infeksi oportunistik tb

15
INFEKSI OPORTUNISTIK TUBERKULOSIS PADA PENDERITA HIV/AIDS Cut Amelia Putri Anna 0707101010071 A-08 Abstrak Human Imunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab AIDS (Acquired Imunodeficiency Syndrome), dimana penyakit ini ditandai infeksi oportunistik dan atau beberapa jenis keganasan tertentu diakibatkan penurunan fungsi imun penderita. Kemungkinan alasan terpenting mengenai infeksi paru akibat HIV/AIDS berkaitan dengan konsekuensi anatomi paru sehingga terpapar secara kronis terhadap bahan infeksius maupun non-infeksius dari luar (eksogen) dan tersebar hematogen (endogen) melalui luas permukaan paru yang mengandung jutaan alveolus. Mekanisme yang berperan pada kerusakan paru yaitu mekanisme pertahanan langsung akibat HIV yang menginfeksi dan membunuh sel sehingga terjadi kerusakan sel efektor dan perubahan fungsi dari imunostimulasi menjadi imunosupresi yang berakibat gangguan migrasi sejumlah limfosit, monosit maupun netrofil ke paru-paru. Hal ini menyebabkan infeksi oportunistik dengan mudah berkembang. Jumlah infeksi oportunistik terbanyak di Indonesia dilaporkan TB (10.648 kasus), Diare kronis (6.392 kasus), Kandidiasis oro-faringeal (6.412 kasus), Dermatitis generalisata (1.623 kasus) dan Limfadenopati generalisata persisten (770 kasus). Kata kunci: Imfeksi oportunistik, HIV, AIDS, TB PENDAHULUAN 1

Upload: cut-amelia-putri-anna

Post on 10-Aug-2015

69 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Infeksi Oportunistik Tb

INFEKSI OPORTUNISTIK TUBERKULOSIS PADA PENDERITA

HIV/AIDS

Cut Amelia Putri Anna

0707101010071

A-08

Abstrak

Human Imunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab AIDS (Acquired Imunodeficiency Syndrome), dimana penyakit ini ditandai infeksi oportunistik dan atau beberapa jenis keganasan tertentu diakibatkan penurunan fungsi imun penderita. Kemungkinan alasan terpenting mengenai infeksi paru akibat HIV/AIDS berkaitan dengan konsekuensi anatomi paru sehingga terpapar secara kronis terhadap bahan infeksius maupun non-infeksius dari luar (eksogen) dan tersebar hematogen (endogen) melalui luas permukaan paru yang mengandung jutaan alveolus.

Mekanisme yang berperan pada kerusakan paru yaitu mekanisme pertahanan langsung akibat HIV yang menginfeksi dan membunuh sel sehingga terjadi kerusakan sel efektor dan perubahan fungsi dari imunostimulasi menjadi imunosupresi yang berakibat gangguan migrasi sejumlah limfosit, monosit maupun netrofil ke paru-paru. Hal ini menyebabkan infeksi oportunistik dengan mudah berkembang.

Jumlah infeksi oportunistik terbanyak di Indonesia dilaporkan TB (10.648 kasus), Diare kronis (6.392 kasus), Kandidiasis oro-faringeal (6.412 kasus), Dermatitis generalisata (1.623 kasus) dan Limfadenopati generalisata persisten (770 kasus).

Kata kunci: Imfeksi oportunistik, HIV, AIDS, TB

PENDAHULUAN

Human Imunodeficiency

Virus (HIV) merupakan virus

penyebab AIDS (Acquired

Imunodeficiency Syndrome), dimana

penyakit ini ditandai infeksi

oportunistik dan atau beberapa jenis

keganasan tertentu diakibatkan

penurunan fungsi imun penderita.

Dilaporkan bahwa jumlah penderita

HIV di dunia pada tahun 2007 33,2

juta orang yang terdiri dari infeksi

baru sejumlah 2,5 juta orang dan

sebanyak 2,1 juta kematian

berhubungan dengan AIDS pada

tahun ini (Sinaga, 2009). Di

Indonesia sendiri pada triwulan

kedua 2010 terdapat penambahan

1.206 kasus AIDS. Sampai 30 Juni

2010, kasus AIDS yang dilaporkan

sejak 1978 berjumlah 21.770 dan

1

Page 2: Infeksi Oportunistik Tb

berasal dari 32 provinsi serta 300

kabupaten dan kota di tanah air

(Depkes, 2010). Di Aceh, sejak 2004

hingga 2009 kasus HIV/AIDS

ditemukan terus meningkat. Hingga

kini jumlah penederita sebanyak 46

orang dan 18 diantaranya dilaporkan

telah meninggal (Fatah, 2010).

Jumlah infeksi oportunistik

terbanyak di Indonesia dilaporkan

TB (10.648 kasus), Diare kronis

(6.392 kasus), Kandidiasis oro-

faringeal (6.412 kasus), Dermatitis

generalisata (1.623 kasus) dan

Limfadenopati generalisata persisten

770 kasus (Ditjen Kemenkes, 2010).

Kemungkinan alasan terpenting

mengenai infeksi paru akibat

HIV/AIDS berkaitan dengan

konsekuensi anatomi paru sehingga

terpapar secara kronis terhadap

bahan infeksius maupun non-

infeksius dari luar (eksogen) dan

tersebar hematogen (endogen)

melalui luas permukaan paru yang

mengandung jutaan alveolus.

Mekanisme yang berperan pada

kerusakan paru yaitu mekanisme

pertahanan langsung akibat HIV

yang menginfeksi dan membunuh sel

sehingga terjadi kerusakan sel

efektor dan perubahan fungsi dari

imunostimulasi menjadi

imunosupresi yang berakibat

gangguan migrasi sejumlah limfosit,

monosit maupun netrofil ke paru-

paru. Hal ini menyebabkan infeksi

oportunistik dengan mudah

berkembang (Segreti, 2006).

INFEKSI OPORTUNISTIK

Infeksi opportunistik (IO)

adalah infeksi akibat adanya

kesempatan untuk timbul pada

kondisi-kondisi tertentu yang

memungkinkan, karena itu IO bisa

disebabkan oleh organisme non

patogen. Pada infeksi oleh human

immunodeficiency virus (HIV), tubuh

secara gradual akan mengalami

penurunan imunitas akibat

penurunan jumlah dan fungsi

limfosit CD4. Pada keadaan dimana

jumlah limfosit CD4 <200/ml atau

kurang, sering terjadi gejala penyakit

indicator AIDS. Spektrum infeksi

yang tejadi pada keadaan imunitas

tubuh menurun pada infeksi HIV ini

disebut sebagai infeksi oportunistik.

Organisme penyebab IO

adalah organism yang merupakan

flora normal, maupun organisme

patogen yang terdapat secara laten

dalam tubuh yang kemudian

2

Page 3: Infeksi Oportunistik Tb

mengalami reaktivasi. Semakin

menurun jumlah limfosit CD4

semakin berat manifestasi IO dan

semakin sulit mengobati, bahkan

sering mengakibatkan kematian

(Merati, 2007).

PATOGENESIS

Partikel HIV infeksius terdiri

dari 2 untaian RNA yang identik,

masing-masing panjangnya 9,2

kilobasa, terbungkus dalam protein

virus, dikelilingi oleh envelop

fosfolipid dua lapis yang berasal dari

membran sel pejamu dan protein

membran yang disandi oleh virus

(Kresno, 2007). Pada membran ini

terdapat tonjolan glikoprotein (gp)

120 dan gp41. Awalnya, terjadi

perlekatan antara gp120 dan reseptor

CD4, yang memicu perubahan

konformasi pada gp120 sehingga

memungkinkan pengikatan dengan

reseptor kemokin (biasanya CCR5

atau CXCR4). Setelah itu terjadi

penyatuan pori yang dimediasi oleh

gp41. Setelah berada di dalam sel

CD4, salinan DNA ditranskripsi dari

genom RNA oleh enzim reverse

trancriptase (RT) yang dibawa oleh

virus. Selanjutnya DNA ini

ditranspor ke dalam nukleus dan

terintegrasi secara acak di dalam

genom sel penjamu. Virus yang

terintegrasi ini disebut provirus.

Pada aktivasi sel pejamu, RNA

ditranskripsi dari cetakan DNA ini

dan selanjutnya translasi

menyebabkan produksi protein virus.

Poliprotein prekursor dipecah oleh

protease virus menjadi enzim dan

protein struktural. Hasil pecahan ini

kemudian digunakan untuk

menghasilkan partikel virus infeksius

yang keluar dari permukaan sel dan

bersatu dengan membran sel pejamu.

Virus infeksius baru (virion)

selanjutnya dapat menginfeksi sel

yang belum terinfeksi dan

mengulang prose tersebut (Mandal,

2006).

EFEK INFEKSI HIV PADA

PARU

Makrofag dan limfosit

alveolar yang terdapat di permukaan

alveoli adalah sel defender utama

parenkim paru. Terinfeksinya

makrofag dan limfosit alveolar oleh

HIV (paparan endogen) merupakan

proses krusial pada patogenesis

penyakit paru pada AIDS. Molekul

CD4 pada permukaan sel merupakan

reseptor untuk masuknya HIV dan

3

Page 4: Infeksi Oportunistik Tb

untuk masuknya virus ke dalam sel

diperlukan kerjasama dengan ko-

reseptor kemokin. CCR5 adalah ko-

reseptor yang digunakan untuk

menginfeksi makrofag oleh strain

monoscytetropic (M-tropic), namun

tidak untuk menginfeksi limfosit dan

sebaliknya CXCR4 atau fusin untuk

strain lymphocyte-tropic atau L-

tropic (Beck, 2005). Makrofag

alveolar merupakan reservoir HIV

yang utama. Hal ini dibuktikan

dengan terdeteksinya HIV reverse

transcriptase dari hasil

Bronchoalveolar Lavage (BAL).

Pada paru, CD4 ini terdapat pada

permukaan makrofag alveolar dan

ko-reseptor yang paling berperan

adalah CCR5 walaupun terdapat pula

ekspresi CXCR4. Infeksi oleh strain

M-tropic dapat diblokir oleh CC

chemokines RANTES, macrophage

inflammatory protein-1 α dan β yang

berperan sebagai ligand CCR5.

Seiring dengan perkembangan

infeksi HIV, maka peran strain M-

tropic digantikan oleh T-tropic,

disertai penurunan yang cepat status

imunologik penderita (Hogan, 2001).

Sebagai reaksi defensif lokal paru

terhadap masuknya virus: dengan

bantuan limfosit CD4 (T-helper),

maka limfosit CD8 yang merupakan

efektor sistem imunitas seluler,

membunuh sel yang terinfeksi HIV

melalui cytotoxic T-cell lymphocyte

(CTL) CD8. Sel limfosit sitotoksik

CD8 ini akan aktif dan berproliferasi

sebagai respon terhadap adanya

epitope virus HIV, sehingga

menekan replikasi virus secara

langsung. Walaupun telah ada

mekanisme penekanan ini, namun

replikasi virus tetap berlangsung

(mekanismenya masih belum jelas)

sehingga terjadi destruksi dan

penurunan jumlah dan kualitas CD4,

selanjutnya menyebabkan respon

CTL CD8 menjadi suboptimal

(secara in vitro, tidak dapat

melakukan lisis sel target dengan

baik) (Agustriadi, 2008).

Pada suatu studi, didapatkan

terjadinya penurunan jumlah limfosit

CD4 (dari hasil BAL) disertai

dengan peningkatan limfosit CD8

pada paru, sehingga rasio CD4/CD8

pada paru lebih kecil dibandingkan

darah perifer. Pada beberapa

penderita menunjukkan symptom

pulmonologis sebagai akibat influks

limfosit CD8 ke sel paru (lymphoid

interstitial pneumonitis), dimana hal

ini berkorelasi dengan tingginya

4

Page 5: Infeksi Oportunistik Tb

viral load. Namun pada tahap lanjut

jumlah limfosit CD8 ini juga

mengalami penurunan (Beck, 2005).

Pada studi lainnya, didapatkan

bahwa abnormalitas sel B terjadi

pada masa-masa awal infeksi

(sebelum terpengaruhnya fungsi sel

T) dengan gangguan pembentukan

antibodi sebagai respon terhadap

mitogen dan gangguan inisiasi

sintesis antibodi secara normal

sebagai respon terhadap antigen.

Penurunan konsentrasi IgG pada

paru kemungkinan akibat gangguan

kemampuan makrofag alveolar

dalam merangsang sekresi IgG dari

sel B. (Hogan, 2001). Mekanisme

defensif lainnyaadalah surfaktan paru

(disekresi oleh sel epitel alveolar tipe

II) yang secara fisiologis berguna

untuk menurunkan tegangan

permukaan sehingga memudahkan

reinflasi pada setiap akhir ekspirasi.

Surfaktan tersusun atas kompleks

fosfolipid dan protein spesifik, sel-

sel bronkoalveolar juga terdapat

didalamnya. Surfaktan menekan

proses oksidatif dan produksi

beberapa jenis sitokin seperti IL-1,

IL-6 dan TNF α (sitokin-sitokin yang

merangsang replikasi virus HIV),

menghambat aktivasi limfosit

sehingga menghambat replikasi virus

HIV. Paparan terhadap infeksi

mikroorganisme tertentu, misalnya P

carinii akan merangsang produksi

TNF α oleh makrofag alveolar,

berikutnya TNF α akan

mengaktifkan replikasi virus HIV

sekaligus mengganggu sintesis

protein surfaktan, dan akhirnya

terjadi deplesi natural antiviral

factor pada paru (Carpenter, 2009).

TUBERKULOSIS

Tuberkulosis adalah penyakit

infeksi menular yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis.

Kuman batang aerobic dan tahan

asam ini, dapat merupakan organism

patogen maupun saprofit. Basil

tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai

4 mm, ukuran ini lebih kecil daripada

sel darah merah (Price, 2006).

Berdasarkan data World

Health Organization (WHO), pada

akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta

orang penderita infeksi HIV di dunia

mengalami ko-infeksi M tuberculosis

dan meningkatkan risiko kematian

sebesar 2 kali lipat dibandingkan

tanpa tuberkulosis, dan seiring

dengan derajat beratnya

5

Page 6: Infeksi Oportunistik Tb

imunosupresi yang terjadi.

Suspetibilitas terhadap tuberkulosis,

baik untuk terjadinya tuberkulosis

primer, reaktivasi ataupun reinfeksi

berhubungan dengan pola sitokin

yang diproduksi oleh limfosit T,

dalam hal ini limfosit T1 melalui

produksi interferon γ yang berperan

defensif terhadap mikobakterium.

Pada infeksi HIV, deplesi limfosit

inilah yang menyebabkan

suspetibilitas terhadap tuberkulosis

meningkat. Di lain pihak, infeksi M

tuberculosis itu sendiri merangsang

makrofag memproduksi TNF α, IL-1

dan IL-6 yang menyebabkan

peningkatan replikasi virus HIV. Jadi

antara infeksi HIV dan tuberkulosis

terjadi interaksi patogenik 2 arah

(bidirectional pathogenic

interaction) yang memperburuk

prognosis penderita (Soewandojo,

2002).

DIAGNOSA

Pendekatan diagnosis TB

paru pada penderita dengan infeksi

HIV menggunakan kriteria yang

samA dengan tanpa infeksi HIV.

Namun pada sekitar 10% penderita

infeksi HIV dengan tuberkulosis

menunjukkan gambaran radiologis

dan mikroskopis yang normal,

sehingga diperlukan pemeriksaan

lain non-rutin untuk menentukan

diagnosis misalnya dengan

pemeriksaan BACTEC® (metode

radiometrik dengan mengukur kadar

karbondioksida yang dihasilkan dari

metabolisme asam lemak oleh M

tuberculosis) dan polymerase chain

reaction (Haburchack, 2010). Pada

daerah endemis tuberkulosis atau

adanya riwayat kontak dengan

penderita tuberculosis maka kultur

dan pengecatan BTA rutin

dikerjakan pada semua penderita

HIV/AIDS dengan infiltrat pada

paru, untuk keperluan klinis dan

kontrol infeksi.

PENANGANAN

Penatalaksanaan TB paru

dengan infeksi HIV pada dasarnya

sama dengan tanpa HIV. Saat

pemberian obat pada koinfeksi TBC-

HIV harus memperhatikan jumlah

CD4 dan sesuai dengan rekomendasi

yang ada. Namun pada beberapa

studi mendapatkan tingginya angka

kekambuhan pada penderita yang

menerima Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) selama 6 bulan dibandingkan

dengan 9-12 bulan. Terdapat

6

Page 7: Infeksi Oportunistik Tb

interaksi antara obat ARV dengan

OAT, terutama rifampicin karena

rangsangannya terhadap aktivitas

sistem enzim liver sitokrom P450

yang memetabolisme protease

inhibitor (PI) dan nonnucleosidase

reverse trancriptase inhibitor

(NNRTI), sehingga terjadi

penurunan kadar PI dan NNRTI

dalam darah sampai kadar sub-

terapeutik yang berakibat incomplete

viral suppresion dan timbulnya

resistensi obat. Protease inhibitor

dan NNRTI dapat pula mempertinggi

atau menghambat sistem enzim ini

dan berakibat terganggunya kadar

rifampicin dalam darah. Interaksi

obat-obat ini akhirnya berakibat

tidak efektifnya sehingga terjadi

penurunan kadar PI dan NNRTI

dalam darah sampai kadar sub-

terapeutik yang berakibat incomplete

viral suppresion dan timbulnya

resistensi obat. Protease inhibitor dan

NNRTI dapat pula mempertinggi

atau menghambat sistem enzim ini

dan berakibat terganggunya kadar

rifampicin dalam darah. Interaksi

obat-obat ini akhirnya berakibat

tidak efektifnya obat ARV dan terapi

tuberkulosis serta meningkatnya

risiko toksisitas obat, sehingga

pemakaian bersama obat-obat

tersebut tidak direkomendasikan.

Pada sekitar 36% penderita

tuberkulosis aktif yang mendapatkan

OAT dan ARV secara simultan,

terjadi reaksi paradoksal

(kemungkinan akibat terjadinya

immune restitution) dengan tanda

dan gejala seperti demam tinggi,

limfadenopati dan memburuknya

gambaran radiologis thoraks. Untuk

mendiagnosis suatu reaksi

paradoksal, etiologi lainnya harus

disingkirkan terlebih dahulu. Reaksi

ini bersifat self limiting (umumnya

10-40 hari), namun pada reaksi yang

berat dapat diberikan terapi

prednison 1-2 mg/ kg berat badan

selama 1-2 minggu, lalu dosis di

tappering off. Isoniazid dan NRTI

sama-sama berefek samping

neuropati perifer. Pemakaian

simultan kedua obat tersebut

meningkat toksisitas isoniazid dan

memperberat gejala neuropati

perifer. Sehingga pada manajemen

tuberkulosis pada infeksi HIV/AIDS

prinsipnya adalah terapi

diprioritaskan pada tuberkulosisnya

(Colebunders, 2002).

7

Page 8: Infeksi Oportunistik Tb

PENUTUP

Alasan terpenting mengenai

infeksi paru akibat HIV/AIDS

berkaitan dengan konsekuensi

anatomi paru sehingga terpapar

secara kronis terhadap bahan

infeksius maupun non-infeksius dari

luar (eksogen) dan tersebar

hematogen (endogen) melalui luas

permukaan paru yang mengandung

jutaan alveolus. Mekanisme yang

berperan pada kerusakan paru yaitu

mekanisme pertahanan langsung

akibat HIV yang menginfeksi dan

membunuh sel sehingga terjadi

kerusakan sel efektor dan perubahan

fungsi dari imunostimulasi menjadi

imunosupresi yang berakibat

gangguan migrasi sejumlah limfosit,

monosit maupun netrofil ke paru-

paru. Hal ini menyebabkan infeksi

oportunistik dengan mudah

berkembang.

Untuk kemajuan penanganan

terhadap infeksi oportunistik

terutama TB perlu dilakukan

penelitian-penelitian lanjutan

sehingga masalah yang dihadapi

selama terapi seperti resistensi obat

serta efek samping yang berlebihan

dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Agustriadi O, Sutha IB. 2008. Aspek Pulmonologis Infeksi Oportunistik pada Infeksi HIV/AIDS. J Peny Dalam 9:233-244

Beck J. 2005. The immunocompromised host. Proc Am Thorax Soc 2:423-7.

Herchline T. 2010. Tuberculosis . Artikel eMedicine, Medscape’s Continually Updated Clinical Reference. http://emedicine.medscape.com/article/230802-overview

Haburchak DR. 2010. Prevention of Oportunistik Infections in Patients Infected With HIV. Artikel eMedicine, Medscape’S Continually Updated Clinical Reference. http://emedicine.medscape.com/article/1529727-overview

Carpenter RJ. 2009. Early Symptomatic HIV Infection. Artikel eMedicine, Medscape’S Continually Updated Clinical Reference.http://emedicine.medscape.com/article/211873-overview

Colebunders R, Lambert ML. 2002. Management of coinfection with HIV and TB. BMJ 324:802-3.

Fatah, Abdul. 2010. Penderita HIV/AIDS di Aceh 46 orang. http://mpubandaaceh.wordpress.com/2010/03/25/penderita-hivaids-di aceh-46-orang/ (diakses 02 Oktober 2010).

Hogan CM, Hammer SM. 2001. Host determinants in HIV

8

Page 9: Infeksi Oportunistik Tb

infection and disease part 1: cellular and humoral immune response. Ann Intern Med 134:761-76.

Kresno, Siti Boedina. 2007. Imunologi : Diagnosis dan prosedur laboratorium. FKUI. Jakarta.

Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon-White RT. 2006. Penyakit Infeksi. Penerjemah: Surapsari, Juwalita. Edisi ke-6. Erlangga. Jakarta.

Merati TP, Djauzi S. 2007. Respon Imun Infeksi HIV hal: 275. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. EGC. Jakarta.

Pramono, Steven. 2010. Jumlah Penderita AIDS Terus Bertambah.http://www.christianpost.co.id/society/stats/20100927/5325/kpa-jumlah-penderita-aids-terus-bertambah/index.html (diakses 02 Oktober 2010).

Price SA, Standridge MP. 2006. Tuberkulosis Paru Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi ke-6. Penerjemah: Udumbara B. EGC. Jakarta.

Segreti J. 2006. Pulmonary complications of HIV disease. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Current medical diagnosis & treatment. 39th ed. Connecticut: Prentice-Hall International p.414-23.

Sinaga, RT. 2009. Pendidikan Pencegahan HIV. Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO. Jakarta.

Soewandojo E. 2002. The management of HIV/AIDS in pulmonary TB. In: Palilingan JF, Maranatha D, Winariani, editors. TB update 2002 Global management of tuberculosis to reach an indonesian health for all in the year of 2010. Surabaya p.74-89.

9