integrasi ilmu, mulyadhi (revisi)
DESCRIPTION
Konsep integrasi Ilmu Agama dan Sains Modern yang diusung oleh Mulyadhi Kartanegara. Ia menyebut Alquran sebagai Ayat Qauliyah sedangkan alam semesta sebagai Ayat Kauniyah, keduanya adalah kombinasi yang harus dikaji bersama dalam upaya membangun Tauhid yang kuat.TRANSCRIPT
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 1
MENGINTEGRASIKAN
KONSEP ILMU AGAMA DAN SAINS MODERN
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara
Oleh:
Moh. Sholeh Afyuddin (14720032)
Pendidikan Bahasa Arab (B)
UIN Maulana Malik Ibrahim Pascasarjana
Malang, Jawa Timur
Abstract
Dichotomy of science and religion is urgent to be discussed. Both of
them are absolutely two combinations to reach Allah. The point of
integration is on faith that Alquran and nature are signs of Allah.
They confirm the existence of Allah. When we have admitted and
accepted the existence of Allah, we must accept the existence of all
mystical (non-physic) things as the true reality and having the right
ontology, because Allah is the independent reality who lends realities
else to all objects in the world and the sky. All things, physic or non
physic, are same and one. As the same things in same functions, they
must get attention as a priority in an observation of scientific, without
any reduction at one of which. Western scientists only confess the
correctness of physical object, out of it is unbelievable because it
cannot be proven by sense and so much closer to the subjectivity.
Western regard on intuition as unacceptable source so, because it is
closer to hallucination. Intuition can be accepted when supported by
logical data, but not totally. In Islamic faith, rejecting the intuition is
in the same way to repel the messenger of Allah.
Kata Kunci: dikotomi, integrasi, sains, agama.
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 2
A. Pendahuluan
Harun Yahya menulis:
“What we have covered so far shows us that the atribute of the universe
discovered by science point to the existence of Allah. Science leads us to the
conclusion that the universe has a creator and this creator is perfect in might,
widsom and knowledge. It is religion that shows us the way in knowing Allah. It is
therefore possible to say that science is a method we use to better see and
investigate the realities addressed by religion. Nevertheless, today, some of the
scientists who step forth in the name of science take an entirely different stand. In
their view scientific discoveries do not imply the creation of Allah. They have, on
the contrary, projected an atheistic understanding of science by saying that it is
not possible to reach Allah through scientific data: they claim that science and
religion are two clashing notions.1
Jelas sekali di atas, pernyataan Harun Yahya seorang peneliti Muslim yang
telah lama bergelut dalam bidang pembuktian kebenaran firman Allah dalam
Alquran dengan kebenaran ilmiah yang diusung sains modern. Dalam
epistemologi Islam tidak bisa dipungkiri keterlibatan agen lain dalam setiap hal-
hal yang terjadi di alam semesta ini. Bagaimanapun, sejak dari keyakinan muslim,
akan diyakini wujudnya dan status ontologis dari objek-objek yang non-fisik
(gaib). Berkebalikan dengan itu pandangan ilmuwan barat yang tetap berpegang
kukuh pada validitas dan status ilmiah hanya dimiliki oleh objek yang bisa diteliti
secara inderawi. Bahkan mereka berkata: tidak mungkin untuk mengambil bukti
eksistensi Allah dalam data-data ilmiah sains modern.
Permasalahan ini menyebabkan dikotomi ilmu yang sedemikian rupa.
Dikotomi ini berawal dari keraguan ilmuwan barat dan kesulitan mereka untuk
menerima dan mengakui adanya objek lain selain inderawi. Sedangkan dalam
epitemologi Islam, semua objek, baik fisik, imajinal, matematik, ataupun
metafisik adalah sah dan memiliki status ontologis yang solid, berhak untuk dikaji
dan memiliki status ilmiah.
1 Harun Yahya. Allah Is Known Through Reason: 64. Al-Risala The Islamic Centre New Delhi 2002
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 3
Mempelajari konsep integrasi memang sangatlah penting, terutama bagi
umat Islam yang tidak hanya berkewajiban mempelajari ilmu sekuler saja, tetapi
juga ilmu agama Islam. Dan sebenarnya, integrasi atau perpaduan ilmu sekuler
dan ilmu agama tidak hanya sebatas ilmu saja, ada yang mengatakan itu adalah
interpretasi dari norma atau nilai-nilai yang harus dimiliki manusia, selain
pengetahuan. Seperti yang dikatakan Einsten: Sains tanpa agama adalah buta,
sedangkan agama tanpa sains adalah pincang.
Perlunya membahas integrasi adalah agar memunculkan sebuah pemahaman
bahwa ilmu agama terpaut erat dengan perkembangan sains modern. Dan
perpaduan keduanya akan mengantarkan seseorang kepada kebenaran sejati yang
bisa membawakan kebahagiaan baik di dunia dan ahirat. Karena, pada dasarnya
semuanya mengarah kepada Tauhid. Berhenti membahas hanya pada sisi fisik dari
suatu objek adalah sama halnya dengan membahas objek itu secara tidak
menyeluruh. Maka ini akan sangat bertentangan dengan prinsip ilmiah yangharus
membahas semuanya secara integral tanpa meninggalkan satupun.
Menurut sebagian ilmuwan barat, alam jika dikaji semakin dalam, maka
akan semakin menguak rahasia-rahasia besar, yang tidak cukup hanya diamati
secara fisik, tetapi akan membimbing pada indikasi-indikasi terhadap hal-hal
lainnya. Bahkan ilmuwan itu berkata: akan membutuhkan instrument metafisik
untuk dapat membuktikan indikasi itu.
Dari sedikit penjelasan di atas, setidaknya terbuka suatu gambaran sistem
yang harus memadukan antara ilmu agama dan ilmu umum, dimana keduanya
bukanlah eksklusif, tetapi saling melengkapi dan harus dipelajari bersama-sama.
Terlepas dari pembahasan status ontologis dan ilmiah ilmu agama yang dianggap
sangat rawan dari unsur subjektif, yang akan kita bahas di bawah nanti.[]
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 4
B. Pembahasan
1. Problem Dikotomi Ilmu
Dikotomi ilmu ke dalam ilmu agama dan non-agama, sebenarnya telah
terjadi sejak ratusan tahun silam, sejak keilmuwan Barat mulai dikenalkan ke
dunia Islam dan memberikan suatu pandangan yang menyudutkan dari kaum
Barat terhadap ilmu-ilmu agama. Mereka menyebut validitas ilmu agama sebagai
hal yang tidak bisa dianggap sebagai kebenaran ilmiah, karena ilmu agama
banyak membicarakan hal-hal gaib. Sedangkan ilmu barulah bisa dinggap ilmiah
jika objek-objeknya bersifat empiris.
Hal ini berdampak pada lembaga-lembaga pendidikan. Banyak ditemukan
dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sains umum. Matematika, fisika,
biologi, dipisahkan dari ilmu tafsir quran, hadist, fiqih, dll. Seakan-akan muatan
religius tidak terdapat kecuali dalam ilmu-ilmu agama tersebut.
Segala yang terdapat di alam semesta ini adalah ayat (bukti/tanda) yang
mengafirmasi keberadaan Allah swt, dimana Ia berperan sebagai pencipta
sekaligus pengatur atas segalanya. Seharusnya dengan mendalami bidang
keilmuwan tentang alam baik melalui matematika, fisika atau biologi, kita akan
semakin didekatkan kepada kebenaran firman Allah swt tentang hal-hal gaib yang
dikabarkan melalui Alquran. Bahkan hal-hal gaib yang tidak mungkin diindera itu
akan dapat menanamkan sebuah keyakinan yang kuat terhadap entitas-entitas gaib
yang disampaikan Alquran. Bukan sebaliknya, seperti yang terjadi pada para
ilmuwan barat yang cenderung menolak Tuhan justru setelah mempelajari alam
dengan seksama, karena mereka hanya mendasarkan pengetahuannya pada fakta-
fakta empiris dan menerapkan hukum kausalitas, tanpa mempertimbangkan
keberadaan Dzat di balik semua itu.
Permasalahan ini secara otomatis berdampak pula kepada dikotomi sumber
pengetahuan. Umat Islam yang membenarkan secara mutlak apa yang
disampaikan kitab suci mengatakan bahwa akal tidak akan mampu memberikan
sebuah kebenaran, bahkan setinggi-tingginya kemampuan nalar adalah filsafat,
yang dipandang terlalu spekulatif. Pencerapan indera juga masih sering
disangsikan validitas dan efektifitasnya. Sebagaimana yang pernah dilakukan Al-
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 5
Ghazali dalam penyelidikanya tentang al yaqin. Beliau berangkat dengan
mengamati dari indera penglihatan, memperhatikan bayangan yang mulanya
tampak diam, tetapi sejam kemudian bayangan itu bergerak dan berpindah.2
Ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang
diperoleh melalui pengamatan inderawi. Bagi mereka objek-objek ilmu yang
dianggap sah adalah yang bersifat observable (yang bisa diamati oleh indera).
Betapapun rasionalnya argument yang mendukung objek-objek metafisik tetaplah
dianggap bukan ilmiah selama tidak bisa diamati oleh indera, dan ini juga berlaku
pada sumber ilmu yang bersifat non-empiris.3 Adapun pengalaman intuitif dalam
kajian filsafat Barat belum sepenuhnya diterima sebagai sumber pengetahuan,
diterimanya masih pada tahap mungkin. Filosof Barat menyatakan intuisi
bukanlah metode yang aman untuk dipakai, karena ia mudah tersesat dan
mendorong ke pengakuan-pengakuan yang tidak masuk akal. Karena itu
kebenaran intuisi bisa diterima – tetapi tidak mutlak – apabila telah ditopang
dengan data-data indera dan konsep-konsep akal.4 Sedangkan bagi para
agamawan, hati adalah sumber ilmu yang sangat mulia, karena Nabi juga
memperoleh pengetahuan dan firman Allah melalui jalan ini. Begitu pentingnya
sumber ilmu ini, maka penolakan terhadapnya akan berimbas pada peruntuhan
terhadap pondasi utama bagi kepercayaan kita kepada kenabian. Ibn Arabi
menyatakan bahwa kebenaran intuisi lebih unggul dari indera atau rasio. Indera
memang bisa menjadi sumber kebenaran tetapi ia masih terbatas pada apa yang
tampak (mahsusat) yang masih sangat rentan salah dan tidak mampu menjangkau
yang transenden. Indera atau rasio baru pada tahap mendekati hakikat, dan belum
pada taham mencapai hakikat itu.5
Maka bagi ilmuwan muslim metafisika adalah mahkota ilmu, sedangkan
bagi ilmuwan barat justru fisika yang mereka pandang sebagai the science.
Perhatian yang intens dari sains modern terhadap ilmu-ilmu empiris secara
langsung membuat ilmu-ilmu non-empiris menjadi terpinggir. Kemajuan
2 Mauqiful Ghazali Minal Falasifah. Al-Maktabah al-Shameela (1/6)
3 Mulyadhi Kartanegara. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Mizan, Bandung 2005: 23
4 A. Khudori Sholeh. Integrasi Agama & Filsafat: Pemikiran Epistemologi al-Farabi: 48. UIN Maliki
Press 2010 5 Ibid 49
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 6
perdaban keilmuwan barat dalam bidang fisika ahirnya dapat menarik perhatian
banyak orang, sehingga mereka menyebut ilmu sains modern-lah yang paling
ilmiah dan ini berakibat sebaliknya pada ilmu agama yang non-empiris. Bahkan,
beberapa ilmuwan seperti Freud dan pengikutnya menyebut agama sebagai
pengganggu dari perkembangan ilmu pengetahuan, karena melarang anak didik
untuk berpikir secara kritis.6
Problem selanjutnya adalah perhatian berlebihan dari metode ilmiah
terhadap fakta-fakta empiris. Pada dasarnya sains modern hanya mengenal satu
metode ilmiah yang disebut observasi atau eksperimen (tajribi), yang dilakukan
oleh indera. Pada ahirnya metode ini tidak mempercayai sama sekali terhadap
metode rasional, apalagi intuisi yang dianggap halusinatif. Bahkan pada tingkat
akutnya, sains modern tidak lagi mempercayai keterlibatan Tuhan pada segala
yang terjadi, tetapi lebih mengedepankan sebab-sebab material saja, tanpa
mengindahkan sebab-sebab formal.
Di pihak lain, ilmuwan-ilmuwan Islam telah mengembangkan sebuah
metode baru dengan membuat ilmu agama sebagai sebuah dogma yang turun
temurun yang menyingkirkan berbagai macam interpretasi baru yang dianggap
sebagai bid‟ah. Ilmu agama bukanlah berdasarkan pada rasional dan ilmiah,
melainkan berasal dari otoritas yang tidak bisa diganggu gugat yang disampaikan
oleh guru atau kiai.
Problem yang terahir yang mungkin muncul dari dikotomi ilmu adalah
sulitnya mengintegrasikan pengalaman-pengalaman manusia. Sains modern sering
menganggap tidak objektif pengalaman manusia selain pengalaman inderawi.
Bagi mereka, selain pengalaman inderawi, seperti pengalaman itelektual, mistik,
dan religius, dianggap rentan terhadap subjektifitas dan jauh dari objektifitas
untuk diperhitungkan sebagai metode ilmiah. []
2. Tauhid: Integrasi dalam Status Ontologis
Guna menjelaskan pemikirannya tentang sebuah Integrasi Ilmu yang
holistik, Mulyadhi mengawalinya dari Tauhid sebagai salah satu asas penting
6 Mulyadhi. Ibid 26
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 7
guna mengukuhkan status ontologis dari segala yang ada, baik fisik ataupun
nonfisik. Dalam Islam tauhid berawal dari kalimat “laa ilaha illallah” yang
menurut para theolog dan fuqaha berarti tiada tuhan selain Allah swt, hanya Allah
satu-satunya dzat yang berhak untuk disembah. Sedangkan para filosof
mengartikan keesaan Tuhan (tauhid) ini bahwa Allah itu esa dan tidak boleh
tersusun dari apapun kecuali dzat (esensi) Nya sendiri. Karena itu Tuhan pada
diriNya tidak bisa dikatakan mempunyai sifat (dalam Alquran disebut nama),
kalau sifat itu diartikan sebagai sesuatu yang ditambahkan kepada dzatNya,
karena akan terkesan adanya tarkib (komposisi) pada diri Tuhan, seperti yang
disangkakan kaum Asy‟ariyah. Ibnu Sina mengatakan esensi Tuhan dan
eksistensinya adalah sama dan satu, berbeda dengan makhluk ciptaannya. Keesaan
Tuhan ini juga tercermin dalam kesatuan perintah (amr) dalam mengontrol dunia,
jika terdapat dua Tuhan atau lebih maka akan berahir pada kehancuran dunia.7
Meskipun begitu, Mulyadhi mengangkat pandangan yang paling relevan
dari Mula Shadra yang menyebut konsep keesaan Tuhan dengan istilah wahdah
al- wujud, yang diadopsi dari seorang toko sufi, Ibn Arabi. Konsep ini memiliki
pemahaman arti “Ilah” sebagai realitas, artinya kullu ma siwa Allah (alam
semesta) tidak memiliki realitas, tetapi adalah sebuah menifestasi dari wujud
Allah, sifat-sifat dan af‟alNya. Alam adalah medan kreatif Allah swt dan bukanlah
realitas terahir, karena mempelajari alam dengan hanya berhenti di situ sama saja
dengan mempelajari buah dari kulitnya saja.8
Sejalan dengan itu, Ibn Sina juga mengatakan bahwa alam semesta ini
adalah mumkin al-wujud, atau sesuatu yang berpotensi untuk wujud, tetapi tidak
memliki aktualisasi yang independen. Wujudnya alam ini adalah sebuah pinjaman
dari dzat yang wujud secara mandiri, yang kemudian akan diambil lagi kelak.
Dapat disimpulkan antara sufi dan filosof, Dia-lah realitas sejati (al-Haqq), wajib
al-wujud atau yang memiliki wujud yang aktual dan mandiri, yang memberikan
wujud kepada segala sesuatu selainNya.
7 Abdul Halim. Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution.
Jakarta Ciputat Pers 2002: 98 8 Ibid 101
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 8
Mula Shadra menjelaskan bahwa segala yang wujud, baik secara spiritual
ataupun material, adalah berhak dan valid untuk menjadi objek ilmu dan
penelitian, karena ditinjau dari sisi ontologisnya, semuanya adalah satu dan sama,
yang membedakan hanyalah pada gradasinya yang disebabkan oleh perbedaan
dalam esensinya.
Pendapat Mula Shadra ini tampaknya telah diadopsi dari ajaran Suhrawardi
al-Matqul tentang cahaya. Menurutnya Cahaya pada hakikatnya adalah satu, tetapi
menjadi berbeda tingkat dan intensitasnya karena adanya barzakh-barzakh yang
menyela diantaranya. Dengan demikian semakin jauh cahaya dari sumbernya,
yaitu Allah, sang Nur al-Anwar akan semakin redup sinarnya. Semakin jauh
semakin didominasi kegelapan. Tuhan sebagai wujud yang paling terang
memberikan wujud kepada makhluk-makhluk lainnya yang semakin rendah di
bawahNya baik yang materiil ataupun immateriil. Konsep ini menjelaskan status
ontologis yang solid dari setiap wujud dalam segala tingkatannya, sehingga tidak
perlu dibedakan antara yang rill dan tidak rill, nyata atau ilusi. 9
Menurut Mulyadhi pendapat Mula Shadra inilah yang relevan dijadikan
basis integrasi Ilmu. Ilmuwan barat yang hanya mengakui objek-objek fisik yang
bisa diindera sebagai objek yang valid dan sah karena bisa dibuktikan status
ontologisnya, seharusnya juga mengakui status ontologis objek-objek selainnya
seperti objek yang nonfisik dan immateril karena pada dasarnya semuanya adalah
satu dan sama. Hanya perlu dibedakan dalam metode yang digunakan dalam
menelitinya. Setiap objek memiliki cara penelitian masing-masing yang harus
sesuai dengan objek itu. Karena untuk menaklukkan objek yang berbeda maka
diperlukan alat dan cara yang berbeda pula.
Dari teori Wahdah al-wujud ini, jelas sekali bahwa tidak mungkin ilmu yang
ilmiah itu hanya berada pada objek-objek yang bersifat fisik dan bisa diteliti
secara indera saja, karena status ontologis hal-hal nonfisik telah dapat disebut
valid. Maka, dalam pandangan ilmuwan barat yang menetapkan penyelidikannya
hanya pada objek empiris saja, dan menolak hal-hal nonfisik, ilmu akan bersifat
9 Mulyadhi. Ibid 36
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 9
parsial dan tidak utuh membahas keseluruhan wujud, dengan meninggalkan
bagian-bagian lain yang sama-sama penting dan fundamentalnya.
Konsep dari Mula Shadra ini juga dianggap bisa mengintegrasi pengalaman
manusia yang bersifat sangat luas dan akan terlalu kuno jika hanya mengakui
validitas pengalaman fisik. Pengalaman manusia yang bersifat multidimensional
meliputi pengalaman intelektual, mental, mistik, spiritual, tentu sangat kaya dan
bisa membuat dimensi ilmu menjadi semakin luas, terhindar dari fragmentasi dan
tidak terkesan kering. Seperti penemuan echo (gema) setelah memadukan
beberapa pengalaman manusia dengan mistisisme. []
3. Basis Integrasi Alquran dan Alam Semesta
Di atas telah dijelaskan panjang tentang dikotomi ilmu dan dampaknya yang
tidak bagus. Tetapi sebenarnya dikotomi ilmu itu telah dimulai oleh al-Ghazali
dengan menamai – dalam kitab ihya „ulumuddin – „ilm al-syar‟iyah dan „ilm
ghoiru al-syar‟iyah. Beliau juga memberikan hukum yang berbeda, „ilm syar‟iyah
hukumnya fardhu „ain sedangkan „ilm ghoiru syar‟iyah fardhu kifayah.
Sedangkan Ibnu Khaldun juga memberikan sebutan yang berbeda antara kedua
ilmu ini, yaitu „ilm naqliyah (ilmu agama yang berorientasi pada Alquran dan
Hadist) dan „ilm „aqliyah (sains modern). Tetapi dikotomi beliau berdua hanya
berada pada penggolongan ilmu tersebut tanpa adanya diskriminasi pada satu ilmu
yang lain. Keterpautan hukum yang dijelaskan Al-Ghazali setidaknya tetap
menggolongkan kedua ilmu ini sebagai fardhu.
Dalam keyakinan umat Islam, Allah adalah dzat utama yang memberikan
wujud pada alam semesta dan sumber dari segala kebenaran (al Haqq) dan realitas
sejati (the ultimate reality). Alquran mengatakan:
[ 147 : انبقشة ]انممتشيه مه تكىوه فها سبك مه انحق
[60 : عمشان آل ]انممتشيه مه تكه فها سبك مه انحق
“Kebenaran itu berasal dari Allah, maka jangan pernah engkau
meragukannya”
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 10
Ilmu-ilmu agama didasarkan pada otoritas Alquran dan Hadist, bukan akal.
Adapun sumber ilmu umum adalah alam semesta yang terhampar luas, mulai
galaksi yang amat luas hingga atom yang amat kecil dan juga manusia sendiri.
Basis integrasi di sini berawal dari pernyataan Allah swt, baik Alquran dan alam
semesta adalah “tanda-tanda (ayat) Allah”.10
Maka baik ilmu agama ataupun ilmu
umum sama-sama mengkaji ayat-ayat Allah, hanya saja Alquran bersifat qauliyah
sedangkan alam semesta bersifat kauniyah. Dari sini Mulyadhi melihat satu titik
terang integrasi. Beberapa ulama ada yang memandang alam semesta sebagai
kitab besar sedangkan alquran sebagai kitab kecil. Banyak informasi di dalam
Alquran yang belakangan terbukti diafirmasi oleh kebenaran medis modern,
seperti dalam QS. Az-Zumar: 06 yang telah dibuktikan dengan adanya tiga lapisan
yang membungkus janin dalam kandungan, yaitu lapisan kulit perut, lapisan rahim
dan lapisan plasenta (انمشيمت) .11
Jadi kedua sumber ilmu ini tidak bersifat sama-
sama eksklusif tetapi saling merasuk satu sama lain. Karena keduanya sama-sama
membahas tentang ayat Allah, sang realitas sejati, maka keduanya berhak untuk
menduduki posisi sakral, tanpa menilai kesakralan salah satunya terpaut dari
lainnya.
وأنقيىا مذدواها وانأسض( 6 )فشوج مه نها وما وصيىاها بىيىاها كيف فىقهم انسماء إن يىظشوا أفهم
ماء انسماء مه ووضنىا( 8 )مىيب عبذ نكم وركشي تبصشة( 7 )بهيج صوج كم مه فيها وأوبتىا سواسي فيها
(10 )وضيذ طهع نها باسقاث وانىخم( 9 )انحصيذ وحب جىاث به فأوبتىا مباسكا
Dari ayat di atas Alquran selalu mengarahkan manusia untuk berpikir
berdiskusi, dan mengeksplorasi segala sesuatu dalam kehidupannya. Ini karena
sains modern adalah mendukung kepada ilmu-ilmu agama, memperhitungkan
segalanya tanpa sama sekali mengabaikannya. German Physicist Max Planck
mengatakan: everyone who, regardless of his field, studies science seriously is to
read the following phrase on the door of the temple of science: „have faith‟.
Menurutnya, kepercayaan agama (faith) adalah perlengkapan yang bersifat esensi
dalam sains modern.13
10 Mulyadhi. Ibid 48 11 انمكتبت انشامهت (270\4), أضىأ انبيان, محمذ األميه 12 QS. Qoff: 6-10 13 Harun Yahya. Ibid 66
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 11
Alquran adalah ayat Allah yang bersifat verbal dan dalam bentuk tertulis
(tadwiny) sedangkan alam semesta berupa realitas-realitas yang tercipta (takwiny).
Tentunya ini akan menimbulkan metode yang berbeda dalam mempelajari
keduanya. Otoritas Alquran pada beberapa tempat tidak memberikan ruang bagi
akal untuk masuk, tetapi pada tempat lain seperti qiyas, istihsan, adalah jalan
keluar untuk menentukan hukum atas perkara yang tidak ada nash sahih atasnya.
Adapun metode ta‟wil disebut sebagai solusi yang mengatasi diskrepansi yang
tampak terjadi antara nash Alquran dan kebenaran ilmiah dan filosofis yang telah
teruji dengan baik.
Adapun metode yang digunakan untuk mengamati fenomena alam sebagai
jenis ayat Allah berbeda dengan yang di atas. Bahkan bisa beragam tergantung
fenomena yang dikaji. Untuk fenomena alam fisik misalnya, menggunakan
metode observasi atau eksperimen (tajriby) secara langsung atau menggunakan
alat bantu teleskop untuk mengamati bintang atau mikroskop untuk mengamati
benda-benda yang teramat kecil. Namun sebagaimana naskah kitab suci,
fenomena alam terkadang juga memuat realitas-realitas yang lebih dalam,
memberikan indikasi yang jelas akan adanya “neumena” (hakikat) yang
tersembunyi. Teori fisika seperti hukum gravitasi, elektro magnetik, gelombang
nuklir lemah dan kuat, dan hukum sebab-akibat adalah kepingan contoh fenomena
alam yang tidak bisa diamati oleh indera lahir semata, membutuhkan perpaduan
dengan akal, yang disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode demonstratif
(burhany). Tetapi, fenomena alam tidak berhenti di situ. Semakin dalam alam
diamati, semakin banyak ia menguak rahasia-rahasianya yang tak kunjung selesai.
Brain Hiles mengatakan bahwa fisika baru ternyata baru mampu mendengar echo
(gema) dari realitas, dan memerlukan “telinga mistik” untuk bisa menyelaminya
lebih dalam lagi. Disimpulkan kebutuhan terhadap hati (intuisi), yang dalam
epitemologi Islam disebut „irfany, masih berlaku di sini. Bahkan setelah indera
dan akal sudah tidak mampu menguak neumena realitas, maka jalan kaluarnya
adalah pencerahan langsung dari Dzat yang maha tahu dan pemilik segala realitas,
yang diilhamkan kepada orang-orang tertentu yang memiliki hati yang bersih,
yang dianugerahi mukasyafah (penyingkapan).
[43 : انىحم ]تعهمىن نا كىتم إن انزكش أهم فاسأنىا إنيهم وىحي سجانا إنا قبهك مه أسسهىا وما
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 12
4. Integrasi Objek-objek Ilmu
Di atas telah dijelaskan tentang pandangan para ilmuwan barat bahwa objek
yang dianggap ilmiah adalah objek yang bisa dicerap oleh indera, adapun
selainnya maka status ilmiahnya dianggap tidak valid. Mulaydhi memberikan
sedikit hipotesisnya akan hal itu, berawal dari keraguan para ilmuwan barat
terhadap status ontologis objek-objek non-fisik. Keraguan mereka ini berdampak
pada peralihan warga barat dari teistik ke ateistik dengan menyingkirkan dan
penolakan pada segala yang berbau non-fisik, karena dianggap tidak objektif dan
tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Tentunya wajib, bagi filosof muslim untuk
memberikan penjelasan yang meyakinkan terkait status ontologis dari objek-objek
ilmu yang non-fisik.
Dari sudut pandang epistemologi Islam setiap objek ilmu sebenarnya adalah
realitas yang tidak mungkin hanya memiliki dimensi fisik saja, tetapi dipastikan
terdapat dimensi non-fisik juga. Jika penyelidikan hanya dilakukan pada aspek
fisik saja, maka akan terjadi disintegrasi objek-objek ilmu.
Saat mempelajari “kejadian” dan “kehancuran” pasti disadari keberadaan
“sebab” yang melatar belakanginya. Tampaknya ini tidak disadari oleh para
ilmuwan Barat. Menurut para pemikir muslim, “kejadian penciptaan” pasti
membutuhkan kepada agen lain, yaitu pencipta (atau “Sebab Pertama” dalam
istilah filsafat) yang bersifat lebih sempurna dari pada dunia fisik yang tercipta.
Status ontologis “Sang Sebab” tentu lebih fundamental dibanding akibatnya, yaitu
alam fisik. Hal ini senada dengan ungkapan Suhrawardi yang menyebut alam fisik
sebagai al-faqir (yang membutuhkan), yaitu yang membutuhkan sebab pertama
yang disebut al-ghani yang berdiri sendiri tanpa butuh pada selainNya untuk
keberadaanNya.14
Berawal dari pernyataan Ibnu Sina bahwa alam semesta adalah potensi atau
mumkin al-wujud. Dan sekarang telah kita lihat bersama wujudnya alam semesta
ini menjadi sesuatu yang riil seperti yang telah ada sekarang ini, mau tidak mau
pasti terdapat agen lain yang menjadikan sesuatu yang awalnya hanya potensi itu
14 Halim. Ibid 98
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 13
atau mumkin al-wujud menjadi benar-benar wujud, yang tidak lain adalah “Sang
Sebab Pertama”.
Adapun yang dimaksud integrasi objek-objek ilmu adalah sebuah sistem
terpadu objek-objek ilmu yang berkesinambungan, dari objek yang bersifat
metafisik, imajinal dan fisik yang disajikan secara utuh, bukan secara parsial
ketika objek-objek ilmu hanya dibatasi pada objek tertentu saja dengan
mangabaikan objek lainnya.15
Sesuai dengan doktrin wahdah al-wujud yang
menjelaskan kesatuan dan kesamaan segala wujud dan tidak dipisah-pisahkan dan
diperlakukan secara pilih kasih. Oleh karena itu, dalam sebuah sistem
epistemologi yang holistik semua rangkaian wujud ini harus diperlakukan sama.
Demikian juga status ontologis mereka harus dipandang sama-sama kuat dan riil.
Al Farabi juga mencoba menjelaskan tentang integrasi objek ilmu melalui
pengertian wujud, karena pembahasan tentang wujud tidak hanya penting dalam
menegaskan status ontologis melainkan dalam kaitannya dengan objek-objek dan
sumber ilmu.16
Ada dua istilah, yakni Maujud dan wujud. Maujud merujuk pada
dzat dari sebuah eksistensi, sedangkan istilah wujud merujuk pada esensi
(mahiyah) dari eksistensi itu. Wujud dan maujud adalah satu. Namun yang
dimaksud mahiyah di sini bukanlah ide atau sebab seperti yang dikatakan plato
dan aristoteles. Menurut al-Farabi, esensi atau mahiyah ini adalah bentuk jawaban
atas pertanyaan “apakah sesuatu itu?” yang tidak hanya menunjuk pada dzatnya
sehingga tidak bersifat material dan inderawi semata. Bentuk wujud itu
mempunyai eksistensi sendiri yang tidak sama dengan bentuk materialnya. Lebih
dari itu, abstraksi pikiran yang didasarkan atas tangkapan indera terhadap suatu
objek juga dianggap mempunyai eksistensi sendiri dan mandiri.
Dengan konsep itu, maka istilah wujud dan maujud berarti mencakup semua
bentuk eksistensi, baik entitas materiil, metafisik, maupun entitas dalam pikiran
yang merupakan hasil olah nalar.17
15 Mulyadhi. Ibid 67 16 Khudori. Ibid 54 17 Ibid 55
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 14
Dengan demikian epistemologi Islam mengakui segala objek yang menjadi
objek penelitian sains modern. Dalam sistem objek yang terpadu (integral) tidak
satupun jenis objek ilmu yang ditinggalkan, baik yang bersifat fisik, matematik,
ataupun metafisik, yang merupakan tiga kelompok besar ilmu-ilmu rasional.
Semuanya valid dan memiliki status ontologis yang solid dan padu, maka patut
untuk dikaji secara keseluruhan agar integrasi di bidang objek ilmu bisa tercapai.[]
C. Refleksi
Dalam kajian pemikiran Integrasi Ilmu yang digagas oleh Mulyadhi
Kartanegara, cenderung menekankan pada pengakuan terhapad hal-hal nonfisik
(gaib) yang dikabarkan melalui Alquran atau hadist. Pada dasaranya para ilmuwan
Barat memang kesulitan menerima eksistensi hal-hal metafisik, bahkan sampai
terperosok hingga berfaham atheisme, dengan menyingkirkan segala yang berbau
Tuhan. Freud dan penganutnya misalkan, yang mengatakan agama adalah
pengganggu, yang melarang anak-anak untuk berpikir kritis. Agaknya pernyataan
ini sangat perlu diklarifikasi oleh para epistemolog muslim, karena tidak kurang
Alquran menyebutkan anjuran untuk merenung, berpikir, dan bertadabbur atas
ciptaanNya. Hanya saja memang agama membatasi radius berpikir itu agar tidak
memikirkan tentang wujud Tuhan secara visual, karena memang segala yang
dicapai manusia, baik fisik ataupun imajinal, adalah interpretasi dari alam fisik
yang dicerap melalui indera. Sedangkan segala hal yang berada pada jangkauan
manusia adalah bersifat hudust dan tidak kekal hakiki. Maka sangat tidak patut
jika demikian dinisbatkan kepada Tuhan yang maha suci.
كم ما خطش ببانك فاهلل عض وجم بخهاف رنك
Kemampuan berpikir manusia dalam mengungkap kebenaran ilmiah,
puncaknya adalah untuk mengukuhkan nilai-nilai ketauhidan, yang diinterpretasi
dari “laa ilaha illAllah”. Segala sesuatu selainNya adalah makhluk tanpa
terkecuali, dan makhluk-makhluk itu adalah bukti kuat dan nyata atas
keberadaanNya dan entitas-entitas gaib yang dikabarkan dariNya melalui Alquran
ataupun Hadist.
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 15
Maka untuk mencapai sebuah kebenaran yang integral sudah sangat
seharusnya untuk mengikutkan objek-objek nonfisik ke dalam penyelidikan, atau
menyelidiki hal fisik secara mendalam tanpa berhenti di situ dan tanpa
meninggalkan sisi lain yang juga memiliki status ontologis, meski tidak nampak
oleh indera.
Selain itu, kita juga mengenal ilmu matematika dan segala rumusnya yang
sebenarnya sama sekali tidak memiliki bentuk fisik, hanya merupakan hasil
abstraksi dari objek-objek fisik menggunakan olah nalar yang tajam. Bahkan
objek ini menurut Al-Farabi dikatakan memiliki eksistensinya sendiri.
Fanatisme ilmuwan Barat pada ahirnya merambah pada penolakan metode
pemerolehan pengetahuan. Mereka menolak intuisi (hati). Menurutnya Intuisi
yang berasal dari hati itu terkesan sepi dan rawan dari subjektifitas. Memang pada
hakikatnya intuisi dalam tradisi islam disebut sebagai ilmu wahby (ladunny), yang
tidak bisa didapat begitu saja, melainkan harus diawali dengan pembersihan hati.
Ilmu ini disebut juga sebagai ma‟rifat yang penguraiannya sangat sulit, sesulit
mendeskripsikan „manis‟. Betapapun bagusnya redaksi yang digunakan atau
terangnya kuliah atasnya, tetap manis itu akan bersifat abstrak, dan tidak ada jalan
yang tepat selain merasakannya langsung.
Jika menelaah kembali kepada QS. Al Baqoroh:3 yang menjelaskan bahwa
urusan gaib adalah kepercayaan yang merupakan satu tanda bagi muttaqin, maka
pantas jika ilmuwan barat tetap kesulitan untuk mengakuinya.
D. Analisis
Dari sekelumit pemikiran integrasi yang digagas oleh Mulyadhi di atas,
disimpulkan bahwa point integrasi berada pada pembuktian atas realitas sejati
yang mendalangi semua objek dan kejadian di dunia ini. Baik agama atau sains
pada ahirnya akan mengafirmasi eksistensi sebab pertama, dan dari sebab pertama
itulah disatkan status ontologis dari semua objek fisik atau non fisik.
Penyataan bahwa ilmu agama adalah ilmu yang hanya membahas
keagamaan adalah terlalu berlebihan, apalagi jika mengatakan ilmu agama secara
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 16
total mengajarkan hanya tata cara beribadah kepada umatnya. Jika menilik
beberapa mata pelajaran di pesantren salaf yang membebaskan diri dari intervensi
pemerintah dalam kurikulumnya, kita akan melihat di sana ada pelajaran akhlaq,
fiqih, bahasa arab, dan semacamnya yang membahas tentang ilmu sosial. Dalam
akhlaq jelas sekali dijelaskan tentang tatalaku dan bertindak yang baik dan bijak,
dalam ilmu fikih terdapat bab mu‟amalat (bisnis) dan munakahat (pernikahan),
begitupun dalam bahasa arab, meliputi nahwu dan shorof yang membahas secara
mendalam tata bahasa dan budaya arab dari sisi linguitik.
Dari penjelasan tersebut, ingin disampaikan bahwa beberapa muatan ilmu
agama sebenarnya tidak jauh berbeda dengan muatan sains. Karena sains menurut
Wilhem Dithley dapat dibagi menjadi dua, pertama Naturwissenschaften (ilmu-
ilmu alam), dan kedua Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu sosial).18
Dalam sisi
ilmu-ilmu sosial, keduanya bersatu dan benar-benar sama dalam pembahasannya.
Bahkan klaim-klaim subjektivitas dalam agama, agaknya juga akan sangat tampak
dalam sains ilmu-ilmu sosial yang memang munculnya dari cipta, kersa dan rasa
manusia. Ditinjau dari sisi ilmu agama yang ini dan sains yang ini pula, integrasi
tampaknya tidak perlu untuk digagas. Karena adanya konsep integrasi pasti
mengisyaratkan dan berawal dari keyakinan dikotomi kedua ilmu. Bahkan setelah
diintegrasikan, dikotomi itu masih ada dan belum terhapuskan secara total, karena
integrasi hanyalah konsep mempertemukan kedua ilmu dan sama sekali bukan
menggabungkannya.
Kemudian digagas pula pendapat untuk mengintegrasikan Alquran dengan
sains modern yang identik maknanya adalah ilmu alam. Dalam pembahasan atas
telah dijelaskan beberapa ayat Alquran yang juga mengisyaratkan fakta-fakta
ilmiyah yang diusung oleh sains barat. Beberapa ahli tafsir Alquran banyak yang
menggunakan tafsir bil „ilmiy, dimana mereka memanfaatkan teori-teori ilmiyah
(sains modern) yang berkembang untuk menyingkap makna dan hakikat dari
maksud Alquran dalam beberapa ayat kauniyah, yang kebetulan tidak ada jalan
lain dalam memahaminya secara tepat kecuali melalui teori dan metode sains
modern. Konteks ini agaknya tidak perlu untuk diperpanjang pembahasannya,
18
Budi Hardiman F., Melampaui Positivisme.: 22. http://fahmiriady.blogspot.com/2013/05/sains-agama-dan-budaya-perbincangan.html
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 17
karena bisa disederhanakan dengan menganggap Alquran dan sains modern
adalah dua referensi yang sejajar dalam menyingkap rahasia alam.
Permasalahannya berada fanatisme ilmuwan Barat yang hanya ingin mengakui
kebenaran ilmiyah dan teori ilmiyah itu berkembang di tangan mereka, dan tidak
rela jika islam ikut berbicara dalam perkembangan teori itu. Dan memang
kebetulan, sains modern lebih banyak berkembang di tangan ilmuwan barat.
Benar, pemegang sebutan “scientist” atau “peneliti alam” sangatlah tersohor,
banyak masyarakat yang mengagumi mereka dan bangga terhadap temuan para
scientist, dampaknya para scientist yang dianggap memiliki pengetahuan luar
biasa di atas rata-rata, mendapat kepercayaan yang sangat besar dari masyarakat,
sehingga pada ahirnya mereka akan didengar dan diikuti teorinya bahkan cara
berpikirnya yang menjauhkan diri dari konsep-konsep islam.
Selanjutnya, ketidak percayaan para ilmuwa Barat akan status ontologis dari
objek metafisik dan adanay keterlibatan sebab pertama dalam setiap kejadian,
sehingga parahnya sebagian mereka tidak mengakui adanay Tuhan dan hanya
mempercayai kausalitas dalam sebuah organisme alam yang teratur. Kepercayaan
kepada Tuhan adalah hal yang naluriyah dimiliki oleh setiap manusia, meski tanpa
datanganya para Nabi, manusia akan mempercayai adanya Tuhan, hanya saja
Tuhan mereka akan berupa Batu, Matahari atau benda-bendar yang dikultuskan.
Hal ini terbukti dengan tidak kurang umat terdahulu yang menyembah berhala
pada masa fatroh, yakni masa selang antara Nabi Isa dan Rasulullah Muhammad
saw yang selama ratusan tahun tidak datang satu utusan pun. Maka manusia
menyembah Tuhan mereka sendiri dan menetapkan tata ibadah seperti thawaf
dengan telanjang, sambil minum arak, dan semacamnya (prilaku jahiliyah).
Manusia akan menyadari, dari naluri alamiyah, adanya kekuatan maha hebat
di luar kekuatannya sendiri, meskipun mereka tidak pernah diajarkan atau
diberitahu akan adanya kekuatan itu oleh siapapun sebelumnya. Dari sini
pemakalah menyimpulkan bahwa ketidakpercayaan ilmuwan Barat adalah
sebentuk subjektivitas yang jelas dan nyata. Kaum empirisme yang menolak
status ontologis objek metafisik dengan alasan tidak bisa dibuktikan dengan
secara inderawi hanya akan mempersempit cakupan ilmu dan membuat ilmu
bersifat fragmentaris, sesuai ungkapan Mulyadhi di atas.
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 18
E. Penutup
Pemikiran utama dari Integrasi Holistik yang digagas oleh Mulyadhi
Kartanegara, utamanya yang dibahasnya secara luas dalam bukunya yang berjudul
Integrasi Ilmu, adalah menginformasikan bahwa:
1. Konsep Tauhid, yang diusung oleh Mula Shadra yaitu wahdah al-wujud
tampak logis untuk dijadikan basis integrasi dalam menegaskan status
ontologis semua objek baik fisik, imajinal, hasil abstraksi nalar, ataupun
metafisik. Semua adalah sama dan satu.
Menelaah kembali keadaan alam yang disebut Ibn Sina sebagai potensi
atau mumkin al-wujud dan tidak bisa secara independen wujud, maka
semakin terang bahwa alam semesta ini membutuhkan pada agen lain
yang bisa lebih mandiri dalam wujudnya. Sedangkan wujudnya alam
semesta hanyalah pinjaman dariNya.
Konsep wahdah al-wujud menjadi semakin terang lagi setelah menelaah
pada ajaran Suhrawardi Al-Matqul tentang cahaya.
2. Baik Alquran maupun alam semesta adalah tanda-tanda (ayat) Allah
yang tidak boleh dipisahkan, karena keduanya adalah kombinasi yang
pas untuk mengungkap kebenaran ilmiah secara integral. Al-Farabi
mendeskripsikan ilmu:
“ilm adalah kepastian yang dicapai oleh jiwa tentang eksistensi (objek)
yang tidak tergantung pada realitas lainnya dan sistem hasil produksi
manusia, dimana keyakinan tersebut diperoleh dari metode demonstrasi
berdasarkan premis-premis yang benar, pasti, universal , dan unggul”19
3. Objek Ilmu tidak boleh hanya didasarkan pada inderawi atau fisik,
karena jika demikian maka ilmu hanya akan mengkaji objek-objek
tersebut secara parsial dan terfragmentaris.
19 Khudori. Ibid 42
Pemikiran Integrasi Ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara 19
Tidak mungkin suatu objek hanya memiliki dimensi fisik saja. Pasti
terdapat dimensi nonfisik yang selama ini belum disadari para Ilmuwan
Barat, atau sudah disadari tetapi tetap sulit untuk menerimanya.
Dalam “kejadian penciptaan” maka disadari oleh naluri manusia akan
adanya agen lain yang berperan penuh dalam merealisasikannya, atau
mengurungkannya.[]
F. Daftar Pustaka
Sholeh, A. Khoduri. Integrasi Agama & Filsafat: Pemikiran Epistemologi al-
Farabi. UIN Maliki Press 2010
Halim, Abdul. Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis
Harun Nasution. Jakarta Ciputat Pers 2002
Yahya, Harun. Allah Is Known Through Reason. Al-Risala The Islamic Centre
New Delhi 2002
Al Amin, Muhammad. Adlwaul Bayan. Al-Maktabah al-Sahmeela.
Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Mizan,
Bandung 2005
Mauqiful Ghazali Minal Falasifah. Al-Maktabah al-Shameela