istinb hukum ulama kontemporer tentang nikah a....

34
BAB IV KAJIAN ISTINBĀṬ HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH MISYĀR A. Pandangan Ulama Kontemporer Tentang Pengguguran Hak Nafkah dan Hak Mabīt 1. Hak Nafkah dan Hak Mabīt Dalam fiqh disebutkan bahwa nafkah adalah mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggung jawabnya yang meliputi makanan, pakaian, dan tempat tinggal (az-Zuhaili, 1985; 765). Istilah nafkah sendiri sering diartikan untuk menunjukkan nafkah lahir dan nafkah bathin. Padahal sebenarnya -melihat definisinya- yang dimaksud adalah nafkah dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonotasi materi. Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual istri tidak masuk dalam artian nafkah, meskipun dilakukan suami terhadap istrinya (Syarifuddin, 2007; 165). Dalam kehidupan rumah tangga, kewajiban memberi nafkah menjadi tanggung jawab suami. Dasar kewajiban memberi nafkah adalah al- Qur‟an, sunnah, dan ijma‟. Dalil dari al-Qur‟an yang mewajibkan memberi nafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al-Baqarah: Dan kewajiban ayah memberi makan dari pakaian kepada para ibu dengan cara ma‟ruf. (Al-Qur‟an dan Terjemahnya, 1418 H; 57) Dengan ayat tersebut, kewajiban suami memberi nafkah kepada istri merupakan penyeimbang atas hak-hak yang dimiliki suami. Sekalipun

Upload: habao

Post on 07-Jul-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

BAB IV

KAJIAN ISTINBĀṬ HUKUM ULAMA KONTEMPORER

TENTANG NIKAH MISYĀR

A. Pandangan Ulama Kontemporer Tentang Pengguguran Hak Nafkah dan

Hak Mabīt

1. Hak Nafkah dan Hak Mabīt

Dalam fiqh disebutkan bahwa nafkah adalah mencukupi kebutuhan

orang yang menjadi tanggung jawabnya yang meliputi makanan, pakaian,

dan tempat tinggal (az-Zuhaili, 1985; 765). Istilah nafkah sendiri sering

diartikan untuk menunjukkan nafkah lahir dan nafkah bathin. Padahal

sebenarnya -melihat definisinya- yang dimaksud adalah nafkah dalam

bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonotasi materi.

Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat

seksual istri tidak masuk dalam artian nafkah, meskipun dilakukan suami

terhadap istrinya (Syarifuddin, 2007; 165).

Dalam kehidupan rumah tangga, kewajiban memberi nafkah menjadi

tanggung jawab suami. Dasar kewajiban memberi nafkah adalah al-

Qur‟an, sunnah, dan ijma‟. Dalil dari al-Qur‟an yang mewajibkan memberi

nafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al-Baqarah:

“Dan kewajiban ayah memberi makan dari pakaian kepada para ibu

dengan cara ma‟ruf. (Al-Qur‟an dan Terjemahnya, 1418 H; 57)

Dengan ayat tersebut, kewajiban suami memberi nafkah kepada istri

merupakan penyeimbang atas hak-hak yang dimiliki suami. Sekalipun

Page 2: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

107

dilihat dari sisi ekonomi, suami berada pada golongan tidak mampu dan

istri termasuk golongan orang mampu, suami tetap berkewajiban memberi

nafkah kepada istri. Sebab hak mendapatkan nafkah merupakan hak istri

sebagai akibat hukum dari sahnya suatu perkawinan (Zahrah, 1957; 231).

Kewajiban suami memberi nafkah kepada istri juga dikarenakan

posisinya sebagai kepala rumah tangga, sebagaimana dijelaskan dalam

surat an-Nisa‟ ayat 34:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh

karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas

sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah

menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Al-Qur‟an dan

Terjemahnya, 1418 H; 123)

Berdasarkan ayat tersebut, kedudukan suami sebagai pemimpin dalam

keluarga dikarenakan dua faktor, yaitu (1) fisik, dimana Allah memberikan

keistimewaan dan nilai lebih kepada kaum laki-laki dalam hal fisik,

mental, maupun kemampuan mengendalikan emosi dan stabilitas akal

sehat, dan (2) infaq, yaitu kaum laki-laki diperintahkan atau dibebani

memberi nafkah dengan harta mereka terhadap kaum perempuan. Dengan

kondisi fisik dan kewajiban memberi hak nafkah dan perlindungan kepada

istri, maka suami mendapatkan hak untuk dipatuhi oleh istri (Philips and

Jameelah Jones, 2005; 25).

Kewajiban suami memberi nafkah juga dijelaskan dalam hadits

panjang yang berisi tentang pesan-pesan Rasulullah saw. yang

Page 3: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

108

disampaikan Rasulullah saw. pada saat haji Wada‟. Di antara pesan-pesan

tersebut adalah

إ سعل هللا : دخهب عه جبثش ث عجذ هللا فقبل: جعفش ث يذذ ع أث قبلع

هللا ف انغبء، فإكى أخزر ثكهخ إرقا صه هللا عه عهى خطت انبط فقبل

أدذا ركش، طئ فششكى نكى عه أال اعزذههزى فشج ثكهخ هللا، هللا،

فإ فعه رنك فبضشث ضشثب غش يجشح، ن عهكى سصق كغر

سا أث داد .ثبنعشف

“Diriwayatkan dari Ja‟far bin Muhammad dari ayahnya, berkata:

Kami masuk ke (rumahnya) Jabir bin Abdullah, kemudian Jabir

berkata: “Bahwa Rasulullah saw. memberikan khutbah kepada

masyarakat seraya bersabda: “Takutlah kepada Allah terkait

perempuan. Karena kalian telah mengambil mereka dengan

kalimat (ikatan perjanjian) Allah, kalian mencari halalnya

kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kalian mempunyai hak

yang harus mereka penuhi yaitu mereka tidak boleh

mempersilahkan seorang pun yang tidak kalian sukai berada di

ranjang kalian. Jika mereka melakukan itu, maka pukullah mereka

dengan pukulan yang tidak melukai (sebagai pelajaran). Dan hak

mereka yang harus kalian penuhi adalah memberi mereka makan

dan pakaian dengan selayaknya”. (H.R. Abu Dawud) (As-

Sajistani, 2009; 285)

Di samping dalil dari al-Qur‟an dan hadits yang disebut di atas, ulama

sepakat (ijma‟) bahwa istri berhak mendapat nafkah dan sandang (pakaian)

dengan jalan yang baik (layak) (Ibn al-Mundzir, 1999; 109).

Sedangkan berkaitan dengan hak mabīt (giliran bermalam) dan

berlaku adil, ajaran Islam sudah menjelaskan bahwa orang yang

mempunyai istri lebih dari satu maka dia harus berbuat adil kepada mereka

dalam hal membagi kesempatan untuk menginap di rumah mereka.

Kewajiban berbuat adil tersebut ini dijelaskan oleh nash al-Qur‟an. Seperti

dijelaskan dalam surat an-Nisa‟ ayat 3 :

Page 4: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

109

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka

kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau

empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka

(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Al-Qur‟an

dan Terjemahnya, 1418 H; 114).

Dalam ayat tersebut dijelaskan larangan untuk menikahi wanita lebih dari

satu apabila suami tidak bisa berbuat adil. Menurut al-Quthubi (w. 671 H),

adil dalam ayat tersebut mencakup adil dalam menentukan pembagian hak

mabīt dan memperlakukan istri-istri dengan baik. Dengan demikian, maka

ayat tersebut menjadi dalil kewajiban suami yang mempunyai istri lebih

dari satu untuk berbuat adil dan memperlakukan mereka dengan baik (al-

Qurthubi, 2006; 22)

Sedangkan dalam hadits, Nabi Muhammad saw. memperingatkan

kepada suami yang mempunyai istri lebih dari satu melalui sabdanya:

إرا كب عذ : ع أث ششح سض هللا ع ع انج صه هللا عه عهى قبل

.سا انزشيز. انشجم ايشأرب فهى عذل ثب جبء و انقبيخ شق عبقظ

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Muhammad saw.

beliau bersabda: “Seorang laki-laki yang mempunyai istri dua,

tetapi tidak bisa berbuat adil kepada mereka, maka besok pada

hari kiamat dia akan datang dengan keadaan separoh badan saja.”

(H.R at-Tirmidzi) (at-Tirmidzi, t,th; 271)

Page 5: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

110

Dalam konsep fiqh, hak nafkah dan hak mabīt merupakan hak milik

istri sebagai akibat hukum dari akad nikah. Hak nafkah dan hak mabīt

termasuk dalam kategori hak yang musytarak antara hak Allah dan hak

hamba, tetapi yang lebih dominan adalah hak hamba. Disebut sebagai hak

Allah karena eksistensinya dilandasi oleh dalil-dalil syara‟ dan adanya

perintah kepada suami untuk memberi nafkah kepada istri dan juga ada

perintah kepada suami yang berpoligami untuk berbuat adil kepada istri-

istrinya. Dan disebut sebagai hak hamba (istri) karena dia harus menerima

nafkah sebagai konsekuensi dari kewajibannya melayani suami (ad-

Dahlawi, 2002; 187).

Diskursus tentang pengguguran hak nafkah setidaknya dilihat dari dua

hal, yaitu yang dilakukan sebelum akad nikah dan yang dilakukan setelah

akad nikah. Pengguguran hak nafkah yang dilakukan sebelum

dilaksanakannya akad nikah adalah batal dan tidak mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat. Artinya pihak istri masih berhak mendapatkan dan

menuntut hak nafkah setelah akad nikah. Karena pada dasarnya hak nafkah

dimiliki oleh istri karena adanya akad nikah. Oleh karena itu, ulama

sepakat ulama bahwa pengguguran hak nafkah adalah batal karena belum

terjadi akad nikah. Sedangkan apabila dilakukan setelah akad nikah dan

hak nafkah yang digugurkan adalah hak nafkah untuk masa yang akan

datang (nafaqah al-mustaqbal). maka hal yang seperti ini diperselisihkan

oleh ulama. Menurut jumhur (Hanafiyah, Syafi‟iyah, Hanabilah, dan

sebagian Malikiyah), pengguguran hak tersebut tidak sah, karena hak

nafkah belum menjadi hak tetap istri.

Page 6: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

111

Permasalahan syarat pengguguran hak nafkah dan atau hak mabīt

merupakan persoalan yang di kalangan ulama klasik masuk dalam

pembahasan tentang asy-syuruṭ fi az-zawāj yaitu persyaratan-persyaratan

yang ditetapkan oleh salah satu dari kedua pihak kepada pihak lainnya

untuk maksud tertentu. Namun yang dimaksud dengan istilah tersebut

adalah syarat yang disebutkan pada saat proses ijab qabul (az-Zuhaili,

1985; 53).

Secara umum, asy-syurūṭ fi az-zawaj diklasifikasikan menjadi dua,

yaitu asy-syurūṭ aṣ-ṣahīhah dan asy-syurūṭ al-fāsidah. Asy-Syurūṭ aṣ-

ṣahīhah adalah persyaratan yang memenuhi salah satu dari empat kriteria,

yaitu (1) mempunyai landasan dalil syar‟i, (2) sesuai dengan tujuan akad,

(3) bersifat memperkuat tujuan akad, dan (4) sesuai dengan „urf.

Sedangkan Asy-Syurūṭ al-fāsidah adalah persyaratan yang tidak sejalan

dengan salah satu empat kriteria tersebut (az-Zulami, t.th; 252-253).

Mengenai status hukum asy-syurūṭ al-fāsidah dan pengaruhnya

terhadap keabsahan akad nikah di kalangan ulama ada beberapa pendapat.

Perbedaan pendapat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Menurut Hanafiyah, asy-syurūṭ al-fāsidah statusnya batal, namun tidak

berpengaruh kepada keabsahan akad nikah.

2. Menurut Malikiyah, pengguguran hak nafkah dan atau hak mabīt asy-

syurūṭ al-fāsidah adalah batal dan berpengaruh kepada keabsahan akad

nikah. Hal ini bila belum terjadi hubungan badan. Jika syarat tersebut

ditetapkan setelah suami istri melakukan hubungan badan, maka akad

nikah tetap sah, dan syarat tersebut batal.

Page 7: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

112

3. Menurut Syafi‟iyah, asy-syurūṭ al-fāsidah merupakan syarat yang

batal, namun akad nikah tetap sah. Namun apabila syarat tersebut

tujuan utama akad nikah (hubungan badan), maka baik syarat maupun

akad nikah hukumnya batal.

4. Menurut Hanabilah, asy-syurūṭ al-fāsidah merupakan syarat yang batal

namun tidak berpengaruh kepada keabsahan akad nikah. Dalam hal ini

ada pengecualian, yaitu syarat yang memang sudah batal dengan

sendirinya karena ada nash, seperti nikah mut‟ah (az-Zuhaili, 1985; 55-

59).

2. Pendapat Ulama Kontemporer Tentang Pengguguran Hak Nafkah dan Hak

Mabīt dan Keabsahan Akad Nikah

Sebagaimana diketahui bahwa esensi dalam nikah misyār adalah istri

dengan kerelaan hati menggugurkan hak nafkah dan atau hak mabīt.

Dalam konteks pengguguran hak nafkah saja, biasanya posisi istri tidak

harus berstatus istri yang dipoligami. Sedangkan dalam konteks

pengguguran hak nafkah dan hak mabīt, biasanya istri berstatus sebagai

istri yang dipoligami.

Inisiatif menggugurkan hak nafkah dan atau hak mabīt dilakukan oleh

wanita karena dilatarbelakangi tertentu. Misalnya, bagi wanita karir yang

sudah mempunyai pendapatan sendiri dan mapan dari sisi ekonomi, namun

mengalami keterlambatan menikah disebabkan oleh suatu hal. Sebagai

manusia yang normal, tentu wanita tersebut mempunyai keinginan

menikah demi menyalurkan hasrat seksual dan dengan maksud

mendapatkan keturunan. Wanita dengan kondisi ekonomi mapan bisa jadi

Page 8: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

113

membuat laki-laki tidak berani menikahinya. Oleh karena itu, dia

berinisiatif membebaskan hak nafkah kepada laki-laki yang bersedia

menikah dengannya, karena dari sisi ekonomi sudah tercukupi dan dia

hanya membutuhkan terpenuhinya hak-hak lain selain hak yang bersifat

materiil. Begitu pula dengan istri yang dimadu, karena pertimbangan

tertentu dia membebaskan hak gilirannya.

Adanya syarat pengguguran hak nafkah dan atau hak mabīt dalam kaca

mata ulama kontemporer terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat

tersebut bisa diklasifikasikan dalam dua macam, yaitu melegalkan syarat

dan akad nikah, dan membatalkan syarat dan melegalkan akad nikah.

1. Melegalkan syarat dan akad nikah.

Di antara ulama kontemporer yang melegalkan syarat dan akad

nikah adalah Abdul Aziz bin Baz (w. 1999). Dasar pendapat ini adalah

hadits Nabi Muhammad saw. dan adanya kerelaan dan kesepakatan

suami dan istri. Hadits yang menjadi landasan pendapat ini adalah :

أدق : قبل سعل هللا صه هللا عه عهى: ع عقجخ ث عبيش سض هللا ع قبل

سا انجخبس. يب أفزى ي انششط أ رفا ث يب اعزذههزى ث انفشج

“Diriwayatkan dari „Uqbah bin „Amir ra. dia berkata: “Rasulullah

saw. bersabda: “Sesungguhnya suatu syarat yang paling berhak

untuk kalian penuhi adalah syarat-syarat yang kalian gunakan

untuk untuk menghalalkan kemaluan”. (H.R. al-Bukhari) (al-

Bukhari, 2002; 666).

Menurut penulis, ulama yang melegalkan pengguguran hak nafkah

dan atau hak mabīt menggunakan hadits tersebut sebagai dalil naqli

dengan menggunakan pendekatan keumuman makna hadits.

Berdasarkan makna umum hadits tersebut bahwa seseorang harus

Page 9: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

114

memenuhi segala syarat yang dibuat oleh dirinya sendiri, terlebih lagi

untuk diprioritaskan untuk ditepati adalah syarat yang terkait dengan

akad nikah sebagai ikhtiyar untuk menghalalkan hubungan badan (asy-

Syaukani, 2005; 615). Dengan keumuman hadits ini, maka syarat

pengguguran hak nafkah dan hak mabīt sesuai dengan tujuan akad

nikah karena mempunyai nilai manfaat dan maslahat bagi pihak istri

(Qudamah, 1998; 484). Karena syarat tersebut dipandang sebagai

syarat yang sah, maka tidak ada hal yang menghalangi legalitas akad

nikah.

Apabila dirujuk kepada pendapat ulama mazhab, memang ada

pendapat dari Taqiyuddin (salah seorang ulama pengikut mazhab

Ahmad bin Hanbal) yang melegalkan syarat pengguguran hak nafkah.

Apalagi jika memang suami dalam kondisi tidak mampu dan pihak

istri menerima keadaan suami (al-Mardawi, 1956; 165). Selain

berdasarkan hadits, pendapat ini juga didukung oleh dalil logis yaitu

kerelaan istri menggugurkan hak nafkah dan atau hak mabīt.

2. Membatalkan syarat dan melegalkan akad nikah

Ulama kontemporer yang berpendapat bahwa syarat pengguguran

hak nafkah dan atau hak mabīt adalah batal, dan akad nikah tetap sah

diantaranya adalah Wahbah az-Zuhaili dan Umar Sulaiman al-Asyqar.

Secara garis besar mereka berargumentasi bahwa syarat tersebut tidak

sesuai dengan ketentuan dan tujuan akad, dan tidak sejalan dengan

prinsip maqāṣid asy-syarīah yang terdapat dalam pernikahan (al-

Asyqar, 2000; 237-263). Sebagai konsekuensi dari batalnya syarat

Page 10: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

115

tersebut, pihak istri bisa menuntut kembali hak yang digugurkan (al-

Asyqar, 2000; 247).

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dasar pendapat ulama

kontemporer yang membatalkan syarat pengguguran hak nafkah dan

hak mabīt adalah karena syarat tersebut tidak sesuai dengan prinsip-

prinsip pokok dan tujuan akad nikah. Syarat yang seperti ini dalam

terminologi fiqh disebut dengan syarat fāsid.

Menurut penulis, bila dilacak kepada dalil-dalil yang bisa

dijadikan dasar pendapat tersebut, maka ditemukan hadits yang

menguatkannya. Hadits adalah sebagai berikut :

دخم : قبنذ عبئشخ سض هللا رعبن عب :ع انضش قبل عشح ث انضثش

صه هللا عه فقبل سعل هللا ،فزكشد نصه هللا عه عهى سعل هللا عه

صه هللا عه ثى قبو انج ، انالء ن أعزقيب فإ،شزش أعزقإ :عهى

بط شزشط اليب ثبل : ثى قبل ، ي انعش فأث عه هللا ثب أهعهى

، ي اشزشط ششطب نظ ف كزبة هللا ف ثبطم،ششطب نظ ف كزبة هللا

سا انجخبس. ششط هللا أدق أثق،إ اشزشط يبئخ ششط

“Dari Az Zuhri bahwa „Urwah bin Az Zubair berkata: “

„Aisyah ra. berkata: “Rasulullah saw. datang menemuiku lalu

aku ceritakan (peristiwa pembelian budak) kepada beliau.

Pada saat itu juga Rasululah saw. bersabda: “Belilah dan

merdekakanlah, dan hak wala’ bagi yang

memerdekakannya.” Kemudian Nabi saw. berdiri (setelah

selesai melaksanakan) ibadah malam hari, seraya memuji

Allah sebagaimana menjadi hak-Nya, kemudian bersabda:

“Bagaimana jadinya orang-orang menentukan syarat yang

tidak ada dalam kitab Allah. Orang yang membuat syarat

tertentu yang tidak ada di dalam kitab Allah, maka syarat itu

batal sekalipun dia membuat seratus syarat. Karena syarat

yang dibuat Allah lebih hak dan lebih kokoh”. H.R. al-

Bukhari (Al-Bukhari, 2002; 518).

Page 11: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

116

Di samping hadits tersebut, pengguguran hak menerima nafkah dan

hak mabīt sebagai syarat yang batal dianalogikan dengan pengguguran

hak syuf‟ah bagi orang yang mengadakan akad syirkah. Hak syuf‟ah

merupakan hak yang dimiliki oleh pihak-pihak yang melakukan akad

syirkah sebagai konsekuensi dari akad syirkah. Salah satu pihak yang

melakukan akad syirkah tidak boleh menggugurkan hak syuf’ah

sebelum terjadinya akad. Illat antara pengguguran hak nafkah atau hak

mabīt dan hak syuf’ah adalah hak yang timbul akibat hukum dari

legalitas akad (Qudamah, 1997; 385).

Syarat pengguguran hak nafkah dan hak mabīt sebagai syarat batal

secara logika dapat dibenarkan. Karena hak nafkah dan hak mabīt

merupakan hak yang dimiliki istri sebagai akibat hukum dari akad

nikah. Sedangkan syarat pengguguran tersebut bukan bagian yang inti

dalam akad, sehingga apabila dipandang sebagai akad yang batal, tentu

tidak berpengaruh kepada akad nikah, karena akad nikah yang

dilangsungkan sudah sah dengan terpenuhinya syarat dan rukun.

B. Analisa Intinbat Hukum Ulama Kontemporer

1. Analisa Istinbāṭ Hukum Abdul Aziz bin Baz yang membolehkan nikah

misyār

Salah satu ulama kontemporer yang memperbolehkan nikah misyār

adalah Abdul Aziz bin Baz. Menurut Abdul Aziz bin Baz, nikah misyār

secara hukum adalah sah karena dalam prakteknya telah memenuhi syarat

dan rukun sebagaimana yang ditetapkan oleh syara‟ yaitu ada wali,

kerelaan suami dan istri, dihadiri dua saksi yang adil, dan tidak ada hal-hal

Page 12: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

117

yang menghalangi keabsahan nikah ini. Selain alasan tersebut, pendapat

Abdul Aziz bin Baz dikuatkan dengan hadits Nabi sebagai berikut:

انصهخ جبئض ث : صه هللا عه عهى قبل سعل هللا : قبلع أث ششح

قبل سعل هللا صه هللا عه . انغه إال صهذب أدم دشايب أ دشو دالال

. سا أث داد . انغه عه ششطى:عهى

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah saw. bersabda:

Damai itu itu diperbolehkan antara umat Islam kecuali damai yang

menghalalkan perkara haram atau mengharamkan perkara yang halal.

Rasulullah saw juga bersabda: “Kaum muslimin itu wajib

melaksanakan berbagai persyaratan yang mereka sepakati.” (HR. Abu

Dawud) (As Sajistani, 2009; 445)

Sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Aziz bin Bazz bahwa pemenuhan

syarat-syarat nikah sudah masuk dalam keumuman hadits. Sehingga

menurut penulis, hadits tersebut digunakan oleh Abdul Aziz bin Bazz

tidak hanya terkait syarat dan rukun yang menjadi legitimasi nikah misyār,

tetapi juga menjadi dasar atas persyaratan pengguguran hak nafkah, tempat

tinggal dan giliran pemenuhan hasrat biologis. Karena memang hadits

tersebut bersifat umum.

Secara umum dan menjadi suatu kelaziman di kalangan ahli hukum

Islam (fuqaha‟) dalam menetapkan keabsahan suatu akad dengan melihat

pada terpenuhinya syarat dan rukun. Begitu pula dalam menetapkan

batalnya suatu akad dengan parameter tidak terpenuhinya syarat dan

rukun. Melihat terpenuhi atau tidaknya syarat dan rukun sebagai alat ukur

menilai keabsahan suatu perbuatan hukum (termasuk juga akad) adalah

tidak dapat dihindari. Sehingga bisa dipertegas bahwa perbuatan hukum

yang sah adalah tindakan yang dilakukan oleh mukallaf yang memenuhi

syarat dan rukun, dilaksanakan sesuai dengan praktek yang diajarkan, dan

Page 13: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

118

berdampak terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum syar‟i (az-

Zuhaili, 1986; 105) Dengan ditetapkan sebagai tindakan yang sah, maka

otomatis mempunyai akibat hukum. Kalau dalam bidang ibadat, implikasi

dari perbuatan yang sah adalah gugurnya kewajiban melaksanakan

perbuatan hukum. Dalam bidang muamalat, implikasi dari perbuatan yang

sah adalah timbulnya hak dan kewajiban yang mengikat orang yang

melakukan mu‟amalat (al-Khin, 2000; 328).

Bila dirujuk kepada kaidah fiqhiyyah, maka pendapat Abdul Aziz bin

Baz yang membolehkan nikah misyār menggunakan kaidah fiqhiyah

berikut:

األصم ف انعقد انششط انجاص انصذخ

“Pada dasarnya hukum yang berlaku dalam akad dan bentuk

persyaratan adalah boleh dan sah” (Mushtofa, 2006; 815).

Kaidah fiqhiyah tersebut tentu hanya diterapkan pada akad dan persyaratan

atau perjanjian yang tidak dijelaskan dalam al-Qur‟an maupun Sunnah.

Tidak bisa diterapkan terhadap akad yang sudah ada dasar hukumnya dari

al-Qur‟an maupun Sunnah. Misalnya akad, perjanjian atau kasus hukum

kontemporer yang muncul seiring dengan dinamika sosial dan

eksistensinya dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam posisi seperti ini, nikah

misyār merupakan salah satu kasus hukum kontemporer dan secara jelas

tidak ada dalil al-Qur‟an maupun Sunnah yang secara jelas menjelaskan

status hukumnya. Kaidah fiqhiyah tersebut juga merupakan kaidah yang

menjabarkan metode istinbāṭ hukum yang disebut dengan istilah istiṣhāb.

Page 14: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

119

Dalam ushul fiqh, istiṣhāb adalah menetapkan berlakunya suatu

hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang asalnya

tidak ada sampai ada bukti yang mengubah keadaanya (M. Zein, 2005;

159). Istiṣhāb sendiri merupakan metode menetapkan hukum yang banyak

digunakan oleh ulama Hanabilah dan mereka banyak menerapkannya

dalam menetapkan hukum yang berhubungan dengan masalah akad dan

muamalat. Dengan metode istinbāṭ ini, ulama Hanabilah menetapkan

bahwa pada dasarnya hukum berlaku dalam bidang muamalat adalah boleh

(al-ibāhah) selama belum ada dalil yang menetapkan hukum lain (at-

Turki, 1990; 423). Hukum al-ibāhah sebagai hukum asal dalam bidang

muamalat juga dijadikan pijakan ulama Hanabilah dalam menetapkan

hukum yang menyangkut kebutuhan pangan manusia. Seperti disebutkan

dalam kaidah berikut:

األصم ف االشبء اإلثبدخ

“Dasar pokok bagi segala sesuatu adalah boleh” (Mushtofa,

2006; 191)

Dengan paparan diatas, menurut analisis penulis bahwa Abdul Aziz

bin Baz dalam menetapkan hukum diperbolehkannya nikah misyār

menggunakan metode istiṣhāb al-ibāhah al-aṣliyah yaitu istiṣhāb yang

didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah.

2. Analisa Istinbāṭ Hukum Wahbah az-Zuhaili yang memakruhkan

nikah misyār

Di antara ulama kontemporer yang membolehkan tetapi makruh

adalah Wahbah az-Zuhaili (l. 1932). Wahbah az-Zuhaili berpendapat

Page 15: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

120

bahwa nikah misyār dilihat dari sisi akad adalah sah, karena memenuhi

semua rukun dan syarat yang ditetapkan oleh syara‟. Pendapat tersebut

didasarkan kepada kaidah :

األصم ف انعقد انششعخ اإلثبدخ

“hukum asal yang berlaku dalam masalah akad adalah boleh” (az-

Zuhaili, 1985; 207)

Kaidah tersebut mencakup semua akad –termasuk akad nikah- yang telah

memenuhi syarat dan rukun yang ditetapkan oleh syara‟ adalah sah dan

boleh. Keabsahan tersebut dengan catatan selama akad tidak dijadikan

sebagai sarana untuk melakukan perbuatan yang diharamkan seperti nikah

tahlīl, nikah yang dibatasi waktu dan nikah mut’ah. Sekalipun nikah

misyār dilihat dari sisi akadnya adalah sah, namun karena nikah seperti ini

pada umumnya tidak bisa merealisasikan tujuan nikah maka nikah misyār

menjadi makruh (az-Zuhaili, 2000; 176). Sebab dalam nikah misyār istri

menggugurkan hak nafkah dan giliran bermalam (hak mabīt). Dengan

adanya syarat istri menggugurkan hak nafkah dan giliran bermalam bisa

menyebabkan suami tidak mempunyai tanggung jawab dalam membina,

melindungi, membuat tentram dan membantu istri dalam berbagai

persoalan kehidupan rumah tangga. Padahal baik suami maupun istri

berkewajiban melindungi dan menjaga pasangan dan akan diminta

pertanggungjawabannya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

: ععذ سعل هللا صه هللا عه عهى قل: قبلض هللا عب اث عش ع

كهكى ساع يغئل ع سعز، اإليبو ساع يغئل ع سعز، انشجم ساع ف

أه يغئل ع سعز، انشأح ف ثذ صجب يغئنخ ع سعزب، انخبدو

Page 16: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

121

.سا انجخبس. ف يبل عذ ساع يغئل ع سعز

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. berkata: “Saya mendengar

Rasulullah saw. bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan

diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam

(kepala negara) adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung

jawaban atas rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah

pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas keluarganya.

Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga

suaminya dan akan diminta pertanggung jawaban atas urusan rumah

tangga tersebut. Seorang pembantu dalam urusan harta tuannya

adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas urusan

tanggung jawabnya tersebut”. (H.R. Bukhari). (al-Bukhari, 2002;

580)

Dengan adanya pembebasan suami dari tanggung jawab memberi

nafkah, menyediakan tempat tinggal, dan menentukan giliran berarti sama

dengan meniadakan prinsip moral dan nilai-nilai kehidupan kebersamaan

yang dibangun atas dasar saling menolong, menciptakan ketenangan dan

mendapatkan ketentraman hati. Sebab suatu pernikahan tidak hanya

sekedar menyangkut masalah materi dan memenuhi kebutuhan biologis.

Namun pernikahan adalah ikatan yang mulia yang digambarkan oleh al-

Qur‟an dengan istilah mitsaq ghalidza. Dengan pertimbangan hal-hal

tersebut, maka bisa dijelaskan bahwa nikah misyār bertentangan dengan

maqāṣid asy-syariah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam asy-Syathibi

dan ulama lainnya. Karena itu, nikah ini dilarang dengan pendekatan sad

adz-dzariah demi terlindunginya nasab dan kehormatan keturunan az-

Zuhaili, 2007; 92)

Menurut penulis, pendapat Wahbah az-Zuhaili tersebut mengikuti

kaidah yang disepakati oleh mayoritas ulama. Mayoritas ulama sepakat

Page 17: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

122

bahwa hukum asal yang berlaku dalam akad-akas syar‟i adalah mubah.

Sebagaimana disebutkan dalam kaidah fiqhiyah :

األصم ف انعقد انششعخ اإلثبدخ

“hukum asal yang berlaku dalam masalah akad adalah boleh

(ibahah).

Langkah mengikuti pendapat mayoritas ulama dalam menentukan

keabsahan akad merupakan pedoman beliau dalam mensikapi munculnya

aneka ragam bentuk akad, termasuk akad nikah. Dalam masalah ini,

istinbāṭ hukum yang dilakukan oleh Wahbah az-Zuhaili adalah

menggunakan pendekatan kaidah fiqhiyah. Kaidah fiqhiyah sendiri

merupakan rujukan dalam metode istinbāṭ hukum setelah tidak ditemukan

dasar dari dalil-dalil hukum yang asasi, sebab kaidah fiqhiyah yang sudah

dirumuskan oleh para ulama fiqh mencakup aspek filosofis hukum dan

mempunyai landasan dalil nash. Kaidah fiqhiyah juga membantu sekali

bagi praktisi hukum untuk mengetahui alasan-alasan hukum sehingga bisa

digunakan dalam permasalahan hukum kontemporer (Al-Qahthani, 2010;

456)

Terkait dengan penetapan hukum nikah misyār, Wahbah az-Zuhaili

dalam menetapkan hukum mengacu kepada konsep maqāṣid asy-syarīah

yang secara khusus terkait dengan tujuan disyariatkannya nikah. Dalam

konteks istinbāṭ hukum, memahami maqāṣid asy-syarīah mempunyai

peran yang sangat penting. Karena pemahaman terhadap maqāṣid asy-

syarīah merupakan kunci utama dalam melakukan istinbāṭ hukum. Dalam

melakukan istinbāṭ hukum, langkah yang pertama adalah melakukan

Page 18: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

123

penelitian terhadap nash-nash al-Qur‟an. Jika ditemukan dalil yang

menjelaskan maka yang dijadikan dasar hukum adalah dalil tersebut. Jika

tidak menemukan dalil dari al-Qur‟an, maka harus menelusuri hadits-

hadits mutawatir. Kalau tidak ditemukan hadits mutawatir, baru

menelusuri hadits ahad. Apabila tidak ditemukan juga, maka harus melihat

maqasid asy-Syariah dan aspek maslahatnya terlebih dahulu, setelah itu

baru diterapkan pada metode-metode ijtihad (qiyas, istihsan maupun

lainnya) yang relevan (al-Yubi, 1998; 105).

Maqāṣid asy-syarīah yang menjadi pertimbangan pendapat

Wahbah az-Zuhaili adalah konsep maqāṣid asy-syarīah tentang nikah yang

dijelaskan oleh asy-Syathibi. Menurut asy-Syathibi, disyariatkannya nikah

mempunyai tujuan yang bersifat pokok (aṣliyah) dan ada yang bersifat

pelengkap (tābi’ah). Tujuan utama disyariatkannya nikah adalah untuk

memperoleh keturunan demi kelangsungan hidup. Tujuan pelengkapnya

meliputi mendapatkan ketenangan, saling tolong menolong dalam

mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat, memperoleh kesenangan

dengan dihalalkannya hubungan badan, mengambil pelajaran dari

keindahan ciptaan Allah yang melekat pada diri seorang istri, menjaga diri

dari syahwat kemaluan dan pandangan, dan lainnya. Tujuan-tujuan nikah

tersebut merupakan tujuan yang ditetapkan oleh asy-syari‟ dari

diperintahkannya nikah, baik melalui nash secara langsung („ibārat an-

naṣ), isyārat an-naṣ, atau melalui dalil lain dan hasil penelitian dari nash.

Sekalipun berdasarkan petunjuk nash bahwa tujuan-tujuan tersebut bersifat

pelengkap, namun keberadaannya berfungsi untuk menetapkan tujuan

Page 19: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

124

utama nikah, memperkuat hikmah dan faktor yang mendorong orang

melakukan nikah untuk mencapai tujuan utama. Oleh karena itu, Tujuan-

tujuan nikah yang walaupun tidak dijelaskan secara langsung oleh nash,

namun mempunyai makna munasabah (kesesuaian) dengan tujuan nikah

yang ditetapkan nash, maka tujuan tersebut termasuk kategori tujuan nikah

yang ditetapkan asy-Syari‟ (asy-Syathibi. 2004; 354).

Secara jelas Wahbah az-Zuhaili menyatakan „illat dimakruhkannya

nikah misyār karena praktek nikah ini tidak merealisasikan kehidupan

rumah tangga yang sakinah mawadah dan rahmah.

Dalam analisis penulis, penetapan „illat tersebut bisa diistilahkan

dengan ta’līl bi al-hikmah, karena yang menjadi „illat adalah hikmah dari

pernikahan yaitu terciptanya kondisi keluarga yang sakinah, mawadah dan

rahmah. Ta’līl bi al-hikmah sendiri masih diperdebatkan di kalangan

ulama ushuliyyun terkait dengan keberadaan hikmah sebagai sesuatu yang

tidak jelas dan tidak terukur (gair munḍabiṭ) dan akan mengalami

perbedaan sesuai dengan kondisi pelaku, waktu, dan tempat (an-Namlah,

1999; 2121). Namun ta’līl bi al-hikmah mempunyai peran penting dalam

menetapkan hukum berdasarkan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan,

seperti istihsān, istiṣlāh, sad aż-żariah, dan istiṣhāb.

Sedangkan dipilihnya hukum makruh bukan haram, menurut

analisa penulis, disebabkan oleh terminologi makruh itu sendiri. Dalam

ushul fiqh, makruh adalah sesuatu yang dilarang oleh syara‟ dengan

larangan yang tidak kuat. Atau bisa juga diartikan suatu perbuatan yang

Page 20: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

125

bagi orang yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan bagi orang

yang melakukannya tidak mendapat siksa.

Menurut al-Ghazali (w. 505 H), istilah makruh menurut ulama

klasik merupakan mempunyai banyak arti. Di antara arti-arti tersebut

adalah al-mahẓūr (larangan). Misalnya, Imam asy-Syafi‟i (w. 204 H)

sendiri sering menggunakan kata „akrahu’ (saya tidak suka), namun yang

dikehendaki adalah haram. Bisa juga digunakan untuk menunjukkan arti

“lebih baik meninggalkan daripada melakukan”. Bisa juga diartikan

“meninggalkan sesuatu yang lebih baik karena mengandung nilai-nilai

keutamaan yang apabila perbuatan tersebut dikerjakan. Dan bisa dijuga

diartikan untuk menunjukkan sesuatu yang masih diragukan

keharamannya. Arti yang terakhir ini dalam wilayah ijtihad menjadi

pegangan bagi orang yang mempunyai pendapat bahwa hasil ijtihad yang

benar hanya satu (Al-Ghazali, 1997; 67). Dengan adanya pengakuan

bahwa hasil ijtihad yang benar hanya satu, maka seorang mujtahid tidak

yakin terhadap hukum haram atau mubah yang akan diterapkan dalam

suatu masalah membuat mujtahid mengambil jalan tengah antara haram

dan mubah, dan makruh adalah hukum yang berada di antara mubah dan

haram, atau setidaknya bahwa makruh adalah tingkatan larangan yang

paling rendah (adnā marātib an-nahyi) (Utsaimin, 1427 H; 344). Di

samping analisis tersebut, posisi makruh dalam wilayah hukum taklifi

adalah hukum yang berada di antara mubah dan haram.

Kemudian, alasan lain yang menjadi dasar pendapat Wahbah az-

Zuhaili adalah karena nikah misyār tidak berorientasi kepada terwujudnya

Page 21: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

126

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah adalah

pernikahan yang bertentangan prinsip pernikahan yang terkandung dalam

surat ar-Rum ayat 21 :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung

dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu

rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Al-

Qur‟an dan Terjemahnya, 1418 H; 644)

Bila diimplementasi dalam nikah misyār, maka satu sisi nikah ini

dapat dibenarkan (boleh) bila bertujuan untuk menjaga penglihatan dan

kemaluan, namun di sisi lain nikah misyār bisa tidak dibolehkan karena

tidak sesuai dengan prinsip dan tujuan nikah yaitu terciptanya kehidupan

rumah tangga yang diliputi ketentraman dan kasih sayang dan tidak

adanya kewajiban suami memberi nafkah terhadap istri. Maka hukum

makruh dalam nikah misyār merupakan jalan tengah antara mubah dan

haram.

Bila dikaitkan dengan pendekatan sad aż-żariah, terminologi

makruh yang dipakai oleh Wahbah az-Zuhaili merupakan produk hukum

dari perbandingan antara maslahat dan mafsadat yang terdapat dalam

nikah misyār. Wahbah az-Zuhaili mengakui bahwa nikah misyār

mempunyai nilai positif (maslahat) yang banyak sekali, yaitu membantu

bagi pihak istri dalam menyalurkan hasrat seksualnya dengan cara yang

benar sehingga terhindar dari perbuatan asusila. Bahkan dengan jalan ini,

Page 22: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

127

pihak istri bisa mendapatkan keturunan, dan sekaligus merupakan jalan

untuk menimalisir kaum „awānis (perawan-perawan tua) yang mengalami

keterlambatan menikah. Sebab usaha pihak istri untuk menjaga

kehormatannya –walaupun dengan jalan nikah misyār- merupakan upaya

yang sesuai dengan naluri dan fitrahnya sebagai manusia dan juga demi

menjaga martabatnya dalam kehidupan sosial. Apabila ada seorang laki-

laki yang menikah dengan wanita-wanita tersebut dengan tujuan menjaga

kehormatan, maka tujuan laki-laki benar menurut syara‟ (az-Zuhaili, 2007;

92).

Di samping sisi maslahat tersebut, nikah misyār mempunyai sisi

mafsadat, yaitu tidak tercapainya ketenangan dan kasih sayang dalam

kehidupan rumah tangga. Karena suami merasa tidak mempunyai

tanggung jawab memenuhi nafkah dan tidak menetapkan hak mabīt yang

berujung tidak adanya ketentraman dan keharmonisan dalam rumah

tangga. Alasan lainnya adalah bahwa nikah bukan hanya sekedar sarana

untuk menyangkut masalah materi dan memenuhi kebutuhan biologis.

Namun pernikahan adalah ikatan yang mulia yang digambarkan oleh al-

Qur‟an dengan istilah mītsāqā galīẓā (az-Zuhaili, 2007; 92).

Maka dengan membandingkan antara sisi maslahat dan mafsadat –

dengan pendekatan sad az-zariah- dipandang bahwa pada dasarnya nikah

misyār adalah boleh, tetapi nikah misyār mempuyai sisi maslahat dan

mafsadat. Dan sisi mafsadat yang ditimbulkan dari nikah misyār tidak

begitu besar. Oleh karena itu, nikah misyār hukumnya makruh.

Page 23: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

128

Kemakruhan nikah misyār bisa juga dilihat dari motif orang yang

melakukannnya. Hal ini mengaju kepada hukum-hukum yang terkait

dengan nikah, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh bahkan haram. Hukum

nikah menjadi makruh bagi orang yang jika kawatir dirinya akan

melakukan tindakan menyakiti istri atau terjerumus ke dalam tindak

asusila, namun kekawatiran tersebut tidak sampai pada level keyakinan.

Kekawatiran tersebut bisa disebabkan karena tidak mampu memberi

nafkah, tidak bisa bergaul secara baik atau tidak tertarik kepada wanita

(az-Zuhaili, 1985; 32)

Dalam pandangan penulis, argumentasi lain yang bisa mendukung

kemakruhan nikah misyār adalah apabila pelaku nikah misyār tidak

dilatarbelakangi oleh faktor al-ḥājah. Faktor al-ḥājah sebagai

pertimbangan dalam menetapkan hukum ibahah memang bisa diterapkan

dalam kasus yang tidak ada keterangan nash secara jelas dan tidak ada

kasus hukum lain yang dapat dijadikan rujukan ilḥāq, tetapi kasus tersebut

mempunyai nilai manfaat dan maslahat (az-Zarqa, 1989; 210). Faktor al-

ḥājah yang menjadi dasar diperbolehkannya nikah misyār juga bisa

didukung dengan kaidah fiqhiyah di antaranya adalah :

انكشاخ رضل ثبنذبجخ

Makruh itu bisa berubah (menjadi mubah) bila didasari oleh faktor

kebutuhan” (Kafi, 2004; 130)

Dengan paparan di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa aspek

yang dasar diperbolehkannya nikah misyār adalah :

1. Berdasarkan terpenuhinya syarat dan rukun nikah.

Page 24: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

129

2. Adanya nilai positif (maslahat) dalam nikah misyār, yaitu maslahat

hajjiyat.

Sedangkan kemakruhannya adalah apabila nikah misyār dilakukan

dengan tanpa faktor al-ḥājah (kebutuhan yang mendesak) dan motif

pelaku yang hanya menyalurkan hasrat biologis saja. Karena alasan-

alasan ini tidak sesuai dengan tujuan pokok disyariatkannya nikah.

3. Analisa Istinbāṭ Hukum Umar Sulaiman al-Asyqar yang tidak

membolehkan nikah misyār.

Umar bin Sulaiman al-Asyqar adalah salah satu dari ulama

kontemporer yang menetapkan bahwa nikah misyār hukumnya tidak

boleh. Menurutnya, nikah misyār tidak dapat diterima berdasarkan

ketentuan-ketentuan syar‟i. Berikut ini beberapa argumentasi pendapat

Umar bin Sulaiman al-Asyqar (Al-Asyqar, 2000; 236-248):

Pertama, praktek nikah misyār tidak sejalan dengan nikah yang

digariskan oleh syari‟at Islam. Bila diamati dengan seksama nikah misyār

tidak sesuai dengan ketentuan syar‟i yang menyangkut masalah

perkawinan. Di samping itu, umat Islam tidak mengenal nikah misyār

sebagaimana mereka mengenal nikah-nikah yang umum berlaku.

Kedua, baik suami maupun istri yang melakukan nikah misyār

tidak mempunyai maksud untuk mencapai tujuan-tujuan nikah yang

ditetapkan oleh syari‟ (Allah). Syari‟ menghendaki bahwa perkawinan

dibangun diatas prinsip mawaddah dan rahmah dan dapat menjadi wahana

membina generasi yang shalih, suami dan istri melaksanakan

kewajibannya. Sedangkan nikah misyār ini bertolak belakang dengan

Page 25: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

130

tujuan-tujuan nikah tersebut. Oleh karena itu, tidak dapat diterima apabila

tujuan seorang muslim dalam menikah tidak sesuai dengan tujuan syari‟.

Ketiga, hilangnya kepemimpinan suami dalam rumah tangga.

Sebagaimana diketahui bahwa posisi suami dalam keluarga adalah

pemimpin yang mempunyai kewajiban memberi nafkah kepada istrinya.

Dengan tidak adanya kepemimpinan suami dalam rumah tangga bisa

menyebabkan istri tidak patuh kepada suami, sehingga dia merasa

mempunyai kebebasan.

Keempat, istri menjadi pihak yang direndahkan martabatnya. Hal

ini karena istri -di mata suami- hanya dipandang sebagai obyek penyaluran

hasrat seksual. Sementara suami biologisnya saja tanpa dibebani

kewajiban memberi nafkah dan menyediakan tempat tinggal.

Kelima, nikah misyār bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan

hal-hal yang negatif. Praktek nikah ini tidak jauh dari perzinahan, karena

adanya praktek mempermudah mahar, suami tidak menanggung beban

tanggung jawab keluarga, sehingga bagi pihak suami akan mudah

menjatuhkan talak sebagaimana dia merasakan kemudahan dalam

melakukan nikah misyār, melangsungkan nikah secara sembunyi-

sembunyi dan boleh jadi tanpa wali. Semua hal tersebut menjadikan nikah

misyār sebagai permainan bagi orang yang hanya menuruti hawa nafsu

saja dalam melangsungkan perkawinan.

Keenam. sebagaimana Nabi Muhammad saw. menganjurkan agar

nikah tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam prakteknya

orang yang melakukan nikah misyār merahasiakan pernikahannya, dan

Page 26: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

131

bahkan kadang saudara-saudaranya tidak mengetahui pernikahannya. Dia

menyembunyikan pernikahannya karena ada rasa malu dengan cara nikah

seperti ini, dan hanya demi memenuhi kebutuhan biologis saja.

Menurut penulis, dalam kaitannya dengan metode istinbāṭ hukum

Umar Sulaiman al-Asyqar melakukan at-takyīf al-fiqhi, yaitu upaya

mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap permasalahan

hukum yang terjadi dan mencari dalil-dalil yang bisa dijadikan rujukan

untuk menetapkan hukum (Syabir, 2014; 30). Karena menyangkut masalah

nikah misyār, maka yang harus dipahami terlebih dahulu adalah hakekat

nikah misyār dan segala sesuatu yang terkait dengan nikah misyār.

Pemahaman ini menjadi sangat penting karena hukum yang akan diambil

banyak dipengaruhi oleh sejauh mana pemahaman terhadap perkara

hukum yang sedang dicari hukumnya. Dari pemahaman akan hal-hal yang

terkait dengan nikah misyār, menurut penulis, Umar bin Sulaiman al-

Asyqar mengambil kesimpulan bahwa nikah misyār adalah bentuk nikah

yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh syariat

Islam (al-Asyqar, 2000; 246). Menurut penulis, kesimpulan tersebut

adalah hasil dari perbandingan antara nikah syar’i dengan nikah misyār.

Memang kalau dicermati secara mendalam akan ditemukan

perbedaan antara nikah misyār dengan nikah syar‟i. Secara prinsipil, yang

membedakan antara nikah misyār dan nikah syar‟i adalah syarat

pengguguran sebagian hak-hak istri, yaitu hak nafkah dan hak mabīt (Al-

Asyqar, 2000: 165). Dengan pengguguran hak-hak tersebut, semakin jelas

bahwa nikah misyār bukan bentuk pernikahan yang biasa berlaku di

Page 27: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

132

masyarakat. Dalam pernikahan yang biasa berlaku di masyarakat, kedua

pihak (suami dan istri) bisa merasakan kenikmatan hidup dalam rumah

tangga dengan terpenuhi semua hak-haknya. Sementara dalam nikah

misyār kedua pihak tidak terpenuhi sebagian hak-haknya. Mereka yang

menjalani nikah misyār memang dilatarbelakangi oleh beberapa keadaan

yang menyebabkan mereka menerima bentuk nikah misyār.

Setelah memahami seluk beluk nikah misyār, Umar bin Sulaiman

al-Asyqar melihat kepada aspek maqāṣid asy-syarīah sebagai pendekatan

istinbāṭ hukum sebelum menentukan metode istinbāṭ yang tepat.

Maqāṣid asy-syarīah yang terkait dengan tujuan nikah yang

menjadi acuan Umar bin Sulaiman al-Asyqar dalam melakukan istinbāṭ

hukum adalah bahwa nikah disyariatkan untuk mencapai kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah, terciptanya yang baik antara

suami dan istri, dan merupakan sarana untuk mendapatkan keturunan.

Tujuan-tujuan tersebut termasuk dalam kategori maslahah mu’tabarah,

karena berlandasakan kepada dalil nash, yaitu ayat 21 surat ar-Rum:

“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung

dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu

rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Al-

Qur‟an dan Terjemahnya, 1418 H; 644)

Sekalipun tercapainya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah

dan rahmah –dalam konsep maqāṣid asy-syarīah- adalah tujuan nikah

Page 28: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

133

yang bersifat pelengkap, namun tujuan tersebut merupakan sendi-sendi

kehidupan rumah tangga yang berorientasi tercapainya tujuan utama nikah

yiatu hifẓ an-nasl.

Berdasarkan tujuan nikah tersebut, Umar bin Sulaiman al-Asyqar

menarik kesimpulan bahwa tujuan orang yang melakukan nikah yang tidak

sesuai dengan tujuan asy-syari’ merupakan tujuan yang tidak dapat

diterima. Kesimpulan Umar bin Sulaiman al-Asyqar ini, menurut penulis,

hanya menekankan pada aspek tujuan nikah yang bersifat pelengkap

(taba’iyah). Sedangkan di bagian lain, disebutkan bahwa salah satu tujuan

disyariatkannya nikah adalah melindungi diri agar tidak terjerumus dalam

perzinahan atau tindakan asusila lainnya dengan cara melampiaskan hasrat

seksual pada jalan yang benar yaitu nikah. Penyaluran hasrat seksual

dengan cara halal juga merupakan langkah untuk menjaga kemaluan. Hal

ini secara jelas diperintahkan Allah sebagaimana dijelaskan dalam surat al-

Mu‟minun ayat 5 :

“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”. (Al-Qur‟an dan

Terjemahnya, 1418 H; 526)

Sebagai tindak lanjut setelah menggunakan pendekatan maqāṣid

asy-syarīah adalah menentukan metode istinbāṭ hukum yang tepat. Dalam

menentukan metode istinbāṭ hukum, hal yang harus diperhatikan adalah

aspek maslahat dan mafsadat dari permasahan hukum. Diperhatikan

Page 29: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

134

dengan cermat dengan cara mengkomparasikan antara sisi maslahat dan

dan sisi mafsadat untuk diketahui sisi mana yang lebih dominan.

Dalam nikah misyār, menurut Umar bin Sulaiman al-Asyqar ada

beberapa sisi mafsadatnya, yaitu:

1. Istri tidak patuh kepada suami disebabkan oleh tidak adanya

kepemimpinan suami. Dengan tidak adanya kepemimpinan suami

dalam rumah tangga bisa menyebabkan istri tidak patuh kepada suami,

sehingga dia merasa mempunyai kebebasan.

2. Istri menjadi pihak yang direndahkan martabatnya. Karena suami

menganggap isri sebagai obyek penyaluran hasrat seksual. Sementara

suami biologisnya saja tanpa dibebani kewajiban memberi nafkah dan

menyediakan tempat tinggal.

3. Nikah misyār bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan hal-hal yang

negatif. Praktek nikah ini tidak jauh dari perzinahan, karena adanya

praktek mempermudah mahar, suami tidak menanggung beban

tanggung jawab keluarga, sehingga bagi pihak suami akan mudah

menjatuhkan talak sebagaimana dia merasakan kemudahan dalam

melakukan nikah misyār, melangsungkan nikah secara sembunyi-

sembunyi dan boleh jadi tanpa wali. Semua hal tersebut menjadikan

nikah misyār sebagai permainan bagi orang yang hanya menuruti hawa

nafsu saja dalam melangsungkan perkawinan.

Dengan mempertimbangkan beberapa sisi mafsadat tersebut, Umar

bin Sulaiman al-Asyqar berpendapat bahwa nikah misyār hukumnya tidak

boleh. Menurut penulis, menetapkan hukum berdasarkan pertimbangan

Page 30: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

135

mafsadat yang akan muncul di kemudian hari adalah menetapkan hukum

berdasarkan metode sad aż-żarīah. Sad aż-żarīah adalah mencegah

sesuatu yang menurut hukum aslinya adalah mubah karena mengandung

maslahat karena dijadikan sebagai sarana untuk hal-hal yang dilarang.

Dalam mengoperasionalkan sad aż-żarīah ada dua hal yang harus

diperhatikan yaitu al-maqāṣid (tujuan) dan al-wasāil (perantara). Al-

Maqāṣid adalah tujuan-tujuan yang bisa berupa maslahat dan mafsadat.

Sedangkan al-wasāil adalah perantara-perantara yang menghubungkan

kepada al-maqāṣid. Salah satu parameter yang terkait dengan al-wasāil

adalah an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl, yaitu mencermati akibat atau hasil

akhir suatu perbuatan (al-Husain, 2009; 33). Sebab suatu perbuatan

yang dibenarkan dalam hukum Islam untuk dilakukan, bisa saja

berujung pada kebalikan akibat yang hendak dituju, baik karena alasan

maslahat yang mungkin dicapai, ataupun karena alasan mafsadah yang

mungkin ditinggalkan. Dengan kata lain, maslahat yang pada mulanya

ingin dicapai melalui perbuatan itu, justeru berakibat mafsadah yang

bisa saja setara kadarnya atau bahkan lebih. Hal ini tentunya bisa saja

menjadi penghalang bagi kondisi perbuatan itu yang pada mulanya

boleh dilakukan.

Dalam pandangan asy-Syathibi, an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl

termasuk cara penetapan hukum yang mu’tabar (diakui) oleh ulama

ushul fiqh. Seorang mujtahid sebelum menetapkan hukum suatu

perbuatan harus mempertimbangkan terlebih dahulu akibat hukum

Page 31: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

136

yang akan timbul dan yang diterima oleh pelaku hukum (asy-Syathibi,

2004; 837).

Secara teoritis, an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl bisa mempengaruhi

perubahan hukum. Salah satu bentuk perubahan hukum tersebut

adalah perubahan dari mubah menjadi haram. Perbuatan yang mubah

tetapi menjadi perantara kepada perbuatan yang dilarang, maka

perbuatan mubah tersebut dilarang. sekalipun tujuan orang yang

melakukan perbuatan mubah tersebut sesuai dengan hukum syara‟.

Karena tujuan syari‟ yang sebenarnya tidak ditemukan dalam

perbuatan tersebut dan hasil atau dampak akhir berujung kepada hal

yang dilarang (al-Husain, 2009; 345).

Dengan pertimbangan bahwa nikah misyār akan banyak

menimbulkan banyak dampak negatif (mafsadat) yang akan muncul di

kemudian hari dibandingkan dengan sisi maslahatnya, maka dengan

metode sad aż-żarīah dan pendekatan an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl

nikah misyār hukumnya tidak boleh. Di samping dengan metode sad

aż-żarīah dan pendekatan an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl tidak

dibolehkannya nikah misyār dilihat dari sisi motip pelakunya yang

menjadikan nikah sebagai sarana untuk mencari kepuasan seksual.

Nikah dengan hanya sekedar mencari kepuasan seksual jelas tidak

selaras dengan prinsip-prinsip nikah yang diajarkan oleh al-Qur‟an

dan Sunnah Rasul. Pelaku nikah misyār melakukan hilah hukum agar

bisa perbuatannya bisa dibenarkan.

Page 32: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

137

Setelah menganalisa pendapat ulama kontemporer tentang

hukum nikah misyār dari sisi pendekatan istinbāṭ hukum, maka

penulis cenderung kepada pendapat al-ibāhah bi al-karāhah dengan

argumentasi bahwa dilihat dari sisi hukum asal dari nikah adalah mubah.

Kemudian sisi yang menjadikan makruh karena praktek nikah misyār

mempunyai dampak positif (maslahat) dan dampak negatif (mafsadat). Di

antara sisi negatifnya adalah pasangan suami-istri dalam nikah misyār

akan cenderung meremehkan kewajiban masing-masing yang berujung

tidak terciptanya kehidupan rumah tangga yang harmonis. Namun, sisi

positifnya, nikah misyār bisa menjadi solusi bagi wanita yang dalam

kondisi tertentu (misalnya telat nikah atau janda yang membutuhkan

suami) dalam mencapai keinginannnya untuk menjaga diri, kehormatan

dan sekaligus keinginan untuk mempunyai keturunan.

C. Sebab Perbedaan Pendapat

1. Perbedaan pendapat tentang syarat pengguguran hak nafkah atau hak

mabīt

Sebagaimana dijelaskan bahwa syarat pengguguran hak nafkah

atau hak mabīt di kalangan ulama kontemporer terjadi perbedaan

pendapat. Abdul Aziz bin Baz memandang bahwa syarat yang ṣahīh

dengan berdasarkan kepada hadits:

أدق : قبل سعل هللا صه هللا عه عهى: ع عقجخ ث عبيش سض هللا ع قبل

سا انجخبس. يب أفزى ي انششط أ رفا ث يب اعزذههزى ث انفشج

“Diriwayatkan dari „Uqbah bin „Amir ra. dia berkata: “Rasulullah

saw. bersabda: “Sesungguhnya suatu syarat yang paling berhak

untuk kalian penuhi adalah syarat-syarat yang kalian gunakan

untuk untuk menghalalkan kemaluan”. (H.R. al-Bukhari) (al-

Bukhari, 2002; 666).

Page 33: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

138

Hadits ini dipahami secara umum oleh Abdul Aziz bin Baz yang

melegalkan syarat pengguguran nafkah dan atau hak mabīt, sehingga

syarat ini masih dalam kategori asy-syurūṭ aṣ-ṣahīhah.

Sedangkan Wahbah az-Zuhaili dan Umar Sulaiman al-Asyqar

berpendapat bahwa syarat pengguguran hak nafkah atau hak mabīt

adalah syarat yang batal dengan mendasarkan kepada hadits:

دخم : قبنذ عبئشخ سض هللا رعبن عب :ع انضش قبل عشح ث انضثش

صه هللا عه فقبل سعل هللا ،فزكشد نصه هللا عه عهى سعل هللا عه

صه هللا عه عهى ثى قبو انج ، انالء ن أعزقيب فإ،شزش أعزقإ :عهى

بط شزشط ششطب اليب ثبل : ثى قبل ،ي انعش فأث عه هللا ثب أه

إ اشزشط ، ي اشزشط ششطب نظ ف كزبة هللا ف ثبطم،نظ ف كزبة هللا

سا انجخبس. ششط هللا أدق أثق،يبئخ ششط

“Diriwayatkan dari Az Zuhri bahwa „Urwah bin Az Zubair

berkata: “ „Aisyah ra. berkata: “Rasulullah saw. datang

menemuiku lalu aku ceritakan (peristiwa pembelian budak)

kepada beliau. Pada saat itu juga Rasululah saw. bersabda:

“Belilah dan merdekakanlah, dan hak wala‟ bagi yang

memerdekakannya.” Kemudian Nabi saw. berdiri menegakkan

ibadah malam hari, seraya memuji Allah sebagaimana menjadi

hak-Nya, kemudian bersabda: “Bagaimana jadinya orang-

orang menentukan syarat yang tidak ada dalam kitab Allah.

Orang yang membuat syarat tertentu yang tidak ada di dalam

kitab Allah, maka syarat itu batal sekalipun dia membuat

seratus syarat. Karena syarat yang dibuat Allah lebih hak dan

lebih kokoh”. H.R. al-Bukhari (Al-Bukhari, 2002; 518).

Hadits tersebut dipahami secara umum oleh ulama yang

membatalkan syarat pengguguran nafkah dan atau hak mabīt, karena

termasuk dalam kategori asy-syurūṭ al-fāsidah.

Dari penjelasan tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa

perbedaan pendapat yang muncul di kalangan ulama kontemporer

Page 34: ISTINB HUKUM ULAMA KONTEMPORER TENTANG NIKAH A. …eprints.walisongo.ac.id/7513/5/125112086_bab4.pdfnafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al ... hak nafkah dan perlindungan

139

tentang syarat pengguguran hak nafkah atau hak mabīt oleh perbedaan

pandangan dan interpretasi terhadap hadits yang menjadi dasar

pendapat mereka.

2. Sebab perbedaan pendapat tentang hukum nikah misyār

Termasuk salah satu penyebab terjadinya perbedaan pendapat

tentang nikah misyār adalah perbedaan pendekatan istinbāṭ hukum

yang digunakan oleh ulama kontemporer dalam menetapkan hukum

nikah misyār.

Sebagaimana dijelaskan pada analisis pendekatan istinbāṭ

hukum, Abdul Aziz bin Baz menggunakan pendekatan istiṣhāb,

Wahbah az-Zuhaili menggunakan pendekatan istiṣlāh yang

dikombinasikan dengan sad aż-żarīah, dan Umar bin Sulaiman al-

Asyqar menggunakan pendekatan sad aż-żarīah dengan fokus pada

teori an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl. Dengan perbedaan metode istinbāṭ

hukum yang berbeda-beda tersebut, maka pandangan ulama

kontemporer tentang nikah misyār juga berbeda-beda.