infeksi oportunistik tb
TRANSCRIPT
INFEKSI OPORTUNISTIK TUBERKULOSIS PADA PENDERITA
HIV/AIDS
Cut Amelia Putri Anna
0707101010071
A-08
Abstrak
Human Imunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab AIDS (Acquired Imunodeficiency Syndrome), dimana penyakit ini ditandai infeksi oportunistik dan atau beberapa jenis keganasan tertentu diakibatkan penurunan fungsi imun penderita. Kemungkinan alasan terpenting mengenai infeksi paru akibat HIV/AIDS berkaitan dengan konsekuensi anatomi paru sehingga terpapar secara kronis terhadap bahan infeksius maupun non-infeksius dari luar (eksogen) dan tersebar hematogen (endogen) melalui luas permukaan paru yang mengandung jutaan alveolus.
Mekanisme yang berperan pada kerusakan paru yaitu mekanisme pertahanan langsung akibat HIV yang menginfeksi dan membunuh sel sehingga terjadi kerusakan sel efektor dan perubahan fungsi dari imunostimulasi menjadi imunosupresi yang berakibat gangguan migrasi sejumlah limfosit, monosit maupun netrofil ke paru-paru. Hal ini menyebabkan infeksi oportunistik dengan mudah berkembang.
Jumlah infeksi oportunistik terbanyak di Indonesia dilaporkan TB (10.648 kasus), Diare kronis (6.392 kasus), Kandidiasis oro-faringeal (6.412 kasus), Dermatitis generalisata (1.623 kasus) dan Limfadenopati generalisata persisten (770 kasus).
Kata kunci: Imfeksi oportunistik, HIV, AIDS, TB
PENDAHULUAN
Human Imunodeficiency
Virus (HIV) merupakan virus
penyebab AIDS (Acquired
Imunodeficiency Syndrome), dimana
penyakit ini ditandai infeksi
oportunistik dan atau beberapa jenis
keganasan tertentu diakibatkan
penurunan fungsi imun penderita.
Dilaporkan bahwa jumlah penderita
HIV di dunia pada tahun 2007 33,2
juta orang yang terdiri dari infeksi
baru sejumlah 2,5 juta orang dan
sebanyak 2,1 juta kematian
berhubungan dengan AIDS pada
tahun ini (Sinaga, 2009). Di
Indonesia sendiri pada triwulan
kedua 2010 terdapat penambahan
1.206 kasus AIDS. Sampai 30 Juni
2010, kasus AIDS yang dilaporkan
sejak 1978 berjumlah 21.770 dan
1
berasal dari 32 provinsi serta 300
kabupaten dan kota di tanah air
(Depkes, 2010). Di Aceh, sejak 2004
hingga 2009 kasus HIV/AIDS
ditemukan terus meningkat. Hingga
kini jumlah penederita sebanyak 46
orang dan 18 diantaranya dilaporkan
telah meninggal (Fatah, 2010).
Jumlah infeksi oportunistik
terbanyak di Indonesia dilaporkan
TB (10.648 kasus), Diare kronis
(6.392 kasus), Kandidiasis oro-
faringeal (6.412 kasus), Dermatitis
generalisata (1.623 kasus) dan
Limfadenopati generalisata persisten
770 kasus (Ditjen Kemenkes, 2010).
Kemungkinan alasan terpenting
mengenai infeksi paru akibat
HIV/AIDS berkaitan dengan
konsekuensi anatomi paru sehingga
terpapar secara kronis terhadap
bahan infeksius maupun non-
infeksius dari luar (eksogen) dan
tersebar hematogen (endogen)
melalui luas permukaan paru yang
mengandung jutaan alveolus.
Mekanisme yang berperan pada
kerusakan paru yaitu mekanisme
pertahanan langsung akibat HIV
yang menginfeksi dan membunuh sel
sehingga terjadi kerusakan sel
efektor dan perubahan fungsi dari
imunostimulasi menjadi
imunosupresi yang berakibat
gangguan migrasi sejumlah limfosit,
monosit maupun netrofil ke paru-
paru. Hal ini menyebabkan infeksi
oportunistik dengan mudah
berkembang (Segreti, 2006).
INFEKSI OPORTUNISTIK
Infeksi opportunistik (IO)
adalah infeksi akibat adanya
kesempatan untuk timbul pada
kondisi-kondisi tertentu yang
memungkinkan, karena itu IO bisa
disebabkan oleh organisme non
patogen. Pada infeksi oleh human
immunodeficiency virus (HIV), tubuh
secara gradual akan mengalami
penurunan imunitas akibat
penurunan jumlah dan fungsi
limfosit CD4. Pada keadaan dimana
jumlah limfosit CD4 <200/ml atau
kurang, sering terjadi gejala penyakit
indicator AIDS. Spektrum infeksi
yang tejadi pada keadaan imunitas
tubuh menurun pada infeksi HIV ini
disebut sebagai infeksi oportunistik.
Organisme penyebab IO
adalah organism yang merupakan
flora normal, maupun organisme
patogen yang terdapat secara laten
dalam tubuh yang kemudian
2
mengalami reaktivasi. Semakin
menurun jumlah limfosit CD4
semakin berat manifestasi IO dan
semakin sulit mengobati, bahkan
sering mengakibatkan kematian
(Merati, 2007).
PATOGENESIS
Partikel HIV infeksius terdiri
dari 2 untaian RNA yang identik,
masing-masing panjangnya 9,2
kilobasa, terbungkus dalam protein
virus, dikelilingi oleh envelop
fosfolipid dua lapis yang berasal dari
membran sel pejamu dan protein
membran yang disandi oleh virus
(Kresno, 2007). Pada membran ini
terdapat tonjolan glikoprotein (gp)
120 dan gp41. Awalnya, terjadi
perlekatan antara gp120 dan reseptor
CD4, yang memicu perubahan
konformasi pada gp120 sehingga
memungkinkan pengikatan dengan
reseptor kemokin (biasanya CCR5
atau CXCR4). Setelah itu terjadi
penyatuan pori yang dimediasi oleh
gp41. Setelah berada di dalam sel
CD4, salinan DNA ditranskripsi dari
genom RNA oleh enzim reverse
trancriptase (RT) yang dibawa oleh
virus. Selanjutnya DNA ini
ditranspor ke dalam nukleus dan
terintegrasi secara acak di dalam
genom sel penjamu. Virus yang
terintegrasi ini disebut provirus.
Pada aktivasi sel pejamu, RNA
ditranskripsi dari cetakan DNA ini
dan selanjutnya translasi
menyebabkan produksi protein virus.
Poliprotein prekursor dipecah oleh
protease virus menjadi enzim dan
protein struktural. Hasil pecahan ini
kemudian digunakan untuk
menghasilkan partikel virus infeksius
yang keluar dari permukaan sel dan
bersatu dengan membran sel pejamu.
Virus infeksius baru (virion)
selanjutnya dapat menginfeksi sel
yang belum terinfeksi dan
mengulang prose tersebut (Mandal,
2006).
EFEK INFEKSI HIV PADA
PARU
Makrofag dan limfosit
alveolar yang terdapat di permukaan
alveoli adalah sel defender utama
parenkim paru. Terinfeksinya
makrofag dan limfosit alveolar oleh
HIV (paparan endogen) merupakan
proses krusial pada patogenesis
penyakit paru pada AIDS. Molekul
CD4 pada permukaan sel merupakan
reseptor untuk masuknya HIV dan
3
untuk masuknya virus ke dalam sel
diperlukan kerjasama dengan ko-
reseptor kemokin. CCR5 adalah ko-
reseptor yang digunakan untuk
menginfeksi makrofag oleh strain
monoscytetropic (M-tropic), namun
tidak untuk menginfeksi limfosit dan
sebaliknya CXCR4 atau fusin untuk
strain lymphocyte-tropic atau L-
tropic (Beck, 2005). Makrofag
alveolar merupakan reservoir HIV
yang utama. Hal ini dibuktikan
dengan terdeteksinya HIV reverse
transcriptase dari hasil
Bronchoalveolar Lavage (BAL).
Pada paru, CD4 ini terdapat pada
permukaan makrofag alveolar dan
ko-reseptor yang paling berperan
adalah CCR5 walaupun terdapat pula
ekspresi CXCR4. Infeksi oleh strain
M-tropic dapat diblokir oleh CC
chemokines RANTES, macrophage
inflammatory protein-1 α dan β yang
berperan sebagai ligand CCR5.
Seiring dengan perkembangan
infeksi HIV, maka peran strain M-
tropic digantikan oleh T-tropic,
disertai penurunan yang cepat status
imunologik penderita (Hogan, 2001).
Sebagai reaksi defensif lokal paru
terhadap masuknya virus: dengan
bantuan limfosit CD4 (T-helper),
maka limfosit CD8 yang merupakan
efektor sistem imunitas seluler,
membunuh sel yang terinfeksi HIV
melalui cytotoxic T-cell lymphocyte
(CTL) CD8. Sel limfosit sitotoksik
CD8 ini akan aktif dan berproliferasi
sebagai respon terhadap adanya
epitope virus HIV, sehingga
menekan replikasi virus secara
langsung. Walaupun telah ada
mekanisme penekanan ini, namun
replikasi virus tetap berlangsung
(mekanismenya masih belum jelas)
sehingga terjadi destruksi dan
penurunan jumlah dan kualitas CD4,
selanjutnya menyebabkan respon
CTL CD8 menjadi suboptimal
(secara in vitro, tidak dapat
melakukan lisis sel target dengan
baik) (Agustriadi, 2008).
Pada suatu studi, didapatkan
terjadinya penurunan jumlah limfosit
CD4 (dari hasil BAL) disertai
dengan peningkatan limfosit CD8
pada paru, sehingga rasio CD4/CD8
pada paru lebih kecil dibandingkan
darah perifer. Pada beberapa
penderita menunjukkan symptom
pulmonologis sebagai akibat influks
limfosit CD8 ke sel paru (lymphoid
interstitial pneumonitis), dimana hal
ini berkorelasi dengan tingginya
4
viral load. Namun pada tahap lanjut
jumlah limfosit CD8 ini juga
mengalami penurunan (Beck, 2005).
Pada studi lainnya, didapatkan
bahwa abnormalitas sel B terjadi
pada masa-masa awal infeksi
(sebelum terpengaruhnya fungsi sel
T) dengan gangguan pembentukan
antibodi sebagai respon terhadap
mitogen dan gangguan inisiasi
sintesis antibodi secara normal
sebagai respon terhadap antigen.
Penurunan konsentrasi IgG pada
paru kemungkinan akibat gangguan
kemampuan makrofag alveolar
dalam merangsang sekresi IgG dari
sel B. (Hogan, 2001). Mekanisme
defensif lainnyaadalah surfaktan paru
(disekresi oleh sel epitel alveolar tipe
II) yang secara fisiologis berguna
untuk menurunkan tegangan
permukaan sehingga memudahkan
reinflasi pada setiap akhir ekspirasi.
Surfaktan tersusun atas kompleks
fosfolipid dan protein spesifik, sel-
sel bronkoalveolar juga terdapat
didalamnya. Surfaktan menekan
proses oksidatif dan produksi
beberapa jenis sitokin seperti IL-1,
IL-6 dan TNF α (sitokin-sitokin yang
merangsang replikasi virus HIV),
menghambat aktivasi limfosit
sehingga menghambat replikasi virus
HIV. Paparan terhadap infeksi
mikroorganisme tertentu, misalnya P
carinii akan merangsang produksi
TNF α oleh makrofag alveolar,
berikutnya TNF α akan
mengaktifkan replikasi virus HIV
sekaligus mengganggu sintesis
protein surfaktan, dan akhirnya
terjadi deplesi natural antiviral
factor pada paru (Carpenter, 2009).
TUBERKULOSIS
Tuberkulosis adalah penyakit
infeksi menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis.
Kuman batang aerobic dan tahan
asam ini, dapat merupakan organism
patogen maupun saprofit. Basil
tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai
4 mm, ukuran ini lebih kecil daripada
sel darah merah (Price, 2006).
Berdasarkan data World
Health Organization (WHO), pada
akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta
orang penderita infeksi HIV di dunia
mengalami ko-infeksi M tuberculosis
dan meningkatkan risiko kematian
sebesar 2 kali lipat dibandingkan
tanpa tuberkulosis, dan seiring
dengan derajat beratnya
5
imunosupresi yang terjadi.
Suspetibilitas terhadap tuberkulosis,
baik untuk terjadinya tuberkulosis
primer, reaktivasi ataupun reinfeksi
berhubungan dengan pola sitokin
yang diproduksi oleh limfosit T,
dalam hal ini limfosit T1 melalui
produksi interferon γ yang berperan
defensif terhadap mikobakterium.
Pada infeksi HIV, deplesi limfosit
inilah yang menyebabkan
suspetibilitas terhadap tuberkulosis
meningkat. Di lain pihak, infeksi M
tuberculosis itu sendiri merangsang
makrofag memproduksi TNF α, IL-1
dan IL-6 yang menyebabkan
peningkatan replikasi virus HIV. Jadi
antara infeksi HIV dan tuberkulosis
terjadi interaksi patogenik 2 arah
(bidirectional pathogenic
interaction) yang memperburuk
prognosis penderita (Soewandojo,
2002).
DIAGNOSA
Pendekatan diagnosis TB
paru pada penderita dengan infeksi
HIV menggunakan kriteria yang
samA dengan tanpa infeksi HIV.
Namun pada sekitar 10% penderita
infeksi HIV dengan tuberkulosis
menunjukkan gambaran radiologis
dan mikroskopis yang normal,
sehingga diperlukan pemeriksaan
lain non-rutin untuk menentukan
diagnosis misalnya dengan
pemeriksaan BACTEC® (metode
radiometrik dengan mengukur kadar
karbondioksida yang dihasilkan dari
metabolisme asam lemak oleh M
tuberculosis) dan polymerase chain
reaction (Haburchack, 2010). Pada
daerah endemis tuberkulosis atau
adanya riwayat kontak dengan
penderita tuberculosis maka kultur
dan pengecatan BTA rutin
dikerjakan pada semua penderita
HIV/AIDS dengan infiltrat pada
paru, untuk keperluan klinis dan
kontrol infeksi.
PENANGANAN
Penatalaksanaan TB paru
dengan infeksi HIV pada dasarnya
sama dengan tanpa HIV. Saat
pemberian obat pada koinfeksi TBC-
HIV harus memperhatikan jumlah
CD4 dan sesuai dengan rekomendasi
yang ada. Namun pada beberapa
studi mendapatkan tingginya angka
kekambuhan pada penderita yang
menerima Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) selama 6 bulan dibandingkan
dengan 9-12 bulan. Terdapat
6
interaksi antara obat ARV dengan
OAT, terutama rifampicin karena
rangsangannya terhadap aktivitas
sistem enzim liver sitokrom P450
yang memetabolisme protease
inhibitor (PI) dan nonnucleosidase
reverse trancriptase inhibitor
(NNRTI), sehingga terjadi
penurunan kadar PI dan NNRTI
dalam darah sampai kadar sub-
terapeutik yang berakibat incomplete
viral suppresion dan timbulnya
resistensi obat. Protease inhibitor
dan NNRTI dapat pula mempertinggi
atau menghambat sistem enzim ini
dan berakibat terganggunya kadar
rifampicin dalam darah. Interaksi
obat-obat ini akhirnya berakibat
tidak efektifnya sehingga terjadi
penurunan kadar PI dan NNRTI
dalam darah sampai kadar sub-
terapeutik yang berakibat incomplete
viral suppresion dan timbulnya
resistensi obat. Protease inhibitor dan
NNRTI dapat pula mempertinggi
atau menghambat sistem enzim ini
dan berakibat terganggunya kadar
rifampicin dalam darah. Interaksi
obat-obat ini akhirnya berakibat
tidak efektifnya obat ARV dan terapi
tuberkulosis serta meningkatnya
risiko toksisitas obat, sehingga
pemakaian bersama obat-obat
tersebut tidak direkomendasikan.
Pada sekitar 36% penderita
tuberkulosis aktif yang mendapatkan
OAT dan ARV secara simultan,
terjadi reaksi paradoksal
(kemungkinan akibat terjadinya
immune restitution) dengan tanda
dan gejala seperti demam tinggi,
limfadenopati dan memburuknya
gambaran radiologis thoraks. Untuk
mendiagnosis suatu reaksi
paradoksal, etiologi lainnya harus
disingkirkan terlebih dahulu. Reaksi
ini bersifat self limiting (umumnya
10-40 hari), namun pada reaksi yang
berat dapat diberikan terapi
prednison 1-2 mg/ kg berat badan
selama 1-2 minggu, lalu dosis di
tappering off. Isoniazid dan NRTI
sama-sama berefek samping
neuropati perifer. Pemakaian
simultan kedua obat tersebut
meningkat toksisitas isoniazid dan
memperberat gejala neuropati
perifer. Sehingga pada manajemen
tuberkulosis pada infeksi HIV/AIDS
prinsipnya adalah terapi
diprioritaskan pada tuberkulosisnya
(Colebunders, 2002).
7
PENUTUP
Alasan terpenting mengenai
infeksi paru akibat HIV/AIDS
berkaitan dengan konsekuensi
anatomi paru sehingga terpapar
secara kronis terhadap bahan
infeksius maupun non-infeksius dari
luar (eksogen) dan tersebar
hematogen (endogen) melalui luas
permukaan paru yang mengandung
jutaan alveolus. Mekanisme yang
berperan pada kerusakan paru yaitu
mekanisme pertahanan langsung
akibat HIV yang menginfeksi dan
membunuh sel sehingga terjadi
kerusakan sel efektor dan perubahan
fungsi dari imunostimulasi menjadi
imunosupresi yang berakibat
gangguan migrasi sejumlah limfosit,
monosit maupun netrofil ke paru-
paru. Hal ini menyebabkan infeksi
oportunistik dengan mudah
berkembang.
Untuk kemajuan penanganan
terhadap infeksi oportunistik
terutama TB perlu dilakukan
penelitian-penelitian lanjutan
sehingga masalah yang dihadapi
selama terapi seperti resistensi obat
serta efek samping yang berlebihan
dapat dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
Agustriadi O, Sutha IB. 2008. Aspek Pulmonologis Infeksi Oportunistik pada Infeksi HIV/AIDS. J Peny Dalam 9:233-244
Beck J. 2005. The immunocompromised host. Proc Am Thorax Soc 2:423-7.
Herchline T. 2010. Tuberculosis . Artikel eMedicine, Medscape’s Continually Updated Clinical Reference. http://emedicine.medscape.com/article/230802-overview
Haburchak DR. 2010. Prevention of Oportunistik Infections in Patients Infected With HIV. Artikel eMedicine, Medscape’S Continually Updated Clinical Reference. http://emedicine.medscape.com/article/1529727-overview
Carpenter RJ. 2009. Early Symptomatic HIV Infection. Artikel eMedicine, Medscape’S Continually Updated Clinical Reference.http://emedicine.medscape.com/article/211873-overview
Colebunders R, Lambert ML. 2002. Management of coinfection with HIV and TB. BMJ 324:802-3.
Fatah, Abdul. 2010. Penderita HIV/AIDS di Aceh 46 orang. http://mpubandaaceh.wordpress.com/2010/03/25/penderita-hivaids-di aceh-46-orang/ (diakses 02 Oktober 2010).
Hogan CM, Hammer SM. 2001. Host determinants in HIV
8
infection and disease part 1: cellular and humoral immune response. Ann Intern Med 134:761-76.
Kresno, Siti Boedina. 2007. Imunologi : Diagnosis dan prosedur laboratorium. FKUI. Jakarta.
Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon-White RT. 2006. Penyakit Infeksi. Penerjemah: Surapsari, Juwalita. Edisi ke-6. Erlangga. Jakarta.
Merati TP, Djauzi S. 2007. Respon Imun Infeksi HIV hal: 275. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. EGC. Jakarta.
Pramono, Steven. 2010. Jumlah Penderita AIDS Terus Bertambah.http://www.christianpost.co.id/society/stats/20100927/5325/kpa-jumlah-penderita-aids-terus-bertambah/index.html (diakses 02 Oktober 2010).
Price SA, Standridge MP. 2006. Tuberkulosis Paru Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi ke-6. Penerjemah: Udumbara B. EGC. Jakarta.
Segreti J. 2006. Pulmonary complications of HIV disease. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Current medical diagnosis & treatment. 39th ed. Connecticut: Prentice-Hall International p.414-23.
Sinaga, RT. 2009. Pendidikan Pencegahan HIV. Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO. Jakarta.
Soewandojo E. 2002. The management of HIV/AIDS in pulmonary TB. In: Palilingan JF, Maranatha D, Winariani, editors. TB update 2002 Global management of tuberculosis to reach an indonesian health for all in the year of 2010. Surabaya p.74-89.
9