isbd rumah adat

59
MAKALAH Dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar Rumah Tradisional Indonesia di era modern Rizkya Ayu Puspitasari L2B009022 Frisca Ajengtirani A. L2B009023 Renita Amelia L2B009024 Ahmad Al Fajar L2B009025 Wulan Meilia Sari L2B009026

Upload: rizkya-ayu-puspitasari

Post on 24-Jun-2015

1.647 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISBD Rumah Adat

MAKALAH

Dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah

Ilmu Sosial dan Budaya Dasar

Rumah Tradisional Indonesia di era modern

Rizkya Ayu Puspitasari L2B009022

Frisca Ajengtirani A. L2B009023

Renita Amelia L2B009024

Ahmad Al Fajar L2B009025

Wulan Meilia Sari L2B009026

Jurusan Arsitektur

Fakultas Teknik

Universitas Diponegoro

2009

Page 2: ISBD Rumah Adat

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penyusun ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan

karunia-Nya penyusun masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah

Rumah Tradisional Indonesia di era modern ini dengan baik dan lancar. Tidak lupa

kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan arahan

dalam proses penyusunan makalah ini serta teman-teman yang telah memberikan

dukungan sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak

kekurangan dan kekeliruan. Oleh sebab itu penyusun mengharapkan kritik dan saran

yang membangun dari para pembaca agar dapat menjadikan palajaran bagi kami.

Semoga dengan selesainya makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan

teman-teman semua terutama mengenai masalah rumah tradisional Indonesia. Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Semarang, 16 November 2009

Page 3: ISBD Rumah Adat

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Rumusan Makalah

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

1.4 Manfaat Penulisan Makalah

1.5 Landasan Teori

1.6 Metode Penyusunan

BAB II. GAMBARAN UMUM

BAB III. PEMBAHASAN

3.1 RUMAH ADAT JAWA TENGAH & DIY

3.1.1. Eksistensi Rumah Adat Jawa Tengah & DIY di Era Modern

3.1.2. Faktor-faktor Penyebab Kepunahan Rumah Adat Jawa Tengah & DIY

3.1.3. Upaya-Upaya Pelestarian Rumah Adat Jawa Tengah & DIY

3.2. RUMAH ADAT BALI

3.2.1. Eksistensi Rumah Adat Bali di Era Modern

3.2.2. Faktor-faktor Penyebab Kepunahan Rumah Adat Bali

3.2.3. Upaya-Upaya Pelestarian Rumah Adat Bali

3.3. RUMAH ADAT RIAU

3.3.1. Eksistensi Rumah Adat Riau di Era Modern

3.3.2. Faktor-faktor Penyebab Kepunahan Rumah Adat Riau

3.3.3. Upaya-Upaya Pelestarian Rumah Adat Riau

3.4. RUMAH ADAT TORAJA

3.4.1. Eksistensi Rumah Adat Toraja di Era Modern

3.4.2. Faktor-faktor Penyebab Kepunahan Rumah Adat Toraja

3.4.3. Upaya-Upaya Pelestarian Rumah Adat Toraja

Page 4: ISBD Rumah Adat

3.5. RUMAH ADAT PAPUA

3.5.1. Eksistensi Rumah Adat Papua di Era Modern

3.5.2. Faktor-faktor Penyebab Kepunahan Rumah Adat Papua

3.5.3. Upaya-Upaya Pelestarian Rumah Adat Papua

BAB IV. PENUTUP

4.1 SIMPULAN

4.2 SARAN

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 5: ISBD Rumah Adat

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Era modern saat ini diwarnai dengan penggunaan teknologi yang mutakhir

dan sistem informasi yang canggih. Salah satu aspek yang menjadi objeknya

adalah bangunan. Jika diperhatikan dan ditinjau lebih jauh, rumah adat tradisional

Indonesia merupakan bangunan yang keberadaannya di era modern sekarang ini

hampir sulit ditemukan.

Alasannya tidak lain karena penggunaan teknologi dan sistem infomasi telah

merubah pola pikir dan pandangan masyarakat tentang rumah adat tersebut. Jika

dahulu rumah warga merupakan cerminan dari rumah adat daerah tersebut,

sekarang ini hampir sulit ditemukan rumah warga yang menggunakan design

rumah adat mereka.

Beralihnya pola pikir dan pandangan masyarakat ini, menyebabkan

keberadaan rumah adat tradisional sekarang hampir punah. Padahal, sebagai

generasi penerus kita harus melestarikan dan menjaga semua budaya yang baik

dan berkualitas bangsa kita, termasuk salah satunya adalah rumah adat. Karena,

dahulu rumah adat dijadikan simbol warga dalam fungsional maupun struktural

masyarakatnya.

Melihat fenomena di ataslah yang melatarbelakangi kami untuk menyusun

karya tulis berjudul,” Eksistensi Rumah Adat Tradisional Indonesia di Era

Modern”. Dengan alasan perlu dibuatnya suatu solusi atau terobosan agar rumah

adat Indonesia dapat terus eksis di tengah kemajuan teknologi dan sistem

informasi di era modern saat ini. Mengingat perlunya suatu tindakan atau aksi

yang menuntut untuk diadakannya cagar budaya tentang rumah adat tradisional

Indonesia.

1.2 Rumusan Makalah

1. Bagaimana eksistensi rumah adat di era modern?

2. Bagaimana faktor – factor keberadaan rumah adat?

3. Bagaimana upaya pelestarian rumah adat?

Page 6: ISBD Rumah Adat

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

1. Untuk mengetaui eksistensi rumah adapt di era modern

2. Untuk mengetahui factor- factor keberadaan rumah adat

3. Untuk mengetahui upaya pelestarian rumah adapt

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah :

1. Bagi pemerintah, agar dapat membuat suatu terobosan atau solusi yang

mampu mengangkat kembali eksisitensi rumah adat tradisional Indonesia di

tengah kemajuan teknologi dan informasi sekarang ini.

2. Bagi masyarakat ,agar mereka dapat memahami betapa pentingnya nilai-nilai

dalam melestarikan rumah adat daerah mereka.

3. Bagi pelajar, agar dapat menjadi generasi penerus bangsa yang cinta akan

budaya

4. Bagi penyusun sendiri, mampu menambah kemampuan dan wawasan dan juga

menambah kecintaan pada budaya sendiri.

1.5 Landasan Teori

Setiap daerah memiliki rumah adat yang khas pada setiap daerah. Semakin

berkembangnya sains yang sekarang ini kaberadaan rumah adat sangat jarang

ditemukan lagi. Rumah adat merupakan identifikasi mutlak sebagai sebuah

perwujudan identitas budaya dan kebudayaan sebuah bangsa; etnik yang

menempati sebuah kawasan yang mempunyai garis tegas tentang perangkat adat

untuk mengatur wilayah adatnya. Maka rumah adat bukan hanya sebagai

perangkat pemersatu; tempat bertemu, membahas segala persoalan yang

menyangkut tentang kehidupan baca berkebudayaan; norma, hukum, ekonomi,

politik, kesenian, bahkan adat istiadat atau tradisi keseharian, bahkan menyangkut

hal yang bersipat insidentil seremonial.Tetapi lebih daripada semua itu, ia sebagai

tempat sublimasi bagi generasi muda; pada masa lampau semua tentang

pengajaran agama di ajarkan di sana.

Realita yang terjadi adanya pencurian tehadap budaya kita oleh negara

lain. Sehingga untuk melestarikan rumah adat agar tetap ada, Indonesia

mengeluarkan UU C agar Budaya yang melindungi benda alam yang dianggap

Page 7: ISBD Rumah Adat

mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Yang

terdapat pada UU No. 5/1992 Pasal 1.

1.6 Metode Penulisan

Makalah ini menggunakan metode Studi Pustaka, yaitu dengan cara

mengambil informasi dengan referensi media cetak dan elektronik, yaitu internet.

Page 8: ISBD Rumah Adat

BAB II

GAMBARAN UMUM

Seperti kita ketahui Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku

bangsa yang kaya akan budaya, Hampir setiap daerah memiliki ciri khas kebudayaan

dan kesenian masing-masing. Mulai dari pakaian tradisional, seni musik, tarian-tarian,

makanan khas bahkan hingga tempat tinggal memiliki ciri khas tersendiri yang

melambangkan keadaan daerah tersebut.

Sayangnya di era modern ini keberadaan aset-aset budaya Indonesia semakin

berkurang bahkan dapat dikatakan jarang sekali ditemukan. Makanan-makanan

tradisional yang tadinya menjadi menu utama di rumah-rumah mulai tergantikan

dengan makanan-makanan siap saji. Alat musik yang tadinya setia menjadi pengiring

dalam menyanyikan lagu-lagu tergantikan dengan alat musik modern. Bahkan rumah-

rumah tradisional yang tadinya dapat disaksikan dari Sabang sampai Merauke kini

mulai tergusur dengan bangunan-bangunan berarsitektur modern. Sebagai contoh

cobalah kita tengok dari pribadi kita sendiri. Makanan apa yang biasa kita makan,

lagu-lagu apa yang sering kita nyanyikan, tiap hari kita mengenakan pakain apa,

bahkan seperti apakah rumah yang tiap hari kita gunakam sebagai tempat bernaung.

Rumah tradisional sebagai salah satu aset budaya kita terkesan kurang

mendapat perhatian. Keberadaannya semakin tergusur oleh perkembangan zaman.

Sebenarnya hal ini sangat disayangkan karena dapat membuat Indonesia kehilangan

ciri khas nya. Namun bukan berarti kita tidak boleh untuk mengikuti perkembangan

zaman yang semakin maju ini. Hanya saja dalam perkembangannya kita tetap tidak

boleh melupakan bahkan meninggalkan kebudayaan asli kita yang merupakan warisan

nenek moyang yang tidak ternilai harganya. Disamping mengikuti perkembangan

zaman janganlah lupa untuk melestarikan aset-aset budaya yang ada, termasuk dengan

melestarikan rumah-rumah adat yang sekarang keberadaannya hampir punah ditelan

zaman dan usia.

Sebenarnya banyak hal yang dapat kita lakukan untuk dapat mempertahankan

keberadaan rumah-rumah adat tradisional kita. Tidak perlu hal-hal yang besar, kita

dapat memulainya dari diri kita sendiri. Sebagai contoh, kita dapat memasukkan

beberapa ciri khas rumah adat kedalam desain rumah kita sendiri. Hal ini untungnya

masih dapat ditemukan di berbagai daerah, terutama pada rumah-rumah para pecinta

Page 9: ISBD Rumah Adat

seni dan budaya. Ada yang atapnya dibuat berbentuk seperti joglo dengan segala ukir-

ukiran kayu, ada yang pintu gerbangnya dibuat bergaya Bali, bahkan ada yang

membangun rumah panggung dengan tiang-tiangnya yang kokoh menyangga.

Selain itu di era modern ini banyak arsitek-arsitek yang mencoba

menggabungkan antara desain tradisional dengan gaya modern sehingga

memunculkan suatu desain yang unik dan menarik. Kesan tradisional dari bangunan

tersebut masih terasa kuat, namun dibalut dengan kemodernitas yang menambah

keindahan bangunan. Hal ini dapat kita temukan di gedung-gedung resepsi

pernikahan, misalnya di Taman Budaya Raden Saleh Semarang, Bandar Udara Adi

Sumarmo Solo, dll.

Namun, ada hal yang sebenarnya perlu mendapat perhatian serius dari

pemerintah dan kita sebagai warga negara Indonesia, yaitu keberadaan rumah adat

yang benar-benar masih asli. Banyak ditemukan kasus rumah-rumah adat yang rusak

dimakan usia karena kurangya perawatan dan pemeliharan. Selain itu ternyata banyak

juga rumah-rumah adat yang sengaja dirobohkan karena lahan tempatnya berdiri akan

digunakan untuk membangun bangunan-bangunan modern seperti mal. Bahkan yang

lebih ironis banyak rumah-rumah adat yang dijual oleh pemiliknya ke orang-orang

asing yang kemudian memindahkan rumah adat tersebut ke negaranya. Hal ini benar-

benar sangat meresahkan.

Oleh karena itu, marilah kita mulai sekarang bahu membahu untuk

mempertahankan rumah-rumah adat asli kita. Bagaimanapun juga rumah-rumah itu

pernah memberikan arti untuk Indonesia dan menjadi bagian dari sejarah perjalanan

bangsa ini. Kita wajib untuk ikut menjaga, merawat, memelihara dan melestarikan

aset-aset budaya kita. Tidak hanya rumah adat suku kita saja, tapi rumah adat suku-

suku lain di Indonesia adalah tanggung jawab kita juga.

Page 10: ISBD Rumah Adat

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. RUMAH ADAT JAWA TENGAH & DIY

3.1.1. Eksistensi Rumah Adat Jawa Tengah & DIY di Era Modern

Seiring dengan semakin berkembangnya waktu, semakin bertambah pula

bentuk hunian, dari minimalis sampai pada penganut Europian. Akibatnya tren

desain rumah yang digunakan oleh masyarakat pun mulai bergeser dari waktu ke

waktu. Hal ini tentu saja berimbas pada rumah-rumah kuno dan rumah-rumah

tradisional yang ada di Indonesia. Dewasa ini keberadaan rumah adat di sekeliling

kita hampir sangat sulit untuk ditemui. Coba lihatlah di sekeliling anda,

bandingkan antara jumlah rumah adat Jawa yang ada dengan rumah-rumah

modern bergaya minimalis. Tentu anda akan sulit menemukan rumah Joglo di

lingkungan anda, terutama di kota-kota besar seperti Semarang. Hal ini

sebenarnya sangat disayangkan, karena bagaimana pun juga rumah Joglo adalah

salah satu identitas kita sebagai bangsa Indonesia pada umumnya dan orang Jawa

pada khususnya.

Rumah Joglo pernah menjadi “Raja” di pulau Jawa, khususnya di Jawa

Tengah dan DIY. Pada Jaman dahulu rumah Joglo dapat dikatakan adalah rumah

impian bagi tiap orang. Banyak orang berlomba-lomba untuk membangun rumah

ini. Mengapa? Pada jamannya rumah Joglo hanya dimiliki oleh orang kaya saja,

sehingga mempunyai rumah Joglo adalah suatu prestige tersendiri. Orang-orang

dulu biasa berkata, “belum menjadi lurah, jika belum memiliki rumah Joglo”.

Bahkan sampai hari ini, yang namanya pejabat pejabat tinggi dari Jawa masih

banyak yang berburu Joglo. ”Bahkan Megawati sekalipun rumahnya juga ada

Joglonya,” kata pengusaha furniture Ambar Tjahyono, Ketua Asmindo Pusat.

Selain sebagai prestige, rumah Joglo juga dipercaya bisa membawa hoki

bagi pemiliknya. Itulah mengapa tidak bisa asal-asalan ketika seseorang hendak

membuat Joglo, membedol Joglo atau bahkan merombaknya. “Bisa kena tuahnya,

Page 11: ISBD Rumah Adat

kalau asal asalan membongkar rumah Joglo tanpa permisi, karena dipercaya di

setiap rumah Joglo pasti ada penunggunya” katanya.

Sebelum berbicara terlalu jauh ada baiknya untuk kita mengetahui secara

sekilas mengenai rumah adat yang akan kita bicarakan. Rumah adat Jawa Tengah

mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sebelum muncul bentuk Joglo,

rumah adat Jawa diawali dari bentuk yang sangat sederhana seperti bentuk

bangunan “panggangpe”, “kampung” dan “limasan”. Kemudian muncul

bangunan yang lebih sempurna secara structural yaitu bangunan tradisional bentuk

“Joglo”. Bangunan ini secara umum mempunyai denah berbentuk bujur sangkar,

mempunyai empat buah tiang pokok ditengah peruangannyayang kita sebut

sebagai “saka guru’. Saka guru berfungsi untuk menopang blandar “ tumpang

sari” yang bersusun keatas semakin keatas semakin melebar dan biasanya

berjumlah ganjil serta diukir. Ukiran pada tumpang sari ini menandakan status

sosial pemiliknya. Untuk mengunci struktur saka guru diberikan “sunduk” yang

disebut sebagai “koloran” atau “kendhit”. Letak koloran ini terdapat di

bawah tumpang sari yang berfungsi mengunci dan menghubungkan ke empat

“saka guru” menjadi satu kesatuan.Tumpang sari berfungsi sebagai tumpuan kayu

usuk untuk menahan struktur “brunjung dan molo serta usuk yang memanjang

sampai tiang “emper” bangunan Joglo. Dalam perkembangannya, bangunan Joglo

ini memiliki banyak variasi perubahan penambahan-penambahan struktur yang

semakin mempercantik rumah adat ini.

Beberapa variasi bangunan “joglo” ini antara lain :

1. Rumah Adat tradisional Joglo limasan lawakan atau sering disebut “joglo

lawakan”.

2. Rumah Adat tradisional Joglo Sinom

3. Rumah Adat tradisional Joglo Jompongan

4. Rumah Adat tradisional Joglo Pangrawit

5. Rumah Adat tradisional Joglo Mangkurat

6. Rumah Adat tradisional Joglo Hageng

7. Rumah Adat tradisional Joglo Semar Tinandhu

Namun, nasib rumah Joglo masih lebih beruntung daripada rumah-rumah

adapt Indonesia lainnya. Rumah Joglo masih berusaha dilestarikan dan dijaga dari

kepunahan. Rumah dengan gaya Joglo tetap mampu berjuang ditengah maraknya

gaya rumah dengan ragam kapsul sekalipun. Joglo tidak akan pernah terlihat

Page 12: ISBD Rumah Adat

biasa. Karena nilai heritage dan keunikan dari bentuknya, Joglo menjadi buruan

orang berduit.

Saat ini, Jenis Joglo yang paling diminati masyarakat domestik adalah jenis

Joglo kudusan. Karena seni ukirannya yang ramai dan rumit. Sedang Joglo Yogya

lebih diminati konsumen mancanegara, karena simple, ukirannya hanya ditempat

tempat tertentu. Hal ini tentu sangat menggembirakan bahwa masih ada orang-

orang yang perduli dengan rumah Joglo.

Hingga saat ini rumah beratap Joglo menjadi rumah tradisional yang masih

dipertahankan. Bentuk bangunan ini biasanya menjadi atap pendopo yang berada

di bagian depan sendiri. Gaya Rumah di Jogja pada umumnya terdiri dari

beberapa bagian. “Hal ini menandakan bahwa orang Jawa selalu memfilter segala

sesuatu yang masuk, tidak asal menerima segala sesuatu yang masuk, “ ujar M.

Natsir, Ketua Yayasan Kantil dan Kotagede Herritage District Area.

Di Yogyakarta, Joglo masih banyak di temui di Kotagede. Di tempat ini

Joglo-Joglo yang ada dapat dikatakan berada pada keadaan yang cukup baik. Hal

ini dikarenakan masyarakat Kotagede hingga saat ini masih sangat memperhatikan

norma. Meski terdengar jarang di era modern ini, namun mereka sangat

menghargai leluhur mereka yang sudah menurunkan tradisi, norma yang bisa

bertahan hingga saat ini. Demikian juga terdapat dalam bangunan yang masih

dipertahankan hingga kini tanpa merubah bentuk aslinya.

Meski hanya berbentuk bangunan, namun kita bisa mengamati bagaimana

arsitektur zaman dulu juga sangat memperhatikan beberapa hal. Selain mengolah

seni konstruksi rumah, namun juga mampu merefleksikan nilai dan norma

masyarakat pendukungnya. Itulah salah satu nilai lebih dari rumah-rumah adat

dibandingkan dengan rumah-rumah modern.

3.1.2. Faktor-faktor Penyebab Kepunahan Rumah Adat Jawa Tengah & DIY

Seperti telah dijelaskan diatas bahwa eksistensi rumah Joglo semakin

berkurang di tengah persaingan dengan rumah-rumah modern yang ada.

Sebenarnya banyak sekali faktor yang menyebabkan tergusurnya rumah Joglo di

era modern ini, mari kita bahas tiga factor di antaranya.

Pertama, membangun Joglo membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk

membuat Joglo sederhana ukuran 10x10 saja, sedikitnya kita harus merogoh

Page 13: ISBD Rumah Adat

kocek 150 juta. Ini bukan main-main, karena memang begitulah harga satu buah

rumah Joglo. Mengapa? Tentu saja karena sudah jelas terlihat bahwa untuk

membuat sebuah joglo tentu kita menggunakan bahan dasar kayu. Untuk membuat

Joglo yang awet dan tahan lama biasanya orang akan memilih menggunakan kayu

jati. Padahal harga kayu jati di pasaran sangatlah mahal. Oleh sebab itulah rumah

Joglo hanya dapat dimiliki oleh kalangan tertentu saja.

Kedua, merawat dan memperbaiki Joglo apabila mengalami kerusakan lagi-

lagi membutuhkan banyak biaya. Kita Harus memaintance dengan tepat, jika tidak

maka rayap akan menjadi musuh utama anda. Apabila kita tidak menggunakan

kayu yang berkualitas dapat dipastikan umur Joglo kita tidak akan lama. Tahukan

anda memperbaiki Joglo pun ternyata menghabiskan banyak biaya. Kita perlu

penanganan ahli untuk mempertahankan keasliannya dan tentu saja perlu

mempersiapkan budget lebih untuk membeli bahan-bahan yang akan digunakan

untuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Di Kotagede, Yogyakarta ada

beberapa bangunan yang roboh dikarenakan usianya yang sudah ratusan tahun.

Ataupun pasak penyangga sudah hilang di beberapa bagian sehingga tidak kuat

berdiri lagi.

Ketiga, masyarakat memiliki kecenderungan mengikuti tren pasar. Seiring

dengan berkembangnya jaman, makin banyak model-model rumah yang masuk ke

Indonesia. Mulai dari model Eropa, Mediteranian hingga model rumah minimalis.

Untuk model yang terakhir dewasa ini mulai banyak menjamur di berbagai

daerah. Rumah minimalis pembangunan dan perawatannya mudah dan murah,

serta tidak membutuhkan lahan yang luas untuk membangunnya. Apalagi di

daerah perkotaan yang sangat sulit ditemui lahan kosong, rumah minimalis adalah

rajanya. Selain itu tentu saja ada satu alasan kuat mengapa rumah ini sangat

digemari, yaitu agar tidak dikatakan ketingalan jaman.

Beberapa kendala diataslah yang sering membuat masyarakat berfikir ulang

untuk memiliki sebuah joglo. Sebenarnya masih banyak alasan-alasan lain yang

membuat keberadaan Joglo makin berkurang di pulau Jawa. Bahkan Menurut

data, rumah Joglo di Yogyakarta semakin banyak yang hancur dan diburu oleh

peminat furniture. Saat ini di Kotagede yang konon sekitar tahun 1985 masih

terdata sekitar 170-an, tahun 2005 tinggal sekitar 105. Dan gempa 2006 kemarin

menyebabkan 25 Joglo ambruk dan sisanya rusak berat. Selain itu berkaitan

dengan masalah mahalnya biaya perawatan maka banyak para pemilik Joglo yang

Page 14: ISBD Rumah Adat

menjual Joglo miliknya ke pihak lain. Tercatat ada 21 Joglo yang di jual di tahun

2007. Parahnnya lagi Joglo yang dijual dapat lantas berpindah tempat, bahkan

hingga ke luar negeri.

3.1.3. Upaya-Upaya Pelestarian Rumah Adat Jawa Tengah & DIY

Kita sebagai bangsa Indonesia umumnya dan orang Jawa pada khususnya

tentu tidak ingin peninggalan-peninggalan nenek moyang yang tidak ternilai

harganya itu lenyap ditelan jaman. Apabila hal itu terjadi maka kita akan

kehilangan identitas asli kita. Bayangkan apabila hal itu terjadi, tentu akan sangat

merugikan diri kita sendiri. Oleh karena itu mulai sekarang kita harus melakukan

hal-hal yang dapat menjaga kelestarian aset-aset budaya yang telah kita miliki.

Berikut adalah beberapa langkah yang harus kita lakukan untuk menjaga

eksistensi rumah adat yang kita miliki.

Pertama, kita sebagai masyarakat awam sebaiknya ikut proaktif. Apabila kita

mengetahui ada Joglo di sekitar lingkungan kita yang tidak terurus ada baiknya

bila kita melapor kepada pemerintah daerah atau instansi terkait sehingga Joglo

tersebut dapat ditangani dengan baik. Hal ini diharapkan dapat menyelamatkan

Joglo tersebut dari kehancuran. Selain itu apabila kita memiliki rumah Joglo,

hendaknya dirawat sebisa mungkin, jangan sampai budaya kita hilang ditelan

jaman.

Kedua, pemerintah harus dapat melaksanakan dan mengamalkan Undang-

Undang Cagar Budaya dengan baik dan benar. Pemerintah diharapkan dapat

memberi perhatian lebih serta perlindungan terhadap benda-benda cagar budaya,

dalam hal ini rumah Joglo. Selain itu juga harus aktif mendata ke daerah-daerah

apakah masih ada rumah-rumah Joglo yang kurang terawat.

Ketiga, pemerintah harus dapat membantu para pemilik Joglo dalam hal

perawatan dan biaya. Seperti telah dikatakan diatas bahwa perawatan Joglo

membutuhkan banyak biaya. Apalagi jika ada bagian-bagian yang harus diganti

atau diperbaiki. Selain itu rumah Joglo menggunakan tanah yang luas, hal ini tentu

saja berarti si pemilik harus membayar pajak yang mahal. Oleh sebab itu para

pemilik berharap agar pajak tanahnya diberi keringanan oleh pemerintah. “Kita itu

serba bingung, kalau Joglo dijual juga pemerintah protes, tapi pemerintah tidak

memberikan perhatian terhadap bangunan Joglo itu sendiri, lha wong pajaknya

Page 15: ISBD Rumah Adat

saja mahal, sedangkan kondisi ekonomi kita memprihatinkan”, tandas Natsir,

salah satu pemilik rumah Joglo di Kotagede.

Keempat, dibutuhkan adanya kepedulian dari stakeholder-stakeholder dalam

bidang pembangunan. Dalam hal ini para arsitek, konsultan dan kontraktor. Pihak-

pihak yang berhubungan dengan pembangunan diharapkan untuk lebih

menghargai kearifan budaya lokal. Mereka diharapkan untuk dapat memasukan

unsure budaya kedalam karya-karya mereka. Sebagai contoh, pemerintah

Surakarta beserta kontraktor dan arsitek yang ditunjuk untuk membangun Bandar

Udara Adi Sucipto dengan menggunakan desain Joglo dibeberapa titik bangunan.

Hal ini sangat baik untuk ditiru. Selain untuk melestarikan budaya lokal juga

untuk dapat memperkenalkan budaya asli kita kepada pihak luar.

Bagaimanapun juga aset-aset budaya kita jangan pernah sampai tergerus

oleh majunya peradaban dan teknologi yang ada. Jangan sampai anak cucu

generasi penerus kita kehilangan identitasnya. Jangan sampai orang asli Jawa

sampai tidak tahu rumah Joglo itu seperti apa. Serta yang paling penting kita juga

harus menjaga agar budaya asli kita tidak diklaim oleh Negara lain. Jangan sampai

setelah diklaim baru kita menyesal di belakang. Jadikanlah budaya-budaya asli

Indonesia sebagai Raja di Negaranya sendiri!

3.2. RUMAH ADAT BALI

3.2.1. Eksistensi Rumah Adat Bali di Era Modern

Sebelum kita membahas tentang keesksistensian rumah adat bali, lebih baik

kita memahami dulu bagaimana arsitektur dari rumah adat Bali.

Arsitektur Bali terutama arsitektur tradisional Bali adalah sebuah aturan tata

ruang turun temurun dari masyarakat Bali seperti rontal Asta Kosala kosali, Asta

Patali, dll yang sifatnya luas meliputi segala aspek kehidupan masyarakat Bali. Ini

pula yang mesti dipahami oleh arsitek Bali dalam merancang sebuah bangunan

dengan memperhatikan tata ruang masyarakat Bali (arsitektur Bali).

Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar

yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah :

* Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga

Page 16: ISBD Rumah Adat

* Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala

* Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu

* Konsep court, Open air

* Konsep kejujuran bahan bangunan

* Konsep Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala

manusia yang meliputi Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A

Guli serta masih banyak lagi yang lainnya.

Tri Angga adalah konsep dasar yang erat hubungannya dengan perencanaan

arsitektur, yang merupakan asal-usul Tri Hita Kirana. Konsep Tri Angga membagi

segala sesuatu menjadi tiga komponen atau zone:

* Nista (bawah, kotor, kaki),

* Madya (tengah, netral, badan) dan

* Utama (atas, murni, kepala)

Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan

di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:

* Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)

* Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)

* Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)

Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi

kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala. Transformasi fisik dari konsep

ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian

tipikal di Bali

Bangunan Hunian

Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana.

Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut

diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat

pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan

merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke

hunian.

Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-

aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam

(untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-

pengaruh jahat/jelek. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi)

dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan-bangunan bale tiang sangah,

Page 17: ISBD Rumah Adat

bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale

sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka.

Ditengah-tengah hunian terdapat natah (court garden) yang merupakan pusat

dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis.

Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai

dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang

lain (tempat barang-barang penting & berharga).

Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas

yang berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-ruang tersebut diatas.

Kajian Ruang Luar dan Ruang Dalam

Mengamati hunian tradisional Bali, sangat berbeda dengan hunian pada

umumnya. Hunian tunggal tradisional Bali terdiri dari beberapa masa yang

mengelilingi sebuah ruang terbuka. Gugusan masa tersebut dilingkup oleh sebuah

tembok/dinding keliling. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak

terhingga menjadi suatu ruang yang oleh Yoshinobu Ashihara disebut sebagai

ruang luar. Jadi halaman di dalam hunian masyarakat Bali adalah sebuah ruang

luar. Konsep pagar keliling dengan masa-masa di dalamnya memperlihatkan

adanya kemiripan antara konsep Bali dengan dengan konsep ruang luar di Jepang.

Konsep pagar keliling yang tidak terlalu tinggi ini juga sering digunakan dalam

usaha untuk “meminjam” unsur alam ke dalam bangunan.

Masa-masa seperti Uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam,

lumbung dan paon adalah masa bangunan yang karena beratap, mempunyai ruang

dalam. Masa-masa tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk ruang yaitu

elemen lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun bale

sekenam dinding hanya 2 sisi saja, sedang yang memiliki empat dinding penuh

hanyalah uma meten).

Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat dan bale

sekenam membentuk suatu ruang pengikat yang kuat sekali yang disebut natah.

Ruang pengikat ini dengan sendirinya merupakan ruang luar. Sebagai ruang luar

pengikat yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang diembannya,

sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi.

Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat

diadakan upacara adat, dan fungsi natah sebagai ruang luar berubah, karena pada

saat itu daerah ini ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah berubah dari ‘ruang

Page 18: ISBD Rumah Adat

luar’ menjadi ‘ruang dalam’ karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini. Elemen

pembentuk ruang lainnya adalah lantai tentu, dan dinding yang dibentuk oleh ke-

empat masa yang mengelilinginya. Secara harafiah elemen dinding yang ada

adalah elemen dinding dari bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam yang

terjauh jaraknya dari pusat natah. Apabila keadaan ini terjadi, maka adalah sangat

menarik, karena keempat masa yang mengelilinginya ditambah dengan natah

(yang menjadi ruang tamu) akan menjadi sebuah hunian besar dan lengkap seperti

hunian yang dijumpai sekarang. Keempatnya ditambah natah akan menjadi suatu

‘ruang dalam’ yang ’satu’, dengan paon dan lumbung adalah fungsi service dan

pamerajan tetap sebagai daerah yang ditinggikan. Daerah pamerajan juga

merupakan suatu ruang luar yang kuat, karena hadirnya elemen dinding yang

membatasinya.

Kajian Ruang Positif dan Ruang Negatif

Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju ke hunian, angkul-angkul

berfungsi sebagai gerbang penerima. Kemudian orang akan dihadapkan pada

dinding yang menghalangi pandangan dan dibelokan ke arah sembilan-puluh

derajat. Keberadaan dinding ini (aling-aling), dilihat dari posisinya merupakan

sebuah penghalang visual, dimana ke-privaci-an terjaga. Hadirnya aling-aling ini,

menutup bukaan yang disebabkan oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari

dalam hunian, tidak ada perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan aling-

aling ini memperkuat sifat ruang positip yang ditimbulkan oleh adanya dinding

keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker. Ruang di dalam

penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktifitas dan

kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker

adalah batas antara ruang positip dan ruang negatip.

Dilihat dari kedudukannya dalam nawa-sanga, “natah” berlokasi di daerah

madya-ning-madya, suatu daerah yang sangat “manusia”. Apalagi kalau dilihat

dari fungsinya sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah

ruang positip. Pada natah inilah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa

yang dianalisa Ashihara sebagai suatu centripetal order.

Pada daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh penyengker (keliling),

sehingga daerah ini telah diberi “frame” untuk menjadi sebuah ruang dengan

batas-batas lantai dan dinding serta menjadi ‘ruang-luar’ dengan ketidak-hadiran

Page 19: ISBD Rumah Adat

elemen atap di sana.Nilai sebagai ruang positip, adalah adanya kegiatan penghuni

melakukan aktifitasnya disana.

Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal dibangun, sedang

daerah public dan bangunan service (paon, lumbung dan aling-aling) dibangun

paling akhir.

Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu ruang-positip;

dimana ruang positip pertama kali dibuat (Pamerajan atau sanggah), ruang

diluarnya adalah ruang-negatip. Kemudian ruang-negatip tersebut diberi ‘frame’

untuk menjadi sebuah ruang-positip baru. Pada ruang positip baru inilah hadir

masa-masa uma meten, bale tiang sanga, pengijeng, bale sikepat, bale sekenam,

lumbung, paon dan lain-lain. Kegiatan serta aktifitas manusia terjadi pada ruang

positip baru ini.

Konsistensi dan Konsekuensi

Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana sebuah bangunan

(rumah, tempat ibadah) berada dalam satu atap, di Bali yang disebut sebuah

bangunan hunian adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas pagar

dari batu bata dimana didalamnya berisi unit-unit atau bagian-bagian bangunan

terpisah yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Sebuah hunian di

Bali, sama dengan dibeberapa bagian dunia yang lain mempunyai fungsi-fungsi

seperti tempat tidur, tempat bekerja, tempat memasak, tempat menyimpan barang

(berharga dan makanan), tempat berkomunikasi, tempat berdoa dan lain-lain.

Ruang-ruang, sebagai wadah suatu kegiatan contoh untuk aktivitas tidur, di Bali

merupakan sebuah bangunan yang berdiri sendiri.Sedang dilain pihak secara

umum sebuah ruang tidur merupakan bagian sebuah bangunan.Ruang tidur adalah

bagian dari ruang-dalam atau interior. Uma meten, Bale sikepat, Bale sekenam,

Paon merupakan massa bangunan yang berdiri sendiri. Menurut Yoshinobu

Ashihara ruang-dalam adalah ruang dibawah atap, sehingga Uma meten dan lain-

lain adalah juga ruang-dalam atau interior.Ruang diluar bangunan tersebut (natah)

adalah ruang luar, karena kehadirannya yang tanpa atap. Apabila bagian-bagian

bangunan Hunian Bali dikaji dengan kaidah-kaidah ‘Ruang luar-Ruang dalam’,

terutama juga apabila bagian-bagian hunian Bali dilihat sebagai massa per massa

yang berdiri sendiri, maka adalah konsekuensi apabila pusat orientasi sebuah

hunian adalah ruang luar (natah) yang juga pusat sirkulasi.Pada kenyataannya

ruang ini adalah bagian utama (yang bersifat ‘manusia’) dari hunian Bali.

Page 20: ISBD Rumah Adat

Apabila dikaji dari rumusan suatu hunian, maka natah adalah bagian dari

aktifitas utama sebuah hunian yang sudah selayaknya merupakan bagian dari

aktivitas ruang-dalam atau interior. Kemudian apabila dikaitkan dengan

keberadaan bale sikepat, bale sekenam dan bale tiang sanga yang hanya memiliki

dinding dikedua sisinya saja, serta posisi masing-masing dinding yang ‘membuka’

ke arah natah jelaslah terjadi sebuah ruang yang menyatu. Sebuah ruang besar

yang menyatukan uma meten disatu sisi dan bale tiang sanga, bale sikepat, bale

sekenam serta natah yang layaknya sebuah hunian. Hunian yang sama dengan

yang ada pada masa kini, dimana bale-bale adalah ruang tidur, natah adalah ruang

tempat berkumpul yang bisa disebut sebagai ruang keluarga. Apabila dikaitkan

lebih jauh, jika kegiatan paon (dapur) bisa disamakan dengan kegiatan memasak

dan ruang makan, maka hunian Bali, teryata identik dengan hunian-hunian

berbentuk flat pada hunian orang Barat.

Kajian terhadap hunian Bali ini, apabila hunian tersebut dipandang sebagai

satu kesatuan utuh rumah tinggal, konsekuensinya adalah ruang didalam

penyengker (dinding batas) adalah ruang-dalam. Bangunan dalam hunian Bali

tidak dilihat sebagai massa tetapi harus dilihat sebagai ruang didalam ruang.

Apalagi bila dilihat kehadiran dinding-dinding pada bale tiang sanga, bale sikepat

maupun sekenam yang ‘membuka’ kearah yang me-enclose ruang, maka keadaan

ini memperkuat kehadiran nuansa ruang-dalam atau interior pada hunian

tradisional Bali. Dengan kondisi demikian maka penyengker adalah batas antara

ruang-dalam dan ruang-luar (jalan desa).

Keberadaannya sekarang

Bila kita ke Pulau Bali jarang sekali jika kita temui rumah yang benar-benar

merupakan rumah adat Bali. Karena lahan yang semakin sempit, sulit bagi

masyarakat untuk tetap berpegang teguh dengan konsep-konsep keruangan dalam

menerapkan sistem rumah adat Bali. Semuanya terbatasi oleh lahan.

Arsitektur rumah adat bali juga menjadi alasan bagi orang-orang untuk tidak

menggunakannya lagi pada rumah tinggal. Sebagian dari mereka berpikiran

bahwa ornamen yang digunakan sulit untuk dibersihkan, rumah jadi berdebu dan

sejuta alasan lainnya. Ditambah lagi masuknya pengaruh modernisasi dengan

arsitektur minimalis. Dengan sifat dan sikap masyarakat yang seolah-olah “ingin

hanya mengambil praktisnya saja” mereka tentu saja lebih menyukai gaya

Page 21: ISBD Rumah Adat

minimalis tersebut. Karena sikap mereka itu, memang benar, praktis saja

semuanya berubah. Bali hampir kehilangan ciri khas dari rumah adatnya.

Namun, semuanya terobati jika kita melihat ke daerah-daerah pedalaman

Bali. Dimana semunya masih tampak alami dan tradisional. Penduduk pedalaman

ini masih fanatik akan kebudayaan Bali, sehingga kesadaran akan kekayaan

kebudayaan yang mereka miliki masih sangat kental. Rumah yang mereka pakai

masih menerapkan arsitektur rumah adat Bali.

3.2.2. Faktor-faktor Penyebab Kepunahan Rumah Adat Bali

Seperti yang kita ketahui, dewasa ini sudah jarang kita temui bangunan yang

merupakan ciri khas suatu daerah, termasuk daerah Bali. Areal perkotaan diisi

oleh bangunan-bangunan bertingkat, pertokoan dan tempat-tempat yg bertujuan

untuk tindak konsumerisasi.

Namun ancaman serius bagi Bali justru datang dari orang-orang Bali sendiri,

yakni yang tidak kuat iman menghadapi godaan budaya asing, semacam

globalisme, konsumerisme, pamer kekayaan dan kekuasaan, individualisme,

budaya instan, dan sebagainya.

Tanah milik orang Bali makin menyempit. Orang Bali pun terancam menjadi

marjinal di tanahnya sendiri, tentu karena kekonyolan orang Bali sendiri yang

silau dengan uang hasil penjualan tanahnya. Uang itu sangat jarang digunakan

untuk berinvestasi, melainkan digunakan demi memuaskan kebutuhan duniawi,

membeli mobil mewah, bikin rumah bertingkat dan gemerlap, belanja barang-

barang mewah, nongkrong dan minum di kafe, berjudi (tajen), atau menggelar

upacara ngaben besar-besaran. Akhirnya hanya terbuang untuk tindak konsumtif

belaka dibanding untuk suatu tindakan yang berguna untuk bangsa nya sendiri.

Kita dapat memiliki sebuah pemikiran bahwa untuk memiliki kesadaran

dalam diri masyarakat untuk melestarikan rumah adat tesebut sangat sulit.

Selain itu, berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi juga membawa

arus yang buruk bagi pelestarian rumah adat ini. Budaya yang mengalir membuat

masyarakat tebawa arus untuk mencintai dan menerapkan arsitektur yang bergaya

praktis dan minimalis dibanding mampertahankan konsep-konsep yang ada untuk

menerapkan gaya rumah adat Bali dalam rumah-rumah yang menjadi hunian

mereka. Itu tidak hanya terjadi pada bangunan perumahan, namun juga pada toko-

Page 22: ISBD Rumah Adat

toko serta perkantoran. Padahal, akan lebih bagus dan baik jika bangunan tersebut

tetap mempertahankan ciri arsitektur kota Bali dan tetap menggunakan corak ciri

khas dari rumah adat bali dalam penerapannya pada bangunan lain.

Daerah Bali merupakan areal pariwisata yang sangat menarik, oleh karena

itu banyak penduduk-penduduk dengan berbagai tujuan yang berbeda yang datang

ke Bali. Sebagian dari mereka ada yang menetap tinggal di Bali. Dari penduduk

inilah mengalir kebudayaan-kebudayaan lain. Kebudayaan inilah yang dapat

mengkontaminasi kebudayaan asli Bali. Sehingga jarang kita temui rumah adat

Bali yang benar-benar menerapkan konsep-konsep keruanggan nya dengan benar.

Setelah membaca teks di atas, secara garis besar faktor yang mempengaruhi

keberadaan rumah adat Bali adalah:

1. Penduduknya yang tidak tahan terhadap godaan kebudayaan asing

2. Kurang nya kesadaran dalam memiliki dan melestarikan rumah adat

Bali

3. Dampak negatif perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi

4. Kebudayaan yang dibawa oleh penduduk pendatang

Selain itu, jika kita meneliti dan memahami, masih banyak faktor lain yang

mempengaruhi keberadaan, ada tidaknya rumah adat Bali ini.

3.2.3. Upaya-Upaya Pelestarian Rumah Adat Bali

Ranah arsitektur mengenal istilah hibridisasi, atau penggabungan berbagai

elemen bentuk arsitektural, biasanya dari sejumlah unsur kebudayaan dan era

yang berbeda. Henri Maclaine Pont merupakan arsitek Belanda, bekerja di Hindia

Belanda (Indonesia sekarang) pada paruh pertama abad ke-20, yang paling

terkenal dalam melakukan upaya hibridisasi bentuk dalam khazanah arsitektur

Nusantara. Ia menggabungkan bentuk dan konstruksi arsitektur Jawa dan Bali

dengan arsitektur kolonial. Penggabungan ini juga dapat dilakukan sebagai suatu

bentuk usaha dalam melestarikan kebudayaan Bali dan Jawa sekaligus. Namun

memang akan lebih baik apabila tidak mencampuradukan dua kebudayaan

sekaligus. Tapi hal ini sudah cukup baik jika dibandingkan dengan kita tak

melakukan apa-apa dalam hal pelestarian rumah adat Bali ini.

Selain itu, hal yang dapat dilakukan adalah sebaiknya dari dalam hati kita

yang paling dalam, hendaknya kita memiliki kesadaran terhadap kebudayaan kita

Page 23: ISBD Rumah Adat

sendiri. Jangan menunggu setelah terjadi sesuatu baru kita tergerak. Hal yang saya

maksudkan disini adalah, kita jangan sampai menunggu setelah kebudayaan kita

dicuri oleh negara lain baru kita sadar bahwa kebudayaan itu adalah milik kita.

Jadi, sebaiknya mulai dari sekarang, manfaatkan lahan kosong untuk membangun

bangunan tradisional, rumah adat Bali agar terjaga kelestariaan nya. Kurangi

bangunan yang kegunaannya masih meragukan.

Jika kendala terbesar yang saat ini kita hadapi adalah masalah lahan, kita

dapat memulainya dengan menaruh atau memberikan aksen rumah adat Bali pada

rumah tinggal, pertokoan, mall, kantor, hotel, atau bangunan-bangunan lainnya.

Kita dapat menambahkan ornamen-ornamen pada bangunan tersebut yang

menjadi ciri khas rumah adat Bali. Memang terlihat seperti setengah-setengah,

namun seperti yang saya katakan tadi di atas, lebih baik kita melakukan sedit

perubahan untuk sesuatu yang lebih baik dibandingkan kita kehilangan identitas

budaya kita.

Dalam upaya pelestarian ini, pemerintah juga tidak tinggal diam. Pemerintah

telah mengeluarkan Undang Undang No. 5 tahun 1992 pada tanggal 21 MARET

1992 tentang ”Benda Cagar Budaya”. Berikut dapat anda lihat pada halaman

Lampiran.

3.3. RUMAH ADAT RIAU

3.3.1. Eksistensi Rumah Adat Riau di Era Modern

Pro-kontra mengenai perkembangan teknologi dan system informasi dewasa

ini mulai marak dibicarakan. Ini dikarenakan oleh banyaknya dampak negative

yang mereka timbulkan di samping dampak positifnya.

Salah satunya adalah keberadaan rumah adat tradisional yang mulai

berkurang. Tidak saja pada keberadaannya tapi juga berdampak pada kecintaan

yang mulai luntur.

Riau. Tempat penulis dilahirkan memiliki rumah adat tradisional bernama.”

Salaso Jatuh Kembar”. Dewasa ini rumah adat tradisional Riau tersebut mulai

terkena dampak dari arus perkembangan di era modern ini saat ini. Sebab saat

penulis terakhir berada di sana banyak terlihat bangunan-bangunan yang tidak

Page 24: ISBD Rumah Adat

memiliki corak atau motif melayu, yang merupakan ciri khas dari tanah Riau

tersebut. Walau demikian banyak juga bangunan-bangunan yang masih

menggunakan corak atau motif melayu. Inilah yang sebenarnya dan seharusnya

manjadi acuan bagi pendiri bangunan lainnya agar kebudayaan melayu tetap tetap

eksis dan membumi di tanah rencong ini.

Menurut penulis, usaha untuk melestarikan rumah adat tradisional Riau di

era modern ini mulai disadari oleh pemerintah setempat . Meskipun realisasinya

masih kurang berjalan. Mengapa? Disatu sisi pemerintah membangun suatu

bangunan tinggi tanpa menggunakan motif ataupun corak dari unsur-unsur melayu

dan bangunan salaso jatuh kembar. Contohnya adalah gedung pustaka daerah

yang sekarang mulai difungsikan.

Jika meninjau bangunan itu, kita pasti dapat menyimpulkan bahwa

karakteristik melayu tidak terdapat dalam unsur bangunan itu.

Namun di sisi lain, pemerintah juga bermaksud untuk membangun sebuah

perkampungan melayu yang sudah tentu dibangun dengan konsep dari unsur-

unsur melayu dan dari karakteristik rumah adat Riau sendiri, yaitu salaso jatuh

kembar.

Sebenarnya keberadaan rumah adat Riau sendiri juga di pengaruhi oleh

kondisi masyarakat mereka sendiri. Sekarang ini kondisi masyarakat setempat

juga mengalami degradasi. Mereka seolah acuh pada kepentingan sekitarnya.

Mereka terlihat tak peduli pada lingkungan sekitar. Sehingga dewasa ini sering

kita jumpai kesenjangan sosial yang terjadi, termasuk perhatian mereka pada

masalah keberadaan rumah adat Riau sendiri.

Pemerintah juga seakan tidak mau untuk saling bekerja sama dengan setiap

lapisan masyarakat untuk membumikan kembali rumah adat Riau yang sekarang

ini mengalami kemunduran. Padahal saat suatu kesatuan dan persatuan itu

terwujud unutk meraih atau mencapai sesuatu pasti akan terasa lebih mudah.

Eksistensi atau keberadaan rumah adat Riau harus terus diwujudkan dan

direalisasikan di tengah kemajuan dan perkembangan teknologi dan informasi saat

ini. Tentunya dengan menemukan sebuah terobosan ataupun solusi tepat guna

untuk kembali menggemakan kebudayaan kita yang semakin hilang.

Penulis juga merasa yakin bahwa masyarakat akan segera menyadari tentang

fenomena di atas. Sebab masalah ini pasti akan ketahui lambat laun oeh

masyarakat setempat, khususnya masyarakat Riau sendiri.

Page 25: ISBD Rumah Adat

3.3.2. Faktor-faktor Penyebab Kepunahan Rumah Adat Riau

Banyak faktor yang menjadikan keberadaan rumah adat Riau sekarang ini

semakin sulit ditemukan. Di sini penulis akan menguraikan dan menjelaskannya

satu persatu. Adapun faktor-faktornya adalah :

1. Pemerintah belum sepenuhnya sungguh-sungguh dalam melestarikan rumah

adat Riau. Sebagaimana yang sudah penulis terangkan sebelumnya.

2. Masyarakat pribumi belum memiliki kesadaran dalam mengeksiskan rumah

adat Riau di era modern saat ini. Mengapa? Penulis melihat banyak

masyarakat daerah di Riau yang merasa tidak memiliki tanggung jawab

dalam menjaga sekaligus melestarikan rumah adat ini. Mereka beraanggapan

bahwasanya itu tidak menguntungkan mereka.

3. Banyaknya masyarakat pendatang yang mulai pindah ke daerah Riau. Ini

adalah fenomena nyata di lapangan yang menurut penulis sangat

mengkhawatirkan. Sekarang ini ada tiga masyarakat pendatang di Riau yang

memiliki jumlah yang cukup besar. Mereka adalah, masyarakat Sumatra

Barat, Sumatra Utara, dan masyarakat Jawa. Masalah kependudukan dengan

banyaknya warga pendatang di daerah tersebut akan menyebabkan budaya

asli mengalami degradasi. Termasuk mengenai keberadan rumah adat

tradisional. Sebab semua hal ini merupakan satu kesatuan yang jika satu

dipisahkan akan berdampak pada yang lainnya. Karena itulah banyaknya

pendatang merupakan hak serius yang harus ditanggapi.

4. Semakin berkurangnya tokoh budayawan. Alasan penulis mengatakan kalau

salah satu faktor penyebab eksistensi rumah adat tradisional Indonesia

adalah semakin berkurangnya tokoh budayawan adalah para tokoh

budayawanlah yang menjadi tonggak dasar atau sebagai pioneer dalam

membangun kembali keberadaan rumah adat Riau saat ini. Salah satu tokoh

budayawan Riau yang selalu eksis dalam menyuarakan pelestarian

terhadapnya budaya melayu adalah Bapak Taufiq Ismail. Karena beliau

tidak saja berkarya melalui syair-syairnya ataupun pantun-pantunnya, yang

merupan ciri khas dari budaya melayu tapi beliau juga menunjukkan

kecintaannya dengan membangun sebuah rumah pribadi dengan dasar motif

melayu dan karakteristik seperti rumah adat Riau, yaitu salaso jatuh kembar.

Page 26: ISBD Rumah Adat

Hal ini yang harus diapresiasikan dan diberi penghargaan. Jadi keberadaan

tokoh-tokoh budayawan juga harus diperhatikan guna membumikan kembali

rumah adat Riau sekarang ini.

Keempat faktor di ataslah yang menyebabkan keberadaan rumah adat Riau

semakin berkurang di era modern saat ini. Kalau diperhatikan semuanya

bersumber dari setiap lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah, masyarakat

pribumi maupun pendatang dan juga dari tokoh-tokoh budayawan yang memiliki

pengaruh dalam perkembangan budaya lokal di daerahnya.

3.3.3. Upaya-Upaya Pelestarian Rumah Adat Riau

Setelah melihat lebih jauh mengenai eksistensi rumah adat tradisional Riau

di era modern saat ini beserta fakto-faktor apa saja yang menyebabkan hal tersebut

bisa terjadi. Pada sub bab ini penulis akan membahas tentang upaya-upaya apa

saja harus dilakukan dalam rangka mengatasi masalah tersebut. Ada beberapa

langkah yang harus dilakukan, yaitu :

1. Pemerintah hendaknya mengadakan suatu perlombaan yang akan

memancing ataupun menarik perhatian masyarakat agar mereka secara tidak

langsung turut andil dalam mengatasi problema tersebut. Perlombaan ini

dapat mulai dilakukan dari jenjang pendidikan yang terendah yaitu, taman

kanak-kanak, sekolah dasar, SMP, SMA, sampai pada tingkat mahasiswa

dan juga pada lapisan masyarakat umum. Ini adalah upaya untuk kembali

mengeksiskan keberadaan rumah adat Riau di tengah gejolak teknologi dan

informasi dewasa ini.

2. Memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh budayawan yang

memberikan banyak sumbangsih pemikiran maupun tindakan dalam

melestarikan budaya lokal di tanah rencong ini. Alhamdulillah, dalam hal ini

penulis merasa bangga sebab penghargaan kepada para tokoh budayawan

memang sudah dilakukan secara rutinitas tiap tahunnya. Ada beberapa

kategori yang diberikan kepada mereka. Adapun penghargaan itu dikenal

dengan istilah,” Anugrah Sagang Award”. Anugrah inilah yang sebenarnya

dapat memancing keinginan masyarakat lainnya untuk berani terjun ke

dalam masalah kebudayaan. Bukan hanya mereka, antar tokoh budayawan

pun akan terus saling bersaing secara sehat dalam rangka mengembangkan

Page 27: ISBD Rumah Adat

pemikiran dan tindakan mereka untuk terus menambah wawasan dan

pengetahuannya.

3. Menjadikan ilmu budaya sebagai ekstra dalam pelajaran di tiap jenjang

pendidikan. Karena cara efektif yang dapat dilakukan adalah melalui jenjang

pendidikan. Ini dapat membuat siswa-siswi menjadi tahu tentang budaya

mereka sendiri. Sebab sebagai putra-putri daerah hendaknya mereka tahu

setidaknya tentang seluk-beluk budaya mereka. Sehingga ini akan

berdampak juga pada eksistensi rumah adat Riau nantinya. Diharapkan

dengan itu mereka dapat mengamalkannya di kemudian hari. Pada akhirnya

apa yang kita inginkan yaitu, melestarikan rumah adat di tengah arus modern

saat ini dapat tercapai.

4. Mengadakan sosialisai terhadap masyarakat. Jika bagi kalangan pelajar

pengetahuan tentang budaya diberikan melalui pelajaran. Pada masyarakat

umum mereka dapat diberikan melalui cara sosialisai. Karena jumlah

mereka yang relatif banyak dan tanpa terikat oleh peraturan seperti di

jenjang pendidikan. Maka upaya yang dapat dilakukan adalah pemberian

informasi dalam suatu tatanan berbentuk forum ataupun seminar dan ini

tentu membutuhkan dana dan mekanisme yang sistematis. Karena itulah

dalam hal ini pemerintah diharap mampu untuk dapat terjun secara lengsung

demi kepentingan kita semua.

5. Pemerintah juga harus memulai dari lingkungan mereka. Jadi jika ada

pembangunan perkantoran dinas atau sebagainya, pemerintah hendaknya

menunjukkan kepada masyarakat betapa mereka mencintai budaya melayu

dengan cara memberi motif atau corak melayu dan memasukkan

karakteristik dari rimah adat Riau sendiri yaitu, salaso jatuh kembar. Ini akan

membuat pola pikir dan pandangan masyarakat menjadi lebih condong pada

kebudayaan mereka sendiri. Sebab pemerintah sudah memberikan bukti

secara langsung kepada mereka.

Page 28: ISBD Rumah Adat

3.4. RUMAH ADAT TORAJA

3.4.1. Eksistensi Rumah Adat Toraja di Era Modern

Rumah adat Toraja merupakan salah satu kebudayaan bangsa yang

keberadaannya dipandang perlu untuk dipelihara agar tidak punah. Kabupaten

Tana Toraja terletak di pedalaman Provinsi Sulawesi Selatan, 340 km ke arah

utara dari Makasar, dengan ibukotanya Makale. Rumah adat Toraja dapat di

jumpai hampir di setiap pekarangan rumah masyarakat Toraja, yang lebih dikenal

dengan sebutan Tongkonan. Konon kata Tongkonan berasal dari istilah

"tongkon" yang berarti duduk, dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan,

kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana

Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki

secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja. Dengan

sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi, antara lain: pusat

budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan

kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial.

Tongkonan mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di

masyarakat. Dikenal beberapa jenis, antara lain tongkonan layuk atau tongkonan

pesio’aluk yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan. Ada juga

tongkonan pekaindoran, pekamberan atau kaparengngesan yaitu tongkonan yang

berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan

aturan dari tongkonan pesio'aluk. Sementara itu, batu a'riri berfungsi sebagai

tongkonan penunjang. Tongkonan ini mengatur dan berperan dalam membina

persatuan keluarga serta membina warisan tongkonan. Latar belakang arsitektur

rumah tradisional Toraja menyangkut falsafah kehidupan yang merupakan

landasan dari perkembangan kebudayaan Toraja.

Dalam pembangunannya ada hal-hal yang mengikat, yaitu:

1. Aspek arsitektur dan konstruksi

2. Aspek peranan dan fungsi rumah adat

Rumah tradisional atau rumah adat yang disebut Tongkonan harus

menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah, dengan keyakinan bumi

dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi dibagi dalam 4 penjuru, yaitu:

1. Bagian utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia.

Page 29: ISBD Rumah Adat

2. Bagian timur disebut Matallo, tempat metahari terbit, tempat asalnya

kebahagiaan atau kehidupan.

3. Bagian barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari

kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.

4. Bagian selatan disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia,

tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik.

Bertolak pada falsafah kehidupan yang diambil dari ajaran Aluk Todolo,

bangunan rumah adat mempunyai makna dan arti dalam semua proses kehidupan

masyarakata Toraja, antara lain:

1. Letak bangunan rumah yang membujur utara-selatan, dengan pintu terletak

di sebelah utara.

2. Pembagian ruangan yang mempunyai peranan dan fungsi tertentu.

3. Perletakan jendela yang mempunyai makna dan fungsi masing-masing.

4. Perletakan balok-balok kayu dengan arah tertentu, yaitu pokok di sebelah

utara dan timur, ujungnya disebelah selatan atau utara.

Pembangunan rumah tradisional Toraja dilakukan secara gotong royong,

sesuai dengan kemampuan masing-masing keluarga, yang terdiri dari 4 macam,

yaitu:

1. Tongkonan Layuk, rumah adat tempat membuat peraturan dan penyebaran

aturan-aturan.

2. Tongkonan Pakamberan atau Pakaindoran, rumah adat tempat

melaksanakan aturan-aturan. Biasanya dalam satu daerah terdapat beberapa

tongkonan, yang semuanya bertanggung jawab pada Tongkonan Layuk.

3. Tongkonan Batu A’riri, rumah adat yang tidak mempunyai peranan dan

fungsi adat, hanya sebagai tempat pusat pertalian keluarga.

4. Barung-barung, merupakan rumah pribadi. Setelah beberapa turunan

(diwariskan), kemudian disebut Tongkonan Batu A’riri.

Seni Ukir

Salah satu jenis kesenian yang yang terkenal dan khas adalah seni ukir, yang

sama umurnya dengan leluhur Tana Toraja. Jenis ukiran ini dipakai sebagai

dekorasi, baik eksterior maupun interior pada rumah adat Toraja (tongkonan), dan

termasuk pada lumbung padi (alang sura).

Semua ukiran yang terdapat pada rumah dan lumbung merupakan simbol

makna hidup orang Toraja. Ukiran-ukiran itu ada yang bermakna hubungan

Page 30: ISBD Rumah Adat

manusia Toraja dengan pencipta-Nya, dengan sesama manusia (lolo tau), ternak

(lolo patuon), dan tanaman (lolo tananan).

Terik sinar matahari terasa semakin menyengat saat dipantulkan oleh papan

berwarna merah yang menopang sebuah bangunan berbentuk perahu kerajaan

Cina. Guratan pisau yang membekas di atas papan berwarna merah membentuk

ukiran, tanda status sosial pemiliknya.

Deretan tanduk kerbau yang terpasang/digantung di depan rumah, juga

menambah keunikan bangunan dari kayu tersebut. Bentuk bangunan unik yang

dapat dijumpai di hampir setiap pekarangan rumah masyarakat Toraja ini, lebih

dikenal dengan tongkonan.

Konon kata tongkonan berasal dari tongkon, yang berarti duduk. Dahulu

rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, dan perkembangan

kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh

perseorangan melainkan turun temurun oleh keluarga atau marga suku Tana

Toraja.

Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi.

Antara lain sebagai pusat budaya, pusat pembinaan keluarga serta pembinaan

peraturan keluarga dan kegotong royongan, pusat dinamisator, motivator, dan

stabilator sosial.

Tongkonan mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di

masyarakat. Dikenal beberapa jenis, antara lain tongkonan layuk atau tongkonan

pesio'aluk, yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.

Ada juga tongkonan pekaindoran, pekamberan, atau kaparengngesan, yaitu

tongkonan yang berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan

adat, berdasarkan aturan dari tongkonan pesio'aluk. Sementara itu, batu a'riri

berfungsi sebagai tongkonan penunjang. Tongkonan ini mengatur dan berperan

dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan tongkonan.

Ada 67 Jenis

Jumlah ukiran diperkirakan 67 jenis dengan aneka corak dan makna. Warna

ukiran terdiri dari merah, kuning, putih, hingga hitam. Semua berasal dari tanah

liat, yang disebut litak, kecuali warna hitam dari jelaga (hitam arak pada periuk)

atau bagian dalam batang pisang muda.

Page 31: ISBD Rumah Adat

Masih ada jenis seni yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam hidup

dan budaya orang Toraja, yakni seni pahat. Seni ini dapat dilihat pada tongkonan

merambu (rumah adat) dan tongkonan tang merambu (kuburan/patane).

Peralatan hasil seni pahat yang harus ada pada rumah adat (tongkonan)

adalah kabongo', yaitu kepala kerbau yang dipahat dari kayu cendana atau kayu

nangka, dilengkapi tanduk kerbau asli. Kabongo' ini berarti bahwa tongkonan ini

milik pemimpin masyarakat, tempat melaksanakan kekuasaan adat.

Tongkonan merupakan peninggalan yang harus selalu dilestarikan. Hampir

seluruh tongkonan menarik untuk dikunjungi, agar kita bisa mengetahui adat

istiadat masyarakat Toraja.

3.4.2. Faktor-faktor Penyebab Kepunahan Rumah Adat Toraja

Rumah adat Toraja atau Tongkonan adalah warisan dari keluarga pada suku

Toraja. Keberadaannya di jaman era modern ini telah jarang ditemukan.

Penyebabnya adalah banyaknya rumah modern yang saat ini banyak diminati oleh

masyarakat. Serta banyaknya rumah modern yang dipadukan dengan rumah

tradisional atau rumah adat. Hal ini yang menyebabkan rumah adat sekarang sulit

untuk ditemukan.

Kesadaraaan dan minat masyarakat membuat rumah adat Toraja semakin

berkurang. Karena dipengaruhi oleh budaya modern yang semakin berkembang.

3.4.3. Upaya-Upaya Pelestarian Rumah Adat Toraja

Adapun upaya untuk menanggulangi agar rumah adat Toraja tidak

akan hilang. Di suku Toraja rumah adat selalu di wariskan secara turun menurun,

itu adalah salah satu cara untuk melestarikannya. Serta menjaga keutuhan bentuk

dari rumah adat tersebut agar kita bisa mngetahui rumah adat masyarakat Toraja.

Perlu adanya kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat untuk melestarikan

rumah adat Toraja. Mengembangkan bangunan tradisional dipadukan dengan

rumah modern.

Page 32: ISBD Rumah Adat

3.5. RUMAH ADAT PAPUA

3.5.1. Eksistensi Rumah Adat Papua di Era Modern

Beberapa bentuk arsitektur tradisional papua yang cukup unik dan

menggambarkan kebesaran orang papua seperti; bentuk bangunan rumah

Honai.Honai adalah rumah khas Papua yang dihuni oleh Suku Dani. Rumah

Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami

atau ilalang. Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak memiliki jendela.

Sebenarnya, struktur Honai dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela

bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua.

Honai terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai tempat tidur dan

lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan.

Karena dibangun 2 lantai, Honai memiliki tinggi kurang lebih 2,5 meter. Pada

bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk

menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-

laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).

Menjadi pelajaran saat ini dan waktu akan datang bahwa pembangunan

yang telah dikembangkan sekarang tidak mengerti kebudayaan dan tidak

mencerminkan kepribadian budaya setempat serta tidak begitu mempertahankan

identitas arsitektur setiap daerah di papua. Salah satu tolok ukur kemajuan budaya

sebuah daerah dilihat dari aliran aristektur yang mana tampil dalam wajah dan

fisik bangunan. Kecenderungan masyarakat dan pemerintah dalam mengadopsi

gaya – gaya arsitektur luar seperti gaya arsitektur colonial, gaya arsitektur

romawi, gaya arsitektur joglo, gaya arsitektur minang, dan hal ini membuat

arsitektur tradisional setiap suku bangsa di papua terlupakan. Ini merupakan suatu

penjajahan kultur yang menindas budaya papua. Dengan semakin dilupakannya

aliran – aliran arsitektur tradisional papua, maka ikut pula menghilang kebesaran

citra, karsa, dan karya orang papua, karena sebagaimana dalam ungkapan bahasa

semboyang arsitektur mengatakan bahwa; “arsitektur adalah gambaran jiwa raga

dan roh seseorang”, inilah kebesaran yang terlupakan. Dengan demikian,

ditekankan bahwa dalam mendisain pembangunan papua yang hormat budaya,

maka diharuskan untuk mengangkat dan mengikutsertakan aliran arsitektur

tradisional dalam mendirikan sebuah bangunan, kalaupun masyarakat tidak

Page 33: ISBD Rumah Adat

mengembangkannya, sebisamungkin gedung-gedung pemerintah tiap daerah

wajib mengambil gaya dan corak arsitektur tradisional daerah setempat. Beberapa

bentuk arsitektur tradisional papua yang cukup unik dan menggambarkan

kebesaran orang papua seperti; bentuk bangunan rumah Honai, rumah tradisional

Enjros tobati, rumah tradisional arfak, dan rumah tradisional harit di maybrat

imian sawiat kabupaten sorong selatan

Kita ketahui bahwa masyarakat papua merupakan masyarakat yang

sederhana,sehingga kehidupan mereka masih sangat sederhana pula,namun

daerah-daerah propinsi papua yang memiliki gaya arsitekturnya sendiri ini begitu

didominasi oleh bangunan – bangunan dari daerah lain. Hal ini disebabkan karena

pemerintah Hindia Belanda lebih awal membangun papua dengan menerapkan

aliran arsitektur colonial, sebagaimana hingga saat ini difungsikan sebagai gedung

atau perkantoran-perkantoran pemerintah daerah bahkan ada yang dijadikan

sebagai rumah hunian masyarakat. Suatu pembunuhan karakter budaya arsitektur

papua yang telah dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda di daerah propinsi

papua. Arsitektur tradisional setiap daerah di propinsi papua merupakan kebesaran

setiap suku bangsa tersebut, karena merupakan hasil ciptaan mereka yang

sebenarnya.

Proses akulturasi terhadap gaya arsitektur ini membuat orang papua semakin

ditelanjangi dengan cara yang dipergunakan oleh penjajah. Dalam refleksi

arsitektur tradisional papua, merupakan suatu cara penjajahan terhadap budaya.

Selain budaya-budaya lain dibuang, disisi yang lain kekayaan budaya dicuri serta

diperdagangkan seperti ukiran, tarian dan corank budaya unik lainnya

3.5.2. Faktor-faktor Penyebab Kepunahan Rumah Adat Papua

Keberhasilan Penerapan Konsep Arsitektur Tradisional Dalam

Pembangunan Papua Suatu keberhasilan konsep arsitektur tradisional papua yang

menonjol kerapkali hanya terlihat pada Gapura, ukiran-ukiran dan lukisan

dinding. Untuk konsep arsitektur dalam gaya bangunan tidak begitu ditonjolkan

atau samasekali tidak dipake dalam konsep pembangunan, walaupun beberapa

daerah mampu manampilkan gaya arsitektur mereka seperti gaya arsitektur Enjros

sentani yang dikembangkan di kota jayapura, dan honai wamena yang juga

dikembangkan di kabupaten wamena, namun tetapi belum sepenuhnya mencapai

Page 34: ISBD Rumah Adat

100%. Sedangkan didaerah kabupaten lain seperti kabupaten sorong selatan tidak

pernah menampilkan gaya arsitektur harit, dan kabupaten manokwari dengan gaya

arsitektur arfaknya tidak terlihat wajahnya di dalam konsep pembangunan.

Diwamena dan jayapura telah berhasil dengan menampilkan wujud arsitektur

tradisionalnya Karena ada kesadaran akan nilai-nilai yang terkandung. Sedang

didaerah lainnya, kecenderungan dengan prinsip egoisme pembangunan sangat

mendominasi, akhirnya nilai-nilai yang ada didaerah setempat terlupakan dan

hilang dengan sendirinya. Bila dipandang dari konsep arsitekturnya, papua akan

dikatakan sebagai daerah dengan keberhasilan membangun sendiri jikalau konsep

aliran arsitektur yang dipakai dalam pembangunan dengan menggunakan konsep

arsitektur tradisional. Karena disinilah papua akan terkenal dengan kebhinekaan

gaya arsitektur tradisionalnya, papua akan disebut sebagai sebuah bangsa yang

berjaya yang mana kejayaannya ditunjukkan melalui aliran-aliran arsitekturalny.

Kesalahan Konsep Pembangunan Tanpa Arsitektur Tradisional Bilamana

kita berbicara mengenai konsep, maka kita berbicara tentang arah, kebijakan, cara,

metode, yang ditampilkan dalam mengembangkan sesuatu ide yang

dikonsepsikan. Berkaitan dengan konsep pembangunan, setiap manusia atau

kelompok dan sukubangsa mempunyai metode atau konsepnya masing-masing

dan berbeda, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang ada. Suatu

kesalahan dalam konsepsi pembangunan yang sering ditemukan saat ini adalah,

konsep pembangunan tanpa arsitektur lokal. Setiap suku bangsa di papua

mempunyai aliran atau gaya bangunan arsitekturalnya yang unik, akan tetapi

seringkali ketika dalam konsep pembangunan, aliran arsitektur tradisional ini tidak

diingat (terlupakan) atau tidak dimunculkan dalam proses pembangunan. Padahal

ketika kita berbicara mengenai arsitektur tradisional, kita telah berbicara tentang

suatu jatidiri, idealisme, citra, rasa, karya, karsa suatu bangsa karena arsitektur

tradisional adalah bagian dari kebudayaan manusia, berkaitan dengan herbagai

segi kehidupan seperti; seni, teknik, ruang/tata ruang. Perkembangan konsep

pembangunan daerah saat ini cenderung mengesampungkan gaya arsitektur

tradisional lokal (setempat) yang bila dikembangkan, mampu mengangkat

kebesaran nama suatu daerah yang akan dikenal dan berjaya. Misalnya arsitektur

Joglo, arsitektur Honai, arsitektur colonial, arsitektur bizantum, arsitektur minang,

arsitketur fengsui, arsitektur harit, sudah ada di wilayahnya masing-masing sejak

Page 35: ISBD Rumah Adat

zaman keberadaan nenek moyangnya, dan berkembang bersama-sama dalam

kehidupan mereka

3.5.3. Upaya-Upaya Pelestarian Rumah Adat Papua

1. Harus lebih selektif terhadap pengaruh aliran arsitektur luar dengan gaya,

estetika dan bentuk yang moderen.

2. Pemeliharaan rumah adat perlu ditingkatkan.

3. Pemerintah setempat harus fasih dalam mengembangkan suatu konsep

pembangunan dengan menggali kearifan lokal, sehingga arsitektur tradisional

dapat diperhatikan.

4. Tenaga perancang dan ahli-ahli arsitektur yang harus jeli dalam mengangkat

aliran arsitektur tradisional untuk menterjemahkannya dalam bentuk moderen,

sehingga arsitektur local tetap terjaga.

5. Perlu adanya kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam

mempertahankan kelestarian rumah adat

6. Penegakkan hukum terhadap rumah adat harus dijalankan dengan tegas

Page 36: ISBD Rumah Adat

BAB IV

PENUTUP

4.1 SIMPULAN

Dari penjelasan diatas maka simpulan yang dapat kita ambil dan dapat kita

gunakan sebagai bahan perenungan bersama antara lain:

1. Sudah semakin jarang kita temukan rumah adat di berbagai daerah.

2. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam melestarikannya.

3. Rumah adat tergeser oleh bangunan modern lainnya.

4.2 SARAN

Berdasarkan atas pelajaran yang telah kita peroleh maka penyusun

memberikan beberapa saran yang dapat kita lakukan dalam rangka menjaga

kelestarian rumah-rumah adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita

selama berabad-abad lamanya, yaitu:

1. Tingkatkan kesadaran dalam pelestarian kebudayaan daerah.

2. Merawat rumah adat yang telah ada, dan menambahkan jumlahnya dengan

membangun rumah adat yang baru.

Page 37: ISBD Rumah Adat

DAFTAR PUSTAKA

Page 38: ISBD Rumah Adat

LAMPIRAN