isi jurnal 4 - ejournal-iakn-manado.ac.id

24
59 Jurnal Tumoutou IMPLIKASI PERINTAH KASIHILAH MUSUHMU MENURUT LUKAS 6:27-36 Priscila F. Rampengan Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Manado ABSTRAK Kasihilah Musuhmu merupakan bagian dari khotbah dan pengajaran Yesus di kaki bukit. Kasih terhadap musuh adalah perintah Yesus yang radikal karena mengajarkan kasih dan kemurahan hati yang tak terbatas. Tetapi pada zaman modern ini, kasih telah menjadi suatu hal yang langka untuk dipraktekkan dalam kehidupan jemaat dan masyarakat. Penelitian ini bermaksud untuk meneliti bagaimana implikasi perintah kasihilah musuhmu menurut Lukas 6:27-36, bagi komunitas Lukas dan untuk gereja masa kini. Kasihilah musuhmu yang ditampilkan oleh Lukas 6:27-36, adalah sesuatu yang menarik untuk menjadi berita bagi gereja masa kini, karena berita ini menantang setiap orang-orang Kristen untuk menerapkan kasih terhadap sesama. Tantangan-tantangan pengikut Yesus telah ada sejak zaman penulisan Injil Lukas. Dalam penelitian ini menggunakan studi literatur atau kajian pustaka yang menganalisis data- data dari buku, artikel, majalah yang berkaitan dengan implikasi perintah kasihilah musuhmu menurut Lukas 6:27-36. Juga melakukan pengamatan (observasi) dan wawancara dalam kaitan dengan fenomena yang terjadi sekarang ini. Kata Kunci: Implikasi, Perintah, Kasihilah Musuhmu. PENDAHULUAN Sejak penciptaan alam semesta, kasih Allah telah memenuhi bumi ini. Seluruh kekayaan dibuat oleh Allah untuk menggambarkan kasih-Nya. Hal itu tergambar pada masing-masing tahapan penciptaan-Nya (Kejadian 1: 4, 10, 12, 18, 21, 25, 31), dengan sebuah kalimat “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”. Kalimat itu menyiratkan bahwa, Allah sangat senang dengan apa yang telah dikerjakan-Nya dan telah terbina hubungan yang baik antara Allah dengan ciptaan-Nya. 1 Sekaligus menyatakan kasih providensial Allah berlaku kepada semua yang telah Dia ciptakan. 2 Banyak hal telah dikerjakan Allah sejak dari penciptaan dunia, sebagai perwujudan dari sifat Allah. Seluruh ciptaan-Nya dibentuk dengan kasih dan keakraban yang menyatakan 1 William Dyrness, Tema-tema Teologi Dalam Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2001), h 57 2 Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, Created in God’s Image, (Surabaya : Momentum, 2010), h. 7

Upload: others

Post on 23-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Isi jurnal 4Priscila F. Rampengan Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Manado
ABSTRAK
Kasihilah Musuhmu merupakan bagian dari khotbah dan pengajaran Yesus di kaki bukit. Kasih
terhadap musuh adalah perintah Yesus yang radikal karena mengajarkan kasih dan kemurahan hati yang tak terbatas. Tetapi pada zaman modern ini, kasih telah menjadi suatu hal yang langka untuk dipraktekkan dalam kehidupan jemaat dan masyarakat.
Penelitian ini bermaksud untuk meneliti bagaimana implikasi perintah kasihilah musuhmu menurut Lukas 6:27-36, bagi komunitas Lukas dan untuk gereja masa kini. Kasihilah musuhmu yang ditampilkan oleh Lukas 6:27-36, adalah sesuatu yang menarik untuk menjadi berita bagi gereja masa kini, karena berita ini menantang setiap orang-orang Kristen untuk menerapkan kasih terhadap sesama. Tantangan-tantangan pengikut Yesus telah ada sejak zaman penulisan Injil Lukas.
Dalam penelitian ini menggunakan studi literatur atau kajian pustaka yang menganalisis data- data dari buku, artikel, majalah yang berkaitan dengan implikasi perintah kasihilah musuhmu menurut Lukas 6:27-36. Juga melakukan pengamatan (observasi) dan wawancara dalam kaitan dengan fenomena yang terjadi sekarang ini.
Kata Kunci: Implikasi, Perintah, Kasihilah Musuhmu.
PENDAHULUAN
Sejak penciptaan alam semesta, kasih Allah telah memenuhi bumi ini. Seluruh
kekayaan dibuat oleh Allah untuk menggambarkan kasih-Nya. Hal itu tergambar pada
masing-masing tahapan penciptaan-Nya (Kejadian 1: 4, 10, 12, 18, 21, 25, 31), dengan
sebuah kalimat “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”. Kalimat itu menyiratkan bahwa, Allah sangat senang dengan apa yang telah dikerjakan-Nya dan telah terbina hubungan
yang baik antara Allah dengan ciptaan-Nya.1 Sekaligus menyatakan kasih providensial Allah
berlaku kepada semua yang telah Dia ciptakan.2
Banyak hal telah dikerjakan Allah sejak dari penciptaan dunia, sebagai perwujudan
dari sifat Allah. Seluruh ciptaan-Nya dibentuk dengan kasih dan keakraban yang menyatakan
1 William Dyrness, Tema-tema Teologi Dalam Perjanjian Lama, (Malang: Gandum
Mas, 2001), h 57 2 Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, Created in God’s
Image, (Surabaya : Momentum, 2010), h. 7
60
perhatian-Nya dan Allah menyatakan itu sebagai pengungkapan yang layak, dengan
menyebutnya “sungguh amat baik” (Kejadian 1:31).3 Kalimat “sungguh amat baik”, hendak
memberi arti bahwa Allah sudah menyelesaikan seluruh pekerjaan-Nya dengan amat baik,
memberkatinya, lalu Ia beristirahat.
Demikian pula, ketika Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan menurut
gambar-Nya,4 frasa “gambar dan rupa Allah” mengartikan bahwa manusia dibuat hampir
seperti Allah, sehingga manusia disebut sebagai mahkota ciptaan.5 Secara singkat dapat
dikatakan, bahwa gambar Allah menunjuk kepada keberadaan manusia yang berkepribadian dan bertanggungjawab di hadapan Allah, yang mengenal dan mengasihi Dia dalam segala
perbuatan. Demikian sebaliknya, karena kasih Allah kepada manusia sebagai ciptaan-Nya,
Allah telah memperkaya bumi ini dengan berbagai sumber alam, semuanya itu disediakan
untuk kemajuan dan kelangsungan hidup manusia.
Dalam Perjanjian Lama, banyak aturan yang mengatur soal hubungan antar manusia
dengan orang lain, berlandaskan kasih (Imamat 17:18-19). Hal yang sama dilakukan Yesus,
ketika Ia hadir di tengah-tengah dunia ini, kasihlah yang mendasari akan setiap pelayanan-
Nya. Yesus memerintahkan untuk mengasihi sesama manusia. Bahkan, yang lebih radikal, musuh pun tercakup dalam mereka yang harus dikasihi. Yesus menerapkan suatu hukum
kasih yang universal, yaitu mencakup musuh-musuh. Dengan mengesampingkan hukum
kasih yang terbatas, yang hanya meliputi orang sekeluarga, sesuku, sebangsa dan
seagama.6
Bangsa Indonesia merupakan negara majemuk, yang terdiri dari berbagai suku
bangsa, agama maupun aliran kepercayaan. Dalam perjalanannya, masalah kegamaan
seolah tak pernah lepas dari polemik. Sejumlah kasus pertikaian yang pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia tak sedikit yang bernuansa SARA, seperti konflik horizontal di
Poso, Maluku Utara dilatarbelakangi oleh isu SARA.7 Akibatnya, tak sedikit nyawa melayang.
Yang menyedihkan, pertikaian itu kerap berlangsung bertahun tahun.
Selanjutnya, dalam beberapa tahun terakhir ini, konflik antar negara yang terkait
dengan hak asasi manusia telah mewarnai dan menjadi isu hangat dalam perjalanan
3 William Dyrness, Tema-tema Teologi Dalam Perjanjian Lama, 2001, h. 12 4 Kejadian 1:27 5 Bob Moffitt dan Karla Tesch, If Jesus Were Mayor-Transformation and The Local
Church, (India: Harvest, 2005), h. 76 6 Henk Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006), h. 35 7 Andreas A. Yewangoe, Menjadi Mitra Allah: Gereja Dan Kerukunan Umat
Beragama, (Jakarta: GKI Kwitang, 2004), h. 121
61
bangsa-bangsa. Yang paling mutakhir saat ini adalah konflik Israel dan Palestina, yang
menambah duka panjang penderitaan umat manusia di muka bumi ini. Ditambah lagi dengan
perselisihan, pertikaian antar perorangan. Menyikapi hal-hal di atas, muncul suatu
pertanyaan: Mengapa ini terjadi? apakah ini mengindikasikan bahwa tidak ada kasih di dunia
ini?. Pada zaman modern ini, nilai-nilai kemurahan hati semakin terkikis. Simpati, empati dan
pengampunan menjadi suatu hal yang langka. Begitu juga semakin tinggi tingkat
pembalasan dendam. Semakin berkembangnya teknologi, dan peradaban tidak diimbangi
oleh perkembangan moral dan kasih, sehingga hal itulah yang terjadi di zaman modern ini. Melihat persoalan-persoalan yang ada, orang Kristen justru diperhadapkan pada
hukum kasih yang Yesus ajarkan yaitu mengasihi musuh dan mereka yang menganiaya,
berbuat baik terhadap mereka yang membenci, memberkati mereka yang mengutuki, dan
berdoa bagi mereka yang mencaci kita (Lukas 6:27).8
Mengasihi musuh dan mendoakan orang yang menganiaya, memang terasa
mengawang jauh dari kenyataan. Muncul suatu pertanyaan, realistiskah ajaran Yesus untuk
konteks sekarang bagi dunia yang sarat dengan pembalasan, kejahatan yang dibalas
dengan kejahatan? Sangat sulit memang untuk menerapkannya, namun kesaksian Alkitab menunjukkan, hal itu sudah dilakukan oleh Yesus, melalui kasih dan pengampunan-Nya
bahkan mati disalibkan termasuk untuk mereka yang menganiaya Dia (Luk. 23:34). Hal yang
sama pun dilakukan oleh Stefanus pada waktu ia dirajam (Kis 7:60), dan oleh Paulus ketika
dianiaya (1Kor 4:12-13).
Dalam pelayanan dan pengajaran-Nya selalu berorientasi pada kasih. Kehadiran
Yesus Kristus di dalam dunia adalah untuk membawa harapan-harapan baru dimana
terdapat kedamaian, keadilan dan pelayanan kasih, sambil bersaksi demi Injil tentang keselamatan masa kini dan pengharapan masa depan.9 Dengan tidak memandang apakah
kaya atau miskin, diterima masyarakat atau tidak, laki-laki atau perempuan,10 itu semua
tidaklah penting. Misi Yesus kepada semua orang adalah agar mereka menerima kabar baik
tentang kerajaan Allah yang sudah datang.11
Dalam pelayanan-Nya Yesus banyak kali berdialog, tetapi juga sering berkonfrontasi
dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, yang mempunyai pandangan hidup yang
8 Henk Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006), h. 35 9 David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001), h.
784 10 R. T. France, Yesus Sang Radikal, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h.80 11 Ibid.
62
Jurnal Tumoutou
begitu terikat pada hukum Taurat secara harfiah, kaku dan legalistic.12 Seperti hukum yang
menyatakan, mata ganti mata, gigi ganti gigi (bdk.Mat.5:38). Hampir dapat dipastikan bahwa
pada zaman Yesus, praktek pembalasan harfiah atas kerusakan telah diganti dalam praktek
hukum Yahudi dengan denda atau uang “ganti rugi”.13 Bagi Yesus, kasih adalah yang
terutama. Kewajiban kita terhadap orang-orang yang berbuat jahat kepada kita, bukanlah
membalas setimpal dengan perbuatannya, melainkan menghadapi ketidakadilan itu tanpa
membalas atau menuntut ganti rugi (band. Mat 5: 39).14 Sebagaimana wujud gambar Allah
dalam diri manusia sebagai pribadi yang bertanggungjawab di hadapan Allah yaitu dengan mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, bahkan mengasihi
musuh (bdk.Rm 12:17-21).
Pemahaman dan penghayatan yang keliru terhadap kasih, menjadi salah satu sebab
terciptanya pembalasan-pembalasan dendam pribadi yang berujung pada tindakan-tindakan
kekerasan. Tetapi sebaliknya, pemahaman dan penghayatan yang tepat tentang kasih, akan
memberikan perspektif yang tepat dalam berelasi dengan sesama berlandaskan kasih.
Injil Lukas adalah salah satu kitab yang termasuk dalam Injil Sinoptik. Lukas berdiri
sejajar dengan kitab-kitab Injil lainnya sebagai karya yang dilihat memiliki kesejajaran literer dengan tiga karya Injil lainnya (Matius, Markus dan Yohanes) yang bertemakan kabar baik
(euanggelion), namun Lukaslah yang paling dominan mencirikan perbedaan mencolok yang
menjadikan Injil ini sedikit berbeda dengan kitab Injil lainnya. Hal ini nampak dalam tulisan
Lukas yang memberikan perhatian khusus terhadap masalah kaya-miskin, Yesus
memperhatikan orang-orang lemah, miskin dan sesat termasuk kaum perempuan.
Tema Lukas tentang kasih terhadap musuh, berkaitan langsung dengan situasi dan
kondisi konkrit jemaatnya. Komunitas Lukas berada di bawah penindasan Kaisar Domitianus sebagai penguasa Romawi yang memerintah sekitar 15 tahun lamanya.15 Kaisar ini terkenal
sangat kejam. Pada masa pemerintahannya, seluruh warga Romawi termasuk orang Kristen
di dalamnya, dipaksa untuk menyembah kaisar sebagai Tuhan. Bagi jemaat yang menolak
untuk memberi persembahan kepada patung-patung atau menyembah dewa, merekalah
yang mengalami penderitaan, dianiaya, dibunuh, dibantai bahkan dibakar hidup-hidup.16
12 David Iman Santoso, Theologi Lukas, (Malang: Literatur SAAT, 2010), h. 37 13 John R. W. Stott, Khotbah Di Bukit, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2008), h. 148 14 Ibid, h. 149 15 Charles Ludwig, Para Penguasa Pada Zaman Perjanjian Baru, (Bandung: Kalam
Hidup, 1997), h. 101 16 J. Stambaugh dan D. Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2001), h. 49
63
atas, kemudian berkaitan dengan komunitas Lukas pada jemaat mula-mula yang mengalami
penindasan, menghentar peneliti untuk menyoroti apa dan bagaimana makna kasihilah
musuhmu menurut tulisan Lukas. Semasa pelayanan di dunia, Yesus telah mengajarkan
ajaran yang baru dan revolusioner. Yesus mengajarkan tentang kasih yang radikal. Kasih
yang berkorban, dan kasih yang memberi serta tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.
Kasih yang Yesus ajarkan tidak memandang siapa dan apa latar belakang dari orang
yang menerima kasih itu. Yesus mengajarkan untuk mengasihi baik orang jahat maupun orang baik. Jikalau hanya mengasihi orang yang baik dan mengasihi kita, apakah jasanya?
Apakah perbedaannya dengan orang jahat? Sebab orang jahat juga melakukan hal itu.
Sebaliknya dalam pengajaran ini, Yesus menekankan kasih yang radikal yaitu bagaimana
cinta, belas kasih dan pengampunan itu diberikan kepada musuh atau orang yang berbuat
jahat.
Berhubungan dengan fenomena yang digambarkan di atas, maka peneliti memilih
Lukas 6:27-36 sebagai pokok penelitian. Peneliti memilih bagian ini untuk memahami makna
berita kasihilah musuhmu. Melihat latar belakang tersebut, maka peneliti terinspirasi dan termotivasi untuk mengkaji secara mendalam penelitian ini dengan judul: “Implikasi Perintah Kasihilah Musuhmu Menurut Lukas 6 : 27 – 36”.
A. PENGERTIAN “KASIHILAH MUSUH”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kasih berarti perasaan sayang, cinta, menaruh belas kasihan. Dan mengasihi berarti menaruh kasih kepada -- ; mencintai;
menyayangi.17 Elizabeth Moberly, yang dikutip oleh John Stott, mendefinisikan kasih sebagai suatu
tindakan dari seseorang yang mendatangkan kegembiraan dengan melakukan pengorbanan
diri demi kebaikan orang yang dikasihi. Kasih merupakan kebutuhan pokok yang paling
besar dan satu-satunya solusi yang benar, sebab kasih yang didasari oleh kasih Kristus itu
menyembuhkan dan menyelamatkan.18 Seorang filsuf besar Yunani kuno, yaitu Plato dalam teks filosofisnya yang
diterjemahkan oleh Benjamin Jowett, mendefinisikan “Love is of something, and that which
17 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2007, h. 512 18 John Stott, Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani, (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000), h. 454
64
Jurnal Tumoutou
love desires is not that which love is or has; for no man desires that which he is or has. And
love is of the beautiful, and therefore has not the beautiful. And the beautiful is the good, and
therefore, in wanting and desiring the beautiful, love also wants and desires the good.” Cinta
kasih adalah sesuatu, dan keinginan cinta adalah tidak mencintai atau memiliki, karena tidak
seorangpun yang memiliki. Dan cinta kasih berasal dari keindahan, dan karena itu belum
tentu indah. Dan yang indah adalah baik, oleh karena itu, dalam memerlukan dan
menginginkan yang indah, cinta juga perlu dan ingin yang baik.19 Plato mendefinisikan
demikian, sebab cinta kasih platonik itu memiliki sifat tanpa pamrih, “aku bahagia karena kau
bahagia”, dan sekalipun aku mencintaimu, aku tidak harus memilikimu. Jadi, konsep cinta
kasih yang diusung oleh Plato ini merupakan cinta kasih abadi yang mencapai hakikat cinta
secara maksimal.
A. B. Susanto menegaskan bahwa sebagai makhluk sosial, manusia diharapkan
dapat mengembangkan sikap hidup yang penuh kasih dengan memandang manusia lain
sama seperti diri sendiri, kasih berarti mengembangkan pola hidup tolong menolong, karena
pada dasarnya hidup manusia memiliki keterkaitan dengan manusia lainnya, dan terdapat
adanya unsur yang saling mempengaruhi, saling melengkapi, dan saling mengisi.20 Karena itu, R. T. France menyimpulkan bahwa kasih merupakan unsur utama yang menentukan
keutamaan hidup seseorang dan menjadi landasan utama dari setiap aktivitas manusia.
Segala sesuatu yang dikerjakan jika tidak dilandaskan dengan kasih maka tidak akan ada
gunanya. Sebab, cinta kasih dan rasa iba tidak memperhitungkan keuntungan.21
Vernon Grounds mendefinisikan kasih bukan hanya sekedar emosi tetapi suatu sikap
yang menuju tindakan konstruktif.22 Oswald Hoffman, mendefinisikan hakikat kasih adalah
tindakan pembebasan dan pemerdekaan, bukan penguasaan apalagi penindasan. Kasih adalah sanggup memperhatikan seseorang ketika reaksi kita sebenarnya tidak baik atau
bahkan sangat menyakitkan. Kita mengasihi karena Allah telah terlebih dahulu mengasihi
kita. Jikalau memiliki iman dalam Kristus, yang mengasihi dan tidak pernah berhenti
mengasihi, maka kita bisa melakukan untuk orang lain apa yang telah Kristus perbuat untuk
kita.23
19 Plato, Symposium, Translated with an introduction by Benjamin Jowett, (Australia:
Adelaide, 1995), h. 10 (http://www.google.com) 20 A. B. Susanto, Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin, (Yogyakarta: ANDI,
2006), h. 11 21 R. T. France, Yesus Sang Radikal, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 84 22 Pola Hidup Kristen, (Surabaya: Gandum Mas, 2010), h. 330 23 Ibid, h. 340
65
Jurnal Tumoutou
Lloyd Cory, comp, Quote Unquote, Wheaton: Victor Books, seperti yang dikutip
Charles Galloway memberikan definisi tentang kasih sebagai berikut:
Kasih adalah kesediaan mengambil resiko, rela meninggalkan kenikmatan diri sendiri guna menjangkau dan melayani orang lain. Kebutuhan untuk mengasihi dan dikasihi merupakan keinginan paling sederhana dari semua manusia. Manusia memerlukan kasih seperti ia memerlukan matahari dan hujan. Ia akan binasa tanpa hal itu. Kerinduan utamanya adalah dikasihi dan bisa mengasihi. Tidak ada kebutuhan lain yang benar-benar demikian berarti bagi kodrat hidupnya.24
Istilah kasih bisa bermakna luas, bukan hanya antara manusia dengan manusia, tetapi juga
antara Tuhan dengan manusia. Colin Brown, “International Dictionary” menunjukkan kasih
dalam terjemahan bahasa Ibrani ’ahèv ; can refer to both persons and things, and
denotes first men’s relationship with each other, and secondly God’s relationship with man. Penggunaan kata ini memiliki pengertian yang luas, menunjukkan hubungan yang paling
akrab dan dekat, bisa kepada orang dan benda, pertama hubungan manusia dengan orang
lain, kedua hubungan yang Ilahi dengan manusia.25 Kata ini juga digunakan untuk
menyatakan hubungan-hubungan pribadi tanpa ada kaitan dengan dorongan seksual,
misalnya kasih orang tua kepada anaknya (Kej. 22:2; 37:3).26
Kata ds,x, “ese“ dipahami sebagai kasih setia, kasih perjanjian, atau kasih yang
tetap. Dalam Perjanjian Lama, kata ini banyak di temui dalam Kitab Mazmur misalnya
Mazmur 144:2 (kubu pertahananku dan kota bentengku), untuk menyatakan kemurahan
Allah. Apabila kata ini digunakan dalam hubungannya dengan Allah, maka ia menunjukkan
anugerah, kasih setia dan kebaikan hati tanpa mempedulikan jasa, bila digunakan dalam
hubungannya dengan manusia, maka ia berarti kesalehan atau kesetiaan.27 Kemurahan Allah dinyatakan Ia adalah Bapa bagi anak yatim (Mazmur 86:6), Ia menghajar anak-anak-
Nya (Ulangan 8:5; Amsal 3:12), Ia membimbing sebagai seorang gembala (Kejadian 48:15;
Mazmur 23). Dengan demikian, kasih setia atau kemurahan Allah bersifat universal, karena
kasih Allah itu tidak dapat dibatasi oleh apa pun, tetapi hanya oleh kehendak dan sifat Allah
sendiri.28
24 Charles Galloway, Arti Kasih; Pola Hidup Kristen, (Surabaya: Gandum Mas, 2010),
h. 364 25 Colin Brown, The New International Dictionary Of New Testament Theology (ed)
Volume 2, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1986), h. 539 26 D. J. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L, (Yayasan Komunikasi Bina
kasih/OMF, 1999), h. 524 27 Norman. H. Snaith, The Dinstinctive Ideas Of The Old Testament, (New York:
Schocken, 1964), h. 94-95 28 William Dyrness, Tema-tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum
Mas, 2009), h. 43
Jurnal Tumoutou
Dalam Perjanjian Baru ada empat kata dalam bahasa Yunani yang dipakai untuk
menerangkan tentang kasih, yaitu :
Eros, ρως adalah cinta yang penuh gairah, sensual yang menginginkan orang lain
untuk dirinya sendiri. Eros berarti gairah secara seksual, baik kenikmatan maupun
pemuasannya. Kata ini tersirat dalam ayat dan satu-satunya makna kasih yang terbatas
pada hubungan lelaki dan perempuan dalam suatu ikatan pernikahan.29
Storge, στοργ adalah kasih sayang alami, kasih dalam keluarga oleh ikatan alami
melalui hubungan darah antara orang tua dan anak.30
Philia, φιλα adalah kasih timbal balik, persahabatan, dan simpati (rasa senang
kepada orang lain) terhadap sahabat-sahabat, seperti hubungan persahabatan antara Daud
dan Yonatan. Philia adalah didorong oleh alasan praktis, salah satu atau kedua belah pihak
mendapatkan keuntungan dari hubungan. Philia sering dipakai dalam Perjanjian Baru sebagai pilihan lain pengganti γαπω “agapaô”. Kata ini digunakan untuk menggambarkan
kasih yang akrab (Yoh. 11:3, 36; Why. 3:19).31
Agape, γπη “agap”, γαπω “agapa”. Kata ini digunakan untuk
menggambarkan kasih Allah kepada manusia, kasih manusia kepada Allah dan kasih
manusia kepada sesamanya.32 Kata “agap” adalah kasih yang paling tinggi dan paling
mulia, yang melihat suatu nilai tak terbalas pada objek kasihnya.33 Agape adalah cinta yang
berbeda, yang memilih objek secara bebas. Cinta itu aktif, bukan cinta mencari jati diri. Hal
ini biasanya mengacu pada jenis kasih yang murni, bukan pada atraksi fisik yang diusulkan
oleh Eros. Kasih Allah yang rela berkorban yang menginginkan keselamatan dan
kesejahteraan manusia. Kasih agape dapat membawa unsur simpati, bekerja untuk
memberikan kebaikan bagi orang lain tanpa memperdulikan apa yang dirasakannya sendiri. Kasih yang aktif dan tidak mencari keuntungan diri sendiri.34
29 Gerhard Kittel And Gerhard Friedrich, Theological Dictionary Of The New
Testament (ed), (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1985),h. 6, Lihat Colin Brown, The New International Dictionary Of New Testament Theology (ed) Volume 2, 1986, h. 541, D. A. Carson, Doktrin Yang Sulit Mengenai Kasih Allah, (Surabaya: Momentum, 2010), h.24
30 Ibid. 31 D. J. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L, h. 525, Gerhard Kittel And
Gerhard Friedrich, Ibid, Colin Brown, Ibid, h. 543 32 Colin Brown, Ibid. D. A. Carson, Doktrin Yang Sulit Mengenai Kasih Allah, 2010,
h. 24 33 Ibid. 34 Gerhard Kittel And Gerhard Friedrich, Theological Dictionary Of The New
Testament (ed), 1985, h. 8
67
Dalam bahasa Yunani χθρς “ekhthrus”, biasanya menunjuk kepada musuh
pribadi atau musuh secara nasional. Musuh adalah istilah untuk sesuatu yang dipandang dapat merugikan atau menjadi sebuah ancaman bagi yang lain atau bangsa. Lawan dari
Israel atau raja, musuh keadilan dan menunjuk kepada musuh Allah (Keluaran 23:22). 35
Kasihilah musuhmu adalah perintah Yesus yang radikal ditujukan bagi para pengikut-
Nya untuk mengasihi musuh. Jonar Situmorang mendefinisikan, radikal adalah berpikir
sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai pada konsekuensi yang terakhir;
tidak separu-paruh, tidak berhenti di jalan, tapi terus sampai ke ujungnya.36 Kasih atau
mengasihi musuh sangat berkaitan erat dengan hal mengampuni. Hannah Arendt seperti
yang dikutip oleh Lucien Van Liere, memberikan definisi pengampunan sebagai tindakan
yang dibawa oleh cinta kasih. Orang tak mungkin mengasihi tanpa mau mengampuni.37
B. KITAB LUKAS 1. Penulis
Di kalangan para ahli Perjanjian Baru, Lukas diyakini sebagai penulis Injil ini. Pada
awalnya, Injil Lukas bersama dengan Kisah Para Rasul, beredar tanpa nama. Nanti sekitar
abad ke-2 M, nama Lukas mulai disebutkan.38 Tradisi Kristen mula-mula mengatakan bahwa
Injil ketiga di tulis oleh seorang non-Yahudi berbahasa Yunani. Orang ini bernama Lukas.39
Selain itu, banyak ahli Perjanjian Baru yang sepakat bahwa penulis Injil Lukas adalah Lukas sendiri. Berbagai hal dikemukakan untuk mengungkap siapakah Lukas yang sebenarnya
yang menjadi pengarang kitab Lukas.
2. Waktu dan Tempat Penulisan Banyak pendapat yang berbeda dari para ahli Perjanjian Baru soal penentuan waktu
penulisan Injil Lukas. Tetapi sebaliknya terdapat kesepakatan mutlak di antara para ahli Perjanjian Baru bahwa penulis Injil Lukas (dan Kisah Para Rasul) hidup pada akhir abad
pertama karena ia juga menyinggung soal kematian Paulus (Kis 20:25, 38; 21:13).40
35 Gerhard Kittel And Gerhard Friedrich, Theological Dictionary Of The New
Testament (ed), 1985, h. 285 36 Jonar Situmorang,Filsafat Dalam Terang Iman Kristen,(Yogyakarta:ANDI,2004),h.2 37 Lucien Van Liere, Memutus Rantai Kekerasan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2010), h. 114 38 Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Vol. I, (Surabaya: Momentum, 2010),
h. 92 39 David L.Bartlett, Pelayanan PB, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), h. 148 40 Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru; Sejarah, Pengantar dan Pokok-pokok
Teologisnya, 2010, h. 292
Jurnal Tumoutou
Mengenai tempat penulisan Injil Lukas ditulis tidak diketahui secara pasti. Tapi ada beberapa
tempat yang direkomendasikan sebagai tempat penulisan Injil Lukas. Secara tradisi
menyebutkan ada tiga tempat yaitu Kaisarea, Akhaya dan Roma,41 merupakan beberapa
nama kota yang diduga menjadi tempat Injil ini dituliskan. Yang dapat dipastikan adalah Injil
ini dituliskan di luar Palestina tetapi mengenai lokasinya sulit ditentukan. Marxen
berpendapat bahwa Injil Lukas ditulis bukan di Palestina karena tujuannya kepada pembaca
Yunani.42
3. Penerima Di awal kitab Lukas telah disebutkan nama “Teofilus” yang menjadi tujuan tulisan
Lukas. Ia adalah seorang bukan Yahudi yang masuk Kristen, sama seperti Lukas.43 Teofilus
lebih dikenal dikalangan orang Yunani-Romawi, daripada di kalangan orang Yahudi. Oleh
Lukas Teofilus di sapa dengan “Yang Mulia” kratiste, κρτιστε (Luk 1:1 bdk. Kis 1:1), sebagai
gelar kehormatan, yang mengindikasikan tingkatan sosial.44 Teofilus adalah seorang yang
terkemuka dan berkedudukan tinggi, memiliki suatu posisi atau jabatan penting di kekaisaran
Romawi.
d. Komunitas Kitab Komunitas Lukas adalah jemaat kota Roma atau jemaat di pinggiran kota Roma
yang sedang menghadapi pergumulan. Pada tahun-tahun penulisan Injil Lukas, pada akhir
abad pertama (sekitar tahun 80-90) Kaisar Domitianus adalah penguasa Romawi yang
memerintah sekitar 15 tahun lamanya (antara tahun 81-96).45 Dalam masa pemerintahannya
orang-orang Kristen berada dalam posisi terhimpit di bawah tekanan bahkan penindasan dari penguasa. Bagi seluruh warga kekaisaran Romawi termasuk orang-orang Kristen di
dalamnya, Domitianus mengharuskan mereka untuk menyembah dia sebagai tuhan. Dia
menyebut dirinya sendiri sebagai “Dominus et Deus” (Tuhan dan Allah).46 Memang mereka
dapat saja menghormati penguasa dan berdoa baginya namun mereka tidak dapat
41 Ibid, h. 291 42 Willi Marxen, Pengantar Perjanjian Baru; Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-
masalahnya, 1996, h. 194 43 Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru; Sejarah, Pengantar dan Pokok-pokok
Teologisnya, 2010, h. 292 44 Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Vol. I, 2010, h. 87 45 Charles Ludwig, Para Penguasa Pada Zaman Perjanjian Baru, (Bandung: Kalam
Hidup, 1997), h. 101 46 Dominus adalah satu kata Latin yang biasanya digunakan oleh seorang budak
untuk menyapa tuannya. Istilah ini (dominus) “tuanku, Tuhan” dipakai orang Kristen untuk menerjemahkan kata Yunani kyrios (Tuhan), yang juga dipakai dalam LXX.
69
Jurnal Tumoutou
membakar dupa bagi patungnya atau tidak ikut serta dalam memberikan kurban.47 Pilihan-
pilihan yang demikian membawa orang-orang Kristen pada dilematis, sebab di satu pihak
mereka mencoba taat kepada pemerintah tetapi di lain pihak mereka diperhadapkan pada
pilihan untuk percaya kepada Allah.48 Domitianus tidak memiliki toleransi terhadap agama
lain. Barangsiapa yang menolak pemujaan terhadap kaisar, dituduh sebagai seorang yang
“atheis”. Mereka dianggap sebagai penyebab kekacauan dalam pemerintahan maupun
dalam masyarakat, akibatnya mereka dianiaya, dibunuh, dibantai bahkan dibakar hidup-
hidup.49 Selain tantangan diatas, ada juga persoalan yang membuat sehingga banyak orang Kristen ditindas dan dianiaya, kekristenan lahir di kalangan orang Yahudi dan pada mulanya
orang-orang Romawi menganggap orang-orang Kristen sebagai sekte (aliran) kaum
Yahudi.50 e. Tujuan Kitab Lukas
Lukas mau memberitakan serta menyampaikan kabar baik, berita sukacita dari
Yesus berlaku bagi semua orang. Teristimewa mereka yang dililit oleh kemiskinan, mereka
yang buta, tertindas sampai pemungut cukai dan orang-orang berdosa bahwa pembebasan
sudah dekat, sebab kasih Allah merambak sampai ke golongan-golongan masyarakat yang paling rendah. Melalui kedatangan Yesus orang-orang miskin berbahagia karena Yesus
membuka suatu harapan masa depan yang baru. Lukas menyusun Injil ini supaya kasih
Allah betul-betul dialami tidak hanya sekelompok orang tetapi dialami oleh semua orang,
sampai pada tingkat masyarakat terendah sekalipun. Lukas mau memberi penekanan bahwa
Yesus adalah sahabat untuk orang-orang yang rendah. Lukas berupaya mendorong
komunitasnya supaya memiliki peneguhan iman agar mereka dapat melakukan segala
sesuatu sesuai dengan pengajaran-pengajaran yang Yesus berikan. Keselamatan yang Yesus berikan bersifat universal. Yesus hadir di dalam dunia dengan tidak memandang
status seseorang, apakah kaya atau miskin, perempuan atau anak-anak, semua suku
bangsa diperhatikan Yesus dalam karya keselamatan-Nya. Bahkan di tengah-tengah
pergumulan jemaatnya, Lukas menasihatkan agar supaya mereka tetap menunjukkan
identitas dan karakter mereka sebagai orang-orang Kristen/pengikut Yesus.
47 John Staumbagh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), h. 49 48 Charles Ludwig, Para Penguasa Pada zaman perjanjian Baru, 1997, h. 96 49 John Staumbagh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula,2008.h.63 50 Ibid.
70
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN LUKAS 6 : 27 – 36
Yunani (Ayat 27) : Αλλ μν λγω τος κοουσιν, γαπτε τος χθρος μν καλς
ποιετε τος μισοσιν μς. Terjemahan : Tetapi Aku berkata kepada kalian yang sedang mendengarkan, hendaklah
kalian mengasihi musuh-musuh kamu, hendaklah kalian berbuat baik
kepada orang-orang yang membenci kamu.
Ayat ini diawali dengan kata Αλλ (alla) “tetapi”, sebagai kata penghubung yang
berfungsi untuk menunjukkan adanya perbedaan antara ayat-ayat terdahulu yakni ayat 20-26
berupa ucapan bahagia yang diikuti oleh ucapan celakalah dan mengarah kepada nasib
buruk yang akan menimpa orang-orang kaya, yang kenyang, yang tertawa dan dipuji, dengan apa yang dikatakan Yesus dalam ayat ini yakni perintah kasihilah musuhmu.
Perintah Yesus ini merupakan bagian dari khotbah Yesus di kaki bukit sekaligus mengawali
pengajaran Yesus yang lain tentang “Kasihilah Musuhmu”. Stott menyebutnya “Khotbah di
Padang” karena khotbah itu diucapkan di suatu tempat yang datar.51 Hal yang sama
dikemukakan Fitzmyer dengan menyebutnya “The Sermon On The Plain”.52 Kieser
menyebutkan sebagai “Khotbah di Ladang”.53 Menurut Boland pemberitaan dan pengajaran
Yesus diberikan di kaki bukit.54 Ayat 20-26 menjadi suatu kata-kata pembuka dan ayat 27-36 menjadi suatu asas dan petunjuk untuk hidup secara Kristen yaitu hidup sebagai warga
kerajaan Allah.55
Perkataan Yesus ini ditujukan kepada orang banyak yang berkumpul dan
mendengarkan perkataan Yesus pada waktu itu. Sebelumnya, mereka telah mendengarkan
pengajaran-pengajaran Yesus yang lain. Fitzmyer mengatakan: “Whereas the latter is
addressed to “the crowds” and to “his disciples”. It epitomizes for him the instruction that
Jesus gives to these persons, who are to become the witnesses of preaching, teaching, and
healing.” Perintah atau pengajaran ini di tujukan kepada perkumpulan orang banyak dan murid-murid-Nya, yang telah menjadi saksi mata atas khotbah, pengajaran dan pemulihan-
51 John Stott, Khotbah Di Bukit, (Jakarta: YKBK, 2005), h. 25 52 Joseph A. Fitzmyer, The Anchor Bible, The Gospel According To Luke I-IX Vol. 28
(New York: Doubleday & Company. Inc. Garden City, 1981), h. 625 53 Bernhard Kieser S. J, Moral Dasar; Kaitan Iman dan Perbuatan, (Yogyakarta:
Kanisius 1994), h. 55 54 B. J. Boland, Tafsiran Injil Lukas, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008), h. 154 55 Ibid.
71
Jurnal Tumoutou
Nya, serta setia mengikuti Yesus di setiap tempat dimana Ia mengajar.56 Mereka yang akan
menjadi saksi kunci, sebagai penjamin tradisi dan ajaran Kristen (band. Kis.1:21-22).
Pengikut dan pendengar khotbah Yesus itu datang dari seluruh Yudea, dari Yerusalem, dan
dari daerah pantai Tirus dan Sidon.57
Dalam kalimat ini memiliki dua kata kerja utama sebagai bentuk kata kerja orang
kedua plural imperatif present aktif yakni γαπτε (agapate) “hendaklah kalian mengasihi
terus menerus” dan ποιετε (poieite) “hendaklah kalian berbuat baik terus menerus” yang
ditujukan kepada “musuh” χθρος (ekhthrus). Modus imperatif present disini dipakai untuk
merumuskan perintah atau permintaan yang berkelanjutan atau secara terus menerus.
Dengan demikian, hendak menegaskan bahwa di satu sisi khotbah Yesus ini dipahami
sebagai perintah yang tegas dan tanpa tawar menawar, tetapi di sisi lain ini juga adalah
himbauan, harapan dan permohonan moral yang di tujukan Yesus kepada orang banyak dan para murid, supaya mereka dapat menyimak setiap perkataan dan memperhatikan dengan
sungguh tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari dengan sesama agar mereka
terlepas dari tindakan-tindakan bermusuhan dan sifat yang membenci.58 Kalimat “γαπτε τος χθρος μν” memiliki bagian paralel dalam Matius 5:44.
Bandingkan dengan Matius 5:43-44 "Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu
manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu....”
Terjemahan New International Version (1984): “You have heard that it was said, “Love your
neighbor and hate your enemy. But I tell you: Love your enemies...” (Kamu telah mendengar
bahwa dikatakan: “Kasihilah sesamamu dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: kasihilah musuhmu...). Menurut Francis Wright Beare, “that it was said”, tidak
menunjuk pada kata-kata Allah dalam Perjanjian Lama, tetapi bisa menunjuk pada kata-
kata/penafsiran para ahli-ahli Taurat. Karena naskah yang berbeda dan versi telah
ditambahkan satu atau lebih dari beberapa klausal setelah “kasihilah musuhmu”.59 Namun
menurut Abineno, bahwa bagian kalimat “bencilah musuhmu” tidak berasal dari Yesus, tetapi
baru ditambahkan kemudian oleh Matius.60 Memang pada masa pelayanan Yesus, Ia sering
56 Joseph A. Fitzmyer, The Anchor Bible, The Gospel According To Luke I-IX Vol. 28,
1981, h. 627 57 Ibid, h. 166 58 Leon Morris, The Tyndale New Testament Commentaries, The Gospel According
To Luke, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company Grand Rapids, Cambridge U.K, 1974), h. 129
59 Band. Francis Wright Beare, A Commentary The Gospel According To Matthew, (Oxford: Basil Blackwell Publisher, 1981), h. 160
60 J. L. Ch. Abineno, Khotbah di Bukit, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), h. 93
72
bersinggungan dengan ahli Taurat dan orang-orang Farisi dalam menafsirkan Taurat
mengenai sikap hidup mereka kepada sesama.61 Hukum kasih kepada sesama manusia
ditafsirkan dalam konteks bangsa Israel yang hanya menganggap orang-orang sebangsanya
saja adalah sesamanya (Im.19:18), sedangkan bangsa-bangsa lain bukanlah sesama
melainkan musuh yang harus dibenci (band.Mat 5:43). Yesus menolak pandangan tentang
sesama yang eksklusif ini karena bangsa lain juga adalah sesama yang harus dikasihi.
Dalam Perjanjian Lama tidak ada firman yang menyuruh mengasihi sesama dan membenci
musuh. Karena itu, perintah membenci musuh merupakan pengajaran/ penafsiran dari ahli- ahli Taurat.62 Jadi, Yesus bukannya menentang Perjanjian Lama tetapi menentang
penafsiran/ pengajaran para ahli-ahli Taurat tentang Perjanjian Lama. Dengan demikian,
kewajiban untuk mengasihi tidak dapat dibatasi oleh perbedaan suku bangsa, agama atau
golongan. Prinsip kasih ini disebut sebagai “Golden Rule” atau kaidah emas, yang tidak
membalaskan dendam tetapi mengutamakan kemurahan hati yang tak terbatas.63
Yunani (Ayat 28) : ελογετε τος καταρωμνους μς, προσεχεσθε περ τν πηρεαζντων
μς. Terjemahan :Hendaklah kalian memberkati orang-orang yang mengutuk kamu,
hendaklah kalian mendoakan bagi orang-orang yang menganiaya kamu.
Dari struktur gramatika terlihat bahwa ayat 28 memiliki dua perintah utama sebagai tindakan yang mempresentasikan makna kasih kepada musuh, yaitu ελογετε (eylogeite)
diterjemahkan “hendaklah kalian memberkati terus menerus” dan προσεχεσθε (proseykhesthe) diterjemahkan “hendaklah kalian mendoakan terus menerus”. Kedua kata
tersebut merupakan bentuk kata kerja imperatif present. Melalui kata kerja ini, penulis Injil
Lukas hendak menyatakan tentang sebuah perintah atau permintaan yang harus dilakukan
oleh para murid-Nya untuk mengucapkan berkat atas musuh, serta berdoa untuk orang yang
berbuat jahat.64
Seperti halnya ayat 27 yang menjelaskan tentang kasih terhadap musuh dengan
tidak melakukan tindakan pembalasan dendam, demikian juga dalam ayat ini. Yesus
61 John Drane,Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001),
h.179 62 Francis Wright Beare, A Commentary The Gospel According To Matthew, 1981, h.
161 63 James Moffatt, New Testament Commentary Based On The New, The Gospel Of
Luke, (London: Hodder And Stoughton, 1948), h. 67 64 Ibid.
73
memberikan hukum baru yang memberikan pengampunan kepada mereka yang telah
menyakiti, tidak menyimpan kesalahan serta mendendam, serta menunjukkan tindakan kasih
tanpa memandang batas-batas perbedaan yang ada. Menurut Chrysostomus yang dikutip
oleh John Stott, kewajiban untuk berdoa bagi musuh-musuh kita merupakan puncak
pengendalian diri yang tertinggi. Doa adalah sarana ungkapan kasih untuk memohon yang
terbaik bagi musuh-musuh.65
Terjemahan Alkitab King James Version ayat 28: “Bless them that curse you, and
pray for them which despitefully use you”. New International Version (1984): “Bless those
who curse you, pray for those who mistreat you”. New Revised Standart Version (1989):
“Bless those who curse you, pray for those who abuse you”. New Living Translation (2007):
“Bless those who curse you, pray for those who hurt you”. Alkitab Bahasa Indonesia Masa
Kini/Sehari-hari, menerjemahkan: “Berkatilah orang yang mengutukmu, dan doakanlah orang
yang jahat terhadapmu”. Alkitab Terjemahan Baru 2011, LAI, menerjemahkan: “Mintalah
Berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu”. KJV
menggunakan kata despitefully berarti “menganiaya”, NIV menggunakan kata mistreat yang
berarti “menganiaya”, NRSV menggunakan kata abuse berarti “menyalahkan”, NLT menggunakan kata hurt yang berarti “menyakiti/melukai”. LAI menterjemahkan dengan
“orang yang mencaci”. Sedangkan dalam teks asli Yunani, “πηρεαζντων” (epereazonton)
diterjemahkan dengan “orang-orang yang menganiaya”. Sangat perlu diperhatikan bahwa,
penafsiran LAI tidak langsung mengarah kepada tindakan-tindakan kekerasan fisik yang
dialami oleh orang-orang Kristen berdasarkan situasi yang terjadi pada konteks saat itu.
Sedangkan perlu diperhatikan bahwa Yesus mengambil suatu tindakan yang tertinggi dalam
ayat ini yakni mendoakan musuh-musuh tidak hanya pada saat dihina atau dicaci tetapi
sampai dianiaya sekalipun.
Yunani (Ayat 29) : τ τπτοντ σε π τν σιαγνα πρεχε κα τν λλην, κα π το
αροντς σου τ μτιον κα τν χιτνα μ κωλσς. Terjemahan : Kepada orang yang memukul pipi engkau, hendaklah engkau memberikan
juga yang lain, dan orang yang mengambil jubah kalian janganlah engkau
melarang mengambil baju kamu.
Dalam ayat-ayat sebelumnya lebih bersifat umum dan sasarannya pun umum, hal itu
ditunjukkan dengan kata μν (hymin) yang artinya “kepada kalian”. Namun dalam ayat ini
65 John Stott, Khotbah Di Bukit, 2005, h. 169
74
Jurnal Tumoutou
berbicara tentang situasi khusus dan di tujukan kepada setiap orang yang sedang
mengalami kekerasan, hal ini diperkuat dengan penggunaan kata σε (se) diterjemahkan
“engkau”. Kalau dalam ayat 27-28, berupa pengajaran agar para pengikut Yesus mengasihi,
berbuat baik, memberkati dan mendoakan terhadap musuh. Maka dalam ayat ini Yesus
mengemukakan tuntutan yang lebih tinggi supaya pengikut-Nya bersabar tak putus-putusnya
dengan memberi pengampunan.
Yunani (Ayat 30) : παντ ατοντ σε δδου, κα π το αροντος τ σ μ πατει. Terjemahan : Kepada setiap orang yang meminta engkau berikanlah, dan orang yang
mengambil dari kepunyaanmu janganlah engkau meminta kembali.
Yunani (Ayat 31) : κα καθς θλετε να ποισιν μν ο νθρωπο ποιετε ατος μοως. Terjemahan : Dan sama seperti kalian menghendaki supaya mereka berbuat kepada
kalian hendaklah kalian berbuat juga kepada mereka.
Ayat ini diawali dengan kata “παντ” (panti) artinya “kepada setiap (orang)”,
ditempatkan sebelum kata ατοντ (aitunti) artinya “kepada orang yang sedang meminta
terus menerus”, diikuti kata σε δδου (se didu), sebagai bentuk imperatif present yang artinya
“engkau berikanlah terus menerus”. Kedua ayat ini berbicara tentang situasi khusus dimana Yesus menyampaikan suatu perintah kepada tiap-tiap orang yang mendengar, agar memberi
dengan ikhlas bagi setiap orang yang meminta kepada mereka tanpa memandang apakah
orang itu baik atau jahat.
Yunani (Ayat 32) : κα ε γαπτε τος γαπντας μς, ποα μν χρις στν; κα γρ ο
μαρτωλο τος γαπντας ατος γαπσιν. Terjemahan : Dan jikalau kalian mengasihi orang-orang yang mengasihi kalian, apakah
kasih karunia bagi kamu? Juga karena orang-orang berdosa mengasihi
orang-orang yang mengasihi mereka.
Yunani (Ayat 33) : κα [γρ] ν γαθοποιτε τος γαθοποιοντας μς, ποα μν χρις
στν; κα ο μαρτωλο τ ατ ποιοσιν. Terjemahan : [Karena] Dan jikalau kalian berbuat baik kepada orang yang berbuat baik
kepada kalian, apakah kasih karunia bagi kamu? Orang-orang berdosa
berbuat hal yang sama.
perintah dan pengajaran-Nya, Ia membandingkan tindakan-tindakan yang biasanya
dilakukan oleh orang-orang berdosa. Kata “ο μαρτωλο” (oi hamartoloi) “orang-orang
75
Jurnal Tumoutou
berdosa”, mendapat penekanan pada ayat 32 dan ayat 33, dipahami sebagai orang-orang
yang sama sekali tidak peduli kepada Allah dan perintah-perintah-Nya. Maksudnya, orang-
orang berdosa yang tidak peduli akan hukum-hukum Allah pun mengasihi dan berbuat baik
kepada orang-orang yang mengasihi mereka.66 Hal ini merupakan manusiawi atau tabiat
manusia yang alamiah, membalas kebaikan dengan kebaikan. Tetapi Yesus melontarkan
pertanyaan yang seakan-akan menantang orang banyak yang mendengar pada waktu itu,
Yesus bertanya “apakah kasih karunia bagi kamu?” “ποα μν χρις στν” (poia hymin
kharis estin). Dalam teks asli Yunani χρις (kharis) diterjemahkan dengan “kasih karunia”.
Kasih karunia tidak hanya menunjuk kepada sikap Allah tetapi juga sikap manusia. Menunjuk
kepada tindakan yang penuh kebajikan, atraksi yang nyata.67 Penulis Lukas mau
menggambarkan bahwa pada saat Yesus menyampaikan perintah dan pengajaran-Nya, seolah-olah ada dalam situasi diskusi karena Yesus memberikan pertanyaan dengan
harapan agar orang banyak memikirkan apa maksud dari perkataan Yesus itu.
Yunani (Ayat 34) : κα ν δανεσητε πα ν λπζετε λαβεν, ποα μν χρις [στν]; κα
μαρτωλο μαρτωλος δανεζουσιν να πολβωσιν τ σα. Terjemahan : Dan jikalau kalian meminjamkan dari orang kalian berharap menerima,
apakah kasih karunia bagi kamu? Juga orang-orang berdosa yang
meminjamkan kepada orang-orang berdosa supaya mereka menerima
kembali hal yang sama. Dengan kalimat ini Yesus menggugah para pendengar agar mereka meminjamkan
kepada orang dengan tidak mengharapkan balasan. Keadilan di antara orang-orang berdosa
ialah berbuat dengan berharap mendapat kembali lebih banyak dengan mengenakan tingkat
bunga yang besar.68 Namun, keadilan yang royal diharapkan bagi setiap pengikut Yesus
adalah keadilan tanpa balasan. Oleh karena itu, Yesus memerintahkan pengikut Yesus
supaya mengasihi tanpa perhitungan. Ajaran ini digambarkan dengan sangat baik melalui
Hukum Musa (Ulangan 15:7-10), yang mewajibkan umat untuk memberikan pinjaman
kepada saudara yang miskin sebanyak yang ia perlukan.69
66 Ibid. 67 Colin Brown, The New International Dictionary Of New Testament Theology (ed)
Volume 2, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1986), h. 115 68 L. H. Marshall, M. A. PhD-P. S. Naipospos, Tafsiran Alkitab Masa Kini Matius-
Wahyu, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2010), h. 97 69 Matthew Henry, Tafsiran Matthew Henry, Injil Lukas 1-12, 2009, h. 231
76
Jurnal Tumoutou
Yunani (Ayat 35) : πλν γαπτε τος χθρος μν κα γαθοποιετε κα δανεζετε μηδν
πελπζοντες\ κα σται μισθς μν πολς, κα σεσθε υο ψστου, τι
ατς χρηστς στιν π τος χαρστους κα πονηρος. Terjemahan : Tetapi hendaklah kalian mengasihi musuh-musuh kamu dan hendaklah
kalian berbuat kasih, dan hendaklah kalian meminjamkan tanpa
mengharapkan kembali, maka upahmu besar dan kalian akan menjadi
anak-anak Yang Maha-Tinggi
Yunani (Ayat 36) : Γνεσθε οκτρμονες καθς [κα] πατρ μν οκτρμων στν. Terjemahan : Kamu akan menjadi orang-orang yang berbelaskasihan sebagaimana
Bapa kamu juga berbelaskasihan.
Ayat ini berbicara tentang aspek kebaikan Allah adalah belas kasihan-Nya, yaitu
kebaikan atau kasih Allah yang ditunjukkan bagi mereka yang berada dalam beban berat.
Dalam kemurahan-Nya, Allah menyatakan diri-Nya sebagai Pribadi yang berbelas kasihan,
yang merasa kasihan kepada mereka yang berada dalam penderitaan. Belas kasihan yang tanpa batas, baik bagi mereka yang benar, maupun bagi mereka yang tidak benar. Ia
mengasihi mereka yang memberikan kegembiraan kepada-Nya, tetapi Ia juga tetap
mengasihi mereka yang menyusahkan hati-Nya.70 Allah mengasihi umat-Nya tanpa
memandang siapa dan latar belakang seseorang tersebut. Bahkan Ia melimpahkan
pemeliharaan-Nya bahkan kepada orang yang paling jahat sekalipun.71
D. PESAN TEOLOGIS BAGI PEMBACA MULA INJIL LUKAS
Pesan bagi pembaca mula Injil Lukas tidak lepas dari komunitasnya yang terdiri dari
orang-orang kristen Yahudi dan bukan Yahudi yang ada di wilayah kekaisaran Romawi.
Komunitasnya adalah jemaat yang ada diperkotaan/urban area atau hidup dalam masyarakat
elit. Situasi jemaat para pembaca mula-mula sedang menghadapi pergumulan dan tantangan
yang hebat dari pihak penguasa Romawi, sehubungan dengan iman dan kepercayaan
mereka kepada Allah. Kaisar Domitianus adalah kaisar yang terkenal bengis dan kejam. Dalam masa pemerintahannya Injil Lukas ini ditulis dan di tujukan bagi orang-orang Kristen
yang sementara bergumul, karena berbagai kebijakan yang diberikan bagi warga kekaisaran
dengan tidak semestinya. Kaisar Domitianus mengharuskan setiap warga untuk menyembah
70 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap hari, Injil Lukas, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2008), h. 112 71 Matthew Henry, Tafsiran Matthew Henry, Injil Lukas 1-12, (Surabaya: Momentum,
2009), h. 232
Kaisar sebagai dewa. Bagi orang-orang Kristen yang menolak untuk memberi persembahan
serta menyembah Kaisar sebagai dewa. Akibatnya, mereka ditindas dan dianiaya, bahkan
sampai dibakar hidup-hidup. Selain itu, mereka pun mendapat tantangan dan penghambatan
dari kalangan orang Yahudi yang menganggap orang-orang Kristen sebagai sekte (aliran)
kaum Yahudi. Suasana tersebut membuat mereka dibenci oleh orang banyak bahkan
mereka harus mengalami penindasan yaitu penyitaan harta, pengucilan dan hukuman mati.
Dengan memaparkan pengajaran Yesus tentang kasihilah musuhmu, penginjil Lukas
bermaksud untuk menghibur dan menguatkan jemaat yang sementara menderita dan bergumul untuk melakukan kasih dan pengampunan kepada setiap orang yang memusuhi
dan membenci mereka.
E. RELEVANSI TEOLOGIS
Allah menciptakan manusia dengan penuh kasih, manusia diciptakan oleh Allah
segambar dan serupa dengan-Nya. Allah memperlengkapi manusia dengan akal budi
supaya manusia dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Sebagaimana Allah
mengasihi manusia, demikian juga Allah menghendaki supaya setiap manusia saling
mengasihi satu dengan yang lain tanpa melihat latar belakang dan batas-batas perbedaan yang ada.
Kasihilah musuhmu adalah sebuah perintah dan pengajaran yang Yesus berikan
kepada setiap orang dengan tujuan agar supaya tidak melakukan praktek-praktek
pembalasan dendam tetapi sebaliknya mengasihi musuh dengan memberi pengampunan
serta hidup di dalam kasih persaudaraan. Namun kenyataannya, tidak mudah untuk
membangun kasih persaudaraan diantara sesama manusia. Persaudaraan adalah salah satu
nilai kasih universal yang menjadikan manusia sebagai manusia. Nilai idealnya dikembangkan tanpa memandang suku, agama, ras, kelompok dan golongan.72 Menjadi
suatu bahan perenungan, mampukah nilai kasih itu semakin dipelihara dalam kasih
persaudaraan? Sambil terus membawa terang dan berkat bagi sesama yang ada di sekitar
kita? Atau justru pertikaian dan kekerasan telah membuat kasih yang Yesus ajarkan menjadi
hambar dan tidak berguna.
Pesan atau berita dari implikasi perintah kasihilah musuhmu, sangat relevan dengan
keadaan gereja dan masyarakat sekarang ini, yang sarat dengan kekerasan. Sangat relevan
bila ditandaskan lagi bahwa orang-orang percaya akan berhasil mengasihi secara benar
72 Andreas A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto Gereja Di Dalam Dunia, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2011), h. 138
78
kalau dia mampu menghindari dirinya dari dendam kesumat, kemarahan, dan pertikaian
(Ef 4:30-31). Kasih yang benar tidak mengenal batas waktu, tempat dan orang. Kasih yang
benar adalah merupakan wujud keikhlasan untuk mentaati, setia meneladani Kristus yang
telah memberikan teladan dengan mengasihi dan mengampuni.
Atas dasar ini, gereja dipanggil untuk bersaksi dan melayani di tengah-tengah dunia
yang penuh dengan tantangan dan persoalan. Dengan cinta kasih Allah akan memampukan
setiap orang percaya dalam berbagai kegiatan pewartaan dan pelayanan terhadap sesama.
Dengan tuntunan Roh Kudus maka orang yang percaya terus menjadi berkat bagi semua orang, sehingga kasih Allah pun nyata dalam kehidupan ini.
79
Jurnal Tumoutou
DAFTAR PUSTAKA
Barclay William, Pemahaman Alkitab Setiap hari, Injil Lukas, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2008.
---------------------, The Gospel Of Luke, Edinburgh: Saint Andrew Press, George Street, 1975.
Boland, B. J. Tafsiran Injil Lukas, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008.
Bosch, J. David, Transformasi Misi Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001
Dyrness, William Tema-tema Teologi Dalam Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2001.
Fitzmyer, Joseph A. The Gospel According To Luke I-IX, The Anchor Bible, Garden City: Doubleday & Company, Inc, 1981.
France, R. T, Yesus Sang Radikal, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Freed, Edwin D, The New Testament, A Critical Introduction, 2nd ed. London : SCM Press, LTD, 1991.
Pola Hidup Kristen, Surabaya: Gandum Mas, 2010
Guthrie, Donald, Pengantar Perjanjian Baru, Surabaya: Momentum, 2010.
Hakh, Samuel Benyamin, Pemberitaan Tentang Yesus Menurut Injil-injil Sinoptik, Bandung:
Jurnal Info Media, 2008.
Henry, Matthew Tafsiran Matthew Henry, Injil Lukas 1-12, Surabaya: Momentum, 2009.
Hoekema, Anthony A, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, Created in God’s Image,
Surabaya : Momentum, 2010.
Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Lloyd, David Martin-Jones, Studies In The Sermon On The Mount, Grand Rapids: Wm. B.
Eerdmans Publishing Company, 1979.
Jurnal Tumoutou
Ludwig, Charles, Para Penguasa Pada Zaman Perjanjian Baru, Bandung: Kalam Hidup,
1997.
Marshall, L. H. M. A. PhD-P. S. Naipospos, Tafsiran Alkitab Masa Kini Matius-Wahyu,
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2010.
Marxen, Willi, Pengantar Perjanjian Baru; Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-masalahnya,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Moffatt, James, New Testament Commentary Based On The New, The Gospel Of Luke,
London: Hodder And Stoughton, 1948.
Morris, Leon, The Tyndale New Testament Commentaries, The Gospel According To Luke,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company Grand Rapids, Cambridge U.K,
1974.
Napel, Henk Ten, Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2006.
Plato, Symposium, Translated with an introduction by Benjamin Jowett, Australia: Adelaide,
1995.
Reiling-J. J - L. Swellengrebel, Pedoman Penafsiran Alkitab, Injil Lukas, Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia, Yayasan Kartidaya, 2005.
Santoso, David Iman, Theologi Lukas, Malang: Literatur SAAT, 2010.
Situmorang, Jonar, Filsafat Dalam Terang Iman Kristen, Yogyakarta: ANDI, 2004.
Snaith, Norman. H, The Dinstinctive Ideas Of The Old Testament, New York: Schocken,
1964.
Stambaugh. J. dan D. Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Stott, R. W. John , Khotbah Di Bukit, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008.
81
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000.
Susanto, A. B, Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin, Yogyakarta: ANDI, 2006.
Van Liere, Lucien, Memutus Rantai Kekerasan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Wright Beare, Francis, A Commentary The Gospel According To Matthew, Oxford: Basil
Blackwell Publisher, 1981.
Yewangoe, Andreas A, Menjadi Mitra Allah: Gereja Dan Kerukunan Umat Beragama,
Jakarta: GKI Kwitang, 2004.
Referensi
Brown, Colin, The New International Dictionary Of New Testament Theology (ed), Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 1986.
Douglas, D. J, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I dan II, Yayasan Komunikasi Bina
kasih/OMF, 1999.
Kittel Gerhard And Gerhard Friedrich (ed), Theological Dictionary Of The New Testament,
Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1985.
Mounce, William D, Interlinier Yunani – Inggris, Bible N. T. Greek, (Grand Rapids, Michigan:
Zondervan, 2005)
--------------------------, The Analytical Lexicon, To The Greek New Testament, (Grand Rapids,
Michigan: Zondervan, 1993)
Balai Pustaka, 2007.
Verlyn D. Verbrugge, New International Dictionary Of New Testament Theology, Grand
Rapid: Michigan, Zondervan, 2000.
82
William D. Mounce, Interlinier New Testament, Grand Rapids Michigan: Zondervan
Corporation, 2005.
Rapids Michigan: Zondervan Corporation, 1993.
---------------------------------, The Greek-English Concordance to the Greek New Testament,
Grand Rapids Michigan: Zondervan Corporation, 1993.
Artikel/ Jurnal/ Catatan Kuliah/Internet
Semakin dibabat semakin merambat,
+ Domitianus, hlm. 11, diakses 11 November 2012.