induksi persalinan secara kimiawi

25
INDUKSI PERSALINAN I. PENDAHULUAN Induksi persalinan merujuk pada tindakan perangsangan kontraksi uterus oleh dokter sebelum tanda-tanda persalinan spontan terjadi. Sedangkan, augmentasi persalinan merujuk pada usaha menambah frekuensi dan intensitas kontraksi uterus yang sudah ada sebelumnya pada pasien inpartu yang tidak mengalami kemajuan persalinan yang adekuat. (1) Induksi persalinan adalah prosedur obstetri yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat. Di AS, angka kejadiannya terus meningkat secara signifikan pada semua usia kehamilan. Data yang diambil dari National Center for Health Statistics menunjukkan kenaikan dari tahun 1989 sebesar 9% menjadi 20,5% pada tahun 2001 dan 22,5% pada tahun 2006. Alasan peningkatan ini tidak jelas, tetapi ini mencerminkan bertambahnya angka induksi persalinan pada kehamilan post-termdan tingginya kecenderungan terhadap induksi persalinan elektif pada indikasi lain, termasuk permintaan ibu. (1,2,3) Kehamilan normal terdiri dari tiga tahapan: pra salin, pematangan serviks, dan kelahiran. Hal 1

Upload: ayuhutamisyarif

Post on 15-Apr-2016

67 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

tentang induksi persalinan dengan oksitosin dan lain lain

TRANSCRIPT

INDUKSI PERSALINAN

I. PENDAHULUAN

Induksi persalinan merujuk pada tindakan perangsangan kontraksi

uterus oleh dokter sebelum tanda-tanda persalinan spontan terjadi.

Sedangkan, augmentasi persalinan merujuk pada usaha menambah

frekuensi dan intensitas kontraksi uterus yang sudah ada sebelumnya pada

pasien inpartu yang tidak mengalami kemajuan persalinan yang adekuat.(1)

Induksi persalinan adalah prosedur obstetri yang paling sering

dilakukan di Amerika Serikat. Di AS, angka kejadiannya terus meningkat

secara signifikan pada semua usia kehamilan. Data yang diambil dari

National Center for Health Statistics menunjukkan kenaikan dari tahun

1989 sebesar 9% menjadi 20,5% pada tahun 2001 dan 22,5% pada tahun

2006. Alasan peningkatan ini tidak jelas, tetapi ini mencerminkan

bertambahnya angka induksi persalinan pada kehamilan post-termdan

tingginya kecenderungan terhadap induksi persalinan elektif pada indikasi

lain, termasuk permintaan ibu.(1,2,3)

Kehamilan normal terdiri dari tiga tahapan: pra salin, pematangan

serviks, dan kelahiran. Hal ini berlangsung sebagai proses yang terus-

menerus dan tidak berdiri sendiri. Prostaglandin endogen berperan dalam

proses ini. Intervensi untuk mematangkan serviks, meningkatkan kontraksi

uterus, dan mempercepat proses persalinan mempunyai batasan yang

seringkali sulit dibedakan.(4)

Induksi mungkin saja menginisiasi intervensi selanjutnya, seperti

seksio sesaria. Namun, dengan metode modern induksi persalinan,

resikonya semakin berkurang.(4) Referat ini akan membahas tentang

induksi persalinan, indikasi dan kontraindikasi induksi persalinan, metode

yang dapat digunakan, serta komplikasinya.

1

II. DEFINISI

Induksi persalinan adalah perangsangan kontraksi uterus sebelum

persalinan spontan bermula, dengan menggunakan metode mekanik dan

atau farmakologik untuk menyebabkan dilatasi serviks progresif yang

diikuti dengan kelahiran konsepsi.Induksi persalinan adalah proses

memulai persalinan secara tidak alamiah ketika persalinan spontan belum

terjadi yakni tanda-tanda inpartu kala 1 belum muncul atau belum ada

kontraksi. (1,2,3)

III. INDIKASI INDUKSI

Induksi persalinan dilakukan jika terminasi kehamilan lebih

menguntungkan bagi ibu dan janin daripada mempertahankan kehamilan.

Berikut adalah daftar beberapa indikasi untuk induksi persalinan:(5)

Prioritas utama

a) Preeklampsia ≥ 37 minggu

b) Penyakit ibu yang signifikan yang tidak berespon terhadap

pengobatan

c) Gawat janin

d) Korioamnionitis

e) Ketuban pecah dini

Indikasi lain

a) Kehamilan lewat bulan

b) Kehamilan ganda ≥ 38 minggu

c) Pertumbuhan janin terhambat

d) Oligohidramnion

e) Hipertensi dalam kehamilan ≥ 38 minggu

f) Kematian janin dalam rahim

2

Dari indikasi induksi persalinan tersebut, hipertensi pada

kehamilan dan kehamilan serotinus adalah indikasi yang paling sering

ditemui, jumlahnya terhitung lebih dari 80% kasus dari semua kasus

induksi yang dilaporkan.(2)

Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut, risiko untuk ibu dan janin

harus dipertimbangkan, untuk memastikan bahwa keuntungan

dilakukannya induksi persalinan lebih besar dari risiko yang ada untuk

mempertahankan kehamilan. Komplikasi pada ibu utamanya

adalahtingginya risiko persalinan operatif bila induksi dinilai gagal.

Sedangkan risiko untuk janin adalah prematuritas. Kapan pun ditemukan

bukti maturitas paru janin, atau usia kehamilan mencapai 39 minggu

(dikonfirmasi dengan USG), keputusan untuk induksi persalinan tidak lah

sulit.(2)

IV. KONTRAINDIKASI INDUKSI

Induksi sebaiknya dihindari jika terdapat kontraindikasi untuk

melakukan persalinan pervaginam. Berikut ada beberapa kontraindikasi

dilakukan induksi persalinan: (5)

a) Plasenta previa atau vasa previa

b) Malpresentasi

c) Riwayat operasi atau insisi pada uterus (miomektomi, SC)

d) Infeksi herpes genitalia aktif

e) Deformitas struktur anatomi pelvis

f) Karsinoma serviks yang invasif

g) Terdapat riwayat ruptur uterus

V. PEMATANGAN SERVIKS PRA INDUKSI

Pematangan serviks adalah proses dari pelunakan, pemendekan

dan pembukaan parsial pada serviks, biasanya terjadi dalam beberapa hari

hingga beberapa minggu sebelum tanda-tanda inpartu muncul. Serviks

3

yang tidak matang merupakan serviks yang tidak mengalami perubahan

dan lebih resisten terhadap induksi persalinan.(4)

Pada trimester awal persalinan, 50% dari bagian serviks terdiri

dari kolagen yang berikatan kuat, 20% adalah otot polos, dan sisanya

adalah substansi basal yang terdiri dari elastin dan glikosaminoglikan

(kondrotin, dermatan sulfat, dan hyaluronidase). Selama kehamilan,

hyaluronidase meningkat dari 6% menjadi 33%, sedangkan dermatan dan

kondritin, yang mengikat kolagen, berkurang. Enzim kolagenase dan

elastase meningkat bersama dengan vaskularitas dan substansi air.(4)

Bishop pada tahun 1964 mengembangkan sebuah sistem penilaian

untuk mengevaluasi wanita multipara yang menjalani induksi elektif pada

masa kehamilan aterm. Sistem penilaian tersebut merupakan metode

standar perhitungan semikuantitatif klinis pada serviks. Saat ini, skor

Bishop telah dimodifikasi.Skor Bishop menilai komponen-komponen

serviks seperti pembukaan, penipisan, konsistensi, posisi, serta penurunan

janin; secara klinis pada saat pemeriksaan dalam vagina.(1,4)

SkorPembukaa

n

Penipisan/

Pendataran(%)

Penurunan

(station)

Konsistens

iPosisi

0 Tertutup 0-30 -3 Tebal Posterior

1 1-2 40-50 -2 Sedang Midposition

2 3-4 60-70 -1 Lunak Anterior

3 > 5 > 80 +1, +2 - -

Tabel 1. Skor Bishop.

Terdapat hubungan antara skor Bishop dan kegagalan induksi

persalinan. Skor Bishop yang rendah terkait dengan tingginya tingkat

kegagalan induksi. Ibu dengan skor Bishop > 6 memiliki kemungkinan

yang besar untuk menjalani induksi yang berhasil. Sebaliknya, ibu dengan

skor Bishop < 4 menandakan bahwa serviks belum matang (unfavorable

4

serviks) dan merupakan indikasi untuk dilakukan pematangan serviks pra

induksi.(1,2,3)

Tidak hanya itu, menginduksi kontraksi uterus dengan serviks

yang belum terbuka,memiliki kemungkinan yang besar akan berujung

pada operasi seksio sesaria. Bahkan, jika akhirnya persalinan pervaginam

tercapai, proses persalinan memakan waktu yang lebih lama. Hal ini

merupakan masalah yang serius. Jika induksi dilakukan atas indikasi fetus,

maka pengawasan terhadap janin juga diperpanjang seiring dengan waktu

persalinan yang bertambah lama. Fetus yang terpapar lama dengan

kontraksi uterus dapat menyebabkan menurunkan aliran darah intervilli

dan dapat berakibat hipoksia dan asidosis pada janin. Sehingga sangat

berguna untuk menggunakan agen pematang serviks sebagai persiapan

sebelum induksi pesalinan.(2)

Gambar 1. Perbedaan unfavorable cervix dan favourable cervix.(6)

Idealnya, agen pematang serviks akan bekerja untuk

mematangkan serviks tanpa menginduksi aktivitas uterus, meminimalkan

masa fase aktif persalinan, dan mengurangi stres pada janin. Sayangnya,

5

memisahkan metode pematangan serviks dan induksi persalinan adalah hal

yang sangat sulit. Sebagai contoh, pasien dengan serviks yang belum

matang, menjalani pematangan serviks tanpa menginisiasi kontraksi uterus

dengan menggunakan obat dinoproston (PGE2), hasilnya kontraksi

seringkali terjadi bahkan sebelum serviks tebuka.(2)

Metode pematangan serviks dapat dibagi menjadi dua kategori

yakni mekanik dan farmakologik.(2)

Metode Mekanik Metode Farmakologi

Kateter Transservikal Prostaglandin E2

Batang Laminaria Prostaglandin E1

Hygroscopic Cervical

Dilators

Membrane stripping

Tabel 2. Metode Pematangan Serviks.

2) Metode Farmakologi

a) Prostaglandin E2

Owen dkk (1991) melakukan meta-analisis terhadap 18 penelitian

dengan jumlah sampel 1811 wanita. Mereka menemukakan bahwa

prostaglandin E2 meningkatkan skor Bishop dan jika dikombinasikan

dengan oksitosin, dapat mengurangi jangka waktu dari induksi hingga

persalinan dibandingkan dengan wanita yang hanya mendapat oksitosin.

Namun, penggunaan prostaglandin E2 dinyatakan tidak dapat mengurangi

angka seksio sesaria.(3)

Dinoproston merupakan analog sintetik dari prostaglandin E2.

Sediaannya tersedia dalam 3 bentuk: gel, insersi intravaginal, dan

supositoria 10 mg. Gel dan insersi intravaginal diindikasikan hanya untuk

pematangan serviks sebelum induksi persalinan. Sedangkan supositoria 10

mg untuk terminasi kehamilan dengan usia kehamilan 12-20 minggu dan

6

untuk evakuasi janin yang mati dengan usia kehamilan di bawah 28

minggu.(3)

Preparat prostaglandin hanya boleh dimasukkan jika ibu sudah

berada di ruang bersalin serta pengawasan ketat terhadap aktivitas uterus

dan denyut jantung janin dapat dilakukan. Kontraksi uterus muncul pada 1

jam pertama pemberian prostaglandin E2 dan mencapai puncaknya pada 4

jam setelah pemberian.(3)

Perry dan Leaphart (2004) membandingkan penggunaan gel

intraservikal dan insersi intravaginal dan menemukan bahwa dengan

pemakaian insersi intravaginal, persalinan menjadi lebih cepat 11,7 jam

dibandingkan dengan gel intraservikal 16,2 jam. Chan dkk (2004)

melaporkan bahwa 59% wanita yang mendapatkan lebih dari dua kali

dosis penggunaan insersi intravaginal, harus menjalani operasi seksio

sesaria darurat. Menurut pedoman pemakaian, induksi oksitosin setelah

penggunaan prostaglandin untuk pematangan serviks, dilakukan 6-12 jam

setelah pemberian prostaglandin E2.(3)

Penggunaan PGE2 menyebabkan penipisan serviks secara langsung

dengan melalui tiga mekanisme berikut:(2)

a) Mengubah substansi basal serviks

b) Meningkatkan aktivitas otot polos serviks dan uterus

c) Merangsang kontraksi uterus

Telah dilaporkan bahwa pada 1-5% perempuan yang diberikan

PGE2 per vaginam, mengalami takisistol pada uterus. Ada banyak definisi

perihal takisistol uterus, tetapi definisi yang paling sering digunakan

adalah yang berdasarkan American College of Obstetricians and

Gynecologists, berikut ini:(3)

a) Takisistoluterus adalah kontraksi uterus >6 kali dalam 10 menit.

b) Hipertonus uterus adalah satu kontraksi uterus yang berlangsung

selama lebih dari 2 menit.

c) Hiperstimulasi uterus adalah ketika salah satu dari kondisi di atas

mengakibatkan gangguan terhadap denyut jantung janin.

7

Hiperstimulasi uterus dapat menyebabkan keadaan gawat janin,

jika prostaglandin diberikan pada ibu setelah proses persalinan spontan

telah bermula. Oleh karena itu, penggunaan dengan cara ini tidak

dianjurkan. Jika hiperstimulasi terjadi pada penggunaan insersi

intravaginal, dengan melepaskan alat insersi intravaginal akan

memulihkan kondisi tersebut. Irigasi untuk menghapus preparat gel tidak

cukup membantu.(3)

Kontraindikasi untuk penggunaan prostaglandin ialah asma,

glaukoma, atau peningkatan tekanan intraokular. Selain itu, peringatan

produsen farmasi untuk tidak memakainya pada perempuan dengan

selaput ketuban yang sudah ruptur.(3)

b) Prostaglandin E1

Misoprostol adalah prostaglandin E1 sintetik yang tersedia dalam

bentuk tablet 100 μg, digunakan untuk pencegahan ulkus lambung. Obat

ini telah lama digunakan di luar indikasi yang dianjurkan oleh produsen

obat, yakni untuk pematangan serviks pra induksi dan dapat digunakan

secara oral maupun suposutoria vagina.(3)

Walaupun, penggunaannya di luar indikasi yang dianjurkan, telah

menyebar luas, penggunaan misoprostol untuk pematangan serviks pra

induksi masih kontroversial. Di tahun 2000, perusahaan obat

memperingatkan dokter bahwa misoprostol tidak diakui untuk induksi

persalinan atau aborsi. Meskipun begitu, American College of

Obstetricians and Gynecologists (2000) telah menetapkan rekomendasinya

untuk pemakaian obat ini karena keamanan dan keberhasilannya telah

terbukti untuk pematangan serviks dan induksi persalinan. Ada banyak

sekali publikasi penelitian yang menunjukkan bahwa misoprostol, baik

pemberian melalui vagina maupun oral, adalah efektif untuk tujuan

tersebut.(2,3)

Sebuah meta-analisis awal menyatakan penurunan yang signifikan

pada angka seksio sesaria pada pasien yang diinduksi dengan misoprostol.

8

Meta-analisis selanjutnya menunjukkan bahwa 84% pasien yang

mendapatkan misoprostol, memasuki fase persalinan aktif, dengan hanya

29,4% saja yang membutuhkan augmentasi oksitosin. Sekelompk pasien

dengan jumlah yang lebih besar dan mendapatkan misoprostol, melahirkan

per vaginam dalam waktu 12 jam (37,6% berbanding 23,9%). Demikian

pula, 68,1% pasien yang mendapatkan misoprostol, melahirkan per

vaginam dalam 24 jam. Penggunaan misoprostol untuk pematangan

serviks dan induksi persalinan menghasilkan pengurangan interval waktu

sekitar 5 jam dari pemberian dosis pertama hingga kelahiran anak jika

dibandingkan dengan dinoproston. Pengurangan interval waktu dari

induksi hingga melahirkan terlihat dengan penggunaan misoprostol

dibandingkan dengan penggunaan dinoproston, kateter Foley, atau

placebo. Hal ini menunjukkan bahwa selain menghasilkan aktifitas uterus

yang lebih tinggi, misoprostol juga lebih efisien untuk pematangan serviks

dibandingkan dengan metode lain. Wanita yang mendapatkan misoprostol

dua kali lebih rentan mengalami takisistol dan hiperstimulasi uterus.(2)

Pemberian prostaglandin E1 per vaginam

American College of Obstetricians and Gynecologists (1999)

menyimpulkan dari 19 percobaan acak yang melibatkan 1900 wanita yang

diberikan misoprostol intravaginal dengan dosis yang bervariasi dari 25

hingga 200 μg. Hasilnya, mereka merekomendasikan pemberian dengan

dosis 25 μg – seperempat bagian dari tablet misoprostol 100 μg, dengan

potongan yang sama besar.(3)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penggunaan

misoprostol per vaginam dapat menurunkan angka kebutuhan induksi

oksitosin serta mengurangi jangka waktu interval dari induksi hingga

kelahiran (Sanchez, dkk 1997). Namun, hal ini diikuti dengan risiko

hiperstimulasi uterus yang berdampak pada peningkatan denyut jantung

janin.(3)

9

Ruptur uterus telah dilaporkan terjadi pada pemberian tablet

prostaglandin E1 per vaginam pada wanita dengan riwayat seksio sesaria

sebelumnya (Wing, dkk. 1998). Sama halnya dengan Plaut, dkk (1999)

melaporkan ruptur uterus terjadi pada 5 dari 89 atau 6% wanita yang

pernah menjalani seksio sesaria dan diinduksi dengan misoprostol. Hal ini

dibandingkan dengan hanya 1 kejadian ruptur uterus dari 423 wanita

dengan riwayat seksio sesaria dan tidak mendapatkan misoprostol. Saat

ini, ketetapan yang telah disepakati adalah riwayat operasi uterus termasuk

seksio sesaria merupakan kontraindikasi pemberian misoprostol (American

College of Obstetricians and Gynecologists, 2004).(3)

Pemberian Prostaglandin E1 per oral

Tablet prostaglandin E1 juga efektif jika digunakan secara oral.

Windrim, dkk (1997) melaporkan bahwa pemberian misoprostol per oral

memiliki khasiat yang sama dengan pemberian intravaginal untuk

pematangan serviks. Wing (2000) dan Hall (2002) melaporkan bahwa

pemberian misoprostol 100 μg adalah sama efektifnya dengan dosis

intravaginal 25 μg.(3)

Metode Induksi Persalinan

a) Prostaglandin E1

Pemberian misoprostol melalui vagina dan oral digunakan untuk

pematangan serviks atau digunakan untuk induksi persalinan. Hofmeyr

dkk (2010) mengemukakan mengenai agen induksi persalinan dalam

Cochrane systematic review bahwa resiko kegagalan induksi persalinan

dalam 24 jam pada pemberian misoprostol secara vagina lebih rendah

dibandingkan dengan hanya pemberian oksitosin saja.(3)

Keberhasilan yang sama tampak untuk induksi persalinan pada

pemberian misoprostol 100 μg melalui oral atau 25 μg melalui vagina

dibandingkan dengan pemberian oksitosin secara intravena pada wanita

dengan ketuban pecah dini ataupun yang memiliki favorable cerviks (Lin,

10

2005; Lo, 2003). Efek samping misoprostol adalah takisistol uterus,

terutama pada pemberian dosis yang lebih tinggi. Selain itu, induksi

dengan prostaglandin E1 dapat menurunkan kebutuhan untuk induksi

maupun augmentasi persalinan dengan menggunakan oksitosin.(3)

Untuk augmentasi persalinan, berdasarkan uji acak terkontrol

memperlihatkan pemberian misoprostol 75 μg secara oral (interval 4 jam

dengan pemberian maksimal 2 kali) aman dan efektif (Bleich, 2011).(3)

b) Oksitosin

Pematangan serviks preinduksi dan induksi persalinan merupakan

suatu rangkaian kesatuan. Jadi, pematangan serviks juga akan

menstimulasi persalinan. Jika tidak, bisa dilanjutkan dengan induksi

ataupun augmentasi dengan pemberian oksitosin.(3)

Umumnya pemberian oksitosin dihentikan ketika frekuensi

kontraksi uterus telah menetap lebih dari 5 kali dalam 10 menit atau

dengan pola denyut jantung janin yang ireguler. Penghentian pemberian

oksitosin dapat dengan cepat menurunkan frekuensi kontraksi pada uterus.

Ketika oksitosin dihentikan, konsentrasinya dalam plasma dengan cepat

menurun karena waktu paruhnya yang hanya sekitar 3 sampai 5 menit.

Caldeyro-Barcia dan Poseiro (1960) melaporkan bahwa respon uterus

terhadap oksitosin meningkat pada usia kehamila 20 sampai 30 minggu.(3)

Oksitosin Intravena

Oksitosin sintetik secara umum digunakan dengan pengenceran

1ml oksitosin yang mengandung 10 IU ke dalam 1000ml cairan kristaloid

sehingga konsentrasi cairan infus oksitosin ini menjadi 10 mU/ml. Cairan

ini diberikan dengan menggunakan pompa infus sehingga dosis

administrasinya terkontrol secara tepat dan terus-menerus.(1,3)

Oksitosin dikenal sebagai agen uterotonik yang paling baik

sehingga sangat efektif jika digunakan untuk menginduksi persalinan

11

dengan serviks yang telah matang atau untuk augmentasi persalinan,

sebaliknya kurang efektif jika digunakan sebagai agen pematang serviks.

Telah banyak percobaan kontrol acak yang telah dilakukan untuk

membandingkan oksitosin dengan prostaglandin dan metode pematangan

serviks lainnya. Sebuah penelitian melibatkan 200 ibu dengan serviks yang

belum matang menjalani induksi persalinan, prostaglandin E2vaginal

berbanding dengan drips oksitosin kontinyu. Hasilnya, grup dengan

PGE2memiliki interval waktu dari induksi hingga persalinan aktif yang

lebih pendek, peningkatan skor Bishop yang signifikan, angka kegagalan

induksi lebih rendah, dan angka kelahiran kurang dari 24 jam setelah

induksi yang lebih banyak.(1)

Dosis dan aturan pakai oksitosin sampai saat ini masih menjadi

perdebatan, walaupun tingkat kesuksesan untuk berbagai jenis protokol

hampir sama. Masing-masing protokol memiliki dosis awal, periode

peningkatan titrasi, dan dosis tetap yang berbeda-beda. Dosis maksimum

untuk oksitosin belum ditentukan, namun kebanyakan protokol tidak

melampaui pemberian oksitosin 42 mU/min(1). Secara umum, protokol

pemberian oksitosin terbagi dua menurut dosis pemberiannya, yakni

rejimen dosis rendah dan rejimen dosis tinggi. Berikut adalah variasi dosis

oksitosin yang digunakan untuk induksi persalinan dan direkomendasikan

oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (1999).

RegimenDosis Awal

(mU/min)

Penambahan

(mU/min)

Interval

(menit)

Dosis Rendah 0,5-1,5 1 15-40

2 4, 8, 12, 16, 20, 25,30 15

Dosis Tinggi 4 4 15

4,5 4,5 15-30

6 6a 20-40b

Tabel 3. Perbedaan regimen oksitosin dosis rendah dan dosis tinggi.(3)

Keterangan:

12

a) Jika terjadi hiperstimulasi uterus, drips oksitosin dihentikan dan dimulai lagi

dengan 1/2 dosis terakhir dinaikkan 3 mU/min setiap interval waktu.

b) Hiperstimulasi uterus lebih sering terjadi dengan waktu interval yang lebih

pendek.

Oksitosin Dosis Rendah

Protokol oksitosin dosis rendah meniru pola fisiologi maternal

oksitosin endogen dan menghasilkan angka kejadian hiperstimulasi uterus

yang lebih rendah. Oksitosin dosis rendah dimulai dari 0,5-1,5 mU/min

dan dinaikkan 1 mU/min setiap interval 15-40 menit. Selanjutnya, dosis

yang sedikit lebih tinggi dimulai dengan 2 mU/min dan dinaikkan 4, 8, 12,

16, 20, 25, 30 mU/min setiap interval 15 menit.(1)

Oksitosin Dosis Tinggi

Regimen oksitosin dosis tinggi biasanya digunakan pada protokol

manajemen aktif persalinan. Dosis oksitosin ini lebih sering digunakan

untuk augmentasi persalinan daripada untuk induksi persalinan. Protokol

oksitosin dosis tinggi dimulai dengan dosis inisial oksitosin sebesar 4

mU/min dan dinaikkan 4 mU/min setiap interval waktu 15 menit atau

dengan dosis awal 4,5 mU/min dan dinaikkan 4,5 mU/min setiap interval

waktu 15-30 menit. Selanjutnya, anjuran dosis oksitosin yang tertinggi

dimulai dengan dosis awal 6 mU/mindan dinaikkan 6 mU/min setiap

selang waktu 20-40 menit.(1,3)

c)Amniotomi

Amniotomi adalah pemecahan selaput amnion secara manual.

Amniotomi bertujun untuk menginduksi persalinan, akselerasi persalinan

dengan mempercepat penurunan kepala bayi, mempermudah proses

persalinan pervaginam yang menggunakan alat, serta memberikan akses

untuk menilai cairan ketuban dan mengestimasi kondisi bayi.(1,3,6)

13

Amniotomi dilakukan dengan prasyarat sebagai berikut:

a) Serviks ibu dinilai telah cukup matang (favorable). Amniotomi

yang dilakukan pada multipara hasilnya lebih baik dibandingkan

pada nulipara.(1,6)

b) Presentasi janin adalah bagian vertex dari kepala dan telah masuk

ke dalam pintu panggul (well engaged).(1,6)

c) Pada pemeriksaan dalam vagina, tidak teraba tali pusat atau bagian

kecil lain dari janin. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya

prolapsus tali pusat yang merupakan indikasi darurat untuk

dilakukan pembedahan seksio sesaria.(1).

d) Denyut jantung janin harus dipantau dengan ketat sebelum dan

sesudah prosedur amniotomi. Cairan amnion harus dievaluasi dan

hasilnya dicatat.(1,3)

e) Sebelum melakukan amniotomi, ibu harus diberi informasi tentang

tujuan, risiko dan prosedur tindakan ini. Amniotomi harus

dilakukan dengan persetujuan ibu.(3)

Gambar 13. Amniotomi dengan klem ½ Kochler.(6)

Pemecahan selaput ketuban secara artifisial atau amniotomi

diketahui memiliki hubungan dengan peningkatan metabolit prostaglandin,

yang berperan dalam merangsang kontraksi uterus. Selain itu, pelepasan

14

cairan amnion mengurangi regangan uterus dan memperpendek ikatan

serat otot myometrium, sehingga kekuatan, durasi dan frekuensi kontraksi

uterus meningkat setelah amniotomi. Kedua hal tersebut dapat

memperpendek interval waktu dari induksi hingga kelahiran.(4)

VI. KOMPLIKASI INDUKSI

Terlepas dari metode yang digunakan dalam menginduksi

persalinan, berikut adalah beberapa komplikasi maternal yang dapat

terjadi.

a) Chorioamnionitis

Chorioamnionitis adalah peradangan pada membran fetalis. Pada

wanita yang menjalani induksi persalinan, mengalami peningkatan

insiden chorioamnionitis dibandingkan dengan wanita yang menjalani

persalinan spontan (American College of Obstetricians and

Gynecologists, 1999).(3)

b) Atonia Uteri

Perdarahan dan atoni postpartum lebih sering terjadi pada wanita yang

mengalami induksi atau augmentasi. Atoni utrerus yang tidak

tertangani adalah indikasi ke tiga terbanyak untuk histerektomi.

Indikasi ini lebih dominan pada wanita dengan induksi atau

augmentasi persalinan serta chorioamnionitis. Shellhass, dkk (2001)

melaporkan data dari sekitar 137.000 persalinan di unit maternal,

sekitar 146 histerekromi postpartum daruratdilakukan – sekitar 1 per

1000 persalinan per vaginamberbanding 1 per 200 persalinan seksio

sesaria. Sekitar 41% dari semua histerektomi, dilakukan pasca

persalinan seksio sesaria.(3)

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Gabbe Steven G, Niebyl Jennifer R, Simpson Joe Leigh. Induction and

Augmentation of Labor. In: Obstetrics Normal and Problem Pregnancies.

5th ed. Mosby Elsevier. USA. 2007.

2. James David K, Steer Philip J, Weiner Carl P, Gonik Bernard. Induction of

Labor and Pregnancy Termination for Termination for Fetal Abnormality.

In: High Risk Pregnancy Management Options. 3rd ed. Elsevier Saunders.

USA. 2006. p:2019-35.

3. Cunningham F Gary, Leveno Kenneth J, Bloom Steven L, Hauth John C,

Rouse Dwight J, Spong Catherine Y. Induction and Augmentation of Labor.

In: Williams Obstetrics. 24rd ed. McGraw-Hill. USA. 2014. p:523-32.

4. Hofmeyr G Justus. Induction and Augmentation of Labour. In: Dewhurst’s

Textbook of Obstetrics and Gynaecology. 7th ed. Blackwell Publishing.

USA. 2007. p:205-12.

16

5. Leduc D, Bringer A, et al: Induction of Labour. In: SOGC Clinical Practice

Guideline. Obstetricians and Gynaecolologits of Canada. 2013;35(9)

6. Pitkin Joan, Peattie Alison B, Magowan Brian A. Induction Of Labour And

Prolonged Pergnancy. In: Obstetrics and Gynecology An Illustrated Colour

Text. Churchill Livingstone. USA. 2003p: 48-9.

17