intususepsi referat digestif 2014

39
I. PENDAHULUAN Intususepsi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam segmen lainnya, yang bisa berakibat dengan obstruksi. Penyebab intususepsi masih belum jelas, namun diperkirakan ada beberapa keadaan yang berhubungan terhadap terjadinya intususepsi, diantaranya adalah aktivitas peristaltik yang berlebihan, tumor usus, gangguan koagulasi, kateter, gangguan elektrolit, infeksi virus, serta operasi (Robbins et al, 2007). Dari data epidemiologi yang tertera, didapatkan bahwa dua pertiga dari anak dengan intususepsi berumur kurang dari satu tahun. Yang paling sering adalah pada bayi dengan usia 5 – 10 bulan. Intususepsi merupakan suatu penyebab yang paling sering dari insidensi obstruksi usus pada pasien yang berusia 5 bulan sampai 3 tahun. Jenis kelamin laki-laki diketahui memiliki rasio lebih besar daripada perempuan untuk terkena penyakit ini, yaitu sekitar 3:1. Sedangkan pada usia lebih dari 4 tahun rasionya menjadi 8:1 (Blanco, 2014). Tingkat mortalitas intususepsi terus menurun dari tahun ke tahun. Dari data tahun 1995-1997, tingkat mortalitas pada penderita intususepsi di Amerika Serikat adalah 2,3 kematian per 1.000.000 kelahiran. Tingkat mortalitas tahun 1995-1997 semakin mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 1979-1981 dengan 1

Upload: nurul-hidayati-sy

Post on 27-Dec-2015

174 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

Intususepsi Referat Digestif 2014

TRANSCRIPT

Page 1: Intususepsi Referat Digestif 2014

I. PENDAHULUAN

Intususepsi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam

segmen lainnya, yang bisa berakibat dengan obstruksi. Penyebab intususepsi

masih belum jelas, namun diperkirakan ada beberapa keadaan yang berhubungan

terhadap terjadinya intususepsi, diantaranya adalah aktivitas peristaltik yang

berlebihan, tumor usus, gangguan koagulasi, kateter, gangguan elektrolit, infeksi

virus, serta operasi (Robbins et al, 2007).

Dari data epidemiologi yang tertera, didapatkan bahwa dua pertiga dari

anak dengan intususepsi berumur kurang dari satu tahun. Yang paling sering

adalah pada bayi dengan usia 5 – 10 bulan. Intususepsi merupakan suatu penyebab

yang paling sering dari insidensi obstruksi usus pada pasien yang berusia 5 bulan

sampai 3 tahun. Jenis kelamin laki-laki diketahui memiliki rasio lebih besar

daripada perempuan untuk terkena penyakit ini, yaitu sekitar 3:1. Sedangkan pada

usia lebih dari 4 tahun rasionya menjadi 8:1 (Blanco, 2014).

Tingkat mortalitas intususepsi terus menurun dari tahun ke tahun. Dari

data tahun 1995-1997, tingkat mortalitas pada penderita intususepsi di Amerika

Serikat adalah 2,3 kematian per 1.000.000 kelahiran. Tingkat mortalitas tahun

1995-1997 semakin mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 1979-1981

dengan tingkat mortalitas 6,4 kematian per 1.000.000 kelahiran. Penurunan

tingkat mortalitas ini dapat terjadi karena sudah ditemukannya tatalaksana operatif

dan penegakan diagnosis yang cepat. Oleh karena itu, intususepsi membutuhkan

diagnosis dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Tingkat mortalitas dapat

meningkat lebih dari 1% jika intususepsi dibiarkan selama 2-5 hari. Hal ini akan

berakibat fatal dimana komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah

perlekatan usus yang dapat menyebabkan obstruksi, perforasi usus, infeksi,

peritonitis, syok sepsis, dan kematian (Blanco, 2014).

Sebagai dokter, penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam mengenai

intususepsi karena intususepsi membutuhkan diagnosis yang cepat dan tepat, serta

dapat menyebabkan komplikasi yang berat apabila tidak tertangani dengan cepat

dan baik.

1

Page 2: Intususepsi Referat Digestif 2014

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Intususepsi adalah invaginasi atau masuknya suatu segmen proksimal

usus ke segmen distal selanjutnya. Intususepsi adalah penyebab obstruksi

usus yang hampir selalu ditemukan pada bayi dan balita. Intususepsi sering

terjadi pada ileum terminalis dan masuk ke dalam sekum (intususepsi

ilieocolica) (Hansen, 2010; Price & Wilson, 2005).

Intususepsi memiliki 2 jenis, yaitu antara lain adalah intususepsi

idiopatik dan intususepsi enterolateral. Intususepsi idiopatik merupakan jenis

intususepsi yang biasanya terjadi pada bayi. Intususepsi idiopatik biasanya

dimulai pada junctura ileocolica. Sedangkan intususepsi enterolateral terjadi

pada anak-anak dengan usia lebih tua atau pada orang dewasa. Jenis

intususepsi ini dibagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu intususepsi ileocolica

(gambar 2.1), intususepsi ileoileal (gambar 2.2), dan intususepsi ileoileocolica

(gambar 2.3) (Blanco, 2013).

Gambar 2.1 Intususepsi ileocolica (Hansen, 2010)

Gambar 2.2 Intususepsi ileoileal (Hansen, 2010)

2

Page 3: Intususepsi Referat Digestif 2014

Gambar 2.3 Intususepsi ileoileocolica (Hansen, 2010)

Beberapa penyebab yang sering dihubungkan dengan kejadian intususepsi

antara lain adalah sebagai berikut (Robbins et al, 2007):

1. Aktivitas peristaltik yang berlebihan

2. Massa intralumen (tumor)

3. Pembengkakan plak peyer

4. Henoch-Schonlein Purpura (HSP)

5. Hemofilia dan gangguan koagulasi lainnya

6. Kateter

7. Cystic fibrosis

8. Gangguan elektrolit

9. Infeksi virus

10. Obat-obatan tertentu

11. Operasi

B. Patofisiologi

Kebanyakan intususepsi adalah ileokolik dan ileokolik, sedikit

sekokolik dan jarang hanya ileal. Patogenesis dari intususepsi dipercayai

sebagai akibat dari ketidakseimbangan kekuatan kontraksi longitudinal

sepanjang dinding usus halus. Ketidakseimbangan ini dapat diakibatkan oleh

adanya massa sebagai “lead point” atau bentuk disorganisasi dari peristaltik

(contohnya ileus periode post-operasi). Sebagai akibat dari

ketidakseimbangan tersebut, sebuah area pada dinding usus halus mengalami

invaginasi ke lumen, mengikuti waktu istirahat usus halus. Bagian yang 3

Page 4: Intususepsi Referat Digestif 2014

mengalami invaginasi pada usus halus (intususeptum) menginvaginasi secara

lengkap pada bagian yang menerima invaginasi tersebut (intususipien). Proses

ini berlanjut terus dan diikuti oleh bagian proksimal, mulai dari bagian

intususeptum sampai sepanjang lumen intususipien. Jika progresivitasnya

cepat, intususeptum dapat terjadi sampai kolon distal atau sigmoid dan dapat

prolaps keluar dari anus (Sjamsuhidayat, 2005).

Mesenteri dari intususeptum dinvaginasi oleh usus halus, mengacu

proses patofisiologi klasik dari obstruksi usus besar. Awal proses ini, aliran

balik limfatik mengalami gangguan, yang kemudian drainase vena juga

mengalami gangguan karena peningkatan tekanan dalam dinding

intususeptum. Akhirnya, tekanan meningkat hingga sampai dimana aliran

arteri mengalami hambatan, dan terjadi infark. Mukosa menjadi sangat mudah

untuk mengalami iskemia karena bagian ini yang paling cepat menerima

suplai arteri. Mukosa yang mengalami iskemik akan terlepas, ditandai dengan

sisa heme-positif dan kemudian “currant jelly stool” klasik (campuran dari

mukosa yang terlepas, darah, dan mukus). Jika tidak tertangani, proses ini

dapat menjadi gangren transmural dan perforasi hingga ujung intususeptum

(Behrman, 2004).

Perubahan patologik yang diakibatkan intususepsi dapat menyebabkan

kerusakan pada bagian intususeptum. Intususipien biasanya tidak mengalami

kerusakan. Perubahan pada intususepsi ditimbulkan oleh penekanan bagian

ini oleh karena kontraksi dari intususipien, dan juga karena terganggunya

aliran darah sebagai akibat penekanan dan tertariknya mesenterium. Edema

dan pembengkakan dapat terjadi. Pembengkakan dapat sedemikian besarnya

sehingga menghambat reduksi. Adanya bendungan menimbulkan perembesan

(oozing) lendir dan darah ke dalam lumen. Ulserasi pada dinding usus dapat

terjadi. Sebagai akibat dari strangulasi, dapat terjadi gangren. Gangren dapat

berakibat lepasnya bagian yang mengalami prolaps. Pembengkakan dari

intususeptum umumnya menutup lumen usus. Akan tetapi tidak jarang pula

lumen tetap paten, sehingga obstruksi komplit kadang-kadang tidak terjadi

pada intususepsi (Hay, 2003).

4

Page 5: Intususepsi Referat Digestif 2014

Muntah reflektif terjadi tanpa penyebab yang jelas, mulai dari

makanan dan minuman yang terakhir dimakan sampai muntah bilus. Muntah

bilus suatu pertanda ada refluks gaster oleh adanya sumbatan di segmen usus

di bagian. Hal ini menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi, gejala ini

dijumpai pada kurang lebih 75% pasien invaginasi. Muntah dan nyeri sering

dijumpai sebagai gejala yang dominan pada sebagian besar pasien. Muntah

yang terus menerus terjadi dapat menyebabkan syok hipovolemik. Gejala lain

berupa kembung, suatu gambaran adanya distensi sistem usus oleh suatu

sumbatan didapatkan pada 90% kasus. Rangkaian patofisiologi intususepsi

dapat dilihat pada bagan 2.1 (Hay, 2003).

5

Page 6: Intususepsi Referat Digestif 2014

Bagan 2.1 Patofisiologi intususepsi (Hay, 2003)

6

Page 7: Intususepsi Referat Digestif 2014

C. Penegakan Diagnosis

1. Gejala dan Tanda

a. Gejala

Intususepsi sering dijumpai pada bayi sekitar 6 bulan. Si ibu akan

mengatakan bahwa bayinya sering menarik lututnya ke arah abdomen,

menangis kesakitan dan lalu relaksasi. Serangan ini timbul dengan

interval waktu 15-20 menit, dan bayi mungkin tertidur selama interval

tersebut. Muntah sering terjadi, feses bercampur dengan darah dan

mukus sering ditemukan selama 12 jam pertama menderita sakit.

(Eliastam, 2005).

Umumnya bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Pada tahap

awal muncul gejala strangulasi berupa nyeri perut hebat yang tiba –

tiba. Bayi menangis kesakitan saat serangan dan kembali normal di

antara serangan. Terdapat muntah berisi makanan atau minuman yang

masuk dan keluarnya darah bercampur lendir (red currant jelly) per

rektum (Graber, 2006).

Gejala intususepsi yang terjadi pada orang dewasa, tanda-tanda,

gejala dan perjalanan penyakitnya dapat berlangsung lama (gejala

kronis), atau dapat terjadi gejala yang hilang timbul (intermittent

symptoms). Walaupun pasien mungkin akan datang dengan akut

abdomen. Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh

perubahan faal saluran pencernaan ataupun oleh karena infeksi. Diare

yang disebut sebagai gejala paling awal invaginasi, didapatkan pada

85% kasus. Pasien biasanya mendapatkan intervensi medis maupun

tradisional pada waktu tersebut. Intervensi medis berupa pemberian

obat-obatan. Hal yang sulit untuk diketahui adalah jenis obat yang

diberikan, apakah suatu antidiare (suatu spasmolitik), obat yang sering

kali dicurigai sebagai pemicu terjadinya invaginasi. Sehingga

keberadaan diare sebagai salah satu gejala invaginasi atau pengobatan

terhadap diare sebagai pemicu timbulnya invaginasi sulit ditentukan

(Hay, 2003).

7

Page 8: Intususepsi Referat Digestif 2014

Gejala lain yang dijumpai berupa distensi, pireksia, Dance’s Sign

dan Sausage Like Sign, terdapat darah samar, lendir dan darah

makroskopis pada tinja serta tanda-tanda peritonitis dijumpai bila telah

terjadi perforasi. Dance’s Sign dan Sausage Like Sign dijumpai pada

kurang lebih 60% kasus, tanda ini patognomonik pada invaginasi.

Massa invaginasi akan teraba seperti batang sosis, yang tersering

ditemukan pada daerah paraumbilikal. Daerah yang ditinggalkan

intususeptum akan teraba kosong dan tanda ini disebut sebagai Dance’s

Sign (Hay, 2003).

Gejala klinis yang menonjol dari intususepsi menurut Fallen

(2005) adalah suatu trias gejala yang terdiri dari:

1) Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat hilang

timbul. Nyeri menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi

serangan baru.

2) Teraba massa tumor di perut bentuk curved sausage pada bagian

kanan atas, kanan bawah, atas tengah, kiri bawah, atau kiri atas.

3) Buang air besar campur darah dan lendir yang disebut red currant

jelly stool.

b. Tanda

Pada palpasi abdomen dapat teraba massa yang umumnya

berbentuk seperti pisang (silindris). Dalam keadaan lanjut muncul tanda

obstruksi usus, yaitu distensi abdomen dan muntah hijau fekal,

sedangkan massa intraabdomen sulit teraba lagi. Bila invaginasi

panjang hingga ke daerah rektum, pada pemeriksaan colok dubur

mungkin teraba ujung invaginat seperti porsio uterus, disebut

pseudoporsio. Pada sarung tangan terdapat lendir dan darah (Graber,

2006).

Bila penderita terlambat memeriksakan diri, maka sukar untuk

meraba tumor, maka dari itu untuk kepentingan diagnosis harus

berpegang pada gejala trias intususepsi. Mengingat intususepsi sering

terjadi pada anak berumur dibawah satu tahun, sedangkan penyakit

disentri umumnya terjadi pada anak-anak yang mulai berjalan dan

8

Page 9: Intususepsi Referat Digestif 2014

mulai bermain sendiri maka apabila ada pasien datang berumur

dibawah satu tahun, sakit perut yang bersifat kolik sehingga anak

menjadi rewel sepanjang hari, ada muntah, buang air besar campur

darah dan lendir maka pikirkanlah kemungkinan intususepsi (Santoso,

2011).

2. Pemeriksaan Penunjang

a. Radiografi dan Kontras Enema

Tanda obstruksi usus dapat dilihat dengan radiografi. Intususepsi

merupakan sebagian penyebab dari obstruksi usus yang dapat dilihat

dengan radiografi jika ada sedikit akumulasi gas. Intususepsi jejuno-

jejunal seringkali menunjukkan hasil yang sama dengan intususepsi

ileokolik. Saluran jaringan ikat yang lunak dapat diidentifikasi. Jika

akumulasi gas cukup banyak pada bagian distal usus, maka terbentuk

intususepsi bagian atas. Pada traktus gastrointestinal bagian atas dapat

digunakan barium enema untuk menentukan tempat obstruksi. Bahan

kontras berbentuk pita dapat terlihat dengan jelas pada intususepsi

aboral sampai kesegmen usus yang dilatasi. Kadang kala terdapat

akumulasi bahan kontras dalam lumen antara intususeptum dan

intususipien (Krishnakumar et al, 2006).

Gambaran radiografi dari intususepsi dapat dilihat pada gambar

2.4 yang menunjukkan intususepsi pada kuadran kanan abdomen.

Gambar 2.5 menunjukkan gambaran intususepsi pada regio kiri atas

abdomen seorang bayi. Gambar 2.6 dan 2.7 menunjukkan gambaran

intususepsi dari pemeriksaan penunjang barium enema dan barium

udara. Gambar 2.6 menunjukkan intususepsi pada kolon asenden dari

pemeriksaan barium enema. Sedangkan gambar 2.7 menunjukkan

intususepsi pada pemeriksaan barium udara (Blanco, 2014).

9

Page 10: Intususepsi Referat Digestif 2014

Gambar 2.4 Gambaran radiografi intususepsi pada regio kuadran kanan

(Blanco, 2014)

Gambar 2.5 Gambaran radiografi intususepsi pada kuadran kiri atas

abdomen seorang bayi (Blanco, 2014)

10

Page 11: Intususepsi Referat Digestif 2014

Gambar 2.6 Barium Enema pada pasien intususepsi kolon descenden

(Blanco, 2014)

Gambar 2.7 Barium udara pada pasien intususepsi (Blanco, 2014)

Radiografi memiliki keterbatasan dalam menentukan diagnosis

intususepsi. Dalam sebuah penelitian, diungkapkan bahwa radiografi

memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, dimana

sensitivitasnya hanya 48% dan spesifisitasnya 21%. Dalam 11% kasus,

terjadi salah interpretasi radiografi abdomen (Blanco, 2014).

b. Ultrasonografi dan CT-scan

Ultrasonografi (USG) juga dapat digunakan untuk mendeteksi

adanya intususepsi. Sebuah penelitian melaporkan bahwa sensitivitas

dan spesifisitas USG dalam mendeteksi intususepsi ileokolik adalah

sekitar 97,9 % dan 97,8 %. USG menurunkan risiko pajanan terhadap

radiasi dan dapat membantu untuk mengetahui kemungkinan adanya

11

Page 12: Intususepsi Referat Digestif 2014

kelainan lain pada abdomen. Pada gambar 2.8 menunjukkan gambaran

klasik intususepsi pada pemeriksaan USG (Blanco, 2014).

Gambar 2.8 Tanda klasik intususeptum didalam intususipien pada USG

abdomen (Blanco, 2014)

CT-scan juga dapat digunakan sebagai salah satu pemeriksaan

penunjang intususepsi. Namun, temuan CT-scan tidak sensitif dan

spesifik seperti USG, sehingga hasilnya kurang dapat dipercaya. Selain

itu, CT-scan dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan

pemberian kontras intravena, pajanan radiasi, dan sedasi. Gambaran

intususepsi pada pemeriksaan CT-Scan dapat dilihat pada gambar 2.9

(Blanco, 2014).

Gambar 2.9 Hasil CT-scan pasien intususepsi (Blanco, 2014)

c. Temuan Laboratorium

Penemuan laboratorium yang abnormal adalah dehidrasi,

lekogram stress, anemia, serta abnormalitas asam basa dan elektrolit.

12

Page 13: Intususepsi Referat Digestif 2014

Intususepsi kronik dapat menyebabkan hipoalbuminemia karena

rendahnya protein dari kongesti mukosa. Dengan pemeriksaan feses

suatu waktu dapat ditemukan adanya investasi parasit (Krishnakumar et

al, 2006).

Pemeriksaan lanjutan yang dapat dilakukan adalah lekogram yaitu

dengan melihat adanya perubahan mulai dari leukopenia yang

disebabkan oleh adanya gangguan karena virus, sampai leukositosis

yang disebabkan karena adanya gangguan pada usus besar atau

peritonitis. Hematokrit mengalami perubahan yang signifikan jika

terjadi hemoragi gastrointestinal dan dehidrasi yang tinggi.

Abnormalitas elektrolit juga dapat diperiksa diantaranya hiponatremia,

hipokloremia, dan hipokalemia (Krishnakumar et al, 2006).

3. Diagnosis

The Brighton Collaboration Intussusception Working Group

mendirikan sebuah diagnosis klinis menggunakan campuran dari kriteria

mayor dan minor. Stratifikasi ini membantu untuk membuat keputusan

berdasarkan tiga level dari pembuktian untuk membuktikan apakah kasus

tersebut adalah intususepsi (Irish, 2011).

Kriteria Mayor (Irish, 2011):

a. Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau,

diikuti dengan distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau

tidak sama sekali.

b. Adanya gambaran invaginasi dari usus, dimana setidaknya tercakup

hal-hal berikut ini: massa abdomen, massa rektum, atau prolaps rektum,

terlihat pada gambaran foto abdomen, USG maupun CT-scan.

c. Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi

perdarahan rektum atau gambaran feses red currant jelly pada

pemeriksaan rectal toucher.

Kriteria Minor (Irish, 2011):

a. Bayi laki-laki kurang dari satu tahun

b. Nyeri abdomen

c. Muntah

13

Page 14: Intususepsi Referat Digestif 2014

d. Letargi

e. Pucat

f. Syok hipovolemi

g. Foto abdomen yang menunjukan abnormalitas tidak spesifik.

Pengelompokan berdasarkan tingkat pembuktian yaitu (Irish, 2011):

a. Level 1 – Definite (ditemukannya satu kriteria dibawah ini):

1) Kriteria pembedahan: invaginasi usus yang ditemukan saat

pembedahan

2) Kriteria radiologi: air enema atau liquid contrast enema menunjukan

invaginasi dengan manifestasi spesifik yang bisa dibuktikan dapat

direduksi oleh enema tersebut.

3) Kriteria autopsi: invaginasi dari usus

b. Level 2 - Probable (salah satu kriteria dibawah):

1) Dua kriteria mayor

2) Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor

c. Level 3 – Possible: empat atau lebih kriteria minor

D. Terapi

Sebelum melakukan terapi definitif terhadap invaginasi usus yang

terjadi tindakan perbaikan keadaan umum yang mutlak perlu dikerjakan

antara lain (Fallan, 2005):

1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi dan mencegah aspirasi

2. Rehidrasi (monitor keseimbangan cairan)

3. Terapi medikamentosa seperti antibiotik (bila gejala obstruksi sudah jelas,

ada demam, atau obstruksi sudah berlangsung lebih dari 24 jam) dan obat

penenang untuk penahan sakit seperti fenobarbital dan valium.

4. Setelah keadaan umum baik baru dipilih tindakan reposisi yang sesuai

dengan keadaan pasien.

Penatalaksanaan invaginasi dapat dilakukan secara non-operatif dan

operatif. Prinsipnya dilakukan tindakan non-operatif terlebih dahulu.

Tindakan operatif baru dilakukan apabila terdapat kontraindikasi tindakan

non-operatif seperti gejala obstruksi yang jelas, terdapat tanda peritonitis, atau

14

Page 15: Intususepsi Referat Digestif 2014

kasus yang sudah lama (> 48 jam) atau setelah tindakan non-operatif tidak

berhasil (Sabiston, 2010).

1. Non-operatif

a. Reduksi pneumostatik

Tindakan non-operatif lebih banyak menekan mortalitas

dibanding tindakan bedah. Metodenya yaitu dengan air enema. Tekanan

udara diukur dengan manometer dan tidak boleh melebihi 120 mmHg

(batas keamanan maksimal 80 mmHg). Udara yang masuk akan

mendorong intususepsi. Kriteria berhasil adalah adanya refluks ke

dalam usus halus dan penderita terlihat membaik. Angka kesuksesan air

enema di China mencapai 90%, di beberapa negara lain angka

kesuksesan hanya mencapai 60%. Kompikasi tindakan ini adalah

pneumoperitonium (Spalding & Evans, 2004).

b. Reduksi Hidrostatik

Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus

menggunakan kateter dengan tekanan tertentu. Barium enema sudah

digunakan untuk pengobatan invaginasi dan hasilnya memuaskan

(angka kesuksesan 42-80%, rekurensi sekitar 5%). Hanya sedikit

kemungkinan terjadi perforasi walaupun usus telah mengalami gangren,

asal tekanan hidrostatik tidak melebihi 1 meter air. Demikian pula

lamanya perawatan pada reposisi barium lebih pendek daripada operasi.

Kadang kadang reposisi barium tidak berhasil, misalnya pada umur

kurang 3 bulan dan invaginasi ileo-ileal. Bayangan kontras dalam

bentuk cupping tidak mencapai ileum terminalis sehingga memerlukan

operasi (Brunicardi et al, 2007).

Adapun syarat - syarat pengelolaan secara hidrostatik antara lain

keadaan umum mengizinkan, tidak ada gejala dan tanda rangsang

peritoneum, anak tidak toksis, dan tidak terdapat obstruksi tinggi.

Prosedur dapat dilakukan dalam keadaan sedasi. Kateter Foley

dimasukkan ke rektum lalu NaCl 0,9% atau barium dimasukkan per

rektal dari ketinggian 3 kaki, interval 3 menit, dilakukan observasi

dengan fluoroskopi, lanjutkan prosedur bila terjadi reduksi. Tunggu 10

15

Page 16: Intususepsi Referat Digestif 2014

menit, bila tidak terjadi reduksi, keluarkan barium (Brunicardi et al,

2007).

Prosedur ini dapat diulangi sampai 3 kali. Reduksi berhasil harus

dikonfirmasi dengan adanya kontras yang melewati ileum terminalis,

bila pipa rektal ditarik keluar anus akan keluar barium beserta feses dan

udara, pada pemeriksaan fisik, perut tampak mengempis dan massa

menghilang. Pada kasus-kasus dimana reduksi sempurna dengan

barium enema tidak mungkin terjadi, prosedur ini dapat sangat

mengurangi ukuran intususepsi sehingga panjang insisi yang

dibutuhkan pada tindakan operasi dapat dikurangi (Brunicardi et al,

2007).

2. Operatif

a. Laparotomi

Pasien dengan keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan

suhu, angka leukosit, mengalami gejala berkepanjangan atau

ditemukan sudah lanjut yang ditandai dengan distensi abdomen, feses

berdarah, gangguan sistem usus yang berat sampai timbul syok atau

peritonitis, pasien segera dipersiapkan untuk suatu operasi (Fallan,

2005).

Operasi dini tanpa terapi barium dikerjakan bila terjadi

perforasi, peritonitis dan tanda-tanda obstruksi. Keadaan ini biasanya

pada invaginasi yang sudah berlangsung lebih dari 48 jam. Demikian

pula pada kasus-kasus relaps. Invaginasi berulang 11% setelah

reposisi barium dan 3% pada operasi tanpa reseksi usus. Biasanya

reseksi dilakukan jika aliran darah tidak pulih kembali setelah

dihangatkan dengan larutan fisiologik. Usus yang mengalami

invaginasi nampak kebiruan. Pada perawatan kedua kali, dikerjakan

operasi tanpa barium enema (Fallan, 2005).

Kegagalan mereduksi intususepsi dengan prosedur non-operatif

juga memerlukan operasi. Eksplorasi dilakukan melalui insisi pada

kuadran kanan bawah perut. Reduksi dilakukan dengan mengurut

pelan distal usus agar keluar dari intususepsi (milking), jangan

16

Page 17: Intususepsi Referat Digestif 2014

menarik usus keluar karena dapat menimbulkan cedera sekunder pada

usus seperti ileus paralitik, perforasi, adhesif. Reseksi dapat dilakukan

pada bagian usus yang gangren. Lalu dibuat anastomosis primer

ileokolika (Fallan, 2005).

Laparotomi dengan insisi transversal interspina merupakan

standar yang diterapkan di RS. Dr. Sardjito. Tindakan selama operasi

tergantung kepada penemuan keadaan usus, reposisi manual dengan

milking harus dilakukan dengan halus dan sabar, juga bergantung

kepada ketrampilan dan pengalaman operator. Reseksi usus dilakukan

apabila pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual,

bila viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan patologis

sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan

anastomose “end to end” apabila hal ini memungkinkan, bila tidak

mungkin maka dilakukan eksteriorisasi atau enterostomi (Fallan,

2005).

Terapi intususepsi pada orang dewasa adalah pembedahan.

Diagnosis pada saat pembedahan tidak sulit dibuat. Pada intususepsi

yang mengenai kolon sangat besar kemungkinan penyebabnya adalah

suatu keganasan, oleh karena itu ahli bedah dianjurkan untuk segera

melakukan reseksi, tanpa melakukan usaha reduksi. Pada intususepsi

dari usus halus harus dilakukan usaha reduksi dengan hati-hati. Jika

ditemukan kelainan telah mengalami nekrosis, reduksi tidak perlu

dikerjakan dan reseksi segera dilakukan. Pada kasus-kasus yang

idiopatik, tidak ada yang perlu dilakukan selain reduksi. Tumor jinak

harus diangkat secara lokal, tapi jika ada keragu-raguan mengenai

keganasan, reseksi yang cukup harus dikerjakan (Fallan, 2005).

Langkah-langkah yang dilalui pada tindakan operatif pada

intususepsi adalah (Fallan, 2005):

1) Pre-operatif

Penanganan intususepsi pada dewasa secara umum sama

seperti penangan pada kasus obstruksi usus lainnya yaitu perbaikan

17

Page 18: Intususepsi Referat Digestif 2014

keadaan umum seperti rehidrasi dan koreksi elektrolit bila sudah

terjadi defisit elektrolit.

2) Durante Operatif

Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan

laparotomi, karena kausa terbanyak intususepsi pada dewasa adalah

suatu keadaan neoplasma maka tindakan yang dianjurkan adalah

reseksi anastosmose segmen usus yang terlibat dengan memastikan

lead point-nya, baik itu neoplasma yang bersifat jinak maupun

yang ganas.

Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko:

a) Ruptur dinding usus selama manipulasi

b) Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi

c) Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi

d) Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan motilitas

e) Pembengkakan segmen usus yang terlibat

Batas reseksi pada umumnya adalah 10 cm dari tepi – tepi

segmen usus yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal

minimum 30 cm dari lesi, kemudian dilakukan anastosmose end to

end atau side to side.

Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi

atau lead point-nya tidak ditemukan maka tindakan reduksi dapat

dianjurkan, begitu juga pada kasus retrograd intususepsi pasca

gastrojejunostomi tindakan reduksi dapat dibenarkan, keadaan

lainya seperti intususepsi pada usus halus yang kausanya pasti lesi

jinak tindakan reduksi dapat dibenarkan juga, tetapi pada pasien

intususepsi tanpa riwayat pembedahan abdomen sebelumnya

sebaiknya dilakukan reseksi anastosmose.

3) Pasca Operasi

a) Hindari Dehidrasi

b) Pertahankan stabilitas elektrolit

c) Pengawasan akan inflamasi dan infeksi

18

Page 19: Intususepsi Referat Digestif 2014

d) Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu

motilitas usus

Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas

sebagai penyebabnya adalah besar, maka tidak dilakukan reduksi

(milking) tetapi langsung dilakukan reseksi. Sedangkan bila

invaginasinya pada usus halus reduksi boleh dicoba dengan hati-

hati, tetapi bila terlihat ada tanda nekrosis, perforasi, oedema,

reduksi tidak boleh dilakukan, maka langsung direseksi saja.

Apabila akan melakukan reseksi usus halus pada invaginasi dewasa

hendaknya dipertimbangkan juga sisa usus halus yang ditinggalkan,

ini untuk menghindari atau memperkecil timbulnya short bowel

syndrome.

Apabila usus halus yang tersisa 3 meter atau kurang akan

menimbulkan gangguan nutrisi dan gangguan pertumbuhan. Jika

usus halus yang tersisa 2 meter atau kurang fungsi dan kehidupan

sangat terganggu. Jika tinggal 1 meter maka dengan nutrisi

parenteral pun tidak akan adekuat.

E. Prognosis

Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya

pertolongan yang diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari

serangan pertama, maka akan memberikan prognosis yang lebih baik.

Kematian dengan terapi sekitar 1-3 %. Jika tanpa terapi, 2-5 hari akan

berakibat fatal (Ein & Ademan, 2003).

F. Komplikasi

Jika invaginasi terlambat atau tidak diterapi, bisa timbul beberapa

komplikasi berat, seperti kematian jaringan usus, perforasi usus, infeksi,

dan kematian (Ein & Ademan, 2003).

Intususepsi pada anak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi

usus. Komplikasi lain pada anak yang dapat terjadi adalah dehidrasi dan

aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia dan nekrosis usus dapat

19

Page 20: Intususepsi Referat Digestif 2014

menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang signifikan pada usus

dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan “short bowel

syndrome”. Meskipun diterapi dengan reduksi operatif maupun

radiografik, striktur dapat muncul dalam 4-8 minggu pada usus yang

terlibat (Fallan, 2005).

20

Page 21: Intususepsi Referat Digestif 2014

III. PEMBAHASAN

A. Tatalaksana Nonoperatif

Kondisi umum pasien harus dipastikan sebelum reduksi intususepsi.

Peritonitis, syok, dan dehidrasi harus ditangani dengan resusitasi cairan

segera karena kondisi tersebut merupakan kontraindikasi dari reduksi enema.

Antibiotik profilaktik seringkali diberikan walaupun kegunaannya masih

dipertanyakan (van Heurn, Pakarinen, Wester, 2013).

Reduksi enema nonoperatif merupakan penatalaksanaan pilihan untuk

intususepsi ileokolik tanpa komplikasi. Teknik terkini untuk reduksi

nonoperatif intususepsi mencakup enema tekanan pneumatik atau hidrostatik

dengan pengawasan fluoroskopi atau ultrasonografi. Reduksi pneumatis

dengan pengawasan ultrasonografi diterima secara luas dengan angka

kesuksesan mencapai 90%. Reduksi ini mudah dilakukan, tanpa radiasi, dan

kontaminasi pada kavitas peritoneal lebih sedikit daripada reduksi hidrostatis

jika terdapat perforasi. Kerugian potensial dari reduksi pneumatis adalah

risiko tension pneumoperitoneum jika terdapat perforasi. Enema kontras juga

merupakan metode aman dan efektif untuk mereduksi intususepsi. Terdapat

bukti kontradiksional jika longstanding intususepsi mengurangi kesuksesan

reduksi enema. Secara umum dapat diterima bahwa reduksi nonoperatif

sebaiknya juga diupayakan pada pasien dengan gejala berkepanjangan jika

tidak ada peritonitis (van Heurn, Pakarinen, Wester, 2013).

Reduksi hidrostatis menggunakan sonografi cukup aman dan efektif

untuk menangani intususepsi. Dengan mengeliminasi pajanan radiasi, jumlah

upaya untuk menangani ion intususep tidak lagi terbatas sepanjang kondisi

pasien stabil dan ada reduksi progresif. Tambahan lain, progresi dan

pergerakan intususeptum dapat diawasi terus menerus selama mencari

keadaan patologis yang menyebabkan intususepsi. Hal ini mencakup

limfadenopati, duplikasi kista, polip, divertikula (Meckel), dan masa

intraabdominal lain. Keberadaan lead point terlihat pada 5% pasien dengan

intususepsi dan mungkin butuh penanganan lebih lanjut. Identifikasi lead

21

Page 22: Intususepsi Referat Digestif 2014

point dapat dicapai lebih mudah dengan sonografi daripada dengan

fluoroskopi (Sanchez et al, 2012).

Walaupun perforasi jarang terjadi, keadaan ini seringkali ditemukan

dengan sonografi. Adanya kenaikan tiba-tiba pada cairan bebas abdomen atau

pelvis mengindikasikan perforasi yang mengharuskan terminasi segera

prosedur nonoperatif dan rujuk ke pembedahan. Sebagai tambahan, tension

pneumoperitoneum―komplikasi yang potensial mengancam hidup akibat

reduksi pneumatis―dapat dihindari dengan penggunaan hidrostatik enema

sonografi (Sanchez et al, 2012).

Sebagian kecil pasien yang memiliki obstruksi parah dan distensi

akibat gas pada usus halus, pada citra fluoroskopik sulit diinterpretasi

sehingga menurunkan kesuksesan reduksi. Selebihnya, residu ion intususep

usus halus (ileoileal) dapat hilang dengan fluoroskopi. Kemungkinan ini tidak

terjadi dengan sonografi. Seseorang dapat melihat jelas sekum yang penuh

terisi cairan, penebalan valva ileosekal, dan aliran bebas cairan ke distal usus

halus yang menandakan kesuksesan reduksi. Keberadaan intususepsi terkait

usus halus dapat didiagnosis dengan mudah (Sanchez et al, 2012).

Sonografi sangat membantu untuk membedakan valva ileosekal

edematosa sehingga mencegah refluks substansial cairan ke dalam usus halus

dari residu ion intususep ileokolik, sedangkan dengan fluoroskopi terdapat

keterbatasan untuk membedakan kondisi edema valva. Terdapat rekomendasi

menggunakan sonografi Doppler untuk pencitraan lebih baik cairan yang

melewati valva ileosekal paten (Sanchez et al, 2012).

Sebelumnya, pasien dioperasi jika intususepsi tidak dapat direduksi

dengan sekali upaya pada reduksi radiologis. Pengulangan enema yang

tertunda setelah beberapa jam observasi cukup sukses pada 50% pasien.

Kontraindikasi pengulangan enema yang tertunda adalah kegagalan untuk

memindahkan intususeptum pada upaya pertama dan instabilitas

hemodinamik (van Heurn, Pakarinen, Wester, 2013).

Secara keseluruhan, teknik sonografi dinilai lebih aman dan efektif

daripada teknik fluoroskopi dalam penatalaksanaan nonoperatif intususepsi.

Namun, jumlah pajanan radiasi dan risiko tension pneumoperitoneum tetap

22

Page 23: Intususepsi Referat Digestif 2014

menjadi pertimbangan baik terhadap teknik sonografi maupun teknik

fluoroskopi sehingga prinsip ALARA (as low as reasonably achieavable)

perlu ditekankan pada kedua teknik ini. Perbedaan antara terapi fluoroskopi

dan sonografi dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Perbedaan Fluoroskopi dan Sonografi

Perbedaan Fluoroskopi Sonografi

Penemuan keadaan patologis intususepsi

Lebih sulit Lebih mudah

Risiko adanya tension pneumoperitoneum

Lebih kecil Lebih besar

Interpretasi obstruksi parah atau distensi gas

Sulit dideteksi Mudah dideteksi

Identifikasi valva ileosekal edematosa

Sulit dibedakan Mudah dibedakan

Pajanan radiasi Relatif lebih banyak Relatif sedikit

(van Heurn, Pakarinen, Wester, 2013; Sanchez et al, 2012).

B. Tatalaksana Operatif

Pembedahan penting dilakukukan jika reduksi enema gagal atau

kontraindikasi. Reduksi laparoskopik seringkali berhasil walaupun angka

konversi cukup tinggi. waktu pemulihan dan hospitalisasi cukup singkat

setelah reduksi laparoskopik. Jika reduksi laparoskopik gagal, intususepsi

direduksi oleh laparotomi dengan kompresi dan traksi ringan pada usus

proksimal. Jika kehidupan sel usus diragukan, maka bagian nekrotik harus

direseksi. Biasanya anastomosis primer akan dibuat (van Heurn, Pakarinen,

Wester, 2013).

Penatalaksanaan intususepsi pada orang dewasa masih kontroversial,

terutama berfokus pada reseksi primer en bloc dengan reduksi inisial diikuti

reseksi terbatas. Reduksi oleh pembedahan sebelum reseksi secara teoritis

memungkinkan reseksi yang lebih terbatas namun perlu dipertimbangkan

adanya risiko intraluminal seeding atau diseminasi tumor vena. Selain itu,

laporan terkini merekomendasikan reduksi inisial pada usus halus yang aktif 23

Page 24: Intususepsi Referat Digestif 2014

sebelum reseksi. Kejadian kanker pada intususepsi ileokolik dan kolokolik,

yang muncul sebagai lesi primer, mencapai 43-100% jika reseksi dilakukan

tanpa reduksi (Akbulut, 2012).

24

Page 25: Intususepsi Referat Digestif 2014

IV. KESIMPULAN

1. Intususepsi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam

segmen lainnya, yang bisa berakibat dengan obstruksi. Keadaan ini

merupakan suatu penyebab yang paling sering dari insidensi obstruksi usus

pada pasien yang berusia 5 bulan sampai 3 tahun. Intususeptum adalah istilah

untuk menyebutkan bagian usus yang “melakukan” invaginasi, sedangkan

intususipien adalah sebutan untuk bagian usus yang menerima invaginasi.

2. Tanda dan gejala yang dialami penderita antara lain adalah nyeri abdomen,

muntah-muntah, keluar darah bercampur lendir (red currant jelly) per rektum,

dan jika pasiennya bayi biasanya akan sangat rewel. Jika dilakukan palpasi

abdomen akan teraba massa berbentuk silindris.

3. Dalam penegakkan diagnosisnya dapat menggunakan kriteria mayor dan

minor, serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan adalah radiografi, ultrasonografi, dan endoskopi.

4. Perbaikan keadaan umum harus segera dilakukan pada pasien intususepsi.

Jika keadaan umum pasien telah stabil, dapat dilakukan terapi definitif untuk

intususepsi. Terapi untuk intususepsi dibagi menjadi dua, yaitu nonoperatif

dan operatif. Terapi nonoperatif meliputi reduksi pneumostatik dan reduksi

hidrostatik. Terapi operatif adalah dengan laparotomi.

5. Prognosis intususepsi baik bila ditangani secara cepat. Jika tidak ditangani

dengan cepat, komplikasi yang dapat terjadi yaitu kematian jaringan usus,

perforasi usus, infeksi, dan kematian.

25

Page 26: Intususepsi Referat Digestif 2014

DAFTAR PUSTAKA

Akbulut, S 2012, ‘Intusussception Due To Inflammatory Fibroid Polyp: A Case Report and Comprehensive Literature Review’, World Journal of Gastroenterology, no. 18, pp. 5742-5745.

Behrman, RE 2004, Textbook of Pediatrics, 17th edn, Saunders.

Blanco, FC 2014, ‘Intussusception’, viewed 25 May 2014, <http://emedicine.medscape.com/article/930708-overview>

Brunicardi, FC, Andersen, DK, Billiar, TR, Dun, DL, Hunter, JG, & Pollock, RE 2007. Schwartz’s Principle of Surgery, 8th edn, The McGraw-Hill Companies, New York.

Ein, S, & Daneman, A 2003, Operative Pediatric Surgery,Mc Graw-Hill Professional, New York.

Eliastam, M 2005, Penuntun Kegawatdaruratan Medis, EGC, Jakarta.

Fallan, ME 2005, Intussusception in Pediactric Surgery, 4th edn, WB Saunders Company, Philadelpia.

Graber, MA 2006, Buku Saku Dokter Keluarga, EGC, Jakarta.

Hansen, JT 2010, Netter’s Clinical Anatomy, Saunders Elsevier, Philadelphia.

Hay, WW 2003. Current Pediatrics Diagnosis & Treatment, 16th edn, Mc Graw-Hill Professional, New York.

Krishnakumar, Hameed, S, & Umamaheshwari 2006, ‘Ultrasound Guided Hydrostatic Reduction in the Management of Intussusception’, Indian Journal of Pediatrics, vol. 73, pp. 217-220.

Irish, MS 2011, ‘Pediatric Intussusception Surgery’, viewed 24 May 2014, <http://emedicine.medscape.com/article/937730-overview#showall>

Robbins, SL, Kumar, V, & Cotran, RS 2007, Buku Ajar Patologi Robbins, edisi 7, EGC, Jakarta.

Sabiston, DC 2010, Buku Ajar Bedah, edisi 1, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Sanchez, TRS, Potnick, A, Graf, JL, Abramson, LP, & Patel, CV 2012, ‘Sonographically Guided Enema for Intususepsi Reduction: A Safer Alternative to Fluoroscopy’, J Ultrasonografi Med. no.31, pp. 1505-1508.

.

26

Page 27: Intususepsi Referat Digestif 2014

Santoso, YA, Erfan F 2011, ‘Hubungan antara lama timbulnya gejala klinis awal hingga tindakan operasi dengan lama rawatan pada penderita invaginasi yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan’, Masters Thesis, Universitas Sumatera Utara, viewed 24 May 2014, <http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/24306?mode=full>

Sjamsuhidayat R, de Jong, W 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Spalding SC, Evans B 2004, ‘Intussusception’, Emergency Medicine Journal, vol. 36, pp. 12-19.

Van Heurn, LWE, Pakarinen, MP, & Wester, T 2014, ‘Contemporary Management of Abdominal Surgical Emergencies in Infants and Children’, BJS, no. 101, pp. c24-c33.

27