eprints.unram.ac.ideprints.unram.ac.id/8995/2/jurnal irwan.doc · web viewmahkamah konstitusi...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-
VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR KAWIN
JURNAL
Oleh :
IRWAN SUHERMAND1A 010 065
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS MATARAM
MATARAM2014
ii
Halaman Persetujuan Pembimbing
JURNAL
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-
VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR KAWIN
Oleh :
IRWAN SUHERMAND1A 010 065
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
Sahruddin, SH., MH.NIP.19631231199203 1 016
iii
ABSTRAK
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR KAWIN
Hj. Machicha Mochtar mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi. Atas permohonan uji materiil tersebut, Maka Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Februari 2012 mengeluarkan Putusan Nomor: 46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan anak di luar kawin. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) harus dibaca anak luar kawin mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki yang berdasarkan ilmu pengetahuan dapat dibuktikan sebagai ayahnya, termasuk dengan keluarga ayahnya. Penelitian ini berujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya. Hasilnya yang diperoleh bahwa pasal 43 ayat (1) berisi ketentuan tentang pengakuan anak.
Kata Kunci: “Kedudukan Anak di Luar Kawin”
ABSTRACT
ANALYSIS CONSTITUTIONAL COURT DECISION NUMBER: 46/PUU-VIII/2010 ABOUT THE POSITION OF CHILDREN OUTSIDE
MARRIAGE
Hj. Machicha Mochtar proposed a judicial review for the determination of chapter 43 verse (1) of the marital law to the constitutional court. Than Constitutional court on February 17, 2012 issued decision number: 46/PUU-VIII/2010 about the position of children outside marriage. Constitutional court stated that chapter 43 verse (1) should be interpreted that children under illegal marriage can have not only the law relation with their mother and her relatives, but also their biological father as well as long as it could be proved. This study aims to determine the consideration for the judge in the constitutional court ruling 46/PUU-VIII/2010. The result were obtained a conclution that article 43 Verse (1) contains provisions on the recognition of illegimate children.
Key Word: “Position Of Children Outside Marriage”
iv
I. PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam realita kehidupan
umat manusia. Tujuan perkawinan yaitu untuk memperoleh keturunan sebagai
penerus generasi keluarga selanjutnya. Namun kenyataannya terdapat pula
keadaan-keadaan dimana kelahiran seorang anak dalam suatu hubungan
perkawinan tidak selamanya merupakan suatu kebahagiaan. Hubungan diluar
nikah dapat mengakibatkan kelahiran seorang anak. Anak yang dilahirkan dari
hubungan tersebut disebut anak diluar kawin. Menurut Pasal 43 Ayat (1) Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan
keluarga ibunya.
“Namun demikian, dalam pasal ini tidak disebutkan adanya suatu
tenggang waktu untuk menentukan sah atau tidaknya seorang anak. Adapun
seorang anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah mempunyai
kedudukan yang jelas terhadap hak-haknya termasuk hak mewarisnya”.1 Jadi, dari
ketentuan Pasal 43 ayat (1) memiliki makna bahwa anak luar kawin tidak
mempunyai hubungan sama sekali dengan laki-laki yang membenihkannya (ayah
biologis). Pada tanggal 17 Februari Tahun 2012 Mahkamah Konstitusi dalam
perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam
perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar
1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut; Perundangan, Hukum adat, dan Hukum Agama, Erlangga, Jakarta, 2003, hlm. 133
v
Ibrahim. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK No.
46/PUU-VIII/2010 yang berpendapat bahwa, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut bertentangan dengan Undang-
undang Dasar 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan dengan laki-
laki sebagai ayah biologis dari seorang anak di luar kawin. Dengan adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi diatas otomatis akan timbul berbagai masalah
terkait hubungannya dengan kedudukan anak yang lahir akibat hubungan diluar
kawin.
Jadi dari pokok permasalahan yang diangkat maka dapat diperoleh
rumusan permasalahan sebagai berikut, yakni; 1) Apakah yang menjadi dasar
pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan anak diluar kawin?; 2) Bagaimana
hubungan keperdataan anak diluar kawin terhadap bapak biologisnya Menurut
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ?; dan 3)
Bagaimanakah berlakunya ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010?. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim, mengetahui hubungan keperdataan
anak diluar kawin terhadap bapak biologisnya, serta untuk mengetahui berlakunya
ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. manfaat
penelitian, yakni secara teoritis dapat dijadikan sumbangan pemikiran yang
berguna dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan Hukum
vi
Perkawinan, dan Secara praktis memberikan kontribusi sebagai acuan maupun
masukan bagi pembuat undang-undang (Eksekutif dan Legislatif) dalam membuat
atau merubah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Maka dari pokok permasalahan diatas digunakan metode penelitian hukum
normatif, yaitu “penelitian terhadap hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan
atas dasar doktrin yang dianut sang pengonsep atau sang pengembangnya”.2
Untuk menunjang hasil yang maksimal maka digunakan beberapa metode
pendekatan, yaitu Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach);
Pendekatan Konsep (Conceptual Approach); dan Pendekatan Kasus (Case
Approach). Jenis dan sumber bahan hukum diperoleh dari bahan hukum primer,
sekunder dan tersier. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat
mengikat, seperti peraturan perundang-undangan, dalam penelitian ini
menggunakan peraturan perundang-undangan yang relefan terhadap obyek
penelitian yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010; bahan hukum
sekunder, yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer.3 Bahan hukum skunder dalam penelitian ini bersumber dari buku, doktrin,
jurnal hukum, internet dan sebagainya yang ada kaitan dengan penelitian ini;
bahan hukum tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, seperti kamus (hukum),
ensiklopedia.4
2Sutandyo Wigyosubroto dalam Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013,hlm. 34.
3Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi I, Cetakan Keenam, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012), hlm. 119.
4Ibid
vii
II. PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 Tentang Kedudukan Anak di Luar kawin.
Sebelum membahas bagaimana dasar pertimbangan hukum Majelis
Hakim Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang bagaimana
peraturan perundang-undangan mengatur tentang status anak di luar kawin
sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
tentang kedudukan anak di luar kawin tersebut.
1. Status Anak di Luar Kawin dalam Peraturan Perundang-undangan
Sebelum Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010.
Kedudukan anak diluar kawin diatur dalam Undang-undang No 1
tahun 1974 dalam Bab IX Pasal 42 sampai Pasal 43. Persoalan
kedudukan anak ini, terutama terkait dengan hubungannya dengan pihak
laki-laki sebagai bapak bilogisnya, sedangkan terhadap pihak ibunya
secara umum dapat dikatan tidak terlalu susah untuk mengetahui siapa
ibu dari anak yang dilahirkan itu. Kemudian untuk mengetahui siapa
ayah biologis dari seorang anak yang dilahirkan dapat menimbulkan
suatu kesuliatan. Terhadap seorang anak dianggap selalu mempunyai
viii
hubungan keperdataan dengan ibunya, hal tersebut sesuai dengan bunyi
Pasal 43 Ayat (1), yaitu:
“Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Dengan adanya hubungan perdata dari garis ibu dan keluarga
ibunya, maka anak diluar kawin tersebut mendapat perlindungan dari
undang-undang, yang artinya semenjak ia dilahirkan mendapat ibu yang
sah dari wanita yang melahirkannya. Sedangkan dengan pihak si bapak,
anak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak laki-laki
sebagai ayah biologis yang telah membenihkannya dari rahim sang ibu.
“Dalam akta kelahirannya, anak tersebut dilahirkan dari seorang
perempuan, artinya didalam akta kelahirannya hanya tercantum nama
ibunya saja. Beda dengan anak sah umumnya, yang dalam akta
kelahirannya dicatat dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang
bernama ini dan itu”.5 Sedangkan didalam Pasal 43 ayat (2) dikatakan
bahwa:
“Kedudukan anak tersebut Ayat (1) selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Berhubung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
yang merupakan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tersebut tidak mengatur lebih lanjut mengenai
status anak diluar kawin tersebut, maka ketentuan yang terkandung
dalam Pasal 43 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
5 Sumber: http:/hukumperdataunhas.wordpress.com/2013/06/17/kedudukan-hukum-anak-luar-kawin/. Diakses pada hari selasa 22-juli-2014 pukul 15.50 wita
ix
Perkawinan belum mempunyai dasar hukum untuk mengikat hubungan-
hubungan anak di luar kawin secara berlanjut hingga sekarang.
2. Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 tentang Kedudukan Anak di Luar Kawin.
Maka apa yang menjadi dasar Majelis Hakim Konstitusi
memfokuskan pertimbangan-pertimbangan terkait Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut memfokuskan pada 2 (dua)
hal, yaitu petama, mengenai anak yang dilahirkan diluar perkawinan
adalah mengenai makna hukum frasa “yang dilahirkan diluar
perkawinan”. Majelis Hakim Konstitusi memandang bahwa, hubungan
anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak, tidak semata-mata karena
adanya ikatan perkawinan dengan ibunya, akan tetapi dapat juga pada
pembuktian adanya hubungan darah dengan laki-laki yang
membenihkannya tersebut sebagai bapaknya. Maka dirasa tidak tepat dan
tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang dilahirkan dari
hubungan seksual diluar perkawinan hanya memiliki hubungan
keperdataan dengan ibunya serta keluarga ibunya, dan memberikan
kebebasan bagi si laki-laki yang melakukan perbuatan seksual dengan
ibunya lepas dari tanggung jawab seorang bapak; Kedua, terhadap anak
diluar kawin adalah berkaitan tentang eksistensi seorang anak. Anak yang
dilahirkan pada dasarnya tidak patut untuk dirugikan dengan tidak
terpenuhinya hak-haknya, karena anak tersebut yang dimaksud lahir bukan
atas dasar kehendaknya. Hak seorang anak tidak boleh dipandang dari
x
status perkawinan kedua orang tuanya, anak tersebut harus mendapat
perlindungan dan kepastian hukum yang seadil-adilnya.
Jelas sudah bukan, bahwa seorang anak walaupun ia berada
didalam rahim (janin) ibunya, ia sudah mempunyai hak-hak keperdataan
yang harus dan wajib dipenuhi. Selain itu juga, anak yang dilahirkan tanpa
kejelasan status bapaknya sering mendapat perlakuan yang tidak adil dan
perlakuan yang berbeda di tengah-tengah masyarakatnya.
B. Hubungan Keperdataan Anak di Luar Kawin Terhadap Bapak
Biologisnya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang
bertanggal pada 17 Februari 2012, memberikan Pengakuan terhadap hak-hak
anak yang lahir di luar perkawinan. Seperti yang terdapat dalam amar Putusan
yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim Konstitusi yang berbunyi:6
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. 6 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.Pdf.
xi
Sesuai dengan isi amar Amar Putusan Mahkamah Konstitusi diatas
bahwa Anak luar kawin tidak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan
ibu dan keluarga ibunya saja, tetapi juga dengan laki-laki sebagai bapak
biologisnya. Melalui pembuktian yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk dengan keluarga bapaknya. Jika kita pahami isi amar putusan
tersebut, hubungan antara anak di luar kawin dengan bapak biologisnya adalah
didasarkan pada hubungan darah, dalam artian biologis semata yang dikuatkan
berdasarkan proses hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya
membuka sebuah kemungkinan untuk ditemukannya subyek hukum baru
untuk mempertanggung jawabkan perbuatan hukum terhadap anak di luar
kawin tersebut untuk tampil sebagai bapaknya melalui mekanisme-mekanisme
serta proses-proses yang telah ditentukan oleh hukum.
“Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi ini maka ayah dari
anak diluar kawin ini selama si anak dapat mebuktikan dengan ilmu
pengetahuan atau secara biologis maka akan masuk ke dalam administrasi
kependudukan yang berarti ayah mengenai anak diluar kawin tersebut akan
tercatat didalam akta kelahiran dan identitas dari anak diluar kawin.”7 Maka
dengan adanya pencatatan sipil di administrasi kependudukan ini maka hal ini
7Hisnimawati, Pertanggungjawaban hukum seorang ayah terhadap anak biologis diluar nikah atau hasil dari pernikahan siri menurut pasal 43 ayat (1) undang-undang n0. 1 tahun 1974 tentang perkawinan terkait adanya putusan mahkamah konstitusi no. 46/puu-viii/2010. Jakarta. 2012. Hlm.10.
xii
akan menjamin kepastian hukum bagi si anak sehinggan akan memperoleh
hak-hak si anak untuk diakui oleh sang bapak biologis.
C. Ketentuan Hukum Yang Terkandung Dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 membuka
peluang bagi anak luar kawin untuk mendapatkan status hubungan
keperdataan dengan bapak biologisnya. Makna yang terkandung jelas dalam
pasal tersebut yakni bagaimana hukum berupaya untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap hak anak. Selain itu juga hukum berupaya
untuk memperbaiki kerugian dari seluruh aspek yang timbul akibat kelahiran
anak diluar kawin tersebut.
potensi yang timbul akibat kerugian terhadap anak dalam ikatan
perkawinan yang tidak didasarkan pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
adalah tidak adanya pengakuan terhadap anak dari bapak biologisnya yang
berhubungan dengan tidak diperolehnya hak-hak oleh si anak atas kewajiban
seorang bapak sebagai orang tua untuk memenuhi kewajibannya.
Sebagaimana juga hal itu akan berakibat pada kerugian terhadap psikologis
sang anak ditengah-tengah masyarakatnya yang nantinya akan berujung pada
suatu tindakan diskriminatif oleh masyarakat. Dalam hal Majelis Hakim
Konstitusi mengambil kebijakan dengan pertimbangan bahwa hubungan darah
sebagai sebuah patokan untuk mengetahui dan adanya hubungan anak dengan
xiii
bapak biologisnya, dirasa dapat melindungi hak-hak keperdataan yang
dimiliki anak tersebut.
Jika kita kembalikan kepada isi amar putusan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa
Mahkamah Konstitusi menerangkan apa yang menjadi hukum Pasal 43 Ayat
(1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkwinan yang berbunyi,
“Anak yang dilahirkan diluar perkwinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Unang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah sebagai bapaknya. Kemudian Mahkamah
meniadakan hukum tersebut dan menciptakan hukum yang baru “anak yang
dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk dengan keluarga
ayahnya”.
Penciptaan hukum baru tentang permasalahan hukum kedudukan anak
diluar kawin memberikan titik terang bahwa adanya perlindungan hukum
terhadap anak tersebut, sehingga apa yang menjadi kewajiban orang tua yakni
ayah dan ibunya dalam hal ini khususnya bapak biologisnya akan menjadi
utuh kepada pemenuhan hak-hak anak tersebut.
xiv
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan, yaitu sebagai
berikut: 1) dasar pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, yakni petama, mengenai anak
yang dilahirkan diluar perkawinan adalah mengenai makna hukum frasa “yang
dilahirkan diluar perkawinan”. Majelis Hakim Konstitusi memandang bahwa,
hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak, tidak semata-mata karena
adanya ikatan perkawinan dengan ibunya, akan tetapi dapat juga pada
pembuktian adanya hubungan darah dengan laki-laki yang membenihkannya dan
kedua, terhadap anak diluar kawin adalah berkaitan tentang eksistensi seorang
anak. Anak yang dilahirkan pada dasarnya tidak patut untuk dirugikan dengan
tidak terpenuhinya hak-haknya, karena anak tersebut yang dimaksud lahir bukan
atas dasar kehendaknya; 2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 memberikan kepastian hukum terkait hak-hak anak di luar
kawin terhadap bapak biologisnya sesuai dengan ketentuan dalam amar Putusan
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, bahwa Anak luar kawin tidak hanya
memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja, tetapi juga
dengan laki-laki sebagai bapak biologisnya melalui pembuktian yang didukung
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk dengan keluarga bapaknya; 3)Ketentuan
xv
hukum yang berlaku dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawianan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menerangkan apa
yang menjadi hukum Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkwinan yang berbunyi, “Anak yang dilahirkan diluar perkwinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”,
bertentangan dengan Undang-Unang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-
laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai bapaknya.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka adapun saran dari penelitian ini,
yakni dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
seharusnya diterangkan bahwa anak di luar kawin dalam artian mana yang boleh
diberlakukan putusan tersebut. Sehingga tidak timbul lagi persoalan dalam
masyarakat bahwa anak yang benihkan dalam zina atau dalam sumbang. Hal itu
nantinya akan timbul penilaian-penilaian yang berbeda dikemudian hari dari
pemikiran-pemikiran masyarakat. Karena sangatlah jauh perbedaan antara anak
diluar kawin dalam arti sempi dengan anak diluar kawin dalam arti luar.
Diharapkan kepada Pemerintah dalam hal keluarnya putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 membuat peraturan yang lebih tegas
mengenai perkawinan yang tidak dicatatkan. Salah satunya dengan
xvi
mengsinkronisasikan hukum dan peraturan perundang-undangan terkait
perkawinan yang menurut agama dan kepercayaan.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Buku, Makalah dan Artikel
Amirudin; dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Edisi I, Cet ke VI. Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, dan Hukum Agama. Erlangga, Jakarta,2003.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia. Mandar Maju, Bandung, 1990.
Hartanto, Andy. Kedudukan Hukum dan Hak Anak Luar Kawin Menurut BW. Laksbang Press, Yogyakarta, 2008.
Marzuki, Mahmud Peter. Penelitian Hukum. Cet VII, Kencana Prenada Media Grop, Jakarta, 2011.
Meliala, djaja S. Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga. Nuansa Aulia, Bandung, 2006.
Mulyadi. Hukum Perkawinan Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Murdiningsih Hayuperwitasari, Tesis Peranan Notaris Dalam Proses Pengakuan Anak luar kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009,
Wigyosubroto, Sutandyo; Mukti Fajar; dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Cet II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013.
Peraturan-Peraturan
xvii
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. LN No. 1 Tahun 1974. TLN No.3019.
Indonesia (Team Nusantara). Kitab UNdang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. Cet Pertama. Nusantara Publisher. Jakarta. 2009.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. LN No.98 Tahun 2011, TLN No.5229.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. LN No.109 Tahun 2002.
Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. LN No.232 Tahun 2013 TLN No. 5475.
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. LN No. 12 Tahun 1975. TLN No.3019.
Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan anak di luar kawin.
Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam.
Internet
Sumber: http:/hukumperdataunhas.wordpress.com/2013/06/17/kedudukan-hukum-anak-luar-kawin