istinb hukum ulama kontemporer tentang nikah a....
TRANSCRIPT
BAB IV
KAJIAN ISTINBĀṬ HUKUM ULAMA KONTEMPORER
TENTANG NIKAH MISYĀR
A. Pandangan Ulama Kontemporer Tentang Pengguguran Hak Nafkah dan
Hak Mabīt
1. Hak Nafkah dan Hak Mabīt
Dalam fiqh disebutkan bahwa nafkah adalah mencukupi kebutuhan
orang yang menjadi tanggung jawabnya yang meliputi makanan, pakaian,
dan tempat tinggal (az-Zuhaili, 1985; 765). Istilah nafkah sendiri sering
diartikan untuk menunjukkan nafkah lahir dan nafkah bathin. Padahal
sebenarnya -melihat definisinya- yang dimaksud adalah nafkah dalam
bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonotasi materi.
Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat
seksual istri tidak masuk dalam artian nafkah, meskipun dilakukan suami
terhadap istrinya (Syarifuddin, 2007; 165).
Dalam kehidupan rumah tangga, kewajiban memberi nafkah menjadi
tanggung jawab suami. Dasar kewajiban memberi nafkah adalah al-
Qur‟an, sunnah, dan ijma‟. Dalil dari al-Qur‟an yang mewajibkan memberi
nafkah antara lain dijelaskan dalam ayat 233 surat al-Baqarah:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dari pakaian kepada para ibu
dengan cara ma‟ruf. (Al-Qur‟an dan Terjemahnya, 1418 H; 57)
Dengan ayat tersebut, kewajiban suami memberi nafkah kepada istri
merupakan penyeimbang atas hak-hak yang dimiliki suami. Sekalipun
107
dilihat dari sisi ekonomi, suami berada pada golongan tidak mampu dan
istri termasuk golongan orang mampu, suami tetap berkewajiban memberi
nafkah kepada istri. Sebab hak mendapatkan nafkah merupakan hak istri
sebagai akibat hukum dari sahnya suatu perkawinan (Zahrah, 1957; 231).
Kewajiban suami memberi nafkah kepada istri juga dikarenakan
posisinya sebagai kepala rumah tangga, sebagaimana dijelaskan dalam
surat an-Nisa‟ ayat 34:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, 1418 H; 123)
Berdasarkan ayat tersebut, kedudukan suami sebagai pemimpin dalam
keluarga dikarenakan dua faktor, yaitu (1) fisik, dimana Allah memberikan
keistimewaan dan nilai lebih kepada kaum laki-laki dalam hal fisik,
mental, maupun kemampuan mengendalikan emosi dan stabilitas akal
sehat, dan (2) infaq, yaitu kaum laki-laki diperintahkan atau dibebani
memberi nafkah dengan harta mereka terhadap kaum perempuan. Dengan
kondisi fisik dan kewajiban memberi hak nafkah dan perlindungan kepada
istri, maka suami mendapatkan hak untuk dipatuhi oleh istri (Philips and
Jameelah Jones, 2005; 25).
Kewajiban suami memberi nafkah juga dijelaskan dalam hadits
panjang yang berisi tentang pesan-pesan Rasulullah saw. yang
108
disampaikan Rasulullah saw. pada saat haji Wada‟. Di antara pesan-pesan
tersebut adalah
إ سعل هللا : دخهب عه جبثش ث عجذ هللا فقبل: جعفش ث يذذ ع أث قبلع
هللا ف انغبء، فإكى أخزر ثكهخ إرقا صه هللا عه عهى خطت انبط فقبل
أدذا ركش، طئ فششكى نكى عه أال اعزذههزى فشج ثكهخ هللا، هللا،
فإ فعه رنك فبضشث ضشثب غش يجشح، ن عهكى سصق كغر
سا أث داد .ثبنعشف
“Diriwayatkan dari Ja‟far bin Muhammad dari ayahnya, berkata:
Kami masuk ke (rumahnya) Jabir bin Abdullah, kemudian Jabir
berkata: “Bahwa Rasulullah saw. memberikan khutbah kepada
masyarakat seraya bersabda: “Takutlah kepada Allah terkait
perempuan. Karena kalian telah mengambil mereka dengan
kalimat (ikatan perjanjian) Allah, kalian mencari halalnya
kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kalian mempunyai hak
yang harus mereka penuhi yaitu mereka tidak boleh
mempersilahkan seorang pun yang tidak kalian sukai berada di
ranjang kalian. Jika mereka melakukan itu, maka pukullah mereka
dengan pukulan yang tidak melukai (sebagai pelajaran). Dan hak
mereka yang harus kalian penuhi adalah memberi mereka makan
dan pakaian dengan selayaknya”. (H.R. Abu Dawud) (As-
Sajistani, 2009; 285)
Di samping dalil dari al-Qur‟an dan hadits yang disebut di atas, ulama
sepakat (ijma‟) bahwa istri berhak mendapat nafkah dan sandang (pakaian)
dengan jalan yang baik (layak) (Ibn al-Mundzir, 1999; 109).
Sedangkan berkaitan dengan hak mabīt (giliran bermalam) dan
berlaku adil, ajaran Islam sudah menjelaskan bahwa orang yang
mempunyai istri lebih dari satu maka dia harus berbuat adil kepada mereka
dalam hal membagi kesempatan untuk menginap di rumah mereka.
Kewajiban berbuat adil tersebut ini dijelaskan oleh nash al-Qur‟an. Seperti
dijelaskan dalam surat an-Nisa‟ ayat 3 :
109
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Al-Qur‟an
dan Terjemahnya, 1418 H; 114).
Dalam ayat tersebut dijelaskan larangan untuk menikahi wanita lebih dari
satu apabila suami tidak bisa berbuat adil. Menurut al-Quthubi (w. 671 H),
adil dalam ayat tersebut mencakup adil dalam menentukan pembagian hak
mabīt dan memperlakukan istri-istri dengan baik. Dengan demikian, maka
ayat tersebut menjadi dalil kewajiban suami yang mempunyai istri lebih
dari satu untuk berbuat adil dan memperlakukan mereka dengan baik (al-
Qurthubi, 2006; 22)
Sedangkan dalam hadits, Nabi Muhammad saw. memperingatkan
kepada suami yang mempunyai istri lebih dari satu melalui sabdanya:
إرا كب عذ : ع أث ششح سض هللا ع ع انج صه هللا عه عهى قبل
.سا انزشيز. انشجم ايشأرب فهى عذل ثب جبء و انقبيخ شق عبقظ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Muhammad saw.
beliau bersabda: “Seorang laki-laki yang mempunyai istri dua,
tetapi tidak bisa berbuat adil kepada mereka, maka besok pada
hari kiamat dia akan datang dengan keadaan separoh badan saja.”
(H.R at-Tirmidzi) (at-Tirmidzi, t,th; 271)
110
Dalam konsep fiqh, hak nafkah dan hak mabīt merupakan hak milik
istri sebagai akibat hukum dari akad nikah. Hak nafkah dan hak mabīt
termasuk dalam kategori hak yang musytarak antara hak Allah dan hak
hamba, tetapi yang lebih dominan adalah hak hamba. Disebut sebagai hak
Allah karena eksistensinya dilandasi oleh dalil-dalil syara‟ dan adanya
perintah kepada suami untuk memberi nafkah kepada istri dan juga ada
perintah kepada suami yang berpoligami untuk berbuat adil kepada istri-
istrinya. Dan disebut sebagai hak hamba (istri) karena dia harus menerima
nafkah sebagai konsekuensi dari kewajibannya melayani suami (ad-
Dahlawi, 2002; 187).
Diskursus tentang pengguguran hak nafkah setidaknya dilihat dari dua
hal, yaitu yang dilakukan sebelum akad nikah dan yang dilakukan setelah
akad nikah. Pengguguran hak nafkah yang dilakukan sebelum
dilaksanakannya akad nikah adalah batal dan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Artinya pihak istri masih berhak mendapatkan dan
menuntut hak nafkah setelah akad nikah. Karena pada dasarnya hak nafkah
dimiliki oleh istri karena adanya akad nikah. Oleh karena itu, ulama
sepakat ulama bahwa pengguguran hak nafkah adalah batal karena belum
terjadi akad nikah. Sedangkan apabila dilakukan setelah akad nikah dan
hak nafkah yang digugurkan adalah hak nafkah untuk masa yang akan
datang (nafaqah al-mustaqbal). maka hal yang seperti ini diperselisihkan
oleh ulama. Menurut jumhur (Hanafiyah, Syafi‟iyah, Hanabilah, dan
sebagian Malikiyah), pengguguran hak tersebut tidak sah, karena hak
nafkah belum menjadi hak tetap istri.
111
Permasalahan syarat pengguguran hak nafkah dan atau hak mabīt
merupakan persoalan yang di kalangan ulama klasik masuk dalam
pembahasan tentang asy-syuruṭ fi az-zawāj yaitu persyaratan-persyaratan
yang ditetapkan oleh salah satu dari kedua pihak kepada pihak lainnya
untuk maksud tertentu. Namun yang dimaksud dengan istilah tersebut
adalah syarat yang disebutkan pada saat proses ijab qabul (az-Zuhaili,
1985; 53).
Secara umum, asy-syurūṭ fi az-zawaj diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu asy-syurūṭ aṣ-ṣahīhah dan asy-syurūṭ al-fāsidah. Asy-Syurūṭ aṣ-
ṣahīhah adalah persyaratan yang memenuhi salah satu dari empat kriteria,
yaitu (1) mempunyai landasan dalil syar‟i, (2) sesuai dengan tujuan akad,
(3) bersifat memperkuat tujuan akad, dan (4) sesuai dengan „urf.
Sedangkan Asy-Syurūṭ al-fāsidah adalah persyaratan yang tidak sejalan
dengan salah satu empat kriteria tersebut (az-Zulami, t.th; 252-253).
Mengenai status hukum asy-syurūṭ al-fāsidah dan pengaruhnya
terhadap keabsahan akad nikah di kalangan ulama ada beberapa pendapat.
Perbedaan pendapat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Menurut Hanafiyah, asy-syurūṭ al-fāsidah statusnya batal, namun tidak
berpengaruh kepada keabsahan akad nikah.
2. Menurut Malikiyah, pengguguran hak nafkah dan atau hak mabīt asy-
syurūṭ al-fāsidah adalah batal dan berpengaruh kepada keabsahan akad
nikah. Hal ini bila belum terjadi hubungan badan. Jika syarat tersebut
ditetapkan setelah suami istri melakukan hubungan badan, maka akad
nikah tetap sah, dan syarat tersebut batal.
112
3. Menurut Syafi‟iyah, asy-syurūṭ al-fāsidah merupakan syarat yang
batal, namun akad nikah tetap sah. Namun apabila syarat tersebut
tujuan utama akad nikah (hubungan badan), maka baik syarat maupun
akad nikah hukumnya batal.
4. Menurut Hanabilah, asy-syurūṭ al-fāsidah merupakan syarat yang batal
namun tidak berpengaruh kepada keabsahan akad nikah. Dalam hal ini
ada pengecualian, yaitu syarat yang memang sudah batal dengan
sendirinya karena ada nash, seperti nikah mut‟ah (az-Zuhaili, 1985; 55-
59).
2. Pendapat Ulama Kontemporer Tentang Pengguguran Hak Nafkah dan Hak
Mabīt dan Keabsahan Akad Nikah
Sebagaimana diketahui bahwa esensi dalam nikah misyār adalah istri
dengan kerelaan hati menggugurkan hak nafkah dan atau hak mabīt.
Dalam konteks pengguguran hak nafkah saja, biasanya posisi istri tidak
harus berstatus istri yang dipoligami. Sedangkan dalam konteks
pengguguran hak nafkah dan hak mabīt, biasanya istri berstatus sebagai
istri yang dipoligami.
Inisiatif menggugurkan hak nafkah dan atau hak mabīt dilakukan oleh
wanita karena dilatarbelakangi tertentu. Misalnya, bagi wanita karir yang
sudah mempunyai pendapatan sendiri dan mapan dari sisi ekonomi, namun
mengalami keterlambatan menikah disebabkan oleh suatu hal. Sebagai
manusia yang normal, tentu wanita tersebut mempunyai keinginan
menikah demi menyalurkan hasrat seksual dan dengan maksud
mendapatkan keturunan. Wanita dengan kondisi ekonomi mapan bisa jadi
113
membuat laki-laki tidak berani menikahinya. Oleh karena itu, dia
berinisiatif membebaskan hak nafkah kepada laki-laki yang bersedia
menikah dengannya, karena dari sisi ekonomi sudah tercukupi dan dia
hanya membutuhkan terpenuhinya hak-hak lain selain hak yang bersifat
materiil. Begitu pula dengan istri yang dimadu, karena pertimbangan
tertentu dia membebaskan hak gilirannya.
Adanya syarat pengguguran hak nafkah dan atau hak mabīt dalam kaca
mata ulama kontemporer terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat
tersebut bisa diklasifikasikan dalam dua macam, yaitu melegalkan syarat
dan akad nikah, dan membatalkan syarat dan melegalkan akad nikah.
1. Melegalkan syarat dan akad nikah.
Di antara ulama kontemporer yang melegalkan syarat dan akad
nikah adalah Abdul Aziz bin Baz (w. 1999). Dasar pendapat ini adalah
hadits Nabi Muhammad saw. dan adanya kerelaan dan kesepakatan
suami dan istri. Hadits yang menjadi landasan pendapat ini adalah :
أدق : قبل سعل هللا صه هللا عه عهى: ع عقجخ ث عبيش سض هللا ع قبل
سا انجخبس. يب أفزى ي انششط أ رفا ث يب اعزذههزى ث انفشج
“Diriwayatkan dari „Uqbah bin „Amir ra. dia berkata: “Rasulullah
saw. bersabda: “Sesungguhnya suatu syarat yang paling berhak
untuk kalian penuhi adalah syarat-syarat yang kalian gunakan
untuk untuk menghalalkan kemaluan”. (H.R. al-Bukhari) (al-
Bukhari, 2002; 666).
Menurut penulis, ulama yang melegalkan pengguguran hak nafkah
dan atau hak mabīt menggunakan hadits tersebut sebagai dalil naqli
dengan menggunakan pendekatan keumuman makna hadits.
Berdasarkan makna umum hadits tersebut bahwa seseorang harus
114
memenuhi segala syarat yang dibuat oleh dirinya sendiri, terlebih lagi
untuk diprioritaskan untuk ditepati adalah syarat yang terkait dengan
akad nikah sebagai ikhtiyar untuk menghalalkan hubungan badan (asy-
Syaukani, 2005; 615). Dengan keumuman hadits ini, maka syarat
pengguguran hak nafkah dan hak mabīt sesuai dengan tujuan akad
nikah karena mempunyai nilai manfaat dan maslahat bagi pihak istri
(Qudamah, 1998; 484). Karena syarat tersebut dipandang sebagai
syarat yang sah, maka tidak ada hal yang menghalangi legalitas akad
nikah.
Apabila dirujuk kepada pendapat ulama mazhab, memang ada
pendapat dari Taqiyuddin (salah seorang ulama pengikut mazhab
Ahmad bin Hanbal) yang melegalkan syarat pengguguran hak nafkah.
Apalagi jika memang suami dalam kondisi tidak mampu dan pihak
istri menerima keadaan suami (al-Mardawi, 1956; 165). Selain
berdasarkan hadits, pendapat ini juga didukung oleh dalil logis yaitu
kerelaan istri menggugurkan hak nafkah dan atau hak mabīt.
2. Membatalkan syarat dan melegalkan akad nikah
Ulama kontemporer yang berpendapat bahwa syarat pengguguran
hak nafkah dan atau hak mabīt adalah batal, dan akad nikah tetap sah
diantaranya adalah Wahbah az-Zuhaili dan Umar Sulaiman al-Asyqar.
Secara garis besar mereka berargumentasi bahwa syarat tersebut tidak
sesuai dengan ketentuan dan tujuan akad, dan tidak sejalan dengan
prinsip maqāṣid asy-syarīah yang terdapat dalam pernikahan (al-
Asyqar, 2000; 237-263). Sebagai konsekuensi dari batalnya syarat
115
tersebut, pihak istri bisa menuntut kembali hak yang digugurkan (al-
Asyqar, 2000; 247).
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dasar pendapat ulama
kontemporer yang membatalkan syarat pengguguran hak nafkah dan
hak mabīt adalah karena syarat tersebut tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip pokok dan tujuan akad nikah. Syarat yang seperti ini dalam
terminologi fiqh disebut dengan syarat fāsid.
Menurut penulis, bila dilacak kepada dalil-dalil yang bisa
dijadikan dasar pendapat tersebut, maka ditemukan hadits yang
menguatkannya. Hadits adalah sebagai berikut :
دخم : قبنذ عبئشخ سض هللا رعبن عب :ع انضش قبل عشح ث انضثش
صه هللا عه فقبل سعل هللا ،فزكشد نصه هللا عه عهى سعل هللا عه
صه هللا عه ثى قبو انج ، انالء ن أعزقيب فإ،شزش أعزقإ :عهى
بط شزشط اليب ثبل : ثى قبل ، ي انعش فأث عه هللا ثب أهعهى
، ي اشزشط ششطب نظ ف كزبة هللا ف ثبطم،ششطب نظ ف كزبة هللا
سا انجخبس. ششط هللا أدق أثق،إ اشزشط يبئخ ششط
“Dari Az Zuhri bahwa „Urwah bin Az Zubair berkata: “
„Aisyah ra. berkata: “Rasulullah saw. datang menemuiku lalu
aku ceritakan (peristiwa pembelian budak) kepada beliau.
Pada saat itu juga Rasululah saw. bersabda: “Belilah dan
merdekakanlah, dan hak wala’ bagi yang
memerdekakannya.” Kemudian Nabi saw. berdiri (setelah
selesai melaksanakan) ibadah malam hari, seraya memuji
Allah sebagaimana menjadi hak-Nya, kemudian bersabda:
“Bagaimana jadinya orang-orang menentukan syarat yang
tidak ada dalam kitab Allah. Orang yang membuat syarat
tertentu yang tidak ada di dalam kitab Allah, maka syarat itu
batal sekalipun dia membuat seratus syarat. Karena syarat
yang dibuat Allah lebih hak dan lebih kokoh”. H.R. al-
Bukhari (Al-Bukhari, 2002; 518).
116
Di samping hadits tersebut, pengguguran hak menerima nafkah dan
hak mabīt sebagai syarat yang batal dianalogikan dengan pengguguran
hak syuf‟ah bagi orang yang mengadakan akad syirkah. Hak syuf‟ah
merupakan hak yang dimiliki oleh pihak-pihak yang melakukan akad
syirkah sebagai konsekuensi dari akad syirkah. Salah satu pihak yang
melakukan akad syirkah tidak boleh menggugurkan hak syuf’ah
sebelum terjadinya akad. Illat antara pengguguran hak nafkah atau hak
mabīt dan hak syuf’ah adalah hak yang timbul akibat hukum dari
legalitas akad (Qudamah, 1997; 385).
Syarat pengguguran hak nafkah dan hak mabīt sebagai syarat batal
secara logika dapat dibenarkan. Karena hak nafkah dan hak mabīt
merupakan hak yang dimiliki istri sebagai akibat hukum dari akad
nikah. Sedangkan syarat pengguguran tersebut bukan bagian yang inti
dalam akad, sehingga apabila dipandang sebagai akad yang batal, tentu
tidak berpengaruh kepada akad nikah, karena akad nikah yang
dilangsungkan sudah sah dengan terpenuhinya syarat dan rukun.
B. Analisa Intinbat Hukum Ulama Kontemporer
1. Analisa Istinbāṭ Hukum Abdul Aziz bin Baz yang membolehkan nikah
misyār
Salah satu ulama kontemporer yang memperbolehkan nikah misyār
adalah Abdul Aziz bin Baz. Menurut Abdul Aziz bin Baz, nikah misyār
secara hukum adalah sah karena dalam prakteknya telah memenuhi syarat
dan rukun sebagaimana yang ditetapkan oleh syara‟ yaitu ada wali,
kerelaan suami dan istri, dihadiri dua saksi yang adil, dan tidak ada hal-hal
117
yang menghalangi keabsahan nikah ini. Selain alasan tersebut, pendapat
Abdul Aziz bin Baz dikuatkan dengan hadits Nabi sebagai berikut:
انصهخ جبئض ث : صه هللا عه عهى قبل سعل هللا : قبلع أث ششح
قبل سعل هللا صه هللا عه . انغه إال صهذب أدم دشايب أ دشو دالال
. سا أث داد . انغه عه ششطى:عهى
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah saw. bersabda:
Damai itu itu diperbolehkan antara umat Islam kecuali damai yang
menghalalkan perkara haram atau mengharamkan perkara yang halal.
Rasulullah saw juga bersabda: “Kaum muslimin itu wajib
melaksanakan berbagai persyaratan yang mereka sepakati.” (HR. Abu
Dawud) (As Sajistani, 2009; 445)
Sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Aziz bin Bazz bahwa pemenuhan
syarat-syarat nikah sudah masuk dalam keumuman hadits. Sehingga
menurut penulis, hadits tersebut digunakan oleh Abdul Aziz bin Bazz
tidak hanya terkait syarat dan rukun yang menjadi legitimasi nikah misyār,
tetapi juga menjadi dasar atas persyaratan pengguguran hak nafkah, tempat
tinggal dan giliran pemenuhan hasrat biologis. Karena memang hadits
tersebut bersifat umum.
Secara umum dan menjadi suatu kelaziman di kalangan ahli hukum
Islam (fuqaha‟) dalam menetapkan keabsahan suatu akad dengan melihat
pada terpenuhinya syarat dan rukun. Begitu pula dalam menetapkan
batalnya suatu akad dengan parameter tidak terpenuhinya syarat dan
rukun. Melihat terpenuhi atau tidaknya syarat dan rukun sebagai alat ukur
menilai keabsahan suatu perbuatan hukum (termasuk juga akad) adalah
tidak dapat dihindari. Sehingga bisa dipertegas bahwa perbuatan hukum
yang sah adalah tindakan yang dilakukan oleh mukallaf yang memenuhi
syarat dan rukun, dilaksanakan sesuai dengan praktek yang diajarkan, dan
118
berdampak terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum syar‟i (az-
Zuhaili, 1986; 105) Dengan ditetapkan sebagai tindakan yang sah, maka
otomatis mempunyai akibat hukum. Kalau dalam bidang ibadat, implikasi
dari perbuatan yang sah adalah gugurnya kewajiban melaksanakan
perbuatan hukum. Dalam bidang muamalat, implikasi dari perbuatan yang
sah adalah timbulnya hak dan kewajiban yang mengikat orang yang
melakukan mu‟amalat (al-Khin, 2000; 328).
Bila dirujuk kepada kaidah fiqhiyyah, maka pendapat Abdul Aziz bin
Baz yang membolehkan nikah misyār menggunakan kaidah fiqhiyah
berikut:
األصم ف انعقد انششط انجاص انصذخ
“Pada dasarnya hukum yang berlaku dalam akad dan bentuk
persyaratan adalah boleh dan sah” (Mushtofa, 2006; 815).
Kaidah fiqhiyah tersebut tentu hanya diterapkan pada akad dan persyaratan
atau perjanjian yang tidak dijelaskan dalam al-Qur‟an maupun Sunnah.
Tidak bisa diterapkan terhadap akad yang sudah ada dasar hukumnya dari
al-Qur‟an maupun Sunnah. Misalnya akad, perjanjian atau kasus hukum
kontemporer yang muncul seiring dengan dinamika sosial dan
eksistensinya dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam posisi seperti ini, nikah
misyār merupakan salah satu kasus hukum kontemporer dan secara jelas
tidak ada dalil al-Qur‟an maupun Sunnah yang secara jelas menjelaskan
status hukumnya. Kaidah fiqhiyah tersebut juga merupakan kaidah yang
menjabarkan metode istinbāṭ hukum yang disebut dengan istilah istiṣhāb.
119
Dalam ushul fiqh, istiṣhāb adalah menetapkan berlakunya suatu
hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang asalnya
tidak ada sampai ada bukti yang mengubah keadaanya (M. Zein, 2005;
159). Istiṣhāb sendiri merupakan metode menetapkan hukum yang banyak
digunakan oleh ulama Hanabilah dan mereka banyak menerapkannya
dalam menetapkan hukum yang berhubungan dengan masalah akad dan
muamalat. Dengan metode istinbāṭ ini, ulama Hanabilah menetapkan
bahwa pada dasarnya hukum berlaku dalam bidang muamalat adalah boleh
(al-ibāhah) selama belum ada dalil yang menetapkan hukum lain (at-
Turki, 1990; 423). Hukum al-ibāhah sebagai hukum asal dalam bidang
muamalat juga dijadikan pijakan ulama Hanabilah dalam menetapkan
hukum yang menyangkut kebutuhan pangan manusia. Seperti disebutkan
dalam kaidah berikut:
األصم ف االشبء اإلثبدخ
“Dasar pokok bagi segala sesuatu adalah boleh” (Mushtofa,
2006; 191)
Dengan paparan diatas, menurut analisis penulis bahwa Abdul Aziz
bin Baz dalam menetapkan hukum diperbolehkannya nikah misyār
menggunakan metode istiṣhāb al-ibāhah al-aṣliyah yaitu istiṣhāb yang
didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah.
2. Analisa Istinbāṭ Hukum Wahbah az-Zuhaili yang memakruhkan
nikah misyār
Di antara ulama kontemporer yang membolehkan tetapi makruh
adalah Wahbah az-Zuhaili (l. 1932). Wahbah az-Zuhaili berpendapat
120
bahwa nikah misyār dilihat dari sisi akad adalah sah, karena memenuhi
semua rukun dan syarat yang ditetapkan oleh syara‟. Pendapat tersebut
didasarkan kepada kaidah :
األصم ف انعقد انششعخ اإلثبدخ
“hukum asal yang berlaku dalam masalah akad adalah boleh” (az-
Zuhaili, 1985; 207)
Kaidah tersebut mencakup semua akad –termasuk akad nikah- yang telah
memenuhi syarat dan rukun yang ditetapkan oleh syara‟ adalah sah dan
boleh. Keabsahan tersebut dengan catatan selama akad tidak dijadikan
sebagai sarana untuk melakukan perbuatan yang diharamkan seperti nikah
tahlīl, nikah yang dibatasi waktu dan nikah mut’ah. Sekalipun nikah
misyār dilihat dari sisi akadnya adalah sah, namun karena nikah seperti ini
pada umumnya tidak bisa merealisasikan tujuan nikah maka nikah misyār
menjadi makruh (az-Zuhaili, 2000; 176). Sebab dalam nikah misyār istri
menggugurkan hak nafkah dan giliran bermalam (hak mabīt). Dengan
adanya syarat istri menggugurkan hak nafkah dan giliran bermalam bisa
menyebabkan suami tidak mempunyai tanggung jawab dalam membina,
melindungi, membuat tentram dan membantu istri dalam berbagai
persoalan kehidupan rumah tangga. Padahal baik suami maupun istri
berkewajiban melindungi dan menjaga pasangan dan akan diminta
pertanggungjawabannya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits:
: ععذ سعل هللا صه هللا عه عهى قل: قبلض هللا عب اث عش ع
كهكى ساع يغئل ع سعز، اإليبو ساع يغئل ع سعز، انشجم ساع ف
أه يغئل ع سعز، انشأح ف ثذ صجب يغئنخ ع سعزب، انخبدو
121
.سا انجخبس. ف يبل عذ ساع يغئل ع سعز
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. berkata: “Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan
diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam
(kepala negara) adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung
jawaban atas rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah
pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas keluarganya.
Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga
suaminya dan akan diminta pertanggung jawaban atas urusan rumah
tangga tersebut. Seorang pembantu dalam urusan harta tuannya
adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas urusan
tanggung jawabnya tersebut”. (H.R. Bukhari). (al-Bukhari, 2002;
580)
Dengan adanya pembebasan suami dari tanggung jawab memberi
nafkah, menyediakan tempat tinggal, dan menentukan giliran berarti sama
dengan meniadakan prinsip moral dan nilai-nilai kehidupan kebersamaan
yang dibangun atas dasar saling menolong, menciptakan ketenangan dan
mendapatkan ketentraman hati. Sebab suatu pernikahan tidak hanya
sekedar menyangkut masalah materi dan memenuhi kebutuhan biologis.
Namun pernikahan adalah ikatan yang mulia yang digambarkan oleh al-
Qur‟an dengan istilah mitsaq ghalidza. Dengan pertimbangan hal-hal
tersebut, maka bisa dijelaskan bahwa nikah misyār bertentangan dengan
maqāṣid asy-syariah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam asy-Syathibi
dan ulama lainnya. Karena itu, nikah ini dilarang dengan pendekatan sad
adz-dzariah demi terlindunginya nasab dan kehormatan keturunan az-
Zuhaili, 2007; 92)
Menurut penulis, pendapat Wahbah az-Zuhaili tersebut mengikuti
kaidah yang disepakati oleh mayoritas ulama. Mayoritas ulama sepakat
122
bahwa hukum asal yang berlaku dalam akad-akas syar‟i adalah mubah.
Sebagaimana disebutkan dalam kaidah fiqhiyah :
األصم ف انعقد انششعخ اإلثبدخ
“hukum asal yang berlaku dalam masalah akad adalah boleh
(ibahah).
Langkah mengikuti pendapat mayoritas ulama dalam menentukan
keabsahan akad merupakan pedoman beliau dalam mensikapi munculnya
aneka ragam bentuk akad, termasuk akad nikah. Dalam masalah ini,
istinbāṭ hukum yang dilakukan oleh Wahbah az-Zuhaili adalah
menggunakan pendekatan kaidah fiqhiyah. Kaidah fiqhiyah sendiri
merupakan rujukan dalam metode istinbāṭ hukum setelah tidak ditemukan
dasar dari dalil-dalil hukum yang asasi, sebab kaidah fiqhiyah yang sudah
dirumuskan oleh para ulama fiqh mencakup aspek filosofis hukum dan
mempunyai landasan dalil nash. Kaidah fiqhiyah juga membantu sekali
bagi praktisi hukum untuk mengetahui alasan-alasan hukum sehingga bisa
digunakan dalam permasalahan hukum kontemporer (Al-Qahthani, 2010;
456)
Terkait dengan penetapan hukum nikah misyār, Wahbah az-Zuhaili
dalam menetapkan hukum mengacu kepada konsep maqāṣid asy-syarīah
yang secara khusus terkait dengan tujuan disyariatkannya nikah. Dalam
konteks istinbāṭ hukum, memahami maqāṣid asy-syarīah mempunyai
peran yang sangat penting. Karena pemahaman terhadap maqāṣid asy-
syarīah merupakan kunci utama dalam melakukan istinbāṭ hukum. Dalam
melakukan istinbāṭ hukum, langkah yang pertama adalah melakukan
123
penelitian terhadap nash-nash al-Qur‟an. Jika ditemukan dalil yang
menjelaskan maka yang dijadikan dasar hukum adalah dalil tersebut. Jika
tidak menemukan dalil dari al-Qur‟an, maka harus menelusuri hadits-
hadits mutawatir. Kalau tidak ditemukan hadits mutawatir, baru
menelusuri hadits ahad. Apabila tidak ditemukan juga, maka harus melihat
maqasid asy-Syariah dan aspek maslahatnya terlebih dahulu, setelah itu
baru diterapkan pada metode-metode ijtihad (qiyas, istihsan maupun
lainnya) yang relevan (al-Yubi, 1998; 105).
Maqāṣid asy-syarīah yang menjadi pertimbangan pendapat
Wahbah az-Zuhaili adalah konsep maqāṣid asy-syarīah tentang nikah yang
dijelaskan oleh asy-Syathibi. Menurut asy-Syathibi, disyariatkannya nikah
mempunyai tujuan yang bersifat pokok (aṣliyah) dan ada yang bersifat
pelengkap (tābi’ah). Tujuan utama disyariatkannya nikah adalah untuk
memperoleh keturunan demi kelangsungan hidup. Tujuan pelengkapnya
meliputi mendapatkan ketenangan, saling tolong menolong dalam
mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat, memperoleh kesenangan
dengan dihalalkannya hubungan badan, mengambil pelajaran dari
keindahan ciptaan Allah yang melekat pada diri seorang istri, menjaga diri
dari syahwat kemaluan dan pandangan, dan lainnya. Tujuan-tujuan nikah
tersebut merupakan tujuan yang ditetapkan oleh asy-syari‟ dari
diperintahkannya nikah, baik melalui nash secara langsung („ibārat an-
naṣ), isyārat an-naṣ, atau melalui dalil lain dan hasil penelitian dari nash.
Sekalipun berdasarkan petunjuk nash bahwa tujuan-tujuan tersebut bersifat
pelengkap, namun keberadaannya berfungsi untuk menetapkan tujuan
124
utama nikah, memperkuat hikmah dan faktor yang mendorong orang
melakukan nikah untuk mencapai tujuan utama. Oleh karena itu, Tujuan-
tujuan nikah yang walaupun tidak dijelaskan secara langsung oleh nash,
namun mempunyai makna munasabah (kesesuaian) dengan tujuan nikah
yang ditetapkan nash, maka tujuan tersebut termasuk kategori tujuan nikah
yang ditetapkan asy-Syari‟ (asy-Syathibi. 2004; 354).
Secara jelas Wahbah az-Zuhaili menyatakan „illat dimakruhkannya
nikah misyār karena praktek nikah ini tidak merealisasikan kehidupan
rumah tangga yang sakinah mawadah dan rahmah.
Dalam analisis penulis, penetapan „illat tersebut bisa diistilahkan
dengan ta’līl bi al-hikmah, karena yang menjadi „illat adalah hikmah dari
pernikahan yaitu terciptanya kondisi keluarga yang sakinah, mawadah dan
rahmah. Ta’līl bi al-hikmah sendiri masih diperdebatkan di kalangan
ulama ushuliyyun terkait dengan keberadaan hikmah sebagai sesuatu yang
tidak jelas dan tidak terukur (gair munḍabiṭ) dan akan mengalami
perbedaan sesuai dengan kondisi pelaku, waktu, dan tempat (an-Namlah,
1999; 2121). Namun ta’līl bi al-hikmah mempunyai peran penting dalam
menetapkan hukum berdasarkan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan,
seperti istihsān, istiṣlāh, sad aż-żariah, dan istiṣhāb.
Sedangkan dipilihnya hukum makruh bukan haram, menurut
analisa penulis, disebabkan oleh terminologi makruh itu sendiri. Dalam
ushul fiqh, makruh adalah sesuatu yang dilarang oleh syara‟ dengan
larangan yang tidak kuat. Atau bisa juga diartikan suatu perbuatan yang
125
bagi orang yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan bagi orang
yang melakukannya tidak mendapat siksa.
Menurut al-Ghazali (w. 505 H), istilah makruh menurut ulama
klasik merupakan mempunyai banyak arti. Di antara arti-arti tersebut
adalah al-mahẓūr (larangan). Misalnya, Imam asy-Syafi‟i (w. 204 H)
sendiri sering menggunakan kata „akrahu’ (saya tidak suka), namun yang
dikehendaki adalah haram. Bisa juga digunakan untuk menunjukkan arti
“lebih baik meninggalkan daripada melakukan”. Bisa juga diartikan
“meninggalkan sesuatu yang lebih baik karena mengandung nilai-nilai
keutamaan yang apabila perbuatan tersebut dikerjakan. Dan bisa dijuga
diartikan untuk menunjukkan sesuatu yang masih diragukan
keharamannya. Arti yang terakhir ini dalam wilayah ijtihad menjadi
pegangan bagi orang yang mempunyai pendapat bahwa hasil ijtihad yang
benar hanya satu (Al-Ghazali, 1997; 67). Dengan adanya pengakuan
bahwa hasil ijtihad yang benar hanya satu, maka seorang mujtahid tidak
yakin terhadap hukum haram atau mubah yang akan diterapkan dalam
suatu masalah membuat mujtahid mengambil jalan tengah antara haram
dan mubah, dan makruh adalah hukum yang berada di antara mubah dan
haram, atau setidaknya bahwa makruh adalah tingkatan larangan yang
paling rendah (adnā marātib an-nahyi) (Utsaimin, 1427 H; 344). Di
samping analisis tersebut, posisi makruh dalam wilayah hukum taklifi
adalah hukum yang berada di antara mubah dan haram.
Kemudian, alasan lain yang menjadi dasar pendapat Wahbah az-
Zuhaili adalah karena nikah misyār tidak berorientasi kepada terwujudnya
126
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah adalah
pernikahan yang bertentangan prinsip pernikahan yang terkandung dalam
surat ar-Rum ayat 21 :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Al-
Qur‟an dan Terjemahnya, 1418 H; 644)
Bila diimplementasi dalam nikah misyār, maka satu sisi nikah ini
dapat dibenarkan (boleh) bila bertujuan untuk menjaga penglihatan dan
kemaluan, namun di sisi lain nikah misyār bisa tidak dibolehkan karena
tidak sesuai dengan prinsip dan tujuan nikah yaitu terciptanya kehidupan
rumah tangga yang diliputi ketentraman dan kasih sayang dan tidak
adanya kewajiban suami memberi nafkah terhadap istri. Maka hukum
makruh dalam nikah misyār merupakan jalan tengah antara mubah dan
haram.
Bila dikaitkan dengan pendekatan sad aż-żariah, terminologi
makruh yang dipakai oleh Wahbah az-Zuhaili merupakan produk hukum
dari perbandingan antara maslahat dan mafsadat yang terdapat dalam
nikah misyār. Wahbah az-Zuhaili mengakui bahwa nikah misyār
mempunyai nilai positif (maslahat) yang banyak sekali, yaitu membantu
bagi pihak istri dalam menyalurkan hasrat seksualnya dengan cara yang
benar sehingga terhindar dari perbuatan asusila. Bahkan dengan jalan ini,
127
pihak istri bisa mendapatkan keturunan, dan sekaligus merupakan jalan
untuk menimalisir kaum „awānis (perawan-perawan tua) yang mengalami
keterlambatan menikah. Sebab usaha pihak istri untuk menjaga
kehormatannya –walaupun dengan jalan nikah misyār- merupakan upaya
yang sesuai dengan naluri dan fitrahnya sebagai manusia dan juga demi
menjaga martabatnya dalam kehidupan sosial. Apabila ada seorang laki-
laki yang menikah dengan wanita-wanita tersebut dengan tujuan menjaga
kehormatan, maka tujuan laki-laki benar menurut syara‟ (az-Zuhaili, 2007;
92).
Di samping sisi maslahat tersebut, nikah misyār mempunyai sisi
mafsadat, yaitu tidak tercapainya ketenangan dan kasih sayang dalam
kehidupan rumah tangga. Karena suami merasa tidak mempunyai
tanggung jawab memenuhi nafkah dan tidak menetapkan hak mabīt yang
berujung tidak adanya ketentraman dan keharmonisan dalam rumah
tangga. Alasan lainnya adalah bahwa nikah bukan hanya sekedar sarana
untuk menyangkut masalah materi dan memenuhi kebutuhan biologis.
Namun pernikahan adalah ikatan yang mulia yang digambarkan oleh al-
Qur‟an dengan istilah mītsāqā galīẓā (az-Zuhaili, 2007; 92).
Maka dengan membandingkan antara sisi maslahat dan mafsadat –
dengan pendekatan sad az-zariah- dipandang bahwa pada dasarnya nikah
misyār adalah boleh, tetapi nikah misyār mempuyai sisi maslahat dan
mafsadat. Dan sisi mafsadat yang ditimbulkan dari nikah misyār tidak
begitu besar. Oleh karena itu, nikah misyār hukumnya makruh.
128
Kemakruhan nikah misyār bisa juga dilihat dari motif orang yang
melakukannnya. Hal ini mengaju kepada hukum-hukum yang terkait
dengan nikah, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh bahkan haram. Hukum
nikah menjadi makruh bagi orang yang jika kawatir dirinya akan
melakukan tindakan menyakiti istri atau terjerumus ke dalam tindak
asusila, namun kekawatiran tersebut tidak sampai pada level keyakinan.
Kekawatiran tersebut bisa disebabkan karena tidak mampu memberi
nafkah, tidak bisa bergaul secara baik atau tidak tertarik kepada wanita
(az-Zuhaili, 1985; 32)
Dalam pandangan penulis, argumentasi lain yang bisa mendukung
kemakruhan nikah misyār adalah apabila pelaku nikah misyār tidak
dilatarbelakangi oleh faktor al-ḥājah. Faktor al-ḥājah sebagai
pertimbangan dalam menetapkan hukum ibahah memang bisa diterapkan
dalam kasus yang tidak ada keterangan nash secara jelas dan tidak ada
kasus hukum lain yang dapat dijadikan rujukan ilḥāq, tetapi kasus tersebut
mempunyai nilai manfaat dan maslahat (az-Zarqa, 1989; 210). Faktor al-
ḥājah yang menjadi dasar diperbolehkannya nikah misyār juga bisa
didukung dengan kaidah fiqhiyah di antaranya adalah :
انكشاخ رضل ثبنذبجخ
Makruh itu bisa berubah (menjadi mubah) bila didasari oleh faktor
kebutuhan” (Kafi, 2004; 130)
Dengan paparan di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa aspek
yang dasar diperbolehkannya nikah misyār adalah :
1. Berdasarkan terpenuhinya syarat dan rukun nikah.
129
2. Adanya nilai positif (maslahat) dalam nikah misyār, yaitu maslahat
hajjiyat.
Sedangkan kemakruhannya adalah apabila nikah misyār dilakukan
dengan tanpa faktor al-ḥājah (kebutuhan yang mendesak) dan motif
pelaku yang hanya menyalurkan hasrat biologis saja. Karena alasan-
alasan ini tidak sesuai dengan tujuan pokok disyariatkannya nikah.
3. Analisa Istinbāṭ Hukum Umar Sulaiman al-Asyqar yang tidak
membolehkan nikah misyār.
Umar bin Sulaiman al-Asyqar adalah salah satu dari ulama
kontemporer yang menetapkan bahwa nikah misyār hukumnya tidak
boleh. Menurutnya, nikah misyār tidak dapat diterima berdasarkan
ketentuan-ketentuan syar‟i. Berikut ini beberapa argumentasi pendapat
Umar bin Sulaiman al-Asyqar (Al-Asyqar, 2000; 236-248):
Pertama, praktek nikah misyār tidak sejalan dengan nikah yang
digariskan oleh syari‟at Islam. Bila diamati dengan seksama nikah misyār
tidak sesuai dengan ketentuan syar‟i yang menyangkut masalah
perkawinan. Di samping itu, umat Islam tidak mengenal nikah misyār
sebagaimana mereka mengenal nikah-nikah yang umum berlaku.
Kedua, baik suami maupun istri yang melakukan nikah misyār
tidak mempunyai maksud untuk mencapai tujuan-tujuan nikah yang
ditetapkan oleh syari‟ (Allah). Syari‟ menghendaki bahwa perkawinan
dibangun diatas prinsip mawaddah dan rahmah dan dapat menjadi wahana
membina generasi yang shalih, suami dan istri melaksanakan
kewajibannya. Sedangkan nikah misyār ini bertolak belakang dengan
130
tujuan-tujuan nikah tersebut. Oleh karena itu, tidak dapat diterima apabila
tujuan seorang muslim dalam menikah tidak sesuai dengan tujuan syari‟.
Ketiga, hilangnya kepemimpinan suami dalam rumah tangga.
Sebagaimana diketahui bahwa posisi suami dalam keluarga adalah
pemimpin yang mempunyai kewajiban memberi nafkah kepada istrinya.
Dengan tidak adanya kepemimpinan suami dalam rumah tangga bisa
menyebabkan istri tidak patuh kepada suami, sehingga dia merasa
mempunyai kebebasan.
Keempat, istri menjadi pihak yang direndahkan martabatnya. Hal
ini karena istri -di mata suami- hanya dipandang sebagai obyek penyaluran
hasrat seksual. Sementara suami biologisnya saja tanpa dibebani
kewajiban memberi nafkah dan menyediakan tempat tinggal.
Kelima, nikah misyār bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan
hal-hal yang negatif. Praktek nikah ini tidak jauh dari perzinahan, karena
adanya praktek mempermudah mahar, suami tidak menanggung beban
tanggung jawab keluarga, sehingga bagi pihak suami akan mudah
menjatuhkan talak sebagaimana dia merasakan kemudahan dalam
melakukan nikah misyār, melangsungkan nikah secara sembunyi-
sembunyi dan boleh jadi tanpa wali. Semua hal tersebut menjadikan nikah
misyār sebagai permainan bagi orang yang hanya menuruti hawa nafsu
saja dalam melangsungkan perkawinan.
Keenam. sebagaimana Nabi Muhammad saw. menganjurkan agar
nikah tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam prakteknya
orang yang melakukan nikah misyār merahasiakan pernikahannya, dan
131
bahkan kadang saudara-saudaranya tidak mengetahui pernikahannya. Dia
menyembunyikan pernikahannya karena ada rasa malu dengan cara nikah
seperti ini, dan hanya demi memenuhi kebutuhan biologis saja.
Menurut penulis, dalam kaitannya dengan metode istinbāṭ hukum
Umar Sulaiman al-Asyqar melakukan at-takyīf al-fiqhi, yaitu upaya
mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap permasalahan
hukum yang terjadi dan mencari dalil-dalil yang bisa dijadikan rujukan
untuk menetapkan hukum (Syabir, 2014; 30). Karena menyangkut masalah
nikah misyār, maka yang harus dipahami terlebih dahulu adalah hakekat
nikah misyār dan segala sesuatu yang terkait dengan nikah misyār.
Pemahaman ini menjadi sangat penting karena hukum yang akan diambil
banyak dipengaruhi oleh sejauh mana pemahaman terhadap perkara
hukum yang sedang dicari hukumnya. Dari pemahaman akan hal-hal yang
terkait dengan nikah misyār, menurut penulis, Umar bin Sulaiman al-
Asyqar mengambil kesimpulan bahwa nikah misyār adalah bentuk nikah
yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh syariat
Islam (al-Asyqar, 2000; 246). Menurut penulis, kesimpulan tersebut
adalah hasil dari perbandingan antara nikah syar’i dengan nikah misyār.
Memang kalau dicermati secara mendalam akan ditemukan
perbedaan antara nikah misyār dengan nikah syar‟i. Secara prinsipil, yang
membedakan antara nikah misyār dan nikah syar‟i adalah syarat
pengguguran sebagian hak-hak istri, yaitu hak nafkah dan hak mabīt (Al-
Asyqar, 2000: 165). Dengan pengguguran hak-hak tersebut, semakin jelas
bahwa nikah misyār bukan bentuk pernikahan yang biasa berlaku di
132
masyarakat. Dalam pernikahan yang biasa berlaku di masyarakat, kedua
pihak (suami dan istri) bisa merasakan kenikmatan hidup dalam rumah
tangga dengan terpenuhi semua hak-haknya. Sementara dalam nikah
misyār kedua pihak tidak terpenuhi sebagian hak-haknya. Mereka yang
menjalani nikah misyār memang dilatarbelakangi oleh beberapa keadaan
yang menyebabkan mereka menerima bentuk nikah misyār.
Setelah memahami seluk beluk nikah misyār, Umar bin Sulaiman
al-Asyqar melihat kepada aspek maqāṣid asy-syarīah sebagai pendekatan
istinbāṭ hukum sebelum menentukan metode istinbāṭ yang tepat.
Maqāṣid asy-syarīah yang terkait dengan tujuan nikah yang
menjadi acuan Umar bin Sulaiman al-Asyqar dalam melakukan istinbāṭ
hukum adalah bahwa nikah disyariatkan untuk mencapai kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah, terciptanya yang baik antara
suami dan istri, dan merupakan sarana untuk mendapatkan keturunan.
Tujuan-tujuan tersebut termasuk dalam kategori maslahah mu’tabarah,
karena berlandasakan kepada dalil nash, yaitu ayat 21 surat ar-Rum:
“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Al-
Qur‟an dan Terjemahnya, 1418 H; 644)
Sekalipun tercapainya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah
dan rahmah –dalam konsep maqāṣid asy-syarīah- adalah tujuan nikah
133
yang bersifat pelengkap, namun tujuan tersebut merupakan sendi-sendi
kehidupan rumah tangga yang berorientasi tercapainya tujuan utama nikah
yiatu hifẓ an-nasl.
Berdasarkan tujuan nikah tersebut, Umar bin Sulaiman al-Asyqar
menarik kesimpulan bahwa tujuan orang yang melakukan nikah yang tidak
sesuai dengan tujuan asy-syari’ merupakan tujuan yang tidak dapat
diterima. Kesimpulan Umar bin Sulaiman al-Asyqar ini, menurut penulis,
hanya menekankan pada aspek tujuan nikah yang bersifat pelengkap
(taba’iyah). Sedangkan di bagian lain, disebutkan bahwa salah satu tujuan
disyariatkannya nikah adalah melindungi diri agar tidak terjerumus dalam
perzinahan atau tindakan asusila lainnya dengan cara melampiaskan hasrat
seksual pada jalan yang benar yaitu nikah. Penyaluran hasrat seksual
dengan cara halal juga merupakan langkah untuk menjaga kemaluan. Hal
ini secara jelas diperintahkan Allah sebagaimana dijelaskan dalam surat al-
Mu‟minun ayat 5 :
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”. (Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, 1418 H; 526)
Sebagai tindak lanjut setelah menggunakan pendekatan maqāṣid
asy-syarīah adalah menentukan metode istinbāṭ hukum yang tepat. Dalam
menentukan metode istinbāṭ hukum, hal yang harus diperhatikan adalah
aspek maslahat dan mafsadat dari permasahan hukum. Diperhatikan
134
dengan cermat dengan cara mengkomparasikan antara sisi maslahat dan
dan sisi mafsadat untuk diketahui sisi mana yang lebih dominan.
Dalam nikah misyār, menurut Umar bin Sulaiman al-Asyqar ada
beberapa sisi mafsadatnya, yaitu:
1. Istri tidak patuh kepada suami disebabkan oleh tidak adanya
kepemimpinan suami. Dengan tidak adanya kepemimpinan suami
dalam rumah tangga bisa menyebabkan istri tidak patuh kepada suami,
sehingga dia merasa mempunyai kebebasan.
2. Istri menjadi pihak yang direndahkan martabatnya. Karena suami
menganggap isri sebagai obyek penyaluran hasrat seksual. Sementara
suami biologisnya saja tanpa dibebani kewajiban memberi nafkah dan
menyediakan tempat tinggal.
3. Nikah misyār bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan hal-hal yang
negatif. Praktek nikah ini tidak jauh dari perzinahan, karena adanya
praktek mempermudah mahar, suami tidak menanggung beban
tanggung jawab keluarga, sehingga bagi pihak suami akan mudah
menjatuhkan talak sebagaimana dia merasakan kemudahan dalam
melakukan nikah misyār, melangsungkan nikah secara sembunyi-
sembunyi dan boleh jadi tanpa wali. Semua hal tersebut menjadikan
nikah misyār sebagai permainan bagi orang yang hanya menuruti hawa
nafsu saja dalam melangsungkan perkawinan.
Dengan mempertimbangkan beberapa sisi mafsadat tersebut, Umar
bin Sulaiman al-Asyqar berpendapat bahwa nikah misyār hukumnya tidak
boleh. Menurut penulis, menetapkan hukum berdasarkan pertimbangan
135
mafsadat yang akan muncul di kemudian hari adalah menetapkan hukum
berdasarkan metode sad aż-żarīah. Sad aż-żarīah adalah mencegah
sesuatu yang menurut hukum aslinya adalah mubah karena mengandung
maslahat karena dijadikan sebagai sarana untuk hal-hal yang dilarang.
Dalam mengoperasionalkan sad aż-żarīah ada dua hal yang harus
diperhatikan yaitu al-maqāṣid (tujuan) dan al-wasāil (perantara). Al-
Maqāṣid adalah tujuan-tujuan yang bisa berupa maslahat dan mafsadat.
Sedangkan al-wasāil adalah perantara-perantara yang menghubungkan
kepada al-maqāṣid. Salah satu parameter yang terkait dengan al-wasāil
adalah an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl, yaitu mencermati akibat atau hasil
akhir suatu perbuatan (al-Husain, 2009; 33). Sebab suatu perbuatan
yang dibenarkan dalam hukum Islam untuk dilakukan, bisa saja
berujung pada kebalikan akibat yang hendak dituju, baik karena alasan
maslahat yang mungkin dicapai, ataupun karena alasan mafsadah yang
mungkin ditinggalkan. Dengan kata lain, maslahat yang pada mulanya
ingin dicapai melalui perbuatan itu, justeru berakibat mafsadah yang
bisa saja setara kadarnya atau bahkan lebih. Hal ini tentunya bisa saja
menjadi penghalang bagi kondisi perbuatan itu yang pada mulanya
boleh dilakukan.
Dalam pandangan asy-Syathibi, an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl
termasuk cara penetapan hukum yang mu’tabar (diakui) oleh ulama
ushul fiqh. Seorang mujtahid sebelum menetapkan hukum suatu
perbuatan harus mempertimbangkan terlebih dahulu akibat hukum
136
yang akan timbul dan yang diterima oleh pelaku hukum (asy-Syathibi,
2004; 837).
Secara teoritis, an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl bisa mempengaruhi
perubahan hukum. Salah satu bentuk perubahan hukum tersebut
adalah perubahan dari mubah menjadi haram. Perbuatan yang mubah
tetapi menjadi perantara kepada perbuatan yang dilarang, maka
perbuatan mubah tersebut dilarang. sekalipun tujuan orang yang
melakukan perbuatan mubah tersebut sesuai dengan hukum syara‟.
Karena tujuan syari‟ yang sebenarnya tidak ditemukan dalam
perbuatan tersebut dan hasil atau dampak akhir berujung kepada hal
yang dilarang (al-Husain, 2009; 345).
Dengan pertimbangan bahwa nikah misyār akan banyak
menimbulkan banyak dampak negatif (mafsadat) yang akan muncul di
kemudian hari dibandingkan dengan sisi maslahatnya, maka dengan
metode sad aż-żarīah dan pendekatan an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl
nikah misyār hukumnya tidak boleh. Di samping dengan metode sad
aż-żarīah dan pendekatan an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl tidak
dibolehkannya nikah misyār dilihat dari sisi motip pelakunya yang
menjadikan nikah sebagai sarana untuk mencari kepuasan seksual.
Nikah dengan hanya sekedar mencari kepuasan seksual jelas tidak
selaras dengan prinsip-prinsip nikah yang diajarkan oleh al-Qur‟an
dan Sunnah Rasul. Pelaku nikah misyār melakukan hilah hukum agar
bisa perbuatannya bisa dibenarkan.
137
Setelah menganalisa pendapat ulama kontemporer tentang
hukum nikah misyār dari sisi pendekatan istinbāṭ hukum, maka
penulis cenderung kepada pendapat al-ibāhah bi al-karāhah dengan
argumentasi bahwa dilihat dari sisi hukum asal dari nikah adalah mubah.
Kemudian sisi yang menjadikan makruh karena praktek nikah misyār
mempunyai dampak positif (maslahat) dan dampak negatif (mafsadat). Di
antara sisi negatifnya adalah pasangan suami-istri dalam nikah misyār
akan cenderung meremehkan kewajiban masing-masing yang berujung
tidak terciptanya kehidupan rumah tangga yang harmonis. Namun, sisi
positifnya, nikah misyār bisa menjadi solusi bagi wanita yang dalam
kondisi tertentu (misalnya telat nikah atau janda yang membutuhkan
suami) dalam mencapai keinginannnya untuk menjaga diri, kehormatan
dan sekaligus keinginan untuk mempunyai keturunan.
C. Sebab Perbedaan Pendapat
1. Perbedaan pendapat tentang syarat pengguguran hak nafkah atau hak
mabīt
Sebagaimana dijelaskan bahwa syarat pengguguran hak nafkah
atau hak mabīt di kalangan ulama kontemporer terjadi perbedaan
pendapat. Abdul Aziz bin Baz memandang bahwa syarat yang ṣahīh
dengan berdasarkan kepada hadits:
أدق : قبل سعل هللا صه هللا عه عهى: ع عقجخ ث عبيش سض هللا ع قبل
سا انجخبس. يب أفزى ي انششط أ رفا ث يب اعزذههزى ث انفشج
“Diriwayatkan dari „Uqbah bin „Amir ra. dia berkata: “Rasulullah
saw. bersabda: “Sesungguhnya suatu syarat yang paling berhak
untuk kalian penuhi adalah syarat-syarat yang kalian gunakan
untuk untuk menghalalkan kemaluan”. (H.R. al-Bukhari) (al-
Bukhari, 2002; 666).
138
Hadits ini dipahami secara umum oleh Abdul Aziz bin Baz yang
melegalkan syarat pengguguran nafkah dan atau hak mabīt, sehingga
syarat ini masih dalam kategori asy-syurūṭ aṣ-ṣahīhah.
Sedangkan Wahbah az-Zuhaili dan Umar Sulaiman al-Asyqar
berpendapat bahwa syarat pengguguran hak nafkah atau hak mabīt
adalah syarat yang batal dengan mendasarkan kepada hadits:
دخم : قبنذ عبئشخ سض هللا رعبن عب :ع انضش قبل عشح ث انضثش
صه هللا عه فقبل سعل هللا ،فزكشد نصه هللا عه عهى سعل هللا عه
صه هللا عه عهى ثى قبو انج ، انالء ن أعزقيب فإ،شزش أعزقإ :عهى
بط شزشط ششطب اليب ثبل : ثى قبل ،ي انعش فأث عه هللا ثب أه
إ اشزشط ، ي اشزشط ششطب نظ ف كزبة هللا ف ثبطم،نظ ف كزبة هللا
سا انجخبس. ششط هللا أدق أثق،يبئخ ششط
“Diriwayatkan dari Az Zuhri bahwa „Urwah bin Az Zubair
berkata: “ „Aisyah ra. berkata: “Rasulullah saw. datang
menemuiku lalu aku ceritakan (peristiwa pembelian budak)
kepada beliau. Pada saat itu juga Rasululah saw. bersabda:
“Belilah dan merdekakanlah, dan hak wala‟ bagi yang
memerdekakannya.” Kemudian Nabi saw. berdiri menegakkan
ibadah malam hari, seraya memuji Allah sebagaimana menjadi
hak-Nya, kemudian bersabda: “Bagaimana jadinya orang-
orang menentukan syarat yang tidak ada dalam kitab Allah.
Orang yang membuat syarat tertentu yang tidak ada di dalam
kitab Allah, maka syarat itu batal sekalipun dia membuat
seratus syarat. Karena syarat yang dibuat Allah lebih hak dan
lebih kokoh”. H.R. al-Bukhari (Al-Bukhari, 2002; 518).
Hadits tersebut dipahami secara umum oleh ulama yang
membatalkan syarat pengguguran nafkah dan atau hak mabīt, karena
termasuk dalam kategori asy-syurūṭ al-fāsidah.
Dari penjelasan tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa
perbedaan pendapat yang muncul di kalangan ulama kontemporer
139
tentang syarat pengguguran hak nafkah atau hak mabīt oleh perbedaan
pandangan dan interpretasi terhadap hadits yang menjadi dasar
pendapat mereka.
2. Sebab perbedaan pendapat tentang hukum nikah misyār
Termasuk salah satu penyebab terjadinya perbedaan pendapat
tentang nikah misyār adalah perbedaan pendekatan istinbāṭ hukum
yang digunakan oleh ulama kontemporer dalam menetapkan hukum
nikah misyār.
Sebagaimana dijelaskan pada analisis pendekatan istinbāṭ
hukum, Abdul Aziz bin Baz menggunakan pendekatan istiṣhāb,
Wahbah az-Zuhaili menggunakan pendekatan istiṣlāh yang
dikombinasikan dengan sad aż-żarīah, dan Umar bin Sulaiman al-
Asyqar menggunakan pendekatan sad aż-żarīah dengan fokus pada
teori an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl. Dengan perbedaan metode istinbāṭ
hukum yang berbeda-beda tersebut, maka pandangan ulama
kontemporer tentang nikah misyār juga berbeda-beda.