inkontinensia urin

56
BOOK READING INKONTINENSIA URIN Oleh : B. Zanuar Ichsan G0005068 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2010

Upload: brilliant-zanuar-ichsan

Post on 28-Jun-2015

2.024 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

book reading : williams gynecology 2008 bab 23

TRANSCRIPT

Page 1: inkontinensia urin

BOOK READING

INKONTINENSIA URIN

Oleh :

B. Zanuar Ichsan G0005068

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2010

Page 2: inkontinensia urin

INKONTINENSIA URIN

Definisi

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai kebocoran urin involunter. Sumber

kebocoran urin bukan hanya dari uretra, namun juga bisa dari ekstra-uretra seperti fistula atau

malformasi kongenital traktus urinarius bagian bawah. Di sini hanya akan dibahas evaluasi

dan manajemen stress incontinence dan urge incontinence.

Berdasarkan International Continence Society guidelines, inkontinensia urin

merupakan simptom, sign, dan juga merupakan suatu ‘kondisi’. Misal, seseorang dengan

stress urinary incontinence (SUI), akan mengeluhkan kebocoran urin involunter karena suatu

upaya keras seperti batuk atau bersin. Bersamaan dengan itu, kebocoran urin dari uretra yang

sinkron dengan kejadian tersebut mungkin perlu diperhatikan. Sebagai suatu ‘kondisi’,

inkontinensia secara obyektif terlihat selama evaluasi urodinamik jika kebocoran urin

involunter muncul dengan adanya peningkatan tekanan intraabdominal dan ketiadaan

kontraksi detrusor. Suatu keadaan dengan simptom maupun sign SUI disertai dengan tes

obyektif, dikenal dengan istilah urodynamic stress incontinence (USI), sebelumnya disebut

dengan istilah genuine stress incontinence.

Wanita dengan urge urinary incontinence (UUI) akan mengalami kesulitan dalam

menunda urinasi yang mendesak (urgent), dan umumnya harus tepat mengosongkan kandung

kemihnya pada saat itu juga, tanpa ditunda. Jika UUI secara obyektif nampak dengan

evaluasi sistometrik, kondisi ini disebut overaktivitas detrusor, sebelumnya dikenal sebagai

instabilitas detrusor. Keadaan dimana SUI dan UUI muncul bersamaan disebut mixed

urinary incontinence (MUI).

Inkontinensia fungsional merupakan keadaan dimana seorang wanita tak dapat

mencapai toilet pada waktunya karena keterbatasan fisik, psikologis atau mentasi. Sebagian

besar contoh yang ada menunjukkan bahwa kelompok penderita inkontinensia fungsional

akan memiliki kontinensia yang baik, jika permasalahan tersebut di atas diatasi.

Epidemiologi

Di masyarakat barat, sebagian besar studi epidemiologis mengindikasikan prevalensi

sebesar 25-55%. Kisaran yang luas ini diatribusikan ke varietas luas yang sama dengan

metodologi investigasinya, karakteristik populasinya, dan definisi inkontinensia sendiri.

Terlebih lagi data yang ada sekarang jauh lebih terbatasi oleh fakta bahwa sebagian besar

wanita tidak memperhatikan kondisi tersebut (Hunskaar, 2000). Diperkirakan hanya 1 dari 4

Page 3: inkontinensia urin

wanita yang mencari bantuan medis mengenai inkontinensia yang mereka alami karena :

malu, akses yang terbatas ke pelayanan kesehatan, atau skrining yang kurang oleh penyedia

layanan kesehatan (Hagstad, 1985).

Kondisi yang paling sering ditemukan adalah SUI, yaitu sekitar 29-75% kasus.

Overaktivitas detrusor mencapai 33% kasus inkontinensia, sedangkan sisanya berupa bentuk

campuran (MUI) (Hunskaar, 2000).

Inkontinensia urin signifikan menurunkan kualitas hidup penderitanya, yang

mengarah pada terganggunya hubungan sosial, distres psikologis karena malu dan frustasi,

rawat inap karena gangguan kulit dan infeksi traktus urinarius, serta perawatan di rumah

(nursing home admission). Wanita tua penderita inkontinensia 2,5 kali lebih mungkin

menjalani nursing home daripada yang kontinensia (Langa, 2002).

Faktor Resiko Inkontinensia Urin

1. Usia

Prevalensi inkontinensia meningkat bertahap selama masa dewasa muda.

Puncak yang lebar tampak pada usia pertengahan dan kemudian menetap setelah usia

65 tahun (Hannestad, 2000).

Prevalence of any (n = 6,170) and significant (n = 1,832) incontinence by age group (From Hannestad, 2000, with permission.)

Page 4: inkontinensia urin

2. Ras

Dulunya wanita kaukasia diyakini lebih beresiko mengalami inkontinensisa

urin daripada ras lain. Namun sebaliknya, wanita Afrika-Amerika dipercaya

berprevalensi lebih tinggi pada urge incontinence. Namun laporan tersebut tidak

berdasar populasi, dan dengan demikian perbedaan ras sejatinya bukan merupakan

perkiraan yang terbaik. Sebagian besar studi epidemiologis mengenai inkontinensia

urin dilaksanakan dalam populasi Kaukasian. Data yang ada menyangkut perbedaan

ras sangat didasarkan pada ukuran sampel yang kecil (Bump, 1993). Dari catatan

terkini, belum jelas apakah perbedaan ini biologis, berkaitan dengan penilaian

pelayanan kesehatan, atau dipengaruhi oleh ekspektasi kultural dan ambang toleransi

simptom. Dengan demikian, masih diperlukan studi lebih mendalam mengenai studi

non-Kaukasian.

3. Obesitas

Beberapa studi epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan body mass

index (BMI) merupakan faktor resiko independen dan signiffikan untuk semua jenis

inkontinensia urin (Table 23-1). Bukti menunjukkan bahwa prevalensi urge

incontinence dan stress incontinence meningkat berbanding lurus dengan

meningkatnya BMI (Hannestad, 2003). Secara teoritis peningkatan tekanan

intraabdominal yang bersamaan dengan pemingkatan BMI menghasilkan tekanan

intravesikal yang secara proporsional lebih tinggi. Tekanan yang lebih tinggi ini

menimbulkan urethral closing pressure dan menjurus pada inkontinensia (Bai, 2002).

Deitel and co-workers (1988) melaporkan adanya penurunan yang signifikan pada

prevalensi stress urinary incontinence, dari 61 menjadi 11%, pada wanita obese

seiring dengan penurunan berat bdan setelah pembedahan bariatrik. Sesuai dengan itu,

jika proporsi populasi yang overweight dan obese lebih besar, diharapkan kita dapat

melihat peningkatan prevalensi inkontinensia urin di Amerika Serikat (Flegal, 2002).

Table 23-1 Faktor Resiko Inkontinensia Urin

Usia

Kehamilan

Kelahiran

Menopause

Page 5: inkontinensia urin

Histerektomi

Obesitas

Simptom urinari

Gangguan fungsional

Gangguan kognitif

Tekanan abdominal tinggi yang kronis

Batuk kronis

Konstipasi

Resiko okupasional

Merokok

4. Menopause

Studi-studi yang ada belum konsisten menunjukkan adanya peningkatan

disfungsi urin setelah seorang wanita memasuki tahun-tahun postmenopausal (Bump,

1998). Sukar untuk memisahkan efek hipoestrogenisme dari efek penuaan.

Reseptor estrogen afinitas tinggi telah diidentifikasi di uretra, muskulus

pubokoksigeal, dan trigonum bladder, namun jarang ditemukan di bladder (Iosif,

1981). Dipercaya bahwa perubahan kolagen yang berkaitan dengan hipoestrogen dan

reduksi vaskularisasi serta volume muskulus skeletal secara kolektif berperan pada

gangguan fungsi uretra melalui penurunan resting urethral pressure (Carlile, 1988).

Lebih jauh lagi, defisiensi estrogen yang menimbulkan atrofi urogenital diperkirakan

berperan dalam simptom sensoris urinari yang menyertai menopause (Raz, 1993).

Estrogen memang berperan penting dalam fungsi urinari normal, namun masih kurang

jelas apakah estrogen berguna dalam terapi atau pencegahan inkontinensia (Estrogen

Replacement) (Fantl, 1994, 1996).

5. Kelahiran dan kehamilan

Banyak studi menemukan bahwa wanita para memiliki prevalensi

inkontinensia urin lebih besar dibandingkan dengan yang nullipara. Pengaruh dari

melahirkan anak terhadap kejadian inkontinensia dapat timbul dari luka langsung

pada otot-otot pelvis dan perlekatan jaringan ikat. Sebagai tambahan, kerusakan

syaraf dari trauma atau ketegangan yang ada dapat berdampak pada disfungsi otot

pelvis (Snooks, 1986). Secara spesifik, level yang lebih tinggi dari latensi motorik

nervus pudendal yang lama setelah melahirkan nampak pada wanita dengan

inkontinensia dibanding dengan wanita yang asimtomatis.

6. Kebiasaan merokok dan penyakit paru kronis

Page 6: inkontinensia urin

Ada 2 studi epidemiologis yang menunjukkan peningkatan resiko

inkontinensia urin yang signifikan pada wanita usia lebih dari 60 tahun dengan

penyakit pulmoner obstruktif kronis (Brown, 1996; Diokno, 1990). Sama pula pada

kebiasaan merokok yang diidentifikasi sebagai faktor resiko independen inkontinensia

urin pada beberapa studi. Salah satu dari studi tersebut, menyebutkan bahwa baik

yang perokok maupun mantan perokok tercatat memiliki resiko 2-3 kali lipat

dibanding dengan yang bukan perokok (Bump, 1992). Secara teoritis, kenaikan

persisten tekanan intraabdominal yang timbul karena batuk kronis perokok dan

sintesis kolagen, dapat diturunkan dengan efek antiestrogenik merokok.

7. Histerektomi

Studi belum menunjukkan hasil yang konsisten bahwa histerektomi

merupakan faktor resiko berkembangnya inkontnensia urin. Studi yang menunjukkan

hubungan tersebut adalah studi retrospektif, kurangnya grup kontrol yang sesuai, dan

sering semata-mata berdasarkan data subyektif (Bump, 1998). Sebaliknya, Studi yang

meliputi tes pre dan post operatif urodinamik mengungkapkan perubahan fungsi

bladder yang secara klinis tidak signifikan. Lebih jauh lagi, bukti tidak mendukung

bahwa menghindari histerektomi yang telah diindikasikan secara klinis ataupun

menghindari pelaksanaan histerektomi supracervical menjadi ukuran untuk mencegah

inkontinensia urin (Vervest, 1998; Wake, 1980).

Patofisiologi

1. Kontinensia

Vesika urinaria merupakan organ penyimpan urin dengan kapasitasnya

mengakomodasi penambahan volume urin dengan tekanan intravesikal minimal

maupun tidak. Kemampuan menjaga penyimpanan urin dan pengosongan volunter

tetap baik disebut kontinensia. Kontinensia memerlukan koordinasi komplek banyak

komponen yang meliputi kontraksi dan relaksasi otot, dukungan jaringan pengikat

yang baik, inervasi terintegrasi serta komunikasi antar struktur tersebut. Ringkasnya,

selama pengisian, kontraksi uretra dikoordinasikan dengan relaksasi vesika urinaria

sehingga urin tersimpan. Kemudian selama miksi, uretra relaksasi dan vesika urinaria

berkontraksi. Mekanisme ini dapat dilawan oleh kontraksi detrusor yang tak

terinhibisi, sehingga tekanan intraabdominal meningkat, dan mengubah berbagai

komponen anatomis dari mekanisme kontinensia tersebut di atas.

2. Pengisian vesika urinaria/bladder

Page 7: inkontinensia urin

a) Anatomi Vesika Urinaria

Dinding vesika urinaria terdiri dari 4 lapis : lapisan mukosa,

submukosa, muskuler dan adventisial. Lapisan mukosa terdiri dari sel epitel

transisional, yang didukung oleh lamina propria. Dengan volume vesika

urinaria yang kecil, mukosa berubah bentuk menjadi lipatan convoluted.

Mukosa akan terbentang dan menipis saat pengisian. Epitel VU yang disebut

dengan uroepithelium, tersusun atas 3 lapisan sel yang berbeda. Yang paling

superfisial adalah lapisan sel payung. Lapisan ini impermiabel sehingga

berfungsi sebagai barrier primer urin-plasma.

Page 8: inkontinensia urin

Anatomi VU. A. Sisi Anteroposterior anatomi VU. Inset: Dinding VU terdiri dari mukosa, submukosa, muskuler, dan lapisan adventisial. B. Fotomikrograf dinding VU. Mukosa VU kosong terlempar membentuk lipatan convoluted atau rugae. Susunan pleksiform serabut otot detrusor menyulitkan untuk membedakan ketiga lapisan. C. Bentuk dan posisi VU saat kosong dan saat terisi penuh. (From McKinley, 2006, with permission.)

Permukaan kavitas uroepitelium ditutupi oleh lapisan

glikosaminoglikan (GAG). Lapisan ini mencegah perlekatan bakteri dan

Page 9: inkontinensia urin

kerusakan urotelial dengan bertindak sebagai barrier protektif. Dalam teori

digambarkan bahwa lapisan yang terdiri dari polimer karbohidrat ini dapat

mengalami defek pada pasien sistitis interstisial.

Lapisan muskuler yang disebut juga muskulus detrusor tersusun atas 3

lapisan otot halus yang tersusun dalam bentuk pleksiform. Susunan pleksiform

yang unik ini memungkinkan ekspansi multidimensional yang cepat selama

pengisian VU dan merupakan komponen kunci dari kemampuan VU ntuk

mengakomodasi volume urin yang besar.

b) Sfingter Urogenital

Saat VU terisi, kontraksi sinkron sfingter urogenital bergabung untuk

membentuk suatu kontinensia. Komponen sfingter ini meliputi : (1) sfingter

uretra (SU), (2) sfingter uretrovaginal (UVS), and (3) kompressor uretra

(CU). Sfingter uretra merupakan otot lurik dan membungkus melingkari

uretra. Sedangkan UVS dan CU merupakan otot lurik yang melengkung

ventral diluar uretra dan menyisip ke jaringan fibromuskuler dinding anterior

vagina.

Fungsi ketiga otot ini sebagai unit tunggal dan berkontraksi efektif

mendekati uretra. Kontraksi ketiga otot ini mengkonstriksikan 2/3 bagian atas

uretra secara melingkar dan menekan 1/3 bagian bawah secara lateral. Sfingter

Page 10: inkontinensia urin

uretra terutama tersusun atas serabut-serabut yang berkedut lambat dan tetap

berkontraksi tonis, berperan dalam sisa-sisa proses kontinensia akhir.

Sebaliknya, sfingter uretrovaginal dan kompressor uretra tersusun atas

serabut-serabut otot yang berkedut cepat, dimana hal ini memungkinkan untuk

kontraksi dan penutupan lumen uretra yang cepat dan kuat saat kontinensia

dilawan oleh peningkatan tekanan intraabdominal yang mendadak.

c) Inervasi yang penting untuk penyimpanan urin

Otot lurik sfingter urogenital menerima inervasi motorik melalui

nervus pudendus. Serabut saraf somatik ini mengendalikan otot lurik sfingter

ini. Dengan demikian, neuropati pudendal yang mungkin menyertai proses

kelahiran lama, dapat mempengaruhi fungsi normal muskulus ini. Sebagai

tambahan, riwayat pembedahan pelvis atau radioterapi pelvis dapat merusa

nervus, vaskularisasi dan jaringan lunak. Hal ini dapat menjurus pada aksi

fingter urogenital yang tidak efektif dan menimbulkan inkontinensia.

Page 11: inkontinensia urin

Saat VU terisi, sinyal aferen sensoris dibwa melalui nervus

hipogastrikus dan pelvis ke medulla spinalis, dimana mereka akan relay ke

pusat mikturisi pontin via traktus spinotalamikus lateralis dan kolumna

dorsalis. Stimulasi simpatis yang dibawa melalui nervus hipogastrikus

menjaga aktivitas sfingter uretra yang didasarkan pada otot polos dan

membantu relaksasi detrusor yang mendukung penyimpanan urin. Bersamaan

dengan itu, sinyal eferen somatik ke otot lurik dasar pelvis ditransfer melalui

nervus pudendus, selanjutnya akan menimbulkan aktivitas sfingter uretra

volunter dan augmentasi resistensi uretra yang cepat sebagai respon terhadap

peningkatan VU yang mendadak. Saat sinyal aferen meningkatkan intensitas

pengisian VU, ambang kesadaran tercapai pada poin yangmana dicari peluang

pengosongan yang sesuai secara. Pada poin tersebut, sinyal dari pusat

Page 12: inkontinensia urin

mikturisi pontin ke medulla sakral lewat melalui traktur retikulospinal dan

kortikospinal. Rangsangan kolinergik parasimpatik detrusor dan refleks

relaksasi oto lurik dasar pelvis menyertainya dan timbullah urinasi. Segi aksi

agen farakologis ditunjukkan dengan lingkaran.(From Sourander, 1990, with

permission.)

Serabut simpatik dibawa melalui pleksus nervus hipogastrik dan

berhubungan dengan reseptor α dan β didalam VU dan uretra. Rangsangan

reseptor β-adrenergik di fundus VU menghasilkan relaksasi otot polos dan

membantu penyimpanan urin. Sebaliknya, reseptor α1 terutama terletak di

dasar VU dan uretra. Reseptor α adrenergik dirangsang oleh norepinefrin,

yang menimbulkan cascade peristiwa yang khusus mengarah pada kontraksi

uretra dan membantu penyimpanan urin serta kontinensia. Pengaruh stimulasi

alfa ini mendasari penatalaksanaan SUI dengan menggunakan imipramine,

yaitu sebuah antidepresan trisiklik dengan sifat agonis adrenergiknya

(medikasi).

d) Koaptasio Uretra

Satu kebutuhan kunci dalam menjaga kontinensia adalah koaptasio

mukosa uretra yang adekuat. Seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya,

uroepitelium didukung oleh lapisan jaringan ikat yang membentuk plika atau

lipatan yang dalam. Jaringan yang kaya kapilarisasi berjalan didalam lapisan

subepitelial ini. Jaringan vaskuler ini membantu aproksimasi mukosa uretra

yang disebut sebagai koaptasio (coaptation), dengan bertindak seperti

inflatable cushion. Pada wanita yang hipoestrogenik, pleksus vaskulatur

submukosa ini kurang prominen. Sehingga pada hormone replacement

menargetkan pengurangan vaskularisasi dan memperkuat koaptasi untuk

memperbaiki kontinensia.

Page 13: inkontinensia urin

Gambar anatomi uretra. Sebagian koaptasi uretra dhasilkan oleh

pengisian pleksus subepitelial yang kaya vaskularisasi. Uretra tersusun atas

lapisan otot halus yang berbeda dengan sfngter lurik urogenital (tidak

diilustrasikan). (diambil dari Craig, 1995.)

3. Pengosongan VU

a) Inervasi yang berkaitan dengan pengosongan

Saat tiba waktu pengosongan VU yang tepat, rangsangan simpatis

berkurang dan rangsangan parasimpatis terpicu. Secara spesifik, impuls neural

yang dibawa saraf-saraf pelvis, merangsang pelepasan asetilkolin dan

menimbulkan kontraksi muskulus detrusor. Bersamaan dengan stimulasi

detrusor, asetilkolin merangsang reseptor di uretra dan mengakibatkan

relaksasi outlet untuk pengosongan.

Page 14: inkontinensia urin

Di dalam sistem parasimpatis, reseptor asetilkolin secara luas

didefinisikan sebagai muskarinik dan nikotinik. VU dipadati oleh reseptor

muskarinik. Dari reseptor-reseptor muskarinik, 5 glikoprotein yang menyusun

M1 sampai M5 telah teridentifikasi. Subtipe reseptor M2 dan M3 diketahui

sangat berperan dalam kontraksi otot polos detrusor. Sehingga terapi dengan

medikasi antagonis muskarinik dapat melemahkan kontraksi detrusor

sehingga dapat memperbaiki kontinensia. Lebih spesifik lagi, obat-obat

kontinensia yang hanya menargetkan reseptor M3, dapat memaksimalkan

efikasi obat namun meminimalkan aktivasi reseptor muskarinik yang lain dan

efek samping obat.

b) Aktivitas Muskuler dengan Pengosongan

Sel-sel otot polos di dalam detrusor bergabung satu dengan yang

lainnya sehingga terdapat jalur elektris beresistensi rendah dari satu sel otot ke

otot selanjutnya. Dengan demikian potensial aksi dapat menyebar cepat

melalui muskulus detrusor dan selanjutnya menimbulkan kontraksi cepat

keseluruh VU. Sebagai tambahan, susunan pleksiform serabut-serabut detrusor

VU memungkinkan kontraksi multidireksional dan sangat ideal untuk

kontraksi konsentris yang cepat selama pengosongan VU.

Selama pengosongan, seluruh komponen sfingter lurik urogenital

berelaksasi. Penting diketahui bahwa kontraksi VU dan relaksasi sfingter

harus terkoordinasi baik supaya pengosongan efektif. Terkadang kontraksi

tonis VU dan relaksasi sfingter tidak sinkron (disinkronisasi) dengan relaksasi

uretra. Dengan adanya disinergia sfingter, uretra gagal berelaksasi selama

kontraksi detrusor dan terjadilah retensi. Wanita dengan keadaan seperti ini

kadang diterapi dengan agen farmakologis seperti muscle relaxants. Obat ini

konon merelaksasi sfingter uretra dan muskulus levator ani sehingga

pengosongan dapat terkoordinasi lebih baik.

4. Teori kontinensia

Ada banyak teori kontinensia dan melibatkan konsep yang berhubungan

dengan transmisi tekanan, support anatomis, dan integritas uretra. Tiap teori memiliki

bukti ilmiah pendukung yang berbeda-beda. Namun saat ini teori-teori tersebut

mendasari terapi uroginekologis saat ini. Sulit untuk mengurai mekanisme yang ada di

balik inkontinensia, sehingga separasi etiologi artifisial bisa sedikit berguna untuk

Page 15: inkontinensia urin

praktisi umum. Dengan demikian, secara sederhana kontinensia dapat dikonsepkan

dalam segi support dan integritas uretra.

5. Transmisi Tekanan

Dalam traktus urogenital yang tersupport ideal, peningkatan tekanan

intraabdominal ditransmisikan sama ke VU, dasar VU, dan uretra. Pada wanita yang

kontinensia, peningkatan tekanan yang mengarah ke bawah seperti misalnya dari

batuk, tertawa, bersin dan manuver valsava ditahan oleh tonus jaringan pendukung

dari muskulus levator ani dan jaringan ikat vagina. Pada orang yang memiliki

‘backboard’ suportif yang lemah, kekuatan yang menekan ke bawah tersebut tidak

tertahan. Hal ini akan menjurus pada peristiwa patent urethra, penyaluran ke

urethrovesical junction, dan selanjutnya kebocoran urin (urine leakage). Teori

mekanistik ini merupakan dasar untuk surgical re-establishment. Prosedur seperti

Burch colposuspension digunakan untuk menciptakan kembali tahanan tersebut.

Gambar di atas mendeskripsikan teori transmisi tekanan. Pada wanita normal,

peningkatan tekanan intraabdominal didistribusikan merata ke sisi kontralateral VU

dan uretra. Namun pada wanita yang jaringan penahannya lemah, peningkatan

tekanan intraabdominal ini mengubah sudut uretrovesikal, dan selanjutnya

kontinensia terganggu.

6. Urethral Support

Urethral support terintergrasi dalam kontinensia. Support ini berasal dari : (1)

ligamentum sepanjang sisi lateral uretra; (2) vagina dan kondensasi fasial lateralnya;

(3) arcus tendinous fascia pelvis; and (4) muskulus levator ani. Dengan hilangnya

Page 16: inkontinensia urin

uretral support, maka kemampuan uretra untuk menutup melawan a firm supportive

backboard suportif yang kuat akan menurun. Ini akan mengakibatkan menurunnya

tekanan penutupan uretra dan ketidakmampuan dalam menahan tekanan bladder yang

meningkat, sehingga kontinensia terganggu.

a) Restorasi Urethral Support

Terapi untuk memperbaiki urethral support meliputi latihan otot dasar

panggul (Kegel exercises) dan penggunaan pesarium vaginal (latihan

penguatan dasar panggul). Prosedur urethropexy seperti Burch and Marshall-

Marchetti-Kranz (MMK) colposuspensions berperan dalam membangun

kembali support anatomis urethrovesical junction dan urethra proksimal

tersebut.

b) Integritas Uretra

1. Faktor yang mempengaruhi integritas

Uretra memelihara kontinensia melalui kombinasi koaptasio

mukosa uretra, kaakter viskoelastis epitel uretra, pleksus vaskuler uretra

yang mendasar, serta kontraksi yang baik dari muskulus sekitarnya. Defek

salah satu komponen ini akan mengarah pada kebocoran urin.

Sebagai contoh, riwayat tindakan surgikal regio suprapubis dapat

menyebabkan denervasi dan pembentukan jaringan parut pada uretra dan

jaringan pendukungnya. Pengaruh ini selanjutnya akan menghambat

penutupan uretra dan menjurus ke arah inkontinensia. Keadaan uretra yang

seperti ini disebut sebagai defek sfingter intrinsik (DSI). DSI biasa

diistilahkan sebagai "lead pipe" urethra. Pada DSI sering ditemukan

denervasi dan atau devaskularisasi. Ada banyak macam kausa spesifik,

meliputi : pembedahan rekonstruktif pelvis sebelumnya, radioterapi pelvis,

hipoestrogenisme, neuropati diabetik dan penyakit degeneratif neuronal.

Pada wanita dengan atrofi traktus genital bawah, perubahan vaskuler di

dalam pleksus yang mengelilingi uretra, memiliki koaptasio yang jelek dan

resiko inkontinensia yang lebih besar. Karena itu terapi replacement

estrogen ditujukan pada sistem vaskuler ini dan sering berhasil dalam

meningkatkan koaptasio mukosa dan memperbaiki inkontinensia.

Page 17: inkontinensia urin

Trauma yang berhubungan dengan proses kelahiran dapat

mengubah inervasi traktus urinarius bagian bawah hingga dapat

mengakibatkan inkontinensia yang potensial persisten dan segera. Pada

situasi ini, disfungsi syaraf yang menyertai trauma lahir menjurus pada

fungsi sfingter defektif. Sebagai tambahan, proses melahirkan biasanya

juga melukai fascial support ke uretra. Contoh klinis ini menunjukkan

hubungan yang mendalam antara urethral support dengan integritas uretra.

2. Restorasi integritas uretra

Terapi yang diarahkan pada restorasi integritas uretra meliputi

injeksi bulking agent transuretral, prosedur surgical sling, dan penguatan

otot dasar pelvis. Bulking agent seperti misalnya kolagen, diberikan di

bawah muskularis uretra urethrovesical junction untuk meningkatkan

epitel dan mendukung koaptasio. Alternatifnya bisa dilaksanakan prosedur

pubovaginal sling pada keadaan obstruktif parsial untuk memperkuat

integritas uretra. Yang terakhir, karena uretra keluar melalui hiatus

urogenital, melatih muskulus levator ani dengan latihan otot dasar panggul

dapat menyokong integritas uretra. Otot –otot ini dapat berkontraksi di

sekitar uretra saat kontinensia dilawan oleh peningkatan tekanan intra

abdominal yang mendadak.

Simptom Urinaria

1. Frekuensi urinasi

Sebagian besar wanita buang air kecil kurang lebih 8 kali sehari. Tanpa

adanya riwayat peningkatan intake cairan, peningkatan frekuensi buang air kecil dapat

mengindikasikan adanya inkontinensia, infeksi traktus urinarius, patologis uretram

kalkulus, dan sebaiknya dilakukan evaluasi tambahan. Peningkatan frekuensi Bak

juga berkaitan dengan sistitis interstisial. Pada sistitis interstisial, frekuensi Bak dapat

meningkat hingga 20 x per hari. Pada wanita dengan urge incontinence ataupun

gangguan manajemen cairan sistemik, seperti gagal jantung kongestif, dapat

ditemukan nokturia. Pada kasus yang terakhir ini, terapi keadaan yang mendasarinya

dapat mengarah pada perbaikan gejala atau penyembuhan.

2. Retensi Urin

Page 18: inkontinensia urin

Penting mengetahui bahwa pasien mengosongkn kandung kemihnya dengan

adekuat. Pengosongan inkomplit sering mengakibatkan inkontinensia yang

berhubungan baik dengan stress maupun urgensi. Istilah ‘overflow incontinence’ telah

lama tak digunakan.

3. Simptom urinari lainnya

Volume urin yang hilang tiap episodenya juga memberikan petunjuk

diagnostik penting. Hilangnya volume urin yang besar khas menyertai kontraksi

detrusor spontan yang berhubungan dengan UUI dan sering terkait dengan hilangnya

seluruh volume bladder/VU. Sebaliknya pada SUI, volume urin yang hilang

berjumlah sedikit. Terlebih lagi pada wanita yang dapat mengontraksikan muskulus

levator aninya dapat menghentikan aliran urinnya untuk sementara waktu.

Penetesan urin setelah pengosongan, khas berhubungan dengan divertikulum

uretra yang sering dimisdiagnosiskan dengan inkontinensia. Hematuria yang

merupakan tanda yang biasa muncul pada infeksi saluran kemih (ISK), juga dapat

mengindikasikan adanya malignansi dan dapat menyebabkan simptom pengosongan

iritatif.

Onset simptom juga memberikan informasi mengenao etiologi dan

penatalaksanaannya. Misalnya, onset simptom dengan menopause dapat mengarahkan

pada keadaaan hipoestrogenik yang mendasari inkontinensia. Pasien ini dapat diterapi

dengan estrogen replacement. Sebaliknya, simptom post histerektomi atau post

partum mungkin dapat mencerminkan adanya perubahan jaringan pendukung atau

inervasinya.

Riwayat Penyakit Dahulu

Untuk deskripsi simptom urinaria yang lebih spesifik dan mendetail, faktor medis lain

dapat berhubungan dengan inkontinensia. Trauma obstetrik dapat berhubungan dengan

kerusakan dasar panggul, yang mengarah pada SUI. Karenanya sangat diperlukan informasi

penting mengenai proses kelahiran yang lama, makrosomia, kelahiran operatif per vaginam,

kateterisasi postpartum untuk retensi urin, dan paritas yang tinggi. Radioterapi malignansi

sebelumnya juga dapat menyebabkan gejala pengosongan iritatif atau defisiensi sfingter

inttrinsik, yang merupakan faktor predisposisi SUI. Jadi, interferensi medis yang mendetail

harus diketahui. Tabel di bawah menunjukkan obat-obatan yang dapat menyebabkan

inkontinensia, di antaranya : estrogen, agonis α-adrenergik, dan diuretik.

Page 19: inkontinensia urin

Table 23-4 Medications that May Contribute to Incontinence

Medication Examples Mechanism Effect

Alcohol Beer, wine, hard liquor Diuretic effect, sedation, immobility

Polyuria, frequency

-adrenergic agonists

Decongestants, diet pills IUS contraction Urinary retention

-adrenergic blockers

Prazosin, terazosin, doxazosin

IUS relaxation Urinary leakage

Anticholinergic agents   Inhibit bladder contraction, sedation, fecal impaction

Urinary retention and/or functional incontinence

  Antihistamines Diphenhydramine, scopolamine, dimenhydrinate

   

  Antipsychotics Thioridazine, chlorpromazine, haloperidol

   

  Antiparkinsonians Trihexyphenidyl, benztropine mesylate

   

  Miscellaneous Dicyclomine, disopyramide

   

  Skeletal muscle relaxants

Orphenadrine, cyclobenzaprine

   

  Tricyclic antidepressants

Amitriptyline, imipramine, nortriptyline, doxepin

   

Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors

Enalapril, captopril, lisinopril, losartan

Chronic cough Urinary leakage

Calcium-channel blockers

Nifedipine, nicardipine, isradipine, felodipine

Relaxes bladder, fluid retention

Urinary retention, nocturnal diuresis

Cyclooxygenase-2 selective NSAIDs

Celecoxib Fluid retention Nocturnal diuresis

Diuretics Caffeine, HCTZ, furosemide, bumetanide, acetazolamide, spironolactone

Increases urinary frequency, urgency

Polyuria

Narcotic analgesics Opiates Relaxes bladder, fecal impaction, sedation

Urinary retention, and/or functional incontinence

Page 20: inkontinensia urin

Thiazolidinediones Rosiglitazone, pioglitazone, troglitazone

Fluid retention Nocturnal diuresis

HCTZ = hydrochlorothiazide; IUS = internal urethral sphincter; NSAID = nonsteroidal anti-inflammatory drug.

Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi Umum dan Evaluasi Neurologis

Awalnya, perineum diinspeksi ada tidaknya atrofi, yang dapat diperhatikan

dari traktus genital bagian bawah. Sebagai tambahan, penggelembungan sub-uretra

(suburethral bulging) mungkinmengindikasikan adanya divertikulum dan sebaiknya

dieksklusikan selama inspeksi. Pemeriksaan fisik yang menyeluruh pada wanita

inkontinensia juga harus meliputi evaluasi neurologi perineum yang menyeluruh.

Karena respon neurologis bisa berubah pada pasien dengan gangguan kecemasan saat

keadaan tertentu, tanda-tanda klinis yang menghilang selama pemeriksaan tidak

menunjukkan patologi sebenarnya, jadi sebaiknya diintepretasikan dengan hati-hati.

Evaluasi neurologis dimulai denan upaya menghilangkan refleks bulbokavernosus.

Selama tes ini, salah satu labium mayor digores cotton swab. Normalnya, kedua labia

akan sama-sama berkontraksi bilateral. Komponen aferen refleks ini adalah nervus

pudendus cabang klitoris, dimana komponen eferennya dibungkan melalui nervus

pudendus cabang hemoroidal. Refleks ini diintegrasikan pada medulla spinalis

setinggi S2 sampai S4 (Wester, 2003). Sehingga ketiadaan refleks ini dapat

merefleksikan adanya defisit neurologis sentral maupun perifer. Yang kedua,

kontraksi sfingter anal yang normal melingkar, biasa disebut sebagai "anal wink",

harus mengikuti penggoresan cotton swab pada kulit perianal. brushing of the perianal

skin. Aktivitas sfingter uretra eksternal membutuhkan paling sedikit inervasi setinggi

S2 sampai S4 yang intak, dan refleks anokutaneus ini dimediasi oleh tingkat

neurologis spinal yang sama. Dengan demikian, tidak adanya anal wink dapat

mengindikasikan adanya defisit neurologis pada distribusi neurologis ini.

2. Penilaian Support Pelvis

a) Evaluasi Prolaps Organ Pelvis

Urethral support yang melemah biasanya disertai dengan prolaps organ pelvis

(POP). Contohnya, wanita dengan prolaps yang signifikan biasanya tidak mampu

Page 21: inkontinensia urin

mengosongkan bladderya dengan sempurna karena obstruksi maupun lipatan

(kinking) uretra. Mereka harus menaikkan atau mengurangi prolapsnya dengan jari

untuk mengosongkan bladdernya. Sehingga evaluasi eksternal POP diindikasikan

untuk wanita dengan inkontinensia. Selain mengevaluasi defek kompartemen vaginal,

evaluasi kekuatan otot pelvis juga harus dilaksanakan. Wanita dengan inkontinensia

ringan sampai moderat sering merespon dterapi dasar panggul dengan baik dan dalam

keadaan ini, trial terapi ini dijamin baik dan sering kuratif.

b) Q-Tip Test

Jika uretra tersupport lemah, maka selama peningkatan tekanan

intraabdominal, uretra akan mengalami hipermobilitas. Untuk menilai

mobilitasnya, letakkan ujung lembut cotton swab masuk ke uretra sampai pada

urethrovesical junction. Kegagalan memasukkan ujung cotton swab ke dalam

urethrovesical junction menandakan adanya permasalahan pada jaringan

pendukung. Ketidaknyamanan dari Q-tip test ini dapat dikurangi dengan analgesia

intrauretra. Biasanya, 1% jeli lidokain ditambahkan pada cotton swab sebelum

disisipkan ke dalam uretra. Berikutnya, dilakukan manuver valsava. Penyimpangan

sudut swab sebelum dan sesudah manuver valsava diukur dengan goniometer atau

standard protractor. Penyimpangan sudut swab sebelum dan sesudah manuver

valsava lebih besar daripada 30º di atas horisontal, mengindikasikan adanya

hipermobilitas uretra dan hal ini dapat membantu mengarahkan perencanaan terapi

surgikal untuk menangani stress incontinence.

FIGURE 23-8

Page 22: inkontinensia urin

Drawing depicting Q-tip test in a patient with urethral hypermobility. A. Angle of the Q-tip at rest. B. Angle of the Q-tip with Valsalva maneuver or other increases in intra-abdominal pressure. The urethrovesical junction descends, causing upward deflection of the Q-tip. (From Tarnay, 2007, with permission.)

c) Pemeriksaan Rektovaginal dan Bimanual

Pada umumnya, pmeriksaan pelvis memberikan sedikit petunjuk diagnostik

mengenai penyebab yang mendasari trerjadi inkontinensia. Pemeriksaan bimanual

dapat mengungkapkan massa pelvis atau uterus yang membesar karena leiomioma

atau adenomiosis. Hal ini mengakibatkan inkontinensia melalui peningkatan

tekanan eksternal yang ditransmisikan ke VU. Sebagai tambahan, impaksi faeces

yang biasa terjadi pada pasien yang dirawat di rumah (nursing home) dapat

mengarah pada urgensi bladder dan akhirnya terjadi inkontinensia urin.

Uji Diagnostik

1. Urinalisis dan Kultur

Semua wanita inkontinensia sebaiknya diteliti apakah ada infeksi maupun

patologi traktus urinariusnya pada kunjungan awal. Atasi infeksi dengan pengobatan

Page 23: inkontinensia urin

yang sesuai jika ada, dan jika terdapat simptom yang persisten, perlu evaluasi

tambahan lebih lanjut.

2. Residual Post Pengosongan (PVR)

Volume ini rutin diukur selama evaluasi inkontinensia. Setelah miksi, residu

post pengosongan atau biasa disebut PVR (postvoid residual) diukur dengan hand-

held sonographic scanner atau dengan kateterisasi transuretral. Jika menggunakan

hand-held scanner, perhatikan wanita dengan uterus leiomiomatous yang membesar

karena ini akan salah merekam PVR yang besar. Pada contoh kasus ini, atau pada

kasus tidak adanya scanner, maka gunakan kateterisasi transuretral untuk

mengonfirmasi volume residual bladder.

PVR yang besar bisa menunjukkan salah satu dari beberapa masalah berikut

ini : infeksi rekuren, obstruksi uretra oleh massa pelvis, atau defisit neurologis.

Sebaliknya, PVR yang normalnya sedikit sering ditemukan pada SUI.

PVR Postoperatif

Setelah tindakan pembedahan anti-inkontinensia, pengukuran PVR

merupakan indikator yang membantu menilai kemampuan pasien dalam

mengosongkan blaaddernya dengan sempurna. Evaluasi ini dapat dilengkapi

dengan trial pengosongan aktif maupun pasif.

Dengan trial pengosongan pasif, kateter urin dilepas, dan PVR diukur

dengan scanner atau dengan kateterisasi transurethral tiap setelah pengosongan

volunter dalam 2 kesempatan. Volume pengosongan minimal 300 mL dan yang

ditargetkan adalah PVR kurang dari 100 mL. Namun pengosongan bladder

dianggap normal jika PVR kurang dari 1/3 volume pengosongan. Jika pasien tdak

memenuhi kriteria tersebut, atau ia tak mampu memngosongkan bladder dalam

waktu 4-6 jam semenjak pelepasan kateter, selanjutnya pasang kateter lagi dan tes

dilakukan sehari kemudian atau lebih.

Selama trial pengosongan aktif, bladder secara aktif diisi dengan set

volume, dan diikuti pengosongan bladder oleh pasien, volume residual urin bladder

kemudian dihitung. Awalnya bladder dikosongkan seluruhnya dengan kateterisasi.

Berdiri tegak lurus selama kateterisasi dapat membantu membersihkan sebagian

besar porsi dependen bladder. Air steril diinfuskan di bawah gravitas ke bladder

melalui kateter yang sama sampai kira-kira 300 mL atau sampai tercapai kapasitas

Page 24: inkontinensia urin

maksimum subyektif. Pasien kemudian dinminta untuk mengosongkan spontan ke

alat penampung urin. Perbedaan antara volume yang diinfuskan dengan volume

yang dikeluarkan dicatat postvoid residual (PVR). Residu kurang dari 100 mL atau

1/3 volume yang dimasukkan, jika kurang dari 300 ml yang diinfuskan,

mengindikasikan pengosongan bladder adekuat.

3. Sistometrik

Koreksi surgikal bersifat invasif dan beresiko. Terlebih lagi bladder

merupakan bukti yang kurang dapat diandalkan dan informasi riwayat penyakit tidak

selalu tepat mengindikasiskan tipe inkontinensia yang mendasari (Blaivas, 1996).

Sehingga jika terapi konservatif tidak berhasil atau tindakan surgikal diantisipasikan,

maka harus didapatkan penilaian yang lebih obyektif. Sebagai tambahan, jika

simptom dan penemuan fisik yang didapatkan ternyata kurang sesuai, maka dapat

diindikasikan studi urodinamik obyektif (UDS) berupa evaluasi sistometrik.

Contohnya, bila ada seorang wanita dengan inkontinensia urin campuran yang

memiliki kedua gejalanya baik gejala SUI maupun UUI, UDS dapat menunjukkan

bahwa hanya komponen UUI yang berperan dalam inkontinensia tersebut. Dalam hal

ini, inkontinensia dapat diterapi dulu dengan terapi fisik, behavioral dan atau

farmakologis. Jadi dengan UDS, tindakan surgikal dapat dihindari. Terapi surgikal

dapat dirubah jika UDS menunjukkan parameter yang konsisten dengan defek sfingter

intrinsik.

Meskipun ada indikasi UDS tersebut di atas, namun UDS masih kontroversial.

Kebocoran yang nampak pada saat tes tidak selalu relevan dengan klinisnya.

Sebaliknya, tes tersebut bisa saja tidak informatif jika offending maneuver atau situasi

yang menjurus pada keadaan inkontinensia sebenarnya tidak bisa dibuat saat evaluasi.

Terlebih lagi, konfirmasi obyektif diagnosis tidak selalu diperlukan karena terapi

empiris pada wanita dengan simtop predominan UUI bersifat reasonable.

Sistometrik Sederhana (simple cystometric)

Pengukuran obyektif fungsi bladder dalam serangkaian tes disebut

sistometrik. Sistometrik ada yang sederhana maupun multichannel dan

memiliki sensitivitas yang berbeda.

Sistometrik sederhana membedakan stress incontinence dengan

overaktivitas detrusor, seperti halnya pada pengukuran sensasi pertama,

Page 25: inkontinensia urin

keinginan untuk mengosongkan, dan kapasitas bladder. Prosedur ini

mudah dilakukan dengan air steril, 60-mL catheter-tipped syringe, dan

kateter urin, serta bladder dikosongkan terlebih dahulu. Syringe 60 ml

dipasang pada kateter, kemudian isi dengan air steril. Air ditambahkan

sampai seorang wanita: (1) sensasi pengisian bladder, (2) perasaan ingin

segera mengosongkan, dan (3) kapasitas maksimum bladder tercapai.

Volume air dicatat di tiap 3 point tersebut. Perubahan meniskus cairan di

dalam syringe dimonitor. Elevasi meniskus apapun mengindikasikan

kontraksi bladder dan menegakkan diagnosis overaktivitas detrusor. Ketika

kapasitas bladder tercapai, kateter dilepas, dan wanita tersebut diminta

melaksanakan manuver valsava atau batuk sambil berdiri. Adanya

kebocoran urin mengindikasikan adanya SUI.

Sistometrik sederhana memiliki beberapa keuntungan,

diantaranya : mudah dilaksanakan, tidak memerlukan alat mahal, dan

dapat dilaksanakan oleh sebagian besar ginekologis. Satu keterbatasan tes

sistometrik sederhana adalah tidak bisa merefleksikan perubahan yang

didapatkan pada pasien dengan defisisensi sfingter intrinsik (DSI).

Sistometrik multichannel

Seperti yang telah disebutkan, DSI tidak teridentifikasi dengan

sistometrik sederhana. Determinasi ini penting, karena diagnosis ini

potensial menghindarkan pilihan surgikal tertentu. Sistometrik

multichannel memberikan lebih banyak informasi mengenai parameter

fisiologis bladder, yang tidak dapat diketahui melalui sistometrik

sederhana.

Sistometrik multichannel lebih banyak dilaksanakan oleh

uroginekologis atau urologis karena availabilitas alat terbatas dan biaya

yang mahal. Tes dilaksanakan dengan meminta pasien berdiri atau duduk

tegak lurus pada kursi evaluasi urodinamik khusus. Tes ini menggunakan 2

kateter. Satu kateter dipasang ke bladder dan yang satunya lagi ke vagina

atau rektum (jika terdapat prolaps yang nyata karena faeces yang

mengobstruksi sensor kateter, maka lebih baik dipasang ke vagina untuk

menghindari pembacaan yang tidak akurat). Selain itu, pemasangan di

vagina dirasa lebih nyaman pada sebagian besar wanita. Di tiap kateter

Page 26: inkontinensia urin

akan diperoleh atau dihitung : (1) tekanan intraabdominal, (2) tekanan

vesikuler, (3) tekanan detrusor terhitung (calculated detrusor pressure),

(4) volume bladder, dan (5) tingkat aliran infus salin. Dari pembacaan

kateter ini, dapat diperoleh informasi mengenai bladder, intra-abdominal,

dan tekanan detrusor. Tabel di bawah menunjukkan perbedaan bentuk

inkontinensia.

FIGURE 23-9

Interpretation of multichannel urodynamic evaluation: cystometrogram. A catheter is placed in the bladder to determine the pressure generated within it (Pves). The pressure in the bladder is produced from a combination of the pressure from the abdominal cavity and the pressure generated by the detrusor muscle of the bladder.Bladder pressure (Pves) = Pressure in abdominal cavity (Pabd) + Detrusor pressure (Pdet). A second catheter is placed in the vagina (or rectum if advanced stage prolapse is present) to determine the pressure in the abdominal

Page 27: inkontinensia urin

cavity (Pabd). As room temperature water is instilled into the bladder, the patient is asked to cough every 50 mL and the external urethral meatus is observed for leakage of urine around the catheter. The volume at first desire to void and the bladder capacity is recorded. Additionally, the detrusor pressure (Pdet) channel is observed for positive deflections to determine if there is detrusor activity during testing. The detrusor pressure (Pdet) cannot be measured directly by any of the catheters. However, from the first equation, we can calculate the detrusor pressure (Pdet) by subtracting the bladder pressure from the abdominal pressure (Pabd):

Detrusor pressure (Pdet) = Bladder pressure (Pves) – Pressure in abdominal cavity (Pabd)

I. Urodynamic Stress Incontinence (USI)

Urodynamic stress incontinence is diagnosed when urethral leakage is seen with increased abdominal pressure, in the ABSENCE of detrusor pressure.

a. +USI (Column 1): Abdominal pressure is generated with Valsalva maneuver or cough. This pressure is transmitted to the bladder and a bladder pressure (Pves) is noted. The calculated detrusor pressure is zero. Leakage is observed and diagnosis of USI is assigned.

b. No USI (Column 2): Abdominal pressure is generated with Valsalva maneuver or cough. This pressure is transmitted to the bladder and a bladder pressure (Pves) is noted. The calculated detrusor pressure is zero. Leakage is NOT observed. The patient is NOT diagnosed as having USI.

II. Detrusor Overactivity (DO)

Detrusor overactivity is diagnosed when the patient has involuntary detrusor contractions during testing with or without leakage.

a. +DO (Column 3): Although no abdominal pressure is observed, a vesicular pressure is noted. A calculated detrusor pressure is recorded and noted to be present. A diagnosis of DO is made regardless of whether leakage is seen or not.

b. +DO (Column 4): In this example, an abdominal pressure is observed as well as a vesicular pressure is noted. Using only the Pabd and the Pves channels, it is difficult to tell whether or not the detrusor muscle contributed to the pressure generated in the bladder. On subtraction, a calculated detrusor pressure is recorded. Thus, a diagnosis of DO is made, again regardless of whether leakage is seen or not.

In addition to these channels, occasionally a channel to detect electromyographic activity is used. Flow rate = rate of fluid infusion (usually 100 mL/min); Pabd = pressure in abdominal cavity; Pdet = detrusor pressure (calculated); Pves = bladder pressure; Vol = volume of fluid instilled in the bladder.

4. Uroflowmetry

Awalnya, pasien diminta mengosongkan bladdernya ke sebuah commode yang

dihubungkan ke flowmeter (uroflow-metry). Setelah tingkat aliran maksimal terekam,

Page 28: inkontinensia urin

pasien dikateterisasi untuk diukur PVR-nya dan untuk meyakinkan pengosongan

bladder sebelum dilakukan tes lebih lanjut. Tes ini memberikan informasi mengenai

kemampuan seorang wanita mengosongkan bladdernya. Tes ini dapat

mengidentifikasi wanita dnegan retensi urin dan jenis disfungsi pengosongan lainnya.

5. Sistometrografi

Mengikuti uroflowmetry, sistometrografi dilakukan untuk menentukan apakah

seorang wanita memiliki bukti urodinamik SUI yang nyata atau overaktivitas detrusor

(OD).

Penatalaksanaan Stress Urinary Incontinence (SUI)

Medikasi

Terapi farmasi berpengaruh kecil terhadap Sui. Namun pada inkontinensia urin

campuran (MUI), dapat digunakan imipramin karena dapat membantu kontraksi uretra. Obat

ini memiliki efek anti depresan dan uretra mengandung banyak reseptor imipramin. Berikut

adalah dosis tabelnya:

Table 23-5 Pharmacologic Treatment of Overactive Bladder

Drug Name Brand Name

Drug Type Dosage Available Doses

Oxybutynin (short-acting)

Ditropan Antimuscarinic 2.5–5 mg PO tid

5-mg tablet, 5mg/mL syrup

Oxybutynin (long-acting)

Ditropan XL

See above 5–30 mg PO once daily

5-, 10-, 15-mg tablet

Oxybutynin (transdermal)

Oxytrol See above 3.9 mg/d; patch changed twice weekly

36-mg patch

Tolterodine (short-acting)

Detrol M3-selective antimuscarinic 1–2 mg PO bid 1-, 2-mg tablet

Tolterodine (long-acting)

Detrol LA

See above 2–4 mg PO once daily

2-, 4-mg capsule

Trospium chloride

Sanctura Antimuscarinic quaternary amine

20 mg PO bid 20-mg tablet

Darifenacin Enablex M3-selective antimuscarinic 7.5–15 mg PO daily

7.5-, 15-mg tablet

Solifenacin Vesicare M3-selective antimuscarinic 5–10 mg PO once daily

5-, 10-mg tablets

Imipramine hydrochloride

Tofranil Tricyclic antidepressant, 10–25 mg PO qd–qid

10-, 25-, 50-mg tablets

Page 29: inkontinensia urin

anticholinergic, -adrenergic, antihistamine

bid = twice daily; PO = orally; qd = daily; qid = four times daily; tid = three times daily.

Saat ini duloxetine (inhibitor reuptake norepinefrin dan serotonin selektif telah

dievaluasi untuk terapi SUI. Pada binatang percobaan, agonis serotonergik menekan aktivitas

simpatis dan memperkuat aktivitas somatik dan parasimpatis. Efek tambahannya mendukung

penyimpanan urin dengan relaksasi VU dan memperkuat resistesi outlet. Meskipun masih

dalam penyelidikan, selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) ini dapat memperbaiki

gejala SUI yang ada (Norton, 2002; Dmochowski, 2003a; Millard, 2004). Lebih jauh lagi

Ghoneim an tim studinya menemukan bahwa kombinasi duloxetine dan PFMT lebih efektif

daripada jika digunakan sendiri-sendiri.

Dulu phenylpropanolamine (PPA) igunakan untuk terapi SUI. Namun pada tahun 2005,

FDA menggolongkannya ke kategori II dan dianggap tidak aman dan efektif (U.S. Food and

Drug Administration, 2005). Lebih tepatnya keputusan FDA bdibenarkan dengan adanya

peningkatan kejadian stroke hemoragik pada wanita yang mengonsumsi obat ini.

Pesarium dan Urethral Inserts

FIGURE 23-10

Page 30: inkontinensia urin

A. Urethral insert used for continence. (Courtesy of Rochester Medical.) The device consists of a short silicone tube that is covered by a mineral oil–containing sheath. The proximal end of the conformable sheath expands to a bulbous tip. At the device's distal end, a soft flange prevents migration of the entire tube into the bladder. B. For insertion, an applicator is used to aid placement. With insertion, mineral oil within the sheath is evenly distributed along its length, and the bulbous tip is collapsed. When properly placed, the tip enters the bladder and the mineral oil preferentially flows to the device's bulbous tip. The applicator is then removed. As a result, the bulbous tip occludes the urethra to improve continence. When voiding is desired, the flange is grasped and the entire single-use device is gently removed. (Redrawn from Sirls, 2002, with permission.)

FIGURE 23-11

Page 31: inkontinensia urin

Photograph of Monarc Subfascial Hammocktrocars. (Courtesy of American Medical Systems.)

Dua jenis utama prosedur TOT dibedakan dengan apakah penempatan benang dimulai di dalam vagina dan mengarah keluar, diistilahkan dengan pendekatan in-to-out, atau alternatifnya mulai dari luar dan mengarah ke dalam, disebut pendekatan out-to-in. Awalnya, prosedur ini dikembangkan dari pendekatan out-to-in. Namun pendekatan ini memiliki potensial komplikasi berupa luka di uretra dan bladder. Contohnya,pada sebuah studi retrospektif, Abdel-Fattah et al(2006) membandingkan kedua pendekatan ini. Luka traktus urinarius bawah ke bladder atau ureter terkomplikasi 1% dari hampir 400 prosedur dan semuanya menyertai metode yang out to in.

Akibatnya, pendekatan in to out dibuat dan dipasarkan dengan pernyataan adanya penurunan tingkat luka traktus urinarius bawah. Namun tehnik in-to-out, ujung trokar lebih dekat ke bundle neurovaskuler obturatorius daripada yang dengan metode out-to-in (Achtari, 2006; Zahn, 2007). Jadi meskipun masing-masing metode punya keuntungan secara teoretis, namun kemungkinan luka belum sepenuhnya dapat dihindari.

Meskipun pendekatan transobturator menawarkan tehnik pembedahan 1 hari efektif dengan tingkat injuri bladder yang rendah, namun beberapa studi retrospektif telah menunjukkan

Page 32: inkontinensia urin

bahwa metode tersebut punya keefektifan yang terbatas untuk pasien yang memenuhi kriteria urodinamik untuk defisisensi sfingter intrinsik (Miller, 2006; O'Connor, 2006).

Inovasi Baru

Modifikasi prosedur TVT nampaknya dapat memberikan tingkat keamanan yang baik.

Dengan tehnik baru ini, benang sintetik polipropilene 3-4 strip dipakai secara langsung di

bawah mid-uretra melalui incisi kecil pada vagina. Benang tidak dijahitkan pada ruang

retropubik sehingga luka vaskuler pada daerah ini dapat dihindari. Belum ada data mengenai

keefektifan dan keamanan tehnik ini. Luka traktus urinarius bagian bawah juga belum

sepenuhnya bisa dihindari dengan tehnik ini. Tehnik lain yang sudah pernah diperkenalkan

yaitu ablasi microwave jaringan periuretra. Namun belum ada data mengenai keefektifan dan

keamanannya pula.

Terapi Urge Incontinence

MEDIKASI ANTIKOLINERGIK

Oxybutynin dan Tolterodine

Obat-obatan yang secara kompetitif mengikat reseptor kolinergik dapat menurunkan

simptom urge incontinence, meliputi tolterodine, oxybutynin, dan imiramine. Namun seperti

yang telah dibicarakan sebelumnya, reseptor muskarinik tidak terbatas pada kandng kemih.

Dengan demikian efek samping obat ini bisa signifikan. Efek yang paling sering muncul

berupa : mulut kering, konstipasi dan pandangan kabur. Yang paling utama menyebabkan

pasien putus obat biasanya keluhan mulut kering. Penting untuk dicatat, antikolinergik

dikontraindikasikan untuk glaukoma sudut sempit. Karena efek-efek ini, obyek terapeutik

blokade bladder M3 dengan agen antimuskarinik ini sering dibatasi oleh efek samping

antikolinergiknya. Maka dari itu seleksi obat sebaiknya disesuaikan, dan efikasinya setara

dengan tolerabilitasnya. Misalnya, Diokno et al (2003) menemukan oxybutynin (Ditropan

XL, Ortho-McNeil Pharmaceuticals, Raritan, NJ) yang lebih baik daripada tolterodine (Detrol

LA, Pfizer, New York, NY). Namun tolterodine memiliki level efek samping yang lebih

rendah.

Tabel 23-6 Efek samping potensial Antikolinergik

Efek samping Konsekuensi klinis potensial

midriasis fotofobia

Penurunan akomodasi visual Penglihatan kabur

Penurunan salivasi Ulcerasi Gingival dan buccal

Page 33: inkontinensia urin

Penurunan sekresi bronkhial Small airway mucus plugging

Penurunan keringat Hipertermi

Peningkatan denyut jantung Angina, infark miokardium

Penurunan fungsi detrusor Distensi kandung kemih dan

retensi urin

Mobilitas gastrointestinal menurun konstipasi

Antagonis Reseptor Muskarinik Selektif

Medikasi antikolinergik terbaru memperkenalkan agen yang dapat mengurangi efek

samping sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup. Kesemua agen tersebut adalah

antagonis selektif reseptor M3, meliputi solifenacin (VESIcare, Yamanouchi Pharma,

Paramus, NJ), trospium chloride (Santura, Esprit Pharma, East Brunswick, NJ), dan

darifenacin (Enablex, Novartis, East Hanover, NJ). Sebuah studi menunjukkan adanya

keuntungan dari peningkatan waktu peringatan urgensi dan penurunan efek samping

muskarinik (Cardozo, 2004; Chapple, 2005; Haab, 2006; Zinner, 2004). Meskipun profil efek

samping obat-obat ini menarik, namun belum terbukti baik terhadap obat-obat reseptor

muskarinik nonselektif pada randomized controlled trials.

Imipramine

Agen ini kurang efektif dibanding tolterodine and oxybutynin, namun bersifat α-

adrenergik seperti halnya karakteristik antikolinergik. Sehingga kadang diresepkan untuk

orang yang mengalami inkontinensia urin campuran. Penting diketahui bahwa dosis

imipramin yang digunakan untuk inkontinensia secara signifikan lebih rendah daripada yang

digunakan pada depresi dan nyeri kronis. Berdasarkan pengalaman, hal ini meminimalkan

resiko teoritis obat yang berhubungan dengan efek sampingnya.

Neuromodulasi Sakral

Alat yang diimplantasikan melalui pembedahan pada pasien rawat jalan ini terdiri dari

pulse generator dan electrical lead yang diletakkan di foramen sakrum untuk memodulasi

inervasi kandung kemih dan dasar pelvis. Neuromodulasi sakrum dilaksanakan pada wanita

dengan urgensi refraktori, frekuensi, atau urge incontinence. Juga dapat dipertimbangkan

Page 34: inkontinensia urin

untuk nyeri pelvis, sistitis interstisial, dan disfungsi defekatori, meskipun FDA belum

menyetujui indikasi tersebut. Neuromodulasi sakral tidak dipertimbangkan sebaga terapi

primer. Para wanita memiliki pilihan berupa terapi farmakologis dan konservatif.

Implantasi merupakan proses ‘2 tahap’ yang khas. Awalnya lead dipasang dan

dilekatkan pada externally worn generator. Setelah pemasangan tersebut, frekuensi dan

amplitudo impuls listrik dapat dinilai dan diasesuaikan sampai keefektifan maksimum. Jika

terdapat perbaikan sebesar 50% atau lebih dalam simptom yang ada, maka implantasi internal

permanent pulse generator dapat direncanakan selanjutnya.

Meskipun penggunaannya terbatas, modalitas ini menunjukkan keefektifan terapi.

Hasil studi menemukan adanya tingkat perbaikan yang berkisar antara 60-75%, dan tingkat

kesembuhan sebesar 45% (Janknegt, 2001; Schmidt, 1999; Siegel, 2000). Prosedur ini invasif

minimal dan bisa selesai dalam waktu 1 hari pembedahan, sehingga penyembuhannya pun

cepat. Komplikasi dari pembedahannya jarang terjadi namun bisa muncul sebagai nyeri atau

infeksi di sisi tempat insersi generator.

Referensi

Abdel-Fattah M, Ramsay I, Pringle S: Lower urinary tract injuries after transobturator tape insertion by different routes: a large retrospective study. BJOG 113:1377, 2006 [PMID: 17083654]

Page 35: inkontinensia urin

Abrams P, Cardozo L, Fall M, et al: The standardisation of terminology of lower urinary tract function: report from the Standardisation Sub-committee of the International Continence Society. Am J Obstet Gynecol 187:116, 2002 [PMID: 12114899]

Achtari C, McKenzie BJ, Hiscock R, et al: Anatomical study of the obturator foramen and dorsal nerve of the clitoris and their relationship to minimally invasive slings. Int Urogynecol J 17:330, 2006 [PMID: 16211316]

Albo ME, Richter HE, Brubaker L, et al: Urinary Incontinence Treatment Network. Burch colposuspension versus fascial sling to reduce urinary stress incontinence. N Engl J Med 356(21):2143, 2007 [PMID: 17517855]

Bai SW, Kang JY, Rha KH, et al: Relationship of urodynamic parameters and obesity in women with stress urinary incontinence. J Reprod Med 47:559, 2002 [PMID: 12170533]

Blaivas JG: The bladder is an unreliable witness. Neurourol Urodyn 15:443, 1996 [PMID: 8857612]

Bologna RA, Gomelsky A, Lukban JC, et al: The efficacy of calcium glycerophosphate in the prevention of food-related flares in interstitial cystitis. Urology 57(6, Suppl 1):119, 2001

Brown JS, Seeley DG, Fong J, et al: Urinary incontinence in older women: who is at risk? Study of Osteoporotic Fractures Research Group. Obstet Gynecol 87(5 Pt 1):715, 1996

Bump RC, McClish DK: Cigarette smoking and urinary incontinence in women. Am J Obstet Gynecol 167:1213, 1992 [PMID: 1442969]

Bump RC, Norton PA: Epidemiology and natural history of pelvic floor dysfunction. Obstet Gynecol Clin North Am 25:723, 1998 [PMID: 9921553]

Bump RC: Racial comparisons and contrasts in urinary incontinence and pelvic organ prolapse. Obstet Gynecol 81:421, 1993 [PMID: 8437798]

Cardozo L, Lisec M, Millard R, et al: Randomized, double-blind placebo controlled trial of the once daily antimuscarinic agent solifenacin succinate in patients with overactive bladder. J Urol 172(5, Part 1):1919, 2004

Carlile A, Davies I, Rigby A, et al: Age changes in the human female urethra: a morphometric study. J Urol 139:532, 1988 [PMID: 3343739]

Chapple CR, Martinez-Garcia R, Selvaggi L, et al: A comparison of the efficacy and tolerability of solifenacin succinate and extended release tolterodine at treating overactive bladder syndrome: Results of the STAR Trial. Eur Urol 48:464, 2005 [PMID: 15990220]

Colombo M, Milani R, Vitobello D, et al: A randomized comparison of Burch colposuspension and abdominal paravaginal defect repair for female stress urinary incontinence. Am J Obstet Gynecol 175:78, 1996 [PMID: 8694079]

Dallosso HM, McGrother CW, Matthews RJ, et al: The association of diet and other lifestyle factors with overactive bladder and stress incontinence: a longitudinal study in women. BJU Int 92:69, 2003 [PMID: 12823386]

Page 36: inkontinensia urin

Deitel M, Stone E, Kassam HA, et al: Gynecologic-obstetric changes after loss of massive excess weight following bariatric surgery. J Am Coll Nutr 7:147, 1988 [PMID: 3361039]

DeLancey JOL: Anatomy of the Female Bladder and Urethra. In Bent AE, Ostergard DR, Cundiff GW, et al (eds) Ostergard's Urogynecology and Pelvic Floor Dysfunction, 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams&Wilkins, 2003, p 9

deTayrac R, Deffieux X, Droupy S, et al: A prospective randomized trial comparing tension-free vaginal tape and transobturator suburethral tape for surgical treatment of stress urinary incontinence. Am J Obstet Gynecol 190:602, 2004 [PMID: 15041987]

Diokno AC, Appell RA, Sand PK, et al: Prospective, randomized, double-blind study of the efficacy and tolerability of the extended-release formulations of oxybutynin and tolterodine for overactive bladder: results of the OPERA trial. Mayo Clin Proceed 78:687, 2003 [PMID: 12934777]

Diokno AC, Brock BM, Herzog AR, et al: Medical correlates of urinary incontinence in the elderly. Urology 36:129, 1990 [PMID: 2385880]

Dmochowski RR, Miklos JR, Norton PA, et al: Duloxetine versus placebo for the treatment of North American women with stress urinary incontinence. J Urol 170(4 Pt 1):1259, 2003a

Dmochowski RR, Sand PK, Zinner NR, et al: Comparative efficacy and safety of transdermal oxybutynin and oral tolterodine versus placebo in previously treated patients with urge and mixed urinary incontinence. Urology 62:237, 2003b

Fantl JA, Bump RC, Robinson D, et al: Efficacy of estrogen supplementation in the treatment of urinary incontinence. The Continence Program for Women Research Group. Obstet Gynecol 88:745, 1996 [PMID: 8885906]

Fantl JA, Cardozo L, McClish DK: Estrogen therapy in the management of urinary incontinence in postmenopausal women: a meta-analysis. First report of the Hormones and Urogenital Therapy Committee. Obstet Gynecol 83:12, 1994 [PMID: 8272292]

FitzGerald MP, Mollenhauer J, Bitterman P, et al: Functional failure of fascia lata allografts. Am J Obstet Gynecol 181:1339, 1999 [PMID: 10601910]

Flegal KM, Carroll MD, Ogden CL, et al: Prevalence and trends in obesity among US adults, 1999–2000. JAMA 288:1723, 2002 [PMID: 12365955]

Ghoniem GM, Van Leeuwen JS, Elser DM, et al: A randomized controlled trial of duloxetine alone, pelvic floor muscle training alone, combined treatment and no active treatment in women with stress urinary incontinence. J Urol 173:1647, 2005 [PMID: 15821528]

Haab F, Corcos J, Siami P, et al: Long-term treatment with darifenacin for overactive bladder: results of a 2-year, open-label extension study. BJU Int 98:1025, 2006 [PMID: 16879437]

Haanpaa M, Paavonen J: Transient urinary retention and chronic neuropathic pain associated with genital herpes simplex virus infection. Acta Obstet Gynecol Scand 83:946, 2004 [PMID: 15453891]

Page 37: inkontinensia urin

Hagstad A, Janson PO, Lindstedt G: Gynaecological history, complaints and examinations in a middle-aged population. Maturitas 7:115, 1985 [PMID: 3929022]

Hannestad YS, Rortveit G, Daltveit AK, et al: Are smoking and other lifestyle factors associated with female urinary incontinence? The Norwegian EPINCONT Study. BJOG 110:247, 2003 [PMID: 12628262]

Hannestad YS, Rortveit G, Sandvik H, et al: A community-based epidemiological survey of female urinary incontinence: the Norwegian EPINCONT study. Epidemiology of Incontinence in the County of Nord-Trondelag. J Clin Epidemiol 53:1150, 2000 [PMID: 11106889]

Hemrika DJ, Schutte MF, Bleker OP: Elsberg syndrome: a neurologic basis for acute urinary retention in patients with genital herpes. Obstet Gyncol 68(3 Suppl):37S, 1986

Hendrix SL, Cochrane BB, Nygaard IE, et al: Effects of estrogen with and without progestin on urinary incontinence. JAMA 293:935, 2005 [PMID: 15728164]

Howden NS, Zyczynski HM, Moalli PA, et al: Comparison of autologous rectus fascia and cadaveric fascia in pubovaginal sling continence outcomes. Am J Obstet Gynecol 194:1444, 2006 [PMID: 16579930]

Hunskaar S, Arnold EP, Burgio K, et al: Epidemiology and natural history of urinary incontinence. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct 11:301, 2000 [PMID: 11052566]

Indrekvam S, Sandvik H, Hunskaar S: A Norwegian national cohort of 3198 women treated with home-managed electrical stimulation for urinary incontinence—effectiveness and treatment results. Scand J Urol Nephrol 35:32, 2001 [PMID: 11291684]

Iosif CS, Batra S, Ek A, et al: Estrogen receptors in the human female lower urinary tract. Am J Obstet Gynecol 141:817, 1981 [PMID: 7198384]

Jackson SL, Scholes D, Boyko EJ, et al: Predictors of urinary incontinence in a prospective cohort of postmenopausal women. Obstet Gynecol 108:855, 2006 [PMID: 17012446]

Janknegt RA, Hassouna MM, Siegel SW, et al: Long-term effectiveness of sacral nerve stimulation for refractory urge incontinence. Eur Urol 39:101, 2001 [PMID: 11173947]

Juma S, Brito CG: Transobturator tape (TOT): Two years follow-up. Neurourol Urodynam 26:37, 2007 [PMID: 17083100]

Kalsi V, Fowler CJ: Therapy insight: bladder dysfunction associated with multiple sclerosis. Nature Clin Pract Urol 2:492, 2005 [PMID: 16474623]

Kelleher CJ, Cardozo LD, Khullar V, et al: A new questionnaire to assess the quality of life of urinary incontinent women. BJOG l104:1374, 1997 [PMID: 9422015]

Langa KM, Fultz NH, Saint S, et al: Informal caregiving time and costs for urinary incontinence in older individuals in the United States. J Am Geriatr Soc 50:733, 2002 [PMID: 11982676]

Laurikainen E, Valpas A, Kivela A, et al: Retropubic compared with transobturator tape

Page 38: inkontinensia urin

placement in treatment of urinary incontinence: a randomized controlled trial. Obstet Gynecol 109:4, 2007 [PMID: 17197581]

Lim JL, Cornish A, Carey MP: Clinical and quality-of-life outcomes in women treated by the TVT-O procedure. BJOG 113:1315, 2006 [PMID: 17059393]

Mallipeddi PK, Steele AC, Kohli N, et al: Anatomic and functional outcome of vaginal paravaginal repair in the correction of anterior vaginal wall prolapse. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysf 12:83, 2001 [PMID: 11374518]

McKinley M, O'Loughlin VD: Urinary system. In Human Anatomy. New York, McGraw-Hill, 2006, p 843

Millard RJ, Moore K, Rencken R, et al: Duloxetine vs placebo in the treatment of stress urinary incontinence: a four-continent randomized clinical trial. BJU Int 93:311, 2004 [PMID: 14764128]

Miller JJ, Botros SM, Akl MN, et al: Is transobturator tape as effective as tension-free vaginal tape in patients with borderline maximum urethral closure pressure? Am J Obstet Gynecol 195:1799, 2006 [PMID: 17014810]

Morey AF, Medendorp AR, Noller MW, et al: Transobturator versus transabdominal mid urethral slings: a multi-institutional comparison of obstructive voiding complications. J Urol 175(3 Pt 1):1014, 2006

Moser F, Bjelic-Radisic V, Tamussino K: Needle suspension of the bladder neck for stress urinary incontinence: objective results at 11 to 16 years. Int Urogynecol J 17:611, 2006 [PMID: 16575485]

Nilsson CG, Falconer C, Rezapour M: Seven-year follow-up of the tension-free vaginal tape procedure for treatment of urinary incontinence. Obstet Gynecol 104:1259, 2004 [PMID: 15572486]

Norton PA, Zinner NR, Yalcin I, et al: Duloxetine versus placebo in the treatment of stress urinary incontinence. Am J Obstet Gynecol 187:40, 2002 [PMID: 12114886]

O'Connor RC, Nanigian DK, Lyon MB, et al: Early outcomes of mid-urethral slings for female stress urinary incontinence stratified by Valsalva leak point pressure. Neurourol Urodyn 25:685, 2006

Patrick DL, Martin ML, Bushnell DM, et al: Quality of life of women with urinary incontinence: further development of the incontinence quality of life instrument (I-QOL). Urology 53:71, 1999 [PMID: 9886591]

Raz R, Stamm WE: A controlled trial of intravaginal estriol in postmenopausal women with recurrent urinary tract infections. N Engl J Med 329:753, 1993 [PMID: 8350884]

Rortveit G, Daltveit AK, Hannestad YS, et al: Urinary incontinence after vaginal delivery or cesarean section. N Engl J Med 348:900, 2003 [PMID: 12621134]

Schmidt RA, Jonas UDO, Oleson KA, et al: Sacral nerve stimulation for treatment of

Page 39: inkontinensia urin

refractory urinary urge incontinence. J Urol 162:352, 1999 [PMID: 10411037]

Siegel SW, Catanzaro F, Dijkema HE, et al: Long-term results of a multicenter study on sacral nerve stimulation for treatment of urinary urge incontinence, urgency-frequency, and retention. Urology 56(6 Suppl 1):87, 2000

Sirls LT, Foote JE, Kaufman JM, et al: Long-term results of the FemSoft1 Urethral Insert for the management of female stress urinary incontinence. Int Urogynecol J 13:88, 2002 [PMID: 12054188]

Snooks SJ, Swash M, Henry MM, et al: Risk factors in childbirth causing damage to the pelvic floor innervation. Int J Colorectal Dis 1:20, 1986 [PMID: 3598309]

Sourander LB: Treatment of urinary incontinence. Gerontology 36(Suppl 2):19, 1990.

Sung VW, Schleinitz MD, Rardin CR, et al: Comparison of retropubic vs transobturator approach to midurethral slings: a systematic review and meta-analysis. Am J Obstet Gynecol 197(1):3, 2007 [PMID: 17618742]

Tarnay CM, Bhataia NN: Urinary incontinence. In DeCherney AH, Nathan L (eds): Current Obstetric&Gynecologic Diagnosis&Treatment, 10th ed. New York, McGraw-Hill, 2007. Available at: http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=2390668. Accessed April 26, 2007

U.S. Food and Drug Administration: Phenylpropanolamine (PPA) Information Page, 2005. Available at: http://www.fda.gov/cder/drug/infopage/ppa/default.htm. Accessed March 30, 2007

Vervest HA, van Venrooij GE, Barents JW, et al: Non-radical hysterectomy and the function of the lower urinary tract. II: Urodynamic quantification of changes in evacuation function. Acta Obstet Gynecol Scand 68:231, 1989 [PMID: 2618606]

Wagner TH, Patrick DL, Bavendam TG, et al: Quality of life of persons with urinary incontinence: Development of a new measure. Urology 47:67, 1996 [PMID: 8560665]

Wake CR: The immediate effect of abdominal hysterectomy on intravesical pressure and detrusor activity. Br J Obstet Gynaecol 87:901, 1980 [PMID: 7426488]

Wang AC, Wang YY, Chen MC: Single-blind, randomized trial of pelvic floor muscle training, biofeedback-assisted pelvic floor muscle training, and electrical stimulation in the management of overactive bladder. Urology 63:61, 2004 [PMID: 14751349]

Wester C, Fitzgerald MP, Brubaker L et al: Validation of the clinical bulbocavernosus reflex. Neurourol Urodyn 22:589, 2003 [PMID: 12951668]

Zahn CM, Siddique S, Hernandez S, et al: Anatomic comparison of two transobturator tape procedures. Obstet Gynecol 109:701, 2007 [PMID: 17329523]

Zinner N, Gittelman M, Harris R, et al: Trospium chloride improves overactive bladder symptoms: a multicenter phase III trial. J Urol 171(6 Pt 1):2311, 2004

Page 40: inkontinensia urin