inovasi pendidikan islam

19
BAB I PENDAHULUAN Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan suatu masyarakat madani. Peradaban suatu bangsa akan tambah dan lahir dari sistem pendidikan yang digunakan oleh bangsa tersebut. Masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang berpendidikan. Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Muhammad Naqib Al-attas menurutnya pendidikan Islam itu lebih tepat diistilahkan dengan at-ta’dib (disbanding istilah tarbiyah, ta’lim dan lainnya) sebab dengan konsep “ta’dib” pendidikan memberikan adab/kebudayaan. Dengan istilah ini juga dimaksudkan pendidikan berlangsung dengan terfokus pada manusia sebagai objeknya guna pemenuhan potensi intelektual dan spiritual. Seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi yang semakin pesat, secara otomatis menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian atau pembaharuan (inovasi) dalam bidang pendidikan. Pendidikan tidak cukup lagi diselenggarakan secara tradisional, berjalan apa adanya tanpa adanya target yang jelas dan tidak adanya prosedur pencapaian target yang terbukti efektif dan efesien. Apabila kita tetap mempertahankan cara-cara tradisional tanpa mengadakan perubahan sama sekali, maka jelaslah umat Islam dan pendidikan Islam akan 1

Upload: wahyudin

Post on 28-Jun-2015

1.028 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Inovasi Pendidikan islam

BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan suatu

masyarakat madani. Peradaban suatu bangsa akan tambah dan lahir dari sistem

pendidikan yang digunakan oleh bangsa tersebut. Masyarakat yang berperadaban

adalah masyarakat yang berpendidikan. Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan

yang dikemukakan oleh Muhammad Naqib Al-attas menurutnya pendidikan Islam

itu lebih tepat diistilahkan dengan at-ta’dib (disbanding istilah tarbiyah, ta’lim

dan lainnya) sebab dengan konsep “ta’dib” pendidikan memberikan

adab/kebudayaan. Dengan istilah ini juga dimaksudkan pendidikan berlangsung

dengan terfokus pada manusia sebagai objeknya guna pemenuhan potensi

intelektual dan spiritual.

Seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi yang semakin pesat, secara

otomatis menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian atau pembaharuan (inovasi)

dalam bidang pendidikan. Pendidikan tidak cukup lagi diselenggarakan secara

tradisional, berjalan apa adanya tanpa adanya target yang jelas dan tidak adanya

prosedur pencapaian target yang terbukti efektif dan efesien. Apabila kita tetap

mempertahankan cara-cara tradisional tanpa mengadakan perubahan sama sekali,

maka jelaslah umat Islam dan pendidikan Islam akan semakin jauh teringgal

dalam segala aspek. Untuk itulah perlu adanya inovasi dalam pendidikan Islam

agarterlahir pendidikan Islam yang berkualitas.

1

Page 2: Inovasi Pendidikan islam

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Inovasi Pendidikan

Sebelum dijelaskan tentang pengertian inovasi pendidikan terlebih dulu

akan dijelaskan arti inovasi secara umum. Kata “inovasi” berasal dari innovation

(Inggris) atau tajdid (Arab), sering diterjemahkan sebagai suatu hal yang baru atau

pembaharuan, namun ada pula yang menggunakan kata tersebut untuk

menyatakan penemuan (invention), karena hal yang baru itu merupakan hasil

penemuan. Ada juga yang mengkaitkan antara pengertian inovasi dengan

“modernisasi”, karena keduanya membicarakan usaha pembaharuan.

Berdasarkan beberapa pengertian dasar tersebut kata inovasi dapat

diartikan sebagai: Suatu ide, barang, kejadian, metode, yang dirasakan atau

diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang

(masyaraka) ,baik itu hasil invensi atau discovery.

Sedangkan istilah pendidikan Islam pada umumnya mengacu kepada term

at-Tarbiyah, al-Ta’dib dan al-Ta’lim, pengertian dasarnya menunjukkan makna

tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian

dan eksistensinya.

Sedangkan secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses pendidikan islam

adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik”

seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia.

Jadi yang dimaksud dengan inovasi pendidikan Islam dapat diartikan

sebagai pembaharuan untuk memecahkan masalah di dalam pendidikan Islam.

Atau dengan perkataan lain, inovasi pendidikan Islam ialah suatu ide, barang,

metode, yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau

sekelompok orang (masyarakat) baik berupa hasil penemuan (invention), atau

discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah

pendidikan Islam.

Pembaharuan atau tajdid dalam Islam atau pendidikan Islam adalah

sesuatu yang fitrah atau tabie sifatnya. Islam bukanlah suatu agama yang beku

dalam pemikiran dan statik dalam amalan. Dinamika Islam memberikan ruang

2

Page 3: Inovasi Pendidikan islam

kepada kreativiti wujud. Kreativiti dalam pemikiran adalah dituntut tanpa

menolak faktor syara’. Berfikir reflektif adalah suatu keperluan kerena perubahan

hari ini dan hari depan berasaskan cerminan masa lalu supaya wujud

kesinambungan antara yang lepas dengan hari ini. Apa yang berlaku pada masa

lalu memberikan kita landasan tradisi yang baik. Keupayaan umat Islam

mengimbangi faktor perubahan zaman ialah kebijaksanaan menjembatani faktor

tradisi yang baik dan cemerlang dengan faktor perubahan kini yang tidak lari dari

kerangka fitrah.

B. Paradigma Pendidikan Islam dan Implikasi Pengembangannya

Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life (lodge,

1947), dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia

adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak

mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap

hidup dan keterampilan hidup orang Islam.

Apa pandangan dan sikap hidup kita? Hal ini bias dipahami dari makna

hidup itu sendiri yang dalam bahasa arab disebut dengan al-hayah. Makna al-

hayah (hidup) adalah al-harakah (bergerak atau gerakan/kegiatan), dan al-

harakah adalah al-barkah (bergerak atau beraktivitas yang bias mendatangkan

berkah), dan al-barkah adalah al-ziyadah (nilai tambah dalam hidup), al-ni’mah

(kenikmatan atau kenyamanan hidup), dan al-sa’adah (kebahagiaan). Karena itu,

pandangan hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan

hidup seseorang harus bias mendatangkan berkah, yakni nilai tambah,

kenikmatan, dan kebahagiaan dalam hidup.

Namun demikian, timbul pula pertanyaan: apa saja aspek-aspek kehidupan

itu? Dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan Islam

mempunyai visi yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak bias dilepaskan dari

sistem politik dan latar belakang sosio-kultural yang mengitarinya. Secara

historis-sosiologis, setidak-tidaknya telah muncul beberapa paradigma

perkembangan pendidikan Islam sebagai berikut.

3

Page 4: Inovasi Pendidikan islam

1. Paradigma Formisme

Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang sangat sederhana, dan

kata kuncinya adalah dekotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua

sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat

dan tidak bulat, madrasah dah non madrasah, pendidikan keagamaan dan

nonkeagamaan atau pendidikan agama dan pendidikan umum, demikian

seterusnya.

Padangan yang dikotomis tersebut pada giliran selanjutnya dikembangkan

dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan

jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek

kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Seksi yang mengurusi masalah

keagamaan disebut sebagai seksi kerohanian.

Dengan demikian pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan

nonkeagamaan, pendidikan keislaman dengan pendidikan nonkeislaman,

pendidikan agama dengan pendidikan umum, demikian seterusnya, sehingga

pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) berarti al-tarbiyah

al-diniyah/pendidikan keagamaan, ta’lim al-din/pengajaran agama, al-ta’lim al-

dini/pengajaran keagamaan, atau al-ta’lim al-islami/pengajaran keislaman dalam

rangka tarbiyah al-muslimin (mendidik orang-orang Islam).

Karena itu pengembangan pendidikan Islam hanya berkisar pada aspek

keukhrowian saja yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan

rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya

mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sedangkan kehidupan ekonomi, politik,

seni budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya dianggap sebagai

urusan duniawi yang menjadi bidang garapan pendidikan umum (nonagama).

Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam system

pendidikan. Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum, atau ilmu agama dan

ilmu umum sebenarnya muncul dari paradigma formisme tersebut.

Adanya perubahan dan/atau penyempitan pengertian ulama menjadi

fuqaha, sebagai orang-orang yang hanya mengerti soal-soal keagamaan belaka

sehingga tidak dimasukkan ke dalam barisan intelektual, juga merupakan

implikasi dari pandangan dikotomis tersebut. Menurut Azyumardi Azra (1999,

4

Page 5: Inovasi Pendidikan islam

hlm. 159-160) , pemahaman semacam itu muncul ketika umat Islam Indonesia

mengalami masa penjajahan yang sangat penjang, di mana umat Islam mengalami

kelatarbelakangan dan disintergrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Pembenturan umat Islam dengan pendidikan dan kemajuan Baratmemunculkan

kaum intelektual baru (cendikiawan sekuler), yang menurut Benda (dalam Sartono

Kartodirjo, ed, 1981) sebagian besar kaum intelektual tersebut adalah hasil

pendidikan Barat yang terlatih berpikir secara Barat. Dalam proses pendidikannya,

mereka mengalami brain washing (cuci otak) dari hal-hal yang berbau Islam,

sehingga mereka menjadi teralienasi (terasing) dari ajaran-ajaran Islam dan

muslim sendiri. Bahkan terjadi gap antara kaum intelektual baru (sekuler) dengan

intelektual lama (ulama), dan ulama dikonotasikan sebagai kaum sarungan yang

hanya mengerti soal-soal keagamaan dan buta masalah keduniaan.

Paradigma formisme mempunyai implikasi terhadap pengembangan

pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah

dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al-‘ulum al-

diniyah (ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan pintas untuk menuju

kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari

agama. Demikian pula dengan pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat

keagamaan yang normative, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan

untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal (setia), memiliki sikap cumitment

(keperpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang

dipelajari. Sementara itu kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional,

analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman sehingga perlu ditindih oleh

pendekatan keagamaan yang normative dan doktriner tersebut.

Di dalam Islam padahal tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu

agama dan ilmu umum (keduniaan), dan/atau tidak berpandangan dikotomis

mengenai ilmu pengetahuan. Namun demikian, dalam realitas sejarahnya justru

supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-diniyah) sebagai

jalan tol untuk menuju Tuhan. Sehingga menyebabkan kemunduran peradaban

Islam serta keterbelakangan sains dan teknologi di dunia Islam. Hal ini terjadi

bukan saja karena faktor dari luar tapi juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor

dari diri umat Islam itu sendiri, yang kurang peduli terhadap kebebasan penalaran

5

Page 6: Inovasi Pendidikan islam

intelektual dan kurang menghargai kajian-kajian rasional-empiris atau semangat

pengembangan ilmiah dan filosofis. Dengan kata lain, paradigma formisme

dijadikan sebagai titik tolak dalam pengembangan pendidikan Islam.

2. Paradigma Mekanisme

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988), secara

etimologis, mechanism berarti: hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau

saling bekerja seperti mesin, kalau yang satu bergerak maka yang lain turut

bergerak.

Paradigma mechanism memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek,

dan pendidikan dipadang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat

nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya,

bagaikan mesin yang terdiri beberapa komponen atau elemen-elemen, yang

masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan

yang lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.

Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri, terdiri atas nilai agama,

nilai individu, nilai social, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestik,

nilai beofisik, dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan

salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan

lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat

horizontal-lateral (independent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertical linier

(Muhaimin, 1995).

Umat Islam di didik dengan seperangkat ilmu pengetahuan atau mata

pelajaran, salah satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang

mempunyai yang mempunyai fungsi tersendiri, yaitu sebagai:

1. Pengembangan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan

2. Penyaluran bakat dan minat dalam mendalami agama.

3. Perbaikan kesalahan, kekurangan dan kesalahan dalam keyakinan, pemahaman

dan pengamalan ajaran agama.

6

Page 7: Inovasi Pendidikan islam

4. Pencegahan hal-hal negatif dari lingkungannya atau budaya asing yang

berbhaya.

5. Sumber nilai atau pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.

6. Pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagamaan (Muhaimin, 1996).

Jadi, pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau

dimensi afektif daripada kognitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif dan

psikomotor diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual), yang

berbeda dengan mata pelajaran lainnya.

Paradigma tersebut nampak dikembangkan pada sekolah atau perguruan

tinggi umum yang bukan berciri khas agama Islam. Di dalamnya diberikan

seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan (mata kuliah), salah satunya

adalah mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama yang hanya diberikan 2

jam pelajaran perminggu atau 2 sks, dan didudukkan sebagai mata kuliah dasar

umum, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang relegius.

Sebagai implikasinya, pengembangan pendidikan Islam dalam arti

pendidikan agama tersebut bergantung pada kemauan, kemampuan, dan political-

will dari pembinanya dan sekaligus pimpinan dari lembaga pendidikan tersebut,

terutama dalam membangun hubungan kerjasama dengan mata pelajaran (kuliah)

lainnya. Hubungan (relasi) antara pendidikan agama dengan beberapa mata

pelajaran (mata kuliah) lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (independent),

lateral-sekuensial, atau bahkan vertical linier.

3. Paradigma Organisme

Istilah “organism” dapat berarti: benda hidup (plants, animals and

bacteria are organism), dan dapat berarti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian

yang rumit (salim, P, 1996). Dalam pengertian kedua tersebut, paradigma

organism bertolak dari pandangan bahwa Pendidikan Islam adalah kesatuan atau

sebagai sitem (yang terdiri atas komponen yang rumit) yang berusaha

mengembangkan pandangan/semangat hidup (weltanschauung) Islam, yang

dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup Islami.

7

Page 8: Inovasi Pendidikan islam

Dalam konteks pandangan semacam itu, al-tarbiyah al-islamiyah

(pendidikan Islami) berarti al-tarbiyah fi al-Islam (pendidikan dalam Islam) dan

al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam).

Pengertian ini menggaris bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun

dari fundamental doctrins dan fundamental values yang tertuang dan terkandung

dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah shahihah sebagai sumber pokok, kemudian mau

menerima kontribusi dari para ahli serta mempertimbangkan konteks historisnya.

Karena itu, nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang

bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai insane

yang mempunyai relasi horizontal-lateral atau lateral-sekuensial, tetapi harus

berhubungan vertical-linier dengan nilai ilahi/agama.

Melalui upaya semacam itu maka sistem pendidikan Islam diharapkan

dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik,

serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan

teknologi, memiliki kematangan professional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-

nilai agama.

C. Inovasi Pendidikan Islam Menuju Pendidikan Islam Utama

Prof. Dr. Taha Jabir , seorang tokoh ilmuan Islam menyebutkan umat

Islam berada di tiga persimpangan. Pertama terus menggunakan ilmu-ilmu yang

sifatnya traditional dengan metodologinya sekali. Pendekatan ini disebut sebagai

pendekatan authentic atau kekal seaslinya. Kedua, umat Islam berhadapan dengan

faktor perubahan zaman yang dikatakan moden yaitu berlakunya dinamika ilmu

dikembangkan dengan menggunakan kekuatan metodologi terkini. Pendekatan ini

disebut sebagai pendekatan modernistik. Ketiga , umat Islam perlu menyaring

asas tradisi, memilih asas-asas prinsipnya dan mengolahnya semula menggunakan

pendekatan terkini supaya faktor perubahan berlaku tanpa menghilangkan maksud

keaslian dan tradisinya. Ini disebut sebagai pendekatan eklektik. Pendekatan

eklektik belum begitu berkembang dan sering menerima kritik. Pengkritik yang

cenderung kepada asas epistemologi atau asas-usul ilmu sering tidak setuju

sementara yang lain merasakan suatu kewajaran kerena meskipun metodologinya

dinamik, prinsip dan ruh ilmu dan pendidikan tetap tidak berubah.

8

Page 9: Inovasi Pendidikan islam

Hal ini senada dengan salah satu prinsip pendidikan Islam yang

dikemukakan oleh Muhammad Munir Mursi dalam bukunya Al-Tarbiyah al-

Islamiyah Ushuluha wa Tathawuruha fi al-Bilad al-Arabiyah, “Pendidikan Islam

adalah pendidikan yang terbuka”. Hal ini dipahami bahwa Islam merupakan

agama Samawi, yang memiliki nilai-nilai absolute dan universal, namun masih

mengakui keberadaan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Islam

berpandangan, tidak semua nilai yang telah melembagakan dalam satu tata

kehidupan masyarakat, diterima atau ditolak. Sikap Islam dalam menghadapi tata

nilai masyarakat, di dasarkan pada lima macam klasifikasi yaitu:

1) Memilihara unsure-unsur nilai dan norma yang sudah mapan dan positif

2) Menghilangkan unsure-unsur nilai dan norma yang sudahmapan tetapi negatif.

3) Menumbuhkan unsur-unsur nilai dan norma baru yang belum ada dan

dianggap positif

4) Bersikap menerima (receptive), memilih (selective), mencerna (digestive),

menggabung-gabungkan dalam satu system (assimilative), dan

menyampaikan pada orang lain (transmissive) terhadap nilai pada umumnya.

Jadi pendidikan Islam pada dasarnya bersifat terbuka, demokrasi dan

universal. Tetapi keterbukaan pendidikan Islam bukan berarti tidak disertai

dengan fleksibelitas untuk mengadopsi (menyerap) unsur-unsur positif dari luar,

sesuai perkembangan dan kepentingan masyarakatnya, dengan tetap menjaga

dasar-dasarnya yang orginal (shahih) yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-

Hadits. Hal ini ditulis dalam sebuah postulat yang popular القديم على المحافظة

األصلح بالجديد واألخذ .الصالح، “Melestarikan nilai-nilai lama yang positif dan

mengambil nilai-nilai yang baru yang lebih positif”. Keterbukaan seperti inilah

yang memungkinkan pembharuan (inovasi) dalam pendidikan Islam, bukan saja

karena tuntutan zaman, tetapi bersamaan dengan itu pembaharuan diperlukan

karena hajat untuk memperbaiki kemaslahatan kaum muslimin sendiri.

Berdesarkan fenomena di atas maka perlu adanya gagasan

baru/pembaharuan (inovasi) pendidikan Islam di Indonesia dalam masa yang akan

datang antara lain: perlu mengubah dan mengembangkan paradigma lama menjadi

paradigma baru. Jadi kita harus mau meninggalkan yang sudah idak sesuai

(relevan) dengan tuntutan era informasi dan demokrasi. Perlu mengembangkan

9

Page 10: Inovasi Pendidikan islam

nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan dan ciptakan pandangan

baru yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Untuk itu perlu adanya tawaran

gagasan-gagasan untuk menata ulang pemikiran sistem pendidikan nasional.

Meskipun pendidikan mempunyai banyak nama dan wajah, seperti pendidikan

keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, program deploma, dan lainnya,

namun pada hakekatnya pendidikan adalah mengembangkan semua potensi daya

manusia menuju kedewasaan sehingga mampu hidup mandiri dan mampu pula

mengembangkan tata kehidupan bersama yang lebih baik sesuai dengan tantangan

atau kebutuhan zamannya. Dengan kata lain bahwa hakekat pendidikan adalah

mengembangkan human dignity yaitu harkat dan martabat manusia atau

humanizing human, yaitu memanusiakan manusia sehingga benar-benar mampu

menjadi khalifah di muka bumi. Oleh kerena itu berikan ruang lebih banyak bagi

sekolah (khususnya swasta) dan madrasah untuk mengembangkan jati diri dan

menempuh cita-citanya.

10

Page 11: Inovasi Pendidikan islam

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Islam bukan agama yang bek dalam pemikiran dan statistic dalam amalan.

Pendidikan agama Islam bukan sekedar pendidikan yang berkutat pada urusan

Ukhrawi saja, tanpa mengindahkan urusan-urusan dunia. Hal ini senada dengan

apa yang disabdakan Rasulullah SAW. Yang maksudnya “Barangsiapa

menghendaki dunia maka hendaklah ia berilmu, dan barangsiapa menginginkan

akhirat maka hendaklah juga ia berilmu dan siapa yang menghendaki keduanya

(dunia dan akhirat) maka dengan ilmu juga.” Dari sini jelaslah islam tidak

membedakan antara ilmu dunia dengan ilmu umum. Keduanya sama-sama

penting bagi manusia di dunia ini untuk menyempurnakannya sebagai khalifah fil

ardh.

Inovasi pendidikan Islam berarti mengadakan pembaharuan. Dengan

pembaharuan bukan berarti umat ini menghilangkan atau mengabaikan nas-nas

atau aturan-atauran agama, tradisi masyarakat yang sudah mapan dan positif. Tapi

pembaharuan hanya dilakukan pada hal-hal yang sudah tidak relevan lagi pada

saat ini dengan tanpa melanggar rambu-rambu agama. Dalam arti lain

melestarikan nilai-nilai lama yang positif dan mengambil nilai-nilai baru yang

lebih positif.

11

Page 12: Inovasi Pendidikan islam

DAFTAR PUSTAKA

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:

Ciputat Press, t.th), hal.25

http://cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=490_0_3_0_M16

Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan

Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (bandung: Rrmaja Rosdakarya, 2004), Cet-

3, h. 39-46

Muhammad Tholchah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Budaya,

(Jakarta: Galasa Nusantara, 1987), h.19

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawal

Pers, 1996), h. 163

12