intususepsi referat digestif 2014
DESCRIPTION
Intususepsi Referat Digestif 2014TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
Intususepsi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam
segmen lainnya, yang bisa berakibat dengan obstruksi. Penyebab intususepsi
masih belum jelas, namun diperkirakan ada beberapa keadaan yang berhubungan
terhadap terjadinya intususepsi, diantaranya adalah aktivitas peristaltik yang
berlebihan, tumor usus, gangguan koagulasi, kateter, gangguan elektrolit, infeksi
virus, serta operasi (Robbins et al, 2007).
Dari data epidemiologi yang tertera, didapatkan bahwa dua pertiga dari
anak dengan intususepsi berumur kurang dari satu tahun. Yang paling sering
adalah pada bayi dengan usia 5 – 10 bulan. Intususepsi merupakan suatu penyebab
yang paling sering dari insidensi obstruksi usus pada pasien yang berusia 5 bulan
sampai 3 tahun. Jenis kelamin laki-laki diketahui memiliki rasio lebih besar
daripada perempuan untuk terkena penyakit ini, yaitu sekitar 3:1. Sedangkan pada
usia lebih dari 4 tahun rasionya menjadi 8:1 (Blanco, 2014).
Tingkat mortalitas intususepsi terus menurun dari tahun ke tahun. Dari
data tahun 1995-1997, tingkat mortalitas pada penderita intususepsi di Amerika
Serikat adalah 2,3 kematian per 1.000.000 kelahiran. Tingkat mortalitas tahun
1995-1997 semakin mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 1979-1981
dengan tingkat mortalitas 6,4 kematian per 1.000.000 kelahiran. Penurunan
tingkat mortalitas ini dapat terjadi karena sudah ditemukannya tatalaksana operatif
dan penegakan diagnosis yang cepat. Oleh karena itu, intususepsi membutuhkan
diagnosis dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Tingkat mortalitas dapat
meningkat lebih dari 1% jika intususepsi dibiarkan selama 2-5 hari. Hal ini akan
berakibat fatal dimana komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah
perlekatan usus yang dapat menyebabkan obstruksi, perforasi usus, infeksi,
peritonitis, syok sepsis, dan kematian (Blanco, 2014).
Sebagai dokter, penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam mengenai
intususepsi karena intususepsi membutuhkan diagnosis yang cepat dan tepat, serta
dapat menyebabkan komplikasi yang berat apabila tidak tertangani dengan cepat
dan baik.
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Intususepsi adalah invaginasi atau masuknya suatu segmen proksimal
usus ke segmen distal selanjutnya. Intususepsi adalah penyebab obstruksi
usus yang hampir selalu ditemukan pada bayi dan balita. Intususepsi sering
terjadi pada ileum terminalis dan masuk ke dalam sekum (intususepsi
ilieocolica) (Hansen, 2010; Price & Wilson, 2005).
Intususepsi memiliki 2 jenis, yaitu antara lain adalah intususepsi
idiopatik dan intususepsi enterolateral. Intususepsi idiopatik merupakan jenis
intususepsi yang biasanya terjadi pada bayi. Intususepsi idiopatik biasanya
dimulai pada junctura ileocolica. Sedangkan intususepsi enterolateral terjadi
pada anak-anak dengan usia lebih tua atau pada orang dewasa. Jenis
intususepsi ini dibagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu intususepsi ileocolica
(gambar 2.1), intususepsi ileoileal (gambar 2.2), dan intususepsi ileoileocolica
(gambar 2.3) (Blanco, 2013).
Gambar 2.1 Intususepsi ileocolica (Hansen, 2010)
Gambar 2.2 Intususepsi ileoileal (Hansen, 2010)
2
Gambar 2.3 Intususepsi ileoileocolica (Hansen, 2010)
Beberapa penyebab yang sering dihubungkan dengan kejadian intususepsi
antara lain adalah sebagai berikut (Robbins et al, 2007):
1. Aktivitas peristaltik yang berlebihan
2. Massa intralumen (tumor)
3. Pembengkakan plak peyer
4. Henoch-Schonlein Purpura (HSP)
5. Hemofilia dan gangguan koagulasi lainnya
6. Kateter
7. Cystic fibrosis
8. Gangguan elektrolit
9. Infeksi virus
10. Obat-obatan tertentu
11. Operasi
B. Patofisiologi
Kebanyakan intususepsi adalah ileokolik dan ileokolik, sedikit
sekokolik dan jarang hanya ileal. Patogenesis dari intususepsi dipercayai
sebagai akibat dari ketidakseimbangan kekuatan kontraksi longitudinal
sepanjang dinding usus halus. Ketidakseimbangan ini dapat diakibatkan oleh
adanya massa sebagai “lead point” atau bentuk disorganisasi dari peristaltik
(contohnya ileus periode post-operasi). Sebagai akibat dari
ketidakseimbangan tersebut, sebuah area pada dinding usus halus mengalami
invaginasi ke lumen, mengikuti waktu istirahat usus halus. Bagian yang 3
mengalami invaginasi pada usus halus (intususeptum) menginvaginasi secara
lengkap pada bagian yang menerima invaginasi tersebut (intususipien). Proses
ini berlanjut terus dan diikuti oleh bagian proksimal, mulai dari bagian
intususeptum sampai sepanjang lumen intususipien. Jika progresivitasnya
cepat, intususeptum dapat terjadi sampai kolon distal atau sigmoid dan dapat
prolaps keluar dari anus (Sjamsuhidayat, 2005).
Mesenteri dari intususeptum dinvaginasi oleh usus halus, mengacu
proses patofisiologi klasik dari obstruksi usus besar. Awal proses ini, aliran
balik limfatik mengalami gangguan, yang kemudian drainase vena juga
mengalami gangguan karena peningkatan tekanan dalam dinding
intususeptum. Akhirnya, tekanan meningkat hingga sampai dimana aliran
arteri mengalami hambatan, dan terjadi infark. Mukosa menjadi sangat mudah
untuk mengalami iskemia karena bagian ini yang paling cepat menerima
suplai arteri. Mukosa yang mengalami iskemik akan terlepas, ditandai dengan
sisa heme-positif dan kemudian “currant jelly stool” klasik (campuran dari
mukosa yang terlepas, darah, dan mukus). Jika tidak tertangani, proses ini
dapat menjadi gangren transmural dan perforasi hingga ujung intususeptum
(Behrman, 2004).
Perubahan patologik yang diakibatkan intususepsi dapat menyebabkan
kerusakan pada bagian intususeptum. Intususipien biasanya tidak mengalami
kerusakan. Perubahan pada intususepsi ditimbulkan oleh penekanan bagian
ini oleh karena kontraksi dari intususipien, dan juga karena terganggunya
aliran darah sebagai akibat penekanan dan tertariknya mesenterium. Edema
dan pembengkakan dapat terjadi. Pembengkakan dapat sedemikian besarnya
sehingga menghambat reduksi. Adanya bendungan menimbulkan perembesan
(oozing) lendir dan darah ke dalam lumen. Ulserasi pada dinding usus dapat
terjadi. Sebagai akibat dari strangulasi, dapat terjadi gangren. Gangren dapat
berakibat lepasnya bagian yang mengalami prolaps. Pembengkakan dari
intususeptum umumnya menutup lumen usus. Akan tetapi tidak jarang pula
lumen tetap paten, sehingga obstruksi komplit kadang-kadang tidak terjadi
pada intususepsi (Hay, 2003).
4
Muntah reflektif terjadi tanpa penyebab yang jelas, mulai dari
makanan dan minuman yang terakhir dimakan sampai muntah bilus. Muntah
bilus suatu pertanda ada refluks gaster oleh adanya sumbatan di segmen usus
di bagian. Hal ini menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi, gejala ini
dijumpai pada kurang lebih 75% pasien invaginasi. Muntah dan nyeri sering
dijumpai sebagai gejala yang dominan pada sebagian besar pasien. Muntah
yang terus menerus terjadi dapat menyebabkan syok hipovolemik. Gejala lain
berupa kembung, suatu gambaran adanya distensi sistem usus oleh suatu
sumbatan didapatkan pada 90% kasus. Rangkaian patofisiologi intususepsi
dapat dilihat pada bagan 2.1 (Hay, 2003).
5
Bagan 2.1 Patofisiologi intususepsi (Hay, 2003)
6
C. Penegakan Diagnosis
1. Gejala dan Tanda
a. Gejala
Intususepsi sering dijumpai pada bayi sekitar 6 bulan. Si ibu akan
mengatakan bahwa bayinya sering menarik lututnya ke arah abdomen,
menangis kesakitan dan lalu relaksasi. Serangan ini timbul dengan
interval waktu 15-20 menit, dan bayi mungkin tertidur selama interval
tersebut. Muntah sering terjadi, feses bercampur dengan darah dan
mukus sering ditemukan selama 12 jam pertama menderita sakit.
(Eliastam, 2005).
Umumnya bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Pada tahap
awal muncul gejala strangulasi berupa nyeri perut hebat yang tiba –
tiba. Bayi menangis kesakitan saat serangan dan kembali normal di
antara serangan. Terdapat muntah berisi makanan atau minuman yang
masuk dan keluarnya darah bercampur lendir (red currant jelly) per
rektum (Graber, 2006).
Gejala intususepsi yang terjadi pada orang dewasa, tanda-tanda,
gejala dan perjalanan penyakitnya dapat berlangsung lama (gejala
kronis), atau dapat terjadi gejala yang hilang timbul (intermittent
symptoms). Walaupun pasien mungkin akan datang dengan akut
abdomen. Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh
perubahan faal saluran pencernaan ataupun oleh karena infeksi. Diare
yang disebut sebagai gejala paling awal invaginasi, didapatkan pada
85% kasus. Pasien biasanya mendapatkan intervensi medis maupun
tradisional pada waktu tersebut. Intervensi medis berupa pemberian
obat-obatan. Hal yang sulit untuk diketahui adalah jenis obat yang
diberikan, apakah suatu antidiare (suatu spasmolitik), obat yang sering
kali dicurigai sebagai pemicu terjadinya invaginasi. Sehingga
keberadaan diare sebagai salah satu gejala invaginasi atau pengobatan
terhadap diare sebagai pemicu timbulnya invaginasi sulit ditentukan
(Hay, 2003).
7
Gejala lain yang dijumpai berupa distensi, pireksia, Dance’s Sign
dan Sausage Like Sign, terdapat darah samar, lendir dan darah
makroskopis pada tinja serta tanda-tanda peritonitis dijumpai bila telah
terjadi perforasi. Dance’s Sign dan Sausage Like Sign dijumpai pada
kurang lebih 60% kasus, tanda ini patognomonik pada invaginasi.
Massa invaginasi akan teraba seperti batang sosis, yang tersering
ditemukan pada daerah paraumbilikal. Daerah yang ditinggalkan
intususeptum akan teraba kosong dan tanda ini disebut sebagai Dance’s
Sign (Hay, 2003).
Gejala klinis yang menonjol dari intususepsi menurut Fallen
(2005) adalah suatu trias gejala yang terdiri dari:
1) Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat hilang
timbul. Nyeri menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi
serangan baru.
2) Teraba massa tumor di perut bentuk curved sausage pada bagian
kanan atas, kanan bawah, atas tengah, kiri bawah, atau kiri atas.
3) Buang air besar campur darah dan lendir yang disebut red currant
jelly stool.
b. Tanda
Pada palpasi abdomen dapat teraba massa yang umumnya
berbentuk seperti pisang (silindris). Dalam keadaan lanjut muncul tanda
obstruksi usus, yaitu distensi abdomen dan muntah hijau fekal,
sedangkan massa intraabdomen sulit teraba lagi. Bila invaginasi
panjang hingga ke daerah rektum, pada pemeriksaan colok dubur
mungkin teraba ujung invaginat seperti porsio uterus, disebut
pseudoporsio. Pada sarung tangan terdapat lendir dan darah (Graber,
2006).
Bila penderita terlambat memeriksakan diri, maka sukar untuk
meraba tumor, maka dari itu untuk kepentingan diagnosis harus
berpegang pada gejala trias intususepsi. Mengingat intususepsi sering
terjadi pada anak berumur dibawah satu tahun, sedangkan penyakit
disentri umumnya terjadi pada anak-anak yang mulai berjalan dan
8
mulai bermain sendiri maka apabila ada pasien datang berumur
dibawah satu tahun, sakit perut yang bersifat kolik sehingga anak
menjadi rewel sepanjang hari, ada muntah, buang air besar campur
darah dan lendir maka pikirkanlah kemungkinan intususepsi (Santoso,
2011).
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiografi dan Kontras Enema
Tanda obstruksi usus dapat dilihat dengan radiografi. Intususepsi
merupakan sebagian penyebab dari obstruksi usus yang dapat dilihat
dengan radiografi jika ada sedikit akumulasi gas. Intususepsi jejuno-
jejunal seringkali menunjukkan hasil yang sama dengan intususepsi
ileokolik. Saluran jaringan ikat yang lunak dapat diidentifikasi. Jika
akumulasi gas cukup banyak pada bagian distal usus, maka terbentuk
intususepsi bagian atas. Pada traktus gastrointestinal bagian atas dapat
digunakan barium enema untuk menentukan tempat obstruksi. Bahan
kontras berbentuk pita dapat terlihat dengan jelas pada intususepsi
aboral sampai kesegmen usus yang dilatasi. Kadang kala terdapat
akumulasi bahan kontras dalam lumen antara intususeptum dan
intususipien (Krishnakumar et al, 2006).
Gambaran radiografi dari intususepsi dapat dilihat pada gambar
2.4 yang menunjukkan intususepsi pada kuadran kanan abdomen.
Gambar 2.5 menunjukkan gambaran intususepsi pada regio kiri atas
abdomen seorang bayi. Gambar 2.6 dan 2.7 menunjukkan gambaran
intususepsi dari pemeriksaan penunjang barium enema dan barium
udara. Gambar 2.6 menunjukkan intususepsi pada kolon asenden dari
pemeriksaan barium enema. Sedangkan gambar 2.7 menunjukkan
intususepsi pada pemeriksaan barium udara (Blanco, 2014).
9
Gambar 2.4 Gambaran radiografi intususepsi pada regio kuadran kanan
(Blanco, 2014)
Gambar 2.5 Gambaran radiografi intususepsi pada kuadran kiri atas
abdomen seorang bayi (Blanco, 2014)
10
Gambar 2.6 Barium Enema pada pasien intususepsi kolon descenden
(Blanco, 2014)
Gambar 2.7 Barium udara pada pasien intususepsi (Blanco, 2014)
Radiografi memiliki keterbatasan dalam menentukan diagnosis
intususepsi. Dalam sebuah penelitian, diungkapkan bahwa radiografi
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, dimana
sensitivitasnya hanya 48% dan spesifisitasnya 21%. Dalam 11% kasus,
terjadi salah interpretasi radiografi abdomen (Blanco, 2014).
b. Ultrasonografi dan CT-scan
Ultrasonografi (USG) juga dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya intususepsi. Sebuah penelitian melaporkan bahwa sensitivitas
dan spesifisitas USG dalam mendeteksi intususepsi ileokolik adalah
sekitar 97,9 % dan 97,8 %. USG menurunkan risiko pajanan terhadap
radiasi dan dapat membantu untuk mengetahui kemungkinan adanya
11
kelainan lain pada abdomen. Pada gambar 2.8 menunjukkan gambaran
klasik intususepsi pada pemeriksaan USG (Blanco, 2014).
Gambar 2.8 Tanda klasik intususeptum didalam intususipien pada USG
abdomen (Blanco, 2014)
CT-scan juga dapat digunakan sebagai salah satu pemeriksaan
penunjang intususepsi. Namun, temuan CT-scan tidak sensitif dan
spesifik seperti USG, sehingga hasilnya kurang dapat dipercaya. Selain
itu, CT-scan dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan
pemberian kontras intravena, pajanan radiasi, dan sedasi. Gambaran
intususepsi pada pemeriksaan CT-Scan dapat dilihat pada gambar 2.9
(Blanco, 2014).
Gambar 2.9 Hasil CT-scan pasien intususepsi (Blanco, 2014)
c. Temuan Laboratorium
Penemuan laboratorium yang abnormal adalah dehidrasi,
lekogram stress, anemia, serta abnormalitas asam basa dan elektrolit.
12
Intususepsi kronik dapat menyebabkan hipoalbuminemia karena
rendahnya protein dari kongesti mukosa. Dengan pemeriksaan feses
suatu waktu dapat ditemukan adanya investasi parasit (Krishnakumar et
al, 2006).
Pemeriksaan lanjutan yang dapat dilakukan adalah lekogram yaitu
dengan melihat adanya perubahan mulai dari leukopenia yang
disebabkan oleh adanya gangguan karena virus, sampai leukositosis
yang disebabkan karena adanya gangguan pada usus besar atau
peritonitis. Hematokrit mengalami perubahan yang signifikan jika
terjadi hemoragi gastrointestinal dan dehidrasi yang tinggi.
Abnormalitas elektrolit juga dapat diperiksa diantaranya hiponatremia,
hipokloremia, dan hipokalemia (Krishnakumar et al, 2006).
3. Diagnosis
The Brighton Collaboration Intussusception Working Group
mendirikan sebuah diagnosis klinis menggunakan campuran dari kriteria
mayor dan minor. Stratifikasi ini membantu untuk membuat keputusan
berdasarkan tiga level dari pembuktian untuk membuktikan apakah kasus
tersebut adalah intususepsi (Irish, 2011).
Kriteria Mayor (Irish, 2011):
a. Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau,
diikuti dengan distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau
tidak sama sekali.
b. Adanya gambaran invaginasi dari usus, dimana setidaknya tercakup
hal-hal berikut ini: massa abdomen, massa rektum, atau prolaps rektum,
terlihat pada gambaran foto abdomen, USG maupun CT-scan.
c. Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi
perdarahan rektum atau gambaran feses red currant jelly pada
pemeriksaan rectal toucher.
Kriteria Minor (Irish, 2011):
a. Bayi laki-laki kurang dari satu tahun
b. Nyeri abdomen
c. Muntah
13
d. Letargi
e. Pucat
f. Syok hipovolemi
g. Foto abdomen yang menunjukan abnormalitas tidak spesifik.
Pengelompokan berdasarkan tingkat pembuktian yaitu (Irish, 2011):
a. Level 1 – Definite (ditemukannya satu kriteria dibawah ini):
1) Kriteria pembedahan: invaginasi usus yang ditemukan saat
pembedahan
2) Kriteria radiologi: air enema atau liquid contrast enema menunjukan
invaginasi dengan manifestasi spesifik yang bisa dibuktikan dapat
direduksi oleh enema tersebut.
3) Kriteria autopsi: invaginasi dari usus
b. Level 2 - Probable (salah satu kriteria dibawah):
1) Dua kriteria mayor
2) Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor
c. Level 3 – Possible: empat atau lebih kriteria minor
D. Terapi
Sebelum melakukan terapi definitif terhadap invaginasi usus yang
terjadi tindakan perbaikan keadaan umum yang mutlak perlu dikerjakan
antara lain (Fallan, 2005):
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi dan mencegah aspirasi
2. Rehidrasi (monitor keseimbangan cairan)
3. Terapi medikamentosa seperti antibiotik (bila gejala obstruksi sudah jelas,
ada demam, atau obstruksi sudah berlangsung lebih dari 24 jam) dan obat
penenang untuk penahan sakit seperti fenobarbital dan valium.
4. Setelah keadaan umum baik baru dipilih tindakan reposisi yang sesuai
dengan keadaan pasien.
Penatalaksanaan invaginasi dapat dilakukan secara non-operatif dan
operatif. Prinsipnya dilakukan tindakan non-operatif terlebih dahulu.
Tindakan operatif baru dilakukan apabila terdapat kontraindikasi tindakan
non-operatif seperti gejala obstruksi yang jelas, terdapat tanda peritonitis, atau
14
kasus yang sudah lama (> 48 jam) atau setelah tindakan non-operatif tidak
berhasil (Sabiston, 2010).
1. Non-operatif
a. Reduksi pneumostatik
Tindakan non-operatif lebih banyak menekan mortalitas
dibanding tindakan bedah. Metodenya yaitu dengan air enema. Tekanan
udara diukur dengan manometer dan tidak boleh melebihi 120 mmHg
(batas keamanan maksimal 80 mmHg). Udara yang masuk akan
mendorong intususepsi. Kriteria berhasil adalah adanya refluks ke
dalam usus halus dan penderita terlihat membaik. Angka kesuksesan air
enema di China mencapai 90%, di beberapa negara lain angka
kesuksesan hanya mencapai 60%. Kompikasi tindakan ini adalah
pneumoperitonium (Spalding & Evans, 2004).
b. Reduksi Hidrostatik
Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus
menggunakan kateter dengan tekanan tertentu. Barium enema sudah
digunakan untuk pengobatan invaginasi dan hasilnya memuaskan
(angka kesuksesan 42-80%, rekurensi sekitar 5%). Hanya sedikit
kemungkinan terjadi perforasi walaupun usus telah mengalami gangren,
asal tekanan hidrostatik tidak melebihi 1 meter air. Demikian pula
lamanya perawatan pada reposisi barium lebih pendek daripada operasi.
Kadang kadang reposisi barium tidak berhasil, misalnya pada umur
kurang 3 bulan dan invaginasi ileo-ileal. Bayangan kontras dalam
bentuk cupping tidak mencapai ileum terminalis sehingga memerlukan
operasi (Brunicardi et al, 2007).
Adapun syarat - syarat pengelolaan secara hidrostatik antara lain
keadaan umum mengizinkan, tidak ada gejala dan tanda rangsang
peritoneum, anak tidak toksis, dan tidak terdapat obstruksi tinggi.
Prosedur dapat dilakukan dalam keadaan sedasi. Kateter Foley
dimasukkan ke rektum lalu NaCl 0,9% atau barium dimasukkan per
rektal dari ketinggian 3 kaki, interval 3 menit, dilakukan observasi
dengan fluoroskopi, lanjutkan prosedur bila terjadi reduksi. Tunggu 10
15
menit, bila tidak terjadi reduksi, keluarkan barium (Brunicardi et al,
2007).
Prosedur ini dapat diulangi sampai 3 kali. Reduksi berhasil harus
dikonfirmasi dengan adanya kontras yang melewati ileum terminalis,
bila pipa rektal ditarik keluar anus akan keluar barium beserta feses dan
udara, pada pemeriksaan fisik, perut tampak mengempis dan massa
menghilang. Pada kasus-kasus dimana reduksi sempurna dengan
barium enema tidak mungkin terjadi, prosedur ini dapat sangat
mengurangi ukuran intususepsi sehingga panjang insisi yang
dibutuhkan pada tindakan operasi dapat dikurangi (Brunicardi et al,
2007).
2. Operatif
a. Laparotomi
Pasien dengan keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan
suhu, angka leukosit, mengalami gejala berkepanjangan atau
ditemukan sudah lanjut yang ditandai dengan distensi abdomen, feses
berdarah, gangguan sistem usus yang berat sampai timbul syok atau
peritonitis, pasien segera dipersiapkan untuk suatu operasi (Fallan,
2005).
Operasi dini tanpa terapi barium dikerjakan bila terjadi
perforasi, peritonitis dan tanda-tanda obstruksi. Keadaan ini biasanya
pada invaginasi yang sudah berlangsung lebih dari 48 jam. Demikian
pula pada kasus-kasus relaps. Invaginasi berulang 11% setelah
reposisi barium dan 3% pada operasi tanpa reseksi usus. Biasanya
reseksi dilakukan jika aliran darah tidak pulih kembali setelah
dihangatkan dengan larutan fisiologik. Usus yang mengalami
invaginasi nampak kebiruan. Pada perawatan kedua kali, dikerjakan
operasi tanpa barium enema (Fallan, 2005).
Kegagalan mereduksi intususepsi dengan prosedur non-operatif
juga memerlukan operasi. Eksplorasi dilakukan melalui insisi pada
kuadran kanan bawah perut. Reduksi dilakukan dengan mengurut
pelan distal usus agar keluar dari intususepsi (milking), jangan
16
menarik usus keluar karena dapat menimbulkan cedera sekunder pada
usus seperti ileus paralitik, perforasi, adhesif. Reseksi dapat dilakukan
pada bagian usus yang gangren. Lalu dibuat anastomosis primer
ileokolika (Fallan, 2005).
Laparotomi dengan insisi transversal interspina merupakan
standar yang diterapkan di RS. Dr. Sardjito. Tindakan selama operasi
tergantung kepada penemuan keadaan usus, reposisi manual dengan
milking harus dilakukan dengan halus dan sabar, juga bergantung
kepada ketrampilan dan pengalaman operator. Reseksi usus dilakukan
apabila pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual,
bila viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan patologis
sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan
anastomose “end to end” apabila hal ini memungkinkan, bila tidak
mungkin maka dilakukan eksteriorisasi atau enterostomi (Fallan,
2005).
Terapi intususepsi pada orang dewasa adalah pembedahan.
Diagnosis pada saat pembedahan tidak sulit dibuat. Pada intususepsi
yang mengenai kolon sangat besar kemungkinan penyebabnya adalah
suatu keganasan, oleh karena itu ahli bedah dianjurkan untuk segera
melakukan reseksi, tanpa melakukan usaha reduksi. Pada intususepsi
dari usus halus harus dilakukan usaha reduksi dengan hati-hati. Jika
ditemukan kelainan telah mengalami nekrosis, reduksi tidak perlu
dikerjakan dan reseksi segera dilakukan. Pada kasus-kasus yang
idiopatik, tidak ada yang perlu dilakukan selain reduksi. Tumor jinak
harus diangkat secara lokal, tapi jika ada keragu-raguan mengenai
keganasan, reseksi yang cukup harus dikerjakan (Fallan, 2005).
Langkah-langkah yang dilalui pada tindakan operatif pada
intususepsi adalah (Fallan, 2005):
1) Pre-operatif
Penanganan intususepsi pada dewasa secara umum sama
seperti penangan pada kasus obstruksi usus lainnya yaitu perbaikan
17
keadaan umum seperti rehidrasi dan koreksi elektrolit bila sudah
terjadi defisit elektrolit.
2) Durante Operatif
Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan
laparotomi, karena kausa terbanyak intususepsi pada dewasa adalah
suatu keadaan neoplasma maka tindakan yang dianjurkan adalah
reseksi anastosmose segmen usus yang terlibat dengan memastikan
lead point-nya, baik itu neoplasma yang bersifat jinak maupun
yang ganas.
Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko:
a) Ruptur dinding usus selama manipulasi
b) Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi
c) Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi
d) Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan motilitas
e) Pembengkakan segmen usus yang terlibat
Batas reseksi pada umumnya adalah 10 cm dari tepi – tepi
segmen usus yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal
minimum 30 cm dari lesi, kemudian dilakukan anastosmose end to
end atau side to side.
Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi
atau lead point-nya tidak ditemukan maka tindakan reduksi dapat
dianjurkan, begitu juga pada kasus retrograd intususepsi pasca
gastrojejunostomi tindakan reduksi dapat dibenarkan, keadaan
lainya seperti intususepsi pada usus halus yang kausanya pasti lesi
jinak tindakan reduksi dapat dibenarkan juga, tetapi pada pasien
intususepsi tanpa riwayat pembedahan abdomen sebelumnya
sebaiknya dilakukan reseksi anastosmose.
3) Pasca Operasi
a) Hindari Dehidrasi
b) Pertahankan stabilitas elektrolit
c) Pengawasan akan inflamasi dan infeksi
18
d) Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu
motilitas usus
Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas
sebagai penyebabnya adalah besar, maka tidak dilakukan reduksi
(milking) tetapi langsung dilakukan reseksi. Sedangkan bila
invaginasinya pada usus halus reduksi boleh dicoba dengan hati-
hati, tetapi bila terlihat ada tanda nekrosis, perforasi, oedema,
reduksi tidak boleh dilakukan, maka langsung direseksi saja.
Apabila akan melakukan reseksi usus halus pada invaginasi dewasa
hendaknya dipertimbangkan juga sisa usus halus yang ditinggalkan,
ini untuk menghindari atau memperkecil timbulnya short bowel
syndrome.
Apabila usus halus yang tersisa 3 meter atau kurang akan
menimbulkan gangguan nutrisi dan gangguan pertumbuhan. Jika
usus halus yang tersisa 2 meter atau kurang fungsi dan kehidupan
sangat terganggu. Jika tinggal 1 meter maka dengan nutrisi
parenteral pun tidak akan adekuat.
E. Prognosis
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya
pertolongan yang diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari
serangan pertama, maka akan memberikan prognosis yang lebih baik.
Kematian dengan terapi sekitar 1-3 %. Jika tanpa terapi, 2-5 hari akan
berakibat fatal (Ein & Ademan, 2003).
F. Komplikasi
Jika invaginasi terlambat atau tidak diterapi, bisa timbul beberapa
komplikasi berat, seperti kematian jaringan usus, perforasi usus, infeksi,
dan kematian (Ein & Ademan, 2003).
Intususepsi pada anak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi
usus. Komplikasi lain pada anak yang dapat terjadi adalah dehidrasi dan
aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia dan nekrosis usus dapat
19
menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang signifikan pada usus
dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan “short bowel
syndrome”. Meskipun diterapi dengan reduksi operatif maupun
radiografik, striktur dapat muncul dalam 4-8 minggu pada usus yang
terlibat (Fallan, 2005).
20
III. PEMBAHASAN
A. Tatalaksana Nonoperatif
Kondisi umum pasien harus dipastikan sebelum reduksi intususepsi.
Peritonitis, syok, dan dehidrasi harus ditangani dengan resusitasi cairan
segera karena kondisi tersebut merupakan kontraindikasi dari reduksi enema.
Antibiotik profilaktik seringkali diberikan walaupun kegunaannya masih
dipertanyakan (van Heurn, Pakarinen, Wester, 2013).
Reduksi enema nonoperatif merupakan penatalaksanaan pilihan untuk
intususepsi ileokolik tanpa komplikasi. Teknik terkini untuk reduksi
nonoperatif intususepsi mencakup enema tekanan pneumatik atau hidrostatik
dengan pengawasan fluoroskopi atau ultrasonografi. Reduksi pneumatis
dengan pengawasan ultrasonografi diterima secara luas dengan angka
kesuksesan mencapai 90%. Reduksi ini mudah dilakukan, tanpa radiasi, dan
kontaminasi pada kavitas peritoneal lebih sedikit daripada reduksi hidrostatis
jika terdapat perforasi. Kerugian potensial dari reduksi pneumatis adalah
risiko tension pneumoperitoneum jika terdapat perforasi. Enema kontras juga
merupakan metode aman dan efektif untuk mereduksi intususepsi. Terdapat
bukti kontradiksional jika longstanding intususepsi mengurangi kesuksesan
reduksi enema. Secara umum dapat diterima bahwa reduksi nonoperatif
sebaiknya juga diupayakan pada pasien dengan gejala berkepanjangan jika
tidak ada peritonitis (van Heurn, Pakarinen, Wester, 2013).
Reduksi hidrostatis menggunakan sonografi cukup aman dan efektif
untuk menangani intususepsi. Dengan mengeliminasi pajanan radiasi, jumlah
upaya untuk menangani ion intususep tidak lagi terbatas sepanjang kondisi
pasien stabil dan ada reduksi progresif. Tambahan lain, progresi dan
pergerakan intususeptum dapat diawasi terus menerus selama mencari
keadaan patologis yang menyebabkan intususepsi. Hal ini mencakup
limfadenopati, duplikasi kista, polip, divertikula (Meckel), dan masa
intraabdominal lain. Keberadaan lead point terlihat pada 5% pasien dengan
intususepsi dan mungkin butuh penanganan lebih lanjut. Identifikasi lead
21
point dapat dicapai lebih mudah dengan sonografi daripada dengan
fluoroskopi (Sanchez et al, 2012).
Walaupun perforasi jarang terjadi, keadaan ini seringkali ditemukan
dengan sonografi. Adanya kenaikan tiba-tiba pada cairan bebas abdomen atau
pelvis mengindikasikan perforasi yang mengharuskan terminasi segera
prosedur nonoperatif dan rujuk ke pembedahan. Sebagai tambahan, tension
pneumoperitoneum―komplikasi yang potensial mengancam hidup akibat
reduksi pneumatis―dapat dihindari dengan penggunaan hidrostatik enema
sonografi (Sanchez et al, 2012).
Sebagian kecil pasien yang memiliki obstruksi parah dan distensi
akibat gas pada usus halus, pada citra fluoroskopik sulit diinterpretasi
sehingga menurunkan kesuksesan reduksi. Selebihnya, residu ion intususep
usus halus (ileoileal) dapat hilang dengan fluoroskopi. Kemungkinan ini tidak
terjadi dengan sonografi. Seseorang dapat melihat jelas sekum yang penuh
terisi cairan, penebalan valva ileosekal, dan aliran bebas cairan ke distal usus
halus yang menandakan kesuksesan reduksi. Keberadaan intususepsi terkait
usus halus dapat didiagnosis dengan mudah (Sanchez et al, 2012).
Sonografi sangat membantu untuk membedakan valva ileosekal
edematosa sehingga mencegah refluks substansial cairan ke dalam usus halus
dari residu ion intususep ileokolik, sedangkan dengan fluoroskopi terdapat
keterbatasan untuk membedakan kondisi edema valva. Terdapat rekomendasi
menggunakan sonografi Doppler untuk pencitraan lebih baik cairan yang
melewati valva ileosekal paten (Sanchez et al, 2012).
Sebelumnya, pasien dioperasi jika intususepsi tidak dapat direduksi
dengan sekali upaya pada reduksi radiologis. Pengulangan enema yang
tertunda setelah beberapa jam observasi cukup sukses pada 50% pasien.
Kontraindikasi pengulangan enema yang tertunda adalah kegagalan untuk
memindahkan intususeptum pada upaya pertama dan instabilitas
hemodinamik (van Heurn, Pakarinen, Wester, 2013).
Secara keseluruhan, teknik sonografi dinilai lebih aman dan efektif
daripada teknik fluoroskopi dalam penatalaksanaan nonoperatif intususepsi.
Namun, jumlah pajanan radiasi dan risiko tension pneumoperitoneum tetap
22
menjadi pertimbangan baik terhadap teknik sonografi maupun teknik
fluoroskopi sehingga prinsip ALARA (as low as reasonably achieavable)
perlu ditekankan pada kedua teknik ini. Perbedaan antara terapi fluoroskopi
dan sonografi dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Perbedaan Fluoroskopi dan Sonografi
Perbedaan Fluoroskopi Sonografi
Penemuan keadaan patologis intususepsi
Lebih sulit Lebih mudah
Risiko adanya tension pneumoperitoneum
Lebih kecil Lebih besar
Interpretasi obstruksi parah atau distensi gas
Sulit dideteksi Mudah dideteksi
Identifikasi valva ileosekal edematosa
Sulit dibedakan Mudah dibedakan
Pajanan radiasi Relatif lebih banyak Relatif sedikit
(van Heurn, Pakarinen, Wester, 2013; Sanchez et al, 2012).
B. Tatalaksana Operatif
Pembedahan penting dilakukukan jika reduksi enema gagal atau
kontraindikasi. Reduksi laparoskopik seringkali berhasil walaupun angka
konversi cukup tinggi. waktu pemulihan dan hospitalisasi cukup singkat
setelah reduksi laparoskopik. Jika reduksi laparoskopik gagal, intususepsi
direduksi oleh laparotomi dengan kompresi dan traksi ringan pada usus
proksimal. Jika kehidupan sel usus diragukan, maka bagian nekrotik harus
direseksi. Biasanya anastomosis primer akan dibuat (van Heurn, Pakarinen,
Wester, 2013).
Penatalaksanaan intususepsi pada orang dewasa masih kontroversial,
terutama berfokus pada reseksi primer en bloc dengan reduksi inisial diikuti
reseksi terbatas. Reduksi oleh pembedahan sebelum reseksi secara teoritis
memungkinkan reseksi yang lebih terbatas namun perlu dipertimbangkan
adanya risiko intraluminal seeding atau diseminasi tumor vena. Selain itu,
laporan terkini merekomendasikan reduksi inisial pada usus halus yang aktif 23
sebelum reseksi. Kejadian kanker pada intususepsi ileokolik dan kolokolik,
yang muncul sebagai lesi primer, mencapai 43-100% jika reseksi dilakukan
tanpa reduksi (Akbulut, 2012).
24
IV. KESIMPULAN
1. Intususepsi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam
segmen lainnya, yang bisa berakibat dengan obstruksi. Keadaan ini
merupakan suatu penyebab yang paling sering dari insidensi obstruksi usus
pada pasien yang berusia 5 bulan sampai 3 tahun. Intususeptum adalah istilah
untuk menyebutkan bagian usus yang “melakukan” invaginasi, sedangkan
intususipien adalah sebutan untuk bagian usus yang menerima invaginasi.
2. Tanda dan gejala yang dialami penderita antara lain adalah nyeri abdomen,
muntah-muntah, keluar darah bercampur lendir (red currant jelly) per rektum,
dan jika pasiennya bayi biasanya akan sangat rewel. Jika dilakukan palpasi
abdomen akan teraba massa berbentuk silindris.
3. Dalam penegakkan diagnosisnya dapat menggunakan kriteria mayor dan
minor, serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah radiografi, ultrasonografi, dan endoskopi.
4. Perbaikan keadaan umum harus segera dilakukan pada pasien intususepsi.
Jika keadaan umum pasien telah stabil, dapat dilakukan terapi definitif untuk
intususepsi. Terapi untuk intususepsi dibagi menjadi dua, yaitu nonoperatif
dan operatif. Terapi nonoperatif meliputi reduksi pneumostatik dan reduksi
hidrostatik. Terapi operatif adalah dengan laparotomi.
5. Prognosis intususepsi baik bila ditangani secara cepat. Jika tidak ditangani
dengan cepat, komplikasi yang dapat terjadi yaitu kematian jaringan usus,
perforasi usus, infeksi, dan kematian.
25
DAFTAR PUSTAKA
Akbulut, S 2012, ‘Intusussception Due To Inflammatory Fibroid Polyp: A Case Report and Comprehensive Literature Review’, World Journal of Gastroenterology, no. 18, pp. 5742-5745.
Behrman, RE 2004, Textbook of Pediatrics, 17th edn, Saunders.
Blanco, FC 2014, ‘Intussusception’, viewed 25 May 2014, <http://emedicine.medscape.com/article/930708-overview>
Brunicardi, FC, Andersen, DK, Billiar, TR, Dun, DL, Hunter, JG, & Pollock, RE 2007. Schwartz’s Principle of Surgery, 8th edn, The McGraw-Hill Companies, New York.
Ein, S, & Daneman, A 2003, Operative Pediatric Surgery,Mc Graw-Hill Professional, New York.
Eliastam, M 2005, Penuntun Kegawatdaruratan Medis, EGC, Jakarta.
Fallan, ME 2005, Intussusception in Pediactric Surgery, 4th edn, WB Saunders Company, Philadelpia.
Graber, MA 2006, Buku Saku Dokter Keluarga, EGC, Jakarta.
Hansen, JT 2010, Netter’s Clinical Anatomy, Saunders Elsevier, Philadelphia.
Hay, WW 2003. Current Pediatrics Diagnosis & Treatment, 16th edn, Mc Graw-Hill Professional, New York.
Krishnakumar, Hameed, S, & Umamaheshwari 2006, ‘Ultrasound Guided Hydrostatic Reduction in the Management of Intussusception’, Indian Journal of Pediatrics, vol. 73, pp. 217-220.
Irish, MS 2011, ‘Pediatric Intussusception Surgery’, viewed 24 May 2014, <http://emedicine.medscape.com/article/937730-overview#showall>
Robbins, SL, Kumar, V, & Cotran, RS 2007, Buku Ajar Patologi Robbins, edisi 7, EGC, Jakarta.
Sabiston, DC 2010, Buku Ajar Bedah, edisi 1, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Sanchez, TRS, Potnick, A, Graf, JL, Abramson, LP, & Patel, CV 2012, ‘Sonographically Guided Enema for Intususepsi Reduction: A Safer Alternative to Fluoroscopy’, J Ultrasonografi Med. no.31, pp. 1505-1508.
.
26
Santoso, YA, Erfan F 2011, ‘Hubungan antara lama timbulnya gejala klinis awal hingga tindakan operasi dengan lama rawatan pada penderita invaginasi yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan’, Masters Thesis, Universitas Sumatera Utara, viewed 24 May 2014, <http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/24306?mode=full>
Sjamsuhidayat R, de Jong, W 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Spalding SC, Evans B 2004, ‘Intussusception’, Emergency Medicine Journal, vol. 36, pp. 12-19.
Van Heurn, LWE, Pakarinen, MP, & Wester, T 2014, ‘Contemporary Management of Abdominal Surgical Emergencies in Infants and Children’, BJS, no. 101, pp. c24-c33.
27