informasi bencana dan budaya lokal (kasus...

30
1 INFORMASI BENCANA DAN BUDAYA LOKAL (Kasus Penanggulangan Banjir di Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan) 1 S. Arifianto & Mohan Rifqo Virhani 2 PENDAHULUAN Latar Belakang Informasi dan bencana banjir merupkan mata rantai yang tidak bisa terpisahkan keberadaannya.Pada kondisi yang dianggap sangat riskan informasi bencana banjir itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Mereka membutuhkan informasi bencana banjir karena terkait dengan penyelamatan jiwa dan harta yang dimilikinya. Banjir di Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan, yang dijadikan lokasi penelitian ini bukan masalah yang mengejutkan. Tidak mengejutkan karena setiap terjadi luapan Sungai Ciliwung kawasan tersebut selalu terendam air hingga mencapai satu- sampai dua meter. Terdapat suatu fenomena yang menarik dalam wilayah tersebut sebagai bahan kajian. Meski Kelurahan Bukit Duri menjadi langganan banjir setiap tahun, tetapi warga masyarakatnya tidak merasa terusik dengan bencana banjir tersebut. Maka dari itu diperlukan pemantauan terhadap pola-pola penyikapan masyarakat. Pola yang dimaksud adalah pengenalan dan pemahaman terhadap fenomena bencana banjir, sampai pada sikap dan perilaku masyarakat terhadap bencana itu sendiri. Oleh sebab itu informasi bencana banjir masih dianggap sebagai kebijakan yang sangat strategis. Meski dianggap strategis dan penting sampai sejauh ini upaya untuk memahami karakteristik masyarakat terkait dengan kejadian bencana banjir masih relatif rendah. Karakteristik itu menyangkut perilaku masyarakat, dan bagaimana kemudahan mendapatkan informasi. Karena adanya disinformasi kebencanaan di daerah rawan bencana dan perbedaan budaya lokal di masyarakat daerah rawan bencana masih menjadi permasalahan tersendiri. Persoalan 1 Artikel ini bagian dari longitudinal penelitian Efektivitas Diseminasi Informasi Pengurangan Resiko Bancana di Daerah Rawan Bencana, yang di laksanakan Puslitbang Aptel SKDI Balitbang SDM Kominfo pada tahun 2009 secara Nasional. 2 Peneliti Puslitbang Aptel SKDI Balitbang Sumber Daya Manusia Depkominfo, di Jakarta

Upload: others

Post on 27-Jan-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

INFORMASI BENCANA DAN BUDAYA LOKAL (Kasus Penanggulangan Banjir di Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan)1

S. Arifianto & Mohan Rifqo Virhani2

PENDAHULUAN Latar Belakang

Informasi dan bencana banjir merupkan mata rantai yang tidak bisa terpisahkan

keberadaannya.Pada kondisi yang dianggap sangat riskan informasi bencana banjir itu

sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Mereka membutuhkan informasi bencana banjir

karena terkait dengan penyelamatan jiwa dan harta yang dimilikinya. Banjir di Kelurahan

Bukit Duri Jakarta Selatan, yang dijadikan lokasi penelitian ini bukan masalah yang

mengejutkan. Tidak mengejutkan karena setiap terjadi luapan Sungai Ciliwung kawasan

tersebut selalu terendam air hingga mencapai satu- sampai dua meter. Terdapat suatu

fenomena yang menarik dalam wilayah tersebut sebagai bahan kajian. Meski Kelurahan

Bukit Duri menjadi langganan banjir setiap tahun, tetapi warga masyarakatnya tidak

merasa terusik dengan bencana banjir tersebut. Maka dari itu diperlukan pemantauan

terhadap pola-pola penyikapan masyarakat. Pola yang dimaksud adalah pengenalan dan

pemahaman terhadap fenomena bencana banjir, sampai pada sikap dan perilaku

masyarakat terhadap bencana itu sendiri. Oleh sebab itu informasi bencana banjir masih

dianggap sebagai kebijakan yang sangat strategis. Meski dianggap strategis dan penting

sampai sejauh ini upaya untuk memahami karakteristik masyarakat terkait dengan

kejadian bencana banjir masih relatif rendah. Karakteristik itu menyangkut perilaku

masyarakat, dan bagaimana kemudahan mendapatkan informasi. Karena adanya

disinformasi kebencanaan di daerah rawan bencana dan perbedaan budaya lokal di

masyarakat daerah rawan bencana masih menjadi permasalahan tersendiri. Persoalan

1 Artikel ini bagian dari longitudinal penelitian Efektivitas Diseminasi Informasi Pengurangan Resiko Bancana di Daerah Rawan Bencana, yang di laksanakan Puslitbang Aptel SKDI Balitbang SDM Kominfo pada tahun 2009 secara Nasional.

2 Peneliti Puslitbang Aptel SKDI Balitbang Sumber Daya Manusia Depkominfo, di Jakarta

2

disinformasi dan struktur sosial budaya lingkungan masyarakat lokal seperti itu menjadi

kunci keberhasilan atau tidaknya penanggulangan resiko bencana di daerah rawan

bencana. Tetapi karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sistem itu bisa

diterapkan dengan pendekatan budaya lokal. Maka ketika ada informasi yang terkait

dengan pengurangan resiko bencana perlu ada tindakan penyesuaian dengan tata nilai

sosial dan budaya lokal setempat. Tata nilai sosial dan budaya lokal itulah biasanya yang

mereka jadikan pijakan untuk bertindak dalam penanggulangan bencana banjir. Termasuk

bagaimana mereka berkomunikasi dengan warganya, ketika akan dan sedang terjadi

bencana banjir yang mengancam warga. Program itu biasanya di implementasikan dalam

sistem peringatan dini. Secara implementatif sistem peringatan dini sebagai upaya untuk

mengurangi resiko bencana di daerah rawan bencana telah di-disemina sikan pemerintah.

Kebijakan ini dilaksanakan untuk mengurangi resiko bencana (desaster) di daerah rawan

bencana. Dengan sistem peringatan dini, ada bencana yang bisa direduksi, tetapi juga ada

bencana yang tidak bisa direduksi. Bencana yang bisa direduksi memiliki ciri-khas

terdapatnya tenggang waktu dari deteksi bahaya untuk melakukan evakuasi, contohnya

bencana banjir, kebakaran hutan, wabah penyakit, tanah longsor,tsunami,gunung meletus

dsb .

Ketika terjadi bencana banjir, penyampaian informasi yang tepat kepada warga

masyarakat menjadi sangat penting. Hal lain yang sama pentingnya adalah pengambilan

keputusan untuk menyatakan bahaya kepada masyarakat di daerah rawan bencana banjir.

Kondisi-kondisi seperti itu perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui efekfif tidaknya

sebuah informasi bencana. Dengan penelitian evaluasi semacam ini potensi kesenjangan

informasi di daerah rawan bencana bisa di deteksi sejak dini. Data seperti itu menjadi

penting untuk memetakan kondisi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.

Biasanya ketika terjadi bencana banjir secara tiba tiba yang muncul adalah kepanikan

warga masyarakat. Kepanikan itu terjadi karena mereka tidak memiliki dasar

pengetahuan tentang bagaimana mereka harus bertindak jika terjadi bencana banjir yang

mengancam dirinya. Semua tindakan tersebut perlu diawali dengan melihat gejala yang

muncul sebelum terjadi bencana banjir. Maka dari itu bagi warga masyarakat di daerah

rawan mencana, perlu sejak dini mengenali karakteristik bencana dilingkungannya.

Pengetahuan itulah yang harus mereka pelajari, dan terapkan. Dengan informasi bencana

3

banjir yang tidak menyesatkan masyarakat, permasalahan penanggulangan banjir mudah

diatasi. Bahkan tidak salah jika program ini berupaya mengadopsi kearifan lokal (local

wisdom),dan pengetahuan tradisional (traditional of knowledge) yang berkembang

dikomu nitas masyarakat setempat. Kedua aspek ini menjadi faktor berpengaruh dalam

pemahaman resiko bencana di daerah rawan bencana banjir. Dari pemaparan latar

belakang permasalahan tersebut, penelitian evaluasi terhadap kesenjangan informasi

bencana dan pemaknaan budaya lokal di daerah rawan bencana penting untuk diketahui

melalui sebuah penelitian.

Permasalahan

Berangkat dari latar belakang penelitian ini, bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini

kota metropolitan Jakarta cenderung rawan banjir.Daerah potensi rawan banjir itu

disepanjang aliran sungai Ciliwung termasuk kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan.

Meski letaknya ditengah kawasan perkotaan pengetahuan masyarakat terhadap informasi

bencana masih menyisakan persoalan tersendiri. Sudah banyak informasi tentang resiko

bencana banjir yang disampaikan oleh diseminaor, maupun media massa. Tetapi hasilnya

masih belum banyak diketahui, apakah informasi tersebut mencapai sasaran atau justru

sebaliknya. Pada saat yang bersamaan pemerintah kota juga telah mengambil langkah

kebijakan berupa program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana banjir bagi

masyarakat di daerah tersebut. Tetapi hasilnya seperti apa masih perlu dilakukan

evaluasi, sehingga memunculkan permasalahan yang perlu di kaji dalam penelitian

ini.Permasalahan yang dianggap penting untuk dikaji dalam penelitian ini

adalah,”bagaimana efektivitas penyampaian informasi pengura ngan bencana banjir di

wilayah Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan”. Permasalahan penelitian tersebut secara

lebih spesifik dirumuskan sebagai berikut : (1). Apakah penyampaian informasi bencana

banjir berjalan efektif dan menjadi kebutuhan” masyarakat di Kelurahan Bukit Duri? (2).

Apakah” penyampaian informasi bencana banjir mempunyai daya tarik” bagi masyarakat

Kelurahan Bukit Duri? (3). Apakah simbol-simbol komunikasi dalam penyam paian

informasi bencana banjir dapat dipahami oleh masyarakat Kelurahan Bukit Duri? (4).

Bagaimana masyarakat di Kelurahan Bukit Duri memperoleh informasi bencana banjir?

4

Tinjauan Pustaka

Kajian Eniarti Djohan (2007: 6) menyimpulkan jika peristiwa bencana alam

mampu mengubah kehidupan manusia dari yang mapan menjadi tidak mapan.Perbedaan

status sosial itu menurut kesimpulan penelitian ini ”berpenga ruh terhadap akses

informasi tentang kebencanaan”di masyarakat. Penelitian P.M.Laksono (2007 : 41) dari

Pusat Studi Asia Fasifik UGM Yogyakarta yang bertajuk,”Visualisasi Gempa Yogya 27

Mei 2006” dengan pendekatan visualisasi media cetak (surat kabar) mendiskripsikan

bahwa, ”betapa pentingya fungsi media untuk penyebaran informasi bencana gempa

bumi (2006) di Yogyakarta”. Dalam penelitiannya Laksono mevisualisasikan pelayatan

masal diseluruh Yogyakarta yang sedang berduka. Siapapun yang masuk Yogyakarta

ketika itu akan menyaksikan sesak kedukaan yang se-olah olah tidak mau cepat berlalu

seperti biasanya kedukaan pada masyarakat Jawa. Diskripsi yang disajikan secara naratif

itu sekaligus memberikan makna bahwa “media massa” memiliki kelebihan tertentu

untuk melakukan diseminasi informasi kepada khalayak masyarakat di daerah bencana di

Yogyakarta.

Penelitian Nursyirwan Effendi (2007:93) dari Universitas Andalas,tentang

“Bencana : Pengalaman dan Nilai Budaya Orang Minangkabau” lebih melihat bencana

alam dari perspektif budaya. Bencana alam merupakan rutinitas masyarakat lokal

Indonesia. Bahkan potensi kerusakan akibat bencana alam menurut hasil penelitian ini

“dipahami sebagai suatu peristiwa alam yang tidak bisa dihindari. Dimana dalam konteks

tersebut rusaknya lingkungan dan sistem sosial akibat bencana, sama pentingnya dengan

mencari pengetahuan tentang penyebab bencana alam itu sendiri. Tingkat kesadaran

sosial terhadap bencana alam terlihat jelas pada tingkatan masyarakat lokal, dimana

penglaman bencana bagi mereka akan memberikan ”efektivitas penciptaan pengetahuan

lokal tentang bencana dan alam”. Bencana yang dialami masyarakat lokal dapat

membangun pemahaman tentang realitas secara lebih konprehensif. Beberapa

pemahaman masyarakat lokal terhadap bencana itu diantaranya, (a).Bencana dilingkupi

oleh gagasan tentang alam dan Tuhan, (b). Bencana dimaknai sebagai pelajaran sosial

tentang eksistensi manusia ketika berhubungan dengan alam. (c). Bencana dialami

sebagai kekuatan pembentuk baru (reproduksi) sosial dan budaya, karena didalamnya

berlangsung pengalaman sosial dan nilai-nilai. Penelitian Mita Noveria (2007:116-117)

5

peneliti LIPI Jakarta, yang bertajuk “Bencana Alam Dari Sisi Kependudukan:Penyabab

dan Dampaknya” menyim pulkan bahwa, bencana alam tidak bisa terpisahkan dari

konteks masyarakat. Karena masyarakat disamping menjadi korban sekaligus menjadi

pelaku bencana dan penyebab bencana, khususnya bencana banjir dan tanah longsor.

Perbedaannya jika bencana geologi tidak dapat diprediksi kejadiannya, tetapi bencana

akibat ulah manusia dapat diprediksi sekaligus dihindari. Bencana alam akibat ulah

manusia dapat dihindari jika penduduk(masyarakat) mempunyai pemahaman/

pengetahuan tentang pelestarian lingkungan hidup disekitar mereka. Demikian juga

terhadap karakteristik jenis bencana alam disekitar mereka. Kesimpulan akhir peneliti

lebih menekankan pada edukasi (diseminasi) terhadap masalah bencana dan lingkungan

sebagai solusi dan sarannya.

Kajian Wijajanti M.Santoso (2007:138) peneliti LIPI Jakarta yang berjudul :

Bencana Dari Perspektif Sosiologi Feminis” ini lebih bernuansa jender. Dalam

paparannya Wijajanti melihat baik perspektif jender maupun bencana alam, merupakan

sebuah elemen konstruksi sosial yang dapat dilihat dari bagaimana masyarakat bereaksi,

baik terhadap keberadaan kesetaraan jender maupun bencana itu sendiri. Dimana dalam

penanganan sebuah bencana alam dapat memperlihatkan bagaimana masyarakat

memosisikan dan merepresentasikan perempuan. Posisi perempuan yang masih dianggap

tradisional dengan menempatkan pada ruang public menurut Wijajanti (2007),

memberikan gambaran bahwa masyarakat kurang mengakui eksistensi perempuan. Maka

dari itu analisis tentang perempuan dan bencana dapat dilihat dari proses netralisasi, baik

dari unsur jender maupun bencana itu sendiri. Netralitas pengetahuan akan bersikukuh

bahwa bencana mengakibatkan penderitaan terhadap semua orang, baik laki-laki maupun

perempuan. Tetapi data penelitian dilapangan menunjukkan bahwa korban meninggal

akibat bencana alam masih didominasi oleh kaum perempuan,dan anak anak. Bahkan

penanganan bencana gempa di Yogya (2006) memperlihatkan bahwa elemen jender

belum menjadi preoritas penting yang tampak didalam bantuan yang tidak sensitif pada

jender. Merujuk pada beberapa penelitian atau kajian tentang bencana alam yang sudah

dilaksanakan oleh para peneliti tersebut, informasi tentang kebencanaan” menurut

pengamatan penulis memegang peran penting untuk mengetahui gejala dini tentang

timbulnya banjir dikota Jakarta.

6

Kerangka Konsep

Program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana dikatakan efektif jika ia

mampu mencapai tujuan yang ditargetkan. Baik secara langsung maupun tidak langsung

target diseminasi informasi pengurangan resiko bencana, agar masyarakat di daerah

rawan bencana,: (a). memiliki pengetahuan tentang permasalahan bencana alam di

lingkungannya, (b).mengimplementasikan pengetahuan kebencanaan yang dimiliki ketika

terjadi bencana, dan (c). Bisa membuahkan hasil berupa meminimalisasi korban bencana

itu sendiri. Target itu bisa tercapai jika semua persyaratan diseminasi informasi

pengurangan resiko bencana bisa terpenuhi. Dalam konteks ilmu komunikasi, diseminasi

bertautan langsung dengan “penyampaian pesan” kepada khalayak atau masyarakat.

Secara teoritis ada beberapa model komunikasi “tadisional” yang masih dianggap relevan

untuk penyampaian pesan komunikasi (diseminasi) dalam penelitian ini. Beberapa model

komunikasi tradisional yang dimaksud dalam penelitian ini diantaranya :

(1). Model komunikasi Harold Lasswel (1948) dalam Fiske (2006:46) dimana

pesan komunikasi akan dianggap efektif jika memenuhi lima unsur sebagai berikut (who,

says what, in which channel, with what effect) yakni, siapa, mengatakan apa, dalam

media apa, dan apa efeknya. Pertama makna “siapa” (who) dalam pertanyaan tersebut

menunjuk pada inisiator, yaitu orang yang mengambil inisiatif untuk memulai

komunikasi. Inisiator bisa berupa individu, kelompok atau organisasi. Kedua makna “apa

yang dikatakan”(says what) bertautan dengan isi pesan yang disampaikan dalam

komunikasi yang bersangkutan. Ketiga makna (in which channel) dengan media apa,

yang merujuk pada penggunaan media, karena tidak semua media cocok untuk

komunikasi. Ke-empat makna (to whom) menanyakan tentang siapa penerima pesan

komunikasi. Kelima makna (what effect) yakni apa dampak atau efeknya dari komunikasi

tersebut. Model komunikasi ini masih tetap linier, dengan melihat komunikasi sebagai

transmisi pesan. Model komunikasi ini lebih mengedepankan pengungkapan tentang isu

“efek” bukan makna. Efek itu sendiri secara tidak langsung menunjukkan adanya

perubahan yang bisa diukur (dampak dari diseminasi informasi), dan diamati pada

penerima pesan komunikasi. Penerima pesan dalam konteks penelitian ini adalah

komunitas masyarakat di daerah rawan bencana yang menjadi obyek penelitian.

7

(2) Model komunikasi Shannon & Weaver 1949, dalam Fiske (2006:14) yang

berbeda dengan model Lasswel, karena Shannon Wever lebih memilih transmitter.

Pilihan transmitter ini sangat tergantung pada jenis komunikasi yang digunakan. Dalam

konteks ini ada dua komunikasi yakni komunikasi interpersonal, dan komunikasi massa.

Jika dalam komunikasi interpersonal transmitternya lebih mengandalkan organ tubuh dan

bahasa non verbal, sedangkan dalam komunikasi massa adalah alat itu sendiri misalnya

berupa: (hp,radio,televisi,photo,dan film) yang sudah banyak dikenal. Model dasar

komunikasi yang mereka kembangkan ini lebih bersifat linier dan sangat sederhana.

Shannon & Weaver (1949) dalam teorinya mengidentivikasi tiga level masalah dalam

komunikasi. (a). Level A (masalah teknik), bagaimana simbol-simbol komunikasi dapat

ditransmisikan secara akurat. (b). Level B (Masalah semantik) bagaimana simbol-simbol

komunikasi yang ditransmisikan secara persis menyam paikan makna yang diharapkan.

(c). Level C (masalah keefektifan) bagaimana makna yang diterima secara efektif

mempengaruhi tingkah laku dengan cara yang diharapkan. Shannon & Weaver

mengklaim bahwa ketiga level tersebut tidak terbantahkan, tetapi saling berhubungan dan

saling ketergantungan satu sama lainnya, meski asal usulnya di level A berfungsi sama

baiknya di tiga level tersebut (Fiske,2006 : 15).

(3) Model komunikasi yang dikembangkan David Berlo (1960),3 yang hanya

memperlihatkan komunikasi satu arah. Ia terdiri dari empat komponen, yakni sumber,

pesan, saluran dan penerima, tetapi pada masing-masing komponen terdapat faktor

control. Dalam teorinya Berlo (1960) menekankan pada faktor ketrampilan, sikap,

pengetahuan, kebudayaan, dan sistem sosial, sumber atau orang yang mengirim pesan

merupakan factor penting penentuan isi pesan. Dimana faktor tersebut akan berpengaruh

pada penerima pesan dalam menginterpretasikan isi pesan yang di sampaikan.

Interpretasi pesan akan sangat tergantung dari “isi pesan” yang ditafsir oleh pengirim

pesan atau penerima pesan.

(4). Model komunikasi yang dikembangkan Wilbur Schramm (1973) lebih

menekankan pada peran pengalaman dalam proses komunikasi. Dalam hal ini Schramm

melihat apakah pesan yang dikirimkan diterima oleh sipenerima sesuai dengan apa yang 3 Lihat tulisan Yahya Nursidik,tentang Model-model komunikasi sebagai warisan peradapan komunikasi, dalam :http://apadefinisinya.blogspot.com/2007/12/komunikasi.html, diakses Senin,7 September 2009.

8

dimaksudkan oleh pengirim pesan. Artinya jika tidak ada kesamaan dalam bidang

pengalaman (bahasa yang sama,latar belakang yang sama,kebudayaan yang sama,struktur

sosial yang sama ) maka kecil kemung kinan pesan yang diterima di-interprestasikan

dengan benar dan baik sesuai dengan tujuan komunikasi yang ingin dicapainya. Jika

konsep komunikasi yang sarankan Schramm (1973) itu terpenuhi, besar kemungkinan

proses diseminasi informasi akan berjalan secara efektif. Untuk melihat efektivitas

komunikasi perlu dilakukan pengujian. Efektivitas diseminasi informasi berarti berfokus

pada pengukuran efektif tidaknya sebuah pesan komunikasi yang dikomunikasikan dalam

diseminasi informasi yang bersangkutan.

Pesan komunikasi dapat dikatagorikan efektif jika bisa mencapai tujuan atau

sasaran komunikasi yang di harapkan oleh komunikan. Tujuan diseminasi komunikasi

kepada komunikan adalah agar komunikan mendapatkan pemahaman pengetahuan baru

tentang persoalan yang diinginkan komunikator. Pada dasarnya tujuan diseminasi

informasi lebih dititik beratkan pada “memberi tahu” (information) atau paling tidak

dengan informasi tersebut komunikan dapat berubah sikap (attitude) karena menda

patkan pengetahuan, pengalaman serta pola hidup “budaya baru”di komunitasnya.

Misalnya komunitas masyarakat yang mendapatkan diseminasi informasi tertentu, bisa

ber-ubah sikap dan perilakunya menjadi lebih kooperatif untuk mencapai tujuan

komunikasi yang bersifat informatif dan partisifasif (Effendi,2002). Sementara Rogers &

Kincaid (1983) melihat bahwa komunikasi merupakan suatu proses. Dimana partisipan

membuat berbagai informasi satu sama lain untuk mencapai saling pengertian. Pada

tataran tersebut antara komunikator dan komunikan saling menjalin hubungan

komunikasi untuk mencapai suatu tujuan atau keselarasan dalam upaya menumbuhkan

kesepahaman. Dalam pandangan Yoseph Devito (1989) komunikasi merupakan proses

pembentukan, penyampaian, penerimaan, pengelolaan pesan yang terjadi pada diri se-

seorang atau diantara dua orang lebih dengan tujuan tertentu.

Efektivitas Komunikator

Dalam ethos komunikator menurut pandangan Aristoteles (1954), seperti dikutip

Hamidi (2007: 71) mengkatagorikan bahwa efektivitas komunikator ditentukan oleh 3

(tiga) faktor. (1). Pikiran yang jernih (good sence), ideology komunikator dalam kontek

9

ini harus dilandasi tujuan yang baik untuk mentransfomasikan pengetahuan barunya

kepada komunikan. (2).Akhlak yang baik (good moral character), artinya karakteristik

komunikator menjadikan taruan berhasil tidaknya sebuah transformasi informasi kepada

komunikan. Kredibilitas dan kapabelitas komunikator dalam konteks ini menjadi sangat

penting, bahkan menjadi penentu proses keberhasilan sebuah diseminasi informasi. (3).

Maksud yang baik (good will), artinya penyampaian pesan komunikasi harus di landasi

oleh maksud dan tujuan yang baik, agar persoalan yang ditransformasikan bisa diterima

sesuai dengan harapan komunikator. Ketiga ethos itu menjadi kunci bagi seorang

komunikator untuk menjalankan perannya. Pada sisi yang berbeda Hovland & Weiss

(1951) dalam Hamidi (2007:72) juga melihat bahwa ethos dengan kredibilitas

komunikator terdiri dari “komunikator yang mempunyai keahlian dan dapat dipercaya

(axpertise and trustworthness). Kedua ethos karakteristik komunikator tersebut menjadi

sangat penting untuk menentukan keberhasilan penyampaian pesan komunikasi.

Selanjutnya Chaiken,S,(1979) dalam Hamidi (2007:74) juga memberikan katagorisasi

bahwa demensi lain dari seorang komunikator harus memiliki daya tarik komunikator

(source of attractiveness) atau kekuasaan komunikator (source of power).

Efektivitas Komunikan

Di lihat dari sudut pandang komunikan, sebuah penyampaian pesan komunikasi

yang efektif terjadi menurut Kelman (1975) dalam Hamidi (2007:74) jika komunikan

mengalami internalisasi (internalization), identivikasi diri (self identification) dan

ketundukan (compliance). Artinya penjabaran kerangka teori tersebut mengindikasikan

bahwa dalam proses penyampaian pesan (diseminasi informasi) pihak komunikan akan

mengalami internalisasi, ketika komunikan menerima pesan (diseminasi informasi) yang

sesuai dengan sistem nilai yang dianut. Sistem nilai itu bisa berupa, budaya lokal (local

cultural), adat istiadat,norma-norma sosial,agama dan lainnya. Jika terjadi kesepa haman

semacam itu komunikan akan merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat pada dirinya.

Pesan komunikasi yang ditransformasikan memiliki nilai rasionalitas yang dapat

diterima. Proses penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) tersebut menjadi

efektif jika ada keseimbangan atau kesepahaman antara komunikator di satu sisi dan

komunikan disisi yang lain. Keberhasilan pesan komunikasi juga sangat ditentukan

10

kredibilitas komunikatornya.Laswell (1979) menyampaikan bahwa efektivitas pesan

komunikasi tidak hanya ditentukan oleh isi pesan, tetapi siapa yang menjadi

komunikatornya.Pada sisi komunikan efektivitas penyampaian pesan komunikasi

(diseminasi informasi) dapat dikatagorikan berhasil, ketika identivikasi tersebut terjadi

pada pihak komunikan. Misalnya pihak komunikan merasa puas dengan meniru,

mengunakan pengetahuan, mengambil pemikiran komunikator (Rogers,1983). Baik

secara individu maupun atau kelembagaan organisasi sebagai penyampai pesan haruslah

mereka yang berkompeten dan memiliki keahlian di bidangnya. Dengan melihat beberapa

kerangka konsep tersebut didapatkan pemahaman jika mengharapkan efektivitas dalam

penyampaian suatu informasi tertentu, haruslah ada titik keseimbangan antara

komunikator dan komunikan dalam konteks “transformasi informasi tertentu” yang di

selaraskan dengan kebutuhan komunikan.

Efektivitas Pesan komunikasi

Sebuah penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) dapat di

katagorikan efektif jika, (1).pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh komunikan,

(2).komunikan bersikap atau berperilaku seperti apa yang dikehendaki oleh komu nikator,

dan (3).adanya kesesuaian antar komponen Wilbur Shramm,1973) dalam Hamidi

(2007:72). Selanjutnya efektivitas penyampaian pesan komunikasi ini berasumsi bahwa,:

“jika komunikasi diharapkan efektif maka pesan didalamnya perlu dikemas yang lebih

menarik sesuai dengan kebutuhan komunikan”. Dalam pandangan ini materi pesan

komunikasi (diseminasi informasi) merupakan hal yang baru atau bersifat sangat spesifik.

Informasi yang berbantuk simbol-simbol atau bahasa yang digunakan harus mudah

dipahami komunikan. Misalnya, jika komunikator menganjurkan suatu program dalam

bentuk kebijakan tertentu, informasi itu harus dikemas sedemikian rupa sehingga mudah

dipahami, mudah didapat, mudah diterapkan dengan sistem yang sangat sederhana.

Sistem pelaksanaan program penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) yang

dimaksud tidak sampai bertolak belakang atau bertentangan dengan kearifan lokal

masyarakat. Dalam konteks penelitian ini yang akan diukur adalah, efektivitas

diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana, yang

dikaitkan dengan implementasinya.

11

Pada hakekatnya setiap ragam bencana alam mempunyai karakteristik yang

berbeda-beda satu sama lainnya. Misalnya bencana alam, berupa gempa tektonik,

volkanik, tsunami, tanah longsor, banjir bandang, angin puyuh, kebakaran hutan dan

berbagai jenis bencana alam lainnya. Masing jenis bencana alam tersebut memiliki

karakteristik budaya komunikasi yang beragam. Perbedaan karakteristik dan budaya

komunikasi seperti itu akan berimplikasi pada kebutuhan ”isi pesan komunikasi” yang di

diseminasikan kepada masyarakat di daerah rawan bencana. Misalnya masyarakat pantai

akan lebih paham dan pamilier dengan ”informasi pengurangan resiko bencana”

gelombang laut. Masyarakat di sekitar lereng gunung berapi akan lebih paham dengan

”informasi pengurangan resiko bencana” tanda tanda gunung berapi. Masyarakat yang

tinggal di sepanjang tepian sungai mereka lebih paham dengan ”informasi pengurangan

resiko bencana” yang terkait dengan penanggulangan banjir. Masyarakat yang tinggal di

sekitar kawasan hutan lebih paham dengan ”informasi pengurangan resiko bencana”

kebakaran hutan, dan lainnya. Perbedaan karakteristik jenis bencana alam itu baik secara

langsung maupun tidak langsung dipengaruhi nilai sosial dan budaya lokal (local

cultural) di-masing masing daerah. Perbedaan budaya lokal berpengaruh pada pola

komunikasi masyarakat di-masing masing daerah rawan bencana. Jika merujuk pada

kerangka konsep Wilbur Shramm dalam bukunya ”Men Message and Media” Haper and

Raw : New York,(1973) seperti dikutip Hamidi (2007:73), maka yang di ukur efektivi

tasnya dalam penelitian ini adalah penyampaian pesan komunikasi pengurangan resiko

bencana secara universal. Artinya program ”diseminasi informasi pengurangan resiko

bencana di daerah rawan bencana” itu diasumsikan bisa diterima semua masyarakat di

daerah rawan bencana. Tanpa membedakan jenis bencana, karakteristik budaya dan pola-

pola komunikasi di masing-masing daerah rawan bencana. Berangkat dari kerangka

konsep seperti itu empat variabel yang digunakan untuk menganalisis penelitian ini, :

pesan komunikasi yang menimbulkan kebutuhan, daya tarik pesan komunikasi, simbol

simbol pesan komunikasi yang dipahami, dan cara memperoleh pesan komunikasi

(Shramm,1973).

Metode Penelitian

Data penelitian survey ini di kumpulkan melalui 3 (tiga ) cara (trianggulasi)

yakni, data primer di kumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam/FGD dan

12

penyebaran kuesioner. Metode trianggulasi dipilih karena masalah yang diteliti bersifat

komplek, serta mengandung katagori khusus baik dilihat dari data kuantitatif dan

kualitatif hasil pendalamanya (Patton,2002:555). Data sekunder di kumpulkan melalui

studi pustaka, dokumen, kliping surat kabar/majalah, internet dan lainnya yang sesuai

dengan kebutuhan penelitian. Pengumpulan data dengan observasi adalah untuk

memotret seting sosial masyarakat di-lokasi penelitian. Sedangkan Fucus Group

Discussion (FGD) dan wawancara mendalam untuk menggali permasalahan dan

mendalami materi penelitian yang tidak bisa dijaring secara kuantitatif. Kesioner untuk

menjaring data kuantitatif berupa pendapat, aspirasi dan sikap responden terhadap obyek

penelitian. Hasil pengumpulan data observasi di lokasi penelitian berupa laporan diskripsi

kuantitatif atau kualitatif tentang (kondisi,struktur, potensi, budaya lokal, dan pola

komunikasi yang terkait dengan tujuan penelitian) sebelum dan sesudah dilakukan

diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana. Hasil

wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD) berupa laporan diskripsif

kualitatif tentang (pendapat, pengalaman, pengetahuan, penerapan pola komunikasi,

kritik, usulan, harapan dan lainnya) dari tokoh formal dan atau non formal yang

berpengaruh di lokasi penelitian.Tokoh formal yang berpengaruh bisa pejabat pemerintah

setempat (di- Kelurahan). Sedangkan tokoh informal adalah pembentuk opini (opinion

leader), bisa tokoh masyarakat setempat yang paling berpengaruh (di, Kelurahan). Hasil

pengumpulan data melalui penyebaran kuesioner berupa,”isian lengkap” dari daftar

pertanyaan terstruktur yang di-edarkan (di wawancarakan) kepada responden terpilih di-

lokasi penelitian. Sedangkan data studi pustaka berupa telaah terhadap buku-buku

literatur, dokumen, artikel, kliping, brossing internet, dan tulisan lain yang bisa

dikatagorikan sebagai data pendukung terkait dengan tujuan yang ingin di capai dalam

penelitian. Lokasi penelitian adalah Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan.

Gambaran Umum Kebijakan,Bencana Banjir, dan Lokasi Penelitian

Dilihat dari sudut pandang meningkatnya bencana alam yang terjadi di Indonesia

dalam lima tahun terakhir ini, pemerintah (negara) dirasa perlu melakukan tindakan atau

kebijakan pengurangan resiko bemcana. Anderson (1984:5) melihat kebijakan negara

yang harus dilakukan adalah,”apa yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak

13

dilakukan”. Karena kebijakan negara tersebut merupakan tindakan politis mengenai

kehendak, tujuan, sasaran serta alasan bagi perlunya pencapaian tujuan. Misalnya dalam

hal bencana alam berupa gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah(2006), Pemerintah

telah mengeluarkan kebijakan, Kepres No: 09/2006/tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi

dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Gempa Bumi di DIY, dan Jateng. Pada

dasarnya tujuan dan kehendak pemerintah untuk melakukan kebijakan tersebut adalah

untuk mengantisipasi, menangani korban dan membangun kembali kondisi wilayah pasca

bencana di kedua Provinsi tersebut. Kondisi seperti itulah yang di-istilahkan oleh

Anderson(1984: 5) sebagai ”langkah yang dipilih pemerintah untuk menangani kondisi

pasca bencana. Sedangkan Bromley (1989) dalam Sri Mulatsih (2007:59)4 menyatakan

bahwa kebijakan itu bagaikan suatu herarki yang terdiri atas tiga tingkatan atau level.

Level tersebut adalah, (1).policy level, (2).organizational level, (3).operational level.

Hasil kajian Sri Mulatsih, untuk penyusunan kebijakan menurut herarki pada policy level

diwakili oleh lembaga eksekutif. Maka dari itu pada tataran eksekutif dikeluarkan

kebijakan berupa Kepres No:09/2006/tentang, Tim Koordinasi Rehabilitasi dan

Rekonstruksi Wilayah Pascabencana dikedua Provinsi DIY dan Jateng tahun 2006.

Kebijakan serupa baik yang bersifat formal maupun non formal, baik dalam wilayah yang

pernah mengalami bancana maupun daerah rawan bencana perlu disosialisasikan dan

mendapat perhatian secara khusus sebelum bencana yang lebih bsar lagi datang.

Kewaspadaan masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya bancana alam perlu

ditumbuh kembangkan.Tindakan pencegahan akan lebih baik daripada menjadi korban

ketika bencana itu telah terjadi. Pada umumnya pemerintah dan masyarakat akan bereaksi

ketika bencana itu sudah terjadi. Baru sebagian kecil bagaimana memiliki pengetahuan

tentang sistem penyelamatan diri ketika bencana terjadi. Dari berbagai observasi yang

penulis lakukan di daerah rawan bencana tersebut, masih relatif kecil masyarakat yang

mau belajar tentang sistem penyalamatan diri dari bencana. Sebagian besar mereka masih

menggantungkan pada petugas, atau pemerintah jika seandainya terjadi bencana alam

apapun bentuknya.

4 Artikel Sri Mulatsih,Peneliti LIPI, dengan judul : Kajian Kebijakan Pemerintah Pasca Bencana Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Masyarakat Indonesia,Majalah Ilmu Ilmu Sosial Indonesia, Jilid 33,Vol2 2007 , Penerbit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, halaman 56

14

Tentu kondisi tersebut sangat memprihatin kan, karena sebagian besar masyarakat

Indonesia tinggal dikawasan rawan bencana alam. Dalam kurun waktu kurang lebih 10

tahun Indonesia dilanda berbagai bentuk bencana alam. Bencana alam itu sendiri

akhirnya menjadi bencana sosial yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat,

khususnya bagi mereka yang tinggal didaerah rawan bencana. Bencana alam dalam kurun

10 tahun terakhir di Indonesia tersebut, ”diawali bencana badai El-Nino tahun 1997,

banjir bandang diberbagai daerah tahun 2001, banjir ditengah kekeringan (La-Nina)

tahun 2002 -2003, tsunami Aceh tahun 2004, gempa Nias, tahun 2005, gempa Jogyakarta

tahun 2006, gempa bengkulu tahun 2007, gempa Sumatra Barat tahun 2007, gempa NTB

tahun 2007, banjir Jakarta tahun 2007”5 Berbagai peristiwa bencana alam tersebut telah

menelan korban yang tidak sedikit. Korban terbanyak diantaranya masyarakat kurang

mampu yang tinggal dikawasan rawan bencana. Bencana alam yang tidak mengenal

waktu dan tidak bisa diprediksi oleh ilmuwan itu lebih disebabkan akibat pemanasan

global. Pertemuan Internasional di Bali,3 Desember 2007 dengan tajuk,: The

International Panel on Climate Change (IPCC) memberikan rekomendasi bahwa ”kaum

buruh tani, masyarakat adat sekitar hutan dan penduduk dipesisir pantai merupakan

golongan yang paling rentan atas dampak perubahan iklim tersebut”6 Antara bencana

alam dan bencana sosial keduanya memperlihatkan baik secara langsung maupun tidak

langsung saling kait mengkait. Misalkan eksploitasi alam yang dilakukan manusia secara

berlebihan tanpa kendali akan berdampak terhadap terjadinya banjir bandang dan tanah

longsor diberbagai daerah rawan bencana. Pada sisi yang lain, peristiwa bencana alam

disamping berdampak negatif terhadap kehidupan manusia dan lingkungan, juga

berdampak positif untuk kelangsungan hidup masyarakat tempat terjadinya bencana

alam. Letusan gunung berapi selain berdampak, mematikan manusia, hewan, tanaman,

5 Lihat artikel Erniati.B.Djohan,Peneliti LIPI, dalam pengantar Mengapa Kajian Bencana,Bentuk bencana alam ini bermacam macam,gelombang air pasang,gempa bumi, gunung meletus, badai, kekeringan,kebakaran hutan,kebocoran sumber daya alam seperti gas bumi, dimuat dalam Masyarakat Indonesia, Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia,Penerbit LIPI Jilid 33,Vol.2 tahun 2007 halaman 1

6 Laporan selanjutnya lebih lengkap dapat dibaca di Harian Kompas Edisi penerbitan tanggal 03 Desember 2007.Bencana alam tersebut telah memicu bencana social dengan tumbuhnya angka kemiskinan dan pengangguran yang tidak terkendali, karena kasus PHK di berbagai perusahaan besar menengah dan kecil.Dengan alasan mengalami kerugian dan kebangkrutan PHK masal terjadi dimana mana.

15

menimbulkan banjir lava, juga bermanfaat bagi kesuburan tanah, sumberdaya energi dan

air panas (belerang) yang digunakan untuk pengobatan, dan pembentukan air hujan

disekitarnya (Soemarwoto,1989:69). Peristiwa terjadinya bencana alam tersebut

seringkali dianggap sebagai kesalahan dan tanggung jawab pihak pemerintah, baik

ditingkat pusat maupun lokal. Pandangan itu tentu tidak salah, karena Negara mempunyai

tanggung jawab untuk melindungi dan memberikan layanan umum kepada semua warga

masyarakat.7 Persoalan mendasar seperti yang dievaluasi dalam penelitian ini, adalah

capaian diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana.

Diseminasi informasi tentang pengurangan resiko bencana itu dikatakan berhasil jika

mampu mengubah sikap dan perilaku (pola pikir) masyarakat untuk sadar akan resiko

bencana alam. Sadar akan bencana dapat dimaknai mereka memiliki pengetahuan tentang

pengurangan resiko bencana jika terjadi bencana. Yang kemudian pengetahuan itu

mereka implementasikan bersama warga masyarakat lain untuk mengurangi resiko

bencana di daerah rawan bencana banjir.

Mengenal Bencana Banjir

Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan bagian yang amat penting

untuk penanggulangan banjir. Karena ia mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS

untuk menahan melubernya air sungai itu sendiri. Aktivitas DAS yang menyebabkan

perubahan tata ruang misalnya perubahan tata lahan, didaerah hulu yang akan

berdampak pada daerah hilir. Jika terjadi ketidak seimbangan akan terjadi erosi besar

besaran yang menyebabkan bencana banjir (Suripin,2004: 183). Meluapnya air sungai

yang menyebabkan banjir, biasanya di awali dengan hujan deras yang menyebabkan erosi

tanah di kawasan pegunungan yang terbawa sampai melebihi kapasitas sehingga

menyebabkan banjir bandang yang menerjang kawasan pemukiman penduduk. Di

kawasan perkotaan biasanya banjir disebabkan pemeliharaan lingkungan yang kurang

baik. Bencana banjir juga bisa di akibatnya oleh naiknya air laut pasang, sehingga 7 Lihat dan perhatikan bunyi ayat (3) pasal 34, Undang Undang Dasar Negara 1945, dimana : Negara bertanggung jawab atas penyadiaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.Dengan demikian maka korban bencana alam, dan pencegahan dini berupa pemberian penyuluhan terhadap pengurangan resiko bencana bagi masyarakat di daerah rawan bencana menjadi tanggung jawab pihak Negara dalam hal ini pemerintah baik di pusat maupun pemerintah lokal.

16

kawasan pemukiman di pesisir pantai menjadi tergenang. Air laut bisa naik kedaratan

akibat perubahan suhu udara, atau pemanasan global yang menjadi issue lingkungan

dewasa ini. Baik air bah maupun bencana tanah longsor dan banjir bandang semuanya

telah banyak membawa korban manusia. Banyaknya korban itu salah satu diantaranya

pengetahuan masyarakat untuk menghindari bahaya banjir sejak dini dianggap sangat

minim. Misalnya warga masyarakat Jakarta yang tinggal di Kampung Melayu, Bukit

Duri, tepian sungai Ciliwung setiap musim hujan masyarakat selalu dihadapkan pada

masalah banjir rutin. Pada musim penghujan masalah banjir sudah mereka anggap

sebagai kegiatan yang bersifat rutin.Bahaya banjir bukan lagi mereka anggap sebagai

suatu hal yang paling menakutkan. Jauh hari sebelum bencana banjir datang mereka telah

mempersiapkan diri. Misalnya membangun rumah panggung berlantai dua, atau

menaikkan stop kontak aliran listrik agar tidak tergenang air, menyiapkan rakit, tali

tambang dan sejenisnya (Ahimsa,1985). Kondisi yang hapir sama juga di alami oleh

warga masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo. Mulai dari

Solo, Karanganyar, Sragen, Ngawi,Bloro bagian Cepu,Bojonegoro,Tuban,Lamongan

Jawa Timur. Dalam banjir tahun 2008 yang lalu daerah tersebut termasuk yang

terparah.Menurut Elfarid pengelola Balai Sumber Daya Air dan Jasa Tirta banjir sungai

Bangawan Solo, banjir besar yang terjadi akhir tahun 2007 merupakan siklus tahunan8.

Bukan hanya itu tetapi masih banyak sungai di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi

kondisinya tidak jauh berbeda. Fenomena ini memberikan gambaran jika manajemen

daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia kurang baikpengelolaanya. Kondisi seperti itu

mengakibatkan bencana banjir setiap musim penghujan tidak dapat di hindari.

Penanggulangan banjir diperlukan kebijakan secara terpadu dan lintas sektoral,dengan

dukungan dana yang cukup memadai Itupun dirasakan belum cukup, peran masyarakat

dalam ikut memelihara kebersian lingkungan (dalam arti luas) yang dianggap paling

berpengaruh.Dari berbagai kajian penelitian ”bencana banjir bandang”cenderung di

8 Elfarid : Siklus banjir besar di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo dapat di runut kebelakang berdasarkan data curah hujan yang ada.Misalnya banjir besar seperti tahun 2007 juga terjadi pada tahun 1965.Siklus banjir 40 tahunan itu dapat di prediksi berdasarkan data klimatologi yang ada.Banjir itu juga disebabkan pengelolaan lingkungan yang kurang baik.Banyak lahan di tepian Bangawan Solo yang sudah beralih fungsi.Pada hal dalam pendekatan DAS antara daerah hulu, tengah dan hilir merupakan kesatuan ekologi.Sumber :http://elfarid.multiply.com/journal/item/404, diakses 28/05/2009.

17

sebabkan ulah manusia.Hal itu mengakibatkan timbulnya ketidak seimbangan konservasi

lingkungan.Meski banjir di katagorikan sebagai bencana musiman secara rutin, tetapi

tidak sedikit korban karena ketidak siapan mereka.Bahkan bisa jadi mereka tidak

memiliki pengetahuan tentang tata cara pengurangan resiko bencana banjir tersebut.

Misalnya sebelum banjir masyarakat di sarankan : (1). Sejak dini masyarakat di kawasan

rawan bencana banjir idealnya di bekali pengetahuan atau tindakan pencegahan. (2).

Menaikkan panel panel listrik lebih tinggi dari jangkauan air di setiap rumah yang

menjadi langganan banjir. (3). Mengaktifkan gerakan pembuatan sumur sumur resapan di

kawasan yang bersangkutan. (4). Membentuk forum masyarakat peduli banjir. (5).

Membangun sistem peringatan dini bahaya banjir, baik secara tradisional, atau modern.

Beberapa pengetahuan semacam itu mereka anggap penting, karena untuk bekal

persiapan bagi mereka secara darurat. Meski banjir luapan sungai oleh sementara pihak di

anggap berbahaya, bagi mereka yang berdomisili di daerah tepian sungai atau waduk

menganggapnya sebagai kejadian biasa. Banjir tampaknya sudah akrap dengan kehidupan

mereka,sehari hari. Banjir oleh mereka tidak perlu disikapi secara berlebihan (BPPI

Jog,2008).Dari hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat yang

berdomisili di tepian bantaran sungai yang rawan banjir sudah mempersiapkan diri jika

sewaktu waktu terjadi banjir. Misalnya masyarakat tepian Bengawan Solo,sudah

memahami betul apa resiko yang mungkin terjadi terhadap musibah banjir bandang di

wilayahnya.Tidak semua resiko itu mereka pandang sebagai bencana yang menakutkan

atau membahayakan.Sebagian mereka mendapatkan hikmah dari bencana banjir

semacam itu.Mereka yang berprofesi mencari barang-barang bekas ketika banjir bandang

mengaku justru mendapatkan rezeki. Mereka bisa mendapatkan kayu,kaleng,bermacam

macam plastik dan sejenisnya. Barang-barang itu menjadi mata pencaharian mereka

sehari hari. Maka terjadi paradok dalam melihat banjir dalam perspektif masyarakat di

tepian sungai Bengawan Solo, dengan perspektif Pemerintah baik di pusat maupun di

daerah. Pihak pemerintah selalu melihat bahwa ”banjir bandang pada masyarakat di

tepian sungai merupakan bahaya, yang bisa menimbulkan musibah besar. Maka mereka

perlu mendapatkan perlindungan,pertolongan dan sekaligus bantuan dan jika perlu di

evakuasi untuk di pindahkan ke pemukiman baru.

18

Hal semacam itu menurut mereka memang sudah menjadi kuwajiban pemerintah

daerah terhadap warga masyarakatnya yang kena misibah, mereka tidak akan

menolaknya.Tetapi untuk mengalihkan budaya lokal yang sudah menjiwai masyarakat

yang tinggal di tepian sungai tidak semudah, memindahkan bangunan fisik. Bangunan

sosial budaya terkait dengan lingkungan sosial yang sudah mereka jadikan pola dasar

kehidupan bertahun tahun selama ini. Ada keterikatan hubungan sosial,budaya dan

ekonomi yang tidak mudah mereka tinggalkan.Hubungan itu telah mengakar di

komunitas masyarakat yang tinggal di bantaran sungai.Kekerabatan yang mereka bangun

masih menjadi pengikat jika mereka harus di relokasi ke tempat yang lebih aman.Bagi

mereka pemisahan kekerabatan adalah bencana sosial yang tidak pernah

terbayangkan.Jika mereka harus terpisah dengan kekerabatan sosial dan budaya di tempat

baru (relokasi) bangunan sosial itu akan mereka mulai dari awal lagi.Meeka melihat

bukan dari sisi pandang hukum sebagaimana peraturan formal pemerintah.Dengan

membayar iuran warga,listrik,jasa keamanan menurut persepsi mereka sudah syah

bertempat tinggal di bantaran sungai tersebut.Tanpa melihat siapa yang salah dalam

kontek tersebut,permasalahan ”penghunian ilegal dibantaran sungai”telah menjadi

fenomena sosial di Indonesia yang masih belum mendapatkan solusi.Karena pendekatan

yang umumnya dilakukan adalah penggusuaran yang bernuansa kekerasan, bukan

pendekatan sosial budaya,sesuai dengan kultur mereka dimasing masing daerah.

Topografi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kelurahan Bukit Duri, Kecmatan Bukit Duri Wilayah

Jakarta Selatan. Kelurahan Bukit Duri dipilih sebagai lokasi penelitian karena daerah

tersebut dianggap masuk katagori rawan bencana banjir. Pada setiap tahun secara rutin di

kawasan bantaran sungai Ciliwung tersebut mengalami banjir. Penyebab banjir ada

berbagai faktor,diantaranya terjadinya pendangkalan sungai Ciliwung di bagian hilir,

tejadinya penyempitan badan sungai karena digunakan untuk pemukiman

penduduk,terjadinya banjir bandang dari hulu karena terjadi penggundulan hutan. Banjir

di kota Jakarta dan sekitarnya menjadi persoalan yang sangat kompleks,bukan saja karena

luapan air sungai Ciliwung, tetapi menyangkut masalah sosial, budaya dan lingkungan

19

warga Jakarta sendiri. Penanggulangan banjir Jakarta tidak sekedar bisa diselesaikan

dengan melakukan pengerukan atas badan sungai Ciliwung yang mengalami pendang

kalan dan penyempitan di bagian hilir. Persoalan sosial yang menyang kut kepen

dudukan dan lingkungan hidup jauh lebih penting.Persoalan sosial dan lingkungan di kota

metropolis seperti Jakarta seakan menjadi bom waktu. Pembangunan kota yang kurang

mengindahkan tata ruang dan analisis dampak lingkungan menjadi persoalan yang sangat

fenomenal.Belum lagi sikap masyarakat kota yang cenderung individual, tidak

berorientasi pada kehidupan lingkungan, cepat atau lambat akan menjadi persoalan besar

bagi penanggu langan banjir di Jakarta.Lemahnya manajemen kepandudukan dan

penataan ruang menjadikan „para pendatang“bermukim dibantaran sungai yang

seharusnya di kosongkan. Dengan alasan mencari pekerjaan dan di kota akhirnya mereka

menjadi penduduk liar di kawasan bantaran sungai Ciliwung, termasuk sebagian di

Kelurahan Bukit Duri. Mereka tinggal di daerah tersebut sudah bertahun tahun.

Sedangkan relokasi penduduk di bantaran sungai Ciliwung ini tidak mudah. Akhirnya

mau tidak mau mereka harus menerima kenyataan setiap tahun berhadapan dengan

bencana banjir. Meski mereka tidak menganggap banjir sebagai bencana, pemerintah

mengkatagorikan wilayah tersebut sebagai daerah rawan bencana, sehingga mereka perlu

informasi tentang kebencanaan.

Di kawasan tersebut banjir tidak identik dengan kesusahan. Banjir yang datang

secara rutin setiap tahun itu telah menimbulkan sikap adaptif bagi warga. Sambil

menunggu janji janji perbaikan yang tidak kunjung tiba dari pemerintah kota, mereka

lebih memilih berdamai dengan kondisi yang ada seperti sekarang ini. Di Kelurahan

Bukit Duri ini peristiwa banjir bukan hal yang istiwewa. Banjir di willayah itu sudah

menjadi rutinitas sehingga mereka telah mempersiapkan jauh sebelum banjir datang.

Kebiasaan ini sudah mereka terapkan bertahun tahun di daerah tersebut9. Dalam

penanganan dan pengurangan resiko bencana banjir BMKG Pusat telah mempunyai

9 Setiap tahun pada musim hujan dan puncaknya pada Bulan Pebruari, masyarakat di Kelurahan Bukit Duri siap mengamankan harta bendanya. Warga tidak siap ketika ada banjir tetapi juga telah mempersiapkan rumahnya menjadi bertingkat hingga 4 lantai.Pada lantai dasar banyak ruang yang di kosongkan, misalnya alat alat elektonik ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi sekitar satu meterdari lantai. Lantai dua keatas dipergunakan untuk tempat tidur, gudang dan penyimpanan barang barang.Baca Expedisi Ciliwung Laporan Jurnalistik Kompas di halaman 14.

20

program informasi melalui beberapa media (SMS, Fax, E-mail, Radio, Maupun Media

Cetak). Disamping itu BMKG Juga bekerjasama dengan Institusi Interface seperti Polisi,

dan Pemerintah kota. Misalnya, Masalah Tropikal siklon, Klimatologi sudah mempunyai

warning dan beberapa kajian melalui media-media tersebut. Misalnya dari pengalaman

terjadinya gempa, bahwa BMKG telah membuat suatu kebijakan evakuasi untuk

mengurangi resiko bencana gempa bumi dan tusnami.

Namun bagi masyarakat pesisir BMKG mempunyai kendala dengan bahasa (pada

umumnya belum bisa berbahasa Indonesia). untuk mengatasi hal tersebut BMKG

bekerjasama dengan pemerintah daerah dan GTZ (LSM dari Jerman) membuat KOMIK

dalam bahasa Jawa. Ini merupakan salah satu media informasi yang digunakan BMKG

saat ini. Mereka juga melakukan kerjasama dengan radio-radio untuk menjangkau

daerah-daerah pesisir. Mereka juga membangun komunitas-komunitas nelayan

bekerjasama dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang peduli dengan Iklim.

Kemudian BMKG juga sudah memasang Early Warning System di lokasi bencana.

Dalam hal ini BMKG dituntut berperan (Sumber : BMKG,dalam FGD di

Jakarta,26/7/2009).

Bagi masyarakat yang sudah berpengetahuan akan lebih mudah untuk diajak

kerjasama dalam menanggulangi resiko bencana banjir. Misalnya di Kelurahan Bukit

Duri sudah dilakukan simulasi. Di wilayah tersebut peran masyarakat cukup aktif karena

didukung dengan pengetahuan yang ada, bahkan early warning system sudah berjalan.

Jika BMKG mengirimkan Informasi tentang adanya “hujan lebat dengan kecepatan angin

sekian” ke dinas PU, biasanya PU langsung ke crisis centre yang ada di Balai Kota

Jakarta Selatan, dan langsung berkomunikasi dengan Posko di daerah Katu Lampa

Bogor. Ketika luberan air sungai mulai meluap, dan menggenangi pemukiman panduduk,

biasanya masyarakat saling mencari informasi dan sambil membunyikan Sirine.

Mereka juga menggunakan sistem peringatan dini dengan paralon yang diberi

warna, sehingga mereka yang tidak berpendidikan (orang awam) dapat mengetahuinya.

Meski tempatnya di kawasan kota metropolis seperti Jakarta Selatan penggunaan alat

komunikasi tradisional juga masih dianggap penting. Misalnya membunyikan

“kentongan”,atau memukul tiang listrik ketika ketinggian air di permukiman mencapai

21

tanda warna biru. Ini pertanda bahwa penduduk sekitar lokasi itu harus sudah bersiap-

siap (mengepak barang-barang). Dalam kondisi tersebut biasanya posko pengungsian

sudah disiapkan, termasuk dapur umum dan perangkat kesehatan. Bagi masyarakat yang

pengetahuannya masih relatif rendah biasanya mereka memilih bertahan di-rumah

masing masing. Mereka berkecukupan sudah menyiapkan rumah susun, jika sewaktu-

waktu datang banjir mereka tinggal pindah ke lantai dua atau tiga yang mereka anggap

lebih aman. Mengatasi mereka dengan melakukan relokasi juga tidak mudah. Karena

mereka di lokasi tersebut lebih mudah mendapatkan penghasilan. Contohnya masyarakat

yang tinggal dibelakang “Rumah Sakit Hermina”. Mereka tetap bertahan di daerah

tersebut karena adanya ketergantungan dengan faktor ekonomi (mata pencaharian se-hari

hari). Kendala lain yang menjadi masalah adalah“faktor bantuan”. Ketika terjadi banjir

mereka mendapat bantuan dan persoalan inilah yang menjadi ketergantungan mereka

sehingga sulit di ungsikan meski rumahnya terendam air. Masyarakat yang terkena

bencana banjir selalu mendapat bantuan makanan. Persoalan ini sudah membudaya di

daerah bantaran sungai Ciliwung tersebut.

Dalam masalah banjir Basarnas hanya memantau, memonitor akan tetapi

menangani secara aktif masalah musibahnya. Lain halnya dengan bencana transportasi

Basarnas sangat aktif. Untuk mengurangi Resiko bencana di wilayah udara, darat dan laut

mereka telah memasang LRT (Local Research Terminal) yaitu untuk memantau

pergerakan kapal. Informasi yang disampaikan untuk pencegahan penanganan resiko

bencana ini sudah berjalan. Hanya saja kendalanya adalah tempat-tempat yang tidak

dapat dijangkau misalnya seperti kapal yang tenggelam maka harus bekerja sama dengan

TNI/Polri.Dalam penyampaian Informasi lebih sering menyampaikan dengan trial.

Misalnya melakukan pembinaan langsung ke masyarakat, baik tingkat mahasiswa,

instansi dll. (Sumber: Basarnas,dalam FGD di Jakarta,27/8).

.

Masyarakat Indonesia itu dapat dikatakan sebagai Natural Survive di daerah-

daerah rawan bencana. Misalnya;di Yogjakarta kehidupan sehari-harinya masyarakat

setempat mengambil batu dan pasir dilokasi jalur lahar dingin Gunung Merapi. Mereka

dengan bencana sudah menyatu dalam kehidupan sehari hari. Mereka tinggal bagaimana

bisa mendapatkan informasi bencana secara cepat, karena berpacu dengan waktu. Mereka

22

memerlukan pusat informasi dan media yang bisa memberikan informasi secara cepat.

Maka media sebagai sumber informasi mengetahui cara menyampaikan Informasi yang

baik untuk mengurangi resiko bencana pada saat terjadinya bencana dan pasca terjadinya

bencana. Kalau di BNPB sudah ada mengenai hal tersebut. Di Jepang Pusat Informasi

Bencana setiap hari dikunjungi masyarakat dan para pelajar, karena cara memberikan

informasi menganai bencana dibuat suatu Games (Permainan). Misalnya ada ruangan

yang bisa goyang seperti gempa sungguhan, maka dengan kondisi tersebut apa yang

harus diperbuat. Kemudian setelah itu para pelajar tersebut mendapat nilai. Ini

merupakan suatu Informasi yang dikemas dengan suatu games (permainan) oleh karena

itulah perlu ada penanggulangi bencana sejak dini. Maka perlu sistem penyebaran

informasi bencana dengan baik. Kalau sistem informasinya tidak baik,maka penyebaran

informasi selalu tidak tepat sasaran. Misalnya di Sumatera Barat meski sirene berbunyi

meraung-raung masyarakat tetap saja tidak bergeming atau tidak peduli untuk

menanggapinya.

Masyarakat tetap saja asik berdagang (berjualan) padahal ini merupakan salah

satu bentuk pelatihan untuk menanggulangi resiko bencana alam. Kemudian yang perlu

diperhatikan dalam melakukan Informasi kepada masyarakat bentuknya seperti apa.

Karena ini merupakan Lintas Sektoral (semuanya harus bertanggung jawab).Keterlibatan

media massa dalam penye baran Informasi untuk penanggulangan bencana sangat

penting. Misalnya informasi bencana melalui pamflet, radio,televisi itu bisa di akses

masyarakat atau tidak, dan dalam bentuk konkretnya bagaimana? Bagaimanapun juga

diseminasi Informasi bencana kepada masyarakat sangat diperlukan. Tetapi harus di-

analisis terlebih dahulu. Misalnya daerah yang rawan bencana, budayanya seperti apa,

karakteristik sosialnya seperti apa, dan lainnya. Bentuknya bisa menggunakan media

tradisional seperti Ludruk (di daerah jawa timur). Untuk bencana alam kita dapat

menggunakan Early Warning System sedangkan untuk bencana non alam kita perlu

meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada,seperti dalam bentuk pelatihan-

pelatihan. Di PMI ada beberapa program salah satunya adalah program untuk kesadaran

masyarakat. Ada juga program yang dibantu oleh negara-negara donor seperti di Jakarta

Utara mendapat bantuan dari Palang Merah Francis yang juga merupakan program

community awareness (Penyadaran masyarakat). Mereka juga melakukan Simulasi

23

Gelombang Pasang di muara baru yang bertujuan untuk memilih jalur evakuasi apabila

terjadi gelombang pasang. Medianya adalah menggunakan Peta langsung kepada

masyarakat. Mereka membuat peta bersama dengan masyarakat karena mereka

mengetahui resiko apa yang terjadi disana. Kemudian medianya dapat pula menggunakan

kentongan, atau Toa. Di PMI ada juga program PMR yang menjelaskan mengenai

Program Siaga Bencana (PSB) mereka di didik untuk mengurangi resiko bencana di

daerahnya (sekolah). Kemudian media yang digunakan juga dapat menggunakan media

seperti poster, brosur-brosur tentang rawan bencana.Program lain berupa pelatihan

SIBBM (Siaga Bencana Berbasis Masyarakat) program ini mengum pulkan beberapa

perwakilan dari kecamatan dan kelurahan, dapat juga dari karang taruna untuk diadakan

pelatihan. Kendala yang terjadi adalah masalah bahasa penyampaian kepada mereka dan

masalah ekonomi (sumber PMI,dalam FGD di Jakarta, 27/8/2009).

Becana alam terdiri dari dua yakni bencana yang disebabkan oleh Alam maupun

bencana yang diakibatkan oleh manusia. Maka apabila bencana tersebut diakibatkan oleh

Manusia maka salah satu pencegahannya dilakukan melalui pelatihan-pelatihan.

Pemerintah Kabupaten/Kota harus membuat suatu kebijakan-kebijakan, misalnya apabila

masyarakat tidak mau dipindahkan maka pemerintah harus membuat suatu kebijakan.

Tugas RRI bagaimana menyiarkan bencana agar dapat mengurangi kerisauan masyarakat

dan tidak menimbulkan kecemasan terhadap masyarakat. Untuk menanggulangi bencana

selalu bekerjasama dengan instansi terkait. Yang dilakukan BNPB dalam menanggu langi

bencana ini semua kegiatan selalu menggunakan analisis pengurangan resiko bencana.

Jika kegiatan yang dilakukan tidak dengan analisis pengurangan resiko bencana maka

akan dikenakan suatu sanksi. Untuk kegiatan yang memberikan Informasi, BNPB

mensosialisasikan kegiatan yang terkait dengan pengurangan resiko bencana. Satu

diantaranya bekerja sama dengan pihak akademis (universitas), masyarakat, lembaga

swadaya masyarakat (LSM). Kemudian BNPB juga membuat pedoman analisis

penanggulangan bencana untuk mengurangi resiko bencana. BNPB juga membuat Gladi

Resik untuk mengurangi resiko terjadinya bencana. BNPB juga mempunyai kegiatan

yang mengarah kepada Early Warning System (EWS), dan juga mempunyai program-

program untuk itu. Yang menjadi kendala yaitu teknologinya belum terlaksana dengan

baik dikarenakan kurangnya biaya. Kendala lain yang dianggap paling krusial yaitu

24

“pembuatan peta pengurangan resiko bencana alam” sangat sulit khususnya diluar pulau

jawa. Kesulitan itu lebih dilandasi pertimbangan untung rugi bagi pelakunya. Jika mereka

melihat menguntungkan,maka ada semangat untuk melaksanakannya,begitu sebaliknya

(sumber,RRI,dalam FGD di Jakarta ,27/8/2009).

Bagi jajaran radio swasta yang tergabung dalam asosiasi (PRSSNI) adalah

memfasilitasi Informasi melalui siaran radio.Pasca terjadinya tsunami melalui siaran

radio Suara Aceh,mereka memberikan Informasi yang benar-benar dibutuhkan

masyarakat. Mereka juga menggagas alat yang sangat murah dengan mengakses

menggunakan satelit kepada pemerintah. Alat ini dapat menyatukan seluruh potensi yang

ada baik dengan BMKG, BNPB dan institusi lain yang terkait. Alat ini dapat memberikan

Informasi kepada semua pihak. Disamping itu alat tersebut juga dapat dipergunakan

diseluruh radio, sehingga jika terjadi bencana alat ini dapat segera difungsikan.Yang

menjadi permasalahan dalam penggunaan alat tersebut,menurut mereka adalah “siapa

yang menentukan (yang mempunyai otoritas) suatu bencana harus diumumkan kepada

masyarakat”. Informasi apapun baik yang terkait dengan bencana, radio sangat

diperlukan. Maka peran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,sangat penting.

Karena melalui APBDnya, alat ini dapat dipasang di Rumah Sakit, Kepolisian, Terminal

atau dimana saja yang dapat menghu bungkan dengan orang banyak.Meski alat canggih

sudah ditemukan tidak lantas persoalannya dapat teratasi. Faktor lain yang bertautan

dengan permasalahan bencana alam tersebut masih banyak ragamnya (sumber:

PRSNI,dalam FGD di Jakarta, 27/8/2009).

Penyelamatan akibat bencana tetap harus menjadi preoritas utama bagi

Pemerintah Khusus Daerah Ibu Kota Jakarta. Pengurangan resiko bencana banjir harus

diletakkan pada proporsi sosial, tanpa mempertimbangkan status rumah, dan tanah yang

mereka tempati. Pengurangan resiko bencana adalah ranah kemanusiaan yang perlu

dikedepankan. Bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai, meski sering

mendapatkan tekanan dari berbagai pihak untuk segera memenuhi himbauan relokasi,

tetapi pertimbangan sosial dan kemanu siaan juga lebih penting, dari sekedar

pertimbangan hukum dan ekonomi.

P E N U T U P

25

Kesimpulan

Berangkat dari penyajian data, pembahasan dan analisis seperti telah diringkas dalam

penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, program “penyampaian informasi bencana di

daerah rawan bencana sampai saat ini“masih dianggap efektif, meski terdapat

inkonsistensi dalam imlementasinya, dengan pertimbangan argumentasi sebagai berikut :

1. Program penyampaian informasi bencana banjir di-Kelurahan Bukit Duri Yakarta

Selatan ternyata masih dibutuhkan oleh komunitas masyarakat yang berdomisili

di-daerah tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunitas

masyarakat Kelurahan Bukit Duri setelah mengetahui ada informasi bencana,

merisponnya dengan baik, dan menganggapnya penting. Pengakuan mereka ini

dibuktikan dengan dukungan prosentase yang relatif cukup tinggi dalam

penelitian ini sehingga tidak diragukan signifikansinya. Maka penyampaian

informasi bencana banjir”, memenuhi kreteria sebagai sebuah informasi yang

masih di butuhkan masyarakat di Kelurahan Bukit Duri Yakarta Selatan.

2. Penyampaian informasi kebencanaan sampai saat ini masih memiliki daya tarik,

serta dijadikan pedoman pengetahuan bagi masyarakat di wilayah Kelurahan

Bukit Duri Yakarta Selatan. Dari hasil penelitian ini menunjuk kan bahwa

penyampaian informasi kebencanaan memang dipahami dan dijadikan pedoman

pengetahuan oleh masyarakat ketika menghadapi bencana alam, dengan

memperoleh prosentase relatif cukup tinggi. Demikian pada tingkat

implementasinya, maka tingkat kesadaran masyarakat di Kelurahan Bukit Duri

terhadap bencana banjir cukup baik.

3. Simbol-simbol penyampaian informasi kebencanaan di wilayah Kelurahan Bukit

Duri dapat dipahami cukup baik oleh sebagian besar komunitas masyarakat yang

tinggal di daerah rawan bencana banjir. Mereka tidak hanya memahami symbol-

simbol yang bersifat formal,tetapi juga yang bersifat non formal.Dari hasil

penelitian ini memberikan gambaran bahwa komunitas masyarakat yang tinggal

di wilayah Kelurahan Bukit Duri tidak hanya paham (berpengetahuan) tentang

bencana banjir dari para diseminator,tetapi diantara mereka juga masih

26

mengandalkan pada tradisi lokal yaitu “pembacaan tanda tanda alam”sebelum

terjadinya bencana banjir yang sudah dianggap menjadi tradisi budaya lokal.

Ketika teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sulit diakses masyarakat

karena kendala teknis, pengetahuan dan SDM, maka kearifan lokal menjadi

sangat dominan perannya di Kelurahan Bukit Duri Yakarta Selatan.

4. Untuk pencarian dan penyaluran informasi tentang masalah bencana alam bagi

komunitas masyarakat di daerah rawan bencana tampak bervariatif. Dari data

penelitian ini menunjukkan adanya penyebaran, dalam penggunaan dan penya

luran informasi melalui media yang berkaitan langsung dengan masalah

pengurangan resiko bencana. Tetapi diantara media yang dipilih responden,

televisi dianggap yang paling dominan diantara media lainnya. Selanjutnya media

interpersonal (tatap muka), dan selanjutnya media tradisional. Alasan mereka

menggunakan televisi karena televisi penyebarannya dianggap lebih luas,

sedangkan memilih media interpersonal, dan media tradisional karena kedua

media tersebut mereka anggap lebih dekat dengan komunitas lingkungan

masyarakat di daerah rawan bencana.

Rekomendasi

Merujuk pada permasalahan,pembahasan dan kesimpulan hasil penelitian

tentang” diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana”ini

dapat direkomendasikan bebrapa hal sebagai berikut :

1. Supaya program”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah

rawan bencana” tetap dibutuhkan oleh komunitas masyarakat di daerah rawan

bencana, kemasan dan penyampaian pesan komunikasinya perlu lebih profesional.

Pesan apa, dan siapa yang menyampaikan mempunyai pengaruh yang cukup

signifikan terhadap efektif tidaknya sebuah diseminasi informasi pengurangan

resiko bencana di daerah rawan bencana. Pesan apa, artinya menyangkut

pengemasan kualitas informasi. Dan siapa yang menyampaikan artinya merujuk

pada orang/tokoh yang memiliki kredibilitas tertentu. Bagi daerah rawan bencana

27

yang jauh dari akses media peran tokoh informal yang mempunyai kedekatan

dengan komunitas masyarakat setempat menjadi kunci utama efektif tidaknya

sebuah diseminasi informasi.

2. Agar program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan

bencana,tetap mempunyai daya tarik,menjadi pedoman dan diterapkan bagi

komunitas masyarakat di daerah rawan bencana,materi pokok program diseminasi

perlu dievaluasi secara berkala. Hal ini untuk menjaga kualitas, kontinyunitas, dan

signifikasinya. Terjadinya inkonsistensi pada tataran implementasi justru

memberikan infomasi untuk dilakukan penelitian yang secara kusus berfokus

pada ”rendahnya tingkat kesadaran masyarakat di daerah rawan bencana pada

program program diseminasi pengurangan resiko bencana.

3. Penyampaian pesan komunikasi, tentang pengurangan resiko bencana untuk

memberikan pemahaman bagi komunitas masyarakat di daerah rawan bencana,

tidak cukup hanya secara legal formal.Tetapi perlu memberdayakan kearifan lokal

yang mempunyai pengaruh dan kedekatan dengan warga masyarakat yang tinggal

di kawasan rawan bencana. Pemahaman itu harus dimulai dari penyadaran

perspektif bahwa, bencana yang diakibatkan keganasan alam maupun bencana

akibat ulah manusia sama sama menjadi ancaman disekitar kita. Maka harus

dikelola dan diminimalisasi dampak buruknya sehingga masyarakat akan lebih

familier dengan bencana alam yang mungkin akan terjadi disekitarnya.

4. Penggunaan media untuk sarana memperoleh dan penyampaian pesan,tentang

permasalahan bencana alam bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan

bencana cenderung bervariasi. Maka dari itu media yang mempunyai kedekatan

dengan komunitas masyarakat menjadi sangat penting untuk di jadikan preoritas

pilihan. Media tersebut bisa media tradisional,interpersonal, atau media massa

pada umumnya. Namun dibalik itu agar media tidak sekedar menyampaikan

informasi jurnalisme peristiwa/bencana yang sedang terjadi saja. Tetapi media

juga perlu membuat penyajian yang bersifat edukatif untuk menumbuh-

kembangkan kesadaran masyarakat terhadap pengurangan resiko bencana alam

yang mungkin terjadi sewaktu-waktu di wilayahnya.

28

Daftar Pustaka

Abott,Ernest B.2003.Draft Checklist for State and Local Government Attorney Prepare for Possible Disaster,American Bar Assosiation-State and Local Government Law Section Anderson,James.E.1984,Public Policy Making,Third edition.CBS College Publishing. Cobb,Roger W.& D.M.Primo,2003.The Plane Truth : Airline Crashes,the Media and

Transportation Policy.Washington DC:Federal Research Division, Library of Congress.

Cohl,H.Aaron.1997.Are We Scaring Ourselves to Death?: How Pessismism Paranoia and a Misguided Media are Leading Us Toward Disaster New York: St,Martin’s Griffin.

Everett M.Rogers & DL.Kincaid,1983.Communication Network:Toward a New Paradigm for research.London : Coller Macmillan Publishers. Everett M.Rogers,1983, Diffusion of Innovation,Third Edition.The Free Press,A.Division of Macmillan Publishing.Co.Inc New York,Coller Macmillan Publishers ,London. Ekspedisi Ciliwung,2009. Laporan Jurnalistik Kompas,Mata Air dan Air Mata, Penerbit Kompas Jakarta Fiske,John,2006.Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Konprehensif, Penerbit, Jalasutra, Yogyakarta Firdaus Haris,2008.Mesteri-Misteri Terbesar Indonesia,Penerbit El-Torros, Solo. Heyer,Paul,1995.Titanic Legacy : Disaster as Media Event and Myth.New York : Praeger Publisher. Hamidi,DR, 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi,Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian, Penerbit UMM Press, Malang Yoseph Devito.1989,Interpersonal Communication Book.New York :Harper and Raw Publishers Kriyantono,Rahmad,2008,Teknik Praktis Riset Komunikasi,Penerbit,Prenada Media Group,Jakarta Neuzil,Mark & William Kovarik,2005.Mass Media and Environmental Conflict : America’s Green Crusades.New York: Sage Publishing,Inc. Onong Uchjahna Effendy,2002.Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi,Penerbut,PT.Citra Aditya Bakti,Bandung Park Jacqueline & Janne Aagaard Jensen,2005,Shaking our Foundantions :Media and the Asian Tsunami (www.ifj.org/pdf/tsunamireport-final.pdf, diakses 21 September 2009. Patton.Michael Quinn,2002.Qualitative Research & Evaluation Methods 3rd ed.Thousand Oaks : Sage Publications Priambodo.Arie.2009,Panduan Praktis Menghadapi Bancana,Penerbit Kanisius Yogyakarta.

29

Ross.Gina,2003.Beyond the Trauma Vortex : The Media’s Role in Healing Fear Terrorand Violence,Berkeley Atlantic Books London. Roger.W.2003.National Emergency Management Association,If Disaster Strikes Today

Are You Ready to Lead? Lexington,KY: the National Emergency Management Association.

Sri Mulatsih,dkk.2007,Kajian Kebijakan Pemerintah Pascabencana Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,Masyarakat Indonesia,Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia,Jilid xxx III No: 2,Penerbit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,Jakarta

Soemarwoto.Otto,1989.Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan,Penerbit Djambatan, Jakarta.

Sendjaya,Sasa Djuarsa, 1998.Pengantar Komunikasi, Materi Pokok Universitas Terbuka, Jakarta Suripin,Dr.Ir.M.Eng,2004.Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air,Penerbit, Andi Yogyakarta. Wilbur Shramm, 1973, Men Message and Media. New York : Harper and Raw Pulishers ....................... Sistem Peringatan Dini (EWS) dan Penanggulangan Bencana Alam di Indonesia, 2008, Penerbit Puslitbang Aptel Skdi, Balitbang SDM Depkominfo Sumber Lain : Peraturan Pemerintah Nomor: 50 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta, Depkominfo Peraturan Menteri Kominfo Nomor :20/ 2006 tentang Peringatan Dini Tsunami atau Bencana lain Melalui Penyiaran di Seluruh Indonesia. Harian Pikirang Rakyat Bandung, Edisi peneribitan 19 Juli 2006 Harian Kompas Jakarta Edisi penerbitan 27 Desamber 2004 Harian Kompas Jakarta edisi 29 Desember 2004 Harian Warta Ekonomi ediai penerbitan tanggal 14 Nopember 2004

30