isi lapsus new.docx

33
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sirosis adalah penyakit kronis hepar, di mana terjadi destruksi dan regenerasi difus sel-sel parengkim hepar dan peningkatan pertumbuhan jaringan ikat difus yang menghasilkan disorganisasi arsitektur lobular dan vaskular. Sirosis hepatis merupakan stadium akhir kerusakan sel-sel hepar yang kemudian menjadi jaringan fibrosis. Kerusakan tersebut ditandai dengan distorsi arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif akibat nekrosis sel-sel hepar. Selanjutnya, distorsi arsitektur hepar dan peningkatan vaskularisasi ke hepar menyebabkan varises atau pelebaran pembuluh darah di daerah gaster maupun esofagus. 1,2,3 World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan 783 000 pasien di dunia meninggal akibat sirosis hepatis. Sirosis hepatis paling banyak disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di Indonesia sirosis hepatis banyak dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan C karena penyalahgunaan alkohol lebih jarang terjadi dibandingkan negara-negara barat. Sekitar 57%, pasien sirosis hepatis terinfeksi hepatitis B atau C. South East Asia Regional Office (SEARO) tahun 2011 melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia Tenggara adalah pembawa 1

Upload: risna-ariani

Post on 08-Dec-2015

267 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ISI LAPSUS NEW.docx

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sirosis adalah penyakit kronis hepar, di mana terjadi destruksi dan

regenerasi difus sel-sel parengkim hepar dan peningkatan pertumbuhan jaringan

ikat difus yang menghasilkan disorganisasi arsitektur lobular dan vaskular. Sirosis

hepatis merupakan stadium akhir kerusakan sel-sel hepar yang kemudian menjadi

jaringan fibrosis. Kerusakan tersebut ditandai dengan distorsi arsitektur hepar dan

pembentukan nodulus regeneratif akibat nekrosis sel-sel hepar. Selanjutnya,

distorsi arsitektur hepar dan peningkatan vaskularisasi ke hepar menyebabkan

varises atau pelebaran pembuluh darah di daerah gaster maupun esofagus.1,2,3

World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan 783 000

pasien di dunia meninggal akibat sirosis hepatis. Sirosis hepatis paling banyak

disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di Indonesia

sirosis hepatis banyak dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan C karena

penyalahgunaan alkohol lebih jarang terjadi dibandingkan negara-negara barat.

Sekitar 57%, pasien sirosis hepatis terinfeksi hepatitis B atau C. South East Asia

Regional Office (SEARO) tahun 2011 melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia

Tenggara adalah pembawa hepatitis B, sedangkan sekitar 480 000 orang pembawa

hepatitis C.4,5,6

Perdarahan akibat pecahnya varises gastroesofagus (VGE) merupakan

komplikasi yang berbahaya bagi pasien sirosis hepatis. Sayangnya, pasien

seringkali datang untuk pertama kali karena hematemesis atau melena dan baru

kemudian terdiagnosis sirosis hepatis. Padahal ancaman kematian selalu ada

setiap terjadi perdarahan.7

I.2 Tujuan Penulisan

Penulisan bertujuan untuk menambah wawasan pada penulis dan kita

semua mengenai Sirosis Hepatis dengan Varises Esofagus dan penulisan juga

bertujuan untuk persyaratan mengikuti ujian stase Ilmu Penyakit Dalam.

1

BAB II

KASUS

Pasien LND, laki-laki, 30 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan

utama perut membesar. Pasien datang dalam kondisi sadar dan diantar oleh

keluarga ke RSUD dr. Doris Sylvanus pada tanggal 12 Juli 2015. Pasien

mengatakan perutnya di rasakan membesar 6 hari sebelum masuk rumah sakit.

Perutnya dirasakan semakin hari semakin membesar dan bertambah tegang,

namun keluhan perut membesar ini tidak sampai membuat pasien sesak dan

kesulitan bernapas.

Pasien juga mengeluh muntah darah sejak 6 hari sebelum masuk Rumah

Sakit, darah bergumpal dan kadang kadang berupa darah segar dengan volume

kurang lebih 1 gelas aqua, frekuensi 2 kali sehari dan muntah biasanya setelah

minum. Pasien mengatakan bahwa buang air besarnya berwarna merah segar

selama 3 hari, satu hari sebelum masuk Rumah Sakit buang air besar berwarna

hitam dengan frekuensi 2 kali per hari dan volume kira-kira ½ gelas setiap buang

air besar. Riwayat buang air kecil berwarna seperti teh (+). Selain itu, dikatakan

pula bahwa beberapa hari terakhir, pasien mengeluh nyeri pinggang. Keluhan

panas badan, rambut rontok dan gusi berdarah disangkal oleh pasien.

Pasien memiliki riwayat merokok selam kurang lebih 15 tahun. Selain itu

pasien juga memilki riwayat minum minuman beralkohol selama 2 tahun, 1 kali

seminggu, satu kali minum sebanyak ¼ gelas aqua. Riwayat transfusi darah di

sangkal.

Riwayat penyakit Hepatitis, DM, Hipertensi, Penyakit Jantung, penyakit

ginjal disangkal oleh pasien. Riwayat penyakit keluarga pasien mengaku tidak ada

anggota keluarganya yang mengalami keluhan seperti pasien, Riwayat penyakit

Hepatitis, DM, Hipertensi, Penyakit jantung, penyakit ginjal dalam keluarga

disangkal.

Riwayat pengobatan, pasien mengaku sebelumnya mengkonsumsi obat

anti nyeri karena sebelum masuk rumah sakit bapak berobat dengan keluhan nyeri

2

pinggang. Riwayat pribadi dan sosial pasien seorang pekerja di perusahaan,

kebiasan makan minum di sediakan oleh perusahaan tetapi makan tidak teratur.

Pada pemeriksaan Fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,

kesadaran compos mentis, vital sign yaitu tekanan darah 110/70 mmHg, nadi

92x/menit reguler teraba kuat angkat, terisi penuh, pernafasan 21 X/menit, suhu

36,2°C, BB 52 kg, TB 165 cm dan IMT 19, 11 kg/m2.

Kepala : konjungtiva anemis, sklera ikterik, leher : massa (-), pembesaran

KGB (-) dan peningkatan JVP (-), thoraks : tampak simetris kiri dan kanan, tidak

ada ketinggalan gerak hemithoraks kanan dan kiri tidak tampak adanya retraksi

dan spider nevi (-). Pada palpasi fremitus taktil pada hemithoraks kanan dan kiri

normal, perkusi sonor, auskultasi suara nafas dasar vesikuler di kedua paru, tidak

terdengar adanya rhonki maupun wheezing. Cor : Kardiomegali (-), ictus kordis

tidak terlihat dan tidak teraba, auskultasi S1S2 tunggal regular, murmur (-) dan

gallop (-). Abdomen : Dari pemeriksaan abdomen, pada inspeksi tampak adanya

distensi, dari palpasi didapatkan hepar dan lien sulit di evaluasi, ada nyeri tekan

pada daerah epigastrium, dari perkusi abdomen didapatkan asites (+) dengan tes

undulasi. Ekstremitas inferior: pitting edema (+/+).

Pemeriksaan Laboratorium : Eritrosit 1,86 jt/uL, Hb 5,6 g/dL, leukosit

8.050 µL, trombosit 242.000/µL, hematokrit 16,8%, GDS 115 mg/dL, kreatinin

1,27 mg/dL, SGOT 95 u/L, SGPT 74 u/L, Albumin 3,36 mg/dL, total protein 5,43

mg/dL , globulin 2,07 mg/dL, bilirubin total 0,65 mg/dL , bilirubin direk 0,43

mg/dL , HbsAg (+).

Pemeriksaan darah tepi, kesan : aktivasi neutrophil dan anemia normositik

normokromik.

Pemeriksaan USG abdomen, kesan: sirosis hepatis kemungkinan malignan

dengan hipertensi portal, varises oesophagus, asites permagna.

Pemeriksaan foto thorax PA, kesan: efusi pleura kanan minimal.

Diagnosa adalah Sirosis hepatis dengan varises Esofagus.

3

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA dan PEMBAHASAN

III.1. Tinjauan Pustaka

III.1.1. Definisi Sirosis Hepatis

Sirosis hepatis adalah penyakit hepar yang menahun yang difus yang

ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya

dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hepar yang luas,

pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hepar

akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur

akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut.8

III.1.2. Epidemiologi

Di Amerika, sirosis hepatis menjadi penyebab kematian ke 12 dengan

29.165 kematian pada tahun 2007 dan rata-rata angka mortalitas 9,7 per 100.000

orang. Angka kejadian di Indonesia menunjukkan pria lebih banyak menderita

sirosis dari wanita (2 - 4: 1), terbanyak didapat pada usia dekade kelima.4

World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan 783 000

pasien di dunia meninggal akibat sirosis hepatis. Sirosis hepatis paling banyak

disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di Indonesia

sirosis hepatis banyak dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan C karena

penyalahgunaan alkohol lebih jarang terjadi dibandingkan negara-negara barat.

Sekitar 57%, pasien sirosis hepatis terinfeksi hepatitis B atau C. South East Asia

Regional Office (SEARO) tahun 2011 melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia

Tenggara adalah pembawa hepatitis B, sedangkan sekitar 480.000 orang pembawa

hepatitis C.5

Hipertensi portal, ascites dan varises bleeding adalah komplikasi paling

sering pada penderita sirosis hepatis. Varises esophagus memiliki dampak klinis

yang sangat besar, dengan resiko mortalitas sebesar 17-42% tiap terjadinya

perdarahan. Varises dapat terbentuk pada setiap lokasi tubuler saluran cerna tetapi

varises paling sering terjadi pada beberapa sentimeter dari distal oesofagus.

4

Sekitar 50% pasien sirosis akan mengalami varises gastrooesophageal. Frekuensi

varises oesofagus sekitar 30% - 70% sedangkan varises gaster sekitar 5 – 33%.

Varises oesofagus akan terbentuk sebesar 5 – 8% pertahun, namun varises yang

cukup besar untuk menimbulkan resiko perdarahan hanya 1-2% kasus. Sekitar 30-

40% pasien dengan varises kecil akan menjadi varises besar setiap tahun sehingga

akan beresiko perdarahan.9

III.I.3. Etiologi Sirosis Hepatis

Sirosis hepatis bisa dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penyalahgunaan

alkohol dan infeksi virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering.

Tabel 1. Etiologi Umum Sirosis Hepatis8

Untuk penentuan derajat keparahan dan prognosis pembedahan, maka

klasifikasi derajat keparahan yang sering digunakan adalah klasifikasi Child-

Turcotte-Pugh.

Tabel 2. Klasifikasi Sirosis dengan Skor Child-Turcotte-Pugh8

* Sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh, kelas A (5-6 poin) mengindikasikan

5

penyakit hati least severe, kelas B (7-9 poin) mengindikasikan penyakit hati

moderately severe dan kelas C (10-15 poin) mengindikasikan most severe.

# Hanya salah satu. Pemanjangan waktu protrombin atau INR yang digunakan.

III.1.4. Patofisiologi

Infeksi hepatitis viral tipe B atau C menimbulkan peradangan sel hati.

Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas, terjadi kolaps

lobulus hati dan ini memacu timbulnya jarigan parut disertai terbentuknya septa

fibrosa difus dan nodul sel hati. Walaupun etiologinya berbeda, gambaran

histologis sirosis hepatis sama atau hampir sama.3

Patogenesis sirosis menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya

peranan sel stelata (stellate cell), yang berperan dalam keseimbangan matriks

ekstraseluler dan proses degradasi, jika terpapar faktor tertentu secara terus

menerus (misal hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik) maka sel stelata akan

menjadi sel yang membentuk kolagen dan jika terus berlangsung maka jaringan

hati normal akan diganti oleh jaringan ikat Septa bisa dibentuk dari sel reticulum

penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat

menghubungkan daerah porta yang satu dengan yang lainnya atau porta dengan

sentral (bridging necrosis).3

Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai ukuran

dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan aliran

darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian dapat pula terjadi

pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya terjadi

peradangan dari sirosis pada sel duktules, sinusoid retikuloendotel, terjadi

abrogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversibel menjadi

ireversibel bila telah tertbentuk septa permanen yang aselular pada daerah porta

dan parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung etiologi sirosis. Pada sirosis

dengan etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah portal, pada

sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limfosit T dan makrofag

menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya

6

fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septa

aktif ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.8

III.1.5. Tanda dan Gejala

1. Fase Kompensasi Sempurna

Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali atau bisa juga keluhan

samar-samar tidak khas seperti pasien merasa tidak sehat, merasa kurang

kemampuan kerja, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual,

kadang mencret atau konstipasi, berat badan menurun, kelemahan otot dan

perasaan cepat lelah akibat deplesi protein. Keluhan dan gejala tersebut tidak

banyak bedanya dengan pasien hepatitis kronik aktif tanpa sirosis hepatis dan

tergantung pada luasnya kerusakan parenkim hati.3

2. Fase Dekompensasi

Manifestasi klinis pasien sirosis pada fase dekompensasi secara garis besar

dibagi menjadi 2 yaitu 3:

a. Manifestasi Gagal Hepatoseluler

Ikterus terjadi pada 60 % penderita selama perjalanan penyakitnya dan

biasanya hanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih sering terjadi.

Penderita dapat menjadi ikterus selama fase dekompensasi disertai gangguan

reversibel fungsi hati. Gangguan endokrin sering terjadi pada sirosis. Hormon

korteks adrenal, testis, dan ovarium dimetabolisme dan diinaktifkan oleh hati.

Gangguan pada hati juga akan mengganggu proses metabolime dan inaktivasi

dari hormon-hormon tersebut. Spider nevy yang terdiri dari arteriola sentral

tempat memancarnya banyak pembuluh darah halus akan terlihat pada kulit

terutama di bagian leher, dada, dan bahu. Spider nevy, atrofi testis,

ginekomastia, alopesia pada dada dan aksila, serta eritema palmaris diduga

disebabkan oleh kelebihan estrogen dalam sirkulasi. Peningkatan pigmentasi

kulit juga diduga disebabkan oleh aktivitas hormon perangsang melanosit

(Melanocyt-stimulating Hormone) yang bekerja secara berlebihan. Gangguan

hematologik yang sering terjadi pada sirosis adalah kecenderungan

perdarahan, anemia, leukopenia dan trombositopenia. Penderita sering

7

mengalami perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar.

Masa protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini dapat terjadi akibat

berkurangnya pembentukan faktor-faktor pembekuan oleh hati. Anemia,

leukopenia, dan trombositopenia diduga disebabkan oleh hipersplenisme.

Limpa tidak hanya membesar, tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel

darah dari sirkulasi. Mekanisme lain yang juga menyebabkan anemia adalah

defisiensi besi, asam folat, dan vitamin B 12 yang terjadi sekunder akibat

kehilangan darah dan peningkatan hemolisis eritrosit. Penderita juga akan

lebih mudah terserang infeksi.

Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites dan dapat

dijelaskan akibat hipoalbuminemia serta retensi garam dan air. Kegagalan hati

untuk inaktivasi aldosteron dan hormone anti diuretik merupakan penyebab

retensi natrium dan air. Fetor hepatikum merupakan bau apek manis yang

terdeteksi dari napas penderita dan diyakini terjadi akibat ketidakmampuan

hati dalam memetabolisme metionin. Gangguan neurologis yang paling serius

pada sirosis lanjut adalah ensefalopati hepatikum yang diyakini akibat

kelainan metabolisme ammonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap

toksin.

b. Manifestasi Hipertensi Portal

Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena

porta yang menetap di atas nilai normal (6-12 cm H2O). Tanpa memandang

penyakit dasarnya, mekanisme primer penyebab hipertensi portal adalah

peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati. Selain itu biasanya

terjadi peningkatan aliran arteria splanknikus. Kombinasi kedua faktor yaitu

menurunnya aliran keluar melalui vena hepatika dan meningkatnya aliran

masuk bersama-sama menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal.

Pembebanan yang berlebihan sistem portal ini merangsang timbulnya aliran

kolateral guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Tekanan balik pada

sistem portal mengakibatkan splenomegali dan sebagian bertanggung jawab

terhadap tertimbunnya asites. Asites merupakan penimbunan cairan encer

intraperitoneal yang mengandung sedikit protein. Faktor utama patogenesis

8

asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (Hipertensi

Portal) dan penurunan tekanan osmotic koloid akibat hipoalbuminemia.

Faktor lain yang berperan adalah retensi natrium dan air serta peningkatan

sintesis dan aliran limfe hati.

Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi

portal terdapat pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui melalui

saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi vena-vena ini (Varises

Oesofagus) varises ini terjadi sekitar 70% pada pasien dengan sirosis lanjut.

Perdarahan pada varises ini sering menyebabkan kematian. Sirkulasi kolateral

juga melibatkan vena superficial dinding abdomen dan timbulnya sirkulasi ini

mengakibatkan dilatasi venavena skitar umbilicus (Caput Medusae). Sistem

vena rectal membantu dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena

berdilatasi dan dapat menyebabkan berkembangnya hemorrhoid interna,

perdarahan pada hemorhhoid yang pecah biasanya tidak hebat, karena

tekanan di daerah ini tidak setinggi tekanan pada esophagus karena jarak yang

lebih jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis dapat dijelaskan

berdasarkan kongestif pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan darah yang

lebih tinggi pada vena lienalis.

III.1.6. Diagnosis

Diagnosis sirosis hepatis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, labo-

ratorium dan pemeriksaan penunjang. Pada stadium kompensasi sempurna

kadang-kadang sulit menegakkan diagnosis sirosis hepatis. Pada stadium

dekompensasi kadang tidak sulit menegakkan diagnosis dengan adanya asites,

edema pretibial, splenomegali, vena kolateral, eritema palmaris. Pada

pemeriksaan laboratorium darah tepi sering didapatkan anemia normositik

normokrom, leukepenia dan trombositopenia. Waktu protrombin sering

memanjang. Tes fungsi hati dapat normal terutama pada penderita yang masih

tergolong kompensata-inaktif. Pada stadium dekompensata ditemui kelainan

fungsi hati. Kadar alkali fosfatase sering meningkat terutama pada sirosis billier.

Pemeriksaan elektroforesis protein pada sirosis didapat-kan kadar albumin rendah

dengan pening-katan kadar gama globulin.1,2,10

9

Ultrasonografi merupakan pemeriksaan noninvasif, aman dan mempunyai

ketepatan yang tinggi. Gambaran USG pada sirosis hepatis tergantung pada berat

ringannya penyakit. Keterbatasan USG adalah sangat tergantung pada

subjektifitas pemeriksa dan pada sirosis pada tahap awal sulit didiagnosis.

Pemeriksaan serial USG dapat menilai perkembangan penyakit dan mendeteksi

dini karsinoma hepato-selular. Pemeriksaan scanning sering pula dipakai untuk

melihat situasi pembesaran hepar dan kondisi parengkimnya. Diagnosis pasti

sirosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologik jaringan hati yang di dapat

dari biopsi.1,2,10

III.1.7. Pemeriksaan Penunjang3,8

Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah

Bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom

mikrositer atau makrositer. Anemia bisa, akibat hipersplenisme dengan

leukopenia dan trombositopenia.

a) Kenaikan enzim transaminase / SGOT, SGPT tidak merupakan petunjuk

tentang berat dan luasnya kerusakan parenkhim hati. Kenaikan kadarnya

didalam serum timbul akibat kebocoran dari sel yang mengalami

kerusakan. Peninggian kadar gama GT sama dengan transaminase, ini

lebih sensitif tetapi kurang spesifik. Pemeriksaan bilirubin, transaminase

dan gama GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.

b) Albumin. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin

merupakan tanda kurangnya daya hati dalam menghadapi stress.

c) Pemeriksaan CHE. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun.

d) Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan

pembatasan garam dalam diet.

e) Pemanjangan masa protombin merupakan petunjuk adanya penurunan

fungsi hati. Pemberian vit. K parenteral dapat memperbaiki masa

protrombin.

10

f) Peninggian kadar gula darah pada sirosis hati fase lanjut disebabkan

kurangnya kemampuan sel hati membentuk glikogen.

g) Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HBS Ag/ HBS Ab,

HbeAg/ HbeAb, HBV DNA, HCV RNA.

Pada pemeriksaan darah, saat ini dapat ditentukan apakah pada pasien

mengalami sirosis atau tidak dengan menghitung dengan rumus P2/MS yakni

ratio jumlah platelet dan fraksi monosit serta fraksi segmentasi neutrofil.

Keterangan.

Untuk indikator sirosis hepatis bila nilai P2/MS < 45.0 maka berarti ada sirosis

hepatis, bila nilai > 60.0 berarti tidak ada sirosis hepatis. Untuk indikator

fibrosis yang signifikan, bila nilai P2/MS <62.0 berarti ada fibrosis signifikan,

namun bila nilai > 115.0 berarti tidak ada fibrosis signifikan

2. Pemeriksaan AFP

Pemeriksaan AFP penting dalam menentukan apakah telah terjadi

transformasi kearah keganasan. Nilai AFP > 500 – 1000 mempunyai nilai

diagnostik suatu kanker hati primer.

3. Pemeriksaan penunjang lainnya.

EGD, USG, CT-Scan, ERCP, Angiografi.

III.1.8. Penatalaksanaan

Terapi dan prognosis sirosis hepatis tergantung pada derajat komplikasi

kegagalan hati dan hipertensi portal.3

1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang cukup baik, dilakukan kontrol

yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori dan protein,

11

lemak secukupnya (DH III-IV). Bila timbul ensefalopati hepatikum,

protein dikurangi (DH I).

2. Pasien sirosis hepatis dengan penyebab diketahui, seperti alkohol,

hemokromatosis, penyakit Wilson, diobati penyebabnya.

3. Ada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul.

a) Untuk asites, diberi rendah garam 0,5 gr/hari dan total cairan 1,5 l/hr

spironolakton dimulai dengan dosis awal 4 x 25 mg/hr dinaikkan sampai

total dosis 800 mg sehari. Idealnya penurunan berat badan 1 kg/hr. Bila

perlu dikombinasikan dengan furosemid.

b) Perdarahan varises esofagus. Pasien dirawat dirumah sakit sebagai kasus

perdarahan saluran cerna atas.

c) Untuk ensefalopati dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian

KCL pada hipokalemia, mengurangi pemasukan protein makanan dengan

memberi diet DH I, aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami

perdarahan pada varises, dilakukan klisma untuk mengurangi absorpsi

bahan nitrogen dan pemberian duphalac 2 x C II.

4. Peritonitis bacterial spontan diberi antibiotik pilihan, seperti cefotaxim 2

gr/8 jam iv.

III.1.9. Komplikasi

Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis

hepatis, akibat kegagalan dari fungsi hati dan hipertensi porta, diantaranya1,9:

1. Ensepalopati Hepatikum

Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang

bersifat reversibel dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hepatis

setelah mengeksklusi kelainan neurologis dan metabolik. Derajat keparahan dari

kelainan ini terdiri dari derajat 0 (subklinis) dengan fungsi kognitif yang masih

bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien sudah jatuh ke keadaan koma.

Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh karena adanya

gangguan metabolisme energi pada otak dan peningkatan permeabelitas sawar

darah otak. Peningkayan permeabelitas sawar darah otak ini akan memudahkan

12

masuknya neurotoxin ke dalam otak. Neurotoxin tersebut diantaranya, asam

lemak rantai pendek, mercaptans, neurotransmitter palsu (tyramine, octopamine,

dan betaphenylethanolamine), amonia, dan gamma-aminobutyric acid (GABA).

Kelainan laboratoris pada pasien dengan ensefalopati hepatik adalah berupa

peningkatan kadar amonia serum.

2. Varises Esophagus

Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh

hipertensi porta yang biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien saat

diagnosis sirosis dibuat. Varises ini memiliki kemungkinan pecah dalam 1 tahun

pertama sebesar 5-15% dengan angka kematian dalam 6 minggu sebesar 15-20%

untuk setiap episodenya.

3. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)

Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang sering dijumpai

yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa adanya bukti infeksi

sekunder intra abdominal. Biasanya pasien tanpa gejala, namun dapat timbul

demam dan nyeri abdomen.

PBS sering timbul pada pasien dengan cairan asites yang kandungan

proteinnya rendah ( < 1 g/dL ) yang juga memiliki kandungan komplemen yang

rendah, yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya aktivitas opsonisasi. PBS

disebabkan oleh karena adanya translokasi bakteri menembus dinding usus dan

juga oleh karena penyebaran bakteri secara hematogen. Bakteri penyebabnya

antara lain Escherechia coli, Streptococcus pneumoniae, spesies Klebsiella, dan

organisme enterik gram negatif lainnya. Diagnose SBP berdasarkan pemeriksaan

pada cairan asites, dimana ditemukan sel polimorfonuklear lebih dari 250 sel /

mm3 dengan kultur cairan asites yang positif.

4. Sindrom Hepatorenal

Sindrom hepatorenal merepresentasikan disfungsi dari ginjal yang dapat

diamati pada pasien yang mengalami sirosis dengan komplikasi ascites. Sindrom

ini diakibatkan oleh vasokonstriksi dari arteri ginjal besar dan kecil sehingga

menyebabkan menurunnya perfusi ginjal yang selanjutnya akan menyebabkan

13

penurunan laju filtrasi glomerulus. Diagnosa sindrom hepatorenal ditegakkan

ketika ditemukan cretinine clearance kurang dari 40 ml/menit atau saat serum

creatinine lebih dari 1,5 mg/dl, volume urin kurang dari 500 mL/d, dan sodium

urin kurang dari 10 mEq/L.

5. Sindrom Hepatopulmonal

Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal.

III.1.10. Prognosis

Prognosis tidak baik bila3

1. Ikterus yang menetap atau bilirubin darah > 1,5 mg%

2. Asites refrakter atau memerlukan diuretik dosis besar

3. Kadar albumin rendah (< 2,5 gr%)

4. Kesadaran menurun tanpa faktor pencetus

5. Hati mengecil

6. Perdarahan akibat varises esophagus

7. Komplikasi neurologis

8. Kadar protrombin rendah

9. Kadar natrium darah rendah (< 120 meq/i), tekanan systole < 100 mmHg

III.2.1 Pembahasan

Pada kasus ini seorang laki-laki 30 tahun datang ke RSUD dr.Doris

Sylvanus Palangkaraya, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

didapatkan:

1. Keluhan utama perut membesar

2. Adanya muntah darah (hematemesis)

3. BAB darah merah segar (hematoskezia) dan BAB hitam ( melena)

4. Pemeriksaan fisik: konjungtiva anemis, sklera ikterik, dari pemeriksaan

abdomen pada inspeksi tampak adanya distensi, hepar dan lien sulit di

evaluasi, ada nyeri tekan pada daerah epigastrium, dari perkusi abdomen

didapatkan asites (+) dengan tes undulasi, terdapat pitting edema pada

ekstremitas inferior.

14

Berdasarkan hal diatas diagnosis sementara yang dapat ditegakkan adalah

Sirosis Hepatis dengan varises esofagus. Untuk lebih memastikannya maka

dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain.

Pemeriksaan Laboratorium :

Hemoglobin 5,6 g/dL (Anemia)

SGOT 95 u/L (meningkat)

SGPT 74 u/L (meningkat)

Albumin 3,36 mg/dl (Hipoalbuminemia)

bilirubin direk 0,43 mg/dL (hiperbilirubinemia)

HbsAg (+)

Pemeriksaan Darah Tepi:

Kesan : aktivasi neutrophil dan anemia normositik normokromik

Pemeriksaan USG abdomen:

Kesan: sirosis hepatis kemungkinan malignan dengan hipertensi portal, varises

oesophagus, asites permagna.

Pemeriksaan foto thorax PA:

Kesan: efusi pleura kanan minimal.

Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan penunjang yang lain mendukung ditegakkannya diagnosis sirosis

hepatis dengan varises esofagus. Selain itu, kemungkinan pasien ini mengalami

peningkatan tekanan vena porta yang menyebabkan sistem vena rektal membantu

dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena berdilatasi dan dapat

menyebabkan berkembangnya hemorrhoid interna. Pada pasien ini tiga hari

sebelum masuk rumah sakit mengalami hematoskezia (BAB darah segar) yang

diasebabkan oleh pecahnya hemorrhoid, namun perdarahan pada hemorhhoid

yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan di daerah ini tidak setinggi

tekanan pada esophagus karena jarak yang lebih jauh dari vena porta. Pada pasien

15

ini juga terdapat asites yang disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik

pada kapiler usus (Hipertensi Portal) dan penurunan tekanan osmotik koloid

akibat hipoalbuminemia.

Penatalaksanaan pada kasus ini adalah pasien memerlukan istirahat yang

cukup, makanan yang adekuat dan seimbang. Protein diberikan dengan jumlah 1 -

1,5 g/kg BB. Lemak antara 30% - 40 % jumlah kalori dan sisanya adalah hidrat

arang. Bila timbul tanda-tanda ensefalopati jumlah protein diturunkan.

Pada asites pasien harus melakukan tirah baring dan terapi diawali dengan

diet rendah garam. Konsumsi garam sebaiknya sebanyak 5,2 gr atau 90

mmol/hari. Diet rendah garam juga disertai dengan pemberian diuretik. Diuretic

yang diberikan awalnya dapat dipilih spironolakton dengan dosis 100- 200 mg

sekali perhari. Respon diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5

kg/hari tanpa edema kaki atau 1kg/hari dengan edema kaki. Apabila pemberian

spironolakton tidak adekuat dapat diberikan kombinasi berupa furosemid dengan

dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid dapat ditambah hingga dosis maksimal

160mg/hari. Parasintesis asites dilakukan apabila ascites sangat besar. Biasanya

pengeluarannya mencapai 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.

Perdarahan varises esofagus ( hematemesis , hematemesis dengan melena

atau melena saja ). Pasien dirawat di rumah sakit sebagai kasus perdarahan saluran

cerna atas. Pertama dilakukan pemasangan NGT tube untuk mengetahui apakah

perdarahan berasal dari saluran cerna, disamping melakukan aspirasi cairan

lambung yang berisi darah dan untuk mengetahui apakah perdarahan sudah

berhenti atau belum. Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik di bawah 100

mmHg, nadi di atas 100x/ menit atau Hb di bawah 9 g% dilakukan pemberian

IVFD dekstrosa atau salin dan tranfusi darah secukupnya. Diberikan vasopresin 2

amp 0,1 g dalam 500 cc cairan D 5% atau salin. Untuk mencegah rebleeding

dopat diberikan cbat penyekat reseptor beta (beta bloker) secara oral dalam dosis

yang dapat menurunkan denyut nadi sampai 25%.

Peritonitis bakterial spontan biasa dijumpai pada pasien sirosis alkoholik

dengan asites dan dapat diberikan terapi antibiotik pilihan seperti cefotaksim 2 g/8

jam i.v, amoksisilin atau golongan aminoglikosida.

16

Kasus Kepustakaan

1. Asites

Parasentesis

Vip albumin 3x1

-Diuretik yang diberikan awalnya dapat

dipilih spironolakton dengan dosis 100-

200 mg sekali perhari. Respon diuretik

dapat dimonitor dengan penurunan berat

badan 0,5 kg/hari tanpa edema kaki atau

1kg/hari dengan edema kaki. Apabila

pemberian spironolakton tidak adekuat

dapat diberikan kombinasi berupa

furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari.

Pemberian furosemid dapat ditambah

hingga dosis maksimal 160mg/hari.

-Parasintesis asites dilakukan apabila

ascites sangat besar. Biasanya

pengeluarannya mencapai 4-6 liter dan

dilindungi dengan pemberian albumin

2. Varises Esofagus

Transfusi darah

Asam traneksamat

3 x 500 mg

Vitamin K

Carbazochrome 25 mg

(IV drip)

-Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik

di bawah 100 mmHg, nadi di atas 100x/

menit atau Hb di bawah 9 g% dilakukan

pemberian IVFD dekstrosa atau salin dan

tranfusi darah secukupnya. Diberikan

vasopresin 2 amp 0,1 g dalam 500 cc

cairan D 5% atau salin.

-Sebelum berdarah dan sesudah berdarah

bisa diberikan penyekat beta

(propranolol). Waktu perdarahan akut,

bisa diberikan preparat somatostatin atau

oktreotid (stomatostatin menyebabkan

vasokonstriksi sphlancnic selektif dan

menurunkan tekanan portal dan aliran

darah portal) diteruskan dengan tindakan

skleroterapi atau ligase endoskopi.

17

3. Cefotaxime 3x1 g -Pemberian obat tersebut untuk mencegah

peritonitis bakterial spontan.

- Pada pasien ini, ditemukan hematemesis

melena oleh karena itu perlu dilakukan

sterilisasi usus dengan pemberian

laksansia, antibiotika atau keduanya. Hal

ini ditujukan untuk mengurangi jumlah

bakteri di usus yang bisa menyebabkan

peritonitis bakterial spontan serta

mengurangi produksi amonia oleh bakteri

di usus yang dapat menyebabkan

ensepalopati hepatikum jika terlalu

banyak amonia yang masuk ke peredaran

darah.

-Pemakaian laksansia laktulosa diberikan

secara oral dengan dosis 60-120 ml

perhari untuk merangsang defekasi.

Laktulosa merupakan suatu disakarida

sintesis yang tidak diabsorbsi oleh usus

halus, tetapi dihidrolisis oleh bakteri usus

besar, sehingga terjadi lingkungan dengan

pH asam yang akan menghambat

penyerapan amoniak. Selain itu, frekuensi

defekasi bertambah sehingga

memperpendek waktu transit protein di

usus. Penggunaan laktulosa bersama

antibiotika yang tidak absorbsi usus

seperti neomisin, akan memberikan hasil

yang lebih baik.

- Neomisin diberikan 2-4 gram perhari

baik secara oral atau secara enema,

walaupun pemberian oral lebih baik

18

kecuali terdapat tanda-tanda ileus

-Metronidazole 4x250 mg perhari

merupakan alternative.

4. Omeprazole 2x40 mg Pemberian obat tersebut sebagai

pelindung mukosa lambung agar tidak

terjadi perdarahan akibat erosi gastropati

hipertensi porta.

19

BAB IV

KESIMPULAN

Telah kami laporkan sebuah kasus, laki-laki usia 30 tahun dengan

diagnosa sirosis hepatis dengan varises esofagus. Dari anamnesis didapatkan

keluhan utama perut membesar, adanya muntah darah (hematemesis), BAB darah

merah segar (hematoskezia) dan BAB hitam (melena). Pasien memiliki riwayat

merokok dan minum minuman beralkohol. Riwayat BAK berwarna seperti teh

(+). Dari pemeriksaan fisik di dapatkan konjungtiva anemis, sklera ikterik, dari

pemeriksaan abdomen pada inspeksi tampak adanya distensi, hepar dan lien sulit

di evaluasi, ada nyeri tekan pada daerah epigastrium, dari perkusi abdomen

didapatkan asites (+) dengan tes undulasi, terdapat pitting edema pada ekstremitas

inferior. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan hemoglobin 5,6 g/dL

(Anemia), SGOT 95 u/L (meningkat), SGPT 74 u/L (meningkat), albumin 3,36

mg/dl (Hipoalbuminemia), bilirubin direk 0,43 mg/dL (hiperbilirubinemia),

HbsAg (+). Hasil pemeriksaan darah tepi didapatkan aktivasi neutrophil dan

anemia normositik normokromik. Dari pemeriksaan USG abdomen di dapatkan

sirosis hepatis kemungkinan malignan dengan hipertensi portal, varises esofagus

dan asites permagna. Dari pemeriksaan foto thorax PA di temukann efusi pleura

kanan minimal.

Terapi cairan yang didapat pada pasien ini yaitu infus NaCl 0,9% dan

D5%. Untuk mengatasi varises esofagus di berikan terapi asam traneksamat 3 x

500 mg, Vitamin K, Carbazochrome 25 mg (IV drip) dan transfusi darah. Terapi

untuk asites pada pasien ini yaitu parasentesis dan pemberian vip albumin 3x1.

Cefotaxime 3x1 g di berikan pada pasien ini untuk mengurangi jumlah bakteri di

usus yang bisa menyebabkan peritonitis bakterial spontan. Omeprazole 2x40 mg

diberikan sebagai pelindung mukosa lambung agar tidak terjadi perdarahan akibat

erosi gastropati hipertensi porta.

Prognosis pasien Dubia ad malam sebab pada pasien ini terdapat

perdarahan varises esofagus, asites, anemia dan hipoalbuminemia.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Sherlock S, Dooley J. The portal venous system and portal hypertension.

In: Sherlock s, editor. Disease of the liver and biliary system. 11 th ed.

Paris: Blackwell Publishing;2002.p.147-86.

2. Behrman RE dan Vaughn VC. The liver and billiary system. Dalam:

Nelson WE, penyunting. Text book of pediatrics, edisi ke-17.

Philadelphia: Saunders, 2004; 1304-49.

3. Nurdjanah S. Sirosis hati. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th Ed.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 443.

4. Perz JF, Armstrong GL, Farrington LA, Hutin YJF, Bell BP. The

contributions of hepatitis B virus and hepatitis C virus infections to

cirrhosis and primary liver cancer worldwide. Hepatol. 2006;45:529-38.

5. WHO. Viral hepatitis in the WHO South-East Asia region. New Delhi:

WHO; 2011.

6. Setiawan, Poernomo Budi. Sirosis hati. In: Askandar Tjokroprawiro,

PoernomoBoedi Setiawan, et al. Buku Ajar Penyakit Dalam, Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga. 2007. Page 129-136.

7. Garcia-Tsao G, Bosch J. Management of varices and variceas hemorrhage

in cirrhosis. N Engl J Med. 2010;362:823-32.

8. Suk T.K. Revision and Update on clinical practice guideline for liver

cirrhosis. The Korean journal of hepatology 2012;18:1-21

9. De franchis R. Revising consensus in portal hypertension: report of the

Baveno V consensus workshop on methodology of diagnosis and therapy

in portal hypertension. J hepatol 2010;53:762-768

10. Catherine PC, Eric MG, Sanjiv C. Cirrhosis and Portal Hypertension: an

Overview. In: Lawrence SF, Emmel BK, editors. Handbook of liver

disease. 2nd.ed.Philadelphia: Curchill Livingstone;2004.p.125-37.

21