isi (1) jurnal

45
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang sewaktu-waktu, mendadak dan sangat cepat (Hughlings Jackson dalam Ginsberg, 2007:79). Menurut Ginsberg (2007:79) epilepsi merupakan gangguan paroksimal dimana cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi (Yerby MS, 1994:45-63). Epilepsi yang terjadi saat kehamilan sangat berbahaya bagi ibu hamil maupun janinnya. Epilepsi pada kehamilan dapat menyebabkan perdarahan pada ibu hamil sedangkan pada janinnya bisa lahir prematur atau kelainan kongenital. Selain itu beberapa obat epilepsi dalam kehamilan juga dapat memberikan efek samping yang merugikan. Sehingga 1 1

Upload: faris

Post on 23-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: isi (1) jurnal

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia grisea

otak yang sewaktu-waktu, mendadak dan sangat cepat (Hughlings Jackson dalam

Ginsberg, 2007:79). Menurut Ginsberg (2007:79) epilepsi merupakan gangguan

paroksimal dimana cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan serangan

penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau

emosional yang intermiten dan stereotipik. Di Indonesia penelitian epidemiologik

tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi

yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila

penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4

juta penderita penyandang epilepsi.

Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5%

penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi (Yerby MS, 1994:45-

63). Epilepsi yang terjadi saat kehamilan sangat berbahaya bagi ibu hamil maupun

janinnya. Epilepsi pada kehamilan dapat menyebabkan perdarahan pada ibu hamil

sedangkan pada janinnya bisa lahir prematur atau kelainan kongenital. Selain itu

beberapa obat epilepsi dalam kehamilan juga dapat memberikan efek samping

yang merugikan. Sehingga dalam makalah ini akan dibahas mengenai epilepsi

dalam kehamilan seperti cara mendiagnosisnya, cara menanganinya serta obat apa

yang bisa diberikan pada ibu hamil yang terkena epilepsi.

1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas. Masalah dapat

dirumuskan sebagai berikut.

1) Bagaimana gambaran umum tentang penyakit epilepsi?

2) Apa saja klasifikasi dari penyakit epilepsi?

3) Bagaimanakah etiologi dari penyakit epilepsi?

4) Bagaimanakah pathofisiologi dari penyakit epilepsi?

5) Bagaimana cara mendiagnosis penyakit epilepsi?

6) Apakah pengaruh dari penyakit epilepsi terhadap kehamilan dan janin?

11

Page 2: isi (1) jurnal

2

7) Bagaimanakah penatalaksanaan kehamilan dengan epilepsi?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.

1) Untuk mengetahui gambaran umum tentang penyakit epilepsi.

2) Untuk memahami klasifikasi dari penyakit epilepsi.

3) Untuk memahami etiologi dari penyakit epilepsi.

4) Untuk memahami pathofisiologi dari penyakit epilepsi.

5) Untuk memahami cara mendiagnosis penyakit epilepsi.

6) Untuk memahami pengaruh penyakit epilepsi terhadap kehamilan dan

janin.

7) Untuk memahami penatalaksanaan yang dapat diberikan untuk mengatasi

kehamilan dengan epilepsi.

2

Page 3: isi (1) jurnal

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. GAMBARAN UMUM PENYAKIT EPILEPSI

Epilepsi adalah gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak berat

yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang (Muttaqin, 2008:222). Menurut

Rahmalia (2007:104) epilepsi adalah ekspresi dari disfungsi otak dan

ditegakkannya diagnosis dini mengharuskan dicarinya sebab walaupun 2/3 kasus

idiopatik (penyebab tidak dapat ditentukan). Sedangkan menurut Corwin

(2009:242) epilepsi adalah kejang yang terjadi tanpa penyebab metabolik yang

reversibel, epilepsi dapat berupa kondisi primer dan sekunder. Epilepsi primer

terjadi secara spontan biasanya pada masa kanak-kanak dan memiliki predisposisi

genetik. Epilepsi sekunder terjadi akibat hipoksemia, cedera kepala, infeksi, stroke

atau tumor sistem saraf pusat. Corwin (2009:242) mengungkapkan tentang

gambaran klinis serangan epilepsi. Gambaran klinis dari kejang parsial berkaitan

dengan :

Gerakan wajah atau menyeringai

Sentakan yang dimulai di salah satu bagian tubuh, yang dapat

menyebar.

Pengalaman sensorik berupa penglihatan, bau atau suara

Kesemutan

Perubahan tingkat kesadaran.

Sedangkan gambaran klinis kejang umum adalah :

Ketidaksadaran, biasanya disertai dengan jatuh, kecuali pada masa kanak-

kanak tidak ada kejang.

Refleks pada lengan dan tungkai yang tidak terkontrol

Periode apnea yang singkat (henti napas)

Salivasi dan mult berbusa, menggigit lidah, inkontinensia

Stadium postictal berupa strupor atau koma, diikuti oleh kebingungan,

sakit kepala dan keletihan.

3

Page 4: isi (1) jurnal

4

2.2. KLASIFIKASI PENYAKIT EPILEPSI

Menurut Kuncara (2007:309-310) ada dua skema klasifikasi yang sekarang

diterima, International Classification of Epileptic Seizures (ICES) dan

International Classification of Epilepsies and Epileptic Syndromes (ICEES).

2.2.1 Menurut ICES

2.2.1.1 Kejang parsial mulai di daerah korteks fokal atau korteks yang

terbatas

1) Kejang parsial sederhana: kesadaran tidak terganggu. Kejang parsial

sederhana kemudian dibagi lagi menjadi berbagai kategori berdasarkan

tanda dan gejala yang dihasilkan oleh kejang.

2) Kejang parsial kompleks: kesadaran terganggu. Kejang parsial kompleks

dapat muncul dari setiap daerah kortikal, juga sering dianggap setara

dengan kejang lobus temporalis; seringnya didahului oleh aura.

3) Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum sekunder. Kejang

umum sekunder biasanya tonik klonik.

2.2.1.2 Kejang umum mulai dengan aktivitas epileptiform di seluruh korteks

1) Kejang absence adalah kejang umum singkat tanpa manifestasi motor yang

menonjol dan secara khas berhubungan dengan pola umum 3-Hz puncak

dan gelombang pada elektroensefalogram (EEG).

2) Kejang mioklonik muncul sebagai regangan tubuh serupa syok tunggal

atau suksesif; EEG memperlihatkan pengeluaran umum.

3) Kejang tonik menghasilkan tonus mendadak, terus-menerus dan sering

dimanifestasikan sebagai postur fleksor atau ekstensor. Bila disertai

dengan tangisan guttural karena udara terdorong keluar melalui pita suara

yang tertutup.

4) Kejang tonik klonik sering berkembang dari gerakan tonik ke klonik dan

mungkin didahului oleh aktivitas pendek mioklonik atau klonik.

4

Page 5: isi (1) jurnal

5

5) Kejang atonik, juga dikenal sebagai "serangan drop", terjadi akibat

kehilangan tonus secara singkat dan mendadak

2.2.1.3 Kejang epilepsi tidak terklasifikasi tidak selalu jelas memenuhi satu

kategori dalam praktik, meskipun perlu diingat bahwa satu pasien bisa

saja menderita berbagai tipe kejang yang berbeda.

2.2.2 Menurut ICEES

Seperti ICES, ICEES membagi tipe kejang menjadi parsial, umum dan tidak

ditentukan. Sementara ICES mengkategorikan tipe kejang, ICEES

mengembangkan skema klasifikasi ini dengan memasukkan informasi yang

lebih banyak mengenai penyebab dan manifestasi klinis kejang. Subkategori

epilepsi dan sindrom epilepsi meliputi:

1) Idiopatik: paling sering, tidak ada penyebab jelas yang mendasari atau

perubahan patologis selain perkiraan predisposisi genetic.

2) Simtomatik: terjadi sebagai akibat gangguan serebral yang sudah diketahui

3) Kriptogenik: diperkirakan simtomatik, meskipun tidak ada bukti jelas

mengenai penyebab yang mendasari.

Selain klasifikasi diatas, menurut International League Against

Epilepsy (ILAE) (dalam Dewanto, dkk. 2009:87-88) epilepsi dalam

kehamilan dikelompokkan menjadi beberapa klasifikasi, yaitu :

1. Epilepsi sebelum kehamilan

Wanita hamil yang menderita epilepsi sebelum kehamilan dapat

mengalami bangkitan pada saat hamil. Hal ini disebabkan karena

pengaruh perubahan hormonal, metabolik, psikis, dan farmakokinetik

OAE.

2. Termed Gestational Epilepsy

Epilepsi yang terjadi pertama kali sewaktu masa kehamilan dan berlanjut

pada kehamilan berikutnya dengan masa bebas bangkitan di antara

kehamilan.

5

Page 6: isi (1) jurnal

6

3. Gestational Onset Epilepsy

Epilepsi yang terjadi pertama kali pada masa kehamilan dan berlanjut di

luar masa kehamilan.

2.3. ETIOLOGI PENYAKIT EPILEPSI

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit

di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya

dikelompokkan sebagai epilepsi ideopatik dan 30% yang diketahui

sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma

kepala, infeksi, kongenetal, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah

otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai

simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West

Syndrome dan Lennox Gastaut Syndrome. (Pedoman Tata Laksana

Epilepsi, Perdossi, 2003)

Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi ideopatik) maka

kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya

epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20-30%. (Gram,

1995:30-31)

Beberapa jenis hormon dapat memengaruhi serangan epilepsi

seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid)

meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon

progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosterone dapat menurunkan

kepekaan terjadinya serangan epilepsi.(Morrell, 1998:53:542-548,

51:S21-S26 dan Wodley, 1998:39:S2-S8)

Wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan

hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan

dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi

frekuensi serangan epilepsi.

2.4. PATHOFISIOLOGI PENYAKIT EPILEPSI

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya

saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui

6

Page 7: isi (1) jurnal

7

impuls listrik

7

Page 8: isi (1) jurnal

8

dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai

neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron

berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur

lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada

otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal.

Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:

- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter

- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory

neurotransmitter.

Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi

impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga

terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat

mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih

besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi

yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses

sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang

berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang

menyebabkan hal ini yaitu :

Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang

optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,

disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata

memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus

oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post

sinaptik.

Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat

normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini

ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita

epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.

Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk

mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada

8

Page 9: isi (1) jurnal

9

tiga kejadian yang saling terkait :

9

Page 10: isi (1) jurnal

10

- Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk

menimbulkan bangkitan.

- Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.

- Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang

abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai

fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus

epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron

sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan

serangan kejang.

2.5. DIAGNOSIS PENYAKIT EPILEPSI

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis, yaitu

berdasarkan deskripsi kejang, biasanya dari saksi karena pasien tidak sadar

akan gejala-gejalanya. Pemeriksaan pasien dengan kecurigaan epilepsi

bertujuan untuk mengkonfirmasi atau mendukung diagnosis klinis,

mengklarifikasi sindrom epilepsi, dan menetapkan penyebabnya. Dua

tujuan pertama didapatkan dari pemeriksaan EEG terutama pada anak.

Akan tetapi sering terjadi positif palsu dan negatif palsu pada rekaman

EEG sehingga kelainan EEG minor nonspesifik dapat ditemukan pada

populasi normal, dan banyak pasien epilepsi tidak menunjukkan kelainan

pada rekaman berulang diantara waktu serangan (EEG interiktal).

Ketetapan EEG dapat dipertajam dengan memperpanjang perekaman,

terutama setelah pasien kurang tidur. Pada beberapa pasien, bukti nyata

diagnosis epilepsi didapat hanya dari EEG ambulasi atau telemetri dengan

perekaman video simultan yang merekam gejala (Ginsberg,L. 2005:83).

Untuk mencapai tujuan ketiga, yaitu mencari kausa epilepsi,

dilakukan pemeriksaan darah rutin, misalnya glukosa serum dan kalsium.

Pemeriksaan yang lebih penting adalah pencitraan otak baik dengan CT

atau MRI. Pencitraan otak penting dilakukan terutama pada epilepsi onset

lambat (usia lanjut), terjadi sebagai serangan parsial, dengan atau tanpa

10

Page 11: isi (1) jurnal

11

tanda neurologis fokal dan kelainan EEG(Ginsberg,L. 2005:83)

11

Page 12: isi (1) jurnal

12

Corwin (2009:243) mengungkapkan beberapa perangkat diagnosis

yang dapat dilakukan dalam mendiagnosis epilepsi, diantaranya sebagai

berikut.

Riwayat medis yang terperinci diperlukan untuk dignosis akurat kejang.

Evaluasi laboratorium dasar untuk menyingkirkan penyebab metabolik

atau kejang oleh sebab obat.

Fungsi lumbal dilakukan untuk menyingkirkan meningitis atau

ensenfalitis jika dicurigai terjadi.

MRI adalah modalitas pencitraan pilihan untuk mengidentifikasi lesi

otak seperti tumor, abses, atau malformasi vaskuler sebagai penyebab

kejang.

CT scan dapat digunakan pada pasien yang mengalami gejala

neurologis yang memerlukan diagnostik segera.

EEG dapat memungkinkan diagnosis jenis dan lokasi kejang terjadi.

Rekaman EEG multipel meningkatkan potensial diagnostik

2.6. PENGARUH EPILEPSI TERHADAP KEHAMILAN DAN JANIN

Epilepsi dengan serangan mendadak, tanpa koordinasi dan sinkronisasi,

konvulsan tonik-klonik dan dengan kesadaran hilang atau menurun, dapat

menimbulkan bahaya.

1. Bahaya bagi penderita sendiri :

a. Jatuh di tempat yang tidak layak dan membahayakan

Kolam, sungai-selokan

Dekat api

Karena konvulsi dan hilang kesadaran dapat terjadi trauma

sampai kematian

b. Lidah dapat tergigit dengan dampak :

Perdarahan pada mulut yang disertai aspirasi

Perdarahan banyak yang menimbulkan syok

Konvulsi lama yang menimbulkan gangguan pertukaran CO2

dan O2, sehingga membahayakan diri sendiri dan

kehamilannya.

12

Page 13: isi (1) jurnal

13

Turunnya Po2 darah dalam sistemsaraf sentral dapat

menurunkan kesadaran dan disorientasi

13

Page 14: isi (1) jurnal

14

2. Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi

a. Kejadian epilepsi meningkat saat hamil karena :

Faktor hormonal

Faktor metabolisme umum

Faktor respirasi kehamilan yang naik

Faktor psikologis ibu hamil

Faktor pengobatan yang diberikan9

b. Obat epilepsi akan mengalami perubahan efek karena metabolisme

umum pada kehamilan

c. Konsentrasi obat epilepsi selalu harus dimonitor sehingga tetap efektif

dalam mengurangi konvulsi.

3. Pengaruh epilepsi pada kehamilan

Menururt Dewanto(2009:88) Kebanyakan kehamilan pada wanita penderita

epilepsi adalah normal dan tidak ada kelainan dalam proses persalinan.

Namun menurut Manuaba (2007:610) sebagai akibat peningkatan tekanan

darah dan turunnya PO2 dapat terjadi :

Hipoglisemia-berbahaya untuk janin

Persalinan prematur

Solusio plasenta

Ketuban pecah dini

Mungkin pendarahan antepartum

Pre-eklamsi –eklamsia

4. Pengaruh epilepsi terhadap tumbuh kembang janin

Efek epilepsi dan OAE pada janin dapat dibagi menjadi perubahan

antropometrik, anomali minor, malformasi mayor, dan gangguan fisiologik

serta kematian janin. (Dewanto, 2009:89). Menurut Manuaba(2007:611)

pengaruh epilepsi terhadap tumbuh kembang janin adalah

a. Kematian prematur

b. Oligohidramnion

c. Retardasi IUGR?

d. Kelainan kongenital

e. Barat badan bayi lebih rendah 100 gr dari normal

14

Page 15: isi (1) jurnal

15

f. Sifat heriditer ½ %- 1 % atau empat kali lebih besar

2.7 PENATALAKSAAN EPILEPSI

Perempuan hamil dengan epilepsi dihadapkan pada kondisi yang

unik. Satu sisi dengan kehamilannya mempunyai risiko untuk

meningkat serangannya, namun di sisi lain penggunaan OAE (obat anti

epilepsi) tidak sepenuhnya aman dan bebas diberikan mengingat efek

samping bagi janin yang dikandungnya. Penanganan epilepsi pada

perempuan hamil perlu direncanakan secara cermat.

(TAUFIQURROHMAN ET AL, 2009). Berikut ini adalah

penatalaksanaan yang dapat diberikan pada ibu hamil.

1.1.1.Penyuluhan Prakonsepsi dan Ante Natal Care

Menjelang perkawinan, hakekat dan seluk beluk kehamilan

sudah harus dijelaskan kepada penderita dan calon suaminya. Hal ini

berkaitan dengan kehamilan dan seluruh proses perubahan perubahan

yang terjadi pada janin dan tubuh calon ibu, persalinan, menyusui,

ketaatan minum OAE dan kemungkinan perubahan dosis dan/atau jenis

OAE yang diminumnya (Taufiqurrohman et al, 2009).

Penderita harus diyakinkan bahwa sebagian besar perempuan

melahirkan dengan normal, tetapi juga harus diberitahukan bahwa

perempuan penyandang epilepsi mempunyai risiko lebih tinggi untuk

melahirkan bayi yang cacat, itupun sebagian besar disebabkan oleh obat

yang diminumnya. Penekanan kepada pentingnya kekambuhan yang

terkontrol akan meningkatkan ketaatan penderita untuk minum obat

selama hamil (Taufiqurrohman et al, 2009).

Evaluasi prakonsepsi adalah fase yang paling penting di dalam

manajemen epilepsi dan kehamilan. Perempuan hamil dengan epilepsi

perlu untuk memiliki tinjauan neurologis pada tahap ini, untuk

memastikan diagnosis dan kebutuhan untuk diteruskannya pengobatan

dengan OAE.

15

Page 16: isi (1) jurnal

16

Monitoring malformasi janin seharusnya dilakukan hingga akhir

trimester pertama. Prosedur skrining lini pertama mungkin berupa estimasi

-feto-protein (AFP) serum, yang cenderung meningkat dalam kasus

NTD terbuka. Kadar AFP serum meningkat secara bertahap selama

trimester pertama dan menurun hingga bulan keempat kehamilan.

Kewaspadaan tenaga kesehatan dan kekhawatiran penderita akan

kemungkinan terjadinya cacat pada janin mendorong dilakukannya

pemeriksaan antenatal yang tidak sederhana, meliputi pemeriksaan kadar

OAE, asam folat, AFP, vitamin K, dan pemeriksaan USG untuk

mengetahui ada atau tidak adanya neural-tube defects, bibir sumbing,

dan kelainan jantung bawaan. Pemeriksaan tersebut dilakukan sejak

kehamilan 6 minggu sampai 36 minggu. Tentu saja, pemeriksaan

tersebut harus dipahami sepenuhnya oleh penderita dan suaminya. Di

samping hal tersebut diatas, penderita dianjurkan untuk tidur secara

cukup. Kurang tidur dapat mencetuskan kambuhan epilepsi maupun

meningkatkan frekuensinya (Taufiqurrohman et al, 2009).

1.1.2. Pemberian OAE (Obat Anti Epilepsi)

Apabila monoterapi dapat mengendalikan serangan epilepsi

dengan baik maka pemberian OAE harus diteruskan. Secara umum,

risiko dapat diminimalisir dengan penggunaan multivitamin

prakonsepsi dengan folat, menggunakan OAE dalam monoterapi pada

dosis efektif yang paling rendah, dan dengan mencegah terjadinya

kambuhan pada ibu.

Hingga saat ini, belum ada penelitian yang mengindikasikan

bahwa OAE mana yang paling aman selama kehamilan. Secara

keseluruhan, bayi dari ibu dengan epilepsi dilaporkan memiliki tingkat

malformasi mayor kongenital antara 4% dan 6% sekitar dua kali dari

populasi umum. Peningkatan risiko ini sangat tinggi bagi perempuan

yang memerlukan politerapi OAE, memiliki epilepsi refraktori, atau

memerlukan kadar obat yang tinggi untuk pengendalian kambuhan.

Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian kambuhan maternal yang

16

Page 17: isi (1) jurnal

17

optimal, monoterapi, dan menghindari kadar serum puncak yang tinggi

(membagi dosis total harian ke dalam dosis multipel yang lebih kecil

dengan puncak postabsorptif yang lebih kecil) akan lebih aman bagi

bayi.

17

Page 18: isi (1) jurnal

18

Laporan dari North American Pregnancy Registry menunjukkan

risiko yang lebih tinggi untuk abnormalitas kongenital dengan

penggunaan fenobarbital dan valproat.(Penovich, 2004)

Terjadinya cacat lahir ini selain bergantung pada jenis dan

dosis obat OAE, lama dan waktu serta cara pemberiannya, juga

dipengaruhi oleh faktor genetik, beratnya epilepsi yang diderita ibu,

atau kombinasi dari berbagai faktor tersebut. Beberapa data

menyebutkan, cacat lahir lebih banyak terjadi pada anak dari ibu

yang harus mengkonsumsi lebih dari satu macam OAE secara

bersamaan selama kehamilan dibandingkan dengan yang mengkonsumsi

hanya satu macam OAE saja.

Pengaruh jumlah OAE terhadap kejadian malformasi seperti

tertera pada tabel berikut.

Kondisi Maternal Rata-rata Malformasi Janin

Populasi normal 2%

Epilepsi tanpa terapi 2-3%

Epilepsi dengan 1 OAE 4-7%

Epilepsi dengan 2 OAE 5-10%

Epilepsi dengan 3 OAE 10-50%

Berdasarkan data, OAE yang paling sering digunakan adalah

karbamazepin, fenitoin, dan asam valproat. Saat ini belum bisa

ditentukan di antara jenis OAE golongan baru tersebut mana yang

sebaiknya digunakan serta mana yang mempunyai efek teratogenik

lebih kecil atau lebih besar dari pada yang lain.(Polifka, et al, 2002)

Penovich et al. (2004) me-rekomendasikan penggunaan OAE dalam kehamilan

:

Gunakan monoterapi dengan OAE yang dipilih untuk sindrom atau tipe

kambuhan.

Gunakan dosis yang paling rendah yang diperlukan untuk

mengendalikan kambuhan dengan optimal.

Hindari kadar puncak yang tinggi dengan membagi dosis harian total ke

dalam dosis multipel yang lebih kecil.

18

Page 19: isi (1) jurnal

19

Ada bukti bahwa sediaan extended-release mungkin lebih aman

19

Page 20: isi (1) jurnal

20

selama kehamilan.

Periksa kadar obat totaldan bebas (jika tersedia) setiap bulan

Tabel 2. Berbagai jenis OAE, dosis, masa rentan pemberian dan jenis

anomali (Polifka, et al, 2002)

Obat Dosis Masa rentan,

Post Konsepsi

Jenis anomali yang mungkin

ditimbulkan

Carbamazepin Terapeutik,

Kronik

Organogenesis

( 18 – 60 hari )

Facial dysmorphism, sama

seperti yang terlihat pada

pemakaian Oxazolidine–2,4

diones, spina bifida, hipoplasi

falang distal, keterlambatan

pertumbuhan dan perkembangan

Fosphenytoin Terapeutik,

Kronik

Organogenesis

( 18 – 60 hari )

Sindroma fetal

hidantoin,hipoplasi kuku dan

phalang distal, okular

hipertelorisme, batang hidung

rata, celah bibir/palatum, cacat

jantung kongenital, mikrosefali,

perkembangan lambat

Asam

valproat

Terapeutik,

Kronik

Organogenesis

( 18 – 60 hari )

Brachisefali dengan dahi yang

tinggi, shallow orbits,okular

hipertelorisme, hidung dan

mulut kecil, telinga letak

rendah, jari dan jempol dempet,

kuku jari hiper konvek, septo

optik displasi, celah

bibir/palatum, kelainan anggota

gerak bawah, keterlambatan

tumbuh kembang, mikrosefali,

spina bifida, anomali traktus UG

dan repirastorius,

kraniosinotosis, autisme.

20

Page 21: isi (1) jurnal

21

Phenytoin /

Phenobarbital

Terapeutik,

Kronik

Organogenesis

( 18 – 60 hari )

Celah wajah, kelainan jantung

kongenital, fasial dismorfisme

dan hipoplasi kuku seperti yang

terlihat pada penggunaan

Oxazolidine–2,4 diones,

neonatus withdrawal, ketidak

mampuan belajar, retardasi

mental

Clonazepam Terapeutik,

Kronik

Organogenesis

( 18 – 60 hari )

Anomali kongenital dilaporkan

pada 13% bayi dari ibu yang

mengkonsumsi clonazepam kom

binasi dgn OAE lain. Tidak ada

pola anomali yang tetap. Pada

satu penelitian, ditemukan

kraniofasial atau digital

embriopati antikonvul san pada

bayi dari ibu yang menkonsumsi

clonazepam kombinasi dengan

primidone

Primodon Terapeutik,

Kronik

Organogenesis

( 18 – 60 hari )

Hirsute forehead, thick nasal

root, fasial dismorfisme dan

hipoplasi kuku sama seperti

pada pemakaian Oxazolidine–

2,4 diones,cacat jantung

kongenital, perkembangan

lambat

Oxazolidine –

2,4 diones (tri

methadion,

Terapeutik,

Kronik

Organogenesis

( 18 – 60 hari )

pertumbuhan lambat,

mikrosefali, celah bibir

/ palatum, wajah abnormal

1.1.3.Pemberian Asam Folat

21

Page 22: isi (1) jurnal

22

Folat merupakan vitamin esensial yang diperlukan pada sintesa

nukleotid dan metilasi DNA. Pada trimester pertama kehamilan, folat

sangat penting dalam mencegah cacat bawaan, khususnya NTD.

Metilasi DNA penting juga untuk mencegah kanker. Pertumbuhan yang

cepat selama embrio membutuhkan sintesis DNA meningkatkan

kebutuhan folat. Metabolisme abnormal folat akan mengakibatkan

penurunan sintesis DNA dan metilasi gen, dengan dampak pada

kerusakan embrio yang sedang tumbuh.

Neural tube defect adalah salah satu dari malformasi yang

terjadi lebih sering pada wanita dengan pengobatan antiepileptik,

khususnya dengan sodium valproat. Telah diketahui dengan jelas

bahwa asam folat prakonsepsi (dengan dosis 4-5 mg/hari) efektif

dalam mengurangi risiko neural tube defect diantara ibu dengan risiko

tinggi karena memiliki anak yang dengan kondisi tersebut sebelumnya.

Tetapi penelitian pada manusia yang menunjukkan sebuah efek

protektif dari suplemen folat pada wanita dengan epilepsi masih

kurang. Untuk perempuan yang tidak mengalami defisiensi asam folat

cukup diberi 1 mg/hari. Apabila terbukti ada defisiensi asam folat

maka kepada penderita perlu diberi asam folat dengan dosis yang lebih

tinggi, dapat diberikan sampai 4 mg/hari. (Taufiqurrohman Et Al, 2009)

1.1.4.Pemberian Vitamin K

Bayi dari ibu yang mendapatkan pengobatan dengan OAE

tertentu (karbamazepin, fenitoin, primidon, fenobarbiton) memiliki

risiko yang lebih tinggi untuk mengalami perdarahan pada neonatus

yang disebabkan defisiensi faktor penjendalan yang tergantung pada

vitamin K. Ibu dengan obat ini harus mendapatkan penanganan

profilaksis dengan vitamin K (Konakion) 20 mg oral per hari dari usia

kehamilan 36 minggu hingga persalinan dan bayi mereka harus

mendapatkan vitamin K 1 mg intramuskuler pada saat kelahiran.

(Taufiqurrohman Et Al, 2009)

Sebuah kelompok peneliti menunjukkan bahwa selain OAE yang

22

Page 23: isi (1) jurnal

23

lain, vigabatrin juga meningkatkan risiko perdarahan neonatus. Angka

prevalensi mencapai setinggi 30% tetapi tampaknya memiliki rata-rata

10%. Mortalitas tinggi, lebih dari 30%, karena perdarahan terjadi dalam

kavitas interna dan

23

Page 24: isi (1) jurnal

24

tidak diketahui hingga anak mengalami syok. Perdarahan

diakibatkan oleh defisiensi faktor penjendalan yang tergantung vitamin

K yaitu faktor II, VII, IX dan X. Antikonvulsan bekerja seperti warfarin,

dan menghambat transport vitamin K melewati plasenta

(Taufiqurrohman et al, 2009).

1.1.5.Persalinan dan Menyusui

Kadar kandungan Obat Anti Epilepsi dalam Air Susu Ibu

tergambar pada tabel berikut.(Hiilesmaa et al, 1982)

VPA <10

Fenitoin 20

CBZ 40

Fenobarbiton 50

Primidon 80

LTG 61

TPM 86

Okskarbazepin 80

Zonisamid 41-57

Persalinan adalah waktu dimana terjadi peningkatan risiko baik

untuk ibu maupun janin. Persalinan harus dilakukan di klinik atau rumah

sakit dengan fasilitas untuk perawatan epilepsi dan unit perawatan

intensif untuk neonatus. Selama persalinan, OAE harus tetap

diberikan; apabila perlu maka dapat diberi dosis tambahan dan/atau

obat penetral terutama apabila terjadi partus lama. Perlu diingat bahwa

OAE yang menginduksi enzim merupakan inhibitor kompetitif

terhadap prothrombin precusors; hal demikian ini menempatkan bayi

dalam keadaan risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan termasuk

perdarahan otak. Risiko tertinggi terdapat pada hari pertama

pascalahir, dan bayi mungkin memerlukan pemeriksaan koagulasi.

Untuk mengurangi risiko perdarahan maka pada bayi perlu diberikan

vitamin K pada saat lahir, akhir minggu pertama, dan akhir minggu ke-

empat bayi diberi 2 mg vitamin K secara oral. Bagaimanapun, bayi perlu

24

Page 25: isi (1) jurnal

25

untuk mendapatkan pengawasan yang hati-hati terhadap efek apapun

yang berkaitan dengan

25

Page 26: isi (1) jurnal

26

paparan OAE melalui susu ibu. Rekomendasi umum adalah

untuk meneruskan pemberian ASI, tetapi pemberian mungkin dapat

dilakukan sebelum ibu menggunakan dosis OAE-nya. (Taufiqurrohman

Et Al, 2009)

Banyak perempuan penyandang epilepsi yang mampu menyusui

anaknya secara baik. Kadar OAE ditentukan oleh kadar obat dalam

plasma dan tingkat terikatnya obat oleh protein. Makin tinggi tingkat

keterikatan oleh protein maka kadar obat dalam ASI semakin rendah.

Fenitoin dan asam valproat terikat protein cukup tinggi sehingga

kadarnya dalam ASI cukup rendah. Lebih dari itu, fenitoin cukup sulit

diabsorbsi oleh traktus gastrointestinalis bayi. Dengan demikian ibu

yang minum fenitoin dan asam valproat diperbolehkan menyusui

bayinya. Karbamazepin dan fenobarbital terdapat dalam ASI dalam

kadar yang lebih tinggi; dengan demikian kepada perempuan yang

bersangkutan kurang dianjurkan untuk menyusui bayinya, atau

diperbolehkan menyusui bayinya dengan pengawasan yang ketat.

Apabila si ibu minum fenobarbital maka bayinya harus selalu diawasi

apakah tidak dapat menghisap ASI atau tampak mengantuk terus.

Apabila terjadi keduanya maka pemberian ASI harus segera

dihentikan. (Harsono, 2007).

2.7.6 Langkah penanganan epilepsi:

Lakukan observasi yang seksama. Pada umumnya, wanita hamil dengan

epilepsi mempunyai risiko terhadap:

Hipertensi karena kehamilan

Persalinan prematur

BBLR

Bayi dengan kelainan bawaan

kematian prenatal

Prinsip penanganan epilepsi adalah penggunaan obat dengan dosis sekecil-

kecilnya. Hindari pemberian obat pada kehamilan muda yang

berhubungan dengan kelainan bawaan seperti asam valproic.

26

Page 27: isi (1) jurnal

27

Fenitoin dapat mengakibatkan defisiensi neonatal terhadap faktor

pembekuan yang bergantung pada faktor vitamin K. Berikan vitamin K 1

mg I.M. pada neonatus.

27

Page 28: isi (1) jurnal

28

Suplemen asam folat diberikan bersama dengan terapi anti epilepsi dalam

kehamilan.

Jika pasien kejang, berikan 10 mg diazepam IV pelan-pelan selama 2

menit. Dapat diulan setelah 10 menit.

Jika kejang berlanjut, berikan 1000 mg fenitoin IV yang dilarutkan dalam

NaCl 50-100 ml selama 30 menit (18 mg/kgBB)

Jika diketahui sebelumnya bahwa pasien tersebut epilepsi, pengobatan

yang selama ini diberikan dapat terus dilanjutkan. Beri suplemen asam

folat dan berikan 1 mg vitamin K kepada bayi baru lahir.

Defisiensi asam folat dapat disebabkan oleh obat antikonvulsan. Berikan

asam folat 600 mcg per oral sekali sehari bersama dengan anti epilepsi.

Jika pengobatan selama ini tidak diketahui, beri fenitoin 100 mcg 2-3 kali

sehari per oral. Observasi dan sesuaikan pengobatan dengan klinik.

Lakukan evaluasi terhadap epilepsi jika epilepsi tersebut baru muncul

dalam kehamilan ini. Jika perlu, pasien dirujuk ke fasilitas yang lebih

lengkap.

28

Page 29: isi (1) jurnal

29

BAB III

PENUTUP

1.1. KESIMPULAN

1.1.1.Epilepsi adalah gangguan fungsi otak yang ditandai dengan kejang

berulang tanpa sebab metabolik yang reversible.

2. Terdapat dua klasifikasi epilepsi menurut Kuncara yang sekarang

diterima, yakni dari International Classification of Epileptic Seizures

(ICES) dan International Classification of Epilepsies and Epileptic

Syndromes (ICEES). Sedangkan menurut International League Against

Epilepsy (ILAE) (dalam Dewanto, dkk. 2009:87-88) epilepsi dalam

kehamilan dikelompokkan menjadi beberapa klasifikasi, yaitu Epilepsi

sebelum kehamilan, Termed Gestational Epilepsy, serta Gestational

Onset Epilepsy.

3. Sebagian besar kasus epilepsi penyebabnya belum diketahui atau dapat

juga disebut sebagai epilepsi ideopatik sedangkan yang sudah diketahui

penyebabnya disebut sebagai epilepsi simptomatik. Namun menurut

Morrell dan Wodley (1998:53:542-548, 51:S21-S26, 1998:39:S2-S8)

beberapa jenis hormon dapat memengaruhi serangan epilepsi seperti

hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid)

meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon

progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosterone dapat menurunkan

kepekaan terjadinya serangan epilepsi.

4. Patofisiologi dari penyakit epilepsi disebabkan oleh transmisi impuls di

area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa

yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai

pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar

atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang

berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses

sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang

berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.

5. Corwin (2009:243) mengungkapkan beberapa perangkat diagnosis yang

dapat dilakukan dalam mendiagnosis epilepsi, diantaranya sebagai

29

Page 30: isi (1) jurnal

30

6. berikut.

Riwayat medis yang terperinci diperlukan untuk dignosis akurat

kejang.

Evaluasi laboratorium dasar untuk menyingkirkan penyebab

metabolik atau kejang oleh sebab obat.

Fungsi lumbal dilakukan untuk menyingkirkan meningitis atau

ensenfalitis jika dicurigai terjadi.

MRI adalah modalitas pencitraan pilihan untuk mengidentifikasi lesi

otak seperti tumor, abses, atau malformasi vaskuler sebagai

penyebab kejang.

CT scan dapat digunakan pada pasien yang mengalami gejala

neurologis yang memerlukan diagnostik segera.

EEG dapat memungkinkan diagnosis jenis dan lokasi kejang terjadi.

Rekaman EEG multipel meningkatkan potensial diagnostik

7. Pengaruh epilepsi pada kehamilan menurut Manuaba (2007:610) sebagai

akibat peningkatan tekanan darah dan turunnya PO2 dapat terjadi

hipoglisemia-berbahaya untuk janin, persalinan premature, Solusio

plasenta, ketuban pecah dini, mungkin pendarahan antepartum atau Pre-

eklamsi –eklamsia. Sedangkan Pengaruh epilepsi terhadap tumbuh

kembang janin seperti kematian premature, oligohidramnion, IUGR,

kelainan kongenital, barat badan bayi lebih rendah 100 gr dari normal.

8. Penatalaksanaan pada penderita epilepsi saat kehamilan yang pertama

bisa dilakukan adalah memberikan penyulahan pada masa prakonsepsi

maupun saat ANC mengenai epilepsi pada kehamilan. Selain itu juga

dapat dijelaskan mengenai pola nutrisi pada kehamilan yang bisa

berpengaruh juga terhadap janinnya. Dalam pemberian obat di tempat-

tempat tertentu bidan harus tetap berhati-hati karena obat epilepsi dapat

menimbulkan efek yang berbahaya bagi janin.

1.2. SARAN

Mengetahui dampak epilepsi yang tidak ringan dan bisa mengakibatkan

30

Page 31: isi (1) jurnal

31

komplikasi yang berat, sabagai tenaga kesehatan seharusnya:

Bidan mampu mendeteksi secara dini bila terdapat pasien dengan

factor resiko epilepsi.

Bidan mau memberikan penyuluhan pada masa prakonsepsi maupun

saat ANC mengenai epilepsi dan komplikasinya pada kehamilan.

Melakukan KIE terhadap ibu dengan faktor resiko epilepsi untuk

menjaga pola nutrisi selama kehamilan supaya dapat melahirkan bayi

dalam kondisi yang sehat dan tepat waktu, serta tidak terjadi

komplikasi yang berat pada ibu.

31

Page 32: isi (1) jurnal

32

DAFTAR RUJUKAN

Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Ed.3. Jakarta: EGC.

Dewanto, dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan TataLaksana Penyakit

Saraf. Jakarta: EGC.

Ginsberg, L. 2005. Lecture Notes: Neurologi Ed. 8. Jakarta: Erlangga.

Gram L, Dam M. Epilepsy Explained. 1st edition. Munksgaard, Copenhagen,

1995: 30-31

Kuncara, H.Y. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi. Jakarta:EGC

Morrell MJ. Epilepsy in Women: The Science why it is special. Neurology, 1999:

53: 542-548

Morrell MJ. Guildelines for care of women epilepsy. Neurology, 1998; 51: S21-

S26

Muttaqin,A. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Persyarafan. Yogyakarta: Salemba medika.

Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Kelompok studi epilepsy Perhimpunan Dokter

Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) 2003

Rahmalia, A. 2007. Kedokteran Klinis. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Taufiqurrohman, A. Nuradyo, D., & Harsono, H. 2009. Manajemen pada

Kehamilan. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia, Vol1, No 1.

Wodley CS, Schwatzkroin PA. Hormonal effects on the brain. Epilepsia, 1998;

39: S2-S8

Yerby MS, Devinsky O. Epilepsy and pregnancy, Neurological Complications of

pregnancy Ed. By Devinsky O. Raven Press, New York, 1994:45-63

32