integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

25
INTEGRASI NILAI-NILAI BUDAYA BANGSA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Rezky Agung Herutomo ABSTRAK Pendidikan matematika tidak dapat terlepas dari matematika itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mengintegrasikan nilai-nilai kebudayaan dalam pembelajaran matematika akan lebih baik jika terlebih dahulu mengungkap karakteristik dari matematika yaitu objeknya yang abstrak, simbol yang kosong dari arti, kesepakatan dan pemikiran deduktif aksiomatik, dan anti kontradiksi. Nilai-nilai budaya bangsa yang terintegrasi dalam pembelajaran matematika tidak lepas dengan nilai- nilai yang terkandung dalam matematika dan pembelajaran matematika. Pemahaman yang demikian itu perlu ditunjang dengan pengetahuan tentang keterkaitan antara matematika dan kebudayaan, yang nantinya akan mempengaruhi proses pembelajaran matematika di kelas. Integrasi nilai budaya bangsa dapat tercermin melalui kurikulum pembelajaran matematika dan proses pembelajaran itu sendiri. Nilai tersebut tidak di ajarkan, akan tetapi secara implisit memberikan penguatan kepada siswa untuk menghargai budaya bangsa melalui matematika. Perlu kinerja guru secara kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran matematika dengan berbagai upaya pendekatan, model, dan metode sehingga nilai-nilai budaya bangsa dapat diterima oleh siswa selain materi pembelajarannya. Kata kunci: nilai, budaya bangsa, matematika, pembelajaran matematika A. Pengantar 1. Latar Belakang Secara database online, “pendidikan berbasis budayaterus meningkat digunakan sejak diperkenalkan pada akhir tahun 1970. Persyaratan, seperti budaya yang relevan, peka terhadap budaya, dan pendidikan berbasis budaya juga pertama kali muncul pada periode ini, terutama setelah terjadinya tingkat percepatan globalisasi. Nicol (2010) mencatat bahwa minat pengajaran berbasis budaya tumbuh selama 1980-an dan awal 1990-an sebagai akibat dari keberagaman dan

Upload: rzky-agung

Post on 09-Aug-2015

286 views

Category:

Education


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

INTEGRASI NILAI-NILAI BUDAYA BANGSA DALAM

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Rezky Agung Herutomo

ABSTRAK

Pendidikan matematika tidak dapat terlepas dari matematika itu sendiri.

Oleh karena itu, untuk mengintegrasikan nilai-nilai kebudayaan dalam

pembelajaran matematika akan lebih baik jika terlebih dahulu

mengungkap karakteristik dari matematika yaitu objeknya yang abstrak,

simbol yang kosong dari arti, kesepakatan dan pemikiran deduktif

aksiomatik, dan anti kontradiksi. Nilai-nilai budaya bangsa yang

terintegrasi dalam pembelajaran matematika tidak lepas dengan nilai-

nilai yang terkandung dalam matematika dan pembelajaran matematika.

Pemahaman yang demikian itu perlu ditunjang dengan pengetahuan

tentang keterkaitan antara matematika dan kebudayaan, yang nantinya

akan mempengaruhi proses pembelajaran matematika di kelas. Integrasi

nilai budaya bangsa dapat tercermin melalui kurikulum pembelajaran

matematika dan proses pembelajaran itu sendiri. Nilai tersebut tidak di

ajarkan, akan tetapi secara implisit memberikan penguatan kepada siswa

untuk menghargai budaya bangsa melalui matematika. Perlu kinerja

guru secara kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran

matematika dengan berbagai upaya pendekatan, model, dan metode

sehingga nilai-nilai budaya bangsa dapat diterima oleh siswa selain

materi pembelajarannya.

Kata kunci: nilai, budaya bangsa, matematika, pembelajaran matematika

A. Pengantar

1. Latar Belakang

Secara database online, “pendidikan berbasis budaya” terus meningkat digunakan

sejak diperkenalkan pada akhir tahun 1970. Persyaratan, seperti budaya yang

relevan, peka terhadap budaya, dan pendidikan berbasis budaya juga pertama kali

muncul pada periode ini, terutama setelah terjadinya tingkat percepatan

globalisasi. Nicol (2010) mencatat bahwa minat pengajaran berbasis budaya

tumbuh selama 1980-an dan awal 1990-an sebagai akibat dari keberagaman dan

Page 2: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

keprihatinan atas kurangnya keberhasilan peserta didik dari etnis/ras minoritas.

Guru matematika harus melaksanakan prinsip kesesuaian budaya, mereka harus

memiliki pengetahuan dan rasa hormat terhadap berbagai budaya tradisi dan

bahasa dari peserta didik di kelas mereka. Dengan demikian, mereka harus

mengembangkan rasa memahami dan menghargai perbedaan budaya peserta

didik, sehingga dapat membantu peserta didik melihat matematika sebagai disiplin

ilmu sosial dan kultural.

Lebih lanjut Nicol (2010) menjelaskan bahwa dalam mempertimbangkan

pedagogi budaya responsif kita memanfaatkan literatur/materi pembelajaran yang

memberikan konteks untuk mengembangkan model pendidikan bagi kelompok

yang beragam yang menggabungkan koneksi dengan budaya dan masyarakat,

menghormati dan responsif terhadap sistem pengetahuan adat dan epistemologi,

dan berakar pada hubungan dan budaya setempat. Pendidikan budaya responsif

pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970, dan meskipun tidak baru, beberapa

tahun tahun terakhir mendapat perhatian meningkat seperti yang terlihat dalam

publikasi akademik akhir-akhir ini.

Sejalan dengan hal di atas, Bishop (2001) menjelaskan bahwa sebuah

perspektif sosial budaya adalah hal penting untuk memahami peran nilai-nilai

dalam pendidikan matematika. Sekolah dan peserta didik yang ada dalam

masyarakat, kita sering abaikan adanya pengaruh pendidikan dari aspek lain. Hal

ini memang mendorong bagi pendidik matematika terutama untuk

mengembangkan pengajaran matematika dalam pola masyarakat tertentu. Tetapi

pada kenyataannya tugas tersebut tidak berjalan dengan baik, proses belajar

mengajar matematika seolah-olah terpisah dari konteks ekonomi, budaya dan

politik masyarakat.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dalam tulisan ini dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

a. Nilai-nilai budaya bangsa apa sajakah yang dapat diintegrasikan dalam

pembelajaran matematika?

Page 3: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

b. Bagaimana integrasi nilai-nilai budaya bangsa dalam pembelajaran

matematika?

3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tulisan ini bertujuan untuk:

a. Mengkaji nilai-nilai budaya bangsa yang dapat diintegrasikan dalam

pembelajaran matematika.

b. Membahas pengintegrasian nilai-nilai budaya bangsa dalam pembelajaran

matematika.

B. Pembahasan

1. Nilai-nilai Budaya Bangsa yang Dapat Diintegrasikan dalam

Pembelajaran Matematika

a. Pengertian dan Nilai Budaya Bangsa

Kebudayaan juga dapat dipahami sebagai suatu sistem ide/gagasan yang dimiliki

suatu masyarakat lewat proses belajar dan dijadikan acuan tingkah laku dalam

kehidupan sosial bagi masyarakat tersebut (Koentjaraningrat, 1996). Sedangkan

sistem budaya sendiri dapat dikatakan sebagai seperangkat pengetahuan yang

meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum yang diacu

untuk menata, menilai, dan menginterpretasikan benda dan peristiwa dalam

berbagai aspek kehidupannya.

Menurut Ki Hadjar Dewantara (1967), kebudayaan berarti buah budi

manusia, dan karenanya baik yang bersifat lahir maupun batin selalu mengandung

sifat-sifat keluhuran, etika dan estetika yang ada pada hidup manusia pada

umumnya. Kebudayaan nasional merupakan buah budi manusia yang

mengandung sifat-sifat keluhuran dan kehalusan, etika dan estetika dalam

kehidupan manusia. Dalam arti umum, kebudayaan adalah merupakan sifat

utuhnya bangsa yang berkaitan dengan derajat kemanusiaannya, baik lahir

maupun batin. Kebudayaan selalu mengandung sifat keluhuran dan kehalusan

budi manusia yang berada dalam satu kesatuan dengan negara dan bangsa. Tanah

Page 4: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

air Indonesia merupakan satu kesatuan, baik geografis maupun historis dan

kultural.

Ki Hadjar Dewantara (1961) menjelaskan, pendidikan dalam hidup segala

makhluk terdapat sebagai laku-kodrat (instinct), dalam hidup manusia yang

beradab bersifat usaha kebudayaan. Sebagai laku-kodrat maka pendidikan itu

masih bersifat laku atau kejadian (sebelum merupakan perbuatan berdasarkan

kemauan), jadi masih sangat sederhana dan hanya mengenai pokok keperluannya.

Pendidikan yang berlaku sebagai instinct, itu berupa pemeliharaan terhadap anak,

serta latihan tingkah laku yang kelak perlu untuk kehidupannya. Sebagai usaha-

kebudayaan, maka pendidikan itu bermaksud memberi tuntunan didalam

tumbuhnya badan dan jiwa anak-anak, agar kelak dalam garis kodrat pribadinya

dan pengaruh lingkungan yang mengelilingi lahir.

Dari rumusan tersebut dapat dilihat butir-butir yang dikemukakan oleh Ki

Hadjar Dewantara seperti berikut ini.

1) Bahwa kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, bahkan

kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan. Rumusan ini sungguh

menjangkau jauh kedepan, disini dikatakan bukan hanya pendidikan itu

dialaskan kepada suatu aspek kebudayaan, tetapi kebudayaan sebagai

keseluruhan.

2) Kebudayaan yang menjadi landasan pendidikan tersebut haruslah bersifat

kebangsaan. Dengan demikian kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayan

yang nyata, yaitu budaya yang hidup di dalam masyarakat kebangsaan

Indonesia. Dalam hal ini Ki Hadjar Dewantara bukan berbicara mengenai

kebudayaan Jawa, tetapi kebudayaan nasional Indonesia, artinya kebudayaan

yang akan dikembangkan oleh masyarakat Indonesia. Apabila kebudayaan

kebangsaan Indonesia itu belum terwujud, maka ini adalah tugasnya

pendidikan nasional untuk mewujudkan kebudayaan kebangsaan yang

dimaksud.

Kebudayaan yang berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan

manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan

masyarakat). Sebagai buah perjuangan hidup manusia, maka kebudayaan itu

Page 5: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

selalu bersifat kebangsaan (nasional) dan mewujudkan kepribadian bangsa

(kemerdekaan hidup kebangsaan). Tiap-tiap kebudayaan menunjukkan rendah

tingginya adab kemanusiaan dalam hidupnya masing-masing bangsa yang

memilikinya, dalam hal mana keluhuran dan kehalusan hidup manusia selalu

sebagai ukuran (Supinah, 2010).

Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma,

dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai,

moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan

sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan

keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem

sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni,

dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem

berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi

dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir,

nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan

manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem

sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni.

Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta

didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang

diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang

sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang (Kemendiknas: Badan

Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010).

Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat,

artinya keduanya menekankan pada hal yang sama, yaitu nilai-nilai kemanusiaan

dan kemasyarakatan. Proses kebudayaan dan pendidikan hanya dapat terjadi

didalam hubungan antar manusia dalam masyarakat. Keluhuran dan kehalusan

budi manusia adalah hasil dari proses pendidikan dan kebudayaan, yaitu dengan

menanamkan nilainilai yang terkandung dalam kebudayaan, sehingga terciptalah

manusia yang beradab dan berbudaya.

Koentjaraningrat (1996) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang menjadi salah

satu unsur sistem budaya, merupakan konsepsi abstrak yang dianggap baik dan

Page 6: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

amat bernilai dalam hidup, yang kemudian menjadi pedoman tertinggi bagi

kelakuan dalam suatu masyarakat. Bertitik tolak dari pemahaman tersebut, konsep

kebudayaan Indonesia dibangun oleh para pendahulu kita. Konsep kebudayaan

Indonesia disini mengacu kepada nilai-nilai yang dipahami, dianut, dan

dipedomani bersama oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai inilah yang kemudian

dianggap sebagai nilai luhur, sebagai acuan pembangunan Indonesia. Nilai-nilai

itu antara lain adalah taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun,

disiplin, harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan,

dan kreatif.

b. Nilai Budaya Bangsa yang Dikembangkan dalam Pembelajaran

Matematika

Berbicara mengenai nilai-nilai budaya dalam pendidikan tidak lepas dari

pengembangan nilai-nilai karakter, yakni ada 18 nilai yang bersumber dari agama,

Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur,

(3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8)

Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah

Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai,

(15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18)

Tanggung Jawab (Kemendiknas: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat

Kurikulum, 2010). Sedangkan nilai-nilai budaya bangsa menurut

Koentjaraningrat (1996) antara lain adalah taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia

kawan, harmoni, rukun, disiplin, harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar,

kompetitif, kebersamaan, dan kreatif.

Pelaksanaan pembelajaran matematika memiliki potensi untuk

mendukung keberhasilan pembentukan budaya dan karakter bangsa yang meliputi

sikap toleransi, kemandirian, keuletan, ketangguhan, kreatif, cerdas, ulet, religius,

taqwa, dsb. Sudah barang tentu pemilihan model, strategi, atau metode

pembelajaran yang disiplin harus disesuaikan dengan materi ajar (Suyitno, 2012).

Bishop (2008) menyatakan nilai-nilai matematika berkaitan dengan

hakikat pengetahuan matematika itu sendiri dan diturunkan dari bagaimana

Page 7: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

matematikawan yang berbeda budaya membangun matematika. Nilai-nilai yang

terkandung dalam matematika terdiri atas rasionalism, objectism, control,

progress, mistery, dan opennes. Perkembangan sosial tertentu yang telah

menimbulkan matematika juga memastikan adanya produk dari berbagai nilai:

yaitu nilai-nilai yang telah diakui yang menjadi penting dalam masyarakat.

Matematika, sebagai fenomena budaya, hanya masuk akal jika nilai-nilainya juga

dibuat eksplisit dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai itu digambarkan sebagai

pasangan yang saling melengkapi, di mana rasionalism dan objectism adalah

ideologi identik dari matematika, dengan control dan progress adalah nilai-nilai

sikap yang mendorong perkembangan matematika, dan secara sosiologis, nilai-

nilai mistery dan opennes adalah yang berkaitan dengan potensi pribadi, atau letak

dari pengetahuan matematika dan hubungannya antara orang-orang yang

menghasilkan pengetahuan tersebut.

Menurut Soedjadi dalam Suyitno (2012) nilai-nilai yang terkandung dalam

matematika meliputi kesepakatan, kebebasan, konsisten, kesemestaan, dan ketat.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa matematika juga mengandung nilai taat azas

atau taat hukum, kejujuran, dan keterbukaan (Suyitno, 2012).

Menurut Seah dan Bishop dalam Suyitno (2012) pendidikan matematika

memuat nilai accuracy, clarity, conjecturing, creativity, consistency, effective,

organization, efficient working, enjoiment, flexibility, open mindedness,

presistensce, dan sistematic working. Penginitegrasian nilai budaya bangsa dalam

pembelajaran juga tigak terlepas dari nilai pendidikan matematika itu sendiri.

Sehingga guru dan peserta didik dapat memahami keterkaitan kedua ranah nilai

tersebut. Nilai budaya yang tepat dapat dikembangkan sesuai nilai matematika

dan pendidikan matematika.

Pembelajaran matematika tidak dapat terlepas dari matematika itu sendiri.

Oleh karena itu, untuk mengintegrasikan nilai-nilai budaya bangsa dalam

pembelajaran matematika akan lebih baik jika terlebih dahulu memahami

karakteristik dari matematika. Karakteristik matematika yaitu abstract, general,

objective, formal, rational, theoretical, and is closely related to justification

(Ernest dalam Suyitno, 2011). Hal yang relevan mengenai karakteristik

Page 8: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

matematika yang dijelaskan Wittgenstein sebagaimana yang dikutip oleh Suyitno

(2011) yaitu mathematics has abstract objects, deductive axiomatic structure, self

evident epistemological concept, artificial, inabsolute truth, non empirical,

advantage as the source of thinking, and advantage as a deductive tool.

2. Integrasi Nilai-nilai Budaya Bangsa dalam Pembelajaran Matematika

a. Pembelajaran Matematika dan Kaitannya dengan Budaya Bangsa

D’Ambrosio (2006) menjelaskan banyak jalan untuk memperoleh pengetahuan,

dengan cara membandingkan, mengklasifikasikan, mengukur, menjelaskan,

menggeneralisasikan, membuat inferensi dan mengevaluasi. Hal ini juga

dilakukan dalam mempelajari matematika. Demikian halnya dengan kehidupan

sehari-hari yang merupakan uasaha dari membandingkan, mengklasifikasikan,

mengukur, menjelaskan, menggeneralisasikan, membuat inferensi dan

mengevaluasi praktek budaya dan kehidupan. Jelaslah matematika secara

kontekstual juga memberikan respon terhadap budaya dan kehidupan sosial.

Manusia menggunakan matematika dan intelektualnya berdasarkan budayanya.

Menurut D’Ambrosio (2004) matematika dapat disintesis sebagai suatu

historiografi (yang mencakup bentuk matematika yang dilakukan oleh

nonmathematicians, yaitu, oleh masyarakat umum), ditambah dinamika Budaya

yang Encounters, sepanjang sejarah. Masalah utama orang di seluruh dunia adalah

saat ini:

1) keamanan nasional, keamanan individu,

2) pemerintah/politik,

3) ekonomi: dampak sosial dan lingkungan,

4) hubungan antar bangsa,

5) hubungan antara kelas-kelas sosial,

6) kesejahteraan rakyat,

7) kesehatan tubuh dan pikiran,

8) pelestarian sumber daya alam dan budaya.

Keprihatinan ini mempengaruhi secara mendalam, pendidikan matematika.

Bahkan, matematika, matematikawan dan pendidik matematika sangat terlibat

Page 9: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

dengan semua masalah ini. Memang, isu-isu ini intrinsik. Kita harus

mempertimbangkan nilai-nilai budaya dalam matematika dalam konteks kerangka

sosial budaya di seluruh jenjang pendidikan. McConatha dan Schnell (1995)

dalam (Bishop, 2001) menjelaskan budaya telah didefinisikan sebagai suatu

sistem terorganisir nilai yang ditularkan kepada anggotanya baik secara formal

maupun informal. Pembelajaran matematika sebagai induksi budaya telah dan

terus diteliti selama dua puluh tahun terakhir. Penelitian ini jelas menunjukkan

bahwa nilai-nilai budaya merupakan bagian integral dari setiap pengajaran

matematika (Bishop, 2001).

D'Ambrosio, (1995) (dalam Bonotto, How To Innovate Mathematics

Teaching Taking Social and Cultural Changes Into Account) menyatakan bahwa

kognitif peserta didik, kemampuan belajar dan sikap terhadap pembelajaran dapat

ditingkatkan dengan menjaga belajar suasana yang berkaitan dengan latar

belakang budaya. Hal ini diupayakan dengan baik sehingga anak-anak dan orang

dewasa melakukan "matematika" di luar lingkungan sekolah mereka, menghitung,

mengukur, memecahkan masalah dan membuat kesimpulan, menggambar

menggunakan seni atau teknik, memahami, mengatasi lingkungan mereka dengan

demikian mereka telah belajar dalam pengaturan budaya mereka.

Rosa dan Orey (2006) menjelaskan matematika untuk waktu yang lama

telah dianggap sebagai suatu disiplin ilmu yang netral dan bebas budaya. Ini

selalu diajarkan di sekolah sebagai subjek non-budaya yang melibatkan

pembelajaran matematika, seharusnya pembelajaran itu diterima secara universal

melalui fakta, konsep, dan isinya. Ini berarti bahwa matematika terdiri dari tubuh

pengetahuan tentang fakta, algoritma, aksioma, dan teorema. Dalam hal ini, Rosa

dan Orey (2006) berpendapat bahwa program pembelajaran matematika berbasis

budaya harus dikembangkan untuk menghadapi ke-tabuan bahwa matematika

adalah bidang studi yang universal dan berakulturasi.

Kaum ‘social constructivis’ memandang bahwa matematika merupakan

karya cipta manusia melalui kurun waktu tertentu. Semua perbedaan pengetahuan

yang dihasilkan merupakan kreativitas manusia yang saling terkait dengan

hakekat dan sejarahnya. Akibatnya, matematika dipandang sebagai suatu ilmu

Page 10: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

pengetahuan yang terikat dengan budaya dan nilai penciptanya dalam konteks

budayanya. Pengetahuan matematika sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan

budaya (Ernest, 1998). Tesis konstruktivis sosial adalah bahwa matematika

merupakan konstruksi sosial, sebuah produk budaya, bisa salah seperti cabang

pengetahuan lainnya. Pandangan ini memerlukan dua klaim. Pertama-tama, asal-

usul matematika adalah sosial atau budaya. Kedua, pembenaran pengetahuan

matematika bertumpu pada kuasi-empiris dasarnya.

Kaum humanis menggambarkan kelas yang terdidik dan berbudaya,

adalah kelas yang menghasilkan manusia berpendidikan, manusia yang

berbudaya, dan manusia yang berpendidikan dan berkebudayaan. Dengan

demikian tujuan pendidikan mereka adalah 'pendidikan liberal', yaitu transmisi

warisan budaya, terdiri dari ilmu pengetahuan dan beberapa bentuk kebudayaan

tradisional (Ernest, 1991). Sebuah perspektif relasional pada isu-isu keragaman

budaya dan ekuitas yang berada dalam pembelajaran matematika. "Belajar dalam

Konteks" yang terkait, dalam hal memungkinkan perpaduan pembelajaran

matematika dan budaya (Schoenfeld, 2005). Menurut Schoenfeld (2005) “dunia

budaya matematika” akan mendorong peserta didik untuk berpikir tentang

matematika sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari, meningkatkan

kemampuan peserta didik dalam membuat atau melakukan keterkaitan antar

konsep matematika dalam konteks berbeda, dan membangun pengertian di

lingkungan peserta didik melalui pemecahan masalah matematika baik secara

mandiri ataupun bersama-sama.

Ada tradisi pendidikan matematika yang kritis (Ernest 1991) dengan dua

set pemikiran utama yang mendasarinya. Pertama, pada sifat matematika itu

sendiri. Apakah alam kepastian matematika hanya terdiri dari objektivitas dan

bebas nilai pengetahuan? Atau ada cara lain dari membuat konsep matematika

dengan cara yang lebih manusiawi, berbudaya dan bersejarah? Kedua, adalah

pertanyaan tentang maksud dan tujuan belajar mengajar matematika. Apa dan

seperti apa yang seharusnya dari tujuan-tujuan pembelajaran matematika?

Tujuannya apa? Untuk siapa? Berdasarkan nilai-nilai apa? Bagaimana seharusnya

belajar matematika dapat memberdayakan peserta didik dalam kehidupan mereka

Page 11: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

dan dalam kaitannya dengan masyarakat? Bisakah memberikan penguatan

kewarganegaraan yang kritis melalui matematika dan memajukan keadilan bagi

semua masyarakat? Dari perspektif ini peserta didik harus mampu berpikir

matematis, dan dapat menggunakan pengetahuan matematika dan keterampilan

dalam hidup mereka untuk memberdayakan diri sendiri baik secara pribadi

maupun sebagai warga negara, dan melalui mereka diperluas perspektif, untuk

menghargai peran matematika dalam sejarah, budaya, dan dunia kontemporer.

Kemungkinan baru yang ditawarkan teknik visual yang baru telah

membuka cakrawala baru kepada matematikawan dan telah melebar mencakup

ide kebudayaan. Peran penting di dalamnya yang didedikasikan untuk aspek

visual matematika kontemporer, termasuk mungkin hubungan daya tarik artistik

kebudayaan. Frege (dalam Wilensky, 1993) menjelaskan bahwa matematika

awalnya lebih menekankan pada konteks kebenaran dan bukan konteks discovery

(penemuan), tetapi melalui komputerisasi konteks kebenaran itu lebih mengarah

pada penemuan. Perpaduan antara pembelajaran penemuan dan komputerisasi

akan membawa transformasi pembelajaran matematika menyatu dengan budaya.

Hal tersebut memang benar, pembelajaran matematika berbasis penemuan dan

komputerisasi akan membawa pebelajar lebih mengetahui koneksi antara

matematika dan kebudayaan. Sebagai contoh, melalui perpaduan teknologi

komputer berbasis software matematika dan ilmu trigonometri telah memberikan

khasanah baru dalam kebudayaan batik Indonesia. Membatik kini dapat dilakukan

dengan perpaduan tersebut. Walaupun pada level yang cukup rumit.

Barta (1995) menyatakan, jika dipikir-pikir secara tradisional, matematika

dan budaya tidak ada hubungannya satu sama lain, meskipun tidak benar. Anak-

anak jarang diceritakan tentang pengalaman beberapa matematikawan Yunani

kuno, seperti Pythagoras dan Thales, bagaimana pengalaman belajar mereka

untuk mendapatkan banyak pengetahuan matematika. Peserta didik hanya tahu

sedikit aplikasi matematika dalam kebudayaan. Mereka tidak mengerti karena

tidak diajarkan bahwa banyak kebudayaan telah memberikan kontribusi pada

pengembangan matematika, yaitu budaya yang dikembangkan oleh kelompok

masyarakat yang cerdas, banyak akal, dan kreatif. Matematika dapat dikatakan

Page 12: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

sebagai kompilasi dari penemuan progresif dan penemuan dari budaya di seluruh

dunia disepanjang sejarah.

Menurut Sam dan Ernest (dalam Suyitno, 2012) pendidikan matematika

memuat nilai yang dapat dikelompokkan atas tiga kategori, yaitu nilai

epistemologis, nilai sosial budaya, dan nilai personal. Nilai epitemologis adalah

nilai yang termuat bersama ujian dan tugas-tugas, karakteristik matematika, aspek

proses belajar mengajar matematika (ketelitian, rasional, sistematis, logis, kritis).

Nilai sosial budaya adalah nilai yang mendukung masyarakat dan yang sangat

memperhatikan tugas individual kepada masyarakat yang dikaitkan dengan

pendidikan matematika. Nilai personal adalah nilai sikap individu sebagai

pembelajar dan pribadi seperti keyakinan diri, kesabaran, dan kreatifitas (Suyitno,

2012).

b. Integrasi Nilai Budaya Bangsa dalam Tujuan Pembelajaran Matematika

Bishop (1993) menjelaskan pengaruh utama pada peserta didik matematika akan

datang melalui empat pilar berikut- kurikulum pelajaran matematika, pola

penilaian hasil belajar, peran guru guru dan metode pengajarannya, dan materi

pembelajaran yang dikaitkan sumber daya yang tersedia. Tidak ada alasan a priori

sama sekali mengapa kurikulum matematika harus sama di semua negara.

Pembelajaran matematika di sekolah dapat dipertimbangkan dalam cara yang

mirip dengan bidang seni, sejarah, dan agama, di mana tidak ada keharusan untuk

kurikulum harus sama dalam masyarakat yang berbeda. Demikan halnya di

Indonesia sekolah sebagai pusat pengembangan budaya tidak terlepas dari nilai-

nilai budaya yang dianut oleh suatu bangsa. Bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai

budaya yang bersumber dari Pancasila, sebagai falsafah hidup berbangsa dan

bernegara, yang mencakup religius, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan

keadilan. Nilai-nilai ini dijadikan dasar filosofis dalam pengembangan kurikulum

sekolah (Kemendiknas: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum,

2010).

Tujuan pembelajaran matematika di sekolah dalam PPPPTK Matematika

Kemendikbud (2011): matematika diajarkan di sekolah membawa misi yang

Page 13: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

sangat penting, yaitu mendukung ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Secara

umum tujuan pendidikan matematika di sekolah dapat digolongkan menjadi :

1. Tujuan yang bersifat formal, menekankan kepada menata penalaran dan

membentuk kepribadian peserta didik

2. Tujuan yang bersifat material menekankan kepada kemampuan memecahkan

masalah dan menerapkan matematika.

Secara lebih terinci, tujuan pembelajaran matematika dipaparkan pada

buku standar kompetensi mata pelajaran matematika sebagai berikut:

1. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya

melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan

kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi.

2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan

penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin

tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.

4. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau

mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik,

peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan.

Tujuan pembelajaran tersebut secara umum sejalan dengan pendapat

Bishop (2001) dalam kaitannya dengan budaya perilaku manusia yaitu manusia di

manapun dan sepanjang waktu telah menggunakan matematika. Biasanya,

matematika dapat diamati dalam enam perilaku universal berikut: menghitung,

mengukur, menemukan, merancang, menjelaskan, dan bermain. Perilaku ini

mencerminkan budaya orang-orang yang melakukan hal tersebut dan mau tidak

mau dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipegang oleh budaya itu. Sayangnya,

sedikit yang diketahui atau yang telah disampaikan tentang nilai-nilai budaya oleh

para guru matematika (Bishop, 2001). Nilai-nilai budaya dapat diintegrasikan

melalui tujuan pembelajaran tersebut. Dari tujuan itu ada nilai-nilai budaya yang

diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik dalam pembelajaran matematika,

melalui kegiatan eksplorasi, kreatifitas, memecahkan masalah, dan menyampaikan

gagasan dalam pembelajaran matematika, nilai yang dapat dikembangkan seperti

Page 14: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, demokratis, semangat Kebangsaan, cinta

tanah air, tertib, setia kawan, harmoni, rukun, harga diri, tenggang rasa, ramah

tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan kreatif.

Pendidikan nasional antara lain bertujuan mewujudkan learning society

dimana setiap anggota masyarakat berhak mendapatkan pendidikan (education for

all) dan menjadi pembelajar seumur hidup (longlife education). Empat pilar

pendidikan dari UNESCO dalam (Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat

Kurikulum, 2007): yaitu learning to know, learning to do, learning to live

together, dan learning to be.

Impelementasi dalam pembelajaran matematika terlihat dalam

pembelajaran dan penilaian yang sifatnya learning to know (fakta, skills, konsep,

dan prinsip), learning to do (doing mathematics), learning to be (enjoy

mathematics), dan learning to live together (cooperative learning in

mathematics). Mempelajari kecenderungan pembelajaran matematika saat ini,

penerapan keempat pilar UNESCO, serta pentingnya penguasaan kompetensi

matematika untuk kehidupan peserta didik, juga telah dikeluarkan Standar

Kompetensi Lulusan (SKL) oleh Pemerintah melalui Permen 23 Tahun 2006

dalam (Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2007). Adapun

SKL untuk mata pelajaran matematika adalah:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan

tepat, dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi

yang diperoleh.

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah.

Page 15: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu

memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,

serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Konsep modern budaya telah memperoleh pengertian lebih umum, yaitu

bahwa hal itu tidak hanya mengacu pada pengertian makro-dari berbagai

peradaban manusia seperti tradisi budaya yang unik di berbagai daerah, negara

dan ras, tetapi juga mengacu pada karakteristik khusus "gaya hidup" dan "cara

kerja" dalam berbagai komunitas. Pemahaman semacam ini, kita harus dengan

jelas menegaskan bahwa fakta yang berbeda dari budaya kelompok, seperti

kelompok orang dewasa memiliki budaya yang berbeda atau bahkan anak-anak

pada usia yang berbeda juga memiliki budaya sendiri-sendiri, sehingga semua

bisa mengembangkan bentuk-bentuk khusus matematika dari budaya mereka

sendiri.

Mengintegrasikan materi dari budaya yang berbeda ke dalam kurikulum,

dan kemudian membuat evaluasi yang benar dari semua peserta didik dengan latar

belakang budaya yang berbeda, serta meningkatkan kepercayaan diri setiap orang

dan belajar untuk menghormati semua kelompok etnis dan budaya, akan sangat

membantu peserta didik beradaptasi dengan lingkungan multiculture. Ini jelas

rasional untuk menyusun kurikulum matematika dengan mengiintegrasikan nilai

matematika yang melekat dalam budaya masyarakat (Zang et al, 2010). SKL mata

pelajaran matematika merupakan kerangka acuan penyusunan evaluasi hasil

belajar matematika, maka sudah seharusnyalah bentuk evaluasi hasil belajar

matematika yang mendasar pada SKL itu harus disesuaikan dengan karakteristik

budaya setempat dengan menempatkan atau mengintegrasi persoalan matematika

yang berkaitan dengan budaya masyarakat untuk lebih memantapkan pemahaman

peserta didik tentang kaitan nilai budaya dan materi pembelajaran matematika

secara kontekstual (Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2007).

Dalam evaluasi hasil belajar, peserta didik pun dapat mengembangkan

nilai budaya jujur, mandiri, bertanggung jawab yang dapat tercermin dari

penanaman sikap untuk tidak mencontek. Dengan evaluasi yang mengembangkan

budaya bangsa, peserta didik dapat mengetahui kegunaan matematika dalam

Page 16: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

pengembangan hasil budaya. Soal-soal yang diajukan mengacu pada tahapan

Taksonomi Bloom-Revisi, pada tahap mengaplikasikan peserta didik diberi soal

penerapan materi pembelajaran pada salah satu hasil budaya bangsa, seperti soal

terapan keliling lingkaran dalam pembuatan Kalosara dari bahan rotan (budaya

Tolaki, Sulawesi Tenggara), melalui evaluasi semacam ini akan menumbuhkan

nilai cinta tanah air dan semangat kebangsaan peserta didik.

c. Integrasi Nilai Budaya Bangsa dalam Pembelajaran Matematika

Proses pembelajaran matematika mengikuti paradigma konstruktivisme sosial.

Salah satu implikasi pedagogis sosial konstruktivisme adalah proses belajar harus

secara eksplisit memasukkan nilai-nilai yang terkait dengan matematika dan

penerapannya di masyarakat atau sosial, sementara itu, peserta didik harus

menghormati pesan sosial dalam kurikulum matematika dan harus memiliki

keyakinan, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dipahami oleh komunitas

pengguna matematika (Suyitno, 2011).

Konstruktivisme sosial mengidentifikasi matematika sebagai lembaga

sosial, akibat masalah manusia dan pemecahannya. Matematika mungkin unik di

tempat pusat permasalahan, yang belum terpecahkan, tetapi menarik untuk ribuan

tahun kemudian mungkin akan terpecahkan. Seringkali teknik tertentu dirancang

untuk memecahkan manusia yang mewakili kemajuan besar dalam matematika.

Jadi masalah ini juga berfungsi sebagai titik pertumbuhan untuk matematika

(Ernest, 1991). Mengingat bahwa sebagian besar dari matematika adalah masalah

manusia dan usaha pemecahannya, maka matematika adalah suatu kegiatan yang

dapat diakses oleh semua orang, dengan konsekuensi penting yang mengikuti

perkembangan pendidikan. Ini suatu konsekuensi, yang juga tergantung pada

nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ditetapkan, meliputi:

1) Matematika di sekolah: harus terpusat pada kepedulian manusia pada

pemecahan masalah matematika dalam kehidupan.

2) Penemuan dan penyelidikan harus menempati tempat sentral dalam kurikulum

matematika.

Page 17: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

3) Fakta bahwa matematika adalah konstruksi manusia bisa keliru dan harus

berubah secara eksplisit dan diwujudkan dalam kurikulum matematika

sekolahan.

4) Pedagogi yang digunakan harus proses penyelidikan yang terfokus.

Broomes dan Kuperus (1983) menjelaskan pendekatan pembelajaran

matematika yang terintegrasi nilai budaya yakni pembelajaran yang

mengembangkan kegiatan berikut:

a) membawa kurikulum matematika lebih dekat dengan aktivitas kehidupan

masyarakat dan dengan kebutuhan dan aspirasi individu;

b) mengintegrasikan lembaga pendidikan, secara vertikal dan horizontal, ke

masyarakat sehingga output dari lembaga pendidikan tersebut lebih

disesuaikan dengan pola hidup dan pola kerja masyarakat setempat;

c) mendistribusikan pola pengajaran dalam ruang, waktu, dan bentuk dengan

pengalaman yang ditemukan di masyarakat dan dalam kehidupan sehari-hari;

d) memperluas kurikulum sekolah sehingga mencakup, pengetahuan sosial

ekonomi, teknis dan keterampilan.

Dalam menerapkan strategi ini, menurut Broomes (1981) guru harus

menimbulkan masalah kepada peserta didik dan masalah ini harus:

a) penuh dengan pengalaman budaya pelajar;

b) tidak semata-mata bersifat praktis;

c) menggambarkan terapan matematika yang digunakan;

d) lebih efisien jika masalah tersebut diselesaikan dengan cara matematis;

e) tidak membuat tuntutan matematik yang berlebihan (dalam hal tingkat

kecanggihan matematika);

f) menyediakan ruang yang luas untuk kegiatan kerjasama antar peserta didik

pada berbagai tingkat kompetensi matematika.

Pembelajaran Geometri dapat mengembangkan nilai budaya cinta tanah air

dan semangat kebangsaan, peserta didik diperkenalkan berbagai produk budaya

warisan leluhur kita menampakkan kreativitas seni yang mengandung unsur

matematika. Contohnya pada motif batik yang mengandung bentukan geometri

Page 18: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

dua dimensi, ornamen ukiran maupun bentuk arsitektur pada rumah adat yang

mengandung bentukan geometri tiga dimensi.

Berpikir kreatif matematis yang terintegrasi dengan budaya juga dapat

muncul pada perilaku yang ekonomis. Konsep hitung matematika melalui

program linier untuk menentukan titik kritis sekaligus sebagai pertemuan

beberapa variabel dapat menjadi solusi ketika banyak kebutuhan yang harus

dipenuhi tetapi dana terbatas. Perhitungan matematika disini menjadi alternatif

pemecahan masalah. Manusia muncul kreativitasnya untuk memenuhi kebutuhan

dengan dana yang terbatas.

Pada pembelajaran Permutasi dapat dikembangkan budaya tertib.

Berdasarkan sifat permutasi yang memperhatikan urutan yakni BAAB , urutan

berbeda dianggap berbeda. Peserta didik diberi pemahaman melalui contoh

budaya antri diloket apotek, bahwa urutan antrian mempengaruhi proses

pelayanan. Jika seseorang berada di nomor antrian tiga, akan lain ceritanya dan

dapat mengganggu antrian lain jika orang tersebut ingin didahulukan. Urutan antri

yang berbeda menimbulkan pola pelayanan yang berbeda pula.

Permainan tradisional anak-anak juga dapat menjadi media pembelajaran

penyalur nilai budaya, mengingat semakin majunya dunia teknologi yang

menyebabkan kecenderungan anak untuk bermain dengan permaian yang lebih

modern dan melupakan permainan tradisional yang tak kalah menariknya. Dalam

pembelajaran materi Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat dapat

diajarkan dengan media Dakon yang dimodifikasi (Legowo, 2006), sebagai

contoh -6 + 9, media Dakon yang digunakan seperti gambar berikut:

Melalui pembelajaran dengan media Dakon yang dimodifikasi dapat

menumbuhkan nilai budaya tradisional, cinta tanah air melalui permainan budaya

lokal.

Page 19: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan pola

pendekatan pembelajaran yang dapat mengintegrasikan nilai-nilai budaya dalam

prosesnya. Dalam Basic Skills as a Foundation for Student Success in the

California Community Colleges (dalam Baker et al, 2009), mendefinisikan CTL

sebagai strategi yang menjanjikan yang secara aktif melibatkan para siswa dan

pengembangan keterampilan sebagai hasil pembelajaran dalam kehidupan sehari-

hari. United States Department of Education Office of Vocational and Adult

Education (2001) (dalam Baker et al, 2009) menyatakan bahwa CTL sebagai

"konsepsi pengajaran dan pembelajaran yang membantu guru menghubungkan isi

mata pelajaran dengan situasi dunia nyata". Menggarisbawahi pentingnya CTL,

pendidik mengembangkan pembelajaran berdasarkan materi yang berkaitan pada

sumber daya masyarakat dan dari pengalaman siswa di diterapkan dalam

kehidupan sosial budaya masyarakat. Pengetahuan menjadi tidak terbatas pada

apa yang siswa pelajari pada materi tertentu saja, tetapi juga orientasi budaya dan

pandangan pribadi dari diri mereka sendiri dan dunia. Johnson dalam Supinah

(2008) menjelaskan CTL merupakan suatu proses pengajaran yang bertujuan

untuk membantu siswa memahami materi pelajaran yang sedang mereka pelajari

dengan menghubungkan pokok materi pelajaran dengan penerapannya dalam

kehidupan sehari-hari.

Pendekatan CTL ini tentunya dapat diterapkan dalam pembelajaran

matematika. Misalnya dalam pembelajaran Sistem Persamaan Linear Dua

Variabel (SPLDV), guru dapat mengaitkan dengan persoalan sehari-hari yang

sering dihadapi oleh peserta didik seperti diketahui harga 2 buku tulis dan 3

bolpoin adalah Rp 5.200,00, sedangkan harga 4 buku tulis dan dua bolpoin adalah

Rp 6.800,00. Tentukan harga sebuah buku tulis dan harga sebuah bolpoin!

Permasalahan tersebut akan membawa peserta didik dalam situasi nyata budaya

sosial ekonomi masyarakat. Secara implisit melalui pembelajaran itu siswa

diajarkan budaya jujur dalam transaksi jual beli dan rasa keadilan melalui proses

penyelesaian SPLDV dengan metode eliminasi/subtitusi.

Beberapa permainan tradisional anak-anak (dakon, jamuran, cublak-cublak

suweng, dll) juga mengandung muatan konsep himpunan, himpunan bagian. Guru

Page 20: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

juga dapat mengajarkan konsep relasi dan fungsi. Konsep budaya pembagian

warisan juga merupakan unsur pembelajaran pecahan. Dalam hal ini, pemanfaatan

budaya lokal dalam pembelajaran matematika merupakan salah satu bentuk

perancangan pembelajaran yang kreatif untuk menghasilkan pembelajaran yang

bermakna secara kontekstual (Kusmaryono, 2012).

Nilai budaya juga dapat diintegrasikan melalui penjelasan sejarah singkat

tentang suatu materi pembelajaran matematika, seperti metode logaritma pertama

kali dipublikasikan oleh matematikawan Scotlandia, yaitu John Napier pada 1614

dalam bukunya yang berjudul Mirifici Logarithmorum Canonis Descriptio.

Metode ini memberikan kontribusi yang besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan,

salah satunya pada bidang astronomi dengan menjadikan perhitungan rumit

menjadi mudah. Selain nilai karakter yang diharapkan, yakni: kreatif, rasa ingin

tahu, dan menghargai prestasi, secara implisit juga menunjukkan kepada siswa

betapa budaya matematika terus tumbuh dan berkembang dari waktu lampau

hingga saat ini. Budaya matematikawan terdahulu yang menemukan konsep-

konsep matematika sebagai suatu hasil kebudayaan.

Contoh unik dari seorang guru matematika pada acara Hitam Putih Trans

7. Pak Juli Eko Sarwono, seorang guru matematika dari SMP Negeri 19

Purworejo. Beliau benar-benar Guru. Sosok guru yang jumlahnya hanya sedikit di

negeri ini. Beliau adalah seorang guru matematika unik yang menerapkan model

pembelajaran kontekstual di tiap kegiatan pembelajaran yang dilakukannya. Ia

menggunakan ‘boneka jelangkung’ untuk mengajarkan materi gradien garis lurus,

menngunakan lidi sebagai alat belajar segitiga, menggunakan 'empeng' bayi untuk

mengingatkan siswa pada lingkaran, menggunakan kaleng minuman bekas untuk

menentukan volume tabung, menggunakan topi caping sebagai media belajar

kerucut. Bahkan, guru yang hanya lulusan Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan

Pertama (PGSLP) tahun 1986 itu mengaku kerap memasukkan sepeda motornya

ke dalam kelas sebagai media belajar siswa. Sepeda motor itu, ia jadikan contoh

ketika Juli mengajarkan tentang lingkaran dan benda tabung. “Mereka praktik

sendiri, mengukur sepeda motor saya, dan akhirnya menerapkan rumus

matematika untuk menghitung,” ucapnya. Mengajar dengan cara seperti Pak Eko

Page 21: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

bukan tanpa tantangan. Saat mengawali metode itu beberapa tahun silam, rekan

sekerja melayangkan protes. Setiap kali usai mengajarkan matematika, ia meminta

murid menempelkan hasil perhitungan berbagai rumus di tembok kelas. Selain itu,

alat peraga juga dianggap bikin sumpek dan mengotori ruang kelas. Ia juga pernah

dianggap sebagai guru ‘edan’ lantaran cara mengajar yang dinilai aneh. Di

sekolah tempat pak Eko bertugas nilai siswa dalam mata pelajaran menjadi baik

setelah diterapkan model itu. Respon siswapun akhirnya positif pada

pembelajaran yang dilakukan1. Contoh tersebut jelas merupakan contoh

pengintegrasian nilai budaya dalam pembelajaran matematika melalui benda-

benda kontekstual dan tradisional.

Pengembangan kreativitas peserta didik yang dilakukan melalui integrasi

matematika dan budaya bermakna pendidikan untuk menumbuhkan kemampuan

peserta didik mengembangkan warisan budaya unggul sesuai konteks masa kini

menggunakan basis keterampilan berpikir kreatif matematis. Berpikir kreatif yang

dikembangkan melalui integrasi matematika dan budaya bercirikan logis, rasional,

imajinatif yang disertai dengan rasa estetika.

C. Simpulan

Dari uraian pembahasan maka dapat disimpulkan:

1. Nilai-nilai budaya bangsa tidak lepas dari nilai karakter bangsa. Nilai-nilai

budaya bangsa yang dikembangkan antaralain: (1) Religius, (2) Jujur, (3)

Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8)

Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta

Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta

Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, &

(18) Tanggung Jawab. Selain itu nilai-nilai budaya bangsa juga meliputi

taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun, disiplin, harga

diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan

1 Perbicangan Juli Eko Sarwono dan Deddy Corbuzier pada Acara Hitam-Putih, Trans7: Rabu, 29

Februari 2012

Page 22: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

kreatif. Selain nilai-nilai tersebut integrasi nilai budaya bangsa juga melalui

pengenalan benda-benda bersejarah dan tradisional yang terkait dengan

pembelajaran matematika.

2. Integrasi nilai budaya bangsa dalam pembelajaran matematika perlu didasari

pemahaman tentang nilai budaya bangsa, nilai matematika, pembelajaran

matematika, kaitan matematika dan kebudayaan. Proses pengintegrasian itu

tentunya dimulai dari tujuan pembelajaran matematika yang tercantung dalam

kurikulum pendidikan nasional, sehingga ditiap jenjang pendidikan nilai-nilai

budaya bangsa itu dapat terintegrasi dengan baik. Perlu kinerja guru secara

kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran matematika dengan

berbagai upaya pendekatan, model, dan metode sehingga nilai-nilai budaya

bangsa dapat diterima oleh siswa selain materi pembelajarannya.

Referensi:

Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2007. Kajian Kebijakan

Kurikulum Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Kementerian

Pendidikan Nasional.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian

Pendidikan Nasional.

Baker, E. et al. 2009. Contextualized Teaching & Learning: A Faculty Primer.

California: Spring.

Barta, J. 1995. Reconnecting Math and Culture in the Classroom:

Ethnomathematics. Mathematics in School, Vol. 24, No. 2.

Bishop. 1993. Influences From Society. Significant Influences On Children's

Learning Of Mathematics. Science and Technology Education

Document Series (Ed. Bishop, Kathleen Hart). Paris: UNESCO.

Bishop. 2001. What Values Do You Teach When You Teach Mathematics?

Teaching Children Mathematics (Ed. Anne Reynolds dan Jim

Dorward). Australian Research Council and Jointly Conducted by

Monash University.

Page 23: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

Bishop. 2008. Values in Mathematics and Science Education: Similarities and

Differences. The Montana Mathematics Enthusiast, Vol. 5 No.1. The

Montana Council of Teachers of Mathematics & Information Age

Publishing.

Bonotto. How To Innovate Mathematics Teaching Taking Social and Cultural

Changes Into Account. Italy: Department of Mathematics University of

Padova.

Broomes, D. 1981. Goals Of Mathematics For Rural Development. Studies In

Mathematics Education Vol. 2 (Ed. Robert Morris). Paris: UNESCO.

Broomes, D. & Kuperus, P.K. 1983. Problems Of Defining The Mathematics

Curriculum In Rural Communities. Proceedings Of Fourth

International Congress On Mathematical Education (Ed. M.Zweng,

T.Green, J.Kilpatrick, H.Pollak & M.Suydam). Boston: Birkhauser.

D’Ambrosio. 2004. Ethnomathematics. Ethnomathematics and Mathematics

Education (Ed. Franco Favilli, 2004). Pisa: Tipografia Editrice Pisana

Copenhagen.

D’Ambrosio. 2006. Ethnomathematics: Link Between Traditions and Modernity.

Rotterdam: Sense Publisher.

Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London:

RoutledgeFalmer.

Ernest, P. 1998. Social Constructivism As A Philosophy Of Mathematics. New

York: Suny Press

Ki Hadjar Dewantara. 1961. Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan. (Digital

Library Teknologi Pendidikan Unesa, http://blog.tp.ac.id, diunduh 15

November 2012).

Ki Hadjar Dewantara. 1967. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II Kebudayaan.

(Digital Library Teknologi Pendidikan Unesa, http://blog.tp.ac.id,

diunduh 15 November 2012).

Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi.

(http://www.belbuk.com/pengantar-ilmu-antropologi-edisi-revisi-p-

1720.html, diunduh 21 November 2012 )

Kusmaryono, I. 2012. Pengembangan Pembelajaran Matematika Kontekstual

Edutainment Berbasis Budaya Lokal Di Daerah Bencana. Makalah

Seminar Kemendikbud Dikti 25 s/d 27 September 2012.

Page 24: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

Legowo, S. 2006. Penggunaan Alat Permaianan Dakon Untuk Meningkatkan

Penguasaan Konsep Operasi Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan

Bulat Di SD Sompok 03 Semarang. Jurnal Widya Tama, Vol 3, No. 1.

Nicol, C. 2010. Investigating Culturally Responsive Mathematics Education.

Columbia: University of British Columbia.

PPPPTK Matematika Kemendikbud. 2011. Peran, Fungsi, Tujuan, dan

Karakteristik Matematika Sekolah. (http://p4tkmatematika.org, diunduh

16 November 2012).

Rosa, M. & Orey, D. C. 2011. Ethnomathematics: The Cultural Aspects Of

Mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, Vol. 4, No.

2.

Schoenfeld, A. 2005. Mathematics Teaching And Learning. California: University

of California.

Supinah, dkk. 2008. Pembelajaran Matematika SD dengan Pendekatan

Kontekstual dalam Melaksanakan KTSP. Yogyakarta: Departemen

Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik

dan Tenaga Kependidikan Matematika.

Supinah. 2011. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Melalui

Pembelajaran Matematika Di SD. Jakarta: Badan Pengembangan

Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan

Kementerian Pendidikan Nasional.

Suyitno, H. 2011. Value’s of Mathematics Education and Citizenship Education.

This paper has been presented at International Seminar and the Fourth

National Conference on Mathematics Education 2011 “Building the

Nation Character through Humanistic Mathematics Education”.

Department of Mathematics Education, Yogyakarta State University,

Yogyakarta, July 21-23 2011.

Suyitno, H. 2012. Nilai-Nilai Pendidikan Matematika bagi Pembentukan

Karakter Bangsa. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional

Jurusan Matematika Universitas negeri Semarang pada tanggal 13

Oktober 2012.

Wilensky, J. 1993. Connected Mathematics-Building Concrete Relationship With

Mathematical Knowledge. Massachusetts: Massachusetts Institute Of

Technology.

Page 25: Integrasi nilai budaya pada pembelajaran matematika

Zang, W. et al. 2010. Ethnomathematics and Its Integration Within The

Mathematics Curriculum. International Journal of Mathematics

Education. Vol. 3, No. 1.