti
data homogen.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh data Fhitung
perlakuan lebih kecil dari Ftabel (0,05) dan Ftabel (0,01) yang berarti bahwa antar
perlakuan tidak berpengaruh nyata. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan
yang nyata diantara perlakuan atau dengan kata lain perlakuan tidak berpengaruh
nyata terhadap dosis penyuntikan ovaprim terhadap survival rate ikan patin.
Survival rate dinyatakan sebagai persentase dari jumlah ikan yang hidup
selama masa pemeliharaan dalam jangka waktu tertentu. Dilihat dari tabel sintasan
tertinggi terdapat pada perlakuan C (42,88%) diikuti perlakuan A (33,70%) dan
yang terendah terdapat pada perlakuan B (31,51%). Tinggi rendahnya survival
rate berhubungan dengan kualitas air, ketersediaan pakan serta sifat kanibalisme
ikan patin sendiri. Selain itu, kualitas telur juga mempengaruhi sintasan larva.
41
Pada penelitian ini terlihat survival rate pada semua perlakuan sangat
rendah, yang tertinggi hanya mencapai 42,88% yaitu pada perlakuan C.
Rendahnya survival rate ini diduga akibat dari ketersediaan pakan yang kurang
tetapi tingkat kepadatan yang tingggi sebagai akibat dari ketersediaan akuarium
yang terbatas. Karena tingkat kepadatannya yang terlalu tinggi tetapi jumlah
pakan yang terbatas sehingga terjadi kanibalisme. Hal ini terlihat sangat jelas
diantara larva yang saling menggigit pada bagian ekor.
Khairuman dan Dodi (2002), mengemukakan bahwa keberhasilan
peningkatan produksi dalam pemeliharaan benih ikan tergantung dari berbagai
faktor penting yang sifatnya harus seimbang, yaitu nutrisi dari makanan, kualitas
air dan kondisi serta jumlah benih yang dipelihara. Tingkat kelangsungan hidup
ikan patin pada penelitian ini sangat ditunjang oleh adanya faktor-faktor tersebut,
sehingga merangsang sintasan dan laju pertumbuhan ikan patin secara optimal.
Menurut Wardoyo (1981), untuk dapat mengelola sumberdaya perikanan
yang baik, maka salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah kualitas air.
Tang dan Affandi (2000) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang
mempengaruhi kelangsungan hidup larva ikan diantaranya adalah suhu, oksigen
terlarut (DO), pH, dan amoniak (NH3).
G. Kualitas air
Kualitas air lingkungan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk
menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan
dalam suatu kisaran tertentu. Sementara itu, perairan ideal adalah perairan yang
dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya.
42
Kualitas air adalah salah satu keadaan dan sifat fisik, kimia, dan biologi
suatu perairan yang dibandingkan dengan persyaratan untuk keperluan tertentu,
seperti kualitas air untuk air minum, pertanian, perikanan, dan lainnya sehingga
menkjadikan persyaratan kualitas air berbeda-beda sesuai dengan peruntukannya.
Ikan patin merupakan komoditas perikanan yang toleran terhadap rendahnya
kualitas air bila dibandingkan dengan kebanyakan ikan lainnya. Namun demikian,
perpaduan antara kualitas, kuantitas air merupakan faktor dominan yang
menentukan produksi.
Hasil pengukuran kualitas air pada awal dan akhir penelitian disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7. Kualitas air pada penelitian
No. ParameterPangamatan Awal Pengamatan AkhirPagi Siang Pagi Siang
1. pH 6,42 6,67 6,97 7,032. DO 4,06 mg/l 4,27 mg/l 4,06 mg/l 4,12 mg/l3. Suhu 25,9 0C 26,9 0C 27,0 0C 28,4 0C4. Amoniak (NH3-N) 0,15 mg/l 0,15 mg/l 0,26 mg/l 0,27 mg/l
Sumber: Data primer (2014)
1. Suhu
Proses pertumbuhan dan reproduksi ikan dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan diantaranya suhu (Basri, 2002) menyatakan bahwa kenaikan suhu
akan meningkatkan laju metabolisme. Akibat meningkatnya laju metabolisme
akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan
naiknya suhu akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang.
Suhu air yang diperlukan dalam proses biologi seperti pematangan gonad,
pemijahan dan penetasan telur berkisar antara 25-27 °C (Sutisna dan
Sutarmanto, 1995).
43
Hasil pengukuran suhu pada awal penelitian adalah 25,9 °C dan pada akhir
penelitian suhunya adalah 28,4° C. Kisaran suhu pada awal penelitian khususnya
pada pagi hari cukup rendah yaitu 6,42 0C, pada kisaran suhu ini dapat dikatakan
kurang ideal bagi penetasan telur serta pemeliharaan larva. Hal ini terlihat dari
lamanya waktu telur menetas. Selain itu suhu yang rendah menyebabkan nafsu
makan ikan berkurang. Namun pada pertengahan masa penelitian suhu mulai
normal yaitu berkisar 27,0 0C pada pagi hari dan 28,4 0C pada siang hari. Pada
kisaran suhu ini dapat dikatakan sudah memenuhi kisaran yang baik untuk
pemeliharaan larva.
2. pH (Derajat keasaman)
pH merupakan salah satu faktor kimia yang penting sebagai petunjuk baik
atau tidaknya kualitas air sebagai lingkungan hidup ikan. Perguncangan pH dapat
berakibat buruk terhadap hewan akuatik yang tidak tahan menghadapi perubahan
pH yang terlalu besar. pH yang optimal untuk proses reproduksi ikan berkisar
antara 6,7 sampai 8,2 (Sutisna dan sutarmanto, 1995).
Berdasarkan hasil pengukuran pH selama penelitian diperoleh hasil
dengan kisaran antara 6,42 – 7,03. Pengukuran dilakukan pada pagi dan siang hari
di awal dan akhir penelitian. Data tersebut menunjukkan bahwa kisaran pH air
pada tempat penelitian mengalami kenaikan dari pH yang cukup rendah bagi
pemeliharaan larva ikan patin menjadi lebih baik. Terjadinya kenaikan pH dalam
media pemeliharaan diduga akibat adanya pencampuran air garam pada saat
pemberian pakan dengan artemia. Selain itu, juga diduga akibat pengaruh dari
aerasi yang diberikan di dalam media selama masa pemeliharaan.
44
Perairan dengan pH < 4 merupakan perairan yng sangat asam dan dapat
menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan
yang sangat basa yang dapat menyebabkan kematian dan mengurangi
produktivitas perairan. Cholik et al (1996) menyatakan bahwa jika air
mempunyai keasaman pada pH 4 dan kebasaan pada pH 11 merupakan titik
kematian bagi ikan.
3. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.
Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang
berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak
langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya
dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan oksigen terlarut
digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Effendi,
1997).
Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan perairan sebaiknya
harus diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun,
konsentrasi oksigen minimum sebesar 2 mg/l cukup memadai untuk menunjang
secara normal komunitas akautik di perairan. Apabila kadar oksigen rendah
menyebabkan nafsu makan menurun, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap
laju pertumbuhan ikan (Zonneveld et al, 1991).
Hasil pengukuran DO pada awal pemeliharaan 4,06 mg/l di pagi hari dan
4,27 mg/l di siang hari sedangkan pada akhir penelitian 4,06 mg/l di pagi hari dan
4,12 mg/l di siang hari. Data tersebut menunjukan bahwa DO selama masa
pemeliharaan masih dalam kisaran yang menunjang bagi kehidupan ikan.
45
4 Amoniak Terlarut (NH3-N)
Amoniak merupakan gas buangan terlarut hasil metabolisme ikan oleh
perombakan protein, baik dari kotoran ikan itu sendiri maupun sisa pakan. Sisa
pakan biasanya akan membusuk sehingga kadar amoniak meningkat. Kadar
amoniak yang baik untuk kehidupan ikan dan organisme lainnya adalah kurang
dari 1 ppm. Sedangkan menurut Wardoyo (1981), untuk pertumbuhan ikan
hendaknya kandungan amoniak tidak lebih dari 2 ppm. Batas konsentrasi amoniak
merupakan racun bagi ikan.
Hasil analisa amoniak pada awal penelitian adalah 0,15 mg/l dan pada
akhir penelitian adalah 0,27 mg/l sehingga masih aman bagi kehidupan ikan.
Meningkatnya kandungan amoniak dalam air menyebabkan ikan cepat stress dan
mudah terserang penyakit. Meningkatnya kadar amoniak disebabkan oleh pakan
serta feses yang dihasilkan oleh ikan. Menurut Cholik et al (1986), ikan memakan
hampir semua jenis pakan yang diberikan. Namun dihitung dari berat kering
hanya sekitar 25% dari nutrien yang terkandung dalam pakan diubah menjadi
daging ikan.Sisanya adalah berupa sisa-sisa metabolisme. Ikan mampu
memanfaatkan pakan dengan kandungan protein tinggi, namun sebanyak 65%
protein akan hilang ke lingkungan sebagai amoniak (NH3).