interact - atma jaya

68
Interact, Journal on Communicaon terbit dua kali dalam satu tahun yaitu bulan Mei dan November. Tahun pertama terbit adalah 2012. Diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. ISSN 2252 - 4630 Vol. 1, No. 1, Mei, 2012 InterAct Journal on Communication Penasihat Drs. Dominkus Dolet, MA Pemimpin Redaksi Dr. Nia Sarinastiti, MA Editor Embu Henriquez, MSi Natalia Widiasari, MSi Satria Kusuma, MSi Sekretaris Isabella A. Siahaya, MSi Mitra Bestari Prof. Herbert W. Simons (Temple University, Pennsylvania, USA) Prof. Dr. Aloysius Agus Nugroho (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta) Dr. Tanete Adrianus Pong Masak (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta) Dr. Ade Armando (Universitas Indonesia, Jakarta) Drs. I Gusti Ngurah Putra, MA (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Dr. Hifni Ali Fahmi (Universitas Indonesia, Jakarta) Dr. Dorien Kartikawangi (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta) Alamat Redaksi Prodi. Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan lmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Ged. C. Lt. 1 Jl. Jend. Sudirman Kav. 51, Jakarta, 12930 Indonesia Tlp/Fax: (021) 570 8967 Email: [email protected]d / [email protected]d / [email protected]m Website: http//www.atmajaya.ac.id

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: InterAct - Atma Jaya

Interact, Journal on Communication terbit dua kali dalam satu tahun yaitu bulan Mei dan November. Tahun pertama terbit adalah 2012. Diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

ISSN 2252 - 4630Vol. 1, No. 1, Mei, 2012

InterActJournal on Communication

PenasihatDrs. Dominkus Dolet, MA

Pemimpin RedaksiDr. Nia Sarinastiti, MA

EditorEmbu Henriquez, MSiNatalia Widiasari, MSiSatria Kusuma, MSi

SekretarisIsabella A. Siahaya, MSi

Mitra BestariProf. Herbert W. Simons (Temple University, Pennsylvania, USA)Prof. Dr. Aloysius Agus Nugroho (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta)Dr. Tanete Adrianus Pong Masak (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta)Dr. Ade Armando (Universitas Indonesia, Jakarta)Drs. I Gusti Ngurah Putra, MA (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)Dr. Hifni Ali Fahmi (Universitas Indonesia, Jakarta)Dr. Dorien Kartikawangi (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta)

Alamat Redaksi

Prodi. Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan lmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaGed. C. Lt. 1Jl. Jend. Sudirman Kav. 51, Jakarta, 12930IndonesiaTlp/Fax: (021) 570 8967Email: [email protected] / [email protected] / [email protected]: http//www.atmajaya.ac.id

Page 2: InterAct - Atma Jaya

Interact, Journal on Communication terbit dua kali dalam satu tahun yaitu bulan Mei dan November. Tahun pertama terbit adalah 2012. Diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

ISSN 2252 - 4630Vol. 1, No. 1, Mei, 2012

DAFTAR ISI

Stages and Components of a Persuasive Campaign – ................................. 1 - 13 Prof. Herbert Simmons, PhD and Dr. Nia Sarinastiti, MA

Communication and the Empowerment of Powerless Civil Society – ...... 14 - 19 Prof. Dr. Alois Agus Nugroho

Integrated Communication: Marketing Communication in The Interactive Age – ................................... 20 - 34Prof. Andre Hardjana, PhD

Konvergensi Teknologi dan Media:Implikasi Bagi Komunikasi Korporat dan Pemasaran Masa Depan – .... 35 - 41Prof. M. Alwi Dahlan, PhD

Komunikasi dalam Perubahan Sosial dan Pembangunan – ........................ 42 - 54Satria Kusuma F. Mahardika, M.Si

Membangun Trust untuk Keberlangsungan Hidup Perusahaan – ............. 55 - 62Isabella A. Siahaya, M.Si

Page 3: InterAct - Atma Jaya

Interact, Journal on Communication terbit dua kali dalam satu tahun yaitu bulan Mei dan November. Tahun pertama terbit adalah 2012. Diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

ISSN 2252 - 4630Vol. 1, No. 1, Mei, 2012

KATA PENGANTAR

Para pembaca yang budiman,

Dengan rasa syukur kami perkenalkan INTERACT Journal on Communication dari Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas ATMA JAYA Jakarta. Penerbitan perdana ini merupakan upaya kami untuk memberi kesempatan bagi para peneliti dan pengamat ilmu komunikasi sebuah wadah berkarya yang berkualitas dengan masukan-masukan dari mitra bestari independen.

Nama-nama yang sudah tidak asing lagi dalam dunia ilmu komunikasi memberikan sumbangsih waktu dan ilmu mereka adalah: Prof. Herb Simmons (Temple University, Pennsylvania, USA), Dr. Ade Armando (Universitas Indonesia, Jakarta), Drs. I Gusti Ngurah Putra, M.A. (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Dr. Hifni Ali Fahmi (Universitas Indonesia, Jakarta). Sedangkan dari Universitas ATMA JAYA Jakarta sendiri adalah Prof. Dr. Aloysius Agus Nugroho, Dr. Tanete Adrianus Pong Masak, dan Dr. Dorien Kartikawangi.

INTERACT Journal on Communication berencana untuk hadir dihadapan pembaca dua kali dalam setahun. Untuk penerbitan perdana ini kami hadirkan dua artikel dari Professor Andre Hardjana dan Professor Alwi Dahlan yang merupakan penulisan ulang dari paparan Seminar The Role of Corporate and Marketing Communication in the Era of In-formation and Communication Technology, pada tanggal 21 Oktober 2009 yang telah diperkaya dengan contoh-contoh praktis. Dua mitra bestari juga turut menyumbang tulisan mereka, Professor Herb Simmons dan Professor Alois Agus Nugroho. Untuk menggenapi diversitas penulis, kami tampilkan hasil karya peneliti muda dari Atma Jaya, Satria Kusuma, Msi dan Isabella A. Siahaya, Msi.

Kami berharap bahwa INTERACT Journal on Communication dapat semakin memicu keinginan para peneliti, pengamat, dan penulis untuk berkarya dan memberikan sumbangsih dalam perkembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia. Tentu kami juga berharap bahwa jurnal ini menjadi salah satu sumber baru khasanah ilmu bagi Anda.

Selamat membaca. Kami tunggu karya-karya anda.

REDAKSI

Page 4: InterAct - Atma Jaya
Page 5: InterAct - Atma Jaya

ISSN 2252 - 4630

1

STAGES AND COMPONENTS OF A PERSUASIVE CAMPAIGN

Prof. Herbert Simmons and Nia SarinastitiTemple University, USA and Atma Jaya Catholic University, Jakarta

Interact: Vol.1, No.1, Hal. 1-13.

Mei, 2012 Prodi. Ilmu Komunikasi,

Universitas Atma Jaya

Abstrak

Sebuah kampanye persuasif merupakan suatu upaya yang terkelola, berkelanjutan untuk mempengaruhi kelompok-kelompok kepentingan atau organisasi-organisasi tertentu melalui serial pesan-pesan. Beberapa kampanye berorientasi pada produk, yang lain pada citra, dan bahkan berorientasi pada isu-isu khas. Pada kategori kampanye terakhir, komunikasi bertujuan untuk merubah perilaku, atau bertujuan mendapatkan hati dan benak publik tertentu.

Topik ini memberikan pengantar umum tentang perencanaan sebuah kampanye melalui model yang mengutamakan pada penentuan tujuan, penelitian dan pengembangan, strategi dasar, mobilisasi, legitimasi, promosi, dan aktivasi. Bahasan mengenai evalusasi juga dipaparkan untuk, Diharapkan artikel ini dapat memberikan kepada pembaca dapat memiliki kemampuan untuk menganalisa kampanye persuasif dan merencanakan dan mengelola kampanye sederhana secara sendiri.

Kata kunci: kampanye persuasif, perencanaan, strategi komunikasi, mobilisasi, legitimasi, promosi, aktivasi, evaluasi.

Page 6: InterAct - Atma Jaya

Herbert Simmons and Nia SarinastitiInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 20122

Background

When members of Congress voted in support of The American Clean Energy and Security Act of 2009, few had read all of its 1,200 plus pages, but they trusted its backers, most notably former Vice-President Al Gore, and most liked what it stood for: “to create clean energy jobs, achieve energy independence, reduce global warming pollution and transition to a clean energy economy.”1

Co-recipient of the Nobel Prize and winner of an Academy Award for the documentary, An Inconvenient Truth, Al Gore poured his own energy (and money) into the energy agenda and committed himself to a lifetime of service in support of the cause. Passage of the Bill is expected to set a precedent for other developing nations to “Go green,” but Gore sees even this as just a beginning. He and his team raised over $300 million for the next phase of the effort, which, as before, has been aimed at education and increased regulation, but with an emphasis on the latter. Said Gore, “It’s important to change the light bulbs, but it’s much more important to change the laws” (Eilperin, 2008).

To accomplish their goals, Gore’s team has had to deal with competing interests such as the Big Three automobile companies in the United States and the United Auto Workers. Understandably, those involved in the American auto industry were concerned that the changes Gore was proposing might exacerbate the decline of the industry, leading to an even greater loss of jobs and higher level of urban decay that would set in when cities dependent on one big industry could no longer provide for their residents. Their lobbyists in Washington, along with their Congressional representatives,were either understandably leery of supporting the legislation or desirous of something in return if they were to provide that support. Backers of the Bill,including President Obama, recognized the need for compromise but stood firm on the Bill’s major components. Ultimately, to win Congressional passage of the Bill, those who

supported it needed to make their case outside the Beltway to an uninformed general public.

The film, An Inconvenient Truth, was notable for its ability to do just that. It helped Gore and his clean-energy supporters surmount communication hurdlesmost advocacy groups are not able to overcome, because it provided complex, technical information clearly, vividly, movingly, and memorably. Not only that,but the film created a buzz, and that got the attention of audiences who are bombarded by competing claims on their time. Through its movie documentary style of presentation, Gore was able to persuade people to listen to a scary and difficult message about the serious global threat to survival because of man-made climate change. And he even got people to each pay the price of a movie ticket for the privilege.

An Inconvenient Truth is part information and part entertainment, joined together in the expertise and frequent humor of the film’s narrator and lecturer.Making the film even more interesting was that its star was the same Al Gore who experienced a failed bid in his 2000 race for the presidency, in part because millions of Americans found him stiff and stuffy, or, as New Yorker film reviewer David Denby put it, “pedantic, condescending, and humorless” (2006). Gore used his film to skillfully transform dry data like these into powerful, personalized imagery, and Gore was portrayed in various professorial settings, including being raised high on a platform at screen level adjacent to slides showing the steepest,most recent, and hence most disturbing increase in global warming in the present day.The Gore-led effort to reverse the harmful effects of global warming is a model of campaign effectiveness. The single speech or other one-shot communication is important, but seldom does it achieve a significant, enduring impact on its own. That job is left to persuasive campaigns—organized, sustained attempts at influencing groups or masses of people through a series of messages. Campaigns take many forms—political campaigns, product advertising campaigns, and various issue-oriented campaigns.

Page 7: InterAct - Atma Jaya

Stages And Components of A Persuasive Campaign3

This article discusses other campaign types, presents a model of campaigning as a multi-stage, multi-message process, and then explores in more detail two particular types of campaigns: public relations campaigns and indoctrination campaigns.

Campaign Stages and Components

Campaigns precede developmentally, through stages, each stage building on the last, yet each exhibiting a life of its own. Smith (2002) specifi cally mentioned that for Public Relations, strategic planning is necessary to implement the various campaign programs. Smith collapsed the activities into phases,

comprising of formative research (analysing the situation, organization, and public), setting up the goals and objectives, developing the message(s), implementation strategies and tactics, evaluation, and operational budget and scheduling. The main emphasize is that what is planned, needs to be evaluated.

Simons (1988) also emphasized on the importance of planning, in which he outlined stages with respective components to encompass a wide variety of campaign types. As indicated by Figure 1, the stages in the model do not terminate as each “next” stage begins; planning, for example, is a continuous process throughout any campaign.

Figure 1. Campaign Stages and Components Model

Source: Herbert W. Simons from Persuasion: Understanding, Practice, and Analysis (1988). Modified by Nia Sarinastiti to include evaluation.

Page 8: InterAct - Atma Jaya

Herbert Simmons and Nia SarinastitiInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 20124

1. Planning

Campaigns first arise from a sense that interests (e.g., a corporation’s profits) orvalues (e.g., a people’s safety or survival) held dear by an organization must be protected or advanced. But to succeed, a campaign must have specific goals. The goal might be to elicit specific behaviors, earning, for example, enough votes to win election as club president, or enough raffle sales to enable the college orchestra to make an overseas trip, or enough support from local towns people to get city council approval for a bicycle-only lane on Main Street. Or the goal might be more abstract,as when a campaign is less concerned with specific behavioral payoffs than with influencing beliefs and values. As an example on how planning is done can be reflected on how the Agency for Population and Family Planning in Indonesia. The Agency’s planning to obtain involvement from the community was to conduct observation and hear on the needs, issues and potential of the community prior to determine any steps to be taken. The Head of the Agency states that if understanding on each condition of the targeted area is done appropriately therefore the quality of the program and as well on the quantity of the reach will have a positive impact on the goals of the Family Planning program (BKKBN, 2012).

a. Goal Setting

The audience and situation are central components in the formulation of goals. For example, a fund-raising campaign on behalf of a community orchestra should not be so aggressive that it garners the orchestra an overseas trip at the price of reduced attendance at local concerts. Other concerns arise as well in goal formulation. For instance, will those who volunteer for this fund-raising effort feel good about themselves when it’s been completed? Will they have made friends rather than lost them, honored their consciences rather than betrayed them? Can people commit to the cause without feeling utterly consumed by it? The organization, for example,would not want to sell raffle tickets to raise money if events

involving gambling would compromise the ethics of its members.

Situations are seldom ideal for the fulfillment of campaign goals. Given that, it is always a good idea to formulate primary goals at several levels, including (a) what the campaign would ideally like to achieve, (b) what it expects to achieve, and (c) what would be the bare minimum that would still make the campaign worthwhile.

Such analysis is crucially important and can save much time and frustration later, because there are times when a large-scale information campaign is of questionable value when measured against the time, effort, and money expended to conduct it. For example, it has proven far more effective—and cheaper—to simply mandate installation of air bags in automobiles rather than to construct a campaign to educate and convince consumers that air bags are an option they should purchase for their automobiles.

An example of flexible goal setting involves efforts by the Temple Issues Forum (TIF) to place issues of higher education higher on the agenda in Philadelphia city politics. TIF’s official mission was to promote public debate and discussion at Temple University on issues of potential interest to the university community. Its main purpose was to stimulate civic and intellectual engagement by students, not to influence city politics. But having run a televised mayoral forum at Temple on the topic of “Higher education and the city,” TIF’s planning group identified a number of issues that fairly begged to be addressed through the long term and not just by way of a one-time-only mayoral forum. These included issues of marketing the city as a world-class center for higher education and of encouraging its college and university graduates to remain in the city and perhaps start businesses in the area. It included as well issues of urban education: how better to prepare urban high school graduates to do college-level work.

Page 9: InterAct - Atma Jaya

Stages And Components of A Persuasive Campaign5

TIF’s planning group toyed with the possibility of promoting action on all these fronts, and it even talked with a foundation representative about organizing a consortium of colleges and universities in the Philadelphia area to be called “Greater Collegiate Philadelphia.” But group members knew that this goal was remote,although the other goals were difficult to realize but not completely beyond the group’s capacity to make a difference. Minimally speaking, TIF’s planning group was confident it could succeed at its agenda-setting goal, and it anticipated that everyone, including TIF itself, would benefit from the mayoral forum. So, in keeping with the principles of goal seeking, TIF had short- and long-term goals, as well as optimal, realistic, and minimal goals.

TIF’s planning group began with faculty and administrators in experienced aturban affairs, but it expanded to include urban specialists. Still, its top leadership was inexpert at managing the more ambitious aspects of its campaign plan. They therefore sought out consultants, including city representatives who had been working on some of these issues for quite some time.

The Population and Family Planning Agency in Indonesia, in the past relied very much on how women should be the primary target for family planning. Nowadays, family planning is not merely a women’s job but also men, and if feasible the community (BKKBN, 2012).

“It is time for men to participate activiely in implementing family planning,” says head of the National Agency for Population and Family Planning, Sugiri Syarief. “It is not only the wive’s responsibility in controlling early age preganacy or birth control, but as important for man’s active role. As an example, the Agency encourages creativity of sub-national governments to develop programs such as the support group for vasectomy. If men actively participates, the goal to lower

population growth by 1.49 percent may be realized. “

b. Formulating a Basic Strategy

Although campaign strategies must frequently be revised in light of new developments, it is nevertheless possible at the outset to formulate global strategies. A basic,coactive rule of basic strategizing is that to get what you want you must help those you’re trying to influence get what they want.

Some campaigns persuade indirectly. Safe sex and pro-social sexual attitudes have been promoted indirectly on late-night talk radio beamed at teenagers that mixes nine parts entertainment with one part serious instruction. Use of designated drivers after parties has been promoted via planted dialogue in television sitcoms.

Products are promoted in entertainment programming, as are corporate images—all for a price. Some corporate public relations efforts proceed by way of low-visibility campaigns—a news report favorable to the company planted in one news outlet, an editorial planted in another.

Basic strategizing often involves selecting an appropriate frame for the appropriate time and situation. Affirmative action, for example, sells poorly as“preference” but well under the rubric of “fairness.” Some health maintenance campaigns do well stressing the benefits associated with performing healthy behaviors; others do well stressing the costs associated with not doing so. Abortion can be framed as murder or as a woman’s choice, but advocates of legalized abortion have found it increasingly difficult to frame their arguments for reproductive choice as being grounded in protection of the mother’s life. The days of illegal and dangerous back-alley abortions have faded from public memory, making the“choice” frame less powerful than it once was.

Page 10: InterAct - Atma Jaya

Herbert Simmons and Nia SarinastitiInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 20126

Reform-minded groups often combine persuasion with coercion (e.g., threats) and material inducements (e.g., promises of benefits) in campaigning for social change. Campaigns for environmental protection, tobacco regulation, consumer protection, and auto safety requirements have combined agitation with litigation.

Even when change advocates have lost in the courts, the publicity given their court challenges has succeeded in whipping up public fervor, especially when children were shown to be among the primary victims.

Normative influence can also alter behavior and might find its way into a campaign. For example, social ostracism is increasingly being used in place of imprisonment in campaigns to rid inner-city communities of drug dealers.

Humiliation rather than incarceration is also becoming the strategy of choice incurbing pornography in cyberspace and child abuse. Confronted with a shoplifter, a California judge ordered the guilty individual to wear a T-shirt that said in bold letters: “I Am a Thief.”

Some reformers believe that it may be possible to devise campaigns to effect sweeping changes in social norms, for example, by making it unpopular for teenagers to use drugs, keep guns, practice unsafe sex, and smoke tobacco. A privately sponsored ad campaign targeted to African Americans showed a skeleton dressed as the Marlboro man lighting a cigarette for a black child. The ad read, “They used to make us pick it. Now they want us to smoke it.” The implications of this ad are (a) “Smoking kills,” and (b) “We blacks shouldn’t allow ourselves to be victimized once more by the white establishment” (Morain, 1994).

In devising basic strategies, as in formulating campaign goals, planners need to be alert to the possibilities of unintended, undesired effects. A well-intentioned campaign to reduce infant mortality and disease may succeed only too well in an impoverished country, depleting

the system’s meager resources and causing unemployment, poverty, and civil disorder. A health education program encouraging weight control may exacerbate problems of anorexia and bulimia.

Public service advertisements such as the one depicting black smokers as victimsof the white establishment may, by their use of “us versus them” appeals, further polarize the races.

Social activists need also to balance what they perceive to be the good of the community against threats to the assumed beneficiary’s autonomy. What could be better, asks the social engineer, than to substantially reduce self-destructive teenage practices by way of normative pressure from peer groups to conform to pro-social norms or face rejection? Certainly this is preferable to incarceration on the one hand or no influence on the other. Yet libertarians have long echoed John Stuart Mill’sconclusion that normative control represents “a social tyranny more formidable than many kinds of political oppression, since, though not usually upheld by such extreme penalties, it leaves fewer means of escape, penetrating more deeply into the details of life, and enslaving the soul itself” (1859).

The strategies identified in this section can be ordered on a continuum from most controlling to least controlling. Zaltman and Duncan (1977) identify powerstrategies as the most controlling. Examples include legal mandates, brute force,threats, and control over financial resources. Next is persuasion, as in commercial advertising and campaign speeches. These strategies, so necessary in motivating individuals and in overcoming their resistance, are nevertheless considered manipulative by Zaltman and Duncan, and more repressive than their third category, which they call normative-re-educative. Campaigns described as “public information” fall solidly within this category, especially when the issue in questionis how best to solve an acknowledged problem (e.g., drunk driving) and the presentationis relatively unbiased. Finally, Zaltman and Duncan list

Page 11: InterAct - Atma Jaya

Stages And Components of A Persuasive Campaign7

facilitation, a strategyby which foundations and government agencies seek to promote the arts or aid communities by providing them with additional resources, “no strings attached.”

This strategy assumes that the beneficiary is capable of rationally committing those resources to useful ends. Choosing less controlling strategies can be problematic. A small-scale, short term,media-only information campaign directed at a wide spread, long-standing, systemic social problem is bound to fail. Are drug addicts “freer” for not having given up their self-destructive habits because some well-meaning health officials believed that ineffectual public information campaigns were ethically more preferable than more potent but more controlling power and persuasion strategies?

Who gets to decide which aid beneficiaries are so rational that they can be offered resources with no restrictions attached? If a community leader pockets the money rather than using it to assist the community, was the resource strategy truly is freedom enhancing or freedom restricting?

As it is in the case of promoting the use of condoms in Indonesia, what would be the best way to promote for health and family planning reasons when community believes that condoms are used for prostitution or adultery? In the past, according to the Secretary of the National AIDS Prevention Commission, Dr. Nafsiah Mboi SpA MPH, campaigning the use of condoms was being considered legalizing free-sex (Detik, 2012). Only recently that people understand the importance of using condoms to protect the health of wives, from diseases such as HIV/AIDS, in the case that men have had encounters with a free-sex lifestyle. With the campaign strategy focusing on health issues and family planning, the objective is to also increase the participation of men in such efforts.

2. Mobilization

Mobilization consists of locating, acquiring, developing, and exploiting the material and human resources necessary to run the campaign. What management experts refer to as the research and development function of business organizations has its counter part in persuasive campaigns. It involves the gathering of arguments and evidence to be used in building persuasive messages, as well as the development of know-how for implementation. The failure to take these necessary steps is common among amateur campaigners. One well-intentioned student attempted to launch acampaign to require bicycle safety education in the public schools. Intuitively, he decided that the best way to get action was to testify at a meeting of the city schoolboard. Unfortunately, he had not yet come up with a plan for such a program, discovered how and where decisions of this type are made in the school system, sought to determine whether any groups might have been interested in aiding his campaign, or even developed documented proof of the existence of a problem. He ended up seriously embarrassing himself and undercutting his campaign before it had gotten off the ground.

A clever group can work toward fulfilling several campaign requirements simultaneously. At a metropolitan university, several students sought to organize aconsumer action group. The leaders recognized that they would need money—lots of it—to build and maintain the organization and advance its goals. Conceivably,a foundation grant might have been forthcoming, but they sought another fund-raising approach, one that would help legitimize the group and promote its values at the same time. A mini-campaign was launched for a campus referendum on whether money should be raised for the group by means of a voluntary dues check-off on student tuition bills. The vote was favorable, and the group went next to the administration with a strongly worded request that it execute the check-off—or be in the embarrassing situation of opposing an organization that had wide spread student

Page 12: InterAct - Atma Jaya

Herbert Simmons and Nia SarinastitiInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 20128

support. Not surprisingly, the administration proved anxious to please.

Other resources may include access to channels of influence and to the mass media, as well as basic information and know-how needed to communicate effectively. A student body leader used her acquaintance with the mayor’s daughter as a way of gaining access to the mayor, who proved to be a valuable supporter.

Another student gained access to his university’s donor list; this too proved valuable to his community action group’s efforts, but less as a source of funding than as a source of expertise. The alums included a retired trial lawyer and an accountant who wound up volunteering their expertise to the campus organization. Commercial organizations have long purchased market analyses, mailing lists, and media expertise and time. Indeed, television advertising alone can easily take up 70% or more of a political campaign budget.

3. Legitimation

Legitimacy is something conferred by others. Implicitly or explicitly, they grant the right to be heard and be taken seriously and perhaps even the right to issue binding directives. If a campaign organization lacks legitimacy at the outset, its leadership needs to be anointed with legitimacy—if only for purposes of the campaign—by those who already possess it. Hence, the importance of what Bettinghaus and Codycall “checking in with the power base” (1994). This may include not only those in official positions of power but also informal opinion leaders:

The role of the legitimizer is a peculiar one. He is seldom active in the early stages of asocial-action campaign. He does not make speeches in favor of the proposal. He does not write letters to the newspaper, and he frequently will ask that his name not be associated with the new idea. He may not want to give a formal approval to a new proposal. But he can

effectively block the adoption of a new idea by saying, “No!”

If he simply agrees that a proposal is a desirable one he may well clear the way for future operations by the change agent and eventual adoption of the proposal (Bettinghaus and Cody, 1994).

The more popular one’s cause, the easier it is to acquire authority and to gain endorsements from power brokers. Those seeking minor reforms may well be granted the blessings of key legitimizers. But those seeking more wide spread changes are likely to threaten the institution or community’s interests in preserving the status quo; they can therefore expect to be threatened by opponents of change. Still, the change-minded group may use coactive persuasion to establish its legitimacy by representing its cause as one that any virtuous individual must endorse. Programs may be defended in the name of God or the Founding Fathers or the Constitution or the legitimizers’ pocket book interests. Here the promotion of a cause and the legitimacy of its campaign are joined.

4. Promotion

Once a campaign group has taken effective steps to plan, mobilize resources, and secure legitimacy, it is in a powerful position to promote its cause before a wider audience. Effective promotion, in turn, should open doors for the group that may have previously been closed to personnel, material, and communication resources, as well as endorsements by key influentials. The ideal persuasive campaign has continuity from beginning to end of the promotion process. An advertising campaign may go public with messages somewhat mysteriously alluding to a new product that is soon to appear on supermarket shelves. Mystery may continue as a theme once its identity is revealed, the product somewhat humorously being described as having magical qualities, its label and packaging reinforcing that concept. Rather than the usual endorsements by attractive celebrities or “just plain folks,”

Page 13: InterAct - Atma Jaya

Stages And Components of A Persuasive Campaign9

subsequent ads may feature testimonials by actors associated with suspense dramas. Should the product become an established competitor in its field, later ads may tone down the mystery theme, playing now, perhaps, on its reputation for dependability.

Four elements are key to promotion for social activists: identity, credibility, a winning case, and continued support from key decision makers. Some of these figure importantly in other campaigns as well.

a. Identity

Political candidates are nowhere without name recognition. Commercial advertisements do better getting negative attention than no attention. Worthy charities must somehow stand out from others making a claim on the public’s generosity. So it is that campaign managers work assiduously at formulating memorable slogans, devising labels and catchy jingles, and finding clever ways to build repetition of the same campaign themes.

Effective identification symbols are those that serve members of the campaign organization (giving them an identity), as well as the larger public. Some groups choose identification symbols mostly to promote in-group solidarity. These may include special songs, hand shakes, flags, ceremonies, shirt colors, hair styles, and speech patterns. But although once the Democrats and Republicans featured in-group images at their party conventions (party emblems and pictures of party heroes), now, with the conventions televised, the emphasis is on identification symbols such as the American flag that link the party with the people and that even make a pitch for members of the opposition.

b. Credibility

Moving beyond the creation of a favorable and memorable identity, the campaign leadership must establish its own believability as well as the credibility of the group as a whole. The first step for leaders is to promote respect, trust, and attraction from their own followers. Here, especially, deeds, not just words, are important.

Occasionally, followers will be taken in by a charismatic fire brand, but for the most part they will want concrete evidence that this individual has their interests at heart, is capable of delivering, and possesses such qualities as intelligence and expertise, honesty and dependability, and maturity and good judgment.

Establishing personal or group credibility to the satisfaction of suspicious outsiders may be considerably more difficult.

5. Activation

Building a compelling case is not enough. Unless the campaigner seeks only to communicate information or to modify attitudes, it is necessary to make special provisions for the action stage.

a. Detailed Action Plans

Campaigns often fail because the campaign target lacks specific information on how to act. Voters must be told where to vote and how to vote. People with problems must learn how to get help. In the case of campaigns for institutional change, there are bound to be misinterpretations unless plans for action are made concrete.

Bettinghaus and Cody (1994) have enumerated the detail needed in a proposal for a community innovation such as a new recreation center:The formal plan of work will include decisions about financing, operational steps to be taken in implementation, the time sequence

Page 14: InterAct - Atma Jaya

Herbert Simmons and Nia SarinastitiInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201210

that has to be followed, and most important, the specific tasks which each individual associated with the implementation will have to perform.

They add that making these decisions will result in an organizational structure charged with actually carrying out the operations. This structure will provide for appropriate lines of authority, a detailed task description for each individual, and the relation of the operational group to other community groups and institutions.

b. Preliminary Commitments

Professional campaigners have learned that it is wise to secure partial, preliminary commitments from people before the final action is taken. Short of obtaining cash donations, charity solicitors may work toward obtaining campaign pledges. Realtors may offer rentals of homes with options to buy. Sales organizations may allow free home trials for the price of a refundable deposit. If at all possible, the preliminary commitment should be of a public nature and should entail some effort by the individual. The attitude of the individual should be strengthened by the act of overt commitment.

c. Follow Through

On Election Day, each major party mobilizes a large campaign organization for poll watching, telephoning, chauffeuring, baby-sitting, and so on. Advertisers seek to make buying a habit among those who have made initial commitments.

Revivalist campaigns work at translating instant “conversions” into weekly church attendance.

Social activists may be granted authority and resources to put programs into operation themselves (at least on a trial basis), or they may get promises of action from an institution. In the latter case, more than one externally initiated program has failed for lack of administrative

follow through. The campaign organizations have been at least partially to blame for not maintaining the pressure. A good rule of institutions is that institutional policies are what their administrators do about them. Often, it is precious little.

In the case of programs administered initially by the campaign organization itself, there is a similar danger that once the innovation has been effectively sold, campaign activists will become lazy or indifferent or begin caring more about their reputations than about the persons they claim to be serving. At some point,the new innovation must be institutionalized, and this is another juncture fraught with potential problems. Several years ago, a group of students at an urban university helped form a voluntary organization that successfully ran a day camp for disadvantaged children. For three summers, the organization endured and even thrived on its poverty, its dearth of trained leaders, and its lack of formal ties to the university. Then, with the members’ consent, the university began providing large amounts of money, facilities, and technical assistance. The support was now there, but the spirit was gone. The appropriate socio-emotional adjustments for institutionalization had not been made.

d. Penetration

In the ideal campaign, those reached directly become persuaders themselves. Advertisers dance for joy when radio listeners begin humming aloud the jingle they have heard in the commercial. New converts to a religious group are often asked to proselytize in its behalf. Political campaigners often rely on opinion leaders to carry their television messages to others. In each case, there is penetration beyond the initial receivers to their own interpersonal networks.

The effective conclusion to a campaign for institutional change occurs not simply when the change is put into practice but when others begin hearing about it, speaking favorably about it, and even attempting to emulate it. Serving

Page 15: InterAct - Atma Jaya

Stages And Components of A Persuasive Campaign11

as a modelfor others is often a small campaign group’s most important accomplishment.

Social activism finds some of its most difficult challenges in communities wedded to health-endangering traditions. Campaign planners have identified five components of the change process: (1) identifying community leaders willing and able to bestow legitimacy on campaign messages and activities, (2) identifying leaders and organizations most effective in sustaining long-term coordinative activity, (3) generating media and other education campaign strategies geared to the community’s social and cultural traditions, (4) dealing with potential conflict in the community over the campaign’s goals and activities, and (5) creating long-term impact on the community’s allocation of resources (Finnegan, Bracht, &Viswanath,1989). Coactive strategies of persuasion are widely used in promotion of the campaign’s objectives.

6. Evaluation

Campaign assessments should take place periodically to make corrections in the path of campaigns, and, at their conclusion, to evaluate their overall effectiveness. Small-scale campaigns may be forced to rely on informal surveys and self-assessments; large, well-funded campaigns must answer to their donors whether the benefits exceeded the costs. Formal surveys are a staple of campaign evaluations, but better still is evidence of concrete achievements.

Returning to our introductory example, evaluation demonstrates that by virtually every measure the climate control campaign has been effective. Ming Kwang gives Al Gore credit for getting the ball rolling with An Inconvenient Truth, basing the claim on “before and after” evidence concerning interest in a topic linked to the time period when the documentary was shown.

Says Kwan: I think it’s safe to assume that there is a relationship between the release of AnInconvenient Truth with the spike in searches

for “global warming.” As you can see, there is a steady increase of interest in the topic, and this interest peaks right around the time when “An Inconvenient Truth” wins an Oscar—Check out point ‘C’ on the graph. It’s interesting to see that a movie was able to increase people’s interest in a topic like this, and if that’s what it takes to raise awareness about pressing issues that people like to pretend aren’t there, then so be it. Angelina Jolie should put out a documentary with a compelling slide show to talk about her forays in Africa . . . and so on (2008).

Concerning health campaigns, Storey (2008) has evidenced the difficulties in overcoming resistance to changes in bad habits like excessive smoking and over-eating, particularly with people disinclined to attend to proactive health messages in the media. Still, it is heartening that health education campaigns do make a difference.

In Indonesia for example, anti-smoking campaign in public places has been taking place by using fear appeal messages and government regulations. Many agencies (government and NGOs) are active in this area, but an integrated effort is not done to evaluate the results. One can see that many still smoke in public places, and some even do so in front of a non-smoking sticker. In-depth research is needed to be done to see the effectiveness and impact of non-smoking campaigns.

The Family Planning program results in 2006 varies between province in the output and impact. In the 1980s and 1990s Family Planning Campaign was considered successful by only focusing on the “Two Children is Enough” Campaign. Nowadays, understanding from men on their role, efforts to prevent young-age marriage and have earning prior to starting a family are considered part of the Family Planning Program. Due to the complexity, based on the evaluation, the overall campaign results are not as expected. Objectives did not meet target for programs such as obtaining new participants (Peserta Baru), Active Participation of Men (Peserta Aktif Pria), Mentor for Family with

Page 16: InterAct - Atma Jaya

Herbert Simmons and Nia SarinastitiInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201212

Toddlers (Bina Keluarga Balita) and Efforts to Increase Family Income for Better Welfare (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera) . Based on the targets of the Medium – Term Development Plan (RPJM–Rencana Pembangunan Jangka Menengah) several indicators also needed better attention to fulfill the unmet needs, Active Participant of Men, Pre Welfare Family (Keluarga Pra Sejahtera) and efforts to have Prosperous Indonesia Family (Keluarga Sejahtera Indonesia). In the 1980s, as mentioned, the focus on communicating that having two children will provide better economic impact made it more successful rather than having too many performance indicators that are not controllable.

Snyder et al. analyzed 48 health campaigns conducted in the United States for which evaluation data could be found in the published literature. Overall, they found that health communication campaigns using mass media achieved on average an eight percentage point change in behavior among members of the targeted population,with greater effect sizes achieved by campaigns that targeted larger audiences. The size of the effect varied

by type of behavior, with seat belt use, oral health, and alcohol abuse reduction campaigns being the most successful. Greater effects were found for campaigns focused on adoption of new behaviors compared with prevention or cessation of problem behaviors (Snyder, et.al. 2004). For Indonesia, the success of health campaigns has not been empirically evaluated, which means there is a need to do so to better understand the impact and how the programs should move forward.

Summary

By understanding that a persuasive campaign is organized, the implementation of the campaign model can be easily adopted. Consisting of goal setting, research and development, basic strategy, mobilization, legitimacy, promotion, activation, and evaluation, the efforts to convey messages related to products, image (s) or issues will depend on the the plan. If correctly applied, the goal to elicit specific behaviors – awareness, acceptance, and action – and to be in the hearts and minds will eventually be reached.

References

Books/journals

Bettinghaus, E.P and Cody, M.J., (1994)Persuasive Communication, Wadsworth Publishing

Finnegan, J.R. Jr., Bracht, N., & Viswanath K., (1989) Community Power and Leadership Analysis, New York: Oxford Press.

Gerald,Zaltman G., &Duncan, R. (1977), Strategies for Planned Change, Wiley.

Simons, H.W. and Jones, J.G., (2011) Persuasion in Society, 2nd edition, Routledge.

Simons, H.W., (1988) Persuasion: Under-standing, Practice, and Analysis, Wesley.

Smith, Ronald D. (2002) Strategic Planning for Public Relations. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Snyder, L., Hamilton M.A, Mitchell, E.W., Kiwanuka-Tonod, J., Fleming-Millici, F., & Proctor, D., (2004) A Meta analysis of the Effect of Mediated Health Communication Campaigns on Behavior Change in the United States. Journal of Helath Communication, 9, 71-76

Page 17: InterAct - Atma Jaya

Stages And Components of A Persuasive Campaign13

Storey, D. (2008) “Development communi-cation campaigns.” In Donsbach, W. (Ed.). International Encyclopedia of Communication. Malden, MA: Blackwell Publishing, Inc., pp. 1245-1250.

Internet links

Morain, C. 1994 Blacks and the tobbaco industry. Forth Worth Star Telegram. Retrieved July 16, 2009 from http://academic.udayton.edu/health/naatpn/tobacc.htm

http://www.bkkbn.go.id/berita/Pages/Bukti-Kondom-Makin-Diterima,-KPAN-Tak-Pernah-Didemo-Lagi.aspx downloaded January 31, 2012

http://www.bkkbn.go.id/artikel/Pages/PERGERAKAN-MASYARAKAT-DALAM-PROGRAM--KEPENDUDKAN-DAN-KELUARGA-BERENCANA-NASIONAL.aspx, downloaded Jan 31, 2012, 11.18pm

Evaluation report of Family Planning Program: http://www.bkkbn.go.id/arsip/_layouts/PowerPoint.aspx?PowerPointView=ReadingView&PresentationId=/arsip/Documents/Keluarga%20Berencana/Evaluasi%20(MATERI%20DEPUTI%20IKPK).ppt&Source=http%3A%2F%2Fwww%2Ebkkbn%2Ego%2Eid%2Farsip%2FDefault%2Easpx%3FRootFolder%3D%252Farsip%252FDocuments%252FKeluarga%2520Berencana%26FolderCTID%3D0x0120009DCE85A68AAFC54B8CBC72979AAF8CCC%26View%3D%7BFF7043EA%2DFDA5%2D42B2%2D8BC9%2D82C0BB4E24B7%7D&DefaultItemOpen=1; Downloaded February , 2012. 115 AM

Page 18: InterAct - Atma Jaya

ISSN 2252 - 4630

14

Interact:Vol.1, No.1, Hal. 14-19.

Mei, 2012Prodi. Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya

Abstrak

Masyarakat sipil, atau lebih dikenal sebagai civil society, dianggap oleh pihak negara merupakan golongan masyarakat yang bukan kategori warga masyarakat dan oleh pasar dianggap bukan pembeli, namun melebihi kategori yang ada. Pandangan para ilmuwan menunjukkan peran penting masyarakat sipil dan keandalan komunikasi merupakan faktor penting dalam mengungkapkan pendapat dan mempengaruhi. Peranan masyarakat sipil di negara-negara maju menunjukan kemampuan mereka untuk mempangaruhi kebijakan. Akan tetapi di Indonesia, kapasitas yang dimiliki belum dapat membantu masyarakat sepenuhnya, sehingga perlu diadakan assesmen bagaimana memberdayakan masyarakat sipil.

Kata kunci: masyarakat sipil, komunikasi publik, kekuatan dan pengetahuan, pluralistik

Communication and the Empowerment of Powerless Civil Society

Prof. Alois A. NugrohoCommunication Science

Faculty of Business Administration and Communication SciencesAtma Jaya Catholic University, Jakarta

Page 19: InterAct - Atma Jaya

Communication and the Empowerment of Powerless Civil Society15

1Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism, New York: Schoken, 2004.2Samuel Freeman, Rawls, New York: Routledge, 2007.3Philips Kotler & Kevin Lane Keller, Marketing Mana gement, New York: Pearson Education, 2006.

4Paulo Freire, Pedagogy of Hope: Reliving Pedagogy of the

Oppressed, New York: Continuum, 2004 5Steven R. Goldzwig and Patricia A. Sullivan, “Electronic Democracy, Virtual Politics and Local Communities” in Robert E. Denton, Jr. (ed.), Political Communication Ethics:

An Oxymoron?, London & Westport: Praeger, 2000, p. 58.

1. Civil society revisited

The concept of “civil society” is generally distinguished from those of “state” and “market” perspectives. According to the perspective of state, civil society consists of people who do not yet belong to the category of “citizen”. It is a society of “human qua human”, rather than of “human qua citizen”. In Rawlsian jargon, the very concept of “civil society” might be referred to as “background culture”, to which the requirement to conduct any communication according to the “public reason”, using “public language”, does not apply.

From the perspective of market, civil society cannot be regarded as an entity which consists of categories such as “buyers”, “consumers” or “customers”; “employers” and “employees”, “stockholders” or “investors”. The concept of “civil society” contains more than such categories, since it includes those who cannot participate as “market actors” or those who are economically marginal. In the marketing jargons, they might have “needs” and even “wants” or “preferences”, but they cannot make any “demand” due to their lack of “purchasing power”. Businessmen may call them “public” or put them in the broader category of “stakeholders”.

Be this as it may, when talking about “civil society”, it is not thinking exclusively about the activism of UN agencies or some “global” NGOs campaigning on global programs, such as how to avoid “global warming”, by practicing “social marketing” or “integrated marketing communications” for “not for profit” causes. Rather, I am thinking specifically about what Paulo Freire has mentioned “circulo de cultura” (cultural circle), in which an activist should not play the role of “communicator”, nor even “teacher”. Conversely, the activist should play

the role of a fellow human qua human who involve in a cooperative effort to break “the culture of silence”, which is not unrelated with the accumulation of “spirals of silence”, empowering the community to speak up and to speak their own words, their own sentences, and their own stories. I am thinking of a community who builds their own forum after having “been left out of a flourishing economy” and “having also had their livelihood (…) threatened by recent state and national policies regarding welfare”. In doing so, the members of the community would try together to build their own society and their own history with their own hands.

2. Power and Knowledge

Under the influence of Thomas Kuhn and Michel Foucault, in his book entitled On the Philosophy of Communication, Gary Radford emphasizes that the mainstream paradigm of communication science has in itself a flavor of power that he calls it a regime, namely “the regime of communication as transmission”. Kuhn’s concept of “paradigm” or “normal science” is in itself contains the elements of power, in the form of textbooks and professorship , although Kuhn himself is seemingly not quite aware of such an implication. Like any normalcy, the normalcy of “the normal science” contains in itself the elements of power.

The hardcore of the regime of transmission is Locke’s philosophy of knowledge, from which one can draw a conclusion concerning an effective communication. A communication will have the possibility of being effective, if and only if there is a “sender” adequately “encode” ideas which come up in his or her own mind into “symbols”, transmits the “message” (in the form of symbols) through a reliable “medium”

Page 20: InterAct - Atma Jaya

Alois A. NugrohoInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201216

to a “receiver”, who is able to adequately “decode” the symbols back into “ideas”.

For Radford, such a Lockeian view furthermore claims that the communication will be effective, if and only if the ideas the receiver decodes are identical with the ideas the sender encodes. The sender can always assess the effectiveness of his or her communicative action by examining the “feedback”, the “response” or the effect of the communication on the receiver’s attitude and behavior. In other words, should the sender, or “communicator”, wants the receiver to behave in a certain way, then he or she simply needs to encode certain ideas that can ignite the intended behavior in the part of the receiver. To paraphrase it in a rather crude way, this amounts to saying that the science of communication is manipulative in character. But euphemistically, we can simply say that the science of communication indeed belongs to the science of “social engineering”.

Radford also points to the research conducted by Christopher Simpson, entitled Science of Coercion: Communication Research and Psychological Warfare, 1945-1960, which delineates how military and political power influenced and directed academic research in communication studies. The book shows us how ideas in academic circles can be shaped by powerful groups. That is the reason why Michel Foucault reversed upside down Francis Bacon’s adage. For Bacon, “knowledge is power”; for Foucault “power is knowledge” (pouvoir est savoir). Those who can exercise power, whether it is political or economic, can steer any knowledge – including scientific knowledge - in the direction of their own interests.

The pictorial model of a sender as a subject of “engineering” and a receiver who serves as

an object of such “social engineering”, while providing indicators needed for the assessment of the effectiveness of the very act of engineering – in the form of the so-called “feedback” – is well suited for serving the interests of the powerful, that is, the interest of state and market. In the practice of education, Freire calls such a paradigm as “banking concept of education”, in which the relation is that of teacher and pupil, of subject and object, of an “I” and an “it”, not an “I” with a “you”, to borrow Martin Buber’s philosophy on inter-subjectivity.

3. Toward a Plurality of Paradigms

Having delved into the political dimension of communication science as a regime of transmission, we are led to the bracketing or the deconstruction of the dominant paradigm. The term “bracketing” comes from Edmund Husserl’s phenomenology, while the term “deconstruction” is originated from Jacques Derrida, who was himself initially an expert on Husserl’s philosophy. We are expected to bracket or postpone the judgment that the regime of transmission is the normalcy of communication science.

The result is the picture of communication science as “extraordinary science” in Kuhn’s sense, according to whom an extraordinary science is characterized by plurality of paradigms. As Robert T. Craig argues in “Communication Theory as a Field”, communication science will “never be unified by a unified theory or theories”. There are some paradigms or – to borrow Craig’s own words – seven traditions, namely, the rhetorical tradition, the semiotic tradition, the phenomenological tradition, the cybernetic tradition, the socio-psychological tradition, the socio-cultural tradition, and the critical tradition.

Be different as they may, there are four traditions which tend to be manipulative,

6Gary P. Radford, On the Philosophy of Communication, Belmont etc.: Wadsworth, 2005.7Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: University Press of Chicago, 1962.8Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and

Other Writings, New York: Pantheon Books, 1980.

9Christopher Simpson, Science of Coercion. Communication

Research and Psychological Warfare, 1945-1960, Oxford: Oxford University Press, 1994

Page 21: InterAct - Atma Jaya

Communication and the Empowerment of Powerless Civil Society17

10Paulo Freire, Ibid.11Quoted in Stephen W. Littlejohn, Human Communication, Belmont: Wadsworth, 2002 (7), p. 12.

12Gary Radford, op.cit., pp. 133-173. 13Pat Arneson (ed.), Perspectives on Philosophy of Commu ni­

cation, West Lafayette: Purdue University Press, 2007.14See for example, Jakob Oetama, Dunia Usaha dan Etika

Bisnis, Jakarta: Penerbit Kompas, 2001.

namely, the rhetorical tradition, the cybernetic tradition, the socio-psychological tradition, and the socio-cultural tradition. Presumably, it is not by chance that Radford puts forth the discussion on Umberto Eco’s semiotics, Husserl’s phenomenology and Hans-Georg Gadamer’s hermeneutics (which is itself rooted in Heidegger’s phenomenology) as the last part after his having launched a “scientific revolution” towards a manipulative “normal science” in the field of communication. Similarly, Pat Arneson edits a book that discusses applications in communications of the phenomenology tradition (Martin Heidegger, Gadamer, Emmanuel Levinas, Maurice Merleau-Ponty), the semiotics tradition (Roman Jakobson, Mikhail Bakhtin), and critical tradition (Juergen Habermas, Hannah Arendt, Michel Foucault). If the conjecture is true, this means that the emancipatory character that is able to empower civil society vis a vis state and market can be found in those three traditions.

The semiotic tradition might be emancipatory because it encourages the initiative of the so-called “receiver” of the manipulative paradigms, for which the receiver is simply object of manipulation. The phenomenology tradition might be emancipatory due to its under stressing “lived world” or “horizon” of the so-called “receiver, from which he, she, or they interpret(s) any other “horizons”. It is the critical tradition that is particularly emancipatory, although we can always doubt the unconscious motive behind the theories, as Adorno and Horkheimer have revealed and Nietzsche had underlined it before.

4. Civil Society in a Free-Trade Economy and a Democracy in-the-making

The empowerment of civil society can be seen as emancipative actions towards market and state. It can, however, be viewed as checks and controls over the behaviors of the two. So

far as Indonesian people are concerned, the empowerment of civil society is beneficial both for the political process of democratization as well as for the economic process of globalization, which is almost identical with free-trade arrangement.

As some participant-observers have mentioned, which are also revealed in our everyday experiences, the bargaining position of Indonesian civil society vis a vis state and market is very low, if any. Common Indonesians as customers and employees have hardly had any bargaining position. In the latter case, the lack of bargaining position manifests itself not only in the home country, but also taking place abroad. Some tragic events concerning the Indonesian workers (TKI =Tenaga Kerja Indonesia) or Indonesian women workers (TKW =Tenaga Kerja Wanita) in countries such as Malaysia and Saudi Arabia are of high concern. Indonesian labor migration is actually the initiative of Indonesian civil society, not of the state, in their coping with poverty and unemployment at home. Market, and in a sense also the state, simply exploit them. Similarly, Indonesian people as customers have to swallow instant noodles, among others that do not meet the international standard. In Sidoarjo, East Java, local people who have been suffering from the flood of mud produced by an oil company in 2006 have been waiting for the compensation up until today. The list seems to be endless if we want to include all cases that show how powerless Indonesian civil society is in facing the market.

The case of Indonesian civil society facing the state or the public administration is exactly the same. Since 1999, the people can directly elect not only their legislative representatives, but also their executive chief at various levels of administration. Yet, they frequently find

Page 22: InterAct - Atma Jaya

Alois A. NugrohoInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201218

out that their elected candidate is a “thief”, rather than “chief”. The case is the same with legislators. After being elected, the behaviors of many parliamentarians are quite different with their promises spelled out during the campaign period. The cases of injustice, where common people arebrought to court or going to court to seek justice, is similarly tragic. The case of Prita and the case of Minah are only two of such injustices. In their everyday lives, people are a bit reluctant doing business with public officials, for they have to pay some extralegal cost. The list will also seem to be endless if we want to include all cases that show how powerless Indonesian civil society is in facing the state.

5. Closing remarks: Considering plural society

With such powerlessness of the Indonesian civil society, it is time to counterbalance the market and the state by empowering the Indonesian civil society. Without neglecting its existing and potential drawbacks, digital media can contribute to the project of empowering Indonesian civil society, as it is shown by the success of the “coins for Prita” movement initiated through the new media, and also by the public opinion formation in the new media criticizing the hypocrisy of a cabinet minister when shaking hands with the first lady of the United States.

This case of hypocrisy reminds us that Indonesian civil society is indeed pluralistic. This can be summarized that in the formal political forum, a cabinet minister should be communication using “public reason”, as John Rawls holds, and not with the language and the reason of his or her religious or ethnic background. Yet, this position of John Rawls concerning civil society, in particular concerning

communities with religious background, in the matter of political communication is not without criticism. Troy Dostert, among others, maintains that Rawls’s position cannot be implemented at all cost, since we are living in – quoting Habermas – a “post secular” age. Yet, everyone knows that for being able to survive, to cooperate and to ever more prosper, a civil society should find an authentically civilized way to engage each other interpersonally as well as inter-culturally. This is another aspect of the empowerment of Indonesian civil society, not to neglect by any Indonesian scholars of communication science.

References

Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, New York: Schoken, 2004.

Arneson, Pat, (ed.), Perspectives on Philosophy of Communication, West Lafayette: Purdue University Press, 2007.

Denton Jr., Robert E. (ed.), Political Communi-cation Ethics: An Oxymoron?, London & Westport: Praeger, 2000.

Dostert, Troy, Beyond Political Liberalism, Chicago: The University of Chicago Press, 2007.

Foucault, Michel, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, New York: Pantheon Books, 1980.

Freeman, Samuel, Rawls, New York: Routledge, 2007.

Freire, Paulo, Pedagogy of Hope: Reliving Pedagogy of the Oppressed, New York: Continuum, 2004

16See especially, “Rezim Keadilan Pascakolonial”, Kompas, December 9, 2009.17See for example Gary W. Selnow, “Internet Ethics”, Robert E. Denton, Jr., Political Communication Ethics, London & Westport: Praeger, 2000.

18This will be discussed in my next book, Etika Komunikasi Politik, Jakarta: Atma Jaya University Press, 2010 (to be published)

Page 23: InterAct - Atma Jaya

Communication and the Empowerment of Powerless Civil Society19

Kotler, Philips & Keller, Kevin Lane, Marketing Management, New York: Pearson Edu-cation, 2006.

Kuhn, Thomas, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: University Press of Chicago, 1962.

Littlejohn, Stephen W., Human Communication, Belmont: Wadsworth, 2002 (7).

Oetama, Jakob, Dunia Usaha dan Etika Bisnis, Jakarta: Penerbit Kompas, 2001.

Radford, Gary P., On the Philosophy of Com-munication, Belmont etc.: Wads worth, 2005.

Simpson, Christopher, Science of Coercion. Communication Research and Psycho-logical Warfare, 1945-1960, Oxford: Oxford University Press, 1994

Page 24: InterAct - Atma Jaya

ISSN 2252 - 4630

20

Interact:Vol.1, No.1, Hal. 20-34.

Mei, 2012Prodi. Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya

Abstract

Globalization has affected on how we communicate and what media to use in communicating. To be able to manage organizational results, many realize that individual communication held by different units did not make the organization effective nor efficient. Communication needed to be realigned and integrated to a centralized corporate communication network. In addition, with pressure from the growth of communication technology, businesses must also face the complexity and intricacity of business competitiveness and positioning to be in the minds of consumers. Hence, the development of integrated marketing communication (IMC) provided another stage of development in the communication industry.

Keywords: corporate communication, integrated communication, marketing communication, communication technology

INTEGRATED COMMUNICATION:MARKETING COMMUNICATION IN THE INTERACTIVE AGE 1

Andre HardjanaGuru Besar Emeritus Prodi Ilmu Komunikasi

Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta

1Ditulis ulang berdasarkan hasil seminar The Role of Corporate and MarketingCommunication in the Era of Information and Communication Technology,Unika Atma Jaya, 21 Oktober 2009

Page 25: InterAct - Atma Jaya

Integrated Communication: Marketing Communication In The Interactive Age21

Latar Belakang

Sejak Mikhail Gorbachev (1986) men-canangkan glasnost dan perestroika, dunia yang kita huni ini sudah tidak sama lagi. Begitu pemimpin Uni Soviet itu bertekad memulai keterbukaan dan restrukturisasi sebagai kebijakan baru, globalisasi segera melanda seluruh pelosok dunia tanpa hambatan, lingkungan mengalami turbulensi, dan kehidupan kita menjadi makin kompleks. Bisnis memasuki arena persaingan ketat yang tidak pernah dikenal sebelumnya, sedangkan kemajuan teknologi informasi dan ekonomi baru membuka pasar bebas yang tak satu negarapun dapat mengaturnya. Menghadapi kompleksitas dan kegalauan sebagai dampak dari pasar bebas itu dibutuhkan sebuah cara berfikir baru, yang di kalangan akademisi populer dengan sebutan paradigma baru. Cara berfikir lama tidak lagi mencukupi untuk memperjuangkan ketahanan hidup, apalagi meraih kejayaan hidup. Dampak dari semuanya itu sangat kentara di awal abad ke-21, seperti yang dicatat oleh Philip Kitchen dan Don E. Schults (2001: 85) dalam buku berjudul Raising the Corporate Umbrella: Corporate Communications in the 21st Century (RCU) , yang berbunyi sebagai berikut:

Given the speed, span and reach of electronic communication today, we argue there are technically no local or national firms, only global ones. Even the pizza parlor on the corner is involved in global communication through their website and internet connection. And the truth is, organizations no longer have any choice. Once they decide to enter the electronic arena, they become global almost instantaneously as witness the growth of Amazzon.com, PriceLine, Charles Schwab and other ‘new economy’ brands.

Berdasarkan pengamatan tersebut, kedua tokoh Transatlantik—Schultz dari AS dan Kitchen dari Inggris Raya—itu menyarankan bahwa cara paling tepat untuk memayungi organisasi perusahaan adalah dengan

menggunakan ‘Integrated Communication’ yang berorientasi global. Buku RCU yang diterbitkan oleh kedua tokoh integrated marketing itu penting, karena berisi himpunan artikel-artikel tentang berbagai dimensi dari Corporate Communication yang ditulis oleh para ilmuwan dan praktisi dari negara-negara Transatlantik yang memasuki abad ke-21. Isi kutipan ini mungkin dapat juga menyentak kesadaran kita, karena hampir semua dosen-dosen, dan mahasiswa-mahasiswa, dan kawula muda pada umumnya, kini sudah terjun ke arena global melalui FB (Facebook), dan atau Twitter. Dengan terjun ke jaringan internet itu mereka telah menjadi manusia global. Di Yogyakarta, misalnya, terdapat perguruan tinggi yang menganjurkan agar civitas academica mengglobalkan diri dengan membuka FB. Dengan warga yang mengglobal, secara tidak langsung perguruan tinggi itu berharap dapat makin mengglobal. Tetapi apakah perilaku perguruan tinggi itu benar-benar menunjuk-kan ciri-ciri organisasi global dan civitasnya juga berkualitas global?

Organisasi global ternyata bukan suatu pilihan, melainkan keharusan: ’Organizations no longer have any choice’ kata Kitchen dan Schultz dalam kutipan di atas. Secara tegas kita diingatkan bahwa kini kita tidak dapat menghindar, mau-tidak mau, suka-tidak suka, siap-tidak siap, seolah-olah telah menjadi takdir kita, harus hidup di dalam situasi global: ‘global without choice’. Takdir global ini membawa konsekuensi komunikasi yang sangat serius, karena organisasi secara langsung dihadapkan pada realitas baru, bahkan tata ekonomi baru (new economy), dengan persaingan global. Komunikasi organisasi menjadi semakin kompleks begitu organisasi bisnis masuk ke dalam persaingan di lingkungan global. Apa lagi, ledakan saluran komunikasi telah memperparah kompleksitas tersebut—komputer, corporate television, fax, e-mail, internet—mendorong munculnya kebutuhan akan komunikasi ke tengah perencanaan strategis. Kebutuhan akan koordinasi dan integrasi berbagai bentuk dan jenis komunikasi semakin mendesak. Untuk menjawab kebutuhan tersebut telah

Page 26: InterAct - Atma Jaya

Andre HardjanaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201222

dikembangkan dua strategi dalam komunikasi organisasi. Pertama, Integrated Communication yang diciptakan dan dikaitkan dengan korporasi sebagai sebuah kebulatan—corporate communication. Kedua, sejalan dengan butir pertama, integrated marketing communication terutama yang berlangsung pada tingkatan brand atau brands. Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan konsekuensi komunikasi dari globalisasi dengan segala turunannya pada organisasi yang ditakdirkan menjadi global itu. Sebagaimana telah disinggung secara sepintas di atas, tata pikir yang dulu berlaku tidak dapat berfungsi lagi secara wajar, sehingga dibutuhkan pemikiran baru. Pemikiran baru yang dianggap penting dalam komunikasi organisasi adalah meninggalkan pandangan ’jalan sendiri-sendiri’ secara otonom dan terpsah-pisah dengan ’jalan bersama dan terpadu’ dalam kerjasama dan integrasi, yakni Pendekatan Terpadu (Integrated Approach). Dalam hal ini buku RCU dapat dianggap sebagai kelanjutan dari buku The Handbook of Strategic Public Relations and Integrated Communications yang diterbitkan oleh Clarke L. Caywood (1997). Bagi para praktisi, pendekatan terpadu itu bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan, yang diakibatkan oleh ancaman keamanan dan resesi ekonomi. Kegiatan-kegiatan komunikasi yang sejauh itu ditangani oleh beberapa departemen yang terpisah-pisah tidak hanya tidak efisien tetapi juga tidak efektif, sehingga mau tidak mau harus diintegrasikan ke dalam sistem kendali yang terpusat (centralized corporate communication).

Integrated Approach

Organisasi-organisasi bisnis yang dapat bertahan di tengah globalisasi dan segala kompleksitas yang ditimbulkannya pada dasarnya menunjukkan beberapa ciri pokok (Argenti, 1994; 2003) sebagai berikut:

(1) Gambaran besar: Iklim sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Kesadaran tentang terjadinya ’turbulence’, yakni kegalauan yang ditimbulkan oleh perubahan lingkungan cepat, besar-besaran, dan mencakup hampir semua aspek kehidupan

yang saling kait-mengkait, memberikan peluang untuk melihat kembali ’gambaran besar’ guna memahami bagaimana semuanya itu telah berdampak besar pada citra organisasi di mata segenap publik pendukungnya (constituencies). Perubahan gambaran besar berpengaruh pada bagaimana organisasi (seharusnya) berhubungan dengan segenap jenis konstituensi. Perubahan teknologi meningkatan tuntutan karyawan akan keadilan dan kepuasan kerja, termasuk pemberantasan diskriminasi rasialisme (Shoshanna Zuboff, The Age of the Smart Machine);

(2) Beradaptasi dengan perubahan lingkungan namun tanpa berkompromi tentang ’kepribadi an, filosofi, dan prinsip-prinsip organisasi’. Perusahaan otomotif AS, seperti GM atau Ford sangat realistis dalam beradaptasi, namun tidak mau dibutakan untuk menjadi Jepang. Contoh lain, Starbucks yang berkantor pusat di Seattle, tidak mengubah ’prinsip kerja’ (1995), yang menegaskan bahwa ’para pemasok luar negeri wajib membayar upah, tunjangan, dan menyediakan fasilitas yang minimal dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga pekerja’, meskipun di tengah perubahan lingkungan;

(3) Mengangkat komunikasi korporasi sebagai bagian integral dalam strategic planning. Komunikasi korporasi dikaitkan dengan visi dan strategi perusahaan. Kalau pun ’Mission Statement’ perusahaan baru selesai dicetak—jadi belum dilengkapi dengan buku pedoman—perlu segera disebar luaskan kepada semua konstituensi, baik internal maupun eksternal. Dalam situasi di mana ’perubahan lingkungan’ adalah kepastian, fungsi komunikasi adalah satu-satunya kunci organisasi. Rumusan misi perusahaan yang jelas, tidak hanya dapat menggandeng karyawan berjalan lurus ke arah apa yang diperjuangkan organisasi, tetapi juga sebagai kunci stabilitas konsumen yang telah letih dengan perubahan. Dalam hal ini,

Page 27: InterAct - Atma Jaya

Integrated Communication: Marketing Communication In The Interactive Age23

pimpinan puncak bertindak sebagai guru, suri tauladan, dan pelatih bagi segenap karyawan organisasi (Jack Welch di GE menempatkan komunikasi di panggung pusat saat dilakukan perubahan);

(4) Bertindak hemat tetapi tidak kikir demi peneguhan citra. Menghadapi turbulensi lingkungan, reaksi pertama yang umum adalah ’efisiensi dengan mengencangkan ikat pinggang’. Namun efisiensi jangka pendek dapat memboroskan sumber daya dalam jangka panjang. Biaya merehabilitasi citra yang hancur karena persoalan ganti rugi, misalnya, pasti jauh lebih mahal dari pada mencegah terjadinya persoalan. Berfikir strategis jangka panjang lebih murah dari pada sibuk dengan pemikiran jangka pendek;

(5) Keluar dari kepompong. Persoalan yang muncul dari kompleksitas perubahan lingkungan tidak akan hilang dengan sendirinya. Karena mau terus berlindung di balik ’tembok masih diperdebatkan’ tentang isu lingkungan, Hooker Chemical terpelanting dengan sumber daya terkuras, dan reputasi hancur gara-gara cerita-cerita tentang Love Canal yang berkepanjangan telah diabaikan. Tentang isu lingkungan, kini ingatan masyarakat moderen cenderung berumur panjang.

Dari rangkuman di atas dapat disimpulkan bahwa organisasi hanya dapat mempertahankan hidupnya di lingkungan yang galau, bila mampu menjadikan komunikasi organisasi bagian integral dalam strategic management. Artinya melalui strategi-strategi komunikasi yang terintegrasi ke dalam strategi perusahaan itulah sistem komunikasi menjadikan organisasi mampu bersaing dan menghadapi abad baru ini dengan menempatkan dunia di ujung-ujung jari.. Dalam pelaksanaan itu berarti bahwa pimpinan puncak harus memberikan contoh dan teladan dalam praktek dan latihan-latihan komunikasi. Hanya dengan begitu komunikasi makin merasuk ke dalam kehidupan organisasi. Melalui rangkaian pelaksanaan komunikasi strategis yang melibatkan segenap jajaran manajemen secara terprogram di General

Electric, misalnya, Jack Welch tampil sebagai seorang pimpinan yang berintegritas dan terbuka terhadap ide-ide baru yang datang dari mana saja dan diucapkan oleh siapa saja. Program menyerapan ide baru itu terkenal dengan sebutan ’Work-Out’, yakni istilah yang diambil dari proses penyegaran (senam) aerobik. Tentang ’Work-Out’ yang dipopulerkan oleh Jack Welch itu, Paul A. Argenti (2002: 43) membuat penjelasan sebagai berikut:

’Work-Out’ may sound like an aerobics exercise routine, … in fact, one of the premier communication processes at GE. Initiated in the late 1980s, ’Work-Out’ was a forum for brainstorming and decision making for employees extended dialogue and debate beyond the very senior ranks, ensuring that GE remained an informal ‘learning organization.

Dengan menarik komunikasi sebagai kegiatan inti dalam proses pembuatan keputusan, pimpinan puncak tidak hanya memperoleh informasi yang lengkap, tepat, dan terandalkan, tetapi juga mendorong munculnya rangkaian proses pembelajaran individu, kelompok, dan organisasi. (Senge, 1990; Argyris-Schon, 1996; Schwardt-Marquardt, 2000). Welch percaya bahwa hanya dengan menjadi ‘learning organization’ GE dapat bertahan dan jaya. Kepercayaan itu memang logis, karena menurut hasil riset David Schwandt dan Michael J. Marquandt (2000: v) ‘Organizational learning is no longer an option as we enter the 21st century. We either learn as an organization or we die.’ Pendekatan terpadu membuat segala macam kegiatan komunikasi terintegrasi ke dalam manajemen strategik. Dengan demikian, pengertian dan fungsi corporate communication menjadi semakin jelas, yakni sebagai ‘inte-grated communication’ dengan ‘unified communication function’ (Argenti, 1994: vii).

Page 28: InterAct - Atma Jaya

Andre HardjanaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201224

buku itu perlu dilihat sebagai sebuah ‘eksplorasi’ terhadap sosok corporate communication yang berdimensi ganda’, yakni ‘bidang kegiatan profesional dan disiplin ilmiah’ (a professional practice and an academic discipline), karena ternyata jangkauan dari artikel-artikel yang dihimpun masih dapat dilihat sebagai pengembangan kreatif dari ‘the art of public relations’ dan belum menampilkan sosok teori. Sementara itu di Inggris terbit buku berjdul Coporate Communication for Managers karya Peter C. Jackson (1987), seorang praktisi kenamaan di London. Sesuai dengan judulnya, buku tipis itu ditulis untuk meng-ingatkan para eksekutif bahwa organisasi kini membutuhkan program komunikasi yang jangkauannya lebih luas dari Public Relations, namun ia mengartikan istilah corporate communication sama dengan istilah organizational communication yang populer di AS (Jackson, 1987: 142). Hal yang sama juga dilakukan oleh dua pengajar dari Australia, Harry Irwin dan Elizabeth More (1994), dalam buku berjudul Managing Corporate Communication. Sekaligus mereka juga menyayangkan bahwa ‘corporate communication’ tidak kunjung menjadi istilah yang mapan dengan arti standar yang dapat disepakati oleh sebagian besar akademisi ataupun praktisi.

Pemahaman kita tentang komunikasi korporasi makin jelas, terutama berkat dua buku karya Paul A. Argenti (1994), pengajar dan konsultan/peneliti di Tuck School of Business at Dartmouth (sebelumnya di Columbia University, dan Harvard Graduate School of Business) yang menerbitkan buku seminal berjudul Corporate Communication (1994) dan The Power of Corporate Communication (2002) dan Cees B. M. Van Riel, pengajar dan konsultan/peneliti pada Erasmus University School of Business, yang menulis buku berjudul Principles of Corporate Communication. (1995). Keduanya memperjelas hakikat corporate communication yang berdimensi ganda, yakni sebagai gabungan dari a professional practice and an academic discipline, yakni sebuah konsep yang sudah dieksplorasi dengan tekun oleh Goodman (1992). Untuk konsep corporate communication

Corporate Communication: Integrated Communication

Istilah ‘corporate communication’ masuk ke dalam khazanah ilmu komunikasi sejak awal tahun 1980-an. William Ruch (1984) adalah penulis pertama yang menerbitkan buku berjudul Corporate Communication. (Goodman, 1994: 8). Sungguhpun tidak populer, buku itu mendorong munculnya kelompok-kelompok praktisi yang mencoba menambah ‘amunisi’ unuk meningkatkan efektivitas program komunikasi mereka masing-masing. Maka sekelompok praktisi dan pengajar komunkasi yang meliputi bidang ‘PR, HRD, advertising, training, and press relations’ berkumpul untuk berembug bagaimana bidang spesialisasi mereka dapat dihubungkan dan dikonsolidasikan di bawah ‘satu fungsi manajemen’ menjadi ‘corporate communication’ yang diharapkan dapat menjawab tantangan zaman—persaingan keras di tengah resesi ekonomi. Sentralisasi komunikasi ini sepintas mengingkari kecenderungan demokratisasi manajemen melalui partisipasi dan desentralisasi, namun dapat diterima juga akhirnya oleh perusahaan-perusahaan pada umumnya karena tanggung jawab ‘sentralisasi komunikasi’ diserahkan pada ‘central group’ yang terlibat dalam pengembangan, pembuatan proyeksi ke depan, pemelihara citra dan budaya perusahaan. Dengan bantuan para pengajar komunikasi di Schools of Business, kelompok-kelompok pratisi komunikasi itu sejak tahun 1988 secara teratur menyelenggarakan konferensi tahunan yang bertajuk ’Annual Conference on Corporate Communication’ di Fairleigh Dickenson University. Kertas kerja, laporan penelitian empiris, mapun esai-esai para peserta dalam konferensi tahunan itu masih menunjukkan spesialisasi masing-masing dengan implikasi kerja sama yang terbatas.

Dalam perkembangannya niat konsolidasi itu masih nampak jelas. Akhirnya, beberapa hasil studi empiris dan esai-esai yang menunjukkan benang merah keilmuan dihimpun menjadi buku ’integratif’ berjudul Corporate Communication: Theory and Practice oleh Michael Goodman (1994). Namun bagaimanapun integratifnya,

Page 29: InterAct - Atma Jaya

Integrated Communication: Marketing Communication In The Interactive Age25

Argenti (1994: v, viii, ix) menyebutnya sebagai ‘unified communication function’ atau ‘totally integrated communication functions’ yang kemudian secara metaforik disebut ‘the umbrella under which they lumped all communication activities’. Pangkal tolak Argenti adalah bahwa pada dasarnya komunkasi korporasi adalah ‘strategic approach to communication’. Untuk memperjelas definisi deskriptif itu, Argenti menyajikan konsep corporate communication sebagai sebuah model strategi, yakni ‘Corporate Communication Strategy Model’ (lihat Gambar 1). Di dalam Gambar 1 itu ia dengan jelas menunjukkan bahwa organisasi sebagaimana

sosok pribadi melakukan komunikasi kepada semua kelompok pendukung yang disebut constituencies—bukan audiences atau publics yang populer di dalam buku-buku komunikasi dan PR (public relations)—tidak hanya melalui komunikasi verbal, tetapi juga dengan komunikasi non-verbal, khususnya yang bersumber pada personality, identitas, and image. Kemudian semua kelompok pendukung atau consituencies tersebut memberikan tanggapan (response) kepada organisasi. Tanggapan kelompok pendukung sebagai umpan balik (feedback) mempunyai dampak pada proses komunikasi selanjutnya.

Gambar 1. Corporate Communication Strategy Model

Sumber: Argenti, Corporate Communication, 1994: 33:

apakah langsung atau tidak langsung. Segenap ‘kelompok pendukung’ (constituencies) harus diketahui pasti: kelompok mana saja yang menjadi konstituensi bagi organisasi; apa yang dipikirkan oleh masing-masing konstituensi tentang organisasi; dan apa yang telah diketahui masing-masing konstituensi tentang topik dalam pesan organisasi? Akhirnya organisasi juga harus bertanya apakah tanggapan masing-masing konstituensi itu sesuai dengan apa yang menjadi harapan organisasi? Dalam seluruh komunikasi yang dilakukan, organisasi

Untuk meningkatkan efektivitas komuni-kasi tentu saja, organisasi harus tahu apa yang diharapkan dari kelompok-kelompok pendukungnya; apa sumber daya yang dimiliki (uang, tenaga, waktu), dan bagaimana kredibilitas image yang sudah dimiliki oleh segenap pendukungnya itu. Berdasarkan pengetahuan tentang itu semua, organisasi melakukan komunikasi melalui pesan-pesan verbal dan citra-citra nonverbal, dengan menimbang saluran-saluran komunikasi mana yang sesuai dan bagaimana struktur pesan harus dirancang,

Page 30: InterAct - Atma Jaya

Andre HardjanaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201226

menyadari kedudukan konsituensi primer dan sekunder bagi dirinya. Konsituensi-konstituensi primer meliputi: karyawan, pelanggan, pemegang saham, dan komunitas. Sedangkan konstituensi sekunder terdiri dari media, pemasok, pemerintah (lokal, regional, nasional), dan penyedia dana keuangan. Pemahaman tentang segenap konstituensi ini penting terutama karena pesan-pesan yang disampaikan harus dikaitkan dengan misi organisasi. Artinya harus sesuai dengan fungsi pokok dari komunikasi korporasi.

‘Strategy Model’ itu kemudian dikembangkan dan dijabarkan menjadi sebuah rumusan (Argenti, 2002: 4) yang melahirkan definisi sebagai berikut:

By corporate communication we mean the corporation’s voice and the images it projects of itself on a world stage populated by its various audiences, or what we refer to as its constituencies. Included in this field are areas such as corporate reputation, corporate advertising and advocacy, emplo yee communications, investor relati ons, government relations, media manage-ment, and crisis communication.

Dalam definisi di atas, kita tidak hanya memperoleh pemahaman tentang apa itu komunikasi korporasi yang secara abstrak disebut sebagai ‘unified function’, tetapi kita juga memperoleh kepastian tentang fungsi-fungsi mana yang menjadi komponen-komponen dalam komunikasi korporasi: komunikasi reputasi, iklan dan advokasi, komunikasi kekaryawanan, government relations, media, dan komunikasi (dalam situasi) krisis. Dari semuanya itu komunikasi reputasi adalah landasan dasar, karena dalam ‘reputasi’ itulah konsep identitas dan image tergabung menjadi kenyataan. Artinya visi organisasi menjadi kenyataan dalam bentuk reputasi, yang telah teruji secara empiris melalui pengalaman, komunikasi, dan akumulasi persepsi sepanjang waktu. Reputasi organisasi, menurut Argenti (1994; 2002), mempunyai tiga komponen dasar

yakni identitas yang dibentuk oleh organisasi secara sadar, image kuat dan menyeluruh yang dipersepsikan oleh konsituensi, dan persenyawaan antara identitas organisasi dengan citra-citra yang dimiliki oleh segenap konsituensi. Artinya, komunikasi korporasi memainkan fungsi pokoknya sebagai proses perseyawaan antara identitas dan persepsi. Artinya ada penyelarasan antara komunikasi internal yang terpusat pada identitas atau personalitas perusahaan dan komunikasi eksternal yang terpusat pada pembentukan citra. Dalam artian ini komunikasi korporasi harus difahami sebagai ‘komunikasi terintegrasi’ atau ‘persatuan fungsi’. Konsep komunikasi (dalam situasi) krisis merupakan lawan diametral dari reputasi, karena dalam setiap terpaan krisis, reputasi senantiasa menjadi taruhan paling besar dan pemilihan reputasi harus menjadi bagian integral dalam manajemen komunikasi krisis.

Untuk mempermudah pemahaman kita, Argenti (2002: 69) membuat diagram yang menggambarkan proses komunikasi pembentukan reputasi. (Lihat Gambar 2). Pemeliharaan reputasi pada dasarya adalah melestarikan manifestasi dari visi perusahaan. Identitas adalah manifestasi dari visi yang menjadi sumber inspirasi. Maka di dalam identitas itu harus tercermin nilai-nilai inti, filosofi, standar, dan tujuan organisasi. Visi perusahaan merupakan benang emas yang mempersatukan karyawan dan semua konstituensi lainnya. Komponen-komponen dasar yang membentuk identitas adalah nama, simbol, merek, dan penampilan organisasi. Berdasarkan persepsi tentang identitas sebagai kebulatan maupun komponen- komponen itu setiap konstituensi di satu pihak bersikap dan bertindak terhadap organisasi dan di lain pihak membentuk reputasi organisasi. Nama dan merek kini menjadi kunci konsumen untuk kualitas, nilai, dan konsepsi diri di tengah persaingan berkat komunikasi, pengalaman, dan persepsi yang telah dimiliki. Semakin besar kecocokan antara persepsi dari konstituensi dengan konsepsi diri yang disuarakan organisasi, citra, dan harapan organisasi semakin kuat reputasi organisasi di

Page 31: InterAct - Atma Jaya

Integrated Communication: Marketing Communication In The Interactive Age27

mata segenap konstituensi secara keseluruhan. Artinya organisasi dengan komunikasi yang efektif dapat memperkokoh ‘kepercayaan dan perasaan konstituensi terhadap organisasi’.

Akibatnya reputasi organisasi menjadi sumber kualitas pilihan, nilai investasi, dan juga fokus penambat hati dan kepedulian atau kekuatan yang menggerakkan dukungan konsumen.

Gambar 2. Proses Pembentukan dan Pemeliharaan Reputasi

Sumber: Argenti, Paul A. The Power of Corporate Communication, 2002: 69.

(framework). Dengan ‘kerangka’ yang mem-bingkai seluruh kegiatan komunikasi dari para spesialis, komunikasi berlangsung efektif dan efisien. Artinya komunikasi korporasi dapat meningkatan kinerja korporasi. Sebagai kerangka pembingkai, komunikasi korporasi itu meniadakan kesimpang-siuran pesan dan

Dalam konsepsi Van Riel, pengertian corporate communication difahami sebagai integrasi semua bentuk komunikasi, yang dalam praktek dilaksanakan secara terpisah-pisah dan sering tidak terkoordinasi. Untuk menegaskan ’fungsi integrasi’ itu, ia menggunakan istilah ’kerangka pembingkai’

Page 32: InterAct - Atma Jaya

Andre HardjanaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201228

membuat dampak yang ditimbulkan juga lebih pasti. Artinya dengan mengacu pada komunikasi korporasi sebagai strategi, semua komunikasi terkait pada visi dan misi, yang bersifat jangka panjang. Secara lengkapnya definisi yang dikembangkan Van Riel (1995: xi) berbunyi sebagai berikut:

Corporate communication is, in my opinion, a framework in which all communication specialists (marketing, organizational, and management communication) integrate the totality of the organizational message, thereby helping to define the corporate image as a means to improving corporate performance.

Bentuk-bentuk komunikasi berbeda yang harus diintegrasikan itu secara tegas disebutkan, yakni komunikasi yang dilakukan oleh para spesialis ‘komunikasi manajmen, organisasi, dan pemasaran’. Dengan kerangka pembingkai itu para spesialis diharapkan saling berkonsultasi dan menghasilkan apa yang disebut sebagai ‘pesan korporasi’ secara keseluruhan. Dengan fungsi ‘pengintegrasi’ komunikasi-komunikasi, maka komunikasi korporasi pada dasarnya adalah ‘alat manajemen’ untuk ‘menyelaraskan’ pesan korporasi dengan perencanaan strategik korporasi. Penjelasan Van Riel (1995: 1, 26) tentang hal ini berbunyi sebagai berikut:

Corporate communication is an instrument of management by means of which all consciously used forms of internal and external communication are harmonized as effectively and efficiently as possible, so as to create a favourable basis for relationships with groups upon which the organization is dependent. …

Corporate communication encompasses marketing communication, organiza-tional communication, and management communication. It may be seen as a framework in which various communication specialists—working

from a mutually established strategic framework—can integrate their own commu-nications input. The basic philosophy underlying this framework can be described as directing the company’s communication policies from within ‘the corporate strategy—corporate identity—corporate image’ triangle.

Representatives of the various communications specialists consult on the development of ‘common starting points’, directly linked to the agreed communications strategy for implementing the actual and desired corporate identity, supporting the company’s image.

Sebagai alat manajemen yang penye-laraskan komunikasi internal dan eksternal, komunikasi korporasi dapat merealisasikan identitas yang dikehendaki, sehingga dapat memperteguh citra perusahaan. Alasan dari pemaduan fungsi itu disebutkan secara eksplisit, yakni demi efektivitas dan efisiensi, sedangkan tujuan juga disebut dengan jelas, yakni supaya terbangun hubungan yang menguntungkan antara organisasi dengan segenap publik-publiknya, karena pada merekalah organisasi menggantungkan hidupnya. Jadi komunikasi korporasi merupakan pendekatan integratif terhadap seluruh komunikasi, yang dihasilkan oleh organisasi bagi semua kelompok publik sebagai pemangku kepentingan—marketing, organizational, and management communications. Sebagai alat manajemen, komunikasi korporasi adalah penyelaras penting untuk pembentukan identitas, karena bagi para spesialis komunikasi korporasi adalah pangkal tolak bersama yang secara langsung terkait dengan strategi jangka panjang yang dapat meneguhkan citra korporasi. Istilah ‘corporate’ menurut Van Riel memang digunakan dengan sengaja, karena kata yang berakar pada ‘corpus’ (bahasa Latin) itu menunjuk ‘tubuh’ (body) dalam arti kiasan, yakni ‘terkait dengan keseluruhan atau kebulatan’. Dengan penjelasan tentang penggunaan kata corporate

Page 33: InterAct - Atma Jaya

Integrated Communication: Marketing Communication In The Interactive Age29

itu, ia ingin menunjukkan bahwa inti dari komunikasi korporasi adalah identitas dan citra (identity and image: two central concepts to corporate communication). Identitas korporasi adalah keseluruhan bentuk-bentuk ungkapan tentang hakekat diri organisasi, sedangkan citra adalah gambaran menyeluruh tentang organisasi yang berkembang di benak publik-publiknya. Identitas korporasi di dalam konsepsi Van Riel adalah ‘personalitas organisasi, yang dimanifestasikan melalui perilaku, simbol, dan komunikasi yang menimbulkan citra di benak publik.

Dalam definisi di atas, Van Riel secara khu sus me n yebut adanya tiga macam spesialis komunikasi, yang kerjanya harus diintegrasikan, yakni komunikasi manajemen, pemasaran, dan organisasi. Dari ketiganya, komunikasi manajemen adalah yang paling penting, karena terkait dengan manajemen yang mempunyai kewenangan untuk memberi informasi, mempengaruhi, dan mengkoordinasi para pemangku kepentingan internal maupun eksternal, dan mendapatkan sumber daya yang esensial bagi perusahaan. ‘Komunikasi manajemen’ terutama mengenai ‘pengembangan visi bersama’ untuk organisasi; membangun dan memelihara kepercayaan pada pimpinan organisasi; memprakarsai dan memimpin proses perubahan dan inovasi; dan memberdayakan dan memotivasi karyawan. Pada umumnya komunikasi manajemen berlangsung sebagai ‘word of mouth’ kepada publik internal maupun publik eksternal bila pimpinan harus bertindak sebagai ‘juru bicara’ (spoke person) ataupun ‘tokoh kepala’ (figurehead) dari organisasi, melalui ceramah, kuliah umum, atau wawancara dengan media. ‘Komunikasi pemasaran’ adalah semua bentuk komunikasi yang mendukung penjualan produk dan jasa. Pada umumnya komunikasi pemasaran merupakan sebuah program komunikasi khusus yang terkenal dengan sebutan ‘marketing communication mix’ yang berada di bawah tanggung jawab ‘Marketing Department’. Bentuk-bentuk komunikasi utama dalam program ini adalah ‘advertising, sales promotion, direct mail, personal selling,

and sponsorship.’ Akhirnya, ‘komunikasi organisasi’ adalah istilah umum untuk program komunikasi yang ditujukan pada berbagai publik internal maupun publik eksternal yang mempunyai hubungan interdependen dengan organisasi. Maka ruang lingkup komunikasi organisasi meliputi ‘PR, public affairs, investor relations, environmental communication, labor market communication, corporate advertising, and internal communication.’ Maka komunikasi organisasi di Eropa menjadi tanggung jawab ‘PR department’.

Dari paparan tentang genesis, arti, dan ruang lingkup komunikasi korporasi di atas dapat disimpulkan bahwa tekad dan kebijakan untuk mengintegrasikan seluruh kegiatan-kegiatan komunikasi yang dikendalikan oleh strategi yang terpusat, pada dasarnya merupakan perubahan dari paradigma ‘inside-out ‘ ke paradigma ‘out side-in’. Komunikasi korporasi yang merupakan pengintegrasian atau kerangka pengintegrasian yang dilakukan dengan penyelarasan dan penyerasian itu bertujuan untuk membuat visi korporasi menjadi kenyataan, melalui peneguhan identitas dan citra yang secara langsung terkait dengan reputasi korporasi. Komponen-komponen yang harus diselaraskan dan diserasikan dengan strategi dapat dibedakan secara rinci seperti yang dilakukan oleh Argenti atau secara garis besar seperti yang dilakukan oleh Van Riel. Untuk praktisi dan siswa yang harus peka terhadap berbagai persoalan komunikasi mungkin lebih mudah mengacu pada karya-karya Argenti yang banyak menyajikan data dan kasus. Sedang lainnya mungkin cukup mengacu pada karya Van Riel yang cenderung garis besar dan ringkas. Namun karya manapun yang diacu, marketing communication yang menjadi fokus perhatian seminar ini mendapat tempat yang cukup penting.

Integrated Marketing Communication

Dalam pola pikir para praktisi dan akademisi ‘marketing communication’ adalah sejalan dengan para praktisi dan akademisi ‘komunikasi organisasi’. Kalau mereka yang

Page 34: InterAct - Atma Jaya

Andre HardjanaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201230

memikirkan persoalan-persoalan komunikasi mencetuskan konsep corporate communication sebagai integrasi strategik dari semua program dan kegiatan komunikasi demi efektivitas dan efisiensi penapaian tujuan organisasi, maka mereka yang disibukkan oleh pemikiran tentang persaingan di dalam turbulensi pasar mencetuskan konsep integrated marketing communication (IMC).

Konsep IMC dicetuskan berdasarkan pendeka tan baru pada marketing. Konsep marketing yang dianut AMA (American Marketing Association) mengalami perubahan penting. Definisi AMA dulunya menunjukkan marketing sebagai exchange sejak awal tahun 1990-an mulai ditinggalkan dan diganti dengan ’organizational function’ (AMA, 2004). Untuk jelasnya marilah kita perhatikan kedua definisi di bawah ini.

(1) Marketing is the process of planning and executing the conception, pricing, promotion, and distribution of ideas, goods, and services to create exchanges that satisfy individual and organizational objectives. (Cetak tegak ditambahkan untuk memperjelas, AH).

(2) Marketing is an organizational function and a set of processes for creating, communicating, and delivering value to customers and for managing customer relationships in ways that benefit the organization and its stakeholders. (Cetak tegak ditambahkan untuk memperjelas, AH).

Definisi baru (2) di atas secara tegas menunjuk kan watak strategik. Selain itu, sangat ditonjolkan pula fungsi organisasional dari pemasaran. Lagi pula, marketing dianggap terkait dengan peran membangun dan memelihara ’relationships’ dengan ’customers’ dan menyampaikan value kepada mereka. Jadi definisi kedua itu dapat dikatakan merujuk pada pengertian ’relationship marketing’. Akhirnya, untuk memperkuat pengertian relationship marketing itu, di dalam definisi

baru itu secara tegas digunakan istilah ’process for communicating’, yang di dalam definisi sebelumnya hanya tersamar saja. Perlu kita ingat bahwa pada era definisi lama (1) itu populer, pengertian komunikasi terangkum dalam istilah ’promotion’ yang secara eksklusif diartikan sebagai ’advertsing (and promotion) yang merupakan salah satu ’P’ dalam marketing mix—disamping product, price, and place. Perubahan pengertian marketing dengan jelas diungkapkan oleh Rober F. Lauterborn (1993: 12-13) sebagai pergantian 4P dengan 4C tepatnya diungkapkan sebagai berikut:

Forget Product. Study Consumer wants and needs. You can no longer sell whatever you can make. Youcan only sell what someone specifically wants to buy.

Forget Price. Understand the consumer’s Cost to satisfy that want or need.

Forget Place. Think Convenience to buy.

Finally, forget Promotion. The word in the ’90s is Communication. (Cetak tegak ditambahkan untuk memperjelas, AH).

Singkat kata, 4P dianggap tidak lagi sesuai dengan realitas zaman, sehingga komunikasi pun masuk sebagai bagian integral dalam konsep marketing. Maka dengan makin kuatnya makna bagi organisasi, makin sentral pula kedudukan komunikasi di tengah revolusi pasar dengan segala turunan yang dihasilkan oleh turbulensi lingkungan. Oleh karena itu komunikasi tidak saja merupakan perluasan dari advertising and promotion sebagai bagian dari 4P, melainkan merupakan komunikasi strategik yang terintegrasi pada strategic planning yang bertujuan merealisasikan visi melalui identitas, citra, dan reputasi. Dalam praktek konsep integrasi, yakni IMC pada awalnya diartikan sebagai koordinasi unsur-unsur promosi dan kegiatan-kegiatan pemasaran lainnya yang

Page 35: InterAct - Atma Jaya

Integrated Communication: Marketing Communication In The Interactive Age31

melakukan komunikasi dengan para pelanggan dari perusahaan. Atau sebagaimana ditulis oleh George Belch dan Michael Belch ( 2007: 10) di dalam buku Advertising and Promotion: An Integrated Marketing Perspective (Seventh edition), IMC diartikan sebagai ’new advertising, orchestration, and seamless communication.’ Namun kemudian disadari bahwa pengertian itu terlalu sempit. Akhirnya, komisi yang dibentuk oleh A4 (American Association of Advertising Agency) sepakat untuk merumuskan definisi awal (Schultz et al., 1993) sebagai berikut:

[IMC is] a concept of marketing communication planning that recognizes the added value of a comprehensive plan that evaluates the strategic roles of a variety of communication disciplines—for example, general advertising, direct response, sales promotion, and public relations—and combines these disciplines to provide clarity, consistency, and maximum communications impact.

Dalam perkembangannya definisi, yang dibuat pada waktu IMC masih pada usia balita itu, diperluas jangkauannya dengan memasukkan elemen baru, yakni penyediaan ’big picture’ sehingga definisi itu menjadi sebagai berikut:

[IMC is] ’a big picture approach to planning marketing and promotion programs and coordinating the various comunication functions. ... It requires that firms develop a total marketing communication strategy that recognizes how all of a firm’s marketing activities, not just promotion, communicate with customers.

Dengan ’big picture’ itu IMC menjadi sebuah ’total marketing communication strategy’, yakni sebuah strategi komunikasi pemasaran yang menyeluruh, karena setiap kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan pada dasarnya juga merupakan komunikasi kepada para pelanggannya. Dengan

begitu, elemen-elemen pemasaran dan program-program komunikasi dapat dikoordinasikan sehingga menjadi sebuah ’one look, one voice’ approach—pendekatan satu tampilan dan satu suara. Jadi makna keterpaduan dalam IMC itu terletak pada kesatuan tampilan dan kesatuan suara itu.

Akhirnya disadari bahwa makna keter-paduan dalam istilah IMC adalah pada fungsinya sebagai proses bisnis yang mampu menentukan metoda-metoda yang cocok dan efektif bagi perusahaan untuk melakukan komunikasi dan untuk membangun hubungan dengan para pelanggan (customers) dan para penyandang dana (shareholders) sehingga dapat memberikan keuntungan jangka pendek dan nilai jangka panjang. Dalam kerangka itulah definisi tersohor yang dikembangkan oleh Don Schultz perlu kita fahami. Definisi tersebut berbunyi sebagai berikut:

Integrated marketing communication is a business process used to plan, develop, execute and evaluate coordinated measureable, persuasive brand communications programs over time with consumers, customers, prospects, employees, associates, and other targeted relevant external and internal audiences. The goal is to generate both short-term financial returns and build long-term brand and shareholders value.

Definisi ini penting karena menunjukkan bahwa IMC harus sejalan dengan proses strategi bisnis yang sedang berlangsung—bukan sekedar langkah taktis untuk memperpadukan kegiatan-kegiatan komunikasi. Dalam proses bisnis terlibat berbagai publik eksternal, seperti pelanggan, calon pembeli, pemasok, investor, kelompok kepentingan, dan publik umum. Secara internal IMC melibatkan karyawan sebagai bagian penting. Lagi pula, IMC juga menyadari makin pentingnya akontabilitas dan hasil keluaran yang dapat diukur dari program-program komunikasi maupun pemasaran pada umumnya.

Page 36: InterAct - Atma Jaya

Andre HardjanaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201232

Di dalam upaya mendapatkan hasil mak simum, organisasi dianjurkan untuk menerapkan IMC Mix atau baurannya sebagai berikut: periklanan (advertising), promosi penjualan (sales promotion), pemasaran langsung (direct marketing), kehumasan (public relations), sponsorship, dan e-communication. Selain keterlibatan publik, kemampuan mengelola bauran tersebut untuk tiap pemangku kepentingan juga esensial.

IMC dipandang penting karena di awal millennium ini fungsi pemasaran terus berubah sejalan dengan kecepatan perubahan dari lingkungan komunikasi. Kini IMC juga dikenal dengan sebutan ’new generation’ marketing approach yang digunakan oleh perusahaan untuk tetap fokus pada upaya-upaya membangun, mempertahankan, dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan dan segenap pemangku kepentingan.

Sebagai contoh, di Indonesia, dalam pandang an praktisi komunikasi pemasaran Th Wiryawan (2009), publik sudah mencapai titik jenuh atau ‘over communication’ dengan membanjirnya produk-produk dan merek, media komunikasi yang dipergunakan dan iklan-iklan yang muncul di dalamnya. Product, media dan advertising explosion ini merupakan kesempatan untuk membenahi strategi yang mengubah pelanggan untuk tidak saja loyal, namun menjadi fans – atau penggemar yang akhirnya dapat mencapai konsep one brand, one voice, one experience.

CATATAN PENUTUP

Dari pembahasan sederhana tentang corpo rate communication dan integrated marketing com munication di atas dapat disimpulkan bahwa tekanan kemajuan teknologi informasi telah meningkatkan kompleksitas lingkungan yang galau. Dalam lingkungan sedemikian komunikasi lingkungan bisnis mengalami kemajuan yang luar biasa. Mereka yang secara langsung berurusan dengan perubahan konsumen—baik praktisi maupun akademisi—merasa kebutuhan yang mendesak

adanya pemikiran baru, karena komunikasi dalam pola lama ternyata sudah tidak dapat memberikan solusi. Oleh karena itu mereka melakukan reorientasi komunikasi pemasaran, yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa komunikasi pemasaran yang cukup luwes dan inovatif yang cocok dengan revolusi teknologi informasi dan revolusi konsumsi adalah integrated marketing communication alias komunikasi pemasaran terpadu yang terkenal dengan sebutan IMC. Elemen-elemen IMC yang multidimensional menunjukkan bahwa relationships, yakni hubungan-hubungan jangka panjang yang terkait dengan value konsumen dan identitas perusahaan, harus dibangun integral ke dalam visi dan misi korporasi. Singkat kata, akuntabilitas dan value menjadi inti dari IMC.

IMC dengan segala elemen-elemennya ternyata tidak mungkin lagi dipisahkan dari berbagai bentuk dan pola komunikasi-komunikasi yang dilaksanakan oleh organisasi secara keseluruhan. Komunikasi-komunikasi organisasi perlu diintegrasikan demi efisiensi dan efektivitas kinerja organisasi itu secara keseluruhan. Untuk menunjukkan kepentingan organisasi secara keseluruhan sebagai sebuah kesatuan digunakanlah istilah corporate. Komunikasi-komunikasi yang harus dipadukan adalah komunikasi eksternal dan komunikasi internal. Inti dari komunikasi internal adalah identitas, sedangkan inti dari komuniksi eksternal adalah image dan reputasi. Oleh karena itu integrated communication pada dasarnya harus difahami sebagai penyelarasan atau harmonisasi dari komunikasi internal yang terfokus pada identitas dan komunikasi eksternal yang terfokus pada image. Inti dari perpaduan identitas dan image adalah visi dan misi organisasi sebagai sebuah corporate. Dengan demikian manifestasi dari perpaduan komunikasi-komunikasi eksternal dan internal itu dikenal dengan sebutan Corporate Communication, yang fungsi utamanya adalah sebagai corporate strategy. Untuk lebih meyakinkan mahasiswa pengajar sering juga menggunakan istilah Integrated Communication. Corporate communication

Page 37: InterAct - Atma Jaya

Integrated Communication: Marketing Communication In The Interactive Age33

atau integrated communication mencakup semua elemen-elemen yang dulunya ditangani secara berbeda-beda, karena masing-masing dianggap mempunyai hukumnya sendiri sesuai dengan tujuan khusus dan praktis masing-masing. Untuk meyakinkan mahasiswa bahwa semua bidang keahlian teknis komunikasi harus diintegrasikan ke dalam visi dan misi sering digunakan istilah ’strategic’, seperti strategic organizational communication, strategic PR, Strategic Marketing Communication, dan Strategic Advertising. Singkat kata, sebagai konsep yang dikembangkan oleh para akademisi dan praktisi komunikasi di bidang bisnis, Corporate Communication, Integrated Communication, dan Integrated Marketing Communication perlu diketahui hubungan konseptualnya dan tidak harus dipertentangkan karena kehilangan orientasi.

Akhir kata, dengan kemajuan teknologi informasi, ternyata para praktisi dan akademisi komunikasi justru harus bekerja lebih keras,

untuk memadukan setiap elemen baru dan dampak dari over communication ke dalam integrated communication yang telah dikaitkan secara integral ke dalam visi dan misi. Kemajuan teknologi informasi bukanlah sebuah pilihan yang harus dipertentangkan dengan komunikasi korporasi yang sudah dibangun, melainkan sebuah elemen baru yang dapat memperbaiki dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi dengan memperluas perspektif corporate communication.

Semoga paparan sederhana ini dapat merangsang pemikiran lebih lanjut—setidaknya di dalam penerapan komunikasi bisnis masa kini.

Referensi

Abratt, Russell1989 “A New Approach to the Corporate

Image Management Process,” Journal of Marketing Management 5, 1: 63-76.

Aberg, L. 1990“Theoretical and Praxis of Total

Communications,” International Public Relations Review, 13, 2.

Argenti, Paul A.1994 Corporate Communication. New York:

McGraw Hill/Irwin.2003 Corporate Communication. 3rd ed. New

York: McGraw-Hill Book Co.

Argenti, Paul A. dan Janis Forman2002 The Power of Corporate

Communication: Crafting the Voice and Image of Your Business. New York: McGraw-Hill Book Co.

Argyris, Chis dan Donald A. Schon1996 Organizational Learning: Theory,

Method, and Practice. Reading, MA: Addison-Wesley Publishing Co.

Belasen, Alan T.2008 The Theory and Practice of Corporate

Communication. Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc.

Caywoood, Clarke L. (ed.)1997 The Handbook of Strategic

Public Relations and Integrated Communications. New York: McGraw Hill Book Co.

Cornelissen, Joep2004 Corporate Communications: Theory and

Practice. London: Sage Publications, Ltd.

Page 38: InterAct - Atma Jaya

Andre HardjanaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201234

Dowling, Grahame R. 1994 Corporate Reputations: Strategies

for Developing Corporate Brands. Melbourne: Longman Professional Publiishing.

Fombrun, Charles J.1996 Reputation: Realizing Value from the

Corporate Image. Boston, MA: Harvard University Press.

Irwin, Harry dan Elizabeth More1994 Managing Corporate Communication.

St. Leonards, NSW: Allen and Unwin Pty Ltd.

Kitchen, Philip J. dan Patrick De Pelsmacker2004 Integrated Marketing Communications:

A Primer. London: Routledge

Kitchen, Philip J. dan Don E. Schultz2001 Raising the Corporate Umbrella:

Corporate Communications in the 21st Century. Houndmills, UK: Palgrave.

Mattes, Andy dan Bob Emmerson 2003 21st Century Communications: An

Executive Guide to Communicatons in the Enterprise. Oxford: Capstone Publishing Ltd.

Senge, Peter M.1990 The Fifth Discipline: The Art and

Practice of the Learning Organization. New York: Currency-Doubleday.

Schwandt, David R. dan Michael J. Marquardt

2000 Organizational Learning: From World-Class Theories to Global Best Practices. Boca Raton, FL: CRC Press LLC.

Smith, Paul R., Chris Berry, dan Alan Pulford1998 Strategic Marketing Communications:

New Ways to build and Integrate Communications. Revised ed. London: Kogan Page Ltd.

Vos, Marita dan Henny Schoemaker2005 Integrated Communcation: Concern,

Internal, and Marketing Communica tion. 2nd ed. Utrecht, NL: Lemma Publishers.

Wiryawan, Th 2009 One Brand, One Voice, One Experience:

Marketing Communication Experience, Seminar The Role of Corporate and Marketing Communication in the Era of In-formation and Communication Technology, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, 21 Oktober 2009

Page 39: InterAct - Atma Jaya

ISSN 2252 - 4630

35

KONVERGENSI TEKNOLOGI DAN MEDIA:IMPLIKASI BAGI KOMUNIKASI KORPORAT DAN PEMASARAN

MASA DEPAN 1

Prof. M. Alwi Dahlan, PhDUniversitas Indonesia

Interact:Vol.1, No.1, Hal. 35-41.

Mei, 2012Prodi. Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya

Abstract

Changes are occuring for communication practitioners that posses implications to what corporate and marketing communication. The majority of the changes occur because of technology, which then influence the convergence of media. The various issues that arise due to the changes in technologu should be developed in managing communication between human, as it is not avoidable. It is essential to understand as well the regulation that imposses on how information can be managed. Overall, it would be in the hands of the corporate and marketing communication experts in how to expand and enhance theirs activities using the changes and at the same time concur to regulations.

Keywords: communication technology, convergence, social media

1Ditulis ulang berdasarkan hasil seminar The Role of Corporate and MarketingCommunication in the Era of Information and Communication Technology,Unika Atma Jaya, 21 Oktober 2009

Page 40: InterAct - Atma Jaya

Prof. M. Alwi Dahlan, PhDInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201236

Pengantar

Cakrawala komunikasi sedang menga-lami perubahan besar dan cepat, sehingga mendorong dinamika perubahan komunikasi dalam segala segi kehidupan dan hubungan. Hal tersebut berdampak baik pada komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat atau pribadi, perorangan atau institusi – tidak terkecuali korporat dan pemasaran. Perubahan yang terjadi ada yang sangat menonjol sekaligus, tetapi ada pula yang tidak begitu trrasa tetapi membawa dampak dramatis. Jika ditelaah lebih cermat, perubahan-perubahan tersebut ada yang sangat mendasar, merombak konstelasi komunikasi yang dikenal selama ini. Dengan melihat berbagai contoh berikut, mayoritas perubahan disebabkan oleh teknologi, dan bagaimana teknologi mempengaruhi konvergensi media. Sebagai ilustrasi, perhatikan contoh-contoh yang menjadi berita nasional dan dunia dalam kurun beberapa tahun ini.

Fenomena Peristiwa dalam Konstelasi Media

Contoh pertama adalah kasus yang terjadi pada Prita Mulyasari. Prita adalah ibu rumah tangga dari Tangerang, Jakarta dan dalah ibu dari dua anak yang merupakan pasien dari Rumah Sakit Omni International untuk penyakit gondok, yang ternyata salah diagnosa. Komplain dia tentang perawatannya yang bermula dari sebuah e-mail pribadi menjadi bacaan umum sehingga membuat dia dipenjara karena kalah dalam gugatan pencemaran nama baik yang diajukan oleh rumah sakit. Kasus ini menggambarkan reaksi berlebih para jaksa saat berhadapan dengan pengaruh kuat para individual papan atas dan perusahaan terkait. Karena berdekatan dengan pemilihan umum presidensial Juli 2009, para kandidat politik memanfaatkan situasi untuk mengunjungi Prita di penjara atau memberikan opini publik. Dukungan dari kelompok di Facebook telah menarik dukungan luar biasa, begitupula dari situs-situs blog di Indonesia. Kasus ini telah merupakan daya tarik dari pasal-pasal pembentukan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Indonesia

yang selalu ditantang atau dipertanyakan dengan menggunakan kasus Prita Mulyasari. Prita akhirnya didenda 204 juta Rupiah (US$ 20.500), yang semakin membuat dukungan kepadanya semakin kuat. Sebuah mailing list dan kelompok Facebook bernama “Koin intuk Prita” mulai mengumpulkan dana dari seluruh masyarakat Indonesia yang bertujuan untuk membantu Prita membayar denda. Melihat dukungan luar biasa untuk Prita, Rumah Sakit Omni Internasional menggugurkan tuntutannya. Kesemua ini merupakan campur aduk bentuk dan tataran komunikasi antarpribadi, jaringan teman, komunikasi sosial, blogs, dan media massa.

Kasus kedua berkaitan dengan munculnya komunikator amatir pada newsbreak bencana. Sebagai contoh, pada saat terjadinya Tsunami di Aceh, visualisasi pertama atas dampak dari Tsunami bukan berasal dari stasiun TV, namun dari masyarakat yang menggunakan video recorder pada handphone atau mini video rekorder yang diberikan pada media massa. Sebagian besar dari video-video yang diambil secara pribadi juga di-upload pada media sosial You Tube. Visualisasi kejadian riil atau realtime sudah merupakan hal yang lumrah bila berasal dari khalayak (audience-generated content) dengan alat nonsiaran (HP), atau sistem pemantau nonmedia seperti CCTV. Para pengambil visual ini bukan pelaku komunikasi profesional; mereka adalah produser mendadak atau “pendatang baru”.

Kasus berikutnya berkaitan dengan teror Mumbai yang terjadi pada tahun 2008. Banyak kantor berita dan TV global mengikuti dan mengacu pada blogs amatir dan jaringan komunikasi warga (sep. Twitter), yang jauh lebih lengkap, cepat dan dinamis dari wartawan professional yang ada di tempat. Jaringan warga ini bahkan menjadi gelanggang komunikasi antara polisi, sandera, teroris, keluarga dan masyarakat luar, serta menjadi sumber informasi untuk bertindak dan bernegoisasi.

Disamping itu, perkembangan komunikasi -- dalam hal ini telekomunikasi – mengalami

Page 41: InterAct - Atma Jaya

Konvergensi Teknologi Dan Media: Implikasi Bagi Komunikasi Korporat Dan Pemasaran Masa Depan19

37

tingkat inovasi yang tinggi. Pesan yang be-redar tidak lagi hanya melalui suara, namun melalui teks dan multi media -- SMS dan MMS, dan menggunakan beragam format chat hanya dengan menggunakan perangkat selular. Bahkan “chat” tersebut dapat berlaku sebagai ‘chat-conferencing” yang memungkinkan lebih dari dua orang berhubungan secara bersama-sama. Apakah jalur komunikasi seperti ini masih bisa dikatakan privat, atau telah menjadi komunikasi kelompok, bahkan publik? Apakah komunikasi dapat tetap bersifat pribadi? Atau justru dimanfaatkan untuk upaya pemasaran dan kampanye politik?

Berbagai hal ini menambah daftar panjang perubahan komunikasi di luar tren yang terjadi pada industri media massa yang mengalami masa sulit, seperti:

1. Banyaknya majalah besar yang gulung tikar: 528 (2008), 40 (2 bulan pertama 2009); terjadinya penurunan tiras dan iklan pada 369 dari 790 penerbitan; bahkan majalah berita umum kelas duniapun hanya tinggal dua: Newsweek yang susut dari penerbitan 2.9 juta eksemplar menjadi 1.9 juta, dan TIME dengan tiras flat meski-pun telah melakukan kampanye besar-besaran, sedangkan US News & World Report menjadi bulanan dari yang semula mingguan.

2. Trend penutupan koran yang terus menerus (cf. “themediaisdying” di Twitter)

3. Perpindahan khalayak muda dari media cetak ke media sosial berbasis internet seperti Facebook, MySpace, blogs; dan fenomena majalah muda terpopuler menjadi online only, tercatat 13 termasuk PCMag & Playgirl.

Fenomena Konvergensi

Apa yang sebenarnya terjadi? Contoh-contoh di atas memunjukan bahwa berbagai perubahan ini didorong oleh dinamika konver-gensi. Terjadinya konvergensi teknologi, men-

dorong konvergensi media, yang selanjutnya mendorong konvergensi antar-pelaku komuni-kasi (khalayak & komunikator). Kesemua fenomena ini bermula dari teknologi – suatu bidang yang “tidak disukai” oleh pemerhati komunikasi manusia, namun harus dimengerti untuk memahami perubahan komunikasi yang sedang dan akan terjadi.

Banyak teori dan konsep tentang perkembangan teknologi – dari yang paling umum sampai ke yang paling teknis. Salah satu yang seringkali menjadi referensi dan banyak dikenal oleh kalangan komunikasi, adalah konsep dari Marshall Mc Luhan, yaitu bahwa “teknologi = media”. Konsep ini sering disalahartikan seolah-olah media massa adalah segala-galanya. Padahal “media” yang dimaksudkannya adalah segala sesuatu yang bisa mempermudah kehidupan manusia. Dengan konsep “the extension of man” menunjukan bahwa konsep ini sangat fleksibel, karena dengan berubahnya teknologi, maka berubah pulalah “media” yang diperlukan manusia.

Yang menjadi pertanyaan, adalah apakah benar teknologi adalah “extension of man” sekaligus “media” dalam komunikasi? McLuhan berbicara dalam konteks teknologi 1960an. Setiap media sama dengan satu teknologi yang tersendiri. Satu teknologi cetak khusus adalah untuk satu media cetak (koran, buku). Teknologi siaran suara adalah untuk media radio. Teknologi piring-hitam adalah untuk rekaman suara. Pemancar audio untuk radio; kamera untuk gambar; pemancar video dan pesawat penerima adalah untuk TV. Mengapa McLuhan melihat media hanya satu? Karena (pada waktu itu) setiap media menggunakan sistem koding, lambang, format yang analog. Untuk setiap jenis bentuk informasi menggunakan satu jenis lambang, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari teknologi alfabet, teknologi gambar, dsb.

Tetapi sistem analog tidak mampu menjadi extension yang selengkapnya dari komu-nikasi manusia. Manusia tidak hanya berkomunikasi – mengirim dan menerima infor-

Page 42: InterAct - Atma Jaya

Prof. M. Alwi Dahlan, PhDInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201238

masi – secara sepotong-sepotong, dalam bentuk yang terpisah-pisah. Perangkat biologis fisik manusia dalam komunikasi adalah keseluruhan pancaindera, yang dapat menggabungkan semua jenis informasi secara bersamaan dalam satu transmisi dan/ atau penerimaan. Perhatikanlah, bahwa panca indra mata-telinga-rasa-raba-mulut + gerak yang digabungkan secara selektif dalam setiap peristiwa komunikasi manusia – terkadang sekaligus, tetapi adakalanya selected organ saja, namun dapat merasakan sensasi yang berbeda bila menyatu. Media selama kurun waktu tersebut tidak mampu menjadi extension yang diharapkan. Hal tersebut karena sifatnya yang analog. Jelaslah bahwa teori McLuhan hanya berlaku terbatas, satu media bagi setiap indera.

Karena Teori McLuhan hanya berlaku terbatas, dan hanya berlaku untuk media tertentu saja, maka teori tersebut belum dapat menjelaskan teknologi yang seimbang dengan kemampuan komunikasi manusia yang lebih lengkap. Seperti dengan sistem analog, konsep media/teknologi McLuhan barulah merupakan ekstensi dari kemampuan fisik manusia secara terpisah-pisah. Hal inilah yang harus dipecahkan oleh teknologi baru dengan memulai dari hal yang paling mendasar.

Solusi Teknologi Digital Komunikasi

Di dalam perkembangannya terdapat beberapa solusi teknologi digital yang membawa perubahan menyeluruh untuk mengembangkan ekstensi yang mendekati komunikasi manusia. Perubahan itu mencakup, a.l.:

Sistem koding. Penyederhanaan sistem analog yang kompleks – tetapi otonom, berdiri sendiri-sendiri untuk setiap jenis informasi – diubah menjadi sistem satu jenis koding bagi semua informasi. Semua jenis informasi yang tadinya masing-masing dipecah oleh teknologi/media tersendiri secara terpisah, diubah kedalam binary digit yang dapat mewakili satuan terkecil dari informasi jenis apapun juga.

Teknologi informasi. Pengembangan sis tem binary digit untuk mengolah, meng-gabung, mengurai, menyusun, menganalisis, menyimpan, merekam semua infor-masi secara bersama-sama. Perubahan mendasar dalam TI: konvergensi format > coding > pengolahan > penampilan. Semua jenis informasi yang tadinya berbeda bentuk dapat dimanipulasi menjadi informasi baru

Teknologi komunikasi. Sistem digital yang sama diterapkan pula dalam transmisi, satu format informasi dipakai untuk pengiriman, penerimaan, dan infrastruktur yang menyalurkannya. Lebih lanjut: karena satu jenis coding dan format dipakai bersama untuk mengolah dan mengirim > konvergensi teknologi informasi dan komunikasi.

Konvergensi media. Dengan satu format digital, maka semua jenis informasi yang tadinya diolah dan dipersiapkan secara terpisah-pisah (tulisan, suara, gerak, gam-bar diam, video) dapat disatukan dalam proses TI dan komunikasi yang sama, dan ditampilkan melalui dalam media yang sama. Satu media = multimedia; terminal yang sama sekaligus dapat menampilkan media yang berbeda-beda (cetak, surat, suara, gambar, video, dsb.), baik dalam bentuk sama, terpisah, gabungan keselu-ruhan atau bagian-bagiannya, atau bentuk yang samasekali baru.

Konvergensi tataran komunikasi. Kon-ver gensi tidak hanya terbatas pada media komunikasi massa saja, tetapi menjangkau segala jenis komunikasi manusia (ter-masuk tataran antarpribadi, kelompok, organisasi, dan jaringan hubungan sosial yang sangat beranekaragam). Dengan infrastruktur internet dan mobilitas pendu-duk umpamanya, jaringan persahabatan tidak lagi dipagari oleh tapalbatas desa atau daerah, tetapi dapat merambah jauh secara global – baik yang bersifat riil atau maya (mis. Facebook, blogs, jaringan minat). Karena memakai infrastruktur dan teknologi yang sama (berikut piranti lunak sep. links, search engine, dsb.), jangkauan hubungan antarpribadi seseorang bisa jauh lebih luas dari jangkauan

Page 43: InterAct - Atma Jaya

Konvergensi Teknologi Dan Media: Implikasi Bagi Komunikasi Korporat Dan Pemasaran Masa Depan19

39

media massa lama. Komunikasi antarpribadi dengan mudahnya masuk ke media massa, media organisasi, dsb., simpangsiur. (Ingat kasus Prita).

Konvergensi pelaku komunikasi. Pemi-sah an lama antara pengelola media dengan khalayak juga berubah; kekuatan media baru justru terletak pada partisipasi khalayak yang bebas dari kontrol, bahkan ada yang sepenuhnya memuat isi berasal dari khalayak (user-generated content seperti YouTube, dsb.)

Konvergensi terminal. Media penampilan/penerima komunikasi mulanya meru-pakan “terminal” khusus untuk satu format komunikasi (koran kertas, layar bios-kop, pesawat TV, dsb.), kemudian berubah menjadi terminal khusus multimedia (komputer). Trend ke depan: konvergensi semua terminal bagi semua media, media apapun dapat diakses/ditampilkan melalui semua jenis platform – baik yang berlayar lebar (home theatre, televisi), layar menengah (komputer) atau layar kecil (ponsel berbagai ukuran) yang juga mampu memproyeksikan tampilan gambar atau isinya ke dinding yang lebih besar untuk dilihat bersama.

Salah satu contohnya adalah Forum Pembaca Kompas (FPK), seperti yang diungkapkan oleh Agus Hamonangan, Founder & Moderator milis FPK, pada saat Seminar The Role of Corporate and Marketing Communication in the Era of In-formation and Communication Technology yang diselenggarakan oleh Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta pada 21 Oktober 2009. Tujuan dari FPK sebenarnya tidak terlalu muluk, yaitu menjadi tempat diskusi, berbagi opini para pembaca Harian Kompas seputar ekonomi, politik, sosial budaya, dll., sarana untuk menyampaikan kritik dan saran kepada Harian Kompas dan menjadi media interaksi pembaca dengan penulis Harian Kompas.

Sejak dimulai pada 30 Juni 2004, Komunitas FPK kini (2009) termasuk salah satu milis terbesar di Indonesia dengan lebih dari 10.100 anggota berlatar belakang profesi

yang beragam, mulai pelajar hingga menteri dan merupakan salah satu milis terbesar di Indonesia. Yang membuat FPK diminati adalah karena berbagai faktor, selain faktor teknologi, antara lain mempunyai legitimasi, mempunyai ritual dan tradisi, mempunyai tanggung jawab moral, menghargai sejarah dan nilai Kompas, dan embagi informasi mengenai Kompas. Konsistensi bahasan merupakan ‘aturan tidak tertulis’ yang disepakati bersama, yaitu bahwa semua topik bahasan bersumber dari Harian KOMPAS, portal KOMPAS.com dan network blog Kompasiana.com.

UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Kita menyadari bahwa teknologi masih akan berkembang lebih lanjut karena pada dasarnya sifat manusia teknolog akan selalu berusaha menembus batasan kemampuan manusia yang umum untuk menemukan hal-hal yang lebih baru lagi. Dengan demikian manusia pemakai teknologi pun akan selalu menginginkan kebutuhan baru yang belum, namun mungkin, dapat terjangkau pada suatu ketika. Di samping itu, perkembangan dan kemajuan teknologi selalu mendorong pengembangan lebih jauh kebutuhan manusi. Misalnya dalam mencari jawaban terhadap fenomena alam, perubahan zaman, atau kejadian sehari-hari, sehingga manusia memerlukan informasi lebih banyak, yang terkait dengan lebih banyak hal. Dengan disertai data penunjang yang makin kompleks, yang dianggap mungkin diperlukan sewaktu-waktu, yang pada akhirnya juga memerlukan teknologi penyimpan yang lebih besar kemampuannya, dengan ukuran yang lebih kecil supaya dapat sewaktu-waktu diakses, dengan lebih cepat. Secara sederhana, apa yang telah dialami oleh para pengguna teknologi adalah besarnya medium memory yang tadinya berkapasitas <100 KB sekarang tampil dalam bentuk flash disk sampai lebih dari 5 GB, bahkan hard drive bisa dibawa kemana-mana dengan kapasitas 500 GB.

Page 44: InterAct - Atma Jaya

Prof. M. Alwi Dahlan, PhDInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201240

Namun dengan semakin banyaknya infor-masi yang beredar dan makin berkembang-nya teknologi, makin banyak pula aturan yang menyertai. Sebagai contoh adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pasal 27 yang mengatur sebagai berikut:

1. Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak men distribusikan dan/atau men trans misikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

3. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

4. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Harus difahami bahwa ketidak terbatasan informasi pun dibatasi, walau memang tidak dapat dibatasi jumlah informasi yang diputuskan untuk disimpan atau diunduh – istilah populer Indonesia untuk download.

Implikasi bagi Komunikasi Korporat dan Pemasaran

Meskipun bahasan di atas mengupas perkembangan teknologi dan konvergensi secara umum, namun semua butir yang dibicarakan dapat diterapkan dalam konteks korporat dan pemasaran, antara lain:

1. Akibat konvergensi berbagai tataran komunikasi, maka peranan komunikasi semakin berbaur atau simpangsiurnya dengan jaringan masyarakat umum dan konsumen

2. Konvergensi khalayak/konsumen yang berubah dari pasif menjadi aktif, sehingga tidak lagi dapat dianggap sebagai sasaran yang empuk untuk informasi korporat

3. Pergeseran peranan dari media massa ke media jaringan, yang dapat mengubah sumber pengaruh pada khalayak konsumen dan saluran untuk mencapainya, termasuk pengembangan saluran pemasaran baru yang lebih efektif.

4. Dari segi etika dan hukum menunjukan bahwa terdapat kesulitan dalam penentuan tanggungjawab komunikasi, kebebasan informasi, pengaturan HAKI dsb.

5. Perubahan kompleksitas media promosi, komunikasi, lobying, iklan, dan sebagai-nya yang tidak dapat bergantung lagi pada media tradisional.

6. Perubahan proses komunikasi korporat, baik antar industri, di dalam organisasi, antar berbagai fungsi, yang semakin tergantung pada teknologi.

Page 45: InterAct - Atma Jaya

Konvergensi Teknologi Dan Media: Implikasi Bagi Komunikasi Korporat Dan Pemasaran Masa Depan19

41

KEPUSTAKAAN

Buku dan Jurnal:

Cross, Rob & Thomas, Robert J. (2009) Driving Results Through Social Networks: How Top

Organizations Leverage Networks for Performance and Growth. New York: Jossey-BassJarvis, Jeff (2009). What Would Google Do? Collins

Jenkins, Henry (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. NYU Press

McLuhan, Marshall (1964). Understanding Media: The Extensions of Man

Tapscott, Don & Williams, Anthony (2007). Wikinomics: How Mass Collaborations Changes Everything. Portfolio

Verklin, David & Kanner, Bernice (2007). WatchThisListenUpClickHere: Inside the 300 Billion Business Behind the Media You Constantly Consume. John Wiley & Sons

Internet:

http://en.wikipedia.org/wiki/Prita_Mulyasari, Wikipedia (diakses 27 Februari 2012)

http://www.youtube.com/watch?v=hb4LGjXaa0E&feature=related (diakses 7 Maret 2012) dengan search word: Tsunami Aceh.

Page 46: InterAct - Atma Jaya

ISSN 2252 - 4630

42

KOMUNIKASI DALAM PERUBAHAN SOSIAL

Satria KusumaFakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi

Universitas Atma Jaya, Jakarta

Interact:Vol.1, No.1, Hal. 42-54.

Mei, 2012Prodi. Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya

Abstract

This article describes the position of communication and media in social change and development in Indonesia, viewing the use of media and what can be done by the media. Media function as a conduit of information, as the decision-making in the hope of a change in attitudes, beliefs and social norms, and as an educator does not meet expectation. There is a need for enhanced participation from whom are taking part in a process of communication to attain a common focus in looking at the problems faced. The problem is how far the speed of socioeconomic growth according to the intensity the media usage. Which functions can be carried out independently by the media, as well as which function where the media can only support the changes.

Keywords: the role of media, communication media, social communication, development communication.

Page 47: InterAct - Atma Jaya

Komunikasi Dalam Perubahan Sosial43

I. Pendahuluan

Teknologi komunikasi yang bersifat kolektif semestinya tidak sekedar sebagai sarana mempermudah menembus ruang dan waktu dalam cara menyampaikan pesan. Demikian pula dalam menggunakan media tidak sebatas interaksi komunitas dengan kesamaan kepentingan tertentu saja, melainkan media yang diharapkan memiliki fungsi sosial. Hasil penelitian Dr. Yanuar Nugroho, peneliti dari University of Manchester dengan HIVOS Asia tenggara mengenai “Media Sosial Sebagai Pemantik Perubahan Sosial di Indonesia” dalam sebuah kuliah publik bulan Mei 2011 di Pusat Kebudayaan Jerman Jakarta, menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara cara aktivisme sipil dibentuk oleh penggunaan media sosial, cara internet dan media sosial menjalankan peran sebagai “pentas” untuk aktivisme sipil. Dinyatakan bahwa ada korelasi positif antara media sosial terhadap perubahan sosial. Aktivisme sipil Indonesia, contohnya berbagai gerakan dukungan di Facebook, berpotensi mengangkat isu-isu sosial publik, dan memungkinkan terjadinya perubahan di masyarakat secara lebih luas.

Namun segala bentuk aktivitas media sosial secara online pun harus diikuti oleh kegiatan offline. Publik harus berpartisipasi tak hanya di media semacam Twitter atau Facebook, melainkan juga dalam bentuk langkah konkret yang nyata. Media sosial mempunyai nilai strategis untuk menarik picu, tetapi suatu perubahan baru bisa terwujud bila komunitas masyarakat menggagas tindakan. Carl I Hovland menyatakan bahwa media memberikan pengaruh terhadap perubahan opini dan pernyataan secara lisan tahap-tahap lain pada tingkah laku seperti aksi sosial. Bagaimana mengubah cara seseorang menangkap masalah dan bagaimana perubahan penangkapannya itu mengubah kegiatan-kegiatan lainnya?

Menurut Rogers dan Adhikarya, pen-dekat an baru dalam proses komunikasi antar-manusia, berupa pendekatan kon vergensi yang di dasarkan pada model komunikasi

yang sirkular, telah menggantikan pendekatan model linear. Pendekatan konvergensi berusaha menuju suatu pengertian yang lebih bersifat timbal-balik di antara partisipan komunikasi dalam hal pengertian, kebutuhan, ataupun titik pandang. Selain itu, diketengahkan pula perlunya ditingkatkan partisipasi semua pihak yang ikut dalam suatu proses komunikasi, demi tercapainya suatu fokus bersama dalam memandang permasalahan yang dihadapi. Dengan perkataan lain, pendekatan ini bertolak dari dialog antar semua pihak. Kegiatan berkomunikasi ini adakalanya menyesuaikan akan ketersediaan teknologi, tergantung pada tujuan masing-masing. Teknologi komunikasi baru adalah salah satu pendorong perubahan-perubahan sosial di masyarakat. Modernisasi teknologi komunikasi menyebabkan peng-awasan masyarakat menjadi lebih penting, walaupun lebih sukar dilaksanakan (Rogers, 1986). Media komunikasi adalah alat kultural yang mendorong atau mempengaruhi sikap, memberi motivasi, mengembangkan pola tingkah laku dan menyebabkan integrasi sosial (MacBride, 1983).

Keberadaan media komunikasi dengan konsep etika media massa, merupakan upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang seobyektif mungkin. Media massa berperan sebagai penghubung antar kelompok sosial dengan ranah kebangsaan yang bertanggungjawab untuk menyampaikan nilai-nilai luhur. Awalnya media massa hadir untuk memfasilitasi kegiatan interaksi antar individu, masyarakat, lembaga, institusi dan lainnya serta memberikan informasi lintas waktu dan tempat. Seiring perkembangan jaman, saat ini media massa berkembang menjadi pembentuk opini publik. Seringkali, media massa tak ragu-ragu menyatakan opini dan keberpihakan serta membangun wacana dalam masyarakat. Dapatkah Media massa menjalankan fungsinya dengan efektif? Bagaimana media massa dapat membangun sinergi antara masyarakat dan kelompok elite untuk menginformasikan keputusan yang dihasilkan oleh pengambil kebijakan?

Page 48: InterAct - Atma Jaya

Satria KusumaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201244

II. Media Komunikasi dan Perubahan

Peranan komunikasi dalam proses perubahan sosial, dikenal secara umum sebagai teori-teori mobilisasi, difusi, dan McLuhanis. Teori-teori mobilisasi sosial dikembangkan terutama oleh para ilmuwan sosial dan politik di Amerika Serikat di masa pasca Perang Dunia II, dan berfokus terutama pada topik-topik yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan, seperti peranan informasi dalam pembuatan keputusan pembangunan (Schramm, 1964); peranan komunikasi dalam nasionalisme dan partisipasi masyarakat (Deutsch, 1953); peranan media massa dalam mobilitas psikis, fleksibilitas kognitif, dan empati (Frey, 1973; Inkeles dan Smith, 1974; Lerner, 1958); peranan komunikasi dan kontrol dalam krisis-krisis pembangunan (Binder dkk., 1971); peran komunikasi massa yang disfungsional (Mowlana dan Robinson, 1975); dan peranan nilai-nilai ”modern” dalam memobilisasi dukungan bagi kebijakan pembangunan (Lasswell dkk., 1976).

Komunikasi dikatakan sebagai penyebab perubahan sosial sejauh ia dapat mengubah konsepsi seseorang tentang hakekat materi dan dirinya sendiri (Rogers, 1987). Salah satu pengamatan awal tentang hubungan teori komunikasi dan pembangunan, telah dilakukan oleh Siebert, Peterson, dan Schramm dalam suatu studi perbandingan tentang sistem komunikasi massa. Mereka mengatakan bahwa media massa mencerminkan sistem kontrol sosial suatu negara, yang menentukan hubungan antara lembaga-lembaga dan individu-individu.

Quebral dan Gomez (1976) mengatakan bahwa komunikasi pembangunan merupakan disiplin ilmu dan praktek komunikasi dalam konteks negara-negara sedang berkembang, terutama kegiatan komunikasi untuk perubahan sosial yang terencana. Komunikasi pembangunan dimaksudkan untuk secara sadar meningkatkan pembangunan manusiawi, dan itu berarti komunikasi yang akan menghapuskan kemiskinan, yang mendidik dan memotivasi masyarakat, bukannya memberi laporan yang tidak realistik dari fakta-fakta atau

sekedar penonjolan diri. Tujuan komunikasi pembangunan adalah untuk menanamkan gagasan-gagasan dan sikap mental, serta mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan oleh suatu negara berkembang. Secara pragmatis, kata Quebral, dapatlah dirumuskan bahwa komunikasi pembangunan adalah komunikasi yang dilakukan untuk melaksanakan rencana pembangunan suatu negara.

Sebelum itu, Quebral menegaskan bahwa komunikasi pembangunan merupakan salah satu terobosan (breakthrough) di lingkungan ilmu-ilmu sosial. Seperti terobosan lainnya, komunikasi pembangunan pada dasarnya merupakan gagasan dan konsep yang tidak mudah untuk diapresiasi atau dipahami apalagi sampai diterjemahkan ke dalam bentuk tindakan. Di lingkungan ilmu-ilmu sosial, terobosan bukan dalam hal obyek-obyek material yang dapat dilihat atau digenggam, begitu pula halnya dengan komunikasi pembangunan. Oleh karena itu menurut Quebral, komunikasi pembangunan sendiri merupakan suatu inovasi yang harus diusahakan agar diketahui orang dan diterima, sebelum ia digunakan.

Wilbur Schramm melalui studinya yang ditugaskan oleh UNESCO mengkaji peranan komunikasi dalam pembangunan nasional. Dalam laporannya yang berjudul Mass Media and National Development: The Role of Information in Developing Countries, tahun 1964, Schramm menyatakan peranan media massa dalam pembangunan nasional sebagai agen pembaharu (agent of social change). Letak peranannya adalah dalam hal membantu mempercepat proses peralihan masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat yang modern. Khususnya peralihan dari kebiasaan-kebiasaan yang menghambat pembangunan ke arah sikap baru yang tanggap terhadap pembaharuan demi pembangunan. Pembangunan diharapkan terlaksana secara sukarela di mana setiap individu mengambil bagian di dalamnya dan informasi tentang pembangunan diterima secara merata. Sikap paksaan dalam pembangunan diganti oleh sikap membujuk dan memberikan kesempatan partisipasi pada setiap anggota masyarakat,

Page 49: InterAct - Atma Jaya

Komunikasi Dalam Perubahan Sosial45

di samping itu arus informasi ditingkatkan. Schramm mengemukakan bahwa media massa dapat membantu menyebarluaskan informasi tentang pembangunan, dapat mengajarkan melek huruf serta keterampilan lainnya yang memang dibutuhkan untuk membangun masyarakat dan dapat menjadi penyalur suara masyarakat agar dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan di negaranya.

Mengetahui batas yang tegas, dimana media dapat berperan sepenuhnya dalam pembangunan dan hanya berperan apabila didukung oleh komunikasi antar pribadi, merupakan masalah yang harus ditentukan sendiri oleh negara sedang berkembang, sebelum mereka memutuskan untuk menggunakan media komunikasi modern. Menyatakan bahwa ada keterbatasan dalam efektivitas peranan dalam pembangunan nasional bukanlah berarti mengecilkan peranan media itu sendiri. Persoalannya adalah bagaimana menentukan penggunaan media secara tepat untuk tugas-tugas pembangunan tertentu. Tugas komunikasi dalam perubahan sosial dan dalam rangka pembangunan nasional terdiri atas 3 bagian.

Pertama, menyampaikan informasi pada masyarakat mengenai pembangunan nasional. Perhatian masyarakat harus dipusatkan pada kebutuhan akan perubahan, kesempatan-kesempatan/cara-cara mengadakan perubahan serta sarana-sarananya, jika mungkin aspirasi nasional mereka dibangkitkan. Dalam hal ini fungsi menyampaikan informasi dapat dilaksanakan sendiri oleh media. Tanpa media, sangatlah mustahil informasi dapat disampaikan secara tepat tanpa terikat waktu seperti yang senantiasa diharapkan oleh negara-negara sedang berkembang.

Kedua memberikan kesempatan pada masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Dialog harus diperluas sehingga melibatkan semua pihak yang akan memutuskan perubahan-perubahan. Pemuka-pemuka masyarakat harus diberi kesempatan memimpin dan mendengarkan pendapat masyarakat kecil; pesan-pesan perubahan harus disampaikan

dengan jelas serta memberikan alternatif-alternatif yang akan didiskusikan. Arus informasi harus berjalan lancar dari atas ke bawah dan sebaliknya. Dalam hal ini media massa berperan sebagai penunjang. Fungsi ini menuntut adanya kelompok-kelompok diskusi yang akan mengambil keputusan. Di samping itu diharapkan adanya perubahan-perubahan sikap, kepercayaan, norma-norma sosial. Oleh sebab itu dalam hal ini mekanisme komunikasi antar pribadi sangat berperan. Media massa berperan dalam menghantarkan informasi sebagai bahan diskusi, menyampaikan pesan-pesan para pemuka masyarakat serta memperjelas masalah-masalah yang disampaikannya.

Ketiga, Tenaga-tenaga kerja yang dibutuhkan harus dididik. Orang-orang dewasa harus diajar membaca, anak-anak harus dididik, petani harus mempelajari cara-cara pertanian modern, guru, dokter, masyarakat umum harus diajar cara hidup sehat. Sebagian dapat langsung dilakukan sendiri, sebagian digabungkan dengan komunikasi antar pribadi. Misalnya: media massa membantu guru yang mengajar di depan kelas sebagai bagian dari suatu totalitas sistem pendidikan; tetapi seandainya guru maupun sekolah tidak terdapat di suatu daerah, maka media dapat berperan sebagai pengganti guru.

Bagi masyarakat modern, sebagian besar tugas-tugas penyampaian informasi umum dilaksanakan oleh media. Mereka akan memberitahukan hal-hal yang serius yang harus diketahui masyarakat. Apabila norma-norma sosial baru tidak diketahui umum sebagaimana halnya di negara-negara sedang berkembang, maka sebagian tugas media adalah memperluas serta mengenalkan norma-norma yang berhubungan dengan pembentukan perilaku pembangunan melalui media. Beberapa negara sedang berkembang telah meningkatkan status petani-petani serta pekerja-pekerja terbaik mereka lewat media, demikian juga mereka tidak boleh ragu-ragu menentang kemalasan, pemborosan serta korupsi lewat media.

Page 50: InterAct - Atma Jaya

Satria KusumaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201246

Bagan 1. Gambaran pemikiran Schramm:

Sumber: Wilbur Schramm, “Mass Media and National Development”, 1964, Stanford University Press, California and UNESCO.

Sedangkan menurut Lerne (1974), sistem komunikasi merupakan indikator sekaligus agen dari proses perubahan sosial. Ia melihat bahwa perubahan sistem komunikasi masyarakat selalu berjalan satu arah yaitu dari sistem komunikasi lisan (mulut ke mulut) ke media (mediated

communication). Sistem komunikasi oral, cocok untuk masyarakat tradisional, sedangkan sistem media sesuai untuk masyarakat modern. Kedua sistem komunikasi tersebut diperbandingkan sebagai berikut:

Schramm menguraikan apa yang dapat disumbangkan oleh komunikasi yang efektif bagi pembangunan ekonomi dan sosial suatu bangsa. Tetapi karena keadaan sektor komunikasi di negara berkembang justru umumnya masih amat terbatas, maka menurut Schramm, pertama-tama harus lebih dahulu dibangun sarana komunikasi di masing-

masing negara. (Tentang kesenjangan atau pengelompokan sarana komunikasi, antara negara maju dengan negara berkembang lihat laporan Komisi Sean McBride yang berjudul Many Voice, One World).

Page 51: InterAct - Atma Jaya

Komunikasi Dalam Perubahan Sosial47

Sumber: Lerne (1974)

Modernisasi, menurut Lerner, pertama-tama merupakan suatu proses komunikasi. Seperti beberapa ahli lain, ia juga melihat bahwa unsur-unsur tertentu dari budaya nasional atau lokal merupakan penghambat yang harus dihapus untuk menuju masyarakat modern. Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern berkaitan dengan tingkat perubahan sejumlah karakter individual yang berhubungan dengan modernisasi.

Lerner memperbaiki beberapa hal dari teori modernisasi, yaitu:

1. Urbanisasi tidak lagi sebagai langkah pertama. Gantinya adalah literacy dan pengenaan media, lalu bergerak menuju partisipasi.

2. Indikator partisipasi politik bukan lagi hanya pemberian suara di pemilu, tetapi sedang dicarikan indikator lain yang bersifat psikologis semacam “empati”.

3. Lerner tidak lagi menyebut keseluruhan proses tersebut sebagai modernisasi, te-tapi menggantinya dengan perubahan.

4. Tiga faktor yang dikemukakan sebelumnya (urbanisasi, melek huruf, pengenaan media dan partisipasi) tidak lagi disebut sebagai indikator kemodernan, tetapi sebagai kecenderungan kepada perubahan (propensity to change) atau kesiapan orang untuk mencoba hal-hal baru.

Proses transisi dari komunikasi oral ke mediated communication berbarengan dengan perubahan di bidang-bidang yang lain, yaitu:

Sumber: Lerne (1974)

Page 52: InterAct - Atma Jaya

Satria KusumaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201248

Mengenai pernyataan tentang modernisasi merupakan suatu proses komunikasi, McClelland berasumsi bahwa motivasi untuk berprestasi memang yang terpenting, namun hal itu hanyalah satu unsur dari suatu matriks kepribadian yang berpengaruh bagi pembangunan ekonomi. Masih ada unsur-unsur lain yang meliputi di antaranya percaya diri, berorientasi ke depan, berkompetensi, menyukai resiko dan lain-lain. Kepada anggota masyarakat yang membangun, hendaklah ditularkan “virus” need for achievement (dorongan pada seseorang individu untuk menghadapi tantangan, mengatasi rintangan, dan berhasil menanggulangi berbagai kesulitan, antara lain melalui berbagai saluran komunikasi yang ada di tengah masyarakat yang dimaksud.

Untuk itu McClelland (1961) merekomen-dasikan tiga cara dalam mengembangkan jalan menuju kemodernan dan memperkuat motif untuk berprestasi, yaitu:

1. Pentingnya menciptakan informed pu-blic opinion yang ditandai oleh suatu masyarakat dengan pers yang bebas.

2. Suatu langkah penting menuju ke-modernan adalah emansi pasi pe rem puan yaitu mereka yang membesarkan generasi berikutnya. Wanita hendaklah diberi informasi melalui media massa sehingga mereka menerima nilai-nilai dan norma baru.

3. Pentingnya pengaruh pendidikan luar negeri untuk memperkuat motivasi pencapaian.

Terkait dengan peran media massa, menurut Alex Inkeles dan D. Smith (1962-1964) media massa, sekolah, dan pabrik merupakan institusi pemodernan (modernizing institution) suatu bangsa. Itulah salah-satu temuan dari studi mereka yang berjudul Becoming Modern: Individual Change in Six Developing Countries. Analisisnya dipusatkan bukan pada masyarakat secara keseluruhan tetapi pada tingkat individual.

Inkeles dan Smith mendasarkan studi mereka pada hipotesis bahwa semakin besar keterpaparan (exposure) seseorang kepada lembaga-lembaga pemodernan maka bertambah maju pula ia melangkah dalam dimensi-dimensi psikologis modernisasi pada tingkat individual. Nilai-nilai, sikap mental, dan struktur berpikir yang dipelajari di institusi pemodernan yang kemudian berhasil diterapkan dalam hidup sehari-hari, nantinya akan meluas ke lingkungan lainnya.

Studi mereka itu berkesimpulan bahwa institusi pemodernan seperti sekolah, media massa, dan pabrik telah menciptakan manusia modern yang dapat mengisi peran karir di berbagai institusi modern yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi. Meskipun pendidikan merupakan variabel yang paling dekat korelasinya dengan kemodernan di tingkat individual, fungsi yang sama juga dilakukan oleh media massa.

Kedua ahli mengukur pengaruh media massa dengan bantuan data mengenai keterpaparan (exposure) kepada surat kabar dan radio. Perubahan yang ekstensif ini mendukung pandangan bahwa perubahan kepribadian yang agak mendasar dapat terjadi pada kehidupan orang dewasa. Konsekuensinya ada dua:

1. Media massa jika menyebarkan nilai-nilai “modern” umumnya mempunyai efek positif untuk negara-negara berkembang.

2. Kepribadian modern menuntut lengkapnya proses modernisasi individual sebelum dapat mengambil dan mengisi dengan memadai posisi-posisi pada institusi modern, maka langkah awal yang direkomendasikan adalah suatu investasi dalam modal insani (human capital) yaitu sistem pendidikan dan media massa.

Sebagian dari fungsi-fungsi terpenting dukungan komunikasi dalam proyek-proyek pembangunan dapat dilihat melalui daftar inventori berikut ini (Perrett, 1982).

Page 53: InterAct - Atma Jaya

Komunikasi Dalam Perubahan Sosial49

Tabel 1. Inventori Fungsi-fungsi Dukungan Komuni kasi

Fungsi yang didukung Aktivitas Jenis Proyek

Partisipasi dalam perencanaan

Akses ke informasi yang berguna

Pendidikan

Penerimaan

Cost recovery

Pemanfaatan

Materialisasi manfaat

Distribusi manfaat

Partisipasi dalam operasi dan pemeliharaan

Menegakkan atau memperkuat saluran informasi dan prosedur agar kebutuhan ataupun keinginan khalayak diketahui oleh para pembuat keputusan di pemerintah.

Mempublikasikan ketersediaan dan lokasi dari barang dan jasa atau memberi informasi tentang jenis-jenis tanaman, hak-hak hukum, kesempatan pendapatan, atau program-program belajar.

Suplemen ataupun komplemen terhadap sistem pendidikan yang ada, melalui penyediaan misalnya, saluran media massa untuk pendidikan dewasa dan anak-anak.

Mempromosikan penerimaan terhadap ide-ide dan produk baru dan umumnya mempercepat laju tingkat penerimaan.

Melaksanakan public relations untuk kenaikan tarif yang dibutuhkan, atau memobilisasi sumbangan tenaga, bahan, dan uang tunai.

Mempromosikan penggunaan secara tepat barang dan jasa yang tersedia.

Mempermudah perubahan sikap dan perilaku yang berkenaan dengan orang-orang yang akan menjadi penerima manfaat dari barang dan jasa yang disediakan untuk mereka.

Memperbaharui keseimbangan di mana kelompok tertentu berada pada ketertinggalan karena pengetahuan atau pengertian yang tidak memadai.

Memotivasi masyarakat agar bertanggung jawab dalam operasi dan pemeliharaan, dan pemberian keterampilan yang diperlukan untuk itu.

Pembangunan perkotaan dan pedesaan, sanitasi murah, solid waste, dan air minum, dll.

Kependudukan, gizi, kesehatan, pertanian, dan juga yang lain.

Berbagai proyek pendidikan.

Sebagian besar proyek-proyek kependudukan dan pertanian.

Air dan sampah, jalan di kota dan di desa, dan sejumlah proyek pendidikan.

Kebanyakan proyek kependudukan dan pertanian dan beberapa industri perkotaan dan skala kecil.

Sebagian besar proyek kependudukan, banyak proyek gizi, beberapa proyek air dan sampah.

Banyak proyek pendidikan yang menunjang siaran pendidikan.

Transportasi (jalan desa), penyediaan air dan pembuangan, pembangunan desa.

Page 54: InterAct - Atma Jaya

Satria KusumaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201250

MacBride (1983) merumuskan,”dalam dunia yang saling membutuhkan ini, menanggulangi kemiskinan adalah untuk kepentingan semua negara, baik maju maupun berkembang”. Oleh sebab itu komunikasi harus mengejar tiga tujuan: (a) meningkatkan pengetahuan atas masalah pembangunan, (b). Membangun jiwa solidaritas di dalam usaha bersama, (c) meningkatkan kemampuan manusia menangani usaha pembangunan sendiri.

Penempatan posisi komunikasi dalam kerangka melaksanakan pembangunan juga memiliki ciri tersendiri, sekalipun semuanya memang meletakkan komunikasi pada ke-dudukan kunci dalam berlangsungnya proses modernisasi. Yang berbeda adalah penekanan atau titik berat dari peran komunikasi tersebut dalam upaya pembangunan yang dimaksud.

Dissayanake (1981), menggambarkan pembangunan sebagai ”proses perubahan sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dari seluruh atau mayoritas masyarakat tanpa merusak lingkungan alam dan kultural tempat mereka berada, dan berusaha melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam usaha ini dan menjadikan mereka penentu dari tujuan mereka sendiri”.

Kesenjangan sebagai efek yang ditimbul-kan oleh kekeliruan cara-cara komunikasi selama ini, menurut Rogers dan Adhikarya (1978) dapat diperkecil bila strategi komunikasi pembangunan dirumuskan sedemikian rupa, mencakup prinsip-prinsip berikut ini:

a) Penggunaan pesan yang dirancang khusus (tailored messages) untuk khalayak yang spesifik. Sebagai misal, bila hendak menjangkau khalayak miskin, maka pada perumusan pesan, tingkat kecanggihan bahasa, gaya penyajian, dan sebagainya, disusun begitu rupa agar dapat dimengerti dan cocok dengan kondisi mereka.

b) Pendekatan ”ceiling effect” yaitu dengan mengkomunikasikan pesan - pesan yang bagi golongan yang tidak dituju (dengan

golongan atas) merupakan redundansi (tidak lagi begitu berguna karena sudah dilampaui mereka) atau kecil manfaatnya, namun tetap berfaedah bagi golongan khalayak yang hendak dijangkau. Dengan cara ini, dimaksudkan, agar golongan khalayak yang benar-benar berkepentingan tersebut mempunyai kesempatan untuk mengejar ketertinggalannya, dan dengan demikian diharapkan dapat mempersempit jarak efek komunikasi.

c) Penggunaan pendekatan ”narrow casting” atau melokalisir penyampaian pesan bagi kepentingan khalayak. Lokalisasi di sini berarti disesuaikannya penyampaian informasi yang dimaksud dengan situasi di mana khalayak berada.

d) Pemanfaatan saluran tradisional, yaitu berbagai bentuk pertunjukan rakyat yang sejak lama memang berfungsi sebagai saluran pesan yang akrab dengan masyarakat setempat.

e) Pengenalan para pemimpin opini di kalangan lapisan masyarakat yang berkekurangan (disadvantage), dan meminta bantuan mereka untuk menolong mengkomunikasikan pesan-pesan pembangunan.

f) Mengaktifkan keikutsertaan agen-agen perubahan yang berasal dari kalangan masyarakat sendiri sebagai petugas lembaga pembangunan yang beroperasi di kalangan rekan sejawat mereka sendiri.

g) Diciptakan dan dibina cara-cara atau mekanisme bagi keikutsertaan khalayak (sebagai pelaku-pelaku pembangunan itu sendiri) dalam proses pembangunan, yaitu sejak tahap perencanaan sampai evaluasinya.

Page 55: InterAct - Atma Jaya

Komunikasi Dalam Perubahan Sosial51

III. Indonesia sebagai Sebuah Kasus

Dalam konsep pluralisme dari dimensi utama dan kedudukan teori media teori (Gurevich, 1982) unsur keanekaragaman dan keteramalan (prediktabilitas) merupakan unsur yang ditekankan pada setiap aspek, yang berakar dari pandangan tentang masyarakat yang membuka kemungkinan adanya perubahan dan kontrol demokratis, serta yang tidak didominasi oleh golongan elit. Model ini secara khusus menekankan kapasitas publik yang beraneka ragam untuk menyatakan kehendaknya yang berbeda, menolak persuasi, memberi reaksi, dan memanfaatkan media (bukan dimanfaatkan oleh media). Media pun lebih tanggap terhadap kepentingan publik, bukan sebaliknya. Seperti halnya kekuatan media yang bisa menjatuhkan pemerintahan dalam sebuah negara, sebagai contoh ketika Presiden Nixon mundur karena skandal Watergate yang diekspos secara besar-besaran oleh media. Sedangkan di Filipina, Presiden Estrada jatuh karena pers memberitakan korupsi dan gaya hidupnya yang suka berjudi dan berfoya-foya. Di Indonesia, Gus Dur mundur dikarenakan tekanan dari media. Hal ini diungkapkan oleh Wimar Witoelar, juru bicara Gus Dur dalam buku memoarnya. Pada saat itu, Amien Rais, parlemen, TNI, dan media mempunyai peran dalam menjatuhkan Gus Dur. Gus Dur dapat naik dan jatuh dikarenakan media.

Namun apabila dilihat kembali dari kualitas SDM jurnalis, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Dewan Pers M Ridlo Eisy di Tasikmalaya, Jawa Barat, menyatakan bahwa kinerja wartawan selama ini masih dikeluhkan. Dewan Pers menerima sekitar 500 pengaduan masyarakat akibat berita yang tidak seimbang dan kurang cermat (sumber: Kompas, Januari-Desember 2011). Menurut Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra (2011), peran media massa sangat penting terutama di negara transisi. Media memiliki tanggungjawab khusus yang didasarkan pada jurnalisme damai dan

demokratis (peace and democratic journalism). Kondisi masyarakat yang berantakan secara politik, ekonomi, dan sosial memerlukan media yang membangun kohesi sosial. Masyarakat yang berantakan dan mudah marah memerlukan media yang membangun peace and democratic journalism. Jurnalisme seperti ini penting dalam intoleransi masyarakat. Azyumardi sendiri pernah memprotes dua saluran televisi yang memberikan porsi besar berita kepada narasumber yang justru membela kekerasan terorisme. Hal ini seakan-akan memberi kesempatan kepada para pelaku terorisme untuk menyuarakan kepentingannya di media televisi, sehingga membuat aksi teror seperti mendapatkan tempat. Seharusnya pemikiran-pemikiran simpatisan terorisme dibatasi dan lebih memberikan porsi kepada kelompok moderat. Atau euforia massa yang diwujudkan dengan membakar kantor KPU, misalnya. Masyarakat pun belum bisa patuh kepada tatanan hukum. Azyumardi menilai pemberitaan di Indonesia belum mencapai keseimbangan sehingga sering muncul aksi-aksi anarkis di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, media diperlukan untuk membangun prinsip jurnalisme damai dan demokratis, juga membangun. Bahkan pentingnya menjaga kohesi sosial, di tengah merosotnya faktor-faktor pemersatu bangsa serta otoritas pemerintah. Senada dengan Azyumardi Dekan FIB UI, Bambang Wiwarta (2011) mengungkapkan, dalam mengimbangi perkembangan media massa di Indonesia diperlukan etika dan kepatutan dalam menyampaikan berita. Ditegaskan perlunya tanggung jawab dalam menyajikan berita. Membangun budaya pemberitaan dengan konsep etika media massa sebagai upaya penyebaran informasi dan interpretasi seobyektif mungkin.

Direktur Pemberitaan Perum Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA Saiful Hadi (2011) menuturkan, kekuasaan masih menjadi ancaman utama bagi kebebasan pers, bukan pemilik media. Pasalnya, media massa hingga saat ini masih menjadi ruang kritik sosial yang tidak dapat dengan mudah diintervensi oleh pemilik media. Media juga berperan membongkar keburukan, penyeimbang, dan

Page 56: InterAct - Atma Jaya

Satria KusumaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201252

menyuarakan pihak yang tidak mempunyai suara, juga sebagai agen perubahan serta pembuat agenda publik. Jurnalis media akan tetap mengkritisi menteri atau pejabat yang tidak benar. Maka dari itu Saiful berharap agar para wartawan Indonesia mempunyai kemampuan berpikir untuk menganalisis suatu berita layak atau tidak untuk disampaikan kepada masyarakat. Wartawan harus jadi thinking journalist, dengan bertanya: ”Adakah manfaat & kegunaannya bagi masyarakat dari suatu berita yang akan diliput ? Sebab pembaca media atau pendengar radio/pemirsa televisi adalah raja. Jika tidak menyukai tayangan televisi, kita bisa mengganti ke channel lain, atau jika tidak menyukai koran, kita tidak akan membeli korannya. Nasib media sepenuhnya ada di tangan masyarakat, jika publik tidak menyukai, maka mereka akan meninggalkannya.

Direktur Program Imparsial Al Aral (2011), tidak terlalu khawatir bahwa pemilik media akan mengancam kebebasan pers. Meski diakui, pemilik media, terutama yang mempunyai afiliasi politik, terkadang menggunakan medianya untuk kepentingan pribadi, namun, porsinya sangat kecil. Kekhawatirannya justru pada ancaman terhadap kebebasan pers yang masih datang dari kekuasaan. Sebagai alasan untuk membuat regulasi yang membatasi kebebasan pers. RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara adalah bukti keinginan kekuasaan untuk membatasi kebebasan pers. Deputi Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kan-song, mengatakan persoalan sesungguhnya bukanlah apakah media boleh berafiliasi secara politik atau tidak. Dalam perspektif posmodernis, media mempunyai logika sendiri. Jadi, logika macam apakah yang mendasari afiliasi politik itu. Jika menurut logika audiens, logika media itu tidak pas, maka pemirsa bisa mematikan televisi atau pindah ke saluran lain, atau berhenti membaca koran, karena sekarang ini audiens mempunyai banyak pilihan media.

IV. Penutup

Terdapat empat cara media untuk membangun demokrasi. Pertama, mengangkat persoalan untuk membela kepentingan publik. Kedua, melaksanakan tugas konstitusi sebagai alat kontrol sosial. Ketiga, tugas suci pers adalah membongkar keburukan dan penyimpangan serta menyuarakan pihak yang tidak punya suara dan keempat adalah tugas pers sebagai agen perubahan dan pembuat agenda publik. Keempat itulah peran media dalam membangun demokrasi di Indonesia. Kebebasan pers di Indonesia sudah lebih maju dibandingkan dengan negara lain seperti di Malaysia dan Singapura, dimana pers disana tidak boleh memberitakan tentang keadaan pemerintah mereka yang kurang demokratis.

Media adalah kekuatan keempat dalam pemerintahan, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Peran media dapat terlihat sebagai kekuatan penyeimbang dengan tampil mengkritik dan menyuarakan kekuatan rakyat jika ketiga kekuatan dalam pemerintahan itu bersekongkol dalam pemerintahan di negara. Media dapat berperan dalam membangun politik di Indonesia agar masyarakat bisa “melek politik”, sehingga benar-benar rasional dalam menentukan partai yang dipilihnya dalam Pemilu. Generasi muda juga perlu diwariskan pemahaman terhadap empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita memang memerlukan media yang bebas dengan konsep jurnalisme damai untuk membangun keutuhan sosial. Disamping itu pers harus mampu membangun budaya malu bagi pelaku korupsi dan juga pelaku tindak kriminalitas.

Media mempunyai kekuatan luar biasa untuk mempengaruhi publik. Untuk itu, diperlukan keseimbangan berita sehingga masyarakat mendapatkan berita yang lengkap. Media harus konsekuen dengan aturan yang ada, berimbang serta tidak memprovokasi. Diharapkan media memberikan informasi yang benar dan berimbang.

Page 57: InterAct - Atma Jaya

Komunikasi Dalam Perubahan Sosial53

Pemberitaan di media massa seharusnya memperhatikan azas kepatutan sosial. Pasalnya, pemberitaan media mempunyai dampak yang luas di masyarakat. Cara media membangun demokrasi adalah dengan mengangkat persoalan yang membela kepentingan rakyat, melaksanakan tugas konstitusi sebagai alat kontrol sosial. Diharapkan pula agar para wartawan Indonesia mempunyai kemampuan berpikir untuk menganalisis suatu berita layak atau tidak untuk disampaikan kepada masyarakat.

Peran media massa, seharusnya sebagai penghubung antara kelompok sosial dengan ranah kebangsaan yang bertanggung jawab untuk menyampaikan nilai-nilai luhur. Media massa saat ini berkembang menjadi pembentuk opini publik. Bahkan, media kerap tidak ragu-ragu menyatakan opini dan keberpihakan serta membangun wacana dalam masyarakat. Sebagian besar ruang di media sesungguhnya digunakan untuk kritik sosial dan untuk membangun wacana, dialog, dan debat publik. Oleh karena itu media massa harus dapat menjalankan fungsinya dengan efektif untuk membangun koridor demokrasi dalam masyarakat Indonesia yang sangat plural.

Referensi

1. Baran, Stanley J. Baran, Dennis K. Davis. 2009. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future, Fifth Edition. Cengage Learning.

2. Croteau, David, William Hoynes. 2003. Media society: industries, images, and audiences, Third Edition of Media/Society. Pine Forge Press.

3. David P. Demers, Kasisomayajula Viswanath. 1999. Mass media, social control, and social change: a macrosocial perspective . Iowa State University Press.

4. Depari, Eduard & Colin MacAnrews. 1978. Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

5. Eilers, Franz-Josef, (Ed.). 2009. Communicating in Community, An Introduction to Social Communication. Fourth Updated Edition. Manila: Logos Publications.

6. Elihu Katz, Paul Felix Lazarsfeld. 2006. Personal influence: the part played by people in the flow of mass communications. Transaction Publishers

7. Jahi, Amri, 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. PT Gramedia, Jakarta.

8. MacBride, Sean. 1980. Communication and Society; Today and Tomorrow: Many Voices One World, London, Kogan Page.

9. McQuail, Denis. 2010. McQuail’s Mass Communication Theory (6th edition). SAGE Publications Ltd.

10. Nasution, Zulkarimein, IV, 2002. “Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya” PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

11. Rodriguez, F., and Wilson, III, EJ., 2000. “Are Poor Countries Losing the Information Revolution?” (infoDev Working Paper Series). Washington, DC: The World Bank.

Page 58: InterAct - Atma Jaya

Satria KusumaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201254

12. Rogers, Everett M and Floyd F. Shoemaker. 1971. Communication of Innovations: A Cross Culture Approach, New York, The Free Press Rivers, William L, Jay W. Jensen & Theodore Peterson. 2003. Mass Media and Modern Society, terjemahan “Media dan Masyarakat Modern”, Jakarta: Penerbit Kencana.

13. Roman, Anthony, (Ed.). 2004. Social Commu nication Directory Asia – FABC Edition, FABC-OSC Books volume 3. Manila: Logos Publications.

14. Susanto, Eko Harry. 2010. Komunikasi Manusia Esensi dan Aplikasi Dalam Dinamika Sosial Ekonomi Politik. Mitra Wacana Media, Jakarta.

Page 59: InterAct - Atma Jaya

ISSN 2252 - 4630

55

Membangun Trust untuk Keberlangsungan Hidup Perusahaan:

Kisah The Body Shop, McDonald’s, dan Johnson & Johnson

Isabella A. SiahayaFakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi

Universitas Atma Jaya, Jakarta

Interact:Vol.1, No.1, Hal. 55-62.

Mei, 2012Prodi. Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya

Abstract

This paper emphasizes on trust as one of the required company capital other than financial capital. Trust is needed in support of the communities in which a company resides. Trust can be formed by running a business that is not detrimental to the public, but is beneficial to society. Trust will produce good communication even when a company is in a crisis.

Keywords: trust, trust bank, trust mark, deposit of trust

Page 60: InterAct - Atma Jaya

Isabella A. SiahayaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201256

Pendahuluan

Dalam bisnis, apapun jenis produk dan jasa yang ditawarkan, hal terpenting yang harus dicapai adalah keberhasilan penjualan. Tanpa keberhasilan dalam penjualan, perusahaan dinilai gagal. Keberhasilan penjualan berarti keberhasilan dalam meraih profit. Profit merupakan landasan bagi keberlangsungan hidup perusahaan.

Sebesar apapun upaya yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan angka penjualan produknya, namun hal ini belum menjadi sesuatu yang mencukupi dan berarti bagi perusahan dalam pandangan sebagian masyarakat. Sebab masyarakat tidak lagi hanya mencari produk yang dapat memenuhi kebutuhan mereka, tetapi juga mengharapkan berkontribusi aktif perusahaan dalam memberi nilai positif bagi lingkungan sosial dan lingkungan alam. Dengan kata lain, yang seharusnya menjadi fokus dari kegiatan perushaan tidak lagi semata pada produk yang dijual, tetapi juga pada sisi tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan alam.

Trust

Konsumen saat ini adalah konsumen yang value oriented. Konsumen mencari sesuatu yang lebih dari sekedar produk yang dapat mereka gunakan. Mereka mencari produk yang memiliki nilai. Mereka ingin mengetahui apakah produk dan perusahaan yang memproduksinya menjalankan bisnis yang ramah lingkungan, membantu menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam komunitas, adil terhadap karyawan dan mitra kerja, menawarkan produk kepada konsumen sesuai dengan kualitas yang dijanjikan dan banyak lagi yang menjadi pertimbangan. Menurut Lattimore et al (2010, hal. 254-255) saat ini masyarakat sangat memperhatikan apa yang tengah terjadi dalam lingkungan mereka, tempat dimana keluarga mereka tinggal dan bekerja, anak-anak bermain dan belajar. Masyarakat saat ini memahami berbagai masalah yang terjadi dalam komunitas mereka, mereka peduli terhadap siapa saja yang

berada didalam komunitas tersebut termasuk perusahaan.

Merujuk kembali pada kasus pencurian pulsa yang terjadi di Indonesia ataupun kasus yang menimpa Wal-Mart, kita kemudian dapat menguraikan bahwa bisnis tidak semata-mata profit. Bisnis juga harus bedasarkan trust (kepercayaan) terhadap brand dan perusahaan. Trust adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan faktor penting dalam mempertahankan keberlangsungan hidup suatu perusahaan. Bukan hanya modal uang yang dibutuhkan perusahaan dalam menjalankan bisnisnya tetapi juga modal kepercayaan

Survey terhadap konsumen di Amerika, yang dilakukan oleh NFO Worldgroup untuk Golin/Harris pada tahun 2003, menyimpulkan bahwa kepercayaan telah mengarahkan dampak positif terhadap pemilihan dan kesetiaan terhadap brand. Hampir 40% responden mengatakan mereka pasti akan atau mungkin akan menghentikan bisnis dengan sebuah perusahaan, mengurangi jumlah bisnis, atau beralih kepada kompetitor dari perusahaan itu karena hilangnya kepercayaan. Selain itu, Harlan Teller yang mengelola perusahaan kelas dunia Hill & Knowlton, mengatakan bahwa konsumen, investor, dan karyawan seluruhnya ingin memiliki perasaan yang baik terhadap perusahaan dibalik brand. Pandangannya didukung oleh pemungutan suara Lou Harris pada tahun 1997 yang memperlihatkan bahwa saat anda akan memilih product brand dan mempercayai corporate brand didalam benak anda, maka pasti terjadi penjualan bahkan meningkatkan angka penjualan. (Harris, 2006)

Survey yang dilakukan Cone/Roper membuktikan bahwa 78% konsumen mengatakan lebih baik membeli produk yang memberi support terhadap masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Selain itu keterlibatan didalam masyarakat juga dapat menjadi iklan gratis bagi perusahaan atau produk. (Kotler, 2005)

Page 61: InterAct - Atma Jaya

Membangun Trust Untuk Keberlangsungan Hidup Perusahaan: Kisah The Body Shop, Mcdonald’s, dan Johnson & Johnson57

Defisit Kepercayaan

Berbicara tentang upaya perusahaan untuk meningkatkan profit berarti kita berbicara tentang tanggung jawab dan kinerja ekonomis perusahaan. Betapa pentingnya kinerja sosial perusahaan, dan tidak semata kinerja ekonomis, akan tampak dari bagaimana trust yang bisa diberikan masyarakat dan akan menjadi milik perusaahan. Dua kasus berikut ini, pada Wal-Mart dan PT Telkom, menjadi contoh yang menarik.

Wal - Mart adalah sebuah perusahaan department store asal Amerika yang memiliki komitmen dan kepedulian untuk membantu komunitas anak-anak agar mereka dapat memperoleh pengobatan secara baik dan dapat menjalani masa kanak-kanaknya secara sehat dan bahagia. Program ini dilakukan Wal-Mart melalui Wal-Mart Foundation dan Children’s Miracle Network (CMN). Atas kontribusinya terhadap komunitas anak-anak, dan juga atas hubungan baik yang dibangun dengan karyawannya, pada tahun 2002 Wal-Mart mendapatkan Ron Brown Award, sebuah bentuk penghargaan tertinggi dari Presiden (Kotler, 2005, hal. 61).

Namun, kemudian diberitakan bahwa Wal Mart terlibat dalam skandal besar. Beberapa diantara skandal tersebut adalah mempekerjakan buruh tanpa dokumen, melakukan diskriminasi jender terhadap karyawannya, menyuap para pejabat Meksiko supaya bisa menguasai pangsa pasar di wilayah-wilayah yang strategis (Tempo.co, 25 April 2012).

Kasus kedua adalah PT Telkomsel. Perusahaan ini memiliki komitmen untuk melibatkan diri dengan kepentingan masyarakat melalui program tanggung jawab sosial dalam bidang ekonomi, sosial dan lingkungan. Tema kegiatan yang diusung adalah connect, care and converse (telkomsel n.d). Atas peran dan jasanya ini, Pemerintah Kota Medan memberikan anugerah penghargaan Medan Cerdas Award kepada PT Telkomsel karena perusahaan ini

dinilai ikut berperan meningkatkan kualitas pendidikan di kota Medan (Media CSR 2011).

Namun apa yang kita saksikan kemudian ternyata menjadi sebuah ironi bagi perusahaan operator seluler ini. Melalui berita dari berbagai media sejak akhir 2011 publik akhirnya mengetahui bahwa telah terjadi banyak kasus pencurian pulsa yang mengakibatkan perusahaan conten provier mengalami kebangkrutan (Purwanto & Wahyudi 2011). Bahkan Vise President perusahaan Telkomsel juga menjadi tersangka karena diduga ikut menandatangani surat perjanjian kerja sama dengan content provider (Wahyudi, 2012).

Dua contoh kasus di atas menjadi butki bahwa keterlibatan kedua perusahaan tersebut yang terkait dengan pelanggaran atas prinsip tanggung jawab sosial akan sedikit banyak berdampak pada menurunnya trust dari masyarakat terhadap perusahaan.

Trust Bank dan Trustmark

Al Gollin, mengemukakan konsep yang disebut “trust bank” dan “deposits” of trust. Dalam bukunya yang berjudul Trust or Consequences: Build Trust Today or Lose Your Market Tomorrow, Gollin percaya bahwa keterlibatan di dalam komunitas akan menghasilkan deposito kepercayaan dari pelangannya, dimana akumulasi dari trust tersebut dapat membangun keyakinan konsumen. Trust menjadi sangat penting terutama pada saat perusahaan harus melakukan “withdrawal”(pengambilan pribadi) dari trust bank saat perusahaan berada dalam situasi krisis atau dalam pemberitaan negatif. Untuk memperolah trust, menurut Golin, perusahaan harus selalu di setiap saat mengatakan dan melakukan hal-hal yang baik dan benar (Harris 2006, hal. 32).

Jadi, jika di bank orang mendepositokan uang, maka pada trust bank orang akan “mendepositokan” perbuatan baik yang menghasilkan kepercayaan. Jika uang yang didepositokan di bank dapat diambil pada

Page 62: InterAct - Atma Jaya

Isabella A. SiahayaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201258

saat mendesak, demikian juga halnya dengan kepercayaan yang selama ini ditabung dalam trust bank akan berguna bagi perusahaan di saat-saat tertentu.

Perusahaan yang berhasil mendapatkan kepercayaan maka pasti akan banyak meraih keuntungan. The Body Shop adalah contoh perusahaan yang berhasil meraih kepercayaan masyarakat luas. The Body Shop juga berhasil memperkuat posisinya sebagai perusahaan kosmetik yang ramah lingkungan. Anita Roddick sebagai pendiri dikenal sebagai pengusaha yang juga aktivis lingkungan dan hak asasi manusia. Anita Roddick menjadi hero dalam perusahaan tersebut dan perilakunya menjadi panutan bagi seluruh karyawan. Oleh karena kepercayaan yang dimilikinya, The Body Shop boleh dikatakan sangat jarang beriklan tetapi produknya tetap dikenal dan dicari. Ada keterlibatan emosional antara konsumen dan perusahaan. Inilah yang disebut dengan trustmark.

Trustmark adalah konsep yang dikemuka-kan oleh Kevin Roberts, chief executive worldwide of Saatchi & Saatchi PLC. Ia mendefinisikan konsep “trustmark” sebagai “a distinctive name or symbol that emotionally binds a company with the desires and aspirations of its customers.”Atau trustmark adalah suatu keistimewaan atau simbol yang secara emosional menjadi pengikat antara perusahaan dengan keinginan dan aspirasi konsumennya. Trademark merupakan merk, patent, agar berbeda antara satu dengan yang lainnya. Trustmark merupakan hubungan emosional yang memungkinkan perusahaan menaklukkan dunia. Menurut Roberts, perusahaan saat ini harus memiliki “trustmarks”. (Harris, 2006).

Walaupun berat, namun akan lebih mudah membangun trust dibandingkan jika harus membangun kembali hubungan yang telah hancur. Apakah masih dapat dikategorikan sebagai perusahaan yang bertanggung jawab jika iklan operator seluler mengatakan tarif murah namun mencuri pulsa? Apakah masih dapat dikategorikan sebagai perusahaan yang

memiliki hubungan baik dengan karyawan jika ternyata menyalahgunakan kekuasaan dengan mengambilalih hak asuransi karyawan? Oleh karena itu, berbuat baik, jujur dan tidak merugikan pihak lain bukan hanya suatu kewajiban bagi perusahaan tetapi merupakan komitmen jangka panjang untuk membentuk trust. .

Membangun Trust

Terdapat berbagai upaya yang dilakukan perusahaan untuk membangun trust. Namun sebelum membangun trust, ten commandments of organizational trust yang dikemukakan oleh Al Gollins dapat dijadikan acuan untuk membantu perusahaan memperbaiki posisinya di pasar, memperkuat hubungan dan membangun brand yang terpercaya (Harris, 2006, hal. 37-38):

1. Focus on building trust first and restoring it second. Walaupun perusahaan dapat membangun kembali hubungan yang telah rusak, akan lebih mudah memperoleh tujuan jangka panjang melalui pembangunan trust secara perlahan-lahan.

2. Hold leadership accountable for trust-building efforts. CEO, the board of directors, dan chief trust officer (CTO) semuanya akan bekerjasama untuk membuat strategi trust terlaksana. Jika CEO memperlihatkan bahwa trust merupakan prioritas utama bagi dirinya, maka orang lain yang berada di perusahaan tersebut secara otomatis akan membuat hal tersebut menjadi yang utama juga bagi dirinya.

3. Make trust bank deposits even if you’re the most ethical company in the world. Trust bank deposit, apakah anda murni 100% atau hanya 90%, akan bermanfaat bagi anda saat terjadi krisis atau masalah yang tidak diinginkan.

4. Do the right thing because it’s the right thing to do. Pelanggan ingin melakukan

Page 63: InterAct - Atma Jaya

Membangun Trust Untuk Keberlangsungan Hidup Perusahaan: Kisah The Body Shop, Mcdonald’s, dan Johnson & Johnson59

bisnis dengan orang baik. Saat pemimpin menggunakan sumber daya didalam peru saha an yang dapat memberikan man faat bagi karyawan, konsumen, dan komunitas, hal tersebut akan menarik perhatian masyarakat.

5. Practice humility even when you have plenty to brag about. Mayoritas CEOs dari perusahaan besar menekankan ke-rendahan hati. Para pemimpin tersebut memberi pujian kepada orang lain saat telah menyelesaikan suatu proyek sebaliknya akan mengatakan bahwa hanyalah keberuntungan jika ia sendiri berhasil meraih kesuksesan.

6. Base your actions on principles as much as on results. Perusahaan yang terpercaya membangun budaya berdasarkan nilai sebagai pedoman bagi setiap keputusan yang akan diambil. Hal ini akan menjadi suatu kebiasaan bagi mereka untuk menanyakan kepada diri sendiri: apakah tindakan ini konsisten dengan nilai yang dianut perusahaan?

7. Avoid shortcut. Trust hilang saat orang berpikir bahwa mereka bisa melarikan diri melalui cara-cara menerabas atau jalan pintas atau memperlakukan pihak lain dengan cara-cara yang tidak terhormat.

8. Be patient. Menciptakan trust bukanlah sesuatu yang dapat dengan cepat selesai. Trust muncul dari serangkaian tindakan dari waktu ke waktu: merupakan ke-kuatan kumulatif dari serangkaian tindakan ini yang membantu mengubah pikiran stakeholder tentang perusahaan atau memperkuat keyakinan mereka dan menghormati perusahaan.

9. Take action as an individual (not just an organization). Setiap orang dalam perusahaan dapat menyarankan charitable effort yang dapat disponsori oleh perusahaan atau membentuk ke-

lompok sukarelawan untuk sesuatu yang bermanfaat (worthwhile cause).

10. Be willing to give rather than receive when appropriate. Tidak semua hal harus diukur dengan ROI. Dari sudut pandang organisasi, integritas adalah melakukan sesuatu yang benar meskipun jika hal tersebut tidak menghasilkan akhir yang sempurna

Jika 10 Perintah Allah harus ditaati manusia agar hidup benar sesuai kehendak Allah dan diterima oleh lingkungan, maka ten commandments of organizational trust dapat dijadikan koridor bagi perusahaan agar dapat menjalankan praktik bisnisnya dengan benar dan berujung pada dapat diterimanya perusahaan oleh lingkungan. The Body Shop adalah salah satu contoh perusahaan yang dapat dikategorikan sukses menjalankan praktik bisnisnya sesuai dengan ten commandments of organizational trust.

Sejak pertama kali dibangun fokus utama The Body Shop adalah membangun kepercayaan dengan keterlibatannya dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masyarakat. Nilai yang diemban oleh Anita Roddick sebagai pendiri perusahaan kosmetik ini berhasil ditransfer menjadi nilai perusahaan dan nilai dalam diri karyawan. The Body Shop berkomitmen menjalankan praktik bisnis yang adil baik terhadap karyawan maupun terhadap mitra bisnis, misalnya petani dan ibu-ibu rumah tangga.

The Body Shop (n.d.) mengklaim bahwa mereka berbeda karena lima nilai dasar yang dimiliki, yaitu against animal testing, support community trade, activate self esteem, defend human rights, & protect our planet. Nilai-nilai tersebut menjadikan The Body Shop dikenal sebagai penghasil produk perawatan tubuh yang ramah lingkungan dan selalu berupaya membantu menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam komunitas. Salah satunya adalah secara rutin menyelenggarakan kampanye Stop

Page 64: InterAct - Atma Jaya

Isabella A. SiahayaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201260

The Trafficking of Children & Young People diberbagai negara termasuk di Indonesia.

Bertens (2000) menuliskan bahwa perusahaan yang didirikan di London ini menjadi perusahaan yang setiap dua tahun membiarkan dirinya diaudit dari segi sosial dan etis. Banyak pihak yang menyatakan bahwa mereka menjadi pelanggan perusahaan produk kecantikan ini karena nilai-nilai baik yang dimilikinya. Saat menggunakan produk The Body Shop misalnya, konsumen merasa ikut terlibat dalam menyelesaikan masalah lingkungan. Inilah yang disebut dengan trustmark, lebih daripada sekedar trademark.

Contoh lain adalah restoran cepat saji McDonald’s yang berupaya meleburkan perusahaan dalam komunitas lokal dimanapun mereka menjalankan bisnisnya dan diharapkan akan menghasilkan consumer trust and patronage. Ray Kroc, pendiri McDonald’s, percaya bahwa perusahaan harus memiliki komitmen untuk memberi sesuatu kembali kepada masyarakat dimana mereka menjalankan bisnisnya sambil tetap meraih keuntungan. Ray Kroc yakin bahwa good citizenship is good public relations, and that good public relations is good for business. Tanggung jawab sosial telah menjadi heritage di McDonald’s. Dedikasi untuk memberikan kembali kepada masyarakat menjadi hal pertama yang dinyatakan dalam McDonald’s Core Values (Harris, 2006, hal. 33):

We give back to the communities in which we do business. We are a local business. We must be leaders in social responsibility. Our customer view us by the positive influence we have on the neighborhood, its people, and the environment.

Pakar lain yaitu Kotler (2005, hal. 39) menjelaskan bagaimana McDonald’s mensponsori pelaksanakan kegiatan tanggung jawab sosial dengan menggunakan seluruh pilar. Cause promotions yang dilakukan McDonald’s adalah dengan mensponsori program Olympic Youth Camp di Sydney, Australia, pada tahun

2000. Tahun 2002, program cause related marketing yang dilakukan oleh restoran cepat saji ini adalah berpartisipasi pada Hari Anak Sedunia dengan melakukan program donasi untuk anak-anak sebesar $1 dari penjualan Big Mac dan produk lainnya. Restoran yang dirintis oleh Dick dan Mac McDonald dan diambil alih oleh Ray Krock ini, melakukan social marketing di Amerika melalui program edukasi pentingnya imunisasi bagi anak-anak berkerjasama dengan American Academy of Pediatrics (AAP). Dalam program corporate philantrophy, McD melalui Ronald McDonald’s House menawarkan tempat tinggal bagi keluarga yang memeriksakan kesehatan anaknya di rumah sakit yang jauh dari rumah mereka. Perusahaan yang oleh Fortune pernah dinobatkan sebagai “Most Admired Company” untuk social responsibility ini melakukan program community volunteering saat peristiwa September 2011 dimana karyawan McDonald’s bekerja menyuguhkan kurang lebih 750.000 makanan gratis para professional dan relawan yang bekerja di wilayah bencana. McDonald’s melakukan program socially responsible business practices dengan menggunakan kemasan daur ulang.

Johnson & Johnson adalah perusahaan yang oleh The Reputation Institute dinobatkan sebagai perusahaan yang paling dikagumi oleh masyarakat Amerika dan memiliki credo yang menjadi koridor sejak 1943. Menurut Johnson & Johnson (n.d.) Credo tersebut mengutamakan konsumen dan dimulai dengan kalimat “We believe our first responsibility is to the doctors, nurses, and patients, to mother and father, and all other who use our products and services.”

Ketiga perusahaan tersebut berusaha membangun trust bank dengan terlibat dalam komunitas dimana mereka berada karena menyadari bahwa mereka tidak dapat lagi berorientasi terhadap dirinya sendiri. The Body Shop, McDonald’s dan Johnson & Johnson memiliki sikap peduli terhadap masyarakat, mereka memahami bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat tersebut. Dengan terlibat dan memberi dampak positif bagi komunitas

Page 65: InterAct - Atma Jaya

Membangun Trust Untuk Keberlangsungan Hidup Perusahaan: Kisah The Body Shop, Mcdonald’s, dan Johnson & Johnson61

sebenarnya ketiganya sedang mengumpulkan kepercayaan (deposit of trust).

Hal yang perlu digarisbawahi adalah bah wa tiga perusahaan yang bertanggungjawab t er ha dap ling kungan ini sebenarnya telah men-jalankan ten commandments of organizational trust bahkan sebelum konsep tersebut di cetus-kan. Perusahaan-perusahaan tersebut me miliki pe mimpin yang mengutamakan etika bisnis untuk membangun trust.

The Body Shop yang dipelopori oleh Anita Roddick yang merupakan aktivis lingkungan. Ray Krock pemimpin McDonald yang mengutamakan komitmen terhadap komunitas dan Robert Wood Johnson pimpinan Johnson & Johnson pada tahun 1932-1963 merancang sendiri Our Credo yang mengutamakan konsumen. Fokus utama mereka adalah agar perusahaan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan dapat berkembang di lingkungan tersebut. Perilaku para pimpinan tersebut kemudian menjalar ke seluruh karyawan dan menjadi gaya hidup. Ketiga pemimpin perusahaan ini konsisten terhadap apa yang dijanjikan dan apa yang dilakukan.

Komitmen untuk melakukan sesuatu yang benar walaupun tidak dapat diukur secara finansial membuat perusahaan memiliki apa yang disebut dengan trustmark bukan sekedar trademark. Trademark adalah janji sementara trustmark adalah hasil yang diperoleh karena memenuhi apa yang telah dijanjikan.

Penutup

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan untuk menjalankan roda bisnis diperlukan modal yang tidak hanya berupa finansial tetapi juga trust. Perusahaan harus membangun values yang baik didalam perusahaan yang kemudian menjadi budaya, sehingga setiap keputusan yang diambil dan tindakan yang dilakukan harus sesuai dengan values tersebut.

Perusahaan juga perlu membangun trustbank dengan merancang komunikasi yang menggarisbawahi nilai yang betul-betul merupakan nilai budaya organisasi. Nilai tersebut harus inheren dalam kegiatan perusahaan, baik internal maupun eksternal.

Trust penting untuk dikomunikasikan kepada lingkungan internal (karyawan) karena karyawan yang akan menampilkan trust tersebut. Karyawan akan bertindak sesuai dengan koridor yang telah dibentuk dalam nilai budaya organisasi. Sementara trust yang dikomunikasikan kepada pihak eksternal akan menjadi brand equity, atau dengan kata lain terdapat nilai lebih didalam produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Nilai lebih inilah yang berharga dan diinginkan oleh masyarakat saat ini, bukan hanya sekedar mendapatkan fungsi dari suatu produk. Artinya trust sangat relevan dalam dunia bisnis, baik untuk hubungan karyawan dan juga untuk pemasaran.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah trust dalam komunikasi pemasaran jangan hanya digunakan agar orang mengetahui nilai baik perusahaan, tetapi perlu juga digarisbawahi apakah perusahaan melakukan yang melawan trust tersebut atau tidak. Jika melakukan yang berlawanan, maka perusahaan hanya merias diri dan tidak dapat diandalkan.

Intinya adalah bukan hanya trademark yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk dapat bertahan dan berkembang, melainkan juga membutuhkan trustmark. Akhirnya, trust menjadi faktor penting karena adanya trust memungkinkan terbangunnya komunikasi yang lebih baik antara perusahaan dengan publiknya. Ini akan berdampak pada keberlangsungan hidup perusahaan di tengah masyarakat tersebut.

Page 66: InterAct - Atma Jaya

Isabella A. SiahayaInterAct, Vol. 1, No. 1, Mei, 201262

Referensi

BooksBertens, K 2000, Pengantar etika bisnis.

Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Fukuyama 1995, Trust: the social virtues and the creation of prosperity. Free Press, New York.

Harris, TL & Whalen, PT 2006, The marketers’s guide to public relations in the 21st century, Thomson Higher Education, Ohio.

Kotler, P 2005, Corporate social responsibility. Doing the most good for your company and your cause. John Wiley & Sons Inc. New Jersey.

Lattimore, D, Baskin, O, Heiman ST & Toth, EL 2010, Public relations profesi dan praktik, 3rd edn, Salemba Humanika, Jakarta.

Putnam, RD 1995, ‘Tuning in, tuning out: The strange disappearance of social capital in America’, Political Science and Politics, vol. 3, no. 8, hlm. 664-683.

Thesis

Siahaya, IA 2006, Tanggung Jawab Sosial dan Reputasi Perusahaan (Studi Kasus Iklan Lifebuoy Berbagi Sehat di Televisi), Thesis, Universitas Indonesia, Jakarta

Web site

Purwanto, D & Wahyudi, R 2011, Cegah bangkrut, “content provider” harus cari akal, Kompas.com, 07 Desember, viewed 09 Februari 2012, http://tekno.kompas.com/read/2011/12/07/07253099/Cegah.Bangkrut.Content.Provider.Harus.Cari.Akal

Admin, 27 Oktober 2011, CSR Telkomsel Gondol Penghargaan Medan Cerdas Awardhttp://mediacsr.com/?p=13

CSR Telkomsel(http://www.telkomsel.com/about/csr/8750-Our-Approach.html).

Johnson & Johnson n.d., Our credo, viewed 08 February 2012, http://www.jnj.com/connect/about­jnj/jnj­credo

Reza Wahyudi | Jumat, 9 Maret 2012 | 07:50 WIB, Petinggi Telkomsel Jadi Tersangka Pencurian Pulsa:http://tekno.kompas.com/read/2012/03/09/07501375/Petinggi.Telkomsel.Jadi.Tersangka.Pencurian.Pulsa

The Body Shop n.d., We’re different because of our values, viewed 09 February 2012, http://www.thebodyshop.co.id/bi/values.aspx

25 April 2012, Skandal Besar yang Menjerat Wal-Mart, http://www.tempo.co/read/news/2012/04/25/090399556/Skandal-Besar-yang-Menjerat-Wal-Mart

Page 67: InterAct - Atma Jaya

ISSN 2252 - 4630

63

Pedoman Penulisan Naskah Jurnal InterAct1. Artikel merupakan karya ilmiah berupa hasil penelitian atau kajian kritis yang belum

pernah dipublikasikan di jurnal ilmiah manapun 2. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dengan menggunakan

pengolah kata MS Word dan kertas berukuran kwarto ukuran 21,5 x 28 cm huruf Times New Roman 12, dan diketik denga jarak 2 spasi. Panjang artikel 15-24 halaman (termasuk lampiran jika ada). Jarak pengetikan 4 cm dari kiri dan atas kertas, 3 cm dari kanan dan bawah kertas. Nomor halaman ditulis kanan bawah kertas.

3. Artikel dilampiri biodata singkat tentang penulis dan surat pernyataan bahwa artikel tersebut belum pernah dimuat di jurnal manapun.

4. Artikel yang dinilai layak terbit akan diberitahu melalui surat elektronik (e-mail). Jika setelah dibaca pembaca ahli artikel dirasa perlu diperbaiki, Redaksi akan mengembalikannya kepada penulis dan meminta penulis merevisi sesuai dengan batas waktu yang ditentukan Redaksi. Sebaliknya, jika artikel tidak layak terbit, artikel tidak akan dikembalikan ke penulis, kecuali atas permintaan penulis.

5. Penulis akan menerima honorarium atas artikel yang dimuat dan bukti publikasi sebanyak dua jurnal.

6. Sistematika penulisan artikel:a. JUDUL (huruf capital 12 pt, bold, center, tidak lebih dari 14 kata)b. Nama penulis (normal, 12 pt, center, tanpa gelar)c. Nama fakultas/instansi kerja (normal, 12 pt, center)d. Nama universitas (normal, 12 pt, center)e. Alamat e-mail (huruf miring, 12 pt, center)f. Abstrak (huruf capital, tebal, 12 pt); terdiri dari satu paragraph sekitar 150 – 250 kata

dan ditulis dalam Bahasa Inggris jika artikel dalam Bahasa Indonesia begitu pula sebaliknya.

g. Kata kunci (normal, 12 pt, 3-5 kata/frasa)

A. (artikel berupa hasil penelitian)PENDAHULUAN (kapital 12 pt, tebal)METODE PENELITIAN (kapital 12 pt, tebal)HASIL DAN PEMBAHASAN (kapital 12 pt, tebal)SAMPUL (DAN SARAN/REKOMENDASI) (kapital 12 pt, tebal)CATATAN (endnote, bukan catatan kaki) (kapital 12 pt, tebal)PUSTAKA ACUAN (kapital 12 pt, tebal)UCAPAN TERIMA KASIH (kapital 12 pt, tebal)LAMPIRAN (bila perlu) (kapital 12 pt tebal)

B. (artikel berupa kajian kritis):PENDAHULUANINTI (berisi pembahasan yang mendalam, terdiri dari judul dan/atau subjudul)SIMPULAN/PENUTUP

7. Aturan pengutipan langsung Jika panjang kutipan kurang dari empat baris, harus dipadukan dalam teks dengan

memberikan tanda petik diawal dan diakhir kutipan. Jika kutipan lebih dari atau sama dengan empat baris, kutipan dibuat dalam baris tersendiri dan ditulis dengan spasi tunggal, diberi indensi sepuluh huruf, terletak di tengah, dan tanpa tanda petik.

Page 68: InterAct - Atma Jaya

ISSN 2252 - 4630

64

8. Nama penulis yang disitir atau dirujuk, ditulis dengan sistem nama dan tahun. Urutannya adalah nama (dibalik urutannya, sesuai dengan pencatumannya di dalam Pustaka Acuan), tahun terbit buku/artikel, dan nomor halaman. Contoh: (Foster 1993: 18).

9. Tabel atau gambar diberi nomor urut, judul (ditulis huruf tebal) dan sumber-sumbernya.10. Pustaka acuan hanya berisi pustaka yang mutakhir (paling lama sepuluh tahun kebelakang)

yang dikutip dalam artikel. Disusun berdasarkan cara penulisan dari Harvard Referencing System, contoh sebagai

berikut:- Buku Elder, B 1995, The magic of Australia, Beaut Books, Sydney.- Artikel dalam jurnal: Peterson, J & Schmidt, A 1999, ‘Widening the horizons for secondary schools’, Journal

of Secondary Education, vol. 3, no. 8, pp. 89–106.- Artikel dalam surat kabar: Condren, P 1999, ‘Swiss prepare charges’, Weekend Australian, 30–31 July, p. 1.- Artikel dalam website: Barro, RJ 1997, Macroeconomics, 5th edn, viewed 17 February 2006, http://purl.

library.cqu.edu.au/EBOOKS/339-0289-29960- Laporan penelitian, skripsi, tesis, atau disertasi Herbert-Cheshire, L 1997, Living by the sea, BA Hons Thesis, Central Queensland

University. (Note: The title is not italicised as this has not been published).

11. Artikel dikirim melalui e-mail: [email protected] atau [email protected]. Artikel juga dapat dikirim melalui pos dalam bentuk CD beserta hardcopy sebanyak dua (2) eksemplar.

Alamat Redaksi:Redaksi InteractUP: Dr. Nia SarinastitiProdi. Ilmu KomunikasiFakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu KomunikasiGedung C. Lt. 1Unika. Atma JayaJl. Jend. Sudirman No. 51, Jakarta 12930Telp: 021-5708967, ext: 348