integrasi ilmu, mulyadhi (revisi)

19
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 1 MENGINTEGRASIKAN KONSEP ILMU AGAMA DAN SAINS MODERN Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara Oleh: Moh. Sholeh Afyuddin (14720032) Pendidikan Bahasa Arab (B) [email protected] UIN Maulana Malik Ibrahim Pascasarjana Malang, Jawa Timur Abstract Dichotomy of science and religion is urgent to be discussed. Both of them are absolutely two combinations to reach Allah. The point of integration is on faith that Alquran and nature are signs of Allah. They confirm the existence of Allah. When we have admitted and accepted the existence of Allah, we must accept the existence of all mystical (non-physic) things as the true reality and having the right ontology, because Allah is the independent reality who lends realities else to all objects in the world and the sky. All things, physic or non physic, are same and one. As the same things in same functions, they must get attention as a priority in an observation of scientific, without any reduction at one of which. Western scientists only confess the correctness of physical object, out of it is unbelievable because it cannot be proven by sense and so much closer to the subjectivity. Western regard on intuition as unacceptable source so, because it is closer to hallucination. Intuition can be accepted when supported by logical data, but not totally. In Islamic faith, rejecting the intuition is in the same way to repel the messenger of Allah. Kata Kunci: dikotomi, integrasi, sains, agama.

Upload: sholehafif

Post on 22-Dec-2015

64 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Konsep integrasi Ilmu Agama dan Sains Modern yang diusung oleh Mulyadhi Kartanegara. Ia menyebut Alquran sebagai Ayat Qauliyah sedangkan alam semesta sebagai Ayat Kauniyah, keduanya adalah kombinasi yang harus dikaji bersama dalam upaya membangun Tauhid yang kuat.

TRANSCRIPT

Page 1: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 1

MENGINTEGRASIKAN

KONSEP ILMU AGAMA DAN SAINS MODERN

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara

Oleh:

Moh. Sholeh Afyuddin (14720032)

Pendidikan Bahasa Arab (B)

[email protected]

UIN Maulana Malik Ibrahim Pascasarjana

Malang, Jawa Timur

Abstract

Dichotomy of science and religion is urgent to be discussed. Both of

them are absolutely two combinations to reach Allah. The point of

integration is on faith that Alquran and nature are signs of Allah.

They confirm the existence of Allah. When we have admitted and

accepted the existence of Allah, we must accept the existence of all

mystical (non-physic) things as the true reality and having the right

ontology, because Allah is the independent reality who lends realities

else to all objects in the world and the sky. All things, physic or non

physic, are same and one. As the same things in same functions, they

must get attention as a priority in an observation of scientific, without

any reduction at one of which. Western scientists only confess the

correctness of physical object, out of it is unbelievable because it

cannot be proven by sense and so much closer to the subjectivity.

Western regard on intuition as unacceptable source so, because it is

closer to hallucination. Intuition can be accepted when supported by

logical data, but not totally. In Islamic faith, rejecting the intuition is

in the same way to repel the messenger of Allah.

Kata Kunci: dikotomi, integrasi, sains, agama.

Page 2: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 2

A. Pendahuluan

Harun Yahya menulis:

“What we have covered so far shows us that the atribute of the universe

discovered by science point to the existence of Allah. Science leads us to the

conclusion that the universe has a creator and this creator is perfect in might,

widsom and knowledge. It is religion that shows us the way in knowing Allah. It is

therefore possible to say that science is a method we use to better see and

investigate the realities addressed by religion. Nevertheless, today, some of the

scientists who step forth in the name of science take an entirely different stand. In

their view scientific discoveries do not imply the creation of Allah. They have, on

the contrary, projected an atheistic understanding of science by saying that it is

not possible to reach Allah through scientific data: they claim that science and

religion are two clashing notions.1

Jelas sekali di atas, pernyataan Harun Yahya seorang peneliti Muslim yang

telah lama bergelut dalam bidang pembuktian kebenaran firman Allah dalam

Alquran dengan kebenaran ilmiah yang diusung sains modern. Dalam

epistemologi Islam tidak bisa dipungkiri keterlibatan agen lain dalam setiap hal-

hal yang terjadi di alam semesta ini. Bagaimanapun, sejak dari keyakinan muslim,

akan diyakini wujudnya dan status ontologis dari objek-objek yang non-fisik

(gaib). Berkebalikan dengan itu pandangan ilmuwan barat yang tetap berpegang

kukuh pada validitas dan status ilmiah hanya dimiliki oleh objek yang bisa diteliti

secara inderawi. Bahkan mereka berkata: tidak mungkin untuk mengambil bukti

eksistensi Allah dalam data-data ilmiah sains modern.

Permasalahan ini menyebabkan dikotomi ilmu yang sedemikian rupa.

Dikotomi ini berawal dari keraguan ilmuwan barat dan kesulitan mereka untuk

menerima dan mengakui adanya objek lain selain inderawi. Sedangkan dalam

epitemologi Islam, semua objek, baik fisik, imajinal, matematik, ataupun

metafisik adalah sah dan memiliki status ontologis yang solid, berhak untuk dikaji

dan memiliki status ilmiah.

1 Harun Yahya. Allah Is Known Through Reason: 64. Al-Risala The Islamic Centre New Delhi 2002

Page 3: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 3

Mempelajari konsep integrasi memang sangatlah penting, terutama bagi

umat Islam yang tidak hanya berkewajiban mempelajari ilmu sekuler saja, tetapi

juga ilmu agama Islam. Dan sebenarnya, integrasi atau perpaduan ilmu sekuler

dan ilmu agama tidak hanya sebatas ilmu saja, ada yang mengatakan itu adalah

interpretasi dari norma atau nilai-nilai yang harus dimiliki manusia, selain

pengetahuan. Seperti yang dikatakan Einsten: Sains tanpa agama adalah buta,

sedangkan agama tanpa sains adalah pincang.

Perlunya membahas integrasi adalah agar memunculkan sebuah pemahaman

bahwa ilmu agama terpaut erat dengan perkembangan sains modern. Dan

perpaduan keduanya akan mengantarkan seseorang kepada kebenaran sejati yang

bisa membawakan kebahagiaan baik di dunia dan ahirat. Karena, pada dasarnya

semuanya mengarah kepada Tauhid. Berhenti membahas hanya pada sisi fisik dari

suatu objek adalah sama halnya dengan membahas objek itu secara tidak

menyeluruh. Maka ini akan sangat bertentangan dengan prinsip ilmiah yangharus

membahas semuanya secara integral tanpa meninggalkan satupun.

Menurut sebagian ilmuwan barat, alam jika dikaji semakin dalam, maka

akan semakin menguak rahasia-rahasia besar, yang tidak cukup hanya diamati

secara fisik, tetapi akan membimbing pada indikasi-indikasi terhadap hal-hal

lainnya. Bahkan ilmuwan itu berkata: akan membutuhkan instrument metafisik

untuk dapat membuktikan indikasi itu.

Dari sedikit penjelasan di atas, setidaknya terbuka suatu gambaran sistem

yang harus memadukan antara ilmu agama dan ilmu umum, dimana keduanya

bukanlah eksklusif, tetapi saling melengkapi dan harus dipelajari bersama-sama.

Terlepas dari pembahasan status ontologis dan ilmiah ilmu agama yang dianggap

sangat rawan dari unsur subjektif, yang akan kita bahas di bawah nanti.[]

Page 4: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 4

B. Pembahasan

1. Problem Dikotomi Ilmu

Dikotomi ilmu ke dalam ilmu agama dan non-agama, sebenarnya telah

terjadi sejak ratusan tahun silam, sejak keilmuwan Barat mulai dikenalkan ke

dunia Islam dan memberikan suatu pandangan yang menyudutkan dari kaum

Barat terhadap ilmu-ilmu agama. Mereka menyebut validitas ilmu agama sebagai

hal yang tidak bisa dianggap sebagai kebenaran ilmiah, karena ilmu agama

banyak membicarakan hal-hal gaib. Sedangkan ilmu barulah bisa dinggap ilmiah

jika objek-objeknya bersifat empiris.

Hal ini berdampak pada lembaga-lembaga pendidikan. Banyak ditemukan

dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sains umum. Matematika, fisika,

biologi, dipisahkan dari ilmu tafsir quran, hadist, fiqih, dll. Seakan-akan muatan

religius tidak terdapat kecuali dalam ilmu-ilmu agama tersebut.

Segala yang terdapat di alam semesta ini adalah ayat (bukti/tanda) yang

mengafirmasi keberadaan Allah swt, dimana Ia berperan sebagai pencipta

sekaligus pengatur atas segalanya. Seharusnya dengan mendalami bidang

keilmuwan tentang alam baik melalui matematika, fisika atau biologi, kita akan

semakin didekatkan kepada kebenaran firman Allah swt tentang hal-hal gaib yang

dikabarkan melalui Alquran. Bahkan hal-hal gaib yang tidak mungkin diindera itu

akan dapat menanamkan sebuah keyakinan yang kuat terhadap entitas-entitas gaib

yang disampaikan Alquran. Bukan sebaliknya, seperti yang terjadi pada para

ilmuwan barat yang cenderung menolak Tuhan justru setelah mempelajari alam

dengan seksama, karena mereka hanya mendasarkan pengetahuannya pada fakta-

fakta empiris dan menerapkan hukum kausalitas, tanpa mempertimbangkan

keberadaan Dzat di balik semua itu.

Permasalahan ini secara otomatis berdampak pula kepada dikotomi sumber

pengetahuan. Umat Islam yang membenarkan secara mutlak apa yang

disampaikan kitab suci mengatakan bahwa akal tidak akan mampu memberikan

sebuah kebenaran, bahkan setinggi-tingginya kemampuan nalar adalah filsafat,

yang dipandang terlalu spekulatif. Pencerapan indera juga masih sering

disangsikan validitas dan efektifitasnya. Sebagaimana yang pernah dilakukan Al-

Page 5: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 5

Ghazali dalam penyelidikanya tentang al yaqin. Beliau berangkat dengan

mengamati dari indera penglihatan, memperhatikan bayangan yang mulanya

tampak diam, tetapi sejam kemudian bayangan itu bergerak dan berpindah.2

Ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang

diperoleh melalui pengamatan inderawi. Bagi mereka objek-objek ilmu yang

dianggap sah adalah yang bersifat observable (yang bisa diamati oleh indera).

Betapapun rasionalnya argument yang mendukung objek-objek metafisik tetaplah

dianggap bukan ilmiah selama tidak bisa diamati oleh indera, dan ini juga berlaku

pada sumber ilmu yang bersifat non-empiris.3 Adapun pengalaman intuitif dalam

kajian filsafat Barat belum sepenuhnya diterima sebagai sumber pengetahuan,

diterimanya masih pada tahap mungkin. Filosof Barat menyatakan intuisi

bukanlah metode yang aman untuk dipakai, karena ia mudah tersesat dan

mendorong ke pengakuan-pengakuan yang tidak masuk akal. Karena itu

kebenaran intuisi bisa diterima – tetapi tidak mutlak – apabila telah ditopang

dengan data-data indera dan konsep-konsep akal.4 Sedangkan bagi para

agamawan, hati adalah sumber ilmu yang sangat mulia, karena Nabi juga

memperoleh pengetahuan dan firman Allah melalui jalan ini. Begitu pentingnya

sumber ilmu ini, maka penolakan terhadapnya akan berimbas pada peruntuhan

terhadap pondasi utama bagi kepercayaan kita kepada kenabian. Ibn Arabi

menyatakan bahwa kebenaran intuisi lebih unggul dari indera atau rasio. Indera

memang bisa menjadi sumber kebenaran tetapi ia masih terbatas pada apa yang

tampak (mahsusat) yang masih sangat rentan salah dan tidak mampu menjangkau

yang transenden. Indera atau rasio baru pada tahap mendekati hakikat, dan belum

pada taham mencapai hakikat itu.5

Maka bagi ilmuwan muslim metafisika adalah mahkota ilmu, sedangkan

bagi ilmuwan barat justru fisika yang mereka pandang sebagai the science.

Perhatian yang intens dari sains modern terhadap ilmu-ilmu empiris secara

langsung membuat ilmu-ilmu non-empiris menjadi terpinggir. Kemajuan

2 Mauqiful Ghazali Minal Falasifah. Al-Maktabah al-Shameela (1/6)

3 Mulyadhi Kartanegara. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Mizan, Bandung 2005: 23

4 A. Khudori Sholeh. Integrasi Agama & Filsafat: Pemikiran Epistemologi al-Farabi: 48. UIN Maliki

Press 2010 5 Ibid 49

Page 6: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 6

perdaban keilmuwan barat dalam bidang fisika ahirnya dapat menarik perhatian

banyak orang, sehingga mereka menyebut ilmu sains modern-lah yang paling

ilmiah dan ini berakibat sebaliknya pada ilmu agama yang non-empiris. Bahkan,

beberapa ilmuwan seperti Freud dan pengikutnya menyebut agama sebagai

pengganggu dari perkembangan ilmu pengetahuan, karena melarang anak didik

untuk berpikir secara kritis.6

Problem selanjutnya adalah perhatian berlebihan dari metode ilmiah

terhadap fakta-fakta empiris. Pada dasarnya sains modern hanya mengenal satu

metode ilmiah yang disebut observasi atau eksperimen (tajribi), yang dilakukan

oleh indera. Pada ahirnya metode ini tidak mempercayai sama sekali terhadap

metode rasional, apalagi intuisi yang dianggap halusinatif. Bahkan pada tingkat

akutnya, sains modern tidak lagi mempercayai keterlibatan Tuhan pada segala

yang terjadi, tetapi lebih mengedepankan sebab-sebab material saja, tanpa

mengindahkan sebab-sebab formal.

Di pihak lain, ilmuwan-ilmuwan Islam telah mengembangkan sebuah

metode baru dengan membuat ilmu agama sebagai sebuah dogma yang turun

temurun yang menyingkirkan berbagai macam interpretasi baru yang dianggap

sebagai bid‟ah. Ilmu agama bukanlah berdasarkan pada rasional dan ilmiah,

melainkan berasal dari otoritas yang tidak bisa diganggu gugat yang disampaikan

oleh guru atau kiai.

Problem yang terahir yang mungkin muncul dari dikotomi ilmu adalah

sulitnya mengintegrasikan pengalaman-pengalaman manusia. Sains modern sering

menganggap tidak objektif pengalaman manusia selain pengalaman inderawi.

Bagi mereka, selain pengalaman inderawi, seperti pengalaman itelektual, mistik,

dan religius, dianggap rentan terhadap subjektifitas dan jauh dari objektifitas

untuk diperhitungkan sebagai metode ilmiah. []

2. Tauhid: Integrasi dalam Status Ontologis

Guna menjelaskan pemikirannya tentang sebuah Integrasi Ilmu yang

holistik, Mulyadhi mengawalinya dari Tauhid sebagai salah satu asas penting

6 Mulyadhi. Ibid 26

Page 7: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 7

guna mengukuhkan status ontologis dari segala yang ada, baik fisik ataupun

nonfisik. Dalam Islam tauhid berawal dari kalimat “laa ilaha illallah” yang

menurut para theolog dan fuqaha berarti tiada tuhan selain Allah swt, hanya Allah

satu-satunya dzat yang berhak untuk disembah. Sedangkan para filosof

mengartikan keesaan Tuhan (tauhid) ini bahwa Allah itu esa dan tidak boleh

tersusun dari apapun kecuali dzat (esensi) Nya sendiri. Karena itu Tuhan pada

diriNya tidak bisa dikatakan mempunyai sifat (dalam Alquran disebut nama),

kalau sifat itu diartikan sebagai sesuatu yang ditambahkan kepada dzatNya,

karena akan terkesan adanya tarkib (komposisi) pada diri Tuhan, seperti yang

disangkakan kaum Asy‟ariyah. Ibnu Sina mengatakan esensi Tuhan dan

eksistensinya adalah sama dan satu, berbeda dengan makhluk ciptaannya. Keesaan

Tuhan ini juga tercermin dalam kesatuan perintah (amr) dalam mengontrol dunia,

jika terdapat dua Tuhan atau lebih maka akan berahir pada kehancuran dunia.7

Meskipun begitu, Mulyadhi mengangkat pandangan yang paling relevan

dari Mula Shadra yang menyebut konsep keesaan Tuhan dengan istilah wahdah

al- wujud, yang diadopsi dari seorang toko sufi, Ibn Arabi. Konsep ini memiliki

pemahaman arti “Ilah” sebagai realitas, artinya kullu ma siwa Allah (alam

semesta) tidak memiliki realitas, tetapi adalah sebuah menifestasi dari wujud

Allah, sifat-sifat dan af‟alNya. Alam adalah medan kreatif Allah swt dan bukanlah

realitas terahir, karena mempelajari alam dengan hanya berhenti di situ sama saja

dengan mempelajari buah dari kulitnya saja.8

Sejalan dengan itu, Ibn Sina juga mengatakan bahwa alam semesta ini

adalah mumkin al-wujud, atau sesuatu yang berpotensi untuk wujud, tetapi tidak

memliki aktualisasi yang independen. Wujudnya alam ini adalah sebuah pinjaman

dari dzat yang wujud secara mandiri, yang kemudian akan diambil lagi kelak.

Dapat disimpulkan antara sufi dan filosof, Dia-lah realitas sejati (al-Haqq), wajib

al-wujud atau yang memiliki wujud yang aktual dan mandiri, yang memberikan

wujud kepada segala sesuatu selainNya.

7 Abdul Halim. Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution.

Jakarta Ciputat Pers 2002: 98 8 Ibid 101

Page 8: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 8

Mula Shadra menjelaskan bahwa segala yang wujud, baik secara spiritual

ataupun material, adalah berhak dan valid untuk menjadi objek ilmu dan

penelitian, karena ditinjau dari sisi ontologisnya, semuanya adalah satu dan sama,

yang membedakan hanyalah pada gradasinya yang disebabkan oleh perbedaan

dalam esensinya.

Pendapat Mula Shadra ini tampaknya telah diadopsi dari ajaran Suhrawardi

al-Matqul tentang cahaya. Menurutnya Cahaya pada hakikatnya adalah satu, tetapi

menjadi berbeda tingkat dan intensitasnya karena adanya barzakh-barzakh yang

menyela diantaranya. Dengan demikian semakin jauh cahaya dari sumbernya,

yaitu Allah, sang Nur al-Anwar akan semakin redup sinarnya. Semakin jauh

semakin didominasi kegelapan. Tuhan sebagai wujud yang paling terang

memberikan wujud kepada makhluk-makhluk lainnya yang semakin rendah di

bawahNya baik yang materiil ataupun immateriil. Konsep ini menjelaskan status

ontologis yang solid dari setiap wujud dalam segala tingkatannya, sehingga tidak

perlu dibedakan antara yang rill dan tidak rill, nyata atau ilusi. 9

Menurut Mulyadhi pendapat Mula Shadra inilah yang relevan dijadikan

basis integrasi Ilmu. Ilmuwan barat yang hanya mengakui objek-objek fisik yang

bisa diindera sebagai objek yang valid dan sah karena bisa dibuktikan status

ontologisnya, seharusnya juga mengakui status ontologis objek-objek selainnya

seperti objek yang nonfisik dan immateril karena pada dasarnya semuanya adalah

satu dan sama. Hanya perlu dibedakan dalam metode yang digunakan dalam

menelitinya. Setiap objek memiliki cara penelitian masing-masing yang harus

sesuai dengan objek itu. Karena untuk menaklukkan objek yang berbeda maka

diperlukan alat dan cara yang berbeda pula.

Dari teori Wahdah al-wujud ini, jelas sekali bahwa tidak mungkin ilmu yang

ilmiah itu hanya berada pada objek-objek yang bersifat fisik dan bisa diteliti

secara indera saja, karena status ontologis hal-hal nonfisik telah dapat disebut

valid. Maka, dalam pandangan ilmuwan barat yang menetapkan penyelidikannya

hanya pada objek empiris saja, dan menolak hal-hal nonfisik, ilmu akan bersifat

9 Mulyadhi. Ibid 36

Page 9: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 9

parsial dan tidak utuh membahas keseluruhan wujud, dengan meninggalkan

bagian-bagian lain yang sama-sama penting dan fundamentalnya.

Konsep dari Mula Shadra ini juga dianggap bisa mengintegrasi pengalaman

manusia yang bersifat sangat luas dan akan terlalu kuno jika hanya mengakui

validitas pengalaman fisik. Pengalaman manusia yang bersifat multidimensional

meliputi pengalaman intelektual, mental, mistik, spiritual, tentu sangat kaya dan

bisa membuat dimensi ilmu menjadi semakin luas, terhindar dari fragmentasi dan

tidak terkesan kering. Seperti penemuan echo (gema) setelah memadukan

beberapa pengalaman manusia dengan mistisisme. []

3. Basis Integrasi Alquran dan Alam Semesta

Di atas telah dijelaskan panjang tentang dikotomi ilmu dan dampaknya yang

tidak bagus. Tetapi sebenarnya dikotomi ilmu itu telah dimulai oleh al-Ghazali

dengan menamai – dalam kitab ihya „ulumuddin – „ilm al-syar‟iyah dan „ilm

ghoiru al-syar‟iyah. Beliau juga memberikan hukum yang berbeda, „ilm syar‟iyah

hukumnya fardhu „ain sedangkan „ilm ghoiru syar‟iyah fardhu kifayah.

Sedangkan Ibnu Khaldun juga memberikan sebutan yang berbeda antara kedua

ilmu ini, yaitu „ilm naqliyah (ilmu agama yang berorientasi pada Alquran dan

Hadist) dan „ilm „aqliyah (sains modern). Tetapi dikotomi beliau berdua hanya

berada pada penggolongan ilmu tersebut tanpa adanya diskriminasi pada satu ilmu

yang lain. Keterpautan hukum yang dijelaskan Al-Ghazali setidaknya tetap

menggolongkan kedua ilmu ini sebagai fardhu.

Dalam keyakinan umat Islam, Allah adalah dzat utama yang memberikan

wujud pada alam semesta dan sumber dari segala kebenaran (al Haqq) dan realitas

sejati (the ultimate reality). Alquran mengatakan:

[ 147 : انبقشة ]انممتشيه مه تكىوه فها سبك مه انحق

[60 : عمشان آل ]انممتشيه مه تكه فها سبك مه انحق

“Kebenaran itu berasal dari Allah, maka jangan pernah engkau

meragukannya”

Page 10: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 10

Ilmu-ilmu agama didasarkan pada otoritas Alquran dan Hadist, bukan akal.

Adapun sumber ilmu umum adalah alam semesta yang terhampar luas, mulai

galaksi yang amat luas hingga atom yang amat kecil dan juga manusia sendiri.

Basis integrasi di sini berawal dari pernyataan Allah swt, baik Alquran dan alam

semesta adalah “tanda-tanda (ayat) Allah”.10

Maka baik ilmu agama ataupun ilmu

umum sama-sama mengkaji ayat-ayat Allah, hanya saja Alquran bersifat qauliyah

sedangkan alam semesta bersifat kauniyah. Dari sini Mulyadhi melihat satu titik

terang integrasi. Beberapa ulama ada yang memandang alam semesta sebagai

kitab besar sedangkan alquran sebagai kitab kecil. Banyak informasi di dalam

Alquran yang belakangan terbukti diafirmasi oleh kebenaran medis modern,

seperti dalam QS. Az-Zumar: 06 yang telah dibuktikan dengan adanya tiga lapisan

yang membungkus janin dalam kandungan, yaitu lapisan kulit perut, lapisan rahim

dan lapisan plasenta (انمشيمت) .11

Jadi kedua sumber ilmu ini tidak bersifat sama-

sama eksklusif tetapi saling merasuk satu sama lain. Karena keduanya sama-sama

membahas tentang ayat Allah, sang realitas sejati, maka keduanya berhak untuk

menduduki posisi sakral, tanpa menilai kesakralan salah satunya terpaut dari

lainnya.

وأنقيىا مذدواها وانأسض( 6 )فشوج مه نها وما وصيىاها بىيىاها كيف فىقهم انسماء إن يىظشوا أفهم

ماء انسماء مه ووضنىا( 8 )مىيب عبذ نكم وركشي تبصشة( 7 )بهيج صوج كم مه فيها وأوبتىا سواسي فيها

(10 )وضيذ طهع نها باسقاث وانىخم( 9 )انحصيذ وحب جىاث به فأوبتىا مباسكا

Dari ayat di atas Alquran selalu mengarahkan manusia untuk berpikir

berdiskusi, dan mengeksplorasi segala sesuatu dalam kehidupannya. Ini karena

sains modern adalah mendukung kepada ilmu-ilmu agama, memperhitungkan

segalanya tanpa sama sekali mengabaikannya. German Physicist Max Planck

mengatakan: everyone who, regardless of his field, studies science seriously is to

read the following phrase on the door of the temple of science: „have faith‟.

Menurutnya, kepercayaan agama (faith) adalah perlengkapan yang bersifat esensi

dalam sains modern.13

10 Mulyadhi. Ibid 48 11 انمكتبت انشامهت (270\4), أضىأ انبيان, محمذ األميه 12 QS. Qoff: 6-10 13 Harun Yahya. Ibid 66

Page 11: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 11

Alquran adalah ayat Allah yang bersifat verbal dan dalam bentuk tertulis

(tadwiny) sedangkan alam semesta berupa realitas-realitas yang tercipta (takwiny).

Tentunya ini akan menimbulkan metode yang berbeda dalam mempelajari

keduanya. Otoritas Alquran pada beberapa tempat tidak memberikan ruang bagi

akal untuk masuk, tetapi pada tempat lain seperti qiyas, istihsan, adalah jalan

keluar untuk menentukan hukum atas perkara yang tidak ada nash sahih atasnya.

Adapun metode ta‟wil disebut sebagai solusi yang mengatasi diskrepansi yang

tampak terjadi antara nash Alquran dan kebenaran ilmiah dan filosofis yang telah

teruji dengan baik.

Adapun metode yang digunakan untuk mengamati fenomena alam sebagai

jenis ayat Allah berbeda dengan yang di atas. Bahkan bisa beragam tergantung

fenomena yang dikaji. Untuk fenomena alam fisik misalnya, menggunakan

metode observasi atau eksperimen (tajriby) secara langsung atau menggunakan

alat bantu teleskop untuk mengamati bintang atau mikroskop untuk mengamati

benda-benda yang teramat kecil. Namun sebagaimana naskah kitab suci,

fenomena alam terkadang juga memuat realitas-realitas yang lebih dalam,

memberikan indikasi yang jelas akan adanya “neumena” (hakikat) yang

tersembunyi. Teori fisika seperti hukum gravitasi, elektro magnetik, gelombang

nuklir lemah dan kuat, dan hukum sebab-akibat adalah kepingan contoh fenomena

alam yang tidak bisa diamati oleh indera lahir semata, membutuhkan perpaduan

dengan akal, yang disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode demonstratif

(burhany). Tetapi, fenomena alam tidak berhenti di situ. Semakin dalam alam

diamati, semakin banyak ia menguak rahasia-rahasianya yang tak kunjung selesai.

Brain Hiles mengatakan bahwa fisika baru ternyata baru mampu mendengar echo

(gema) dari realitas, dan memerlukan “telinga mistik” untuk bisa menyelaminya

lebih dalam lagi. Disimpulkan kebutuhan terhadap hati (intuisi), yang dalam

epitemologi Islam disebut „irfany, masih berlaku di sini. Bahkan setelah indera

dan akal sudah tidak mampu menguak neumena realitas, maka jalan kaluarnya

adalah pencerahan langsung dari Dzat yang maha tahu dan pemilik segala realitas,

yang diilhamkan kepada orang-orang tertentu yang memiliki hati yang bersih,

yang dianugerahi mukasyafah (penyingkapan).

[43 : انىحم ]تعهمىن نا كىتم إن انزكش أهم فاسأنىا إنيهم وىحي سجانا إنا قبهك مه أسسهىا وما

Page 12: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 12

4. Integrasi Objek-objek Ilmu

Di atas telah dijelaskan tentang pandangan para ilmuwan barat bahwa objek

yang dianggap ilmiah adalah objek yang bisa dicerap oleh indera, adapun

selainnya maka status ilmiahnya dianggap tidak valid. Mulaydhi memberikan

sedikit hipotesisnya akan hal itu, berawal dari keraguan para ilmuwan barat

terhadap status ontologis objek-objek non-fisik. Keraguan mereka ini berdampak

pada peralihan warga barat dari teistik ke ateistik dengan menyingkirkan dan

penolakan pada segala yang berbau non-fisik, karena dianggap tidak objektif dan

tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Tentunya wajib, bagi filosof muslim untuk

memberikan penjelasan yang meyakinkan terkait status ontologis dari objek-objek

ilmu yang non-fisik.

Dari sudut pandang epistemologi Islam setiap objek ilmu sebenarnya adalah

realitas yang tidak mungkin hanya memiliki dimensi fisik saja, tetapi dipastikan

terdapat dimensi non-fisik juga. Jika penyelidikan hanya dilakukan pada aspek

fisik saja, maka akan terjadi disintegrasi objek-objek ilmu.

Saat mempelajari “kejadian” dan “kehancuran” pasti disadari keberadaan

“sebab” yang melatar belakanginya. Tampaknya ini tidak disadari oleh para

ilmuwan Barat. Menurut para pemikir muslim, “kejadian penciptaan” pasti

membutuhkan kepada agen lain, yaitu pencipta (atau “Sebab Pertama” dalam

istilah filsafat) yang bersifat lebih sempurna dari pada dunia fisik yang tercipta.

Status ontologis “Sang Sebab” tentu lebih fundamental dibanding akibatnya, yaitu

alam fisik. Hal ini senada dengan ungkapan Suhrawardi yang menyebut alam fisik

sebagai al-faqir (yang membutuhkan), yaitu yang membutuhkan sebab pertama

yang disebut al-ghani yang berdiri sendiri tanpa butuh pada selainNya untuk

keberadaanNya.14

Berawal dari pernyataan Ibnu Sina bahwa alam semesta adalah potensi atau

mumkin al-wujud. Dan sekarang telah kita lihat bersama wujudnya alam semesta

ini menjadi sesuatu yang riil seperti yang telah ada sekarang ini, mau tidak mau

pasti terdapat agen lain yang menjadikan sesuatu yang awalnya hanya potensi itu

14 Halim. Ibid 98

Page 13: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 13

atau mumkin al-wujud menjadi benar-benar wujud, yang tidak lain adalah “Sang

Sebab Pertama”.

Adapun yang dimaksud integrasi objek-objek ilmu adalah sebuah sistem

terpadu objek-objek ilmu yang berkesinambungan, dari objek yang bersifat

metafisik, imajinal dan fisik yang disajikan secara utuh, bukan secara parsial

ketika objek-objek ilmu hanya dibatasi pada objek tertentu saja dengan

mangabaikan objek lainnya.15

Sesuai dengan doktrin wahdah al-wujud yang

menjelaskan kesatuan dan kesamaan segala wujud dan tidak dipisah-pisahkan dan

diperlakukan secara pilih kasih. Oleh karena itu, dalam sebuah sistem

epistemologi yang holistik semua rangkaian wujud ini harus diperlakukan sama.

Demikian juga status ontologis mereka harus dipandang sama-sama kuat dan riil.

Al Farabi juga mencoba menjelaskan tentang integrasi objek ilmu melalui

pengertian wujud, karena pembahasan tentang wujud tidak hanya penting dalam

menegaskan status ontologis melainkan dalam kaitannya dengan objek-objek dan

sumber ilmu.16

Ada dua istilah, yakni Maujud dan wujud. Maujud merujuk pada

dzat dari sebuah eksistensi, sedangkan istilah wujud merujuk pada esensi

(mahiyah) dari eksistensi itu. Wujud dan maujud adalah satu. Namun yang

dimaksud mahiyah di sini bukanlah ide atau sebab seperti yang dikatakan plato

dan aristoteles. Menurut al-Farabi, esensi atau mahiyah ini adalah bentuk jawaban

atas pertanyaan “apakah sesuatu itu?” yang tidak hanya menunjuk pada dzatnya

sehingga tidak bersifat material dan inderawi semata. Bentuk wujud itu

mempunyai eksistensi sendiri yang tidak sama dengan bentuk materialnya. Lebih

dari itu, abstraksi pikiran yang didasarkan atas tangkapan indera terhadap suatu

objek juga dianggap mempunyai eksistensi sendiri dan mandiri.

Dengan konsep itu, maka istilah wujud dan maujud berarti mencakup semua

bentuk eksistensi, baik entitas materiil, metafisik, maupun entitas dalam pikiran

yang merupakan hasil olah nalar.17

15 Mulyadhi. Ibid 67 16 Khudori. Ibid 54 17 Ibid 55

Page 14: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 14

Dengan demikian epistemologi Islam mengakui segala objek yang menjadi

objek penelitian sains modern. Dalam sistem objek yang terpadu (integral) tidak

satupun jenis objek ilmu yang ditinggalkan, baik yang bersifat fisik, matematik,

ataupun metafisik, yang merupakan tiga kelompok besar ilmu-ilmu rasional.

Semuanya valid dan memiliki status ontologis yang solid dan padu, maka patut

untuk dikaji secara keseluruhan agar integrasi di bidang objek ilmu bisa tercapai.[]

C. Refleksi

Dalam kajian pemikiran Integrasi Ilmu yang digagas oleh Mulyadhi

Kartanegara, cenderung menekankan pada pengakuan terhapad hal-hal nonfisik

(gaib) yang dikabarkan melalui Alquran atau hadist. Pada dasaranya para ilmuwan

Barat memang kesulitan menerima eksistensi hal-hal metafisik, bahkan sampai

terperosok hingga berfaham atheisme, dengan menyingkirkan segala yang berbau

Tuhan. Freud dan penganutnya misalkan, yang mengatakan agama adalah

pengganggu, yang melarang anak-anak untuk berpikir kritis. Agaknya pernyataan

ini sangat perlu diklarifikasi oleh para epistemolog muslim, karena tidak kurang

Alquran menyebutkan anjuran untuk merenung, berpikir, dan bertadabbur atas

ciptaanNya. Hanya saja memang agama membatasi radius berpikir itu agar tidak

memikirkan tentang wujud Tuhan secara visual, karena memang segala yang

dicapai manusia, baik fisik ataupun imajinal, adalah interpretasi dari alam fisik

yang dicerap melalui indera. Sedangkan segala hal yang berada pada jangkauan

manusia adalah bersifat hudust dan tidak kekal hakiki. Maka sangat tidak patut

jika demikian dinisbatkan kepada Tuhan yang maha suci.

كم ما خطش ببانك فاهلل عض وجم بخهاف رنك

Kemampuan berpikir manusia dalam mengungkap kebenaran ilmiah,

puncaknya adalah untuk mengukuhkan nilai-nilai ketauhidan, yang diinterpretasi

dari “laa ilaha illAllah”. Segala sesuatu selainNya adalah makhluk tanpa

terkecuali, dan makhluk-makhluk itu adalah bukti kuat dan nyata atas

keberadaanNya dan entitas-entitas gaib yang dikabarkan dariNya melalui Alquran

ataupun Hadist.

Page 15: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 15

Maka untuk mencapai sebuah kebenaran yang integral sudah sangat

seharusnya untuk mengikutkan objek-objek nonfisik ke dalam penyelidikan, atau

menyelidiki hal fisik secara mendalam tanpa berhenti di situ dan tanpa

meninggalkan sisi lain yang juga memiliki status ontologis, meski tidak nampak

oleh indera.

Selain itu, kita juga mengenal ilmu matematika dan segala rumusnya yang

sebenarnya sama sekali tidak memiliki bentuk fisik, hanya merupakan hasil

abstraksi dari objek-objek fisik menggunakan olah nalar yang tajam. Bahkan

objek ini menurut Al-Farabi dikatakan memiliki eksistensinya sendiri.

Fanatisme ilmuwan Barat pada ahirnya merambah pada penolakan metode

pemerolehan pengetahuan. Mereka menolak intuisi (hati). Menurutnya Intuisi

yang berasal dari hati itu terkesan sepi dan rawan dari subjektifitas. Memang pada

hakikatnya intuisi dalam tradisi islam disebut sebagai ilmu wahby (ladunny), yang

tidak bisa didapat begitu saja, melainkan harus diawali dengan pembersihan hati.

Ilmu ini disebut juga sebagai ma‟rifat yang penguraiannya sangat sulit, sesulit

mendeskripsikan „manis‟. Betapapun bagusnya redaksi yang digunakan atau

terangnya kuliah atasnya, tetap manis itu akan bersifat abstrak, dan tidak ada jalan

yang tepat selain merasakannya langsung.

Jika menelaah kembali kepada QS. Al Baqoroh:3 yang menjelaskan bahwa

urusan gaib adalah kepercayaan yang merupakan satu tanda bagi muttaqin, maka

pantas jika ilmuwan barat tetap kesulitan untuk mengakuinya.

D. Analisis

Dari sekelumit pemikiran integrasi yang digagas oleh Mulyadhi di atas,

disimpulkan bahwa point integrasi berada pada pembuktian atas realitas sejati

yang mendalangi semua objek dan kejadian di dunia ini. Baik agama atau sains

pada ahirnya akan mengafirmasi eksistensi sebab pertama, dan dari sebab pertama

itulah disatkan status ontologis dari semua objek fisik atau non fisik.

Penyataan bahwa ilmu agama adalah ilmu yang hanya membahas

keagamaan adalah terlalu berlebihan, apalagi jika mengatakan ilmu agama secara

Page 16: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 16

total mengajarkan hanya tata cara beribadah kepada umatnya. Jika menilik

beberapa mata pelajaran di pesantren salaf yang membebaskan diri dari intervensi

pemerintah dalam kurikulumnya, kita akan melihat di sana ada pelajaran akhlaq,

fiqih, bahasa arab, dan semacamnya yang membahas tentang ilmu sosial. Dalam

akhlaq jelas sekali dijelaskan tentang tatalaku dan bertindak yang baik dan bijak,

dalam ilmu fikih terdapat bab mu‟amalat (bisnis) dan munakahat (pernikahan),

begitupun dalam bahasa arab, meliputi nahwu dan shorof yang membahas secara

mendalam tata bahasa dan budaya arab dari sisi linguitik.

Dari penjelasan tersebut, ingin disampaikan bahwa beberapa muatan ilmu

agama sebenarnya tidak jauh berbeda dengan muatan sains. Karena sains menurut

Wilhem Dithley dapat dibagi menjadi dua, pertama Naturwissenschaften (ilmu-

ilmu alam), dan kedua Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu sosial).18

Dalam sisi

ilmu-ilmu sosial, keduanya bersatu dan benar-benar sama dalam pembahasannya.

Bahkan klaim-klaim subjektivitas dalam agama, agaknya juga akan sangat tampak

dalam sains ilmu-ilmu sosial yang memang munculnya dari cipta, kersa dan rasa

manusia. Ditinjau dari sisi ilmu agama yang ini dan sains yang ini pula, integrasi

tampaknya tidak perlu untuk digagas. Karena adanya konsep integrasi pasti

mengisyaratkan dan berawal dari keyakinan dikotomi kedua ilmu. Bahkan setelah

diintegrasikan, dikotomi itu masih ada dan belum terhapuskan secara total, karena

integrasi hanyalah konsep mempertemukan kedua ilmu dan sama sekali bukan

menggabungkannya.

Kemudian digagas pula pendapat untuk mengintegrasikan Alquran dengan

sains modern yang identik maknanya adalah ilmu alam. Dalam pembahasan atas

telah dijelaskan beberapa ayat Alquran yang juga mengisyaratkan fakta-fakta

ilmiyah yang diusung oleh sains barat. Beberapa ahli tafsir Alquran banyak yang

menggunakan tafsir bil „ilmiy, dimana mereka memanfaatkan teori-teori ilmiyah

(sains modern) yang berkembang untuk menyingkap makna dan hakikat dari

maksud Alquran dalam beberapa ayat kauniyah, yang kebetulan tidak ada jalan

lain dalam memahaminya secara tepat kecuali melalui teori dan metode sains

modern. Konteks ini agaknya tidak perlu untuk diperpanjang pembahasannya,

18

Budi Hardiman F., Melampaui Positivisme.: 22. http://fahmiriady.blogspot.com/2013/05/sains-agama-dan-budaya-perbincangan.html

Page 17: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 17

karena bisa disederhanakan dengan menganggap Alquran dan sains modern

adalah dua referensi yang sejajar dalam menyingkap rahasia alam.

Permasalahannya berada fanatisme ilmuwan Barat yang hanya ingin mengakui

kebenaran ilmiyah dan teori ilmiyah itu berkembang di tangan mereka, dan tidak

rela jika islam ikut berbicara dalam perkembangan teori itu. Dan memang

kebetulan, sains modern lebih banyak berkembang di tangan ilmuwan barat.

Benar, pemegang sebutan “scientist” atau “peneliti alam” sangatlah tersohor,

banyak masyarakat yang mengagumi mereka dan bangga terhadap temuan para

scientist, dampaknya para scientist yang dianggap memiliki pengetahuan luar

biasa di atas rata-rata, mendapat kepercayaan yang sangat besar dari masyarakat,

sehingga pada ahirnya mereka akan didengar dan diikuti teorinya bahkan cara

berpikirnya yang menjauhkan diri dari konsep-konsep islam.

Selanjutnya, ketidak percayaan para ilmuwa Barat akan status ontologis dari

objek metafisik dan adanay keterlibatan sebab pertama dalam setiap kejadian,

sehingga parahnya sebagian mereka tidak mengakui adanay Tuhan dan hanya

mempercayai kausalitas dalam sebuah organisme alam yang teratur. Kepercayaan

kepada Tuhan adalah hal yang naluriyah dimiliki oleh setiap manusia, meski tanpa

datanganya para Nabi, manusia akan mempercayai adanya Tuhan, hanya saja

Tuhan mereka akan berupa Batu, Matahari atau benda-bendar yang dikultuskan.

Hal ini terbukti dengan tidak kurang umat terdahulu yang menyembah berhala

pada masa fatroh, yakni masa selang antara Nabi Isa dan Rasulullah Muhammad

saw yang selama ratusan tahun tidak datang satu utusan pun. Maka manusia

menyembah Tuhan mereka sendiri dan menetapkan tata ibadah seperti thawaf

dengan telanjang, sambil minum arak, dan semacamnya (prilaku jahiliyah).

Manusia akan menyadari, dari naluri alamiyah, adanya kekuatan maha hebat

di luar kekuatannya sendiri, meskipun mereka tidak pernah diajarkan atau

diberitahu akan adanya kekuatan itu oleh siapapun sebelumnya. Dari sini

pemakalah menyimpulkan bahwa ketidakpercayaan ilmuwan Barat adalah

sebentuk subjektivitas yang jelas dan nyata. Kaum empirisme yang menolak

status ontologis objek metafisik dengan alasan tidak bisa dibuktikan dengan

secara inderawi hanya akan mempersempit cakupan ilmu dan membuat ilmu

bersifat fragmentaris, sesuai ungkapan Mulyadhi di atas.

Page 18: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 18

E. Penutup

Pemikiran utama dari Integrasi Holistik yang digagas oleh Mulyadhi

Kartanegara, utamanya yang dibahasnya secara luas dalam bukunya yang berjudul

Integrasi Ilmu, adalah menginformasikan bahwa:

1. Konsep Tauhid, yang diusung oleh Mula Shadra yaitu wahdah al-wujud

tampak logis untuk dijadikan basis integrasi dalam menegaskan status

ontologis semua objek baik fisik, imajinal, hasil abstraksi nalar, ataupun

metafisik. Semua adalah sama dan satu.

Menelaah kembali keadaan alam yang disebut Ibn Sina sebagai potensi

atau mumkin al-wujud dan tidak bisa secara independen wujud, maka

semakin terang bahwa alam semesta ini membutuhkan pada agen lain

yang bisa lebih mandiri dalam wujudnya. Sedangkan wujudnya alam

semesta hanyalah pinjaman dariNya.

Konsep wahdah al-wujud menjadi semakin terang lagi setelah menelaah

pada ajaran Suhrawardi Al-Matqul tentang cahaya.

2. Baik Alquran maupun alam semesta adalah tanda-tanda (ayat) Allah

yang tidak boleh dipisahkan, karena keduanya adalah kombinasi yang

pas untuk mengungkap kebenaran ilmiah secara integral. Al-Farabi

mendeskripsikan ilmu:

“ilm adalah kepastian yang dicapai oleh jiwa tentang eksistensi (objek)

yang tidak tergantung pada realitas lainnya dan sistem hasil produksi

manusia, dimana keyakinan tersebut diperoleh dari metode demonstrasi

berdasarkan premis-premis yang benar, pasti, universal , dan unggul”19

3. Objek Ilmu tidak boleh hanya didasarkan pada inderawi atau fisik,

karena jika demikian maka ilmu hanya akan mengkaji objek-objek

tersebut secara parsial dan terfragmentaris.

19 Khudori. Ibid 42

Page 19: Integrasi Ilmu, Mulyadhi (Revisi)

Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 19

Tidak mungkin suatu objek hanya memiliki dimensi fisik saja. Pasti

terdapat dimensi nonfisik yang selama ini belum disadari para Ilmuwan

Barat, atau sudah disadari tetapi tetap sulit untuk menerimanya.

Dalam “kejadian penciptaan” maka disadari oleh naluri manusia akan

adanya agen lain yang berperan penuh dalam merealisasikannya, atau

mengurungkannya.[]

F. Daftar Pustaka

Sholeh, A. Khoduri. Integrasi Agama & Filsafat: Pemikiran Epistemologi al-

Farabi. UIN Maliki Press 2010

Halim, Abdul. Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis

Harun Nasution. Jakarta Ciputat Pers 2002

Yahya, Harun. Allah Is Known Through Reason. Al-Risala The Islamic Centre

New Delhi 2002

Al Amin, Muhammad. Adlwaul Bayan. Al-Maktabah al-Sahmeela.

Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Mizan,

Bandung 2005

Mauqiful Ghazali Minal Falasifah. Al-Maktabah al-Shameela