inderaja 6

44
Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013 ISSN 2087-8141 CITRA SATELIT LANDSAT-8, KOTA MAKASAR PEREKAMAN TANGGAL 27 APRIL 2013 PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH Analisis Kondisi Kebakaran Hutan/Lahan di Sumatera dan Kalimantan Tahun 2012 Analisis Kejadian Banjir di DAS Bengawan Solo Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis Potensi Aliran Erupsi Gunung Api dan Banjir Lahar Dingin Kerjasama Airborne SAR PiSAR - L2: Potensi Pemanfaatan Data SAR untuk Pemantauan Wilayah Indonesia TEKNOLOGI DATA PENGINDERAAN JAUH Kajian Spesifikasi Sensor Satelit untuk Pemantauan Sumber Daya Pesisir dan Laut Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Satelit Suomi National Polar- orbiting Partnership (S-NPP) dari Rawdata ke Raw Data Record (RDR) Pemanfaatan Layanan Peta (Mapservice) ddlam Konsep Pemetaan Online, Studi Kasus Pengembangan Sistem Informasi Fasilitas Kesehatan di Kota Depok Kajian Data Satelit Generasi Baru Satelit LDCM (Landsat Data Continuity Mission)

Upload: ashry09

Post on 12-Dec-2015

148 views

Category:

Documents


29 download

DESCRIPTION

Inderaja

TRANSCRIPT

Page 1: Inderaja 6

Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013 ISSN 2087-8141

CITRA SATELIT LANDSAT-8, KOTA MAKASAR PEREKAMAN TANGGAL 27 APRIL 2013

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH Analisis Kondisi Kebakaran Hutan/Lahan di Sumatera dan

Kalimantan Tahun 2012 Analisis Kejadian Banjir di DAS Bengawan Solo Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis

Potensi Aliran Erupsi Gunung Api dan Banjir Lahar Dingin Kerjasama Airborne SAR PiSAR - L2: Potensi

Pemanfaatan Data SAR untuk Pemantauan Wilayah Indonesia

TEKNOLOGI DATA PENGINDERAAN JAUH

Kajian Spesifikasi Sensor Satelit untuk Pemantauan SumberDaya Pesisir dan Laut

Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Satelit Suomi National Polar-orbiting Partnership (S-NPP) dari Rawdata ke Raw Data Record (RDR)

Pemanfaatan Layanan Peta (Mapservice) ddlam Konsep Pemetaan Online, Studi Kasus Pengembangan Sistem Informasi Fasilitas Kesehatan di Kota Depok

Kajian Data Satelit Generasi Baru Satelit LDCM (Landsat Data Continuity Mission)

Page 2: Inderaja 6
Page 3: Inderaja 6

Sidang Pembaca Yang Terhormat,

Penerbitan Majalah Inderaja LAPAN Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013 memasuki nomor edisi ke enam. Majalah ini merupakan media distribusi informasi perkembangan hasil-hasil penelitian dan

pengembangan teknologi penginderaan jauh dan pemanfaatannya. Materi tulisan yang disajikan pada edisi ini adalah hasil kegiatan penelitian dan operasional di Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Jakarta, diantaranya menggunakan data satelit Landsat-7 ETM+, LDCM, SPOT-4, SPOT-5, SPOT-6, NOAA, MODIS, S-NPP, TRMM, SRTM, World View-2 dan PiSAR-L2. Diharapkan materi/tulisan yang disampaikan dapat bermanfaat bagi pembaca.

Teknologi Penginderaan Jauh : Kajian Spesifi kasi Sensor Satelit untuk Pemantauan Sumber Daya

Pesisir dan Laut. Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Satelit Suomi National

Polar-orbiting Partnership (S-NPP) dari Rawdata ke Raw Data Record (RDR).

Pemanfaatan Layanan Peta (Mapservice) dalam Konsep Pemetaan Online. Studi Kasus: Pengembangan Sistem Informasi Fasilitas Kesehatan di Kota Depok.

Kajian Data Satelit Generasi Baru, Satelit LDCM (Landsat Data Continuity Mission)

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh : Analisis Kondisi Kebakaran Hutan/Lahan di Sumatera dan Kalimantan

Tahun 2012 Analisis Kejadian Banjir di DAS Bengawan Solo Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis Potensi Aliran

Erupsi Gunung Api dan Banjir Lahar Dingin Kerjasama Airborne SAR PiSAR-L2: Potensi Pemanfaatan Data SAR

untuk Pemantauan Wilayah Indonesia.

Kami berusaha menyajikan informasi Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh dan Teknologi Penginderaan Jauh yang up to date. Informasi disampaikan melalui makalah/tulisan, artikel dan pemuatan poster Peta Citra Satelit Penginderaan Jauh meliputi wilayah di seluruh Indonesia. Pada kesempatan ini, redaksi menyampaikan permohonan maaf, karena belum dapat memenuhi semua permintaan pembaca yang disampaikan melalui pengembalian Formulir Tanggapan Surat Pembaca. Diharapkan pada edisi mendatang, secara bertahap kami dapat memenuhi permintaan pembaca. Terima kasih atas perhatiannya, selamat membaca.

Hormat Kami,Tim Redaksi

Diterbitkan oleh: Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan JauhPusat Teknologi dan Data Penginderaan JauhLembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Pengarah: Kepala LAPANDeputi Bidang Penginderaan Jauh

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

Editor : Dr. Katmoko Ari, M.Eng.Syarif Budhiman, S.Pi., M.Sc.

Staf Redaksi:Ir. Rubini Jusuf, M.Si.Drs. NgadinoBambang Haryanto, S.E.Andie Setiyoko, S.T., M.Tech.Rita Silviana, S.T.Dra. Endang Purwanti

Staf Sekretariat:Widodo BasukiLies HendariniAminahDwi Nurcahyo

Alamat Redaksi:Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN Jl. LAPAN No. 70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710Telp.: (021) 8717715, 8710786, 8721870. Fax.: (021) 8717715Email: [email protected]

Majalah Inderaja adalah majalah populer yang diterbitkan 2 kali setahun untuk mempublikasikan perkembangan hasil-hasil penelitian dan pengembangan teknologi penginderaan jauh dan pemanfaatannya, khususnya bagi pengguna data penginderaan jauh di Indonesia. Sifat populer yang dimaksud adalah penjelasan istilah teknik secara populer dengan bahasa sederhana, tidak menggunakan rumus-rumus matematik yang terlalu komplek/rumit, sumber rujukan ditulis seperti lazimnya majalah populer tanpa daftar rujukan. Redaksi menerima naskah hasil penelitian, pengembangan dan pengulasan bidang penginderaan jauh dari penulis yang orsinil, memiliki validasi ilmiah dan kejelasan pemaparan serta belum pernah dipublikasikan.

1INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Dari Meja Redaksi

Page 4: Inderaja 6

Daerah kami punya potensi padi sawah kurang lebih 29.000 Ha dan termanfaatkan ± 24.000 Ha . Mungkin menjadi bahan penelitian, dan kami akan siap bekerjasama.Tks

Ir. H. Firdaus Khatab, MMKepala Bappeda Kabupaten Tanjung jabung Barat Provinsi Jambi

Jl. Jend. Sudirman Kuala Tungkal 36513, Provinsi Jambi

Terima kasih kami sampaikan atas keinginan Bapak untuk menjalin kerjasama dengan LAPAN dan kesediaannya untuk menjadikan wilayah Bapak sebagai obyek penelitian. Bersama ini kami sampaikan, bahwa untuk mewujudkan maksud dan keinginan Bapak, kami persilahkan untuk mengirim surat permohonan kepada Kepala LAPAN, c.q. Kepala Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat d.a. Jl. Pemuda Persil No. 1, Rawamangun, Jakarta 13220, Telp. 021-4892802

Terima kasih atas kiriman majalahnya, ini sangat bermanfaat dalam pengembangan wawasan dan informasi. Selanjutnya harapan kami dapat mengikuti pelatihan – pelatihan yang terkait dengan penginderaan jarak jauh

Said Hendri, STKabid Perencanaan Fisik dan Prasarana

Jl. Istana Robat No. 22 Daik Lingga Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri

Majalah Inderaja terbit dua kali setahun, dan didistribusikan kepada masyarakat, khususnya para pengguna data/jasa dalam bidang penginderaan jauh. Terkait dengan pelatihan – pelatihan yang Bapak maksud, kami sarankan Bapak mengirim surat permohonan kepada Kepala Pusat Pemanfaatan Teknologi Dirgantara LAPAN d.a. Jl. Pemuda Persil No.1 Rawamangun, Jakarta 13220 Telp. (021)4892802, 4895040 Fax. (021)47882163 email [email protected] atau [email protected]

Majalah inderaja sangat menunjang pekerjaan kami terutama dalam pemetaan dan penanggulangan kebakaran di taman Libangan

Tatang Suwardi, S.HutPEH (Pengendali Ekosistem Hutan)

Balai Taman Nasional Sebangau Kementrian KehutananJl. Mahir Mahar Km 1,2 Palangkaraya PO BOX 65

Syukur alhamdulillaah pak Tatang yang telah memanfaatkan Majalah Inderaja untuk menunjang pekerjaan Bapak dalam pemetaan dan penanggulangan kebakaran di taman Libangan. Semoga majalah kami akan lebih bermanfaat lagi untuk waktu-waktu mendatang.

Sebaiknya majalah ini diterbitkan paling tidak 4 kali dalam satu tahun dan semuanya bisa dibagikan kesetiap BPBD di Indonesia termasuk BPBD di Kalimantan Tengah. Sebaiknya menggunakan bahasa yang lebih sederhana supaya pengertiannya lebih cepat. Sebaiknya dilakukan pendidikan lebih lanjut agar lebih menguasai.

KiwokBPBD Provinsi Kalimantan Tengah

Jl. Tjilik Riwut Km.7,8 Palangkaraya Kalimantan Tengah

Terima kasih atas saran dan masukannya, kami akan terus melakukan evaluasi menyangkut frekuensi terbit dalam satu tahunnya maupun substansi dan redaksionalnya sehingga mudah dipahami oleh para pembaca.

2 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Kepada Yth. Pembaca Majalah Inderaja Bersama ini kami kirimkan Majalah Inderaja Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013 sebanyak 1 (satu) eksemplar untuk dapat dimanfaatkan. Selanjutnya mohon diisi Formulir Surat Pembaca di bawah ini, dan dikirimkan kembali ke alamat Redaksi Majalah Inderaja seperti di atas, sebagai tanda terima serta untuk data alamat pengiriman selanjutnya. Terima kasih

Redaksi Majalah Inderaja

1 Nama Lengkap & Titel

2 Jabatan

3 Instansi/Departemen 4 Alamat Kantor/ Kota/ Kode Pos

5 Format Majalah Inderaja

6 Isi Majalah Inderaja

7 Manfaat Majalah Inderaja 7.a Apakah perlu dikirim Majalah Inderaja Ya Tidak 7.b Apakah menunjang kinerja Saudara Ya Tidak Coret sesuai permintaan

Berikan komentar Manfaatnya

……..……………………………….2013

Penerima

(………………………………………..)

Form Surat Pembaca

Redaksi Majalah Inderajad.a. Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

Lembaga Penerbangan dan Antariksa NasionalJl. LAPAN No. 70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur13710

Telp. (021 8710786, Fax. (021) 8717715 Email: [email protected]

Page 5: Inderaja 6

Kajian Spesifi kasi Sensor Satelit untuk Pemantauan Sumber Daya Pesisir dan Laut

H a l a m a n

41234410

15

2129293846

54

5959606163

6567

6869707172727374757677787980818283

Meja RedaksiSurat PembacaDaftar IsiTeknologi Penginderaan JauhKajian Spesifi kasi Sensor Satelit untuk Pemantauan Sumber Daya Pesisir dan LautRancang Bangun Sistem Pengolahan Data Satelit Suomi National Polar-orbiting Partnership (S-NPP) dari Rawdata ke Raw Data Record (RDR)Pemanfaatan Layanan Peta (mapservice) Dalam Konsep Pemetaan Online. Studi Kasus: Pengembangan Sistem Informasi Fasilitas Kesehatan di Kota DepokKajian Data Satelit Generasi Baru, Satelit LDCM (Landsat Data Continuity Mission)Pemanfaatan Data Penginderaan JauhAnalisis Kondisi Kebakaran Hutan/Lahan di Sumatera dan Kalimantan Tahun 2012Analisis Kejadian Banjir di DAS Bengawan SoloPemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis Potensi Aliran Erupsi Gunung Api dan Banjir Lahar DinginKerjasama Airborne SAR PiSAR-L2: Potensi Pemanfaatan Data SAR untuk Pemantauan Wilayah IndonesiaBerita RinganLAPAN Ikut Serta dalam Pameran Alpalhan di Mabes TNI CilangkapSosialisasi Hasil Penelitian, Kerjasama LAPAN dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang Penandatangan Pakta Integritas di Lingkungan Kedeputian Bidang Penginderaan JauhSeminar Nasional Kedirgantaraan dan Sosialisasi RUU Keantariksaan dalam Rangka HUT LAPAN ke-49 Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Kunjungi LAPAN PekayonSosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil di Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN, PekayonPustekdata Menerima Kunjungan Mahasiswa Institut Bisnis Nusantara (IBN) Jakarta.Kunjungan SMP Negeri 179 Jakarta ke Pusat Teknologi dan Data LAPANDiklat Aplikasi Browse Catalog Bank Data Penginderaan Jauh NasionalPelepasan Purna Bakti PNS di Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh Tahun 2012PosterPerbatasan Indonesia-Malaysia, Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan BaratKabupaten Kampar dan sekitarnya, Propinsi RiauKota RajaampatKota SamarindaKota BanjarmasinKota CirebonKota ParepareKota MakassarPantai PangandaranPengurangan dan Penambahan Penutup Hutan (Kalimantan, 2000-2009)PengumumanForm Surat PembacaCoverDepan : Citra Satelit Landsat-8, Kota Makasar Propinsi Sulawesi SelatanDepan Dalam : INCAS-Penambahan dan Penutup Hutan (Sumatera 2000-2009) Belakang Dalam : Citra Satelit SPOT-6 Kota Banda AcehBelakang : Citra Satelit SPOT-6 Kilang Minyak Balongan Indramayu

3INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Daftar Isi

REDAKSIONAL MAJALAH INDERAJA

Majalah Inderaja adalah majalah populer milik LAPAN yang berfungsi sebagai mediadistribusi informasi perkembangan hasil-hasil litbang teknologi dan pemanfaatanpenginderaan jauh bagi masyarakat pengguna Indonesia. Naskah yang bisa dimuatharus terbukti orsinil, belum pernah dipublikasi dan sudah memiliki validitas ilmiah.Naskah dikirim ke Sekretariat Majalah Inderaja d.a. Pusat Teknologi dan DataPenginderaan Jauh LAPAN, Jl. LAPAN No. 70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur,Email: [email protected]

Sistematika Penulisan :Naskah terdiri dari halaman judul dan isi makalah yang terdiri dari bab pendahuluan,bab inti dan bab penutup.Naskah diketik dengan MS Word, jenis huruf Arial, font 11 pt pada kerta A4 dengan1½ spasi dan maksimal 15 halaman.Halaman judul berisi judul ringkas tanpa singkatan, nama (para) penulis tanpa gelar,alamat instansi, dan e-mail penulis utama.Bab Pendahuluan, merupakan pembuka permasalahan yang akan dibahas dalamtulisan, tidak boleh terlalu panjang, hanya merupakan pengenalan kearah yang akandituju. Terdapat pembatasan masalah dan pengertian-pengertian sehingga pembacasudah dibawa kearah tertentu. Presentasi pendahuluan dari suatu keseluruhantulisan sekitar 20 persen.Bab Inti, merupakan bagian yang berisi paparan dan pembahasan persoalan pokok,ditulis secara sistematis dan logis menuju kepada satu klimaks. Presentasi bagianini sekitar 70 persen dari seluruh tulisan.Bab Penutup, berisi kesimpulan, saran atau pendapat penulis tentang pokokpersoalan yang dikemukakan sebagai arahan bagi pembaca.Penulis naskah dibuat popular dengan bahasa yang sederhana tanpa ada rumusan-rumusan/formula yang terlalu rumit agar mudah difahami masyarakat umum.Gambar dan tabel masuk dalam batang tubuh naskah bukan dilampirkan, diberinomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada bab tersebut, misalnya Gambar 2-2atau Tabel 2-1 disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yangbersangkutan. Keterangan dalam gambar termasuk legenda gambar ditulis denganjelas dan harus terbaca.Formula dan rujukan ditulis sebagaimana layaknya penulisan popular tanpa bentukrumus-rumus.Daftar pustaka dituliskan dalam lembar terpisah.

Tim Redaksi Majalah Inderaja

Page 6: Inderaja 6

POSTER

81INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

4 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

TTT kk l ii dd DD TTTeekkkknnnnoooollllooooogggiii ddddaaaannnn DDDDDDaaaattttttaaaaaa PPPPeeeennnnggggginndddeeeeerrraaaann JJJJaaauuhh

ggggg

1. Pendahuluan

Letak geografi s yang strategis membuat Indonesia kaya

akan sumber daya alam. Secara harafi ah sumber daya

alam (SDA) berarti segala sesuatu yang muncul secara

alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan

manusia pada umumnya, baik yang bersifat hayati maupun

non hayati. SDA hayati di wilayah pesisir tentunya akan

berbeda dengan di laut. SDA hayati di wilayah pesisir masih

memiliki kemiripan dengan wilayah darat, perbedaan terletak

pada SDA yang berada di dalam kolom perairan (misalnya

terumbu karang dan lamun). Sedangkan SDA hayati di wilayah

laut didominasi oleh keberadaannya di dalam kolom perairan,

terutama ikan. Untuk SDA non hayati di wilayah pesisir dan

laut sangat beragam. Keberagaman tersebut dapat dibatasi

pada keberadaanya di bawah permukaan bumi (misalnya

minyak bumi dan mineral) dan di perairan (misalnya arus,

pasang surut dan parameter oseanografi lainnya).

Satelit penginderaan jauh dapat memantau kekayaan

SDA di wilayah pesisir dan laut di Indonesia. Selama ini, data

penginderaan jauh yang digunakan berasal dari satelit yang

dimiliki oleh negara lain. Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Nasional (LAPAN) telah memulai pengembangan satelit

eksperimental yang diawali dengan pembuatan satelit mikro

LAPAN-TUBSAT bekerjasama dengan TU Berlin, dan berhasil

diluncurkan pada tahun 2007. Selanjutnya pada tahun 2013

ini, LAPAN merencanakan untuk melakukan peluncuran

dua satelit mikro lainya yang masih terkait dengan program

pengembangan satelit eksperimental, yaitu satelit LAPAN-A2

dan satelit LAPAN-A3. Kedua satelit tersebut akan memiliki

spesifi kasi yang lebih baik dari LAPAN-TUBSAT (http://

detekgan.lapan.go.id/pusteksat/; http://www.lapanrb.org/

home). Kedepannya, LAPAN merencanakan pengembangan

satelit yang dapat digunakan untuk keperluan operasional.

Untuk itu maka diperlukan kajian spesifi kasi sensor yang

diperlukan untuk pengembangan satelit tersebut. Tulisan

ini bertujuan untuk mengkaji spesifi kasi sensor yang dapat

mendeteksi SDA di wilayah pesisir dan laut. Pembahasan

dibatasi pada SDA yang berada pada kolom perairan yang

dapat dideteksi oleh penginderaan jauh (yaitu terumbu

karang, lamun dan parameter oseanografi ). Tulisan ini

diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengembangan

spesifi kasi sensor pada satelit yang dikembangkan oleh

LAPAN, khususnya untuk pemantauan SDA di wilayah pesisir

dan laut di Indonesia.

2.Karakteristik SensorSensor adalah alat yang digunakan untuk mendeteksi

dan mencatat energi elektomagnetik yang dipantulkan

(refl ected) atau dipancarkan (emitted) oleh suatu obyek (ITC.

2001. Principles of Remote Sensing). Sensor pada satelit terbagi

menjadi dua macam yaitu sensor aktif dan sensor pasif. Tulisan

ini membatasi pada pengkajian penggunaan sensor pasif

untuk deteksi SDA di wilayah pesisir dan laut. Berbeda dengan

sensor aktif, sensor pasif tidak memiliki energi sendiri tetapi

sangat bergantung kepada sumber energi lain yaitu matahari.

Energi elektromagnetik yang berasal dari matahari kemudian

dipantulkan oleh obyek dan diterima oleh sensor. Sensor

pasif ini terbagi menjadi beberapa kanal yang meliputi suatu

Syarif Budhiman dan Maryani HartutiPeneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPANEmail: [email protected]

Kajian Spesifi kasi Sensor Satelit untuk Pemantauan Sumber Daya Pesisir dan Laut

Page 7: Inderaja 6

POSTER

80 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

5INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

rentang panjang gelombang elektromagnetik. Spektrum

gelombang elektromagnetik yang umum digunakan adalah

pada gelombang tampak (380-700 nm) dan gelombang infra

merah dekat (700-1000 nm).

Sensor optik yang merupakan salah satu sensor pasif

memiliki beberapa karakteristik dalam menghasilkan data.

Karakteristik sensor ini terbagi menjadi resolusi spasial, resolusi

spektral dan resolusi temporal. Resolusi spasial mengindikasikan

ukuran terkecil dari obyek di permukaan bumi yang dapat

dideteksi oleh sensor. Resolusi spektral mengindikasikan

rentang spektrum elektromagnetik yang digunakan. Resolusi

temporal mengindikasikan rentang waktu antara dua akuisisi

yang berdekatan pada wilayah yang sama. Selain itu ada juga

karakteristik lain yang dikenal sebagai resolusi radiometrik,

yaitu karakteristik sensor yang mengindikasikan perbedaan

energi yang dapat diobservasi (ITC. 2001. Principles of Remote

Sensing). Pemahaman karakteristik sensor ini berguna dalam

pengkajian spesifi kasi sensor yang paling optimum untuk

mendeteksi SDA di wilayah pesisir dan laut.

Spesifi kasi karakteristik sensor yang akan digunakan

bermuara kepada tujuan dari data yang akan dihasilkan

untuk pemantauan SDA di wilayah pesisir dan laut. Penulis

berpendapat bahwa data yang dihasilkan dapat digunakan

untuk keperluan manajerial dan keperluan eksperimental.

Keperluan manajerial tentunya lebih memerlukan data yang

dapat memberikan informasi yang cepat. Untuk itu data

dengan resolusi spasial yang tinggi lebih disukai, karena detail

yang dihasilkan mempermudah dalam memberikan informasi.

Keperluan eksperimental lebih menyukai pembuatan model

dalam mengekstraksi informasi dari data yang ada, sehingga

data dengan resolusi spektral yang lebih tinggi akan lebih

disukai. Gambar 1 menunjukkan data liputan sebagian Pulau

Tidung, Kepulauan Seribu, yang dihasilkan oleh karakteristik

sensor yang berbeda. Sensor WorldView-2 yang memiliki

resolusi spasial 50 cm memberikan detail yang lebih baik

dari pada data Landsat ETM dengan resolusi spasial 30 m.

Walaupun data Landsat ETM diganti dengan data sensor

Hyperion (resolusi spasial 30 m) yang memiliki resolusi spektral

lebih baik (220 kanal dengan rentang masing-masing kanal 10

nm), tetapi detail dari data yang diberikan sensor WorldView-2

lebih diperlukan untuk keperluan manajerial SDA di wilayah

pesisir.

Berbeda dengan wilayah pesisir, untuk SDA di wilayah

laut lebih mengutamakan data dengan resolusi spektral yag

tinggi. Karena wilayah laut yang sangat luas, maka resolusi

spasial yang sangat detail menjadi tidak begitu penting.

Gambar 1. Data liputan Pulau Tidung, Kepulauan Seribu menggunakan (a) WorldView-2 dan (b) Landsat ETM (Budhiman et al. 2013. Pengaruh Penyederhanaan Koreksi Kolom Air. Diajukan (submitted) pada Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan data Citra Digital LAPAN)

(a) (b)

Page 8: Inderaja 6

POSTER

79INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

6 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Resolusi spektral yang tinggi dapat mempermudah dalam

pengembangan model untuk mengidentifi kasi paramater-

parameter oseanografi yang terjadi, terutama untuk keperluan

identifi kasi keberadaan ikan. Dikarenakan parameter

oseanografi ini sangat dinamis, maka diperlukan juga resolusi

temporal yang tinggi untuk dapat memantau perubahan

yang terjadi. Gambar 2 menunjukkan contoh dari perlunya

resolusi spektral dalam mengolah data yang diperlihatkan

pada Gambar 2.a menjadi suatu informasi sebaran chlorophyl

pada Gambar 2.b. Gambar 2.b merupakan hasil pemodelan

kanal-kanal yang ada di sensor GOCI (Geostationary Ocean

Color Imager) untuk mendapatkan informasi konsentrasi

chlorophyll di perairan laut Jepang. Resolusi spektral yang

tinggi dengan jumlah kanal yang banyak, mempermudah

dalam mengidentifi kasi parameter oseanografi dengan

menggunakan informasi puncak serapan (absorption) dari

parameter tersebut.

3. Karakteristik Optik Perairan dan Keberadaan KanalKeberadaan kanal pada sensor juga mempengaruhi

kemampuan untuk mengidentifi kasi obyek di bawah

permukaan perairan. Hal ini terkait dengan hukum Beer-

Lambert bahwa intensitas cahaya akan berkurang secara

eksponensial terhadap perbedaan kedalaman, atau dapat

ditulis sebagai berikut:

dimana Iz adalah intensitas cahaya pada kedalaman z, I0 adalah

intensitas cahaya awal atau pada kedalaman 0 (di permukaan

air), f adalah nilai faktor geometrik, k adalah nilai koefi sien

atenuasi dan z adalah kedalaman.

Pelemahan intensitas ini (disebut juga atenuasi)

berbeda untuk setiap panjang gelombang. Perbedaan nilai

atenuasi dikarenakan pengaruh serapan (absorption) dan

hamburan (scattering) cahaya oleh partikel yang ada dalam air,

akan berbeda pada setiap panjang gelombang. Hal tersebut

Gambar 2. Data liputan perairan laut Jepang menggunakan sensor GOCI (a) RGB dan (b) Chlorophyll (IOCCG Report. 2012. Ocean-color observations from a geostationary orbit)

Page 9: Inderaja 6

POSTER

78 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

7INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

akan mempengaruhi kemampuan cahaya masuk ke dalam

kolom perairan. Molekul air juga akan melakukan serapan

dan hamburan pada cahaya. Gambar 3 memperlihatkan

grafi k koefi sien serapan dan hamburan dari molekul air laut.

Serapan cahaya oleh molekul air laut akan kecil pada panjang

gelombang biru (400 nm) sampai dengan hijau (550 nm)

dan meningkat pada panjang gelombang merah (600 nm).

Sedangkan untuk hamburan cahaya, nilai hamburan yang

lebih tinggi terjadi pada panjang gelombang pendek dan

melemah ke arah panjang gelombang yang lebih panjang

(Gambar 3).

Serapan cahaya pada perairan yang berbeda

ditunjukkan oleh Gambar 4. Garis putus-putus pada Gambar 4

menunjukan serapan oleh molekul air sebagai pembanding.

Gambar 4.a memperlihatkan perairan yang didominasi oleh

phytoplankton, dimana puncak serapan cahaya terjadi pada

panjang gelombang biru (440 nm) dan pada panjang

gelombang merah (670 nm), sedangkan serapan cahaya

terendah berada pada panjang gelombang hijau (555

nm). Gambar 4.c memperlihatkan koefi sien serapan pada

perairan yang didominasi oleh padatan organik terlarut

(CDOM). Serapan cahaya oleh CDOM lebih banyak terjadi

pada panjang gelombang pendek dan melemah ke arah

panjang gelombang yang lebih panjang, sehingga panjang

gelombang biru tidak akan mampu masuk lebih dalam

ke perairan yang didominasi oleh CDOM. Untuk partikel

tersuspensi yang tidak memiliki pigmen chlorophyl, lebih

banyak mempengaruhi hamburan cahaya pada perairan,

sedangkan nilai serapannya lebih didominasi oleh serapan

phytoplankton.

Gambar 5.a memperlihatkan kondisi perairan Lautan

Pasifi k yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan phytoplankton.

Terlihat penetrasi panjang gelombang hijau (552 nm) kedalam

kolom perairan, hampir sama dengan panjang gelombang

biru (440 nm), sedangkan panjang gelombang merah (673)

diserap oleh perairan sehingga penetrasinya tidak dalam.

Gambar 5.d memperlihatkan perairan yang dipengaruhi oleh

keberadaan CDOM (Coloured Dissolved Organic Matter), dimana

serapan pada panjang gelombang biru (440 nm) dan hijau

(550 nm) lebih tinggi dibandingkan pada panjang gelombang

merah (675 nm), sehingga penetrasi panjang gelombang

merah terlihat lebih dalam.

Dari pembahasan mengenai karakteristik optik

perairan sebelumnya, terlihat keberadaan kanal pada

puncak-puncak serapan tertinggi maupun terendah akan

mempengaruhi kemampuan sensor untuk mendeteksi

parameter perairan. Selain itu juga, kemampuan panjang

gelombang dalam melakukan penetrasi pada kolom perairan

akan mempermudah untuk mendeteksi obyek yang berada

di bawah permukaan air pada perairan dangkal. Kemampuan

tersebut tentunya dibatasi oleh serapan dan hamburan yang

terjadi pada kolom perairan. Selain keberadaan kanal, resolusi

spektral (rentang panjang gelombang) pada kanal tersebut

juga berpengaruh, karena dengan rentang kanal yang lebih

besar maka sensitivitas spektral respon akan berkurang.

Gambar 6 memperlihatkan posisi setiap kanal pada

sensor yang berbeda. Sensor pada satelit SPOT hanya terdiri

dari 3 kanal dengan rentang panjang gelombang 80 nm.

Apabila kemampuannya dibandingkan dengan sensor AVIRIS,

terlihat sangat berbeda dalam mendeteksi kurva karakteristik

Gambar 3. Koefi sien serapan (absorption) dan hamburan (scattering) pada molekul air laut (Mobley.1994. Light and water: radiative transfer

in natural waters).

Gambar 4. Contoh koefi sien serapan pada berbagai perairan: a) didominasi oleh phytoplankton, b) didominasi oleh Non-Algae Partikel (NAP) dan c) didominasi oleh CDOM (Coloured Dissolved

Organic Matter) (Mobley.1994. Light and water: radiative transfer in natural waters).

Page 10: Inderaja 6

POSTER

77INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

8 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

spektral (diperlihatkan oleh garis biru). Dengan sensor AVIRIS,

kurva spektral tersebut dapat dengan mudah dikenali karena

setiap kanal AVIRIS (71 kanal) dan rentang kanal yang rapat

(15 nm) mewakili respon spektral pada setiap panjang

gelombang. Untuk jumlah kanal yang lebih sedikit, maka

keberadaan kanal tersebut sebaiknya ditempatkan pada posisi

panjang gelombang yang memiliki puncak serapan cahaya

tertinggi maupun terendah.

4. Karakteristik Sensor untuk SDA di Wilayah PesisirPembahasan pada tulisan ini membatasi untuk SDA

yang berada pada kolom perairan, yaitu terumbu karang

dan lamun. Keberadaan SDA tersebut dapat dideteksi oleh

sensor yang dapat menembus kolom perairan. Salah satu

keterbatasan untuk dapat mendeteksi terumbu karang dan

lamun adalah kekeruhan, karena kekeruhan lebih didominasi

oleh padatan tersuspensi yang bertanggung jawab dalam

menghamburkan cahaya. Terumbu karang dan lamun akan

berkembang dengan baik pada perairan yang jernih, dimana

konsentrasi partikel tersuspensi sangat kecil. Pada perairan

jernih tersebut maka kanal yang baik untuk digunakan adalah

kanal biru (440 nm) dan hijau (550 nm) karena dapat

melakukan penetrasi lebih dalam di kolom perairan yang

jernih.

Berbeda dengan pendapat penulis di awal tulisan ini,

Mumby pada papernya (Mumby et. al. 2004. Remote sensing

of coral reef and their physical environment) menunjukan

bahwa untuk dapat mendeteksi SDA pesisir diperlukan

resolusi spektral yang lebih detail dibandingkan dengan

resolusi spasial. Resolusi spektral dapat membedakan antara

komunitas terumbu karang dengan lebih baik. Sedangkan

resolusi spasial yang tinggi dapat memetakan keberadaan

terumbu karang dan lamun secara umum. Kombinasi yang

terbaik dalam mendeteksi SDA pesisir adalah resolusi spasial

tinggi dengan resolusi spektral yang tinggi.

5. Karakteristik Sensor untuk SDA di Wilayah LautIntensitas cahaya pada perairan di laut dipengaruhi

oleh keberadaan phytoplankton. Pengaruh terbesar adalah

serapan cahaya oleh phytoplankton tersebut. Selain itu cahaya

yang dipantulkan dari wilayah perairan yang luas sangat

dipengaruhi oleh kondisi atmosfer ketika diterima oleh sensor.

Cahaya dari matahari akan melalui dua komponen ruang, yaitu

atmosfer (udara) dan air, sebelum dipantulkan dan diterima

oleh sensor. Sehingga, total radiansi cahaya yang diterima oleh

sensor adalah gabungan dari hasil interaksi cahaya matahari

dengan atmosfer, permukaan air, dan kolom air pada seluruh

panjang gelombang (). Interaksi yang berada pada ruang

Gambar 5. Profi l kedalaman penetrasi cahaya dalam menembus kolom air pada kanal biru (), hijau () dan merah () untuk

perairan a) Lautan Pasifi c, b) Saluran air San Vicente, c) Bendungan Corin dan d) Danau Kecil Georgetown (Kirk. 1994. Light and

Photosynthesis in aquatic ecosystem).

Gambar 6. Contoh posisi setiap kanal pada sensor satelit yang berbeda (Steef Peters powerpoint. 2001. Imaging spectrometry).

Page 11: Inderaja 6

POSTER

76 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

9INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

atmosfer/udara dan permukaan air merupakan informasi yang

bersifat gangguan (noise) terhadap nilai radiansi yang berasal

dari obyek yang akan dideteksi, sehingga perlu dilakukan

koreksi terhadap nilai radiansi tersebut.

Keberadaan phytoplankton dan kondisi atmosfer

menjadi dua hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan

spesifi kasi sensor untuk pemantauan SDA di wilayah laut.

IOCCG pada laporannya (IOCCG Report 1998. Minimum

requirements for an operational, ocean-color sensor for the open

ocean) telah membahas mengenai kebutuhan minimum

dalam mendeteksi parameter perarain di laut dengan

menggunakan dua batasan tersebut sebelumnya. Keberadaan

phytoplankton dapat diketahui dari rasio serapan cahaya

terendah dan tertinggi pada spektrum panjang gelombang

tampak, sehingga IOCCG mengusulkan untuk menggunakan

kanal biru (485-495 nm) dan kanal hijau (550-565 nm) dengan

rentang kanal 10 nm. Sedangkan untuk koreksi keberadaan

atmosfer dapat digunakan rasio dari kanal infra merah dekat,

karena pada kanal tersebut seluruh cahaya diserap oleh air.

IOCCG mengusulkan digunakannya dua kanal infra merah

dekat yaitu pada panjang gelombang 744-757 nm, dan 855-

890 nm. Ke empat kanal tersebut merupakan kebutuhan

minimum untuk dapat mendeteksi parameter perairan dan

mengkoreksi kondisi atmosfer.

Selain itu juga diperlukan data dengan pengulangan

akuisisi yang lebih cepat, karena kondisi perairan di laut sangat

dinamis. Untuk resolusi temporal ini diusulkan penempatan

satelit pada orbit bumi (geostationary). Penempatan satelit

untuk pemantauan laut pada posisi orbit bumi telah dilakukan

oleh Korea Selatan dengan diluncurkannya sensor GOCI

(Geostationary Ocean Colour Imagery) pada tahun 2010 yang

akan disusul untuk seri kedua GOCI-II pada tahun 2018 (http://

www.ioccg.org/sensors/GOCI.html). Dengan posisi pada orbit

bumi, maka pengulangan akuisisi dapat dilakukan setiap jam,

sehingga dinamika perubahan parameter perairan dapat

terlihat lebih jelas.

6 . PenutupPengembangan pembuatan sensor satelit harus

diselaraskan dengan tujuan dari pemanfaatan sensor

tersebut. Tujuan pemanfaatan yang berbeda membutuhkan

karakteristik sensor yang berbeda, contohnya sensor untuk

keperluan pemantauan SDA di wilayah pesisir akan berbeda

dengan di wilayah laut. Perbedaan kebutuhan karakteristik

sensor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Karakteristik sensor untuk pemantauan SDA di wilayah

pesisir: a) memiliki kanal yang mampu menembus kolom

perairan, yaitu kanal pada gelombang tampak (biru, hijau dan

merah), terutama untuk keperluan pemantauan ekosistem

perairan dangkal seperti terumbu karang dan lamun, serta

untuk deteksi kedalaman perairan dangkal (bathymetry), b)

memiliki resolusi spasial yang tinggi sekitar 10-30 m, khusus

untuk keperluan pemantauan pulau-pulau kecil diperlukan

resolusi spasial yang lebih tinggi lagi yaitu sekitar 0.5-2 m,

c) memiliki resolusi spektral yang tinggi, terutama untuk

informasi kualitas ekosistem diperlukan data hyperspektral

pada kanal gelombang tampak sampai dengan infra merah

dekat (Near Infra Red / NIR).

Karakteristik sensor untuk pemantauan SDA di wilayah

laut: a) memiliki kanal pada gelombang tampak (biru, hijau

dan merah) yang mampu mendeteksi parameter perairan

(misalnya chlorophyl dan CDOM), b) memiliki kanal pada

gelombang infra merah (NIR) yang dapat digunakan untuk

melakukan koreksi atmosfer, c) memiliki resolusi temporal yang

tinggi, dikarenakan kondisi perairan yang dinamis, dibutuhkan

resolusi temporal sekitar 0.5-8 hari untuk perairan di Indonesia.

Resolusi temporal yang lebih tinggi akan menghasilkan

informasi yang lebih baik, d) memiliki resolusi spektral yang

tinggi, terutama untuk informasi kualitas perairan diperlukan

kanal multispektral dengan rentang antara gelombang ultra

violet dekat (380 nm) sampai dengan infra merah dekat (Near

Infra Red / NIR).

Penjelasan di atas menunjukan beberapa perbedaan

dan persamaan karakteristik sensor yang diperlukan.

Perbedaan yang terlihat untuk pemantauan SDA di

wilayah pesisir memerlukan resolusi spasial yang lebih

tinggi, sedangkan untuk pemantauan SDA di wilayah laut

memerlukan resolusi temporal yang lebih tinggi. Hal tersebut

menunjukan bahwa untuk pemantauan SDA di wilayah pesisir

dan laut diperlukan dua sensor yang berbeda. Dikarenakan

ada keterbatasan terkait jumlah dan volume muatan pada

wahana sekelas satelit mikro, maka perlu dikembangkan dua

wahana yang berbeda sebagai tempat penempatan masing-

masing sensor tersebut.

Page 12: Inderaja 6

POSTER

75INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

10 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pendahuluan

Lebih dari satu dekade terakhir, National Aeronautics and

Space Administration (NASA) meluncurkan serangkaian

satelit untuk memperoleh tampilan planet bumi dari

antariksa. Serangkaian satelit tersebut, dikenal secara umum

sebagai NASA Earth Observing System (EOS), telah memberikan

wawasan baru yang luar biasa mengenai dinamika planet

bumi secara menyeluruh, mencakup awan, lautan, vegetasi,

es dan atmosfer. Namun, seiring akan berakhirnya masa

operasional satelit-satelit EOS, satelit-satelit pemantau planet

bumi generasi baru lainnya telah dipersiapkan untuk menjaga

kontinyuitas data yang diberikan oleh satelit-satelit tersebut.

National Polar-orbiting Operational Environmental

Satellite System (NPOESS) Preparatory Project (NPP) merupakan

salah satu satelit yang dipersiapkan. NPP merupakan satelit

pertama dari satelit-satelit generasi baru yang akan digunakan

untuk mengamati lebih banyak lagi aspek dari perubahan

planet bumi. Satelit tersebut utamanya dirancang untuk

mengumpulkan data penting yang diperlukan untuk

meningkatkan kemampuan prediksi cuaca jangka pendek dan

pemahaman mengenai perubahan iklim jangka panjang.

NASA telah menamai ulang satelit NPP untuk menghormati

almarhum Verner E. Suomi, seorang ahli meteorologi di

Universitas Wisconsin yang dikenal secara luas sebagai “Bapak

Satelit Meteorologi”. Pengumuman tersebut dilaksanakan

pada tanggal 24 Januari 2012 di pertemuan tahunan American

Meteorological Society (AMS) di New Orleans.NPP dinamai

ulang menjadi Suomi National Polar-orbiting Partnership atau

Suomi-NPP (S-NPP).

S-NPP mengumpulkan dan mendistribusikan

data penginderaan jauh daratan, lautan dan atmosfer

kepada para penggunanya sebagai tanggung jawab akan

kontinyuitas pengukuran-pengukuran yang diperlukan

untuk menjembatani misi-misi pemantauan planet bumi

sebelumnya yang dilakukan oleh EOS NASA (satelit Terra, Aqua

dan Aura) dengan Joint Polar Satellite System (JPSS) sebelumnya

bernama NPOESS - sebuah program kerja sama antara

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan

Goddard Space Flight Center (GSFC) NASA yang peluncuran

pertamanya dijadwalkan pada tahun 2017. S-NPP diantaranya

akan menyediakan data temperatur atmosfer, temperatur

permukaan laut, kelembaban, produktivitas biologis darat dan

laut, serta sifat-sifat awan dan aerosol.

S-NPP mengorbit planet bumi 14 kali sehari dengan

cakupan hampir seluruh permukaan planet bumi. S-NPP

diluncurkan ke orbit dengan menggunakan roket United

Launch Alliance Delta-II dari Vandenberg Air Force, California

pada tanggal 28 Oktober 2011 jam 5:48 pagi waktu setempat.

S-NPP diperkirakan memiliki masa pakai 7 tahun dengan umur

misi 5 tahun.

S-NPP membawa muatan beragam yang terdiri dari

instrumen-instrumen ilmiah untuk mengamati planet bumi.

Wahananya memiliki berat 4.600 pon (2.100 kg), melintasi

ekuator setiap siang hari pada jam 13:30 waktu setempat.

S-NPP membawa lima instrumen penting, yaitu:

Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS), yang

dikembangkan oleh Raytheon Space and Airborne

Systems, sebuah radiometer yang memiliki 22 kanal

mirip dengan instrumen Moderate Resolution Imaging

Spectroradiometer (MODIS). VIIRS akan mengumpulkan

tampilan sinar tampak dan infra merah dari proses-proses

dinamika permukaan planet bumi, seperti kebakaran

Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Satelit Suomi National Polar-orbiting Partnership (S-NPP) dari Rawdata ke Raw Data Record (RDR)

Budhi Gustiandi, Andy Indradjad, Islam Widia BagdjaPeneliti Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPANEmail: [email protected]

Page 13: Inderaja 6

POSTER

74 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

11INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

hutan, perubahan lahan dan pergerakan es. VIIRS juga

mengukur sifat atmosfer dan lautan, termasuk awan dan

temperatur permukaan laut;

Advanced Technology Microwave Sounder (ATMS), sebuah

radiometer gelombang mikro pasif yang memiliki

22kanal, digunakan untuk menghasilkan model-model

global terkait profi l temperatur dan profi l kelembaban

yang siap diolah oleh para ahli meteorologi menjadi

model-model prediksi cuaca;

Cross-track Infrared Sounder (CrIS), sebuah interferometer

yang digunakan untuk mengamati karakteristik-

karakteristik dari atmosfer, seperti kelembaban dan

tekanan yang akan digunakan untuk meningkatkan

baik dalam memprediksi cuaca jangka pendek maupun

jangka panjang;

Ozone Mapping and Profi ler Suite (OMPS), sepasang

spektrometer pencitra hiperspektral yang dibuat oleh

Ball Aerospace, yang akan digunakan untuk mengukur

lapisan-lapisan ozon planet bumi, terutama di daerah

kutub dimana lapisan ozonnya paling banyak berfl uktuasi;

dan

Clouds and the Earth's Radiant Energy System (CERES),

sebuah radiometer 3 kanal yang digunakan untuk

mengukur radiasi sinar matahari dan pantulannya

dari permukaan planet bumi sehingga dapat diamati

pengaruh alam dan pengaruh kegiatan manusia terhadap

jumlah keseluruhan radiasi termal di planet bumi.

Kelima instrumen yang disertakan dalam S-NPP yang

diluncurkan tersebut mengadopsi instrumen-instrumen misi

satelit Terra, Aqua dan Aura milik NASA, Polar Operational

Environmental Satellite (POES) milik NOAA dan Defense

Meteorological Satellite Program (DMSP) milik Department of

Defense (DoD). Gambar satelit S-NPP bersama dengan kelima

instrumennya diperlihatkan pada Gambar 1.

Sejak bulan Mei 2012, stasiun bumi penginderaan

jauh LAPAN yang terletak di kota Parepare, Sulawesi Selatan,

telah menerima data satelit S-NPP secara Direct Broadcast

(DB). Datanya tersimpan di komputer server akuisisi(Parepare)

dalam level rawdata. Data tersebut kemudian dikirimkan ke

data center yang terletak di Pekayon, Jakarta agar dapat segera

diolah dan didistribusikan lebihlanjut kepada pihak-pihak

yang membutuhkannya.

Pada kegiatan ini telah dibangun sebuah system

pengolahan data satelit S-NPP dari level rawdatamenjadi level

Raw Data Record (RDR). Data dalam level rawdata memiliki

format yang mengikuti standar rekomendasi Consultative

Committe for Space Data System (CCSDS) dimana di dalamnya

terdiri atas data gabungan dari keseluruhan hasil pengukuran

kelima instrumen satelit S-NPP ditambah dengan frame-

frameyang bersesuaian. Sedangkan data dalam level RDR

Gambar 1.Satelit S-NPP dengan kelima instrumennya. (Sumber : GSFC, 2011)

Page 14: Inderaja 6

POSTER

73INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

12 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

merupakan data hasil pengukuran masing-masing instrumen

satelit S-NPP secara terpisahdalam format Hierarchical Data

Format versi 5 (HDF5). Data dalam level RDR bukan merupakan

produk akhir yang langsung bias dimanfaatkan oleh para

pengguna. Data dengan level tersebut masih harus diolah lagi

menjadi level-level yang lebih tinggi lagi, seperti Sensor Data

Record (SDR), Temperature Data Record (TDR), Application Related

Products (ARP),Environmental Data Record (EDR), dan Climate

Data Record (CDR) agar produknya dapat lebih bermanfaat bagi

para pengguna akhir. Namun, data dalam level RDR merupakan

dasar untuk pengolahan selanjutnya yang biasanya dilakukan

berdasarkan masing-masing instrument secara terpisah.

Deskripsi SistemPerangkat keras yang digunakan dalam sistem yang

dibangun adalah seperangkat komputer server dan koneksi

internet dengan spesifi kasi seperti yang diperlihatkan pada

Tabel 1. Sistem operasi yang digunakan adalah Linux CentOS

versi 6.3. Perangkat lunak yang digunakan adalah Real-time

Software Telemetry Processing System (RT-STPS) versi 5.3 dan

Simulcast Viewer. Perangkat lunak RT-STPS merupakan salah

satu perangkat lunak utama yang dikembangkan oleh Direct

Readout Laboratory (DRL) GSFC NASA untuk mengolah data

satelit-satelit EOS dan S-NPP (juga JPSS di masa mendatang).

Perangkat lunak Simulcast Viewer merupakan perangkat lunak

yang digunakan untuk menampilkan secara visual data RDR

yang dihasilkan oleh sistem. Penggunaan sistem operasi dan

perangkat lunak yang bersifat open source ini bertujuan agar

penerapan system ini di masa yang akan datang tidak akan

terkendala oleh lisensi.

Tabel 1. Spesifi kasi perangkat keras yang digunakan dalam sistem pengolahan data satelit S-NPP yang dibangun.

Komputer Server

Prosesor 24 Core Intel® Xeon®@ 2,4 GHz

Memori 64 GB

Kapasitas Penyimpanan 4 TB

Koneksi Internet

Kapasitas 20 Mbps

Terdapat 2 (dua) jenis data yang digunakan sebagai

masukan dalam sistem yang dibangun. Pertama, sampel

rawdata yang disertakan bersama-sama dengan perangkat

lunak RT-STPS yang digunakan untuk memvalidasi

keberhasilan instalasi perangkat lunak RT-STPS di dalam sistem

yang dibangun. Kedua, rawdata yang diterima secara Direct

Broadcast oleh stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN.

Diagram alir dari sistem pengolahan yang dibuat

adalah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2. Rawdata

diperoleh dari sistem penyimpanan komputer server akuisisi

yang terletak di stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN

Parepare, Sulawesi Selatan. Rawdata tersebut ditransfer ke

sistem penyimpanan komputer server pengolahan data

yang terletak di ruang data center Pusat Teknologi dan Data

Penginderaan Jauh (Pustekdata) di kota Jakarta, melalui

jaringan Internetdengan protokol File Transfer Protocol (FTP).

Perangkat lunak FTP yang digunakan adalah Filezilla versi

3.6.0.2 yang diunduh dari https://fi lezilla-project.org/.

Dari sistem penyimpanan, rawdata diolah dengan

menggunakan perangkat lunak RT-STPS untuk dijadikan RDR.

Pemasangan, konfi gurasi, pengujian fungsional dan eksekusi

rutin-rutin program yang terdapat di dalam perangkat lunak

RT-STPS dilakukan dengan menggunakan bash shell scripting.

Gambar 2. Diagram alir sistem pengolahan data

satelit S-NPP dari rawdata ke RDR.

Page 15: Inderaja 6

POSTER

72 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

13INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Bahasa ini telah dikenal secara luas sebagai bahasa yang

paling sesuai untuk bekerja dalam lingkungan sistem operasi

Linux. RDR yang dihasilkan sebagai keluaran dari pengolahan

perangkat lunak RT-STPS kemudian disimpan kembali ke

dalam sistem penyimpanan yang terdapat pada komputer

server pengolahan data di Jakarta.

Pada komputer server pengolahan data, direktori

kerja yang digunakan untuk menjalankan perangkat lunak

Gambar 3. Salah satu contoh tampilan Simulcast Viewer untuk data RDR hasil pengolahan rawdata akuisisi tanggal 12 Maret 2013: (a) tampilan global, (b) tampilan per scene, dan (c) tampilan wilayah Indonesia.

(a)

(b)

(c)

Page 16: Inderaja 6

Pelepasan Purna Bakti PNS di Kedeputian Bidang Penginderaan

Jauh Tahun 2012

Kamis, 14 Maret 2013, Kedeputian Bidang

Penginderaan Jauh menyelenggarakan acara

Pelepasan Purna Bakti Pegawai yang telah selesai

melaksanakan tugas menjadi PNS yaitu Gunawan , Tamjiz,

Drs. Sukmadradjat, M.Sc., Muhadi, Abdul Kholik, S.H. Sebagai

tanda terima kasih, LAPAN memberikan penghargaan

yang diserahkan langsung oleh Kepala LAPAN Drs.

BambangTejasukmana, Dipl. Ing. dan disaksikan oleh Deputi

Bidang Penginderaan Jauh Drs. Taufi k Maulana, MBA, Kepala

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Ir. Agus Hidayat,

M.Sc., Kepala Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

Dr. Orbita Roswintiarti, M.Sc. (WB, BH, NGD)

Gambar 1. Dari kiri Kapusfatja, Kepala LAPAN, Gunawan, Tamjiz, Sukmadradjat, Muhadi, Abdul Kholik, Kapustekdata, Deputi Inderaja

Berita Ringan

71INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

14 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

RT-STPS dibuat terpisah dengan direktori penyimpanan

data untuk menghindari kemungkinan terhapusnya data

yang sudah disimpan dan diolah sebelumnya apabila

perangkat lunak RT-STPS mengalami kerusakan atau akan

diperbaharui. Di dalam direktori penyimpanan data, sub-sub

direktori terpisah dibuat untuk masing-masing level data,

sehingga data dengan level berbeda tidak saling tercampur

untuk memudahkan pencarian data di masa mendatang

berdasarkan level pengolahannya.

Hasil dan PembahasanSalah satu contoh tampilan dari Simulcast Viewer

untuk data RDR yang dihasilkan oleh sistem diperlihatkan

pada Gambar 3. Pada contoh ini rawdata yang digunakan

adalah yang diakuisisi tanggal 12 Maret 2013. Pada Gambar

3(a), 3(b), dan 3(c) masing-masing diperlihatkan tampilan untuk

cakupan global, tampilan untuk cakupan data satelit S-NPP

yang diakuisisi secara DB oleh stasiun bumi penginderaan

jauh LAPAN, dan tampilan untuk cakupan wilayah negara

Indonesia.

Apabila rawdata telah berhasil diolah menjadi RDR,

data tersebut akan dapat ditampilkan dalam perangkat lunak

Simulcast Viewer seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.

Namun, apabila terjadi kesalahan dalam pengolahan rawdata

menjadi RDR, maka data tersebut akan gagal ditampilkan.

Oleh karena itu, penggunaan perangkat Simulcast Viewer

dapat berfungsi sebagai validator keberhasilan pengolahan

data RDR yang dihasilkan dari sistem. Sampai tulisan ini

dibuat, seluruh rawdata yang diterima secara DB oleh stasiun

bumi penginderaan jauh LAPAN Parepare telah dapat

diolah menjadi RDR dan ditampilkan dalam perangkat lunak

Simulcast Viewer, sehingga sistem dapat dikatakan berfungsi

sebagaimana mestinya.

Hasil pengukuran waktu yang diperlukan untuk

mengolah data satelit S-NPP dari level rawdata ke level RDR

dan waktu yang diperlukan untuk transfer rawdata dari

stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN Parepare ke sistem

pengolahan di Jakarta disajikan pada Tabel 2. Sampel data

yang diambil adalah data dengan tanggal akuisisi 1 Maret 2013

sampai 31 Maret 2013. Dari tabel tersebut dapat diketahui

bahwa rata-rata waktu yang diperlukan untuk mengolah

data satelit S-NPP dari level rawdata ke level RDR dengan

menggunakan sistem yang dibuat adalah selama 2 menit

43 detik. Sedangkan rata-rata waktu yang diperlukan untuk

transfer rawdata dari stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN

Parepare ke sistem pengolahan di Jakarta adalah selama 6

menit 43 detik.

Tabel 2. Hasil pengukuran waktu pengolahan data satelit S-NPP dari level rawdata ke level RDR dan waktu transfer rawdata dari

stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN Parepare ke sistem pengolahan di Jakarta untuk periode 1 Maret 2013 - 31 Maret 2013.

Waktu Transfer Data

Waktu Transfer Data Tercepat 6 detik

Waktu Transfer Data Terlama 10 menit 7 detik

Waktu Transfer Data Rata-rata 6 menit 43 detik

Waktu Pengolahan

Waktu PengolahanTercepat 4 detik

Waktu PengolahanTerlama 3 menit 59 detik

Waktu Pengolahan Rata-rata 2 menit 43 detik

PenutupSistem yang dibuat telah dapat mengolah data satelit

S-NPP yang diterima secara Direct Broadcast oleh stasiun

bumi penginderaan jauh LAPAN dari level rawdata menjadi

level RDR. Pada saat ini sistem pengolahan data satelit S-NPP

tersebut masih terus dikembangkan agar dapat mengolah

data RDR yang telah dihasilkan menjadi level yang lebih tinggi

lagi (SDR, TDR, ARP,EDR, dan CDR) sehingga datanya dapat

langsung dimanfaatkan oleh para pengguna tanpa harus

melakukan pengolahan secara tersendiri.

Waktu rata-rata total yang dibutuhkan dari mulai

proses transfer data sampai pengolahan data ke level RDR

adalah selama 9 menit 26 detik. Selang waktu rata-rata

antara akuisisi dua data satelit S-NPP yang berurutan dalam

satu hari adalah selama 1 jam 39 menit 21 detik. Dari waktu

rata-rata total tersebut, sistem memiliki potensi untuk

dikembangkan menjadi sistem yang bersifat near real-time

dengan menambahkan fi tur otomatisasi mulai dari proses

transfer data sampai pengolahan data ke level RDR karena

masih lebih cepat dibandingkan dengan selang waktu rata-

rata antara akuisisi dua data satelit S-NPP yang berurutan

dalam satu hari.

Page 17: Inderaja 6

Gambar 1. Diklat Aplikasi Browse Catalog Bank Data Penginderaan Jauh Nasional di PT. Maxxima Innovative Engineering, Jakarta.

Diklat Aplikasi Browse Catalog Bank Data Penginderaan Jauh Nasional

Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

LAPAN bekerjasama dengan PT. Maxxima Inovative

Engineering melaksanakan kegiatan Diklat Aplikasi

Browse Catalog Bank Data Penginderaan Jauh Nasional yang

dilaksanakan di Gedung PT. Maxxima Inovative Engineering

Jakarta selama 5 hari dari tanggal 3 - 7 Desember 2012.

Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia,

Pustekdata mengirimkan staf dari bidang Pengembangan

Bank Data Inderaja yaitu Widodo Basuki, Endang Purwanti,

Dwi Nurcahyo, Widiyoko, Bambang Haryanto dan dari staf

Teknologi Pengolahan Data yaitu Yusron, Ferdiansyah,

Hendayani. Pada acara diklat tersebut, para peserta dilatih cara

mengoperasikan Software Aplikasi Browse Catalog meliputi

Login dan Logout, Pencarian Metadata dan Pemesanan Data

dengan instruktur dari PT. Maxxima Inovative Engineering

yaitu Ellon, Davit, dan Reza. (WB, BH, NGD)

Berita Ringan

70 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

15INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Dewasa ini, aplikasi Sistem Informasi Geografi

(SIG) berbasis web semakin berkembang dan

banyak digunakan oleh instansi baik pemerintah,

pendidikan maupun swasta. Instansi pemilik data spasial

mensosialisasikan data mereka dengan salah satu cara melalui

aplikasi SIG online. Pada awalnya aplikasi SIG berupa pemetaan

online yang menampilkan peta statik pada skala peta tertentu

dengan format JPG, GIF dan lainnya. Seiring perkembangan

teknologi SIG, sudah dimungkinkan untuk menampilkan

pemetaan interaktif yang memungkinkan pengguna bisa

melakukan pembesaran/pengecilan peta(zoom in/out)

dengan variasi skala dan melakukan query atribut untuk

mendapatkan informasi yang terdapat pada peta serta

melakukan pemrosesan dan pembaharuan data(update).

Pemetaan interaktif tersebut menggunakan layanan peta

(mapservice) yang dihasilkan olehserver SIG(server layanan

peta). Layanan peta (mapservice) merupakan protokol

standar untuk menyajikan peta yang mempunyai referensi

kebumian melalui jaringan internet yang dihasilkan oleh

server SIG menggunakan data dari basisdata SIG (wikipedia)

maupun dari fi le data spasial. Aplikasi layanan peta online yang

banyak digunakan saat ini memanfaatkan layanan peta yang

disediakan oleh server SIG seperti Google Map, Bing Map, dan

lain-lain. Aplikasi layanan peta tersebut dapat diintegrasikan

dengan data atau layanan peta untuk menghasilkan aplikasi

SIG online yang baru.

Penggunaan layanan peta membuat peta yang

ditampilkan secara online menjadi lebih menarik dan lebih kaya

informasi dari sisi pengguna, dibandingkan peta statis yang

menampilkan peta dalam format gambar saja. Penggunaan

layanan peta memungkinkan untuk kegiatan berbagi data

(layanan peta) antar instansi pemerintah. Suatu instansi dapat

memanfaatkan layanan peta dari instansi lain yang telah

mempublikasikan layanan petanya melalui mekanisme tertentu.

Pemanfaatan layanan peta yang disediakan oleh instansi

penghasil data spasial dapat digunakan untuk memberikan

nilai tambah bagi data spasial yang dimiliki oleh pengguna

layanan. LAPAN melalui Pusat Teknologi dan Data Penginderaan

Jauh mendukung kegiatan untuk berbagi data spasial antar

instansi pemerintah dan bertindak sebagai salah satu simpul

dalam Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN) dan telah

mempublikasikan beberapa layanan peta yang bisa digunakan

oleh instansi lain dalam hal berbagi data.

Pada tulisan ini, penulis mencoba untuk membahas konsep

layanan peta (mapservice), aplikasi yang digunakan untuk

menghasilkan layanan peta dan pemanfaatan layanan

peta untuk mengembangkan aplikasi pemetaan online.

Penggunaan studi kasus untuk pengembangan aplikasi system

Pemanfaatan Layanan Peta (Mapservice) dalam Konsep Pemetaan Online.Studi Kasus: Pengembangan Sistem Informasi Fasilitas Kesehatan di Kota Depok

Riyan Mahendra SaputraPeneliti Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPANEmail :[email protected]

Page 18: Inderaja 6

Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

(Pustekdata Inderaja) menerima kunjungan dari siswa-

siswi SMP Negeri 179 Jakarta sebanyak 300 siswa

bersama lima orang guru pendamping pada tanggal 26 Juni

2013. Kunjungan tersebut diterima oleh dua orang staf peneliti

dari Pustekdata yaitu Fadila Muchsin dan Ngadino.

Acara diawali dengan sambutan dari pimpinan

rombongan SMP Negeri 179 Jakarta, beliau menyampaikan

ucapan terima kasih kepada Pustekdata yang telah menerima

kunjungan tersebut, dan mengharapkan untuk waktu-waktu

mendatang agar memberikan kesempatan yang seluas-

luasnya kepada siswa-siswi SMP Negeri 179 untuk berkunjung

ke Pustekdata karena akan banyak membawa manfaat

yang bisa diambil oleh para siswa terutama belajar tentang

penginderaan jauh maupun masalah-masalah kedirgantaraan

pada umumnya.

Sedangakan sambutan dari Pustekdata diwakili

oleh Ngadino yang menyampaikan ucapan terima kasih

atas kunjungan tersebut dan memberikan semangat

kepada para siswa untuk lebih serius belajar, agar nantinya

mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk

kepentingan pembangunan bangsa maupun kesejahteraan

umat manusia.

Selanjutnya pemaparan materi tentang LAPAN dan

Penginderaan Jauh oleh Ibu Fadila Muchsin yang dilanjutkan

dengan diskusi dan tanya jawab. Selesai pemaparan, para

siswa diajak untuk mengunjungi Ruang Pameran yang

dipandu oleh staf dari Bidang Pengembangan Bank Data

Penginderaan Jauh. Setelah semua acara selesai, para siswa

kembali ke sekolah bersama para guru pendampingnya. (NGD)

Kunjungan SMP Negeri 179 Jakarta Ke Pusat Teknologi dan Data LAPAN

Gambar 1. Kunjungan siswa-siswi SMP Negeri 179 Jakarta ke Pustekdata.

Berita Ringan

69INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

16 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

informasi fasilitas kesehatan di kota Depok, diharapkan dapat

memberikan gambaran pemanfaatan layanan peta (mapservice)

yang dihasilkan oleh LAPAN untuk dimanfaatkan dalam

pengembangan aplikasi SIG berbasis web oleh instansi lainnya.

Konsep Layanan Peta dalam Pemetaan OnlineSeperti yang sudah dibahas dalam pendahuluan

bahwa layanan peta merupakan protokol standar untuk

menyajikan peta yang mempunyai referensi kebumian

melalui jaringan internet yang dihasilkan oleh server peta

menggunakan data dari basisdata SIG (wikipedia) maupun

dari fi le data spasial. Konsep pemetaan online (arsitektur)

secara garis besar ditunjukkan pada Gambar 1 yang

menggambarkan interaksi pengguna dengan aplikasi yang

menghasilkan layanan peta melalui web browser. Pada gambar

tersebut, pengguna melakukan permintaan(request) terhadap

peta yang diinginkan melalui web browser yang mengakses

alamat web server tertentu, permintaan tersebut dilanjutkan

ke server aplikasi yang kemudian dilanjutkan ke server peta

dan server basisdata untuk diproses. Server peta menerima

permintaan pemrosesan peta, kemudian memproses

permintaan tersebut dengan mentransformasikan peta yang

ada menjadi format yang lebih mudah diakses melalui web,

hasil server peta berupa citra(image) yang telah terkompresi

dalam format tertentu (JPG, PNG, dan lain-lain). Server basis

data menerima permintaan untuk memproses atribut peta.

Hasil pemrosesan server peta dan basis data dikirim kembali

ke server aplikasi untuk menggabungkan serta menampilkan

informasi yang dihasilkan dan kemudian ditampilkan dalam

server web.

Data yang digunakan untuk menghasilkan layanan

peta adalah data spasial berupa gambar (image), vektor (titik,

garis dan polygon) dan data atribut lainnya. Data tersebut bias

berdiri sendiri maupun tersimpan dalam suatu basis data geo

(geodatabase) pada server data. Data spasial tersebut diperoleh

dari hasil pengukuran, citra satelit maupun penggunaan

aplikasi SIG dengan standar akurasi data spasial tertentu.

Informasi berbagai macam aplikasi dalam pemetaan

online untuk menghasilkan layanan peta dapat dengan mudah

diperoleh melalui jaringan internet. Aplikasi yang digunakan

diantaranya adalah aplikasi berbayar(ArcGIS Server, MapStudio

dll) dan aplikasi sumber terbuka (MAPSERVER, Geoserver dll).

Horanont, et. al (2002) melakukan perbandingan server dalam

pemetaan online. Perbandingan dilakukan terhadap aplikasi

pemetaan online baik aplikasi server berlisensi dan sumber

terbuka (Map Extreme, ArcIMS dan MapServer). Perbandingan

arsitektur sistem pemetaan online dilakukan dengan

membandingkan fi tur yang dimiliki masing-masing aplikasi.

Hasil perbandingan menunjukkan perangkat lunak berlisensi

dan sumber terbuka memiliki kemampuan yang hampir sama.

Gambar 1. Arsitektur pemetaan online.

Page 19: Inderaja 6

Pustekdata Menerima Kunjungan Mahasiswa Institut Bisnis Nusantara (IBN) Jakarta.

Gambar 1. Kunjungan mahasiswa Institut Bisnis Nusantara ke Pustekdata pada tanggal 03 Juli 2013.

Sebanyak 50 mahasiswa dari Institut Bisnis Nusantara

(IBN) Jakarta melakukan kunjungan ke Kantor Pusat

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN pada

hari Rabu tanggal 03 Juli 2013. Kunjungan tersebut diterima

oleh dua orang staf peneliti dari Pustekdata yaitu Danang

Surya Candra dan Ngadino.

Para mahasiswa menerima pemaparan materi

penginderaan jauh oleh Danang Surya Candra yang

memaparkan tentang penginderaan jauh mulai dari proses

perekaman, pengolahan, pemanfaatan dan distribusi data

penginderaan jauh. Disamping itu para mahasiswa juga

banyak menanyakan tentang teknologi kedirgantaraan dan

aplikasinya maupun yang terkait dengan sains antariksa.

Pada kesempatan tersebut para mahasiswa terlihat

antusias mengikuti pemaparan dan banyak yang bertanya

terkait dengan proses pengolahan data yang dilakukan di

Pustekdata.

Selesai mengikuti pemaparan, para mahasiswa diajak

mengunjungi ruang pameran Pustekdata yang dipandu oleh

staf dari unit pelayanan data. Pada sesi penutupan, pimpinan

rombongan mahasiswa tersebut mengucapkan terima kasih

atas pelayanan yang diberikan. Sebelum kembali ke Kampus,

dilakukan acara penyerahan cindera mata oleh pimpinan

rombongan. (NGD)

Berita Ringan

68 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

17INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Perangkat lunak dalam pemetaan online sangat

bervariasi, baik yang menggunakan aplikasi berlisensi maupun

aplikasi sumber terbuka (opensource). Dari pembahasan

sebelumnya di atas, terdapat 2 jenis pemetaan secara online,

yaitu statis (menampilkan peta dari fi le digital) dan interaktif

(pengguna bisa melakukan interaksi dengan memilih

lapisan data untuk visualisasi dan melakukan perbesaran

/ pengecilan (zoomin/out) sesuai dengan skala peta yang

diinginkan) (Mitchel, 2005). Pemetaan interaktif secara online

memanfaatkan layanan peta (mapservice) yang disediakan

oleh Open Geo Consortium (OGC) yaitu: web map service

(WMS), web feature service (WFS) dan web coverage service

(WCS). Layanan peta tersebut digunakan untuk visualisasi

data, integrasi data dan tumpang tindih (overlay) data.

Layanan PetaLayanan peta (Mapservice) yang disediakan oleh OGC

terdiri dari beberapa layanan dan kemampuan yang berbeda.

Layanan WMS, memiliki kemampuan dalam memproses

layanan berdasarkan permintaan/request (getCapabilities,

getMap, getFeatureInfo, DescribeLayer dan GetLegendGraphic).

Layanan WFS menampilkan fi tur atau informasi atribut. Layanan

WCS lebih kearah visualisasi dan pemrosesan data citra.Layanan

peta (mapservice) digunakan oleh suatu instansi/orang untuk

membuat aplikasi pemetaan online yang mempunyai tujuan

tertentu (diseminasi data atau hasil pekerjaan yang dibuat,

contoh: aplikasi persil tanah, peta fasilitas kesehatan dll).

Jenis layanan peta (Map service) Web Map Service (WMS) merupakan protokol standar

untuk menyajikan peta citra/gambar yang mempunyai

referensi kebumian (georeferensi) melalui internet yang

dibuat oleh suatu server peta(map server) menggunakan

data dari basis data SIG(Open Geospatial Consortium,

http://www.opengeospatial.org/standards/wms). Data

yang digunakan merupakan data citra dan vektor, data

yang dihasilkan berupa citra dan tidak dapat diedit.

Web Feature Service (WFS) merupakan standar

antarmuka yang menghasilkan suatu antarmuka yang

mengijinkan untuk permintaan fi tur geografi melalui

web menggunakan platform pemanggilan bebas.

Mengijinkan untuk manipulasi data untuk mendapatkan

permintaan (get or query features), membuat fi tur

baru(create), menghapus fi tur(delete) dan memperbaharui

fi tur(update). Data yang digunakan berupa data vektor

dan dapat diedit.

Web Coverage Service (WCS) merupakan standar

antarmuka yang menghasilkan suatu antarmuka

yang mengijinkan untuk permintaan cakupan luasan

geografi tertentu melalui web menggunakan platform

pemanggilan bebas. WCS menggambarkan proses

penemuan, atau operasi transformasi data. Data yang

digunakan dapat dalam beberapa format, DTED, GeoTiff ,

HDF-EOS atau NITF. Beberapa jenis data yang didukung

diantaranya adalah, kumpulan titik, regular grid,

kurvatersegmentasi, TIN, dan lain-lain.

Tabel 1. Perintah yang digunakan dalam mengakses layanan peta

WMS WFS WCS

Data Image Vektor Image & Vektor

Perintah (Command)

Get CapabilitiesGet MapGet Feature InfoDescribe LayerGet Legend Graphic

Get CapabilitiesDescribe Feature TypeGet Feature

Get CapabilitiesDescribe CoverageGet Coverage

(sumber: Wikipedia dan OGC)

Pembuatan layanan peta (mapservice) dapat

menggunakan perangkat lunak yang berlisensi seperti

ARCIMS/ARCGIS SERVER maupun yang sumber terbuka seperti

GEOSERVER, MAPSERVER dan lain-lain. Aplikasi opensource

geoserver menawarkan kemudahan dalam pembuatan

layanan peta dengan menggunakan fi tur yang dimilikinya,

namun dalam membuat informasi legenda masih dilakukan

secara manual dengan mendefi nisikan melalui kode/script

tertentu. Aplikasi opensource MAPSERVER dalam pembuatan

layanan peta melalui script/kode program tertentu dan dalam

pendefi nisian sistem proyeksi, atribut, pewarnaan legenda

secara manual.

MetodologiData dan peralatan

Data yang digunakan adalah data fasilitas kesehatan

(vektor) kota Depok yang diperoleh dari Dinas Kesehatan

Kota Depok, data jaringan jalan dari Dinas Pekerjaan Umum

Page 20: Inderaja 6

Jum’at, 22 Maret 2013, Pusat Teknologi dan Data

Penginderaan Jauh LAPAN, Pekayon menerima

kunjungan Tim dari Biro Umum LAPAN dalam rangka

sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011

tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil yang

dilaksanakan di Gedung Training Pustekdata Jl. LAPAN Nomor

70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tim sosialisasi tersebut

diterima langsung oleh Kepala Bidang Teknologi Pengolahan

Data, Drs. Kustiyo, M.Si. Dalam sambutannya Kabid. Teklahta

menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tim Sosialisasi

yang dipimpin oleh Ibu Anik Sri Parianti, S.H., dan diharapkan

seluruh peserta sosialisasi dapat memanfaatkan waktu untuk

menyimak dan memperhatikan secara seksama dari apa yang

akan disampaikan oleh tim.

Dalam paparannya, Anik Sri Parianti, S.H.

menyampaikan aturan-aturan yang tertuang dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 diantaranya

terkait penilaian pegawai yang mengggunakan tolok ukur

baru sebagai pengganti Daftar Penilaian Prestasi Pegawai

(DP3) yaitu Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) meliputi kuantitas,

kualitas, waktu, dan biaya yang memiliki bobot 60 % dan

perilaku meliputi orientasi pelayanan, integritas, komitmen,

disiplin, kerjasama, kepimimpinan (untuk pejabat struktural)

dengan bobot 40 %. Setiap PNS wajib menyusun SKP

sesuai dengan kegiatan tugas jabatan dan tanggungjawab

sebagaimana tertuang di dalam Tugas Pokok dan Fungsi

Organisasi, Renstra, Renja, dan uraian jabatan. Unsur-unsur

Sasaran Kinerja Pegawai ada empat komponen yaitu:

pertama, kegiatan tugas jabatan berupa rincian tugas

sesuai struktur dan tata organisasi dan pekerjaan yang riil

dilaksanakan; kedua, angka kredit untuk mengkalkulasi nilai

butir butir kegiatan yang harus dicapai oleh seorang PNS

dalam rangka pembinaan karier dan jabatannya; ketiga,

target kuantitas, kualitas waktu dan biaya; ke empat tugas

tambahan dan atau kreavitas di luar tugas pokok. Sesi

terakhir dari kegiatan sosialisasi ini adalah latihan pengisian

Form SKP oleh para peserta yang dibimbing langsung oleh

Tim. (BH, WB, NGD)

Gambar 1. Para PNS Pustekdata pada acara sosialisasi PP Nomor 46 Tahun 2011

Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil

di Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN, Pekayon

Berita Ringan

67INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

18 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Kota Depok dan data citra penginderaan jauh dalam format

layanan peta yang dihasilkan oleh LAPAN. Untuk server aplikasi

menggunakan Apache Web server, server SIG untuk instansi

PU dan Kesehatan menggunakan Geoserver, untuk server SIG

di LAPAN menggunakan ArcGIS server serta server SIG di BIG.

Metode Secara garis besar metode yang digunakan adalah

sebagai berikut :

1. Kajian pustaka, kajian pustaka dilakukan untuk

memperdalam informasi

2. Analisa kebutuhan aplikasi Sistem informasi fasilitas

kesehatan dan pembuatan layanan peta

3. Desain dan model aplikasi

4. Pemrograman

5. Pengujian dan perbaikan aplikasi

Untuk pembuatan layanan peta menggunakan aplikasi

ArcGIS terdiri dari 3 tahap, yaitu:

Penyimpanan data padaruang penyimpanan digital

di server penyimpanan. Data yang dimiliki disimpan

deserver penyimpanan. Format penyimpanan mengikuti

format penyimpanan data. Penyimpanan dilakukan ke

dalam folder berdasarkan jenis data (format pengarsipan).

Jika menggunakan suatu basis data geo, perlu dilakukan

proses import data kedalam basis data tersebut.

Pembuatan project data pada aplikasi ArcGIS Desktop,

pembuatan project (*.mxd) terhadap data yang akan

dibuatkan layanan peta, proses manipulasi data spasial

dilakukan pada tahap ini, simpan fi le project tersebut

dalam folder tertentu, sebaiknya dibuatkan aturan

dalam folder penyimpanan untuk memudahkan dalam

pembuatan layanan peta.

Pembuatan map service pada aplikasi ArcGIS server,

pembuatan layanan peta menggunakan Aplikasi ArcGIS

server diantaranya melalui web browser (mozilla, fi refox,

google chrome, dan lain-lain). Data yang digunakan

adalah fi le project (*.mxd) yang telah dibuat. Penentuan

layanan yang akan diberikan dilakukan pada tahap ini

(WMS, WFS, WCS) .

Hasil dan PembahasanAnalisa Kebutuhan Aplikasi

Tahapan pertama dalam pengembangan aplikasi

system informasi fasilitas kesehatan berbasis web perlu

didefi nisikan fi tur yang dibutuhkan pada aplikasi adalah,

aplikasi dapat menampilkan peta online fasilitas kesehatan

di Kota Depok yang interaktif. Pada peta terdapat informasi

skala, fasilitas pembesaran/pengecilan (zoom in/out), legenda,

peta dasar, jaringan jalan dan fasilitas kesehatan dan legenda

informasi.

No Instansi Data Layanan Peta Keterangan

1 Dinas Kesehatan

kota Depok

Fasilitas kesehatan http://localhost:8080/geoserver/depok/wms?service=WMS&version=1.1.0&request=GetMap&layers=depok:fas_kesehatan&styles=&bbox=106.7248521336067,-6.4638589143161465,106.90898412706845,-6.314182056568318&width=512&height=416&srs=EPSG:4326&format=application/openlayers

Dibuatkan layanan

peta nya

2 Dinas Pekerjaan

Umum kota

Depok

Jaringan jalan http://localhost:8080/geoserver/depok/wms?service=WMS&version=1.1.0&request=GetMap&layers=depok:jalan_depok&styles=&bbox=106.7248521336067,-6.4638589143161465,106.90898412706845,-6.314182056568318&width=512&height=416&srs=EPSG:4326&format=application/openlayers

Dibuatkan layanan

peta nya

3 LAPAN Citra Quickbird

2003

http://geoportal.lapan.go.id:6080/arcgis/services/ Daftar layanan peta

yang disediakan

4 BIG Batas Administrasi http://geoservices/ArcGIS/services/ Daftar layanan peta

yang disediakan

Tabel 2. Layanan Peta yang digunakan pada aplikasi

Page 21: Inderaja 6

teori penginderaan jauh, stasiun bumi satelit penginderaan

jauh, teknologi perekaman dan pengolahan data, serta

pemanfaatan data-data penginderaan jauh untuk berbagai

sektor pembangunan.

Pada kesempatan tersebut dijelaskan secara rinci

mengenai Data Penginderaan Jauh mulai dari penerimaan,

perekaman, pengolahan dan pemanfaatannya hingga

distribusi datanya. Dijelaskan juga berbagai fasilitas yang

dimiliki LAPAN diantaranya stasiun bumi di Parepare, Sulawesi

Selatan yang bertugas melakukan perekaman data satelit

SPOT dan MODIS dan stasiun bumi yang ada di Jakarta yang

merekam data satelit NOAA, Feng Yun, dan MTSAT. Disamping

itu LAPAN juga melakukan pengolahan untuk data satelit

resolusi tinggi seperti ALOS, IKONOS, Quick Bird, Word View

dan lain sebagainya.

Lebih lanjut mahasiswa dijelaskan mengenai contoh

data-data satelit penginderaan jauh yang dipakai untuk

berbagai macam aplikasi, misalnya data satelit MODIS dan

NOAA yang digunakan untuk analisis lingkungan dan cuaca,

data satelit Landsat dengan resolusi 30 m yang bisa dipakai

untuk monitoring hutan, mengetahui tutupan lahan serta

bisa untuk monitoring pertumbuhan pertanian atau sawah.

Dijelaskan juga mengenai pemanfaatan data-data satelit

penginderaan jauh resolusi tinggi seperti IKONOS dan Word

View yang digunakan untuk perencanaan wilayah dan tata kota.

Kemudian Fadila Muchsin, juga menambahkan

kalau selama ini stasiun bumi LAPAN hanya bisa merekam

data satelit dengan resolusi rendah dan menengah, maka

pada pertengahan tahun 2013 ini direncanakan stasiun

bumi LAPAN sudah bisa merekam data resolusi tinggi

(hires) yaitu satelit SPOT-5 dan SPOT-6 milik Perancis dan

untuk resolusi menengah stasiun bumi di Parepare akan

merekam data satelit LDCM (Landsat Data Continue Mission)

atau Landsat-8. Untuk itu stasiun bumi di Parepare sedang

melakukan upgrading peralatan receiver, sedangkan antene

penerimanya sudah dipasang tahun lalu. Saat ini di LAPAN

Pekayon, sudah terpasang tujuh server yang dirangkai dalam

satu kesatuan dan nantinya bisa mengolah data dengan

kecepatan tinggi yang dikirim secara on line dari stasiun

bumi Parepare.

Selesai pemaparan para mahasiswa diberikan waktu ½

jam untuk diskusi dan tanya jawab. Kemudian setelah selesai

diskusi dan tanya jawab, dilanjutkan dengan kunjungan ke

ruang Demo di lantai bawah. Disini para mahasiswa bisa

melihat langsung hasil-hasil aplikasi data satelit sekaligus bisa

menanyakan langsung kepada para pemandu yaitu Andi

Setiyoko, Inggit Lolitasari, serta Bambang Haryanto. Setelah

selesai melihat hasil-hasil aplikasi data satelit, kunjungan

para mahasiswa diakhiri dengan foto bersama dan bertukar

cendera mata. (WB, BH, NGD)

Gambar 2. Foto bersama mahasiswa Unsud di depan Ruang Pameran Pustekdata

Gambar 3. Salah seorang pemandu sedang menjelaskan kepada para mahasiswa pada acara kunjungan ke Pustekdata

Berita Ringan

66 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

19INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Untuk data spasial yang dihasilkan oleh instansi lain

(LAPAN dan BIG) perlu di inventarisir alamat layanan peta

yang akan digunakan. Data fasilitas kesehatan dan jaringan

jalan dibuatkan layanan petanya secara local menggunakan

aplikasi geoserver.

Desaindan Model AplikasiDesain aplikasi dan model (Gambar 2) yang diajukan

berdasarkan interaksi yang terjadi pada system, pengguna

mengakses ke server aplikasi untuk mendapatkan informasi

fasilitas kesehatan secara visual melalui web browser,

server aplikasi mengakses layanan peta yang tersedia dan

menampilkan secara visual pada halaman web. Aplikasi

system informasi berbasis pemetaan online memanfaatkan

layanan peta yang disediakan oleh instansi PU, BIG dan LAPAN.

Aplikasi SIG yang dikembangkan memanfaatkan framework

pmapper pembuatan aplikasi.

Gambar 2. Interaksi user dengan aplikasi.

Pembuatan Layanan Peta (Mapservice)Pembuatan layanan peta (mapservice) merupakan

kegiatan untuk menyediakan layanan peta untuk akses

pemetaan online. Data spasial yang digunakan berupa data

raster/image atau data vektor (titik, garis, polygon). Aplikasi

yang digunakan untuk membuat mapservice yaitu aplikasi

Server SIG (ArcGIS, GeoServer, dan lain-lain). Daftar publikasi

layanan peta yang dihasilkan oleh instansi LAPAN dan BIG

ditunjukkan pada Gambar 3.

Layanan peta yang dihasilkan dapat digunakan dalam

pemetaan online maupun aplikasi SIG. Layanan peta tersebut

dapat digunakan dengan mengakses alamat layanan peta.

Untuk melihat layanan peta yang dihasilkan dapat mengakses

alamat layanan peta, misal, alamat layanan peta yang terdapat

pada ServerSIG di LAPAN yaitu, http://geoportal.lapan.

go.id:6080/arcgis/rest/services/.

Mengakses Layanan PetaPemanfaatan layanan peta dapat dilakukan dengan

mengakses alamat layanan peta menggunakan aplikasi SIG.

Aplikasi SIG yang digunakan berbasis web atau berbasis

desktop. Pada kesempatan ini mengunakan aplikasi

berbasis desktop. Pada ArcGIS desktop terdapat tools untuk

menambah data layanan peta (WMS dan WCS). Pada Gambar

4 ditunjukkan pengaksesan layanan peta menggunakan

alamat http://geoportal.lapan.go.id:6080/arcgis/services/.

Untuk mengakses layanan peta berupa WFS

menggunakan ArcGIS desktop memerlukan langkah-langkah

yang berbeda. Menambahkan data menggunakan layanan

Gambar 3. Daftar publikasi Layanan Peta pada Server SIG di LAPAN dan BIG.

Page 22: Inderaja 6

Selasa, 19 Maret 2013, dengan didampingi oleh 3 Dosen

pembimbing, sebanyak 50 Mahasiswa Universitas

Jenderal Soedirman (UNSUD) berkunjung ke Pusat

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN Pekayon.

Mereka diterima di ruang Training oleh Kepala Bidang

Teknologi Pengolahan Data, Kustiyo yang didampingi satu

orang staf peneliti yaitu Fadila Muchsin.

Dalam sambutannya beliau mengucapkan selamat

datang dan terima kasih atas kunjungan para Mahasiswa

dan Dosen pembimbing dari UNSUD dan berharap agar

kunjungan ini bisa membawa manfaat dan menambah ilmu

pengetahuan khususnya di bidang Penginderaan Jauh bagi

para mahasiswa.

Sambutan selanjutnya disampaikan oleh Prasmaji

Sulistyanto selaku dosen pendamping dari UNSUD, dan

beliau menghaturkan terima kasih banyak karena telah

diterima dengan baik dan diberi kesempatan untuk menggali

dan mengetahui lebih banyak tentang Penginderaan Jauh

dan manfaatnya bagi masyarakat luas pada umumnya dan

mahasiswa pada khususnya. Beliau juga berharap untuk bisa

dijelaskan mengenai data yang bisa diakses di LAPAN dan

berbagai pemanfaatannya. Terakhir beliau berharap agar

kedepan Mahasiswa UNSUD bisa melakukan Praktek Kerja

Lapangan (PKL) di LAPAN.

Pada sesi pemaparan yang disampaikan oleh Fadila

Muchsin, diterangkan mengenai struktur organisasi LAPAN,

Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Kunjungi LAPAN Pekayon

Gambar 1. Kepala Bidang Teknologi Pengolahan Data, Drs. Kustiyo, M.Si. (tengah) sedang memberi sambutan pada acara kunjungan mahasiswa UNSUD ke Pustekdata.

Berita Ringan

65INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

20 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

peta dengan membuat suatu koneksi interoperabilitas

terlebih dahulu, kemudian mengisikan alamat layanan peta,

misal, http://geoservices/ArcGIS/services/IGD/Nasional_

BatasAdministratif/MapServer/WFSServer?request=GetCapab

ilities&service=WFS, kemudian memilih jenis fi tur yang akan

ditampilkan (Gambar 5).

Pemanfaatan layanan peta untuk penggunaan aplikasi

SIG online dapat dilakukan dengan mengakses alamat layanan

peta. Untuk studi kasus, penulis mencoba membuatkan

aplikasi SIG online untuk data kesehatan (informasi rumah

sakit, puskesmas) yang digabungkan dengan batas

administrasi, jaringan jalan dan sungai di daerah Kota Depok.

Untuk membuat layanan peta menggunakan aplikasi sumber

terbuka (opensource), penulis menggunakan aplikasi geoserver

dan dalam pembuatan aplikasi SIG menggunakan aplikasi

Mapserver dengan kerangka kerja (framework) pmapper. Hasil

pembuatan aplikasi SIGonline ditunjukkan pada Gambar 6.

PenutupLayanan peta (mapservice) merupakan sarana yang

bisa digunakan untuk berbagi data antar instansi dengan

mekanisme tertentu. Pembuatan layanan peta dapat

menggunakan aplikasi berbayar atau aplikasi sumber terbuka

(opensource). Jenis layanan yang dihasilkan mengacu dari

jenis data yang digunakan dalam menghasilkan layanan

peta. Pemanfaatan layanan peta untuk pembuatanaplikasi

SIG berbasis web kesehatan di Kota Depok dapat dilakukan

dengan mengakses alamat layanan peta yang dihasilkan oleh

instansi di Kota Depok maupun instansi lainnya. Pemanfaatan

layanan peta ini dapat memberikan kemudahan bagi instansi

dalam mengembangkan aplikasi SIG berbasis web. Layanan

peta yang dihasilkan dapat digunakan untuk menghasilkan

data turunan serta dapat dimanfaatkan dalam pembuatan

aplikasi SIG online dengan tema lainnya. Besar harapan

pemanfaatan layanan peta ini bisa digunakan oleh tiap-tiap

instansi dalam memberikan nilai tambah data spasial yang

telah ada dan dimanfaatkan dalam pengembangan aplikasi

SIG online.

Gambar 4. Penggunaan layanan peta WMS dan WCS.

Gambar 6. Aplikasi GIS online untuk data kesehatan di kota Depok.

Gambar 5. Pengaksesan layanan peta WFS

Page 23: Inderaja 6

merupakan lembaga teknologi keantariksaan yang mampu mengembangkan teknologi serta sumber daya manusia dalam bidang

keantariksaan dan penginderaan jauh (inderaja). Sedangkan Kepala LAPAN, di dalam sambutannya menyampaikan beberapa

strategi pencapaian sasaran utama pengembangan teknologi dirgantara, pembangunan sarana dan prasarana Litbang antara lain :

• Pusat Teknologi Satelit melaksanakan pembangunan gedung kantor Pusat Teknologi Satelit di Rancabungur, Upgrading

Stasiun Bumi Rumpin, Rancabungur, Kototabang, Pontianak dan Biak, Upgrading Laboratorium Integrasi Satelit, Rancabungur

dan Upgrading Bengkel manufaktur Satelit Rancabungur.

• Pusat Teknologi Roket melaksanakan upgrading Gedung Kantor Pusatnya di Tarogong, Gedung Proses Propelan, Gedung

Fabrikasi Struktur, Gedung Integrasi Roket Pameungpeuk, dan Sarana Stasiun Peluncuran Pameungpeuk.

• Pusat Teknologi Penerbangan, Rumpin, melaksanakan renovasi bangunan untuk Peralatan Kompresor dan Hanggar.

Pada kesempatan tersebut, Kepala LAPAN juga menyampaikan pengembangan Jaringan Bank Data Penginderaan Jauh

Nasional sebagai implementasi Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2012 tentang Penyediaan, Penggunaan, Pengendalian Kualitas,

Pengolahan dan Distribusi Data Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi. Sesuai Inpres tersebut, maka LAPAN diinstruksikan untuk

melayani dan mendistribusikan data satelit inderaja yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor di pemerintahan pusat dan daerah.

LAPAN di dalam ulang tahun ke 49 ini memberikan penghargaan kepada para pejabat struktural yang berprestasi, yang

diserahkan langsung oleh Menristek Bapak Gusti Muhammad Hatta.

Setelah selesai acara seminar tersebut, dilanjutkan dengan kegiatan pertandingan olah raga antar kedeputian di LAPAN,

dimana Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan, LAPAN Bandung menjadi Juara Umum (WB, BH, NGD)

Gambar 2. Para PNS LAPAN yang memperoleh penghargaan sedang foto bersama Menristek dan Kepala LAPAN.

Berita Ringan

64 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

21INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

1. PENDAHULUAN

Teknologi penginderaan jauh semakin berkembang

melalui kehadiran berbagai sistem satelit dengan

berbagai misi dan teknologi sensor. Aplikasi satelit

penginderaan jauh telah mampu memberikan data/informasi

tentang sumber daya alam secara teratur dan periodik. Salah

satu keuntungan dari data citra satelit penginderaan jauh

untuk deteksi sumber daya lahan adalah setiap lembar (scene)

citra ini mencakup wilayah yang sangat luas. Citra satelit

Landsat merupakan salah satu citra satelit penginderaan jauh

yang menampilkan gambaran wilayah yang cukup luas dan

sistem pengolahan datanya cukup mudah dipahami oleh

berbagai pengguna data, sehingga perkembangan Landsat

selalu diikuti oleh para pengolah dan pengguna data untuk

mempertahankan kontinyuitas data serta informasi yang ada

di dalamnya. Adanya satelit LDCM (Landsat Data Continuity

Mission) yang merupakan kelanjutan satelit Landsat 7 ETM+

atau pengganti satelit Landsat sebelumnya, ada baiknya

sedikit menginformasikan satelit Landsat yang sudah ada

sebelumnya, seperti pada Tabel 1.1

Dari Tabel 1.1 dapat digambarkan perkembangan

satelit Landsat dari Landsat 1 sampai Landsat 8 (LDCM) seperti

pada gambar 1.1

Gambar 1.1 Sejarah perkembangan Satelit Landsat

Kajian Data Satelit Generasi Baru Landsat LDCM (Landsat Data Continuity Mission)

Dianovita, Ediyanta Purba, Fadila MuchinPeneliti Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPANEmail: [email protected]

Page 24: Inderaja 6

Selasa, 27 Nopember 2012, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyelenggarakan Seminar dalam

rangka HUT LAPAN ke 49 yang dilaksanakan di gedung Graha Widya Bhakti Kawasan Puspitek, Serpong, Tangerang Selatan,

dengan tema “ Seminar Nasional Kedirgantaran dan Sosialisasi RUU Keantariksaan Menyongsong 50 Tahun Kedirgantaraan

Nasional”

Pada acara pembukaan seminar tersebut tampak hadir Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bapak Gusti Muhammad

Hatta dan Kepala LAPAN Bapak Bambang Tjedjasukmana. Dalam sambutannya Menristek menyampaikan bahwa LAPAN

Gambar 1. Menristek (kiri) dan Kepala LAPAN (kanan) pada acara pembukaan Seminar dalam rangka HUT LAPAN ke-49 di Puspiptek, Serpong.

Seminar Nasional Kedirgantaraan dan Sosialisasi RUU Keantariksaan dalam rangka HUT LAPAN ke-49

Berita Ringan

63INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

22 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pada tanggal 11 Februari 2013, Kerjasama NASA dan

Departement of the Interior (DOI) U.S Geological Survey

(USGS) berhasil meluncurkan satelit baru yaitu satelit LDCM

(Landsat Data Continuity Mission). Keahlian NASA dalam misi

observasi bumi dan keahlian USGS dalam penyimpanan data

dan memproses data penginderaan jauh diberikan untuk

suatu kerjasama yang saling menguntungkan.

Tanggung jawab NASA untuk LDCM meliputi

pengembangan instrumen OLI dan TIRS, pesawat ruang

angkasa, kendaraan peluncur, Implementasi Mission Operations

Element (MOE) yang didanai USGS, dan verifi kasi misi pada orbit.

NASA membeli elemen – elemen terbesar dari bagian

ruang LDCM dari industri Goddard Space Flight Center

(GSFC) yang bertindak sebagai misi integrasi dan memimpin

misi system rekayasa. TIRS dirancang di GSFC dan layanan

peluncuran disediakan oleh Kennedy Space Center. Pusat

operasi misi LDCM akan dibangun di GSFC.

USGS akan menyediakan sistem pengolahan data dasar

yang berlokasi di Earth Resources Observation and science

(EROS) center USGS. USGS membeli system pengolahan

data dasar dari sebuah industry. Tim operasi penerbangan

juga disediakan oleh USGS melalui kontrak dengan NASA.

USGS mendanai dan memimpin tim peneliti Landsat. Setelah

verifi kasi orbit selesai, USGS akan memimpin kegiatan kalibrasi

pasca peluncuran, pengoperasian satelit, kelanjutan produksi

data, dan pengarsipan data.

NamaSatelit

TanggalPeluncuran Roket Jenis

OrbitTinggi Orbit

ResolusiTemporal Sensor Band Resolusi

SpasialJumlahBit data

OperatorPengolah

PenyebabBerhenti

beroperasiLandsat

1

23 Juli 1972 Delta

900

Near-polar 917

km

18 hari RBV

MSS

3 Band

Kamera

4 Band

MSS

80 m

80 m

6 USGS Umur satelit

Landsat

2

22Januari1975 Delta

2910

Near-polar 917

km

18 hari RBV

MMS

3 Band

Kamera

4 Band

MSS

80 m

80 m

6 USGS Umur satelit

Landsat

3

5Maret1978 Delta

2910

Near-Polar 917

km

18 hari RBV

MMS

2 Band

Kamera

5 Band

MSS

80 m Pan 40 m

80 m

6 USGS Umur satelit

Landsat

4

16 Juli 1982 Delta

3920

Near-polar 705

km

16 hari TM

Mss

7 band

4 band

30 m, termal

120 m

80 m

8 USGS Umur satelit

Landsat

5

1 Maret 1984 Delta

3920

Near-polar 705

km

16 hari TM

MSS

7 band

4 band

MS 30 m,

termal 120 m

80 m

8 USGS Umur satelit

Landsat

6

5 Oktober1993 Titan II Sun-Syhch 705

km

16 hari ETM 8 Band MS 30 m

Pan 15 m

Termal 120 m

8 USGS Gagal

Mengorbit

Landsat

7

15 April1999 Delta II Sun-Synch 705

km

16 hari ETM+ 8 band MS 30 m

Pan 15 m

‘Termal 60 m

8 USGS SLC OFF

sejak Mei

2003Landsat

8

11 Februari

2013

Atlas-V Circular Sun-

Synchronous

705

km

16 hari OLI

TIRS

9 Band

2 Band

MS 30 m

Pan 15 m

Cirrus 30 m

TIRS 100 m

8 USGS Opersional

Tabel 1.1 Perbandingan Satelit Landsat

Page 25: Inderaja 6

Kepala LAPAN Drs. Bambang Tedjasukmana, Dipl. Ing., dalam sambutannya menyampaikan, bahwa penandatanganan

fakta integritas ini merupakan rangkaian proses reformasi birokrasi. Pakta Integritas tersebut juga merupakan tindak lanjut Instruksi

Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Tujuan dari penandatanganan Pakta

Integritas tersebut adalah agar tercipta komitmen untuk melaksanakan pengelolaan anggaran secara tertib dan benar. Pakta

Integritas diharapkan dapat dijadikan instrument untuk mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan di lingkungan

instansi pemerintah, pelanggaran terhadap Pakta Integritas akan dikenakan sanksi moral, sanksi administrasi, serta tuntutan hukum

sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Isi Pakta Integritas yang telah ditandatangani yaitu pertama tidak akan melakukan, mendukung, dan atau menyebabkan

terjadinya kegiatan fi ktif atau rekayasa dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan barang atau jasa maupun pelaksanaan kegiatan

operasional lainnya di lingkungan LAPAN, kedua tidak akan menerima, menggunakan, dan atau memanfaatkan sesuatu yang

dapat dikategorikan sebagai hasil dari kegiatan fi ktif atau rekayasa (BH, WB, NGD).

Gambar 3. Panitia/Pejabat Pengadaan Barang/Jasa dan Panitia/Pejabat Pemeriksa Barang/Jasa di lingkungan Pustekdata melakukan foto bersama setelah penandatanganan Pakta Integritas

Gambar 4. Panitia/Pejabat Pengadaan Barang/Jasa dan Panitia/Pejabat Pemeriksa Barang/Jasa di lingkungan Pusfatja melakukan foto bersama setelah penandatanganan Pakta Integritas

Berita Ringan

62 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

23INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pada April 2008 USGS mengumumkan bahwa arsif

data Landsat dapat diberikan kepada publik dan bebas biaya.

Pada Oktober 2008, Landsat 7 diberikan tanpa dipungut biya,

dan Desember 2008 berlaku juga untuk Landsat 1 – 5. Semua

arsip bisa dilihat pada situs http://glovis.usgs.gov.

Agar kontinuitas data LANDSAT di Indonesia, baik

akuisisi maupun pelayanan/penyediaan data tidak terhenti,

maka LAPAN telah melakukan pengembangan stasiun

penerima data satelit LDCM di Parepare untuk merekam citra

LDCM mulai Tahun 2013.

2. SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT LDCM.

2.1 Misi Satelit LDCM LDCM merupakan kerjasama antasa NASA dan USGS,

akan menyediakan citra resolusi menengah (15 m – 100 m

tergantung pada nilai spektral) dari permukaan bumi dan

wilayah kutub pada panjang gelombang visible, near-

infrared, short wave infrared, dan thermal infrared. LDCM

menyediakan secara berkelanjutan data set citra Landsat

selama 38 tahun. Selain itu untuk memperluas manfaat

sehari–hari untuk perencanaan penggunaan lahan

dan memonitor wilayah pada skala lokal, mendukung

tanggap bencana dan evaluasi, monitor penggunaan air,

pengukuran LDCM secara langsung melayani penelitian

NASA pada fokus area iklim, siklus karbon, ecosystem,

siklus air, biogeokimia, permukaan bumi/interior.

2.2 Sistem Orbit Satelit LDCM Satelit LDCM (Landsat-8) telah diluncurkan pada tanggal

11 Februari 2013, waktu peluncuran pukul 1 : 02 p.m.,

dari VAFB (Vandenberg Air Force Base), California dengan

pesawat peluncur adalah Atlas-V-401. Ada 2 sensor yang

dibawa satelit LDCM yaitu sensor OLI (Operasional Land

Imagery) dan Sensor TIRS (Thermal Infrared Sensor). Jenis

Orbit satelit LDCM mendekati lingkaran sinkron – matahari

(Circular Sun-Synchronous), merekam pada ketinggian

705 km, dengan sudut inklinasi 98.2°(degrees), periode

99 menit, dengan waktu liput ulang (resolusi temporal)

adalah 16 hari dengan waktu melintasi katulistiwa (Local

Time on Descending Node - LTDN) nominal pada jam

10:00 s.d. 10:15 pagi. Jumlah scene LDCM per harinya 400

scene.

2.3 Sensor OLI (Operasional Land Imagery) Sensor OLI dirancang oleh the Ball Aerospace and

Technologies Corporation, dengan desain umur beroperasi

5 tahun. Sistem pencitraan sensor OLI yaitu pushbroom

dengan sebuah telescope yang mempunyai 4 cermin

dan kuantitas data 12 bit. OLI mempunyai 9 band

multispectral, dengan resolusi spasial 30 meter (15

meter band pankromatik) lebar cakupan 185 km dengan

ketinggian perekaman 705 km.

Pada gambar 2.3.1 lebar panjang gelombang pada

band OLI banyak mengalami perubahan dari band ETM

untuk menghindari obyek penyerapan atmosfi r yang

ada pada band ETM. Perubahan terbesar terjadi pada

band 5 OLI (0.845–0.885 μm) untuk mengabaikan obyek

penyerapan uap air pada 0.825 μm yang ada di tengah

panjang gelombang band 4 ETM. Band pankromatik OLI

yaitu band 8 juga relatif lebih sempit dibanding band

pankromatik ETM untuk membangun kontras yang besar

antara area bervegetasi dengan yang tidak bervegetasi.

Sensor OLI mempunyai band - band spektral yang

menyerupai sensor ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus)

dari Landsat 7. Sensor OLI ini mempunyai band - band

yang baru yaitu : band biru (band 1: 0.433–0.453  μm)

untuk pengamatan wana lautan pada wilyah pantai dan

band shortwave infrared (band 9: 1.360–1.390 μm) yang

berada di atas obyek penyerapan uap air yang tinggi

dan akan ikut mendeteksi awan cirrus pada citra OLI

(awan cirrus akan tampak terang ketika sebagian besar

permukaan tanah tampak gelap menembus atmosfi r

bebas awan yang mengandung uap air).

Gambar 2.3.1 Kurve tanggap spektral sensor OLI dengan ETM +

Page 26: Inderaja 6

Kamis, 14 Maret 2013, Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh melaksanakan Penandatanganan Pakta Integritas yang

dilaksanakan di Ruang Training Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh. Semua Pejabat Struktural, Kepala Satuan

Kerja, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (P2K), Bendahara, Panitia/Pejabat Pengadan Barang/

Jasa dan Panitia/Pejabat Penerima/Pemeriksa Barang/Jasa di lingkungan Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Pekayon,

melakukan penandatanganan Pakta Integritas. Penandatanganan Pakta Integritas merupakan salah satu kegiatan yang harus

dilaksanakan dalam rangka reformasi birokrasi dan remunerasi menuju Tata Pemerintahan yang baik.

Penandatanganan Pakta Integritas di Lingkungan Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh

Gambar 2. Foto bersama para pejabat struktural setelah selesai penandatanganan Pakta Integritas.

Gambar 1. Para pejabat struktural di Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh sedang menandatangani Pakta Integritas

Berita Ringan

61INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

24 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

panjang gelombang untuk band yang sama, perubahan

ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas perekaman

tiap band atau dengan kata lain untuk mengurangi bias

informasi pada band tersebut, tentunya dengan tetap

menjaga karakteristik dari band itu sendiri. Secara detail

untuk panjang gelombang yang digunakan tiap band

dapat dilihat pada tabel 2.5.1

3. HASIL PENGOLAHAN DATA LDCMPada gambar 3.1 sampai 3.7 merupakan data LDCM

yang direkam pada tanggal 20 Mei 2013 dan Landsat 7 ETM

yang direkam pada tanggal 28 Mei 2013 untuk wilayah pantai

kabupaten Polewali, Sulawesi Selatan. Pada gambar 3.8

merupakan data LDCM yang direkam pada tanggal 29 April

2013 dan Landsat 7 ETM yang direkam pada tanggal 7 Mei

2013.

Adanya penambahan band 1 (aerosol) dan band 9

(cirrus) pada citra LDCM yang tidak ada sebelumnya di citra

Landsat 7 ETM dapat dilihat pada gambar 3.1 dan 3.2. Citra

pada gambar 3.1.a menyajikan band 1 pada citra LDCM

berpotensi untuk deteksi wilayah pesisir dan sekitar, seperti

sedimentasi di laut, terumbu karang, batas tepi pantai, obyek

– obyek ini dideteksi menggunakan band 1 di Landsat 7 ETM

yang setara dengan band 2 pada citra LDCM sebelum LDCM

beroperasi, akan tetapi obyek tersebut tidak begitu jelas

bahkan tidak tampak pada band 1 di citra Landsat 7 ETM

seperti gambar 3.1.b

Sedangkan penambahan band 9 (cirrus) pada gambar

3.2, berpotensi untuk deteksi awan cirrus yang tidak terdeteksi

di band multispektral lainnya.

L7 ETM + Bands LDCM OLI/TIRS Band requirements

No. Urut Band

Resolusi spasial

Nama Band

Panjang Gelombang

No.Urut Band

Resolusi spasial

Nama Band

Panjang Gelombang

Band 1 30 m Coastal/Aerosol 0.433-0.453 μm

Band 1 30 m Blue 0.450-0.515 μm Band 2 30 m Blue 0.450-0.515 μmBand 2 30 m Green 0.525-0.605 μm Band 3 30 m Green 0.525-0.600 μmBand 3 30 m Red 0.630-0.690 μm Band 4 30 m Red 0.630-0.680 μmBand 4 30 m Near-IR 0.775-0.900 μm Band 5 30 m Near-IR 0.845-0.885 μmBand 5 30 m SWIR-1 1.550-1.750 μm Band 6 30 m SWIR-1 1.560-1.660 μmBand 7 30 m SWIR-2 2.090-2.350 μm Band 7 30 m SWIR-2 2.100-2.300 μmBand 8 15 m Pan 0.520-0.900 μm Band 8 15 m Pan 0.500-0.680 μm

Band 9 30 m Cirrus 1.360-1.390 μmBand 6 60 m LWIR 10.00-12.50 μm Band 10 100 m LWIR-1 10.30-11.30 μm

Band 11 100 m LWIR-2 11.50-12.50 μm

Ada beberapa bagian yang ada pada sensor OLI

digambarkan pada Gambar 2.3.2

2.4 Sensor TIRS (Thermal Infrared Sensor) Sensor TIRS (Thermal Infrared Sensor) dirancang oleh

NASA GSFC, dengan umur beroperasi 3 tahun. Sistem

pencitraan sama seperti sensor OLI yaitu pushbroom.

TIRS untuk kelanjutan pengukuran suhu dan mendukung

aplikasi pengukuran laju evapotranspirasi untuk

pengelolaan sumber daya air. Sensor TIRS membawa

band thermal yang resolusi spasialnya 100 meter

diresampling mengikuti band multispektral yang ada

pada sensor OLI yaitu 30 meter.

2.5 Spesifi kasi Data Satelit LDCM Dari gambar 2.3.1 selain terdapat tambahan 2 band baru

pada citra satelit LDCM, juga terlihat terdapat perbedaan

Gambar 2.3.2 Sensor OLI satelit LDCM

Gambar 2.3.3 Sensor TIRS satelit LDCM

Tabel 2.5.1. Perbandingan band pada citra LDCM dengan Landsat 7 ETM

Page 27: Inderaja 6

Pada tahun 2009 sudah terjalin kerjasama antara

LAPAN dengan Pemerintah Daerah Kabupaten

Sampang berupa kegiatan pembuatan peta tematik

sebagai data dasar wilayah menggunakan citra satelit

penginderaan jauh. Peta Tematik yang dihasilkan adalah: Peta

Administrasi Kabupaten dan Kecamatan, Peta Ketinggian,

Peta Kontur, Peta Kelerengan, Peta Jaringan Sungai, Peta

Batas Daerah Aliran Sungai, Peta Geologi, Peta Tanah, Peta

Penutup Lahan Kabupaten dan Peta Penutup Lahan di 14

(empat belas) Kecamatan, Peta Jaringan Jalan, Peta Penutup

Lahan Kota, dan Peta Fasilitas Umum. Pada tahun 2010 telah

terjalin kerjasama dalam bentuk kegiatan inventarisasi dan

pemutakhiran data spasial infrastruktur untuk mendukung

tata ruang menggunakan data penginderaan jauh, selain

kegiatan tersebut juga diadakan kegiatan untuk peningkatan

SDM Pemda Kabupaten Sampang dalam bentuk Bimbingan

Teknis (Bimtek) selama 60 hari kalender, yang diikuti oleh

berbagai instansi kedinasan di Pemda Tingkat II Kabupaten

Sampang.

Kegiatan kejasama antara LAPAN dengan Pemerintah

Daerah Kabupaten Sampang masih terus dilanjutkan,

Sosialisasi Hasil Penelitian, Kerjasama LAPAN dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang

Gambar 1. Bupati Sampang pada acara sosialisasi.

Gambar 2. Peserta Sosialisasi

diantaranya penelitian masalah banjir, dimana pada tahun

2011 dilakukan penelitian rawan banjir dan resiko banjir

menggunakan data penginderaan jauh, sedangkan pada

tahun 2012 ada 2 judul penelitian yaitu 1) pengembangan

pemanfaatan penginderaan jauh untuk model simulasi banjir,

dan 2) pemetaan jaringan pipa PDAM di Kota Sampang.

Penelitian model simulasi banjir di Kabupaten Sampang

pada tahun 2012 meliputi 3 (tiga) Daerah Aliran Sungai

(DAS) yang mengalir ke kota Sampang dan diperkirakan

mempengaruhi terjadinya banjir di Kota Sampang, dimana

3 DAS tersebut meliputi DAS Klampis, DAS Jelgung dan DAS

Kamoning.

Pada tanggal 25 Februari 2013 dilakukan sosialisasi hasil

penelitian yang diadakan di Aula Pemda Kabupaten Sampang,

yang dihadiri Bupati Sampang, Sekretaris Daerah, Kepala

Bappeda dan LAPAN, serta dihadiri oleh 5 staf ahli Pemda

dan 38 SKPD dilingkungan Pemerintah Daerah Tingkat II

Kabupaten Sampang. Pada acara sosialisasi tersebut dilakukan

pemaparan hasil penelitian yang disampaikan oleh peneliti

LAPAN, yang pertama pemaparan penelitian Model Simulasi

Banjir oleh Nanik Suryo Haryani dan yang kedua pemaparan

Pemetaan Jaringan Pipa PDAM oleh Bambang Trisakti. Setelah

selesai pemaparan hasil penelitian tersebut dilanjutkan acara

diskusi dengan para peserta. (NSH).

Berita Ringan

60 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

25INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pada gambar 3.2.a menyajikan obyek awan cirrus di

atas wilayah pesisir kabupaten Polewali, Sulawesi Selatan. Pada

gambar 3.2.b merupakan wilayah yang sama seperti gambar

3.2.a, akan tetapi tampilan untuk kombinasi band LDCM 432,

tidak tampak sama sekali awan cirrus. Sedangkan gambar 3.2.c

band visible (tampak warna merah) dioverlay dengan band

cirrus (tampak warna hijau) dan gambar 3.2.d band inframerah

(tampak warna merah) dioverlay dengan band cirrus (tampak

warna hijau) terlihat sangat kontras karena awan cirrus tidak

tampak pada band multi lainya, hanya pada band 9 (cirrus) saja.

a. LDCM band 1 (Coastal/Aerosol)

a. Band 9 (Cirrus)

b. Landsat 7 ETM band 1

b. Kombinasi band 432

Gambar 3.1.a. Band 1 citra LDCM berpotensi untuk deteksi garis pantai, sedimentasi, terumbu karang.

c. Overlay band 4 (red) dan band 9 (cirrus) d. Overlay band 5 (inframerah) dan band 9 (cirrus)

Gambar 3.2. Band 9 citra LDCM berpotensi untuk awan cirrus

Page 28: Inderaja 6

Jakarta, 29-30 Januari 2013, Lembaga Penerbangan dan

Antariksa Nasional (LAPAN) ikut serta dalam pameran Alat

Peralatan Pertahanan (Alpalhan). Pameran berlangsung

pada 28-29 Januari 2013 di Mabes TNI Cilangkap. Pameran

ini dihadiri oleh Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro

dan Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono dan diikuti

oleh berbagai instansi pemerintah dan industri di bidang

pertahanan.

Dalam pameran ini, LAPAN menampilkan hasil-hasil

penelitian dan pengembangan. Produk-produk LAPAN yang

dipamerkan antara lain citra satelit penginderaan jauh SPOT-

6, LANDSAT, MODIS dalam bentuk display pulau terluar, garis

pantai Semarang, informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan

(ZPPI), Pulau Morotai, dan wilayah perbatasan Indonesia.

LAPAN juga memamerkan miniatur Roket RKX-200, RKX-100,

Pesawat UAV, dan poster-poster pengembangan wahana

terbang kecepatan tinggi.

LAPAN Ikut Serta dalam Pameran Alpalhan di Mabes TNI Cilangkap

Pameran Alpahan 2013 ini bertujuan agar industri

dapat melihat perkembangan dunia pertahanan. Kegiatan ini

juga sekaligus berfungsi sebagai ajang promosi serta untuk

menumbuhkembangkan minat masyarakat terhadap dunia

kedirgantaraan Indonesia.

Peserta pameran Alpalhan meliputi instansi

pemerintah dan swasta antara lain LAPAN, PT Pindad, PT LEN,

PT INTI, PT DI, PT Dok Kodja Bahari, LIPI, CV Indopulley Perkasa,

PT CMI Teknologi, PT SOG Indonesia, PT Infra RCS, PT Sari

Bahari, PT Infoglobal Teknologi S, PT Maju Santosa Pertiwi, PT

Bogar Arta Satria, PT Sritex, PT Saba Wijaya Persada, PT Persada

Aman Sentosa, PT Gemilang Bhakti, PT Merpati Wahana, dan

PT Patria, sehingga diharapkan dunia industri pertahanan

dalam negeri akan terus berkembang. Pengunjung pameran

tersebut antara lain berasal dari TNI, siswa sekolah, dan

masyarakat umum. (BH, WB, HI, NGD)

Berita Ringan

59INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

26 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Dengan adanya penambahan band pada citra LDCM

ini tentunya akan menambah banyak kajian lagi yang

sebelumnya pada Landsat 7 ETM belum atau kurang optimal

dalam mengeksplorasi sumber lainnya.

Pada gambar 3.3 dan 3.4 menampilkan beberapa band

multispektral data LDCM dengan membandingkan secara

visiual band mutispektral data Landsat 7 ETM. Secara visual

untuk keseluruhan band, tampak semua lebih kontras band

yang ada pada data LDCM dibandingkan band pada data

Landsat 7, hal ini dikarenakan adanya perubahan besarnya

panjang gelombang tiap band yang ada di data LDCM, seperti

yang sudah di bahas pada tabel 2.5.1.

Gambar 3.3 Perbandingan Band visible pada citra LDCM dengan citra Landsat 7 ETM

Band 1 Band 2Band 2

Band 3 Band 3 Band 4

Band 4 Band 5 Band 5

Band 6 Band 7 Band 7

Gambar 3.4 Perbandingan band inframerah pada citra LDCM dengan citra L7 ETM

Page 29: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

komposit yang dapat menampilkan lebih banyak variasi warna

untuk membedakan objek-objek berlainan (misalnya: lahan

sawah, permukiman, jalan, dan daerah bervegetasi), lebih dari

itu data PiSAR L-2 juga mampu membedakan penampakan

beberapa fase pertumbuhan padi di lahan sawah.

Pemanfaatan data PiSAR-L2 di LAPANLAPAN merupakan salah satu institusi yang terlibat dalam

kerjasama Airborne SAR Joint Campaign in Indonesia Using

The PiSAR-L2, dan berpartisipasi aktif untuk mengkaji data

PiSAR-L2 yang merupakan data ekperimen sensor PALSAR-2

dari satelit ALOS-2. Saat ini, peneliti LAPAN tengah mengkaji

dan menganalisis kemampuan data PiSAR-L2 untuk beberapa

aplikasi yang menjadi tujuan dalam kerjasama, yaitu: pemetaan

hutan, deteksi kapal, mitigasi bencana dan pemetaan fase

pertumbuhan padi di lahan sawah. Kajian dilakukan terhadap

kemampuan band polarisasi dalam mengindentifi kasi objek

dan membandingkan hasil yang diperoleh dengan data

pengukuran di lapangan atau data referesi lainnya. Contoh

hasil kajian data PiSAR-L2 untuk pemetaan penutup lahan

(khususnya pemetaan wilayah hutan) dan deteksi kapal

di Provinsi Riau dan Teluk Bitung Provinsi Sulawesi Utara

diperlihatkan pada Gambar 6. Hasil pemetaan penutup

lahan hutan di Provinsi Riau memperlihatkan bahwa semua

penutup lahan dapat dibedakan dengan cukup baik walau

masih terdapat beberapa permasalahan. Permasalahan utama

terjadi pada pemisahan jenis hutan, dimana objek hutan alam

dan hutan akasia masih sulit untuk dipisahkan sehingga perlu

dikaji lebih lanjut parameter yang dapat memisahkan kedua

objek tersebut. Sedangkan deteksi kapal di Teluk Bitung

dilakukan secara otomatis dengan menggunakan metode

deteksi fi tur, dan dihasilkan informasi spasial distribusi kapal

dan koordinat lokasi kapal. Akurasi dari deteksi mencapai 90%,

walaupun masih terdapat kesalahan deteksi (false detection)

yang diakibatkan oleh pengaruh batas darat dan laut akibat

masking yang kurang sempurna dan mungkin faktor lainnya

yang memerlukan kajian lebih lanjut. Tetapi secara umum

data PiSAR-L2 mempunyai potensi untuk digunakan dalam

pemetaan penutup lahan dan deteksi kapal di perairan.

PenutupBerdasarkan penjelasan di atas, data PiSAR-L2, yang

merupakan data eksperimen sensor PALSAR-2 dari satelit

ALOS-2, merupakan data yang potensial untuk dimanfaatkan

dalam berbagai aplikasi data satelit penginderaan jauh di

wilayah Indonesia yang beriklim tropis. Rencana peluncuran

satelit ALOS-2 pada tahun 2013 memberikan harapan

dan tantangan bagi para peneliti Indonesia, untuk dapat

memanfaatkan data sensor PALSAR-2 dari satelit ALOS-2

dalam rangka mendukung berbagai sektor kegiatan.

Gambar 6. Pemanfaatan data PiSAR-L2 untuk klasifi kasi penutup lahan di Provinsi Riau (kiri) dan deteksi kapal di Teluk Bitung, Provinsi Sulawesi Utara (kanan)

Akasia

LahanKosong

Karet

HutanSekunder

Hutanalam

Air

False Detection

False Detection

58 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

27INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pada gambar 3.5 menyajikan perbedaan secara visual

band pankromatik yang ada pada Landsat 7 ETM dengan LDCM,

tampak lahan terbangun lebih cerah pada band pankromatik

data LDCM dari pada band pankromatik data Landsat 7 ETM,

selain itu perbedaan kontras antara obyek yang satu dengan

lainnya pada data LDCM lebih tegas dibanding pada Landsat 7

ETM. Sedangkan resolusi spasial band pankromatik baik Landsat

7 ETM maupun LDCM sama yaitu 15 meter.

Pada gambar 3.6 dan 3.7 dibuat beberapa kombinasi band

multispektral yang ada pada data LDCM, dan dibandingkan

dengan data Landsat 7 ETM untuk beberapa aplikasi tertentu.

Pada gambar 3.6 a dan b merupakan kombinasi untuk natural

color, gambar 3.6 c dan d merupakan kombinasi false color

digunakan untuk deteksi terumbu karang yang berwarna

hijau di lautan, dari dua gambar tersebut data LDCM lebih jelas

dari Landsat 7 ETM. Untuk gambar 3.6.e dan f juga merupakan

kombinasi false color yang digunakan untuk deteksi vegetasi

sehat yang tampak berwarna merah cerah. Sedangkan

gambar 3.6.g dan h merupakan kombinasi true color yang

digunakan untuk deteksi lahan terbangun yang akan tampak

warna magenta pada data LDCM atau pun Landsat 7 ETM,

dapat juga deteksi pertanian lahan basah yang berwarna biru

dengan pola tertentu serta deteksi air warna biru dan pola

tidak teratur.

Pada gambar 3.7 menunjukan perbandingan band

thermal pada data LDCM dengan data Landsat 7 ETM,

Gambar 3.5 Perbandingan band pankromatik pada citra LDCM dengan citra Landsat 7 ETM

Band 8 (Pankromatik)

Band 8 (Pankromatik)

a. Kombinasi band 321 (L7 ETM+)

c. Kombinasi band 421 (L7ETM+)

e. Kombinasi band 431 (L7ETM+)

g. Kombinasi band 743 (L7ETM+)

b. Kombinasi band 432 (LDCM)

d. Kombinasi band 532 (LDCM)

f. Kombinasi band 542 (LDCM)

h. Kombinasi band 754 (LDCM)

Gambar 3.6 Perbandingan kombinasi band pada citra LDCM

dan Landsat 7 ETM

Page 30: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

ALOS-2. Pesawat PiSAR-L2 (Gambar 4 kiri) merupakan generasi

kedua PiSAR yang didesain dan dikembangkan oleh National

Institute of Information and Communications Technology (NICT)

Jepang dari tahun 2006 hingga 2009. Operasional PiSAR-L2

dimulai pada bulan April 2012 dengan melakukan perekaman

di beberapa wilayah Jepang. Selanjutnya JAXA melakukan

inisiasi kerjasama dengan Kementerian Riset dan Teknologi

Republik Indonesia untuk menguji sensor sistem ALOS-2

tersebut, sehingga terbentuk kerjasama riset yang bertema

“JAXA-RISTEK-BPPT-LAPAN-BIG joint airborne Synthetic Aperture

Radar (SAR) campaign in Indonesia for forest carbon monitoring,

ship detection, disaster monitoring, and geometric evaluation

Airborne SAR Joint Campaign in Indonesia Using The PiSAR-L2”.

Selain lembaga/institusi yang tertulis namanya dalam tema

kerjasama, pihak Indonesia diikuti juga oleh beberapa

kementerian dan perguruan tinggi yang mempunyai

kompetensi dan ketertarikan untuk memanfaatkan data

PiSAR-L2.

Perekaman data PiSAR-L2 dilakukan pada tanggal 2 – 8

Agustus 2012 bertepatan dengan pelaksanaan Hari Teknologi

Nasional (Harteknas). Pesawat PiSAR-L2 terbang melintasi

wilayah udara Indonesia (Gambar 4 kanan) dan merekam

6 target area (Semarang, Riau, Subang, Kalimantan Selatan,

Sulawesi Utara dan Gunung Gamalama) sesuai dengan

rencana pemanfaatan data untuk pemantauan hutan, deteksi

kapal, pemantauan bencana, pemantauan lahan pertanian

dan evaluasi ketelitian geometrik. Data perekaman PiSAR-L2

merupakan data L band polarisasi penuh dengan spasial

2.5 m yang cukup detil untuk memetakan informasi spasial

lahan dengan skala 1:10000. Gambar 5 memperlihatkan

contoh data PiSAR-L2 untuk wilayah Kabupaten Subang dan

perbesaran data untuk penampakkan area pertanian dan

permukiman dengan menggunakan komposit RGB (HH, HV,

VV). Dibandingkan data SAR dengan band satu polasrisasi atau

dua polarisasi yang umum digunakan, band polarisasi penuh

pada data PiSAR-L2 memungkinkan pengguna membuat

Data PiSAR-L2 wilayah Subang

Band polarisasi HH

Band polarisasi RGB: HH,VV,HV

Gambar 5. Contoh data PiSAR-L2 untuk wilayah Subang

57INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Teknologi dan Data Penginderaan Jauh

28 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

a. Kombinasi band 321 (L7ETM+) b. Kombinasi band 432 (LDCM) c. Band 6 low (L7 ETM+)

d. Band 10 (LDCM) e. Band 6 high (L7 ETM+) f. Band 11 (LDCM)

untuk gambar a dan b ditampilkan kombinasi band natural

color untuk melihat perbedaan arah asap yang dikeluarkan

oleh gunung Paluweh, yang berada di Nusa Teggara Timur.

Untuk mengetahui perbedaan band thermal dari data LDCM

dengan Landsat 7 ETM terlihat pada gambar 3.8 b hingga e,

tampak band thermal dari data LDCM mampu menampilkan

lebih jelas kondisi abu yang panas yang tampak berwarna

putih masih berada di puncak gunung dan abu yang dingin

berwarna hitam sudah berada menjauh dari puncak kearah

barat laut untuk data LDCM sedangkan abu dingin arah barat

untuk data Landsat L 7 ETM kurang begitu jelas dibandingkan

data LDCM. Band thermal pada data LDCM baik band 10 dan

band 11 mempunyai panjang gelombang yang berbeda,

sedangkan untuk data Landsat 7 ETM untuk band 6 baik low

maupun high panjang gelombang sama hanya dibedakan

oleh nilai gain.

4. PENUTUP Dari uraian spesifi kasi citra satelit LDCM dapat

disimpulkan bahwa citra satelit LDCM diluncurkan tidak

hanya menggantikan citra satelit Landsat 7 ETM+ yang

mengalami kerusakan pada Scan Line Corrector-nya, sehingga

kehilangan data sebesar 24 persen sepanjang sisi-sisi luar dari

masing-masing citra, tetapi juga pada satelit LDCM dilakukan

perubahan secara signifi kan pada lebar panjang gelombang

pada band OLI untuk menghindari besarnya penyerapan

atmosfi r seperti terjadi di band ETM. Penambahan band

baru pada satelit LDCM diharapkan juga untuk mengatasi

kekurangan dari satelit Landsat 7 ETM.

Secara menyeluruh diharapkan dengan kehadiran

citra satelit LDCM selain mempertahankan kontinyuitas data

Landsat 7 ETM+ juga dapat menambah terwujudnya aplikasi

lain dengan memanfaatkan data satelit LDCM ini.

Gambar 3.7 Perbandingan band thermal pada citra Landsat 7 ETM dan LDCM untuk deteksi suhu

Page 31: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

– 490 km, dan sensitifi tas serta kualitas data yang lebih baik

dibandingkan PALSAR. Dengan kelebihan tersebut, satelit

ALOS-2 diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pengguna

(www.jaxa.jp), yaitu:

1) Pemantauan daerah yang mengalami kerusakan akibat

bencana, baik untuk area yang luas maupun area terbatas

2) Melanjutkan updating data untuk informasi wilayah darat

dan infrastruktur

3) Pemantauan wilayah pertanian secara efektif

4) Pemantauan global hutan tropis untuk identifi kasi

kandungan karbon

Program Pesawat PiSAR-L2 untuk Ujicoba Sensor SARSelama 15 tahun terakhir (1996-2011), JAXA telah

mengoperasikan pesawat Polarimetric and Interferometric

Airborne SAR in L band (PiSAR-L) untuk melakukan ujicoba dan

demonstrasi pemanfaatan sensor SAR. PiSAR-L telah digunakan

secara efektif untuk berbagai kegiatan eksperimen data SAR,

dimana hasil eksperimen yang diperoleh sangat bermanfaat

untuk operasional satelit SAR milik JAXA, seperti Japan

Earth Resources Satellite (JERS-1) dan ALOS. JAXA melakukan

upgrade PiSAR-L menjadi PiSAR-L2 sehingga dapat digunakan

eksperimen sensor PALSAR-2 yang rencana akan dibawa oleh

Gambar 3. Ilustrasi satelit ALOS (kiri) dan Satelit ALOS-2 (kanan) (Sumber: www.jaxa.jp)

Gambar 4. Pesawat PiSAR L-2 (kiri) dan Jalur lintasan penerbangan pesawat PiSAR L-2 (Kanan) (Sumber: Shimada et al., 2012)

56 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Pendahuluan

Salah satu penyebab degradasi hutan/lahan adalah

kebakaran. Umumnya, bencana kebakaran ini

terjadi bersamaan dengan berlangsungnya musim

kemarau dan dampaknya semakin luas jika bertepatan

dengan fenomena El Nino. Hingga saat ini bencana tersebut

masih secara rutin terjadi tiap tahun, khususnya di wilayah

Sumatera dan Kalimantan. Dampak yang timbul dan sering

mengganggu adalah gangguan asap terutama bila melintasi

batas negara. Selain itu, gangguan asap juga berdampak

terhadap kesehatan masyarakat, aktivitas masyarakat, dan

transportasi udara, darat, dan laut. Bahkan, emisi karbon yang

dilepaskan ke atmosfi r diduga telah memberikan kontribusi

terhadap pemanasan global penyebab perubahan iklim.

Apabila kebakaran terjadi pada lahan gambut, maka

emisi karbon yang dikeluarkan tidak hanya terbatas dari

vegetasi yang tumbuh di atas permukaan tanah saja tetapi

bahan organik yang terdapat di dalam tanah juga akan terurai

dan mengeluarkan karbon ke atmosfi r. Hal ini dikarenakan

lahan gambut memiliki lebih banyak karbon di bawah

permukaan daripada di atasnya (CIFOR, 2009).

Hasil kajian Miettinen (2007) menyebutkan bahwa

kebakaran di wilayah tropis umumnya terjadi akibat kegiatan

manusia dalam mengelola lahan (seperti: penyiapan lahan

pertanian, pembersihan lahan, dan pembakaran pasca

panen), penggunaan api dalam sengketa lahan, perburuan,

dan ketidaksengajaan (seperti: api unggun dari aktivitas

perkemahan, kegiatan merokok, dan sebagainya), dan

aktivitas pengendalian hama. Menurut Saharjo (2000),

dalam satu kali pembukaan lahan sebuah perusahaan dapat

melakukan penebangan seluas 10 – 20 ha, bahkan sampai 40

ha, kemudian bekas tebangan dibiarkan mengering selama

2 – 3 minggu untuk selanjutnya dibakar.

Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena

global, fenomena regional, dan fenomena lokal. Salah satu

fenomena global adalah ENSO (El-Nino Southern Oscillation)

yang terdiri atas 2 komponen kelautan yaitu El-Nino dan La-

Nina. Pada saat El-Nino umumnya Indonesia akan mengalami

kekeringan yang panjang karena terjadi penurunan curah

hujan jauh di bawah normal, sebaliknya pada saat La-Nina

curah hujan di atas normal, sehingga sering terjadi banjir,

tanah longsor, Salah satu upaya untuk mengantisipasi dampak

itu adalah dengan meningkatkan ketepatan prediksi/ramalan

iklim, sehingga dampak yang ditimbulkan oleh iklim ekstrim

tersebut dapat diantisipasi lebih dini.

Pada Juni 2012 lalu, Badan Meteorologi Dunia

(WMO = World Meteorological Organization) merilis prediksi

kecenderungan El Nino yang menguat dari Juni hingga

September 2012. Kecenderungan anomali suhu permukaan

laut (SPL) (oC) di wilayah Nino 3.4 juga menunjukkan adanya

peningkatan suhu (www.cpc.ncep.noaa.gov) (Gambar 1a).

Wilayah Nino 3.4 merupakan salah satu pengukuran suhu

permukaan laut yang berada di Samudera Pasifi k, dimana

wilayah Nino 3.4 terletak pada 5º LU – 5º LS dan 170º –

120º BB yang merupakan wilayah antara Nino 3 dan Nino

4 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1b. Demikian juga

hingga tanggal 15 Oktober 2012 anomali OLR (outgoing

longwave radiation) (W/m2) positif (yang akan menghambat

proses konveksi dan terjadinya hujan, ditandai warnai

merah) masih terlihat di sekitar wilayah Indonesia (Gambar

2). Kondisi ini diprediksi dapat mempengaruhi intensitas dan

peningkatan kejadian kebakaran hutan/lahan pada puncak

musim kemarau tahun 2012, yakni bulan Juli – September

2012 bahkan kondisi ini diprediksi berlangsung hingga

pertengahan Oktober 2012 (Gambar 2). Penguatan El Nino

akan meningkatkan intensitas kekeringan akibat adanya

29INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Any Zubaidah, Indah Prasasti, Yenni Vetrita, Widya NingrumPeneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

Email: [email protected] atau [email protected]

Analisis Kondisi Kebakaran Hutan/Lahan di Sumatera dan Kalimantan Tahun 2012

Page 32: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

(a) Data satelit sensor optik (b) Data satelit sensor SAR

dipengaruhi oleh tutupan awan. Oleh karena itu, data sensor

SAR merupakan salah satu sumber informasi yang penting

untuk mendukung kegiatan mitigasi bencana khususnya untuk

pemetaan cepat kerusakan wilayah paska terjadinya bencana

alam yang umumnya masih ditutupi oleh asap akibat letusan

gunung api atau kebakaran hutan. Contoh pemetaan cepat

adalah pemetaan kerusakan bangunan, pemetaan sebaran

lahar dan pemetaan lahan terbakar, yang merupakan informasi

penting untuk mendukung kegiatan paska bencana gunung

api dan kebakaran hutan.

Program Satelit ALOSJepang merupakan salah satu negara termaju

dalam teknologi satelit penginderaan jauh. Negara ini telah

meluncurkan satelit Advanced Land Observing Satellite (ALOS)

pada tanggal 24 Januari 2006 (Gambar 3 kiri) dengan

membawa 3 instrumen, yang salah satunya adalah Phased-

Array type Lband Synthetic Aperture RADAR (PALSAR) untuk

merekam data SAR. PALSAR merupakan sensor SAR pada

gelombang L band dengan resolusi spasial 10-100 m dan

revisit time (waktu yang dibutuhkan untuk melewati wilayah

yang sama) selama 46 hari. Sensor ini memiliki kemampuan

polarisasi penuh (HH, VV, HV, dan VH) untuk mendapatkan

informasi objek secara lebih spesifi k. Lembaga Penerbangan

dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah bekerjasama dengan

Japan Exploration Agency (JAXA) dan The Remote Sensing

Technology Center of Japan (RESTEC) untuk memanfaatkan data

satelit ALOS yang dilaksanakan dalam kerangka kegiatan ALOS

Pilot Project 1 dan 2 selama periode 2007-2012. Pada kegiatan

tersebut LAPAN dan beberapa kementerian/lembaga sebagai

counterpart (rekan kerja) telah mengkaji dan memanfaatkan

data ALOS, khususnya data sensor PALSAR untuk berbagai

kegiatan, seperti: pemetaan hutan, pemetaan lahan pertanian,

pemantauan penurunan level tanah (deformasi) dan gunung

api, serta pembuatan Digital Elevation Model (DEM).

Operasional perekaman data satelit ALOS berakhir

pada pertengahan tahun 2011 setelah mengorbit di atas bumi

selama kurang lebih 5 tahun, hal ini disebabkan karena baterai

satelit melemah sehingga tidak mampu mendukung kegiatan

operasional perekaman datanya. Proyek satelit ALOS dinilai

berhasil, sehingga Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA)

berencana untuk meluncurkan satelit ALOS generasi ke dua

(ALOS-2) pada akhir 2013. Satelit ALOS-2 (Gambar 3 kanan)

akan membawa sensor PALSAR-2 L band yang mempunyai

beberapa kelebihan dibandingkan dengan sensor PALSAR L

band pada satelit ALOS. Sensor PALSAR-2 mempunyai resolusi

spasial yang lebih tinggi, yaitu 1-3 m pada mode spot light dan

3 – 100 m pada mode lainnya, revisit time yang semakin cepat

14 hari, Polarisasi penuh pada mode high sensitive (spasial 3

m) dan fi ne (spasial 10 m), cakupan perekaman yang luas 25

Gambar 2. Perbandingan data sensor optik dan SAR, sensor SAR mampu menembus tutupan asap gunung api

(Sumber: directory.eoportal.org)

55INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

penurunan curah hujan. Kondisi kekeringan yang terjadi

tersebut akan dimanfaatkan bagi sebagian orang yang tidak

bertanggung jawab untuk melakukan pembersihan dan

pembakaran lahan.

Mengingat dampak yang ditimbulkan kebakaran

hutan/lahan sangat besar, maka dirasa perlu untuk

melakukan upaya pemantauan kejadian kebakaran secara

rutin, terutama di wilayah yang sering terjadi kebakaran.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemantauan titik-titik

panas (hotspots) dan sebaran asap dengan memanfaatkan

satelit penginderaan jauh seperti MODIS. Bidang Lingkungan

dan Mitigasi Bencana, PUSFATJA, LAPAN telah secara rutin

memberikan informasi hasil pemantauan hotspot dan deteksi

lokasi kebakaran serta pola sebaran asap, khususnya di

wilayah Sumatera dan Kalimantan. Tulisan ini menyajikan hasil

analisis pemantauan hotspot dan sebaran asap untuk deteksi

lokasi kebakaran hutan dan lahan pada periode bulan Januari

hingga 23 Oktober 2012.

Kecenderungan Jumlah Hotspot di Pulau Sumatera dan Kalimantan

Hasil deteksi dan pemantauan hotspot yang

dilakukan oleh bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana

(LMB) LAPAN Pekayon, Jakarta menunjukkan bahwa

hotspot tertinggi selama Januari – 23 Oktober 2012 terjadi

pada bulan September 2012, baik di Sumatera (4.647 titik)

maupun di Kalimantan (4.617 titik)(Gambar 3). Meskipun

terjadi kecenderungan penurunan total jumlah hotspot,

(a) (b)

(Sumber: www.cpc.ncep.noaa.gov)

Gambar 1. (a) Prediksi kecenderungan anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) (oC) di Nino 3.4 dari bulan November 2011 – Oktober 2012, (b) Lokasi Suhu permukaan laut Nino 1.2, Nino 3, Nino 4, dan Nino 3.4

Gambar 2. Prediksi anomali OLR (outgoing longwave radiation) (W/m2) periode 20 September – 15 Oktober 2012

(Sumber: www.cpc.ncep.noaa.gov)

30 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Page 33: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Pendahuluan

Data penginderaan jauh satelit telah dimanfaatkan

secara luas untuk mendukung berbagai sektor,

seperti: pertanian, kehutanan, sumber daya air,

geologi, kelautan, perikanan dan mitigasi bencana. Sampai

saat ini, data satelit sensor optik masih menjadi pilihan utama

pengguna karena kemampuan resolusi spektralnya yang

mampu menampilkan warna objek sesuai dengan warna

objek di permukaan bumi. Selain itu terdapat banyaknya

pilihan satelit yang dapat dimanfaatkan dengan resolusi

spasial data yang tinggi sehingga mampu menampilkan

objek permukaan bumi dengan sangat detil, sebagai contoh

resolusi spasial satelit GeoEye-1 telah sangat detil mencapai

40 cm (Gambar 1). Tetapi permasalahan utama pada data

satelit sensor optik adalah gangguan awan (gelombang

elektromagnetik pada kisaran cahaya tampak sampai

inframerah sangat dipengaruhi oleh molekul awan) dan

ketergantungan terhadap sinar matahari sebagai sumber

cahaya. Hal ini mengakibatkan banyak data satelit optik tidak

dapat dimanfaatkan secara optimal karena tingkat tutupan

awannya yang tinggi, terutama untuk wilayah yang beriklim

tropis seperti Indonesia.

Keuntungan Sensor Aktif SARSensor Synthetic Aperture Radar (SAR) adalah sistem satelit

penginderaan jauh sensor aktif yang memiliki pembangkit

gelombang elektromagnetik sendiri, sehingga dapat digunakan

untuk merekam permukaan bumi siang dan malam tanpa

tergantung dengan cahaya matahari. Selain itu sensor SAR

menggunakan gelombang mikro yang memiliki gelombang

yang panjang dan relatif tidak dipengaruhi molekul awan.

Oleh karena itu sensor SAR menjadi alternatif untuk mengatasi

beberapa permasalahan (tutupan awan dan ketergantungan

pada cahaya matahari) pada data satelit sensor optik, sehingga

sangat sesuai digunakan untuk wilayah beriklim tropis

basah seperti Indonesia. Gambar 2 memperlihatkan contoh

penampakan gunung api pada data optik yang dipengaruhi

oleh tutupan asap dari kepundan gunung api, dan penampakan

gunung api pada data SAR pada lokasi yang sama yang tidak

Kerjasama Airborne SAR PiSAR-L2: Potensi Pemanfaatan Data SAR untuk

Pemantauan Wilayah Indonesia

Bambang Trisakti1), Katmoko Ari Sambodo2), Arum Tjahjaningsih1) dan Agus Hidayat1)

1Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN2Peneliti Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN

Email : [email protected] atau [email protected]

Gambar 1. Contoh data GeoEye 1 wilayah perkotaan (Sumber: www.geoeye.com)

54 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

namun jumlah hotspot pada bulan oktober tampak masih

cukup tinggi, khususnya di Kalimantan. Kondisi ini terjadi

terkait dengan masih berlangungnya fenomena El Nino

(anomali SPL dan OLR positif ) yang mempengaruhi kondisi

curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia (Gambar 1

dan 2).

Berdasarkan distribusi hotspot periode Januari –

23 Oktober 2012 di masing-masing provinsi di Sumatera

memperlihatkan bahwa Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel),

Riau, dan Jambi merupakan 3 (tiga) provinsi dengan jumlah

hotspot lebih dari 1.000 titik. Sementara di Kalimantan,

Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) masih merupakan

wilayah dengan jumlah hotspot tertinggi. Selain Kalteng,

Kalimantan Barat (Kalbar) juga terdeteksi sebagai wilayah

dengan jumlah hotspot sangat tinggi (lebih dari 3.000 titik)

(Gambar 4).

Jumlah hotspot tertinggi di Provinsi Sumsel dan

Jambi terjadi pada bulan September 2012, sedangkan di

Riau pada bulan Juni 2012 (Gambar 5). Di Provinsi Kalteng,

jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan September

2012, sedangkan di Kalbar terjadi pada bulan Agustus 2012.

Di Provinsi Kalteng, jumlah hotspot tampak masih cukup

tinggi (lebih dari 1.000 titik) hingga awal minggu ke-3 bulan

Oktober (Gambar 6). Hal ini terjadi dikarenakan sebagian

besar wilayah Kalimantan Tengah merupakan lahan

gambut. Di kawasan bergambut, kebakaran tidak hanya

menghanguskan tanaman dan vegetasi hutan serta lantai

hutan (forest fl oor) termasuk lapisan serasah, dedaunan

dan bekas kayu yang gugur, tetapi juga membakar lapisan

gambut baik di permukaan maupun di bawah permukaan

(Kurnain 2005). Kebakaran lahan gambut termasuk tipe

kebakaran bawah (ground fi re). Pada tipe ini, api menjalar

a. Sumatera b. Kalimantan

Gambar 3. Distribusi hotspot bulanan di Sumatera (a) dan Kalimantan (b) periode

Bulan Januari – 23 Oktober 2012

Gambar 4. Total jumlah hotspot di masing-masing provinsi di Sumatera (a) dan

Kalimantan (b) periode Bulan Januari – 23 Oktober 2012

31INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Page 34: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

erupsi Gunung Merapi menjadi banjir lahar dingin di wilayah

setempat.

PenutupPemetaan zonasi bahaya aliran erupsi gunung api

dapat dilakukan dengan mengaplikasikan algoritma Monte

Carlo berdasarkan data DEM SRTM. Hasil simulasi aliran erupsi

umumnya mempunyai pola yang sama dengan bekas aliran

erupsi yang ditunjukkan dari citra resolusi tinggi di wilayah

Gunung Lokon, Soputan dan Merapi. Analisis potensi banjir

lahar dingin dapat memanfaatkan informasi yang dihasilkan

dari model simulasi aliran erupsi untuk diintegrasikan dengan

informasi curah hujan dari data TRMM. Dengan mengetahui

pola hujan bulanan dan fl uktuasi harian curah hujan maka

bencana lahar dingin dapat diwaspadai secara dini sehingga

meminimalkan dampak kerugian yang terjadi.

Gambar 7. Curah hujan dari data TRMM tanggal 26 Februari 2011 jam 06 - 09 UTC (13.00 – 16.00 WIB).

53INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

di bawah permukaan membakar bahan organik dengan

pembakaran yang tidak menyala (smoldering) (Syaufi na 2008).

Kebakaran tipe ini lebih berbahaya karena menimbulkan

kabut asap gelap dan pekat, dan melepaskan gas pencemar

lainnya ke atmosfer. Di samping itu, kebakaran tipe ini sangat

sulit untuk dipadamkan, bahkan oleh hujan lebat sekalipun

(Usup et al. 2003 dalam Kurnain 2005).

Pemantauan kebakaran hutan selain dapat dideteksi

berdasarkan jumlah hotspot, juga dapat dilakukan dengan

teknik tumpang susun (overlay) antara citra distribusi

hotspot dengan citra Terra/Aqua MODIS dari Rapid Fire

NASA (Gambar 7) dan atau citra SPOT-4 (Gambar 8) untuk

mendapatkan gambaran kepastian lokasi kejadian kebakaran

berdasarkan adanya pola sebaran asap. Hal ini dikarenakan

dari pemantauan hotspot, tidak semua hotspot merupakan

titik api kebakaran (fi re hotspot). Pada bagian selanjutnya akan

diberikan beberapa contoh kejadian kebakaran berdasarkan

hasil pemantauan hotspot dan sebaran asap.

Gambar 5. Distribusi jumlah hotspot bulanan di masing-masing provinsi di Sumatera

Gambar 6. Distribusi jumlah hotspot bulanan di masing-masing provinsi di Kalimantan

32 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Page 35: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Gambar 5. Grafi k pola hujan rata-rata di wilayah Gunung Lokon, Gunung Soputan, dan Gunung Merapi pada periode tahun 1998-2008.

Gunung Merapi terjadi pada tanggal 26 Februari 2011.

Sebagai contoh gambaran spasial curah hujan dari

data TRMM pada tanggal 26 Februari 2011 jam 06 - 09 UTC

(13.00 – 16.00 WIB) pada Gambar 7 menunjukkan bahwa curah

hujan di Pulau Jawa khususnya di wilayah sekitar Gunung

Merapi yang terletak di wilayah Provinsi DI. Yogyakarta dan

Jawa Tengah berkisar antara 5 mm hingga lebih dari 45 mm.

Curah hujan yang cukup lebat ini telah mendorong material

Gambar 6. Grafi k pola hujan rata-rata bulanan (1998-2008) di wilayah Gunung Merapi dan curah hujan bulanan 2011, serta fl uktuasi curah hujan harian pada bulan Februari 2011 dimana terjadi peningkatan curah hujan pada periode 22 – 26 Februari 2011 (lingkaran merah).

52 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Gambar 7. Lokasi Kejadian Kebakaran Hutan/lahan di beberapa tempat di Provinsi Riau Tanggal 12 dan 14 Juni 2012

33INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Page 36: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

sekitar Bandara Udara Sultan Baabullah (Gambar 4a). Kondisi

pasca letusan Gunung Gamalama yang meletus pada tanggal

16 September 2012 terlihat pada Gambar 4c dari data SPOT-

4 tanggal 21 September 2012, dimana endapan piroklastik

juga berada di wilayah timur laut, dan sekitar puncak gunung

(lingkaran warna merah). Kondisi letusan Gunung Gamalama

ini sesuai dengan hasil simulasi aliran erupsi dari metode

probabilistik dan analisis geomorfologi.

Potensi Bencana Banjir Lahar Dingin dari Informasi Curah Hujan

Terkait dengan potensi bencana banjir lahar dingin,

maka dilakukan ekstrasi nilai curah hujan dari data TRMM 3B43

di wilayah pegunungan (Lokon, Soputan, Merapi) selama

periode tahun 1998-2008 untuk mengetahui pola hujan

bulanan di sekitar wilayah gunung tersebut. Hasil ektraksi curah

hujan rata-rata per bulan selama 11 tahun dapat dilihat pada

Gambar 5. Berdasarkan grafi k pola hujan rata-rata diketahui

bahwa pola hujan di wilayah Gunung Lokon dan Soputan

memiliki pola yang sama, hujan minimum terjadi pada bulan

Agustus, sedangkan hujan maksimum terjadi pada bulan

Januari. Secara pola, Gunung Merapi mempunyai pola hujan

yang sama dengan Gunung Lokon dan Soputan, namun hujan

minimum terjadi pada bulan Juli sedangkan hujan maksimum

terjadi pada bulan Februari. Dengan mengetahui kapan

terjadinya pola hujan di suatu wilayah maka dapat diketahui

kapan terjadinya puncak hujan sehingga dapat diwaspadai

adanya bencana lahar dingin yang biasanya terjadi setelah

adanya hujan lebat.

Sebagai contoh berdasarkan data BNPB, bencana

banjir lahar dingin Gunung Merapi terjadi pada bulan Februari

2011 setelah meletus pada bulan November 2010. Mengacu

pada grafi k pola hujan di wilayah Gunung Merapi (Gambar

5), maka banjir lahar dingin berpotensi terjadi pada puncak

hujan di bulan Februari. Meskipun , curah hujan yang terjadi

pada bulan Februari 2011 masih relatif lebih rendah apabila

dibandingkan dengan curah hujan rata-rata (1998-2008).

Potensi banjir lahar juga terjadi pada bulan Maret dan April

2011. Untuk melihat potensi banjir lahar dingin harian, maka

dapat digunakan data TRMM 3B42 (Gambar 6). Terlihat pada

Gambar 6 curah hujan harian pada bulan Februari 2011

nampak menunjukkan pola meningkat dari tanggal 22

hingga 26. Pada kondisi curah hujan tinggi yang cenderung

meningkat selama periode 2-3 hari secara signifi kan dapat

menimbulkan banjir di suatu tempat. Tercatat dari beberapa

media massa, kejadian banjir lahar dingin akibat letusan

a). Hasil analisis dengan metode pro-babilistik Monte Carlo

b). Hasil analisis geomorfologi dari data Landsat-7 tahun 2010

c). Kondisi sesudah letusan Gn Gamalama dari data SPOT-4 tanggal 21 September 2012

Gambar 4. Hasil simulasi aliran erupsi Gunung Gamalama: a) berdasarkan algoritma probabilistik Monte Carlo, b) berdasarkan analisis geomorfologi, c) kondisi pasca letusan Gunung Gamalama tanggal 16 September 2012.

51INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Perkembangan Kebakaran Hutan/Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan

Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya,

selama periode pemantauan bulan Januari 2012 - 23

Oktober 2012 telah terjadi kecenderungan peningkatan

jumlah hotspot, baik di Sumatera maupun di Kalimantan.

Peningkatan jumlah hotspot tertinggi kebakaran hutan/

lahan tersebut terjadi antara bulan Juni hingga Oktober

2012. Jumlah hotspot terbanyak (lebih dari 500 titik) di

Provinsi Riau terjadi pada bulan Juni hingga September

2012, tertinggi pada bulan Juni 2012 dan Agustus 2012.

Gambar 7 - 10 memperlihatkan lokasi kebakaran di

beberapa tempat di Sumatera pada beberapa tanggal

kejadian kebakaran.

Gambar 7 memperlihatkan kejadian kebakaran hutan

pada tanggal 12 Juni dan 14 Juni 2012 di Propinsi Riau.

Kejadian kebakaran ditunjukkan berdasarkan distribusi lokasi

hotspot (titik-titik warna merah) dan sebaran asap (kepulan

asap berwarna putih tipis dengan pola memanjang). Kondisi

kejadian kebakaran ini dapat lebih jelas bila diamati dari hasil

tumpang-susun citra distribusi hotspot dengan citra SPOT-

4 pada tanggal 14 Juni 2012 seperti pada Gambar 8. Dari

Gambar 7 juga dapat dilihat sebaran asap mengarah ke Selat

Malaka. Jika kondisi ini terus berlangsung maka dimungkinkan

timbulnya komplain dari negara tetangga.

Gambar 9 memperlihatkan lokasi kejadian kebakaran

hutan/lahan di wilayah Riau dan Jambi berdasarkan distribusi

hotspot dan citra satelit Terra MODIS tanggal 1 September

2012 (ditunjukkan oleh tanda panah merah). Pada beberapa

lokasi hotspot tampak sulit untuk memastikan bahwa lokasi

hotspot tersebut adalah kebakaran, karena sebaran asap

sulit dibedakan dengan pola sebaran awan (tanda lingkaran

merah).

Berdasarkan hasil pemantauan hotspot oleh LAPAN

pada tanggal 4 September 2012 di Pulau Sumatera

terdeteksi sebanyak 1.365 titik yang tersebar merata di

sejumlah Propinsi. Jumlah hotspot di Propinsi Riau terpantau

sebanyak 334 titik, Jambi sebanyak 369 titik, Sumatera

Selatan sebanyak 559 titik, dan Lampung sebanyak 28 titik.

Hasil tumpang-susun antara citra sebaran hotspot dengan

citra MODIS Aqua tanggal 4 September 2012 terlihat bahwa

kebakaran hutan/lahan; yang ditandai oleh adanya asap

(warna putih tipis yang memanjang) yang membumbung

Gambar 8. Sebaran Hotspot dan Kabut asap di sekitar Provinsi Riau tanggal 14 Juni 2012

Gambar 9. Sebaran hotspot dan asap tanggal 1 September 2012 di wilayah Riau dan Jambi

34 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Page 37: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

curah hujan dari satelit TRMM dan dari satelit lain baik

dengan sensor microwave maupun inframerah. TRMM 3B42

memberikan informasi setiap 3 jam dengan arsip data sejak

01-01-1998. Cakupan wilayah datanya meliputi lintang: 50°S -

50°N; bujur:180°W - 180°E, dengan resolusi spasial 0.25° x 0.25°;

dan jumlah piksel baris = 400, piksel kolom = 1440. Contoh

produk TRMM 3B42 dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Produk data TRMM bulanan yang telah dikalibrasi

dengan data curah hujan global dari stasiun pengukur curah

hujan adalah TRMM 3B43. Data TRMM 3B43 merupakan

kombinasi antara data estimasi curah hujan dari satelit TRMM

dan curah hujan dari satelit lain, serta data curah hujan global

dari stasiun pengukur hujan (Climate Anomaly Monitoring

System/CAMS global data). Data TRMM diproduksi oleh NOAA

Climate Prediction Center (CPC), sedangkan data curah hujan

global dari stasiun pengukur hujan diproduksi oleh Global

Precipitation Climatology Center (GPCC). Saat ini data TRMM

3B43 tersedia sejak 01-01-1998 hingga Juli 2011, tim NOAA CPC

sedang melakukan kalibrasi terhadap data TRMM 3B43 untuk

memperbaiki tingkat akurasi. Cakupan TRMM 3B43 meliputi

wilayah lintang: 50°S - 50°N; bujur:180°W - 180°E, dengan

resolusi spasial 0.25° x 0.25°dan jumlah piksel baris = 400,

piksel kolom = 1440. Verifi kasi data TRMM 3B43 di Indonesia

telah dilakukan oleh Roswintiarti et al 2008 dan Parwati et

al 2011 yang menunjukkan bahwa ada korelasi yang cukup

tinggi (koefi sien korelasi (r) > 0.8) antara data curah hujan

TRMM dengan data curah hujan dari stasiun pengamatan di

beberapa wilayah di Indonesia yaitu Jawa Barat (Indramayu,

Bandung), Bali, Palangkaraya, dan Maros (Sulawesi Selatan).

Berdasarkan kajian tersebut data TRMM cukup baik dalam

merepresentasikan curah hujan lokal di wilayah Indonesia.

Aplikasi Algoritma Monte Carlo Simulasi bahaya aliran erupsi dengan algoritma

Monte Carlo pada beberapa gunung api di Indonesia yaitu

Lokon dan Soputan yang terdapat di Sulawesi Utara, serta

Gunung Merapi di Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar

3. Pada Gunung Lokon, nilai simulasi yang digunakan untuk

ketinggian material erupsi dari titik awal adalah setinggi 1

m dengan jarak jangkauan horisontal maksimum sejauh

5 km, sedangkan pada Gunung Soputan digunakan nilai

simulasi ketinggian material erupsi setinggi 1 m dengan jarak

jangkauan horisontal maksimum sejauh 10 km. Sementara

itu berdasarkan data-data kejadian dan dampak erupsi yang

pernah terjadi di Gunung Merapi, pada simulasi aliran erupsi

Gunung Merapi digunakan simulasi ketinggian material erupsi

setinggi 10 m dan jarak jangkauan horisontal maksimum

sejauh 17 km.

Hasil simulasi aliran erupsi untuk ke-3 gunung yang

menjadi kajian dapat dilihat pada Gambar 3, dimana terlihat

hasil simulasi aliran erupsi Gunung Lokon lebih dominan

berpotensi mengalir ke arah barat daya dan timur, dimana

pada lokasi tersebut menurut interpretasi citra GeoEye berupa

lahan hutan (barat daya) dan lahan bekas aliran material erupsi

(timur). Pada simulasi aliran erupsi Gunung Soputan, terlihat

bahwa aliran berpotensi mengalir menuju ke arah barat,

dimana pada lokasi tersebut terlihat pada citra resolusi tinggi

yang diunduh dari Google Earth menunjukkan lahan bekas

aliran material erupsi. Hasil simulasi aliran material erupsi

juga dilakukan pada Gunung Merapi, dimana material erupsi

berpotensi mengalir ke arah selatan dan barat daya/barat.

Berkaitan dengan kejadian erupsi Merapi pada 5 November

2010, citra Aster GDEM memperlihatkan kondisi setelah erupsi

pada tanggal 15 November 2010, dimana wilayah yang dialiri

oleh material erupsi mempunyai pola yang sama dengan hasil

simulasi aliran erupsi Merapi. Bekas material erupsi tampak

pada citra Aster GDEM yang mengalir dari puncak Merapi

menuju arah selatan ke wilayah Kecamatan Cangkringan, serta

ke arah barat/barat daya yaitu di sekitar wilayah Kecamatan

Srumbung.

Selain mengunakan metode probabilistik Monte

Carlo, analisis peluang aliran erupsi juga dapat dilakukan

melalui analisis geomorfologi. Sebagai contoh kasus Gunung

api Gamalama yang meletus pada tanggal 16 September

2012 dianalisis menggunakan citra Landsat tahun 2010

dimana secara geomorfologi dapat diketahui bahwa sifat

erupsi Gunung api Gamalama berupa semburan piroklastik

(terutama abu vulkanik) yang sebagian besar mengendap

pada bagian puncak. Selain itu, terlihat sebaran lahar dingin

yang berasal dari endapan piroklastik pada bagian puncak

yang hanyut terbawa air hujan hingga mencapai daerah

sekitar Bandara Udara Sultan Baabullah (Gambar 4b). Hasil

simulasi aliran erupsi mengunakan metode probabilistik

Monte Carlo menunjukkan pola yang mirip dengan hasil

analisis geomorfologi, dimana potensi tinggi terjadinya aliran

material erupsi mengarah ke timur laut menuju ke daerah

50 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Gambar 10. Sebaran hotspot dan kabut asap tanggal 4 September 2012 di wilayah Sumatera (Sumber: Website SIMBA-Lapan)

Gambar 11. Lokasi kebakaran berdasarkan sebaran hotspot dan asap pada tanggal 3 September 2012

di wilayah Kalimantan Tengah (a) dan Kalimantan Selatan (b)

(a) (b)

35INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Page 38: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Peluang aliran erupsi Gunung Lokon, Citra Gunung Lokon (Sumber: Google Earth)

Peluang aliran erupsi Gunung Soputan, Citra Gunung Soputan (Sumber: Google Earth)

Peluang aliran erupsi Gunung Merapi, Citra Gunung Merapi (Sumber: Aster GDEM 15 Nov 2010)

Gambar 3. Hasil simulasi aliran erupsi (Gunung Lokon, Soputan, dan Merapi) berdasarkan algoritma Monte Carlo dari data DEM-SRTM, beserta tampilan citra resolusi tingginya untuk menunjukkan bekas aliran erupsi.

49INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

naik ke atas ke arah barat laut, tersebar di beberapa tempat

di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung.

Sebagian besar kebakaran hutan/lahan terjadi di Sumatera

Selatan. Banyaknya kejadian kebakaran di wilayah Sumatera

ini menyebabkan terganggunya pelaksanaan Pekan

Olahraga Nasional (PON) tahun 2012 yang diselengarakan di

Provinsi Riau seperti yang diberitakan oleh Kompas tanggal

5 September 2012) (Gambar 10).

Jumlah hotspot maksimum di Kalimantan terjadi pada

bulan September 2012 kecuali di Kalimantan Barat yang

terjadi pada bulan Juni 2012. Gambar 11 menunjukkan lokasi

kebakaran hutan/lahan di beberapa tempat di Kalimantan

Tengah (a) dan Kalimantan Selatan (b) (tanda panah)

berdasarkan hasil pantauan distribusi hotspot dari Indofi re

dan Citra Terra MODIS pada tanggal 3 September 2012. Lokasi

kebakaran diindikasikan berdasarkan adanya titik hotspot dan

sebaran asap (awan putih tipis memanjang). Namun tidak

semua hotspot mengindikasikan kebakaran seperti tampak

pada titik hotspot pada lingkaran merah.

Kebakaran yang terjadi pada tanggal 3 September

2012 merupakan rangkaian dari kebakaran yang terjadi

sebelumnya. Dari hasil pemantauan hotspot di kedua

wilayah ini terjadi penambahan jumlah hotspot mulai

tanggal 1 September 2012 hingga 3 September 2012

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12 (a – c) dan 12 (d

– f ). Tanda panah merah menunjukkan hotspot kebakaran

yang diikuti asap di wilayah Kalimantan Tengah (Gambar

12a – 12c) dan Kalimantan Selatan (Gambar 12d – 12f )

yang terpantau mulai tanggal 1 – 3 September 2012. Dari

Gambar 12 ini terlihat jelas kebakaran terjadi sejak tanggal 1

September dan belum padam hingga tanggal 3 September

2012. Kondisi ini disebabkan kebakaran terjadi di lahan

gambut, sehingga tidak mudah dipadamkan walau dengan

turunnya hujan sekalipun.

Berdasarkan hasil pemantauan hotspot di wilayah

Kalimantan pada tanggal 4 September 2012 terdeteksi

sebanyak 391 titik yang dominasi di Provinsi Kalimantan

Barat (328 titik), Kalimantan Tengah (31 titik), dan Kalimantan

Selatan (26 titik). Dari hasil pemantauan citra Terra/Aqua

MODIS tanggal 4 September 2012, wilayah Kalimantan

diselimuti oleh awan tebal sehingga kabut asap tidak bisa

dilihat dengan jelas (Gambar 13 pada insert B dan C), namun

(a) Hotspot MODIS tanggal 1 September 2012

(d) Hotspot MODIS tanggal 1 September 2012

(b) Hotspot MODIS tanggal 2 September 2012

(e) Hotspot MODIS tanggal 2 September 2012

(c) Hotspot MODIS tanggal 3 September 2012

(f)Hotspot MODIS tanggal 3 September 2012

Gambar 12. Perkembangan kebakaran hutan/lahan di Kalimantan Tengah (a – c) dan Kalimantan Selatan (d – f)

dari hasil pemantauan hotspot dan citra MODIS tanggal 1-3 September 2012

36 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Page 39: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

penginderaan jauh adalah data Digital Elevation Model

dari Shuttle Radar Thematic Mapper (DEM-SRTM). SRTM

diterbangkan dengan pesawat ulang alik angkasa Endeavour

pada periode 11 – 22 Februari 2000. Program ini dilakukan

atas kerjasama National Aeronautics and Space Administration

(NASA) dan National Geospatial Intelegence Agency (NGA)

dalam mengakuisisi data radar untuk dibangun menjadi peta

topografi . Penggunaan data SRTM ditujukan untuk kajian

ilmiah dengan perangkat lunak Sistem Informasi Geografi s

(SIG) atau yang lainnya. Endeavour telah mengorbit bumi

sebanyak 16 kali setiap hari selama misi 11-hari menyelesaikan

176 orbit. SRTM berhasil mengumpulkan data radar lebih dari

80% dari permukaan daratan Bumi antara 60° lintang utara

dan 56° lintang selatan dengan pengambilan titik data setiap 1

arc-detik (sekitar 30 meter). Sistem radar yang digunakan SRTM

dibangun dan diterbangkan dengan 2 misi Endeavour pada

tahun 1994. Radar-C (SIR-C) dan X-band Synthetic Aperture

Radar (X-SAR) digunakan pada bulan April dan Oktober 1994

untuk merekam data permukaan bumi. Teknologi SRTM yang

digunakan adalah radar interferometry, dimana dilakukan

perbandingan antara dua buah hasil pencitraan radar pada

sudut perekaman yang berbeda. Teknik ini menggunakan

single-pass interferometry yang mengakuisisi dua sinyal pada

saat yang sama dengan menggunakan dua antena radar yang

berbeda. Perbedaan antara dua sinyal tersebut digunakan

untuk perhitungan elevasi permukaan.

Data SRTM diproses dari sinyal radar pada interval

setiap 1-arc-detik (sekitar 30 meter) di Jet Propulsion Laboratory

(JPL) untuk dilakukan editing dan difi nalisasikan menjadi data

elevasi permukaan bumi. Selain wilayah Amerika Serikat,

data SRTM dibuat dalam resolusi spasial 3-arc-detik (sekitar

90 meter) dengan menggunakan teknik interpolasi cubic

convolution pada wilayah antara 60° lintang utara dan 56°

lintang selatan. Data SRTM ini secara mudah dan gratis dapat

diakses oleh publik melalui server di http://seamless.usgs.

gov/, atau http://edc.usgs.gov/products/elevation/srtmdted.

html. Meskipun tingkat akurasi SRTM masih belum cukup

tinggi, namun data SRTM sangat bermanfaat terutama pada

kondisi gawat darurat bencana dimana dibutuhkan pemetaan

cepat zona bahaya gunung api untuk meminimalkan dampak

kerugian akibat letusan gunung api.

Data Curah Hujan dari SatelitSementara itu untuk mengetahui potensi terjadinya

banjir lahar dingin diperlukan informasi kondisi curah hujan

secara cepat dan terkini. Secara spasial data satelit Tropical

Rainfall Measuring Mission (TRMM) mempunyai kemampuan

memberikan informasi curah hujan untuk setiap wilayah

tropik dengan resolusi spasial 27 km setiap 3 jam. Satelit

TRMM merupakan misi kerjasama antara NASA dan JAXA

(Japan Aerospace Exploration Agency) dalam memantau dan

mempelajari curah hujan di wilayah tropik. Produk data TRMM

dapat diakses dengan mudah secara gratis melalui website

Goddard Space Flight Center NASA (GSFC NASA) di http://trmm.

gsfc.nasa.gov serta website Earth Observation Research Center

JAXA (EORC) di http://www.eorc.jaxa.jp/TRMM/index_e.htm.

Berbagai penelitian, validasi, serta aplikasi data TRMM telah

banyak dilakukan.

Produk data TRMM setiap 3 jam adalah TRMM 3B42.

Data TRMM 3B42 ini merupakan hasil kombinasi data estimasi

Gambar 2. Contoh produk TRMM 3B42 pada tanggal 20-03-2012 jam 21.00 UTC (Sumber: GSFC NASA).

48 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

masih dapat dipantau adanya kejadian kebakaran dan

sebaran asap pada hari sebelumnya (insert A Gambar 13).

Gambar 13 (insert B) menunjukkan lokasi hotspot tanggal

3 September 2012 (lingkaran biru) dan 4 September 2012

(lingkaran merah). Asap tipis masih terlihat menyelimuti

Kota Palangkaraya dan sekitarnya. Pada Gambar 13 (insert

C) menunjukkan adanya kebakaran yang sebaran asapnya

menyelimuti beberapa Kota/Kabupaten di Kalimantan

Barat. Sebagian asap juga berasal dari kejadian kebakaran di

Kalimantan Tengah.

PenutupDari penjelasan di atas dapat diperoleh gambaran

bahwa hasil pemantauan hotspot dan kombinasinya dengan

citra Terra/Aqua MODIS dapat digunakan untuk mendeteksi

lokasi kebakaran secara lebih jelas. Selain itu, juga dapat

diperoleh gambaran bahwa tidak semua hotspot merupakan

lokasi kejadian kebakaran apabila tidak ditemukan indikasi

adanya sebaran asap. Keberadaan asap kebakaran akan sulit

terdeteksi apabila kondisi penutupan awan sangat tebal,

namun masih memungkinkan untuk dideteksi jika lokasi

hotspot sebelumnya berada pada lokasi yang sama.

Gambar 13. Sebaran hotspot dan kabut asap tanggal 4 September 2012

di Kalimantan (Sumber: Website SIMBA-Lapan)

37INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Page 40: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Model Simulasi Aliran ErupsiData penginderaan jauh dapat digunakan untuk

menentukan daerah bahaya letusan gunung api secara

obyektif. Salah satu metode pendekatan untuk zonasi bahaya

gunung api berdasarkan data penginderaan jauh adalah

metode probabilistik yang dikembangkan oleh Felpeto et

al (2007) melalui framework Sistem Informasi Geografi s (SIG)

yang dinamakan Volcano Risk Information System (VORIS).

Melalui VORIS dapat dilakukan skenario pemetaan zona

bahaya gunung api berdasarkan model probabilistic simulasi

numerik aliran lava, Pyroclastic Density Current (PDC), dan

sebaran debu volkanik. Pada artikel ini akan disajikan analisis

potensi aliran erupsi gunung api di Indonesia berdasarkan

metode probabilistic menggunakan VORIS.

Pada prinsipnya model probabilistik aliran material

erupsi mengasumsikan topografi sebagai faktor utama

yang menentukan jalannya aliran (Felpeto et al 2001). Model

probabilistik yang digunakan adalah algoritma Monte Carlo

dimana aliran hanya dapat menyebar dari sel satu ke sel lain

pada 8 sel tetangga, jika selisih tinggi topografi nya positif.

Peluang untuk aliran berpindah dari satu sel ke sel tetangga

yang lain sebanding dengan selisih topografi tersebut. Selain

itu pada algoritma Monte Carlo, jalannya aliran erupsi dapat

disimulasikan dengan menambahkan nilai ketinggian material

erupsi ke tinggi topografi di lokasi sel aliran pertama. Pada kasus

topografi yang sel pertama memiliki ketinggian lebih rendah

dibandingkan sel sekitarnya, maka peluang aliran menyebar

dari sel pertama ke sel lainnya menjadi nol, yang berarti aliran

tidak dapat menyebar ke sel yang lebih tinggi topografi nya.

Kasus lainnya adalah peluang ke-8 sel tetangga dapat

bernilai nol. Hal ini berarti aliran telah mencapai tempat

terendah dan berhenti mengalir ke sel lain. Pada kondisi

nyata, material erupsi yang berada pada topografi terendah

masih mungkin bertambah banyaknya sehingga material

erupsi akan terus mengalir. Untuk mengatasi kondisi material

erupsi yang berhenti mengalir, analisis akan diperluas menjadi

16 sel yang mengelilingi 8 sel pertama. Jika sel-sel tersebut

bisa dialiri maka akan terjadi aliran, jika tidak akan berhenti

mengalir. Suatu aliran dapat menyebar sampai mencapai

batas perhitungan area. Untuk mengatasinya, maka pada

algoritma Monte Carlo ditambahkan parameter maksimum

panjang aliran untuk menghentikan aliran ketika mencapai

panjang maksimal.

Hasil pemetaan bahaya aliran erupsi juga dapat

digunakan sebagai bahaya aliran lahar dingin, karena pada

prinsipnya lahar dingin dihasilkan dari interaksi antara

penumpukan material letusan dengan curah hujan yang jatuh.

Lahar dingin merupakan aliran sedimen pekat yang terdiri atas

batu, kerikil, pasir serta abu vulkanik yang tercampur air. Ilustrasi

proses terjadinya aliran lahar dingin dapat dilihat pada Gambar

2. Pada Gambar 2 yang dimaksud dengan daerah produksi

sedimen adalah daerah yang terletak pada lereng bagian hulu

dengan kemiringan curam. Selanjutnya daerah transportasi

sedimen adalah daerah yang memiliki kemiringan lebih rendah

yang umumnya merupakan daerah perkampungan dan

pertanian. Saat hujan lebat, karena faktor kemiringan lereng,

massa sedimen akan terangkut oleh aliran air dari daerah

produksi ke daerah transportasi dan akan diendapkan di daerah

sedimentasi. Ketika sampai di hilir, karena lereng melandai

(kemiringan kurang dari 3 %) menyebabkan kecepatan aliran

menurun sehingga akan terjadi proses sedimentasi. Endapan

material vulkanik yang mengendap tersebut banyak dijumpai

pada tebing-tebing sungai.

Data Topografi dari Shuttle Radar Thematic Mapper (SRTM)

Berdasarkan uraian di atas, maka pemetaan bahaya

aliran material erupsi gunung api dengan mengaplikasikan

metode probabilistik membutuhkan data elevasi wilayah.

Data satelit penginderaan jauh yang dapat merepresentasikan

kondisi topografi dan umum digunakan dalam aplikasi

Gambar 2. Ilustrasi proses terjadinya aliran lahar dingin

(Departemen Pekerjaan Umum, 2010)

47INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Pendahuluan

Mengawali Tahun 2012, Bengawan Solo kembali

mengalami banjir besar. Banjir di Bengawan Solo

merupakan permasalahan yang selalu terjadi setiap

tahunnya. Upaya penanggulangan dan pengendalian banjir

tidak akan pernah dapat menghilangkan banjir sama sekali,

tetapi upaya tersebut harus dilakukan untuk mengurangi

besaran banjir dan mengurangi dampak kerugian manusia

maupun kerusakan infrastruktur.

Banjir secara teknis merupakan luapan air sungai yang

mengalir melampaui kapasitas daya tampung sungai. Dengan

demikian, aliran sungai tersebut akan melewati tebing

sungai dan menggenangi daerah di sekitarnya. Berdasarkan

pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa banjir adalah

bencana alam yang disebabkan oleh curah hujan tinggi dalam

kurun waktu yang relatif singkat yang sering menimbulkan

kerugian baik fi sik maupun material.

Selayang pandang Bengawan SoloSejak sekitar pertengahan 2000-an, hampir setiap

tahun daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo mengalami

banjir. Banjir yang terjadi dipenghujung 2007 dan awal 2008

dinilai yang terbesar setelah banjir 1966.

Sungai Bengawan Solo, merupakan sungai terbesar

di Pulau Jawa dengan panjang sungai sekitar 600 km yang

mengalir di dua provinsi yaitu Provinsi Jawa Tengah dan

Jawa Timur dengan luas sekitar 1.700.000 hektar (Ha). Secara

geografi s DAS Bengawan Solo terletak pada 110°26’10’’-

112°40’ Bujur Timur (BT) dan 6°50’50’’- 8°18’40’’ Lintang Selatan

(LS). Dengan topografi beragam dari pegunungan di sisi

selatan (Gunung Merapi (± 2.914 m), Gunung Merbabu (±

3.142 m) dan Gunung Lawu (± 3.265 m)) hingga dataran

rendah di bagian baratnya.  .

Secara administratif Bengawan Solo mencakup 17

(tujuh belas) kabupaten dan 3 (tiga) kota, yaitu Kabupaten

Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen,

Blora, Rembang, Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi,

Bojonegoro, Tuban. Lamongan, Gresik dan Pacitan. Kota

Surakarta, Madiun dan Surabaya (Gambar 1).

Pada umumnya DAS Bengawan Solo bagian hulu

memiliki tutupan lahan berupa tanaman tinggi (hutan),

ladang, sawah, dan pemukiman. Sedangkan bagian tengah

dan hili DAS Bengawan Solo didominasi oleh pemukiman dan

sawah (Gambar 2).

Dinding sungai pada daerah hulu DAS rata-rata

bertebing curam dan tinggi. Karena banyak digunakan untuk

pertanian, daerah sekitar sungai pada bagian ini banyak

mengalami erosi dan sedimentasi yang cukup tinggi (http://

id.wikipedia.org). Oleh sebab itu kondisi ini berpeluang

menyebabkan tingginya tingkat limpasan permukaan yang

dapat terjadi.

Curah hujan yang tinggi pada musim penghujan

mengakibatkan DAS ini tidak mampu menampung aliran

langsung permukaan yang masuk pada sistem sungai,

sehingga terjadi luapan yang menggenangi wilayah-wilayah

yang dilalui oleh sungai utamanya. Curah hujan yang tinggi

bukan hanya menyebabkan banjir di sejumlah wilayah

hulu, seperti Solo atau Sragen, tetapi juga mengancam

Analisis Kejadian Banjir di DAS Bengawan Solo

Nur Febrianti dan Sayidah SulmaPeneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

Email: [email protected] atau [email protected]

38 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Page 41: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Bencana Gunung api

Bencana letusan gunung api di Indonesia menurut hasil

rekapitulasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB) sejak tahun 1815 hingga tahun 2012 tercatat

telah terjadi sebanyak 111 kali. Berdasarkan tingkat kejadiannya

bencana letusan gunung api hanya menduduki peringkat 9

dari semua bencana alam yang terjadi di Indonesia. Namun

demikian dari sisi korban yang ditimbulkan, bencana letusan

gunung api di Indonesia merupakan jenis bencana ke-2

setelah gempa bumi dan tsunami yang telah mengakibatkan

banyak korban jiwa. Tercatat dari 111 kejadian letusan gunung

api sejak tahun 1815 hingga tahun 2012 telah menelan korban

sebanyak 78.598 jiwa (Gambar 1).

Beberapa tahun ini kasus meletusnya gunung api sering

terjadi di Indonesia. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi

Bencana Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

(ESDM) pada bulan Juli hingga September 2012 terdapat 5

gunung api yang berstatus siaga yaitu Gunung Ijen, Lokon,

Karangetang, Soputan, dan Gamalama. Makna status siaga

adalah menandakan gunung berapi yang sedang bergerak dan

dapat berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat

menimbulkan bencana, jika terus terjadi peningkatan kegiatan

seismic, maka letusan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu.

Tingkat bahaya gunung api di wilayah Indonesia

umumnya tinggi karena secara geografi s dan fi siografi

Indonesia terletak dalam rangkaian cincin gunung api (ring

of fi re) yang merupakan pertemuan 2 jalur pegunungan

yaitu Sirkum Pasifi k dan Sirkum Mediteranian. Jalur Sirkum

Mediteranian di Indonesia membentang dari Pulau Sumatra,

Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku, sedangkan jalur Sirkum Pasifi k masuk ke Indonesia melalui Sulawesi kemudian

bercabang ke Pulau Halmahera dan berakhir di Papua. Bahaya

gunung api yang umum ditemui di Indonesia adalah berupa

bahaya primer (aliran lava, piroklastik, sebaran abu vulkanik)

dan bahaya sekunder (aliran lahar dingin). Resiko bencana

gunung api akan menjadi tinggi ketika bahaya gunung api

terletak pada wilayah yang memiliki jumlah penduduk yang

padat. Oleh karena itu, dipandang sangat penting untuk dapat

memetakan zona bahaya letusan gunung api.

Parwati, Fajar Yulianto, Suwarsono, Any Zubaidah, Totok Suprapto, WiwekaPeneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

Email : [email protected]

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis Potensi Aliran Erupsi Gunung Api dan

Banjir Lahar Dingin

Gambar 1. Data kejadian bencana dan korban meninggal periode 1815 – 2012 (Sumber: BNPB)

4151

1968 1925

1416

324 279 179 122 11113 9

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

140000

160000

180000

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

Korb

an (j

iwa)

Keja

dian

kejadian

korban

46 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

sejumlah wilayah hilir yaitu di Provinsi Jawa Timur, khususnya

Bojonegoro, Lamongan, Tuban, dan Gresik.

Dinamika atmosfer global yang mempengaruhi kondisi cuaca di Indonesia

Dinamika atmosfer yang mempengaruhi kondisi

cuaca di Indonesia sangatlah kompleks. Kondisi curah hujan

di Indonesia tidak hanya dipengaruhi monsun, tetapi juga

faktor lain seperti kombinasi interaksi antara fenomena ENSO

(El-Niño and Southern Oscillation), IOD (Indian Ocean Dipole),

dan fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation).

Monsun merujuk pada siklus tahunan yang

membedakan secara tegas keadaan atmosfer selama fase

kering dan fase basah. Kondisi ini karena adanya pergerakan

semu tahunan matahari antara Garis Balik Utara dan Garis Balik

Selatan. Di  Indonesia, secara teoritis hujan monsun terjadi

pada bulan Oktober hingga April. Sementara di kawasan Asia

Timur terjadi bulan Mei sampai Agustus.

Kondisi curah hujan di Indonesia yang tidak lepas

dari pengaruh kondisi fenomena global tersebut. Maka

analisis curah hujan ekstrim yang menyebabkan banjir di

DAS Begawan Solo 2012 dapat menggunakan informasi sea

surface temperature anomaly (SSTA) di Samudera Pasifi k (Nino

3.4), di Samudera Hindia (IOD), serta kondisi MJO di kawasan

tropis selama Desember 2011 hingga Januari 2012.

El-Niño and Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD)

El Niño/La Niña merupakan fenomena anomali

suhu laut di Samudera Pasifi k Ekuatorial Tengah dan Timur,

sedangkan Indian Ocean Dipole (IOD) adalah beda temperatur

permukaan laut Pantai Timur Afrika dan Pantai Barat Sumatera

(Samudera Hindia). Kawasan di Samudera Pasifi k dibagi

menjadi beberapa daerah yang disebut dengan Nino, kondisi

cuaca dan perairan Indonesia dominan dipengaruhi oleh

Nino 3.4 (5oN – 5 oS, 170oW – 120oW).

Gambar 1. Peta DAS Bengawan Solo

Sumber: http://sda.pu.go.id:8181/sda/?act=peraturan_ws_detail&wid=19&gid=6

39INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Page 42: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

PenutupKondisi dinamika atmosfer global yang berperan

mempengaruhi kondisi cuaca di Indonesia yaitu El-Niño and

Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD), dan MJO

(Madden Julian Oscillation) pada akhir tahun 2011 cenderung

masih menghasilkan curah hujan, namun di awal tahun 2012

berada pada kondisi normal.

Kondisi normal tersebut juga yang menyebabkan

intensitas curah hujan tidak terlalu besar. Curah hujan dengan

intensitas tinggi hanya terjadi pada 09 – 16 Januari 2012

di kawasan DAS Bengawan Solo. Tingginya curah hujan

pada periode tersebut menyebabkan potensi banjir di DAS

Bengawan Solo semakin besar.

Selain curah hujan, potensi banjir terjadi karena bentukan

lahan dimana kondisi DAS Bengawan Solo secara umum

memiliki kelas datar hingga landai (kemiringan kurang dari 8%),

dan ketinggian yang tidak terlalu tinggi (kurang dari 150 mdpl).

Sedangkan kondisi gunung yang terjal dan sedikit tutupan

hutan di DAS Bengawan Solo menyebabkan curah hujan yang

terjadi di daerah ini lebih banyak menjadi limpasan langsung.

Gambar 9. Distribusi banjir di DAS Bengawan Solo pada setiap periode

45INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Beda suhu permukaan laut di Samudera Pasifi k

dikenal dengan SOI (Southern Oscillation index) sedangkan

di Samudera Hindia dikenal dengan DMI (Dipole Mode Index).

Pada saat SOI positif (El Nino) dan DMI (+) (> 0,5 oC) maka

sama-sama akan menyebabkan berkurangnya curah hujan

di wilayah perairan Indonesia. Sedangkan saat SOI negatif (La

Nina) dan DMI (–) (< – 0,5 oC) maka curah hujan di wilayah

Indonesia akan meningkat.

Hasil pengamatan terhadap kondisi Nino 3.4, IOD, dan

MJO hingga Januari 2012 terlihat bahwa selama Desember

2011, curah hujan bertambah di seluruh wilayah Benua

Maritim Indonesia, termasuk bagian Tenggara. Terjadi sedikit

penurunan intensitas La Nina karena terjadi peningkatan

SSTA dari -0.94 oC menjadi -0.84 oC (Gambar 3). Dipole Mode

(Gambar 4) di Samudera Hindia masih berada pada kondisi

normal (dari 0.45 oC menjadi 0.19 oC).

Madden-Julian Oscillation (MJO)Madden Julian Oscillation  adalah suatu gelombang

atau osilasi sub musiman yang terjadi di lapisan troposfer

wilayah tropis, akibat dari sirkulasi sell skala besar di ekuatorial

yang bergerak dari barat ke timur yaitu dari Samudera Hindia

ke Pasifi k Tengah dengan rentang daerah propagasi 15°LU -

15°LS.

MJO secara alami terbentuk dari sistem interaksi laut

dan atmosfer, dengan periode osilasi kurang lebih 30-60

hari. Fenomena MJO terjadi di delapan fase yang berbeda

menurut wilayah kejadian. Wilayah Indonesia dipengaruhi

oleh pembentukan di fase-4 dan fase-5 meliputi wilayah

100oBT – 140oBT (benua maritim).

Gambar 5 memperlihatkan kondisi pada 4 Desember

2011, MJO berada dalam status aktif di Benua Maritim

Indonesia (garis hijau). Namun pada Januari 2012, MJO telah

Gambar 5: Diagram aktivitas MJO di kuadran 4 dan 5 periode Desember 2011 (garis hijau) hingga 12 Januari 2012 (garis biru) (Sumber:

http://www.bom.gov.au/climate/mjo/ )

Gambar 2. Kondisi tutupan lahan di DAS Bengawan Solo 4 Mei 2011

40 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Page 43: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Ponorogo, Ngawi, Magetan, dan Madiun. Sedangkan pada

periode ke-4 (25 Januari – 01 Februari 2012) hujan dengan

intensitas tinggi terjadi di bagian hili Bengawan Solo. Sehingga

daerah yang berpotensi besar terjadi banjir yaitu Bojonegoro,

Tuban, Blora, Kabupaten Ngawi, Magetan, dan Madiun.

Potensi banjir di periode ke-5 (2 – 9 Februari 2012)

terjadi di Bengawan solo bagian Hulu hingga tengah, namun

lebih luas daripada potensi banjir di periode ke-1 dan ke-

3. Banjir di Prov. Jawa Tengah yaitu meliputi Kota Surakarta,

Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar, Sragen. Serta di Prov. Jawa

Timur menggenangi Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo,

Bojonegoro, dan Lamongan. Sedangkan untuk periode ke-6

(10 – 17 Februari 2012) banjir terjadi di lokasi yang sama dengan

yang terjadi pada periode ke-5 kecuali daerah Bojonegoro dan

Lamongan tidak berpotensi banjir.

Potensi banjir di periode pertama (01 – 08 Januari 2012)

di Provinsi Jawa Tengah terjadi dari potensi ringan hingga

sedang di Kabupaten Sukoharjo, Klaten, Kodya Surakarta,

Karangayar, Kabupaten Wonogiri terutama disekitar Danau

Gajah Mungkur. Sedangkan di Provinsi Jawa Timur terjadi di

sebagian Kabupaten Ponorogo.

Sedangkan pada periode ke-2 (9 – 16 Januari 2012)

hampir seluruh dataran rendah dan relatif datar di DAS

Bengawan Solo berpotensi mengalami banjir (banjir ringan

hingga sangat berat), karena hujan dengan intensitas tinggi

hingga sangat tinggi merata di daerah ini. Daerah yang

memiliki potensi sangat tinggi yaitu di Kabupaten Ngawi,

Magetan, Madiun, Bojonegoro dan Kabupaten Lamongan.

Potensi ringan hingga sedang kembali terjadi pada

periode ke-3 (17 – 24 januari 2012) di Kabupaten Sukoharjo,

Klaten, Kodya Surakarta, Karangayar, Kabupaten Wonogiri,

Gambar 8. Dataran rawan banjir di DAS Bengawan Solo

44 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

memasuki kawasan Pasifi k Barat. Oleh karena itu curah hujan

di kawasan Indonesia mengalami peningkatan pada akhir

2011 dan kembali normal di awal tahun 2012.

Analisis curah hujan di DAS Begawan SoloKondisi curah hujan menggunakan data dari National

Centers for Environmental Prediction (NCEP) menunjukkan

bahwa pada tahun 2011 banyak terjadi hujan yang melebihi

kondisi normalnya (positif). Terutama sejak memasuki

pertengahan Oktober 2011 yang mencapai 14 kg/m2 atau

setara dengan 0.014 mm. Peningkatan curah hujan tersebut

memang tidak terlalu besar namun karena berlangsung

hingga akhir vtahun 2011 maka berpeluang mengisi kolom air

tanah. Kondisi tersebut dapat menjadi pemicu banjir di awal

tahun 2012 (Gambar 6).

Gambar 6 menunjukkan anomali precipitable water

pada Bulan Desember 2011 (Gambar 6a) hingga 1 Januari

2012 (Gambar 6b) curah hujan di kawasan DAS Bengawan

Solo masih lebih tinggi daripada kondisi normalnya. Namun

seterah itu terlihat bahwa curah hujan yang terjadi dibawah

kondisi normalnya. Tetapi pada kenyataannya dengan hujan

yang tidak telalu besar, daerah di sepanjang sungai Bengawan

Solo masih mengalami banjir.

Distribusi curah hujan dari hasil pengolahan data

TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) untuk kawasan

DAS Bengawan Solo pada 1 Januari hingga 17 Februari 2012

ditunjukkan pada Gambar 7. Bila dilihat pada periode pertama

(1 – 8 Januari 2012) curah hujan secara umum masih di kelas

menengah yaitu berkisar antara 25 – 75 mm. Begitu juga di

Gambar 3: Indek sst Nino 3.4 periode Juli 2007 hingga Januari 2012 (sumber: http://reg.bom.gov.au/climate/enso/)

Gambar 4: Indek iod periode Januari 2009 hingga April 2013 (sumber: http://www.bom.gov.au/climate/enso/indices.shtml)

Gambar 5: Diagram aktivitas MJO di kuadran 4 dan 5 periode Desember 2011 (garis hijau) hingga 12 Januari 2012 (garis biru) (Sumber:

http://www.bom.gov.au/climate/mjo/ )

41INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Page 44: Inderaja 6

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Gambar 8. Dataran rawan banjir di DAS Bengawan Solo

Gambar 7. Distribusi curah hujan di DAS Bengawan Solo pada setiap periode

43INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Gambar 6: Anomaly Presitable Water pada (a) sepanjang tahun 2011 dan (b) Januari 2012 yang terjadi di kawasan DAS Bengawan Solo (Sumber: http://www.esrl.noaa.gov/psd)

periode ke-4 (25 Januari – 1 Februari 2012) dan ke-5 (2 – 9

Februari 2012). Kondisi curah hujan sangat tinggi terjadi di

periode ke-2 (9 – 16 Januari 2012) yaitu lebih dari 100 mm/8-

hari (sekitar 12.5 mm/hari).

Bila dilihat dari pola distribusinya, pada umumnya

curah hujan banyak terjadi di bagian hulu DAS Bengawan

Solo yaitu di periode ke-1 hingga ke-3, dan periode ke-6.

Sedangkan di bagian hilir sungai mengalami curah hujan

tinggi hanya pada periode ke-2 dan ke-4. Pola distribusi curah

hujan perlu diperhatikan untuk melihat apakah banjir yang

terjadi merupakan banjir kiriman dari hulu atau bukan.

Dataran rawan banjir di DAS Bengawan SoloDataran banjir dari kondisi kemiringan dan ketinggian

yang diturunkan dari data SRTM (Gambar 8). Dari Gambar

8 terlihat bahwa mayoritas dataran di DAS Bengawan Solo

secara umum memang merupakan daerah datar hingga

landai dengan ketinggian kurang dari 150 meter diatas

permukaan laut (m dpl). Bagian hulu DAS Bengawan Solo

sebagian besar merupakan dataran rawan banjir sangat

tinggi (warna merah) karena memiliki relif datar (< 3%) dan

kurang dari 50 m dpl.

Pemantauan kejadian banjir DAS Begawan SoloPengolahan banjir menggunakan data curah hujan

dari TRMM, kondisi indek kehijauan dari MODIS, serta kondisi

ketinggian dan kemiringan dari SRTM. Asumsi terjadinya banjir

yang digunakan yaitu bila curah hujan terjadi lebih dari 75

mm/8-hari, ketinggian daerah kurang dari 100 m dpl, dan

kemiringan kurang dari 8%.

Dengan demikian maka dari Gambar 7 dan Gambar 8

sementara dapat dikatakan dari 1 Januari hingga 17 Februari

2012 di DAS Bengawan Solo berpeluang mengalami banjir.

Namun tentu saja tidak semua daerah mengalami banjir

karena beberapa daerah merupakan dataran tinggi dan

kemiringannya terjal. Hasil overlay faktor-faktor tersebut, maka

daerah yang berpotensi mengalami banjir ditunjukkan pada

Gambar 9.

42 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013