issn : 1978-8584 -...

70

Upload: hoangdung

Post on 09-Mar-2019

247 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang
Page 2: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

Pelindung :Dr. Hilmar Farid

Direktur Jenderal Kebudayaan

Pengarah :Dr. Harry Widianto

Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman

Penanggung Jawab : Drs. Marsis Sutopo, M.Si

Kepala Balai Konservasi Borobudur

Pemimpin Redaksi :Yudi Suhartono, MA

Redaksi : Iskandar Mulia Siregar, S.SiWiwit Kasiyati, S.S., M.A

Brahmantara, S.THari Setyawan, S.SJati Kurniawan, S.S

Mitra Bestari :Prof. Dr. Endang Tri Wahyuni, M.Si

Prof. Dr. Inajati AdrisijantiDr. Agi Ginanjar, S.S,. S.E,. M.SiIr. Suprapto Siswosukarto, Ph.D

Tata Letak : Bambang Kasatriyanto, S.I.Kom

Alamat Redaksi : Balai Konservasi Borobudur

Jl. Badrawati Borobudur Magelang 56553

Jawa Tengah

Telp. (0293) 788225, 788175 Fax. (0293) 788367

email : [email protected]

[email protected]

website :www.konservasiborobudur.org

Redaksi menerima tulisan berupa artikel, saduran, terjemahan, maupun segala macam bentuk tulisan yang ada kaitannya dengan arkeologi, konservasi dan pelestarian sumber daya arkeologi. Terjemahan atau saduran harap menyebutkan sumber referensi yang jelas.

Foto sampul depan: Proses Pengambilan Sampel Penggaraman di Candi Borobudur

ISSN : 1978-8584

Daftar Isi

Cyber Arkeologi Dalam Komunikasi ArkeologiKepada Publik Sebagai Sarana Pelestarian Cagar BudayaFauzan Amril 3 - 9

Survey dan Pemodelan 3D (Tiga Dimensi)untuk Dokumentasi Digital Candi BorobudurDeni Suwardhi dkk. 10 - 22

Identifikasi Biodeteriogen SebagaiLangkah Awal Konservasi Benda Cagar BudayaMoh. Habibi, S.Si 23 - 30

Analisis Kandungan Unsur dan TingkatKekerasan Pada Senjata Logam KoleksiMuseum Tosan Aji PurworejoR. Ahmad Ginanjar Purnawibawa 31 - 39

Isolasi Jamur dari Batuan PenutupDrainase pada Sisi Selatan Lantai IIBidang H Candi BorobudurNabiilah Ardini Fauziyyah dkk. 40 - 44

Meninjau Kembali Tujuan Pendiriandan Fungsi Museum-museumdi Kompleks Taman Wisata Candi BorobudurIsni Wahyuningsih, S.S 45 - 54

Pengembangan Kompleks Masjid-MakamMantingan Kabupaten Jepara Jawa TengahMubarak Andi PampangBalai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan 55 - 67

1

Page 3: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR

Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 dalam upaya melestarikan warisan budaya bangsa Indonesia. Pelestarian Cagar Budaya harus terus dilakukan karena umumnya Cagar Budaya berada dalam kondisi yang rentan bahkan juga ada yang terancam. Usaha pelestarian yang dilakukan harus tepat sasaran sehingga dapat berjalan secara efektif dan efisien. Sasaran yang dimaksud adalah risiko yang dihadapi oleh Cagar Budaya.Salah satu upaya pelestarian Cagar Budaya adalah dengan mempublikasi hasil kajian konservasi cagar budaya dalam bentuk penerbitan Jurnal Borobudur, yang pada pada tahun 2016 ini sudah memasuki volume ke 10. Berbagai artikel yang disajikan diharapkan dapat menjadi sumber rujukan dalam melaksanakan pelestarian. Edisi kedua tahun ini kembali menghadirkan tujuh judul kajian dengan berbagai topik yang berbeda. Upaya yang konsisten dalam menerbitkan jurnal ini dengan dua edisi per tahun, serta diikuti dengan semakin luasnya penulis yang berkontribusi. Salah satu yang positif dari jurnal edisi ini adalah semakin banyaknya penulis di luar institusi penerbit (Balai Konservasi Borobudur), yaitu lima dari penulis luar dan dua dari dalam institusi. Hal ini semakin membuktikan kualitas dan daya tarik Jurnal Borobudur sebagai sarana komunikasi ilmiah di kalangan pelestari Cagar Budaya.Sebagai artikel pembuka Cyber Arkeologi: Otentisitas Objek Dalam Mengkomunikasikan Arkeologi Kepada Publik oleh Fauzan Amril, dilanjutkan dengan artikel berjudul Survey dan Pemodelan 3D untuk Dokumentasi Digital Candi Borobudur oleh Deni Suwardhi, Identifikasi Biodeteriogen sebagai Langkah Awal Konservasi Benda Cagar Budaya oleh Moh. Habibi, Analisis Kandungan Unsur dan Tingkat Kekerasan pada Senjata Logam Koleksi Museum Tosan Aji oleh R. Ahmad Ginanjar Purnawibawa, Isolasi Jamur dari Batuan Penutup Drainase pada Sisi Selatan Lantai II Bidang H Candi Borobudur oleh Nabiilah Ardini Fauziyyah, Meninjau Kembali Tujuan Pendirian dan Fungsi Museum di Kompleks Taman Wisata Museum Candi Borobudur oleh Isni Wahyuningsih, dan terakhir adalah artikel Pengembangan Kompleks Masjid-Makam Mantingan Kabupaten Jepara Jawa Tengah oleh Mubarak Andi Pampang. Semua artikel yang disajikan sudah melalui proses penilaian oleh Mitra Bestari. Semoga artikel yang disajikan dapat memberikan manfaat khususnya dalam pelestarian Cagar Budaya.

Tim Redaksi.

2

Page 4: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

Cyber Arkeologi Dalam Komunikasi Arkeologi Kepada PublikSebagai Sarana Pelestarian Cagar Budaya

Fauzan AmrilProgram Studi Magister Arkeologi,

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

Abstrak : Masalah yang dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai penyebaran informasi mengenai arkeologi yang masih sangat terbatas. Untuk itu diperlukan saluran-saluran atau media-media komunikasi yang dapat menjangkau kepada seluas mungkin lapisan masyarakat. Dengan mempelajari bentuk-bentuk komunikasi yang telah dilakukan, dalam tulisan ini bermaksud untuk memberikan alternatif terhadap model komunikasi, dalam hal ini berupa cyber-arkeologi yaitu berkomunikasi melalui dunia maya. Penyebaran informasi atau berkomunikasi melalui dunia maya diharapkan dapat menjangkau lebih luas lagi publik yang membacanya sehingga masyarakat pun memahami tentang nilai penting yang terkandung di dalam kebudayaan yang mereka miliki, yang pada akhirnya pula dapat membawa masyarakat terlibat dalam upaya pengelolaan dan pelestariannya.

Kata Kunci: Arkeologi Publik, Komunikasi, Otentisitas, Pelestarian.

ABSTRACT : Issues discussed in this paper is on the dissemination of information about archaeology which is still very limited. It required channels or communication media to reach out to the broadest possible layers of society. By studying the forms of communication that have been made, this paper intends to provide an alternative to the model of communication, in this case is cyber-archeology that communicate through cyberspace. Dissemination of information or communicating through the virtual world is expected to reach a broader public who read it, so that the public understands about important values embodied in their culture, which eventually brought the community involved in the management and preservation.

Keywords: Public Archaeology, Communication, Authenticity, Preservation.

3

I. PendahuluanA. Latar Belakang

Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masa lalu melalui budaya materinya. Arkeologi mencoba untuk memahami bentuk dari masa lalu, melalui analisis bentuk arkeolog mencoba memahami pola distribusi dari tinggalan masyarakat masa lalu pada ruang dan waktu. Dari bentuk dan hubungannya dengan tinggalan masa lalu arkeolog dapat menentukan fungsi dari benda tersebut, yang kemudian dapat merekonstruksi perilaku manusia masa lalu. Selain itu arkeolog juga akan memahami proses budaya melalui bukti-bukti arkeologi, menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa kebudayaan berubah melalui materi budayanya (Sharer dan Ashmore, 1979: 12).

Benda tinggalan masa lalu tersebut merupakan data arkeologi yang melaluinya para arkeolog mencoba memahami masa lalu. Bentuk dari data arkeologi antara lain berupa artefak, fitur, dan ekofak. Artefak adalah benda yang dapat dipindahkan yang bentuknya secara keseluruhan atau sebagian diubah oleh aktivitas manusia, fitur adalah artefak yang tidak dapat dipindahkan (tidak

dapat diangkat dan tidak dapat dilepas dari konteksnya) tanpa mengubah atau merusak bentuk aslinya, dan ekofak adalah benda yang bukan merupakan artefak atau berupa material tetapi memiliki relevansi dengan budaya, walaupun bukan hasil aktivitas manusia secara langsung ekofak juga memberikan informasi penting mengenai tingkah laku manusia masa lalu (Sharer dan Ashmore, 1979: 70-72). Selain ketiga bentuk data arkeologi tersebut terdapat pula data arkeologi yang disebut dengan situs, menurut Undang-undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, situs adalah lokasi yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/ atau struktur cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu (UU No 11 Tahun 2010, Pasal 1 Ayat (5)). Di dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan benda cagar budaya dapat disamakan dengan artefak sedangkan bangunan dan struktur cagar budaya merupakan fitur.

Berbagai istilah dan definisi yang disebutkan di atas merupakan istilah dan definisi serta objek yang menjadi keseharian bagi para arkeolog atau orang-orang yang berkecimpung dibidang penelitian maupun

Page 5: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

pelestarian warisan budaya. Istilah dan definisi serta objek yang mungkin belum dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Para arkeolog akan dengan mudah mengidentifikasi sebuah benda digolongkan ke dalam artefak, fitur, ekofak, atau situs. Namun hal ini tidak mudah untuk diketahui oleh orang awam karena pengetahuan tentang hal tersebut bisa dikatakan belum menyentuh kepada sebagian besar masyarakat, sehingga menyebabkan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap tinggalan budayanya dalam hal ini yang berupa kebendaan.

Undang-undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budayapada Pasal 1 ayat (21) memberikan penekanan kepada memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, hal ini menunjukkan bahwa ada kepentingan untuk memakmurkan masyarakat melalui kebudayaan. Seorang arkeolog juga dituntut untuk mengabdikan diri pada ilmu dan pengetahuan arkeologi dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan pemanfaatan bagi kehidupan masyarakat, sebagaimana yang tertera dalam mukadimah AD/ART IAAI yang lengkapnya sebagai berikut:

“sebagai warga negara yang menyadari pentingnya warisan budaya nasional, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, dan pemanfaatan bagi kehidupan masyarakat serta untuk memperkukuh jadidiri bangsa, maka ahli arkeologi Indonesia mengabdikan diri pada ilmu dan pengetahuan arkeologi dengan pemikiran, pendekatan, dan cara-cara yang positif ilmiah serta dengan penuh tanggung jawab kepada nusa dan bangsa.” (dalam Supardi, 2012: 126)

Seorang arkeolog memiliki tanggungjawab untuk menyampaikan hasil penelitiannya kepada masyarakat sebab biaya penelitian yang dilakukan oleh arkeolog berasal dari rakyat sehingga hasil penelitian tersebut sudah semetinya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat (Magetsari, 2012: 117). Jadi tanggung jawab seorang akeolog tidak berhenti pada menyampaikan saja tetapi hingga dapat memberikan manfaat pada masyarakat serta dapat mengajak masyarakat untuk terlibat dalam upaya pelestariannya.

Berkaitan dengan memberikan manfaat kepada masyarakat, yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana membuat masyarakat tahu terlebih dahulu berkaitan dengan hasil penelitian arkeologi maupun objek yang menjadi perhatian arkeologi, dalam hal

ini kebudayaan dari benda-benda tinggalan masa lalu. Berbicara mengenai menyampaikan informasi kepada pihak lain maka akan berkaitan dengan permasalahan komunikasi yaitu proses pengiriman pesan dari satu pihak ke pihak lain (Widodo, 2012: 34).

Melalui komunikasi maka berbagai informasi berkaitan dengan ke-arkeologi-an baik penelitian maupun pelestariannya dapat disampaikan kepada masyarakat. Komunikasi memiliki tujuan memastikan adanya pemahaman terhadap informasi atau pesan yang disampaikan, membangun pengertian atau pemahaman, serta memberikan motivasi untuk melakukan berdasarkan informasi tersebut (Pace, 2002 dalam Widodo, 2012 : 35). Pesan yang disampaikan melalui komunikasi diharapkan dapat diterima dengan pemahaman yang baik oleh penerimanya, dan dari pemahaman tersebut akan mendorong untuk melakukan tindakan-tindakan berdasarkan informasi yang telah dipahami termasuk berpartisipasi dalam upaya pelestarian cagar budaya.

Berdasarkan beberapa hal yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa upaya pelestarian dapat berjalan dengan baik apabila pemahaman mengenai cagar budaya serta pelestariannya dimiliki pula oleh masyarakat, pemberian pemahaman kepada masyarakat dilakukan melalui proses komunikasi yang baik. Oleh karena itu permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini adalah bagaimana bentuk komunikasi yang efektif dalam pemberian informasi kepada masyarakat agar masyarakat dapat memahami tentang cagar budaya dan dapat terlibat dalam upaya pelestariannya.

II. PembahasanA. Komunikasi Melalui Dunia Maya

Manusia tidak akan lepas dari berkomunikasi, komunikasi sudah menjadi kebutuhan bagi manusia sebab melalui komunikasi manusia akan saling berhubungan satu sama lain. Harold D. Lasswell dalam Canagara (2011: 2-3) menyebutkan ada tiga fungsi yang menyebabkan manusia memerlukan komunikasi yaitu manusia memiliki keinginan mengontrol lingkungannya, manusia berupaya untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan manusia berupaya melakukan transformasi warisan sosialisasinya. Melalui komunikasi manusia dapat memahami segala sesuatu dengan proses belajar, sehingga manusia dapat mengontrol lingkungannya dari pemahaman yang

4

Amril , Cyber Arkeologi Dalam Komunikasi Arkeologi Kepada Publik Sebagai Sarana Pelestarian Cagar Budaya

Page 6: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

5

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 3-9

diperoleh dengan belajar dan melalui berkomunikasi. Manusia perlu menyesuaikan dengan lingkungannya, dalam hal untuk mengontrol lingkungan tersebut maka manusia perlu beradaptasi dengan lingkungan, proses adaptasi dipahami pula melalui proses komunikasi. Pada akhirnya manusia akan mempertahankan eksistensinya dengan cara mentransformasi warisan sosialisasinya, yang dalam hal ini dapat terlaksana karena adanya komunikasi dari orangtua kepada anaknya atau sebuah bentuk komunikasi yang terjadi pada proses belajar mengajar di sekolah atau dalam berbagai bentuk komunikasi.

Dalam beberapa pengertian komunikasi adalah proses mengalihkan ide atau informasi dari sumber informasi kepada seorang atau beberapa orang dengan tujuan mengubah tingkah laku mereka (Everett M. Rogers dalam Cangara, 2011: 20). Dari pengertian ini berarti ada maksud dari sebuah komunikasi untuk merubah tingkah laku, jika pada awalnya seseorang tidak memahami tentang arkeologi sehingga ada sikap ketidak pedulian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan arkeologi, setelah ada proses komunikasi diharapkan seseorang atau sekelompok orang akan memahami atau terjadi perubahan tingkah laku pada seseorang atau sekelompok orang tersebut terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan arkeologi, baik yang berkaitan dengan hasil penelitiannya maupun berkaitan dengan aktivitas pelestariannya.

Agar pesan yang diharapkan sampai maka diperlukan komunikasi yang efektif, komunikasi yang efektif dapat terjadi jika terdapat pertukaran pengalaman yang sama pada dua pihak yang melakukan komunikasi, walaupun tidak ada penerimaan yang seutuhnya antara dua pihak yang melakukan komunikasi tetapi komunikasi tersebut dapat dikatakan efektif ketika ada banyak hal yang dapat dipahami bersama. Menurut Aristoteles terjadinya komunikasi disebabkan oleh tiga unsur yaitu siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan, dan siapa yang mendengar. David K. Berlo memformulasikan komunikasi dengan istilah SMCR yaitu singkatan dari Source (pengirim), Message (pesan), Channel (saluran/media), dan Receiver (penerima). Belakangan ini unsur lingkungan menjadi salah satu unsur dalam komunikasi karena faktor lingkungan dianggap sebagai yang dapat mempengaruhi jalannya proses komunikasi (Cangara, 2011: 21-27).

Pengirim menyampaikan pesannya melalui suatu saluran atau media agar sampai kepada penerima. Media merupakan sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada penerima pesan. Media terdiri dari empat macam, pertama adalah media antarpribadi yaitu media yang digunakan dalam melakukan komunikasi dalam hubungan perorangan, contohnya adalah pengiriman pesan melalui seorang utusan, surat, dan komunikasi antarpribadi melalui telepon. Kedua adalah media kelompok yaitu komunikasi yang meibatkan suatu kelompok dalam jumlah tertentu, komunikasi dengan menggunakan media kelompok terjadi pada sebuah rapat, seminar, dan konferensi; dalam hal ini komunikasi dengan media kelompok dapat dilakukan berupa sosialisasi mengenai cagar budaya dalam bentuk seminar. Ketiga, media publik yaitu media komunikasi yang digunakan terhadap penerima pesan dalam jumlah yang lebih besar dari kelompok yaitu lebih dari 200 orang, bentuknya dapat berupa tabligh akbar yang dilakukan oleh ulama-ulama dalam menyiarkan dakwahnya; media ini jarang dilakukan dalam rangka menyampaikan informasi berkaitan dengan arkeologi. Keempat adalah media massa yaitu media komunikasi yang dilakukan terhadap penerima pesan yang tidak diketahui keberadaannya, media massa merupakan alat yang mentransfer pesan dari sumbernya dengan menggunakan alat komunikasi berupa surat kabar, radio, televisi, dan komputer dengan internetnya. Melalui media massa informasi dapat tersebar tanpa dihalangi oleh jarak dan waktu, pesan yang disampaikan dapat diterima kapan saja oleh siapa saja dan di mana saja (Cangara, 2011: 125-154).

Dengan munculnya internet media antarpribadi, media kelompok maupun media publik dapat dilakukan dalam satu media yaitu media massa. Media antarpribadi yang biasa dilakukan melalui surat menyurat dapat dilakukan lewat internet dengan electronic mail atau yang dikenal dengan e-mail, rapat-rapat yang biasa dilakukan secara tatap muka berkumpul dalam satu ruangan, melalui internet dapat dilakukan secara jarak jauh dengan teknologi skype-nya, dan lain sebagainya bahwa media massa dalam bentuk virtual telah menjadikan komunikasi lebih mudah dan lebih efektif.

Aktivitas manusia diberbagai penjuru dunia dapat diketahui dan disaksikan oleh manusia lain di penjuru dunia lainnya melalui internet dengan dunia

Page 7: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

virtualnya. Tentang hal ini kita mengenal seorang filsuf asal Prancis yang terkenal dengan konsep simulacra, hyperreality, sign, virtual, dan lain-lain, yaitu Jean Baudrillard. Menurut Baudrillard simulasi merupakan realitas secara menyeluruh yang menggabungkan dimensi simulasi-hiperrealisme. Konsep Baudrillard tentang hyperreality sangat mempengaruhi pada kajian-kajian komunikasi, informasi, sosial, politik, dan lain-lain, menurutnya realitas lama sudah mati dengan munculnya realitas baru yang disebut dengan hiperrealitas tadi (Lubis, 2014: 170-171).

Melalui bukunya yang berjudul Simulation dan selanjutnya dikembangkan pada buku yang terbit kemudian dengan judul Simulacra and Simulacrum, Baudrillard mencoba menjelaskan bahwa simulasi merupakan realitas yang dibentuk oleh berbagai hubungan tanda dan kode secara acak tanpa referensi yang jelas, era di mana keaslian atau realitas telah lenyap digantikan dengan realitas virtual. Yang nyata telah digantikan dengan yang tidak nyata atau hyperreal atau realitas virtual. Turkle menyatakan bahwa realitas virtual lebih menggambarkan kehidupan yang nyata ketimbang kenyataan itu sendiri, lebih benar ketimbang kebenaran itu sendiri (Lubis, 2014 : 180-189). Simulasi akan memberikan kesan yang lebih daripada aslinya, sebuah iklan akan menyampaikan kebaikan-kebaikan dari produk dengan membuat simulasi seolah-oleh sebuah produk akan memberikan efek yang cepat terhadap penggunanya. Misalnya iklan obat, di televisi ditampilkan sesaat setelah minum obat maka orang tersebut akan langsung sembuh, padahal kenyataannya diperlukan proses untuk penyembuhan.

Dalam dunia arkeologi simulasi diperlukan untuk mentransfer pengetahuan kepada masyarakat, hal ini berkaitan dengan tanggungjawab seorang arkeolog yang di dalam undang-undang diamanatkan bahwa pelestarian kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya memakmurkan masyarakat. Penyampaian informasi melalui internet atau dunia maya merupakan salah satu bentuk simulasi yang diungkapkan oleh Baudrillard dalam Lubis (2014), yang dalam beberapa hal ditujukan untuk menampilkan tiruan lebih unggul dari aslinya. Dalam hal keperluan arkeologi, di mana informasi yang ingin disampaikan merupakan informasi yang sebenarnya maka yang diharapkan dalam kemasan media komunikasi dalam bentuk media massa melalui dunia maya atau

virtual reality, maka dalam hal ini ketepatan informasi menjadi suatu yang sangat diperhatikan, sebuah tiruan harus menggambarkan sebagaimana aslinya. Komunikasi melalui dunia maya berdasarkan jenis media pada ilmu komunikasi merupakan media massa, dan media massa memanfaatkan kemajuan teknologi komputer dengan perkembangan internetnya, hal ini merupakan media yang juga digunakan dalam penyebaran informasi mengenai arkeologi sehingga pengetahuan arkeologi dapat dipahami dan diwarisi.

B. Arkeologi di Dunia MayaArkeologi sebagaimana telah dipaparkan di

atas adalah ilmu yang mempelajari masa lalu melalui tinggalan budaya berupa material (material culture). Objek arkeologi adalah sesuatu yang unik, langka, dan tidak dapat diperbaharui oleh karena itu melestarikannya merupakan cara untuk mempertahankan keberadaannya agar dapat diambil manfaatnya. Selama ini masyarakat dapat menyaksikan benda-benda tersebut ditampilkan dimuseum-museum atau melalui media cetak berupa buku, brosur, maupun media cetak lainnya. Walaupun demikian arkeologi masih dirasakan sebagai sebuah ilmu masa lalu yang kuno, yang mungkin akan menghambat pembangunan atau modernisasi. Generasi saat ini adalah generasi yang teknologi maupun informasi berada di genggaman, dengan bermunculannya teknologi baru di dunia informasi maka informasi dapat diakses kapan saja dan di mana saja.

Kemajuan teknologi ini mendorong arkeologi untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Menuntut para arkeolog untuk lebih kreatif dalam menampilkan dunia arkeologi kepada khalayak ramai dalam berbagai segmentasinya. Arkeolog atau siapapun yang terlibat dalam pelestarian benda arkeologi haruslah menempatkan objek arkeologi sebagai product-knowledge, yaitu objek arkeologi merupakan pesan yang nilai informasinya perlu diidentifikasi, dengan demikian menampilkan objek arkeologi tidak hanya menampilkan bendanya saja tetapi juga pesan yang terkandung di dalamnya. Pesan-pesan tersebut selanjutnya dapat membawa orang yang melihatnya kepada peristiwa yang pernah dialami oleh benda tersebut (Widodo, 2012: 36-37).

Media yang tepat dalam hal penyampaian informasi tentang akeologi adalah media massa,

6

Amril , Cyber Arkeologi Dalam Komunikasi Arkeologi Kepada Publik Sebagai Sarana Pelestarian Cagar Budaya

Page 8: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

7

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 3-9

sebagaimana telah dijelaskan media massa merupakan media penyampaian pesan dari sumbernya kepada penerima sumber dengan menggunakan alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, televisi, dan perkembangan terakhir adalah melalui internet (Cangara, 2011:128).

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, informasi yang dikomunikasikan dengan berbagai bentuk media diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan kesadaran kepada khalayak, oleh karena itu diperlukan alat komunikasi yang tepat, mudah diakses, dan menarik. Media berupa surat kabar adalah media yang sudah umum digunakan namun terkadang tidak semua orang menyukai dengan membaca terlebih lagi jika disuguhkan dalam teks yang panjang. Media berupa film mungkin akan lebih menarik, seperti film Indiana Jones yang memang menjadi inspirasi beberapa orang untuk masuk jurusan arkeologi, tetapi film bukanlah media yang interaktif sehingga penonton tidak dapat merasakan secara langsung dari apa yang disuguhkan, penonton hanyalah menjadi penonton. Media radio merupakan alat komunikasi dengan cara mendengar, tidak ada yang bisa dilihat melalui media radio, pendengar diharapkan dapat berimajinasi mengenai hal-hal yang disampaikan melalui media radio. Terlepas dari itu semua, setiap media ini memiliki tujuan yang sama yaitu menyampaikan pesan atau informasi. Tujuannya mungkin dapat dicapai tetapi dalam hal interaksi dengan objek sangatlah kecil kemungkinannya untuk dicapai sehingga penerima pesan tidak dapat merasakan informasi disampaikan.

Untuk itu perlu media komunikasi yang dapat juga dirasakan oleh penerima pesan. Beberapa yang dapat dilakukan antara lain berupa simulasi 3 dimensi, menampilkan objek digital, dan yang berupa kawasan dengan cara merekonstruksinya dan membuat beberapa simulasi di beberapa lokasi pada kawasan tersebut. Dalam hal menampilkan benda koleksi ataupun penyampaian informasinya, otentisitas menjadi perhatian dalam arkeologi. Berkaitan dengan hal ini selalu menjadi perdebatan berkaitan dengan keaslian dari objek dalam menampilkannya. Objek-objek tiruan oleh Baudrillard disebut sebagai simulacra, ia adalah sebuah citra dari material sebagai representasi dari orang atau sesuatu, menurutnya juga bahwa citraan ini tidak memiliki substansi sehingga tidak menunjukkan hal yang nyata.

Hal karena Baudrillard berpendapat bahwa saat ini adalah zaman di mana keaslian sudah lenyap (Lubis, 2014 : 180).

Perdebatan berkisar pada otentisitas dan apakah objek tiruan atau objek digital dapat mewakili dari objek yang asli. Dan apakah keterwakilan objek asli dengan objek tiruan atau objek digital dapat menyampaikan informasi atau pengetahuan yang terdapat pada objek asli. Berkaitan dengan hal ini Fiona Cameron (2007) membuat kajian bagaimana sebuah replika ditampilkan untuk mewakili objek aslinya dalam sebuah museum. Ia mencoba mengungkapkan dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang tradisional yang menilai bahwa objek asli tidak dapat digantikan dengan replika dalam hal ini terdapat kekhawatiran oleh penganut paham tradisional berkaitan dengan makna yang hilang pada sebuah objek. Sedangkan sudut pandang kedua yaitu sudut padang postmodern yang dalam hal ini diwakili oleh Baudrillard, memandang bahwa objek asli dapat diwakilkan dengan tiruan, sebab intinya adalah apa yang ingin disampaikan bukan bagaimana menyampaikan. Menurut Baudrillard reproduksi virtual merupakan analog yang sempurna dan memiliki arti yang sama dengan objek aslinya.

Sementara pihak yang menyatakan bahwa objek asli tidak dapat digantikan dengan bentuk virtual atau tiruan berpandangan bahwa objek adalah sebuah gagasan yang padanya dapat dikomunikasikan secara sempurna dengan cara menampilkan apa adanya objek tersebut, sebab tanpa objek asli, objek virtual atau tiruan tidak memiliki makna, roh dan referensi (Cameron, 2007: 53). Dalam kasus yang lain terdapat istilah authentic reproductionyang disematkan untuk sebuah situs bersejarah di New Salem. Situs ini merupakan tempat di mana Abraham Lincoln tinggal pada masa remajanya. Situs ini menggambarkan bagaimana perjuangan Lincoln hingga akhirnya menjadi presiden Amerika, dan sejarah Lincoln adalah sejarah Amerika (Bruner, 2007: 301-302).

Dalam hal ini yang dimaksud dengan reproduksi otentik berkaitan dengan New Salem adalah ingin mereproduksi apa yang pernah ada di New Salem pada tahun 1830 dan menjadikannya otentik sebagaimana yang ada pada tahun tersebut. Jadi yang dimaksud dengan reproduksi otentik di sini adalah otentik seperti pada saat tahun 1830. Dan pengertian otentik di sini dapat dibedakan menjadi beberapa pengertian, pertama kemiripan (versimility) dalam pengertian ini objek yang

Page 9: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

8

Amril , Cyber Arkeologi Dalam Komunikasi Arkeologi Kepada Publik Sebagai Sarana Pelestarian Cagar Budaya

ditampilkan memiliki kemiripan dengan objek yang pernah ada pada tahun 1830, kedua keaslian (genuineness) maksudnya adalah menampilkan keaslian secara substansi pada New Salem, ketiga orisinil (original) dalam pengertian ini memang memunculkan objek yang asli, dengan beberapa objek yang masih asli di New Salem, dan keempat adalah otoritas (authority) yaitu New Salem dinilai otentik atas dasar penetapan oleh otoritas (Bruner, 2007: 302-303).

Kembali kepada permasalahan, di dalam Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 dalam Pasal 28C ayat (1) disebutkan: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Jelas dalam pasal ini disebutkan bahwa setiap orang di dalam negara kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk mengembangkan dirinya, salah satunya yang diperoleh dari pemanfaatan seni dan budaya, dalam hal ini budaya dikaitkan dengan arkeologi atau tinggalan purbakalanya. Dengan informasi yang diperoleh diharapkan masyarakat dapat mengetahui tentang kebudayaannya, informasi ini disampaikan atau dikomunikasikan melalui berbagai media sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya.

Otentisitas yang diperdebatkan akan menjadi prioritas kedua ketika kepentingan untuk mengkomunikasikan informasi adalah tujuan utamanya, agar komunikasi menjadi efektif maka media massa melalui media internet merupakan media yang cukup efektif. Transfer pengetahuan melalui media internet yang di dalamnya juga mencakup foto digital merupakan media yang mudah diakses oleh masyarakat, sehingga dapat menjangkau kepada banyak orang dan memproduksi serta menyebarkan informasi tentang arkeologi, media internet juga dapat disajikan secara interaktif walaupun untuk ini dibutuhkan biaya yang lebih besar, seperti yang sudah dilakukan oleh situs Warisan Dunia di Lascaux yang menyajikan website interaktif sehingga pengunjung dapat mengekplorasi secara virtual (Grant, 2008: 372-376).

Selain persebarannya yang lebih luas, pemanfaatan media massa berupa internet juga dapat memberikan dampak positif dalam hal perawatan objek aslinya. Sebab objek tiruan dalam bentuk virtual

menggantikan posisi objek asli, sehingga objek asli tetap berada pada tempatnya dan tidak terganggu oleh aktivitas perpindahan, hal ini akan mengurangi dampak kerusakan pada objek mengingat benda arkeologi atau koleksi museum memiliki karakter yang rapuh dan tidak dapat diperbaharui (Sektiadi, 2008: 522). Dalam hal ini penggunaan objek virtual merupakan salah satu cara mengkonservasi koleksi selain sebagai media informasi.

Walaupun demikian, objek asli merupakan bukti sejarah yang tidak bisa digantikan. Sebuah replika, bentuk digital, ataupun simulasi hanyalah bentuk komunikasi yang mempermudah tersebarnya informasi. Reproduksi suatu objek dimaksudkan untuk penyebaran kebudayaan melalui media-media baru, selain itu reproduksi melalui fotografi akan tercipta hubungan yang lebih tajam antara media dengan objeknya, dengan demikian objek digital membawa objek sejarah dan maksud dari pembuatnya kepada masyarakat di masa sekarang (Cameron, 2007: 55).

Nilai positif yang dimiliki oleh penyebaran informasi melalui internet atau cyberspace menjadikannya media yang perlu terus dikembangkan dengan tidak mengurangi nilai penting dari objek aslinya. Pengembangannya dengan memperhatikan juga sasaran dari penerima pesan tersebut, sebab penerimaan dari siswa SD akan berbeda dengan mahasiswa di universitas, sasaran yang berbeda juga akan membedakan model dari penyampaiannya. Untuk siswa SD mungkin akan lebih menarik disampaikan dalam bentuk games atau kartun yang disuguhkan secara interaktif, sedangkan untuk mahasiswa tentunya dapat disajikan dengan cara yang lebih serius.

III. PenutupKemajuan teknologi informasi menjadikan

penyebarannya menjadi lebih mudah dan jangkauannya lebih luas. Segala bidang telah menikmati kemudahan dari teknologi ini tidak terkecuali arkeologi. Kebutuhan untuk memberikan informasi kepada publik mendorong para pemberi pesan atau sumber informasi menyajikan informasi semudah mungkin dan dapat dipahami dengan baik oleh penerima pesan. Penyampaian pesan melalui internet menjadi pilihan yang harus dilalui mengingat teknologi saat ini sudah semakin maju, di mana informasi sudah berada digenggaman, sehingga dimana saja dan

Page 10: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

9

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 3-9

kapan saja oleh siapa saja informasi itu dapat diakses.Adalah tangung jawab sosial seorang arkeolog

untuk memberikan informasi tersebut sebagai bentuk kontribusi arkeologi dalam membangun jatidiri dan karakter bangsa sehingga arkeologi dapat memasyarakat. Dengan demikian tujuan dari komunikasi ini juga dapat tercapai yaitu menyadarkan masyarakat atas apa yang telah disampaikan melalui proses komunikasi itu. Kesadaran masyarakat yang terbentuk melalui proses komunikasi dalam penyampaian informasi akan membentuk masyarakat yang peduli terhadap warisan budayanya, kepedulian yang akan membawa masyarakat pada peran sertanya dalam melestarikan, menginternalisasikan dalam diri dan kemudian dapat menyampaikannya kepada orang lain.

Komunikasi melalui cyber pada akhirnya akan membentuk cyber culture dalam dunia arkeologi. Ini adalah manfaat dari kemajuan teknologi yang memberikan

dampak yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Arkeologi yang sebelumnya hanya diketahui oleh segelintir orang, hanya berputar di lingkungan peneliti atau pelestari arkeologi saja, saat ini dapat tersebar luas melalui media digital. Namun dengan tidak meninggalkan nilai penting pada objek asli dan pentingnya menjaga keaslian dari objek asli tersebut. Menjaga keaslian dari objek merupakan upaya pelestarian yang pada akhirnya akan memperpanjang usia dari objek tersebut. Sebab pada objek asli tersebutlah terdapat informasi yang akan disampaikan kepada masyarakat. Otentisitas objek dalam hal ini pada akhirnya akan berbicara mengenai otentisitas dari informasi yang disampaikan atau disajikan pada objek virtual melalui cyber arkeologi. Oleh karena itu, mengkomunikasikan arkeologi kepada publik dalam bentuk cyber arkeologi merupakan salah satu cara untuk melestarikan warisan budaya.

Sharer, Robert.J dan Wendy Ashmore. 1979. Fundamentals of Archaeology. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.

Supardi, Nunus. 2012. “Arkeologi Untuk Masyarakat-Masyarakat Untuk Arkeologi (Catatan Kecil Seorang Pemerhati Untuk IAAI).” dalam Supratikno Rahardjo (ed.) .Arkeologi Untuk Publik. Jakarta: IAAI. Hal: 125-134.

Widodo, Suko. 2012. “Mengkomunikasikan Makna Arkeologi Bagi Publik Dalam Konteks Kekinian” dalam Supratikno Rahardjo (ed.) Arkeologi Untuk Publik. Jakarta: IAAI. Hal: 33-38.

Peraturan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia No. 11

Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

DAFTAR PUSTAKABruner, Edward M. 2007. “Abraham Lincoln as Authentic

Reproduction: A Critique of Postmodernism” dalam Simon J. Knell (Ed.) Museum in the Material World. Oxon: Routledge. Hal. 246-252.

Cameron, Fiona. 2007. “Beyond the Cult of Replicant-Museum and Historical Digital Objects: Traditional Concerns, New Discources” dalam Fiona Cameron dan Sarah Kenderline (Ed.) Theorizing Digital Cultural Heritage: A Critical Discourse. Boston: MIT Press. Hal. 49-76.

Cangara, H. Hafied. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.

Magetsari, Noerhadi. 2012. “Tanggung Jawab Sosial Ahli Arkeologi” dalam Supratikno Rahardjo (Ed.) Arkeologi Untuk Publik. Jakarta: IAAI. Hal: 103-124.

Page 11: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

10

Survey dan Pemodelan 3D (Tiga Dimensi)untuk Dokumentasi Digital Candi Borobudur

Deni Suwardhi dkk.Kelompok Keahlian Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis,

Institut Teknologi Bandung Balai Konservasi Borobudur , Magelang, Indonesia

Abstrak : Candi Borobudur merupakan salah satu warisan budaya masa lampau yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Dunia. Upaya pelestarian Candi Borobudur sebagai salah satu Warisan Dunia (World Heritage) terus dilakukan oleh para pelestari, salah satunya adalah dengan melakukan perekaman secara digital dalam bentuk model 3D (tiga dimensi). Data - data yang disampaikan dalam kajian ini merupakan hasil survey yang terdiri dari (i) survey pemotretan udara menggunakan WUNA (wahana udara nir-awak), (ii) survey pemotretan terestris, (iii) survey terestris menggunakan sensor aktif laser scanner, dan (iv) survey GPS (Global Positioning System) teliti. Kamera yang digunakan dalam pemotretan udara maupun terestris adalah kamera digital format kecil non-metrik yang mempunyai karakteristik parameter orientasi dalam, seperti panjang fokus dan distorsi lensa, yang tidak stabil, sedangkan untuk pemotretan bagian candi yang sulit diambil dari udara seperti patung, relief dan stupa, digunakan teknik foto terestris rentang dekat yang mempunyai prinsip sama dengan teknik foto udara. Salah satu tantangan dalam pengolahan data hasil kajian ini adalah bagaimana teknik Fotogrametri Digital memungkinkan penggabungan keseluruhan foto yang diambil dengan data hasil survey GPS teliti sebagai titik kontrol dan memberi koordinat global pada model 3D yang dihasilkan. Penggabungan tersebut mempunyai tujuan untuk menghasilkan model 3D dengan ragam tingkat kedetilan (Multilevel of Detail). Beberapa objek dengan tingkat kedetilan tinggi, seperti patung, relief dan stupa, dibandingkan dengan model yang dihasilkan dari sensor aktif laser scanner. Setelah model 3D dibuat, tahap berikutnya adalah mengintegrasikan model 3D menjadi Sistem Informasi Geografis 3D untuk analisis lebih lanjut. Kerangka kerja internasional untuk pemodelan kota 3D khususnya obyek Warisan Dunia (World Heritage) CityGML diadopsi untuk tujuan ini.

Kata kunci: 3D (tiga dimensi), Warisan Dunia, Borobudur

ABSTRACT : Borobudur is one of the cultural heritage of the past that has been designated by UNESCO as World Heritage. Conservation efforts Borobudur Temple as one of World Heritage (World Heritage) continue to be made by conservationists, one is to do the recording digitally in the form of 3D models (three-dimensional). Data - the data presented in this study is a survey consisting of (i) survey aerial photography using WUNA (vehicle air non-crew), (ii) survey of shooting terrestrial, (iii) survey terrestrial uses active sensors laser scanners, and ( iv) survey GPS (Global Positioning System) carefully. The camera used in aerial or terrestrial digital camera small format non-metric which has the characteristic orientation parameters in, such as focal length and lens distortion, unstable, whereas for shooting parts of the temple which is difficult to take off the air, such as statues, reliefs and stupas , used techniques terestris photo close range that has the same principle with the technique of aerial photographs. One of the challenges in processing data from this study is how the Digital Photogrammetric techniques allows the incorporation of all photos taken with meticulous GPS survey data as control points and to give the global coordinates of the 3D model generated. The merger has the objective to produce a 3D model with a variety of levels of detail (Multilevel of Detail). Some objects with a high level of detail, such as sculptures, reliefs and stupas, compared to the models generated from the active sensor laser scanner. Once the 3D model is created, the next step is to integrate 3D models into a 3D Geographical Information System for further analysis. International framework for 3D city modeling particular object of World Heritage (World Heritage) CityGML was adopted for this purpose.

Keywords: 3D (three-dimensional), World Heritage, Borobudur

1 Pendahuluan Sebagai warisan budaya dunia, Candi Borobudur perlu mendapatkan perhatian dalam pemeliharaannya, sebagaimana tertuang dalam perundang-undangan di Indonesia juga dalam arsip internasional (UNESCO):1. UU RI no 11 thn 2010 tentang Cagar Budaya, Bab VII,

Pasal 53 “Pelestarian cagar budaya dilakukan berdasarkan

hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif.”

2. Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage, November 1972, Section II. National Protection and International Protection of the Cultural and Natural Heritage, Article 5 “... to set up within its territories, where such

Page 12: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

11

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 10-22

Gambar 1. Candi Borobudur pada saat pemugaran, Perbaikan salah satu stupa yang setelah tragedi peledakan di tahun 1985, Ahli dari Jerman sedang melakukan pengamatan di sebuah bidang relief Candi Borobudur, Senin (17/11/2014) Kompas.com. Dokumentasi Borobudur yang tersedia saat ini. (sumber : Dokumentasi Balai Konservasi Borobudur).

services do not exist, one or more services for the protection, conservation and presentation of the cultural and natural heritage with an appropriate staff and possessing the means to discharge their functions ...”

Upaya untuk menjaga dan melestarikan bangunan bersejarah ini banyak upaya yang telah dilakukan baik oleh pihak asing maupun dari pihak pribumi. Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran dengan proyek terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO (Soekmono, 1976). Gambar 1 (a) memperlihatkan kegiatan restorasi pertama kali pada tahun 1907-1911 Gambar 1 (b) adalah kegiatan ketika perbaikan salah satu stupa yang setelah tragedi peledakan di tahun 1985. Gambar 1 (c) memperlihatkan tim ahli dari Jerman sedang melakukan pengamatan di sebuah bidang relief Candi Borobudur. Sejak 2011, Pihak Jerman telah memberikan dukungan baik berupa dana maupun tenaga ahli untuk melakukan berbagai kegiatan konservasi Candi Borobudur (regional.kompas.com). Selain pemugaran dan rekonstruksi, upaya untuk melakukan dokumentasi Borobudur juga telah dilakukan. Pendokumentasian diantaranya dilakukan dengan cara mengambil gambar atau foto dari masing-masing bagian candi. Pendokumentasian dengan teknik konvensional seperti ditampilkan pada Gambar 1. Untuk itu diperlukan

metode dokumentasi yang dapat mendokumentasikan seluruh detail candi dengan baik. Pada masa lalu, kegiatan pendokumentasian dalam bentuk pengukuran dan pemetaan yang dilakukan oleh para arkeolog, lebih banyak menggunakan teknik yang sederhana seperti dengan pita ukur, alat ukur sudut dan jarak eletronik, penggambaran sketsa ataupun pemotretan. Untuk dapat menghasilkan dokumentasi yang tidak hanya tepat secara visual namun juga secara spasial, diperlukan pengukuran dimensi. Hasil pengukuran dimensi kemudian dapat dituangkan kedalam bentuk gambar profil dan denah 2D (dua dimensi) atau menghasilkan model 3D (tiga dimensi). Salah satu metode yang dapat menjadi alternatif dalam pembuatan dokumentasi Borobudur adalah membuat model 3D digital dengan teknik fotogrametri, khususnya fotogrametri rentang dekat yang dapat digunakan untuk memodelkan bangunan cagar budaya. Teknologi fotogrametri sendiri sebenarnya sudah mulai digunakan untuk pendokumentasian Candi Borobudur pada mas pemugaran 1973-1983. Pada saat itu teknologi ini sudah dikembangkan oleh tenaga-tenaga pemugaran Candi Borobudur dengan metode fotogrametri analog, pengambilan foto menggunakan stereo kamera analog dilanjutkan proses untuk digitasi gambar dua dimensinya (2D). teknologi ini kemudian berkembang ke era sekarang

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

Page 13: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

12

Suwardhi, Survey dan Pemodelan 3D (Tiga Dimensi) untuk Dokumentasi Digital Candi Borobudur

yaitu pada era digital. Dalam rangka menciptakan kesadaran dan pengetahuan umum akan kemampuan teknologi pengukuran dan pemetaan 3D untuk dokumentasi bangunan cagar budaya, maka pada tanggal 28 Oktober 2013 sampai dengan 1 November 2013 di Balai Konservasi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, telah diadakan satu kegiatan lokakarya internasional dengan judul “International Workshop on Reality-Based 3D Modeling for Cultural Heritage and Archeology”. Maksud dari lokakarya adalah untuk memperkenalkan kepada para ahli arkeolog dan cagar budaya tentang teknologi berbasis foto (close range photogrammetry dan UAV-photogrammetry) dan berbasis jarak (laser scanning) dalam pemodelan 3D serta aplikasi dan kegunaannya. 2 Teknologi Survey dan Pemodelan 3D2.1 Teknologi Survey Bangunan Cagar Budaya Sebagaimana teknologi di bidang lainnya, teknologi survey dan pemetaan (surta) berkembang semakin pesat pada penghujung abad ke-20. Kecenderungan umum yang tampak pada perkembangan teknologi pemetaan adalah bergesernya peralatan mekanis dan optis ke peralatan elektronis. Sedangkan pemakaiannya pun bergeser dari manual ke otomatis. Perkembangan ini ditunjang oleh makin besarnya peranan teknologi elektronika dan informatika pada pemetaan, mulai dari pengumpulan data, pengolahan, hingga penyajian data dan penyimpanannya. Sejalan dengan perkembangan teknologi surta, teknologi survey yang biasa digunakan untuk perekaman bangunan cagar budaya, menurut Remondino (2011) bisa dibagi ke dalam 3 kelompok. Kelompok pertama adalah teknologi survey dengan menggunakan sensor aktif, seperti laser scanner, kelompok kedua adalah teknologi

survey dengan menggunakan sensor pasif, seperti kamera dan kelompok ketiga adalah teknologi survey konvesional seperti theodolit, EDM, Total Station dan GPS. a. Metode Survey Klasik

Seiring dengan bergesernya peralatan mekanis dan optis ke peralatan elektronis maka bermunculanlah peralatan seperti alat ukur jarak elektronis (Electronic Distance Measurement/EDM), alat ukur sudut elektronis (digital theodolit) dan bahkan gabungan dari EDM, digital theodolit dan komputer yang dinamakan ETS (Electronic Total Station) seperti terlihat dalam Gambar 2. Sudut dan jarak yang diperoleh dari pengukuran ETS, kemudian dengan menggunakan persamaan trigonometri dapat diperoleh koordinat 3D (X,Y,Z) dari suatu titik relatif terhadap titik tertentu atau titik berdiri alat.

Data yang dihasilkan dari metode survey klasik ini, berupa titik-titik pada detil-detil yang terpilih saja.

b. Metode Survey dengan Sensor AktifSensor aktif memiliki sumber sinar atau

gelombang elektromagnetik sendiri dan sensor juga memiliki kemampuan merekam sinar atau gelombang yang dipantulkan oleh objek yang diukur. Sensor aktif optis banyak digunakan untuk berbagai keperluan, seperti survey dan pemodelan 3D, dan terbagi dalam 3 kategori berdasarkan metode penentuan jaraknya, yaitu yang berbasis pulsa (Time-of-Flight/TOF), fase dan triangulasi. Sensor aktif merekam data geometri 3D dari permukaan objek yang diukur, dalam bentuk kumpulan titik yang juga merupakan koordinat (X,Y,Z) atau sering disebut Point Cloud. Sensor aktif berbasis TOF (pulsa) biasanya mempunyai

Gambar 2. Berbagai peralatan ukur konvensional (a) Elektonic Total Station (b) GPS Receiver (c) Distance Meter (d) Waterpass

(a) (b) (c) (d)

Page 14: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

13

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 10-22

Gambar 3. (a) Sensor Triangulasi (b) Sensor TOF, (c) Sensor Fase, (d) LIDAR

karakteristik mempunyai jangkauan yang cukup jauh ( s/d 3 km) , sedangkan sensor berbasis fase dan triangulasi mempunyai jangkauan menengah ( s/d 100 meter) dan jarak dekat ( s/d 3 meter).

Sensor Breuckmann stereoScan seperti yang terlihat pada Gambar 4 (a), merupakan salah satu contoh sensor aktif dengan metode triangulasi dan mempunyai spesifikasi jangkauan sampai 150 cm, Accuracy 5-100 micron dan dilengkapi dengan kamera true color 5 Mpx. Gambar 4 (b dan c) adalah contoh sensor aktif dengan metode TOF, yaitu sensor Riegl VZ-1000 dan Leica ScanStation 2. Masing-masing mempunyai spesifikasi jangkauan maksimum 1,4 km, 8 mm @100 m, tidak dilengkapi kamera dan jangkauan maksimum 300 meter, 4mm@50 m, dilengkapi kamera 1Mpx. Gambar 4(d) adalah sensor aktif berbasis fase Faro Photon 120 dengan spesifikasi jangkauan maksimum 120 meter, 2 mm@ 10 meter, dilengkapi dengan kamera digital.

Laser scanner (hanya tipe Time of Flight) dapat digunakan juga di wahana udara seperti helikopter maupun pesawat bersayap tetap dan umumnya disebut dengan LiDAR, walaupun akan lebih tepat jika dinamakan dengan ALS (Airborne Laser Scanning). Saat ini, wahana udara yang membawa ALS bisa

berupa drone atau wahana udara nir-awak (WUNA).

c. Metode Survey dengan Sensor PasifTidak seperti sensor aktif, sensor pasif

tidak mempunyai sumber sinar atau gelombang elektromagentik sendiri, tetapi hanya merekam sinar/cahaya atau gelombang yang dipantulkan oleh objek yang diukur dimana sumber cahaya yang dipantulkannya bisa dari matahari atau sumber cahaya lain seperti lampu blitz. Hasil perekaman sensor ini adalah berupa foto dan untuk mendapatkan data geometri 3D diperlukan pengolahan foto lebih lanjut dengan teknik fotogrametri maupun komputer vision. Konsep pengolahannya adalah dengan menggunakan satu rumus matematika untuk transformasi foto 2D menjadi geometri 3D. Dibutuhkan paling sedikit dua foto sehingga geometri 3D dari objek bisa dihitung dengan menggunakan rumus transformasi proyeksi perspektif.

Gambar 4 (a) sd (b) memperlihatkan jenis kamera yang sering digunakan dalam fotogrametri, mulai dari kamera konsumer, prosumer, profesional dan metrik. Untuk survey teliti sangat disarankan menggunakan kamera metrik yang bisa menghasilkan akurasi sampai dengan 1:200,000.

Gambar 4. Kamera yang digunakan dalam pengambilan data.(a) Sony NEX-5N,(b) Nikon D5000,dan (c) Nikon D5100.

(a) (b) (c)

Page 15: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

14

Suwardhi, Survey dan Pemodelan 3D (Tiga Dimensi) untuk Dokumentasi Digital Candi Borobudur

Gambar 5. Ilustrasi Pemodelan 3D Objek dari Point Cloud menjadi Data Terstruktur

Gambar 6. Diagram alir pengolahan data penelitian.

Pemotretan Udara Pemotretan

Terestrial Pengukuran Titik Kontrol

Perekaman Laser Scanner

Data Akuisisi

Identifikasi Titik Kontrol

Rekonstruksi Fotogrametri

Meshing dan Texturing Dense Image

Matching

Pengolahan Data

Pembagian Level of Detail

Penyederhanaan Model

Strukturisasi Integrasi Model

Pemodelan 3D

2.2 Pemodelan 3D Bangunan Cagar Budaya Dalam bidang komputer grafik, pemodelan 3D adalah proses membangun representasi secara matematis dari setiap permukaan tiga-dimensi suatu objek menggunakan perangkat lunak khusus. Jika yang dimodelkan adalah objek nyata, maka objek tersebut diukur atau diamati dengan teknologi survey yang telah diuraikan di bagian 2.1. Data berupa point cloud sering disebut data tidak terstruktur, sementara representasi model 3D biasanya disebut sebagai data terstruktur seperti model solid (contoh: Constructive Solid Geometry) maupun model permukaan (contoh: Polygonal Mesh). Dengan demikian, bisa juga dikatakan bahwa pemodelan 3D adalah mengubah data tidak terstruktur menjadi terstruktur.

3 Tahapan Pelaksanaan Kajian Dalam pembuatan model digital 3D Borobudur ada dua data utama yang digunakan. Data pertama yaitu data foto udara format kecil yang diambil dengan menggunakan wahana udara tanpa awak berupa multicopter yang dikendalikan dengan remote control. Sedangkan yang kedua adalah data foto rentang dekat yang diambil secara langsung dengan menggunakan kamera digital. Kemudian dua data tersebut dibentuk model 3D dengan menggunakan teknik fotogrametri. Setelah didapatkan model 3D dari masing-masing data diatas kemudian disederhanakan sehingga menjadi beberapa tingkat kedetilan. Dengan menggunakan koordinat titik sekutu yang diketahui di kedua model (model hasil foto udara dan model hasil foto rentang

Page 16: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

15

dengan cara sendeng dilakukan dengan cara memposisikan kamera sedemikaian rupa sehingga terbentuk sudut antara sumbu utama kamera dan pemukaan bumi. Dalam pengambilan foto secara sendeng, posisi wahana udara dalam pengambilan data foto dibuat menjadi beberapa posisi ketinggian. Posisi ketinggian ini diantaranya adalah 20 meter, 30 meter dan 50 meter diatas permukaan tanah seperti terlihat pada Gambar 8b. Kamera yang digunakan adalah kamera digital Sony NEX-5N yang merupakan kemera format kecil dengan resolusi 4912x3264 piksel. Kamera ini menggunakan CMOS sebagai sensornya dengan ukuran

dekat) kemudian kedua model tersebut diintegrasikan sehingga menjadi model yang utuh. Untuk lebih jelasnya pada gambar 6 disajikan diagram alir tahapan kerja yang digunakan dalam Lokakarya.

3.1 Akuisisi Data Dalam penelitian kali ini, model 3D Borobudur dibuat dengan menggunakan data foto yang berasal dari pemotretan objek secara langsung tepatnya di candi Borobudur, Magelang, Jawa Barat. Data tersebut diambil pada tanggal 7-10 Oktober 2013, 28-31 Oktober 2013 dan 5-8 Januari 2014. Pengambilan data dibagi menjadi dua bagian yaitu pemotretan foto udara fomat kecil serta pemotretan rentang dekat untuk relief dan stupa.

3.1.1 Pemotretan Udara Pengambilan foto udara Borobudur dilakukan dengan bantuan wahana udara tanpa awak quadcopter. Wahana udara ini memiliki empat buah baling-baling yang berjarak identik dari pusatnya. Untuk keperluan pengambilan data sebuah kamera dilekatkan di badan wahana tersebut. Kemudian wahana tersebut dekendalikan dari jarak jauh hingga mencapai posisi yang cukup untuk pengambilan dalam pembuatan model. Dalam hal ini posisi kamera sangat mempengaruhi model yang akan dihasilkan. Oleh karena itu jalur terbang dari wahana tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mencakup semua bagian candi Bororbudur secara keselurhan dengan cara membagi jalur terbang menjadi beberapa bagian. Pengambilan data foto udara format kecil ini dibagi menjadi dua bagian yaitu secara vertikal dan secara sendeng (oblique). Pengambilan data secara vertikal dilakukan dengan cara memposisikan sumbu utama kamera tegak lurus dengan permukaan candi seperti terlihat pada Gambar 8a. Sedangkan pengambilan foto

Gambar 8. Akuisisi data foto udara format kecil secara vertikal dan miring

Gambar 9. Pelaksanaan Pengambilan Foto Udara

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 10-22

Page 17: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

Suwardhi, Survey dan Pemodelan 3D (Tiga Dimensi) untuk Dokumentasi Digital Candi Borobudur

23.4x15.6 mm. Sebagian besar pengambilan gambar dilakukan dengan menggunakan mode prioritas kecepatan rana (shutter speed) yang diatur pada 1/1250 detik dengan bukaan rana bervariasi antara f/3.2 – f/3.5 untuk siang hari dan f/7 – f/8 untuk pagi hari.

3.1.2 Pemotretan Foto Rentang Dekat

Pengambilan data foto rentang dekat dilakukan dengan cara mendatangi objek secara langsung dengan mengunakan kamera Digital Single-lens Reflex (DSLR). Ada dua kamera yang digunakan dalam pengambilan data rentang dekat diantaranya Nikon D5000 dengan lensa 24mm dan Nikon D5100 dengan lensa 18mm. Pengambilan gambar dilakukan dengan mode prioritas bukaan rana (aperture priority) yang diatur pada f/11 dan kecepatan bukaan lensa bervariasi antara 1/30 detik hingga 1/80 detik. Pada saat pengambilan gambar dipastikan gambar diambil dengan menggunakan resolusi tertinggi yang paling mungkin agar menghasilkan gambar dengan kualitas yang baik. Untuk pengambilan data relief, geometri pengambilan data berbentuk lurus dengan overlap sekitar 80%. Dalam pengambilan data posisi kamera tegak lurus dengan bidang relief yang akan diambil datanya.

Untuk memperkuat geometri kamera dibeberapa tempat kamera diputar sekitar 35° sehingga dapat mencakup area disekitarnya. Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 10 (a). Untuk pengambilan data stupa, geometri pengambilan datanya berupa lingkaran konsentris. Dengan sumbu utama kamera tegak lurus dengan dinding stupa. Pengambilan data dilakukan dengan dua basis dengan basis pertama mencakup ¾ bagian bawah stupa dan basis kedua mencakup ¾ bagian atas stupa. Basis bawah stupa diambil dengan posisi kamera miring (landscape) sedangkan basis atas stupa diambil dengan posisi kamera tegak (portrait). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 10 (b).

3.1.3 Pengambilan Data Titik Kontrol dengan Foto Rentang Dekat Ground Control Point (GCP) atau Titik Kontrol Tanah merupakan objek di permukaan bumi yang dapat diidentifikasi pada foto dan memiliki koordinat bereferensi terhadap tanah (X,Y,Z). Sebuah GCP yang memiliki informasi spasial planimetrik (X,Y) serta ketinggian (Z) dinamakan GCP topografik, sedangkan GCP planimetrik hanya menyediakan informasi (X,Y) dan yang menyediakan informasi ketinggian (Z) saja

Gambar 10. Geometri pengambilan (a) data relief dan (b) stupa.

16

Gambar 11. Hasil Foto Titik Kontrol

Page 18: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

17

AgiSoft LLC untuk membuat tiga-dimensi (3D) konten berkualitas profesional dari gambar diam. Program ini memiliki antarmuka yang sederhana dan memungkinkan generasi jarang, titik awan padat, akurat jerat bertekstur tiga dimensi dan representasi lain seperti DSMs dan orthophotos (Verhoeven, 2011).

3.2.1 Rekonstruksi Foto Udara dan Foto Rentang Dekat Rekonstruksi orientasi foto adalah langkah pertama dalam pembuatan model 3D menggunakan prinsip fotogrametri. Dalam proses rekonstruksi orientasi foto ini akan dicari posisi kamera saat pengambilan data relatif dengan objek yang akan dimodelkan. Langkah yang dilakukan adalah membuat project Agisoft dan menginput hasil pengambilan foto dari FUFK dan foto terrestrial. Seluruh hasil foto dari FUFK dimasukkan ke dalam satu sub project atau chunk. Kemudian untuk hasil foto konvergen terrestrial, setiap satu titik kontrol dimasukkan ke dalam satu chunk. Setelah semua foto dipisahkan, kemudian dilakukan align photos dari setiap chunk tersebut. Setelah semua foto telah menjalani proses align photos, akan terbentuk sparse point cloud. Gambar berikut adalah hasil dari align photos dari foto terrestrial dan FUFK.

3.2.2 Identifikasi dan Rekonstruksi Titik Kontrol untuk Kontrol Foto Udara Dalam pekerjaan ini, proses penitikan atau

disebut GCP tinggi (Raditya, 2010). Informasi GCP dapat diukur dengan menggunakan Total Station, atau GPS statik. GCP berguna sebagai kontrol posisi maupun geometri dari rangkaian foto yang sudah terikat satu sama lain dalam proses yang dinamakan Triangulasi Udara. Selain GCP, ada juga istilah Check Point. Independent Check Point (ICP) memiliki pengertian yang hampir sama dengan GCP yaitu merupakan titik di permukaan bumi yang memiliki koodinat (X,Y maupun Z). Namun, titik ICP tidak dilibatkan dalam proses Triangulasi Udara. Titik ini hanya digunakan untuk melihat akurasi dalam pengolahan fotogrametri. Dalam melakukan menghitung error ICP dilakukan perhitungan RMSE (Root Mean Square Error) seperti pada penghitungan residu GCP. Pengambilan data foto terrestrial dilakukan secara konvergen yaitu pengambilan foto mengelilingi titik kontrol paku dengan memposisikan objek di tengah foto. Untuk mendapatkan jaring geometri foto yang baik, dilakukan pemotretan dari 8 arah mengelilingi objek. Gambar 11 memperlihatkan salah satu contoh pemotretan titik kontrol paku secara konvergen. 3.2 Pengolahan Data dan Pemodelan Pada dasarnya, pembuatan model 3D dengan mengunakan teknik fotogrametri adalah dengan terlebih dahulu mencari orientasi kamera dari masing-masing stasiun pengambilan gambar kemudian mencari posisi titik-titik pada gambar dengan menggunakan prinsip kesegarisan sehingga didapatkanlah posisi kumpulan titik-titik yang disebut point cloud. Berikut ini adalah tahapan yang dilalui dalam membentuk model 3D dengan menggunakan perangkat lunak Agisoft Photoscan, di antaranya adalah rekonstruksi orientasi foto, pembuatan dense point cloud, pembuatan mesh dan pemberian tekstur. Photoscan adalah lanjutan solusi berbasis gambar yang dihasilkan oleh perusahaan yang berbasis di Rusia

Gambar 12. Tahapan dalam Perangkat Lunak PhotoScan

Gambar 14. Hasil Align Photos Foto Udara Format Kecil

Gambar 13. Hasil Align Foto Rentang Dekat Titik Kontrol

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 10-22

Page 19: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

18

Suwardhi, Survey dan Pemodelan 3D (Tiga Dimensi) untuk Dokumentasi Digital Candi Borobudur

lokasi kasar titik kontrol dengan berpatokan pada data ortofoto Borobudur yang telah diperoleh sebelumnya. Setelah menemukan lokasinya, dilakukan perbesaran pada lokasi titik kontrol yang ingin dilakukan proses marking. Kemudian dicocokkan antara pola batu lokasi titik kontrol pada foto udara dan foto terrestrial agar mendapatkan lokasi detail titik kontrol tersebut. Kemudian melakukan penitikan 4 titik well defined point sesuai dengan lokasi titik pada foto terrestrial. Penitikan dilakukan pada foto udara yang terdeteksi terdapat titik kontrol. Setiap titik tersebut harus memiliki nama yang sama dengan titik pada foto terrestrial. Langkah ini dilakukan untuk seluruh titik kontrol. Pada gambar 16 merupakan perbandingan marking pada foto udara dan foto terrestrial. Dari hasil identifikasi titik kontrol, dari 88 titik hanya ditemukan 58 titik yang dapat teridentifikasi dengan baik dengan sebaran pada gambar 17 Hal ini disebabkan karena pada proses identifikasi sebagian titik

identifikasi GCP dilakukan pada foto terrestrial dan FUFK. Setelah melakukan align photos pada semua foto (terrestrial dan FUFK), kemudian dilakukan penitikan pada foto terrestrial. Lokasi marker diletakkan pada tengah paku titik kontrol. Selain penitikan pada titik tengah paku, dilakukan juga penitikan 4 titik well defined point di sekitar paku tersebut. Titik well defined point dapat dibuat di batas-batas antar batu atau ujung batu. Penitikan well defined point ini dilakukan untuk dapat memudahkan penitikan pada hasil foto udara karena pada foto udara hanya sampai terlihat batas-batas batuan saja atau dengan kata lain titik well defined point ini hanya bertindak sebagai titik ikat. Penitikan dilakukan pada semua foto terrestrial agar mendapatkan hasil titik dengan akurasi yang baik. Pada gambar 15 berikut ini adalah gambar ilustrasi marking foto terrestrial. Selanjutnya dilakukan penitikan pada foto udara. Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan

Gambar 15. Ilustrasi Marking Foto Terrestrial

Gambar 16. Perbandingan Foto Udara dan Foto Terrestrial

Page 20: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

19

tidak ditemukan kecocokan pola dari foto udara dan foto terrestrial sehingga tidak dapat dilakukan marking. Selain itu, terkadang pada foto udara ada foto yang blur sehingga tidak terlihat jelas pola bentuk lantai Borobudur.

3.2.3 Penggabungan Titik Kontrol Setelah melakukan proses marking pada foto terrestrial dan foto udara, kemudian dilakukan penggabungan titik kontrol antara kedua jenis foto tersebut. Penggabungan dilakukan agar dapat menggambarkan titik kontrol secara keseluruhan dari candi Borobudur. Langkah yang dilakukan dalam penggabungan ini adalah dengan align photos pada setiap chunk yang berisi foto terrestrial dan foto udara kemudian dilakukan merged chunk. Merged chunk dapat dilakukan apabila penamaan titik pada chunk satu dan chunk lainnya sama. Pada hasil merged chunk kemudian dilakukan align photos atau dilakukan perataan berkas kembali. Dengan melakukan perataan berkas kembali, maka akan diperoleh nilai akurasi dan residu. Hasil penggabungan chunk dapat dilihat pada gambar 18 berikut. 3.2.4 Model Permukaan Digital Setelah didapatkan point cloud dari proses sebelumnya langkah selanjutanya adalah pembuatan mesh. Pembuatan mesh ini dilakukan untuk mebentuk

model permukaan digital dari objek yang akan diteliti. Pada prinsipnya, pembuatan mesh dalam perangkat lunak Agisoft Photoscan adalah dengan membuat segitiga-segitiga kecil yang saling berhubungan satu sama lainnya sehingga membentuk sebuah model permukaan (Agisoft LLC, 2013). Model permukaan yang dibentuk dari satuan segitiga-segitiga disebut juga dengan TIN (Triangulated Iregular Network). Sesuai dengan namanya TIN dibentuk dengan cara triangulasi dari titik-titik pembentuknya yang dalam kasus ini berupa point cloud (Prahasta, 2008).

4 Hasil dan Pembahasan4.1 Pembentukkan Konfigurasi Konfigurasi GCP Berikut ini adalah hasil RMSE error total dari pembuatan masing-masing konfigurasi:

Gambar 17. Persebaran Titik kontrol pada lorong 1 (a), lorong 4 (b), lorong 5 (c), dan tangga (d)

Gambar 18. Hasil Penggabungan Foto Terrestrial dan Foto Udara

Tabel 3.1 Tabel Control Points

Nama Error X Error Y Error Z Error (cm) (cm) (cm) Total (cm)

Konfigurasi 1 1,104 1,095 0,870 1,782

Konfigurasi 2 1,104 0,831 0,373 1,431

Konfigurasi 3 1,382 1,010 1,248 2,179

Konfigurasi 4 1,381 0,820 1,303 2,068

Konfigurasi 5 1,239 0,970 1,274 2,027

Konfigurasi 6 1,251 0,823 1,286 1,976

Tabel 3.2 Tabel Check Points

Nama Error X Error Y Error Z Error (cm) (cm) (cm) Total (cm)

Konfigurasi 1 1,850 1,423 3,990 4,626

Konfigurasi 2 1,604 1,416 3,334 3,962

Konfigurasi 3 1,788 1,314 3,382 4,045

Konfigurasi 4 1,533 1,287 2,474 3,192

Konfigurasi 5 1,731 1,208 3,210 3,842

Konfigurasi 6 1,482 1,147 2,232 2,915

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 10-22

Page 21: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

20

Suwardhi, Survey dan Pemodelan 3D (Tiga Dimensi) untuk Dokumentasi Digital Candi Borobudur

Nilai RMSE control points dari semua konfigurasi berkisar antara 1-2,2 cm dan hasil error check points berkisar antara 2,9 – 4,6 cm. Nilai tersebut cukup kecil dan layak untuk sebuah perekaman data tiga dimensi (3D). Control Points merupakan titik GCP yaitu titik yang digunakan dalam proses bundle adjustment atau perataan berkas pada Agisoft Photoscan, sedangkan check points hanya sebagai penentu akurasi pengukuran.

1.1.1 Pengaruh Jumlah GCP Dari keenam konfigurasi yang dibuat, dapat dilihat bahwa semakin banyak titik yang dijadikan sebagai GCP akan menaikkan nilai RMSE control points dan menurunkan nilai RMSE check points. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan pada gambar grafik berikut :

kecil. Namun, nilai ini belum menjamin akurasi yang baik karena parameter yaitu GCP yang digunakan sedikit. Pada proses triangulasi udara, dilakukan proses perataan kuadrat terkecil yang dimana apabila semakin banyak parameter yang digunakan, maka akan menghasilkan nilai residu yang menggambarkan ketelitian pada pengukuran sehingga pada konfigurasi 1 belum dapat dijadikan nilai GCP terbaik. Pada konfigurasi 5 dan 6 dimana menggunakan lebih banyak GCP dan juga penambahan foto miring memiliki RMSE GCP lebih kecil dibandingkan konfigurasi 3 dan 4. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa konfigurasi 5 dan 6 lebih baik daripada konfigurasi lainnya karena memiliki parameter lebih banyak dan nilai RMSE lebih kecil. Kemudian dari hasil RMSE check points dapat dilihat pada grafik berikut :

Gambar 3.2 Grafik TMSE Control Points Dari grafik ini dapat terlihat bahwa penambahan titik GCP akan menurunkan nilai RMSE check points. Hal ini dikarenakan semakin banyak titik kontrol yang digunakan pada triangulasi udara. RMSE check points merupakan penentu akurasi dari produk fotogrametri yang telah diolah sebelumnya. Grafik ini menunjukkan konfigurasi 6 lebih baik dari konfigurasi lainnya

Sumbu X pada grafik menunjukkan jumlah titik kontrol yang dijadikan GCP sedangkan sumbu Y menunjukkan nilai RMSE dari control points dalam satuan sentimeter. Dari grafik ini dapat terlihat bahwa penggunaan GCP yang lebih sedikit memiliki error lebih

Gambar 3.2 Grafik TMSE Control Points

Page 22: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

21

(sumber : ASPRS 1998)

Ketelitian Horisontal− Spesifikasi teknis (internasional) untuk peta yang baik:

95% dari detail-detail planimetrik yang terdefinisi dengan baik pada foto harus diplot sehingga posisinya pada peta final tidak boleh berbeda lebih dari 0,5 mm pada skala peta dari posisi sebenarnya.

− Nilai RMSE horizontal yang didapat dari perhitungan RMSEx terbaik = 1,482 cm RMSEy terbaik = 1,147 cm RMSE Horisontal = 1,874 cm− Ketelitian horizontal untuk selang kepercayaan 95%

adalah 1,78 x 1,874 = 3,4 cm− Untuk skala peta 1:200, batas nilai ketelitian

horizontal menurut ASPRS (Tabel 3.6) adalah 0.050 meter, maka nilai ketelitian horizontal dari pemetaan ini sudah terpenuhi.

Ketelitian Vertikal− Menurut National Mapping Accuracy Standard

(NMAS), spesifikasi teknis untuk peta yang baik: 90% dari tinggi yang ditentukan dari garis kontur yang diplot (bukan hasil interpolasi kontur) tidak boleh berbeda lebih dari 0,5 m selang kontur dari tinggi yang sebenarnya.

− Nilai RMSEz diambil dari perhitungan check points, yaitu 2,2232 cm.

− Ketelitian vertikal (VMAS) = 1,6449 x 2,232 cm = 3,67 cm

− Selang kontur untuk peta skala 1:200 adalah 10 cm. Sehingga standar ketelitian vertikal yaitu 10 cm x 10 cm = 100 cm

− Dengan demikian ketelitian vertikal dari pemetaan ini sudah memenuhi standar ketelitian dengan derajat kepercayaan 90%.

5. Kesimpulan dan Saran Dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan dan saran :1. Bahwa dalam melakukan identifikasi titik kontrol pada

suatu objek, dapat dilakukan dengan pengambilan foto udara dan foto terrestrial.

2. Hasil uji coba konfigurasi didapatkan RMSE control points antara 1-2,2 cm dan RMSE check points antara

karena menggunakan titik GCP terbanyak dan dengan penambahan foto miring.

1.1.2 Pengaruh Penambahan Foto MiringUntuk melihat pengaruh dari penambahan foto

miring dapat dilihat pada tabel RMSE total berikut :

Tabel 3.3 Tabel Perbandingan RMSE total Control Points foto vertikal dan vertikal + miring

Foto Vertikal Foto Vertikal + Miring8 GCP 1,782 cm 1,431 cm

16 GCP 2,179 cm 2,068 cm

24 GCP 2,025 cm 1,976 cm

Tabel 3.4Tabel Perbandingan RMSE total Check Points foto vertikal dan vertikal + miring

Foto Vertikal Foto Vertikal + Miring8 GCP 4,626 cm 3,962 cm

16 GCP 4,045 cm 3,192 cm

24 GCP 3,842 cm 2,915 cm

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 10-22

Dari tabel tersebut dapat dilihat dengan jumlah GCP yang sama, penambahan foto miring menurunkan nilai RMSE control points maupun check points. Hal ini dikarenakan dengan penambahan foto miring, akan semakin banyak foto yang bertampalan.

1.1.3 Resolusi kamera dan kualitas hasil foto Resolusi kamera dapat mempengaruhi hasil ketelitian GCP. Kamera dengan resolusi baik, akan membuat proses identifikasi titik kontrol akan menjadi lebih baik karena akan dapat dengan mudah menemukan lokasi titik kontrol secara akurat. Pada lokakarya ini, kamera pada foto udara mempunyai ground sample distance (GSD) sebesar 1,5 cm pada foto vertikal. Dengan demikian, ketelitian akan lebih besar dari 1,5 cm. Walaupun pada titik kontrol telah diukur menggunakan ETS dengan ketelitian sampai 1,6 mm, namun karena keterbatasan resolusi kamera, akan menyebabkan ketelitian akan sama atau melebihi 1,5 cm. Setelah dilakukan 6 konfigurasi, didapatkan konfigurasi 6 dengan menempatkan 24 GCP dan dengan penambahan foto miring adalah konfigurasi terbaik dilihat dari nilai RMSE control points total (1,976 cm) dan RMSE check points total (2,915 cm). Dengan nilai ini, sesuai dengan standar pemetaan oleh ASPRS, hasil ini dapat digunakan untuk membuat peta dengan skala 1:200

Page 23: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

22

Suwardhi, Survey dan Pemodelan 3D (Tiga Dimensi) untuk Dokumentasi Digital Candi Borobudur

DAFTAR PUSTAKADe Luca, L., 2013: 3D Modelling and Semantic Enrichment

in Cultural Heritage. Proc. 54th Photogrammetric Week.

Durmacay, J., 1978. Borobudur. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Fassi, F., Achille, C., Fregonese, L., 2011. Surveying and modelling the main spire of Milan Cathedral using multiple data sources. The Photogrammetric Record, Vol. 26(136), pp. 462- 487.

Fassi, F., Achille, C., Mandelli, A., Rechichi, F., Parri, S., 2015. A new idea of BIM system for visualization, web sharing and using huge complex 3d models for facility management. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Vol. XL(5/W4), pp. 359-366

Guidi, G., Remondino, F., Russo, M., Menna, F., Rizzi, A., Ercoli, S., 2009. A multi-resolution methodology for the 3D modeling of large and complex archaeological areas. Int. Journal of Architectural Computing, 7(1), 40-55.

Gruen, A., Remondino, F., Zhang, L., 2005. The Bamiyan project: multi-resolution image-based modeling.

In: Recording, Modeling and Visualization of Cultural Heritage, Taylor & Francis / Balkema, ISBN 0415 39208 X, pp. 45-54.

Kochi, N., Kitamura, K., Sasaki, T., Kaneko, S., 2012. 3D Modeling of architecture by edge-matching and integrating the point clouds of laser scanner and those of digital camera. International Archives of Photogrammetry and Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Vol. 39(B5).

Kwee, M. G., 2012. The Borobudur: A Psychology of Lovingkindness Carved in Stone. (K. Dhammasami, & D. Peoples, Eds.) The Journal of International Association of Buddhist Universities, 1-28.

Kraus, K., 1997. Photogrammetry. Volume 2: Advanced Methods and Applications. Ferd-Dümmlers Verlag.

Hullo, J. F., Thibault, G., Boucheny, C., 2015. Advances in Multi-Sensor Scanning and Visualization of Complex Plants: the Utmost Case of a Reactor Building. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Vol. XL(5/W4), pp. 163-169.

2,9-4,6 cm. Hasil ini tidak dapat menyamai nilai ketelitian titik kontrol yang diukur secara terrestris dengan menggunakan ETS karena keterbatasan resolusi kamera. Resolusi kamera pada penelitian (GSD) adalah 1,5 cm sehingga ketelitian yang didapatkan akan lebih besar dari nilai tersebut.

3. Sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh ASPRS, pemetaan ini dapat digunakan untuk pemetaan dengan skala 1:200. Dengan nilai ini, hanya cukup baik untuk membuat peta foto dan kurang baik apabila digunakan untuk membuat detail dari bagian-

bagian candi seperti relief, stupa atau gapura. 4. Untuk membuat detail bagian-bagian candi

tersebut, dibutuhkan pengukuran lebih teliti seperti membuat titik kontrol pengukuran dengan ETS atau pengukuran lapangan seperti dengan pita ukur pada objek yang ingin dibuat modelnya secara detail dan pengambilan foto rentang dekat dari objek yang ingin dibuat model 3 dimensinya.

5. Hal-hal yang mempengaruhi kualitas titik kontrol adalah jumlah titik kontrol, banyaknya pertampalan pada foto, resolusi kamera dan kualitas hasil foto. Konfigurasi terbaik dari pengujian 6 konfigurasi adalah konfigurasi 6 dengan RMSE control points dan check points 1,976 cm dan 2,92 cm.

6. Perapatan titik kontrol untuk memodelkan objek dengan menggunakan metode fotogrametri terrestrial dan foto udara, dibutuhkan kamera dengan resolusi lebih tinggi terutama pada foto udara sehingga pada proses penitikan akan menghasilkan kualitas GCP yang sangat baik.

Tabel 3.5 Tabel Akurasi Standar ASPRS untuk Peta Skala Besar (Horisontal) (ASPRS, 1988)

Class 1 Planimetric AccurcacyLimiting RMSE (meters)

Map Scale

1:50

1:100

1:200

1:500

1:1000

0,0125

0,025

0,050

0,125

0,25

Page 24: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

23

I. PendahuluanA. Latar Belakang

Indonesia memiliki ribuan cagar budaya yang tersebar di berbagai daerah, baik berupa Benda Cagar Budaya (BCB), Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa cagar budaya dibedakan menjadi cagar budaya bergerak dan tidak bergerak. Cagar budaya bergerak adalah cagar budaya yang dapat dipindah-pindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya, sedangkan cagar budaya tidak bergerak adalah cagar budaya yang tidak dapat dipindah-pindahkan dan umumnya bersifat monumental. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM) pada tahun 2013, jumlah cagar budaya di Indonesia mencapai angka 66.513, yang terdiri dari 54.398 Cagar Budaya bergerak dan 12.115 Cagar Budaya tidak bergerak. Dari jumlah tersebut, cagar budaya yang telah dikonservasi baru sejumlah 146 Cagar Budaya.

Salah satu permasalahan konservasi benda cagar budaya yang sering dihadapi adalah adanya proses pelapukan yang disebabkan oleh biodeteriogen, baik itu

Identifikasi Biodeteriogen Sebagai Langkah AwalKonservasi Benda Cagar Budaya

Moh. Habibi, S.Si( Golongan : III A )

Abstrak : Indonesia mempunyai Benda Cagar Budaya (BCB) yang berlimpah. BCB tersebut dapat mengalami degradasi disebabkan mikroorganisme. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai teknik molecular yang digunakan untuk deteksi biodeteriogen pada benda cagar budaya. Teknik Molekuler yang dapat digunakan adalah Fingerprinting, meliputi DGGE (Denaturing Temperature Gradient Gel Electrophoresis), SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism), ARDRA (Amplified rDNA Restriction Analysis), dan Clone Library. Teknik ini mempunyai beberapa kelebihan, seperti tingkat presisi yang tinggi, lebih cepat digunakan, dapat digunakan untuk mengetahui peran biodeteriogen pada lingkungan.

Kata Kunci : Benda Cagar Budaya, Biodeteriogen, Biologi Molekuler.

ABSTRACT : Indonesia has a lot of clutural heritage properties (CHP). The CHP may be degraded due to microorganisms. This study purposes provide knowledge about the molecular techniques used for the detection of biodeteriogen on cultural heritage properties. Molecular techniques that can be used are Fingerprinting, covering DGGE (Denaturing Temperature Gradient Gel Electrophoresis), SSCP (Single Strand conformation polymorphism), ARDRA (Amplified rDNA Restriction Analysis), and Clone Library. This technique has several advantages, such as high levels of precision, faster to use, can be used to determine the role biodeteriogen on the environment.

Keyword : Cultural Heritage Properties, Biodeteriogen, Molecular Biology

bakteri, algae, lichen, maupun lumut. Mikroorganisme tersebut biasanya membentuk koloni pada permukaan Benda Cagar Budaya (BCB), sehingga selain menimbulkan pelapukan juga menyebabkan berkurangnya nilai estetika BCB, seperti terjadinya perubahan warna Benda Cagar Budaya. Mikroorganisme merupakan organisme yang dominan di lapisan Biosfer saat ini dengan perkiraan jumlah sel total mikroorganisme 4-6 x 1030(Simon & Rolf, 2011). Mempunyai kemampuan adaptasi yang sangat luar biasa hebat terhadap berbagai macam kondisi lingkungan. Habitat mikroorganisme meliputi daratan dan lautan. Selain itu, mikroorganisme memiliki peranan penting dalam proses ekologi dan biogeokimia.

Mikroorganisme pada bangunan cagar budaya berpeluang menyebabkan terjadinya proses perubahan warna, pembentukan biofilm, dan crust, biomineralisasi, dan degradasi material organic dan inorganic pada benda cagar budaya (De Felice et al., 2010). Mekanisme yang terjadi adalah produksi asam dan basa, perubahan komponen permukaan, penyerapan panas, peningkatan retensi air, dan penetrasi ke dalam struktur batuan secara langsung (Kiel & Gaylarde, 2006). Oleh karena itu, hal utama dan pertama yang harus dilakukan sebelum

Page 25: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

24

Habibi, Identifikasi Biodeteriogen Sebagai Langkah Awal Konservasi Benda Cagar Budaya

waktu lebih dll. Dan pada kenyataannya, hanya sekitar 0,1-1% mikroorganisme yang ada di alam yang dapat dikembang biakkan dalam kultur medium laboratorium (Schabereiter-Gurt-ner et al., 2001). Sisanya yang 99% berada dalam kondisi anabiosis, mampu tetap hidup tetapi tidak dapat dikultur (Viable But Non Culturable/VBNC).

Jika spesies yang akan dikultur merupakan spesies yang sedikit informasinya, maka yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah optimasi komposisi medium. Karena setiap spesies mikroorganisme membutuhkan kadar kadar dan komposisi medium yang berbeda-beda. Di dalam medium kultur terdapat komponen karbohidrat, protein, dan vitamin yang memiliki konsentrasi berbeda bagi setiap jenis mikroorganisme. Beberapa kendala di atas dapat mengurangi informasi biodiversitas ekosistem mikroorganisme yang kompleks, seperti pada bangunan cagar budaya.

B. Teknik Biologi MolekularIlmu Molekuler adalah salah satu metode yang

berkembang pesat saat ini dalam ilmu Biologi. Teknik ini berdasarkan perbedaan atau keunikan urutan basa nitrogen pada tiap-tiap individu dalam satu jenis. Karena pada dasarnya setiap individu dalam satu jenis/spesies memiliki urutan rantai DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) yang khas dan berbeda. DNA sendiri terdiri dari empat macam basa nitrogen, yaitu basa Adenin, Cytosin, Guanin, dan Timin. DNA mengkode dan menghasilkan asam amino tertentu, sesuai dengan urutan basa nitrogen yang dibawa oleh DNA. Misalnya urutan basa ATG akan mengkode asam amino Methionin. Selanjutnya antara asam amino yang satu dengan lainnya bergabung membentuk protein. Protein akan mempengaruhi fisiologis, metabolism dan morfologi organisme. Protein terbanyak yang berpengaruh terhadap fisiologis berupa enzim, struktur katalitik spesifik tertentu yang berfungsi dalam rangkaian urutan metabolisme.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebagian besar mikroorganisme di alam tidak dapat dikulturkan dalam skala laboratorium dikarenakan keterbatasan informasi. Oleh karena itu, identifikasi mikroorganisme dengan dikulturkan terlebih dahulu hanya menyediakan sedikit informasi mengenai biodiversitas mikroorganisme yang berkembang di bangunan cagar budaya. Teknik yang dapat digunakan dan berkembang saat ini adalah

melakukan restorasi dan konservasi adalah melakukan identifikasi mikroorganisme yang menyebabkan biodeteriorasi pada bangunan cagar budaya untuk mengetahui pengaruh mikroorganisme terhadap BCB. Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab ketika hendak melakukan konservasi adalah 1) Mikroorganisme apa yang terdapat dalam BCB?, 2) Apa peran mikroorganisme tersebut?, 3) Bagaimana mikroorganisme tersebut merespon perubahan lingkungan, 4) Apa hubungan peran mikroorganisme dengan lingkungannya?

Langkah kedua yaitu mengetahui jumlah mikroorganisme, aktivitas dan peran mikroorganisme pada proses biodeteriorasi. Langkah terakhir adalah menggunakan informasi mikroorganisme yang telah diperoleh untuk menentukan strategi yang akan digunakan dalam konservasi dan preservasi Bangunan Cagar Budaya. Oleh karena itu, analisis biodiversitas koloni mikroba pada bangunan cagar budaya sangat lah penting sebagai langkah awal (Preliminary step) konservasi dan preservasi BCB. Untuk mengidentifikasi mikroba diperlukan metode dan teknik identifikasi yang benar dan tepat sehingga dihasilkan data yang akurat dan valid.

II. PembahasanA. Metode Kultur

Metode dan teknik identifikasi mikroba pada bangunan cagar budaya telah berkembang dengan pesat. Mulai dari metode kultur sampai dengan teknik yang memanfaatkan molekuler. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai beberapa teknik identifikasi mikroba pada BCB.

Metode kultur telah lama digunakan. Metode ini menggunakan perantara medium selektif untuk menumbuhkan mikroba. Metode kultur meliputi penumbuhan mikroba pada medium kultur, pengamatan morfologi mikroba di bawah mikroskop dan penghitungan kuantitas koloni dengan menggunakan Plate Count atau Colony Counter. Sedangkan untuk mengetahui aktifitas fisiologi mikroba dengan menggunakan Colony Forming Unit (CFU).Metode kultur memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan metode kultur adalah berguna untuk mengetahui fisiologi dan biokimia mikroba. Sedangkan kelemahan teknik ini adalah tidak diperolehnya informasi kompleks biodiversitas koloni mikroba, membutuhkan jumlah sampel yang banyak, memerlukan

Page 26: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

25

dipertahankan secara struktural dan fungsional, (3) memiliki daerah yang dipertahankan (highly conserved) dan daerah variable (variable region). Gen rRNA memiliki dua subunit yang sering digunakan, subunit 16S rRNA untuk analisis prokariotik dan subunit 18S rRNA untuk analisis eukariotik. Deteksi dan identifikasi bakteri menggunakan 16S rRNA telah digunakan pada lukisan Mural di Gereja St. Martin, Jerman (Gorbushina et al., 2004), Saint Catherine Chapel di Kastil Herberstein, Austria (Gurtner et al., 2000), Roman Necropolis Carmona di Spanyol (Smerda et al., 2006), makam warga mesir di delta nil timur, Mesir (Abdel Halim et al., 2013) dll.

Penanda molekuler yang banyak digunakan untuk identifikasi jamur (fungi) adalah ITS (Internal Transcribed Spacer). Secara structural, gen ITS terletak diantara 16S dan 28S rRNA serta terdiri dari internal non-coding regions ITS1, ITS2, dan gen 5,8S rRNA. Region tersebut memiliki kelebihan yaitu, memiliki daerah conserved yang tinggi (highly conserved region), memiliki similaritas dengan organisme dengan jarak evolusi yang lumayan jauh, dan mempunyai sekuen dengan variabilitas genetik yang tinggi. Dengan pertimbangan kelebihan tersebut, penanda ITS dapat digunakan untuk determinasi genus dan spesies. Keberadaan gen ITS pada jamur sangat berlimpah, sehingga dapat meningkatkan sensitivitas reaksi PCR (Ciardo et al., 2010).

Produk amplifikasi PCR dari DNA lingkungan dapat dianalisis dengan menggunakan 1) genetic

metagenomik, yaitu metode yang digunakan untuk mempelajari populasi kompleks mikroorganisme dengan menggunakan biologi molecular. Teknik metagenomik dapat mengisolasi material genetic sampel di habitatnya secara langsung, sehingga informasi genetic dari sampel dapat diketahui sepenuhnya. Untuk melakukan teknik ini diperlukan beberapa tahapan-tahapan, yaitu:

C. Isolasi DNA dan Amplifikasi Gen TargetUntuk melakukan analisis biologi molekuler, hal

pertama yang harus dilakukan adalah mengisolasi DNA atau gen target dari mikroorganisme yang menempati benda cagar budaya. Karena DNA atau gen terletak di dalam inti sel (nucleus) dan mitokondria. Jumlah minimal DNA template yang harus diperoleh adalah >2 mg. Jika DNA template yang didapatkan kurang dari 1 mg maka akan menyebabkan kurang akuratnya proses identifikasi mikroorganisme. Selain itu, sampel DNA yang diperoleh harus bersih dari kontaminan.

Teknik molekuler yang banyak digunakan yaitu perbanyakan dengan PCR (PCR-amplification). Gen yang diamplifikasi biasanya adalah gen rRNA (ribosomal RNA). rRNA merupakan salah satu marker yang paling banyak digunakan untuk mengidentifikasi sampel mikroorganisme pada suatu lingkungan. Hal ini dikarenakan beberapa factor seperti yang diungkapkan oleh Rastogi dan Sani, 2011, yaitu (1) dapat ditemukan pada organisme prokariotik dan eukariotik, (2)

Gambar 1. Dogma Sentral Biologi.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 23-30

Page 27: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

26

Habibi, Identifikasi Biodeteriogen Sebagai Langkah Awal Konservasi Benda Cagar Budaya

isolasi DNA, amplifikasi gen dengan PCR, dan produk PCR dianalisis dengan elektroforesis pada gel agarose atau poliakrilamide. Kelebihannya adalah teknik ini tidak hanya dapat diaplikasikan terhadap mikroorganisme yang dapat dikulturkan, tetapi juga dapat diaplikasikan untuk mengetahui diversitas mikroorganisme yang tidak dapat dikulturkan serta mikroorganisme inaktif.

Teknik fingerprinting DGGE merupakan teknik yang paling banyak diterapkan pada biodeteriogen benda cagar budaya (Ripka et al., 2006). Prinsip kerja metode ini adalah dengan menggunakan keadaan melting rantai ikatan ganda DNA. Rantai ikatan ganda DNA dapat mencapai kondisi melting dengan pengaruh bahan kimia tertentu (Urea dan Formamide) atau pengaruh suhu., yang juga disebut TGGE. Jika kondisi melting tercapai, maka ikatan rantai DNA akan terputus menjadi

fingerprinting, 2) clone library, 3) kombinasi genetic fingerprinting dan clone library

D. Teknik Fingerprinting

Teknik fingerprinting berdasarkan pada analisis elektroforetik dari produk PCR. Terdapat beberapa cara atau metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan fingerprint mikoroorganisme dari lingkungan, yaitu DGGE/TGGE (Denaturing/Temperature Gradient Gel Electrophoresis), SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism), ARDRA (Amplified rDNA Restriction Analysis), T-RFLP (Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism), dan ARISA (Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis). Teknik fingerprinting dapat juga digunakan untuk mengetahui diversitas komunitas mikroorganisme. Prosedur umum yang digunakan pada teknik ini adalah

Sampel

Ekstraksi DNA

Amplifikasi PCR

Fingerprinting Konstruksi DNA Library

Sekuensing Microbial Diversity Library Screening

Identifikasi Mikroorganisme

Gambar 2. Alur identifikasi Mikroorganisme pada bangunan cagar budaya menggunakan Molekuler.

Page 28: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

27

beberapa bagian dengan panjang kurang lebih 25 pasang basa. Tempat putusnya rantai DNA ini disebut melting point. Melting point bersifat khas dan spesifik pada tiap individu mikroorganisme. Perbedaan cetakan melting point inilah yang digunakan sebagai dasar identifikasi mikroorganisme.

Metode DGGA digunakan oleh Ripka et al. (2006) untuk mengidentifikasi Jenis mikroorganisme pada lukisan dinding di gereja Chaterine, Styria, Austria dan gereja Virgil, Vienna, Austria. Penelitian tersebut berhasil mengungkap jenis mikroorganisme yang berada di lukisan dinding kedua gereja tersebut.

Berdasarkan hasil analisis menggunakan teknik DGGE di atas, dapat diketahui bahwa H. trueperi, H. literalis, dan H. karajensis menunjukkan pita tunggal yang dominan pada posisi yang sama. Sedangkan isolate S3, S4, dan S21 menunjukkan pola pita yang identic. Sedangkan isolate I7, S22, H. halophilus, H. locisalis, dan H. salinus menunujukkan profile yang unik serta berbeda dari strain yang lain.

Selanjutnya adalah metode ARDRA. Prinsip metode ini adalah dengan memanfaatkan pengenalan

Gambar 3. Struktur gen ITS (Internal Transcribed Spacer).

Gambar 4. Hasil analisis DGGE pada komunitas fungi di arsip kertas (Michaelsen et al., 2006)

sisi enzim restriksi pada rantai DNA. Sisi enzim restriksi sangat spesifik antara satu organisme dengan yang lainnya. Tahapanya adalah gen RNA ribosom (16S rRNA dan 18S rRNA) dari lingkungan di amplifikasi dengan PCR. Selanjutnya produk PCR di restriksi dengan enzim endonuclease. Hasil pemotongan tersebut kemudian di separasi pada gel agarose. Teknik ini digunakan untuk menentukan biodiversitas dari biodeteriogen yang terletak pada beberapa monument yang terbuat dari batu di Italy (Tomaselli et al., (2000)). Penelitian biodiversitas dari biodeteriogen pada monument batuan ini dapat membantu konservator mengklasifikasikan biodeteriogen berdasarkan habitat tempat hidupnya. Metode ini diawali dengan pemurnian sampel yang diperoleh dari beberapa monument batu di Italy. Setelah didapatkan spesies murni, kemudian dilakukan metode restriksi ARDRA dengan menggunakan enzim restriksi Hinf I 16S rDNAs. Hasil restriksi dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Berdasarkan hasil restriksi tersebut dapat dibuat dendrogam hubungan kekerabatan antar spesies yang ditemukan. Seperti terlihat pada bagan dendrogam di bawah ini.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 23-30

5'

ITS5m ITS3

ITS2 ITS4

18S 5.8S 26SITS-1 ITS-2

3'

Page 29: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

L 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 L

28

Teknik identifikasi mikroorganisme pada bangunan cagar budaya selanjutnya adalah SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism). Metode ini berdasarkan pada prinsip pemisahan fragmen DNA pada gel polyacrylamide. Fragmen DNA dipisahkan berdasarkan lipatan DNA pada teknik ini. Metode SSCP tidak membutuhkan primer yang banyak mengandung GC dan tidak melalui gel gradient. Kelemahan dari metode ini adalah fragmen DNA yang dipisahkan hanya sebatas

pada 150-400 pasang basa. Metode SSCP digunakan oleh Morales (2006) untuk mengidentifikasi biofilm pada bangunan cagar budaya Uxmal di Mexico. Penelitian ini berhasil dilakukan tanpa perlu menumbuhkan sampel yang diperoleh di laboratorium. Karena tidak semua mikroorganisme dapat dikultur di laboratorium, maka teknik ini dapat diaplikasikan kepada mikroorganisme yang tidak dapat dikultur.

E. Teknik Konstruksi Clone Library

Metode ini telah banyak digunakan untuk menganalisis produk PCR sampel dari lingkungan. Clone library memiliki beberapa tahapan, yaitu 1) Isolasi DNA, 2) fragmentasi dan insersi DNA pada vector, 3) Kloning DNA dan transformasi pada host cell (sel inang) yang sesuai, 4) seleksi clone library, 5) analisis bioinformatik. Langkah terpenting adalah pemilihan vector dan sel inang yang sesuai. Vektor dalam hal ini dapat berupa bakteri ataupun virus. Contoh vector dalam hal ini adalah seperti plasmid DNA (dapat diinsersi kurang dari 20 pasang basa), kosmid dan fosmid (diantara 25 sampai 35 pasang basa), bacterial artificial chromosome (lebih dari 40 pasang basa).Hal penting lainnya pada clone library adalah memilih sel inang yang baik. Sel inang yang biasa digunakan adalah Eschericia coli, sel inang yang lain yang digunakan adalah Rhizobium leguminosarum, Streptomyces lividans, dll.

Teknik Clone library digunakan oleh Coutinho et al., (2013) untuk mengungkap keberadaan biodeteriogen

Gambar 5. Profiles DGGE dari spesies Halobacillus di lukisan dinding. Lajur 1: Isolat S3; Lajur 2: Isolat S4; Lajur 3: Isolat S20; Lajur 4: Isolat S21; Lajur 5: Isolat S22; Lajur 6: Isolat K3-1; Lajur 7: Isolat I3: Lajur 8: Isolat I7; Lajur 9: Isolat I3R; Lajur 10: Isolat I3A; Lajur 11: Halobacillus halophillus; Lajur 12: H. trueperi ; Lajur 13: H. litoralis; Lajur 14: H. locisalis; Lajur 15: H. karajensis; Lajur 16: H. salinus (Ripka et al. (2006))

Gambar 6. Hasil restriksi enzim Hinf I 16S rDNAs. L: DNA Ladder; 2: C6; 3: C11; 4: C9; 5: C8; 6: Li-f; 7: Li-m; 8: Vol; 9: Peg; 10: Mu-2; 12: Mu-sc; 13: Mu-pl; 14: Mu-c; 15: Bg-c; 16: PCC 6307; 17: PCC 6308; 18: PCC 73106; 19: PCC 6306 (Tomaselli et al., 2000).

Habibi, Identifikasi Biodeteriogen Sebagai Langkah Awal Konservasi Benda Cagar Budaya

Page 30: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

29

pada bangunan kerajaan nasional Pena di Portugal. Kerajaan Pena terbuat oleh keramik. Keramik kerajaan ini di tutupi oleh lapisan biofilm yang berwarna hijau dan dapat membahayakan atau menyebabkan kerusakan pada keramik bangunan. Selain menemukan spesies mikroorganisme, penelitian ini juga berhasil mengungkap hubungan kekerabatan antar spesies yang ditemukan

III. KesimpulanMetode identifikasi mikroorganisme yang

terletak pada benda cagar budaya diperlukan untuk langkah awal konservasi. Dengan diketahuinya identitas mikroorganisme yang ada, dapat dilakukan penanganan konservasi benda cagar budaya dengan baik dan aman. Teknik identifikasi mikroorganisme dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu konvensional (kultur) dan molekuler. Metode molekuler mempunyai beberapa kelebihan daripada kultur, membutuhkan waktu yang lebih cepat, tidak membutuhkan sampel yang banyak, sampel tidak harus ditumbuhkan di medium terlebih dahulu, dan lain-lain. Teknik molekuler yang telah diaplikasikan untuk identifikasi mikroorganisme pada

Gambar 7. Dendrogam UPGMA dari Cyanobacterial 16S ARDRA yang dikombinasikan dengan 5 enzim endonuclease. SD (Dice Similarity Coefficient %), menunjukkan koefisien similaritas.

Gambar 8. Kerusakan keramik bangunan Kerajaan Nasional Pena yang disebabkan oleh lapisan Biofilm Mikroorganisme.

DAFTAR PUSTAKAAbdel-Haliem MEF, Sakr AA, Ali MF, Ghaly MF,

Sohlenkamp C (2013) Characterization of Streptomyces isolates causing colour changes

of mural paintings in ancient Egyptian tombs. Microbiol Res 168: 428–437.

Ciadro DE, Lucke K, Imhof A, Bloemberg GV, Bottger

benda cagar budaya adalah Fingerprinting, meliputi DGGE (Denaturing Gradient Gel Electhrophoresis), SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism), ARDRA (Amplified rDNA Restriction Analysis), dan Clone Library.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 23-30

Page 31: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

30

Habibi, Identifikasi Biodeteriogen Sebagai Langkah Awal Konservasi Benda Cagar Budaya

EC (2010) Systematic internal transcribed spacer sequence analysis for iden -tification of clinical mold isolates in diagnostic mycology: a 5-year study. J Clin Microbiol48 : 2809–2813

Coutinho ML, Miller AZ, Gutierrez-Patricio S, Hernandez-Marine M, Gomez-Bolea A, Rogerio-Candelera MA, Philips AJL, Jurado V,Saiz-Jimenez C, Macedo MF (2013) Microbial communities on de -teriorated artistic tiles from Pena National Palace (Sintra, Portugal). Int Biodeter84 : 322–332.

De Felice B, Pasquale V, Tancredi N, Scherillo S, Guida M (2010) Ge-netic fingerprint of microorganisms associated with the deterioration of an historical tuff monument in Italy. J Genet 89 : 253–257.

Gorbushina AA, Heyrman J, Dornieden T, Gonzalez-Delvalle M, Krumbein WM, Laiz L, Petersen K, Saiz-Jimenez C, Swings J (2004) Bacterial and fungal diversity and biodeterioration problems in mural painting environments of St. Martins church (Greene-Krei -ensen, Germany). Int Biodeter Biodegr53 : 13–24.

Gurtner C, Heyrman J, Piñar G, Lubitz W, Swings J, Rölleke S (2000) Comparative analyses of the bacterial diversity on two different biodeteriorated wall paintings by DGGE and 16S rDNA sequence analysis. Int Biodeter Biodegr46 : 229–239.

Kiel G, Gaylarde CC (2006) Bacterial diversity in biofilms on external surfaces of historic buildings in Porto Alegre. World J Microb Biot22 : 293–297.

Morales B. 2006. Cyanobacterial diversity and ecology on historic monuments in Latin America. Latinoam Microbiol 48 (2): 188-195

Rastogi G, Sani RS (2011) Molecular techniques to asses microbial community structure, function and dynamics in the environment. In Microbes and microbial technology: agricultural and environmental applications . Ahmad I, Ahmad F, Pichtel J, eds, pp 29–57. Springer, New York.

Ripka K, Denner EBM, Michaelsen A, Lubitz W, Piñar G (2006) Mo-lecular characterization of Halobacillus strains isolated from different medieval wall paintings and building materials in Austria. Int Bioder Biodegr 58 : 124–132.

Schabereiter-Gurtner C, Pinar G, Lubitz W, Rölleke S (2001) An ad-vanced strategy to identify bacterial communities on art objects. J Microbiol Methods 45 : 77–87

Simon C, Rolf D (2011) Metagenomic analyses: past and future trends. Appl Environ Microbiol 77 : 1153-1161.

Smerda J, Sedlácek I, Pácová Z, Krejcí E, Havel L (2006) Paenibacillus sepulcri sp. nov., isolated from biodeteriorated mural paintings in the Servilia tomb. Int J Sys Evol Microbiol 56: 2341–2344.

Tomaselli L, Lamenti G, Bosco M, Tiano P (2000) Biodiversity of photosynthetic microorganisms dwelling on stone monuments. Int Biodeter Biodegr 46 : 251–258.

Page 32: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

31

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 31-39

Analisis Kandungan Unsur dan Tingkat Kekerasan Pada Senjata LogamKoleksi Museum Tosan Aji Purworejo

R. Ahmad Ginanjar Purnawibawa Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,

Universitas Indonesia

Abstrak : Tulisan ini membahas tentang teknologi senjata logam pada masa lampau. Penelitian ini menggunakan metode analisis kandungan unsur (x-ray fluroscence) dan tingkat kekerasan (skala Mohs) pada 11 senjata logam dari Museum Tosan Aji. Senjata-senjata tersebut berupa keris, pedang, dan mata tombak. Hasil analisis unsur memperlihatkan bahwa dari 11 senjata yang dianalisis tidak terdapat senjata dengan kandungan unsur dan trace element yang sama. Selain itu, tidak ditemukan hubungan antara hiasan pamor pada senjata dengan kandungan unsur. Sementara pengukuran tingkat kekerasan menunjukkan adanya perbedaan tingkat kekerasan pada jenis dan tipe senjata tertentu, serta adanya hubungan antara tingkat kekerasan dengan proses pembuatan pada senjata keris.

Kata kunci : Keris, pedang, mata tombak, pamor, trace element

ABSTRACT : This paper is focused on technology of ancient metal weapons. This research is using analysis of element (x ray fluroscence) and hardness test (Mohs scale) method to analyze 11 weapons from Tosan Aji Museum. Those weapons are krises, sword and spear tips. Based on element analysis result, there is no similar element composition and trace element in 11 metal weapons. Furthermore, element analysis proved that weapon’s pamor and it’s element composition is unrelated. Other method, hardness test result shows there is difference hardness level in various kind and type of weapons. Hardness test result also shows there is relation between hardness level and forging processes in kris.

Keyword : Kris, sword, spear tips, pamor, trace element

I. PendahuluanA. Latar Belakang

Sejak masa prasejarah, kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya terus berkembang. Hal tersebut ditunjukkan dengan teknologi yang terus berkembang. Puncak perkembangannya adalah penguasaan cara peleburan logam. Penggunaan logam segera menyebar dengan luas, menggeser peran batu dan tulang sebagai alat yang esensial bagi kehidupan manusia (Fagan, 1975: 291). Kemajuan di bidang teknologi ini mengakibatkan tata ekonomi dan tata masyarakat yang baru dalam segala kehidupan (Haryono, 1983: 459). Dampak paling besar adalah penggunaan alat logam dalam kegiatan bercocok tanam. Hasilnya manusia dapat mengerjakan lahan yang lebih luas dan lebih cepat (Fagan, 1975:291). Hal ini mendorong surplus produksi pangan. Menurut Soejono (1992), terdapatnya surplus dalam memenuhi kebutuhan hidup mengakibatkan meningkatnya jumlah penduduk dan tumbuhnya perkampungan kecil dengan tata kehidupan yang teratur (Prijono, 2000: 135).

Kondisi tersebut mendukung tumbuhnya

spesialisasi pekerjaan, salah satunya adalah pandai besi. Pandai besi merupakan pekerjaan yang memerlukan perhatian penuh, sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk menghasilkan makanan sendiri. Bagi pandai besi, keadaan masyarakat dengan kondisi surplus memungkinkan mereka untuk menetap dan bekerja dengan tenang. Karena itu pengetahuan metalurgi/pengolahan logam juga dapat menjadi tolok ukur muncul dan berkembangnya peradaban (Childe, 1950: 7-8).

Bagi arkeolog, keberadaan artefak-artefak logam tersebut tentu sangat penting untuk menambah pengetahuan mengenai kehidupan manusia di masa lampau. Artefak logam sebagai hasil teknologi dapat dipakai untuk menjelaskan tingkah laku manusia melalui cara-cara pembuatannya (Prijono, 2002: 697). Walaupun perannya yang sangat penting, penelitian terhadap artefak logam harus dilakukan secara berhati-hati. Artefak logam yang ditemukan umumnya telah rusak akibat proses oksidasi, walaupun kadang ditemukan dalam keadaan baik. Umumnya logam emas dan tembaga dapat bertahan lebih lama dari pada besi (Fagan, 1975:285).

Page 33: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

32

Purnawibawa , Analisis Kandungan Unsur dan Tingkat Kekerasan Pada Senjata Logam Koleksi Museum Tosan Aji Purworejo

Dalam hal ini arkeologi memerlukan ilmu bantu untuk mempelajari artefak logam. Salah satu ilmu bantu yang dapat digunakan adalah metalurgi. Metalurgi merupakan cabang ilmu yang berkaitan dengan logam (Haryono, 1999: 2). Timbul Haryono memberi istilah ilmu bantu yang berkaitan dengan metalurgi sebagai “arkeometalurgi” (Haryono, 1983: 2). Dalam arkeometalurgi peran analisis sangat penting untuk mengidentifikasi teknologi logam yang digunakan pada masa lampau.

Umumnya beberapa atribut yang diteliti adalah asal bahan logam yang digunakan dan proses mendapatkannya, teknik yang digunakan dalam pengerjaan sebuah artefak logam dan tipologi terhadap jenis artefak logam. Analisis terhadap kandungan unsur dan teknik pembuatan pada artefak dapat digunakan untuk mengetahui atribut-atribut teknologi tersebut (Fagan, 1975: 293). Analisis logam bertujuan untuk mengetahui kelompok unsur logam yang diteliti (Haryono, 1983: 7). Dalam analisis kelompok unsur logam beberapa metode yang dapat digunakan adalah ring oven, difraksi sinar x (X-ray diffraction), dan pancaran sinar x(X-ray fluorescence). Sementara teknik pengerjaan artefak dapat diketahui menggunakan metode metalografi dan pengukuran kekerasan.

Salah satu jenis artefak logam yang ditemukan di Indonesia adalah senjata. Saat ini senjata logam tersebut lebih dikenal dengan sebutan Tosan Aji. Tosan berarti logam dan aji memiliki arti berharga/ mulia (Wibawa, 2008: 32). Beberapa senjata logam yang dikenal di Indonesia antara lain tombak, keris, pedang, wedung, rencong, badik, dan lain-lain (Wibawa, 2008: 6). Salah satu senjata tersebut adalah pedang. Pedang adalah senjata serupa pisau panjang. Di Indonesia pedang dikenal oleh hampir semua suku bangsa dengan ragam bentuk dan ciri khas tersendiri. Pedang umumnya berbentuk lurus dan memiliki tajaman pada satu sisi, walaupun pedang berlekuk juga kadang dijumpai (Solyom dan Solyom, 1978: 26). Ditinjau dari bentuk mata bilahnya, pedang dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu pedang suduk dan pedang sabet.

Senjata lainnya yang dikenal luas adalah tombak. Tombak merupakan senjata logam yang dikenal luas seluruh bangsa di dunia (Harsrinuksmo, 2008: 476-478). Pada mulanya tombak digunakan untuk berburu dan menghalau binatang buas. Kemudian fungsinya

berkembang sebagai alat perang, benda upacara, dan pusaka.Bentuk mata tombak bermacam-macam, mulai pipih meruncing hingga bulat memanjang. Umumnya tombak terbuat dari besi baja dan terkadang diberi bahan pamor. Mata tombak yang dibuat sebagai tombak pusaka umumnya diberi hiasan gambar timbul pada mata bilahnya. Gambar timbul itu kemudian ditempeli lapisan emas, hiasan ini disebut kinatah emas.

Berbeda dengan pedang dan tombak yang dikenal di seluruh dunia, keris merupakan senjata logam yang hanya berkembang di Asia Tenggara, tersebar di Semenanjung Malaya, Indonesia, dan Filipina (Hamzuri, 1988: 1; Huda, 2010: 234-248; Moebirman, 1970: 9). Keris merupakan senjata genggam yang digunakan untuk menikam. Bentuk keris yang pipih memanjang dengan dua sisi tajaman dan ujung runcing sangat sesuai sebagai senjata tikam. Hal ini menyebabkan bentuknya berbeda dengan senjata yang digunakan untuk memotong atau menebas (Djomul, 1985: 22). Bentuk keris dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu keris lurus dan keris luk (bergelombang) (Huda, 2010: 50; Djomul, 1985: 22).

Di Indonesia beberapa museum memiliki koleksi senjata logam dalam jumlah yang cukup banyak antara lain; Museum Keprajuritan, Museum Keris, Museum Pusat Informasi Majapahit dan Museum Tosan Aji. Museum Tosan Aji merupakan museum yang khusus menyajikan koleksi jenis-jenis tosan aji/ senjata logam, walaupun seiring perkembangannya museum ini juga memamerkan koleksi arkeologis lainnya yang ditemukan di sekitar Purworejo. Koleksi senjata yang dimiliki berjumlah 1027 bilah senjata dan terdiri dari berbagai jenis senjata. Dengan perincian: keris 721 bilah, tombak 288 bilah, pedang 7 bilah, kujang 3 bilah, badik 3 bilah, pedang samurai/ katana 2 bilah, cundrik 1 bilah, granggang 1 bilah, dan jamblo 1 bilah.

Analisis terhadap senjata logam penting dilakukan untuk mengetahui teknologi pada masa lampau. Analisis yang dilakukan umumnya adalah analisis unsur, tingkat kekerasan, dan teknik pembuatan. Analisis unsur untuk mengetahui bahan yang digunakan pada proses pembuatan dan lokasi asli bahan melalui susunannya yang khas (trace element) (Goffer, 1980: 8-9). Analisis kekerasan cukup bermanfaat untuk menjelaskan pengerjaan artefak, terutama jika unsur-unsurnya telah diketahui (Haryono, 1999: 6).

Page 34: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

33

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 31-39

PAJAJARAN MAJAPAHIT PAJANG MATARAM KAMARDIKAN

Panjang

panjang dan lebar sesuai

panjang danmiring

tidak direncanakan, pamor gajih

Lonjong danpanjang

hitam keputihan, kering

tidak terlalupanjang

kaku dan kasar

Ganja pendek Besar panjang pipih

Sirah Cecak pendek Besar panjang runcing

Gandhikpendek

dan miringbesar dan

miringpanjang

dan miringsedang

Warna bilah hitam kebiruanTidak adaciri khusus

hitam kebiruankeputih-putihan

Sogokan pendekbesar danpanjang

Tidak adaciri khusus

Tidak ada

Pamorkokoh, pamor

ngrambuttidak

direncanakanjelas dan halus jelas,

mengambang

Bilahpanjang, ujung

runcingbesar dan

lebarsedang

ciri khusustebal

PasikutanWingit, gagah

dan berwibawaKemba, hambar

Prigel, tangkas cekatan

Dhemes, menarik

Tabel 1. Ciri-ciri tangguh pada senjata logam

B. Rumusan MasalahBerdasarkan uraian di atas, setidaknya terdapat

dua pertanyaan yang dapat dikemukakan. 1) Bagaimana kandungan unsur pada tiap jenis senjata

pada masing-masing tipe? 2) Serta bagaimana tingkat kekerasan pada tiap jenis

senjata pada masing-masing tipe? Dengan menjawab kedua pertanyaan tersebut,

dapat diketahui atribut kandungan unsur, trace element, dan tingkat kekerasan dari aspek teknologi sebuah senjata logam. Satu atribut lainnya, yaitu teknik pengerjaan, akan dijelaskan menggunakan hasil analisis kandungan unsur dan tingkat kekerasan yang dipadukan dengan sumber-sumber tertulis.

C. MetodeKlasifikasi Senjata

Senjata yang dianalisis dalam penelitian ini memiliki bentuk yang berbeda-beda. Perbedaan ini berdasarkan dimensi ukuran (panjang, lebar, dan tebal) dan ciri tertentu pada keris. Ciri-ciri ini merupakan atribut khas pada keris yang memiliki hubungan dengan tangguh. Definisi tangguh adalah perkiraan gaya kedaerahan atau zaman dibuatnya sebuah senjata berdasarkan pengamatan terhadap jenis besi, pamor, dan bajanya, serta pasikutan-nya (kesan selintas garapan sebuah senjata) (Harsrinuksmo,

2008: 459; Huda, 2010: 90-91). Berdasarkan atribut yang dapat diamati tersebut, terdapat lima tangguh pada keris yang digunakan dalam penelitian ini. Selengkapnya dalam tabel berikut :

Dalam penelitian ini senjata yang dianalisis dibatasi sebanyak 11 bilah senjata. Koleksi yang dianalisis adalah delapan bilah keris, dua bilah mata tombak dan sebilah pedang. Senjata yang dipilih memiliki bentuk yang utuh dan tidak mengalami korosi maupun kerusakan lainnya sehingga data susunan unsur maupun tingkat kekerasan yang dikumpulkan lebih akurat. Pertimbangan lain adalah perkiraan periodisasi dari sampel. Pada senjata umum dikenal istilah tangguh atau perkiraan mengenai kapan senjata tersebut dibuat berdasarkan ciri-ciri fisik (Huda, 2010: 90-91). Koleksi yang dipilih berasal dari lima tangguh yang berbeda, yaitu Pajajaran, Majapahit, Pajang, Mataram, dan Kamardikan.

Untuk memudahkan proses penelitian, senjata-senjata tersebut dikelompokkan ke dalam ‘jenis’ dan ‘tipe’. Spaulding (1953: 305) mengemukakan bahwa klasifikasi merupakan proses menemukan kombinasi dari atribut-atribut yang ada pada artefak (Watson, 1971: 127), sehingga untuk menentukan sebilah senjata termasuk ke dalam ‘jenis’ dan ‘tipe’ tertentu dilakukan pengamatan seksama pada senjata-senjata tersebut.Kombinasi atribut yang ditemukan dan digunakan untuk menentukan ‘jenis’

Page 35: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

34

Purnawibawa , Analisis Kandungan Unsur dan Tingkat Kekerasan Pada Senjata Logam Koleksi Museum Tosan Aji Purworejo

senjata adalah ukuran panjang dan lebar, bagian tajaman, dan bentuk pesi (bagian senjata yang ditancapkan pada gagang atau pegangan). Berdasarkan klasifikasi diketahui terdapat tiga jenis senjata yaitu; keris, mata tombak, dan pedang. Senjata yang termasuk jenis keris berjumlah delapan bilah, mata tombak berjumlah dua bilah, dan sebilah senjata termasuk dalam jenis pedang.

Selanjutnya sebelas bilah senjata yang telah terbagi ke dalam tiga jenis senjata, dikelompokkan lagi ke dalam ‘tipe’ berdasarkan kombinasi atribut yang lebih spesifik. Atribut-atribut tersebut adalah ganja, sirah cecak, gandhik, sogokan, bilah, warna bilah, dan pamor atau hiasan pada bilah senjata. Atribut-atribut tersebut merupakan bagian pada senjata yang dapat digunakan untuk menentukan masa pembuatan atau tangguh, tujuan

JENIS SENJATAKeris PedangMata TombakNO. INVENTARIS

11.06/PWR/B/0003

11.06/PWR/B/0038

11.06/PWR/B/0048

11.06/PWR/B/0069

11.06/PWR/B/0352

11.06/PWR/B/0386

11.06/PWR/B/0395

11.06/PWR/B/--

11.06/PWR/B/0011

11.06/PWR/B/0036

11.06/PWR/B/0120

TIPE

Keris Tipe 1

Keris Tipe 2

Keris Tipe 3 a

Keris Tipe 4 a

Keris Tipe 3 b

Keris Tipe 4 b

Keris Tipe 5

Keris Tipe 6

Pedang Tipe 1

Mata Tombak Tipe 1

Mata Tombak Tipe 2

Tabel 3. Tipe senjata

digunakannya atribut-atribut tersebut adalah agar dapat membandingkan antara hasil pengelompokkan dalam penelitian ini dengan tangguh pada senjata. Hasilnya diketahui terdapat sembilan tipe senjata.

Pancaran Sinar X (X-Ray Fluoroscence

Spectrometry)Pancaran sinar x (X-ray fluorescence) merupakan

metode analisis unsur tidak destruktif. Metode ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode lain, yaitu; tidak merusak, waktu analisis yang cepat, tidak memerlukan penyiapan sampel yang rumit dan biaya yang relatif lebih rendah. Metode pancaran sinar x (X-ray fluorescence) mampu mendeteksi kandungan unsur mulai dari 0,01 - 100% pada sampel dengan ketebalan

36,5

61

23,3

44,5

35

35,7

22,1

33

34

35

35,2

0,4

0,5

0,3

0,3

0,2

0,2

0,9

0,2

0,3

0,2

0,2

1,8

3,2

2,4

1,4

2,1

1,8

3

2,2

2

2,2

2,4

NO. INVENTARIS JENIS SENJATAUKURAN BILAHP TL

BENTUK PESIP TL Keris PedangMata Tombak

TAJAMANV1 V3V2

11.06/PWR/B/0003

11.06/PWR/B/0011

11.06/PWR/B/0036

11.06/PWR/B/0038

11.06/PWR/B/0048

11.06/PWR/B/0069

11.06/PWR/B/0120

11.06/PWR/B/0352

11.06/PWR/B/0386

11.06/PWR/B/0395

11.06/PWR/B/--

Tabel 2. Kombinasi atribut yang digunakan dalam menentukan jenis senjata

Page 36: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

Pengukuran Kekerasan Skala MohsSkala Mohs adalah skala kekerasan relatif yang

umum diterapkan pada bidang mineralogi. Skala tersebut memiliki derajat kekerasan dari 1 – 10 yang mana setiap derajat mewakili jenis mineral yang dikenal secara luas (Klein dan Hurlbut, 1977: 203). Angka 1 menunjukkan mineral yang paling lunak dan angka 10 menunjukkan mineral yang paling keras. Langkah kerja metode tersebut adalah sebagai berikut :

II. Pembahasan Hasil analisis menggunakan metode pancaran

sinar x menunjukkan unsur yang dapat dikenali pada

senjata logam adalah Fe, Ni, Re, Cu, Sn, Cr, Au, Mn, Zn, dan Nb. Tidak ditemukan senjata dengan susunan unsur yang sama. Hasil selengkapnya ditampilkan pada tabel 4.

Tidak ditemukan suatu pola trace element yang sama pada seluruh senjata yang dianalisis. Setiap jenis senjata dari tipe yang berbeda memiliki pola susunan trace element yang berbeda pula. Pada senjata dari tipe yang sama dan diasumsikan berasal dari masa pembuatan (tangguh) yang sama juga tidak ditemukan pola trace element yang serupa. Pola trace element yang berbeda dapat mengindikasikan :

1) Senjata-senjata tersebut terbuat dari sumber logam yang berbeda.

2) Senjata-senjata tersebut terbuat dari sumber logam yang sama, namun dalam pengerjaannya ditambahkan campuran logam (bahan pamor)

35

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 31-39

maksimal 2 mm (Shackley, 2011: 8-9). Langkah kerja metode tersebut adalah sebagai berikut :

Pancaran Sinar X (XRF)

Siapkan senjata yang akan diuji

Senjata diperiksa pada tiga bagian

Proses pemeriksaan menggunakan alat XRF

Tampilan hasil pemeriksaan

Gambar 1. Langkah kerja metode pancaran sinar xPengukuran Kekerasan Skala Mohs

Pengukuran Kekerasan Skala Mohs

Siapkan senjata yang akan diuji

Senjata diperiksa pada tiga bagian

Proses pengukuran kekerasan

Tampilan bekas pengukuran

Gambar 2. Langkah kerja metode skala Mohs

UNSUR

Fe

Cu

Mn

Re

AuCr

Nb

Ni

Sn

ZnJENIS SENJATA

Keris Tipe 1

Keris Tipe 2

Keris Tipe 3 a

Keris Tipe 3 b

Keris Tipe 4 a

Keris Tipe 4 b

Keris Tipe 5

Keris Tipe 6

Pedang Tipe 1

Mata Tombak Tipe 1

Mata Tombak Tipe 2

Tabel 4. Kandungan unsur pada senjata

Keterangan : Warna biru menunjukkan unsur penyusun utama (lebih dari 1%), sedangkan warna merah menunjukkan trace element (kurang dari 1 %)

Page 37: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

36

Purnawibawa , Analisis Kandungan Unsur dan Tingkat Kekerasan Pada Senjata Logam Koleksi Museum Tosan Aji Purworejo

yang berbeda, dalam jumlah yang kecil.3) Sampel yang dianalisis tidak cukup banyak,

sehingga pola yang sesuai tidak muncul.

Hubungan antara kandungan unsur dan pamor pada senjata dianalisis dari lima senjata dari tipe berbeda yang memiliki jenis pamor yang sama, yaitu pamor wos wutah. Hasil analisis menujukkan lima senjata tersebut memiliki kandungan unsur yang berbeda. Data hasil analisis menunjukkan pamor, khususnya wos wutah, terbentuk tanpa pengaruh dari jenis bahan logam yang digunakan.

Pengukuran tingkat kekerasan menunjukkan hasil yang bervariasi mulai dari 3 hingga 6 skala Mohs. Hasil pengukuran kekerasan ditunjukkan pada tabel berikut :

Pedang dan Mata Tombak memiliki tingkat kekerasan 5 skala Mohs, sedangkan rata-rata Keris memiliki tingkat kekerasan 4,16. Tampaknya hal ini berhubungan dengan fungsi. Pedang dan mata tombak umumnya merupakan senjata yang lebih sering digunakan

dalam peperangan (Solyom dan Solyom, 1978: 26; Harsrinuksmo, 1991: 68), sehingga dibuat dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi dari pada keris. Tingkat kekerasan yang tinggi merupakan unsur yang penting dalam daya tahan senjata saat digunakan di peperangan. Selain itu sangat mungkin pedang dan mata tombak lebih sering digunakan dalam peperangan karena jangkauannya yang lebih jauh dari pada keris.

Tingkat kekerasan yang dianggap mewakili teknologi pembuatan keris tentu tidak dapat dilepaskan dari proses pembuatan sebuah keris. Proses paling penting dalam pembuatan keris adalah proses pelipatan untuk menyatukan semua bahan. Berdasarkan ciri tangguh dapat diketahui berapa jumlah lipatan pada keris-keris tersebut.

Jika tabel diatas dikonversikan menjadi sebuah grafik, akan tampak hubungan antara jumlah lipatan dengan tingkat kekerasan. Semakin banyak jumlah lipatan, maka semakin tinggi pula tingkat kekerasan pada keris tersebut. Grafik ditampilkan pada Gambar 3.

UNSUR

Fe

Cu

Mn

Re

Au

Cr

Nb

Ni

Sn

ZnJENIS SENJATA

Keris Tipe 1

Keris Tipe 2

Keris Tipe 3 b

Keris Tipe 4 b

Keris Tipe 5

JENIS SENJATA

Wos Wutah

Wos Wutah

Wos Wutah

Wos Wutah

Wos Wutah

Tabel 5. Senjata yang memiliki pamorwos wutah

TINGKAT KEKERASAN

4

5

4

4

4

4

4

4

5

5

6

PANGKAL

3

5

5

4

4

4

5

4

5

5

5

TENGAH

4

5

4

4

4

4

4

4

5

5

4

UJUNGJENIS SENJATA TINGKAT KEKERASAN

RATA-RATA

Keris Tipe 1

Keris Tipe 2

Keris Tipe 3 a

Keris Tipe 3 b

Keris Tipe 4 a

Keris Tipe 4 b

Keris Tipe 5

Keris Tipe 6

Pedang Tipe 1

Mata Tombak Tipe 1

Mata Tombak Tipe 2

3,7

5

4,3

4

4

4

4,3

4

5

5

5

Tabel 6. Hasil pengukuran tingkat kekerasan (dalam Skala Mohs)

Page 38: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

37

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 31-39

Jika hasil analisis unsur dan kekerasan dihubungkan dalam satu tabel, akan menunjukkan hasil sebagai berikut :

Banyaknya jenis unsur penyusun pada senjata tampaknya tidak memiliki hubungan dengan tingkat kekerasan pada senjata tersebut. Hubungan antara unsur penyusun dan tingkat kekerasan pada senjata dapat dijelaskan melalui persentase kadar besi (Fe) pada senjata yang ditampilkan pada tabel 10.

Keris Tipe 1 yang memiliki persentase Fe kurang dari 70% menghasilkan senjata dengan tingkat kekerasan rendah (3,7 skala Mohs), sementara senjata lain yang memiliki kandungan unsur besi (Fe) dengan persentase lebih dari 80 % menunjukkan tingkat kekerasan yang relatif tinggi antara 4 – 5 skala Mohs. Berdasarkan uraian tersebut, banyaknya persentase unsur besi (Fe) yang digunakan dalam pembuatan senjata dapat mempengaruhi tingkat kekerasan senjata tersebut.

III. KesimpulanDari hasil analisis kandungan unsur yang

dilakukan terhadap 11 bilah senjata, tidak menunjukkan adanya pola komposisi unsur yang serupa, bahkan pada senjata dari jenis maupun tipe yang sama. Sementara pada analisis terhadap trace element juga tidak ditemukan suatu keteraturan pola yang muncul. Dari 11 bilah senjata semuanya memiliki susunan pola trace element yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa semua senjata tersebut dibuat dari sumber bahan besi yang berbeda, atau kemungkinan lain, beberapa senjata tersebut bisa saja dibuat dari sumber bahan yang sama, tetapi pada saat proses pembuatan ditambahkan bahan pamor yang berbeda.

Pada analisis terhadap pamor menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara komposisi unsur dengan pamor. Pada lima keris ber-pamor wos wutah yang dianalisis, tidak menunjukkan adanya hubungan antara pamor dengan komposisi unsur logam penyusunnya. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa pamor wos wutah terbentuk secara tidak disengaja oleh pembuat keris.

Dari analisis terhadap tingkat kekerasan senjata rupanya dapat menunjukkan teknologi pembuatan senjata logam pada masa lampau. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa pedang dan mata tombak memiliki tingkat kekerasan rata-rata di atas keris, yaitu sebesar 5 skala Mohs dibandingkan keris yang hanya sebesar 4,16

Tabel 7. Tipe Keris yang diasumsikan mewakili tangguh tertentu

TANGGUH TIPE Lipatan TINGKATKEKERASAN

4

5

4

4,15

Pajajaran

Majapahit

Pajang

Mataram

Keris Tipe 4

Keris Tipe 2

Keris Tipe 6

Keris Tipe 3

64

2048

128

256

Gambar 3. Hubungan antara jumlah lipatan dengan tingkat kekerasan pada keris

Page 39: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

38

Purnawibawa , Analisis Kandungan Unsur dan Tingkat Kekerasan Pada Senjata Logam Koleksi Museum Tosan Aji Purworejo

Keterangan : Warna biru menunjukkan unsur penyusun utama (lebih dari 1%), sedangkan warna merah menunjukkan trace element (kurang dari 1 %).

JENIS SENJATA TINGKATKEKERASAN

Keris Tipe 1

Keris Tipe 2

Keris Tipe 3 a

Keris Tipe 3 b

Keris Tipe 4 a

Keris Tipe 4 b

Keris Tipe 5

Keris Tipe 6

Pedang Tipe 1

Mata Tombak Tipe 1

Mata Tombak Tipe 2

3,7

5

4,3

4

4

4

4,3

4

5

5

5

Tabel 8. Hubungan antara unsur dan tingkat kekerasan pada senjata

UNSUR

Fe

Cu

Mn

Re

AuCr

Ni

Sn

Zn

PangkalTengah Bilah

Ujung

PangkalTengah Bilah

Ujung

PangkalTengah Bilah

Ujung

PangkalTengah Bilah

Ujung

PangkalTengah Bilah

Ujung

PangkalTengah Bilah

Ujung

PangkalTengah Bilah

Ujung

PangkalTengah Bilah

Ujung

PangkalTengah Bilah

Ujung

PangkalTengah Bilah

Ujung

PangkalTengah Bilah

Ujung

TITIK UJI

14,6968,5859,9796,9898,1797,1699,5999,2199,2499,83100

99,5799,9698,2798,68

99,97499,5399,2599,1799,1999,4999,2699,4

99,6399,6199,8899,8296,6981,7899,62100100100

% Fe

434555454444444444454444555555654

TINGKAT KEKERASAN

Keris Tipe 1

Keris Tipe 2

Keris Tipe 3 b

Keris Tipe 6

Keris Tipe 4 b

Mata Tombak Tipe 1

Keris Tipe 3 a

Keris Tipe 4 a

Pedang Tipe 1

Keris Tipe 5

Mata Tombak Tipe 2

JENIS SENJATA

3,7

5

4,3

4

4

4

4,3

4

5

5

5

TINGKAT KEKERASAN RATA-RATA

Tabel 10. Hubungan antara persentase besi (Fe) dan tingkat kekerasan pada senjata

Page 40: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

39

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 31-39

skala Mohs. Tampaknya hal ini memiliki hubungan dengan fungsi dari tiap jenis senjata. Pedang dan tombak lebih utama digunakan dalam peperangan karena jangkauannya yang lebih jauh memberikan keuntungan bagi penggunanya. Keris tampaknya lebih berfungsi sebagai senjata pamungkas yang digunakan jika telah terdesak.

Selain tingkat kekerasan antar jenis senjata, analisis terhadap tingkat kekerasan menunjukkan bahwa tingkat kekerasan keris dari tipe yang berbeda memiliki perbedaan satu sama lain. Keris Tipe 1 menunjukkan tingkat kekerasan paling rendah yaitu 3,7 skala Mohs, sedangkan Keris Tipe 5 memiliki tingkat kekerasan paling tinggi yaitu 5 skala Mohs. Keris Tipe lainnya yaitu Tipe 3,4, 5, dan 6 memiliki tingkat kekerasan menengah antara 4 – 4,3 skala Mohs. Perbedaan tingkat kekerasan ini dapat dihubungkan dengan proses pembuatan pada keris. Berdasarkan kemiripan morfologi, diperoleh beberapa Tipe Keris dalam penelitian ini yang dapat digunakan

DAFTAR PUSTAKAChilde, V.G. 1950. The urban revolution. Liverpool Press:

Town Planning Review, Vol. 21, No. 1, (April. 1950), pp. 3-17.

Djomul, Mas. 1985. Keris, benda budaya. Jakarta: Aksara Baru bekerja sama dengan Taman Mini Indonesia Indah.

Fagan, B. M. 1975. In the beginning, an introduction to archaeology. Boston: Little, Brown and Company.

Goffer, Z. 1980. Archaeological chemistry. New York: John Wiley & Sons.

Hamzuri. 1988. Keris. Penerbit Djambatan.Haryono, Timbul. 1999. Arkeologi metalurgi: Perannya dalam

eksplanasi arkeologi. Makalah dalam Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi , Lembang, 22-26 Juni 1999.

---------------------. 1983. Arkeometalurgi: Prospeknya dalam penelitian arkeologi di Indonesia. Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Ciloto 23-28 Mei 1983.

Harsrinuksmo, Bambang. 2008. Ensiklopedia keris. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Huda, Arief Syaifuddin. 2010. Sejarah Keris. Jakarta: DFS

Publisher.Klein, C., & Hurlbut, Jr, C.S. 1977. Manual of mineralogy

(after James D. Dana). New York: John Wiley & Son

Moebirman. 1970. Keris and other weapons of Indonesia. Jakarta: Yayasan PelitaWisata.

Prijono, Sudarti. 2000. Artefak logam perunggu masa lampau, suatu komoditi perdagangan di awal masehi. Artikel dalam Fachroel Aziz dan Etty Saringendyanti (Ed). Cakrawala Arkeologi, Balai Arkeologi Bandung.

Shackley, M.S. 2011. X-ray fluorescence spectrometry in geoarchaeology. Springer Science + Business Media.

Solyom, G., & Solyom, B. 1978. The world of the Javanese keris. Honolulu: East-West Center

Watson, P. J., et al. 1971. Explanation in archaeology, an explicitly scientific approach. New York: Columbia University Press

Wibawa, Prasida. 2008. Tosan Aji pesona jejak prestasi budaya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

mewakili tingkat kekerasan keris tangguh tertentu.Tingkat kekerasan pada keris-keris tersebut

berbanding lurus dengan kerumitan pengerjaannya. Keris dengan jumlah lipatan sedikit menunjukkan tingkat kekerasan yang rendah dan sebaliknya keris dengan jumlah lipatan lebih banyak menunjukkan tingkat kekerasan yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin rumit dan banyak jumlah pelipatan pada saat proses pembuatan keris semakin tinggi pula kualitas keris yang dihasilkan.

Dari serangkaian analisis yang telah dilakukan diketahu bahwa komposisi unsur tidak memiliki hubungan langsung dengan tingkat kekerasan pada senjata. Unsur yang memiliki pengaruh pada tingkat kekerasan hanya besi (Fe), semakin rendah persentase kandungan besi (Fe) semakin rendah pula tingkat kekerasan senjata tersebut. Sebaliknya, persentase besi (Fe) yang tinggi pada senjata menghasilkan senjata dengan tingkat kekerasan yang tinggi pula.

Page 41: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

40

dan membentuk lichen yang juga dapat melapukkan batuan (Margulis dan Barreno, 2003).

Sejak penemuannya pada tahun 1814, telah dilakukan beberapa kali pemugaran pada Candi Borobudur. Pemugaran pada tahun 1973-1983 menambahkan sistem drainase pada Candi Borobudur untuk mencegah terjadinya genangan air pada bagian dalam candi dan teras candi. Terjadinya genangan air dapat meningkatkan kelembaban dan memicu tumbuhnya mikroorganisme dan lichen penyebab pelapukan candi. Selain itu, untuk mencegah terkikisnya tanah dan batuan di bagian dalam Candi Borobudur karena air, sehingga kerusakan candi dapat dicegah (Anom, 2005).

Namun setelah erupsi Merapi tahun 2010 dan erupsi Kelud tahun 2014, telah dilaporkan beberapa masalah dalam sistem drainase Candi Borobudur yaitu keberadaan abu vulkanik pada saluran drainase lantai II, III, dan IV, tepatnya pada bagian filter (saringan) drainase

Isolasi Jamur dari Batuan Penutup DrainasePada Sisi Selatan Lantai II Bidang H Candi Borobudur

Nabiilah Ardini Fauziyyah, dkkSekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi jamur dari batuan penutup drainase Candi Borobudur pada sisi Selatan Lantai II Bidang H, yang memiliki kemungkinan menyebabkan biodeteriorasi. Kerak pada batuan penutup drainase disampling dengan metode kerik dan swab, kemudian dilakukan isolasi mikroba hasil sampling dengan metode spread, streak, dan tabur pada medium Nutrient Agar dan Potato Dextrose Agar. Inkubasi dilakukan pada suhu 280C dengan kelembaban 80% selama 24-48 jam. Isolat yang berbeda disubkultur pada medium baru dan diinkubasi kembali selama 48-72 jam dengan suhu dan kelembaban yang sama. Setelah isolat diinkubasi, dilakukan karakterisasi morfologi makroskopis berupa bentuk dan warna koloni isolat jamur, dan mikroskopis berupa keberadaan septa pada hifa, spora, dan kantung spora dengan mikroskop. Didapatkan empat isolat jamur yaitu J1, J2, J6, dan J7. Berdasarkan morfologi makroskopis dan mikroskopis, Isolat J1, J6, dan J7 termasuk jenis jamur dari filum Ascomycota atau Deutromycota sedangkan Isolat J2 termasuk jenis jamur dari filum Zygomycota.

Kata kunci : Biodeteriorasi, Candi Borobudur, Isolasi, Jamur, Karakterisasi Morfologis

ABSTRACT: The purposes of this study is to isolate the molds from the rock that covers the drainage system of Borobudur on the southern side floor II sector H, which has the possibility for causing biodeterioration. The crust on the rock surface is being sampled with a chisel and swabbed with a sterile cotton bud. Both samples are transfered into the lab then the isolation of microbes is performed with spread method, streak method, and also by sowing the crust samples onto the gelatine Nutrient Agar and Potato Dextrose Agar aseptically. The inoculated samples were incubated for 24-72 hours at 28°C with 80% humidity. Different molds isolates were subcultured into new medium and incubated for 48-72 hours with the same temperature and humidity as before. After incubation, the fungal isolates were characterized for its macroscopic and microscopic morphology. Macroscopic characterization was carried out by defining the colony shapes and colors of the isolates. Microscopic characterization was carried out by defining the existence of septae in hyphae, form of the spores and spore sac with a microscope. Four isolates were obtained (J1, J2, J6 and J7). Based on macroscopic and microscopic morphology, isolates J1, J6 and J7are from the phylum Ascomycota or Fungi Imperfecti while isolates J2 isfrom the phylum Zygomycota.

Keywords : Biodeterioration, Borobudur temple,Isolation, Molds, Morphological characterization

I. Pendahuluan A. Latar Belakang

Candi Borobudur adalah struktur peninggalan purbakala yang berlokasi di daerah Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi Borobudur adalah struktur candi Buddha tunggal terbesar di dunia yang terus dijaga kelestariannya. Namun demikian, secara umum, batuan Candi Borobudur telah mengalami pelapukan yang apabila dibiarkan dapat berujung pada kerusakan material batuan, relief, dan konstruksi dasar candi. Pelapukan tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor. Berdasarkan penyebabnya, pelapukan dibagi menjadi tiga yaitu pelapukan akibat proses fisika, kimia, dan biologi (Pujiastuti et al, 2006). Pelapukan akibat agen biologis kerap ditemukan pada batuan Candi Borobudur. Mikroorganisme jamur merupakan agen biologis yang sering ditemukan menjadi agen pelapuk batuan. Selain itu, jamur juga dapat bersimbiosis dengan cyanobacteria

Page 42: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

41

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 40-44

jam. Sampling dilakukan untuk apusan jamur dan apusan bakteri, masing-masing dilakukan duplo. Dilakukan sampling untuk apusan bakteri untuk menambah data penelitian berupa adanya kemungkinan bakteri yang juga tumbuh pada lokasi sampling, yang dapat berguna untuk penelitian selanjutnya.

Metode kerik dilakukan dengan mengambil bagian batu yang memiliki bercak putih dengan menggunakan skapel. Dilakukan 2 kali kerikan untuk sampel kerikan bakteri dan sampel kerikan jamur. Sampel kerikan ditampung dalam plastik ziplock steril kemudian dipindahkan ke lab dan dianalisis dalam rentang waktu 24 jam.

2. Isolasi JamurIsolasi dilakukan pada medium Potato Dextrose

Agar (PDA) karena baik untuk pertumbuhan fungi dan Nutrient Agar(NA) karena baik untuk pertumbuhan bakteri dalam cawan petri. Dilakukan 3 metode isolasi yaitu spread, streak, dan tabur.

Metode streak dilakukan dengan menggoreskan hasil swab pada permukaan medium secara aseptis. Cawan petri kemudian diinkubasi pada suhu 280C dengan kelembaban 80% selama 24-72 jam.

Metode spread dilakukan dengan memasukkan secara aseptis masing-masing sampel kerikan (bakteri dan

di bawah batuan candi. Selain itu terdapat ancaman kerusakan batuan yang cukup kompleks, antara lain akibat rembesan air yang membawa material ke dalam rongga batuan tempat sistem drainase berada. Meterial itu kemudian menjadi kerak dan bintik (postule) yang mengganggu kelestarian batu candi dan relief (Atmoko, 2016).

Postule tersebut belum teridentifikasi namun diduga jamur atau mengandung jamur karena memiliki bentuk persebaran yang spotting dan radial seperti bentuk persebaran jamur. Keberadaan jamur pada batuan drainase candi borobudur dapat memicu pelapukan ke tahap yang lebih parah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai keberadaan jamur yang tumbuh pada batuan penutup drainase Candi Borobudur.

Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi jamur yang tumbuh pada batuan penutup sistem drainase pada sisi selatan lantai II bidang H (S2H) Candi Borobudur. Isolat yang ditemukan kemudian juga dikarakterisasi morfologi makroskopis dan mikroskopisnya. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya guna mengetahui secara lebih spesifik jenis dan peran jamur tersebut dalam pelapukan batuan Candi Borobudur.

B. MetodeSecara garis besar, metode penelitian ini terdiri

dari 3 tahapan yaitu sampling mikroba di lapangan, isolasi jamur, dan karaterisasi isolat jamur yang ditemukan.

1. Sampling Mikroba di LapanganSampling dilakukan pada sisi batuan penutup

drainase Candi Borobudur pada sisi selatan lantai II bidang H (S2H), yang menampakkan kerak berwarna putih kekuningan. Pada bagian tersebut dilakukan pengamatan dengan Handy-Microscope kemudian dilakukan sampling dengan metode swab dan kerik.

Metode swab dilakukan dengan mengambil apusan batu yang memiliki bercak putih dengan cotton bud steril yang telah dibasahi sedikit dengan akuades. Pembasahan dengan akuades bertujuan untuk melembabkan cotton bud sehingga spora pada sampel batuan lebih mudah menempel pada cotton bud. Cotton bud yang telah dipenuhi apusan dibungkus dengan alumunium foil steril kemudian dipindahkan ke lab dan di analisis dalam rentang waktu 24

Foto 1. Tampak kerak yang diduga merupakan mikroorganisme di sisi batuan penutup drainase Candi Borobudur pada sisi selatan lantai II bidang H.

Page 43: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

42

Fauziyyah, Isolasi Jamur dari Batuan Penutup Drainase Pada Sisi Selatan Lantai II Bidang H Candi Borobudur

jamur) ke dalam akuades steril yang berbeda. Masing-masing larutan sampel kemudian dihomogenisasi. Pada 100µL larutan sampel kemudian diinokulasikan secara spread ke permukaan medium. Cawan petri kemudian diinkubasi pada suhu 280C dengan kelembaban 80% selama 24-72 jam.

Metode tabur dilakukan dengan menabur secara aseptis sampel kerikan ke permukaan medium. menggunakan spatula. Cawan petri kemudian diinkubasi pada suhu 280C dengan kelembaban 80% selama 24-72 jam.

Jamur yang tumbuh dan memiliki morfologi yang berbeda kemudian disubkultur dengan metode tanam secara aseptis ke PDA miring pada tabung reaksi untuk dikarakterisasi lebih lanjut. Subkultur dilakukan untuk mendapatkan isolat murni jamur. Metode tanam dilakukan dengan mengambil bagian miselium jamur pada permukaan agar dengan spatula kemudian diletakan terbalik pada medium agar yang baru. PDA miring yang telah terinokulasi diinkubasi pada suhu 280C dengan kelembaban 80% selama 48-72 jam.

3. Karakterisasi Isolat JamurKarakterisasi isolat dilakukan dengan

menentukan morfologi makroskopis dan mikroskopis isolat jamur. Morfologi makroskopis ditentukan dengan mengamati secara mata telanjang bentuk dan warna koloni isolat jamur. Penentuan morfologi mikroskopis isolat jamur dilakukan dengan membuat preparat basah jamur kemudian diamati dibawah mikroskop. Hal yang diamati meliputi bentuk hifa (keberadaan septa pada hifa), spora, dan kantung spora.

II. PembahasanA. Pengamatan pada Lokasi Sampling

Pada lokasi sampling, teramati kerak berwarna putih kekuningan memiliki bentuk persebaran yang spotting dan radial. Setelah dilakukan pengamatan menggunakan handy-microscope dengan perbesaran 150x, didapatkan bentuk kerak yang menyerupai lichen tipe crustoce karena berbentuk kerak yang menempel pada permukaan (Budel dan Scheidegger, 1996).

Kerak berwarna putih kekuningan dominan menempati sisi batuan yang pasir terlapisi oleh substansi yang menyerupai atau tanah. Pasir atau tanah ini diduga adalah sisa-sisa abu vulkanik yang belum terbersihkan setelah erupsi Merapi tahun 2010 dan erupsi Kelud tahun 2014. Abu vulkanik mengandung mikronutrien seperti fosfat dan sulfur yang beragam, kalsium yang cukup tinggi, dan kandungan besi, mangan, timbal, serta cadmiun yang rendah (Suriadikarta, 2012). Kandungan ini mampu dimanfaatkan oleh mikroorganisme kemolitotrof yaitu pengguna mineral anorganik untuk pertumbuhan, yang selanjutnya dapat memicu pertumbuhan organisme lain seperti jamur, algae, lichen, dan organisme tingkat tinggi (Brem dan Lips, 2008).

B. Isolat MikrobaHasil sampling mikroba dengan metode swab dan

kerik dianalisis di lab dalam kurun waktu 24 jam. Dari 7 cawan petri didapat 6 isolat bakteri (B3, B4, B5, B9, B10, B11) dan 5 isolat jamur (J1, J2, J6, J7, J8) yang berbeda. Isolat bakteri dibedakan berdasarkan warna koloni, bentuk koloni dan pola pertumbuhan koloni pada permukaan agar. Sedangkan isolat jamur dibedakan

Foto 2. Kerak pada batuan penutup drainase Candi Borobudur pada sisi selatan lantai II bidang Hdengan perbesaran handy-microscope 150x.

Page 44: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

43

secara maksroskopis dilihat dari warna spora dan bentuk koloni jamur.

Dari kelima isolat jamur yang ditemukan, 4 isolat (J1, J2, J6, J7) berhasil disubkultur pada tabung reaksi yang berisi PDA miring dan diinkubasi selama 48-72 jam pada suhu 280C dengan kelembaban 80%. Isolat J8 tidak berhasil di subkultur karena pada proses subkultur, isolat mengalami kerusakan dan terkontaminasi oleh bakteri. Sementara itu keenam isolat bakteri tidak dikarakterisasi lebih lanjut karena berada diluar ruang lingkup penelitian.

Setelah inkubasi, keempat isolat murni jamur dengan morfologi yang berbeda dikarakterisasi dan didapatkan data sebagaimana tertera pada Tabel 1. Keempat isolat jamur termasuk kedalam kelompok molds. Hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis dapat membantu identifikasi isolat jamur.

Secara makroskopis, isolat J1 memiliki spora berwarna peach, miselium merambat ke atas menuju tutup tabung dan memenuhi sebagian tabung reaksi. Pada pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x, isolat J1 memiliki spora aseksual mikrokonodium, hifa bersepta dan bercabang. Dengan karakter tersebut, maka diperkirakan isolat J1 termasuk di filum Ascomycota atau Deutromycota.

Secara makroskopis isolat J2 memiliki spora berwarna hitam, miselium merambat ke atas dan memenuhi tabung. Pada pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x, isolat J2 memiliki hifa bersepta, hifa bercabang, kantong spora berupa sporangium dan menghasilkan sporangiospora. Berdasarkan karakter tersebut, diperkirakan bahwa isolat

J2 termasuk jamur dari filum Zygomycota.Secara makroskopis isolat J6 memiliki spora

berwarna kuning, koloni berbentuk iregular, dan miselium tidak memenuhi tabung. Pada pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x, diamati isolat nomor J6 memiliki hifa bersepta dan bercabang, tidak teramati kantung spora namun teramati tangkai berbentuk cladosporium, suatu bentuk dari tangkai konidiofor. Oleh karena itu diperkirakan isolat ini termasuk dalam filum jamur Ascomycota atau Deutromycota.

Secara makroskopis isolat nomor J7 memiliki spora berwarna hijau gelap, koloni tumbuh sirkular dan misellium tidak memenuhi tabung reaksi. Pada pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x, diamati isolat J7 memililiki hifa bercabang dan bersepta.Isolat juga memiliki spora mikrokonidium dan tangkai konidiofor kompleks. Oleh karena itu isolat J7 diperkirakan termasuk dalam filum Ascomycota atau Deutromycota.

C. Peran Jamur pada Batuan Candi BorobudurBelum dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai peran pasti isolat jamur yang ditemukan. Namun secara umum, jamur dapat merusak batuan secara mekanis maupun kimia. Secara mekanis, jamur dapat melakukan penetrasi ke material batuan melalui pertumbuhan hifa ke dalam batuan sehingga dapat memperbesar porositas batuan. Secara kimiawi, jamur memiliki kemampuan memproduksi pigmen dan asam organik yang menyebabkan dampak buruk pada material seperti perubahan warna dan degradasi dari beberapa

MORFOLOGI MAKROSKOPIS

BENTUK KOLONI WARNA SPOT

J1Miselium

memenuhi tabung

Peach v v Mikrokonidium

J2Miselium

memenuhi tabung

Hitam v vSporangium dan sporangiospora

J7 Sirkular Hijau gelap v vTangkai konidiofor kompleks & spora

mikrokonidium

J6 Iregular Kuning v v Cladosporium

ISOLAT JAMUR

HIFA

BERCABANGBERSEPTA

ALAT REPRODUKSIYANG DITEMUKA

MORFOLOGI MAKROSKOPIS

Tabel 1. Morfologi Makroskopis Dan Mikroskopis Isolat Jamur.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 40-44

Page 45: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

44

Fauziyyah, Isolasi Jamur dari Batuan Penutup Drainase Pada Sisi Selatan Lantai II Bidang H Candi Borobudur

tipe batu seperti contohnya pada pada batu peninggalan sejarah. Batuan tersebut dapat terpapar melanin dari jamur Dematiaceous atau black fungi yang umum ditemukan pada batuan di daerah yang beriklim hangat (Warscheid dan Braams, 2000).

Berdasarkan kemungkinan tersebut, perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut mengenai spesies isolat jamur yang ditemukan dan penelitian mengenai peran atau mode of action isolat jamur tersebut dalam pelapukan batuan candi. Sehingga selanjutnya dapat ditentukan atau diciptakan metode penghambatan yang efektif untuk jamur atau mikroorganisme lain yang berperan dalam pelapukan batuan Candi Borobudur. Meskipun begitu, kondisi batuan yang terbebas dari jamur untuk jangka waktu yang lama memang sulit untuk dicapai. Namun

laju pelapukan dapat dicegah dengan membersihkan secara rutin batuan candi dengan kerik (tanpa air) dan pembersihan total sisa abu vulkanik yang menempel pada batuan

III. KesimpulanBerdasarkan penelitian yang dilakukan, didapat 4

isoat jamur yang dapat dikarakterisasi secara makroskopis maupun mikroskopis yaitu isolat J1, J2, J6 dan J7. Isolat J1 diperkirakan termasuk jenis jamur Ascomycota atau Deutromycota. Isolat J2 diperkirakan termasuk jenis jamur Zygomycota. Isolat J6 diperkirakan termasuk jamur Ascomycota atau Deutromycota.Isolat J7 diperkirakan termasuk jamur Ascomycota atau Deutromycota.

DAFTAR PUSTAKAAnom, I.G.N. 2005. The Restoration of Borobudur. Belgia:

UNESCO Publishing.Atmoko, M.H. 2015. Masih Ada Abu Vulkanik di Drainase

Borobudur [Online] http://www.antarajateng.com/detai l/masih-ada-abu-vulkanik-di-drainase-borobudur.html, diakses pada 19 Juli 2016

Budel, B. dan Scheidegger, C.1996. Thallus morphology and anatomy. In Nash, T. Lichen biology. Cambridge: Cambridge University Press.

Brem F.M. dan Lips, K.R. 2008.Batrachochytrium dendrobatidis infection patterns among Panamanian amphibian species, habitats and elevations during epizootic and enzootic stages. Diseases of Aquatic Organisms 81 (3).

Chaerun, S. K. 2010. Prinsip dan Mekanisme

b ca

d

Foto 3. Tampak koloni isolat jamur secara berurutan pada medium PDA di tabung reaksi dengan umur 48 jam. (a) isolat J1 memiliki miselium yang memenuhi tabung dengan spora berwarna peach. (b) isolat J2 memiliki miselium yang memenuhi tabung dengan spora berwarna hitam. (c) isolat J6 memiliki bentuk yang iregular dengan spora berwarna kuning. (d) isolat J7 memiliki spora hijau gelap dan koloninya berbentuk sirkular.

Biomineralasi. Presentasi Kuliah Biomineralogi. Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung

Margulis, L. dan Barreno, E. 2003. Looking at Lichens. BioScience, 53 (8).

Pujiastuti, Y. S, et.al. 2006. IPS Terpadu 1A. Jakarta: Penerbit Erlangga

Sharnoff, S. 2014. Field Guide to California Lichens. Yale University Press

Suriadikarta, D.A. 2012. Kajian Cepat Dampak Erupsi Gunung Merapi 2010 terhadap Sumberdaya Lahan Pertanian dan Inovasi Rehabilitasinya.Bogor: Kementerian Pertanian.

Warsheid, T dan Braams, J. 2000. Biodeterioration of stone: a review. Biodeterioration Biodegrad,

Page 46: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

45

A. PendahuluanIndonesia kaya akan sumberdaya budaya bahkan

telah diakui oleh dunia. Namun sumberdaya budaya tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat apabila terdapat informasi tentang sumberdaya budaya tersebut disajikan atau dipresentasikan secara luas. Salah satu cara untuk menyajikan sumberdaya tersebut, antara lain melalui museum. Menurut lembaga permuseuman dunia ICOM, museum dijelaskan sebagai lembaga nirlaba dan permanen untuk melayani masyarakat, dan terbuka untuk umum. Tugas lembaga ini adalah mengumpulkan, merawat, meneliti, mengkomunikasikan dan memamerkan benda-benda/bukti tentang manusia dan lingkungannya untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan rekreasi (ICOM, 2007).

Salah satu sumberdaya budaya di Indonesia

Meninjau Kembali Tujuan Pendirian dan Fungsi Museum-museumdi Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur

Isni Wahyuningsih, S.S

Abstract : Sumberdaya budaya tidak akan dirasakan manfaatkan oleh masyarakat apabila informasi tentang sumberdaya budaya tersebut tidak disajikan atau dipresentasikan secara luas. Ada berbagai cara untuk menyajikan sumberdaya tersebut, antara lain melalui museum. Salah satu sumberdaya budaya terpenting di Indonesia yang memiliki museum adalah Candi Borobudur, yang telah masuk dalam Warisan Dunia nomor C592 tahun 1991. Keberadaan Candi Borobudur sebagai Warisan Budaya Dunia selalu dimonitor oleh UNESCO, termasuk juga isu yang terkait dengan pengalaman pengunjung serta keberadaan museum-museum di Kompleks Candi Borobudur. Penelitian ini untuk meninjau kembali keberadaan museum-museum di kompleks Candi Borobudur terkait dengan fungsi dan tujuan pendiriannya. Untuk itu langkah yang dilakukan adalah dengan menelusuri terlebih dahulu tujuan dan fungsi pendirian museum situs. Selanjutnya pengumpulan data kenyataan yang ada dihimpun melaui pengamatan atau observasi, wawancara serta penyebaran kuesioner terhadap responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa fungsi dan tujuan pendirian museum-museum situs di kompleks Candi Borobudur belum optimal.

Kata Kunci: Warisan Budaya Dunia, museum, Candi Borobudur

ABSTRACT : Cultural resource would not be considered useful by the community if the information about the cultural resources are not represented widely. There are several ways to represent the resources, namely through museum. One of the most important cultural resource in Indonesia which has museum is Borobudur Temple that had been inscribed in the World Heritage List number C 592 year of 1991. As the site that have been enlisted in the World Cultural Heritage List, its state of conservation is always monitored by UNESCO. The monitoring includes the issues related with visitor’s experience as well as the site museum existence at the complex of Borobudur Temple. The research was aimed to review museums existence in Borobudur Temple Complex in terms of its functions and purpose. The step used was by collecting the data which was obtained through observation, interview and questionnaire distribution towards the respondent, and library study. Then, the data obtained was tabulated so that the result could be used to support the evaluation. The results show that the function and purpose of the extant museums in Borobudur Temple Complex are not in accordance with with the proper aims of the establishment of the museums.

Keywords: World Cultural Heritage, museum, Borobudur Temple

yang memiliki museum situs adalah Candi Borobudur. Kompleks Candi Borobudur kemudian diakui dan terdaftar dalam World Heritage Nomor 348 pada tanggal 13 Desember 1991, kemudian diperbaharui menjadi nomor C 592 tahun 1991. Penetapan Candi Borobudur sebagai warisan dunia merupakan bukti pengakuan internasional terhadap karya besar nenek moyang bangsa Indonesia. Sebagai konsekuensi, situs yang telah masuk dalam daftar warisan budaya dunia akan dimonitor dan dievaluasi terus menerus pengelolaannya oleh UNESCO. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk mencabut status objek dan situs yang telah ditetapkan dari daftar warisan dunia, apabila warisan budaya itu tidak dikelola dengan baik oleh negara-negara yang memilikinya.

Kompleks taman wisata Candi Borobudur dilengkapi dengan fasilitas pendukung, antara lain

Page 47: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

46

Wahyuningsih, Meninjau Kembali Tujuan Pendirian dan Fungsi Museum-museum di Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur

Pernyataan ini menunjukkan bahwa museum yang ada di kompleks Candi Borobudur belum memberikan penafsiran dan penyajian informasi yang memadai tentang Candi Borobudur sebagai Warisan Dunia.

Kemudian pada tahun 2006 diadakan Reactive Monitoring Misison of Borobudur Temple Compounds oleh WHC-ICOMOS dengan melibatkan seluruh instansi yang terkait dengan pengelolaan kawasan Candi Borobudur. Terkait dengan kondisi museum di kompleks Candi Borobudur, tim monitoring menyatakan agar:

“ Improve the interpretation at the site Museum according to the standard of the Ship Museum, and provide brochures in foreign languages at the latter, including reference to the status of Borobudur as a World Heritage property and the reasons why it was inscribed on the World Heritage List”

(Meningkatkan interpretasi pada museum situs sesuai dengan standar Museum Kapal, dan memberikan brosur dalam bahasa asing, termasuk referensi untuk status Borobudur sebagai World Heritage dan alasan mengapa hal itu tertulis dalam Daftar Warisan Dunia).

Catatan yang diberikan oleh Tim Monitoring WHC – Icomos ini mengapresiasi adanya peningkatan penafsiran terhadap Candi Borobudur pada Museum Kapal Samudraraksa dan berharap agar museum-museum yang lainnya dapat ditingkatkan kualitas penyajiannya.

II. Metode PenelitianDalam penelitian ini data yang digunakan terdiri

dari data primer dan data sekunder. Sesuai dengan kebutuhan data tersebut, maka pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.1. Observasi atau pengamatan dilakukan dengan cara

mengamati museum-museum di kompleks Candi Borobudur dan mengumpulkan segala fakta yang berkaitan dengan museum-museum tersebut seperti kondisi bangunan, koleksi, pengunjung, SDM, dan menghitung jumlah pengunjung di museum-museum di kompleks tersebut. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap fasilitas-fasilitas lain dan juga kondisi keseluruhan area di kompleks Candi Borobudur serta mengamati alur kunjung, perilaku pengunjung, dan lama kunjung.

2. Wawancara dan penyebaran kuesioner dilakukan untuk mendapatkan data yang belum terhimpun

berupa taman yang mengelilingi candi, museum, ruang audiovisual, hotel, restoran, dan kios cinderamata. Museum yang terdapat di kompleks taman wisata Candi Borobudur saat ini yaitu Museum Borobudur (Museum Karmawibhangga), MURI (Museum Rekor Indonesia) yang kemudian berganti nama GUSBI (Gabungan Seniman Borobudur Indonesia), dan Museum Kapal Samudraraksa. Ketiga museum tersebut berada di jalur wisata untuk kunjungan umum. Selain ketiga museum tersebut, terdapat satu lagi museum yang berada di luar jalur wisata umum, yaitu Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur. Keberadaan museum ini diharapkan mampu menjadi media yang membantu wisatawan atau pengunjung untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak tentang sumberdaya yang ada di situs itu yaitu Candi Borobudur. Namun, pada kenyataannya museum situs tersebut ini dirasakan belum memberikan informasi yang cukup tentang Candi Borobudur. Hal tersebut terlihat antara lain dari sedikitnya prosentase jumlah pengunjung museum, dibandingkan dengan pengunjung taman wisata secara keseluruhan.

Pada tahun 2003 diadakan Reactive Monitoring Mission of Borobudur Temple Compounds oleh WHC-ICOMOS yang dihadiri hampir seluruh instansi yang terkait dengan pengelolaan kawasan Candi. Salah satu isu yang digulirkan saat itu adalah mengenai minimnya pengalaman pengunjung, yang secara tidak langsung berkait dengan peran museum. Salah satu butir rekomendasi yang dihasilkan dari monitoring ini dinyatakan dalam dokumen World Heritage Commision....... sebagai berikut (Boccardi, 2006 ):

“Endorses the national policy to improve the interpretation of the World Heritage value of the property to visitors, giving due emphasis to the local cultural history, intangible cultural heritage, meditative cultural practices which contribute to promote understanding of the spiritual and artistic values for which the property was recognized as World Heritage”

(Menyetujui kebijakan nasional untuk meningkatkan penafsiran nilai Candi Borobudur sebagai Warisan Dunia kepada pengunjung, memberikan penekanan pada sejarah budaya yang bersifat lokal, warisan budaya tak benda, praktek-praktek budaya meditasi yang membantu meningkatkan pemahaman akan nilai-nilai spiritual dan artistik yang dimiliki Candi Borobudur sebagai Warisan Dunia).

Page 48: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 43-55

47

Taman Purbakala Nasional (National Archaelogical Park). Rancangan masterplan tersebut disusun berdasarkan hasil berbagai kajian sampai dalam tahap persiapan pembangunan. Dalam masterplan tersebut kawasan Borobudur dibagi dalam 5 zona sebagai upaya untuk pelindungan Candi Borobudur. Pembagian zona tersebut adalah sebagai berikut.1. Zona 1 (Sanctuary Area) Zona untuk pelindungan dan pencegahan terhadap

perusakan lingkungan fisik situs arkeologi Candi Borobudur, sehingga di dalamnya tidak diperbolehkan didirkan bangunan apapun, kecuali candi itu sendiri.

2. Zona II (Taman Wisata) Zona ini diperuntukkan sebagai pembangunan

fasilitas taman untuk kesenangan pengunjung dan pemeliharaan situs bersejarah.

3. Zona III Zona ini untuk pengaturan penggunaan tanah (land

use) di sekitar taman dan pelindungan terhadap lingkungan, dan pengontrolan area di sekitar taman.

4. Zona IV Zona untuk pemeliharaan benda-bend bersejarah

dan pencegahan terhadap perusakan benda-benda tersebut.

5. Zona V Zona untuk keperluan survei arkeologi dan

pencegahan terhadap perusakan monumen arkeologi yang belum ditemukan (JICA, 1979).

Dalam rencana induk pembangunan kompleks taman wisata Candi Borobudur dilengkapi dengan fasilitas - fasilitas sebagai berikut.

1. Fasilitas pokok a. Pusat Studi Borobudurb. Pusat Konservasi Batuc. Museum Arkeologi2. Fasilitas Operasionald. Kantor Unit Taman Wisatae. Kantor Pemeliharaan Tamanf. Kantor Penerangang. Kebun Pembibitanh. Gardu jagai. Loket penjualan karcis3. Fasilitas pelayananj. Kios-kios souvenirk. Restoran

melalui pengamatan. Wawancara dilakukan secara langsung dilakukan terhadap beberapa sumber antara lain pengelola museum dan pengunjung.

3. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan pengumpulan data literatur dan studi-studi terdahulu terkait dengan penelitian. Metode analisis deskriptif, yaitu memberikan uraian secara gamblang tentang kondisi atau situasi yang terjadi di wilayah studi. Untuk mendukung penjelasan tersebut disertai dengan grafik atau tabel. Uraian yang dipaparkan sebagai hasil penelitian terdiri dari berbagai aspek sebagai berikut

4. Analisis data didasarkan pada fakta yang diperoleh melalui observasi dan survey di lapangan, yang akan menunjukkan data mengenai: a) Kondisi eksisting di lapangan yang meliputi atraksi lain yang ditawarkan serta kondisi kawasan, tata letak ojek pendukung yang di dalamnya termasuk museum, infrakstruktur, dan pengunjung Candi Borobudur sehingga nantinya dapat diketahui karakteristik kawasan wisata Candi Borobudur; b). Pola pergerakan yang akan memberi gambaran pergerakan aktivitas pengunjung yang dilakukan di kawasan wisata dari pintu ticketing sampai pintu keluar; c). Tingkat kunjungan ke museum-museum di kompleks Candi Borobudur. Perbandingan kondisi aktual di lapangan terkait dengan fungsi dan tujuan pendirian museum-museum situs di Kompleks Candi Borobudur sebagai bagian dari objek/fasilitas pendukung taman wisata Candi Borobudur dengan tujuan potensial yang diharapkan sesuai dengan masterplan JICA 1979, dan dokumen-dokumen lainnya yang terkait dengan pendirian museum-museum tersebut.

III. Tujuan Pendirian Museum - Museum di Kompleks Candi Borobudur

a. Fungsi Museum di Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur

Kompleks taman wisata Candi Borobudur ini dibangun berdasarkan masterplan JICA tahun 1979. Masterplan tersebut merupakan konsep yang disusun oleh Pemerintah Indonesia dan Jepang untuk melestarikan dan mengelola kawasan candi borobudur setelah pemugaran selesai. Konsep ini sebenarnya diarahkan pada pendirian

Page 49: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

48

Wahyuningsih, Meninjau Kembali Tujuan Pendirian dan Fungsi Museum-museum di Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur

lainnya.Dalam masterplan JICA disebutkan adanya

museum arkeologi adalah Museum Karmawibhangga (kemudian diubah namanya menjadi Museum Borobudur pada tahun 2010). Namun kemudian pada tahun-tahun selanjutnya di Zona II terdapat penambahan fasilitas MURI (Museum Rekor Indonesia) yang kemudian berganti menjadi GUSBI pada tahun 2005, Museum Kapal Samudraraksa pada tahun 2005, dan Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur pada tahun 2011. Pada intinya ketiga museum yang dibangun setelah Museum Karmawibhangga (Borobudur) juga merupakan fasilitas di taman wisata, sehingga mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk memecah dan memencarkan pengunjung serta memberikan informasi terkait dengan Candi Borobudur.

b. Tujuan Pendirian Masing – Masing Museum di Kompleks Candi Borobudur.

Keempat museum situs di Kompleks Candi Borobudur selain mempunyai tujuan umum sebagai bagian dari pendukung keberadaan taman wisata, namun begitu masing-masing museum juga mempunyai tujuan pendirian pendirian yang berbeda-beda. Tujuan masing-masing museum tersebut adalah sebagai berikut.1. Museum Karmawibhangga (kemudian diubah

namanya menjadi Museum Borobudur pada tahun 2010)

Tujuan pendirian museum ini adalah untuk pelayanan atau fasilitas informasi yang dapat memberikan pengetahuan yang memadai kepada pengunjung tentang Candi Borobudur dari berbagai sudut pandang diantaranya sejarah, arsitektur, agama, filsafat, seni, dan aspek keilmuan lainnya. Diharapkan dengan mendapatkan informasi yang memadai akan timbul rasa cinta tanah air khususnya bagi generasi muda. Diharapkan pengunjung dapat dengan lebih mengenali, menghayati, mendalami, mempelajari candi sebagai hasil karya agung nenek moyang. Museum ini dirancang menjadi objek yang menarik setelah candi, dan sebagai salah satu fasilitas untuk memecah pengunjung agar tidak membebani candi (JICA, 1979 ; Ideco Utama, 1981).

2. Museum Kapal Samudraraksa (didirikan pada tahun 2005)

l. Tempat parkirm. Musholan. Pergola/sheltero. Toilet

Berdasarkan masterplan, taman wisata yang membentang di zona II di kompleks Candi Borobudur selain berfungsi sebagai sabuk pengaman hijau (safety green belt), juga mempunyai fungsi lainnya yaitu sebagai berikut.1. Sebagai peredam terhadap pengunjung candi pada

saat padat pengunjung agar tidak bersamaan menaiki candi. Diharapkan pengunjung akan terpecah dan memencar ke berbagai fasilitas wisata yang ada di dalam taman. Harapannya, dengan adanya taman beserta fasilitasnya pengunjung dapat diarahkan sehingga tidak terlalu membebani candi.

2. Mengurangi jumlah pengunjung yang ingin menaiki candi, mereka dapat mengetahui hal ikhwal Candi Borobudur dengan mengunjungi fasilitas umum berupa museum, pusat penerangan, dan Balai Konservasi Borobudur.

3. Memberikan informasi yang memadai kepada pengunjung tentang Borobudur dari berbagai sudut pandang diantaranya sejarah, arsitektur, agama, filsafat, seni, dan ilmu pengetahuan lainnya.

4. Memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk melihat candi dari kejauhan dari arah ataupun jarak yang berbeda-beda.

5. Untuk lebih menampakkan keagungan dan keanggunan candi.

6. Untuk lebih menanamkan rasa cinta tanah air khususnya bagi generasi muda, dengan lebih mengenali, menghayati, mendalami, mempelajari candi sebagai hasil karya agung nenek moyang.

7. Untuk memelihara dan mengembangkan tanaman langka yang perlu dijaga kelestariannya untuk generasi mendatang (JICA, 1979 : Yuwono, 2014 : 148; Tanudirjo, dkk, 1993-1994: 132).

Uraian di atas menunjukkan bahwa museum sebagai bagian dari fasilitas yang ada di kompleks taman wisata mempunyai fungsi untuk meredam dan memencarkan pengunjung agar tidak menaiki candi secara bersamaan sehingga membebani candi. Selain itu, fungsi museum juga memberikan informasi tentang Candi Borobudur secara memadai dari aspek sejarah, arsitektur, agama, filsafat, seni, dan ilmu pengetahuan

Page 50: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 43-55

49

dapat menginspirasi generasi muda untuk berprestasi terbaik sehingga dapat membawa nama harum bangsa Indonesia. (wawancara dengan Ibu Sri Sariningsih, pengelola museum)

4. Studio Restorasi Candi Borobudur (didirikan pada tahun 2011)

Tujuan didirikannya Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur untuk mendokumentasikan dan memamerkan peralatan dan informasi yang berkaitan dengan restorasi Candi Borobudur mulai dari Pemugaran I, sampai masa pemugaran II. Keberadaan Studi Sejarah Restorasi Candi Borobudur diharapkan mampu menjadi media penyebaran informasi tentang Candi Borobudur dan media pembelajaran terhadap generasi muda (Balai Konservasi Borobudur, 2011).

c. Museum Sebagai Objek WisataDalam pariwisata terdapat tiga komponen yaitu

atraksi, pengunjung (visitor), dan infrastruktur (Wall, 1989). Sementara itu, Timothy and Boyd (2003: 158-159) berpendapat bahwa kegiatan kunjungan wisata merupakan aktivitas yang saling terkait antara setting

Tujuan pendirian Museum Kapal Samudraraksa diharapkan dapat menjadi ilham untuk mendorong tumbuhnya semangat dan budaya bahari bangsa Indonesia. Misi museum tersebut yaitu untuk membangkitkan kembali semangat dan budaya bahari bangsa Indonesia. Adapun tema besar yang dicanangkan adalah Membangkitkan Semangat Bahari Bangsa Indonesia dalam Millenium ke-3 (Tanudirjo, 2004: 4-5).

3. MURI (pada tahun 2005 berganti nama menjadi GUSBI)

Pada awalnya museum ini merupakan Museum Rekor Indonesia (MURI) yang bertujuan untuk memberikan apresisasi terhadap hasil karya anak bangsa yang berprestasi atau memecahkan rekor, unik, atau di luar kelaziman. Kemudian museum tersebut berganti nama menjadi GUSBI (Gabungan Seniman Borobudur Indonesia) yang dimotori oleh seniman Borobudur. Tujuan pendirian museum tersebut adalah untuk memfasilitasi dan memamerkan hasil karya seniman terutama dari wilayah Borobudur dan sekitarnya. Diharapkan dengan adanya museum ini

Sumber: PT. Taman Wisata Unit Borobudur dan Balai Konservasi Borobudur

Page 51: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

50

Wahyuningsih, Meninjau Kembali Tujuan Pendirian dan Fungsi Museum-museum di Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur

(28%), 3-4 kali (16%) dan lebih dari 5 kali (10 %), sehingga kisaran yang telah melakukan kunjungan ulang ± sebanyak 54%. Selebihnya (46%) kunjungan ke Borobudur merupakan pengalaman pertama kali.

3. Lama Kunjungan Sebagian besar responden berada di taman wisata

Candi Borobudur rata-rata selama 1-2,5 jam (69%), sedangkan yang lebih dari 2,5 jam ada 21% dan yang kurang dari 1 jam (10 %). Dari hasil pengamatan diketahui lama kunjungan rata-rata wisatawan, naik ke candi selama 30-60 menit, menikmati halaman atau pelataran candi 15-30 menit dan di area taman (Zona II) selama 25-60 menit.

4. Motivasi Kunjungan Motivasi kunjungan menunjukkan bahwa responden

memutuskan untuk berkunjung ke Candi Borobudur untuk alasan hiburan atau rekreasi mencapai 54,5%, alasan pendidikan sebanyak 19%, alasan untuk menyenangkan keluarga/anak-anak sebesar 25%, dan selebihnya untuk alasan ketiga-tiganya (hiburan, pendidikan dan menyenangkan anak-anak) sebanyak 1,5%.

Berdasarkan pengamatan pola pergerakan pengunjung, dapat diketahui 97 % pengunjung di komplek taman wisata Candi Borobudur langsung dari

(tata letak), aktivitas, harapan pengunjung/pengguna, dan perangkat aturan manajemen pengelolaan. Di dalam pengelolaan aktivitas kunjungan wisatawan di situs harus selalu dimonitoring dan evaluasi secara berkala agar dampak kehadirannya terhadap pelestarian warisan budaya dapat diketahui.

Candi Borobudur merupakan salah satu ikon pariwisata di Indonesia, dari tahun ke tahun kunjungan wisatawan ke candi Borobudur semakin bertambah jumlahnya setiap tahunnya di atas 2 juta pengunjung, bahkan 2 tahun terakhir sampai menembus angka 3.000.000 pengunjung.

Pengunjung di wisata Candi Borobudur terdiri dari wisatawan asing dan wisatawan nusantara. Untuk mengetahui apakah tujuan dan fungsi museum di kompleks Candi Borobudur telah sesuai dengan apa yang direncanakan perlu diketahui apa pendapat pengunjung tentang keberadaan museum-museum tersebut. Survey dilakukan terhadap 200 sampel pengunjung yang diambil secara acak. Profil demografi responden sebagai berikut1. Jenis Kelamin Responden dari kelompok pria dan wanita mempunyai

perbandingan yang hampir sama berkisar antara 55% untuk responden pria dan 45% untuk responden wanita.

2. Usia dan pekerjaan Responden yang diambil secara acak menunjukkan

bahwa mereka mempunyai rentang usia antara 15-50 tahun, dan berbagai latar belakang profesi sebagai pelajar, mahasiswa, karyawan, pegawai negeri, dan wiraswasta.

Sementara itu untuk profil psikografi sebagian besar responden adalah sebagai berikut.1. Bentuk kunjungan Sebagian besar responden melakukan perjalanan

wisata ke Candi Borobudur dengan model kedatangan secara rombongan (49%). Kebanyakan merupakan rombongan study tour (ketika liburan sekolah), karyawan suatu instansi/perusahaan maupun rombongan dari wilayah domisili wisatawan. Kunjungan bersama keluarga (32%) selebihnya kunjungan bersama teman dan individu (19%).

2. Frekuensi kunjungan Responden yang telah melakukan kunjungan 2 kali

Diagram 1. Bentuk Kunjungan

Diagram 2. Frekuensi Kunjungan

Page 52: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 43-55

51

yang searah dengan jalur keluar. Pergerakan pengunjung belum optimal mencakup ke seluruh lokasi atraksi wisata yang sudah disediakan oleh pengelola taman wisata.

Berdasarkan hasil survei melalui wawancara maupun penyebaran kuesioner kepada 200 sampel pengunjung sebagai responden yang diambil secara acak, diketahui bahwa pengunjung sebagian besar tidak tahu akan keberadaan museum-museum tersebut. Responden yang mengetahui keberadaan fasilitas Museum Karmawibhangga sebesar 24%, Museum Kapal Samudraraksa sebesar 29 %, MURI/GUSBI sebesar 14 %, dan Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur sebesar 0 %. Sementara yang menjawab tidak menjawab sebesar 33 % responden.

Keberadaan Museum Kapal Samudraraksa dan Museum Borobudur lebih banyak diketahui pengunjung dibandingkan GUSBI, sedangkan keberadaan Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur tidak diketahui. Berdasarkan pengamatan, hal tersebut dikarenakan lokasi dari Museum Kapal Samudraraksa dan Museum Karmawibhangga berada searah atau satu jalur yang dilewati pengunjung ketika menuju pintu keluar. Dengan demikian posisi yang lebih strategis itu menyebabkan pengunjung lebih mudah mengetahui keberadaannya. Keberadaan Studio Sejarah Restorasi memang masih belum banyak diketahui, karena posisinya berada di luar area/jalur kunjungan wisata untuk umum. Keberadaan GUSBI yang berlokasi jauh dari jalur pintu keluar, menjadikan pengunjung kurang mengetahui lokasi museum tersebut.

Rata-rata pengunjung Taman Wisata Borobudur kurang lebih 5.000 orang per hari, dan total pengunjung per tahun dapat menembus angka 3.000.000 orang per tahun. Saat padat kunjungan pada musim liburan sekolah, liburan natal & tahun baru, liburan Lebaran pengunjung dapat mencapai 50.000 orang per hari, dengan rata-rata dalam satu jam kurang lebih 5.000 orang naik bersamaan ke bangunan candi. Namun dari jumlah pengunjung yang mencapai ribuan orang tersebut, hanya sedikit yang mengunjungi museum-museum di kompleks taman wisata Candi Borobudur. Berikut sampel pengamatan dan penghitungan terhadap wisatawan yang mengunjung GUSBI, Museum Kapal Samudraraksa dan Museum Karmawibhanga. Pengamatan dilakukan selama jam kunjung, yaitu dari mulai pukul 06.00 – 17.00 WIB,

pintu ticketing menuju zona I atas (pelataran candi), dan 3% lainnya karena faktor usia dan kesehatan hanya berada di bawah, duduk-duduk di area taman (Zona I luar dan Zona II). Sementara di Zona I Atas (pelataran candi) sebagian besar pengunjung langsung naik ke teras dan stupa induk sebesar 70 %. Berdasarkan pengamatan dapat diketahui kisaran lama kunjungan wisatawan, naik ke candi selama berkisar 30-60 menit, menikmati halaman berkisar 15-30 menit, dan di area taman (zona II) berkisar 25-60 menit. Prosentase terbesar pergerakan pengunjung ke arah atraksi wisata yang lokasinya searah seperti pola 1 yaitu pintu masuk/ticketing – candi- pintu keluar, terutama pada saat padat kunjungan. Kemudian disusul dengan pola 2, dimana pola tersebut mempunyai lokasi

Diagram 3. Lama Kunjungan

Diagram 4. Motivasi Kunjungan

Diagram 5. Pengetahuan Pengunjung tentang Keberadaan Museum di Kompleks Candi Borobudur

Page 53: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

52

Wahyuningsih, Meninjau Kembali Tujuan Pendirian dan Fungsi Museum-museum di Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur

disampaikan terkait jarak yang jauh antara tempat parkir dan objek wisata serta jalan keluar yang dianggap sulit atau berputar-putar. Kesulitan mendapatkan toilet di dekat candi; kurangnya tempat istirahat dan berteduh saat hujan/panas; dan kebersihan tempat parkir dan toilet juga dikeluhkan oleh sebagian besar pengunjung.

Terrkait status Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia banyak pengunjung yang ternyata tidak tahu. Berdasarkan hasil survey hanya sebanyak 56 % responden tahu bahwa Candi Borobudur sebagai warisan dunia, selebihnya menjawab tidak tahu. Meskipun pengunjung yang tahu status Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia lebih dari 50 %, tetapi mereka yang tidak tahu juga jumlahnya amat banyak. Sementara itu, terkait dengan informasi Candi Borobudur diketahui bahwa pengunjung merasa belum mendapatkan informasi yang memadai tentang Candi Borobudur (96 %). Pengunjung ketika mulai masuk taman melalui pintu ticketing, tidak mendapatkan pengetahuan/informasi tentang Candi Borobudur secara memadai (minimnya booklet, leaflet, dan sebagainya), ketika keluar juga tidak banyak mendapatkan informasi tentang Borobudur (informasi yang diberikan museum).

Minimnya kunjungan ke museum di Taman Wisata selain dipengaruhi oleh gangguan dari pedagang asongan/lapak pedagang, juga disebabkan faktor luasnya area taman. Setiap lokasi objek wisata dihubungkan dengan jalur pejalan kaki. Namun keberadaan jalur pejalan kaki tersebut belum dapat mengarahkan pengunjung

dengan mengamati pengunjung di GUSBI, Museum Borobudur dan Museum Samudraraksa. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung pengunjung (per satu jam) yang masuk ke museum-museum tersebut.

Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pengunjung di ketiga museum tersebut berkisar antara 1 - 2,5 % dari total pengunjung di taman wisata Candi Borobudur. Dari total pengunjung yang mengunjungi museum, hanya separuhnya saja yang benar-benar mengamati koleksi museum. Jumlah pengunjung lebih banyak pada siang hari (kisaran jam 11.00 – 14.00). Pada jam-jam tersebut cukup terik, dan kemungkinan besar pengunjung lebih terdorong masuk ke museum untuk alasan mencari tempat yang teduh. Di Museum Karmawibahnagga/Borobudur, tempat yang paling disukai di pendopo, duduk beristirahat setelah lelah menaiki candi, sambil menunggu teman/family dalam satu rombongan yang terpisah dan mencari toilet.

Opini responden terhadap kualitas pengalaman yang didapat menunjukkan sebagian besar responden berkomentar baik/senang terhadap objek wisata yang berfokus pada produk utama, yaitu Candi Borobudur itu sendiri. Pendapat yang positif juga diberikan terhadap upaya yang dilakukan oleh pihak pengelola untuk memelihara candi dan taman sekitarnya, terutama aspek kebersihan dan keindahan lingkungan taman. Namun demikian, pengunjung juga menyatakan keluhan-keluhan terhadap perilaku penjual asongan yang memaksa, sehingga responden terganggu. Selain itu keluhan

Table 1. Sampel Pengamatan Pengunjung GUSBI, Museum Samudraraksa dan Museum Borobudur Pada Saat Liburan Nyepi

06-07

07-08

08-09

09-10

10-11

11-12

12-13

13-14

14-15

15-16

16-17

TOTAL

-

3

7

36

87

95

148

115

89

31

7

618

-

8

26

78

102

112

185

211

144

67

26

959

-

6

18

43

73

84

97

93

45

25

11

495

Total jumlah pengunjung37.859 orang

JUMLAH PENGUNJUNG (ORANG)MURI GUSBI MUSEUM BOROBUDUR MUSEUM SAMUDRARAKSA

JAM KETERANGAN

Page 54: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 43-55

53

untuk melakukan pergerakan secara optimal. Penempatan museum setelah kunjungan ke candi, menjadikan pengunjung sudah dalam kondisi lelah.Kurang jelasnya tanda-tanda penunjuk, faktor lama waktu kunjungan, dan kurangnya promosi dari pihak pengelola, faktor psikografi pengunjung seperti motivasi kunjungan dari wisatawan itu sendiri mempengaruhi tinggi rendahnya minat untuk melihat dan menikmati museum.

KesimpulanPertama, museum sebagai bagian dari fasilitas

pendukung wisata di Kompleks Candi Borobudur dapat dikatakan belum menjadi atraksi yang menarik bagi pengunjung. Hal tersebut berdasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa wisatawan yang mengunjungi museum hanya berkisar 1 – 2,5 % dari total pengunjung Taman Wisata Candi Borobudur. Sementara itu, responden yang mengetahui keberadaan fasilitas Museum Karmawibhangga sebesar 24%, Museum Kapal Samudraraksa sebesar 29 %, GUSBI sebesar 14 %, dan Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur sebesar 0 %. Sementara yang menjawab tidak tahu sebesar 33 %.

Kedua, museum belum memenuhi fungsinya sebagai infrastruktur atau sarana pemecah dan pemencar pengunjung. Berdasarkan hasil penelitian 97% pengunjung langsung ke zona I inti (candi dan pelataran) dan 70 % langsung naik ke bangunan candi. Pola pergerakan pengunjung kurang optimal, tidak semua sarana pendukung khususnya museum dapat di kunjungi.

Ketiga, pengelola taman wisata belum memperhatikan pengunjung dengan memberikan pengalaman kunjungan yang optimal. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa responden merasa belum mendapatkan informasi yang memadai tentang Candi Borobudur sebanyak 97 % dan 44% responden tidak mengetahui status Borobudur sebagai warisan dunia.

Keempat, pengelola belum menempatkan museum sebagai suatu objek yang menarik setelah candi. Museum belum ditempatkan sebagai sarana untuk lebih memahami tentang Candi Borobudur dan aspek terkait lainnya. Museum-museum di Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, belum dapat memberikan setting yang jelas baik bagi Candi Borobudur. Tata letak museum

atau jalur kunjung ke museum yang ditempatkan setelah kunjungan ke candi menjadikan fungsi museum sebagai sarana pemberi informasi tentang Candi Borobudur menjadi terabaikan oleh pengunjung.

Kelima, salah satu faktor penyebab minimnya kunjungan museum di Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur adalah signage yang kurang jelas dan menarik. Faktor lain yang dapat diidentifikasikan antara lain adalah terbatasnya lama waktu kunjungan, psikografi pengunjung, minimnya promosi, brosur, leaflet, dan lokasi lapak pedagang cinderamata yang menutupi jalur-jalur untuk berkunjung ke museum.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan akhir bahwa museum-museum di Kompleks Candi Borobudur belum memenuhi fungsinya secara optimal sebagai atraksi wisata, sarana pelestarian, maupun sebagai infrastuktur pemecah pengunjung.

Saran1. Menggeser atau mengubah jalur kunjung, menjadikan

museum berada di depan atau diawal kunjungan.2. Pembatasan jumlah pengunjung sesuai daya tampung

untuk kenyamanan pengunjung atau carrying capacity dengan memasang counter pengunjung sebelum memasuki concrouse, sehingga pengunjung yang menunggu giliran naik ke candi dapat mengunjungi objek lain antara lain museum dan objek-objek yang lainnya (perlu penambahan objek lain yang menarik di beberapa spot)

3. Membuat semacam pembedaan jalur berdasarkan lama kunjung dan corcern peminatan bagi pengunjung dengan pembedaan harga tiket (tiket berkelas-kelas) sesuai pilihan tempat yang akan dikunjungi.

4. Pintu masuk pengunjung tidak hanya satu pintu, sehingga pengunjung dapat memasuki area taman wisata Candi Borobudur dari berbagai penjuru.

Sementara itu, untuk mengoptimalkan fungsi museum tersebut dapat dilakukan revitalisasi museum. Revitalisasi dapat dilaksanakan antara lain dalam bentuk meningkatkan kualitas penyajian koleksi, membuat harmoni antara storyline dan permainan media, memperhatikan segmen atau target group pengunjung yang akan dipilih, fasilitas fisik, sumber daya manusia yang memadai, dan struktur organisasi yang tepat..

Page 55: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

54

Wahyuningsih, Meninjau Kembali Tujuan Pendirian dan Fungsi Museum-museum di Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur

DAFTAR PUSTAKAAmbrose, Timothy and Paine, Crispin, 2006. Museum

Basic. London: RoutledgeArdiyansyah, Panggah, dkk, 2014. Kajian Management

Visitor Candi Borobudur Tahap II,. Magelang: Balai Konservasi Borobudur.

Ardika, Wayan, 2007.”Museum Sebagai Objek Wisata” dalam Museografia, XXVIII No. 2 Tahun 1999/2000

Balai Konservasi Borobudur, 2012. Kearsitekturan Candi Borobudur.

Balai Konservasi Borobudur, 2012. Candi Borobudur Selayang Pandang.

Boccardi, G; Brooks, G; dan Gurung, H. Maret 2006. Mission Report: Reactive Monitoring Mission to Borobudur Temple Compounds World Heritage Property, Indonesia. Diselenggarakan pada tanggal 18-25 Februari 2006

Balai Konservasi Borobudur, 2013. Laporan Tahunan, Tahun 2013 Balai Konservasi Borobudur. Magelang: Balai Konservasi Borobudur.

Bowes, R.G. 1989. Tourism and Heritage: A New Approach to the Product, Recreation Reseach Review (tidak dipublikasikan)

Edson, Gary, 1994. “Museum Management” in Running a Museum: The Handbook for Museum, ICOM, Prancis, 133-146.

ICOM, 2001. Code of Ethic of Museum. Paris.Ideco Utama, 1981. Up-dated Former Plans and Schematic

Design. Phase I: For orobudur and Prambanan National Archaelogical Parks Project.

JICA, 1979. Masterplan Borobudur Arhaelogical Park. JICA – Departemen Pendidikan Nasional – Departemen Perhubungan, Komunikasi dan Pariwisata, Jakarta.

Taman Wisata Candi Borobudur, 1989. Sekilas Taman Wisata. Magelang : PT. TWCB.

Tanudirjo, Daud Aris. 1993-1994. Kualitas Penyajian Warisan Budaya kepada masyarakat: Studi Kasus Menejemen Suberdaya Budaya Candi Borobudur. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas-Studi Sosial, Universitas Gadjah Mada.

------------------------------,2004. Rancangan Penataan Museum Kapal Samudraraksa. Laporan Akhir.

-------------------------------, 2007. “Museum Sebagai Mitra Pendidik” dalam Museografia Vol. I No. I September 2007, hal. 15-32.

--------------------------------, 2009.”Melestarikan Warisan Budaya Dunia Kompleks Candi Borobudur : Perspektif Baru”. Jurnal Konservasi Benda Cagar Budaya Borobudur. Vol. III No.3 Desember 2009 hlm. 7-10. Magelang: Balai Konservasi Borobudur.

---------------------------------, 2014. “Peluang dan Tantangan Pengembangan Museum Situs di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Kegiatan Workshop Managing Archeological Site Museum di Solo Jawa Tengah 12-21Oktober 2014.

----------------------------------,2009.”Melestarikan Warisan Budaya Dunia Kompleks Candi Borobudur : Perspektif Baru”. Jurnal Konservasi Benda Cagar Budaya Borobudur. Vol. III No.3 Desember 2009 hlm. 7-10. Magelang: Balai Konservasi Borobudur.

Yuwono, Sri Suwito, 2014. “Taman Wisata Candi Borobudur Antara Konsep dan Realisasi” dalam 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur. Magelang: Balai Konservasi Borobudur.

Page 56: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

55

Pengembangan Kompleks Masjid-Makam MantinganKabupaten Jepara Jawa Tengah Mubarak Andi Pampang

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan

Abstrak: : Tulisan ini berangkat dari permasalahan pengelolaan Situs Masjid dan Makam Mantingan di Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah yang belum komprehensif dan berkelanjutan. Secara konseptual, pengelolaan sumberdaya budaya menekankan pentingnya pengelolaan yang berwawasan pelestarian. Strategi pengelolaan berkelanjutan melalui pembentukan badan pengelola, pelibatan pihak-pihak terkait, penataan kawasan, dan penataan pengunjung, dapat menjadi salah satu solusi permasalahan yang terjadi pada Situs Masjid dan Makam Mantingan.

Kata Kunci: pelestarian, pengembangan, situs, masjid, makam,Mantingan, Jepara

ABSTRACT : This writing aroused from the incomprehensive and unsustainable management of The Site and Mosque of Mantingan at Jepara Regency, Central Java Province. As in conceptual view, the management of cultural resources emphasize in the importance of preservation. The sustainable strategy through forming a management corporation, involving stakeholders, designing the area and arranging the visitors, become one of the solution for the problems happened in The Site and Mosque of Mantingan.

Keywords: preservation, development, site, mosque, tomb, Mantingan, Jepara

I. PengantarKompleks Masjid dan Makam Mantingan adalah

sebuah kompleks bersejarah yang merupakan salah satu aset wisata sejarah yang terletak di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah (lihat Gambar 1). Kompleks ini merupakan peninggalan masa kuno Islam yang saat ini juga menjadi salah satu objek wisata sejarah dan religi di Jepara.

Masjid Mantingan memiliki nilai religi dan kharisma tersendiri bagi masyarakat di sekitarnya, utamanya masyarakat yang masih keturunan langsung Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat sebagai penguasa Jepara pada masa lalu . Kompleks ini ramai dikunjungi oleh peziarah setiap hari, dan pada waktu tertentu jumlahnya bisa mencapai ribuan dalam sehari. Pengunjung terlihat lebih banyak terkonsentrasi di area sekitar makam Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat seperti yang terlihat pada Gambar 2, sementara kawasan masjid sangat jarang pengunjung. Pengelolaan pengunjung seperti ini dikhawatirkan membawa dampak buruk lebih cepat pada kelestarian struktur makam yang ada dalam kompleks. Peluang struktur makam kuno diluar bangunan cungkup terinjak sehingga menyebabkan kerusakan sangat besar terjadi, terutama pada waktu puncak kunjungan.

Jumlah pengunjung yang banyak pada satu sisi membawa berkah dari segi peningkatan finansial terutama pada pengelola kompleks dan masyarakat sekitar.Namun

pada sisi lain dapat membawa dampak buruk pada kelestarian bangunan dan struktur cagar budaya yang ada di dalamnya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah strategi pengelolaan dalam bentuk pengembangan yang tepat agar dapat memberi manfaat secara berkelanjutan.

Kompleks Masjid dan Makam Mantingan yang telah menjadi objek wisata religi sejak lama, namun belum dibarengi dengan strategi pengembangan dan pemanfaatan yang lebih berkelanjutan (suistainable). Meskipun pada tahun 2002 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah telah melakukan kajian pengembangan pada kompleks ini, namun hasil kajian tersebut baru menyentuh secara fisik berupa tawaran model penataan ruang yang terdiri dari 4 zona. Zona tersebut terdiri dari Zona I sebagai zona utama yang terdiri dari masjid dan kompleks makam, Zona II sebagai zona privat yang terdiri dari area perkantoran yayasan, Zona III sebagai zona semi privat yang terdiri dari area pemanfaatan fasilitas publik, dan Zona IV sebagai zona servis yang terdiri dari fasilitas penunjang (Anonim, 2002).

II. Rumusan MasalahPemanfaatan situs cagar budaya sebagai objek

wisata religi sebagaimana yang terjadi pada Kompleks Masjid dan Makam Mantingan, dimungkinkan dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang

Page 57: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

56

komprehensif dan berkelanjutan dibutuhkan kajian lebih mendalam dan pendekatan dari berbagai bidang. Minimal tulisan ini bisa menjadi pengantar dalam mengkaji bentuk pengembangan dan pemanfaatan yang komprehensif dan berkelanjutan pada Kompleks Masjid dan Makam Mantingan Kabupaten Jepara.

III. Konsep Pengembangan KewilayahanKonsep pengembangan wilayah di

Indonesia,berawal dari sebuah proses interaktif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dan empiris sebagai penerapannya yang dinamis. Konsep pengembangan kewilayahan tersebut merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang dinamis,

Gambar 1 Peta objek dan daya tarik wisata Kabupaten Jepara (Sumber: www.jeparakab.go.id)

Cagar Budaya. Seperti yang tertuang dalam Pasal 85, dimana pemerintah (pusat dan daerah) dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan pariwisata. Tentu saja pemanfaatan tersebut wajib memperhatikan fungsi ruang dan pelindungannya sebagaimana tertuang dalam Pasal 88 Ayat (1) UUCB No.11 Tahun 2010. Kompleks Masjid dan Makam Mantingan dengan segala potensi dan permasalahannya—sebagaimana diuraikan di atas, membutuhkan sebuah strategi pengembangan yang komprehensif dan berkelanjutan agar terjamin kelestarian dan manfaatnya bagi masyarakat. Tentu saja dalam merancang strategi pengembangan dan pemanfaatan yang

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Pengembangan Kompleks Masjid-Makam Mantingan Kabupaten Jepara Jawa Tengah Mubarak Andi Pampang

1 Wawancara dengan salah seorang pengelola Kompleks Masjid-Makam Mantingan pada Juni 2014.

Page 58: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

57

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 55-67

yang kemudian diformulasikan kembali menjadi suatu pendekatan yang menyesuaikan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia (Haryanto dan Tukidi, 2007:1). Secara konseptualpengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumberdaya.Selain itu dapat merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Mengacu pada pengertian tersebut maka selayaknya pembangunan tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan sektoral yang bersifat parsial.Pembangunan juga diselenggarakan untuk memenuhi tujuan pembangunan wilayah yang bersifat komprehensif dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumberdaya sebagai unsur utama pembentuk ruang, yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya. Agar terwujud konsep pengembangan wilayah yang di dalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka upaya penataan ruang memerlukan 3 proses utama, yaitu:1. Proses perencanaan tata ruang wilayah yang kemudian

menghasilkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)2. Proses pemanfaatan ruang yang merupakan

operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri

3. Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perijinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan

RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya (Haryantodan Tukidi, 2007:2).

Penataan ruang sebagai bagian dari upaya pengembangan sebuah wilayah atau kawasandalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruangmemiliki beberapa tujuan antara lain untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.Tujuan tersebut untuk menjaga keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, memadukan keduanya dengan memperhatikan sumberdaya manusia,serta melindungi fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang(Anonim, 2007).Jadi bisa dimaknai bahwa penataan ruang adalah harmonisasi sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia itu sendiri.

Dalam konteks cagar budaya, mengacu pada Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pengembangan cagar budaya dimungkinkan untuk tujuan peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosinya serta pemanfaatannya melalui penelitian, revitalisasi, dan adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan pelestarian. Selain itu, pada Pasal 78 ayat (1) menyebutkan:

Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat padanya.

Lebih lanjut pada ayat (3) disebutkan:Pengembangan Cagar Budaya sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat diarahkan untuk memacu pengembangan

Gambar 2 Suasana keramaian peziarah yang berkunjung ke Makam Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat (foto kanan) yang berbanding terbalik dengan kunjungan ke masjid pada waktu yang bersamaan (foto kiri) (Dok. Pribadi 2014)

2 Saat ini terlah berubah menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah.

Page 59: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

58

ekonomi yang hasilnya digunakan untuk pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Bila mengacu pada UUCB No.11 Tahun 2010 di atas, upaya pengembangan cagar budaya, baik itu Benda Cagar Budaya (BCB), Situs Cagar Budaya (SCB), maupun Kawasan Cagar Budaya (KCB), bisa dilakukan.Namun harus tetap dalam kerangka pelestarian cagar budaya itu sendiri dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui ekonomi.

III. Konsep Pengelolaan Sumberdaya ArkeologiSecara teoritik, landasan utama pengelolaan

sumberdaya budaya menurut Fagan (1985), yaitu bahwa situs arkeologi adalah sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan sangat terbatas jumlahnya, apabila tingkat kerusakan seperti sekarang ini tetap berlanjut, dapat menjadi ancaman besar terhadap beberapa situs yang belum diganggu, dan yang belum terganggu itu akan punah akhir abad ini (Fagan, 1985: 19). Menurut Charles McGimsey (1972), bahwa masa lalu bangsa ini terdapat dalam tanah. Tanah ini telah terganggu secara merata dan tidak pernah kembali. Kita semua yang hidup hari ini akan menjadi orang terakhir yang tidak pernah melihat bagian tanah yang penting yang tidak diganggu oleh pemerintah (McGimsey, 1972 dalam Fagan, 1985: 19).

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi (Archaeology Resource Management) sebagai pengganti istilah Pengelolaan Sumberdaya Budaya (Cultural Resource Management) karena keduanya secara defenisi menunjukkan hal yang sama. Pengelolaan Sumberdaya Budaya (Cultural Resource Management) menurut beberapa ahli antara lain: 1. Sedyawati (1998), menyebutkan Pengelolaan

Sumberdaya Budaya (Cultural Resource Management) mengandung pengertian bagaimana mengelola informasi sumberdaya arkeologi dengan cara pengumpulan, pendokumentasian, dan registrasi sampai pemanfaatannya (Sedyawati, 1998: 3).

2. Fowler (1992) dalam Prasodjo (2000), mendefinisikan manajemen sumberdaya arkeologi adalah upaya untuk menerapkan kemampuan pengelolaan (merencanakan, mengatur, mengarahkan, mengendalikan dan evaluasi). Untuk mencapai tujuan pelestarian dengan melalui proses politis

untuk melestarikan aspek-aspek penting dari warisan budaya kita untuk kepentingan masyarakat (aliran Amerika).

3. Gunadi (2001), mengemukakan manajemen sumberdaya budaya sebagai sistem pengelolaan sumberdaya budaya untuk mencapai suatu hasil atau mewujudkan harapan yang akan diperoleh (visi) dengan melakukan strategi-strategi tertentu yang didukung oleh lima unsur dalam manajemen yaitu, perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing), pelaksanaan (actuating), dan pengontrolan serta evaluasi (controlling).

Pengelolaan sumberdaya arkeologi pada dasarnya berupa kegiatan yang bertujuan untuk peningkatan dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi sebagai aset budaya dan pariwisata. Dengan kegiatan pengelolaan tersebut diharapkan terjadi penyempurnaan dalam kegiatan pelestarian, sehingga dapat mengantisipasi permasalahan yang semakin kompleks di masa mendatang. Dalam hal ini perlu terus mengkaji dan menggali berbagai model pelestarian sumberdaya arkeologi, sehingga diperoleh bentuk pelestarian yang akomodatif dan aplikatif terhadap ancaman yang menganggu sumberdaya arkeologi. Pengelolaan sumberdaya arkeologi di masa mendatang perlu mewaspadai adanya ancaman dari lingkungan yang semakin mendesak keberadaan sumberdaya arkeologi secara spasial.

Pada situs-situs tertentu, hasil penelitian arkeologi selayaknya dibarengi dengan kegiatan konservasi. Kegiatan konservasi diharapkan dapat melestarikan sumberdaya arkeologi yang bersifat monumental maupun artefaktual dengan berbagai keunikannya. Tahap konservasi, selain ditujukan untuk pelestarian situs atau benda cagar budaya tertentu, juga diarahkan agar dapat dimanfaatkan. Berkaitan dengan pemanfaatan menurut Cleere (1990) disebutkan, bahwa ada tiga kepentingan pokok dalam pengelolaan tinggalan arkeologi, yaitu : 1). kepentingan akademik, terutama dalam penyelamatan sumber-sumber data bagi pengembangan penelitian arkeologi; 2). kepentingan ideologik, guna memantapkan identitas budaya dan jati diri bangsa sebagai landasan persatuan dan kebanggaan nasional, dan 3). kepentingan ekonomik, dalam hubungannya dengan publik, misalnya

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Pengembangan Kompleks Masjid-Makam Mantingan Kabupaten Jepara Jawa Tengah Mubarak Andi Pampang

Page 60: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

59

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 55-67

dalam rangka kepariwisataan (Cleere, 1990 : 5 -11).Dalam buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi

2, Gunadi (2001), mengusulkan sebuah model “Three in One” dalam mengelola sumberdaya budaya yang dalam hal ini adalah cagar budaya, yaitu 1) penelitian yang berwawasan pelestarian dan pemanfaatan; 2) pelestarian yang berwawasan pemanfaatan dan penelitian; serta 3) pemanfaatan yang berwawasan penelitian dan pelestarian (Gunadi, 2001). Hal inimemiliki makna bahwa pengelolaan adalah sebuah siklus antara pelestarian, penelitian, dan pemanfaatan. Inilah yang kemudian bisa disebut sebagai sebuah pengelolaan yang berkelanjutan. Karena tidak adanya hulu dan hilir dalam penerapannya.

IV. Sekilas Masjid dan Makam MantinganKompleks Masjid dan Makam Mantingan secara

administratif masuk dalam wilayah Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah, yang letaknya sekitar 2 km ke arah selatan kota Jepara. Menurut sumber-sumber sejarah, Masjid Mantingan adalah peninggalan Ratu Kalinyamat, yang merupakan anggota keluarga Kerajaan Demak, yang memiliki peranan penting dalam sejarah kejayaan kerajaan pada masa wafatnya Sultan Trenggono (raja terakhir Demak). Ratu Kalinyamat adalah juga tokoh penting dalam perkembangan politik maupun perdagangan di daerah Jepara pada abad ke-16 (Anonim, 2002).

Masjid dan makam berada dalam satu kompleks yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk dan berlokasi pada sebuah bukit kecil (ketinggian), seperti yang terlihat pada Gambar 3 dimana untuk mencapai kompleks melalui tangga dari parkiran selatan. Kompleks ini dibatasi oleh pagar keliling dari batu bata, yang memisahkannya dengan area pemukiman sekitarnya. Kompleks Masjid dan Makam Mantingan terdiri dari dua bangunan inti, yaitu Masjid Mantingan dan Kompleks Makam Mantingan atau Makam Pangeran Hadlirin dan Ratu Kalinyamat.

4.1 Masjid Mantingan Masjid Mantingan merupakan masjid kedua

setelah Masjid Agung Demak, yang dibangun pada tahun 1481 Saka atau tahun 1559 Masehi berdasarkan candrasengkala yang terukir pada mihrab Masjid Mantingan berbunyi “Rupa Brahmana Warna Sari”. Pembangunan masjid ini berkait dengan anak R. Muhayat

Syeh, sultan Aceh, yang bernama R. Toyib. Pada awalnya R. Toyib yang dilahirkan di Aceh ini menimba ilmu ke Tanah Suci dan Negeri Cina (Campa) untuk dakwah Islamiyah. Ia pergi ke Jawa (Jepara) dan menikah dengan Ratu Kalinyamat (Retno Kencono). Ratu ini adalah putri Sultan Trenggono, Sultan Kerajaan Demak. Akhirnya beliau mendapat gelar Sultan Hadlirin dan sekaligus dinobatkan sebagai adipati Jepara sampai wafat (Anonim, 2002).Konon, pengawas pekerjaan pembangunan masjid ini adalah Babah Liem Mo Han, seorang warga keturunan Tionghoa . Informasi ini bisa diterima mengingat beberapa ornamen yang melekat pada masjid terlihat unsur dari budaya Tionghoa, seperti pemberian panel dekoratif dengan beragam motif pada dinding bangunan sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.

Masjid Mantingan memiliki luas 2.935 m2 yang mengacu pada sertifikat Kabupaten Jepara No. B.8625873. Keletakan kompleks yang berada pada sebidang bukit

Gambar 3 Pintu gerbang utama Kompleks Masjid dan Makam Mantingan yang berbentuk candi bentar (Dok. Nedik 2014)

Gambar 4 Bentuk bangunan Masjid Mantingan (Dok. Pribadi 2014)

Page 61: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

60

kecil atau tanah yang relatif lebih tinggi dibanding daerah pemukiman di sekitarnya, mengentalkan nuansa kompleks ini sebagai tempat yang dianggap sakral dan memiliki nilai religius yang tinggi di mata masyarakatnya. Untuk wilayah masjid, terdapat empat bangunan yang terbuat dari bata, yaitu masjid, tempat bersuci, ruang koleksi atau museum, dan tempat paseban atau pasowan. Untuk memasuki halaman kompleks masjid, terdapat pintu gerbang utama yang bentuknya menyerupai candi bentar dengan 16 buah anak tangga pada bagian selatan masjid. Masjid Mantingan sendiri menghadap ke arah timur dengan bentuk denah persegi berukuran panjang 22 dan lebar 17 meter. Secara vertikal masjid terdiri tiga bagian utama, yaitu kaki masjid, tubuh masjid, dan atap bangunan masjid. Sementara secara horizontal terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu serambi depan dan ruang utama yang memiliki ruang serambi di sisi selatan dan utara (Anonim, 2002). Pembagian kedua ruangan masjid terlihat jelas pada Gambar 5, dimana masing-masing ruangan tersebut diberi atap terpisah.

Untuk memasuki serambi depan (bagian timur) melewati tangga yang tiap sisinya diberi pipi tangga. Serambi depan merupakan ruang terbuka yang atapnya disanggah oleh 24 buah tiang dari beton seperti yang terlihat pada Gambar 6. Pada bagian serambi depan ini pula dipasang beduk dan kentongan. Serambi selatan dan utara memiliki dimensi yang sama, dengan pintu masuk berbentuk kurawal. Serambi utara digunakan sebagai pawestren, yaitu tempat beribadah bagi jamaah wanita.

Ruang utama memiliki sembilan buah pintu, tiga pintu masing-masing pada sisi timur, selatan dan utara.

Pada ruang utama ini terdapat empat buah tiang atau soko guru dari kayu yang disanggah oleh umpak. Keempat tiang tersebut menyanggah atap masjid yang bertingkat tiga dan bagian paling atasnya terdapat kemuncak atau mustaka yang terbuat dari terakota. Atap masjid sendiri terbuat dari sirap. Pada ruang utama masjid terdapat sebuah mimbar yang terbuat dari kayu (lihat Gambar 7 foto kiri). Terdapat hiasan berupa ukiran motif kerawang dan palang Yunani. Selain itu juga terdapat lemari dari kayu dan kaca. Bangunan tempat bersuci terdapat di bagian utara masjid, bangunan ruang koleksi terletak di bagian timur laut masjid dan tempat paseban atau pasowanan terletak di bagian timur masjid (Anonim 2002).

Pada bagian dinding serambi memiliki beberapa panel berhias sebagaimana terlihat pada Gambar 8. Panel-panel tersebut berbentuk geometris, yaitu berupa segi empat, lingkaran, bingkai cermin, dan palang Yunani,

Gambar 5 Bentuk bangunan Masjid Mantingan (Sumber: BPCB Jawa Tengah)

Gambar 6 Serambi yang terletak di sisi timur masjid (Dok. Pribadi 2014)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Pengembangan Kompleks Masjid-Makam Mantingan Kabupaten Jepara Jawa Tengah Mubarak Andi Pampang

3 Wawancara dengan salah seorang pengelola Kompleks Masjid dan Makam Mantingan pada Juni 2014.

Page 62: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

61

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 55-67

serta hiasan ragam tumbuh-tumbuhan, pemandangan, hewan maupun jalinan tali. Panel-panel tersebut terbuat dari batu karang dengan dimensi rata-rata untuk bentuk persegi, memiliki panjang 56-58 cm dan lebar 36-38 cm, sedang yang berbentuk lingkaran memiliki diameter 37-38 cm. Panel paling penting sebagai informasi kemungkinan waktu pendirian masjid adalah yang terdapat di atas relung mihrab, yang berjumlah tiga panel (Anonim, 2002).

Salah satu panel yang letaknya paling bawah, berbentuk segi empat berisi prasasti bertuliskan huruf Jawa (lihat Gambar 9). Tulisan tersebut merupakan sengkalan berbunyi rupa brahmana warna sari, yaitu angka tahun 1481 Ç atau 1559 Masehi (Anonim, 2002).

Saat ini Masjid Mantingan nampak telah mengalami beberapa kali perubahan (renovasi) sehingga yang tampak adalah masjid yang kelihatan baru. Perubahan terakhir dilakukan pada tahun 1976-1977 yang meliputi penggantian atap sirap, perluasan serambi masjid, pemugaran makam, dan pagar keliling kompleks (Anonim, 1989).

4.2. Kompleks Makam Mantingan (Pangeran Hadlirin)

Kompleks Makam Mantingan atau Makam Pangeran Hadlirin terletak di bagian barat masjid. Kompleks makam ini menempati lahan seluas 4.350 m2, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu kompleks makam kuno (sisi timur) dan kompleks makam baru (sisi barat). Pintu gerbang kompleks makam berada di bagian selatan

Gambar 7 Ruang dalam masjid (kiri) dan serambi pada bagian selatan (kanan) (Dok. Pribadi 2014)

Gambar 8 Jejeran panel ukiran pada dinding serambi Masjid Mantingan (Dok. Swedhy 2014)

berbentuk menyerupai paduraksa atau bentuk gerbang pada candi sebagaimana terlihat pada Gambar 10. Kompleks makam terdiri dari tiga bagian atau halaman yang bertingkat, yang dipisahkan oleh pagar keliling dari bata (Anonim, 1989). Tokoh utama yang dimakamkan pada kompleks ini adalah, Sultan Hadlirin (Sunan Mantingan), Ratu Kalinyamat (istri Sultan Hadlirin dan putri Sultan Trenggono, Raja Demak), Patih Sungging Badarduwung seorang keturunan Cina yang bernama Cie Gwi Gwan,serta makam Mbah Abdul Jalil, yang disebut-sebut sebagai nama lain Syekh Siti Jenar .

Pada tingkat pertama memiliki pintu gerbang berbentuk candi bentar dengan motif segi delapan yang bagian atasnya diberi bulatan (lihat Gambar 11 foto kiri). Pada tingkat pertama ini dibuat bertingkat lagi

Page 63: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

62

(berteras) yang dipisahkan oleh talud dari bata. Sebagian besar bahan makam, baik jirat maupun nisannya terbuat dari batu karang. Pada bagian atau halaman kedua, juga memiliki pintu gerbang berbentuk candi bentar yang terbuat dari bata. Pada bagian kedua ini juga, sebagian besar bahan jirat dan nisannya terbuat dari batu karang. Bagian atau halaman ketiga terletak di bagian paling tinggi dari ketiga bagian kompleks makam. Karena memang bagian ketiga ini merupakan bagian inti dari kompleks makam Mantingan. Untuk memasuki bagian ketiga (inti) ini, melewati sebuah pintu gerbang berbentukpaduraksa yang dipasangi daun pintu dari kayu. Bagian ketiga ini juga dikelilingi oleh pagar dari bata setinggi 2 meter lebih (lihat Gambar 11 foto kanan). Pada bagian ini terdapat sebuah bangunan yang berfungsi sebagai cungkup makam utama. Pintu cungkup menghadap ke arah selatan. Dinding bangunan cungkup juga memiliki panel hias padasemua sisi dindingnya.Bentuk paneldan motif hiasnya secara umum hampir sama dengan yang ditemukan pada dinding masjid, yaitu panel bentuk segi empat dan lingkaran. Adapun ragam hiasnya berupa palang Yunani, sulur-suluran, garis tumpal bertumpuk (Anonim, 2002).

Bangunan cungkup memiliki teras dan ruang dalam yang terdapat beberapa makam. Pada bagian teras terdapat enam buah makam yang hanya ditandai dengan nisan, baik satu ataupun dua nisan. Nampaknya jirat makam telah terbenam di bawah teras. Bangunan cungkup memiliki dua buah pintu serta empat buah jendela (lihat Gambar 12 foto kiri). Pada ruang dalam cungkup terdapat beberapa makam yang disusun dalam dua baris. Baris pertama terdiri dari tujuh makam (sisi selatan) dan baris kedua terdiri dari empat makam (sisi utara). Empat buah makam dibaris kedua dibuatkan semacam kelambu dengan sepuluh tiang sebagai penyanggahnya (lihat Gambar 12 foto kanan). Sebagian besar bentuk nisan makam di bagian dalam cungkup ini berbentuk kurung kurawal, dengan hiasan pada jirat berupa segi empat, penampil candi, bingkai cermin berisi sulur-suluran, palang Yunani. Motif hias yang cukup menarik adalah berupa lingkarang sinar yang menyerupai Surya Majapahit (Anonim, 2002).

Selain masjid dan makam, pada kompleks ini juga ditemukan dua buah pipisan dan sebuah gundik pada kaki gapura paduraksa di halaman ketiga kompleks makam (Anonim, 1989).

Gambar 9 Panel di atas mihrab yang salah satunya (panel paling bawah) merupakan prasasti beraksara Jawa (Dok. Pribadi 2014)

Gambar 10 Pintu gerbang berbentuk paduraksa menuju makam utama (Dok. Nedik 2014)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Pengembangan Kompleks Masjid-Makam Mantingan Kabupaten Jepara Jawa Tengah Mubarak Andi Pampang

4 Wawancara dengan salah seorang pengelola Kompleks Masjid dan Makam Mantingan pada Juni 2014.

Page 64: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

63

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 55-67

V. Strategi Pengelolaan BerkelanjutanTulisan ini berangkat dari permasalahan

pengelolaan Kompleks Masjid dan Makam Mantingan yang belum komprehensif dan berkelanjutan sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian pendahuluan.Sebagai situs cagar budaya yang memiliki nilai penting bagi masyarakat dan masih dimanfaatkan sampai sekarang, situs Masjid dan Makam Mantingan selayaknya dikelola secara komprehensif dan berkelanjutan. Agar kelestariannya terjamin dan bisa memberi manfaat bagi masyarakat. Untuk itu dibutuhkan sebuah strategi pengelolaan berkelanjutan yang bisa memadukan kepentingan pemanfaatan dan pelestarian, yang sesuai dengan kaidah pengelolaan sumberdaya budaya.

Strategi yang dimaksud disini adalah serangkaian upaya yang dilakukan dalam mengelola Kompleks Masjid dan Makam Mantingan agar bisa tetap lestari dan memiliki

manfaat bagi masyarakat. Sebagai sebuah gagasan, strategi pengelolaan berkelanjutan yang penulis paparkan disini baru sebatas ide atau konsep. Karena dibutuhkan kajian yang melibatkan banyak pihak dan pendekatan keilmuan yang beragam dalam merancang pengelolaan Kompleks Masjid dan Makam Mantingan yang lebih layak dan lebih detail. Adapun strategi pengelolaan berkelanjutan yang penulis tawarkan antara lain, pembentukan badan pengelola, pelibatan pihak-pihak (stakeholder) yang terkait, penataan kawasan, dan penataan kunjungan atau manajemen pengunjung.

5.1 Badan PengelolaAgar menjamin pengelolaan yang berkelanjutan,

perlu dilakukan beberapa strategi sebagai rangkaian dari sebuah proses pengelolaan sumberdaya arkeologi. Strategi utama yang harus dilakukan adalah menetapkan

Gambar 11 Gerbang berbentuk candi bentar menuju halaman kedua (kiri) dan tembok kompleks makam halaman kedua (kanan) yang keseluruhan terbuat dari bata (Dok. Nedik 2014)

Gambar 12 Dinding serambi cungkup makam Sultan Hadlirin yang memiliki hiasan berukir (kiri) dan jejeran makam utama di dalam bangunan cungkup (kanan) (Dok. Pribadi 2014)

Page 65: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

64

badan pengelola yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan Kompleks Masjid dan Makam Mantingan yang memiliki kekuatan secara hukum. Pengelola dalam hal ini bisa berbentuk yayasan yang berasal dari keturunan dan masyarakat sekitar Mantingan. Pengelola ini memiliki kewenangan untuk mengelola dan menata kawasan inti Masjid dan Makam Mantingan yang berada di dalam tembok bata, namun tentu saja harus melibatkan pihak lain yang terkait.Dalam setiap bertindak terutama kegiatan yang akan berdampak secara fisik dan visual terhadap kompleks harus mengkonsultasikan terlebih dahulu kepada pihak yang berkompeten, yaitu Pemda Jepara melalui Dinas Tata Ruang dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisatanya serta BPCB Jawa Tengah.

5.2 Pelibatan Multi StakeholderSudah banyak literatur yang menjabarkan

bahwa pelibatan banyak pihak (multi stakeholder) dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi akan lebih menjamin keberlangsungannya ke depan. Hal ini karena pihak-pihak yang terlibat tersebut memiliki beban moral yang sama karena dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan terhadap pengelolaan sumberdaya arkeologi. Selain itu, dengan melibatkan banyak pihak, maka perspektif pemanfaatan sumberdaya arkeologi akan lebih bervariasi. Menyangkut pendanaan, tentu saja efek dengan meilbatkan banyak pihak, maka kontribusi

pendanaan terutama isu pelestarian akan menjadi tanggun jawab bersama oleh pihak-pihak yang terlibat. Dalam kasus Kompleks Masjid dan Makam mantingan, pihak-pihak yang penting untuk dilibatkan antara lain, Pemprov Jawa Tengah, Pemkab Jepara, BPCB Jawa Tengah, Balar Jogja, Institusi Perguruan Tinggi (contoh, Jurusan Arkeologi dan Geografi UGM), LSM, pengusaha sektor industri seni ukir dan pahat Jepara, masyarakat yang berdomisili sekitar Mantingan.

5.3 Penataan KawasanPenataan kawasan yang dimaksud disini lebih

kepada sebuah upaya untuk mempertahankan karakter Kompleks Masjid dan Makam Mantingan sebagai kawasan peribadatan yang religius dan dianggap sakral oleh masyarakat di sekitarnya serta memiliki nilai sejarah yang penting. Sehingga penataan yang dilakukan nantinya, tidak akan menyebabkan degradasi nilai budaya dan kesejarahannya, serta tetap bermanfaat dari segi pemanfaatan ruang bagi masyarakat. Penataan kawasan bisa dilakukan dengan penambahan beberapa bangunan dan fasilitas penunjang terutama untuk mempermudah pengunjung selama berada di lokasi.

Saat ini beberapa fasilitas memang telah ada di sekitar Kompleks Masjid dan Makam Mantingan, seperti parkir di sisi selatan dan utara masjid, gudang koleksi, kantor pengurus masjid, dan tempat berwudhu

Gambar 13 Parkiran di sisi selatan masjid (kiri) dan parkiran di sisi utara masjid (kanan) yang penataan ulang (Dok. Swedhy dan Pribadi 2014)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Pengembangan Kompleks Masjid-Makam Mantingan Kabupaten Jepara Jawa Tengah Mubarak Andi Pampang

Page 66: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

65

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 55-67

yang terpisah antara pria dan wanita. Namun tentu saja beberapa fasilitas tersebut dianggap bisa berdampak buruk bagi kelestarian benda cagar budaya di dalam kompleks apabila tidak ditata dan kelola dengan baik. Seperti lahan parkir bus wisatawan yang berada di sisi utara masjid, selain karena jaraknya yang terlalu dekat dengan bangunan masjid (hanya berkisar 20-30 meter seja), lokasi parkir yang berada di dalam kompleks juga secara tidak langsung dapat menyebabkan degradasi nilai dari kompleks masjid ini sebagai kompleks peribadatan yang sakral. Sehingga perlu direlokasi ke arah utara lagi diluar tembok kompleks, mengingat lahan bagian utara kompleks masi relatif kosong. Lahan parkir di sisi selatan yang lahannya sangat sedikit (sehingga daya tampungnya sedikit) dan juga dekat dengan jalan raya, perlu pengaturan tentang jenis kendaraan atau mobil yang bisa parkir disitu.

Bangunan yang menjadi ruang koleksi, bisa ditata kembali dengan menerapkan prinsip museum moderen sehingga lebih menarik orang untuk memasukinya. Ruang koleksi yang telah ditata menjadi ruang pamer atau tersebut dapat menampilkan informasi kesejarahan Kompleks Masjid dan Makam Mantingan serta tokoh-tokoh sentralnya. Informasi kawasan Mantingan sebagai kawasan tradisi seni ukir Jepara berasal juga penting untuk dikemas menjadi informasi yang memperkaya

pengunjung. Selain itu perlu penambahan ruang atau kios untuk digunakan masyarakat sekitar membuat dan menjual souvenir khas Jepara bagi wisatawan. Kafetaria atau warung makan yang menyajikan kuliner khas Jepara juga perlu dibangun sebagai salah satu komponen objek wisata.

Signage atau rambu-rambu wisata seperti alur kunjungan dan informasi fasilitas perlu dipasang pada beberapa titik untuk memudahkan pengunjung dan menata alur pengunjung. Untuk menyiasati peningkatan jumlah pengunjung dan jamah, penambahan luas serambi dimungkinkan namun tentu saja harus didahului dengan kajian. Hal lain perlu ditata agar tidak terkesan semrawut adalah pedagang kaki lima terutama yang berjualan di pintu masuk sisi selatan masjid. Selain karena lokasi berjualan mereka yang telah mengambil lahan parkir yang sudah sempit itu, juga membuat pemandangan yang kurang bagus sebagai objek wisata. Solusi pembuatan kios dan warung makan di sisi utara masjid bisa menjadi bahan pertimbangan dalam penataan pedagang kaki lima tersebut pada wilayah garis warna kuning di Gambar 14. Fasilitas pengamanan seperti satuan pengamanan dan kamera cctv perlu dipasang untuk mencegah gangguan keamanan pengunjung, fasilitas, dan benda cagar budaya di dalam kompleks.

Gambar 14 Tawaran pengembangan kompleks masjid dan makam Mantingan dengan memaksimalkan bagian utara masjid (kotak kuning) (Sumber: Google Earth, diakses Juli 2014)

Page 67: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

66

5.4 Penataan PengunjungPenataan pengunjung (visitor management) juga

penting untuk dilakukan oleh badan pengelola Kompleks Masjid dan Makam Mantingan. Hal ini untuk menghindari penumpukan pengunjung pada satu titik yang kemudian berdampak pada kenyamanan pengunjung dan kelestarian benda cagar budaya di kompleks itu sendiri seperti terlihat pada Gambar 15. Perlu dipikirkan sebuah alur kunjungan dan spot-spot untuk memecah konsentrasi sehingga penumpukan pengunjung pada satu titik tidak terjadi. Mengingat luas masjid dan makam yang relatif sempit sehingga hanya bisa menampung orang dalam jumlah terbatas, sehingga perlu diatur durasi waktu dan jumlah pengunjung yang bisa masuk per satu kunjungan. Salah satu solusi untuk memecah konsentrasi pengunjung adalah dengan menciptakan ruang-ruang penarik lain yang atraktif dan tidak kontras dengan konsep atau nuansa religius dan corak khas Mantingan pada khususnya maupun Jepara pada umumnya. Menempatkan beberapa pengrajin dan galerinya di dalam kawasan pengembangan Masjid dan Makam Mantingan di bagian utara bisa sebagai alternatif solusi pemecahan konsentrasi pengunjung.

VI. PenutupPelestarian bukan soal siapa berdiri duluan,

atau siapa telah melakukan apa, namun siapa yang terus melakukan apa, karena pelestarian berujud siklus yang berputar dinamis, sama dinamisnya dengan perkembangan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Pelindungan Cagar Budaya tanpa Pengembangan takkan menghasilkan Pemanfaatan. Demikian juga bila Pemanfaatan tanpa memastikan Pelindungan dan Pengembangan. Pengembangan akan sia-sia bila tanpa Pelindungan dan Pemanfaatan Cagar Budaya, sehingga pemanfaatan yang berwawasan penelitian dan pelestarian sebagaimana yang diusulkan oleh Gunadi (2001) di atas bisa terwujud.

Strategi pengelolaan berkelanjutan sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas, meskipun baru sebatas konsep, diharapkan mampu menjawab permasalahan pengelolaan Kompleks Masjid dan Makam Mantingan yang saat ini belum komprehensif dan berkelanjutan. Kajian secara mendalam dan melibatkan banyak disiplin ilmu mutlak diperlukan agar pengembangan dan pemanfaatannya berjalan seiring dengan upaya pelestarian nilai dan bendanya.

Gambar 15Peziarah yang sedang berdoa di dalam bangunan cungkup makam Sultan Hadlirin (Dok. Nedik 2014)

REFERENSIAnonim, 1989. Laporan Pengolahan Data Masjid

dan Makam Mantingan. Prambanan: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.

…………, 2002. Laporan Studi Pengembangan Masjid Mantingan Jepara. Prambanan: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.

Cleere, Henry (ed), 1990. Archaeological Heritage

Management in The Modern World. London: Unwin Hyman.

Fagan, Brian M. 1985. In the Begining: An Introduction to Archaeology. Toronto: Little, Brown and Company.

Hariyanto dan Tukidi, 2007. Konsep Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang Indonesia di Era Otonomi Daerah. Jurnal Geografi Volume 4

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Pengembangan Kompleks Masjid-Makam Mantingan Kabupaten Jepara Jawa Tengah Mubarak Andi Pampang

Page 68: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

67

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 55-67

No.1 Januari 2007. Semarang: Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Kasnowihardjo, H. Gunadi, 2001. Manajemen Sumberdaya Arkeologi. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.

Prasodjo, Tjahjono., 2000. Pendekatan Partisipatoris Dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologis dan Kemungkinan Penerapannya di Kawasan Arkeologis Gunung Kidul. Disampaikan dalam Seminar Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis Gunung Kidul 2000: Alternatif pengembangan Potensi Arkeologi Di kawasan GunungKidul

12-13 April 2000, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Sedyawati, Edi. 1998. Cultural Resources Management. Dalam Media Komunikasi Arkeologi Artefak No. 19/Februari 1998. Yogyakarta: Himpunan Mahasiswa Arkeologi FS-UGM.

Peraturan Perundang-UndanganUndang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang

Penataan RuangUndang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar

BudayaSumber Onlinewww.jeparakab.go.id (diakses 6 Juli 2014)

Page 69: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

68

PEDOMAN BAGI PENULIS

1. Naskah yang diajukan oleh penulis merupakan karya ilmiah orisinal, yang belum pernah diterbitkan, merupakan hasil penelitian, tinjauan/pemikiran dan komunikasi pendek tentang konservasi cagar budaya .

2. Judul harus harus singkat, jelas dan mencerminkan isi naskah. . Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, di bawahnya diikuti nama lembaga tempat bekerja, alamat lembaga, dan e-mail.

3. Abstrak merupakan ringkasan utuh dan lengkap yang menggambarkan esensi isi tulisan, tidak lebih dari 350 kata. Disajikan dalam bahsa Indonesia dan bahasa Inggris. Isi abstrak meliputi tujuan, metode, dan hasil akhir.

4. Kata Kunci harus ada, mencerminkan satu konsep yang dikandung dalam tulisan antara 3--5 kata (dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk), ditampilkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

5. Penyajian instrumen pendukung berupa gambar, foto, grafik, bagan, tabel dan sebagainya harus bersifat informatif dan komplementer terhadap isi tulisan. Penyajiannya dengan dilengkapi keterangan (termasuk sumber/rujukan) di bawah instrumen pendukung.

6. Naskah berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris, diketik 1.5 spasi, jenis huruf arial 11, jumlah halaman minimal 10 halaman dan maximal 20 halaman yang diketik pada kertas A4,.

7. Sistematika Penulisan meliputi:Rangkuman hasil penelitian Makalah / artikel- Judul - Judul - Abstrak - Abstrak- Latar belakang - Latar Belakang- Metode - Pembahasan- Pembahasan - Penutup - Penutup - Daftar Pustaka- Daftar pustaka

8. Daftar pustaka disusun berdasarkan abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut : nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku/nama dan nomor jurnal, penerbit dan kotanya, serta jumlah/nomor halaman.

9. Naskah diserahkan dalam bentuk file tipe Microsoft Word 2003/2007 Document (*.doc/*.docx) dan print out-nya ke alamat redaksi :

Dewan Redaksi Jurnal Borobudur d/a Balai Konservasi BorobudurJalan Badrawati, Borobudur, Magelang 56553

dan dikirim melalui e-mail: [email protected]. Dewan Redaksi mengatur pelaksanaan penerbitan (menerima, menolak, dan menyesuaikan naskah tulisan dengan

format Jurnal Borobudur).

Page 70: ISSN : 1978-8584 - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7923c11af07... · SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Pelestarian Cagar Budaya merupakan amanat Undang-undang

67

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal 64-69