islamisasi political view muslim di...

24
1 ISLAMISASI POLITICAL VIEW MUSLIM DI INDONESIA Oleh: Hammad Al Mujaddidy* A. Pendahuluan Hubungan Islam dengan politik selalu menarik untuk diperbincangkan. Dengan penduduk mayoritas Muslim, politik di Indonesia tidak jarang dikaitkan dengan hal keagamaan (syariat). Sangat disayangkan jika penduduk Muslim Indonesia tidak bersatu dan berjalan bersama dalam cita-cita Islam, termasuk dalam politik. Suatu kelumrahan (keharusan) jika seorang Muslim ingin menjalankan atau mengamalkan nilai dan norma Islam dalam bernegara. Hal ini tidak melanggar ideologi Negara, Pancasila sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar untuk bersatu dan beramal atas nama Ketuhanan (Agama). Banyaknya penyelewengan hukum yang dilakukan oleh beberapa Muslim dijadikan alat oleh lawan politik Islam. Munculnya narasi “Lebih baik pemimpin kafir tapi jujur atau pemimpin Muslim tapi korupsi” kemudian membawa kebingungan dalam masyarakat, khususnya umat Islam. Oleh karena itu, perlu adanya persatuan dan gerakan untuk menanamkan nilai-nilai Islam (Islamisasi) ke dalam sistem dan perilaku politik masyarakat. Secara sederhana, Islamisasi ini merupakan suatu proses pengembalian seorang muslim kepada nilai-nilai luhur Islam 1 . Hal ini dipandang perlu untuk menjaga stabilitas Negara dan sebagai bentuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagi pemeluknya, Islam merupakan ajaran universal. Agama yang mengatur dan mengakomodir setiap sendi kehidupan manusia, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Ketika seorang muslim ingin berkeluarga, maka Islam hadir dengan tata cara berkeluarga yang baik dan benar. Bahkan tata cara minum dan makan pun Islam *Peserta Program Kaderisasi Ulama UNIDA Gontor Angkatan XII 1 Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007), hlm. 23

Upload: lykhanh

Post on 30-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

ISLAMISASI POLITICAL VIEW MUSLIM DI INDONESIA

Oleh: Hammad Al Mujaddidy*

A. Pendahuluan

Hubungan Islam dengan politik selalu menarik untuk diperbincangkan.

Dengan penduduk mayoritas Muslim, politik di Indonesia tidak jarang dikaitkan

dengan hal keagamaan (syariat). Sangat disayangkan jika penduduk Muslim

Indonesia tidak bersatu dan berjalan bersama dalam cita-cita Islam, termasuk dalam

politik. Suatu kelumrahan (keharusan) jika seorang Muslim ingin menjalankan atau

mengamalkan nilai dan norma Islam dalam bernegara. Hal ini tidak melanggar

ideologi Negara, Pancasila sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar

untuk bersatu dan beramal atas nama Ketuhanan (Agama).

Banyaknya penyelewengan hukum yang dilakukan oleh beberapa Muslim

dijadikan alat oleh lawan politik Islam. Munculnya narasi “Lebih baik pemimpin

kafir tapi jujur atau pemimpin Muslim tapi korupsi” kemudian membawa

kebingungan dalam masyarakat, khususnya umat Islam. Oleh karena itu, perlu adanya

persatuan dan gerakan untuk menanamkan nilai-nilai Islam (Islamisasi) ke dalam

sistem dan perilaku politik masyarakat. Secara sederhana, Islamisasi ini merupakan

suatu proses pengembalian seorang muslim kepada nilai-nilai luhur Islam1. Hal ini

dipandang perlu untuk menjaga stabilitas Negara dan sebagai bentuk mencerdaskan

kehidupan bangsa.

Bagi pemeluknya, Islam merupakan ajaran universal. Agama yang mengatur

dan mengakomodir setiap sendi kehidupan manusia, tidak dibatasi oleh ruang dan

waktu. Ketika seorang muslim ingin berkeluarga, maka Islam hadir dengan tata cara

berkeluarga yang baik dan benar. Bahkan tata cara minum dan makan pun Islam

*Peserta Program Kaderisasi Ulama UNIDA Gontor Angkatan XII 1 Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental

Studies (CIOS), 2007), hlm. 23

2

mengaturnya, makan-minum menggunakan tangan, mengambil posisi duduk dan

mengawali-mengakhiri dengan doa. Pengaturan seperti ini pun dilakukan dalam

kegiatan bermasyarakat dan bernegara, Islam memiliki aturan dan pandangan

tersendiri akan hal tersebut. Politik atau dalam Islam dikenal dengan siyasah

bertujuan untuk mengelola kehidupan seluruh anggota masyarakat dalam suatu

Negara. Dengan harapan akan tercipta keteraturan hidup, baik dalam beribadah

maupun bersosial sehari-hari.2 Oleh karena itu, suatu keharusan bagi seorang Muslim

untuk mengawali setiap langkah kehidupan dengan kacamata Islam (Islamic

Worldview).

Indonesia memilih sistem demokrasi sebagai dasar politik Negara. Demokrasi

ini disandarkan pada kebebasan, kesamaan, dan kehendak rakyat banyak sebagai

tolok ukur politik.3 Keterbukaan dan kebebasan ini menjadi kesempatan bagi setiap

individu untuk ikut serta dan berperan dalam kegiatan bernegara. Hingga sudah

saatnya bagi setiap Muslim untuk memperhatikan bagian ini dengan tidak melupakan

identitas keislamannya. Karena tidak jarang terjadi dikotomi dalam memahami

kegiatan bernegara (berpolitik). Para politikus beranggapan bahwa mereka dapat

mencapai tujuan materi dengan kekuasaan saja, sedangkan masyarakat “religius”

berasumsi bahwa mereka dapat mencapai tujuan spiritual hanya dengan kesalehan

saja.4 Padahal dalam bernegara dan kehidupan secara umum, satu hal dengan yang

lainnya berkaitan dan tidak dapat dipisahkan begitu saja.

Tulisan ini membahas apa makna dan pentingnya islamisasi bagi muslim

dalam memandang politik di Indonesia. Selain itu, dijelaskan di dalamnya pengertian

dari political view dalam kaitannya dengan Negara dan kehidupan masyarakat.

Tulisan ini juga membahas tentang bagaimana proses islamisasi political view

2 Anthony Black, The History of Islamic Political Thought, (Inggris: CPI Antony Rowe, Chippenham,

Eastbourne, 2011), Second Edition, hlm. 103 3 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 16

4 Loc. cit. Anthony Black, hlm. 159

3

sebagai suatu solusi dalam menjawab kebingungan masyarakat akan pandangan Islam

dalam politik.

B. Makna Politik dan Realita Political View

Kehidupan masyarakat yang berbagai macam bentuk dan rupa membutuhkan

suatu sistem untuk mengatur keberlangsungannya. Dalam hal ini, politik hadir

sebagai sistem untuk mengatur manusia dalam usaha-usaha menggapai kehidupan

yang lebih baik.5 Bila berbicara tentang Negara, maka politik menyangkut akan

kebijakan, peraturan, dan sistem dalam melaksanakan fungsi Negara. Elemen

penyusun fungsi tersebut diharapkan dapat membawa kehidupan masyarakat umum

kepada kondisi yang lebih baik. Pada umumnya, politik merupakan usaha dalam

menentukan aturan-aturan yang dapat diterima mayoritas warga Negara.6 Aturan-

aturan tersebut menjadi kesepakatan bersama untuk menghasilkan nilai-nilai

harmonis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Jika diibaratkan, politik merupakan permainan yang dilakukan oleh para

politikus. Permainan ini sangat erat kaitannya dengan who gets what? How does he

get it? dan when or why does he get it?. Baik-buruk serta beretika atau tidaknya

permainan tersebut ditentukan oleh moral dari pemainnya.7 Sehingga perilaku

politikus sudah pasti mengacu pada nilai-nilai moral tertentu yang dijadikan dasar

dalam bertindak dan berprilaku di ranah kekuasaan.8

Perilaku politik sebagian masyarakat muslim tersebut dipengaruhi oleh

atmosfir politik yang berkembang. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, politik

merupakan segala hal yang berkaitan tentang urusan kenegaraan, kepemerintahan,

5 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 13

6 Ibid, hlm. 15

7 Abdi Omar Shuriye, Introduction to Political Science: Islamic and Western Perspectives, (Kuala

Lumpur: Ilmiah Publisher, 2000), hlm. 123-124 8 Op, cit, Hendra Nurthajo, hlm. 26

4

dan tindakan yang bersangkutan dengan kebijakan untuk Negara dan/atau Negara

lain.9 Membicarakan politik berarti membahas tentang kekuasaan.

10 Kekuasaan yang

mengatur kehidupan bernegara, bersosial, sektor pendidikan, perekonomian dan

segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat.

Tidak jauh berbeda, politik Barat yang banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani

Kuno juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kepemerintahan dan Negara

untuk mencapai kehidupan terbaik dalam masyarakat.11

Jika diibaratkan, politik

merupakan permainan yang dilakukan oleh para politikus. Permainan ini sangat erat

kaitannya dengan who gets what? How does he get it? dan when or why does he get

it?. Baik-buruk serta beretika atau tidaknya permainan tersebut ditentukan oleh moral

dari pemainnya.12

Meskipun memiliki tujuan yang baik, tidak selamanya kegiatan politik diisi

dengan hal-hal positif, tetapi tidak jarang juga terlihat hal-hal negatif. Hal ini

dikarenakan politik merupakan cerminan dari pada tabiat dan cara pandang manusia

terhadap tujuan politik, baik ataupun buruknya tabiat tersebut.13

Sudah menjadi hal

biasa saat ini dalam realita kehidupan, kita seringkali menemukan dan melihat

kegiatan yang tak terpuji atau bahkan tidak sesuai norma agama dalam politik. Peter

Merkl mengatakan “Politik, dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan

kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.14

Sehingga, prilaku dan cara pandang politik seseorang dipengaruhi oleh norma

yang tertanam dalam diri orang tersebut. Politikus dalam kegiatan politisnya bisa

dipastikan mengacu pada nilai-nilai moral tertentu yang dijadikan dasar dalam

9 https://kbbi.web.id/politik diakses pukul 20:08 WIB pada tanggal 03 November 2018

10Op, cit. Hendra Nurtjahjo, hlm. 26

11 Op, cit. Miriam Budiardjo, hlm. 14

12 Op, cit. Abdi Omar Shuriye, hlm. 123-124

13 Loc, cit. Miriam Budiardjo, hlm. 15-16

14 Peter Merkl, Continuity and Change, hlm 13 dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…

hlm 16

5

bertindak dan berprilaku di ranah kekuasaan.15

Begitu pula dengan masyarakat awam

sebagai pemilih, suara yang mereka berikan dalam pemilihan umum merupakan

cerminan dari pemahaman dan cara pandang masyarakat yang berkaitan dengan

kondisi politik serta politikus yang terlibat dalam pemilihan umum.

Ketika pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 yang memunculkan

pasangan Anies-Sandi sebagai pemimpin baru Ibukota. Pasangan ini terpilih setelah

memenangkan pemungutan suara langsung tahap dua dari pasangan petahana Ahok-

Djarot. Menurut penghitungan suara (hitung cepat) dari Indikator Politik Indonesia,

Anies-Sandi mendapatkan perolehan suara sebesar 57,74 persen dan Ahok-Djarot

dengan perolehan 42,26 persen suara.16

Pembahasan menarik dari fenomena pemilukada DKI Jakarta adalah

terbaginya suara Umat Islam dalam pemilihan Kepala Daerah. Perbedaan dalam

dunia politik memang tidak bisa dinafikan. Tetapi, terdapat perihal yang seharusnya

menjadi acuan utama pemilih dalam menentukan pilihan, terutama bagi seorang

Muslim. Sudah menjadi keharusan bagi seorang Muslim untuk menjadikan al-Qur‟an

dan al-Hadist sebagai tuntunan dalam berkehidupan, termasuk dalam hal memilih

pemimpin. Menurut data yang dikeluarkan oleh Exit Poll, 35 persen dari jumlah total

perolehan suara pasangan Ahok-Djarot berasal dari pemilih beragama Islam.17

Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi perbedaan dan perpecahan di antara

umat Islam dalam menentukan pilihan. Merujuk kepada surah al-Maidah ayat 57,

disebutkan bahwa tidak seharusnya seorang muslim memilih atau menjadikan orang-

orang yang mempermainkan dan memperolok agama sebagai pemimpin atas

15

Op. cit, Hendra Nurtjahjo, hlm. 26 16

https://tirto.id/menurut-perhitungan-cepat-anies-sandiaga-menang-telak-cm6x diakses pukul 20:45

WIB tanggal 30 oktober 2018 17

https://tirto.id/faktor-agama-menentukan-kemenangan-anies-sandiaga-cm79 diakses pukul 18:35

WIB tanggal 26 oktober 2018

6

mayoritas umat muslim.18

Tentu ini bukan membawa isu sara ke ranah politik, tetapi

merupakan bagian dari ajran dan perintah agama yang harus di jalankan oleh

penganutnya. Kemudian tidak menjadi masalah ketika seorang muslim, seorang

kristiani, dan penganut agama yang diakui UU menggunakan hak suara sesuai dengan

ajaran agamanya.

Selain kejadian diatas, fenomena yang marak terjadi adalah money politics.

Dalam UU nomor 10 tahun 2016, money politics merupakan kegiatan memberikan

uang atau materi lainnya sebagai imbalan secara langsung ataupun tidak langsung

untuk menentukan sikap dalam pemilihan umum.19

Kegiatan politik uang (serangan

18

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sekali-kali kamu menjadikan pemimpinmu dari orang-

orang yang membuat syariat atau ajaran agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, sebab hal ini

hanya akan menyebabkan terjadinya pelecehan terhadap tuntunan Ilahi….

Senada dengan al-Maidah ayat 57, perihal larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin,

pelindung, penolong dan bahkan kawan setia juga disebutkan dalam surah an-Nisa ayat 144 dan Ali-

Imran ayat 28.

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya ,

yakni pemimpin-pemimpin, teman-teman penolong serta pendukung kamu, dengan meninggalkan

orang-orang mukmin…. (an-Nisa: 144)

Janganlah orang-orang beriman dengan sebenar-benarnya menjadikan orang kafir, baik kafir secara

akidah maupun orang yang bergelimang dalam kedurhakaan, sebagai wali, yaitu orang terdekat yang

menjadi tempat menyimpan rahasia yang menyangkut kemaslahatan umum, melainkan orang-orang

beriman…..(Ali-Imran: 28)

Makna ayat dinukil dari https://quran.kemenag.go.id/ diakses pada 28 November 2018 pukul 22.34

WIB

19 Lebih jelasnya lihat Undang-undang nomor 10 tahun 2016 pasal 187A-D

187A- (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum

menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara

Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak

menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah,

memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat

7

fajar) tidak jarang berdampak kepada disorientasi jabatan ketika sudah terpilih.

Pejabat yang melakukan politik uang cenderung akan melakukan penyalahgunaan

kekuasaan dan berujung pada perilaku korup. Oleh karenanya, politikus yang

memberi dan pemilih yang menerima sama-sama bersalah di mata hukum.

Pada pemilihan gubernur NTB tahun 2018 misalnya, BAWASLU (Badan

Pengawas Pemilu) menemukan pelanggaran yang dilakukan pasangan calon.20

Pelanggaran berupa ditemukannya paket sabun dan jilbab sehari sebelum hari

pencoblosan. Bagi masyarakat awam, hal ini tidak jarang dianggap sebagai suatu

yang lumrah dalam pesta demokrasi. Padahal kegiatan tersebut selain melanggar

hukum Negara juga norma agama.21

(4) dipidana dengan pidana pejara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh

puluh dua) bulan dan denada paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan

perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

187B- Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja

melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses

pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil

Walikota sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling

sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah).

187C- Setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja melakukan perbuatan

melawan hukum memberi imbalan pad aproses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan

Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon

terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5), dipidana dengan penjara paling singkat 24 (dua puluh

empat) bulan dan pidana penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit

Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

187D- Pengurus lembaga pemantau Pemilihan yang melanggar ketentuan larangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh

enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00

(tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). 20

https://www.suarantb.com/headline/2018/07/258091/Bawaslu.Temukan.Sejumlah.Pelanggaran.di.Pil

kada.NTB/ diakses pada 26 Oktober 2018 pukul 21:05 WIB (ditenukan paket sabun, tasbih dan jilbab

warna coklat disertai stiker salah satu calon gubernur dan wakil gubernur) 21

Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil seperti dengan cara

korupsi, menipu, ataupun merampok, dan jangan pula kamu menyuap dengan harta itu kepada para

hakim untuk bisa melegalkan perbuatan jahat kamu dengan maksud agar kamu dapat memakan,

8

Sebagai pembelajaran dan pengetahuan, budaya barat berkaitan erat dengan

pemisahan agama dari sendi-sendi kehidupan (sekularisme).22

Hal tersebut juga

terjadi dalam bidang politik. Hubungan antara Negara dengan agama (Kristen) yang

tidak akur menimbulkan “pemberontakan” terhadap kedudukan keduanya.

Ketidakakuran ini dimulai ketika barat yang dikuasai Kristen (zaman kegelapan)

mulai memasuki zaman pencerahan (Renaissance), revolusi prancis dan

industrialisasi besar-besaran di Inggris. Kemudian barat mulai mengenal semangat

keilmuan (scientific worldviews) yang diwarnai oleh sekularisme, rasionalisme,

empirisisme, dikotomi pemikiran, desakralisasi, pragmatisme dan penafian kebenaran

metafisis (agama).23

Ideologi sekularisme dan liberalisme kemudian menjadi salah satu sumber

pandangan hidup barat modern dalam bersosial dan berpolitik. Secara politis,

liberalisme bermakna sebagai ideologi politik yang berpusat pada individu, memiliki

hak dalam pemerintahan, termasuk juga persamaan hak untuk dihormati, hak

berkespresi, dan bertindak serta bebas dari ikatan keagamaan dan ideologi.24

Liberalisme yang terjadi saat itu telah berhasil memojokkan dan bahkan memisahkan

agama dengan urusan sosial dan politik sedikit demi sedikit.25

Hal ini pun terjadi

ketika Kristen Katolik dan Protestan dimasuki paham liberalisme, gereja dan hal-hal

teologis terkurung dibawah kepentingan politik.26

Oleh karena itu, peradaban Barat

menggunakan, memiliki, dan menguasai sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa karena

melanggar ketentuan Allah, padahal kamu mengetahui bahwa perbuatan itu diharamkan Allah. (al-

Baqarah:188) https://quran.kemenag.go.id/index.php/tafsir/1/2/188 diakses pada 05 November 2018

pukul 22.50 WIB

22 Syed Muhammad Naquid al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001),

hlm 22-26 23

Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Missionaris, Orientalis

dan Kolonialis), (Ponorogo: CIOS UNIDA, 2010), hlm. 6 24

Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford: Oxford University Press, 1996),

liberalism, hlm. 218 25

Loc. cit, Hamid Fahmy Zarkasyi, hlm. 37 26

Ibid, hlm. 36

9

(Modern dan Postmodern) bisa dikatakan tidak memasukkan pengaruh agama ke

dalam unsur peradaban.

Sekularisme merupakan hasil dari pada sekularisasi. Sekular yang berasal dari

bahasa Latin Saeculum memiliki dua pengertian, yaitu waktu dan tempat atau ruang.

Waktu tersebut merujuk kepada sekarang atau kini, dan ruang menunjukkan

pengertian tentang dunia atau duniawi.27

Jadi, peristiwa-peristiwa zaman kini harus

merujuk kepada kondisi dunia yang saat ini juga28

bukan malah menjadikan sumber

terdahulu sebagai pengukur kejadian masa sekarang. Melihat dunia Barat, istilah

sekuler merujuk kepada kebijakan yang memisahkan Gereja dari Negara, atau

sebaliknya.29

Gereja (agama) yang merupakan produksi masa lampau dianggap tidak

relevan lagi dengan kondisi Negara zaman kini.

Sekularisasi merupakan kata lain dari proses upaya menjadikan seseorang atau

suatu kelompok berideologi sekuler. Proses ini didefinisikan sebagai pembebasan

manusia, pertama dari agama dan kemudian pembebasan dari aturan metafisis atas

akal dan bahasanya.30

Dari rangkaian tersebut muncullah sekularisme; Ideologi atau

gerakan yang diakibatkan oleh konflik sejarah antara gereja dan kekuasaan politik di

Eropa. Sederhanya, gerakan tersebut bertujuan untuk memisahkan agama dan Negara

dalam hal politik, dan juga bersamaan dengan pemisahan doktrin gereja dari ilmu

pengetahuan.31

27

Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, second

impression, 1993), hlm. 16 28

Ibid, 29

M. Syukri Ismail, Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi), (Ponorogo: Centre

for Islamic and Occidental Studies ISID Gontor, 2007), hlm. 5

30 Harvey Cox, The Secular City, (New Jersey: Princeton University Press, 2013), hlm. 2

al-Attas dalam bukunya Islam and Secularism… hlm. 17 dengan teks asli berbunyi “secularization is

defined as the deliverance of man „first from religious and then from metaphysical control over his

reason and his language”. 31

Camile Al-Hajj, A Simplified Encyclopedia of Philosophical and Sociological Thought, (Beirut:

Libraire du Liban Publisher, 2000), hlm. 373

10

Dari pemaparan diatas, bisa disimpulkan bahwa pasca zaman kegelapan barat

sedikit banyak dipengaruhi oleh sekularisme dan liberalisme. Pengaruh kedua

ideologi tersebut hampir menyeluruh dan merata tersebar di masyarakat Barat. Hal ini

kemudian merubah konsep dan pola kehidupan barat secara politik, ekonomi, hukum,

sosial dan lainnya. Khusus dalam politik, Kristen dan Barat pun memiliki konsep

pemisahan perihal ketuhanan dengan kekaisaran.32

Sehingga, fenomena politik yang

terjadi di Barat bisa dikatakan sebagai produk atas kekecewaan Negara atas dominasi

agama Kristen.33

C. Islamisasi Political View

Istilah Islamisasi awalnya dipopulerkan oleh Prof Syed Naquid al-Attas34

atas

keresahan beliau melihat kondisi umat Islam pada era saat ini. Beliau mendefiniskan

Islamisasi sebagai berikut:

“Islamization is the liberation of man first from magical, mythological, animistic,

national-cultural tradition opposed to islam, and then from secular control over his

reason and his language. The man of islam is he whose reason and language are no

longer control by magic, mythology, animism, his own national and cultural traditions

opposed to islam, and secularism. He is liberated from both the magical and the

secural world views.”35

32

Matius 22:21, Jawab mereka: “Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka:

“berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang

wajib kamu berikan kepada Allah.” Dikutip dari http://alkitab.me/Matius/22/21#.W925y9UzbDc

diakses pada 4 November 2018 pukul 01:51 WIB

33 Op, cit. Risalah Untuk Kaum Muslimin,…. hlm. 22

34 Syed Muhammad Naquid al-Attas adalah seorang cendekiawan dan filsuf muslim yang lahir di

Bogor, 5 September 1931. Beliau adalah pendiri sekaligus direktur International Institue of Islamic

Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur , Malaysia. 35

Syed Myhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: International Institute of

Islamic Thought and Civilization-ISTAC, 1993), hlm. 44-45

“islamisasi adalah pembebasan manusia yang diawali pembebasan dari tradisi-tradisi yang

berunsurkan ghaib, mitologi, animisme, kebangsaan-kebudayaan, yang bertentangan dengan islam, dan

sesudah itu pembebasan dari kungkungan sekular terhadap sekular dan bahasanya, manusia islam

11

Meskipun dipopulerkan oleh Syed Naquid al-Attas pada tahun 70-an, akan

tetapi prakteknya telah berjalan sejak zaman para Nabi. Pada zaman Nabi, praktek-

praktek yang bertentangan dengan Islam kemudian di-islamisasi-kan, seperti ibadah

ditentukan dengan cara khusus, peperangan diatur, perdagangan ditertibkan dan

kemusyrikan di-tauhid-kan. Islamisasi pada dasarnya ruh bagi Islam dan umat Islam,

bukan berupa akulturasi, dan juga bukan produk budaya Arab.36

Islamisasi secara ringkas adalah upaya untuk mendefinisikan dan menerapkan

relevansi nilai-nilai islam di dalam kebudayaan, adat, tradisi, dan lokalitas masyarakat

agar selamat dari cengkraman worldview yang tidak sesuai dengan fitrah seorang

Muslim.37

Nilai-nilai Islam perlu ditanamkan pada seluruh aspek kehidupan,

khususnya bagi seorang Muslim. Universalitas Islam mencakup seluruh aspek

kehidupan, politik, sosial, ekonomi, hukum dan lain sebagainyaOleh karena itu

strategi-strategi untuk merealisasikannya sangat lah penting, termasuk melalui jalan

politik.

Islamisasi politik sendiri bentuk usaha berpolitik yang sesuai dengan ajaran

Islam. Pemahaman Islam terhadap politik dikenal dengan istilah al-Siyasah. Secara

harfiah, al-Siyasah berasal dari bahasa arab yang berarti mengatur, mengendalikan,

mengurus, atau membuat keputusan.38

Secara bahasa, al-siyasah adalah melakukan

sesuatu demi kebaikan untuknya.39

Adapun secara syara‟, al-Siyasah berarti:

adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi dikungkung oleh kekuatan ghaib, mitologi, animisme,

tradisi nasional dan kebudayaan, serta sekularisme. Ia terbebaskan baik dari pandangan alam

(worldview) yang berunsurkan kekuatan ghaib maupun pandangan alam yang sekular” terjemahan

dalam buku islam dan sekularasime karya Syed Muhammad Naquib al-Attas oleh Dr. Khalif

Muammar diterbitkan oleh Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN), Bandung,

2011 36

Pengertian Islamisasi Sains oleh Hamid Fahmy Zarkasyi. http://inpasonline.com/pengertian-

islamisasi-sains/ diakses pada 7 November 2018 pukul 16:22 WIB 37

Isma‟il Raji al-Faruqi, Isalamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1984),

hlm. 83, Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, (Ponorogo: Centre for Islamic and

Occidental Studie (CIOS), 2007), hlm. 23, Arti Mengislamkan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi

http://inpasonline.com/arti-mengislamkan/ diakses pada 8 November 2018 pukul 16:47 WIB 38

H.A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah.

(Bandung: Sunan Gunung Djati Press, 2000), hlm. 25 39

Abdu al-Malik bin Ahmad bin al-Mubarok Ramdhani al-Jazairy, Madarik al-Nadzor fy al-Siyasah,

(Saudi Arabia: Dar Sabil al-Mu‟minin li al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1418 H), hlm 142

12

لل ولةةةةةةةةةةةةةتدبفسةةةةةةةةةةةةةدميتد ةةةةةةةةةةةةةاد لةةةةةةةةةةةةة د يةةةةةةةةةةةةة دب ةةةةةةةةةةةةةا دود فةةةةةةةةةةةةة ددوندبلعامةةةةةةةةةةةةةتفالسياسةةةةةةةةةةةةةتدبل ةةةةةةةةةةةةة يتد ةةةةةةةةةةةةة د ةةةةةةةةةةةةة دبل ةةةةةةةةةةةةة د

40.…ب ضاردممادفد تع ىدح و دبل يتدوأصوهلادبل ليت

Terjemahan bebasnya adalah al-siyasah al-syariah merupakan pengaturan

menyeluruh terhadap pemerintahan -umat- Islam, mencakup penetapan maslahat dan

menolak kemudharatan yang tidak melampaui ketentuan syariat dan dasar-dasarnya

semua.

Konsep dasar daripada filsafat politik adalah konsep tata kelola Negara.41

Negara pun memiliki pengertian sebagai kelompok masyarakat yang dibentuk untuk

memelihara perdamaian dan keadilan, dalam cakupan wilayah tertentu dengan jalan

paksaan.42

Sebagai pengaturan pranata sosial-politik masyarakat,43

pola Negara

dengan penduduk mayoritas muslim harus bisa mengakomodir kebutuhan masyarakat

perihal keagamaan, yaitu syariat Islam. Karena agama dan Negara (kekuasaan)

merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Agama merupakan akar dalam

berkuasa (politik) dan kekuasaan berupa negara digunakan sebagai pelindung

agama.44

Bila ditelisik seksama, dalam al-Qur‟an tidak ada teori khusu yang membahas

tentang sistem Negara.45

Al-Qur‟an secara khusus lebih menekankan bagaimana

moral kepemimpinan. Dicontohkan dengan kisah-kisah Nabi dan Rasul Allah ataupun

raja-raja terdahulu sehingga mereka bisa membawa kaumnya menuju kemakmuran

ataupun kehancuran. Al-Qur‟an bukanlah risalah tentang ilmu politik, melainkan

40

Ibid, hlm. 142-143, lebih jelasnya lihat di al-Siyasah al-Syariah karya Abdu al-Wahhab Khalaf, hlm.

15 41

Qamaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, terj. Taufik Adnan Amal, (Bandung: Pustaka,1995),

hlm. 1 42

Ibid. 43

Majalah Islamia, Islam dan Negara: Perspektif Pak Natsir, edisi XI No. I Februari 2017, hlm. 43 44

Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut: Dar Ibn

Hazm, 2005), hlm. 26

دودب لكدودبل ند وأماند:دفال ندأصلدودبلسلطاندحارس.45

Loc. cit, Qamaruddin khan…. hlm. 1

13

sejarah moral manusia (pemimpin) dalam mengendalikan kekuasaannya. Hal ini

terlihat bagaimana al-Qur‟an menggambarkan pola kepemimpinan yang

memakmurkan dan menyengsarakan dari kisah Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi

Musa, Jalut, Thalut dan Fir‟aun. Meskipun berbicara tentang kekuasaan dan otoritas

politik, hal tersebut tidak berkaitan dengan teori politik tertentu (bentuk Negara). 46

Politik ataupun siyasah bukan hal baru bagi Islam. Semenjak hijrah Nabi

Muhammad ke madinah, beliau tidak lagi hanya menjadi seorang Rasulullah, tetapi

juga sebagai kepala Negara. Saat era Mekkah, beliau tidak mendapatkan dukungan

politis dari pembesar-pembesar Mekkah, tapi ketika di Madinah beliau diangkat

menjadi pemimpin.47

Fakta sejarah ini membuktikan bahwa Islam sudah lama

berkutat dengan hal-hal politis.

Seperti yang telah disebutkan diatas, Islam secara khusus tidak mengarahkan

umat untuk menggunakan bentuk atau sistem pemerintahan tertentu. Pada masa

Khulafa al-Rasyidin sistem pemilihan khalifah (pemimpin) setelah wafat Rasulullah

pun berbeda-beda. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pertama hasil dari

kesepakatan kaum Anshar dan Muhajirin, sedangkan Umar bin Khattab ditunjuk oleh

khalifah sebelumnya untuk menjadi pemimpin yang juga dengan persetujuan umat.

Berbeda lagi dengan khalifah ketiga, Utsman bin Affan yang merupakan pilihan tim

formatur bentukkan Umar bin Khattab sebelum wafat. Dan terakhir khalifah ke empat

Ali bin Abi Thalib pun menjadi pemimpin atas desakan masyarakat Madinah.48

Islam

46

Op, cit. Qamaruddin Khan….. hlm. 3-5 47

Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi: antara fundamentalisme dan sekularisme, (Jakarta:

Pustaka Al-Kautsar, 2015), hlm. 13, Menurut Miriam Budiardjo setidaknya ada 4 ciri sesuatu bisa

dikatakan sebagai Negara: adanya Wilayah, Penduduk, Pemerintah, dan Kedaulatan. Keempat ciri ini

sangat terlihat ketika masa Rasulullah di Madinah tersebut. Wilayahnya adalah Madinah,

pendudukanya jelas penduduk Madinah dan ditambah penduduk Mekkah yang iktu berhijrah,

pemerintahan adalah pemerintahannya merupakan Rasulullah sendiri yang dipercaya menjadi

“penguasa” tunggal Madinah. Segala perkara hukum dan politik diadukan kepada beliau, yang terkahir

adalah kedaulatan, Rasulullah memiliki kedaulatan dan kekuasaan tertinggi untuk mengatur rakyatnya

dan melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan. (Dasar-dasar Ilmu Politik, cet 19 tahun

2013) 48

Ibid, hlm. 17-28

14

secara umum menaruh perhatian besar terhadap “Nahkoda” masyarakat dalam

bersosial dan berpolitik.

Siyasah as-Syariyyah adalah sistem Islam untuk mengatur kehidupan manusia

dan Negara demi mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.49

Budaya politik

merupakan hal-hal yang berkaitan dengan emosi, kepercayaan, perilaku dan norma

sosial yang berhubungan pemerintahan, sistem politik dan skenario politik.50

Oleh

karenanya, dasar daripada politik islam berkaitan dengan norma-norma agama dan

Negara.

Dalam Islam, studi Politik (siyasah) merupakan bagian dari yurispudensi,

syariat, dan teologi.51

Ketika berpolitik, maka yang menjadi tujuan utama seorang

politikus (pemimpin) Muslim adalah menjaga dan menegakkan agama serta mengatur

kehidupan dunia (Negara).52

Sehingga output dari seorang Muslim ketika berpolitik

adalah perilaku dan kebijakan yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan serta tetap

menjunjung tinggi Negara.

Karya Ibn Taimiyyah berkaitan tentang politik as-Siyasah as-Syar’iyyah

didasari oleh surah an-Nisa ayat 58 dan 59.53

Berdasarkan kedua ayat tersebut, Ibn

Taimiyyah mengisyaratkan unsur-unsur yang terlibat dalam proses siyasah:

49

Op, cit. Muhammad Imaroh…. hlm. 38 50

Op, cit. Abdi Omar Shuriye…. hlm. 94 51

Ibid, hlm. 17 52

Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah, (Kairo:

Dar al-Hadist, 2006) hlm. 15

داستدبل نيا,دود اد ند ومدهبتديفدبألمتدوبجبدابفمجاعدوبندشذد نهمدبألصمزبفمامت:دموضو تدخلدفتدبلنبوةديفدح بستدبل ندودسي53

د د د د د د د د دد د دد د د دد د د د ددد

د د د د دددد د د د د د د د د د دد د د دد

د د د دد د د د د دد د د د دبلنساء(ددد(

15

:دنزلتدبأل تدبألوىلديفدوف تدبألمورد ليهمدأند وبدبألمناتدإىلدأ لهادوإذبدح موبد نيدبلناسدأندءدقالدبلعلما"

"حي موبدابلع لدونزلتدبلثانيتديفدبل يتدمندبجليوشدودغ م...54

“ulama menyatakan, bahwa ayat pertama (an-Nisa:58) berkaitan dengan

pemegang kekuasaan, yang berkewajiban menyampaikan amanah kepada yang

berhak dan menghukumi dengan cara yang adil; dan ayat yang kedua (an-Nisa:59)

berhubungan dengan rakyat, baik militer dan selain itu…”

Selain sebagai unsur siyasah, kedua ayat tersebut memerintahkan kepada para

pemimpin untuk menunaikan amanah yang diberikan dan berlaku adil dalam

menentukan kebijakan. Dan kewajiban bagi rakyat untuk mentaati pemimpin (umara

dan ulama)55

selama tidak melanggar syariat Islam, serta mengembalikan segala

perkara yang diperdebatkan kepada hukum Allah dan Sunnah Rasulullah.56

Dan

inilah yang semestinya diperhatikan oleh setiap pelaku politik (politikus dan

masyarakat umum) dalam menentukan langkah dan keputusan politiknya.

Pergerakan politik dalam Islam sudah mulai terlihat ketika Rasulullah

Muhammad hijrah ke Madinah. Menurut Montgomery Watt, penyambutan

masyarakat Madinah dengan tala’a al badru alayna digambarkan sebagai suatu

sambutan yang penuh dengan warna kenabian dan kenegarawanan.57

Selain itu, pasca

periode kepemimpinan Rasulullah, kekuasaan Islam terus berkembang melalui

ekspansi dan pendudukan ke beberapa daerah.58

Kenyataan ini cukup menjadi bukti

bahwa Islam bergelut dengan politik, dan memiliki pandangan politik tersendiri.

54

Ahmad bin Abdil Halim bin Abdi al-Salam Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Jeddah: Dar

al-Ilmi al-Fawâidy, …) hlm. 5 55

Lebih jelasnya lihat penjelasan Ibn Katsir tentang kalimat Ulil Amri di

http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura4-aya59.html , diakses penulis pada tanggal 07 Novemebr

2018 pukul 12:43 WIB 56

Al-Muhtasor fi al-Tafsir al-Qur’an Tasnif Jamaati min Ulama al-Tafsir, cetakan Ketiga, (Muassasah

al-Lu‟luah al-Waqfiyyah: Markaz Tafsir li al-Dirasah al-Qur‟aniyyah, 1437 H) hlm. 117 57

Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak

Mudah, (Jakarta: Penerbit Ushul Press, 2005), hlm. 4 58

Ibid.

16

Sejarah juga membuktikan betapa tak terpisahkannya Islam dengan masalah

politik. Muhammad Imaroh membagi politik menjadi dua, siyasah dholimah yang

tentu tidak dikehendaki oleh syariat dan siyasah aadilah yang sesuai dengan syariat;

mendahulukan haq dari kedzaliman.59

Kenyataan ini kemudian memunculkan

fenomena “jumbuhnya” ulama dan umara60

dalam menentukan tindakan-tindakan

politis agar tidak menyalahi syariat.

Bagi seorang Muslim, cita-cita utama dalam kehidupan adalah cita-cita

Islam.61

Sehingga dalam berpolitik pun yang harus diutamakan adalah cita-cita Islam.

Cita-cita untuk menjaga dan menegakkan agama serta mengatur kehidupan dunia

dengan benar dan jauh dari kemudaratan. Oleh sebab itu, adapsi terhadap politik barat

ke dalam politik Islam harus dilakukan, dan juga sebagai bentuk penyesuain dengan

keadaan politik global.

Pada dasarnya, politik Islam dan Barat tidaklah jauh berbeda yaitu bermaksud

untuk mengatur kehidupan dunia dengan jalan kekuasaan atau pemerintahan. Sebagai

seorang Muslim, kita juga harus mengakui bahwa tidak semua politik Barat buruk.

Faktanya institusi politik Barat, sistem pemerintahan, dan beberapa hal administratif

bisa digunakan oleh masyarakat Muslim.62

Oleh karena itu, seorang Muslim harus

mengetahui esensi dari kedua metode politik ini.

D. Realisasi Islamisasi

Umat Islam saat ini dihadapkan dengan problem pendidikan dan pengetahuan

tentang al-Siyasah al-Syariyyah. Kurangnya pendidikan Islami yang benar dan

mencukupi mengakibatkan seorang muslim terjangkit paham sekularisme dan

59

Op. cit, Muhammad Imaroh…. hlm. 35 60

Loc. cit, Bahtiar Effendy…. hlm. 5 61

Isma‟il Raji al-Faruqi, Isalamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1984),

hlm. 18 62

Op, cit. Abdi Omar Shuriye…… hlm. 2

17

liberalisme yang bertentangan dengan Islam. Padahal, dengan pendidikan Islami yang

tersusun secara benar akan menghalangi kekeliruan yang membawa kepada

penyimpangan dan berlebihan dalam kepercayaan dan amalan.63

Ilmu pengetahuan

Barat selalu berbicara tentang manusia dan kemanusiaan. Tetapi dalam pengertian

mereka, istilah tersebut berarti manusia Barat dan kemanusiaan ala Barat.64

Sehingga

hal ihwal sosial, politik, pendidikan, ekonomi, hukum yang berasal dari Barat secara

umum didasari oleh pemikiran-pemikiran “modern” dan “postmodern”.

Berangkat dari hal itu, Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer perlu

dilakukan, termasuk ilmu Politik. Ilmu pengetahuan merupakan tombak dari

peradaban, tanpanya peradaban tidak akan terbangun. Ilmu politik yang beredar

dikalangan mayoritas umat Islam saat ini (khususnya dunia kampus) merupakan

politik duniawi, politik yang hanya memperhatikan keduniaan saja dan

mengenyampingkan agama. Sehingga tidak jarang politikus Muslim hanya beragama

ketika di masjid saja, dan tidak pada kegiatan politik mereka. Hal ini tentu sangat

jauh dari pesan al-Mawardi di atas, yaitu menjadikan agama sebagai tiang dalam

kekuasaan (politik).

Islamisasi ilmu merupakan usaha pengembalian dan penyesuaian ilmu-ilmu

pengetahuan dengan nilai-nilai Islam supaya bermanfaat bagi cita-cita Islam.65

Islamisasi ilmu pengetahuan melibatkan dua proses yang saling berkaitan: pertama,

mengisolir unsur dan konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat66

,

di setiap bidang ilmu pengetahuan kontemporer, khususnya dalam ilmu pengetahuan

humaniora. Kedua, memasukkan unsur Islam beserta konsep kunci dalam setiap

63

Op. cit, Syed Naquib al-Attas, Islam and Secularism…. hlm. 118 64

Isma‟il Raji al-Faruqi, Isalamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1984),

hlm. 92 65

Ibid, Isma‟il Raji al-Faruqi…. hlm. 38-39 66

Menurut al-Attas, ada 5 faktor yang menjiwai budaya dan peradaban barat: 1. Akal diandalkan untuk

membimbing kehidupan manusia; 2. Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; 3.

Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler; 4. Membela doktrin

humanisme; 5. Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan

eksistensi kemanusiaan. Diterjemahkan secara bebas dari islam and secularism hlm. 137

18

bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.67

Apabila ilmu tersebut tidak

sesuai dengan Islam, maka seharusnya seorang Muslim tidak menjadikannya rujukan.

Singkatnya, ilmu atau sistem Politik yang berasal dari Barat semestinya

disesuaikan dengan kultur dan norma-norma Islam. Masyarakat khususnya politikus

Muslim harus memperlajari dan mendalami politik Islam melalui karya-karya ulama

sebelum mempelajari politik barat. Menurut al-Ghazali, arti penting pengetahuan

siyasah dalam kehidupan umat Islam adalah tidak memisahkan agama dan Negara.68

Permasalahan yang muncul adalah pandangan Barat terhadap politik. Seperti

yang dijelaskan sebelumnya, politik Barat saat ini banyak dipengaruhi oleh paham

sekualrisme dan liberalisme yang bertentangan dengan Islam. Politik Barat bersifat

keduniawian menunjukkan perilaku yang menjadikan manusia (akal) sebagai pusat

kebenaran (antroposentrisme) dan menolak campur tangan agama dalam politik

(sekularisme).69

Selain itu, politik bagi mereka (Barat) merupakan perihal yang

membicarakan konflik dan kekuatan.70

Hal ini lah kemudian menjadi dasar pembeda

antara politik Barat dan siyasah Islam.

Kewajiban imamah (kepemimpinan)71

menurut imam al-Mawardi ada

sepuluh, dan yang pertama adalah menjaga dan menghidupkan agama.72

Syarat

pertama ini mengindikasikan agama (islam) tidak bisa dipisahkan dari perilaku

politik. Seorang politikus Muslim seharusnya berbeda dengan politikus Barat dan

tidak menjadikan mereka sebagai tolok ukur dalam berpolitik. Secara tidak langsung

67

Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, hlm. 313 dalam Adnin Armas, Krisis

Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studie (CIOS), 2007),

hlm. 16-17 68

Op.cit, H.A Dzajuli… hlm. 12 69

Op. cit, Muhammad Imaroh… hlm. 36-38 70

Ibid, hlm. 37 71

Ketika kita berbicara tentang pemimpin, maka ini berbicara tentang pemerintahan dan Negara atau

sistem yang berkaitan dengan banyak orang. 72

Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashary al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultoniyah,

(Kairo: Dar al-Hadist, 2006), hlm. 40

19

ungkapan al-Mawardi tersebut menunjukkan bantahan terhadap politik Barat yang

memisahkan agama dari politik ataupun sebaliknya.

Imam al-Ghazali dalam karya beliau Ihya‟ Ulumuddin mengatakan:

Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan

kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan para ulama, dan kerusakan ulama

disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan.; dan barang siapa yang dikuasai oleh

ambisi duniawi maka dia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi

penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.73

Ulama dan pemimpin ibarat saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan. Sama

halnya dengan ulama, pemimpin dalam Islam memiliki pengaruh yang cukup besar

dalam kehidupan masyarakat. Muhammad bin Ali bin Fadhil berkata; bahwa karakter

masyarakat mengikuti kebiasaan dari raja (pemimpin) mereka.74

Setiap kegiatan dan

perilaku pemimpin secara tidak langsung akan ditiru oleh rakyatnya. Kemudian

disinilah pentingnya ulama dan pemimpin harus selalu bergandengan, agar setiap

langkah yang diambil pemimpin sesuai dengan Agama.

Dari pernyataan al-Ghazali di atas, secara tidak langsung menunjukkan bahwa

kedudukan ulama lebih tinggi dari pemimpin. Sebagai warosat al-Anbiya75

ulama

memiliki posisi yang sangat vital dalam kehidupan dunia. Sebagaimana yang

diungkapkan al-Ghazali diatas, krisis yang terjadi di masyarakat dan Negara berakar

73

Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut: Dar Ibn

Hazm, 2005), hlm. 704

وبء.مادفس تدبل يتدإفد فسا دب لوك,دودمادفس تدب لوكدإفد فسا دبلعلماء.دفنعوذدابهللدمندبلغ وردودبلعمى,دفإنهدبل بءدبلذيدليسدلهدبل74

Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-tibr al-masbuk fi nasihati al-mulk,

(Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1988), hlm. 51 75

Muhmmad bin Isa bin Abu Isa al-Tirmidzi al-Salamy, Al-Jami’ al-Shahih Sunan al-Tirmidzi,

(Beirut: Dar Ihya‟ al-Turats al-Araby) juz 5, hlm. 48

نتد لىدأ يدبل ر بءدح ثنادممو د ندخ بشدبلبةغ ب ي،دأخرباندمم د ند ز دبلوبسط ،دأخرباند اصمد ندرجاءد ندحيوةدث دقال:د"ق مدرجلدمندب ،د ندقةيسد ند

ارة؟دقالدف.دقالدمادكديدأخ ؟دف الدح ثد ةلغيندأنكد ثهد ندرسولدهللادملسو هيلع هللا ىلص،دقال:دأمادجئتدلاجت؟دقالدو ود م دفة الدمادأق مد دف.دقالدأمادق متدلتعتدرسولد تغ دفيهد لمادسلكدهللادلهدط ادإىلدبجلنت،دوإندجئتدإفديفدطلبد ذبدبل ث.دقال:دفإندس دئ تدلتض دأجنحتةهاددهللادملسو هيلع هللا ىلصد ة ول:دمندسلكدط اد ةبة

ب

بدرضىدلطالبدبلعلم،دوإندبلعالدليستةغف دلهدمنديفدبلسموبتدومنديفدبألد دبل وب فضلدبل م د لىدسائ د لىدبلعا ،د اء،دوفضلدبلعال،دإندر دح ىدبليتانديفدب

.أخذد هدفة دأخذدبظدوبف ددفمندبلعلماءدورثتدبألنبياء،دإندبفنبياءدلد ةورثوبد ناربدوفد رها،دإنادورثوبدبلعلم،د

20

dari kerusakan ulamanya. Oleh karena itu, seorang ulama harus bebas dari kekangan

dunia dan pemikiran-pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan islam.

Melihat hubungan ulama dengan kekuasaan, setidaknya sikap ulama terbagi

menjadi tiga kelompok. Pertama, ulama yang tidak memiliki hasrat dan kemauan

untuk berinteraksi dengan penguasa. Hal ini dilakukan untuk menjaga diri dari hal-hal

makruh (abu-abu) yang tidak jarang ulama hanya dijadikan tameng untuk

melanggengkan kekuasaan, atau untuk meredam amarah umat atas kecurangan yang

dilakukan penguasa. Kedua, ulama yang toleran terhadap penguasa. Ulama kelompok

ini sering berdialog dengan penguasa dan tidak jarang menerima bantuan dengan

syarat demi kepentingan umat dan tidak melanggar syariat. Ulama sadar bahwa tanpa

power dari penguasa, fatwa-fatwa dari ulama akan susah untuk mendapat tempat atau

ruang. Kerjasama antara penguasa dan ulama tetap dilakukan, namun tetap menjaga

jarak serta marwah dan idealisme keulamaan. Ketiga, ulama yang menggadaikan diri

kepada penguasa. Mereka yang patuh dan membela penguasa dengan memelintir al-

Qur‟an dan Hadist Rasulullah. Ulama seperti ini dikenal dengan ulama al-su’, yaitu

tidak lagi memiliki integritas karena pengabdiannya sudah berubah kepada para

penguasa.76

Sejatinya kepemimpinan itu tidak akan bertahan tanpa bantuan atau

pertolongan pihak lainnya. Ada ungkapan bahwa kesultanan (pemimpin) tidak akan

bertahan tanpa ada pendampingan dari orang-orang terpilih77

yang menasihati dan

membantunya.78

Strategisnya poisis ulama dalam kehidupan sudah semestinya

disadari umat Islam, karena setelah Rasulullah wafat tidak ada lagi yang menjelaskan

Islam yang benar kecuali para ulama. Memang benar tidak ada yang melarang ulama

76

Muhammad Amin MS, Mengislamkan Kursi dan Meja, (Pekanbaru: Yayasan Lembaga Kajian

Pewaris Negeri Pekanbaru, 2009), hlm. 22-23, lebih lengkap lagi lihat karya Imam al-Ghazali Ihya’

Ulumuddin bab Rub’u Ibadat dalam kitab al-Ilm halaman 71-98 tentang perbedaan ulama dunia dan

akhirat. 77

Yang dimaksudkan dengan orang-orang terpilih adalah mereka yang menguasai ilmu-ilmu agama

(ulama) dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kepemerintahan. 78

Op. cit, al-Ghazali dalam at-Tibr al-Mabuk fi nasihati al-Muluk, hlm. 85

21

untuk menjadi pemimpin atau berpolitik praktis, akan tetapi posisi ideal ulama tidak

jarang tergoyahkan ketika sudah berkuasa, seperti sikap ulama kelompok pertama

diatas.

Islamisasi merupakan bukan hal yang baru dalam Islam. Proses menuju

sesuatu yang lebih baik dan sesuai dengan syariat adalah keharusan bagi umat Islam

seluruhnya, khususnya Indonesia. Tapi perlu kita sadari, islamisasi ini bukanlah tugas

satu atau dua orang saja, melainkan ini tugas kita bersama. Pemikir-pemikir muslim

harus berkerjasama melakukan islamisasi. Belum menyeluruh dan meratanya

Islamisasi disebabkan sama-sama bekerja tetapi belum bekerjasama. Hal ini

merupakan upaya melestarikan budaya Islam yang telah dicontohkan Rasulullah,

yaitu mengembalikan masyarakat kepada nilai dan norma Islam. Bukan menolak dan

menafikan keilmuan dunia, tetapi lebih kepada mengadaptasinya agar sesuai dengan

syariat Islam.

E. Kesimpulan

Kehidupan politik hampir dialami setiap orang dalam bernegara dan

bermasyarakat. Bagi seorang Muslim, politik merupakan bagian dari upaya

menghidupkan ajaran dan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Selain

menjalankan perintah agama, seorang Muslim pun harus mengikuti aturan-aturan

Negara yang berlaku dan disepakati bersama seluruh masyarakat Indonesia yaitu;

Pancasila dan UUD 1945. Meski begitu, dalam bernegara dan beragama (Islam),

umat Islam Indonesia tidak jarang dihadapkan dengan pemikiran yang berusaha

memisahkan Islam dari politik. Hal ini perlu disadari sejak dini oleh setiap Muslim

agar bisa menghadang pemikiran tersebut dengan berpolitik sesuai ajaran Islam.

Fenomena politik menyimpang yang dilakukan beberapa umat Islam tidak

bisa menjadi tolok ukur politik Islam. Siyasah Syariyyah menjunjung tinggi nilai-nilai

22

keagaman dan ajakan untuk mentaati pemerintahan yang berkuasa. Seorang Muslim

yang berkecimpung dalam politik seharusnya menjadikan Agamanya menjadi dasar

dan sumber utama dalam berpolitik. Sehingga, usaha pemisahan atau penafian agama

bukan merupakan jatidiri bangsa Indonesia yang sebenarnya. Jatidiri bangsa

Indonesia yaitu Pancasila serta nilai-nilai derevasinya, termasuk didalamnya adalah

menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan dalam bernegara dan

bermasyarakat.

Daftar Pustaka

Buku:

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur:

International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala

Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Al-Faruqi, Isma‟il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. (A. Mahyuddin, Terj.)

Bandung: Pustaka.

Al-Ghazali, Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 1988. Al-Tibr al-

Masbuk fi Nasihati al-Mulk. Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah.

Al-Ghazali, Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 2005. Ihya’ Ulum al-

Din. Beirut: Dar Ibn Hazm

Al-Jazairy, Abdu al-Malik bin Ahmad bin al-Mubarok Ramdhani. 1481 H. Madarik

al-Nadzor fi al-Siyasah. Saudi Arabia: Dar Sabil al-Mu‟minun li al-Nasyr wa

al-Tauzi‟.

Al-Mawardi, Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri. 2006. Al-Ahkam al-

Sultoniyah. Kairo: Dar al-Hadist.

Al-Salamy , Muhmmad bin Isa bin Abu Isa al-Tirmidzi, Al-Jami’ al-Shahih Sunan al-

Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya‟ al-Turats al-Araby

23

___________. 1437 H. al-Muhatasor fi al-Tafsir al-Qur’an Tasnif Jamaati min

Ulamaa al-Tafsir. Muassasah al-Lu‟luah al-Waqfiyyah: Markaz Tafsir li al-

Dirasah al-Qur‟aniyyah.

Armas, Adnin. 2007. Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu. Ponorogo: Centre for

Islamic and Occidental Studies (CIOS).

Blackburn, Simon. 1996. Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford: Oxford

University Press.

Bawazir, Tohir. 2015. Jalan Tengah Demokrasi: antara Fundamentalis dan

Sekularisme. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Black, Anthony. 2011. The History of Islamic Political Thought. Inggris: CPI Antony

Rowe, Chippenham, Eastbourne.

Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Cox, Harvey. 2013. The Secular City. New Jersey: Princeton University Press.

Djazuli, H.A. 2000. Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-

Rambu Syariah. Bandung: Sunan Gunung Djati Press.

Effendy, Bachtiar. 2005. Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam, Demokrasi, dan

Negara yang Tidak Mudah. Jakarta: Penerbit Ushul Press.

Ismail, M Syukri. 2007. Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi).

Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS).

Khan, Qomaruddin. 1995. Tentang Teori Politik Islam. (T. A. Amal, Terj.). Bandung:

Pustaka.

MS, Muhammad Amin. 2009. Mengislamkan Kursi dan Meja. Pekanbaru: Yayasan

Lembaga Kajian Pewaris Negeri Pekanbaru.

Nurtjahjo, Hendra. 2008. Filasafat Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Shuriye, Abdi Omar. 2000. Introduction to Political Science: Islamic and Western

Perspective. Kuala Lumpur: Ilmiah Publisher.

Taimiyah, Ahmad bin Abdil Halim bin Abdi al-Salam Ibnu. al-Siyasah al-Syar’iyyah

fi Ishlahi al-Ra’i wa al-Ra’iyyah. Jeddah: Dar Ilmi al-Fawaidy.

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2010. Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama

Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis). Ponorogo: Centre of Islamic and

Occidental Studies (CIOS).

24

Majalah:

Majalah ISLAMIA, Februari, 2017. Edisi XI No. I. Islam dan Negara; Perspektif Pak

Natsir. hlm. 43.

Website:

https://tirto.id/menurut-perhitungan-cepat-anies-sandiaga-menang-telak-cm6x diakses

pada 30 Oktober 2018 pukul 20:45 WIB

https://tirto.id/faktor-agama-menentukan-kemenangan-anies-sandiaga-cm79 diakses

pukul 18:35 WIB tanggal 26 oktober 2018

https://kbbi.web.id/politik diakses pukul 20:08 WIB pada tanggal 03 November 2018

https://quran.kemenag.go.id/ diakses pada 28 November 2018 pukul 22.34 WIB

https://www.suarantb.com/headline/2018/07/258091/Bawaslu.Temukan.Sejumlah.Pel

anggaran.di.Pilkada.NTB/ diakses pada 26 Oktober 2018 pukul 21:05 WIB

https://quran.kemenag.go.id/index.php/tafsir/1/2/188 diakses pada 05 November 2018

pukul 22.50 WIB

http://alkitab.me/Matius/22/21#.W925y9UzbDc diakses pada 4 November 2018

pukul 01:51 WIB

http://inpasonline.com/pengertian-islamisasi-sains/ diakses pada 7 November 2018

pukul 16:22 WIB

http://inpasonline.com/arti-mengislamkan/ diakses pada 8 November 2018 pukul

16:47 WIB

http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura4-aya59.html diakses pada tanggal 7

November 2018 pukul 12:43 WIB

Lain-lain:

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pasal 187A sampai 187D.