industri pen go la hanna ta de coco

54
POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) INDUSTRI PENGOLAHAN NATA DE COCO BANK INDONESIA Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email : [email protected]

Upload: gunadi-p

Post on 24-Oct-2015

79 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

pengolahan nata de coco industri untuk peluang usaha

TRANSCRIPT

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)

INDUSTRI PENGOLAHAN NATA DE COCO

BANK INDONESIA Direktorat Kredit, BPR dan UMKM

Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email : [email protected]

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 1

DAFTAR ISI

1. Pendahuluan ................................ ................................ ............... 2

2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan ................................ ............... 7 a. Profil Usaha ................................ ................................ ............... 7 b. Pola Pembiayaan ................................ ................................ ...... 13

3. Aspek Pemasaran ................................ ................................ ....... 20 a. Permintaan ................................ ................................ .............. 20 b. Penawaran ................................ ................................ ............... 21 c. Persaingan dan Peluang Pasar ................................ ..................... 22 d. Harga ................................ ................................ ..................... 22 e. Jalur Pemasaran ................................ ................................ ....... 22 f. Kendala Pemasaran ................................ ................................ ... 23

4. Aspek Produksi ................................ ................................ .......... 24 a. Lokasi Usaha ................................ ................................ ............ 24 b. Fasilitas Produksi dan Peralatan ................................ .................. 24 c. Bahan Baku ................................ ................................ ............. 25 d. Tenaga Kerja ................................ ................................ ........... 26 e. Teknologi................................ ................................ ................. 26 f. Proses Produksi ................................ ................................ ......... 26 g. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi ................................ ................. 31 h. Produksi Optimum ................................ ................................ .... 32 i. Kendala Produksi ................................ ................................ ....... 33

5. Aspek Keuangan ................................ ................................ ........ 34 a. Pemilihan Pola Usaha ................................ ................................ . 34 b. Asumsi dan Paramete Perhitungan ................................ ............... 34 c. Komponen Biaya Investasi dan Biaya Operasional .......................... 36 d. Kebutuhan Dana Investasi dan Kredit ................................ ........... 38 e. Produksi dan Pendapatan ................................ ........................... 41 f. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point ................................ ...... 42 g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek ................................ ...... 43 h. Analisis Sensitivitas ................................ ................................ ... 44

6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan .......................... 47 a. Aspek Sosial Ekonomi ................................ ................................ 47 b. Dampak Lingkungan ................................ ................................ .. 50

7. Penutup ................................ ................................ ..................... 51 a. Kesimpulan ................................ ................................ .............. 51 b. Saran ................................ ................................ ..................... 52

LAMPIRAN ................................ ................................ ..................... 53

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 2

1. Pendahuluan

Kata nata berasal dari bahasa Spanyol yang berarti krim. Nata diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai 'natare' yang berarti terapung-apung. Nata dapat dibuat dari air kelapa, santan kelapa, tetes tebu (molases), limbah cair tebu, atau sari buah (nanas, melon, pisang, jeruk, jambu biji, strawberry dan lain-lain). Nata yang dibuat dari air kelapa disebut nata de coco. Di Indonesia, nata de coco sering disebut sari air kelapa atau sari kelapa. Nata de coco pertama kali berasal dari Filipina. Di Indonesia, nata de coco mulai dicoba pada tahun 1973 dan mulai diperkenalkan pada tahun 1975. Namun demikian, nata de coco mulai dikenal luas di pasaran pada tahun 1981 (Sutarminingsih, 2004).

Di Indonesia pada awalnya, industri pengolahan nata diawali di tingkat usaha rumah tangga (home industry) dengan menggunakan sari buah nanas sebagai bahan bakunya sehingga produknya sering disebut nata de pina. Seperti pada umumnya usaha buah-buahan musiman lainnya, keberlangsungan produksi nata de pina terbentur dengan kendala sifat musiman tanaman nanas. Sehingga produksi nata de pina tidak dapat dilakukan sepanjang tahun. Keberlangsungan input merupakan hal yang penting dalam manajemen agribisnis termasuk nata de coco (Gumbira dan Intan, 2001). Untuk mengatasi kendala tersebut, alternatif penggunaan bahan lain yang mudah didapat, tersedia sepanjang tahun dan harganya murah adalah air kelapa. Pada mulanya air kelapa kebanyakan hanya merupakan limbah dari industri pembuatan kopra atau minyak goreng (Jawa: klentik). Nata dari air kelapa yang kemudian terkenal dengan nama nata de coco merupakan hasil fermentasi air kelapa dengan bantuan mikroba acetobacter xylinum. Jumlah air kelapa yang dihasilkan dari buah kelapa di Indonesia kurang lebih 900 juta liter per tahun (Sutardi 2004).

Nata de coco merupakan salah satu produk olahan air kelapa yang memiliki kandungan serat tinggi dan kandungan kalori rendah sehingga cocok untuk makanan diet dan baik untuk sistim pencernaan serta tidak mengandung kolesterol sehingga mulai poluler di kalangan masyarakat yang memiliki perhatian pada kesehatan. Nata de coco tidak hanya memiliki pasar domestik tetapi juga pasar ekspor terutama Eropa, Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara Timur Tengah. Di pasar domestik, permintaan nata de coco biasanya meningkat tajam pada saat menjelang hari raya Natal, Lebaran, Tahun Baru dan peristiwa-peristiwa penting lainnya. Begitu banyaknya permintaan pada waktu-waktu tersebut, banyak rumah tangga yang secara sporadis membuat nata de coco untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Negara-negara penghasil nata de coco pesaing Indonesai adalah Filipina, Malaysia dan Vietnam. Di pasar ekspor, Filipina merupakan saingan utama produk nata de coco. Di Jepang, 90% nata de coco diimpor dari Filipina. Orang Jepang percaya bahwa nata de coco dapat melindungi tubuh dari kanker dan digunakan untuk makanan diet (DAAMAS, 2004).

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 3

Dari segi skala perusahaan, usaha nata de coco dilakukan oleh beberapa perusahaan besar-menengah dan juga banyak sekali perusahaan kecil-rumah tangga. Tentu saja mereka memiliki segmentasi pasar sendiri-sendiri. Perusahaan besar-menengah memiliki pasar yang relatif lebih luas mencangkup pasar domestik dan pasar ekspor. Sedangkan perusahaan kecil-rumah tangga memiliki pasar lokal dan daerah sekitar. Usaha kecil-rumah tangga nata de coco telah banyak menyerap tenaga kerja lokal. Oleh karena itu, pemerintah sangat mendukung usaha nata de coco tersebut melalui pemberian latihan/bimbingan teknis dan bantuan modal pada usaha kecil.

Sebenarnya nata de coco merupakan hasil sampingan (limbah) buah kelapa. Buah kelapa merupakan bagian terpenting dari tanaman kelapa karena memiliki nilai ekonomis dan gizi yang tinggi. Dilihat dari persentase komponennya, buah kelapa terdiri dari empat komponen yaitu 35% sabut, 12% tempurung, 28% daging buah dan 25% air kelapa. Masing-masing komponen dapat dimanfaatkan untuk produk makanan maupun non makanan. Sebagai contoh serabut untuk kerajinan keset, sapu, furniture; tempurung kelapa untuk arang; buah kelapa untuk minyak goreng, santan, kopra; dan air kelapa untuk nata de coco. Dari total produksi kelapa di Indonesia 34,7% diolah untuk santan, 8% untuk minyak goreng dan 57,3% untuk kopra (Kompas, 2004). Terdapat bermacam-macam output hasil olahan buah kelapa. Gambar 1.1. menunjukkan output derivasi dari buah kelapa. Nata de coco hanya merupakan salah satu output derivasi dari air kelapa, selain asam cuka minuman dan obat penurun panas.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 4

Gambar 1.1. Output Derivasi Buah Kelapa

Dari segi keberlangsungan pasokan input, usaha nata de coco memiliki prospek yang cerah. Daerah penghasil kelapa di Indonesia antara lain Sulawesi Utara, Riau, Jambi, Lampung, Daerah Istimewa Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Sebesar 90,86% dari total produksi kelapa Indonesia berasal dari daerah-daerah tersebut (Departemen Pertanian 2004). Data sampai dengan tahun 1999 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan penghasil kelapa terbesar di dunia diikuti India dan Filipina (DAAMAS 2004). Tabel 1.1 menunjukkan produksi kelapa di Indonesia, Filipina, India dan Total dunia 1995-1999.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 5

Tabel 1.1. Produksi Kelapa (000 metric tons)

Negara 1995 1996 1997 1998 1999 Indonesia 13.868 14.138 14.710 14.710 13.000 Filipina 10.300 11.318 12.053 10.493 11.000 India 8.000 9.649 9.800 10.000 11.000 Total Dunia 45.068 47.733 49.354 47.696 47.480

Sumber: Biro Statistik Pertanian - Filipina http://www.da.gov.ph/agribiz/coconut1.html

Berdasarkan studi pustaka (literature study), hasil focus group discussion (FGD) dan penjelasan dari Departemen Pertanian, Lampung merupakan salah satu sentra industri penghasil nata de coco dimana terdapat perusahaan besar-menengah dan perusahaan kecil-rumah tangga. Kabupaten Lampung Selatan dijadikan daerah survey untuk mendapatkan informasi yang digunakan untuk penyusunan pola pembiayaan komoditas nata de coco ini. Luas area perkebunan kelapa di Lampung Selatan adalah seluas 162.887 hektar dengan hasil 112.768 butir kelapa. Sebagian perkebunan tersebut adalah perekebunan rakyat dengan luas 46.204 hektar dan dikelola oleh 34.500 petani.

Nata de coco merupakan salah satu andalan ekspor Lampung Selatan. Air kelapa yang tidak terpakai dari petani kopra dimanfaatkan sebagai bahan baku nata de coco dan minuman kemasan (plastik atau kaleng). Salah satu perusahaan besarnya adalah PT Keong Nusantara Abadi. Perusahaan ini menyerap lebih dari 1.800 karyawan, mendistribusikan kurang lebih 1.600 jerigen berkapasitas 20 liter ke petani-petani kopra dengan harga Rp 100 - Rp 150 per liter. Setiap harinya, perusahaan ini mendapatkan 32.000 liter air kelapa (yang berasal dari 96.000 butir kelapa).

Perusahaan besar lainnya adalah PT Sari Segar Husada yang bergerak di industri pengalengan kelapa. Perusahaan membutuhkan 85.000-100.000 butir kelapa per hari untuk memproduksi 12,2 ton kelapa kering per hari dan 20 ton nata de coco per bulan untuk kemudian diekspor ke Inggris dan Belanda. Biasanya, sekitar 60.000 butir kelapa dipasok dari petani kelapa di Kabupaten Lampung Selatan dengan harga berkisar Rp 450 - Rp 500 per butir. Perusahaan ini menyerap tenaga kerja tetap sebanyak 200 orang dan tenaga kerja kupas borongan sebanyak 250 orang.

Buah kelapa memiliki kontribusi pembangungan ekonomi di Lampung Selatan. Dari buah kelapa ini saja sudah terdapat tiga industri menengah dan besar, 270 industri kecil formal dan nonformal. Dari sekitar 7.537 unit usaha yang menyerap 39.532 tenaga kerja di sektor industri, hanya sekitar enam% saja tenaga kerja yang terkait dengan industri dengan latar belakang pemanfaatan kelapa. Oleh karena itu Lampung Selatan ditetapkan menjadi wilayah survey dalam rangka penyusunan buku ini. Meskipun di Lampung

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 6

terdapat banyak sekali pengusaha-pengusaha nata de coco namun informasi digali hanya dari pengusaha-pengusaha kecil (kredit bank di bawah 500 juta). Dengan demikian, informasi teknis pengolahan nata de coco yang disajikan dalam buku ini sebagian besar berasal dari informasi yang diperoleh dari kondisi pengusaha dan lembaga di wilayah survey.

Usaha nata de coco memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat sekitar karena mengingat bahan dasar nata de coco hanya merupakan limbah produksi kopra. Dengan asumsi setiap petani dapat menghasilkan 10 jerigen (kapasitas 20 liter) atau 200 liter dalam satu hari, petani akan mendapatkan tambahan penghasilan Rp 20.000-Rp30.000 per hari (harga per liter: Rp 100 - Rp 150 per liter). Air kelapa memiliki kandungan vitamin seperti ditunjukkan oleh tabel Tabel 1.2.

Tabel 1.2. Komposisi Vitamin Air Kelapa

No. Jenis Vitamin ug/ml 1. Asam nikotinat 0,01 2. Biotin 0,02 3. Asam pantotenat 0,52 4. Riboflavin 0,01 5. Asam fosfat 0,03

Sumber: Dolendo dan Pacita (1967); cit.: Khak (1999), Sutarminingsih (2004).

Dari segi sosial, usaha nata de coco menyerap tenaga kerja lokal yang besar baik perusahaan menengah, besar, kecil maupun rumah tangga. Usaha ini hanya menggunakan teknologi yang sederhana tanpa perlu pengetahuan yang spesifik. Sehingga, usaha ini dapat dilakukan dalam usaha skala kecil maupun skala usaha rumah tangga terutama di daerah penghasil kelapa atau kawasan industri pangan yang bahan bakunya dari daging buah kelapa seperti industri minyak kelapa, industri geplak dan lain-lain (Sutardi, 2004).

Limbah usaha nata de coco adalah limbah cair yang asam baik bau maupun rasa. Limbah ini tidak membahayakan. Pengolahan limbah dilakukan dengan proses yang sederhana, yaitu dengan membuatkan bak penampungan di dalam tanah. Bahkan, beberapa pengusaha menggunakan air limbah tersebut untuk menyiram tanaman kelapa di perkebunan.

Di daerah survey, Kabupaten Lampung Selatan, terdapat tiga jenis usaha nata de coco, yaitu: pertama, usaha membuat nata de coco lembaran (mentah) saja; kedua, usaha membuat nata de coco kemasan saja dan ketiga, usaha membuat nata de coco lembaran sekaligus kemasan. Analisis keuangan akan dilakukan pada usaha nata de coco jenis ketiga yaitu usaha membuat nata de coco lembaran sekaligus kemasan.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 7

2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

a. Profil Usaha

Terdapat tiga jenis perusahaan nata de coco yaitu: perusahaan yang hanya menghasilkan nata de coco mentah (lembaran); perusahaan yang hanya menghasilkan nata de coco kemasan (syrup); dan perusahaan yang menghasilkan nata de coco mentah sekaligus mengolahnya menjadi nata de coco kemasan. Gambar 2.1. menunjukkan jenis perusahaan nata de coco.

Gambar 2.1. Jenis Perusahaan Nata de coco

Perusahaan jenis I terdapat dua macam, yaitu usaha permanen dan sporadis (discontinue). Permanen artinya perusahaan tersebut memproduksi sepanjang waktu dan biasanya sudah memiliki pasar (pelanggan) tetap baik dari lokal maupun luar daerah. Sedangkan sporadis artinya usaha tersebut hanya pada waktu-waktu tertentu ketika permintaan lokal meningkat, seperti waktu puasa, lebaran, tahun baru dan lain-lain. Usaha sporadis ini biasanya dilakukan di tingkat rumah tangga. Di Lampung Selatan (daerah survey) hanya ada beberapa perusahaan I yang permanen dan banyak sekali perusahan I yang sporadis. Perusahaan jenis I biasanya merupakan usaha keluarga dan sering tidak memiliki bentuk badan hukum, tetapi hanya memiliki izin usaha. Pengusaha I mutlak membutuhkan air kelapa sebagai bahan utama. Air kelapa tersebut didapat dari kebun mereka sendiri dan juga dari petani kopra. Biasanya, mereka menitipkan jerigen (20 literan) kepada petani dan kemudian mengambilnya. Tetapi ada juga petani yang datang ke tempat usaha untuk menyetor air kelapa. Teknologi, bahan tambahan dan peralatan yang digunakan cukup sederhana dan dapat didapat dari pasar lokal. Tenaga kerja berasal dari lokal setempat dengan status tenaga kerja tetap atau borongan.

Jenis perusahaan I memproduksi nata de coco dari air kelapa melalui proses fermentasi. Tingkat keberhasilan proses fermentasi ini sangat tergantung dari tingkat sterilisasi tempat dan peralatan-peralatan yang dipakai pada proses fermentasi. Tingkat keberhasilan proses fermentasi berkisar antara 80%-97,5% tergantung dari sterilisasi tempat produksi. Selain itu, cuaca juga merupakan faktor keberhasilan yang penting karena suhu kamar sangat diperlukan dalam proses fermentasi. Gambar 2.2. menunjukkan diagram alir proses pembuatan nata de coco lembaran oleh perusahaan jenis I.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 8

Gambar 2.2. Proses pembuatan nata de coco lembaran oleh perusahaan I

Bakteri pembentuk nata adalah axetobacter xylinum. Jika ditumbuhkan dalam medium yang mengandung gula, bakteri tersebut dapat mengubah 19% gula menjadi selulosa. Selulosa ini berupa benang-benang yang bersama-sama dengan polisakarida berlendir membentuk suatu masa dan dapat mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan bakteri axetobacter xylinum adalah tingkat keasaman medium, lama fermentasi, sumber karbon, sumber nitrogen, suhu dan konsentrasi bibit (starter). Pada dasarnya proses pembuatan biakan murni bakteri axetobacter xylinum dapat dilakukan secara laboratoris maupun secara sederhana (Sutarminingsih, 2004). Pengusaha nata de coco biasanya melalukan pembiakan axetobacter xylinum dalam media yang disebut starter. Komposisi media starter biasanya sama dengan komposisi media fermentasi yang digunakan dalam pembuatan nata de coco. Media starter di atur pada pH 4-4,5 dengan menambahkan asam asetat/glasial, kemudian disterilisasi selama 15 menit. Starter dapat dibuat dengan menanamkan satu tabung biakan murni bakteri ke dalam 100 ml media starter kemudian difermentasi selama 3 hari. Setelah itu, 100 ml stater tersebut ditambahkan ke dalam media baru sebanyak 1 liter dan diperam lagi selama 3 hari. Hasil pemeraman yang kedua ini merupakan starter yang siap ditambahkan pada media fermentasi atau bahan induk untuk produksi nata de coco. Penambahan starter yang optimal adalah 10 persen dari media fermentasi. Sedangkan umur optimal bibit adalah tiga hari.

Pemilihan lokasi usaha I tidak harus dekat dengan sumber air kelapa mengingat sifat pengolahan air kelapa tidak harus air yang segar. Menurut Woodrof (1970), komposisi kimia air kelapa adalah air, kalium, sejumlah

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 9

kecil karbohidrat, lemak, protein dan garam mineral. Tabel 2.1 menunjukkan persentase kandungan masing-masing komponen kimia dalam air kelapa.

Tabel 2.1. Komposisi Kimia Air Kelapa

No. Komponen Persentase (%) 1. Air 95,50 2. Kalium 6,60 3. Zat padat total 4,71 4. Gula total 2,08 5. Gula reduksi 0,80 6. Kalium oksida 0,69 7. Mineral (abu) 0,62 8. Magnisium oksida 0,59 9. Asam fosfat 0,56 10. Zat besi 0,50 11. Nitrogen 0,05

Sumber: Woodroof (1970); cit.: Khak (1999), Sutardi (2004), Sutarminingsih (2004).

Air kelapa harus ditampung dari berbagai sumber. Penampungan air kelapa tersebut memberikan jaminan sediaan air kelapa yang memadai dan terjadinya proses air kelapa menjadi basi. Proses pembasian air kelapa ini memberikan dampak yang positif karena air kelapa secara alami terkontaminasi oleh bakteri asam cuka dan fermentasi awal terjadi dan berakibat turunnya pH air kelapa. Penurunan pH tersebut dari segi teknis sangat menguntungkan karena pada proses pembuatan nata de coco justru pH harus diturunkan sampai air kelapa hasil pendidihan mencapai 3-4, dengan cara menambah asam cuka (Sutardi 2004). Proses pembasian ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada kualitas air kelapa kecuali jika fermentasi awal berlangsung lama (berlanjut) sehingga kadar gula air kelapa makin menipis dan pada akhirnya air kelapa dapat busuk karena bakteri pembusuk mengambil alih proses dekomposisi lanjut. Oleh sebab itu harus dihindari pembasian air kelapa yang lama. Menurut Sutardi (2004) lama penyimpanan air kelapa sebaiknya tidak lebih lama dari 4 hari.

Perusahaan I akan menjual lembaran ke perusahaan-perusahaan II lokal maupun luar daerah. Di daerah survey dijumpai satu pola kemitraan antar pembuat nata de coco lembaran (lihat Kotak 2.1). Perusahaan relatif lebih besar membantu memasarkan nata de coco lembaran perusahaan-perusahaan yang relatif kecil. Untuk menjaga standarisasi nata de coco, perusahaan relatif besar tersebut memberikan bimbingan teknis dan pelatihan kepada perusahaan relatif kecil. Standar kualitas nata de coco sampai saat ini belum ada. Secara umum, kualitas nata de coco yang baik memiliki rendemen tinggi, bertekstur agak kenyal namun renyah, berwarna

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 10

putih bersih dan berdaya simpan tinggi (Sutarminingsih 2004). Kualitas nata de coco tersebut ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: bahan baku air kelapa, bahan tambahan, penyediaan bibit, wadah fermentasi, sanitasi dan sterilisasi.

Perusahaan I akan menjual output nata de coco lembaran ke perusahaan II. Perusahaan I memasarkan nata de coco mentah (lembaran) ke perusahaan lokal dan luar daerah dengan perbandingan 30 persen di serap lokal dan 70 persen diserap luar daerah (Jawa). Di sini nata de coco dipakai oleh perusahaan-perusahaan II sebagai input memproduksi nata de coco kemasan (syrup).

Gambar 2.3. Proses Pembuatan oleh Perusahaan II

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 11

Seperti perusahaan I, perusahaan II kemungkinan ada yang berproduksi secara permanen dan ada yang secara sporadis. Permanen artinya berproduksi secara kontinyu sepanjang tahun. Sporadis artinya berpoduksi hanya pada saat tertentu ketika permintaan meningkat seperti menjelang Lebaran, Natal, Tahun Baru dan hari-hari spesial lain. Skala produksi

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 12

perusahan II biasanya lebih besar dari perusahaan I. Di daerah survey Lampung Selatan hanya terdapat beberapa perusahaan jenis II yang permanen. Dilihat dari kepemilikan, perusahaan ini kebanyakan milik perseorangan dan berbadan hukum. Input nata de coco lembaran, bahan tambahan (essence, syrup, pengawet dll) dapat dibeli dari pasar lokal. Tenaga kerja yang digunakan pun berasal dari masyarakat sekitar pabrik. Hanya kemasan (gelas, tutup, dll) sering harus didatangkan dari luar daerah (seperti: Tangerang-Jawa Barat). Teknologi dan peralatannya pun masih dapat digolongkan sederhana. Gambar 2.3. menunjukan profil kegiatan utama perusahaan II ini.

Perusahaan jenis III memiliki kegiatan memproduksi nata de coco mentah sendiri sampai nata de coco kemasan. Perusahaan III bisa dipastikan bahwa mereka berproduksi secara permanen/kontinyu sepanjang tahun. Di Lampung Selatan, perusahaan I dan II relatif lebih banyak dibanding perusahaan III. Terdapat beberapa perusahaan III. Selain itu, terdapat beberapa perusahaan besar seperti PT Keong Nusantara Abadi (Wong Coco) dan PT Sari Segar Husada yang memproduksi nata de coco mentah sampai kemasan. Tidak ada bentuk kemitraan antara perusahaan I, II dan III dengan perusahaan besar. Perusahaan I hanya menjual air kelapa ke perusahaan besar jika terdapat kelebihan air kelapa untuk produksinya. Foto 2.1. menunjukkan contoh kwitansi pembelian air kelapa dari petani/pengumpul air kelapa. Sekarang petani/pengumpul air kelapa tersebut memiliki perusahaan nata de coco tipe perusahaan I. Kadang-kadang, dia menyetor air kelapa untuk sekedar absen. Terdapat persaingan untuk mendapatkan input (air kelapa) antara perusahaan besar dan kecil.

Foto 2.1. Kwitansi Pasokan Air Kelapa ke Perusahaan Besar

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 13

b. Pola Pembiayaan

Lembaga pembiayaan memegang peranan penting dalam pengembangan usaha, selain lembaga-lembaga lain seperti: pemerintah, pemasaran dan distribusi, koperasi, pendidikan formal dan informal, penyuluhan pertanian dan lapangan, riset, penjamin dan penanggungan risiko. Lembaga pembiayaan sangat dibutuhkan oleh dunia usaha agribisnis, terutama bagi usaha kecil yang biasanya menghadapi masalah utama permodalan: modal investasi dan modal kerja (Gumbira dan Intan 2001).

Pembiayaan pada hakekatnya dibutuhkan tidak hanya oleh produsen primer (usaha tani perkebunan) melainkan juga usaha yang ada di hulu dan hilir. Usaha yang ada di hulu (jenis perusahaan I) harus dibiayai untuk memperlancar arus distribusi input-input dan peralatan. Begitu juga pembiayaan di sektor hilir, disamping usaha agroindustrinya tetapi juga lembaga-lembaga pemasaran yang menangani distribusi hasil produksi primer, sekunder dan tersier. Dalam buku ini pola pembiayaan hanya akan difokuskan pada pembiayaan usaha pengolahan nata de coco yaitu perusahaan yang menghasilkan nata de coco lembaran dan kemasan.

Di daerah survey Lampung Selatan, paling tidak terdapat dua macam pembiayaan untuk usaha nata de coco, yaitu: pemerintah daerah dan bank.

(1) Pola Pembiayaan Pemerintah Daerah Kerjasama dengan PT Bank Lampung

Dalam rangka mendukung perkembangan usaha di daerah, Pemerintah Provinsi Lampung melalui Dinas Koperasi memberikan pinjaman dana perkuatan modal Lembaga Keuangan Mikro (LKM) atau Usaha Kecil Mikro (UKM). Memang pinjaman ini tidak spesifik untuk nata de coco, tetapi semua LKM dan UKM yang ada di daerah. Sumber dana pinjaman ini dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi. Persyaratan pencairan dan pinjaman APBD Propinsi Lampung Tahun 2003 adalah sebagai berikut:

1. Proposal yang telah disempurnakan (kegiatan usaha, ijin, agunan) 2. Jaminan asli yang dilengkapi dengan tafsiran nilai (untuk tanah dan

bangunan dilampirkan copy pembayaran PBB) 3. Surat pernyataan atau surat kuasa penyerahan jaminan (bermeterai

Rp 6.000) 4. Rekomendasi dari Dinas/Instansi Pembina 5. Copy surat-surat ijin usaha yang dimiliki 6. Copy rekening PT. Bank Lampung (selanjutnya disebut Bank Lampung)

terdekat dengan domisili LKM/UKM dan BMT (Baitul Maal wat Tamwil) 7. Kuitansi (bermeterai Rp 6.000) 8. Berita Acara penyerahan pinjaman 9. Khusus untuk Koperasi dan BMT dan LKM:

" Copy anggaran dasar dan rumah tangga " Badan hukum/surat keterangan pendirian

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 14

" Susunan pengurus dan pengawas " Daftar anggota calon peminjam

10.Dibuat rangkap 2 dan dimasukkan dalam stop map folio " BMT: warna hijau " LKM/UKM: warna kuning

Gambar 2.4. menunjukkan alur prosedur kredit LKM/UKM dan BMT. Setelah syarat 1-10 dilengkapi oleh calon debitur maka diserahkan ke Dinas Koperindag, Propinsi Lampung. Dokumen persyaratan tersebut akan dinilai oleh tim verifikasi dan selanjutnya akan diikuti dengan kunjungan lapangan. Apabila memenuhi syarat, maka tim verifikasi akan merekomendasikan kepada Kepala Dinas. Persetujuan pemberian kredit selanjutnya ditentukan oleh Kepala Dinas dengan mendengarkan masukan dari tim verifikasi. Cek akan diberikan kepada debitur dengan membawa persyaratan asli. Cek dapat dicairkan di Bank Lampung.

Gambar 2.4. Proses Persetujuan Kredit

Tim verifikasi menilai kelayakan usaha dengan memperhatikan beberapa variabel yang masing-masing variabel memiliki bobot, yaitu: kelembagaan (bobot 20%), peluang usaha (bobot 10%), rencana dan pemanfaatan dana (bobot 10%), operasional usaha (20%), permodalan usaha dan jaminan (bobot 20%) dan kemampuan membayar (20%). Terdapat beberapa

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 15

indikator-indikator dari masing-masing variabel seperti ditunjukkan oleh Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Kriteria Penilaian LKM/UKM dan BMT

IDENTITAS LKM/UKM & BMT Nama Jenis Usaha Alamat Desa/Kelurahan Kecamatan Kab/Kota Propinsi Telp/Fax

: : : : : : : : :

No. UNSUR YANG DINILAI NILAI BOBOT SKOR 1 2 3 4 5=3X4 I KELEMBAGAAN (20%) 1. Usia Lembaga a. 1 tahun b. > 1 s/d 3 tahun c. > 3 s/d 5 tahun d. >5 tahun 2. Status Kepemilikan Tempat Usaha a. Milik Sendiri b. Sewa/Kontrak II PELUANG USAHA (10%) Peluang Usaha akan dilaksanakan a. Optimis b. Rasional c. Pesimis III RENCANA DAN PEMANFAATAN DANA

(10%)

Rencana Penggunaan Dana untuk a. Modal Kerja b. Investasi/barang modal c. Asset IV OPERASIONAL USAHA (20%) 1. Proses Produksi yang dijalankan a. Mudah b. Sukar/sulit 2. Kelengkapan Administrasi dan Kegiatan

Manajemen

a. Baik b. Sedang

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 16

c. Kurang 3. Jangkauan Pemasaran dan Pelayanan a. Anggota b. Bukan anggota V PERMODALAN USAHA DAN JAMINAN

(20%)

1. Jumlah modal sendiri yang dimiliki a. < 20 juta b. >20 s/d 40 juta c. >40 s/d 50 juta d.>50 juta 2.Rencana Jaminan a. Ada b. Tidak ada VI KEMAMPUAN MEMBAYAR (20%) 1. Kesanggupan Angsuran 2. Rasio modal sendiri 3. Volume penjualan

Sumber: Dinas Koperintdag Propinsi Lampung, T Betung, Bandar Lampung (2004).

Tabel 2.3. menggambarkan contoh perhitungan Bunga dan Angsuran per bulan yang diberlakukan dengan metode hitung bunga sliding, tingkat bunga 10 persen per tahun, besar pinjaman 40 juta dan periode pinjaman 24 bulan dengan grace period 3 bulan.

Tabel 2.3. Contoh Perhitungan Bunga dan Angsuran

PT Bank Lampung Jl. Wolter Monginsidi No. 187 Metode Hitung Bunga: SLIDING Jangka Waktu : 24 bulan Periode Pinjaman: 01/01/2004 s/d 01/01/2006 Nilai Pinjaman: 4000 Total Tagihan/Prd: 2,087,100.00 Suku Bunga per tahun: 10 Total Pokok/Prd: 0.00 Discount Factor : 0 Total Bunga/Prd: 0.00 Nomor Rekening: 380.05 Nomor Aksep:

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 17

No. JATUH TEMPO ANGSURAN POKOK

ANGSURAN BUNGA

TOTAL ANGSURAN

SALDO POKOK

1 1-Feb-04 0 344.500 344.500 40.000.000 2 1-Mar-04 0 322.300 322.300 40.000.000 3 1-Apr-04 0 344.500 344.500 40.000.000 4 1-May-04 1.753.700 333.400 2.087.100 38.246.300 5 1-Jun-04 1.757.700 329.400 2.087.100 36.488.600 6 1-Jul-04 1.783.000 304.100 2.087.100 34.705.600 7 1-Aug-04 1.788.200 298.900 2.087.100 32.917.400 8 1-Sep-04 1.803.600 283.500 2.087.100 31.113.800 9 1-Oct-04 1.827.800 259.300 2.087.100 29.286.000 10 1-Nov-04 1.834.900 252.200 2.087.100 27.451.100 11 1-Dec-04 1.858.300 228.800 2.087.100 25.592.800 12 1-Jan-05 1.866.700 220.400 2.087.100 23.726.100 13 1-Feb-05 1.882.700 204.400 2.087.100 21.843.400 14 1-Mar-05 1.917.200 169.900 2.087.100 19.926.200 15 1-Apr-05 1.915.500 171.600 2.087.100 18.010.700 16 1-May-05 1.937.000 150.100 2.087.100 16.073.700 17 1-Jun-05 1.948.600 138.500 2.087.100 14.125.100 18 1-Jul-05 1.969.300 117.800 2.087.100 12.155.800 19 1-Aug-05 1.982.400 104.700 2.087.100 10.173.400 20 1-Sep-05 1.999.400 87.700 2.087.100 8.174.000 21 1-Oct-05 2.018.900 68.200 2.087.100 6.155.100 22 1-Nov-05 2.034.000 53.100 2.087.100 4.121.100 23 1-Dec-05 2.052.700 34.400 2.087.100 2.068.400 24 1-Jan-06 2.068.400 17.900 2.086.300 0 40.000.000 4.839.600 44.839.600

Sumber: Dinas Koperintdag Propinsi Lampung, T Betung, Bandar Lampung.

(2) Pola Pembiayaan Bank

PT. Bank Central ASIA (BCA) Tbk (selanjutnya disebut Bank BCA). memberikan kredit secara umum, artinya tidak terdapat skema kredit khusus bagi pengusaha komoditi nata de coco. Sehingga bila terdapat pengusaha nata de coco yang ingin mengajukan kredit maka harus memenuhi kriteria umum pengajuan kredit di Bank BCA. Kriteria yang diberikan oleh Bank BCA adalah kelayakan usaha, jaminan dan kebutuhan usaha calon debitur. Motivasi bank memberikan kredit adalah bahwa usaha tersebut layak untuk dibiayai dan menguntungkan. Karena dana kredit berasal dari bank itu sendiri dan bank bukan sebagai chanelling maka perhitungan finansial secara cermat harus dilakukan. Pola kredit yang diberikan adalah individual bukan kelompok, artinya debitur secara individual yang memiliki tanggung jawab

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 18

pengembalian. Plafon kredit yang boleh diputuskan oleh Kantor Cabang adalah Rp 1 miliar. Sejak tahun 2002 sampai dengan laporan ini disusun (2004) hanya terdapat satu orang pengusaha nata de coco yang mengajukan kredit sebesar Rp 170.000.000 untuk investasi dan Rp 150.000.000 untuk modal kerja (sehingga total kredit sebesar Rp 320.000.000). Besarnya kredit tersebut sesuai dengan yang diajukan oleh debitur berdasarkan perhitungan kebutuhan modal investasi dan modal kerja usaha yang bersangkutan.

Tabel 2.4. menunjukkan persyaratan dan jenis kredit. Kredit investasi dan kredit modal kerja memiliki tingkat bunga yang sama yaitu 14,5%, periode angsuran bulanan dan tidak ada grace period (periode bebas cicilan). Untuk kredit investasi, bank mensyaratkan tersedianya 30% dana sendiri nasabah. Tidak demikian halnya dengan kredit modal kerja yang tanpa persyaratan persentase dana sendiri. Bunga dikenakan secara menurun dan dihitung harian berdasarkan oustanding pinjaman.

Tabel 2.4. Persyaratan dan Jenis Kredit

No Persyaratan Kredit Kredit Investasi Kredit Modal Kerja 1. Bunga (% per tahun) 14,5% 14,5% 2. Grace period (bulan) - - 3. Jangka waktu kredit 3 tahun 1 tahun 4. Dana sendiri nasabah (%

plafon) 30% -

5. Periode angsuran bulanan bulanan Sumber: Data Primer (kuesioner bank).

Sesuai dengan persyaratan kredit umum, kredit oleh pengusaha nata de coco dituntut untuk memenuhi persyaratan jaminan berupa sertifikat tanah/bangunan tempat usaha, tabungan deposito dan barang bergerak. Dokumen persyaratan lainnya adalah NPWP, perijinan usaha dan identitas diri. Pengikatan jaminan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jika semua persyaratan telah dipenuhi, biasanya debitur harus menunggu realisasi kredit selama 21-30 hari. Bank tidak menyediakan konsultasi dalam pengelolaan keuangan debitur dan bantuan teknis yang berkaitan dengan teknis usaha komoditi nata de coco. Tabel 2.5. menunjukkan aspek dan faktor-faktor penting yang dinilai dalam analisis aspek-aspek kelayakan usaha nata de coco.

Menurut pihak bank, usaha komoditi nata de coco memiliki prospek yang sedang-sedang saja mengingat beberapa hal. Pertama, banyaknya pesaing dalam suatu tempat. Terdapat persaingan antar pengusaha nata de cocoi baik pengusaha yang permanen maupun tidak permanen (sporadis). Kedua, sistim penjualan yang diterapkan oleh banyak pengusaha masih bersifat tradisional dan lokal. Kebanyakan produsen hanya 'menerima order' dan bukan 'mencari order' atau 'menjemput bola'. Dengan 'menerima order' saja mereka kebingungan memenuhinya. Sifat ini yang menyebabkan pengusaha

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 19

kurang proaktif dan ekspansif misal mencari pasar di luar daerah, propinsi, pulau dan bahkan ekspor. Ketiga, pengalaman usaha debitur dan keempat jangkauan pasar nata de coco yang dimasuki oleh pengusaha yang masih bersifat lokal.

Tabel 2.5. Aspek Kelayakan Kredit

No Aspek Faktor 1. Sosial Ekonomi Kepatuhan perusahaan pada

peraturan pemerintah: ijin usaha, amdal, dll

Pengalaman usaha Sektor Ekonomi

2. Aspek Teknis Teknis dari pasokan bahan baku hingga pemasaran

Penguasaan terhadap pengoperasian mesin yang digunakan

3. Aspek Manajemen Latar belakang pendidikan dan pengalaman pengelolaan usaha/pemilik

Jumlah pegawai dan lama bekerja, mobilitas tenaga kerja

Karakter

4. Apek komersial/pemasaran Jumlah pembeli Segmen pasar Cara penjualan (tunai/kredit,

grosir/eceran dll)

5. Aspek finansial Kemampuan membayar bunga pinjaman dan pemasok baik

6. Aspek khusus Yuridis: pengikatan kredit dan jaminan sesuai dengan undang-undang yang berlaku

Agunan: menurut jenisnya yang marketable

Sumber: data primer (kuesioner bank).

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 20

3. Aspek Pemasaran a. Permintaan

Produk kelapa yang biasanya dijual oleh masyarakat adalah kopra, minyak goreng, gula merah dan kelapa butiran. Padahal banyak sekali produk-produk yang bisa diturunkan dari buah kelapa. Salah satunya adalah nata de coco yang menggunakan bahan baku air kelapa. Kebutuhan kelapa dan produksi kelapa nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari sisi permintaan, kebutuhan kelapa setara konsumsi kopra pada tahun 1992 di dalam negeri sebesar 1,782 juta ton dan pada tahun 1996 meningkat menjadi 1,913 juta. Dengan melihat trend kenaikan tersebut, tahun 2004 diprediksikan menjadi 2,175 juta. Peningkatan konsumsi tersebut mengindikasikan peningkatan supply air kelapa yang bisa dimanfaatkan dalam pembuatan nata de coco.

Di tengah situasi semakin maraknya konsumsi berbagai ragam minuman ringan dengan label 'minuman kesehatan' oleh masyarakat, nata de coco memiliki prospek yang cerah sebagai salah satu 'makanan kesehatan' yang alamiah dari air kelapa. Nata de coco merupakan 'makanan kesehatan' karena memiliki kandungan serat yang tinggi tetapi rendah kalori. Orang Jepang percaya bahwa produk ini mampu melindungi tubuh dari kanker dan baik bagi pencernaan.

Pasar dan pemasaran merupakan aspek yang penting dalam usaha nata de coco, selain aspek-aspek yang lain seperti pengelolaan, distribusi, lembaga keuangan, pasokan bahan lain, sumberdaya manusia. Gambar 3.1. menunjukkan keterkaitan antar aspek di dalam usaha nata de coco. Pasar dalam usaha nata de coco terdiri dari pasar input dan pasar output. Pasar input nata de coco meliputi pasar bahan baku, tenaga kerja dan modal. Karakteristik pasar input nata de coco akan mempengaruhi pola produksi nata de coco. Seperti pada umumnya pasokan bahan baku produk-produk agribisnis, input nata de coco juga dipengaruhi oleh musim, meskipun tidak terlalu besar penyimpangannya. Lembaga keuangan merupakan sumber modal investasi dan modal kerja bagi usaha.

Pasar kedua adalah pasar output nata de coco. Setelah output dihasilkan oleh perusahaan kemudian dipasarkan dengan tujuan akhir konsumen. Di pasar domestik, jalur pemasaran ke konsumen dapat melalui pedagang pengecer maupun pedagang besar. Sedangkan untuk pasar luar negeri, jalur pemasaran ke konsumen melalui eksportir. Untuk usaha nata de coco skala kecil (dengan kredit dibawah 500 juta) biasanya hanya melayani konsumen domestik: lokal, luar daerah, luar pulau.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 21

Gambar 3.1. Aspek Sistim Pasar Input dan Output Nata de Coco

Permintaan

Produk nata de coco memiliki kandungan serat yang tinggi tetapi rendah kalori sehingga sangat cocok untuk orang yang sedang menjalankan diet. Produk nata de coco dapat dibagi menjadi dua yaitu nata de coco tawar (bentuk lembaran dan kubus kecil-kecil: 1x1x1 cm3) dan nata de coco kemasan siap konsumsi. Produk nata de coco tawar biasanya diminta oleh produsen lain sebagai bahan baku pembuatan nata de coco kemasan siap konsumsi. Produk ini populer sebagai hidangan penutup (dessert).

Permintaan nata de coco seorang konsumen merupakan hasil interaksi antara variabel-variabel yang mempengaruhi seperti: harga nata de coco, harga barang-barang lain, selera, pendapatan, ekspektasi dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan perekonomian konsumen maka kesadaran akan pentingnya kesehatan akan semakin meningkat dengan mengkonsumsi makanan-makanan yang sehat. Sehingga prospek nata de coco sebagai makanan kesehatan adalah cerah. Namun demikian, perlu diperhatikan perkembangan faktor-faktor lain, seperti produk pesaing, kejenuhan pasar dan lain-lain. Kotak 3.1. menampilkan perkembangan ekspor Fillipina akan nata de coco ke pasar tujuan ekspor Jepang.

b. Penawaran

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk produksi nata de coco mengingat Indonesia sebagai penghasil kelapa terbesar di dunia. Jumlah perusahaan baik perusahaan jenis I (penghasil nata de coco lembaran), perusahaan jenis II (penghasil nata de coco kemasan saja), maupun perusahaan jenis III (penghasil nata de coco lembaran dan kemasan sekaligus) cukup banyak. Perusahaan yang dapat mencapai skala ekonomi akan berproduksi secara kontinyu, sedang perusahaan yang tidak mencapai skala ekonomi hanya berproduksi secara sporadis melayani limpahan

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 22

permintaan domestik pada hari-hari khusus seperti puasa, lebaran, tahun baru dan sebagainya.

Tidak terdapat hambatan legal (legal barriers) khusus untuk perusahaan baik pemerintah daerah maupun penguasaan input. Perusahaan formal hanya perlu mendapatkan izin usaha dari pemerintah daerah. Bahkan banyak yang informal karena merupakan usaha rumah tangga yang berproduksi secara sporadis. Pasokan nata de coco tidak tergantung dari musim mengingat pasokan kelapa yang bisa sepanjang tahun.

c. Persaingan dan Peluang Pasar

Tingkat persaingan usaha nata de coco sesuai dengan jenis yang dihasilkan dalam bentuk lembaran atau kemasan. Di daerah survey, Lampung Selatan, terdapat perusahaan nata de coco kemasan yang besar yaitu PT Keong Nusantara Abadi dan PT Sari Segar Husada yang memiliki segmen pasar domestik yang lebih luas bahkan pasar ekspor. Perusahaan-perusahaan kecil dan menengah mengambil segmen pasar lokal, daerah sekitar dan beberapa ke luar pulau. Persaingan terjadi lebih ketat pada input karena baik perusahaan besar, menengah atau kecil mengambil input air kelapa dari sumber yang relatif sama.

d. Harga

Baik nata de coco lembaran maupun kemasan (gelas) harga relatif stabil dan terjangkau. Hal ini disebabkan oleh harga input utama air kelapa yang relatif sama. Persaingan dalam mendapatkan input serta sifat input yang mudah rusak merupakan faktor utama kestabilan harga air kelapa. Harga air kelapa berkisar antara Rp 100 - Rp 150 per liter. Harga nata de coco lembaran berkisar antara Rp 900 - Rp 1000 per lembaran (kurang lebih 1 kg). Nata de coco kemasan bervariasi antar perusahaan. Sebagai contoh di daerah survey, CV Nagamas Lampung Perkasa menjual Rp 10.000 per karton untuk lokal dan Rp 11.000 per karton untuk luar daerah. Satu karton berisi 24 gelas. Sedangkan, CV Tambak Sari menjual nata de coco dengan harga Rp 9.000 per karton untuk lokal.

e. Jalur Pemasaran

Nata de coco tawar dapat dipasarkan ke produsen-produsen nata de coco kemasan yang ada di daerah maupun luar daerah. Adanya perusahaan besar yang sekaligus membuat nata de coco tawar dan nata de coco kemasan siap konsumsi membuka kesempatan bagi produsen kecil nata de coco tawar untuk memasok bahan bakunya. Pasar produsen besar bahkan sudah menembus pasar ekspor. Sayangnya, sering kualitas dan standar nata de coco tawar tidak sesuai yang diharapkan produsen besar. Produsen besar menghadapi permasalahan standarisasi dan kualitas pada pasokan usaha kecil. Akibatnya, produsen besar tidak menerima nata de coco tawar dari

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 23

usaha kecil. Produsen besar hanya bermitra dengan petani penyedia input air kelapa tidak dengan produsen nata de coco tawar.

Produsen kecil nata de coco tawar relatif lebih banyak bermitra dengan produsen menengah dan kecil nata de coco kemasan baik di daerah maupun luar daerah. Sayangnya, hubungan menguntungkan ini tidak terdapat kontrak sehingga kepastian keberlanjutan tidak terjamin. Produsen nata de coco tawar memproduksi berdasarkan permintaan produsen nata de coco kemasan. Menurut pengakuan salah satu produsen nata tawar di Bandar Lampung, pasaran nata tawar mereka adalah 30% untuk produsen lokal sedangkan 70% ke luar daerah (Pekanbaru) termasuk ke Jawa (Cianjur dan Cibubur).

Produsen kecil nata kemasan juga memasarkan ke luar daerah seperti: Palembang, Jambi, Tegal dan Tangerang. Nata de coco kemasan dapat dipasarkan dengan sistim konsinyasi yaitu titip jual di warung, toko, supermarket, swalayan dan lain-lain.

f. Kendala Pemasaran

Pengusaha jenis I (penghasil nata de coco lembaran), di daerah survey Lampung Selatan, sudah relatif susah memenuhi permintaan lokal apalagi ditambah permintaan dari luar daerah (pengusaha II). Dilihat dari segi pemasaran, nata de coco lembaran dapat dipastikan pasti terserap pasar. Yang menjadi permasalahan adalah kepastian pesanan dari para pelanggan. Tidak terdapat kontrak kerjasama antara pengusaha jenis I dan pengusaha II. Bagi pengusaha II hal ini menguntungkan karena produksinya dapat disesuaikan dengan fluktuasi permintaan pasar. Tetapi bagi pengusaha I, hal ini kurang memberikan kepastian.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 24

4. Aspek Produksi a. Lokasi Usaha

Terkait dengan jenis produk, di daerah survey Kabupaten Lampung terdapat tiga macam produsen yaitu produsen yang menghasilkan nata de coco lembaran, produsen yang menggunakan nata de coco lembaran untuk diolah kembali menjadi nata de coco kemasan siap konsumsi dan produsen yang menangani keduanya membuat nata de coco lembaran sekaligus membuat nata de coco kemasan. Input utama dari nata de coco adalah air kelapa.

Lokasi usaha untuk semua jenis usaha nata de coco tidak menuntut tempat khusus dan tidak harus dekat dengan sumber inputnya. Usaha nata de coco lembaran tidak harus dekat dengan sumber pasokan air kelapa mengingat air kelapa yang digunakan tidak harus air kelapa segar. Air kelapa bisa ditampung selama kurang lebih 5-6 hari sebelum memasuki proses produksi. Begitu juga usaha nata de coco kemasan tidak harus dekat dengan sumber nata de coco lembaran mengingat nata de coco lembaran dapat disimpan dengan teknologi yang sederhana yaitu, mengganti air rendaman dan perebusan.

b. Fasilitas Produksi dan Peralatan

Dalam proses pembuatan nata de coco, terdapat fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan. Usaha ini sangat membutuhkan fasilitas bangunan, sumber air dan pembuangan limbah cair. Peralatan usaha nata de coco sangat sederhana dan dapat ditemukan dengan mudah di sekitar lokasi usaha. Berikut ini adalah fasilitas dan peralatan yang biasa digunakan:

Fasilitas :

1. Bangunan untuk proses produksi. Proses produksi membutuhkan suhu kamar yang optimal.

2. Pompa air untuk memasok air dari sumur 3. Tandon air untuk tempat menyimpan cadangan air dalam proses

pencucian 4. Tempat pembuangan limbah cair

Peralatan:

1. Botol bekas syrup untuk tempat menyiapkan starter atau bibit 2. Jerigen untuk mengumpulkan air kelapa dari sumber: petani kopra,

pasar dll. 3. Hand refractometer untuk mengukur kandungan padatan air kelapa. 4. Embe r untuk menampung air kelapa dan membersihkan lembaran

nata de coco.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 25

5. Penyaring digunakan untuk memisahkan material lain (seperti serabut, pecahan tempurung, dll) dari air kelapa

6. Panci/Dandang Perebus sebaiknya terbuat dari stainless steel untuk menghindari reaksi dengan media maupun produk nata de coco yang dihasilkan. Panci ini digunakan untuk memasak air kelapa dan juga nata de coco.

7. Kompor (minyak atau gas) ataupun tungku (kayu bakar). Jenis kompor bisa dengan kompor spiral yang dilengkapi dengan selenoid.

8. Pengaduk sebaiknya dari kayu atau stainless steel. 9. Lori (kereta dorong) digunakan untuk sarana mengangkut/

memindahkan 10. Gayung plastik (gelas ukur/alat pengukur volume) digunakan untuk

menuangkan bahan air kelapa yang sudah di masak ke dalam baki plastik.

11. Meja panjang untuk menempatkan baki/nampan fermentasi 12. Baki/nampan plastik digunakan untuk tempat media fermentasi 13. Kain saring atau kertas koran sebagai penutup baki/nampan plastik

selama proses fermentasi 14. Tali karet (elastik) untuk mengikat kain/koran penutup baki/nampan 15. Ember pencuci 16. Pisau dan talenan digunakan untuk mengiris nata de coco yang

semula berbentuk lembaran agar menjadi bentuk kubus. Pisau mesin dapat digunakan untuk menjaga standarisasi bentuk kubus nata de coco.

17. Rak untuk fermentasi dan pengeringan alat 18. Teko 19. Kursi 20. Sepatu plastik 21. Sarung tangan 22. Timbangan 23. Mesin pres

c. Bahan Baku

Bahan-bahan yang digunakan meliputi bahan baku dan bahan pembantu. Bahan baku pembuatan nata de coco adalah air kelapa yang telah dibasikan/disimpan kurang lebih 5 sampai 6 hari. Bahan pembantu digunakan untuk mempercepat proses pertumbuhan bakteri (acetobacter xylinum) dan untuk mengatur kondisi air kelapa agar sesuai bagi pertumbuhan bakteri. Penggunaan bahan baku tersebut bervariasi tergantung dari produsen. Berikut ini adalah bahan tambahan yang biasa digunakan:

Untuk nata de coco lembaran:a. Air Kelapa b. Gula pasir sebagai sumber karbohidrat c. Asam cuka glasial/cuka untuk membantu mengatur tingkat keasaman (pH) d. Pupuk ZA sebagai sumber nitrogen e. Garam inggris untuk membantu pembentukan lapisan nata de coco

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 26

f. Asam sitrat (zitrun zuur) g. Bibit nata de coco h. Air i. Minyak tanah

Untuk nata de coco kemasan: a. Gula/syrup b. Pewarna c. Pewangi d. Pengawet e. Kemasan (gelas plastik, penutup, sendok plastik) f. Kardus g. Lakban

d. Tenaga Kerja

Produksi nata de coco tidak membutuhkan pendidikan formal atau pengetahuan khusus tetapi lebih memerlukan ketrampilan dan ketekunan. Kebutuhan tenaga dapat dipenuhi dari keluarga sendiri atau dari tetangga sekitar. Tenaga kerja biasanya ada yang tetap dan tidak tetap (borongan). Tenaga kerja tetap bekerja kurang lebih 8 jam per hari, sedangkan tenaga tidak tetap biasanya berdasarkan borongan. Misalnya untuk membersihkan nata de coco lembaran tenaga kerja diupah Rp 50 per lempeng.

e. Teknologi

Teknologi produksi nata de coco adalah teknologi sederhana dan tepat guna. Untuk usaha nata de coco lembaran atau kemasan bisa dilakukan tanpa peralatan mekanis. Kalaupun menggunakan peralatan mekanis, peralatan tersebut dapat dirancang sendiri. Sebagai contoh, pisau/mesin pemotong nata lembaran menjadi kubus ukuran 1x1x1 cm3 dapat dirancang sendiri dan dipesan di pasar lokal. Namun demikian, terdapat beberapa mesin seperti mesin kemasan yang harus didatangkan dari luar daerah sebab memiliki disain khusus.

f. Proses Produksi

Proses pembuatan nata de coco terdiri dari enam tahap, yaitu: penyaringan; pemasakan dan pencampuran bahan pembantu; penempatan dalam nampan dan pendinginan; inokulasi (penanaman/penebaran) bibit (starter); pemeraman (fermentasi); panen dan pasca panen (pengolahan lanjut sampai setengah jadi atau siap konsumsi).

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 27

Foto 4.1. Air Kelapa Ditampung dan Dibasikan

Pertama Penyaringan. Air kelapa bisa dibasikan selama kurang lebih 4 hari. Kemudian, air kelapa tersebut disaring dengan menggunakan penyaring lembut untuk memisahkan air kelapa dengan material-material atau kotoran-kotoran seperti: sabut, pecahan batok kelapa, cikal/buah kelapa dan lain-lain. Kandungan air kelapa yang masih segar berkisar antara 400-500 ml per butir. Buah kelapa yang berumur 4-5 bulan memiliki volume air yang maksimum. Namun demikian, kualitas air kelapa yang paling baik adalah ketika buah kelapa berumur kurang lebih 5 bulan dengan kandungan total padatan maksimal 6 gram per 100 ml. Kandungan gula terlarut biasa diukur dengan menggunakan hand refractometer (Sutardi 2004)

Foto 4.2. Air Kelapa Dimasak

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 28

Kedua, Pemasakan dan Pencampuran Bahan Pembantu. Air kelapa yang sudah di saring selanjutnya dimasukkan ke dalam panci/dandang stainlessteel untuk dimasak sampai mendidih selama kurang lebih 30 menit. Selama mendidih bahan-bahan pembantu seperti: gula pasir; pupuk ZA; garam inggris, asam sitrat (zitrun zuur) ditambahkan. Sebelum pendidihan diakhiri, ditambahkan asam asetat glasial/cuka hingga mencapai pH kurang lebih 3,2 (Sutarminingsih, 2004). Tidak terdapat relevansi antara citarasa dengan pH.

Foto 4.3. Penempatan dalam Baki/Nampan

Ketiga, Penempatan dalam baki/nampan plastik. Semua peralatan harus bersih dan steril. Nampan plastik yang digunakan harus terlebih dahulu dibersihkan dan disterilkan. Sterilisasi dapat dilakukan dengan cara dicelup dalam air mendidih, dijemur, dibasahi dengan alkohol 70% atau spiritus. Media fermentasi (air kelapa dan bahan tambahan yang dididihkan) dituangkan dalam nampan dan selanjutnya segera ditutup rapat dengan koran dan diikat karet/elastik. Volume media fermentasi sebanyak 1,2 sampai 1,3 liter untuk setiap nampan tergantung ukurannya. Kemudian, media fermentasi tersebut dibiarkan sampai hangat-hangat kuku selama satu malam.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 29

Foto 4.4. Penambahan Bibit

Keempat, Inokulasi Bibit (starter). Setiap nampan yang berisi fermentasi yang telah didinginkan selama satu malam tersebut ditambahkan bibit (starter) sebanyak dengan perbandingan 10% bibit (kurang lebih 13 ml) (Sutardi 2004). Inokulasi bibit dengan cara membuka sedikit tutup kain/koran dan segera ditutup kembali.

Foto 4.5. Fermentasi

Kelima, Fermentasi. Media fermentasi yang sudah ditambahkan bibit selanjutnya diperam selama 6-7 hari. Kebersihan tempat pemeraman dengan suhu kamar (28o-31o) sangat mutlak diperlukan untuk menghindari kontaminasi dengan mikroba lain atau serangga yang dapat menggagalkan proses fermentasi (Sutardi, 2004). Keberhasilan proses fermentasi ini dapat dilihat dari ada tidaknya lapisan tipis pada permukaan media fermentasi setelah dua hari dan akan semakin bertambah tebal dari hari ke hari.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 30

Foto 4.6. Pasca Panen

Ketujuh, Panen dan Pasca Penen. Setelah pemeraman selama 6-7 hari, lapisan nata de coco akan memiliki ketebalan 0,8-1,5 cm berbentuk lembaran-lembaran (slab) yang asam dalam bau, cita rasa dan pH-nya. Lembaran-lembaran ini kemudian diangkat dan lendirnya dibuang melalui pencucian.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 31

Lembaran-lembaran ini siap untuk di jual atau mungkin harus di potong kecil-kecil berbentuk kubus, tergantung dari permintaan. Baik dalam bentuk lembaran ataupun potongan kubus harus direndam dalam air bersih selama 2-3 hari. Air rendaman setiap hari harus diganti agar bau dan rasa asam hilang. Kemudian, nata de coco dicuci kembali dan direbus untuk mengawetkan dan sekaligus menyempurnakan proses penghilangan bau dan rasa asam. Pencucian dan perebusan ini pada hakekatnya dilakukan hingga nata de coco menjadi tawar. Penyimpanan nata de coco tawar cukup dilakukan dengan merendamnya dalam air tawar yang harus sering diganti.

g. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi

Di pasaran, nata de coco sering diminta dalam bentuk lembaran; bentuk kubus kecil-kecil tawar atau sudah dalam keadaan manis larutan gula atau syrup. Bentuk lembaran dan kubus-kubus kecil tawar biasanya diminta oleh produsen/pengusaha lain untuk diolah kembali. Dengan kata lain nata de coco lembaran dan kubus-kubus kecil tawar sebagai bahan baku proses produksi nata de coco dalam syrup. Bila nata de coco ingin dipasarkan dalam keadaan tawar maka, nata de coco tersebut direbus kembali dengan air bersih hingga mendidih dan dalam keadaan panas segera dilakukan pengemasan dalam kantung plastik dan diikat rapat dan didinginkan. Sedangkan nata de coco dalam syrup siap untuk dikonsumsi harus melalui beberapa proses: pembuatan syrup; pencampuran nata de coco dan bahan lain; pengemasan dan pengepakan.

Pertama, Pembuatan Syrup. Gula dituangkan ke dalam air dan dipanaskan sampai mendidih dan disaring beberapa kali sampai jernih. Tingkat kemanisan syrup disesuaikan dengan selera. Komposisi umum untuk 3 kg nata de coco dibutuhkan 2 kg gula pasir dan 4,5 liter air (Sutarminingsih 2004).

Gambar 4.7. Pencampuran Syrup

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 32

Kedua, Pencampuran. Nata de coco kubus kecil-kecil tawar dicampur dalam larutan syrup dan dididihkan selama 15 menit. Bisa ditambahkan: garam, cita rasa (flavour misal vanili, frambosen, cocopandan, rose, mangga) dan essence. Kemudian, nata de coco dibiarkan selama kurang lebih setengah hari dengan tujuan terjadi proses penyerapan gula dan cita rasa. Nata de coco direbus kembali dalam larutan syrup (gula) dan untuk mengawetkan bisa ditambah natrium benzoat 0,1 persen ke dalam larutan syrup perendam.

Gambar 4.8. Pengemasan

Ketiga, Pengemasan dan Pengepakan. Dalam keadaan panas, nata de coco dimasukkan ke dalam kemasan kantong/gelas plastik pengemas, ditutup rapat dan direbus dalam air mendidih selama 30 menit. Selanjutnya, kantong/gelas plastik diangkat dan disimpan dalam suhu kamar dalam posisi terbalik. Pengepakan dilakukan dan siap untuk dipasarkan.

h. Produksi Optimum

Untuk produksi 20 liter air kelapa, Sutarminingsih (2004) menemukan komposisi bahan-bahan pembantu sebagai berikut:

a. 1 Kg gula pasir sebagai sumber energi/karbohidrat atau karbon b. 20 ml (2 sendok makan) asam asetat glasial/cuka untuk membantu mengatur keasaman (pH) c. 20 g (2 sendok makan) pupuk ZA sebagai sumber nitrogen d. 10 g (1 sendok makan) garam inggris untuk membantu pembentukan lapisan nata de coco e. 10 g (1 sendok makan) asam sitrat (zitrun zuur) f. 2 liter bibit nata de coco

Apabila proses pembuatan nata de coco berjalan optimal maka dari 20 liter air kelapa dapat dihasilkan 17-18 kg nata de coco tawar (rendemen 80-90 persen).

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 33

i. Kendala Produksi

Kendala produksi utama yang dihadapi oleh produsen adalah cuaca yaitu musim penghujan. Selain pada musim penghujan input air kelapa mengalami penurunan supply, musim hujan juga akan mengganggu suhu udara yang bisa sangat mempengaruhi proses fermentasi. Kestabilan suhu kamar 28º - 31ºC dibutuhkan dalam proses fermentasi.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 34

5. Aspek Keuangan

a. Pemilihan Pola Usaha

Seperti sudah dikemukakan dalam Bab II, di Indonesia pada umumnya dan daerah survey Kabupaten Lampung Selatan pada khususnya, terdapat tiga macam usaha nata de coco, yaitu: pertama, perusahaan yang membuat nata de coco lembaran saja (I); kedua, perusahaan yang membuat nata de coco kemasan saja (II); dan ketiga, perusahaan yang membuat nata de coco lembaran dan kemasan sekaligus (III). Dalam laporan pola pembiayaan ini dipilih usaha jenis ketiga yaitu usaha yang menghasilkan nata de coco lembaran dan kemasan. Kapasitas usahanya adalah 500 karton (12.000 kemasan gelas).

Terdapat beberapa alasan mengapa memilih jenis usaha yang ketiga (III). Pertama, usaha jenis ketiga adalah memiliki produksi permanen, artinya memproduksi secara kontinyu. Tidak seperti usaha jenis pertama (I) yang relatif lebih banyak sporadis, artinya memproduksi nata de coco lembaran pada saat-saat tertentu atau sangat tergantung dengan pesanan. Begitu juga berbeda dengan jenis usaha kedua (II), dimana usahanya juga sangat tergantung dari pasokan nata de coco lembaran. Kedua, usaha jenis pertama (I) dapat mewakili usaha (I) dan (II) sekaligus. Apa yang dirasakan oleh usaha-usaha (I) dan (II) pasti dirasakan oleh perusahaan (III), seperti: musim penghujan, ketidakpastian pasokan air kelapa, pemasaran nata de coco.

Ketiga, usaha jenis ketiga memiliki karakteristik integrasi vertikal dalam satu perusahaan sehingga memiliki cakupan manajemen yang lebih luas. Integrasi vertikal terjadi ketika keterpaduan sistim komoditas secara vertikal yang membentuk suatu rangkaian pelaku-pelaku yang terlibat dalam sistim komoditas tersebut, mulai dari produsen/penyedia input, distributor input, pengolahan hasil, dan distribusi (Gumbira dan Intan 2001). Dalam usaha jenis (III), terdapat kesatuan antar pelaku-pelaku dalam sistim komoditas nata de coco. Perusahaan besar seperti PT Keong Nusantara Abadi yang memproduksi 'Wong Coco' dan merambah pasar domestik maupun ekspor juga memiliki sifat integrasi vertikal. Selanjutnya dalam pembahasan berikut ini, yang dimaksud dengan perusahaan nata de coco adalah perusahaan jenis III yang memproduksi nata de coco lembaran dan kemasan.

b. Asumsi dan Paramete Perhitungan

Dalam analisis keuangan, proyeksi penerimaan dan biaya dilandaskan atas beberapa asumsi yang terangkum dalam Tabel 5.1. Periode proyek adalah 4 tahun (tahun 1, 2, 3 dan 4). Tahun ke nol sebagai dasar perhitungan nilai sekarang (present value) adalah tahun ketika biaya investasi awal dikeluarkan. Dengan tingkat keberhasilan fermentasi sebesar 95%,

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 35

pengusaha dapat menghasilkan 1.600 nata de coco lembaran (kurang lebih 1.600 kg).

Tabel 5.1. Asumsi Analisis Keuangan

No Asumsi Satuan Jumlah/ nilai Keterangan

1 Periode proyek tahun 4 Periode proyek 4 tahun

2 Tingkat keberhasilan fermentasi persen 95

3 Kapasitas Mesin/Peralatan - Nata de coco lembaran kg 1.600 Tingkat keberhasilan 95%

- Nata de coco kemasan gelas 12.000 500 karton (1 karton 24 gelas)

5 Harga Nata de coco

a. Lembaran Rp/lembaran 1.000 Didapat dari memproduksi sendiri

b. Kemasan gelas - Pasar lokal Rp/karton 11.500 - Pasar luar daerah Rp/karton 12.500 Perbedaan biaya transportasi

6 Proporsi Penjualan - Pasar Lokal 30% - Pasar luar daerah 70%

7 Hari produksi dalam 1 tahun hari 313 Hari Minggu libur

8 Persyaratan Kredit -Kredit Investasi - Kredit 70% - Dana sendiri 30% -Kredit Modal Kerja - Kredit 12% Di sesuaikan dengan siklus

usaha dari produksi sampai mendapatkan pembayaran (kurang lebih 1,5 bulan) - Dana sendiri 88%

9 Discount rate 14,50% Sumber : Lampiran 1

Harga nata de coco kemasan adalah Rp 11.500 per karton di pasar lokal dan Rp 12.500 per karton di pasar luar daerah. Output yang dijual di pasar lokal 30% dan di pasar luar daerah adalah 70% . Dengan asumsi bahwa setiap hari Minggu tidak berproduksi, maka jumlah hari produksi adalah 313 hari dalam setahun. Persyaratan kredit investasi adalah 70% kredit dan 30% dana sendiri. Untuk kredit modal kerja tidak terdapat persyaratan mengenai

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 36

persentasi dana sendiri. Dengan melihat siklus usaha dari produksi sampai dengan mendapat pembayaran adalah kurang lebih 1,5 bulan maka dana untuk modal kerja dari yang berasal dari kredit adalah 12% dari total modal kerja. Discount rate riil diasumsikan sebesar 14,5%.

c. Komponen Biaya Investasi dan Biaya Operasional

Untuk memproduksi nata de coco dibutuhkan input yang dibedakan atas input tetap (fixed input) dan input variabel (variabel input). Pemakaian input membawa konsekuensi pada biaya: biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Input tetap adalah input yang jumlahnya tidak tergantung dari jumlah output nata de coco yang diproduksi, contoh: mesin, bangunan pabrik, peralatan, dan lain-lain. Dalam bahasa sehari-hari biaya tetap ini sering disebut dengan biaya investasi. Input variabel adalah input yang jumlahnya tergantung dari jumlah output nata de coco yang diproduksi, contoh: bahan baku, tenaga kerja, bahan bakar, dan lain-lain. Dalam bahasa sehari-hari biaya variabel ini sering disebut biaya operasional. Selanjutnya, kita akan menggunakan istilah biaya investasi dan biaya operasional.

Secara sederhana, biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan nata de coco yang menambah stok kapital perusahaan tersebut. Komponen biaya investasi meliputi: perijinan usaha, bangunan dan tanah, mesin/peralatan (drum, kompor, dandang, penyaring, pH meter, nampan, dll) dan kendaraan. Sedangkan biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk keperluan upah, bahan baku, bahan pembantu, listrik dan lain-lain yang terkait dengan penggunaan input.

(1). Biaya Investasi

Biaya investasi usaha nata de coco adalah biaya tetap (fixed cost) yang terdiri dari biaya perizinan usaha, biaya tanah dan bangunan, mesin dan peralatan. Biaya perizinan hanya dibutuhkan satu kali. Biaya tanah dan bangunan adalah biaya sewa yang dibayarkan pada awal periode. Dalam analisis keuangan ini diasumsikan umur usaha adalah 4 tahun. Pada kenyataannya setiap mesin/peralatan memiliki umur ekonomis masing-masing. Sehingga, mesin/peralatan yang memiliki umur ekonomis di bawah 4 tahun harus diadakan kembali (reinvestasi). Sebagai contoh, setiap saringan memiliki umur ekonomis 1 tahun, maka setiap tahun harus ada investasi untuk saringan. Selama umur proyek berarti akan terdapat reinvestasi sebanyak empat kali. Untuk mempermudah proses perhitungan, peralatan yang umur ekonomisnya di bawah empat tahun diasumsikan tersedia di awal periode perhitungan sejumlah tertentu sehingga dapat mencukupi umur proyek. Sebaliknya, mesin/peralatan yang memiliki umur ekonomis di atas umur proyek maka pada akhir proyek peralatan tersebut masih memiliki nilai ekonomis (scrap value). Sebagai contoh hand refractometer memiliki nilai ekonomis 10 tahun. Oleh karena itu, pada akhir periode proyek hand refractometer memiliki nilai ekonomis sebesar penyusutan dikalikan dengan sisa umur ekonomis. Beberapa barang investasi

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 37

dibeli bekas, seperti mesin pemotong, mesin pengemas, kendaraan. Sebagai contoh, mesin pengemas dibeli bekas dari Surabaya dengan harga 40 juta. Tentu saja, karena barang investasi tersebut dibeli bekas maka umur ekonomisnya pun lebih pendek dibanding bila dibeli dalam kondisi baru.

Tabel 5.2 menunjukkan biaya investasi awal proyek (untuk rinciannya lihat Lampiran 2). Biaya perizinan hanya dikeluarkan sekali pada awal usaha sehingga tidak memiliki penyusutan. Biaya sewa tanah dan bangunan sebesar Rp 16.000.000 untuk 4 tahun, sehingga nilai penyusutannya adalah Rp 4.000.000. Biaya investasi peralatan dan mesin sebesar Rp 224.570.000. Dengan memperhatikan umur ekonomis masing-masing peralatan/mesin, maka nilai penyusutan peralatan/mesin secara total adalah Rp 22.508.000 per tahun selama periode usaha 4 tahun. Untuk mesin/peralatan yang memiliki umur ekonomis lebih dari 4 tahun maka di akhir periode usaha mesin/peralatan tersebut memiliki nilai sisa (scrap value) sebesar sisa umur ekonomis dikalikan biaya penyusutan per tahun. Total nilai sisa mesin/peralatan yang diterima pada akhir periode usaha adalah Rp 134.538.000. Total nilai sisa mesin/peralatan tersebut merupakan penerimaan usaha di tahun ke 4.

Tabel 5.2. Biaya Investasi Pengolahan Nata de coco

No Jenis biaya Nilai (Rp) Penyusutan (Rp)

1 Perijinan 3.300.000 0

2 Sewa tanah dan bangunan 16.000.000 4.000.000

3 Mesin/Peralatan 224.570.000 22.508.000 Jumlah biaya investasi 243.870.000 26.508.000

Sumber : Lampiran 2

(2). Biaya Operasional

Biaya operasional usaha nata de coco merupakan biaya variabel (variabel cost) yang besarnya tergantung dengan jumlah nata de coco yang diproduksi. Dalam analisis keuangan ini yang dianalisis adalah usaha jenis ke III (yang memproduksi nata de coco lembaran dan kemasan), maka yang dimaksud dengan produk akhir dari usaha nata de coco adalah dalam bentuk kemasan. Usaha jenis ke III akan memproses semua nata de coco lembaran yang dihasilkan menjadi nata de coco kemasan, dan tidak menjual nata de coco dalam bentuk lembaran. Tabel 5.3 menunjukkan biaya operasional usaha nata de coco lembaran sekaligus kemasan. Untuk 1600 lembaran (kurang lebih 1600 kg) dibutuhkan biaya produksi/biaya operasional sebesar Rp 855.600 per hari. Dengan 1600 lembaran dapat diproduksi 12.000 nata de coco kemasan gelas (500 karton) dan biaya operasional Rp 2.979.075. Biaya pemasaran meliputi biaya distribusi, transportasi dan telekomunikasi

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 38

sebesar Rp 190.000 per hari. Kolom terakhir menunjukkan biaya operasional dalam setahun dengan asumsi terdapat 313 hari produksi (rincian biaya operasional lihat Lampiran 3).

Tabel 5.3. Biaya Operasional Nata de coco

No Jenis biaya I BIAYA PRODUKSI A Nata de coco lempengan 1 Bahan Baku dan Pembantu 578.600 181.101.800 2 Tenaga kerja 195.000 61.035.000 3 Listrik 10.000 3.130.000 4 Minyak Tanah 72.000 22.536.000

Sub jumlah 855.600 267.802.800 B Nata de coco kemasan 1 Bahan Baku dan Pembantu 454.075 142.125.475 2 Tenaga kerja 195.000 61.035.000 3 Listrik 10.000 3.130.000 4 Minyak Tanah 120.000 37.560.000 5 Kemasan 2.200.000 688.600.000

Sub jumlah 2.979.075 932.450.475 II Distribusi/Transportasi 190.000 59.470.000

Jumlah 4.024.675 1.259.723.275

Sumber : Lampiran 3

d. Kebutuhan Dana Investasi dan Kredit

Untuk menjalankan usaha nata de coco lembaran membutuhkan biaya investasi dan operasional. Dana yang diperlukan bisa berasal dari dana milik sendiri dan dana kredit. Tabel 5.4 menunjukkan rincian kebutuhan dana untuk investasi dan modal kerja dalam setahun. Untuk investasi dibutuhkan dana sebesar Rp 243.870.000. Di daerah survey tidak terdapat, skema kredit bank khusus untuk nata de coco sehingga pengusaha menggunakan skema kredit umum yang ditawarkan oleh bank. Untuk kredit investasi, bank mensyaratkan perbandingan: 70% kredit bank dan 30% dana sendiri. Dengan perbandingan tersebut, kredit investasi yang dibutuhkan adalah Rp 170.709.000. Sedangkan dana sendiri untuk investasi sebesar Rp 73.161.000.

Untuk dana modal kerja dari kredit bank di daerah survey tidak terdapat persyaratan dana sendiri yang harus tersedia. Dari responden yang dijadikan dasar perhitungan di sini didapatkan informasi bahwa kredit modal kerja yang saat ini adalah sekitar 12% dan dana sendiri adalah 88% dari total biaya operasional. Angka 12% disini sesuai dengan perbandingan antara

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 39

jangka waktu produksi sampai mendapatkan penerimaan penjualan (1,5 bulan) dengan jumlah hari operasi dalam setahun (313 hari). Dengan perbandingan tersebut, kredit modal kerja yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 151.166.793 sedangkan dana sendiri untuk biaya operasionalnya adalah Rp 1.108.556.482.

Tabel 5.4. Rincian Kebutuhan Dana

No Rincian Biaya Proyek Total Biaya 1 Dana investasi yang bersumber dari

a. Kredit 170.709.000 b. Dana sendiri 73.161.000 Jumlah dana investasi 243.870.000

2 Dana modal kerja yang bersumber dari

a. Kredit 151.166.793 b. Dana sendiri 1.108.556.482 Jumlah dana modal kerja 1.259.723.275

3 Total dana proyek yang bersumber dari

a. Kredit 321.875.793 b. Dana sendiri 1.181.717.482 Jumlah dana proyek 1.503.593.275

Sumber : Lampiran 4

Di daerah survey tidak terdapat skema khusus kredit bank untuk usaha pengolahan nata de coco. Pengusaha mendapatkan kredit umum yang ditawarkan bank. Untuk kredit investasi, secara umum, memiliki persyaratan: suku bunga 14,5% per tahun dan efektif/menurun; tidak terdapat grace period; jangka waktu kredit 3 tahun; persyaratan dana sendiri sebesar 30% dari plafon; dan periode angsuran adalah bulanan. Dengan menggunakan informasi tersebut dan kebutuhan dana investasi Rp 170.709.000 besarnya angsuran pokok, angsuran bunga, total angsuran, saldo awal, saldo akhir setiap periode dapat dihitung. Hasil perhitungannya ditampilkan dalam Tabel 5.5.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 40

Tabel 5.5. Angsuran Pokok dan Bunga Kredit Investasi

Tahun Angsuran Angsuran Total Saldo Saldo

Pokok Bunga Angsuran Awal Akhir Tahun 0 170.709.000 170.709.000 170.709.000 Tahun 1

Januari 4.741.917 2.062.734 6.804.650 170.709.000 165.967.083 Februari 4.741.917 2.005.436 6.747.352 165.967.083 161.225.167

Maret 4.741.917 1.948.137 6.690.054 161.225.167 156.483.250 April 4.741.917 1.890.839 6.632.756 156.483.250 151.741.333 Mei 4.741.917 1.833.541 6.575.458 151.741.333 146.999.417 Juni 4.741.917 1.776.243 6.518.160 146.999.417 142.257.500 Juli 4.741.917 1.718.945 6.460.861 142.257.500 137.515.583

Agustus 4.741.917 1.661.647 6.403.563 137.515.583 132.773.667 September 4.741.917 1.604.348 6.346.265 132.773.667 128.031.750

Oktober 4.741.917 1.547.050 6.288.967 128.031.750 123.289.833 November 4.741.917 1.489.752 6.231.669 123.289.833 118.547.917 Desember 4.741.917 1.432.454 6.174.371 118.547.917 113.806.000

Tahun 2 Januari 4.741.917 1.375.156 6.117.073 113.806.000 109.064.083

Februari 4.741.917 1.317.858 6.059.774 109.064.083 104.322.167 Maret 4.741.917 1.260.560 6.002.476 104.322.167 99.580.250 April 4.741.917 1.203.261 5.945.178 99.580.250 94.838.333 Mei 4.741.917 1.145.963 5.887.880 94.838.333 90.096.417 Juni 4.741.917 1.088.665 5.830.582 90.096.417 85.354.500 Juli 4.741.917 1.031.367 5.773.284 85.354.500 80.612.583

Agustus 4.741.917 974.069 5.715.985 80.612.583 75.870.667 September 4.741.917 916.771 5.658.687 75.870.667 71.128.750

Oktober 4.741.917 859.472 5.601.389 71.128.750 66.386.833 November 4.741.917 802.174 5.544.091 66.386.833 61.644.917 Desember 4.741.917 744.876 5.486.793 61.644.917 56.903.000

Tahun 3 Januari 4.741.917 687.578 5.429.495 56.903.000 52.161.083

Februari 4.741.917 630.280 5.372.196 52.161.083 47.419.167 Maret 4.741.917 572.982 5.314.898 47.419.167 42.677.250 April 4.741.917 515.683 5.257.600 42.677.250 37.935.333 Mei 4.741.917 458.385 5.200.302 37.935.333 33.193.417 Juni 4.741.917 401.087 5.143.004 33.193.417 28.451.500 Juli 4.741.917 343.789 5.085.706 28.451.500 23.709.583

Agustus 4.741.917 286.491 5.028.407 23.709.583 18.967.667 September 4.741.917 229.193 4.971.109 18.967.667 14.225.750

Oktober 4.741.917 171.894 4.913.811 14.225.750 9.483.833 November 4.741.917 114.596 4.856.513 9.483.833 4.741.917 Desember 4.741.917 57.298 4.799.215 4.741.917 0

Sumber : Lampiran 5

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 41

Kredit modal kerja memiliki persyaratan: suku bunga 14,5% per tahun dan efektif/menurun; tidak ada grace period; jangka waktu kredit satu tahun; tidak terdapat persyaratan dana sendiri; periode angsuran adalah bulanan. Dengan menggunakan persyaratan tersebut dan dana kredit modal kerja Rp 151.166.793; angsuran pokok, angsuran bunga total angsuran, saldo awal dan saldo akhir setiap periode dapat dihitung. Tabel 5.6. menunjukkan hasil perhitungannya.

Tabel 5.6. Angsuran Pokok dan Bunga Kredit Modal Kerja

Tahun Kredit Angsuran Pokok

Angsuran Bunga

Total Angsuran

Saldo Awal

Saldo Akhir

Tahun 0 151.166.793 151.166.793 151.166.793

Tahun 1 Januari 12.597.233 1.826.599 14.423.831 151.166.793 138.569.560

Februari 12.597.233 1.674.382 14.271.615 138.569.560 125.972.328 Maret 12.597.233 1.522.166 14.119.398 125.972.328 113.375.095 April 12.597.233 1.369.949 13.967.182 113.375.095 100.777.862 Mei 12.597.233 1.217.732 13.814.965 100.777.862 88.180.629 Juni 12.597.233 1.065.516 13.662.749 88.180.629 75.583.397 Juli 12.597.233 913.299 13.510.532 75.583.397 62.986.164

Agustus 12.597.233 761.083 13.358.316 62.986.164 50.388.931 September 12.597.233 608.866 13.206.099 50.388.931 37.791.698

Oktober 12.597.233 456.650 13.053.882 37.791.698 25.194.466 November 12.597.233 304.433 12.901.666 25.194.466 12.597.233 Desember 12.597.233 152.217 12.749.449 12.597.233 0

Sumber : Lampiran 5

e. Produksi dan Pendapatan

Output dari usaha nata de coco dalam analisis keuangan ini adalah nata de coco kemasan gelas. Dengan 1,6 ton nata de coco lembaran (±1600 nata de coco lembaran) dan dengan kapasitas mesin/peralatan yang ada (pergantian/shift 2 kali: pagi dan sore), dapat dihasilkan nata de coco kemasan sebanyak 12.000 gelas (atau 500 karton dimana setiap karton terdiri dari 24 nata de coco gelas). Karena adanya biaya transportasi maka terdapat perbedaan antara harga di pasar lokal dan di pasar luar daerah. Harga di pasar lokal adalah Rp 11.500 dan harga di pasar luar daerah adalah Rp 12.500. Distribusi pemasaran nata de coco adalah 30% untuk pasar lokal dan 70% untuk pasar luar daerah. Dengan demikian harga rata-rata tertimbang nata de coco per karton adalah:

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 42

(30% X Rp. 11.500) + (70% X Rp. 12.500) = Rp. 12.200

Penerimaan setiap produksi sebanyak 500 karton adalah:

Rp. 12.200 X 500 = Rp. 6.100.000

Dengan asumsi dalam setahun terdapat 313 hari produksi (hari minggu libur) maka penerimaan dalam setahun adalah:

Rp. 6.100.000 X 313 = Rp. 1.909.300.000

Dengan demikian, aliran penerimaan usaha nata de coco tersebut adalah Rp 1.909.300.000 per tahun (asumsi-asumsi untuk perhitungan finansial lihat Lampiran 1). Sedangkan aliran biaya seperti yang telah dikemukakan di atas yaitu terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi dalam aliran biaya dinyatakan dalam biaya penyusutan barang-barang investasi. Proyeksi pendapatan dan biaya selengkapnya bisa dilihat di lampiran 6.

f. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point

Analisis keuangan (financial analysis) dari sebuah rencana kegiatan investasi berkaitan dengan tingkat keuntungan/profitabilitas yang akan didapat dari kegiatan investasi tersebut. Keuntungan (profit) secara sederhana merupakan selisih antara penerimaan total (total revenue) dan total biaya produksi (total cost).

Tabel 5.7. Profitabilitas Rencana Investasi

No Uraian Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 1 Pendapatan 1.909.300.000 1.909.300.000 1.909.300.000 1.909.300.000

2 Pengeluaran

a. Biaya operasional 1.259.723.275 1.259.723.275 1.259.723.275 1.259.723.275

b. Penyusutan 26.508.000 26.508.000 26.508.000 26.508.000

c. Angsuran pokok 208.069.793 56.903.000 56.903.000 0

d. Bunga bank 32.844.018 12.720.191 4.469.256 0 Jumlah 1.527.145.086 1.355.854.466 1.347.603.531 1.286.231.275

Laba sebelum pajak 382.154.914 553.445.534 561.696.469 623.068.725

e. Pajak 15% 57.323.237 83.016.830 84.254.470 93.460.309

3 Laba rugi 324.831.677 470.428.704 477.441.998 529.608.416

4 Profit margin % 24,64% 25,01% 27,74%

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 43

BEP (nilai penjualan) 786.032.573 282.558.283 258.306.320 77.914.929

BEP (produksi nata de coco dalam karton) 64.429 23.161 21.173 6.386

BEP Rp/karton berdasarkan

- Biaya operasional 2.519.447 2.519.447 2.519.447 2.519.447

- Total biaya 3.054.290 2.711.709 2.695.207 2.572.463 Sumber : Lampiran 7

Penerimaan usaha nata de coco merupakan penerimaan dari penjualan nata de coco tersebut yang secara sederhana merupakan perkalian antara harga per unit dikalikan dengan unit kuantitas yang terjual. Sedangkan total biaya terdiri dari biaya penyusutan barang investasi, biaya operasional produksi dan biaya distribusi. Tabel 5.7 menunjukkan keuntungan (surplus) yang diperoleh.

g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek

Berdasarkan proyeksi arus kas dilakukan perhitungan kelayakan usaha nata de coco dengan menggunakan kriteria Net Benefit-Cost Ratio (NBCR), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Pay Back Period (PBP). Sebuah usaha atau proyek layak secara finansial jika NBCR>1, NPV>0 dan IRR>discount rate. Hasil perhitungan (lihat Tabel 5.8) menunjukkan bahwa usaha nata de coco (lembaran sekaligus kemasan gelas) adalah menguntungkan secara finansial karena pada tingkat suku bunga 14,5% per tahun didapatkan NBCR 1,15 dan NPV sebesar Rp 224.235.166. Dengan IRR sebesar 21,49% berarti proyek ini secara finansial layak dilaksanakan sampai dengan tingkat suku bunga 21,49% . Usaha ini juga memiliki PBP usaha 0,69 tahun (8 bulan 8 hari) artinya seluruh biaya investasi sudah dapat dikembalikan dalam masa 0,69 tahun (8 bulan 8 hari) dan sisa periode usaha memberikan pendapatan bersih dari kegiatan investasi usaha nata de coco. PBP kredit 0,92 tahun (11 bulan) artinya total kredit (modal kerja dan investasi) sebesar Rp 321.875.793 bisa dilunasi selama 0,92 tahun (11 bulan).

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 44

Tabel 5.8. Kelayakan Usaha Nata de Coco

No Kriteria Kelayakan Nilai Kesimpulan

1 Net B/C ratio pada discount rate 14,5% 1,15

Layak

2 NPV pada discount rate 14,5% (Rp) 224.235.166

Layak

3 IRR 21,49% Layak 4 PBP usaha (tahun) 0,69 Layak 5 PBP kredit (tahun) 0,92 Layak

h. Analisis Sensitivitas

Proyeksi penerimaan dan biaya-biaya selama periode proyek didasarkan pada asumsi-asumsi. Tentu saja, perubahan asumsi akan mempengaruhi proyeksi tersebut. Analisis sensitivitas menunjukkan pengaruh perubahan-perubahan variabel eksogen (asumsi-asumsi) terhadap keputusan investasi. Sampai seberapa jauh variabel-variabel eksogen tersebut (naik/turun) dapat ditolerir tanpa merubah keputusan investasi. Berikut ini contoh analisis sensitivitas pengaruh perubahan variabel eksogen terhadap kelayakan usaha:

1. Skenario I: Penurunan Penerimaan Penjualan

Dalam skenario I, penerimaan proyek mengalami penurunan sedangkan biaya investasi dan operasional dipegang tetap (ceteris paribus). Penurunan penerimaan tersebut dapat disebabkan oleh penurunan harga nata de coco atau penurunan jumlah kuantitas penjualan nata de coco. Tabel 5.9 menunjukkan pengaruh penurunan penerimaan sebesar 3% dan 4% . Terlihat bahwa untuk penurunan penerimaan sebesar 3% usaha nata de coco masih menguntungkan/layak. Tetapi ketika penurunan penerimaan mencapai 4,5% , usaha nata de coco secara finansial sudah tidak menguntungkan lagi.

Tabel 5.9. Analisis Sensitivitas

No Kriteria Kelayakan Penerimaan Turun 3%

Penerimaan Turun 4,5%

1 Net B/C ratio pada discount rate 14,5% 1,04 0,984

2 NPV pada discount rate 14,5% (Rp) 59.036.925 (23.562.196)

3 IRR 16,37% 13,75% 4 PBP usaha (tahun) 0,83 0,92 5 PBP kredit (tahun) 0,92 0,92

Sumber : Lampiran 8 dan Lampiran 9A dan Lampiran9B

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 45

2. Skenario II: Kenaikan Biaya Operasional

Dalam skenario II, biaya operasional mengalami kenaikan sedangkan biaya investasi dan penerimaaan dianggap tetap (ceteris paribus). Kenaikan biaya operasional dapat disebabkan oleh kenaikan harga-harga bahan baku dan bahan pembantu, tenaga kerja, listrik, minyak tanah, kemasan dan distribusi/pemasaran. Tabel 5.10 menunjukkan pengaruh kenaikan biaya operasional sebesar 5% dan 7% . Kenaikan biaya operasional sebesar 5% usaha nata de coco masih menguntungkan/layak. Tetapi ketika kenaikan biaya operasional mencapai 7% , usaha nata de coco secara finansial sudah tidak menguntungkan lagi.

Tabel 5.10. Analisis Sensitivitas

No Kriteria Kelayakan

Kenaikan Biaya

Operasional 5%

Kenaikan Biaya Operasional 7%

1 Net B/C ratio pada discount rate 14,5% 1,028 0,980

2 NPV pada discount rate 14,5% (Rp) 42.576.906 (30.086.398) 3 IRR 15,85% 13,54% 4 PBP usaha (tahun) 0,85 0,93 5 PBP kredit (tahun) 0,92 0,92

Sumber : Lampiran 9C dan Lampiran 9D

3. Skenario III: Penurunan Penerimaan dan Kenaikan Biaya

Skenario III merupakan gabungan antara skenario I dan II yaitu penerimaan mengalami penurunan dan pada saat yang sama biaya operasional mengalami kenaikan, sementara biaya investasi tetap (ceteris paribus). Tabel 5.11 menunjukkan kelayakan usaha dengan skenario III. Pada saat penurunan penerimaan 2% dan kenaikan biaya 2% , usaha nata de coco masih menguntungkan/layak. Namun jika secara simultan terjadi penurunan penerimaan 2% dan kenaikan biaya operasional sebesar 4% , maka secara finansial usaha ini tidak menguntungkan/layak.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 46

Tabel 5.11. Analisis Sensitivitas

No Kriteria Kelayakan

Penerimaan Turun 2%

Kenaikan Biaya Operasional 2%

Penerimaan Turun 2%

Kenaikan Biaya Operasional 4%

1 Net B/C ratio pada discount rate 14,5% 1,028 0,979

2 NPV pada discount rate 14,5% (Rp) 41.439.701 (31.223.603)

3 IRR 15,81% 13,50% 4 PBP usaha (tahun) 0,85 0,93 5 PBP kredit (tahun) 0,92 0,92

Sumber : Lampiran 9E dan Lampiran 9F

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 47

6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan a. Aspek Sosial Ekonomi

Dalam Aspek Keuangan telah dibahas analisis keuangan (financial analysis) usaha nata de coco. Dalam analisis finansial, perhatian utamanya adalah keuntungan individual. Analisis sosial-ekonomi memiliki cakupan yang luas, yaitu kesejahteraan masyarakat keseluruhan sebagai satu kesatuan. Tabel 6.1. menunjukkan perbedaan aspek-aspek dalam analisis keuangan dan sosial-ekonomi.

Tabel 6.1. Analisis Finansial dan Sosial-Ekonomi

Aspek Analisis Finansial (Financial Analysis)

Analisis Sosial-Ekonomi (Benefit-Cost

Analysis) 1. Tujuan analisis Mengindikasikan

keuntungan ekonomi individual perusahaan

Mengindikasikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan

2. Tujuan umum Meningkatkan keuntungan individual perusahaan

Meningkatkan Kesejahteraan masyarakat

3. Konsep perbaikan Manfaat bersih individual perusahaan

Manfaat bersih masyarakat secara keseluruhan

4. Perubahan manfaat Memasukkan semua yang diterima oleh individu perusahaan

Memasukkan semua yang diterima oleh masyarakat

5. Perubahan biaya Memasukkan semua biaya yang benar-benar ditanggung oleh individu perusahaan

Memasukkan semua biaya yang ditanggung oleh masyarakat keseluruhan

6. Pajak penghasilan Dimasukkan sebagai biaya

Dikeluarkan/tidak dianggap sebagai penerimaan jika output yang dihasilkan hanya mengganti output yang sudah ada

7. Subsidi biaya produksi Dimasukkan sebagai manfaat

Dikeluarkan/tidak dianggap sebagai biaya jika input yang digunakan hanya mengganti input yang sudah ada

8. Biaya pemerintah Tidak dimasukkan dalam Dimasukkan dalam

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 48

perhitungan perhitungan 9. Eksternalitas Tidak dimasukkan dalam

perhitungan Dimasukkan dalam perhitungan

10. Manfaat dan biaya sampingan

Tidak dimasukkan dalam perhitungan

Dimasukkan dalam perhitungan jika sesuai

11. Manfaat dan biaya yang tidak memiliki harga (unpriced)

Dimasukkan dalam perhitungan

Dimasukkan dalam perhitungan

Sumber: Sinden dan Thampapillai, 1995. Sumber: Sinden dan Thampapillai, 1995.

Analisis sosial-ekonomi usaha nata de coco pada hakekatnya merupakan analisis yang ingin melihat bagaimana pengaruh usaha tersebut terhadap masyarakat keseluruhan, yaitu: rumah tangga, swasta (perusahaan), pemerintah dan aktivitas luar neger (ekspor-impor).

Usaha nata de coco telah memberikan tambahan pendapatan bagi rumah tangga masyarakat sekitar. Tambahan pendapatan tersebut dapat berasal dari penjualan air kelapa dengan harga Rp 100 - Rp 150 per liter oleh petani-petani kelapa. Apalagi air kelapa sebenarnya hanya merupakan limbah usaha kopra yang sudah ada sebelumnya. Dengan adanya usaha nata de coco limbah air kelapa tersebut menjadi memiliki nilai ekonomis yang relatif tinggi. Setiap petani penyetor limbah air kelapa, rata-rata mendapatkan tambahan penghasilan Rp 20.000 - Rp 30.000. Air kelapa tidak hanya ditampung oleh perusahaan-perusahaan kecil dan menengah tetapi juga perusahaan besar yang sudah orientasi ekspor (export oriented).

Selain dari penjualan air kelapa, tambahan pendapatan juga dapat berasal dari upah di perusahaan nata de coco. Dengan kata lain, rumah tangga telah menerima manfaat dari keberadaan usaha nata de coco dari tidak hanya segi pendapatan upah tetapi lebih fundamental lagi adalah peningkatan lapangan pekerjaan di daerah. Di daerah survery, Lampung Selatan, perusahaan besar seperti PT Keong Nusantara telah menyerap tenaga kerja sebanyak 1.800 orang dan 160 petani penyetor air kelapa. Perusahaan besar lain, PT Sari Husada telah menyerap 200 tenaga kerja tetap dan 250 tenaga kerja kupas borongan. Saat ini di daerah survey, terdapat 3 perusahaan menengah dan besar, serta 270 perusahaan kecil formal dan non formal. Dari tiga perusahaan kecil yang disurvey, rata-rata masing-masing perusahaan memiliki 5 tenaga kerja tetap dan 10 tenaga kerja borongan yang semuanya berasal dari lingkungan sekitar. Dengan demikian usaha nata de coco juga telah memiliki kontribusi dalam menyejahterakan masyarakat sekitar melalui penyerapan tenaga kerja dan pemanfaatan limbah industri kopra.

Analisis keuangan yang telah dibahas pada Aspek Keuangan, menunjukkan bahwa usaha nata de coco menguntungkan bagi perusahaan. Keuntungan tersebut dapat digunakan untuk pembesaran usaha (capital accumulation).

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 49

Usaha nata de coco telah juga memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah baik dalam hal penyediaan penyerapan tenaga kerja seperti yang sudah diuraikan di atas maupun peningkatan aktivitas-aktivitas perekonomian daerah. Sebagai salah satu rangkaian kegiatan agroindustri, usaha nata de coco kemungkinan dapat berkaitan dengan lembaga-lembaga lain seperti: pemerintah, lembaga pembiayaan, lembaga pemasaran dan distribusi, koperasi, lembaga formal dan informal, lembaga penyuluhan pertanian lapangan, lembaga riset, lembaga penjamin dan penanggungan risiko (Gumbira dan Intan, 2001). Kotak 6.1. menunjukkan studi kasus peran nata de coco dalam perekonomian makro Philipina.

Kotak 6.1. Nata de coco di Philipina

Dari puluhan jenis produk makanan yang berasal dari dalam negeri Filipina, satu produk makanan dari Philipina yang sukses menembus pasar internasional adalah nata de coco. Pertama kali nata de coco diproduksi oleh petani-petani kelapa di pedesaan dan beberapa perkotaan seperti Batangas dan Laguna. Salah satu perusahaan yang muncul sebagai perusahaan berorientasi kualitas serta mengadopsi praktek pengolahan dan teknologi mampu menyesuaikan preferensi dan standar kenikmatan dan kesehatan nata de coco adalah Festive Foods International Inc dengan merek terkenal Jona. Perusahaan ini secara intensif memperkenalkan nata de coco ke pasar Jepang. Nata de coco memiliki potensi besar dalam perekonomian, terlebih lagi ketika produk ini mampu menembus pasaran internasional ke Jepang, USA, Eropa dan negara-negara Timur Tengah. Pada pertengahan 1990-an, kepopuleran nata de coco di pasar tujuan ekspor utama, terutama Jepang, mengalami penurunan. Penurunan tersebut diperparah dengan produk-produk sejenis yang lebih disukai, tidak adanya agen pengatur atau standar yang secara jelas menentukan tingkat ekspor yang seharusnya. Nata de coco Technical Working Group (TWG) yang sering disebut nata de coco Task Force menentukan standarisasi industri dan mengeluarkan akreditasi proses dan penjaminan hanya material terbaik yang ada dalam produk akhir. Belum lama ini Festive Foods Inc mendapatkan penghargaan sertifikasi dari Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). TWG bekerjasama dengan akademisi dan agen pemerintah berusaha memecahkan permasalahan persaingan industri yang semakin meningkat.

Sumber: Malaya Living, http://www.malay.com.ph/apr21/livi4.htm

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 50

Nata de coco telah menembus pasaran ekspor sehingga merupakan sumber penerimaan devisa bagi Indonesia. Meskipun saat ini perusahaan-perusahaan besar saja yang mampu menembus pasaran ekspor, di masa depan usaha-usaha kecil dan menengah nata de coco diharapkan mampu menembus pasar ekspor juga tentunya dengan proses standarisasi kriteria internasional atau kemitraan dengan perusahaan besar yang ada. Saat ini, nata de coco merupakan salah satu andalan ekspor daerah survey, Lampung Selatan.

b. Dampak Lingkungan

Dalam proses produksi nata de coco lembaran terdapat limbah cair. Setelah 6-7 hari pemeraman (fermentasi), lapisan atau lembaran nata de coco yang terbentuk akan mencapai ketebalan 0,8-1,5 cm. Lapisan ini bersifat asam baik bau, cita rasa maupun pH-nya. Lembaran ini kemudian diangkat dan lendirnya dibuang melalui proses pencucian. Setelah dicuci bersih nata de coco direndam bisa dalam bentuk lembaran atau sudah dipotong kecil-kecil (1x1x1) cm selama 2-3 hari. Air rendaman ini diganti setiap hari supaya bau dan rasa asam hilang. Selanjutnya, nata de coco dicuci kembali dan direbus untuk mengawetkan dan sekaligus menyempurnakan proses penghilangan bau dan rasa asam. Limbah cair berasal dari proses pencucian, perendaman dan perubahan ini. Dibutuhkan jumlah air yang cukup banyak untuk proses-proses ini, sehingga juga dihasilkan limbah cair yang cukup banyak.

Syarat mutlak keberhasilan fermentasi, adalah sanitasi lingkungan dan media fermentasi. Oleh karena itu pengusaha harus memperhatikan kebersihan lingkungan termasuk pembuangan limbah cair tersebut. Di daerah survey, biasanya pengusaha membuang limbah cari tersebut ke dalam tanah (lubang sumur yang tertutup). Jika lubang sumur tempat limbah cair tersebut besar maka akan bisa menampung limbah cair yang banyak, sehingga tidak perlu penyedotan. Ada satu orang responden yang penampungan limbah cairnya tidak begitu besar relatif dibanding dengan kapasitas produksi, sehingga setiap seminggu sekali pengusaha tersebut harus menyedot air limbah, dimasukkan dalam drum-drum besar dan kemudian diangkut ke perkebunan kelapa miliknya untuk kemudian digunakan sebagai penyiram pohon kelapa. Untuk konstruksi sumur buangan limbah cair dibutuhkan biaya Rp 3 juta (ukuran panjang x lebar x kedalaman = 7 x 8 x 2 meter), mesin penyedot Rp 1,5 juta dan ongkos angkut Rp 40 ribu per minggu. Dalam proses produksi nata de coco kemasan gelas relatif tidak terdapat limbah seperti dalam proses produksi nata de coco lembaran.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 51

7. Penutup a. Kesimpulan

1. Usaha nata de coco memiliki prospek yang cerah sebagai makanan kesehatan karena memiliki serat yang tinggi dan rendah kalori sehingga baik untuk sistim pencernaan.

2. Dari segi pasokan input, keberlangsungan usaha nata de coco dapat dijamin karena input air kelapa tidak terpengaruh oleh musim.

3. Usaha pengolahan nata de coco terdiri dari tiga macam, yaitu penghasil nata de coco lembaran, penghasil nata de coco kemasan dan ketiga penghasil nata de coco lembaran sekaligus kemasan.

4. Di daerah survey, Kabupaten Lampung Selatan, terdapat usaha nata de coco skala rumah tangga, kecil, menengah dan besar. Usaha skala rumah tangga biasanya bersifat sporadis hanya berproduksi pada saat terjadi limpahan permintaan lokal, seperti menjelang puasa, lebaran dan tahun baru.

5. Di daerah survey, terdapat dua macam pola pembiayaan usaha yaitu pembiayaan pemerintah daerah dan pembiayaan bank. Dari pemerintah daerah, terdapat program penguatan modal usaha kecil yang berupa kredit bantuan keuangan dari Dinas Perindustrian dan Perdangan tetapi tidak secara khusus untuk nata de coco. Meskipun sistim pembayaran mirip dengan kredit perbankan (bekerjasama dengan Bank Lampung) namun tingkat suku bunganya masih di subsidi pemerintah daerah.

6. Dari pihak bank, tidak terdapat skema kredit khusus untuk pengolahan nata de coco. Kredit yang diberikan adalah kredit umum dengan persyaratan umum. Kredit investasi memiliki suku bunga 14,5% efektif, periode angsuran bulanan dan tidak ada grace period (periode bebas cicilan) serta persyaratan tersedianya 30% dana sendiri nasabah, dan jangka pelunasan 3 tahun. Kredit modal kerja memiliki suku bunga 14,5% efektif, periode angsuran bulanan dan tidak ada grace period (periode bebas cicilan) dan jangka pelunasan 3 tahun.

7. Untuk skala usaha kecil memiliki sifat produksi permanen dan melayani permintaan lokal dan luar daerah dengan perbandingan lokal 30% dan luar daerah 70% . Terdapat tiga usaha nata de coco besar dan sekitar 270-an usaha formal dan non formal. Harga produk relatif stabil dan terdapat selisih perbedaan harga di pasar lokal dan pasar luar daerah karena biaya transportasi.

8. Produksi nata de coco lembaran menggunakan bahan baku, bahan pembantu dan peralatan teknis yang mudah di beli dari pasar lokal. Produksi nata de coco kemasan mendatangkan mesin kemas dan

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 52

plastik kemasan dari luar daerah. Tingkat teknologi yang digunakan dapat dikategorikan teknologi tepat guna.

9. Analisis keuangan pada perusahaan yang memproduksi nata de coco lembaran dan kemasan sekaligus menunjukkan bahwa usaha ini menguntungkan. Pada umur usaha 4 tahun dan tingkat discount rate 14,5%, usaha ini memiliki NBCR 1,15; NPV Rp 224.235.166 dan IRR 21,49%. Dari segi PBP, usaha ini mampu mengembalikan modal investasinya dalam waktu 0,69 tahun (8 bulan 8 hari) dan mampu mengembalikan kredit (modal kerja dan investasi) dalam waktu 0,92 tahun (11 bulan).

10. Analisis sensitivitas terhadap perubahan penerimaan menunjukkan bahwa usaha ini sensitif terhadap penurunan penerimaan sampai dengan 4,5% dengan asumsi biaya konstan (ceteris paribus). Pada tingkat penurunan penerimaan 4,5% , usaha ini tidak menguntungkan. Analisis sensitivitas terhadap biaya operasional menunjukkan bahwa kenaikan biaya operasional sebesar 7% (ceteris paribus) akan menyebabkan usaha ini tidak menguntungkan lagi.

11. Keberadaan usaha nata de coco telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Produksi nata de coco lembaran menghasilkan limbah cair asam baik bau maupun rasa yang relatif tidak membahayakan lingkungan. Dengan teknologi penanganan limbah yang sederhana, pengaruh negatif limbah cair ini dapat dapat dieliminasi.

b. Saran

1. Dengan melihat prospek pasar domestik dan pasar ekspor yang cerah, pemerintah dan pelaku usaha perlu untuk meningkatkan standar mutu produk nata de coco yang memenuhi kriteria preferensi pasar dan kesehatan. Pengalaman Philipina perlu untuk dicontoh.

2. Pengembangan pola kemitraan antara usaha besar, menengah dan kecil maupun rumah tangga dalam pasokan input maupun pemasaran output.

3. Secara finansial, usaha ini layak dibiayai oleh bank, meskipun demikian bank perlu melakukan analisis kredit yang lebih komprehensif dengan prinsip kehati-hatian. Disarankan bank memberikan perhatian pada kemampuan membayar yang lebih besar. Pemberian kredit investasi dan modal kerja pada tahun yang sama kemungkinan akan dapat memberatkan nasabah dalam hal membayar cicilan pokok dan bunganya. Kelonggaran waktu pelunasan kredit modal kerja perlu disesuaikan dengan aliran kas usaha.

Bank Indonesia – Industri Pengolahan Nata de Coco 53

LAMPIRAN