its undergraduate 14566 paperpdf

42
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini permintaan minyak bumi semakin meningkat sehingga berbagai perusahaan minyak berupaya meningkatkan hasil produksinya. Salah satunya adalah PT. Pertamina EP Region Jawa Area Cepu yang merupakan perusahaan di bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Wilayah PT. Pertamina EP terbagi atas dua Distrik yaitu Distrik I meliputi wilayah Kawengan dan Wonocolo dan Distrik II yang meliputi wilayah Ledok, Nglobo, Banyuasin, dan Semanggi. Pada tiap Distrik terdapat sistem penampungan produksi. Sistem penampungan merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan kegiatan menampung gross oil yang telah dieksploitasi. Gross oil yang telah dipompa pertama kali dialirkan ke tempat penampungan sementara yaitu Stasiun Pengumpul (SP) kemudian dialirkan lagi ke Stasiun Pengumpul Utama (SPU) sebelum dialirkan ke Pusat Penampungan Produksi (PPP) Menggung yang terletak di kecamatan Cepu. Pusat Penampungan Produksi (PPP) merupakan tangki penyimpanan minyak akhir di kawasan Cepu sebelum dibawa ke kilang minyak. Sifat crude oil yang mudah terbakar memerlukan perhatian dan biaya yang tinggi pada tangki karena bila terjadi kegagalan akan menyebabkan hilang atau berkurangnya kapasitas pemuatan minyak dan dapat membahayakan keselamatan umum serta merusak lingkungan. Oleh karena itu tangki-tangki tersebut diperlukan pemeliharaan untuk menjamin berlangsungnya suatu operasi sehingga kegagalan seperti kebocoran akibat korosi dan design yang tidak sesuai dapat diminimalkan. Korosi merupakan proses alam yang tidak dapat dicegah tetapi dengan teknologi anti korosi dapat dikendalikan sehingga kerugian yang timbul akibat korosi dapat dikurangi (Bushman,1994). Tangki penyimpanan PPP mempunyai resiko tinggi jika terjadi kebocoran karena terdapat 6 buah dengan ketinggian rata-rata 11meter serta lokasi yang dekat dengan penduduk sehingga mengakibatkan kebakaran dan

Upload: diky-pranondo

Post on 07-Dec-2015

246 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

okk

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini permintaan minyak bumi semakin meningkat sehingga

berbagai perusahaan minyak berupaya meningkatkan hasil produksinya. Salah

satunya adalah PT. Pertamina EP Region Jawa Area Cepu yang merupakan

perusahaan di bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi.

Wilayah PT. Pertamina EP terbagi atas dua Distrik yaitu Distrik I meliputi

wilayah Kawengan dan Wonocolo dan Distrik II yang meliputi wilayah

Ledok, Nglobo, Banyuasin, dan Semanggi. Pada tiap Distrik terdapat sistem

penampungan produksi. Sistem penampungan merupakan suatu sistem yang

berkaitan dengan kegiatan menampung gross oil yang telah dieksploitasi.

Gross oil yang telah dipompa pertama kali dialirkan ke tempat penampungan

sementara yaitu Stasiun Pengumpul (SP) kemudian dialirkan lagi ke Stasiun

Pengumpul Utama (SPU) sebelum dialirkan ke Pusat Penampungan Produksi

(PPP) Menggung yang terletak di kecamatan Cepu.

Pusat Penampungan Produksi (PPP) merupakan tangki penyimpanan

minyak akhir di kawasan Cepu sebelum dibawa ke kilang minyak. Sifat crude

oil yang mudah terbakar memerlukan perhatian dan biaya yang tinggi pada

tangki karena bila terjadi kegagalan akan menyebabkan hilang atau

berkurangnya kapasitas pemuatan minyak dan dapat membahayakan

keselamatan umum serta merusak lingkungan. Oleh karena itu tangki-tangki

tersebut diperlukan pemeliharaan untuk menjamin berlangsungnya suatu

operasi sehingga kegagalan seperti kebocoran akibat korosi dan design yang

tidak sesuai dapat diminimalkan. Korosi merupakan proses alam yang tidak

dapat dicegah tetapi dengan teknologi anti korosi dapat dikendalikan sehingga

kerugian yang timbul akibat korosi dapat dikurangi (Bushman,1994).

Tangki penyimpanan PPP mempunyai resiko tinggi jika terjadi

kebocoran karena terdapat 6 buah dengan ketinggian rata-rata 11meter serta

lokasi yang dekat dengan penduduk sehingga mengakibatkan kebakaran dan

kerusakan lingkungan dimana bahan yang disimpan mudah menyala dan

bertekanan. Hal ini pernah terjadi kebakaran di tangki SPU dengan ukuran

yang lebih kecil dari tangki PPP pada tahun 2008 yang terletak di Ledok,

Distrik II. Dalam kejadian tersebut tidak ada korban luka maupun korban jiwa

tetapi kerugian diperkirakan lebih dari dua juta dolar Amerika, penduduk

sekitar lokasi harus dievakuasi, dan sekolah-sekolah di wilayah tersebut

ditutup selama dua hari. Oleh karena itu perlu adanya program inspeksi pada

tangki penyimpanan minyak tersebut sesuai dengan tingkat resikonya.

Penentuan kegiatan inspeksi yang tepat akan dapat mendukung

kelancaran proses produksi dan dapat menurunkan resiko dari potensi bahaya

pada tangki penyimpanan. PT. Pertamina EP sudah melakukan salah satu

upaya untuk mencegah suatu kegagalan dari tangki penyimpanan tersebut.

Namun upaya yang dilakukan oleh devisi HSE khususnya tim inspeksi belum

menyertakan analisa resiko dan hanya menggunakan perkiraan dalam

penentuan kegiatan inspeksinya. Sehingga tingkat resiko yang dimiliki tangki

tersebut tidak diketahui, yang berguna untuk rencana inspeksi.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan sebuah kajian

terhadap perencanaan aktifitas inspeksi pada tangki penyimpanan crude oil

dengan menggunakan metode RBI (Risk Based Inspection) dimana jika

diterapkan dapat berfungsi untuk memprediksi terjadinya kegagalan. RBI

adalah suatu metode dengan menggunakan analisis resiko peralatan sebagai

dasar untuk memprioritaskan perencanaan manajemen program inspeksi.

Metode ini memberikan kemampuan untuk mengalokasikan sumber daya

inspeksi dan perawatan yang lebih untuk peralatan yang berisiko tinggi dan

penghematan pemakaian sumber daya tersebut untuk peralatan dengan resiko

rendah. Sehingga dengan metode tersebut bisa dibuat program inspeksi

berdasarkan tingkat resiko yang terjadi pada tangki penyimpanan PPP

Menggung. Metode ini pernah dilakukan oleh Azwar Manaf dengan obyek

pipeline dan Nida Akmaliati dengan obyek ammonia storage tank. Sebelum

memasuki metode RBI dilakukan identifikasi bahaya pada system

penampungan dengan menggunakan FMEA yang sesuai untuk single-point

failure seperti pada PPP. Metode ini mampu mengidentifikasi setiap

komponen untuk mengetahui model kegagalan serta efeknya yang kemudian

dirangking komponen mana yang paling besar kegagalannya untuk dilakukan

analisa menggunakan RBI.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana tingkat resiko (risk level) pada crude oil storage tank dengan

menggunakan metode RBI.

2. Berapakah nilai resiko pada crude oil storage tank.

3. Bagaimana perencanaan inspeksi pada crude oil storage tank.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi tingkat resiko pada crude oil storage tank dengan metode

RBI.

2. Mengidentifikasi nilai resiko dari crude oil storage tank.

3. Melakukan perencanaan inspeksi yang harus dilakukan berdasarkan tingkat

resiko dan metode RBI.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Meningkatkan pemahaman penulis terhadap storage tank sehingga dapat

mengetahui potensi bahaya dan frekuensi (waktu) dalam melakukan

inspeksi sebagai upaya preventif.

2. Sebagai bahan masukan bagi perusahaan untuk menentukan prioritas

pelaksanaan inspeksi sebagai sarana untuk meminimalkan dampak

kegagalan, sekaligus berfungsi untuk penghematan waktu, biaya dan tenaga

dalam melakukan aktifitas inspeksi.

1.5 Ruang Lingkup

1. Peralatan yang di analisa berupa Storage Tank yang merupakan peralatan

statis.

2. Berpedoman pada Code API RBI Recommended Practice 581

3. Berpedoman pada Code API RBI Recommended Practice 653

4. Penelitian yang di lakukan merupakan Crude Oil Storage Tank T-936 di

PPP Menggung PT. Pertamina EP.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Sebelumnya

1. Azwar Manaf

Telah ada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Azwar

Manaf, lulusan Universitas Indonesia pada tahun 2006. Pada

penelitiannya diambil sample bahan pipa diameter 24 inchi yang

sampelnya diambil dari potongan pipeline yang telah diuji dengan

menggunakan metoda Risk Based Inspection (RBI) ternyata pipa tersebut

termasuk ke dalam kelompok pipeline dengan beberapa segmen ranking

paling kritis diantara pipa-pipa lainnya. Maka disimpulkan metode

inspeksinya adalah pengujian ultrasonik dan uji visual dengan selang

waktu setiap 12 bulan.

2. Nida Akmaliati

Mahasiswa lulusan ITS tahun 2007 ini juga menggunakan metode

RBI dalam penelitian rencana jadwal inspeksi untuk ammonia storage

tank. Hasil dari penelitiannya tersebut disimpulkan bahwa menurut

metode RBI program inspeksi yang harus dilakukan adalah 3 tahun

sekali.

Dari kedua penelitian tersebut menghasilkan rencana inspeksi yang

berbeda sesuai dengan peralatan dan materialnya. Untuk penelitian ini

mengambil obyek storage tank yang menyimpan crude oil.

2.2 Tinjauan Risk Based Inspection (RBI)

Risk Based Inspection (API 581,2002) adalah suatu perencanaan

inspeksi yang berbasis pada analisis resiko peralatan. Analisis resiko

dibutuhkan untuk mengidentifikasi skenario kecelakaan yang disebabkan oleh

kegagalan peralatan, mekanisme penurunan kualitas (degradation) suatu

material /peralatan, peluang terjadinya likelihood of failure (LoF) yang

berpotensi menurunkan kinerja peralatan, menilai konsekuensi consequence of

failure (CoF) yang mungkin timbul, menetapkan resiko dan menyusun

tingkatan serta kategori resiko (risk ranking and categorization).

Penerapan Risk Based Inspection secara benar dan konsisten telah

terbukti mampu meningkatkan safety peralatan pabrik yang pada akhirnya

meningkatkan keandalan peralatan pabrik dengan cara meminimalkan resiko

Menurut API Recommended Practice 580, Risk Based Inspection

adalah Risk Assessment dan manajemen proses yang terfokus pada kegagalan

peralatan karena kerusakan material. Dengan RBI, dapat dibuat inspection

program berdasarkan risk yang terjadi. Risk Based Inspection (RBI) adalah

metode untuk menentukan rencana inspeksi (equipment mana saja yang perlu di

inspeksi, kapan diinspeksi, dan metode inspeksi apa yang sesuai) berdasarkan

resiko kegagalan suatu peralatan.

Definisi RBI menurut API 581 adalah suatu metode untuk

menggunakan risiko sebagai dasar memeringkatkan dan mengelola aktifitas-

aktifitas di dalam sebuah program inspeksi. Metode RBI menyediakan dasar

untuk mengelola resiko dengan menyediakan informasi pengambilan keputusan

atas frekuensi inspeksi, tingkat kedetilan, dan tipe metode NDT (Non

Destructive Test) yang di pakai. RBI memberikan kemampuan untuk

mengalokasikan sumber daya inspeksi dan perawatan yang lebih besar untuk

peralatan yang berisiko tinggi dan penghematan pemakaian sumber daya

tersebut untuk peralatan dengan risiko rendah.

Konsep RBI API 581 mempertimbangkan risiko yang bersumber dari

hal-hal sebagai berikut :

1. Resiko terhadap personel di dalam lokasi pabrik (on-site risk to

employee)

2. Resiko terhadap masyarakat di sekitar lokasi pabrik (off-site risk to

community)

3. Resiko finansial (business interruption risk)

4. Resiko kerusakan lingkungan (environmental damage risk)

Jenis resiko tersebut dalam konsep RBI API 581 di kombinasikan ke

dalam faktor-faktor yang menghasilkan keputusan mengenai kapan, di bagian

mana dari peralatan dan bagaimana inspeksi di lakukan. Manfaat pelaksanaan

RBI yaitu tercapainya program inspeksi yang lebih terarah sehingga menambah

waktu operasi peralatan (berkurangnya waktu unplanned shutdown akibat

kegagalan peralatan) dan secara jangka panjang meningkatkan efisiensi

perusahaan.

Namun demikian ada hal-hal yang berkontribusi terhadap risiko suatu

peralatan yang tidak dapat dikurangi oleh aktifitas inspeksi. Faktor-faktor

tersebut paling tidak meliputi hal-hal berikut (API 581,2002):

1. Kesalahan manusia

2. Bencana alam

3. Peristiwa eksternal (misal, tumbukan dengan benda jatuh)

4. Efek sekunder dari unit yang berdekatan

5. Tindakan yang disengaja seperti sabotase

6. Keterbatasan yang di miliki oleh metode inspeksi itu sendiri

7. Kesalahan desain

8. Mekanisme kerusakan yang tidak diketahui

Metode RBI API 581 mendefinisikan empat konsekuensi kegagalan

yaitu konsekuensi kebakaran (flammable consequence), konsekuensi racun

(toxic consequence), konsekuensi lingkungan (environmental risk), dan

konsekuensi financial (business interruption consequence)

Dokumen API 581 secara spesifik ditujukan untuk aplikasi RBI di

industri hidrokarbon dan kimia. Metode RBI API 581 juga membatasi peralatan

yang masuk ke dalam jangkauan RBI API P 580 pada peralatan-peralatan

bertekanan dan tidak bergerak atau komponen bertekanan dan tidak bergerak

dari sebuah rotating equipment. Selengkapnya peralatan yang termasuk ke

dalam jangkauan RBI adalah sebagai berikut :

1. Bejana tekan : semua peralatan yang mewadahi tekanan

2. perpipaan proses: pipa dan komponen pipa

3. Tangki penyimpanan: atmospheric dan pressurized

4. Rotating Equipment: komponen bertekanan

5. Boiler dan Heater: komponen bertekanan

6. Penukar kalor

7. Pressure Relief Devices

2.2.1 Keuntungan RBI

1. Merupakan suatu alat yang memiliki kekuatan untuk mengatur

banyak elemen penting dari proses plant

2. Membantu mengatur untuk mereview keselamatan dan integrated

cost

3. RBI secara sistematika mengurangi kemungkinan kegagalan dengan

membuat pengawasan sumber daya dengan lebih baik

4. RBI adalah suatu alat untuk memperbaiki keadaan dari plant

2.3 Failure Mode Effect and Analysis (FMEA)

FMEA adalah sekumpulan aktivitas yang di harapkan dapat mengenali

dan mengevaluasi potential failure dari sebuah produk atau proses dan

dampaknya. Selain itu juga diharapkan mampu mengidentifikasi tindakan yang

dapat mengeliminasi atau mengurangi kemungkinan terjadinya potential

failure. Tujuan umum dari FMEA (Modarres,1999) adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi failure mode dan meringkatkan sesuai dengan

effect pada product performance, selanjutnya menetapkan

prioritas sistem untuk perbaikan

2. Mengidentifikasi design actions untuk mengeliminasi potensi

failure mode atau mengurangi occurance pada masing-masing

kegagalan

3. Sebagai dokumen yang melatar belakangi perubahan design

produk dengan melengkapi ragam reference untuk analisis,

mengevaluasi perubahan design dan mengembangkan

perbaikan design

FMEA ini memiliki kegunaan, diantaranya :

1. Ketika di perlukan tindakan preventive atau pencegahan

sebelum masalah terjadi

2. Ketika ingin mengetahui atau mendata alat deteksi yang ada

jika terjadi kegagalan

3. Pemakaian proses baru

4. Perubahan atau penggantian komponen peralatan

5. Pemindahan komponen atau proses kearah baru

2.3.1 Risk Priority Number (RPN)

RPN merupakan perkalian matematis dari keseriusan efek

(severity), kemungkinan terjadi cause akan menimbulkan kegagalan

yang berhubungan dengan efek (occurance) dan kemampuan untuk

mendeteksi kegagalan sebelum terjadi pelanggaran (detection). Dalam

bentuk persamaan (Modarres,1999) :

RPN = Severity rating X Frequence rating X Probability of detection

rating

2.3.2 Severity

Severity menunjukkan nilai keseriusan masalah yang timbul

pada proses setempat, proses selanjutnya dan end user, adapun nilai-

nilai yang menggambarkan severity bisa diinterprestasikan sebagai

berikut :

Tabel 2.1 Definisi Tingkat Keparahan Resiko Terhadap Alat SEVERITY

(KEPARAHAN) DAMPAK

POTENSIAL DEFINISI

0

RENDAH

Tanpa Kerusakan

-

1 Kerusakan Sangat Kecil

Tidak menimbulkan gangguan operasi Biaya perbaikan ≤ US $ 1,000

2 SEDANG Kerusakan Kecil

Menimbulkan gangguan operasi cukup besar US $ 1,000 < Biaya perbaikan ≤ US $ 10,000

Lanjutan Tabel 2.1 Definisi Tingkat Keparahan Resiko Terhadap Alat SEVERITY

(KEPARAHAN) DAMPAK

POTENSIAL DEFINISI

3

TINGGI

Kerusakan Sedang

Menimbulkan gangguan operasi cukup besar US $ 10,000 < Biaya perbaikan ≤ US $ 100,000

4 Kerusakan Besar

Menimbulkan gangguan operasi cukup besar (operasi berhenti) US $ 100,000 < Biaya perbaikan ≤ US $ ≤ US $ 1,000,000

5 Kerusakan Parah

Menyebabkan terhentinya operasi dan bisnis perusahaan (Unit operasi/ field) US $ 1,000,000 < Biaya perbaikan

(Sumber : PT. Pertamina EP Cepu)

SEVERITY (KEPARAHAN)

DAMPAK POTENSIAL

POTENSI

(Sumber : PT. Pertamina EP Cepu)

Tabel 2.2 Definisi Tingkat Keparahan Resiko Terhadap Lingkungan

0

RENDAH

Tanpa Dampak -

1 Dampak Ringan

Dapat menimbulkan dampak tehadap lingkungan namun dapat diabaikan Konsekuensi keuanagn dapat diabaikan

2 SEDANG Dampak Sedang

Menimbulkan kerusakan lingkungan di wilayah setempat yang dapat segera Konsekuensi keuangan kecil

3

TINGGI

Dampak Besar Setempat (Skala Daerah)

Menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar (melebihi nilai baku mutu lingkungan / ketentuan lainnya) dan luas (menyebar sampai ke luar lokasi / tempat kejadian) namun tidak bersifat permanen Diperlukan biaya cukup besar untuk rehabilitasi lingkungan

4 Dampak Besar (Skala Nasional)

Menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar dan luas, terus menerus dalam jangka waktu yang panjang Diperlukan biaya sangat besar untuk rehabilitasi lingkungan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi (keuangan) cukup besar namun tidak menggangu aliran kas perusahaan (cash flow)

5

Dampak Luar Biasa (Skala Internasional)

Menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar dan luas, bersifat permanen (berdampak jangka panjang dan tidak bisa direhabilitasi) Menimbulkan kerugian ekonomi (keuangan) sangat besar yang menggangu aliran kas perusahaan (cash flow)

2.3.3 Occurrence

Occurrence menunjukkan keseringan suatu masalah yang

terjadi karena potensial cause, adapun nilai-nilai yang

menggambarkan occurrence bisa diinterpretasikan sebagai berikut:

Tabel 2.3 Definisi Tingkat Kemungkinan Gagal Fungsi Kemungkinan Gagal Fungsi

DAMPAK POTENSIAL DEFINISI

0

RENDAH

Tanpa kerusakan < 1 dalam 15.000

1 Kegagalan jarang terjadi 1 dalam 2000

2 SEDANG Kegagalan relative sedikit 1 dalam 400

3

TINGGI

Kegagalan kadang-kadang 1 dalam 80

4 Kegagalan berulang-ulang 1 dalam 8

5 Kegagalan hampir tidak bisa dihindari

1 dalam 3

(Sumber : PT. Pertamina EP Cepu)

2.3.4 Detection

Detection merupakan kemampuan design control untuk

mendeteksi potensi penyebab model kegagalan sebelum komponen

beroperasi. Berikut peringkat untuk Detection :

Tabel 2.4 Sistem Peringkat Untuk Detection Rating Descriptio

n Definition

10 Uncertain Desain control tidak dapat mendeteksi sebab potensial dari model kegagalan

9 Very remote

Sangat jauh kemungkinan Desain control akan mendeteksi sebab potensial dari model kegagalan

8 Remote Jauh kemungkinan Desain control akan mendeteksi sebab potensial dari model kegagalan

7 Very low Sangat lemah kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial dari model kegagalan

Lanjutan Tabel 2.4 Sistem Peringkat Untuk Detection Rating Descriptio

n Definition

6 Low Lemah Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan

5 Moderate Sedang Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan

4 Moderate high

Sedang tinggi Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan

3 High Besar Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan

2 Very high Sangat besar Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan

1 Almost certain

Desain control selalu mendeteksi semua sebab potensial dari model kegagalan

(sumber : Reability Engineering and Risk Analysis)

2.4 Resiko

Resiko didefinisikan sebagai hasil kali antara kemungkinan kegagalan

LoF dengan konsekuensi kegagalan Consequence of Failure CoF.

Kemungkinan kegagalan dinyatakan dalam satuan frekuensi kegagalan

pertahun. Konsekuensi kegagalan merupakan besaran yang mewakili efek

yang di timbulkan oleh terjadinya kegagalan. Biasanya di dalam analisis

resiko kuantitatif, besaran ini dinyatakan dalam jumlah jiwa atau dalam satuan

mata uang. Jadi risiko nantinya akan memiliki satuan jumlah jiwa pertahun

atau satuan mata uang. Jadi risiko nantinya akan memiliki satuan jumlah jiwa

per tahun atau satuan mata uang per tahun($/tahun atau Rp/tahun, dan lain-

lain)

Resiko tersebut akan diukur dalam terminologi terminologi

konsekuensi kegagalan (Consequences of Failure, CoF) dan kemungkinan

kegagalan (Probability of Failure, PoF), (API 581,2002).

2.5 Pendekatan Kualitatif RBI

Pada dasarnya faktor-faktor yang di perhitungkan dalam metode

kualitatif sama dengan metode kuantitatif. Akan tetapi tingkat kerinciannya

berbeda. Di dalam metode kualitatif, data-data masukan banyak yang berupa

data kualitatif hasil penilaian (judgement). Pada API 581 di dalam Appendix A

untuk memudahkan pelaksanaannya terdapat buku kerja yang berbentuk

kuisioner. Kuisioner ini berisi jawaban “Ya” dan “Tidak” atau berupa pilihan

berganda. Masing-masing jawaban akan memiliki nilai dan nilai ini nantinya

di jumlahkan untuk memperoleh nilai total. Nilai total ini akan dikonversi

menjadi kategori LoF dan CoF.

2.5.1 Likelihood

Faktor-faktor yang di perhitungkan dalam penentuan kategori

kemungkinan antara lain (API 581,2002) :

1. Faktor Peralatan (Equipment Factor, EF)

2. Faktor Kerusakan (Damage Factor, DF)

3. Faktor Inspeksi (Inspection Factor, IF)

4. Faktor Kondisi (Condition Factor, CCF)

5. Faktor Proses (Process Factor, PF)

6. Faktor Desain Mekanikal (Mechanical Design Factor, MDF)

2.5.2 Consequence

Jenis konsekuensi yang di perhitungkan ada dua (API 581,2002)

yaitu konsekuensi kebakaran dan konsekuensi kesehatan (sama dengan

konsekuensi racun). Faktor-faktor yang diperhitungkan dalam

penentuan Kategori Konsekuensi kebakaran antara lain :

1. Faktor Kimia (Chemical Factor, CF)

2. Faktor Banyaknya fluida (Quantity Factor, QF)

3. Faktor Penyalaan sendiri (Autoignition Factor, AF)

4. Faktor Kredit (Credit Factor, CF)

Faktor-faktor yang di perhitungkan dalam penentuan Kategori

Konsekuensi Kesehatan antara lain:

1. Faktor Banyaknya Racun (Toxic Quantity Factor, TQF)

2. Faktor Dispersibilitas (Dispersibility Factor, DIF)

3. Faktor Kredit (Credit factor, CRF)

4. Faktor Populasi (Population Factor, PPF)

Evaluasi faktor-faktor di atas dilakukan menggunakan kuisioner.

Jawaban kuisioner akan menentukan besarnya skor total. Skor total

tersebut akan dikonversi menjadi kategori.

2.5.3 Penentuan Resiko Kualitatif

Di dalam metode kualitatif, resiko dipresentasikan di dalam

matriks risiko. Sumbu x matriks resiko adalah kategori konsekuensi

dan sumbu y matrik adalah kategori kemungkinan kegagalan. Matrik

Resiko dapat di lihat pada Gambar 2.1

Consequence Category

A B C D E

Pro

ba

bilit

y

cate

gor

y

5

4

3

2

1

Low Risk

Medium Risk

Medium- High Risk

High Risk

Gambar 2.1 Matriks resiko API 581 (Sumber : API 581)

2.6 Pendekatan Kuantitatif RBI

2.6.1 Tinjauan Consequence

Adalah suatu akibat dari suatu kejadian yang biasanya

diekspresikan sebagai kerugian dari suatu kejadian atau suatu resiko.

Dalam penelitian, consequence biasanya diekspresikan dengan biaya

kerugian yang dialami dalam suatu periode waktu dari suatu kejadian

atau suatu resiko.

Analisa CoF dilakukan perkasus secara terpisah, misal kasus

kebocoran yang menyebabkan kebakaran dipisahkan dengan kasus

kebocoran yang tidak menyebabkan kebakaran. CoF dapat dihitung

dari:

a. Keselamatan: potential loss of life (PLL), yaitu jumlah

personel/pekerja yang meninggal apabila terjadi kegagalan.

b. Ekonomi: jumlah uang yang hilang akibat berhentinya produksi,

kerusakan alat, atau pembangunan kembali sarana yang rusak.

c. Lingkungan: massa atau volume yang keluar ke lingkungan atau

dinyatakan dalam jumlah uang yang dikeluarkan untuk pembersihan

polutan dan kompensasi yang lainnya.

Langkah-langkah perhitungan Konsekuensi Kegagalan meliputi :

1. Memilih Representative Fluid dan sifat-sifatnya

2. Memilih ukuran lubang kebocoran

3. Memperkirakan jumlah total fluida yang bias terlepas apabila

terjadi kebocoran

4. Memperkirakan laju aliran kebocoran

5. Menentukan tipe kebocoran

6. Memilih fasa akhir fluida sesudah terlepas akibat kebocoran

7. Menentukan konsekuensi kebocoran

2.6.1.1 Pemilihan Representative fluid dan sifatnya

Kebanyakan aliran di dalam pabrik kimia bukan

merupakan fluida murni tetapi berupa campuran. Pemilihan

representative fluid dilakukan karena tidak semua fluida di

ketahui persamaan areal konsekuensinya. Untuk campuran,

representative fluid berdasarkan kedekatan Normal Boiling

Point (NBP) dan Molecular Weight antara campuran tersebut

dengan representative fluid. Kriteria kedua adalah kedekatan

massa jenis. Apabila tidak diketahui, sifat campuran,

Propertymix, dapat di hitung dengan persamaan,

PropertyMix = 11 propertyx •∑

Apabila salah satu atau lebih komponen campuran

merupakan zat yang tidak beracun atau tidak dapat terbakar

seperti steam, zat tersebut harus dikecualikan pada saat

peerhitungan sifat campuran

2.6.1.2 Pemilihan ukuran lubang

API 581 menggunakan lubang yang sudah di tentukan

terlebih dahulu. Pendekatan ini memungkinkan konsisten

antar analisis RBI dan meningkatkan kemudahan. API 581

mendefinisikan ukuran lubang yang mewakili ukuran relative

kecil, sedang, besar dan rupture yang tergantung pada ukuran

obyek yang di analisa. RBI secara umum menggunakan empat

ukuran lubang pada setiap item peralatan.

Tabel 2.5 Ukuran Lubang Kebocoran yang Digunakan Ukuran Lubang Jangkauan Nilai yang mewakili

Small 0-1/4 inci ¼ inci Medium ¼-2 inci 1 inci Large 2-6 inci 4 inci

(Sumber: API 581)

Lanjutan Tabel 2.5 Ukuran Lubang Kebocoran yang Digunakan

Ukuran Lubang Jangkauan Nilai yang mewakili

Rupture >6 inci

Sama dengan diameter alat

sampai maksimum 16 inci

(Sumber: API 581)

2.6.1.3 Memperkirakan Total Jumlah Fluida yang Bisa Terlepas

Apabila Terjadi Kebocoran

Perhitungan konsekuensi di dalam API 581

membutuhkan batas atas massa fluida yang dapat terlepas

ketika terjadi kebocoran (Inventory). Fluida yang dapat

terlepas tersebut berasal dari peralatan yang di analisis dan

peralatan lain yang berhubungan yang dapat memberikan

kontribusi fluida kepada peralatan yang di analisis apabila

mengalami kebocoran. Peralatan yang berhubungan disebut

Inventory Group dipilih sebagai yang lebih kecil antara

1. Massa fluida di dalam peralatan ditambah massa fluida

yang dapat di tambahkan kedalamnya selama tiga menit

oleh Inventory Group dengan asumsi laju aliran sama

dengan laju aliran pada peralatan yang di analisis

2. Massa total fluida di dalam Inventory Group

2.6.1.4 Memperkirakan Aliran Kebocoran

Apabila fluida di dalam peralatan berfasa cair

digunakan persamaan (API 581, 2002):

QL=144

gc2 ρρ −ACd ..................................................(2.1)

Di mana

QL :Liquid discharge rate (lbs/s)

Cd :discharge coefficient (0,60-0,64)

A :Luas penampang lubang (in2)

ρ :Massa jenis cairan (lb/ft3)

cg :Faktor konversi dari lbf ke lbm (32.2 lbm-ft/lbf-s2)

Apabila fluida berfasa gas, harus di tentukan dulu

apakah laju aliran kebocoran termasuk sonic atau subsonic

dengan membandingkan tekanan fluida dengan tekanan

transisi. Apabila tekanan fluida lebih besar di banding tekanan

transisi aliran termasuk sonic apabila lebih kecil termasuk

subsonic, persamaan untuk menghitung tekanan transisi (API

581, 2002) adalah sebagai berikut,

transP =1

2

1 +

+ΧK

K

a

KP ............................................. (2.2)

Di mana

Ptrans :tekanan transisi (psia)

Pa :tekanan udara luar (psia)

K =Cp/Cv

Persamaan laju aliran untuk tipe sonic adalah

Wg (sonic) =1

1

1

2 −+

+k

k

d KRT

KMAPC ....................... .(2.3)

Sedangkan persamaan laju aliran untuk tipe subsonic adalah,

Wg (subsonic) =

K

K

ak

acd P

P

P

P

K

Kg

RT

MAPC

12

11

2

144 (2.4)

Di mana

Cd : discharge coefficient

(untuk gas bernilai antara 0,85-1)

A : Luas penampang lubang (in2)

P : Tekanan gas (psia)

M : Massa molekul (lb/lb-mol)

R : Konstanta gas (10.73 ft3-psia/lb-mol.0R)

T : Temperatur gas (0R)

2.6.1.5 Menentukan Tipe kebocoran

Ada dua tipe kebocoran yang di definisikan oleh API 581

yaitu kebocoran seketika dan kebocoran kontinyu, kriteria

penentuan tipe kebocoran tersebut adalah:

1. Semua lubang kebocoran ukuran “kecil” (0,25 inci) di

modelkan sebagai kebocoran kontinyu

2. Apabila di butuhkan kurang dari tiga menit untuk melepas

10.000 lb. fluida, kebocoran dari lubang tersebutr dianggap

kebocoran seketika

3. Semua kebocoran yang melepaskan kurang dari 10.000 lb.

fluida dalam tiga menit dianggap bertipe kontinyu

Gambar 2.2 Proses untuk Penjelasan mengenai Tipe Pelepasan (Sumber : API 581)

2.6.1.6 Penentuan Fasa Akhir Fluida Sesudah Terlepas ke

Lingkungan

Pada API 581 untuk menentukan fasa fluida sesudah

terlepas ke lingkungan dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Panduan Untuk Menentukan Fasa Fluida

(sumber : API RBI 581)

2.6.1.7 Penentuan Konsekuensi Kebocoran

Pada konsekuensi kebakaran ada 2 hal yang perlu

diperhitungkan yaitu equipment damage area dan potensial

fatality area. Untuk konsekuensi tersebut menggunakan rumus

yang berdasarkan tipe kebocoran dan dapat dilihat pada Tabel

2.7, 2.8, 2.9, 2.10.

Tabel 2.7 Continuous Release Consequence - Auto Ignition Not Likely Material

Final Phase Gas Final Phase Liquid

Area of Equipment

Damage (ft²)

Area of Fatalities

(ft²)

Area of Equipment

Damage (ft²)

Area of Fatalities (ft²)

C1- C2 A= 43x 0.98 A = 110x 0.96 C3-C4 A = 49x 0.98 A = 125x 0.96 C5 A = 25.4x 0.98 A = 62.1x 1.00 A = 536x 0.90 A = 1544x 0.90 C6-C8 A = 29x0.98 A = 68x 0.96 A = 182x 0.89 A = 516x 0.89 C9-C12 A = 12x 0.98 A = 29x 0.96 A = 130x 0.90 A = 373x 0.89 C13-C16 A = 64x 0.90 A = 183x 0.89 C17-C25 A = 20x 0.90 A = 57x 0.89 C25+ A = 11x 0.91 A = 33x 0.89 H2 A = 198x

0.992 A = 614x 0.933

(sumber : API 581)

Fasa fluida pada kondisi operasi

Fasa fluida pada kondisi

ambient

Fasa fluida setelah terlepas ke lingkungan

Gas Gas Gas Gas Cair Gas

Cair Gas Gas (kecuali normal boiling

point material lebih dari 800F, fasanya cair)

Cair Cair Cair

Lanjutan Tabel 2.7 Continuous Release Consequence - Auto Ignition Not Likely Material

Final Phase Gas Final Phase Liquid

Area of Equipment

Damage (ft²)

Area of Fatalities (ft²)

Area of Equipment

Damage (ft²)

Area of Fatalities (ft²)

H2S A = 32x1.00 A = 52x1.00 HF Aromatic A=

121.39x0.8911 A =359x 0.8821

Styrene A=121.39x 0.8911

A = 359x 0.8821

(sumber : API 581)

Tabel 2.8 Tabel Instantaneous Release Consequence - Auto Ignition Not Likely Material

Final Phase Gas Final Phase Liquid

Area of Equipment

Damage (ft²)

Area of Fatalities (ft²)

Area of Equipment

Damage (ft²)

Area of Fatalities (ft²)

C1- C2 A= 41x 0.67

A = 79x 0.67

C3-C4 A = 28x 0.72 A = 57.7x 0.75 C5 A = 13.4x 0.73 A = 20.4x 0.76 A = 1.49x 0.85 A = 4.34x 0.85 C6-C8 A = 14x 0.67 A = 26x 0.67 A = 4.35x 0.78 A = 12.7x 0.78 C9-C12 A = 7.1x 0.66 A = 13x 0.66 A = 3.3x 0.76 A = 9.5x 0.76 C13-C16 A = 0.46x 0.88 A = 1.3x 0.88 C17-C25 A = 0.11x 0.91 A = 0.32x 0.91 C25+ A = 0.03x 0.99 A = 0.081x

0.99 H2 A = 545x 0.657 A = 982x 0.652 H2S A = 148x 0.63 A = 271x 0.63 HF

Lanjutan Tabel 2.8 Tabel Instantaneous Release Consequence - Auto Ignition Not Likely

Material Final Phase Gas Final Phase Liquid

Area of Equipment

Damage (ft²)

Area of Fatalities (ft²)

Area of Equipment

Damage (ft²)

Area of Fatalities (ft²)

Aromatic A = 2.26x 0.8227

A =10.5x 0.7583

Styrene A = 2.26x 0.8227

A = 10.5x 0.7583

(sumber : API 581)

Tabel 2.9 Tabel Continuous Release Consequence – Auto Ignition Likely Material

Final Phase Gas

Final Phase Liquid

Area of Equipment

Damage (ft²)

Area of Fatalities (ft²)

Area of Equipment

Damage (ft²)

Area of Fatalities (ft²)

C1- C2 A= 280x 0.95 A = 745x 0.92 C3-C4 A = 315x1.00 A = 837x 0.92 C5 A = 304x1.00 A = 811x1.00 C6-C8 A = 313x 1.00 A = 828x1.00 A = 525x 0.95 A = 1315x 0.92 C9-C12 A = 391x 0.95 A = 981x 0.92 A = 560 x 0.95 A = 1401x 0.92 C13-C16 A = 1023x 0.92 A = 2850x 0.90 C17-C25 A = 861x 0.92 A = 2420x 0.90 C25+ A = 544x 0.90 A = 1604x 0.90 H2 A = 1146x1.00 A = 3072x1.00 H2S HF Aromatic Styrene

(sumber : API 581)

Tabel 2.10 Tabel Instantaneous Release Consequence – Auto Ignition Likely Material

Final Phase Gas Final Phase Liquid

Area of Equipment

Damage (ft²)

Area of Fatalities (ft²)

Area of Equipment

Damage (ft²)

Area of Fatalities (ft²)

C1- C2 A= 1079x 0.62 A = 3100x 0.63 C3-C4 A = 523x 0.63 A = 1768x 0.63 C5 A = 275x 0.61 A = 959x 0.63 C6-C8 A = 76x 0.61 A = 962x 0.63 C9-C12 A = 281x 0.61 A = 988x 0.63 A = 6.0x 0.53 A = 20x 0.54 C13-C16 A = 9.2x 0.88 A = 26x 0.88 C17-C25 A = 5.6x 0.91 A = 16x 0.91 C25+ A = 1.4x 0.99 A = 4.1x 0.99 H2 A = 1430x

0.618 A = 4193x 0.621

H2S A = 357x 0.61 A = 1253x 0.63

HF Aromatic Styrene

(sumber : API RBI 581)

2.6.1.8 Pengurangan Konsekuensi

Pengurangan konsekuensi ini diperhitungkan karena

adanya mitigation system sebagai penanggulangan kebakaran.

Kategori mitigation dapat dilihat pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11 Tabel Mitigation System Mitigation System Consequence Adjustment

Inventory blowdown, coupled with isolation system.

Reduce consequence area by 25%

Fire water deluge system and monitor

Reduce consequence area by 20%

Fire water monitor only Reduce consequence area by 5%

Foam spray sistem Reduce consequence area by 15%

(sumber : API 581)

2.6.2 Tinjauan Likelihood

Komponen-komponen perhitungan LoF untuk analisis

kuantitatif dapat dilihat pada Gambar 2.1. Generic Failure Frequency

adalah rata-rata frekuensi kegagalan untuk suatu tipe peralatan.

Equipment Modification Factor (FE) adalah jumlah dari Technical

Module Subfactor, Universal Subfactor, Mechanical Subfactor, dan

Process Subfactor, Management System Evaluation Factor (FM)

adalah faktor yang di gunakan untuk memperhitungkan efektivitas

modification factor. Likelihood of Failure merupakan hasil kali

Generic Failure Frequency, Equipment Modification factor,

Management System Evaluation Factor. Prinsip dasar dari metode

perhitungan ini adalah memodifikasi Generic Failure Frequency yang

merupakan nilai median frekuensi kegagalan untuk di sesuaikan

dengan kondisi spesifik peralatan menggunakan FE dan FM

= = X x x X x x

Gambar 2.3 Faktor-faktor dalam Perhitungan Kemungkinan Kegagalan untuk Analisis Kuantitatif

(Sumber : API 581)

Management System Evaluation Factor (FM)

Equipment Modification Factor (FE)

Generic Failure Frequency Likelihood of Failure

Technical Module Subfactor

Damage Rate

Inspection Efectivenees

Universal Subfactor

Plant Condition

Cold worker

Seismic Activity

Mechanical Subfactor

Equipment Company

Construction Code

Life Cycle

Safety Factors

Vibration Monitoring

Process subfactor

Continuity

Stability

Relief Valves

2.6.2.1 Generic Failure Frequency

Meskipun suatu peralatan belum mengalami kegagalan,

dari pengalaman diketahui bahwa kemungkinan kegagalannya

lebih dari nol karena di mungkinkan peralatan tersebut

beroperasi belum cukup lama untuk mengalami kegagalan.

Langkah pertama untuk memperkirakan besarnya

kemungkinan kegagalan ini adalah melihat kelompok yang

lebih besar untuk memperoleh perkiraan yang baik mengenai

besarnya kemungkinan kegagalan. Kelompok yang besar

tersebut misalnya peralatan yang sama dalam satu jenis

industri. Kemungkinan kegagalan yang diperoleh dari

kelompok yang lebih besar ini di sebut Generic Failure

Frequency.

2.6.2.2 Equipment Modification Factor

Equipment Modification Factor (FE) merupakan

penjumlahan dari empat subfaktor seperti terlihat pada

gambar 2.1. Faktor ini digunakan untuk memodifikasi

generic failure frequency sesuai dengan kondisi operasi

peralatan yang dianalisis.

1. Technical Module Subfactor

Technical Module Subfactor (TMSF) merupakan

komponen yang memperhitungkan laju dan tingkat

kerusakan peralatan. TMSF merupakan perbandingan

antara generic failure frequency dengan failure frequency

yang ditimbulkan oleh mekanisme kerusakan yang

bersangkutan. Faktor ini dihitung di dalam technical

module. Komponen ini memiliki kontribusi paling besar

terhadap FE. Perhitungan komponen ini di lakukan

menggunakan technical module yang terdapat pada API

581.

2. Universal Subfactor

Universal Subfactor digunakan untuk

memperhitungkan pengaruh kondisi plant, aktifitas

seismic, dan musim dingin terhadap resiko. Kondisi plant

meliputi penampilan plant secara umum (pemeliharaan

secara umum, perbaikan sementara, pengelupasan cat dan

lain-lain), efektifitas program perawatan, serta sejumlah

mana lay-out dan konstruksi plant memfasilitasi perawatan

aktivitas seismic dinilai berdasarkan pengelompokan zona

seismic menurut ANSI A58.1, 1982

3. Mechanical Subfactor

Komponen ini di gunakan untuk memperhitungkan

pengaruh desain dan fabrikasi peralatan terhadap risiko.

Ada tiga faktor yang di nilai yaitu kompleksitas,

pemenuhan code dan life cycle peralatan . Kompleksitas

meliputi kompleksitas peralatan dan perpipaan Life cycle

adalah perbandingan lama operasi dan umur desain

4. Process Subfactor

Komponen ini menilai pengaruh kontinyuitas proses,

stabilitas proses dan kondisi relief valve. Kontinuitas

proses di ukur berdasarkan frekuensi pemadaman pabrik

rata-rata pertahun untuk tiga tahun terakhir baik

pemadaman terencana maupun tidak terencana. Kondisi

relief valves dinilai dengan mempertimbangkan faktor

perawatan, fouling, dan korosi.

2.6.2.3 Management System Evaluation Factor

Management System Evaluation Factor digunakan

untuk memodifikasi Generic Failure Frequency sesuai

dengan efektifitas Process Safety Management plant yang

bersangkutan. Faktor-faktor yang di pertimbangkan dalam

evaluasi meliputi :

1. Kepemimpinan dan administrasi

2. Process safety information

3. Process Hazard Analysis

4. Manajemen perubahan

5. Prosedur operasi

6. Safety Work Practices

7. Pelatihan

8. Mechanical Integrity

9. Pre-Startup safety review

10. Tanggap Darurat (Emergency response)

11. Penyelidikan kecelakaan

12. Kontraktor

13. Management System Assessment

RBI memanfaatkan kuisioner untuk melakukan evaluasi

ini. Kuisioner tersebut ada di Appendix D API 581.

2.6.3 Penentuan Resiko Kuantitatif

Di dalam analisis kuantitatif, hasil perhitungan LoF berupa

frekuensi kegagalan yang memiliki satuan tahun. Hasil perhitungan

CoF untuk analisis kuantitatif bisa berupa luas area dengan satuan ft2

untuk konsekuensi kebakaran dan konsekuensi racun atau dalam mata

uang untuk konsekuensi finansial. Risiko dinyatakan sebagai hasil kali

antara CoF dan LoF sehingga risiko bisa memiliki satuan ft2/tahun atau

$/tahun (API 581).

2.7 Mekanisme Kerusakan

Terdapat banyak alasan, mengapa harus dilakukan inspeksi pada bejana

tekan , akan tetapi yang paling utama adalah untuk meyakinkan bahwa proses

berjalan masih dalam keadaan aman. Setiap storage tank mempunyai

karakteristik yang khas mengenai mekanisme kerusakan karena pengaruh dari

material konstruksinya. Program inspeksi yang di- lakukan setidaknya harus

dapat mendeteksi mekanisme kerusakan yang terjadi dengan tepat. Beberapa

mekanisme kerusakan yang biasanya dialami oleh bejana tekan adalah

1. Korosi

Mekanisme kerusakan korosi merupakan mekanisme yang paling

umum yang sering terjadi pada pengoperasian bejana tekan mekanisme

korosi dapat terjadi karena adanya ikatan kimia antara oksigen dan atom

logam sehingga membentuk lapisan logam oksida . Faktor yang dapat

memicu terjadinya korosi material, salah satunya adalah lingkungan

kerja atau kondisi proses dari peralatan. Kondisi proses yang terdiri dari

kombinasi fluida cair dan gas dapat mempercepat terjadinya korosi.

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya

korosi pada bejana tekan adalah dengan memperhatikan pemilihan

bahan atau material konstruksi dan perubahan kondisi proses. Inspeksi

yang dapat di lakukan salah satunya adalah tes ketebalan (Ultrasonic

test wall thickness). Beberapa lokasi dari bejana tekan yang rentan

terkena mekanisme korosi adalah bagian atau tempat bertemunya fluida

gas dan cair, daerah uap dan daerah yang di lewati fluida kerja dengan

kecepatan tinggi. Selain proses inspeksi menggunakan test ketebalan,

inspeksi secara visual menggunakan partikel magnet dan cairan dye

penetrant juga dapat dilakukan untuk mendeteksi terjadinya korosi pada

bejana tekan

2. Erosi

Mekanisme erosi merupakan salah satu mekanisme kerusakan yang

dapat mendegradasi material konstruksi dari suatu peralatan.

Mekanisme kerusakan erosi biasanya terjadi pada bagian yang di lewati

fluida dengan kecepatan tinggi

3. Retak lelah (Fatique Cracking)

Pada umumnya mekanisme kerusakan ini terjadi pada bejana tekan

yang beroperasi dengan menggunakan prinsip rotasi, inspeksi tanpa

merusak (Non Destructive Test) pada umumnya dapat di pakai untuk

mengetahui seberapa panjang dan dalam keretakan yang telah terjadi

4. SCC (Stress Corrosion Craking)

Mekanisme kerusakan jenis ini biasanya terlihat sekali pada

kondisi operasi dengan fluida kerja senyawa klorida dan senyawa

sodium

5. Mulur

Mekanisme kerusakan jenis ini biasanya terjadi pada bejana tekan

yang mempunyai kondisi operasi pada temperatur tinggi. Mekanisme

mulur menyebabkan terjadinya deformasi plastis yang permanent

walaupun tegangan yang terjadi pada bejana tekan telah dihilangkan

mekanisme yang dipakai untuk mendeteksi mekanisme mulur dan

dimensi pada saat desain visual, yaitu membandingkan dimensi setelah

mulur dan dimensi pada saat desain.

6. HTHA (High Temperature Hydrogen Attack)

HTHA pada umumnya terjadi pada baja karbon dan baja paduan

rendah dengan kondisi kerja tekanan dan temperatur tinggi

2.8 Kegiatan PT Pertamina EP Region Jawa Area Cepu

Kegiatan yang dilakukan oleh PT Pertamina EP Region Jawa Area Cepu

ini ada 2 yaitu :

1. Eksplorasi

Kegiatan eksplorasi di PT Pertamina EP Region Jawa Area Cepu meliputi

kegiatan :

- Survey Geologi

- Survey Seismik

- Pemboran Eksplorasi

Seluruh kegiatan eksplorasi ini bertujuan untuk mencari cadangan baru

minyak bumi.

2. Eksploitasi

Kegiatan eksploitasi/pengembangan yaitu kegiatan pemboran eksploitasi

di lapangan-lapangan produksi yang sudah ada dan di lahan-lahan

pengembangan sumur-sumur eksplorasi. Kegiatan itu meliputi:

Pemboran Pengembangan

- Reopening

- KUPL (Kerja Ulang Pindah Lapisan)

- Stimulasi

- Reparasi

- Produksi

Lapangan Produksi dan Fasilitas Produksi PT Pertamina EP

Region Jawa Area Cepu mengelola 2 lapangan produksi masing-masing, yaitu

:

Distrik I Kawengan

Terletak 22 km sebelah timur laut Cepu yang merupakan bagian dari

Propinsi Jawa Timur, merupakan antiklin memanjang dari barat laut ke

tenggara dengan panjang 15 km dan lebar 1 km. Lapangan ini dikembangkan

sejak tahun 1926 dengan jumlah sumur yang telah dibor sebanyak 154 sumur

terdiri dari 125 sumur menghasilkan minyak dan 12 sumur kosong (dry hole)

dengan produksi puncak sebesar 2300 m3/hari dicapai pada tahun 1983

dan1953. Kedalaman pemboran antara 413m-2350 m. Sampai dengan saat ini

jumlah sumur yang berproduksi berjumlah 45 buah dengan produksi minyak

rata-rata selama tahun 2007 sebanyak 1108 bopd. Distrik ini meliputi

Lapangan Kawengan dan Wonocolo di Kabupaten bojonegoro dan Tuban.

Fasilitas produksi terdapat pada distrik I Kawengan sebagai berikut:

- 7 SP (Kapasitas total 2252,5 m3)

- 1 SPU (Kapasitas 6900 m3)

Distrik II Nglobo/Semanggi-Ledok

Distrik ini terletak di Propinsi Jawa Tengah dan telah dikembangkan

sejak tahun 1896. Lapangan produksi Distrik II Ledok/Nglobo terdiri dari

beberapa lapangan, yaitu:

a. Lapangan produksi Ledok terletak ±11 km sebelah barat Cepu, merupakan

antiklin sepanjang 2,5 km dan lebar 1,25 km, dikembangkan sejak tahun

1896. Puncak produksi dicapai pada tahun 1928 sebesar 715 m2/hari.

Jumlah sumur produktif saat ini sebanyak 30 sumur, dengan produksi

minyak rata-rata selama tahun 2007 sebanyak 253 bopd.

b. Lapangan produksi Nglobo terletak ±28 km sebelah barat Cepu, merupakan

antiklin sepanjang 1,5 km, dikembangkan sejak tahun 1903, jumlah sumur

produktif saat ini sebanyak 14 sumur, dengan produksi minyak rata-rata

selama tahun 2007 sebanyak 127 bopd.

c. Lapangan produksi Semanggi terletak ±35 km sebelah barat cepu, melalui

Nglobo, dengan luas ±2,5 x 0,5 km2. Lapangan produksi ini dikembangkan

sejak tahun 1900. Jumlah sumur produktif saat ini sebanyak 7 sumur,

dengan produksi minyak rata-rata selama tahun 2007 sebanyak 260 bopd.

d. Lapangan Banyuasin terletak ±40 km sebelah barat Cepu dengan luas ±2,5

x 0,5 km2. Lapangan produksi ini dikembangkan sejak tahun 1988. Jumlah

sumur produktif saat ini sebanyak 1 sumur, dengan produksi minyak rata-

rata selama tahun 2007 sebanyak 13 bopd.

Fasilitas produksi yang terdapat pada distrik II Nglobo dan Ledok

sebagai berikut:

Nglobo/Semanggi:

- 3 SP (kapasitas total 438 m3)

- 1 SPU (kapasitas 3220 m3)

Ledok

- 1 SP (kapasitas total 123 m3)

- 1 SPU (kapasitas 2430 m3)

Kapasitas yang terdapat pada Pusat Pengumpul Produksi (PPP)

Menggung adalah 30.100 m3.

2.8.1 Teori Mengenai Minyak Bumi

Minyak mentah (minyak bumi) atau crude oil adalah istilah untuk

minyak yang belum mengalami pemrosesan. Minyak bumi merupakan

bahan bakar fosil yang berarti minyak bumi terbentuk secara alami dari

pengendapan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan (plankton) yang mati

dalam lautan purba antara 10 juta dan 600 juta tahun yang lalu. Setelah

organisme-organisme tesebut mati, mereka meresap ke dalam pasir dan

mengendap di dasar laut.

Selama bertahun-tahun, organism tersebut mengendap dalam

lapisan sedimentary. Dalam lapisan ini, terdapat sedikit atau tidak ada

sama sekali oksigen sehingga mikroorganisme menghancurkan endapan

ini menjadi senyawa yang kaya akan carbon sehingga terbentuk lapisan

organic. Materi organic yang tercampur dengan sedimen membentuk

serpihan halus (fine-grained shale) atau source rock. Karena lapisan-

lapisan sedimentary terus terbentuk, materi organic mengalami desakan

dan pemanasan yang tinggi pada source rock. Panas dan tekanan ini

mengubah materi organic menjadi crude oil dan gas alam. Crude oil ini

mengalir dari source rock dan berkumpul dalam lapisan batu kapur dan

batu pasir yang disebut reservoir rock.

Pergerakan lapisan bumi menyebabkan crude oil dan gas alam

terjebak dalam reservoir rock diantara lapisan-lapisan impermeable rock

atau cap rock seperti granit atau marbel. Pergerakan lapisan bumi ini

dapat berupa:

1. Folding, yakni pergerakan tekanan secara horizontal kea rah dalam

dan menggerakkan lapisan batuan ke arah atas membentuk tekukan

(fold) atau inticline.

2. Faulting, retaknya lapisan batuan dimana salah satu sisi bergerak ke

atas atau ke bawah.

3. Pinching out, fenomena dimana lapisan impermeable rock tertekan

ke arah atas menuju reservoir rock.

2.8.2 Karakteristik Minyak Bumi

Minyak bumi bervariasi dalam hal warnanya, dari yang jernih

hingga yang berwarna hitam (tar-black) dan bervariasi dalam hal

kekentalannya, dari yang cairan hingga yang hampir padat.

Minyak bumi mengandung senyawa hidrokarbon yakni senyawa

yang terdiri atas hidrohidrogen dan carbon yang dapat terbentuk dengan

berbagai variasi panjang dan struktur molekul, dari yang bentuk

molekulnya berupa rantai lurus, rantai bercabang, hingga yang

berbentuk cincin. Terdapat dua hal yang menyebabkan hidrokarbon

menjadi senyawa yang sangat berguna bagi suatu reaksi kimia,

diantaranya.

1. Kandungan energy dalam hidrokarbon sangat besar. Banyak bahan

bakar yang berasal dari hidrokarbon seperti gasoline, lilin paraffin,

minyak tanah, dll.

2. Hidrokarbon dapat terbentuk dalam berbagai bentuk. Hidrokarbon

yang paling sederhana adalah metana (CH4), yang merupakan gas

yang lebih ringan dari udara. Hidrokarbon dengan panjang rantai

lebih dari lima berfasa cair, sementara hidrokarbon dengan rantai

yang sangat panjang berfasa padat seperti lilin atau tar.

Gidrokarbon juga dapat dibuat secara sintetik seperti karet

(rubber), nylon, dan plastik.

Hidrokarbon yang terdapat di alam sangat bermacam-macam

secara kimianya sehingga hidrokarbon diklasifikasi ke dalam beberapa

jenis yakni sebagai berikut.

1. Paraffin

Paraffin memiliki cirri-ciri sebagai berikut:

a. Rumus kimia: CnH2n+2

b. Molekulnya berbenruk rantai lurus atau rantai bercabang

c. Dapat berupa gas atau cairan pada temperature ruang

tergantung pada molekulnya

d. Contoh paraffin: metana, etana, propane, butane, isobutana,

pentane, dan heksana

2. Aromatic

Cirri-ciri aromatic antara lain:

a. Rumus kimia: C6H5-Y, dimana Y adalah panjang rantai molekul

yang berhubungan dengan cincin benzene

b. Strukturnya berbentuk cincin yang dapat berjumlah satu atau

lebih

c. Cincin terdiri atas enam atom karbon dengan ikatan tunggal

dan ganda yang berubah-ubah diantara atom-atom karbon

d. Contohnya: benzene dan naptalin

3. Naptalena atau sikloalkana

Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

a. Rumus kimia: C6H2n

b. Strukturnya berbentuk cincin dengan satu atau lebih cincin

c. Ikatan antara atom-atom karbonnya berupa ikatan tunggal

d. Berfasa cair pada temperature ruang

e. Contohnya: sikloheksana dan metal siklopentana

Hidrokarbon lainnya antara lain:

1. Alkena

Ciri-ciri alkena antara lain:

a. Rumus kimia: CnH2n

b. Molekulnya ada yang berbentuk lurus dan ada yang bercabang

serta memiliki sebuah ikatan ganda antara dua buah karbon

c. Dapat berbentuk cair atau gas

d. Contohnya: etilena, butane, dan isobutana

2. Diena atau Alkynes

Cirri-ciri Diena atau Alkynes antara lain:

a. Rumus kimia: CnH2n-2

b. Molekulnya dapat berupa rantai lurus dan bercabang dan

memiliki dua buah ikatan ganda pada susunan atom-atom

karbonnya

c. Dapat berupa cairan atau gas

d. Contohnya: acetilena dan butadiene

2.8.3 Sistem Penampungan

System penampungan merupakan suatu system yang berkaitan

dengan kegiatan menampung gross minyak yang telah dieksploitasi.

Gross minyak yang telah terpompa pertama kali dialirkan ke tempat

penampungan sementara yang disebut Stasiun Pengumpul (SP).

Kemudian dari SP, gross minyak dialirkan ke tempat penampungan

akhir yang disebut Stasiun Pengumpul Utama (SPU) sebelum dialirkan

ke Pusat Penampungan Produksi Menggung (PPP Menggung) yang

terletak di kecamatan Cepu. Dalam satu lokasi tedapat enam tangki

penyimpanan crude oil. P&ID dapat dilihat pada Lampiran 1.

2.8.4 Crude Oil Tank T-936

Tangki T-936 merupakan tangki yang terdiri dari lima tingkat plat

dengan kapasitas 2200 m3. Tangki ini berfungsi sebagai tempat

penampungan produksi yang berasal dari SPU serta koperasi yang

dikelola oleh masyarakat dengan cara tradisional. Sebelum crude oil

disimpan dalam tangki, crude oil mengalami pemisahan dengan gas

menggunakan scrubber di lokasi SP sehingga hanya sebagian kecil gas

yang ikut tersimpan dalam tangki.

Inspeksi tangki yang terakhir dilakukan pada tahun 2009 oleh

pihak ketiga yaitu Biro Klasifikasi Indonesia dengan hasil rekomendasi

sebagai berikut :

1. Agar dilakukan perbaikan dan tindakan yang sesuai prosedur, dengan

menitik beratkan pada NCR (Temuan) yang bersifat critical dan

major.

2. Agar dilakukan inspeksi rutin, sesuai dengan standar API 653 (5

tahun).

3. Agar dilakukan pencatatan hasil inspeksi rutin dan perbaikan (apabila

ada) ke dalam log book, untuk mendukung hasil inspeksi berikutnya.

4. Agar dijadwalkan segera cleaning tangki, untuk melihat kondisi /

keadaan dari pelat dasar tangki. (sesuai dengan API 653, untuk

Interval inspection bagaimanapun tidak boleh lebih dari 20 tahun)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini diperlukan proses penelitian yang terstruktur, sehingga

diperlukan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaannya sehingga nantinya

dapat dipahami secara sistematis, dengan mengacu kaidah-kaidah metode penelitian.

Tempat penelitian dilakukan di lapangan (field research). Teknik penelitian adalah

penelitian survey (survey research).

3.1 Identifikasi Masalah

Tahap ini dilakukan untuk mengetahui sistem yang telah berjalan dan

masalah-masalah yang timbul pada obyek penelitian dengan mengidentifikasi

potensi bahaya pada fasilitas yang dimiliki PT. Pertamina EP. Identifikasi

kondisi awal tersebut akan digunakan untuk merumuskan masalah dengan

melakukan studi pustaka dan studi lapangan.

3.2 Studi Pustaka

Studi kepustakaan diperlukan sebagai acuan referensi untuk

mendalami permasalahan yang akan diteliti di PT Pertamina EP Region Jawa

Area Cepu, terutama yang berhubungan dengan teori Risk assessment,

kerusakan material dan Risk Based Inspection

3.3 Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan dalam rangka untuk mengetahui kondisi

sistem/ obyek yang akan dijadikan bahan penelitian di perusahaan.Studi ini

penting dilakukan agar peneliti dapat dengan jelas mengetahui gambaran

proses kerja dari sistem yang diamati serta proses produksi secara

keseluruhan, sehingga akan dapat memudahkan peneliti dalam penyusunan

laporan.

3.4 Penerapan Tujuan

Pada tahapan penerapan tujuan ini merupakan hasil dari studi pustaka

dan lapangan. Dengan mengetahui masalah dan dasar-dasar teori maka dapat

ditetapkan tujuan yaitu menganalisa resiko sebagai dasar perencanaan

inspeksi dengan menggunakan metode RBI. Dengan demikian semua data

yang akan diolah memiliki dasar referensi yang pasti.

3.5 Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data sehubungan dengan

penelitian yang akan dilakukan. Untuk penelitian ini memerlukan data P&ID

Tangki PPP Menggung, data kondisi tangki, dan data laporan inspeksi T-963

yang pernah dilakukan.

3.6 Tahap identifikasi bahaya

Melakukan FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) untuk

mengembangkan mekanisme kegagalan dan mengetahui tingkat resiko pada

storage tank. Penggunaan metode FMEA ini dikarenakan FMEA adalah salah

satu teknik yang banyak digunakan untuk melakukan analisa kualitatif

terhadap kehandalan suatu sistim.

3.7 Tahap Metode Kualitatif RBI

Tingkat resiko merupakan hasil analisa kualitatif RBI untuk

mengetahui seberapa tinggi resiko yang dihasilkan oleh peralatan yang

dianalisa. Dengan melakukan tinjauan dari likelihood dan consequencenya

kemudian diplotkan dalam risk matriks. Dari risk matriks ini maka

ditunjukkan tingkat resiko dari peralatan untuk kemudian dilakukan analisa

kuantitaif RBI.

3.8 Tahap Metode Kuantitatif RBI

Nilai resiko merupakan hasil analisa kuantitatif RBI untuk mengetahui

seberapa besar resiko yang ditimbulkan oleh peralatan dan dinyatakan dalam

satuan luas per tahun. Dengan melakukan perhitungan dari likelihood dan

consequencenya. Dimana untuk likelihood dilakukan perhitungan generic

failure frequency, equipment modification factor (EMF), dan management

evaluation factor. Dan untuk consequensenya dengan menetapkan ukuran

lubang, penjelasan tipe pelepasan, evaluasi respon tanda kebocoran,

menghitung rate of release, equipment damage area dan potential fatality

area, serta penyesuaian untuk sistem mitigasi kemudian dilakukan penilaian

resiko.

3.9 Perencanaan Jadwal Inspeksi

Output atau hasil akhir dari metode RBI adalah berupa hasil

perhitungan resiko yang sudah diurutkan berdasarkan prioritas resiko yang

dinyatakan sebagai pendekatan kuantitatif yang kemudian dapat dijadikan

sebagai dasar perencanaan jadwal inspeksi. Dengan adanya perencanaan

jadwal inspeksi yang rutin, dapat mencegah terjadinya kegagalan proses pada

sebuah sistem.

3.10 Kesimpulan dan Saran

Langkah terakhir dari penelitian ini yaitu membuat kesimpulan

mengenai hasil penelitian dan membut saran sebagai tindak lanjut dari hasil

penelitian. Pada tahap kesimpulan dapat menyimpulkan hasil penelitian yang

berusaha menjawab tujuan dari penelitian yang dilakukan dan memberikan

saran untuk mencegah dan mengendalikan terjadinya kegagalan produksi atau

kerusakan komponen pada storage tank.

Diagram yang menggambarkan secara sistematika yang berurutan menurut

pelaksanaan penelitian dapat dilihat sebagai berikut.

Gambar 3.1 Diagram Alir Metode Penelitian

Studi Lapangan

Tahap Pengumpulan Data - P&ID PPP

Menggung - Data kondisi tangki - Laporan inspeksi

tangki T-963

Metode Kualitatif RBI

Perencanaan Jadwal Inspeksi

Kesimpulan dan Saran

Studi Pustaka

Penerapan Tujuan

Identifikasi bahaya dengan FMEA

Metode Kuantitatif RBI

Mulai

Selesai

Identifikasi masalah