indonesia di tengah pandemi covid- 19 - ppi

12
0 Membangun Ketahanan Pangan Indonesia di tengah Pandemi COVID- 19 Komisi Pangan PPI Dunia, PPI Brief No. 13 / 2020 Penulis: Bayu Rizky Pratama

Upload: others

Post on 02-Feb-2022

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

0

Membangun Ketahanan Pangan

Indonesia di tengah Pandemi COVID-

19 Komisi Pangan PPI Dunia, PPI Brief No. 13 / 2020

Penulis: Bayu Rizky Pratama

1

RINGKASAN EKSEKUTIF

• Pandemi COVID-19, efeknya akan sangat bervariasi terhadap berbagai sektor

perekonomian. Hasil kajian dari beberapa lembaga menyatakan bahwa sektor pertanian

akan terkena dampak dari adanya pandemi COVID-19. Hal ini terjadi karena adanya

pembatasan sosial sehingga terdapat resiko disrupsi rantai penawaran dan terpuruknya

permintaan.

• Sektor pertanian merupakan sektor penopang ketahanan pangan dan kebutuhan nutrisi

yang sangat krusial di saat krisis ekonomi global ketika terjadi pandemi. Namun, krisis

saat pandemi ini juga merupakan kesempatan untuk merevitalisasi sektor pertanian

secara keseluruhan.

• Pemerintah perlu menyiapkan langkah taktis yang fundamental, seperti memberikan

dukungan penuh terhadap industri pertanian dan pangan, memantau dan mengatur

harga serta distribusi hasil pertanian, membangun jaringan dengan lembaga terkait,

internasional agensi (NGO), dan komunitas lokal pertanian.

Pendahuluan

Sejak kemunculannya pertama kali di Wuhan pada tanggal 31 Desember 2019, pandemi

COVID-19 kini sudah menjadi masalah global yang mempengaruhi kehidupan manusia dan

semua komponennya. Dari kejadian pandemi di masa lalu telah menunjukkan bahwa wabah

virus dapat berdampak pada aktivitas manusia dan pertumbuhan ekonomi. Efek dari pandemi

tersebut juga berdampak pada sektor pertanian, dimana ketika terjadi wabah menular seperti

pandemi COVID-19 terjadi peningkatan kelaparan dan kekurangan gizi. Situasi ini semakin

memburuk akibat adanya pembatasan sosial, kekurangan tenaga kerja pada sektor pertanian

dan sulitnya petani menjual hasil mereka ke pasar.

Pertanian adalah salah satu sektor terpenting dalam pembangunan manusia dan terkait dengan

ketahanan pangan dan kebutuhan nutrisi. Organisasi pangan dan pertanian dunia (WHO)

menyatakan bahwa pandemi COVID-19 mempengaruhi sektor pertanian dalam dua aspek

penting, yaitu rantai pasokan dan permintaan pangan. Kedua aspek ini terkait langsung dengan

ketahanan pangan dan kebutuhan nutrisi masyarakat, sehingga pandemi COVID-19 secara

langsung berdampak terhadap ketahanan pangan.

2

Produksi dan Konsumsi di Sektor Pangan

Peran petani pada masa pandemi COVID-19 saat ini sangatlah penting. Petani merupakan

produsen utama dalam rantai pasok makanan yang harus mendapatkan perhatian. Pada masa

pandemi COVID-19 seluruh negara di dunia berusaha memenuhi kebutuhan pangan

domestiknya sendiri karena jalur perdagangan internasional terganggu semenjak wabah

COVID-19 menyebar luas. Produksi dalam negeri dapat menjadi tumpuan utama dalam

menghadapi wabah COVID-19, termasuk Indonesia. Kebutuhan produksi pertanian seperti alat

mesin, suplai benih dan pupuk, serta faktor pendukung produksi lainnya perlu mendapatkan

perhatian khusus dari pemerintah.

Diperlukan perencanaan yang signifikan untuk membuat kebijakan yang mendukung

terjadinya peningkatan produksi pertanian. Perlu kita ingat bahwa mayoritas petani di

Indonesia adalah petani kecil dengan kepemilikan lahan dibawah 1 hektar. Perhatian dan

bantuan dari pemerintah diperlukan untuk meningkatkan kapasitas kinerja produksi para petani

sehingga ketersediaan pangan dapat tercukupi. Selain itu juga diperlukan kebijakan yang

mengatur protokol produksi pertanian yang dapat melindungi petani dari wabah COVID-19

sehingga kualitas dan keamanan pangan terbebas dari COVID-19.

Perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan lembaga terkait

untuk memastikan proses produksi berjalan dengan baik menggunakan protokol produksi yang

menjaga kualitas dan keamanan pangan.

Tingkat Kerawanan Ketahanan Pangan Indonesia

Kebutuhan konsumsi pangan dunia tentu dengan mengalami guncangan setelah adanya

pandemi yang menghantam sangat cepat. Tentu perlu respon cepat dalam menanggapi

perubahan drastis akibat pandemi COVID-19 ini, terlebih dengan adanya resiko kerawanan

pangan dunia, termasuk yang juga berimbas ke Indonesia.

Dengan adanya pandemi, struktur distribusi pangan secara otomatis akan banyak mengalami

perubahan, dengan kebutuhan konsumsi yang diprediksi akan tetap sama. Penyaluran produksi

pangan tidak akan berjalan dengan normal, terlebih dengan banyaknya pembatasan sosial

berskala besar (PSBB) yang dilakukan dari beberapa daerah di Indonesia. Pemerintah, baik

pusat maupun daerah perlu memperhatikan dampak dari adanya banyak pembatasan sosial

(PSBB) seperti ini, karena secara langsung akan berdampak pada tingkat distribusi arus produk

3

pertanian, sedangkan dalam jangka waktu menengah dan panjang, akan menimbulkan krisis

pangan apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat.

Salah satu komoditas pangan utama yang mengalami dampak hebat di awal pandemi adalah

daging ayam dengan adanya penurunan harga yang sangat jauh di bawah harga pokok produksi

(HPP) ternak ayam. Sejak awal pandemi, April 2020, peternak ayam mulai mengalami tingkat

kejatuhan harga ayam hingga level 4000-5000 rupiah/ kg daging ayam, padahal HPP produksi

adalah sekitar 17.000 rupiah (cnnindonesia.com, 2020). Padahal harga di tingkat konsumen

masih pada kisaran 30.000 rupiah. Kg (kompas.com, 2020). Hal ini bisa terjadi akibat dari tidak

lancarnya jalur distribusi produk pertanian Indonesia, yang menuntut masyarakat untuk tidak

dapat mengakses sentra-sentra penjualan produk pertanian, seperti pasar, mall, dan tempat

perbelanjaan produk pertanian. Oleh karena itu, secara otomatis pengusaha pasar akan

mengurangi stok ayam secara drastis, sedangkan di sisi lain, produksi peternak ayam nasional

dalam jumlah yang tetap, sehingga menimbulkan cut-off supply besar-besaran dari peternak

ayam.

Hal ini tentu akan menimbulkan guncangan bahan pangan utama masyarakat dalam jangka

pendek, yang diakibatkan karena arus modal peternak yang tidak akan cukup untuk memulai

kembali putaran budidaya selanjutnya. Finance detik (2020) mencatat apabila kondisi ini terus

berlanjut, maka akan terdapat 12 juta karyawan peternak akan mengalami PHK secara besar-

besaran akibat dari bangkrutnya peternak ayam rakyat di Indonesia.

Dari satu komoditas pangan utama ayam ini, seharusnya pemerintah dapat mengantisipasi lebih

jauh mengenai cara penyaluran bahan pangan nasional, di sisi lain pemerintah juga harus

waspada jumlah stok pangan utama konsumsi masyarakat, terutama berkaitan dengan

komoditas utama lainnya yang jauh lebih dibutuhkan sebagai bahan pokok konsumsi

Indonesia.

Beberapa komoditas lainnya yang juga dikhawatirkan mengalami kerawanan adalah komoditas

beras nasional. Kekhawatiran ini timbul karena komoditas beras nasional Indonesia memiliki

kebutuhan pasar yang begitu besar, sedangkan dari sisi produksi Indonesia masih memiliki

kecenderungan import beras. Berbeda dengan komoditas ayam yang memiliki kecenderungan

produksi stabil, dengan dukungan peternak rakyat dan peternak perusahaan besar hasil dari

foreign direct invesment (FDI), sehigga tingkat produksi masih bisa memenuhi kebutuhan

konsumsi domestik.

4

Data BPS menyebutkan bahwa sebelum memasuki pandemi COVID-19, Indonesia sudah

mengalami penurunan produksi padi nasional, dari 2018 ke 2019, produksi padi telah

mengalami penurunan cukup signifikan. Berikut disajikan data nasional produksi padi

nasional.

Gambar 1 Produksi beras nasional

Sumber: BPS (2020)

Gambar 1 (Continued)

Sumber: BPS (2020)

5

Berdasarkan data tersebut, penurunan lebih disebabkan karena adanya (1) degradasi lahan

produksi pertanian dan (2) berkurangnya produktivitas per produksi padi nasional. Hal tersebut

memberikan alarm bagi pemerintah bahkan sebelum terjadinya pandemi COVID-19, terlebih

dari data tersebut, beberepa daerah produsen utama padi nasional yakni (1) Jawa Tengah

dengan total produksi 9, 655 juta ton padi, (2) Jawa Timur dengan 9,580 juta ton, (3) Jawa

Barat dengan produksi 9,084 juta ton, dan (4) Sulawesi Selatan dengan total produksi padi

mencapai 5,054 juta ton. Daerah-daerah sentra produksi padi nasional ini merupakan daerah

yang termasuk tingkat penyebaran COVID-19 tertinggi di Indonesia, yang mana banyak sekali

diberlakukan PSBB secara berulang, belum lagi resiko petani-petani pangan utama di daerah

tersebut yang terserang COVID-19 akibat dari interkasi intens petani dengan multi aktor

pertanian seperti, supplier pupuk, tengkulak, dan penyedia saprotan pertanian. Terlebih lagi

adanya fakta bahwa kebanyakan petani Indonesia adalah petani yang sudah memasuki usia

non-produktif / tua, yang tentu sangat rawan sekali untuk terjangkit COVID-19.

Waspada Kemacetan Saluran Distribusi Produksi dan Input Factor

Pertanian

Dengn adanya data yang telah disebutkan, menjadikan pertanian Indonesia di ambang alarm

kerawanan yang perlu benar-benar diawasi secara intensif oleh pemerintah, baik pusat maupun

daerah. Saluran distribusi mulai dari input pertanian hingga output hasil produksi menjadi

faktor yang perlu difasilitasi oleh pemerintah. Satu saja input yang tersendat akibat dari PSBB

atau pembatasan lainnya, akan menimbulkan guncangan produksi secara masif.

Sebagai catatan, petani saat ini sangat bergantung kepada input pertanian seperti pupuk dan

pestisida dalam menjalankan produksi pertanian. Sehingga, apabila input pertanian ini tidak

dapat tersedia dengan baik, mulai dari kuantitas ataupun kecepatan penyaluran, otomatis akan

sangat menghambat produksi pertanian, terutama tanaman pangan utama termasuk padi.

Saat ini, dalam mencukupi kebutuhan pupuk nasional, pertanian Indonesia bergantung pada

produksi pupuk dari PT Pupuk Indonesia yang merupakan holding company dari produsen

pupuk nasional. Selain itu, ketersediaan pupuk nasional juga di supply dari skema impor,

berikut data impor pupuk Indonesia selama beberapa tahun (BPS, 2020).

6

Gambar 2 Impor pupuk menurut negara asal

Sumber: BPS (2020)

Berdasarkan data tersebut, supplier pupuk nasional masih bergantung kepada China sebagai

importir terbesar pupuk yang masuk ke dalam negeri. Hal ini patut menjadi kewaspadaan

pemerintah, bagaiamana skema pemenuhan kebutuhan pupuk nasional, terlebih dengan adanya

pembatasan arus barang masuk ke dalam negeri terutama yang berasal dari China. Di sisi lain,

China pun telah memberlakukan skema lockdown ketat guna mengurangi kasus COVID-19

yang terjadi, yang tentunya memiliki konsekuensi adanya shift work atau bahkan factory

lockdown, sehingga total produksi pupuk tentu akan sangat berpengaruh.

Politik Perdagangan Komoditas Jadi Ancaman Krisis Pangan Indonesia

Adanya kasus COVID-19 yang menjangkit hampir seluruh negara di dunia mengakibatkan

banyak negara telah melakukan lockdown sangat ketat sebagai proteksi kesehatan dalam negeri

masing-masing negara. Dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri masing-masing

negara, tentu otomatis akan membangkitkan alarm masing-masing negara untuk

memprioritaskan kebutuhan domestik, mulai dari proteksi kesehatan, keamanan pangan,

hingga safety net sosial dan ekonomi.

Dengan kondisi seperti ini, maka akan berimbas pada perubahan drastis politik dagang masing-

masing negara. Keyakinan untuk mengamankan kebutuhan domestik akan membuat negara

7

tidak lagi memprioritaskan pemulihan hasil ekspor, melainkan bagaimana melindungi stock

dan kebutuhan dasar masing-masing negara, termasuk diantaranya adalah keamanan pangan.

Oleh karena itu, hal inilah yang dikhawatirkan oleh sejumlah negara di dunia, terutama negara

yang bergantung pada import komoditas pangan.

Untuk kawasan dunia, Rusia, Kazakhstan, dan Ukraina telah mengumumkan pembatasan

ekspor gandum (indopremier.com), padahal negara-negara ini adalah sebagai pengekspor

utama gandum untuk kawasan eropa. Sedangkan untuk wilayan Asia, kekhawatiran timbul

dengan adanya penangguhan kebijakan ekspor dari Vietnam selaku salah satu penyuplai beras

terbesar dunia, utamanya untuk kawasan Asia, dengan alasan untuk melindungi pasokan dalam

negeri di tengah kekeringan yang mengancam produksi domestik. Sementara produsen beras

terbesar dunia, yakni China dan India, sedang mengalami masalah besar kasus COVID-19 yang

merebak sangat massive sehingga otomatis akan sangat mempengaruhi jumlah produksi beras.

Terlebih China dengan kebutuhan konsumsi untuk 1.4 milyar warga negaranya, maka China

telah merilis komitmen untuk tidak akan banyak melakukan impor ataupun ekspor, tetapi ingin

memastikan akan dapat menjaga cadangan berasnya, hingga dapat kembali memulihkan

kondisi ekonomi domestiknya setelah ganguan COVID-19.

Disisi lain, ada hal yang perlu diwaspadai dari perubahan politik dagang komoditas pangan ini.

Dengan adanya kenaikan permintaan kebutuhan pangan dunia, tentu akan membentuk harga

pangan dunia menjadi naik. Apabila tidak dikontrol dengan waspada maka hal ini akan kembali

menjadikan harga pangan – dalam hal ini beras—akan menjadi sangat tidak stabil sama seperti

krisis 2008 ketika harga per ton beras mencapai USD1000/ton. Untuk saat ini, harga beras

mencapai USD510 per ton yang diukur dari harga jual beras putih Thailand sebagai patokan

ekspor Asia. Harga ini merupakan harga tertinggi sejak 2013, yang mencerminkan bahwa

pangan mulai menjadi urgensi masing-masing negara, sehingga meningkatkan harga secara

perlahan akibat dari peningkatan demand yang mulai mendesak. Hal itu belum lagi berbicara

mengenai politik dagang khusus yang bisa saja dilakukan negara-negara peng-import utama

pangan, beras, seperti Philipina telah mengalokasikan lebih dari USD600 juta untuk

mengamankan kebutuhan domestiknya dengan membeli 300.000 ton beras dari negara-negara

produsen utama.

FAO menyebut bahwa negara-negara akan menjual kelimpahan stok berasnya dengan sangat

berhati-hati. Semua negara hanya ingin memastikan bahwa mereka memiliki cukup persediaan

pangan untuk diri mereka sendiri, demi keamanan pangan domestik (indopremier.com, 2020).

8

Dengan berbagai hal tersebut, politik dagang Indonesia harus segera merespon dengan cepat,

apakah ketersediaan dalam negeri akan mampu memenuhi kebutuhan nasional, tidak hanya

dalam jangka pendek 3-6 bulan, melainkan stok kecukupan beras untuk kurun waktu jangka

menengah 1-2 tahun. Hal ini perlu dilakukan, mengingat kasus COVID-19 yang terjadi di

Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda perlambatan dan bahkan masih stabil di angka

ratusan per harinya. Sehingga masih akan menghambat produksi dan distribusi komoditas-

komoditas penting nasional.

Stok Beras Nasional, Kerawanan Musim Kering Panjang, dan Panic

Buying

Keterjaminan stok beras nasional menjadi urgensi utama dalam isu kerawanan pangan dunia.

Oleh sebab itu, pemerintah melakukan berbagai langkah pencegahan agar dapat mengantisipasi

kekurangan pangan domestik. Saat ini, stok beras nasional dikatakan aman, dengan jumlah

cadangan beras pemerintah (CBP) berada dikisaran 1-1.5 juta ton (indonesia.go.id, 2020).

Dısisi lain, BULOG juga mengklaim bahwa mereka telah memiliki cadangan beras sebesar 1.6

juta ton, yang menjamin kemaman beras nasional selama masa penanganan COVID-19

(pasardana.id, 2020).

Namun, yang jadi persoalan adalah memasuki musim kering, tentu akan banyak kendala yang

dapat menghambat produksi beras nasional, sedangkan disisi lain permintaan beras akan

semakin meningkat, belum lagi apabila terjadi panic buying akibat adanya Gelombang II

COVID-19 dengan kasus meninggal yang melonjak drastis. Tentu hal ini sangat tidak

diharapkan, namun, merujuk dari banyak kasus di negara dunia, seperti China dan kawasan

lainnya, maka gelombang II COVID-19 ini harus benar-benar menjadi perhatian serius bagi

pemerintah Indonesia, terlebih dengan lamanya penanganan COVID-19 saat ini.

Panic buying disini tidak bisa dikesampingkan dan hanya menjadi variable minor, karena

justru inilah yang menjadi tanda bahwa keamanan socio-economy dalam keadaan stabil atau

tidak. Kejadian rush money 1998, dan pembelian masker secara massive pada awal terjadinya

pandemi COVID-19 ini menjadi salah satu contohnya, bagaimana panic buying menjadikan

stok langka dan harga meningkat secara luar biasa. Maka dari itu, antisipasi awal dari

pemerintah mengenai penyediaan stok beras nasional sebagai bagian dari keterjaminan

keamanan pangan menjadi prioritas untuk mengantisipasi terjadinya panic buying jilid II yang

tentunya akan benar-benar mengancam ketahanan pangan nasional dengan ketersediaan dan

penyaluran yang tidak dapat dijamin.

9

Pemerintah juga harus benar-benar mengantisipasi ancaman musim kemarau panjang yang

akan mulai berlangsung setelah bulan Juli 2020. Berdasarkan prediksi dari BMKG, 30%

wilayah-wilayah yang masuk zona musim ke depan akan mengalami kemarau yang lebih

kering dari biasanya. Oleh sebab itu, antisipasi, mitigasi harus betul-betul disiapkan sehingga

ketersediaan dan stabilitas harga bahan pangan tidak terganggu (finance.detik.com, 2020). The

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebutkan bahwa

kekeringan akan sangat mengancam musim panen kedua di tahun 2020 ini. Apabila kekeringan

mulai terjadi, maka defisit beras nasional tidak hanya akan terjadi pada Oktober, November,

dan Desember, bahkan akan terjadi pula mulai Agustus, September yang menyebabkan

produksi bisa minus (finance.detik.com, 2020). INDEF menanmbahkan bahwa negara-negara

pengekspor beras dunia, seperti Vietnam, Thailand, dan India telah mendeklarasikan bahwa

mereka tidak akan mengekspor berasnya selama musim pandemi ini. Lebih jauh, apabila

produksi nasional hanya 1.6 juta ton, dengan konsumsi nasional mencapai 2.5 juta ton, maka

ada gap yang besar sekitar 700 ribu ton per bulan.

Dari fakta tersebut, produksi beras nasional benar-benar harus menjadi isu penting, menginat

Indonesia saat ini tidak dapat menggantungkan diri pada skema impor beras internasional.

Sehingga, mau tidak mau, pemerintah harus menyiapkan skenario penting dalam menjaga

keterjaminan stok pangan nasional, terutama selama masa pandemi di Indonesia yang masih

akan terus berlangsung, sebelum ditemukannya vaksin khusus COVID-19.

Solusi Jangka Pendek Keamanan Pangan Nasional: Keterjaminan Input

dan Mitigasi Musim Kemarau

Musim kering adalah kendala utama pangan nasional, mengingat produksi akan benar-benar

terbatas, terutama memasuki bulan Agustus dimana musim tanah sudah akan beralih ke

komoditas selain beras yang biasanya ditanam pada musim tanam I selama Januari hingga Mei,

musim hujan. Dengan ketidakpastian sampai berapa lama masa pandemi COVID-19 ini akan

berakhir, ditambah dengan respon negara-negara produsen beras dunia yang menutup keran

ekspor mereka, maka Indonesia harus melakukan pembenahan internal guna menjamin

ketahanan pangan nasional.

FAO menyebut bahwa keamanan pangan adalah tanggung jawab semua orang, sehingga

diperlukan partisipasi semua pihak untuk melakukan koordinasi lebih baik, mulai dari pihak

industri, petani, pelaku rantai pasok pangan, serta lembaga swadaya masyarakat dalam

menjamin ketersediaan dan penyaluran makanan (antaranews.com, 2020).

10

Ketahanan pangan sangat bergantung pada seberapa besar kapasitas petani untuk dapat

memproduksi tanaman pangan, utamanya beras sebagai pangan utama masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, fokus utama pemerintah juga harus menitikberatkan pada pemulihan ekonomi

petani, selain dari UMKM, yang terdampak COVID-19. Oleh karena itu, perlu adanya jaminan

bahwa petani akan mendapatkan input factor pertanian yang memadahi, dari segi kuantitas dan

kualitas, serta harga yang telah tersubsidi dengan cepat. Mulai dari benih, pupuk, pestisida,

hingga alutsista pertanian perlu di-support oleh pemerintah. Sehingga, kecepatan waktu tanam,

serta proses pemanenan akan dapat dikontrol dengan baik dan sistematis.

Selain itu, sarana seperti penyediaan waduk dan juga sumur-sumur disekitar wilayah tanam,

akan sangat membantu petani untuk dapat terus menanam padi, mengingat padi membutuhkan

air dengan intensitas banyak, sehingga hanya cocok dilakukan pada musim hujan. Namun,

dengan adanya sumber air yang bisa dimanipulasi dengan pembangunan waduk dan sumur-

sumur serapan air, maka proses penanaman padi dapat terus dilakukan dalam jangka pendek

selama musim pandemi COVID-19, dengan sokongan pupuk nitrogen yang diberikan kepada

petani.

DAFTAR PUSTAKA

Harga Ayam Jatuh, Berdikari Usul Ayam Potong Masuk Bansos. In cnnindonesia (online).

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200421101928-92-495543/harga-ayam-

jatuh-berdikari-usul-ayam-potong-masuk-bansos. April, 2020.

Wabah Corona dan Ancaman Kebangkrutan Peternak Ayam di Indonesia. In kompas.com

(online). https://regional.kompas.com/read/2020/04/17/12320021/wabah-corona-dan-

ancaman-kebangkrutan-peternak-ayam-di-indonesia. April 17, 2020.

12 Juta Pegawai Peternakan Ayam Terancam PHK. In detik.com (online).

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4967082/12-juta-pegawai-

peternakan-ayam-terancam-phk. April 6, 2020.

BULOG Pastikan Stok Beras Aman Selama Penanganan COVID-19. In pasardana.id (online).

https://pasardana.id/news/2020/3/17/bulog-pastikan-stok-beras-aman-selama-

penanganan-COVID-19/. Maret 17, 2020.

11

Kekhawatiran Keamanan Pangan Mulai Mengancam Ekspor Beras di Asia. In

indopremier.com (online).

https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=Kekhawatiran_Keamana

n_Pangan_Mulai_Mengancam_Ekspor_Beras_di_Asia&news_id=117709&group_ne

ws=IPOTNEWS&taging_subtype=PG002&name=&search=y_general&q=,&halaman

=1. April 1, 2020.

Begini Dampak Musim Kemarau di Tengah Corona. In Detik.com (online).

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5006638/begini-dampak-musim-

kemarau-di-tengah-corona. Mei 8, 2020.

FAO serukan penjaminan keamanan pangan di tengah wabah COVID-19. In antaranews.com

(online). https://www.antaranews.com/berita/1539408/fao-serukan-penjaminan-

keamanan-pangan-di-tengah-wabah-COVID-19. Juni 7, 2020.

Tentang Penulis

Bayu Rizky Pratama merupakan Lulusan Program Magister

Agricultural and Resource Economics di Kasetsart University,

Thailand dan aktif sebagai Divisi Kajian Komisi Pangan PPI

Dunia 2019/2020.