isi makalah

14

Click here to load reader

Upload: jose-iryez

Post on 26-Jun-2015

841 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: isi makalah

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama islam adalah agama dakwah. Agama dakwah yang dimaksud adalah agama yang

di dalamnya usaha menyebarluaskan kebenaran dan mengajak orang- orang yang belum

mempercayainya untuk ikut dalam kebenaran itu1. Dengan semangat dakwah seperti

itulah, pada abad ke-9 Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Bagdad mengirimkan delegasi

dakwah yang terdiri dari orangorang Arab yang berakidah Ahlus Sunnah wal Jama‟ah

(Aswaja) dan bermadzhab Syafi‟i ke wilayah Sumatera Utara sehingga sampai sekarang

agama islam tersebut mengakar dengan kuat dan “memarginalkan” agama asli penduduk

bumi pertiwi.

Perkembangan Islam yang berhaluan Aswaja bertambah pesat ketika generasi penerus

Walisongo dan Islam lainnya mengembangkan strategi dan pendekatan penyebaran Islam

melalui lembaga pesantren. Pesantren tampil dan berperan sebagai pusat penyebaran dan

pendalaman agama Islam secara Iebih terarah. Dari pesantren inilah lahir lapisan

masyarakat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman agama yang relatif utuh dan lurus.

Seiring dengan dibukanya Terusan Suez tahun 1869, terjadi kontak langsung antara umat

Islam di Indonesia dan dunia Islam Iainnya, termasuk negaranegara Arab. Tidak saja

melalui jamaah haji, tetapi juga melalui sejumlah pelajar Indonesia di negara-negara

Arab, sehingga perkembangan agama dan ilmu pengetahuan Islam makin pesat.Seiring

dengan perkembangan pengetahuan Islam melalui kontak langsung tersebut, telah masuk

faham-faham Islam Iainnya yang bertentangan dengan faham Aswaja yang dianut oleh

mayoritas umat Islam Indonesia.

Oleh karena itu, untuk membendung arus faham-faham lain tersebut dan untuk

membentengi mayoritas umat Islam Indonesia, para ulama Aswaja wajib bangkit secara

proaktif mendirikan jam‟iyyah (organisasi) yang di kemudian hari dikenal dengan

Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama. Nama yang dipilih adalah

kebangkitan, bukan sekadar perkumpulan atau perhimpunan. Yang bangkit adalah para

ulama yang menjadi panutan umat. Jam‟iyyah Nahdlatul Ulama didirikan pada tanggal

16 Rajab 1334 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya.

1QS. An-Nahl 125

Page 2: isi makalah

2

Disini penulis ingin mereaktualisasikan ajaran tersebut untuk membentengi keimanan

dan keshalehan orang-orang yang hidup di akhir zaman.

B. Tujuan Pembahasan

Secara umum penulis mengharapkan ada banyak manfaat yang bisa diambil dari

penulisan makalah ini. Beberapa poin utama dari penulisan adalah sebagai berikut:

1. Menunjukkan ajaran Ahlu Sunah Wal Jama‟ah merupakan ajaran yang datang dari

Rasulullah SAW.

2. Menunjukkan urgensi untuk mengaktualisasikan ajaran tersebut dan sebisa mungkin

menyampaikan pemahaman yang lebih benar tentang faham yang dianut kebanyakan

orang islam.

C. Kegunaan Hasil Pembahasan

Hasil dari pembahasan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran

bagi mahasiswa teknik UNISMA secara khusus dan tambahan pustaka bagi library

pengetahuan UNISMA sendiri secara umum.

D. Rumusan Masalah

Dari penjelasan latar belakang tersebut di atas dapat diketahui adanya permasalahan yang

perlu di cari pemecahannya. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk

pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa saja ajaran aswaja?

2. Apa perbedaan ajaran aswaja dengan ajaran dari faham yang lain?

3. Mengapa ajaran tersebut perlu di aktualisasikan?

4. Bagaimana mengaktualisasikan ajaran tersebut?

Page 3: isi makalah

3

BAB II

KAJIAN TEORITIS AJARAN AHLU SUNAH WAL JAMA’AH

A. Pokok-Pokok Ajaran Ahlu Sunah Wal Jama’ah

Dengan tidak memonopoli predikat sebagai satu-satunya golongan Ahlussunnah wal

Jamaah, jam'iah Nahdlatul Ulama semenjak pertama berdirinya menegaskan diri sebagai

penganut, pengemban dan pengembang Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan

sekuat tenaga, Nahdlatul Ulama berusaha menempatkan diri sebagai pengamal setia dan

mengajak seluruh kaum muslimin, terutama para warganya untuk menggolongkan diri

pada Ahlussunnah wa Jamaah.

Karakteristik

Karena as-Sunnah wal Jamaah itu tidak lain adalah ajaran agama Islam yang murni

sebagaimana dianjurkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya,

maka perwatakan (karakteristik) nya adalah juga karakteristik agama itu sendiri.

Karakteristik agama Islam yang paling esensial adalah:

1. Prinsip at-Tawassuth, jalan pertengahan, tidak tathorruf (ekstrem = ) kekanan-

kananan atau kekiri-kirian.

2. Sasaran Rahmatan lil „alamin, menyebar rahmat kepada seluruh alam.

As-Sunnah wal Jamaah adalah ajaran islam yang murni sebagaimana diajarkan oleh

Rasulullah SAW. dan diamalkan oleh beliau bersama para sahabatnya. Oleh karena itu

dapat dipastikan bahwa karakter as-Sunnah wal Jamaah serambutpun tidak bergeser dari

karakter agama Islam sendiri. Karakteristik as-Sunnah wal Jamaah adalah karakteristik

agama Islam.

Ada tiga kata istilah yang diambil dari al-Qur'an dalam menggambarkan karakteristik

agama Islam, yaitu:

at-Tawassuth =

al-I'tidal =

at-Tawazun = .

Page 4: isi makalah

4

At-Tawassuth = yang berarti: pertengahan, diambil dari firman Allah swt. (dari

kata wasathan = )

ا

"Dan demikianlah, kami telah menjadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengan (

adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan)

manusia dan supaya Rasulullah saw. menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan

perbuatan) kamu sekalian … (QS. Al-Baqarah: 143)

Al-I'tidal =

Berarti tegak lurus, tidak condong kanan dan tidak condong ke kiri, diambil dari kata al-

Adlu ( ) keadilan atau I'diluu ( = bersikap adillah) pada ayat:

ا

"Hai orang-orang yang beriman kendaklah kamu sekalian menjadi orang yang tegak

(membela kebenaran) karena Allah swt. Menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil

(bil qisthi). Dan jangan sekali-kali kebencianmu kepada kaum, mendorong kamu untuk

berlaku tidak adil. Berlaku adillah keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. Dan

bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah itu Maha Melihat terhadap apa yang

kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8)

At-Tawazun =

berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan suatu unsur atau kekurangan

unsur yang lain. Diambil dari kata al-waznu atau al-mizan alat penimbang dari ayat:

"Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang

nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Mizan (penimbnagn

keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan (al-qisth) … (QS. Al-Hadid: 25)

Page 5: isi makalah

5

At-Tawassuth (termasuk al-I'tidal dan at-Tawazun), bukanlah serba kompromistis

dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Juga bukan mengucilkan diri

dari menolak pertemuan dengan unsur apa-apa. Karakter at-Tawassuth bagi Islam adalah

memang sejak semula Allah swt sudah meletakkan di dalam Islam segala kebaikan, dan

segala kebaikan itu pasti terdapat di antara ujung tatharruf, sifat mengujung, ekstrimisme.

Prinsip dan karakter at-Tawassuth yang sudah menjadi karakter Islam ini harus

diterapkan didalam segala bidang, supaya agama islam dan sikap serta tingkah laku umat

Islam selalu menjadi saksi dan pengukur kebenaran bagi semua sikap dan tingkah laku

manusia umumnya.

Manifestasi prinsip dan karakter at-Tawassuth ini tampak pada segala bidang ajaran

agama Islam dan harus dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan sebaik-baiknya,

terutama oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah, pengikut setia as-Sunnah wal Jamaah.

Bidang Aqidah

Keseimbangan antara penggunaan dalil aqli (argumentasional) dengan dalil naqli (nash

al-Qur'an dan al-Hadits) dengan pengertian, bahwa dalil aqli dipergunakan dan

ditempatkan dib awah dalil naqli.

Berusaha sekuat tenaga memurnikan aqidah dari segala campuran aqidah dari luar Islam.

Tidak tergesa menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas mereka yang

karena satu dan lain hal belum dapat memurnikan tauhid/ aqidahnya, semurni-murninya.

Bidang Syari'ah

Selalu berpegang teguh pada al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan menggunakan metode dan

sistem yang dapat dipertanggungjawabkan dan melalui jalur-jalur yang wajar.

Pada masalah yang sudah ada dalil nash yang sharih dan qath'i (tegas dan pasti), tidak

boleh ada campur tangan pendapat akal.

Pada masalah yang dhanniyat (tidak tegas dan tidak pasti), dapat di toleransi adanya

perbedaan pendapat selama masih tidak bertentangan dengan prinsip agama.

Bidang Tashawwuf/Akhlak

Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam,

denga riyadhoh dan mujahadah menurut kaifiyah yang tidak bertentangan dengan

prinsip-prinsip hukum dan ajaran islam.

Mencegah ekstrimisme dan sikap berlebih-lebihan (al-Ghuluwwu) yang dapat

menjerumuskan orang kepada penyelewengan aqidah dan syariah.

Berpedoman bahwa ahlak yang luhur selalu berada di antara dua ujung sikap yang

mengunjung, misalnya:

Page 6: isi makalah

6

Syaja'ah ( ) berani, di antara Jubn (penakut) dan at-Tahawwur (sembrono)

Tawadhu' ( ) menempatkan diri secara tepat, di antara takabbur (sombong) dan

tadzallul (rendah diri)

Jud atau karom ( ) luman (Jawa-ed.) dan dermawan, di antara Bukhl (kikir)

dan Israf (boros)

Bidang Mu'asyaroh (pergaulan) antar golongan

Mengakui watak tabiat manusia yang selalu senang berkelompok dan bergolong-golong

berdasarkan atas unsur pengikatnya masing-masing.

Pergaulan antar golongan harus diusahakan berdasar saling mengerti dan saling

menghormati. Permusuhan terhadap sesuatu golongan, hanya boleh dilakukan terhadap

golongan yang nyata memusuhi agama Islam dan Umat Islam. Terhadap yang tegas

memusuhi Islam, tidak boleh ada sikap lain kecuali sikap tegas.

Bidang Kehidupan Bernegara

Negara nasional (yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan

dipertahankan eksistensinya.

Penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang

terhormat dan ditaati, selama tidak meyeleweng, dan/atau memerintah kearah yang

bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah.

Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara memperingatkannya melalui tata

cara yang sebaik-baiknya.

Bidang Kebudayaan

Kebudayaan, termasuk di dalamnya adat-istiadat, tata pakaian, kesenian dan sebagainya

adalah hasil budi daya manusia yang harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar dan

bagi pemeluk agama, kebudayaan harus dinilai dan diukur dengan norma-norma hukum

dan ajaran agama.

Kebudayaan yang baik dalam arti menurut norma agama, dari manapun datangnya dapat

diterima dan dikembangkan. Sebaliknya, yang tidak baik harus ditinggalkan. Yang lama

yang baik dipelihara dan di kembangkan. Yang baru yang lebih baik dicari dan

dimanfaatkan.

Page 7: isi makalah

7

Tidak boleh ada sikap apriori, selalu menerima yang lama dan menolak yang baru atau

sebaliknya selalu menerima yang baru dan menolak yang lama

Bidang Dakwah

berdakwah adalah mengajak masyarakat untuk berbuat menciptakan keadaan yang lebih

baik, terutama menurut ukuran ajaran agama. Tidak mungkin orang berhasil mengajak

seseorang dengan cara yang tidak mengenakkan hati yang diajak. Berdakwah bukan

menghukum.

Berdakwah harus dilakukan dengan sasaran tujuan yang jelas, tidak hanya sekedar

mengajak berbuat saja, menurut selera.

Berdakwah harus dilaksanakan dengan keterangan yang jelas, dengan petunjuk-petunjuk

yang baik, sebgaimana seorang dokter atau perawat berbuat terhadap pasien. Kalau

terdapat kesulitan, maka kesulitan itu harus ditanggulangi dan diatasi dengan cara yang

sebaik-baiknya.

B. Ahlu Sunah Wal Jama’ah dalam Potret Kekhilafan Pendapat

Pada umumnya para pengamat menilai NU sebagai organisasi ulama dengan stereotipe

mengikutnya di pedesaan yang secara agama tradisional, secara intelektual sederhana,

secara politik oportunis dan secara kiltural sinkretis. Dikotomi Islam tradisional-modern

masih menjadi landasan pandangan ini. Dalam pola dikotomis itu jika Muhammadiyah

diletakkan di sisi modern maka NU berada di ujung yang lain.

Pola dikotomis ini ternyata tidak begitu tepat untuk digunakan mengamati NU dewasa ini.

Tak jarang terjadi, NU yang "tradisional" tampak lebih luwes dan responsif terhadap

gerak modernitas dibandingkan dengan Muhammadiyah yang modernis.

Adanya pola dikotomis ini berpangkal pada cara setiap kalangan itu sendiri dalam

menyikapi pembaruan, dalam hal ini pembaruan Islam. Mereka yang kemudian

mendirikan Muhammadiyah, misalnya, menerima penuh gerakan pembaharuan yang

berupaya memurnikan Islam dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah semata, tidak

bermazhab, memberantas segala bentuk bid'ah. Sementara mereka yang memelopori NU

menerima pembaharuan ini dengan tetap berupaya menyelaraskannya dengan tradisi dan

warisan budaya yang ada. Dengan secara total hanya mengacu pada Al-Quran dan

Sunnah, dengan mengabaikan warisan para intelektual Islam sepanjang sejarah yang

terkristalisasikan dalam mazhab-mazhab, maka berarti telah tejadi penyia-nyiaan

khazanah intelektual yang sangat berharga. Adalah mustahil suatu generasi memulai

upaya pembaharuannya benar-benar dari nol., dan membuang hasil akumulasi pemikiran

masa lalu. Disamping itu, penyelarasan Islam dengan tradisi dan budaya lokal di mana ia

Page 8: isi makalah

8

disebarkan tidaklah dapat dipandang sebagai membiarkan ajaran agama terkontaminasi

sehingga perlu pemurnian. Sebab penyelarasan itu dalam batasan yang sangat jelas, justru

akan membuat ajaran agama lebih kontekstual. Keseluruhan cara pandang kalangan yang

memperoleh cap tradisionalis ini terakumulasi dalam sebuah kaidah usul fiqh yang secara

konsisten dipegang oleh NU: "mempertahankan milik lama yang baik dan mengambil

sesuatu yang baru yang lebih

baik".2

Ketika perkembangan kelompok Mu'tazilah semakin pesat, serta doktrin ketuhanan dan

keimanannya semakin menimbulkan kegoncangan spiritual ideologis. Betapapun tokoh

utamanya, Al-Asy'ari, sebelumnya adalah juga penganut aliran Mu'tazilah. Golongan

ahlussunnah wal jama'ah kemudian berkembang menjadi kelompok terbesar dalam

lingkungan umat Islam seluruh dunia, yang secara populer disebut sebagai kelompok

Sunni yang dibedakan dari kelompok Syi'ah.

Lebih dan sekedar untuk membedakan diri dari golongan Syi'ah, bagi ulama NU paham

ahlussunnah wal jama'ah, dalam artian yang lebih terinci juga digunakan untuk

membedakannya dari kalangan Islam modernis. KH Bisri Musthafa menguraikan bahwa

Ahlussunah waljamaah adalah paham yang berpegang teguh pada tradisi berikut:

1. Dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab

fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali). Dalam praktek, para kiai

adalah penganut kuat mazhab Syafi'i.

2. Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy'ari dan

Imam Abu Manshur Al Maturidi.

3. Dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Abu Qasim Al junaid.3

Perbedaan antara kalangan Islam tradisional terhadap kelompok Islam modernis

berkaitan dengan operasionalisasi ajaran ahlussunnah wal jamaah dalam rincian tersebut.

Kalangan modernis tidak mengikuti ajaran imam-imam di atas, di samping (menyatakan)

tidak mengikatkan diri pada madzhab tertentu. Perbedaan lain berkaitan dengan sumber

hukum yang digunakan. Bagi mazhab Syafi'i, sumber hokum meliputi empat hal: Al

Qur'an; sunnah Nabi; ijma, serta qiyas (analog, menyamakan hukum suatu hal yang

2 . Lihat Nurcholish Madjid, "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal jama‟ah:, dalam Muntaha Azhari dan AH

Saleh (eds.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), h. 63

3 Seperti dikutip dalam Dhofier, Op Cil., h, 149.

Page 9: isi makalah

9

belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah diketahui). Sumber hukum

ketiga tiilak digunakan oleh kalangan modernis.

Satu hal yang menandai karakteristik NU sebagai pengikut mazhab Syafi'i adalah

kemampuannya untuk tampil dalam segala situasi secara luwes, fleksibel, dan

akomodatif, serta tidak terpaku pada keputusan masa lain dalam merumuskan sikapnya.

Imam Syafi'i sendiri dikenal sebagai seorang ulama moderat. Watak ini disebabkan oleh

latar belakang Syafi'i yang mengembangkan ajarannya di daerah-daerah Mekkah,

Madinah, Baghdad dan terakhir Mesir, sehingga ajaran itu selalu berkembang sesuai

dengan kondisi masyarakat sekitarnya.4.

Dengan menganut mazhab Syafi'i, bagi NU sangat dimungkinkan adanya pilihan untuk

menyesuaikannya dengan konteks waktu. Tentu saja penyesuaian itu harus dilandasi oleh

konsensus (ijma') di kalangan ulama, yang biasanya dicapai dalam suatu forum bahtsul

masail diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan). Mekanisme konsensus ini

merupakan faktor terpenting yang telah menjaga keutuhan organisasi NU, yang

senantiasa dipenuhi oleh perbedaan itu.5

Tiga tradisi keagamaan yang dipegang NU di atas pada gilirannya melahirkan sikap-sikap

yang menjadi ciri khas organisasi, yaitu:

1. Tawasuth dan i'tidal, sikap tengah (moderat) dengan menjunjung tinggi keharusan

berlaku lurus di tengah kehidupan bersama .

2. Tasamuh, sikap toleran terhadap perbedaan.

3. Tawazun, sikap seimbang dan tidak bersikap ekstrem.

4. Amar ma'ruf nahi munkar; menganjurkan kebaikan dan mencegah kejelekan.102

Tradisi keagamaan itu juga memungkinkan terpeliharanya kontinyuitas antara

pandangan serba fiqih di satu ujung dan intensitas penghayatan iman yang tinggi sebagai

buah dari dimensi tasawufnya, diujung lain.103. Dari tradisi demikian, logis jika akhirnya

lahir pandanganan kemasyarakatan yang tidak bercorak hitam putih. Pandangan ini tentu

memiliki implikasi tersendiri dalam persepsi kenegaraan NU. Kewajiban bernegara bagi

NU adalah suatu yang final dan tidak bisa ditawar lagi. Sebagaimana digambarkan

Abdurrahman Wahid,

4 Ali Abdul Wahid Wafi, perkembangan Mazhab dalam Islam, alih bahasa Rifyal Ka'bah (Jakarta: Minaret,

1987), h. 22-23.

5 Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonnesia Dewasa ini,"

dalam Prisma No. 4, 1984, h. 36.

Page 10: isi makalah

10

C. Urgensi Aktualisasi Ajaran Ahlu Sunah Wal Jama’ah

Ahlussunnah wal Jamaah bukanlah suatu yang baru timbul sebagai reaksi dari timbulnya

beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran yang murni seperti Syiah, Khawarij,

Mu'tazilah dan sebagainya. As-Sunnah wal Jamaah sudah ada sebelum semuanya itu

timbul. Aliran-aliran itulah yang merupakan gangguan terhadap kemurnian as-Sunnah

wal Jamaah. Setelah gangguan itu membadai dan berkecamuk, dirasakan perlunya

predikat Ahlussunnah wal Jamaah, dipopulerkan oleh kaum muslimin yang tetap setia

menegakkan as-Sunnah wal Jamaah, mempertahankannya dari segala macam ganguan

yang ditimbulkan oleh aliran-aliran yang mengganggu itu. Mengajak seluruh pemeluk

islam untuk kembali kepada as-Sunnah wal Jamaah.

Ketika Rasulullah saw. menerangkan bahwa umatnya akan tergolong menjadi banyak

sekali (73) golongan, beliau menegaskan bahwa yang benar dan selamat dari sekian

banyak golongan itu hanyalah Ahlussunnah wa Jamaah. Atas pertanyaan para sahabat

mengenai definisi as-Sunah wal Jamaah, beliau merumuskan dengan sabdanya:

Artinya: "Apa yang aku berada di atasnya, hari ini, bersama para sahabatku".

Ahlussunnah wal Jamaah adalah golongan pengikut setia pada al-Sunnah wa al-Jamaah,

yaitu ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan Oleh Rasulullah saw. bersama para

sahabatnya pada zamanya itu.

Arti penting yang harus kita perhatikan dari hadits di atas, kemungkinan adanya saudara

kita yang menjadi bagian golongan yang celaka. Kita memang secara mutlak tidak dapat

memberikan jaminan bahwa apa yang kita yakini kebenarannya adalah kebenaran hakiki

di sisi Allah. Namun kita memiliki kewajiban untuk menyampaikan apa yang jelas di

sampaikan oleh Rasullah.

Dalam hal ini Allah berfirman

Artinya: Ada banyak ayat lain yang menerangkan bahwa kita memiliki kewajiban untuk

mengajak saudara kita bersama-sama mengambil jalan yang telah Allah ridhoi.

Rasulullah SAW menyampaiakan

Page 11: isi makalah

11

Artinya: Sampaikan (ajaran-ajaran yang kalian dapatkan) dariku walau hanya satu

potong ayat.

maka cukuplah kiranya apa yang penulis sampaikan dalam makalah ini sebagai dalil

tentang betapa pentingnya kita menyampaikan ajaran Allah dan Rasul-Nya kepada orang

lain.

D. Mengaktualisasikan Ajaran Ahlu Sunah Wal Jama’ah

Era globalisasi menawarkan banyak wacana, pemikiran, bahkan ideologi. Berbagai

problem yang dihadapi oleh umat manusia mendorong tumbuhnya beragam solusi yang

ditawarkan oleh berbagai sumber nilai dan ajaran. Dalam kondisi demikian, Islam sebagai

sumber nilai dan ajaran sejatinya memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjawab

berbagai problem manusia modern, khususnya di tengah arus globalisasi. Islam sejatinya

tampil sebagai jalan yang memberi tuntunan bagi manusia modern tanpa kehilangan

modernitasnya, sehingga Islam mampu memberikan solusi yang konstruktif bagi

perkembangan modernitas.

Wilayah peran yang bisa dimainkan Islam sebagai agama adalah pada ranah kultural.

Yaitu sebagai pendorong semangat transformasi. Sebagaimana agama pada umumnya,

kekuatan Islam adalah pada aspek motivasi (kultural) yang dapat ditumbuhkan demi

tercapainya kemajuan peradaban Islam. Islam harus hadir menjadi angin yang

mengarahkan perahu kehidupan agar tidak tersesat dalam gelombang besar globalisasi.

Globalisasi sebagai produk budaya hadir dengan segala paradoksalitasnya. Di satu sisi,

globalisasi telah mengantarkan umat manusia kepada kehidupan tanpa batas budaya.

Manusia seakan-akan hidup di sebuah desa kecil (small village) yang begitu mudah

digerakan oleh suatu nilai. Namun di sisi lain, globalisasi cenderung mengancam nilai-

nilai yang diyakini sebagai jalan kebenaran kelompok tertentu, termasuk agama.

Globalisasi memaksa penyeragaman di tengah keragaman budaya dan agama.

Dua sisi diametral globalisasi ini harus disikapi secara proporsional oleh Islam sehingga

dapat menjaga nilai-nilai otentik Islam tanpa kehilangan kemampuan adaptasinya dengan

perkembangan zaman. Sebagai kerangka acuan nilai, maka Islam sejatinya dapat

memperkuat sisi positif dari globalisasi dan dapat menutup sisi negatifnya.

Ijtihad (jihad pemikiran) yang dilakukan oleh para cendekiawan muslim merupakan

respon dan tanggung jawab atas ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin. Islam sebagai

ajaran yang diyakini dapat menjawab berbagai tantangan zaman akan terbukti ketika ia

Page 12: isi makalah

12

mampu menjadi solusi dari problem dan tuntunan di tengah kebimbangan dan keraguan-

raguan yang menghantui masyarakat modern. Di sinilah urgensi peran cendekiawan

muslim di tengah era globalisasi.

Urgensi Moderasi

Salah satu aspek penting dari pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah adalah moderasi

(wasathiyah) di antara dua ektrem, yaitu melampaui batas (ifrath) dan menyia-nyiakan

(tafrith). Moderasi yang ditawarkan oleh Ahlus Sunnah wal Jama‟ahdapat memperkuat

ikatan kolektivitas (jamaah). Moderasi merupakan perwujudan dari keseimbangan di

antara pemahaman dan pemaknaan yang beragam, sehingga dapat menjaga kohesivitas

dan persaudaraan di antara umat Islam. Dalam pergulatan arus globalisasi, sejatinya

pemikiran ahlussunnnah wal jamaah ini menjadi kekuatan yang mampu menjadi jalan

alternatif bagi masyarakat modern yang cenderung sekularistik, individualistik, dan

materialistik.

Kekuatan Ahlus Sunnah wal Jama‟ah bukan pada aspek doktrinal spritual semata, tapi

juga pada ikatan persaudaraan (jamaah) yang kental, sehingga mampu mendorong

tumbuhnya solidaritas di atas landasan ajaran yang satu (tauhid). Inilah yang seharusnya

menjadi perhatian kita semua karena kecenderungan yang tumbuh di tengah globalisasi

adalah individualisme yang mementingkan kepentingan pribadi dan menomorduakan

kebersamaan, solidaritas, dan soliditas.

Eksistensi pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah tergantung pada konsistensi dan sikap

konsekuen untuk menyeleraskan antara pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah dengan

sikap dan perilaku kita. Ini bagian terpenting yang harus ditegakkan sehingga kita tidak

terjerumus dalam arus sekularisasi yang memisahkan ajaran dari kenyataan.

Membumikan pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah menjadi tuntutan yang tak

terelakkan di tengah perilaku pragmatis dan materialistik.

Selama ini Ahlus Sunnah wal Jama‟ah lebih ditempatkan sebagai sebuah doktrin untuk

diyakini, bukan dipahami. Akibatnya, upaya aktualisasi pemikiran Ahlus Sunnah wal

Jama‟ah cenderung mengalami stagnasi dan involusi. Padahal sebagai sebuah pemikiran,

Ahlus Sunnah wal Jama‟ah dapat dikaji, ditelaah, dan direaktualisasi bagi kepentingan

pembumian pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ahitu sendiri tanpa kehilangan

substansinya.

Agenda Membumikan Pemikiran

Sebagaimana pemikiran pada umumnya, pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah lahir dari

idealisasi-idealisasi atas ajaran yang tertuang dalam Al-Quran dan as-Sunnah. Karena itu,

Page 13: isi makalah

13

otoritas idealisasi dan penafsiran tersebut hanya ada pada sekolompok orang yang

dianggap memiliki otoritas untuk melakukannya, yaitu para cendekiawan muslim. Wajar

apabila pemikiran tersebut tidak sepenuhnya bisa dipahami dan dipraktikkan oleh

masyarakat awam (banyak), tanpa proses mediasi dari para cendekiawan (ulama) muslim

itu sendiri. Karena itu, proses aktualisasi dan tajdid pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah

harus melibatkan keteladanan yang mudah dipahami oleh masyarakat. Keteladanan

merupakan aspek visualisasi pemikiran atau ajaran yang dapat mudah ditangkap oleh

masyarakat banyak. Inilah tantangan pertama yang harus dijawab oleh cendekiawan

muslim, khususnya dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama‟ah.

Kedua, tantangan yang tak kalah pentingnya adalah media atau alat yang harus digunakan

bagi penyebaran pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Di tengah semakin canggihnya

teknologi informasi, pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah harus bisa disosialisasikan

dengan memanfaatkan teknologi informasi yang dapat diakses oleh berbagai kalangan

tanpa terbatas oleh ruang dan waktu. Dengan demikian, pemikiran Ahlus Sunnah wal

Jama‟ah semakin dekat dengan masyarakat melalui pemahaman yang berkualitas dan

memberikan solusi atas problem manusia modern.

Ketiga, peningkatan pembinaan masyarakat melalui pendidikan yang diwarnai oleh

pemikiran ahlussunnah wal jamaah. Lembaga pendidikan sebagai wahana yang sangat

efektif dan strategis bagi penyebaran dan penumbuhan nilai dan pemahaman, harus

menjadi target bagi pembumian pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah mulai level

pendidikan yang paling rendah sampai yang paling tinggi, mulai pendidikan formal

sampai pendidikan informal. Dengan demikian, beragam aspek yang dapat menjadi pintu

masuk bagi pembumian pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah dapat dilakukan dengan

tingkat efektivitas yang cukup bisa diandalkan.

Meretas stigmatisasi, memberi solusi

Dalam konteks kehidupan masyarakat yang plural, aspek wasathiyah (moderasi) yang

inheren dalam pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah dapat menjadi jejaring bagi upaya

minimalisasi konflik. Bukan hanya pada tingkat lokal atau nasional, bahkan pada tingkat

regional (Asia Tenggara) potensi tersebut dapat diaktualisasi karena adanya kesamaan

pemikiran, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama‟ah. Atas dasar itu pula, para pengamat begitu

optimis dalam menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai kawah perkembangan Islam

moderat yang sangat menjanjikan bagi masa depan perdamaian di dunia Islam dan dunia.

Ini semua tidak terlepas dari proses akulturasi (inklusivitas) yang dilakukan oleh para

penyebar Islam pada masa lalu dan tetap dirawat sampai saat ini.

Page 14: isi makalah

14

Kenyataan ini merupakan potensi yang dapat memperkuat perdamaian di tengah ancaman

konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara Timur Tengah

yang merupakan negara muslim.

Corak dan warna keislaman yang berkembang di Asia Tenggara dalam satu langgam

Ahlus Sunnah wal Jama‟ah menjadi modal penting yang harus dirawat agar tetap mampu

menjaga solidaritas dan kedamaian regional khususnya dan dunia Islam pada umumnya.

Harapan besar ini tidak hanya muncul dari negara-negara muslim, tapi juga negara-negara

Barat yang merasa berkepentingan dengan perkembangan Islam di negara masing-

masing.

Perhatian dan harapan besar negara-negara Barat terhadap peran umat Islam Asia

Tenggara yang dinilai moderat dapat meng-counter kecenderungan stigmatik atas Islam

yang dianggap radikal dan mendorong terorisme. Harapan besar ini tentu tidak bisa

dilepaskan dari kebijakan global terhadap dunia Islam itu sendiri.

Adanya stigmatisasi dan diskriminasi terhadap Islam yang diekspos oleh media Barat atas

nama kebebasan akan memperlambat proses perwujudan misi moderasi yang terkandung

di dalam pemikiran ahlussunnah wal jamaah.

Karena itu, efektivitas misi moderasi pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah perlu dilihat

secara komprehensif. Responsi positif dunia luar (Barat) terhadap Islam tetap diperlukan

sehingga terjalin saling pengertian. Namun secara internal, proses pembumian pemikiran

Ahlus Sunnah wal Jama‟ah menjadi kemestian melalui sinkronisasi pemikiran dengan

sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi kebersamaan (jamaah) berdasarkan Al-Quran

dan as-Sunnah. Dengan demikian, pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah akan menjadi

solusi di tengah arus globalisasi. Semoga.

Dengan ulasan makalah yang singkat tersebut bisa dikonklusikan, bahwa ternyata

aktualisasi ajaran Islam Aswaja pada dasarnya sangat multidimensional. Namun kalau

diklasifikasikan ada tiga dimensi sosial sebagaimana syariat Islam itu sendiri, yaitu;

hubungan antara manusia sebagai individu (vs) Allah; antara manusia (vs) manusia, dan

manusia (vs) alam lingkungannya.

Selanjutnya hal yang cukup mendesak untuk aplikasikan adalah aktualisasi Islam Aswaja

sebagaimana dirumuskan ketika NU Khittah 26. Dimana dalam rumusan tersebut

disebutkan bahwa aktualisasi Islam Aswaja adalah sebagai motivator untuk

menumbuhsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di

kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat pergeseran nilai yang begitu deras di

masyarakat.