internalisasi nilai-nilai puasa sunnah dalam...
TRANSCRIPT
-
INTERNALISASI NILAI-NILAI PUASA SUNNAH
DALAM MENUMBUHKAN KECERDASAN
SPIRITUAL MAHASISWA IAIN SALATIGA
JURUSAN PAI ANGKATAN 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd)
Oleh :
Bella Sita Kurniawati
111-13-009
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
-
i
INTERNALISASI NILAI-NILAI PUASA SUNNAH
DALAM MENUMBUHKAN KECERDASAN
SPIRITUAL MAHASISWA IAIN SALATIGA
JURUSAN PAI ANGKATAN 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd)
Oleh :
Bella Sita Kurniawati
111-13-009
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
-
vi
MOTTO
“TAK ADA HASIL YANG MENGKHIANATI USAHA”
ٍَ ُِْزنِْي ًُ ََْذ َخۡيُز ٱۡن أَ َٔ ب جَبَركا َُْزٗلا يُّ َِْزۡنُِْي ُي َرةِّ أَ
“Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan
Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat."
(QS. Al-Mu’minun: 29)
-
vii
PERSEMBAHAN
Dengan ketulusan hati dan segenap rasa syukur, saya persembahkan skripsi ini
kepada:
1. Ibu dan Bapak tercinta yaitu Ibu Siti Aminah dan Bapak Amat Slamet yang
telah membesarkan dan membimbingku dengan kasih sayang, kesabaran,
keikhlasan, serta yang selalu memberikan doa dan restu dengan tulus,
dukungan baik moral maupun materil. Engkaulah segalanya bagiku.
2. Adik-adikku tersayang Dek Prila dan Dek Citra yang menjadi semangatku.
3. Untuk semua keluarga yang selalu memberikan dorongan dengan penuh
kesabaran dalam penulisan skripsi ini.
4. Sahabat-sahabatku Kak Laili, Kang Sayyid, Kak Zizah dan Kak Yudha yang
selalu memberi dukungan dan yang selalu ada di hatiku.
5. Teman-teman PAI angkatan 2013 senasip seperjuangan dan juga teman-teman
yang telah memberikan dukungannya, ijinnya, motivasi, doa dan segala
bantuannya baik material maupun nonmaterial sehingga proses skripsi ini
dapat terselesaikan dengan lancar untuk penempuhan gelar sarjana ini.
6. SMA 1 Getasan, Kepala Sekolah beserta jajarannya, lalu para adik-adik
siswa-siswi yang baik sekali pada kakak-kakak PPL IAIN Salatiga 2016. Dan
juga untuk teman-teman penulis selama PPL.
7. Seluruh warga Dusun Pregolan, Desa Jetis, Kecamatan Kaliwungu,
Kabupaten Semarang dan seluruh teman-teman penulis selama KKN disana.
8. Keluarga Besar JQH Al-Furqan IAIN Salatiga Kanda Yunda seperjuanganku,
yang selalu menjadi semangat dan motivasiku.
-
viii
9. Keluarga besar dan teman-teman seperjuanganku di Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Komisariat Walisongo dan keluarga besar HMI Cabang
Salatiga, yang selalu memberikanku semangat berjuang.
-
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr.Wb
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah, segala puji bagi-Nya
yang senantiasa melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya, serta kita harapkan
perolongan dan kita minta ampunan-Nya. Sholawat salam selalu tercurahkan pada
junjungan serta panutan kita, Beliau Nabi Muhammad SAW, yang telah
menyampaikan dan membimbing umat pada jalan yang diridloi Allah, dengan
semangat dalam menebarkan ilmu-Nya dan nur kemulyaan-Nya. Sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “INTERNALISASI NILAI-NILAI
PUASA SUNNAH DALAM MENUMBUHKAN KECERDASAN SPIRITUAL
MAHASISWA IAIN SALATIGA JURUSAN PAI ANGKATAN 2013”
Skripsi ini dapat penulis selesaikan berkat pertolongan Allah melalui
berbagai pihak, karena itu penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan FTIK IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam
Jurusan Tarbiyah IAIN Salatiga.
-
x
4. Bapak Drs. Abdul Syukur, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan serta
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
-
xi
ABSTRAK
Sita Kurniawati, Bella. 2017. Internalisasi Nilai-Nilai Puasa Sunnah Dalam
Menumbuhkan Kecerdasan Spiritual Mahasiswa IAIN Salatiga
Jurusan PAI Angkatan 2013. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program
Studi Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Dosen Pembimbing: Drs. Abdul Syukur, M.Si
Kata Kunci : Puasa Sunnah, Kecerdasan Spiritual
Penelitian ini membahas tentang internalisasi nilai-nilai puasa sunnah
dalam menumbuhkan kecerdasan spiritual mahasiswa IAIN Salatiga jurusan PAI
angkatan 2013. Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah apa saja
nilai-nilai puasa sunnah, bagaimana cara mengukur kecerdasan spiritual,
bagaimana internalisasi nilai-nilai puasa sunnah dalam menumbuhkan kecerdasan
spiritual, dan faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung proses
internalisasi nilai-nilai puasa sunnah dalam menumbuhkan kecerdasan spiritual
mahasiswa IAIN Salatiga jurusan PAI angkatan 2013. Tujuan penelitian dalam
skripsi ini yaitu: (1)Untuk mengetahui apa saja nilai-nilai puasa sunnah, (2)Untuk
menngetahui bagaimana cara mengukur kecerdasan spiritual, (3)Untuk
mengetahui bagaimana internalisasi nilai-nilai puasa sunnah dalam menumbuhkan
kecerdasan spiritual, (4)Untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi
penghambat dan pendukung proses internalisasi nilai-nilai puasa sunnah dalam
menumbuhkan kecerdasan spiritual mahasiswa IAIN Salatiga jurusan PAI
angkatan 2013.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research) dan
dilihat dari tingkat ekplanasi, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif.
Sumber data dalam penelitian ini meliputi sumber primer dan sumber sekunder.
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Keabsahan data diperoleh melalui triangulasi sumber, triangulasi teknik,
triangulasi waktu. Data yang terkumpul dianalisis dengan cara reduksi data,
penyajian data, dan menarik kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)nilai-nilai puasa sunnah ada 2, yaitu
nilai instrumental meliputi rendah hati, rajin, hormat-menghormati, adil kepada
orang lain, dan nilai intrinsic meliputi meningkatkan kedisiplinan dan adil kepada
diri sendiri. (2)Cara mengukur kecerdasan spiritual yaitu melalui tanda orang
yang mempunyai kecerdasan spiritual, antara lain: kemampuan bersikap
fleksibel, tingkat kesadaran yang tinggi, kemampuan menghadapi penderitaan,
kemampuan menghadapi rasa takut. (3)Internalisasi nilai-nilai puasa sunnah
dalam menumbuhkan kecerdasan spiritual antara lain: ibadah puasa meningkatkan
iman, ibadah puasa melatih kesabaran, ibadah puasa menekan syahwat dan
mengendalikan hawa nafsu, ibadah puasa menguatkan rasa muraqabatullah (takut
kepada Allah), ibadah puasa meningkatkan rasa syukur, dan meningkatkan rasa
belas kasihan (4)Penghambat dalam proses internalisasi yang berlangsung
meliputi kegiatan atau aktifitas yang banyak membuat rasa lemas pada tubuh,
kondisi fisik yang kurang fit, dan kurangnya niat dalam melaksanakan puasa
sunnah. Pendukungnya meliputi mengusir kesedihan dan kegelisahan, melahirkan
rasa empati, memberikan ketenangan.
-
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR BERLOGO .......................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................ v
MOTTO ................................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN. ................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
ABSTRAK ............................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Fokus Penelitian ................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 5
E. Kajian Penelitian Terdahulu ................................................................. 6
F. Penegasan Istilah ................................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 12
BAB II KAJIAN TEORI
A. Internalisasi Nilai-nilai Puasa Sunnah .................................................. 14
B. Puasa Sunnah ........................................................................................ 18
C. Kecerdasan Spiritual ............................................................................ 31
D. Internalisasi Nilai-Nilai Puasa Sunnah Dalam Menumbuhkan
Kecerdasa Spiritual ............................................................................... 37
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ........................................................ 42
B. Lokasi Penelitian ................................................................................ 43
C. Sumber Data ....................................................................................... 43
D. Prosedur Pengumpulan Data .............................................................. 45
E. Analisis ............................................................................................... 47
-
xiii
F. Pengecekan Keabsahan Data .............................................................. 48
BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS
A. Paparan Data ...................................................................................... 53
B. Analisis Data ...................................................................................... 80
BAB V PENUTUP
A.Simpulan ........................................................................................... 99
B. Saran ............................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN – LAMPIRAN
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap ibadah yang disyariatkan Allah kepada umat manusia pasti
mengandung makna. Makna yang dimaksud adalah manfaat yang kembali
kepada orang yang melakukannya, apakah itu manfaat langsung maupun tidak
langsung, apakah itu manfaat di dunia maupun di akherat. Dan Allah Yang
Maha Tahu manfaat apa yang dibutuhkan manusia, bukan dari kacamata
manusia itu sendiri. Sebab, kadangkala keinginan manusia tidak selalu sama
dengan apa yang Allah timpakan kepadanya. Sehingga, manfaat menurut
manusia belum tentu sama dengan manfaat dalam pandangan Allah.
Begitu juga setiap ibadah yang kita jalankan dan telah menjadi
kewajiban kita, pada dasarnya suatu ibadah memiliki nilai-nilai tertentu,
dimana Rasulullah menilai „harga‟ suatu ibadah dinilai dari sejauh mana kita
menjalankannya. Jika ibadah itu tidak meningkatkan akhlak kita, Rasulullah
menganggap ibadah itu tak bermakna (Maksum, 2009: 27-28).
Salah satu contohnya yaitu ibadah puasa, puasa bukanlah sekedar
menahan diri dari makan dan minum sejak terbit matahari sampai
tenggelamnya, ibadah puasa juga mempunyai tujuan yang lain, yaitu
menbiasakan manusia mengalahkan hawa nafsu dan dapat mengendalikan
manusia untuk mengatasi perasaan-perasaan hati yang sering mendorong
berbuat salah, menghadapi segala sesuatu dengan sabar. Puasa di sini
-
2
dijalankan sebagai salah satu ibadah kepada Allah SWT untuk mencapai
derajat yang tinggi dihadapan Allah, bukan hanya rohaninya saja melainkan
juga untuk melatih jasmani manusia.
Kecerdasan spiritual merupakan sebuah kecerdasan atau kemampuan
untuk menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan makna, serta
menempatkan perilaku dalam kehidupan manusia dan juga diartikan sebagai
penilaian bahwa tindakan tertentu dalam kehidupan itu lebih bermakna
dibandingkan dengan yang lainnya (Agustian, 2005: 14).
Orang yang memiliki kecerdasan spiritual dapat memecahkan masalah
dalam kehidupan hanya dengan menggunakan akal dan emosinya saja. Tetapi
lebih menggunakan hati nurani sebagai pembimbingnya. Suara hati nurani
senantiasa selaras dengan kebenaran agama yang sesuai dengan kebutuhan dan
dibutuhkan manusia.
SQ (Spriritual Quotient) memungkinkan kita untuk menyatukan hal-
hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani
kesenjangan antara diri dan orang lain. Daniel Goleman telah menulis tentang
emosi-emosi intrapersonal atau dalam diri, dan emosi-emosi interpersonal-
yaitu yang sama-sama dimiliki kita maupun orang lain atau yang kita gunakan
untuk berhubungan dengan orang lain. Namun, EQ (Emosional Quotient)
semata-mata tidak dapat membantu kita untuk menjembatani kesenjangan itu.
SQ-lah yang membuat kita mempunyai pemahaman tentang siapa diri kita dan
apa makna segala sesuatu bagi kita, dan bagaimana semua itu memberikan
-
3
suatu tempat di dalam dunia kita kepada orang lain dan makna-makna mereka
(Zohar dan Marshall, 2007: 12-13).
Jadi, orang yang memiliki kecerdasan spiritual dapat memecahkan
masalah dengan selalu menghubungkan pada nilai-nilai agama dan selalu
menggunakan hatinya. Ia selalu merujuk pada hukum-hukum agama, seperti
kitab suci dan nasihat dari tokoh agama untuk membersihkan sebuah
gambaran tentang masalah yang dihadapinya sehingga dapat terselesaikan
dengan baik. Oleh karena itu, nilai-nilai yang religius penting dimiliki oleh
siapapun.
Salah satu cara untuk dapat memperdalam jiwa keagamaan adalah
dengan melakukan puasa. Sebab dengan puasa, tubuh menjadi sehat termasuk
lambungnya juga. Antara pikiran dan lambung manusia itu terdapat hubungan
timbal balik berupa hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Jika
pikiran terganggu, maka lambung dan organ-organ pencernaan otomatis
terganggu, maka pikiran akan terganggu pula.
Jadi dengan tubuh yang sehat, pikiran dan jiwa juga akan sehat. Puasa
adalah salah satu cara untuk membuat tubuh menjadi sehat (Syarifudin, 2003:
209). Seperti dilakukannya puasa sunnah oleh para mahasiswa IAIN Salatiga
jurusan PAI angkatan 2013. Puasa sunnah tersebut merupakan usaha untuk
menumbuhkan kecerdasan spiritual mahasiswa, karena ibadah puasa itu
sendiri mempunyai tujuan yang lain selain menahan makan dan minum saja,
melainkan juga untuk mengendalikan hawa nafsu, menghadapi segala sesuatu
dengan sabar dan ikhlas. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual dapat
-
4
memecahkan permasalahannya menggunakan nilai-nilai agama yang salah
satunya yaitu melakukan ibadah puasa. Dengan pembiasaan puasa bagi
mahasiswa ini merupakan hal yang paling penting, dimana puasa sunnah
diharapkan mampu meningkatkan kecerdasan spiritual bagi mahasiswa.
Dari beberapa hal yang telah terurai di atas merupakan alasan penulis
dalam menyusun naskah skripsi, sehingga penulis memiliki niat dan keinginan
meneliti dengan judul “INTERNALISASI NILAI-NILAI PUASA SUNNAH
DALAM MENUMBUHKAN KECERDASAN SPIRITUAL MAHASISWA
IAIN SALATIGA JURUSAN PAI ANGKATAN 2013.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, di antaranya:
1. Apa saja nilai-nilai puasa sunnah?
2. Bagaimana cara mengukur kecerdasan spiritual Mahasiswa IAIN Salatiga
Jurusan PAI Angkatan 2013?
3. Bagaimana internalisasi nilai-nilai puasa sunnah dalam menumbuhkan
kecerdasan spiritual Mahasiswa IAIN Salatiga Jurusan PAI Angkatan
2013?
4. Faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung proses
internalisasi nilai-nilai puasa sunnah dalam menumbuhkan kecerdasan
spiritual pada Mahasiswa IAIN Salatiga Jurusan PAI Angkatan 2013?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa saja nilai-nilai puasa sunnah
-
5
2. Untuk mengetahui bagaimana cara mengukur kecerdasan spiritual
Mahasiswa IAIN Salatiga Jurusan PAI Angkatan 2013.
3. Untuk mengetahui bagaimana internalisasi nilai-nilai puasa sunnah dalam
menumbuhkan kecerdasan spiritual Mahasiswa IAIN Salatiga Jurusan PAI
Angkatan 2013.
4. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi penghambat dan
pendukung proses internalisasi nilai-nilai puasa sunnah dalam
menumbuhkan kecerdasan spiritual pada Mahasiswa IAIN Salatiga
Jurusan PAI Angkatan 2013.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Memberi kontribusi ilmiah terhadap referensi dalam kecerdasan,
khususnya kecerdasan spiritual yang diinternalisasikan dalam nilai-nilai
puasa sunnah dan menunjukkan bahwa puasa sunnah tidak hanya menahan
hawa nafsu saja melainkan untuk menumbuhkan kecerdasan-kecerdasan
spiritual pada pribadi-pribadi yang religious.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan
kontribusi kepada mahasiswa IAIN Salatiga khususnya mahasiswa IAIN
Salatiga jurusan PAI angkatan 2013 yang berusaha menginternalisasikan
nilai-nilai puasa sunnah dalam menumbuhkan kecerdasan spiritual.
Bagi peneliti, penelitian ini sangat penting karena berangkat dari
alasan pemilihan judul tersebut, yang menjadi keinginan peneliti akan
-
6
terjawab. Peneliti berharap mampu memberi solusi terhadap para
mahasiswa apakah dengan melakukan puasa sunnah jalan hidupnya lebih
bermakna dibandingkan dengan orang lain.
E. Kajian Penelitian Terdahulu
Penelitian yang relevan digunakan sebagai bahan perbandingan
terhadap penelitian yang ada, baik mengenai kekurangan dan kelebihan yang
ada sebelumnya. Selain itu juga mempunyai andil besar dalam rangka
mendapatkan suatu informasi yang ada sebelumnya tentang teori-teori yang
ada kaitannya dengan judul yang digunakan untuk mendapatkan landasan
teori ilmiah. Dalam penelitian ini peneliti mengkaji beberapa penelitian yang
pernah diteliti oleh beberapa penelitian lain, penelitian tersebut digunakan
sebagai bahan kajian pendukung dalam penelitian ini.
Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini,
yakni:
1. Skripsi yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS
PELAKSANAAN SHOLAT TAHAJUD DAN PUASA SUNNAH
DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL SPIRITUAL PADA
MAHASISWA AKTIVIS LDK IAIN SALATIGA TAHU 2015” yang
ditulis oleh Ahmad Fikri Sabiq (11110196) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
keguruan (FTIK) IAIN Salatiga Tahun 2015, menjelaskan bahwa:
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan antara intensitas
pelaksanaan shalat tahajud dengan kecerdasan emosional spiritual, ada
hubungan antara intensitas pelaksanaan puasa sunnah dengan kecerdasan
-
7
emosional spiritual, ada hubungan antara intensitas pelaku shalat tahajud
dan puasa sunnah dengan kecerdasan emosional spiritual. Hal ini
dibuktikan dengan hasil penghitungan statistik pada taraf dignifikansi 5%
yang menunjukkan bahwa nilai r hitung (0,279).
2. Skripsi yag berjudul “PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KONSEP
EMOSIONAL DAN SPIRITUAL QUOTIET ARY GINANJAR
AGUSTINAN” yang ditulis oleh fahmi bastian (12108012) Fakultas
Tarbiyah dan Ilm Keguruan (FTIK) IAIN Salatiga Tahun 2015,
menerangkan bahwa:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konse ESQ Ary Ginanjar Agustian
mempunyai relevansi dengan Pendidikan Islam. Bahwa kosep
pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual yang digagas Ari
Ginanjar Agustian dengan Pendidikan Islam mempunyai tujuan yang
sama, yaitu untuk membentuk Insan Kamil (manusia sempurna) dan
menumbuh-kembangkan potensi dasar manusia (fitrah/god spot) atau
manusia yang baik dimata manusia dan baik dihadapan Sang Khalik
(secara vertical dan horizontal) atau istilah dalam pendidikan Nasional
adalah manusia seutuhnya.
F. Penegasan Istilah
1. Internalisasi nilai-nilai
Internalisasi (internalization) diartikan sebagai penggabungan atau
persatuan sikap, standar tingkah laku, pendapat, dan seterusnya di dalam
kepribadian (Chaplin, 2005: 256).
-
8
Reber, sebagaimana dikutip Mulyasa mengartikan internalisasi
sebagai menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa
psikolog merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, praktik dan
aturan-aturan baku pada diri seseorang (Mulyana, 2004: 21).
Menurut pandangan Brubacher (Muhaimin, 1993) Nilai
(value/qimah) tak terbatas ruang lingkupnya. Nilai tersebut sangat erat
kaitannya dengan pengertian-pengertian dan aktivitas manusia yang
kompleks, sehingga sulit ditentukan batasannya. Nilai itu praktis dan
efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif di
dalam masyarakat.
Nilai berasal dari kata value (Inggris), value diambil dari kata
valere (Perancis) (Mulyana, 2014: 7). Nilai berkaitan dengan masalah baik
dan buruk. Islam memandang adanya nilai mutlak dan nilai intrinsik yang
berfungsi sebagai pusat dan muara semua nilai. Nilai tersebut adalah
tauhid yang merupakan tujuan semua aktivitas hidup muslim. Semua nilai-
nilai lain yang termasuk amal shalih dalam islam merupakan nilai
instrumental yang berfungsi sebagai alat untuk meraih nilai tauhid. Oleh
karenanya Islam menekankan perlunya nilai-nilai tersebut terus dibangun
pada diri seseorang sebagai jalan menuju terbentuknya pribadi yang
tauhidi (Achmadi, 2005: 123-124).
Pengertian di atas menerangkan bahwa pemahaman nilai yang
diperoleh harus dapat dipraktikan dan berimplikasi pada sikap.
Internalisasi ini akan bersifat permanen dalam diri seseorang. Dengan
-
9
demikian penulis menyimpulkan bahwa internalisasi merupakan cerminan
pada sikap dan perilaku seseorang yang ditampakkan dalam kehidupan
sehari-hari terhadap sebuah proses penanaman nilai kedalam jiwa
seseorang tersebut.
2. Puasa Sunnah
Puasa, dalam bahasa Arab, disebut shiyam dan shaum, yang berarti
menahan (imsak) sesuatu. Menurut syara’, puasa berarti menahan diri dari
perbuatan tertentu dengan niat dan menurut aturan tertentu sejak terbit
matahari hingga terbenam (Supriana, 2003: 83).
Sunnah, secara bahasa berarti tata cara. Menurut Syammar, sunnah
pada awalnya berarti cara atau jalan, yaitu jalan yang dilalui orang-orang
terdahulu kemudian diikuti oleh generasi berikutnya. Sunnah juga berarti
tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik yang terpuji maupun
yang tercela. Al-Tahanuwi berpendapat bahwa sunnah memiliki makna
tata cara, yang baik maupun yang buruk.
Puasa sunnah adalah puasa yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w.
untuk melakukannya di luar bulan Ramadlan dan bukan dalam hari-hari
yang diharamkan (dilarang) melakukan puasa. Puasa sunat itu adapula
dilakukan pada hari-hari tertentu atau bulan-bulan tertentu, dimana
Rasulullah SAW. membiasakan melakukannya semasa hidupnya.
Menurut kebanyakan fuqaha‟ niat puasa sunat (tathawwu’) itu
tidak harus malam hari sebelum fajar seperti puasa fardlu. Tetapi cukup
diniatkan pagi (siang) hari sebelum zawal, yakni tergelincirnya matahari,
-
10
demikian apabila seseorang belum lagi makan atau minum (Chamid, 1987:
60).
3. Kecerdasan Spriritual
Kecerdasan: kecerdasan bisa didefinisikan sebagai kemampuan
memperoleh pengetahuan dan pemahaman, dan menggunakannya dalam
situasi baru yang berbeda. Kecerdasan merupakan kecakapan atau
kemampuan, yang memungkinkan seseorang menghadapi situasi nyata dan
secara cerdas memanfaatkan pengalaman inderawi.
Spiritual: istilah “spiritual” di sini dipakai dalam arti “the
animating or vital principle” (penggerak atau prinsip hidup) yang
memberi hidup pada organisme fisik. Artinya, prinsip hidup yang
menggerakkan hal yang material menjadi hidup. Dalam diri manusia, kata
Theodore Rotzack yang dikutip dalam bukunya Satiadarma & Waruwu
ada “ruang spiritual”, yang jika tidak diisi dengan hal-hal yang lebih
tinggi, maka ruang itu secara otomatis akan terisi oleh hal-hal yang lebih
rendah, yang ada dalam diri setiap manusia. Dalam konteks ini, kiranya
SQ hendak membawa “ruang spiritual” dalam diri kita itu menjadi cerdas
(Satiadarma & Waruwu, 2003: 42).
Kedalaman spiritual adalah dasar yang harus dimiliki oleh anak
demi mencapai akhlaqul karimah dalam mengarungi kehidupannya kelak.
Sehingga bidang apapun yang akan ditekuni oleh anak dikemudian hari,
jika secara spiritual anak sudah bisa menginternalisasikan nilai-nilai religi
-
11
ke dalam kehidupannya, maka sudah dapat dipastikan ia akan mencapai
kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat (Muallifah, 2009: 177).
Zohar dan Marshal mendefinisikan kecerdasan spiritual merupakan
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan
nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya atau kecerdasan untuk menilai
bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding yang
lain. Sementara menurut Sinetar dan Khavari, kecerdasan spiritual
merupakan pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas
yang terinspirasi penghayatan ketuhanan dimana kita menjadi bagian
didalamnya (Suyamto, 2006: 1). Kecerdasan spiritual yang sejati
merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
makna dan nilai, tidak saja terhadap manusia, tetapi juga di hadapan Allah.
Pendek kata, kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kesadaran
dalam diri kita yang membuat kita menemukan dan mengembangkan
bakat-bakat bawaan, intuisi, otoritas batin, kemampuan membedakan yang
salah dan benar serta kebijaksanaan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui gambaran keseluruhan pada penelitian ini, maka
peneliti akan sampaikan garis-garis besar dalam sistematika penelitian
yang memuat 5 (lima) bab atau pembahasan, sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan. Pada bab pendahuluan ini berisi tentang:
Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat
-
12
Penelitian, Kajian Penelitian Terdahulu, Penegasan Istilah, dan Sistematika
Penulisan Skripsi. Bab pendahuluan ini dimaksudkan sebagai kerangka
acuan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat dijelaskan secara
sistematika sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.
Bab II : Kajian Pustaka. Pada bab kajian pustaka ini, dikupas
berbagai pembahasan teori yang menjadi landasan teoritik penelitian.
Sesuai dengan judul skripsi maka pembahasan pada bab ini berisi : definisi
internalisasi, definisi nilai, definisi puasa sunnah, definisi kecerdasan
spiritual.
Bab III : Metode Penelitian. Pada bab ini akan dilaporkan
pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, prosedur
pengumpulan data, analisis data, dan pengecekan keabsahan data
mengenai internalisasi nilai-nilai puasa sunnah dalam menumbuhkan
kecerdasan spiritual mahasiswa IAIN Salatiga jurusan PAI angkatan 2013
dan penyajian data.
Bab IV : Paparan data dan Analisis Data. Pada bab ini akan
dilaporkan hasil penelitian tentang paparan data, yaitu gambaran umum
perguruan tinggi dan temuan penelitian. Analisis data pada bab ini, penulis
akan memaparkan analisis data dari internalisasi nilai-nilai puasa sunnah
dalam menumbuhkan kecerdasan spiritual mahasiswa IAIN Salatiga
jurusan PAI angkatan 2013.
Bab V : Penutup. Pada bab ini dikemukakan tentang kesimpulan
sebagai jawaban atas fokus penelitian dan saran-saran. Bagian akhir dari
-
13
skripsi ini juga dicantumkan daftar pustaka dan berbagai lampiran dari
penelitian.
-
14
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Internalisasi Nilai-Nilai Puasa Sunnah
1. Pengertian Internalisasi
Internalisasi menurut KBBI dapat diartikan sebagai penghayatan,
proses falsafah negara secara mendalam berlangsung lewat penyuluhan,
penataran dan sebagainya. Penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin,
atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran
doktrin atau nilai yang diwujudkan di sikap dan perilaku (Depdiknas,
2007: 439).
Reber, sebagaimana dikutip Mulyasa mengartikan internalisasi
sebagai menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa
psikolog merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, praktik dan
aturan-aturan baku pada diri seseorang (Mulyana, 2004: 21).
2. Pengertian Nilai
Nilai (value/qimah) dalam pandangan Brubacher tak terbatas ruang
lingkupnya. Nilai tersebut sangat erat kaitannya dengan pengertian-
pengertian dan aktivitas manusia yang kompleks, sehingga sulit ditentukan
batasannya. Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia
dan melembaga secara objektif di dalam masyarakat (Muhaimin, 1993:
109-110).
-
15
Nilai berarti harga, angka kepandaian, banyak sedikitnya isi atau
sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakekatnya
(Depdiknas, 2007: 783). Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan
masalah etika dan biasa juga disebut filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai
moral sebagai tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai
aspek kehidupannya (Munawar, 2005: 3). Artinya nilai itu dianggap
penting dan baik apabila sesuai dengan kebutuhan oleh suatu masyarakat
sekitar.
Nilai-nilai tersebut dapat timbul dari berbagai aspek baik agama,
budaya, norma sosial, dan lain-lain. Pemaknaan atas nilai inilah yang dapat
mewarnai sikap manusia terhadap diri, lingkungan dan kehidupan
disekelilingnya.
3. Nilai-nilai Puasa Sunnah
Sebagian para ahli membedakan bentuk nilai dengan nilai
instrumental dan nilai intrinsik (Syam, 1986: 133), antara lain:
a. Nilai instrumental
Nilai instrumental adalah nilai yang dianggap baik karena bernilai
untuk sesuatu yang lain. Nilai ini terletak pada konsekuensi-
konsekuensi pelaksanaannya dalam usaha untuk mencapai nilai yang
lain. Nilai yang dimiliki suatu hal dalam menghasilkan akibat-akibat
atau hasil-hasil yang diinginkan.
-
16
Nilai instrumental dalam puasa sunnah yakni sebagai berikut:
1) Rendah hati
Dengan melakukan ibadah puasa, rendah hati yang ada pada diri
seseorang akan muncul. Rendah hati disini merupakan
merendahkan diri dihadapan Allah dan sopan santun terhadap
sesama. Orang yang memiliki sikap rendah hati tidak akan
meremehkan orang lain dan tidak akan bersikap sombong
walaupun dirinya orang yang mampu dan kuat.
2) Rajin
Rajin berarti giat, sungguh-sungguh. Rajin itu bisa dipengaruhi dari
kebiasaan seseorang , karena dengan terbiasa orang itu akan
menjadi rajin dengan apa yang dia kerjakan. Misalnya dia puasa
dengan rajin otomatis dia pasti tidak akan lupa dengan puasanya
karena sudah terbiasa, jika dia meninggalkan puasanya seperti dia
kehilangan sesuatu atau dia merasa tidak enak atau was-was. Rajin
itu termasuk salah satu kunci kesuksesan, untuk jadi orang yang
sukses itu ada tantangan yang besar, sama seperti orang yang rajin,
rajin itu juga termasuk salah satu tantangan yang besar jika kita
terbiasa rajin otomatis semua pekerjaan akan cepat selesai kalau
kita malas otomatis pekerjaan pun akan terabaikan. Begitu juga
dengan rajin berpuasa, ketika kita rajin berpuasa maka dengan
otomatis kita akan rajin untuk membantu orang, karena dengan kita
rajin membantu orang, apalagi orang yang kesusahan, kita akan
-
17
mendapatkan pahala yang berlipat. Rajin dalam kebaikan
insyaallah akan nyaman dan bahagia.
3) Hormat-menghormati
Ibadah puasa menumbuhkan sikap saling menghormati atau
menghargai, Islam sangat menganjurkan umatnya agar saling
menghargai satu sama lain. Sikap menghargai terhadap orang lain
tentu didasari oleh jiwa yang santun yang dapat menumbuhkan
sikap menghargai orang diluar dirinya. Kemampuan tersebut harus
dilatih lebih dahulu untuk mendidik jiwa manusia sehingga mampu
bersikap penyantun. Dengan saling menghormati juga dapat
mengikis perasaan dengki atau benci terhadap orang lain.
4) Adil kepada orang lain
Berbuat adil kepada orang lain berarti memperlakukan orang lain
dengan layak, memberi hak orang lain dengan jujur dan benar serta
tidak menyakiti ataupun merugikan orang lain. Jika seseorang
mampu berbuat adil kepada orang lain, maka ia akan mampu
membangun relasi yang baik sehingga disukai banyak orang, peka
terhadap masalah lingkungan, serta menjadikan lingkungan damai
dan tentram.
b. Nilai intrinsik
Nilai intrinsiklah yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain,
melainkan untuk nilai di dalam dan dari dirinya sendiri. Nilai ini
-
18
bersifat pribadi ideal, dan merupakan pusat dalam hirarki nilai yang
terkandung di dalam kodrat manusia.
Nilai intrinsik dalam puasa sunnah yakni sebagai berikut:
1) Meningkatkan kedisiplinan
Seperti kita tahu Islam adalah agama yang mengajarkan disiplin di
semua bidang. Puasa contohnya, kita diwajibkan disiplin terhadap
waktu imsak, buka, dan shalat. Demikian halnya, ketika kita
meninggalkan sejumlah puasa maka wajib hukumnya untuk diganti
dengan jumlah hari yang sama, di lain waktu.
2) Adil kepada diri sendiri
Berbuat adil pada diri sendiri berarti menempatkan diri sendiri
pada tempat yang baik dan benar serta tidak menuruti hawa nafsu
yang dapat mencelakakan diri sendiri. Jika seseorang mampu
berbuat adil terhadap dirinya, maka ia akan meraih keberhasilan
dalam hidupnya, bahagia secara batiniah, menjadi pribadi yang
menyenangkan sehingga disukai banyak orang, dapat
meningkatkan kualitas dirinya dan nantinya memperoleh
kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.
B. Puasa Sunnah
1. Pengertian Puasa Sunnah
Puasa dapat diartikan sebagai menghindari makan, minum dsb
dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan), salah satu rukun
Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan
-
19
dan segala yang menbatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam
matahari (Depdiknas, 2007: 902).
Puasa, dalam bahasa Arab, disebut shiyam dan shaum, yang berarti
menahan (imsak) sesuatu. Menurut syara’, puasa berarti menahan diri dari
perbuatan tertentu dengan niat dan menurut aturan tertentu sejak terbit
matahari hingga terbenam (Supriana, 2003: 83).
Bebi Kurniawan menegaskan, menurut bahasa, puasa atau shaum
adalah menahan diri dari segala sesuatu, seperti makan,minum, nafsu, dan
menaan berbicara yang tidak bermanfaat. Sedangkan menurut istilah,
puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya selama satu
hari, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan
beberapa syarat. Dalam al-Qur‟an , kata “puasa” yang paling sering
digunakan adalah shiyam yang berarti berpuasa dengan menahan diri
untuk tidak makan, minum dan bergaul dengan istri/suami sejak fajar
sampai mahgrib. Sementara itu, dalam al-Qur‟an kata “puasa” hanya
disebut satu kali dengan kata shaum. Shaum tidak hanya mencegah makan,
minum, dan bergaul dengan istri/suami, tetapi juga harus mencegah
berbicara, mendengar, melihat, bahkan pikiran dari hal-hal yang dapat
merusak ibadah puasa. Menurut Ghazali, inilah bentuk puasa yang
sebenarnya dan yang akan mengantarkan manusia kepada derajat takwa
(Aizid, 2015: 17).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara bahasa, puasa
atau shaum berarti menahan atau mencegah. Sedangkan, menurut syariat
-
20
agama Islam, puasa berarti menahan diri dari makan, minum, serta segala
perbuatan yang biasa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga
terbenam matahari, dengan syarat tertentu, untuk meningkakan ketakwaan
seorang muslim.
Sunnah, secara bahasa berarti tata cara. Kata sunnah sering
disebutkan seiring dengan kata “kitab”. Di kala kata sunnah dirangkaikan
dengan kata “kitab”, maka sunnah berarti: “cara-cara beramal dalam
agama berdasarkan apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW.”;
atau “suatu amaliah agama yang telah dikenal oleh semua orang”. Sunnah
dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW., baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun
pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan sunnah dalam istilah ulama fiqh
adalah: “sifat hukum bagi suatu perbiuatan yang dituntut melakukannya
dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberikan
pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak
melakukannya (Syarifuddin, 2014: 227).
Sunnah dapat pula diartikan sebagai perbuatan yang apabila
dilakukan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa
(Depdiknas, 2007: 1104).
Puasa sunnah adalah puasa yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW.
untuk melakukannya di luar bulan Ramadlan dan bukan dalam hari-hari
yang diharamkan (dilarang) melakukan puasa. Puasa sunah itu adapula
-
21
dilakukan pada hari-hari tertentu atau bulan-bulan tertentu, dimana
Rasulullah SAW. membiasakan melakukannya semasa hidupnya.
Menurut kebanyakan fuqaha‟ niat puasa sunah (tathawwu’) itu
tidak harus malam hari sebelum fajar seperti puasa fardlu. Tetapi cukup
diniatkan pagi (siang) hari sebelum zawal, yakni tergelincirnya matahari,
demikian apabila seseorang belum lagi makan atau minum (Chamid, 1987:
60).
Puasa Tathawwu’ disini juga merupakan puasa sunnah yang
bersumber dari Nabi dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan mengharap keridhaan-Nya (Akhyar, 2014: 27).
2. Jenis Puasa Sunnah
a. Puasa Senin Kamis
Puasa senin kamis adalah puasa sunnah yang hanya
dilaksanakan pada hari senin dan kamis. Puasa tersebuat merupakan
puasa yang paling sering diamalkan oleh Rasulullah SAW. semasa
hidupnya. Sebagai puasa sunnah, puasa Senin Kamis tentu saja
memiliki posisi yang sangat tinggi di mata Allah SWT. Ia memberikan
berkah kepada setiap hambanya yang mengamalkannya.
؟ ٍِ ِو اإِلْثَُْي ْٕ ٍْ َص َسهََّى ُسئَِم َع َٔ ِّ ُ َعهَْي ِ َصهَّى َّللاَّ ُل َّللاَّ ْٕ ٌَّ َرُس ٍْ أَثِي قَزَبَدحَ: أَ َع
َِْزَل َعهَيَّ )و ِّ أُ فِْي َٔ نِْذُد ُٔ ِّ (3/868فَقَبَل : فِْي
Dari Abu Qotadah ra, bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya
tentang puasa padahari Senin? Lalu beliau menjawab. “Pada hari itu
aku dilahirkan dan pada hari itu pula diturunkan wahyu kepadaku.”
(Muslim 3/168) (Al Albani, 2013: 449)
-
22
b. Puasa Daud
Jika ada puasa sunnah yang paling utama dan istimewa, maka
ia adalah puasa Daud. Memang secara definitif tidak dijelaskan
ganjaran apa yang akan diperoleh bagi penegak puasa Daud. Ini
berbeda dengan puasa sunnah lainnya yang banyak disebutkan
keutamaannya (Syafrowi, 2016: 30).
Puasa Daud adalah puasa sunnah yang dilakukan secara
berselang-seling, yakni sehari berpuasa dan sehari kemudian tidak.
Jika hari ini berpuasa, maka esok hari tidak berpuasa, sedang lusa
berpuasa lagi, dan begitu seterusnya. Puasa Daud merupakan puasa
yang ditujukan untuk meneladani puasa Nabi Daud As. Hukumnya
adalah sunnah. Jadi, barang siapa yang menjalankannya, niscaya ia
akan mendapatkan pahala. Namun, barang siapa yang tidak
menjalankannya, maka ia tidak dikenai dosa.
c. Puasa Asyura‟
َراَء فِْي ْٕ ُو َعبُش ْٕ ٌَّ قَُزْيًشب َكبََْذ رَُص َُْٓب : أَ ُ َع ٍَ َعبئَِشخَ َرِضَي َّللاَّ َع
ٌُ ِّ َحزَّي فُِزَض َرَيَضب َسهََّى ثِِصيَبِي َٔ ِّ ُ َعهَْي هِيَِّخ ثُىَّ أََيَز َرُسهُُٕل َّللاَّ ِْ اْنَجب
َسهََّى يَ َٔ ِّ ُ َعهَْي ِ َصهَّى َّللاَّ ُل َّللاَّ ْٕ ٍْ َشبَء فَقَبَل : َرُس َٔ َي ،ُّ ًْ ٍْ َشبَء فَْهيَُص
(3/847فَْهيُْفِطْزُِ )و
Dari Aisyah ra, bahwasanya orang-orang Quraisy di masa
Jahiliyah berpuasa pada hari Asyura, kemudian Rasulullah
memerintahkan berpuasa pada hari tersebut sampai diwajibkannya
-
23
puasa Ramadhan, lalu Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa
yang menghendaki waktu berpuasa pada hari Asyura’, maka
hendaknya ia berbuka.” (Muslim 3/147) (Al Albani, 2013: 441)
Puasa Asyura‟ adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada 10
Muharram. Syarat dan rukun puasa tersebut sama dengan puasa sunnah
lainnya (Busthomi, 2015: 57). Sebagai salah satu jenis puasa sunnah,
puasa Asyura‟ memiliki keistimewaan yang sangat besar, diantaranya
menghapus dosa satu tahun yang telah lalu dan Allah SWT juga akan
melipatgandakan pahala bagi hamba-Nya yang menjalankan puasa
Asyura‟ secara ikhlas. Keistimewaan puasa Asyura‟ tersebut tentu saja
tidak terlepas dari keberadaan hari Asyura‟ (10 Muharram) yang
mulia. Karena pada hari itu, Allah SWT telah menyelamatkan Bani
Israil (umat Nabi Musa as) dari kejaran musuhnya (Busthomi, 2015:
60).
d. Puasa Sya‟ban
Puasa Sya‟ban adalah puasa yang dijalankan pada bulan
sya‟ban. Puasa ini hukumnya sunnah dan merupakan amalan yang
paling utama menjelang datangnya Ramadhan. Allah SWT.
Menganjurkan kepada kita sebagai hamba-Nya untuk memperbanyak
puasa pada bulan Sya‟ban tersebut tanpa ketentuan hari atau bebas
memilih hari sesuai keinginan kita. Rasulullah SAW. semasa hidupnya
senantiasa berpuasa Sya‟ban dan beliau jarang sekali meninggalkannya
(Busthomi, 2015: 60-61).
-
24
Puasa Sya‟ban adalah puasa sunnah yang dimaksudkan sebagai
latihan atau pemanasan sebelum kita memasuki Ramadhan. Jika kita
terbiasa berpuasa Sya‟ban, maka kita akan lebih siap dan kuat untuk
berpuasa wajib di bulan Ramadhan. Semoga dengan berpuasa Sya‟ban,
kita termasuk hamba yang mendapatkan berkah-Nya.
e. Puasa Tiga Hari Pada Pertengahan Bulan
Puasa tiga hari pada pertengahan bulan adalah puasa yang
dijalankan pada tanggal 13, 14 dan 15 dibulan-bulan Hijriah
(Qomariyah). Puasa tersebut hukumnya sunnah dan disebut sebagai
Ayyamul Baidh yang berarti puasa hari putih. Sebab, malam pada
tanggal-tanggal itu bulan purnama bersinar terang berwarna putih.
(Busthomi, 2015: 67).
Pada waktu-waktu tersebut, keimanan kita cenderung surut,
sehingga akan lebih banyak berbuat keburukan daripada kebaikan.
Oleh karena itulah, Rasulullah SAW. menganjurkan umatnya untuk
berpuasa pada hari-hari tersebut dengan tujuan agar emosi kita tetap
berada pada kondisi stabil. Sungguh, suatu perintah atau anjuran dari
Allah SWT. Tidak ada yang kebetulan semata. Semua memiliki
maksud agar para hamba tetap tidak lalai kepada Allah SWT., Sang
Maha Pencipta.
3. Tujuan Berpuasa
Tujuan kita berpuasa lebih dari sekedar untuk keperluan survive,
sebab kita adalah makhluk yang dikaruniai akal pikiran, jiwa, dan nafsu.
-
25
Kita berpuasa untuk tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia, yaitu supaya
menjadi insan yang bertakwa, sebagai mana yang disebutkan Allah Swt.
Dalam firman-Nya:
ب كُ ًَ يَبُو َك ٍَ آَيُُٕا ُكزَِت َعهَْيُكُى انصِّ َب انَِّذي ٍْ قَْجهُِكْى نََعهَُّكْى يَب أَيُّٓ ٍَ ِي زَِت َعهَى انَِّذي
ٌَ )انجقزح : (883رَزَّقُٕ
183. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa”
Takwa berarti memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti
segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, serta ridha (menerima
dan menjalani dengan ikhlas) atas hukum-hukum dan ketentuan Allah.
4. Keutamaan Puasa Sunnah
Berdasarkan al-Quar‟an, puasa sunnah memiliki keutamaan, yaitu sebagai
berikut:
1) Puasa sunnah merupakan jalan memperoleh ampunan dan pahala
yang besar. Hal tersebut sesuai firman Allah SWT. dalam surat al-
Ahzab ayat 35 yang berbunyi:
اْنقَبَِزَبِد َٔ ٍَ اْنقَبَِزِي َٔ ْؤِيَُبِد ًُ اْن َٔ ٍَ ْؤِيُِي ًُ اْن َٔ بِد ًَ ْسهِ ًُ اْن َٔ ٍَ ي ًِ ْسهِ ًُ ٌَّ اْن إِ
ٍَ اْنَخبِشِعي َٔ بثَِزاِد انصَّ َٔ ٍَ بثِِزي انصَّ َٔ بِدقَبِد انصَّ َٔ ٍَ بِدقِي انصَّ َٔ
ٍَ ي ًِ بئِ انصَّ َٔ قَبِد زََصذِّ ًُ اْن َٔ ٍَ قِي زََصذِّ ًُ اْن َٔ اْنَخبِشَعبِد بِد َٔ ًَ بئِ انصَّ َٔ
-
26
اِكَزاِد انذَّ َٔ َ َكثِيًزا ٍَ َّللاَّ اِكِزي انذَّ َٔ اْنَحبفِظَبِد َٔ ٍَ فُُزَٔجُْٓى اْنَحبفِِظي َٔ
ب )األحزة : ًً أَْجًزا َعِظي َٔ ُ نَُْٓى َيْغفَِزحً (35أََعذَّ َّللاَّ
35. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki
dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan
yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang
benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
(QS.al-Ahzab: 35).
Dalam Tafsir Qur‟an Karim yang dikutip dari Prof. Dr. H.
Muhmud Yunus (2004: 619-620) menerangkan bahwa pada suatu
hari isteri-isteri Nabi bertanya: “Mengapakah dalam Qur‟an Allah
menyebutkan laki-laki saja, sedang kami perempuan tidak tersebut
sedikit juga?” Maka turunlah ayat ini: Sesungguhnya orang-orang
Islam laki-laki dan orang-orang Islam perempuan, orang-orang
Mukmin laki-laki orang-orang Mukmin perempuan, orang-orang
thaat laki-laki dan orang-orang thaat perempuan, orang-orang
benar laki-laki dan orang-orang benar perempuan, orang-orang
sabar laki-laki dan orang-orang sabar perempuan, orang-orang
khusyu‟ laki-laki dan orang-orang khusyu‟ perempuan, orang-
orang bersedekah laki-laki dan orang-orang bersedekah
perempuan, orang-orang puasa laki-laki dan orang-orang puasa
perempuan, orang-orang menjaga kehormatannya (tidak berzina)
laki-laki dan orang-orang menjaga kehormatannya perempuan,
-
27
orang-orang mengingat Allah laki-laki dan orang-orang mengingat
Allah perempuan, maka Allah telah menyediakan ampunan dan
pahala yang besar untuk mereka itu semuanya.
Menurut istilah bahasa Arab, bahwa jika berhimpun laki-
laki dan perempuan, maka khitabnya (ucapannya) hanya menurut
khitab laki-laki saja, seperti Assalamu‟alaikum, khitab untuk laki-
laki, begitu juga untuk laki-laki bersama perempuan. Sebab itu tak
perlu ditambahkan lagi „alaikunna yang khusus untuk perempuan
saja. Semua khitab yang dihadapkan kepada laki-laki dalam
Qur‟an, sebenarnya juga untuk perempuan, bukan untuk laki-laki
saja. Tetapi rupannya isteri-isteri NAbi tidak merasa puas dengan
masuknya perempuan kedalam khitab laki-laki saja, melainkan
minta, supaya khusus untuk perempuan. Maka turunlah ayat ini
yang menyebutkan laki-laki dan perempuan dengan khusus.
2) Puasa sunnah merupakan jalan memperoleh kabar gembira di hari,
kiamat.
ٌَ اْنعَ ٌَ انزَّبئِجُٕ بِجُذٔ ٌَ انسَّ اِكُعٕ ٌَ انزَّ بئُِحٕ ٌَ انسَّ ٌَ اْنَحبِيُذٔ بثُِذٔ
ِ ٌَ نُِحُذِٔد َّللاَّ اْنَحبفِظُٕ َٔ َُْكِز ًُ ٍِ اْن ٌَ َع انَُّبُْٕ َٔ ْعُزِٔف ًَ ٌَ ثِبْن اآلِيُزٔ
ٍَ )انزّٕثخ : ْؤِيُِي ًُ ِز اْن ثَشِّ َٔ881)
112. mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang
beribadat, yang memuji, yang melawat[662], yang ruku', yang
sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat
Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan
gembirakanlah orang-orang mukmin itu (QS.at-Taubah : 112).
-
28
Berdasarkan firman Allah SWT. tersebut, para ahli tafsir
berpendapat bahwa yang dimaksud orang-orang yang melawat
adalah mereka yang berpusa. Jadi orang yang melakukan ibadah
puasa, mereka akan mendapat kabar gembira di hari kiamat kelak.
Dalam Tafsir Qur‟an Karim yang dikutip dari Prof. Dr. H.
Muhmud Yunus (2004: 284) menerangkan bahwa orang-orang
yang sebenarnya beriman (iman yang sempurna), ialah :
a) Orang-orang yang taubat, ya‟ni menyesal atas perbuatan dosa
yang telah lalu dan bercita-cita tidak akan memperbuat dosa itu
kembali serta meninggalkan dosa itu dan minta ampun kepada
Allahdengan mengucapkan : Astaghfirullah (Aku minta ampun
kepada Allah). Tobat itu wajib bagi orang yang berbuat dosa dan
sunat memperbanyaknya. Jika dosa itu bersangkut dengan
manusia, seperti mencaci (mengumpat) orang, mengambil
haknya dsb, maka wajib pula minta ma‟af kepada orang yang
punya hak itu atau membayarnya.
b) Orang-orang yang beribadat dengan tulus ikhlas (tauhid yang
sebenarnya).
c) Orang-orang yang berterima kasih kepada Allah (memujiNya
secara syukur kepadaNya) syukur artinya mempergunakan
nikmat Allah kepada yang diuntukkan baginya, seperti tangan
dipergunakan untuk memegang yang baik dan halal, bukan
-
29
untuk mencopet atau mencuri, mata untuk membaca dan melihat
isi alam yang luas ini untuk jadi i‟tibar (pengajaran) dsb.
d) Orang-orang sa-ih, yaitu orang-orang puasa, kata setengah ahli
Tafsir, orang berjalan untuk meluaskan pemandangannya.
e) Orang-orang rukuk, sujud, ja‟ni orang-orang sembahyang.
f) Orang-orang yang menyuruh dengan yang ma‟ruf dan melarang
yang mungkar
g) Orang-orang yang memelihara batas-batas yang telah ditentukan
Allah (menurut syari‟at Allah).
3) Puasa sunnah merupakan jalan yang membentuk kepribadian
seseorang agar menjadi hamba yang bertakwa. Hal itu terdapat
dalam al-Qur‟an tepatnya pada QS.al-Baqarah: 183 (Busthomi,
2015: 70-73).
ٍْ ٍَ ِي ب ُكزَِت َعهَى انَِّذي ًَ يَبُو َك ٍَ آَيُُٕا ُكزَِت َعهَْيُكُى انصِّ َب انَِّذي يَب أَيُّٓ
ٌَ )انجقزح : (883قَْجهُِكْى نََعهَُّكْى رَزَّقُٕ
183. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa”.
Para ahli tafsir berpendapat bahwa keutamaan surat al-Baqarah:
183 bukan hanya berlaku secara khusus pada puasa wajib (puasa
Ramadhan), namun untuk semua jenis puasa sunnah.
5. Syarat Puasa
-
30
Syarat puasa, termasuk puasa Senin Kamis, dapat dibedakan
menjadi dua, yakni syarat puasa wajib dan syarat sah puasa.
a. Syarat wajib puasa antara lain:
1) Beragama Islam
2) Berakal sehat
3) Baligh (sudah cukup umur)
4) Mampu melaksanakannya
b. Syarat sah puasa antara lain:
1) Islam (tidak murtad)
2) Mummayiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk)
3) Suci dari haid dan nifas (khusus bagi wanita)
4) Mengetahui waktu diterimannya puasa (Aizid, 2015: 39-40).
Menurut ulama ahli fiqih, syarat sah puasa sunnah adalah sebagai berikut:
a. Menurut Imam Hanafi, ada empat syarat sah puasa sunnah, yakni
beragama Islam, berniat puasa, suci dari haid dan nifas, serta tidak
melakuakan hal-hal yang membatalkannya.
b. Menurut Imam Maliki, ada lima syarat sah puasa sunnah anatara lain
beragama Islam, berakal, berniat puasa, suci dari haid dan nifas, serta
dikerjakan pada waktunya.
c. Menurut Imam Syafi‟I, ada empat syarat sah puasa sunnah, yaitu
beraga Islam, berakal, suci dari haid dan nifas, serta dikerjakan pada
waktunya.
-
31
d. Menurut Imam Hambali, ada tiga syarat sah puasa sunnah, yaitu
beraga Islam, berniat puasa, dan suci dari haid serta nifas (Busthomi,
2015: 76-77).
Pada umumnya, masyarakat Indonesia mengikuti paham fiqh imam
Syafi‟i, sehingga syarat sah yang harus dipenuhi dalam menjalankan puasa
sunnah adalah beragam Islam, berakal, suci dari haid dan nifas, serta
dikerjakan pada waktunya.
6. Rukun Puasa Sunnah
Dalam hal ini, rukun yang dimaksud berarti fi’liyah atau rukun
yang berupa perbuatan. Rukun puasa sunnah menurut Imam Syafi‟I adalah
sebagai berikut:
a. Niat
Niat adalah menjalankan puasa sunnah harus diucapkan dalam
hati, bukan secara lisan. Niat yang diucapkan secara lisan tida dapat
disebut sebagai niat, tetapi hanya sebagai pelafalan atau pengucapan
kalimat niat. Niat menjalankan puasa sunnah dapat dilakukan pada
malam hari, yaitu sebelum tidur atau makan sahur.
b. Menahan Diri dari Segala Hal yang Membatalkan Puasa
Rukun puasa sunnah berupa menahan diri dari segala hal yang
membatalkan puasa dapat dilakukan sejak terbitnya fajar hingga
terbenamnya matahari atau tiba waktu berbuka (Busthomi, 2015: 78-
80).
C. Kecerdasan Spiritual
-
32
Cerdas dapat diartikan sebagai sempurna perkembangan akal
budinya (untuk berpikir, mengerti, dsb). Sedangkan kecerdasan artinya
perbuatan mencerdaskan, kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti
kepandaian, ketajaman pikiran) (Depdiknas, 2007: 209).
Kecerdasan: kecerdasan bisa didefinisikan sebagai kemampuan
memperoleh pengetahuan dan pemahaman, dan menggunakannya dalam
situasi baru yang berbeda. Kecerdasan merupakan kecakapan atau
kemampuan, yang memungkinkan seseorang menghadapi situasi nyata dan
secara cerdas memanfaatkan pengalaman inderawi.
Spiritual: istilah “spiritual” di sini dipakai dalam arti “the
animating or vital principle” (penggerak atau prinsip hidup) yang
memberi hidup pada organisme fisik. Artinya, prinsip hidup yang
menggerakkan hal yang material menjadi hidup. Dalam diri manusia, kata
Theodore Rotzack dari kutipan buku yang ditulis oleh Satiadarma &
Wawuru ada “ruang spiritual”, yang jika tidak diisi dengan hal-hal yang
lebih tinggi, maka ruang itu secara otomatis akan terisi oleh hal-hal yang
lebih rendah, yang ada dalam diri setiap manusia. Dalam konteks ini,
kiranya SQ hendak membawa “ruang spiritual” dalam diri kita itu menjadi
cerdas (Satiadarma & Waruwu, 2003: 42).
Binet dan Simon mendefinisikan kecerdasan sebagai inteligensi
yang terdiri atas tiga komponen. Pertama, kemampuan untuk
mengarahkan pikiran atau tindakan. Kedua, kemampuan mengubah arah
-
33
tindakan bila tindakan tersebut telah selesai dilaksanakan. Ketiga,
kemampuan untuk mengkritk diri sendiri.
Spiritual artinya berhubungan atau dengan bersifat kejiwaan
(rohani, batin) (Depdiknas, 2007: 1087). Kedalaman spiritual adalah dasar
yang harus dimiliki oleh anak demi mencapai akhlaqul karimah dalam
mengarungi kehidupannya kelak. Sehingga bidang apapun yang akan
ditekuni oleh anak dikemudian hari, jika secara spiritual anak sudah bisa
menginternalisasikan nilai-nilai religi ke dalam kehidupannya, maka sudah
dapat dipastikan ia akan mencapai kesuksesan baik di dunia maupun di
akhirat (Muallifah, 2009: 177).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecerdasan spiritual dapat
diartikan sebagai kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian
antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar berdasarkan
keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa (Depdiknas, 2007: 209).
Menurut Zohar dan Marshal yang dikutip oleh Suyamto
mendefinisikan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan
untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang
lebih luas dan kaya atau kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau
jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding yang lain. Sementara
menurut Sinetar dan Khavari yang dikutip juga oleh Suyamto, kecerdasan
spiritual merupakan pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan
efektivitas yang terinspirasi penghayatan ketuhanan dimana kita menjadi
-
34
bagian didalamnya (Suyamto, 2006: 1). Kecerdasan spiritual yang sejati
merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
makna dan nilai, tidak saja terhadap manusia, tetapi juga di hadapan Allah.
Pendek kata, kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kesadaran
dalam diri kita yang membuat kita menemukan dan mengembangkan
bakat-bakat bawaan, intuisi, otoritas batin, kemampuan membedakan yang
salah dan benar serta kebijaksanaan.
Cara mengukur kecerdasan spiritual secara garis besar menurut
Danah Zohar dan Ian Marshal terdapat empat tanda bagi orang yang
mempunyai kecerdasan spiritual, dengan indikator sebagai berikut:
1. Kemampuan Bersikap Fleksibel
Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual yang tinggi
ditandai dengan sikap hidupnya yang fleksibel atau bisa luwes dalam
menghadapi persoalan. Fleksibel di sini bukan berarti munafik atau
bermuka dua. Fleksibel juga bukan berarti tidak mempunyai pendirian.
Sikap fleksibel dimungkinkan karena seseorang memiliki
pengetahuannya yang luas, mendalam, dan itu merupakan sikap dari
hati yang tidak kaku (Naim, 2016: 194).
Orang yang fleksibel semacam ini lebih mudah menyesuaikan
diri dalam berbagai macam situasi dan kondisi. Orang yang fleksibel
juga tidak mau dalam memaksakan kehendak dan tak jarang tampak
mudah mengalah dengan orang lain. Meskipun demikian, ia mudah
untuk bisa menerima kenyataan dengan hati yang lapang.
-
35
2. Tingkat Kesadaran yang Tinggi
Orang yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi berarti ia
mengenal dengan baik siapa dirinya. Orang yang memiliki kesadaran
semacam ini lebih mudah mengendalikan emosi dalam situasi semacam
apa pun. Pengenalan diri sendiri merupakan modal penting untuk
menenal orang lain. Pada tahap selanjutnya membuatnya lebih mudah
untuk mengenal Tuhannya (Naim, 2016: 194-195).
Dalam menghadapi persoalan hidup yang semakin kompleks,
kemampuan untuk mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi ini sangat
penting sekali. Tidak mudah baginya untuk putus asa. Jauh dari
kemarahan, sebaliknya sangat dekat dengan keramahan. Orang yang
semacam ini tidak mungkin mendapatkan julukan sebagai orang yang
tidak tahu diri dari orang lain.
3. Kemampuan Menghadapi Penderitaan
Tidak banyak orang yang bisa menghadapi penderitaan dengan
baik. Pada umumnya manusia ketika dihadapkan dengan penderitaan
akan mengeluh, kesal, marah, atau bahkan putus asa. Akan tetapi, orang
yang mempunyai kecerdasan spiritual yang baik akan mempunyai
kemampuan dalam menghadapi penderitaan dengan baik.
Kemampuan menghadapi penderitaan ini didapatkan karena
seseorang mempunyai kesadaran bahwa penderitaan ini terjadi
sesungguhnya untuk membangun dirinya agar menjadi manusia yang
-
36
lebih kuat. Ia juga mempunyai kesadaran bahwa orang lain yang lebih
menderita darinya ternyata jauh lebih banyak. Ternyata, mereka yang
menghadapi penderitaan bukan hanya dirinya semata (Naim, 2016:
195). Lebih dari itu, ia juga menemukan hikmah dan makna hidup dari
penderitaan yang sedang dihadapinya.
4. Kemampuan Menghadapi Rasa Takut
Rasa takut pasti dimiliki oleh setiap orang. Namun sikap
manusia dalam menghadapi rasa takut ini berbeda-beda. Ada yang
berhasil mengatasinya, tetap ada juga yang khawatir secara berlebihan,
bahkan berkepanjangan. Padahal, kekhawatiran itu belum tentu terjadi
(Naim, 2016: 195). Takut menghadapi kemiskinan, misalnya, bila
berlebihan maka rasa takut itu bisa membuat seseorang lupa terhadap
hukum dan nilai. Akhirnya, dalam rangka supaya hidupnya tidak
miskin, tak segan ia menipu, berbohong, mencuri, atau melakukan
korupsi.
Tidak demikian dengan orang yang mempunyai kecerdasan
spiritual yang tinggi. Ia bisa menghadapi dan mengelola rasa takut itu
dengan baik. Dengan sabar ia akan menghadapi segala sesuatu.
Kesabaran dalam banyak hal memang bisa bermakna sebagai
keberanian seseorang dalam menghadapi kehidupan. Hal ini bisa terjadi
karena orang yang mempunyai kecerdasan spiritual mempunyai
sandaran yang kuat dalam keyakinan jiwanya.
-
37
D. Internalisasi Nilai-nilai Puasa Sunnah dalam Menumbuhkan
Kecerdasan Spiritual
Bertakwa kepada Allah dilakukan dengan beriman kepada-Nya,
menunaikan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan teguh dalam semua
itu. Keutamaan takwa dan pujian bagi orang yang bertakwa sangat tinggi
dan harum. Takwa menjadi ukuran kemuliaan seorang hamba, Allah
bersama orang yang bertakwa, surga disediakan untuk mereka dan neraka
akan dijauhkan dari tubuh-tubuh mereka kelak pada hari kiamat. Allah
juga menjanjikan kemudahan dan rizki yang tidak disangka-sangka bagi
orang yang bertakwa di dunia.
Takwa, tidak dibangun hanya dengan satu nilai kebaikan saja.
Takwa disini adalah akumulasi dari nilai-nilai dan unsur-unsur kebaikan
yang beragam. Nilai-nilai inilah yang penulis sebut sebagai nilai-nilai
ketakwaan. Dalam ibadah puasa, terdapat sejumlah nilai-nilai yang dapat
membangun ketakwaan seorang hamba kepada Allah. Berikut ini
diantaranya :
1. Meningkatkan Iman
Dengan ibadah puasa, iman seorang hamba akan melesat naik.
Puasa adalah salah satu ketaatan kepada Allah, dan setiap ketaatan
memberi dampak pada meningkatnya keimanan seorang hamba kepada
Allah. Selanjutnya, keimanan akan menumbuhkan ketakwaan pada
dirinya. Oleh karena itu, sejumlah ayat yang memerintahkan untuk
bertakwa, Allah awali dengan seruan kepada orang-orang yang
-
38
beriman. Karena takwa hanya mampu diwujudkan oleh orang-orang
yang beriman.
Para pelaku puasa senin kamis mendapat jaminan masuk surga.
Allah SWT. menyediakan surga untuk hamba-Nya yang beriman,
bertakwa, dan beramal shalih. Disanalah mereka akan abadi dengan
kenikmatan yang Allah SWT sediakan. Karena itu, tidak ada tempat
yang paling baik dan indah sebagai tempat kembali di akhirat kecuali
surga (Azaid, 2005: 52-53).
2. Melatih Kesabaran
Puasa mengendalikan keinginan dan melatih kesabaran. Orang
puasa merasa lapar sedang di hadapannya makanan yang lezat, haus
sedang di depannya air dingin nan segar, menahan diri sedang di
sampingnya sang isteri. Tidak ada yang mengawasi selain Tuhannya,
tidak ada yang mengendalikan selain hatinya, dan tidak ada yang
menguatkan selain keinginannya yang tegar lagi kuat. Kejadian seperti
ini terulang selama 13 jam lebih setiap hari, 29 atau 30 hari setiap tahun
(Aiennuha, 2009: 16).
3. Menekan Syahwat dan Mengendalikan Hawa Nafsu
Manusia yang sudah dikendalikan oleh hawa nafsunya akan
selalu berkeluh kesah, yaitu dengan memperturutkan hawa nafsunya,
dan terkadang dengan melepaskan amarahnya dengan suara yang tinggi.
Ini sebagai cerminan dari amarah dan nafsu yang sudah tidak terkendali
-
39
lagi oleh orang-orang yang sudah dikendalikan hawa nafsunya
(Syafrowi, 2016: 19).
Ibadah puasa dapat menekan syahwat seorang hamba,
mengurangi keinginan-keinginan buruk yang ada pada dirinya dan
mengendalikan hawa nafsunya. Jelas, hawa nafsu yang terkendali dan
syahwat yang terkontrol akan memberi dampak pada ketakwaan
seorang hamba. Karena syahwat dan hawa nafsu adalah faktor yang
sangat besar yang membuat manusia meninggalkan ketaatan dan
mengerjakan kemaksiatan.
4. Menumbuhkan Keikhlasan
Mengapa kita menderita sedih dan gelisah saat menjalani puasa?
Jawabannya karena kita kerap kali kurang ikhlas dalam mengerjakan
puasa. Entah motivasinya karena kita malu pada teman atau saudara,
takut pada orang tua, atau sekedar ikut-ikutan. Kita masih belum
mampu menjalani puasa dengan kesadaran dan pemahaman, sehinga
kondisi lapar-dahaga yang menimpa kita terasa begitu menyiksa, yang
akhirnya membuat kita suntuk, gelisah, dan sedih.
Jika kita ampu menjalani puasa dengan hati yang ikhlas, bukan
karena terpaksa – termasuk pula terpaksa karena ia sebagai kewajiban-,
maka kita akan dapat mengerjakan puasa itu dengan mudah, ringan dan
menyenangkan (Syafrowi, 2016:98).
Satu-satunya ibadah yang tidak dapat dilaksanakan dengan riya,
tujuan agar dilihat orang manusia dan mendapat pujian mereka adalah
-
40
ibadah puasa. Para ulama mengatakan, ibadah puasa adalah ibadah
rahasia antara seorang hamba dengan rabbnya, hanya dirinya dan Allah
saja yang mengetahui bahwa ia sedang berpuasa.
Keikhlasan tentu sangat penting dalam ketakwaan. Perintah-
perintah Allah harus dilaksanakan seorang hamba dengan ikhlas, dalam
rangka mencari keridhaan Allah. Pun demikian dengan larangan-
larangan Allah, jika seorang hamba ingin mendapat pahala dari
meninggalkannya, ia pun harus meninggalkannya karena Allah.
5. Menguatkan Rasa Muraqabatullah (Takut Kepada Allah)
Merasa selalu diawasi oleh Allah adalah perasaan yang harus
dihadirkan oleh seorang hamba jika ia ingin menjadi manusia yang
benar-benar bertakwa kepada-Nya. Muraqabatullah akan membuat ia
senantiasa berusaha menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang
dimurkai Allah kapan pun dan dimana pun ia berada. Orang yang tidak
memiliki rasa muraqabatullah dalam hatinya, pasti akan kesulitan
mempertahankan ketakwaannya, khususnya dalam kondisi sendirian,
jauh dari pandangan manusia.
Ibadah puasa mengandung nilai muraqabatullah. Saat seorang
hamba berpuasa, ia akan benar-benar sadar bahwa ia selalu dalam
pengawasan Allah. Tidak ada tempat dan waktu yang tidak diketahui
oleh-Nya. Oleh karena itu ia akan senantiasa menjaga puasanya dari
hal-hal yang dapat membatalkannya, walaupun saat sendirian dan jauh
dari pandangan manusia.
-
41
6. Meningkatkan Rasa Syukur
Dasar dari ketakwaan adalah rasa syukur. Rasa syukur akan
tumbuh dari kesadaran yang baik atas karunia dan nikmat Allah bagi
seorang hamba. Semua nikmat datang dari Allah. Sekecil apapun.
Manusia tidak dapat hidup tanpa karunia Allah.
Biasanya, kenikmatan serta karunia Allah tersebut manusia
sadari saat ia terhalang darinya dan merasa membutuhkannya. Makan
dan minum adalah karunia Allah yang dirasakan oleh manusia setiap
hari, namun sering kali baru disadari bahwa semua itu merupakan
nikmat Allah yang sangat besar pada saat manusia terhalang darinya.
Dalam beribadah puasa, seorang hamba akan menyadari bahwa
nikmat makan, minum dan juga nikmat-nikmat lainnya merupakan
karunia Allah yang sangat besar atas dirinya, untuk itulah ia pun akan
merasa harus bersyukur kepada-Nya.
7. Menghadirkan Rasa Belas Kasihan
Saat beribadah puasa, rasa lapar dan dahaga akan dirasakan.
Saat ia merasakan lapar dan dahaga, ia pun akan mengingat sebagian
saudara-saudaranya yang merasakan hal yang sama. Namun bedanya, ia
hanya merasakan lapar dan dahaga sementara waktu saja, sementara
sebagian saudara-saudaranya yang miskin merasakan hal itu hampir
dalam setiap waktu.
-
42
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan dari penelitian ini bersifat kualitatif. Bagdan dan Taylor
(1975: 5) yang dikutip dibukunya Moleong mendefinisikan bahwa metodologi
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara
holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau
organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai
bagian dari sesuatu keutuhan (Moleong, 2011: 4)
Jenis Penelitian yang peneliti ambil, dilihat dari tempatnya merupakan
penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
sasaran penelitinya mahasiswa IAIN Salatiga jurusan pendidikan agama islam
angkatan 2013. Dilihat dari tingkat eksplanasi, penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menjelaskan sesuatu yang menjadi
sasaran penelitian secara mendetail atau mendalam. Dalam arti, penelitian
tersebut dilakukan untuk mengungkapkan segala sesuatu atau berbagai aspek dari
sasaran penelitiannya (Nasehudin dan Gozali, 2012: 55-57).
Penelitian kualitatif bersifat pemberian (deskriptif), artinya mencatat
secara teliti segala gejala (fenomena) yang dilihat dan didengar serta dibacanya
(via wawancara atau bukan, catatan lapangan, foto, video tape, dokumen pribadi,
catatan atau memo, dokumen resmi atau bukan, dan lain-lain) dan peneliti harus
-
43
membanding-bandingkan, mengkombinasi, mengabstraksikan, dan menarik
kesimpulan (Bungin, 2011: 93).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Kampus 3 IAIN Salatiga.
C. Sumber Data
Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai
merupakan sumber data yang utama. Sumber data yang utama dicatat melalui
catatan tertulis atau melalui perekaman video / audio tapes, pengambilan foto,
atau film. Pencatatan sumber data yang utama melalui wawancara atau
pengamatan berperanserta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan
melihat, mendengar, dan bertanya (Moleong, 2010: 157). Kata-kata dan tindakan
orang-orang yang diamati atau diwawancarai dari penelitian ini yaitu mahasiswa
IAIN Salatiga Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2013.
Untuk mengumpulkan sejumlah data diperlukan sumber data diberbagai
sumber yaitu:
1. Data Primer
Data primer, atau data tangan pertama adalah data yang
diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat
pengukur atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai
sumber informasi yang dicari (Azwar, 2013: 91)
Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
melakukan penggalian data dari IAIN Salatiga dengan mencari keterangan
orang yang terlibat secara langsung yaitu mahasiswa jurusan PAI angkatan
-
44
2013 sebagai sumber untuk menggali informasi terkait fokus penelitian.
Peneliti mengambil beberapa mahasiswa jurusan PAI angkatan 2013 dengan
perkiraan sholeh/sholehahnya mahasiswa dalam melaksanakan peribadahan
untuk dijadikan sampel dalam penelitian. Agar mendapatkan informasi ini
peneliti menggunakan metode wawancara.
2. Data Sekunder
Data sekunder atau data tangan ke dua adalah data yang diperoleh
lewat fihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek
penelitiannya. Data sekunder biasanya berwujud data dokumentasi atau data
laporan yang telah tersedia (Azwar, 2013: 91).
Hal ini dilakukan karena data yang digali harus valid sehingga peneliti
harus melakukan pengamatan secara langsung dan mengobservasi di lapangan
yang menghasilkan data yang lengkap dan dapat dipertanggung jawabkan.
Peneliti menggunakan data sekunder untuk memperkuat penemuan dan
melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui wawancara langsung.
D. Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang utama dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa
mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan
data yang memenuhi standar yang ditetapkan. (Sugiyono, 2007: 308).
Metode atau teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan
observasi, wawancara, dan dokumentasi.
1. Observasi
Suatu teknik atau cara pengumpulan data dengan melakukan
pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Metode ini
-
45
digunakan untuk mengamati langsung keadaan mahasiswa IAIN Salatiga
jurusan PAI angkatan 2013 dalam melaksanakan ibadah puasa.
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap suatu gejala yang tampak pada objek penelitian. (Pohan,
2007: 71). Objek observasi dalam penelitian kulitatif terdapat tiga komponen,
yakni place (tempat), actor (pelaku), dan activities (aktivitas). (Rusdin
Pohan, 2007: 314). Observasi bertempat di Kampus 3 IAIN Salatiga. Adapun
untuk pelakunya sendiri adalah pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian,
dan untuk aktivitasnya yaitu kondisional.
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviwee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2011: 186).
Dalam mendapatkan data yang akurat, maka peneliti melakukan
metode wawancara atau interview. Dalam penelitian ini teknik wawancara
yang peneliti gunakan adalah wawancara mendalam artinya peneliti
mengajukan beberapa pertanyaan secara mendalam yang berhubungan
dengan fokus permasalahan. Sehingga data-data yang dibutuhkan dalam
penelitian dapat terkumpul secara maksimal (Bungin, 2012:67).
Metode ini digunakan untuk memperoleh informasi-informasi dari
mahasiswa IAIN Salatiga jurusan PAI angkatan 2013 yang dapat dijadikan
sumber data tentang pelaksanaan puasa sunnah serta bagaimana hasil dari
pelaksanaan puasa sunnah yang sebagian mereka lakukan.
3. Dokumentasi
-
46
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, agenda, dan sebagainya (Arikunto, 2002: 135). Metode
dokumentasi untuk melengkapi data-data sebelumnya yaitu observasi dan
wawancara untuk membantu menganalisis data.
E. Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis kualitatif. Penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami
fenomena-fenomena sosial dari sudut atau perspektif partisipan.
Pemahaman diperoleh melalui analisis berbagai keterkaitan dari partisipan
dan melalui penguraian pemaknaan partisipan tentang situasi dan
peristiwa (Sukmadinata, 2009: 94).
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara
sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainya untuk
meningkatkan pemahaman peneliti tentang fenomena yang diteliti dan
menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain (Muhadjir, 1996: 71).
Menurut Miles and Huberman dalam Sugiyono (2007: 337),
mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya
sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan
conclusion drawing/verification.
1. Reduksi data (Data reduction)
Reduksi data dilakukan untuk memfokuskan data pada hal-hal yang
penting dari sekian banyak data yang diperoleh dari data hasil observasi,
-
47
wawancara, dan catatan lapangan yang tidak terpola. Langkah ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
2. Penyajian data (Data display)
Setelah data direduksi maka data yang diperoleh didisplay, yakni
dengan menyajikan sekumpulan data dan informasi yang sudah tersusun dan
memungkinkan untuk diambil sebuah kesimpulan.
3. Penarikan kesimpulan (Conclusion drawing/Verification)
Prosedur penarikan kesimpulan didasarkan pada data informasi yang
tersusun pada bentuk yang terpola pada penyajian data. Melalui informasi
tersebut peneliti dapat melihat dan menentukan kesimpulan yang benar
mengenai objek penelitian karena penarikan kesimpulan merupakan kegiatan
penggambaran yang utuh dari objek penelitian (Sugiyono, 2010: 336-337).
F. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam menguji keabsahan data diperlukan teknik triangulasi agar data
yang didapatkan dalam penelitian valid dan reliabel. Jenis teknik
Triangulasi yang digunakan antara lain :
a. Triangulasi sumber
Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan
dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.
Triangulasi sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa
IAIN Salatiga jurusan PAI angkatan 2013 yang berjumlah 277 mahasiswa.
Peneliti mengambil sampel 26 mahasiswa sebagai sumber untuk menggali
informasi terkait fokus penelitian, dengan perkiraan sholeh/sholehahnya
mahasiswa dalam melaksanakan peribadahan.
-
48
b. Triangulasi teknik
Triangulasi teknik pengumpulan data untuk menguji kredibilitas
data yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama
dengan teknik yang berbeda. Dalam hal penelitian ini dimana peneliti
menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi pada seorang
sumber dengan data permasalahan yang sama.
1) Observasi
Penulis mengamati langsung kedaan mahasiswa IAIN Salatiga
jurusan PAI angkatan 2013 dalam melaksanakan ibadah puasa. Dilihat
dari kehidupan kesehariannya dalam bangku perkuliahan, para
mahasiswa yang sering melakukan puasa sunnah mereka terlihat lebih
bisa membagi waktunya, lebih cerdas, lebih mudah mengendalikan
emosi dalam berbagai situasi, berhati lembut ketika melihat orang yang
dibawahnya ikut merasakan penderitaan yang dihadapinya, dan yang
paling terlihat dari mereka ketika sering melaksanakan ibadah puasa
sunnah, sikap mereka, tutur kata dan perilaku mereka lebih terjaga.
2) Wawancara
Penulis melakukan wawancara terhadap mahasiswa IAIN
Salatiga jurusan PAI angkatan 2013 guna mengumpulkan data yang
diperlukan dengan pedoman seperti berikut dan hasil wawancaranya
terlampir.
a) Apa pengertian puasa sunnah menurut kamu?
b) Apakah kamu (sering, terkadang, tidak pernah) melakukan puasa
sunnah? Alasannya?
c) Sejak kapan kamu mulai melakukan puasa sunnah?
-
49
d) Menurut kamu, apakah ada perubahan yang terjadi pada dirimu
setelah melakukan puasa sunnah? Apa perubahannya?
e) Manfaat apa yang didapatkan setelah melakukan puasa sunnah?
f) Apakah ada kerugian setelah melakukan puasa sunnah? Apa saja
kerugiannya?
g) Faktor apa yang menjadi penghambat kamu selama ini saat
melaksanaan puasa sunnah?
3) Dokumentasi
Gambar 3.1
Wawancara dengan Narasumber
-
50
Gambar 3.2
Wawancara dengan Narasumber
Gambar 3.3
Wawancara dengan Narasumber
c. Triangulasi waktu
Pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara yang
-
51
melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi, dan dokumen dalam
waktu yang berbeda yakni 2 bulan, dari pertengahan april hingga
pertengahan juni Tahun 2017. Terdapat 26 mahasiswa IAIN Salatiga jurusan
PAI angkatan 2013 yang penulis jadikan sebagai sumber untuk menggali
informasi terkait fokus penelitian.
-
52
BAB IV
PAPARAN DATA DAN ANALISIS
A. Paparan Data
1. Gambaran Umum Perguruan Tinggi
a. Letak Geografis IAIN Salatiga
Institut Agama Islam merupakan satu-satunya perguruan
tinggi negeri yang ada di Salatiga. Perguruan ini terbagi menjadi
tiga kampus. Meskipun demikian, masing-masing tempat memiliki
letak yang stategis. Mudah dijangkau oleh siapapun. Kemudian ini
memberikan poin tersendiri sehingga memberikan nilai tambahan
bagi IAIN Salatiga.
Lokasi kampus 1 IAIN Salatiga berada di jalan Tentara
Pelajar Nomor 02 Salatiga 50721. Sebelah barat SMK Kristen
Salatiga. Selatan jalan Tentara Pelajar. Sebelah Timur Polres
Salatiga dan lapangan Pancasila yang merupakan alun-alun Kota
Salatiga atau tepat berada di sekitar Masjid Agung Darul Amal.
Sedangkan sebelah utara jalan Kridanggo dan pemukiman warga
Kalicacing. Kampus 2 Terletak di Jl. Nakula Sadewa V No. 9
Salatiga 50722. Tepatnya di sebelah timur Ma‟had (asrama) putra
IAIN Salatiga yang dekat dengan lapangan Kembang Arum.
Kampus 3 (Rencana Kampus Utama) Terletak di jalan Lingkar
-
53
Selatan Km. 2 Pulutan Sidorejo, Kota Salatiga, Jawa Tengah 50716
(Sumber: diambil dari buku OPAK IAIN Salatiga tahun 2015).
b. Sejarah Singkat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga berlokasi di
Jalan Tentara Pelajar Nomor 2 Salatiga, Jawa Tengah. Lembaga ini
pada awalnya merupakan lembaga swasta yang kemudian
dinegerikan dan menjadi bagian dari IAIN Walisongo di Semarang.
Penegerian Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Salatiga tersebut
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 30 tahun
1970 tanggal 16 April 1970.
Pada tahun 1997, Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Walisongo Semarang di Salatiga, yang berdiri
sendiri langsung di bawah Kementerian Agama RI. Peralihan status
tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 1997, tanggal 21 Maret Tahun 1997.
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
berubah bentuknya menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga berdasarkan pada Peraturan Presiden Republik Indonesia
nomor 143 Tahun 2014 tentang Perubahan Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Salatiga menjadi Institut Agama Islam Negeri
Salatiga tanggal 17 Oktober 2014.
Peralihan status menjadi IAIN ini telah membawa berbagai
peningkatan, baik dari segifisik maupun nonfisik. Sampai saat ini
-
54
IAIN Salatiga telah memiliki tiga lokasi kampus, yaitu Kampus I
berlokasi di Jl. Tentara Pelajar No. 2, Kampus II berlokasi di Jl.
Nakula Sadewa VA Nomor 09 Kembang Arum Salatiga, dan
Kampus III berlokasi di Jl. Lingkar Selatan Pulutan Salatiga. Hal
ini sejalan dengan harapan lembaga untuk nantinya dapat
meningkatkan status kelembagaan, sehingga dapat menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga (Sumber: diambil dari
buku OPAK IAIN Salatiga tahun 2016).
c. Visi, Misi dan Tujuan IAIN Salatiga
1) Visi
“Tahun 2030 Menjadi Rujukan Studi Islam-Indonesia bagi
Terwujudnya Masyarakat Damai Bermartabat”.
2) Misi
a) Menyelenggarakan pendidikan dalam berbagai disiplin
ilmu keislaman berbasis pada nilai-nilai keindonesia