inderaja 6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
InderajaTRANSCRIPT

Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013 ISSN 2087-8141
CITRA SATELIT LANDSAT-8, KOTA MAKASAR PEREKAMAN TANGGAL 27 APRIL 2013
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH Analisis Kondisi Kebakaran Hutan/Lahan di Sumatera dan
Kalimantan Tahun 2012 Analisis Kejadian Banjir di DAS Bengawan Solo Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis
Potensi Aliran Erupsi Gunung Api dan Banjir Lahar Dingin Kerjasama Airborne SAR PiSAR - L2: Potensi
Pemanfaatan Data SAR untuk Pemantauan Wilayah Indonesia
TEKNOLOGI DATA PENGINDERAAN JAUH
Kajian Spesifikasi Sensor Satelit untuk Pemantauan SumberDaya Pesisir dan Laut
Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Satelit Suomi National Polar-orbiting Partnership (S-NPP) dari Rawdata ke Raw Data Record (RDR)
Pemanfaatan Layanan Peta (Mapservice) ddlam Konsep Pemetaan Online, Studi Kasus Pengembangan Sistem Informasi Fasilitas Kesehatan di Kota Depok
Kajian Data Satelit Generasi Baru Satelit LDCM (Landsat Data Continuity Mission)


Sidang Pembaca Yang Terhormat,
Penerbitan Majalah Inderaja LAPAN Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013 memasuki nomor edisi ke enam. Majalah ini merupakan media distribusi informasi perkembangan hasil-hasil penelitian dan
pengembangan teknologi penginderaan jauh dan pemanfaatannya. Materi tulisan yang disajikan pada edisi ini adalah hasil kegiatan penelitian dan operasional di Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Jakarta, diantaranya menggunakan data satelit Landsat-7 ETM+, LDCM, SPOT-4, SPOT-5, SPOT-6, NOAA, MODIS, S-NPP, TRMM, SRTM, World View-2 dan PiSAR-L2. Diharapkan materi/tulisan yang disampaikan dapat bermanfaat bagi pembaca.
Teknologi Penginderaan Jauh : Kajian Spesifi kasi Sensor Satelit untuk Pemantauan Sumber Daya
Pesisir dan Laut. Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Satelit Suomi National
Polar-orbiting Partnership (S-NPP) dari Rawdata ke Raw Data Record (RDR).
Pemanfaatan Layanan Peta (Mapservice) dalam Konsep Pemetaan Online. Studi Kasus: Pengembangan Sistem Informasi Fasilitas Kesehatan di Kota Depok.
Kajian Data Satelit Generasi Baru, Satelit LDCM (Landsat Data Continuity Mission)
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh : Analisis Kondisi Kebakaran Hutan/Lahan di Sumatera dan Kalimantan
Tahun 2012 Analisis Kejadian Banjir di DAS Bengawan Solo Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis Potensi Aliran
Erupsi Gunung Api dan Banjir Lahar Dingin Kerjasama Airborne SAR PiSAR-L2: Potensi Pemanfaatan Data SAR
untuk Pemantauan Wilayah Indonesia.
Kami berusaha menyajikan informasi Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh dan Teknologi Penginderaan Jauh yang up to date. Informasi disampaikan melalui makalah/tulisan, artikel dan pemuatan poster Peta Citra Satelit Penginderaan Jauh meliputi wilayah di seluruh Indonesia. Pada kesempatan ini, redaksi menyampaikan permohonan maaf, karena belum dapat memenuhi semua permintaan pembaca yang disampaikan melalui pengembalian Formulir Tanggapan Surat Pembaca. Diharapkan pada edisi mendatang, secara bertahap kami dapat memenuhi permintaan pembaca. Terima kasih atas perhatiannya, selamat membaca.
Hormat Kami,Tim Redaksi
Diterbitkan oleh: Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan JauhPusat Teknologi dan Data Penginderaan JauhLembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Pengarah: Kepala LAPANDeputi Bidang Penginderaan Jauh
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
Editor : Dr. Katmoko Ari, M.Eng.Syarif Budhiman, S.Pi., M.Sc.
Staf Redaksi:Ir. Rubini Jusuf, M.Si.Drs. NgadinoBambang Haryanto, S.E.Andie Setiyoko, S.T., M.Tech.Rita Silviana, S.T.Dra. Endang Purwanti
Staf Sekretariat:Widodo BasukiLies HendariniAminahDwi Nurcahyo
Alamat Redaksi:Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN Jl. LAPAN No. 70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710Telp.: (021) 8717715, 8710786, 8721870. Fax.: (021) 8717715Email: [email protected]
Majalah Inderaja adalah majalah populer yang diterbitkan 2 kali setahun untuk mempublikasikan perkembangan hasil-hasil penelitian dan pengembangan teknologi penginderaan jauh dan pemanfaatannya, khususnya bagi pengguna data penginderaan jauh di Indonesia. Sifat populer yang dimaksud adalah penjelasan istilah teknik secara populer dengan bahasa sederhana, tidak menggunakan rumus-rumus matematik yang terlalu komplek/rumit, sumber rujukan ditulis seperti lazimnya majalah populer tanpa daftar rujukan. Redaksi menerima naskah hasil penelitian, pengembangan dan pengulasan bidang penginderaan jauh dari penulis yang orsinil, memiliki validasi ilmiah dan kejelasan pemaparan serta belum pernah dipublikasikan.
1INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Dari Meja Redaksi

Daerah kami punya potensi padi sawah kurang lebih 29.000 Ha dan termanfaatkan ± 24.000 Ha . Mungkin menjadi bahan penelitian, dan kami akan siap bekerjasama.Tks
Ir. H. Firdaus Khatab, MMKepala Bappeda Kabupaten Tanjung jabung Barat Provinsi Jambi
Jl. Jend. Sudirman Kuala Tungkal 36513, Provinsi Jambi
Terima kasih kami sampaikan atas keinginan Bapak untuk menjalin kerjasama dengan LAPAN dan kesediaannya untuk menjadikan wilayah Bapak sebagai obyek penelitian. Bersama ini kami sampaikan, bahwa untuk mewujudkan maksud dan keinginan Bapak, kami persilahkan untuk mengirim surat permohonan kepada Kepala LAPAN, c.q. Kepala Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat d.a. Jl. Pemuda Persil No. 1, Rawamangun, Jakarta 13220, Telp. 021-4892802
Terima kasih atas kiriman majalahnya, ini sangat bermanfaat dalam pengembangan wawasan dan informasi. Selanjutnya harapan kami dapat mengikuti pelatihan – pelatihan yang terkait dengan penginderaan jarak jauh
Said Hendri, STKabid Perencanaan Fisik dan Prasarana
Jl. Istana Robat No. 22 Daik Lingga Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri
Majalah Inderaja terbit dua kali setahun, dan didistribusikan kepada masyarakat, khususnya para pengguna data/jasa dalam bidang penginderaan jauh. Terkait dengan pelatihan – pelatihan yang Bapak maksud, kami sarankan Bapak mengirim surat permohonan kepada Kepala Pusat Pemanfaatan Teknologi Dirgantara LAPAN d.a. Jl. Pemuda Persil No.1 Rawamangun, Jakarta 13220 Telp. (021)4892802, 4895040 Fax. (021)47882163 email [email protected] atau [email protected]
Majalah inderaja sangat menunjang pekerjaan kami terutama dalam pemetaan dan penanggulangan kebakaran di taman Libangan
Tatang Suwardi, S.HutPEH (Pengendali Ekosistem Hutan)
Balai Taman Nasional Sebangau Kementrian KehutananJl. Mahir Mahar Km 1,2 Palangkaraya PO BOX 65
Syukur alhamdulillaah pak Tatang yang telah memanfaatkan Majalah Inderaja untuk menunjang pekerjaan Bapak dalam pemetaan dan penanggulangan kebakaran di taman Libangan. Semoga majalah kami akan lebih bermanfaat lagi untuk waktu-waktu mendatang.
Sebaiknya majalah ini diterbitkan paling tidak 4 kali dalam satu tahun dan semuanya bisa dibagikan kesetiap BPBD di Indonesia termasuk BPBD di Kalimantan Tengah. Sebaiknya menggunakan bahasa yang lebih sederhana supaya pengertiannya lebih cepat. Sebaiknya dilakukan pendidikan lebih lanjut agar lebih menguasai.
KiwokBPBD Provinsi Kalimantan Tengah
Jl. Tjilik Riwut Km.7,8 Palangkaraya Kalimantan Tengah
Terima kasih atas saran dan masukannya, kami akan terus melakukan evaluasi menyangkut frekuensi terbit dalam satu tahunnya maupun substansi dan redaksionalnya sehingga mudah dipahami oleh para pembaca.
2 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Kepada Yth. Pembaca Majalah Inderaja Bersama ini kami kirimkan Majalah Inderaja Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013 sebanyak 1 (satu) eksemplar untuk dapat dimanfaatkan. Selanjutnya mohon diisi Formulir Surat Pembaca di bawah ini, dan dikirimkan kembali ke alamat Redaksi Majalah Inderaja seperti di atas, sebagai tanda terima serta untuk data alamat pengiriman selanjutnya. Terima kasih
Redaksi Majalah Inderaja
1 Nama Lengkap & Titel
2 Jabatan
3 Instansi/Departemen 4 Alamat Kantor/ Kota/ Kode Pos
5 Format Majalah Inderaja
6 Isi Majalah Inderaja
7 Manfaat Majalah Inderaja 7.a Apakah perlu dikirim Majalah Inderaja Ya Tidak 7.b Apakah menunjang kinerja Saudara Ya Tidak Coret sesuai permintaan
Berikan komentar Manfaatnya
……..……………………………….2013
Penerima
(………………………………………..)
Form Surat Pembaca
Redaksi Majalah Inderajad.a. Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
Lembaga Penerbangan dan Antariksa NasionalJl. LAPAN No. 70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur13710
Telp. (021 8710786, Fax. (021) 8717715 Email: [email protected]

Kajian Spesifi kasi Sensor Satelit untuk Pemantauan Sumber Daya Pesisir dan Laut
H a l a m a n
41234410
15
2129293846
54
5959606163
6567
6869707172727374757677787980818283
Meja RedaksiSurat PembacaDaftar IsiTeknologi Penginderaan JauhKajian Spesifi kasi Sensor Satelit untuk Pemantauan Sumber Daya Pesisir dan LautRancang Bangun Sistem Pengolahan Data Satelit Suomi National Polar-orbiting Partnership (S-NPP) dari Rawdata ke Raw Data Record (RDR)Pemanfaatan Layanan Peta (mapservice) Dalam Konsep Pemetaan Online. Studi Kasus: Pengembangan Sistem Informasi Fasilitas Kesehatan di Kota DepokKajian Data Satelit Generasi Baru, Satelit LDCM (Landsat Data Continuity Mission)Pemanfaatan Data Penginderaan JauhAnalisis Kondisi Kebakaran Hutan/Lahan di Sumatera dan Kalimantan Tahun 2012Analisis Kejadian Banjir di DAS Bengawan SoloPemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis Potensi Aliran Erupsi Gunung Api dan Banjir Lahar DinginKerjasama Airborne SAR PiSAR-L2: Potensi Pemanfaatan Data SAR untuk Pemantauan Wilayah IndonesiaBerita RinganLAPAN Ikut Serta dalam Pameran Alpalhan di Mabes TNI CilangkapSosialisasi Hasil Penelitian, Kerjasama LAPAN dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang Penandatangan Pakta Integritas di Lingkungan Kedeputian Bidang Penginderaan JauhSeminar Nasional Kedirgantaraan dan Sosialisasi RUU Keantariksaan dalam Rangka HUT LAPAN ke-49 Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Kunjungi LAPAN PekayonSosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil di Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN, PekayonPustekdata Menerima Kunjungan Mahasiswa Institut Bisnis Nusantara (IBN) Jakarta.Kunjungan SMP Negeri 179 Jakarta ke Pusat Teknologi dan Data LAPANDiklat Aplikasi Browse Catalog Bank Data Penginderaan Jauh NasionalPelepasan Purna Bakti PNS di Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh Tahun 2012PosterPerbatasan Indonesia-Malaysia, Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan BaratKabupaten Kampar dan sekitarnya, Propinsi RiauKota RajaampatKota SamarindaKota BanjarmasinKota CirebonKota ParepareKota MakassarPantai PangandaranPengurangan dan Penambahan Penutup Hutan (Kalimantan, 2000-2009)PengumumanForm Surat PembacaCoverDepan : Citra Satelit Landsat-8, Kota Makasar Propinsi Sulawesi SelatanDepan Dalam : INCAS-Penambahan dan Penutup Hutan (Sumatera 2000-2009) Belakang Dalam : Citra Satelit SPOT-6 Kota Banda AcehBelakang : Citra Satelit SPOT-6 Kilang Minyak Balongan Indramayu
3INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Daftar Isi
REDAKSIONAL MAJALAH INDERAJA
Majalah Inderaja adalah majalah populer milik LAPAN yang berfungsi sebagai mediadistribusi informasi perkembangan hasil-hasil litbang teknologi dan pemanfaatanpenginderaan jauh bagi masyarakat pengguna Indonesia. Naskah yang bisa dimuatharus terbukti orsinil, belum pernah dipublikasi dan sudah memiliki validitas ilmiah.Naskah dikirim ke Sekretariat Majalah Inderaja d.a. Pusat Teknologi dan DataPenginderaan Jauh LAPAN, Jl. LAPAN No. 70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur,Email: [email protected]
Sistematika Penulisan :Naskah terdiri dari halaman judul dan isi makalah yang terdiri dari bab pendahuluan,bab inti dan bab penutup.Naskah diketik dengan MS Word, jenis huruf Arial, font 11 pt pada kerta A4 dengan1½ spasi dan maksimal 15 halaman.Halaman judul berisi judul ringkas tanpa singkatan, nama (para) penulis tanpa gelar,alamat instansi, dan e-mail penulis utama.Bab Pendahuluan, merupakan pembuka permasalahan yang akan dibahas dalamtulisan, tidak boleh terlalu panjang, hanya merupakan pengenalan kearah yang akandituju. Terdapat pembatasan masalah dan pengertian-pengertian sehingga pembacasudah dibawa kearah tertentu. Presentasi pendahuluan dari suatu keseluruhantulisan sekitar 20 persen.Bab Inti, merupakan bagian yang berisi paparan dan pembahasan persoalan pokok,ditulis secara sistematis dan logis menuju kepada satu klimaks. Presentasi bagianini sekitar 70 persen dari seluruh tulisan.Bab Penutup, berisi kesimpulan, saran atau pendapat penulis tentang pokokpersoalan yang dikemukakan sebagai arahan bagi pembaca.Penulis naskah dibuat popular dengan bahasa yang sederhana tanpa ada rumusan-rumusan/formula yang terlalu rumit agar mudah difahami masyarakat umum.Gambar dan tabel masuk dalam batang tubuh naskah bukan dilampirkan, diberinomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada bab tersebut, misalnya Gambar 2-2atau Tabel 2-1 disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yangbersangkutan. Keterangan dalam gambar termasuk legenda gambar ditulis denganjelas dan harus terbaca.Formula dan rujukan ditulis sebagaimana layaknya penulisan popular tanpa bentukrumus-rumus.Daftar pustaka dituliskan dalam lembar terpisah.
Tim Redaksi Majalah Inderaja

POSTER
81INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
4 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
TTT kk l ii dd DD TTTeekkkknnnnoooollllooooogggiii ddddaaaannnn DDDDDDaaaattttttaaaaaa PPPPeeeennnnggggginndddeeeeerrraaaann JJJJaaauuhh
ggggg
1. Pendahuluan
Letak geografi s yang strategis membuat Indonesia kaya
akan sumber daya alam. Secara harafi ah sumber daya
alam (SDA) berarti segala sesuatu yang muncul secara
alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan
manusia pada umumnya, baik yang bersifat hayati maupun
non hayati. SDA hayati di wilayah pesisir tentunya akan
berbeda dengan di laut. SDA hayati di wilayah pesisir masih
memiliki kemiripan dengan wilayah darat, perbedaan terletak
pada SDA yang berada di dalam kolom perairan (misalnya
terumbu karang dan lamun). Sedangkan SDA hayati di wilayah
laut didominasi oleh keberadaannya di dalam kolom perairan,
terutama ikan. Untuk SDA non hayati di wilayah pesisir dan
laut sangat beragam. Keberagaman tersebut dapat dibatasi
pada keberadaanya di bawah permukaan bumi (misalnya
minyak bumi dan mineral) dan di perairan (misalnya arus,
pasang surut dan parameter oseanografi lainnya).
Satelit penginderaan jauh dapat memantau kekayaan
SDA di wilayah pesisir dan laut di Indonesia. Selama ini, data
penginderaan jauh yang digunakan berasal dari satelit yang
dimiliki oleh negara lain. Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) telah memulai pengembangan satelit
eksperimental yang diawali dengan pembuatan satelit mikro
LAPAN-TUBSAT bekerjasama dengan TU Berlin, dan berhasil
diluncurkan pada tahun 2007. Selanjutnya pada tahun 2013
ini, LAPAN merencanakan untuk melakukan peluncuran
dua satelit mikro lainya yang masih terkait dengan program
pengembangan satelit eksperimental, yaitu satelit LAPAN-A2
dan satelit LAPAN-A3. Kedua satelit tersebut akan memiliki
spesifi kasi yang lebih baik dari LAPAN-TUBSAT (http://
detekgan.lapan.go.id/pusteksat/; http://www.lapanrb.org/
home). Kedepannya, LAPAN merencanakan pengembangan
satelit yang dapat digunakan untuk keperluan operasional.
Untuk itu maka diperlukan kajian spesifi kasi sensor yang
diperlukan untuk pengembangan satelit tersebut. Tulisan
ini bertujuan untuk mengkaji spesifi kasi sensor yang dapat
mendeteksi SDA di wilayah pesisir dan laut. Pembahasan
dibatasi pada SDA yang berada pada kolom perairan yang
dapat dideteksi oleh penginderaan jauh (yaitu terumbu
karang, lamun dan parameter oseanografi ). Tulisan ini
diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengembangan
spesifi kasi sensor pada satelit yang dikembangkan oleh
LAPAN, khususnya untuk pemantauan SDA di wilayah pesisir
dan laut di Indonesia.
2.Karakteristik SensorSensor adalah alat yang digunakan untuk mendeteksi
dan mencatat energi elektomagnetik yang dipantulkan
(refl ected) atau dipancarkan (emitted) oleh suatu obyek (ITC.
2001. Principles of Remote Sensing). Sensor pada satelit terbagi
menjadi dua macam yaitu sensor aktif dan sensor pasif. Tulisan
ini membatasi pada pengkajian penggunaan sensor pasif
untuk deteksi SDA di wilayah pesisir dan laut. Berbeda dengan
sensor aktif, sensor pasif tidak memiliki energi sendiri tetapi
sangat bergantung kepada sumber energi lain yaitu matahari.
Energi elektromagnetik yang berasal dari matahari kemudian
dipantulkan oleh obyek dan diterima oleh sensor. Sensor
pasif ini terbagi menjadi beberapa kanal yang meliputi suatu
Syarif Budhiman dan Maryani HartutiPeneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPANEmail: [email protected]
Kajian Spesifi kasi Sensor Satelit untuk Pemantauan Sumber Daya Pesisir dan Laut

POSTER
80 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
5INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
rentang panjang gelombang elektromagnetik. Spektrum
gelombang elektromagnetik yang umum digunakan adalah
pada gelombang tampak (380-700 nm) dan gelombang infra
merah dekat (700-1000 nm).
Sensor optik yang merupakan salah satu sensor pasif
memiliki beberapa karakteristik dalam menghasilkan data.
Karakteristik sensor ini terbagi menjadi resolusi spasial, resolusi
spektral dan resolusi temporal. Resolusi spasial mengindikasikan
ukuran terkecil dari obyek di permukaan bumi yang dapat
dideteksi oleh sensor. Resolusi spektral mengindikasikan
rentang spektrum elektromagnetik yang digunakan. Resolusi
temporal mengindikasikan rentang waktu antara dua akuisisi
yang berdekatan pada wilayah yang sama. Selain itu ada juga
karakteristik lain yang dikenal sebagai resolusi radiometrik,
yaitu karakteristik sensor yang mengindikasikan perbedaan
energi yang dapat diobservasi (ITC. 2001. Principles of Remote
Sensing). Pemahaman karakteristik sensor ini berguna dalam
pengkajian spesifi kasi sensor yang paling optimum untuk
mendeteksi SDA di wilayah pesisir dan laut.
Spesifi kasi karakteristik sensor yang akan digunakan
bermuara kepada tujuan dari data yang akan dihasilkan
untuk pemantauan SDA di wilayah pesisir dan laut. Penulis
berpendapat bahwa data yang dihasilkan dapat digunakan
untuk keperluan manajerial dan keperluan eksperimental.
Keperluan manajerial tentunya lebih memerlukan data yang
dapat memberikan informasi yang cepat. Untuk itu data
dengan resolusi spasial yang tinggi lebih disukai, karena detail
yang dihasilkan mempermudah dalam memberikan informasi.
Keperluan eksperimental lebih menyukai pembuatan model
dalam mengekstraksi informasi dari data yang ada, sehingga
data dengan resolusi spektral yang lebih tinggi akan lebih
disukai. Gambar 1 menunjukkan data liputan sebagian Pulau
Tidung, Kepulauan Seribu, yang dihasilkan oleh karakteristik
sensor yang berbeda. Sensor WorldView-2 yang memiliki
resolusi spasial 50 cm memberikan detail yang lebih baik
dari pada data Landsat ETM dengan resolusi spasial 30 m.
Walaupun data Landsat ETM diganti dengan data sensor
Hyperion (resolusi spasial 30 m) yang memiliki resolusi spektral
lebih baik (220 kanal dengan rentang masing-masing kanal 10
nm), tetapi detail dari data yang diberikan sensor WorldView-2
lebih diperlukan untuk keperluan manajerial SDA di wilayah
pesisir.
Berbeda dengan wilayah pesisir, untuk SDA di wilayah
laut lebih mengutamakan data dengan resolusi spektral yag
tinggi. Karena wilayah laut yang sangat luas, maka resolusi
spasial yang sangat detail menjadi tidak begitu penting.
Gambar 1. Data liputan Pulau Tidung, Kepulauan Seribu menggunakan (a) WorldView-2 dan (b) Landsat ETM (Budhiman et al. 2013. Pengaruh Penyederhanaan Koreksi Kolom Air. Diajukan (submitted) pada Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan data Citra Digital LAPAN)
(a) (b)

POSTER
79INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
6 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Resolusi spektral yang tinggi dapat mempermudah dalam
pengembangan model untuk mengidentifi kasi paramater-
parameter oseanografi yang terjadi, terutama untuk keperluan
identifi kasi keberadaan ikan. Dikarenakan parameter
oseanografi ini sangat dinamis, maka diperlukan juga resolusi
temporal yang tinggi untuk dapat memantau perubahan
yang terjadi. Gambar 2 menunjukkan contoh dari perlunya
resolusi spektral dalam mengolah data yang diperlihatkan
pada Gambar 2.a menjadi suatu informasi sebaran chlorophyl
pada Gambar 2.b. Gambar 2.b merupakan hasil pemodelan
kanal-kanal yang ada di sensor GOCI (Geostationary Ocean
Color Imager) untuk mendapatkan informasi konsentrasi
chlorophyll di perairan laut Jepang. Resolusi spektral yang
tinggi dengan jumlah kanal yang banyak, mempermudah
dalam mengidentifi kasi parameter oseanografi dengan
menggunakan informasi puncak serapan (absorption) dari
parameter tersebut.
3. Karakteristik Optik Perairan dan Keberadaan KanalKeberadaan kanal pada sensor juga mempengaruhi
kemampuan untuk mengidentifi kasi obyek di bawah
permukaan perairan. Hal ini terkait dengan hukum Beer-
Lambert bahwa intensitas cahaya akan berkurang secara
eksponensial terhadap perbedaan kedalaman, atau dapat
ditulis sebagai berikut:
dimana Iz adalah intensitas cahaya pada kedalaman z, I0 adalah
intensitas cahaya awal atau pada kedalaman 0 (di permukaan
air), f adalah nilai faktor geometrik, k adalah nilai koefi sien
atenuasi dan z adalah kedalaman.
Pelemahan intensitas ini (disebut juga atenuasi)
berbeda untuk setiap panjang gelombang. Perbedaan nilai
atenuasi dikarenakan pengaruh serapan (absorption) dan
hamburan (scattering) cahaya oleh partikel yang ada dalam air,
akan berbeda pada setiap panjang gelombang. Hal tersebut
Gambar 2. Data liputan perairan laut Jepang menggunakan sensor GOCI (a) RGB dan (b) Chlorophyll (IOCCG Report. 2012. Ocean-color observations from a geostationary orbit)

POSTER
78 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
7INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
akan mempengaruhi kemampuan cahaya masuk ke dalam
kolom perairan. Molekul air juga akan melakukan serapan
dan hamburan pada cahaya. Gambar 3 memperlihatkan
grafi k koefi sien serapan dan hamburan dari molekul air laut.
Serapan cahaya oleh molekul air laut akan kecil pada panjang
gelombang biru (400 nm) sampai dengan hijau (550 nm)
dan meningkat pada panjang gelombang merah (600 nm).
Sedangkan untuk hamburan cahaya, nilai hamburan yang
lebih tinggi terjadi pada panjang gelombang pendek dan
melemah ke arah panjang gelombang yang lebih panjang
(Gambar 3).
Serapan cahaya pada perairan yang berbeda
ditunjukkan oleh Gambar 4. Garis putus-putus pada Gambar 4
menunjukan serapan oleh molekul air sebagai pembanding.
Gambar 4.a memperlihatkan perairan yang didominasi oleh
phytoplankton, dimana puncak serapan cahaya terjadi pada
panjang gelombang biru (440 nm) dan pada panjang
gelombang merah (670 nm), sedangkan serapan cahaya
terendah berada pada panjang gelombang hijau (555
nm). Gambar 4.c memperlihatkan koefi sien serapan pada
perairan yang didominasi oleh padatan organik terlarut
(CDOM). Serapan cahaya oleh CDOM lebih banyak terjadi
pada panjang gelombang pendek dan melemah ke arah
panjang gelombang yang lebih panjang, sehingga panjang
gelombang biru tidak akan mampu masuk lebih dalam
ke perairan yang didominasi oleh CDOM. Untuk partikel
tersuspensi yang tidak memiliki pigmen chlorophyl, lebih
banyak mempengaruhi hamburan cahaya pada perairan,
sedangkan nilai serapannya lebih didominasi oleh serapan
phytoplankton.
Gambar 5.a memperlihatkan kondisi perairan Lautan
Pasifi k yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan phytoplankton.
Terlihat penetrasi panjang gelombang hijau (552 nm) kedalam
kolom perairan, hampir sama dengan panjang gelombang
biru (440 nm), sedangkan panjang gelombang merah (673)
diserap oleh perairan sehingga penetrasinya tidak dalam.
Gambar 5.d memperlihatkan perairan yang dipengaruhi oleh
keberadaan CDOM (Coloured Dissolved Organic Matter), dimana
serapan pada panjang gelombang biru (440 nm) dan hijau
(550 nm) lebih tinggi dibandingkan pada panjang gelombang
merah (675 nm), sehingga penetrasi panjang gelombang
merah terlihat lebih dalam.
Dari pembahasan mengenai karakteristik optik
perairan sebelumnya, terlihat keberadaan kanal pada
puncak-puncak serapan tertinggi maupun terendah akan
mempengaruhi kemampuan sensor untuk mendeteksi
parameter perairan. Selain itu juga, kemampuan panjang
gelombang dalam melakukan penetrasi pada kolom perairan
akan mempermudah untuk mendeteksi obyek yang berada
di bawah permukaan air pada perairan dangkal. Kemampuan
tersebut tentunya dibatasi oleh serapan dan hamburan yang
terjadi pada kolom perairan. Selain keberadaan kanal, resolusi
spektral (rentang panjang gelombang) pada kanal tersebut
juga berpengaruh, karena dengan rentang kanal yang lebih
besar maka sensitivitas spektral respon akan berkurang.
Gambar 6 memperlihatkan posisi setiap kanal pada
sensor yang berbeda. Sensor pada satelit SPOT hanya terdiri
dari 3 kanal dengan rentang panjang gelombang 80 nm.
Apabila kemampuannya dibandingkan dengan sensor AVIRIS,
terlihat sangat berbeda dalam mendeteksi kurva karakteristik
Gambar 3. Koefi sien serapan (absorption) dan hamburan (scattering) pada molekul air laut (Mobley.1994. Light and water: radiative transfer
in natural waters).
Gambar 4. Contoh koefi sien serapan pada berbagai perairan: a) didominasi oleh phytoplankton, b) didominasi oleh Non-Algae Partikel (NAP) dan c) didominasi oleh CDOM (Coloured Dissolved
Organic Matter) (Mobley.1994. Light and water: radiative transfer in natural waters).

POSTER
77INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
8 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
spektral (diperlihatkan oleh garis biru). Dengan sensor AVIRIS,
kurva spektral tersebut dapat dengan mudah dikenali karena
setiap kanal AVIRIS (71 kanal) dan rentang kanal yang rapat
(15 nm) mewakili respon spektral pada setiap panjang
gelombang. Untuk jumlah kanal yang lebih sedikit, maka
keberadaan kanal tersebut sebaiknya ditempatkan pada posisi
panjang gelombang yang memiliki puncak serapan cahaya
tertinggi maupun terendah.
4. Karakteristik Sensor untuk SDA di Wilayah PesisirPembahasan pada tulisan ini membatasi untuk SDA
yang berada pada kolom perairan, yaitu terumbu karang
dan lamun. Keberadaan SDA tersebut dapat dideteksi oleh
sensor yang dapat menembus kolom perairan. Salah satu
keterbatasan untuk dapat mendeteksi terumbu karang dan
lamun adalah kekeruhan, karena kekeruhan lebih didominasi
oleh padatan tersuspensi yang bertanggung jawab dalam
menghamburkan cahaya. Terumbu karang dan lamun akan
berkembang dengan baik pada perairan yang jernih, dimana
konsentrasi partikel tersuspensi sangat kecil. Pada perairan
jernih tersebut maka kanal yang baik untuk digunakan adalah
kanal biru (440 nm) dan hijau (550 nm) karena dapat
melakukan penetrasi lebih dalam di kolom perairan yang
jernih.
Berbeda dengan pendapat penulis di awal tulisan ini,
Mumby pada papernya (Mumby et. al. 2004. Remote sensing
of coral reef and their physical environment) menunjukan
bahwa untuk dapat mendeteksi SDA pesisir diperlukan
resolusi spektral yang lebih detail dibandingkan dengan
resolusi spasial. Resolusi spektral dapat membedakan antara
komunitas terumbu karang dengan lebih baik. Sedangkan
resolusi spasial yang tinggi dapat memetakan keberadaan
terumbu karang dan lamun secara umum. Kombinasi yang
terbaik dalam mendeteksi SDA pesisir adalah resolusi spasial
tinggi dengan resolusi spektral yang tinggi.
5. Karakteristik Sensor untuk SDA di Wilayah LautIntensitas cahaya pada perairan di laut dipengaruhi
oleh keberadaan phytoplankton. Pengaruh terbesar adalah
serapan cahaya oleh phytoplankton tersebut. Selain itu cahaya
yang dipantulkan dari wilayah perairan yang luas sangat
dipengaruhi oleh kondisi atmosfer ketika diterima oleh sensor.
Cahaya dari matahari akan melalui dua komponen ruang, yaitu
atmosfer (udara) dan air, sebelum dipantulkan dan diterima
oleh sensor. Sehingga, total radiansi cahaya yang diterima oleh
sensor adalah gabungan dari hasil interaksi cahaya matahari
dengan atmosfer, permukaan air, dan kolom air pada seluruh
panjang gelombang (). Interaksi yang berada pada ruang
Gambar 5. Profi l kedalaman penetrasi cahaya dalam menembus kolom air pada kanal biru (), hijau () dan merah () untuk
perairan a) Lautan Pasifi c, b) Saluran air San Vicente, c) Bendungan Corin dan d) Danau Kecil Georgetown (Kirk. 1994. Light and
Photosynthesis in aquatic ecosystem).
Gambar 6. Contoh posisi setiap kanal pada sensor satelit yang berbeda (Steef Peters powerpoint. 2001. Imaging spectrometry).

POSTER
76 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
9INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
atmosfer/udara dan permukaan air merupakan informasi yang
bersifat gangguan (noise) terhadap nilai radiansi yang berasal
dari obyek yang akan dideteksi, sehingga perlu dilakukan
koreksi terhadap nilai radiansi tersebut.
Keberadaan phytoplankton dan kondisi atmosfer
menjadi dua hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan
spesifi kasi sensor untuk pemantauan SDA di wilayah laut.
IOCCG pada laporannya (IOCCG Report 1998. Minimum
requirements for an operational, ocean-color sensor for the open
ocean) telah membahas mengenai kebutuhan minimum
dalam mendeteksi parameter perarain di laut dengan
menggunakan dua batasan tersebut sebelumnya. Keberadaan
phytoplankton dapat diketahui dari rasio serapan cahaya
terendah dan tertinggi pada spektrum panjang gelombang
tampak, sehingga IOCCG mengusulkan untuk menggunakan
kanal biru (485-495 nm) dan kanal hijau (550-565 nm) dengan
rentang kanal 10 nm. Sedangkan untuk koreksi keberadaan
atmosfer dapat digunakan rasio dari kanal infra merah dekat,
karena pada kanal tersebut seluruh cahaya diserap oleh air.
IOCCG mengusulkan digunakannya dua kanal infra merah
dekat yaitu pada panjang gelombang 744-757 nm, dan 855-
890 nm. Ke empat kanal tersebut merupakan kebutuhan
minimum untuk dapat mendeteksi parameter perairan dan
mengkoreksi kondisi atmosfer.
Selain itu juga diperlukan data dengan pengulangan
akuisisi yang lebih cepat, karena kondisi perairan di laut sangat
dinamis. Untuk resolusi temporal ini diusulkan penempatan
satelit pada orbit bumi (geostationary). Penempatan satelit
untuk pemantauan laut pada posisi orbit bumi telah dilakukan
oleh Korea Selatan dengan diluncurkannya sensor GOCI
(Geostationary Ocean Colour Imagery) pada tahun 2010 yang
akan disusul untuk seri kedua GOCI-II pada tahun 2018 (http://
www.ioccg.org/sensors/GOCI.html). Dengan posisi pada orbit
bumi, maka pengulangan akuisisi dapat dilakukan setiap jam,
sehingga dinamika perubahan parameter perairan dapat
terlihat lebih jelas.
6 . PenutupPengembangan pembuatan sensor satelit harus
diselaraskan dengan tujuan dari pemanfaatan sensor
tersebut. Tujuan pemanfaatan yang berbeda membutuhkan
karakteristik sensor yang berbeda, contohnya sensor untuk
keperluan pemantauan SDA di wilayah pesisir akan berbeda
dengan di wilayah laut. Perbedaan kebutuhan karakteristik
sensor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Karakteristik sensor untuk pemantauan SDA di wilayah
pesisir: a) memiliki kanal yang mampu menembus kolom
perairan, yaitu kanal pada gelombang tampak (biru, hijau dan
merah), terutama untuk keperluan pemantauan ekosistem
perairan dangkal seperti terumbu karang dan lamun, serta
untuk deteksi kedalaman perairan dangkal (bathymetry), b)
memiliki resolusi spasial yang tinggi sekitar 10-30 m, khusus
untuk keperluan pemantauan pulau-pulau kecil diperlukan
resolusi spasial yang lebih tinggi lagi yaitu sekitar 0.5-2 m,
c) memiliki resolusi spektral yang tinggi, terutama untuk
informasi kualitas ekosistem diperlukan data hyperspektral
pada kanal gelombang tampak sampai dengan infra merah
dekat (Near Infra Red / NIR).
Karakteristik sensor untuk pemantauan SDA di wilayah
laut: a) memiliki kanal pada gelombang tampak (biru, hijau
dan merah) yang mampu mendeteksi parameter perairan
(misalnya chlorophyl dan CDOM), b) memiliki kanal pada
gelombang infra merah (NIR) yang dapat digunakan untuk
melakukan koreksi atmosfer, c) memiliki resolusi temporal yang
tinggi, dikarenakan kondisi perairan yang dinamis, dibutuhkan
resolusi temporal sekitar 0.5-8 hari untuk perairan di Indonesia.
Resolusi temporal yang lebih tinggi akan menghasilkan
informasi yang lebih baik, d) memiliki resolusi spektral yang
tinggi, terutama untuk informasi kualitas perairan diperlukan
kanal multispektral dengan rentang antara gelombang ultra
violet dekat (380 nm) sampai dengan infra merah dekat (Near
Infra Red / NIR).
Penjelasan di atas menunjukan beberapa perbedaan
dan persamaan karakteristik sensor yang diperlukan.
Perbedaan yang terlihat untuk pemantauan SDA di
wilayah pesisir memerlukan resolusi spasial yang lebih
tinggi, sedangkan untuk pemantauan SDA di wilayah laut
memerlukan resolusi temporal yang lebih tinggi. Hal tersebut
menunjukan bahwa untuk pemantauan SDA di wilayah pesisir
dan laut diperlukan dua sensor yang berbeda. Dikarenakan
ada keterbatasan terkait jumlah dan volume muatan pada
wahana sekelas satelit mikro, maka perlu dikembangkan dua
wahana yang berbeda sebagai tempat penempatan masing-
masing sensor tersebut.

POSTER
75INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
10 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pendahuluan
Lebih dari satu dekade terakhir, National Aeronautics and
Space Administration (NASA) meluncurkan serangkaian
satelit untuk memperoleh tampilan planet bumi dari
antariksa. Serangkaian satelit tersebut, dikenal secara umum
sebagai NASA Earth Observing System (EOS), telah memberikan
wawasan baru yang luar biasa mengenai dinamika planet
bumi secara menyeluruh, mencakup awan, lautan, vegetasi,
es dan atmosfer. Namun, seiring akan berakhirnya masa
operasional satelit-satelit EOS, satelit-satelit pemantau planet
bumi generasi baru lainnya telah dipersiapkan untuk menjaga
kontinyuitas data yang diberikan oleh satelit-satelit tersebut.
National Polar-orbiting Operational Environmental
Satellite System (NPOESS) Preparatory Project (NPP) merupakan
salah satu satelit yang dipersiapkan. NPP merupakan satelit
pertama dari satelit-satelit generasi baru yang akan digunakan
untuk mengamati lebih banyak lagi aspek dari perubahan
planet bumi. Satelit tersebut utamanya dirancang untuk
mengumpulkan data penting yang diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan prediksi cuaca jangka pendek dan
pemahaman mengenai perubahan iklim jangka panjang.
NASA telah menamai ulang satelit NPP untuk menghormati
almarhum Verner E. Suomi, seorang ahli meteorologi di
Universitas Wisconsin yang dikenal secara luas sebagai “Bapak
Satelit Meteorologi”. Pengumuman tersebut dilaksanakan
pada tanggal 24 Januari 2012 di pertemuan tahunan American
Meteorological Society (AMS) di New Orleans.NPP dinamai
ulang menjadi Suomi National Polar-orbiting Partnership atau
Suomi-NPP (S-NPP).
S-NPP mengumpulkan dan mendistribusikan
data penginderaan jauh daratan, lautan dan atmosfer
kepada para penggunanya sebagai tanggung jawab akan
kontinyuitas pengukuran-pengukuran yang diperlukan
untuk menjembatani misi-misi pemantauan planet bumi
sebelumnya yang dilakukan oleh EOS NASA (satelit Terra, Aqua
dan Aura) dengan Joint Polar Satellite System (JPSS) sebelumnya
bernama NPOESS - sebuah program kerja sama antara
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan
Goddard Space Flight Center (GSFC) NASA yang peluncuran
pertamanya dijadwalkan pada tahun 2017. S-NPP diantaranya
akan menyediakan data temperatur atmosfer, temperatur
permukaan laut, kelembaban, produktivitas biologis darat dan
laut, serta sifat-sifat awan dan aerosol.
S-NPP mengorbit planet bumi 14 kali sehari dengan
cakupan hampir seluruh permukaan planet bumi. S-NPP
diluncurkan ke orbit dengan menggunakan roket United
Launch Alliance Delta-II dari Vandenberg Air Force, California
pada tanggal 28 Oktober 2011 jam 5:48 pagi waktu setempat.
S-NPP diperkirakan memiliki masa pakai 7 tahun dengan umur
misi 5 tahun.
S-NPP membawa muatan beragam yang terdiri dari
instrumen-instrumen ilmiah untuk mengamati planet bumi.
Wahananya memiliki berat 4.600 pon (2.100 kg), melintasi
ekuator setiap siang hari pada jam 13:30 waktu setempat.
S-NPP membawa lima instrumen penting, yaitu:
Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS), yang
dikembangkan oleh Raytheon Space and Airborne
Systems, sebuah radiometer yang memiliki 22 kanal
mirip dengan instrumen Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer (MODIS). VIIRS akan mengumpulkan
tampilan sinar tampak dan infra merah dari proses-proses
dinamika permukaan planet bumi, seperti kebakaran
Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Satelit Suomi National Polar-orbiting Partnership (S-NPP) dari Rawdata ke Raw Data Record (RDR)
Budhi Gustiandi, Andy Indradjad, Islam Widia BagdjaPeneliti Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPANEmail: [email protected]

POSTER
74 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
11INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
hutan, perubahan lahan dan pergerakan es. VIIRS juga
mengukur sifat atmosfer dan lautan, termasuk awan dan
temperatur permukaan laut;
Advanced Technology Microwave Sounder (ATMS), sebuah
radiometer gelombang mikro pasif yang memiliki
22kanal, digunakan untuk menghasilkan model-model
global terkait profi l temperatur dan profi l kelembaban
yang siap diolah oleh para ahli meteorologi menjadi
model-model prediksi cuaca;
Cross-track Infrared Sounder (CrIS), sebuah interferometer
yang digunakan untuk mengamati karakteristik-
karakteristik dari atmosfer, seperti kelembaban dan
tekanan yang akan digunakan untuk meningkatkan
baik dalam memprediksi cuaca jangka pendek maupun
jangka panjang;
Ozone Mapping and Profi ler Suite (OMPS), sepasang
spektrometer pencitra hiperspektral yang dibuat oleh
Ball Aerospace, yang akan digunakan untuk mengukur
lapisan-lapisan ozon planet bumi, terutama di daerah
kutub dimana lapisan ozonnya paling banyak berfl uktuasi;
dan
Clouds and the Earth's Radiant Energy System (CERES),
sebuah radiometer 3 kanal yang digunakan untuk
mengukur radiasi sinar matahari dan pantulannya
dari permukaan planet bumi sehingga dapat diamati
pengaruh alam dan pengaruh kegiatan manusia terhadap
jumlah keseluruhan radiasi termal di planet bumi.
Kelima instrumen yang disertakan dalam S-NPP yang
diluncurkan tersebut mengadopsi instrumen-instrumen misi
satelit Terra, Aqua dan Aura milik NASA, Polar Operational
Environmental Satellite (POES) milik NOAA dan Defense
Meteorological Satellite Program (DMSP) milik Department of
Defense (DoD). Gambar satelit S-NPP bersama dengan kelima
instrumennya diperlihatkan pada Gambar 1.
Sejak bulan Mei 2012, stasiun bumi penginderaan
jauh LAPAN yang terletak di kota Parepare, Sulawesi Selatan,
telah menerima data satelit S-NPP secara Direct Broadcast
(DB). Datanya tersimpan di komputer server akuisisi(Parepare)
dalam level rawdata. Data tersebut kemudian dikirimkan ke
data center yang terletak di Pekayon, Jakarta agar dapat segera
diolah dan didistribusikan lebihlanjut kepada pihak-pihak
yang membutuhkannya.
Pada kegiatan ini telah dibangun sebuah system
pengolahan data satelit S-NPP dari level rawdatamenjadi level
Raw Data Record (RDR). Data dalam level rawdata memiliki
format yang mengikuti standar rekomendasi Consultative
Committe for Space Data System (CCSDS) dimana di dalamnya
terdiri atas data gabungan dari keseluruhan hasil pengukuran
kelima instrumen satelit S-NPP ditambah dengan frame-
frameyang bersesuaian. Sedangkan data dalam level RDR
Gambar 1.Satelit S-NPP dengan kelima instrumennya. (Sumber : GSFC, 2011)

POSTER
73INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
12 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
merupakan data hasil pengukuran masing-masing instrumen
satelit S-NPP secara terpisahdalam format Hierarchical Data
Format versi 5 (HDF5). Data dalam level RDR bukan merupakan
produk akhir yang langsung bias dimanfaatkan oleh para
pengguna. Data dengan level tersebut masih harus diolah lagi
menjadi level-level yang lebih tinggi lagi, seperti Sensor Data
Record (SDR), Temperature Data Record (TDR), Application Related
Products (ARP),Environmental Data Record (EDR), dan Climate
Data Record (CDR) agar produknya dapat lebih bermanfaat bagi
para pengguna akhir. Namun, data dalam level RDR merupakan
dasar untuk pengolahan selanjutnya yang biasanya dilakukan
berdasarkan masing-masing instrument secara terpisah.
Deskripsi SistemPerangkat keras yang digunakan dalam sistem yang
dibangun adalah seperangkat komputer server dan koneksi
internet dengan spesifi kasi seperti yang diperlihatkan pada
Tabel 1. Sistem operasi yang digunakan adalah Linux CentOS
versi 6.3. Perangkat lunak yang digunakan adalah Real-time
Software Telemetry Processing System (RT-STPS) versi 5.3 dan
Simulcast Viewer. Perangkat lunak RT-STPS merupakan salah
satu perangkat lunak utama yang dikembangkan oleh Direct
Readout Laboratory (DRL) GSFC NASA untuk mengolah data
satelit-satelit EOS dan S-NPP (juga JPSS di masa mendatang).
Perangkat lunak Simulcast Viewer merupakan perangkat lunak
yang digunakan untuk menampilkan secara visual data RDR
yang dihasilkan oleh sistem. Penggunaan sistem operasi dan
perangkat lunak yang bersifat open source ini bertujuan agar
penerapan system ini di masa yang akan datang tidak akan
terkendala oleh lisensi.
Tabel 1. Spesifi kasi perangkat keras yang digunakan dalam sistem pengolahan data satelit S-NPP yang dibangun.
Komputer Server
Prosesor 24 Core Intel® Xeon®@ 2,4 GHz
Memori 64 GB
Kapasitas Penyimpanan 4 TB
Koneksi Internet
Kapasitas 20 Mbps
Terdapat 2 (dua) jenis data yang digunakan sebagai
masukan dalam sistem yang dibangun. Pertama, sampel
rawdata yang disertakan bersama-sama dengan perangkat
lunak RT-STPS yang digunakan untuk memvalidasi
keberhasilan instalasi perangkat lunak RT-STPS di dalam sistem
yang dibangun. Kedua, rawdata yang diterima secara Direct
Broadcast oleh stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN.
Diagram alir dari sistem pengolahan yang dibuat
adalah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2. Rawdata
diperoleh dari sistem penyimpanan komputer server akuisisi
yang terletak di stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN
Parepare, Sulawesi Selatan. Rawdata tersebut ditransfer ke
sistem penyimpanan komputer server pengolahan data
yang terletak di ruang data center Pusat Teknologi dan Data
Penginderaan Jauh (Pustekdata) di kota Jakarta, melalui
jaringan Internetdengan protokol File Transfer Protocol (FTP).
Perangkat lunak FTP yang digunakan adalah Filezilla versi
3.6.0.2 yang diunduh dari https://fi lezilla-project.org/.
Dari sistem penyimpanan, rawdata diolah dengan
menggunakan perangkat lunak RT-STPS untuk dijadikan RDR.
Pemasangan, konfi gurasi, pengujian fungsional dan eksekusi
rutin-rutin program yang terdapat di dalam perangkat lunak
RT-STPS dilakukan dengan menggunakan bash shell scripting.
Gambar 2. Diagram alir sistem pengolahan data
satelit S-NPP dari rawdata ke RDR.

POSTER
72 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
13INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Bahasa ini telah dikenal secara luas sebagai bahasa yang
paling sesuai untuk bekerja dalam lingkungan sistem operasi
Linux. RDR yang dihasilkan sebagai keluaran dari pengolahan
perangkat lunak RT-STPS kemudian disimpan kembali ke
dalam sistem penyimpanan yang terdapat pada komputer
server pengolahan data di Jakarta.
Pada komputer server pengolahan data, direktori
kerja yang digunakan untuk menjalankan perangkat lunak
Gambar 3. Salah satu contoh tampilan Simulcast Viewer untuk data RDR hasil pengolahan rawdata akuisisi tanggal 12 Maret 2013: (a) tampilan global, (b) tampilan per scene, dan (c) tampilan wilayah Indonesia.
(a)
(b)
(c)

Pelepasan Purna Bakti PNS di Kedeputian Bidang Penginderaan
Jauh Tahun 2012
Kamis, 14 Maret 2013, Kedeputian Bidang
Penginderaan Jauh menyelenggarakan acara
Pelepasan Purna Bakti Pegawai yang telah selesai
melaksanakan tugas menjadi PNS yaitu Gunawan , Tamjiz,
Drs. Sukmadradjat, M.Sc., Muhadi, Abdul Kholik, S.H. Sebagai
tanda terima kasih, LAPAN memberikan penghargaan
yang diserahkan langsung oleh Kepala LAPAN Drs.
BambangTejasukmana, Dipl. Ing. dan disaksikan oleh Deputi
Bidang Penginderaan Jauh Drs. Taufi k Maulana, MBA, Kepala
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Ir. Agus Hidayat,
M.Sc., Kepala Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
Dr. Orbita Roswintiarti, M.Sc. (WB, BH, NGD)
Gambar 1. Dari kiri Kapusfatja, Kepala LAPAN, Gunawan, Tamjiz, Sukmadradjat, Muhadi, Abdul Kholik, Kapustekdata, Deputi Inderaja
Berita Ringan
71INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
14 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
RT-STPS dibuat terpisah dengan direktori penyimpanan
data untuk menghindari kemungkinan terhapusnya data
yang sudah disimpan dan diolah sebelumnya apabila
perangkat lunak RT-STPS mengalami kerusakan atau akan
diperbaharui. Di dalam direktori penyimpanan data, sub-sub
direktori terpisah dibuat untuk masing-masing level data,
sehingga data dengan level berbeda tidak saling tercampur
untuk memudahkan pencarian data di masa mendatang
berdasarkan level pengolahannya.
Hasil dan PembahasanSalah satu contoh tampilan dari Simulcast Viewer
untuk data RDR yang dihasilkan oleh sistem diperlihatkan
pada Gambar 3. Pada contoh ini rawdata yang digunakan
adalah yang diakuisisi tanggal 12 Maret 2013. Pada Gambar
3(a), 3(b), dan 3(c) masing-masing diperlihatkan tampilan untuk
cakupan global, tampilan untuk cakupan data satelit S-NPP
yang diakuisisi secara DB oleh stasiun bumi penginderaan
jauh LAPAN, dan tampilan untuk cakupan wilayah negara
Indonesia.
Apabila rawdata telah berhasil diolah menjadi RDR,
data tersebut akan dapat ditampilkan dalam perangkat lunak
Simulcast Viewer seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.
Namun, apabila terjadi kesalahan dalam pengolahan rawdata
menjadi RDR, maka data tersebut akan gagal ditampilkan.
Oleh karena itu, penggunaan perangkat Simulcast Viewer
dapat berfungsi sebagai validator keberhasilan pengolahan
data RDR yang dihasilkan dari sistem. Sampai tulisan ini
dibuat, seluruh rawdata yang diterima secara DB oleh stasiun
bumi penginderaan jauh LAPAN Parepare telah dapat
diolah menjadi RDR dan ditampilkan dalam perangkat lunak
Simulcast Viewer, sehingga sistem dapat dikatakan berfungsi
sebagaimana mestinya.
Hasil pengukuran waktu yang diperlukan untuk
mengolah data satelit S-NPP dari level rawdata ke level RDR
dan waktu yang diperlukan untuk transfer rawdata dari
stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN Parepare ke sistem
pengolahan di Jakarta disajikan pada Tabel 2. Sampel data
yang diambil adalah data dengan tanggal akuisisi 1 Maret 2013
sampai 31 Maret 2013. Dari tabel tersebut dapat diketahui
bahwa rata-rata waktu yang diperlukan untuk mengolah
data satelit S-NPP dari level rawdata ke level RDR dengan
menggunakan sistem yang dibuat adalah selama 2 menit
43 detik. Sedangkan rata-rata waktu yang diperlukan untuk
transfer rawdata dari stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN
Parepare ke sistem pengolahan di Jakarta adalah selama 6
menit 43 detik.
Tabel 2. Hasil pengukuran waktu pengolahan data satelit S-NPP dari level rawdata ke level RDR dan waktu transfer rawdata dari
stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN Parepare ke sistem pengolahan di Jakarta untuk periode 1 Maret 2013 - 31 Maret 2013.
Waktu Transfer Data
Waktu Transfer Data Tercepat 6 detik
Waktu Transfer Data Terlama 10 menit 7 detik
Waktu Transfer Data Rata-rata 6 menit 43 detik
Waktu Pengolahan
Waktu PengolahanTercepat 4 detik
Waktu PengolahanTerlama 3 menit 59 detik
Waktu Pengolahan Rata-rata 2 menit 43 detik
PenutupSistem yang dibuat telah dapat mengolah data satelit
S-NPP yang diterima secara Direct Broadcast oleh stasiun
bumi penginderaan jauh LAPAN dari level rawdata menjadi
level RDR. Pada saat ini sistem pengolahan data satelit S-NPP
tersebut masih terus dikembangkan agar dapat mengolah
data RDR yang telah dihasilkan menjadi level yang lebih tinggi
lagi (SDR, TDR, ARP,EDR, dan CDR) sehingga datanya dapat
langsung dimanfaatkan oleh para pengguna tanpa harus
melakukan pengolahan secara tersendiri.
Waktu rata-rata total yang dibutuhkan dari mulai
proses transfer data sampai pengolahan data ke level RDR
adalah selama 9 menit 26 detik. Selang waktu rata-rata
antara akuisisi dua data satelit S-NPP yang berurutan dalam
satu hari adalah selama 1 jam 39 menit 21 detik. Dari waktu
rata-rata total tersebut, sistem memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi sistem yang bersifat near real-time
dengan menambahkan fi tur otomatisasi mulai dari proses
transfer data sampai pengolahan data ke level RDR karena
masih lebih cepat dibandingkan dengan selang waktu rata-
rata antara akuisisi dua data satelit S-NPP yang berurutan
dalam satu hari.

Gambar 1. Diklat Aplikasi Browse Catalog Bank Data Penginderaan Jauh Nasional di PT. Maxxima Innovative Engineering, Jakarta.
Diklat Aplikasi Browse Catalog Bank Data Penginderaan Jauh Nasional
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
LAPAN bekerjasama dengan PT. Maxxima Inovative
Engineering melaksanakan kegiatan Diklat Aplikasi
Browse Catalog Bank Data Penginderaan Jauh Nasional yang
dilaksanakan di Gedung PT. Maxxima Inovative Engineering
Jakarta selama 5 hari dari tanggal 3 - 7 Desember 2012.
Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
Pustekdata mengirimkan staf dari bidang Pengembangan
Bank Data Inderaja yaitu Widodo Basuki, Endang Purwanti,
Dwi Nurcahyo, Widiyoko, Bambang Haryanto dan dari staf
Teknologi Pengolahan Data yaitu Yusron, Ferdiansyah,
Hendayani. Pada acara diklat tersebut, para peserta dilatih cara
mengoperasikan Software Aplikasi Browse Catalog meliputi
Login dan Logout, Pencarian Metadata dan Pemesanan Data
dengan instruktur dari PT. Maxxima Inovative Engineering
yaitu Ellon, Davit, dan Reza. (WB, BH, NGD)
Berita Ringan
70 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
15INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Dewasa ini, aplikasi Sistem Informasi Geografi
(SIG) berbasis web semakin berkembang dan
banyak digunakan oleh instansi baik pemerintah,
pendidikan maupun swasta. Instansi pemilik data spasial
mensosialisasikan data mereka dengan salah satu cara melalui
aplikasi SIG online. Pada awalnya aplikasi SIG berupa pemetaan
online yang menampilkan peta statik pada skala peta tertentu
dengan format JPG, GIF dan lainnya. Seiring perkembangan
teknologi SIG, sudah dimungkinkan untuk menampilkan
pemetaan interaktif yang memungkinkan pengguna bisa
melakukan pembesaran/pengecilan peta(zoom in/out)
dengan variasi skala dan melakukan query atribut untuk
mendapatkan informasi yang terdapat pada peta serta
melakukan pemrosesan dan pembaharuan data(update).
Pemetaan interaktif tersebut menggunakan layanan peta
(mapservice) yang dihasilkan olehserver SIG(server layanan
peta). Layanan peta (mapservice) merupakan protokol
standar untuk menyajikan peta yang mempunyai referensi
kebumian melalui jaringan internet yang dihasilkan oleh
server SIG menggunakan data dari basisdata SIG (wikipedia)
maupun dari fi le data spasial. Aplikasi layanan peta online yang
banyak digunakan saat ini memanfaatkan layanan peta yang
disediakan oleh server SIG seperti Google Map, Bing Map, dan
lain-lain. Aplikasi layanan peta tersebut dapat diintegrasikan
dengan data atau layanan peta untuk menghasilkan aplikasi
SIG online yang baru.
Penggunaan layanan peta membuat peta yang
ditampilkan secara online menjadi lebih menarik dan lebih kaya
informasi dari sisi pengguna, dibandingkan peta statis yang
menampilkan peta dalam format gambar saja. Penggunaan
layanan peta memungkinkan untuk kegiatan berbagi data
(layanan peta) antar instansi pemerintah. Suatu instansi dapat
memanfaatkan layanan peta dari instansi lain yang telah
mempublikasikan layanan petanya melalui mekanisme tertentu.
Pemanfaatan layanan peta yang disediakan oleh instansi
penghasil data spasial dapat digunakan untuk memberikan
nilai tambah bagi data spasial yang dimiliki oleh pengguna
layanan. LAPAN melalui Pusat Teknologi dan Data Penginderaan
Jauh mendukung kegiatan untuk berbagi data spasial antar
instansi pemerintah dan bertindak sebagai salah satu simpul
dalam Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN) dan telah
mempublikasikan beberapa layanan peta yang bisa digunakan
oleh instansi lain dalam hal berbagi data.
Pada tulisan ini, penulis mencoba untuk membahas konsep
layanan peta (mapservice), aplikasi yang digunakan untuk
menghasilkan layanan peta dan pemanfaatan layanan
peta untuk mengembangkan aplikasi pemetaan online.
Penggunaan studi kasus untuk pengembangan aplikasi system
Pemanfaatan Layanan Peta (Mapservice) dalam Konsep Pemetaan Online.Studi Kasus: Pengembangan Sistem Informasi Fasilitas Kesehatan di Kota Depok
Riyan Mahendra SaputraPeneliti Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPANEmail :[email protected]

Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
(Pustekdata Inderaja) menerima kunjungan dari siswa-
siswi SMP Negeri 179 Jakarta sebanyak 300 siswa
bersama lima orang guru pendamping pada tanggal 26 Juni
2013. Kunjungan tersebut diterima oleh dua orang staf peneliti
dari Pustekdata yaitu Fadila Muchsin dan Ngadino.
Acara diawali dengan sambutan dari pimpinan
rombongan SMP Negeri 179 Jakarta, beliau menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Pustekdata yang telah menerima
kunjungan tersebut, dan mengharapkan untuk waktu-waktu
mendatang agar memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada siswa-siswi SMP Negeri 179 untuk berkunjung
ke Pustekdata karena akan banyak membawa manfaat
yang bisa diambil oleh para siswa terutama belajar tentang
penginderaan jauh maupun masalah-masalah kedirgantaraan
pada umumnya.
Sedangakan sambutan dari Pustekdata diwakili
oleh Ngadino yang menyampaikan ucapan terima kasih
atas kunjungan tersebut dan memberikan semangat
kepada para siswa untuk lebih serius belajar, agar nantinya
mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
kepentingan pembangunan bangsa maupun kesejahteraan
umat manusia.
Selanjutnya pemaparan materi tentang LAPAN dan
Penginderaan Jauh oleh Ibu Fadila Muchsin yang dilanjutkan
dengan diskusi dan tanya jawab. Selesai pemaparan, para
siswa diajak untuk mengunjungi Ruang Pameran yang
dipandu oleh staf dari Bidang Pengembangan Bank Data
Penginderaan Jauh. Setelah semua acara selesai, para siswa
kembali ke sekolah bersama para guru pendampingnya. (NGD)
Kunjungan SMP Negeri 179 Jakarta Ke Pusat Teknologi dan Data LAPAN
Gambar 1. Kunjungan siswa-siswi SMP Negeri 179 Jakarta ke Pustekdata.
Berita Ringan
69INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
16 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
informasi fasilitas kesehatan di kota Depok, diharapkan dapat
memberikan gambaran pemanfaatan layanan peta (mapservice)
yang dihasilkan oleh LAPAN untuk dimanfaatkan dalam
pengembangan aplikasi SIG berbasis web oleh instansi lainnya.
Konsep Layanan Peta dalam Pemetaan OnlineSeperti yang sudah dibahas dalam pendahuluan
bahwa layanan peta merupakan protokol standar untuk
menyajikan peta yang mempunyai referensi kebumian
melalui jaringan internet yang dihasilkan oleh server peta
menggunakan data dari basisdata SIG (wikipedia) maupun
dari fi le data spasial. Konsep pemetaan online (arsitektur)
secara garis besar ditunjukkan pada Gambar 1 yang
menggambarkan interaksi pengguna dengan aplikasi yang
menghasilkan layanan peta melalui web browser. Pada gambar
tersebut, pengguna melakukan permintaan(request) terhadap
peta yang diinginkan melalui web browser yang mengakses
alamat web server tertentu, permintaan tersebut dilanjutkan
ke server aplikasi yang kemudian dilanjutkan ke server peta
dan server basisdata untuk diproses. Server peta menerima
permintaan pemrosesan peta, kemudian memproses
permintaan tersebut dengan mentransformasikan peta yang
ada menjadi format yang lebih mudah diakses melalui web,
hasil server peta berupa citra(image) yang telah terkompresi
dalam format tertentu (JPG, PNG, dan lain-lain). Server basis
data menerima permintaan untuk memproses atribut peta.
Hasil pemrosesan server peta dan basis data dikirim kembali
ke server aplikasi untuk menggabungkan serta menampilkan
informasi yang dihasilkan dan kemudian ditampilkan dalam
server web.
Data yang digunakan untuk menghasilkan layanan
peta adalah data spasial berupa gambar (image), vektor (titik,
garis dan polygon) dan data atribut lainnya. Data tersebut bias
berdiri sendiri maupun tersimpan dalam suatu basis data geo
(geodatabase) pada server data. Data spasial tersebut diperoleh
dari hasil pengukuran, citra satelit maupun penggunaan
aplikasi SIG dengan standar akurasi data spasial tertentu.
Informasi berbagai macam aplikasi dalam pemetaan
online untuk menghasilkan layanan peta dapat dengan mudah
diperoleh melalui jaringan internet. Aplikasi yang digunakan
diantaranya adalah aplikasi berbayar(ArcGIS Server, MapStudio
dll) dan aplikasi sumber terbuka (MAPSERVER, Geoserver dll).
Horanont, et. al (2002) melakukan perbandingan server dalam
pemetaan online. Perbandingan dilakukan terhadap aplikasi
pemetaan online baik aplikasi server berlisensi dan sumber
terbuka (Map Extreme, ArcIMS dan MapServer). Perbandingan
arsitektur sistem pemetaan online dilakukan dengan
membandingkan fi tur yang dimiliki masing-masing aplikasi.
Hasil perbandingan menunjukkan perangkat lunak berlisensi
dan sumber terbuka memiliki kemampuan yang hampir sama.
Gambar 1. Arsitektur pemetaan online.

Pustekdata Menerima Kunjungan Mahasiswa Institut Bisnis Nusantara (IBN) Jakarta.
Gambar 1. Kunjungan mahasiswa Institut Bisnis Nusantara ke Pustekdata pada tanggal 03 Juli 2013.
Sebanyak 50 mahasiswa dari Institut Bisnis Nusantara
(IBN) Jakarta melakukan kunjungan ke Kantor Pusat
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN pada
hari Rabu tanggal 03 Juli 2013. Kunjungan tersebut diterima
oleh dua orang staf peneliti dari Pustekdata yaitu Danang
Surya Candra dan Ngadino.
Para mahasiswa menerima pemaparan materi
penginderaan jauh oleh Danang Surya Candra yang
memaparkan tentang penginderaan jauh mulai dari proses
perekaman, pengolahan, pemanfaatan dan distribusi data
penginderaan jauh. Disamping itu para mahasiswa juga
banyak menanyakan tentang teknologi kedirgantaraan dan
aplikasinya maupun yang terkait dengan sains antariksa.
Pada kesempatan tersebut para mahasiswa terlihat
antusias mengikuti pemaparan dan banyak yang bertanya
terkait dengan proses pengolahan data yang dilakukan di
Pustekdata.
Selesai mengikuti pemaparan, para mahasiswa diajak
mengunjungi ruang pameran Pustekdata yang dipandu oleh
staf dari unit pelayanan data. Pada sesi penutupan, pimpinan
rombongan mahasiswa tersebut mengucapkan terima kasih
atas pelayanan yang diberikan. Sebelum kembali ke Kampus,
dilakukan acara penyerahan cindera mata oleh pimpinan
rombongan. (NGD)
Berita Ringan
68 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
17INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Perangkat lunak dalam pemetaan online sangat
bervariasi, baik yang menggunakan aplikasi berlisensi maupun
aplikasi sumber terbuka (opensource). Dari pembahasan
sebelumnya di atas, terdapat 2 jenis pemetaan secara online,
yaitu statis (menampilkan peta dari fi le digital) dan interaktif
(pengguna bisa melakukan interaksi dengan memilih
lapisan data untuk visualisasi dan melakukan perbesaran
/ pengecilan (zoomin/out) sesuai dengan skala peta yang
diinginkan) (Mitchel, 2005). Pemetaan interaktif secara online
memanfaatkan layanan peta (mapservice) yang disediakan
oleh Open Geo Consortium (OGC) yaitu: web map service
(WMS), web feature service (WFS) dan web coverage service
(WCS). Layanan peta tersebut digunakan untuk visualisasi
data, integrasi data dan tumpang tindih (overlay) data.
Layanan PetaLayanan peta (Mapservice) yang disediakan oleh OGC
terdiri dari beberapa layanan dan kemampuan yang berbeda.
Layanan WMS, memiliki kemampuan dalam memproses
layanan berdasarkan permintaan/request (getCapabilities,
getMap, getFeatureInfo, DescribeLayer dan GetLegendGraphic).
Layanan WFS menampilkan fi tur atau informasi atribut. Layanan
WCS lebih kearah visualisasi dan pemrosesan data citra.Layanan
peta (mapservice) digunakan oleh suatu instansi/orang untuk
membuat aplikasi pemetaan online yang mempunyai tujuan
tertentu (diseminasi data atau hasil pekerjaan yang dibuat,
contoh: aplikasi persil tanah, peta fasilitas kesehatan dll).
Jenis layanan peta (Map service) Web Map Service (WMS) merupakan protokol standar
untuk menyajikan peta citra/gambar yang mempunyai
referensi kebumian (georeferensi) melalui internet yang
dibuat oleh suatu server peta(map server) menggunakan
data dari basis data SIG(Open Geospatial Consortium,
http://www.opengeospatial.org/standards/wms). Data
yang digunakan merupakan data citra dan vektor, data
yang dihasilkan berupa citra dan tidak dapat diedit.
Web Feature Service (WFS) merupakan standar
antarmuka yang menghasilkan suatu antarmuka yang
mengijinkan untuk permintaan fi tur geografi melalui
web menggunakan platform pemanggilan bebas.
Mengijinkan untuk manipulasi data untuk mendapatkan
permintaan (get or query features), membuat fi tur
baru(create), menghapus fi tur(delete) dan memperbaharui
fi tur(update). Data yang digunakan berupa data vektor
dan dapat diedit.
Web Coverage Service (WCS) merupakan standar
antarmuka yang menghasilkan suatu antarmuka
yang mengijinkan untuk permintaan cakupan luasan
geografi tertentu melalui web menggunakan platform
pemanggilan bebas. WCS menggambarkan proses
penemuan, atau operasi transformasi data. Data yang
digunakan dapat dalam beberapa format, DTED, GeoTiff ,
HDF-EOS atau NITF. Beberapa jenis data yang didukung
diantaranya adalah, kumpulan titik, regular grid,
kurvatersegmentasi, TIN, dan lain-lain.
Tabel 1. Perintah yang digunakan dalam mengakses layanan peta
WMS WFS WCS
Data Image Vektor Image & Vektor
Perintah (Command)
Get CapabilitiesGet MapGet Feature InfoDescribe LayerGet Legend Graphic
Get CapabilitiesDescribe Feature TypeGet Feature
Get CapabilitiesDescribe CoverageGet Coverage
(sumber: Wikipedia dan OGC)
Pembuatan layanan peta (mapservice) dapat
menggunakan perangkat lunak yang berlisensi seperti
ARCIMS/ARCGIS SERVER maupun yang sumber terbuka seperti
GEOSERVER, MAPSERVER dan lain-lain. Aplikasi opensource
geoserver menawarkan kemudahan dalam pembuatan
layanan peta dengan menggunakan fi tur yang dimilikinya,
namun dalam membuat informasi legenda masih dilakukan
secara manual dengan mendefi nisikan melalui kode/script
tertentu. Aplikasi opensource MAPSERVER dalam pembuatan
layanan peta melalui script/kode program tertentu dan dalam
pendefi nisian sistem proyeksi, atribut, pewarnaan legenda
secara manual.
MetodologiData dan peralatan
Data yang digunakan adalah data fasilitas kesehatan
(vektor) kota Depok yang diperoleh dari Dinas Kesehatan
Kota Depok, data jaringan jalan dari Dinas Pekerjaan Umum

Jum’at, 22 Maret 2013, Pusat Teknologi dan Data
Penginderaan Jauh LAPAN, Pekayon menerima
kunjungan Tim dari Biro Umum LAPAN dalam rangka
sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011
tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil yang
dilaksanakan di Gedung Training Pustekdata Jl. LAPAN Nomor
70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tim sosialisasi tersebut
diterima langsung oleh Kepala Bidang Teknologi Pengolahan
Data, Drs. Kustiyo, M.Si. Dalam sambutannya Kabid. Teklahta
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tim Sosialisasi
yang dipimpin oleh Ibu Anik Sri Parianti, S.H., dan diharapkan
seluruh peserta sosialisasi dapat memanfaatkan waktu untuk
menyimak dan memperhatikan secara seksama dari apa yang
akan disampaikan oleh tim.
Dalam paparannya, Anik Sri Parianti, S.H.
menyampaikan aturan-aturan yang tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 diantaranya
terkait penilaian pegawai yang mengggunakan tolok ukur
baru sebagai pengganti Daftar Penilaian Prestasi Pegawai
(DP3) yaitu Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) meliputi kuantitas,
kualitas, waktu, dan biaya yang memiliki bobot 60 % dan
perilaku meliputi orientasi pelayanan, integritas, komitmen,
disiplin, kerjasama, kepimimpinan (untuk pejabat struktural)
dengan bobot 40 %. Setiap PNS wajib menyusun SKP
sesuai dengan kegiatan tugas jabatan dan tanggungjawab
sebagaimana tertuang di dalam Tugas Pokok dan Fungsi
Organisasi, Renstra, Renja, dan uraian jabatan. Unsur-unsur
Sasaran Kinerja Pegawai ada empat komponen yaitu:
pertama, kegiatan tugas jabatan berupa rincian tugas
sesuai struktur dan tata organisasi dan pekerjaan yang riil
dilaksanakan; kedua, angka kredit untuk mengkalkulasi nilai
butir butir kegiatan yang harus dicapai oleh seorang PNS
dalam rangka pembinaan karier dan jabatannya; ketiga,
target kuantitas, kualitas waktu dan biaya; ke empat tugas
tambahan dan atau kreavitas di luar tugas pokok. Sesi
terakhir dari kegiatan sosialisasi ini adalah latihan pengisian
Form SKP oleh para peserta yang dibimbing langsung oleh
Tim. (BH, WB, NGD)
Gambar 1. Para PNS Pustekdata pada acara sosialisasi PP Nomor 46 Tahun 2011
Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil
di Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN, Pekayon
Berita Ringan
67INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
18 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Kota Depok dan data citra penginderaan jauh dalam format
layanan peta yang dihasilkan oleh LAPAN. Untuk server aplikasi
menggunakan Apache Web server, server SIG untuk instansi
PU dan Kesehatan menggunakan Geoserver, untuk server SIG
di LAPAN menggunakan ArcGIS server serta server SIG di BIG.
Metode Secara garis besar metode yang digunakan adalah
sebagai berikut :
1. Kajian pustaka, kajian pustaka dilakukan untuk
memperdalam informasi
2. Analisa kebutuhan aplikasi Sistem informasi fasilitas
kesehatan dan pembuatan layanan peta
3. Desain dan model aplikasi
4. Pemrograman
5. Pengujian dan perbaikan aplikasi
Untuk pembuatan layanan peta menggunakan aplikasi
ArcGIS terdiri dari 3 tahap, yaitu:
Penyimpanan data padaruang penyimpanan digital
di server penyimpanan. Data yang dimiliki disimpan
deserver penyimpanan. Format penyimpanan mengikuti
format penyimpanan data. Penyimpanan dilakukan ke
dalam folder berdasarkan jenis data (format pengarsipan).
Jika menggunakan suatu basis data geo, perlu dilakukan
proses import data kedalam basis data tersebut.
Pembuatan project data pada aplikasi ArcGIS Desktop,
pembuatan project (*.mxd) terhadap data yang akan
dibuatkan layanan peta, proses manipulasi data spasial
dilakukan pada tahap ini, simpan fi le project tersebut
dalam folder tertentu, sebaiknya dibuatkan aturan
dalam folder penyimpanan untuk memudahkan dalam
pembuatan layanan peta.
Pembuatan map service pada aplikasi ArcGIS server,
pembuatan layanan peta menggunakan Aplikasi ArcGIS
server diantaranya melalui web browser (mozilla, fi refox,
google chrome, dan lain-lain). Data yang digunakan
adalah fi le project (*.mxd) yang telah dibuat. Penentuan
layanan yang akan diberikan dilakukan pada tahap ini
(WMS, WFS, WCS) .
Hasil dan PembahasanAnalisa Kebutuhan Aplikasi
Tahapan pertama dalam pengembangan aplikasi
system informasi fasilitas kesehatan berbasis web perlu
didefi nisikan fi tur yang dibutuhkan pada aplikasi adalah,
aplikasi dapat menampilkan peta online fasilitas kesehatan
di Kota Depok yang interaktif. Pada peta terdapat informasi
skala, fasilitas pembesaran/pengecilan (zoom in/out), legenda,
peta dasar, jaringan jalan dan fasilitas kesehatan dan legenda
informasi.
No Instansi Data Layanan Peta Keterangan
1 Dinas Kesehatan
kota Depok
Fasilitas kesehatan http://localhost:8080/geoserver/depok/wms?service=WMS&version=1.1.0&request=GetMap&layers=depok:fas_kesehatan&styles=&bbox=106.7248521336067,-6.4638589143161465,106.90898412706845,-6.314182056568318&width=512&height=416&srs=EPSG:4326&format=application/openlayers
Dibuatkan layanan
peta nya
2 Dinas Pekerjaan
Umum kota
Depok
Jaringan jalan http://localhost:8080/geoserver/depok/wms?service=WMS&version=1.1.0&request=GetMap&layers=depok:jalan_depok&styles=&bbox=106.7248521336067,-6.4638589143161465,106.90898412706845,-6.314182056568318&width=512&height=416&srs=EPSG:4326&format=application/openlayers
Dibuatkan layanan
peta nya
3 LAPAN Citra Quickbird
2003
http://geoportal.lapan.go.id:6080/arcgis/services/ Daftar layanan peta
yang disediakan
4 BIG Batas Administrasi http://geoservices/ArcGIS/services/ Daftar layanan peta
yang disediakan
Tabel 2. Layanan Peta yang digunakan pada aplikasi

teori penginderaan jauh, stasiun bumi satelit penginderaan
jauh, teknologi perekaman dan pengolahan data, serta
pemanfaatan data-data penginderaan jauh untuk berbagai
sektor pembangunan.
Pada kesempatan tersebut dijelaskan secara rinci
mengenai Data Penginderaan Jauh mulai dari penerimaan,
perekaman, pengolahan dan pemanfaatannya hingga
distribusi datanya. Dijelaskan juga berbagai fasilitas yang
dimiliki LAPAN diantaranya stasiun bumi di Parepare, Sulawesi
Selatan yang bertugas melakukan perekaman data satelit
SPOT dan MODIS dan stasiun bumi yang ada di Jakarta yang
merekam data satelit NOAA, Feng Yun, dan MTSAT. Disamping
itu LAPAN juga melakukan pengolahan untuk data satelit
resolusi tinggi seperti ALOS, IKONOS, Quick Bird, Word View
dan lain sebagainya.
Lebih lanjut mahasiswa dijelaskan mengenai contoh
data-data satelit penginderaan jauh yang dipakai untuk
berbagai macam aplikasi, misalnya data satelit MODIS dan
NOAA yang digunakan untuk analisis lingkungan dan cuaca,
data satelit Landsat dengan resolusi 30 m yang bisa dipakai
untuk monitoring hutan, mengetahui tutupan lahan serta
bisa untuk monitoring pertumbuhan pertanian atau sawah.
Dijelaskan juga mengenai pemanfaatan data-data satelit
penginderaan jauh resolusi tinggi seperti IKONOS dan Word
View yang digunakan untuk perencanaan wilayah dan tata kota.
Kemudian Fadila Muchsin, juga menambahkan
kalau selama ini stasiun bumi LAPAN hanya bisa merekam
data satelit dengan resolusi rendah dan menengah, maka
pada pertengahan tahun 2013 ini direncanakan stasiun
bumi LAPAN sudah bisa merekam data resolusi tinggi
(hires) yaitu satelit SPOT-5 dan SPOT-6 milik Perancis dan
untuk resolusi menengah stasiun bumi di Parepare akan
merekam data satelit LDCM (Landsat Data Continue Mission)
atau Landsat-8. Untuk itu stasiun bumi di Parepare sedang
melakukan upgrading peralatan receiver, sedangkan antene
penerimanya sudah dipasang tahun lalu. Saat ini di LAPAN
Pekayon, sudah terpasang tujuh server yang dirangkai dalam
satu kesatuan dan nantinya bisa mengolah data dengan
kecepatan tinggi yang dikirim secara on line dari stasiun
bumi Parepare.
Selesai pemaparan para mahasiswa diberikan waktu ½
jam untuk diskusi dan tanya jawab. Kemudian setelah selesai
diskusi dan tanya jawab, dilanjutkan dengan kunjungan ke
ruang Demo di lantai bawah. Disini para mahasiswa bisa
melihat langsung hasil-hasil aplikasi data satelit sekaligus bisa
menanyakan langsung kepada para pemandu yaitu Andi
Setiyoko, Inggit Lolitasari, serta Bambang Haryanto. Setelah
selesai melihat hasil-hasil aplikasi data satelit, kunjungan
para mahasiswa diakhiri dengan foto bersama dan bertukar
cendera mata. (WB, BH, NGD)
Gambar 2. Foto bersama mahasiswa Unsud di depan Ruang Pameran Pustekdata
Gambar 3. Salah seorang pemandu sedang menjelaskan kepada para mahasiswa pada acara kunjungan ke Pustekdata
Berita Ringan
66 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
19INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Untuk data spasial yang dihasilkan oleh instansi lain
(LAPAN dan BIG) perlu di inventarisir alamat layanan peta
yang akan digunakan. Data fasilitas kesehatan dan jaringan
jalan dibuatkan layanan petanya secara local menggunakan
aplikasi geoserver.
Desaindan Model AplikasiDesain aplikasi dan model (Gambar 2) yang diajukan
berdasarkan interaksi yang terjadi pada system, pengguna
mengakses ke server aplikasi untuk mendapatkan informasi
fasilitas kesehatan secara visual melalui web browser,
server aplikasi mengakses layanan peta yang tersedia dan
menampilkan secara visual pada halaman web. Aplikasi
system informasi berbasis pemetaan online memanfaatkan
layanan peta yang disediakan oleh instansi PU, BIG dan LAPAN.
Aplikasi SIG yang dikembangkan memanfaatkan framework
pmapper pembuatan aplikasi.
Gambar 2. Interaksi user dengan aplikasi.
Pembuatan Layanan Peta (Mapservice)Pembuatan layanan peta (mapservice) merupakan
kegiatan untuk menyediakan layanan peta untuk akses
pemetaan online. Data spasial yang digunakan berupa data
raster/image atau data vektor (titik, garis, polygon). Aplikasi
yang digunakan untuk membuat mapservice yaitu aplikasi
Server SIG (ArcGIS, GeoServer, dan lain-lain). Daftar publikasi
layanan peta yang dihasilkan oleh instansi LAPAN dan BIG
ditunjukkan pada Gambar 3.
Layanan peta yang dihasilkan dapat digunakan dalam
pemetaan online maupun aplikasi SIG. Layanan peta tersebut
dapat digunakan dengan mengakses alamat layanan peta.
Untuk melihat layanan peta yang dihasilkan dapat mengakses
alamat layanan peta, misal, alamat layanan peta yang terdapat
pada ServerSIG di LAPAN yaitu, http://geoportal.lapan.
go.id:6080/arcgis/rest/services/.
Mengakses Layanan PetaPemanfaatan layanan peta dapat dilakukan dengan
mengakses alamat layanan peta menggunakan aplikasi SIG.
Aplikasi SIG yang digunakan berbasis web atau berbasis
desktop. Pada kesempatan ini mengunakan aplikasi
berbasis desktop. Pada ArcGIS desktop terdapat tools untuk
menambah data layanan peta (WMS dan WCS). Pada Gambar
4 ditunjukkan pengaksesan layanan peta menggunakan
alamat http://geoportal.lapan.go.id:6080/arcgis/services/.
Untuk mengakses layanan peta berupa WFS
menggunakan ArcGIS desktop memerlukan langkah-langkah
yang berbeda. Menambahkan data menggunakan layanan
Gambar 3. Daftar publikasi Layanan Peta pada Server SIG di LAPAN dan BIG.

Selasa, 19 Maret 2013, dengan didampingi oleh 3 Dosen
pembimbing, sebanyak 50 Mahasiswa Universitas
Jenderal Soedirman (UNSUD) berkunjung ke Pusat
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN Pekayon.
Mereka diterima di ruang Training oleh Kepala Bidang
Teknologi Pengolahan Data, Kustiyo yang didampingi satu
orang staf peneliti yaitu Fadila Muchsin.
Dalam sambutannya beliau mengucapkan selamat
datang dan terima kasih atas kunjungan para Mahasiswa
dan Dosen pembimbing dari UNSUD dan berharap agar
kunjungan ini bisa membawa manfaat dan menambah ilmu
pengetahuan khususnya di bidang Penginderaan Jauh bagi
para mahasiswa.
Sambutan selanjutnya disampaikan oleh Prasmaji
Sulistyanto selaku dosen pendamping dari UNSUD, dan
beliau menghaturkan terima kasih banyak karena telah
diterima dengan baik dan diberi kesempatan untuk menggali
dan mengetahui lebih banyak tentang Penginderaan Jauh
dan manfaatnya bagi masyarakat luas pada umumnya dan
mahasiswa pada khususnya. Beliau juga berharap untuk bisa
dijelaskan mengenai data yang bisa diakses di LAPAN dan
berbagai pemanfaatannya. Terakhir beliau berharap agar
kedepan Mahasiswa UNSUD bisa melakukan Praktek Kerja
Lapangan (PKL) di LAPAN.
Pada sesi pemaparan yang disampaikan oleh Fadila
Muchsin, diterangkan mengenai struktur organisasi LAPAN,
Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Kunjungi LAPAN Pekayon
Gambar 1. Kepala Bidang Teknologi Pengolahan Data, Drs. Kustiyo, M.Si. (tengah) sedang memberi sambutan pada acara kunjungan mahasiswa UNSUD ke Pustekdata.
Berita Ringan
65INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
20 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
peta dengan membuat suatu koneksi interoperabilitas
terlebih dahulu, kemudian mengisikan alamat layanan peta,
misal, http://geoservices/ArcGIS/services/IGD/Nasional_
BatasAdministratif/MapServer/WFSServer?request=GetCapab
ilities&service=WFS, kemudian memilih jenis fi tur yang akan
ditampilkan (Gambar 5).
Pemanfaatan layanan peta untuk penggunaan aplikasi
SIG online dapat dilakukan dengan mengakses alamat layanan
peta. Untuk studi kasus, penulis mencoba membuatkan
aplikasi SIG online untuk data kesehatan (informasi rumah
sakit, puskesmas) yang digabungkan dengan batas
administrasi, jaringan jalan dan sungai di daerah Kota Depok.
Untuk membuat layanan peta menggunakan aplikasi sumber
terbuka (opensource), penulis menggunakan aplikasi geoserver
dan dalam pembuatan aplikasi SIG menggunakan aplikasi
Mapserver dengan kerangka kerja (framework) pmapper. Hasil
pembuatan aplikasi SIGonline ditunjukkan pada Gambar 6.
PenutupLayanan peta (mapservice) merupakan sarana yang
bisa digunakan untuk berbagi data antar instansi dengan
mekanisme tertentu. Pembuatan layanan peta dapat
menggunakan aplikasi berbayar atau aplikasi sumber terbuka
(opensource). Jenis layanan yang dihasilkan mengacu dari
jenis data yang digunakan dalam menghasilkan layanan
peta. Pemanfaatan layanan peta untuk pembuatanaplikasi
SIG berbasis web kesehatan di Kota Depok dapat dilakukan
dengan mengakses alamat layanan peta yang dihasilkan oleh
instansi di Kota Depok maupun instansi lainnya. Pemanfaatan
layanan peta ini dapat memberikan kemudahan bagi instansi
dalam mengembangkan aplikasi SIG berbasis web. Layanan
peta yang dihasilkan dapat digunakan untuk menghasilkan
data turunan serta dapat dimanfaatkan dalam pembuatan
aplikasi SIG online dengan tema lainnya. Besar harapan
pemanfaatan layanan peta ini bisa digunakan oleh tiap-tiap
instansi dalam memberikan nilai tambah data spasial yang
telah ada dan dimanfaatkan dalam pengembangan aplikasi
SIG online.
Gambar 4. Penggunaan layanan peta WMS dan WCS.
Gambar 6. Aplikasi GIS online untuk data kesehatan di kota Depok.
Gambar 5. Pengaksesan layanan peta WFS

merupakan lembaga teknologi keantariksaan yang mampu mengembangkan teknologi serta sumber daya manusia dalam bidang
keantariksaan dan penginderaan jauh (inderaja). Sedangkan Kepala LAPAN, di dalam sambutannya menyampaikan beberapa
strategi pencapaian sasaran utama pengembangan teknologi dirgantara, pembangunan sarana dan prasarana Litbang antara lain :
• Pusat Teknologi Satelit melaksanakan pembangunan gedung kantor Pusat Teknologi Satelit di Rancabungur, Upgrading
Stasiun Bumi Rumpin, Rancabungur, Kototabang, Pontianak dan Biak, Upgrading Laboratorium Integrasi Satelit, Rancabungur
dan Upgrading Bengkel manufaktur Satelit Rancabungur.
• Pusat Teknologi Roket melaksanakan upgrading Gedung Kantor Pusatnya di Tarogong, Gedung Proses Propelan, Gedung
Fabrikasi Struktur, Gedung Integrasi Roket Pameungpeuk, dan Sarana Stasiun Peluncuran Pameungpeuk.
• Pusat Teknologi Penerbangan, Rumpin, melaksanakan renovasi bangunan untuk Peralatan Kompresor dan Hanggar.
Pada kesempatan tersebut, Kepala LAPAN juga menyampaikan pengembangan Jaringan Bank Data Penginderaan Jauh
Nasional sebagai implementasi Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2012 tentang Penyediaan, Penggunaan, Pengendalian Kualitas,
Pengolahan dan Distribusi Data Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi. Sesuai Inpres tersebut, maka LAPAN diinstruksikan untuk
melayani dan mendistribusikan data satelit inderaja yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor di pemerintahan pusat dan daerah.
LAPAN di dalam ulang tahun ke 49 ini memberikan penghargaan kepada para pejabat struktural yang berprestasi, yang
diserahkan langsung oleh Menristek Bapak Gusti Muhammad Hatta.
Setelah selesai acara seminar tersebut, dilanjutkan dengan kegiatan pertandingan olah raga antar kedeputian di LAPAN,
dimana Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan, LAPAN Bandung menjadi Juara Umum (WB, BH, NGD)
Gambar 2. Para PNS LAPAN yang memperoleh penghargaan sedang foto bersama Menristek dan Kepala LAPAN.
Berita Ringan
64 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
21INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
1. PENDAHULUAN
Teknologi penginderaan jauh semakin berkembang
melalui kehadiran berbagai sistem satelit dengan
berbagai misi dan teknologi sensor. Aplikasi satelit
penginderaan jauh telah mampu memberikan data/informasi
tentang sumber daya alam secara teratur dan periodik. Salah
satu keuntungan dari data citra satelit penginderaan jauh
untuk deteksi sumber daya lahan adalah setiap lembar (scene)
citra ini mencakup wilayah yang sangat luas. Citra satelit
Landsat merupakan salah satu citra satelit penginderaan jauh
yang menampilkan gambaran wilayah yang cukup luas dan
sistem pengolahan datanya cukup mudah dipahami oleh
berbagai pengguna data, sehingga perkembangan Landsat
selalu diikuti oleh para pengolah dan pengguna data untuk
mempertahankan kontinyuitas data serta informasi yang ada
di dalamnya. Adanya satelit LDCM (Landsat Data Continuity
Mission) yang merupakan kelanjutan satelit Landsat 7 ETM+
atau pengganti satelit Landsat sebelumnya, ada baiknya
sedikit menginformasikan satelit Landsat yang sudah ada
sebelumnya, seperti pada Tabel 1.1
Dari Tabel 1.1 dapat digambarkan perkembangan
satelit Landsat dari Landsat 1 sampai Landsat 8 (LDCM) seperti
pada gambar 1.1
Gambar 1.1 Sejarah perkembangan Satelit Landsat
Kajian Data Satelit Generasi Baru Landsat LDCM (Landsat Data Continuity Mission)
Dianovita, Ediyanta Purba, Fadila MuchinPeneliti Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPANEmail: [email protected]

Selasa, 27 Nopember 2012, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyelenggarakan Seminar dalam
rangka HUT LAPAN ke 49 yang dilaksanakan di gedung Graha Widya Bhakti Kawasan Puspitek, Serpong, Tangerang Selatan,
dengan tema “ Seminar Nasional Kedirgantaran dan Sosialisasi RUU Keantariksaan Menyongsong 50 Tahun Kedirgantaraan
Nasional”
Pada acara pembukaan seminar tersebut tampak hadir Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bapak Gusti Muhammad
Hatta dan Kepala LAPAN Bapak Bambang Tjedjasukmana. Dalam sambutannya Menristek menyampaikan bahwa LAPAN
Gambar 1. Menristek (kiri) dan Kepala LAPAN (kanan) pada acara pembukaan Seminar dalam rangka HUT LAPAN ke-49 di Puspiptek, Serpong.
Seminar Nasional Kedirgantaraan dan Sosialisasi RUU Keantariksaan dalam rangka HUT LAPAN ke-49
Berita Ringan
63INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
22 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pada tanggal 11 Februari 2013, Kerjasama NASA dan
Departement of the Interior (DOI) U.S Geological Survey
(USGS) berhasil meluncurkan satelit baru yaitu satelit LDCM
(Landsat Data Continuity Mission). Keahlian NASA dalam misi
observasi bumi dan keahlian USGS dalam penyimpanan data
dan memproses data penginderaan jauh diberikan untuk
suatu kerjasama yang saling menguntungkan.
Tanggung jawab NASA untuk LDCM meliputi
pengembangan instrumen OLI dan TIRS, pesawat ruang
angkasa, kendaraan peluncur, Implementasi Mission Operations
Element (MOE) yang didanai USGS, dan verifi kasi misi pada orbit.
NASA membeli elemen – elemen terbesar dari bagian
ruang LDCM dari industri Goddard Space Flight Center
(GSFC) yang bertindak sebagai misi integrasi dan memimpin
misi system rekayasa. TIRS dirancang di GSFC dan layanan
peluncuran disediakan oleh Kennedy Space Center. Pusat
operasi misi LDCM akan dibangun di GSFC.
USGS akan menyediakan sistem pengolahan data dasar
yang berlokasi di Earth Resources Observation and science
(EROS) center USGS. USGS membeli system pengolahan
data dasar dari sebuah industry. Tim operasi penerbangan
juga disediakan oleh USGS melalui kontrak dengan NASA.
USGS mendanai dan memimpin tim peneliti Landsat. Setelah
verifi kasi orbit selesai, USGS akan memimpin kegiatan kalibrasi
pasca peluncuran, pengoperasian satelit, kelanjutan produksi
data, dan pengarsipan data.
NamaSatelit
TanggalPeluncuran Roket Jenis
OrbitTinggi Orbit
ResolusiTemporal Sensor Band Resolusi
SpasialJumlahBit data
OperatorPengolah
PenyebabBerhenti
beroperasiLandsat
1
23 Juli 1972 Delta
900
Near-polar 917
km
18 hari RBV
MSS
3 Band
Kamera
4 Band
MSS
80 m
80 m
6 USGS Umur satelit
Landsat
2
22Januari1975 Delta
2910
Near-polar 917
km
18 hari RBV
MMS
3 Band
Kamera
4 Band
MSS
80 m
80 m
6 USGS Umur satelit
Landsat
3
5Maret1978 Delta
2910
Near-Polar 917
km
18 hari RBV
MMS
2 Band
Kamera
5 Band
MSS
80 m Pan 40 m
80 m
6 USGS Umur satelit
Landsat
4
16 Juli 1982 Delta
3920
Near-polar 705
km
16 hari TM
Mss
7 band
4 band
30 m, termal
120 m
80 m
8 USGS Umur satelit
Landsat
5
1 Maret 1984 Delta
3920
Near-polar 705
km
16 hari TM
MSS
7 band
4 band
MS 30 m,
termal 120 m
80 m
8 USGS Umur satelit
Landsat
6
5 Oktober1993 Titan II Sun-Syhch 705
km
16 hari ETM 8 Band MS 30 m
Pan 15 m
Termal 120 m
8 USGS Gagal
Mengorbit
Landsat
7
15 April1999 Delta II Sun-Synch 705
km
16 hari ETM+ 8 band MS 30 m
Pan 15 m
‘Termal 60 m
8 USGS SLC OFF
sejak Mei
2003Landsat
8
11 Februari
2013
Atlas-V Circular Sun-
Synchronous
705
km
16 hari OLI
TIRS
9 Band
2 Band
MS 30 m
Pan 15 m
Cirrus 30 m
TIRS 100 m
8 USGS Opersional
Tabel 1.1 Perbandingan Satelit Landsat

Kepala LAPAN Drs. Bambang Tedjasukmana, Dipl. Ing., dalam sambutannya menyampaikan, bahwa penandatanganan
fakta integritas ini merupakan rangkaian proses reformasi birokrasi. Pakta Integritas tersebut juga merupakan tindak lanjut Instruksi
Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Tujuan dari penandatanganan Pakta
Integritas tersebut adalah agar tercipta komitmen untuk melaksanakan pengelolaan anggaran secara tertib dan benar. Pakta
Integritas diharapkan dapat dijadikan instrument untuk mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan di lingkungan
instansi pemerintah, pelanggaran terhadap Pakta Integritas akan dikenakan sanksi moral, sanksi administrasi, serta tuntutan hukum
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Isi Pakta Integritas yang telah ditandatangani yaitu pertama tidak akan melakukan, mendukung, dan atau menyebabkan
terjadinya kegiatan fi ktif atau rekayasa dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan barang atau jasa maupun pelaksanaan kegiatan
operasional lainnya di lingkungan LAPAN, kedua tidak akan menerima, menggunakan, dan atau memanfaatkan sesuatu yang
dapat dikategorikan sebagai hasil dari kegiatan fi ktif atau rekayasa (BH, WB, NGD).
Gambar 3. Panitia/Pejabat Pengadaan Barang/Jasa dan Panitia/Pejabat Pemeriksa Barang/Jasa di lingkungan Pustekdata melakukan foto bersama setelah penandatanganan Pakta Integritas
Gambar 4. Panitia/Pejabat Pengadaan Barang/Jasa dan Panitia/Pejabat Pemeriksa Barang/Jasa di lingkungan Pusfatja melakukan foto bersama setelah penandatanganan Pakta Integritas
Berita Ringan
62 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
23INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pada April 2008 USGS mengumumkan bahwa arsif
data Landsat dapat diberikan kepada publik dan bebas biaya.
Pada Oktober 2008, Landsat 7 diberikan tanpa dipungut biya,
dan Desember 2008 berlaku juga untuk Landsat 1 – 5. Semua
arsip bisa dilihat pada situs http://glovis.usgs.gov.
Agar kontinuitas data LANDSAT di Indonesia, baik
akuisisi maupun pelayanan/penyediaan data tidak terhenti,
maka LAPAN telah melakukan pengembangan stasiun
penerima data satelit LDCM di Parepare untuk merekam citra
LDCM mulai Tahun 2013.
2. SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT LDCM.
2.1 Misi Satelit LDCM LDCM merupakan kerjasama antasa NASA dan USGS,
akan menyediakan citra resolusi menengah (15 m – 100 m
tergantung pada nilai spektral) dari permukaan bumi dan
wilayah kutub pada panjang gelombang visible, near-
infrared, short wave infrared, dan thermal infrared. LDCM
menyediakan secara berkelanjutan data set citra Landsat
selama 38 tahun. Selain itu untuk memperluas manfaat
sehari–hari untuk perencanaan penggunaan lahan
dan memonitor wilayah pada skala lokal, mendukung
tanggap bencana dan evaluasi, monitor penggunaan air,
pengukuran LDCM secara langsung melayani penelitian
NASA pada fokus area iklim, siklus karbon, ecosystem,
siklus air, biogeokimia, permukaan bumi/interior.
2.2 Sistem Orbit Satelit LDCM Satelit LDCM (Landsat-8) telah diluncurkan pada tanggal
11 Februari 2013, waktu peluncuran pukul 1 : 02 p.m.,
dari VAFB (Vandenberg Air Force Base), California dengan
pesawat peluncur adalah Atlas-V-401. Ada 2 sensor yang
dibawa satelit LDCM yaitu sensor OLI (Operasional Land
Imagery) dan Sensor TIRS (Thermal Infrared Sensor). Jenis
Orbit satelit LDCM mendekati lingkaran sinkron – matahari
(Circular Sun-Synchronous), merekam pada ketinggian
705 km, dengan sudut inklinasi 98.2°(degrees), periode
99 menit, dengan waktu liput ulang (resolusi temporal)
adalah 16 hari dengan waktu melintasi katulistiwa (Local
Time on Descending Node - LTDN) nominal pada jam
10:00 s.d. 10:15 pagi. Jumlah scene LDCM per harinya 400
scene.
2.3 Sensor OLI (Operasional Land Imagery) Sensor OLI dirancang oleh the Ball Aerospace and
Technologies Corporation, dengan desain umur beroperasi
5 tahun. Sistem pencitraan sensor OLI yaitu pushbroom
dengan sebuah telescope yang mempunyai 4 cermin
dan kuantitas data 12 bit. OLI mempunyai 9 band
multispectral, dengan resolusi spasial 30 meter (15
meter band pankromatik) lebar cakupan 185 km dengan
ketinggian perekaman 705 km.
Pada gambar 2.3.1 lebar panjang gelombang pada
band OLI banyak mengalami perubahan dari band ETM
untuk menghindari obyek penyerapan atmosfi r yang
ada pada band ETM. Perubahan terbesar terjadi pada
band 5 OLI (0.845–0.885 μm) untuk mengabaikan obyek
penyerapan uap air pada 0.825 μm yang ada di tengah
panjang gelombang band 4 ETM. Band pankromatik OLI
yaitu band 8 juga relatif lebih sempit dibanding band
pankromatik ETM untuk membangun kontras yang besar
antara area bervegetasi dengan yang tidak bervegetasi.
Sensor OLI mempunyai band - band spektral yang
menyerupai sensor ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus)
dari Landsat 7. Sensor OLI ini mempunyai band - band
yang baru yaitu : band biru (band 1: 0.433–0.453 μm)
untuk pengamatan wana lautan pada wilyah pantai dan
band shortwave infrared (band 9: 1.360–1.390 μm) yang
berada di atas obyek penyerapan uap air yang tinggi
dan akan ikut mendeteksi awan cirrus pada citra OLI
(awan cirrus akan tampak terang ketika sebagian besar
permukaan tanah tampak gelap menembus atmosfi r
bebas awan yang mengandung uap air).
Gambar 2.3.1 Kurve tanggap spektral sensor OLI dengan ETM +

Kamis, 14 Maret 2013, Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh melaksanakan Penandatanganan Pakta Integritas yang
dilaksanakan di Ruang Training Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh. Semua Pejabat Struktural, Kepala Satuan
Kerja, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (P2K), Bendahara, Panitia/Pejabat Pengadan Barang/
Jasa dan Panitia/Pejabat Penerima/Pemeriksa Barang/Jasa di lingkungan Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Pekayon,
melakukan penandatanganan Pakta Integritas. Penandatanganan Pakta Integritas merupakan salah satu kegiatan yang harus
dilaksanakan dalam rangka reformasi birokrasi dan remunerasi menuju Tata Pemerintahan yang baik.
Penandatanganan Pakta Integritas di Lingkungan Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh
Gambar 2. Foto bersama para pejabat struktural setelah selesai penandatanganan Pakta Integritas.
Gambar 1. Para pejabat struktural di Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh sedang menandatangani Pakta Integritas
Berita Ringan
61INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
24 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
panjang gelombang untuk band yang sama, perubahan
ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas perekaman
tiap band atau dengan kata lain untuk mengurangi bias
informasi pada band tersebut, tentunya dengan tetap
menjaga karakteristik dari band itu sendiri. Secara detail
untuk panjang gelombang yang digunakan tiap band
dapat dilihat pada tabel 2.5.1
3. HASIL PENGOLAHAN DATA LDCMPada gambar 3.1 sampai 3.7 merupakan data LDCM
yang direkam pada tanggal 20 Mei 2013 dan Landsat 7 ETM
yang direkam pada tanggal 28 Mei 2013 untuk wilayah pantai
kabupaten Polewali, Sulawesi Selatan. Pada gambar 3.8
merupakan data LDCM yang direkam pada tanggal 29 April
2013 dan Landsat 7 ETM yang direkam pada tanggal 7 Mei
2013.
Adanya penambahan band 1 (aerosol) dan band 9
(cirrus) pada citra LDCM yang tidak ada sebelumnya di citra
Landsat 7 ETM dapat dilihat pada gambar 3.1 dan 3.2. Citra
pada gambar 3.1.a menyajikan band 1 pada citra LDCM
berpotensi untuk deteksi wilayah pesisir dan sekitar, seperti
sedimentasi di laut, terumbu karang, batas tepi pantai, obyek
– obyek ini dideteksi menggunakan band 1 di Landsat 7 ETM
yang setara dengan band 2 pada citra LDCM sebelum LDCM
beroperasi, akan tetapi obyek tersebut tidak begitu jelas
bahkan tidak tampak pada band 1 di citra Landsat 7 ETM
seperti gambar 3.1.b
Sedangkan penambahan band 9 (cirrus) pada gambar
3.2, berpotensi untuk deteksi awan cirrus yang tidak terdeteksi
di band multispektral lainnya.
L7 ETM + Bands LDCM OLI/TIRS Band requirements
No. Urut Band
Resolusi spasial
Nama Band
Panjang Gelombang
No.Urut Band
Resolusi spasial
Nama Band
Panjang Gelombang
Band 1 30 m Coastal/Aerosol 0.433-0.453 μm
Band 1 30 m Blue 0.450-0.515 μm Band 2 30 m Blue 0.450-0.515 μmBand 2 30 m Green 0.525-0.605 μm Band 3 30 m Green 0.525-0.600 μmBand 3 30 m Red 0.630-0.690 μm Band 4 30 m Red 0.630-0.680 μmBand 4 30 m Near-IR 0.775-0.900 μm Band 5 30 m Near-IR 0.845-0.885 μmBand 5 30 m SWIR-1 1.550-1.750 μm Band 6 30 m SWIR-1 1.560-1.660 μmBand 7 30 m SWIR-2 2.090-2.350 μm Band 7 30 m SWIR-2 2.100-2.300 μmBand 8 15 m Pan 0.520-0.900 μm Band 8 15 m Pan 0.500-0.680 μm
Band 9 30 m Cirrus 1.360-1.390 μmBand 6 60 m LWIR 10.00-12.50 μm Band 10 100 m LWIR-1 10.30-11.30 μm
Band 11 100 m LWIR-2 11.50-12.50 μm
Ada beberapa bagian yang ada pada sensor OLI
digambarkan pada Gambar 2.3.2
2.4 Sensor TIRS (Thermal Infrared Sensor) Sensor TIRS (Thermal Infrared Sensor) dirancang oleh
NASA GSFC, dengan umur beroperasi 3 tahun. Sistem
pencitraan sama seperti sensor OLI yaitu pushbroom.
TIRS untuk kelanjutan pengukuran suhu dan mendukung
aplikasi pengukuran laju evapotranspirasi untuk
pengelolaan sumber daya air. Sensor TIRS membawa
band thermal yang resolusi spasialnya 100 meter
diresampling mengikuti band multispektral yang ada
pada sensor OLI yaitu 30 meter.
2.5 Spesifi kasi Data Satelit LDCM Dari gambar 2.3.1 selain terdapat tambahan 2 band baru
pada citra satelit LDCM, juga terlihat terdapat perbedaan
Gambar 2.3.2 Sensor OLI satelit LDCM
Gambar 2.3.3 Sensor TIRS satelit LDCM
Tabel 2.5.1. Perbandingan band pada citra LDCM dengan Landsat 7 ETM

Pada tahun 2009 sudah terjalin kerjasama antara
LAPAN dengan Pemerintah Daerah Kabupaten
Sampang berupa kegiatan pembuatan peta tematik
sebagai data dasar wilayah menggunakan citra satelit
penginderaan jauh. Peta Tematik yang dihasilkan adalah: Peta
Administrasi Kabupaten dan Kecamatan, Peta Ketinggian,
Peta Kontur, Peta Kelerengan, Peta Jaringan Sungai, Peta
Batas Daerah Aliran Sungai, Peta Geologi, Peta Tanah, Peta
Penutup Lahan Kabupaten dan Peta Penutup Lahan di 14
(empat belas) Kecamatan, Peta Jaringan Jalan, Peta Penutup
Lahan Kota, dan Peta Fasilitas Umum. Pada tahun 2010 telah
terjalin kerjasama dalam bentuk kegiatan inventarisasi dan
pemutakhiran data spasial infrastruktur untuk mendukung
tata ruang menggunakan data penginderaan jauh, selain
kegiatan tersebut juga diadakan kegiatan untuk peningkatan
SDM Pemda Kabupaten Sampang dalam bentuk Bimbingan
Teknis (Bimtek) selama 60 hari kalender, yang diikuti oleh
berbagai instansi kedinasan di Pemda Tingkat II Kabupaten
Sampang.
Kegiatan kejasama antara LAPAN dengan Pemerintah
Daerah Kabupaten Sampang masih terus dilanjutkan,
Sosialisasi Hasil Penelitian, Kerjasama LAPAN dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang
Gambar 1. Bupati Sampang pada acara sosialisasi.
Gambar 2. Peserta Sosialisasi
diantaranya penelitian masalah banjir, dimana pada tahun
2011 dilakukan penelitian rawan banjir dan resiko banjir
menggunakan data penginderaan jauh, sedangkan pada
tahun 2012 ada 2 judul penelitian yaitu 1) pengembangan
pemanfaatan penginderaan jauh untuk model simulasi banjir,
dan 2) pemetaan jaringan pipa PDAM di Kota Sampang.
Penelitian model simulasi banjir di Kabupaten Sampang
pada tahun 2012 meliputi 3 (tiga) Daerah Aliran Sungai
(DAS) yang mengalir ke kota Sampang dan diperkirakan
mempengaruhi terjadinya banjir di Kota Sampang, dimana
3 DAS tersebut meliputi DAS Klampis, DAS Jelgung dan DAS
Kamoning.
Pada tanggal 25 Februari 2013 dilakukan sosialisasi hasil
penelitian yang diadakan di Aula Pemda Kabupaten Sampang,
yang dihadiri Bupati Sampang, Sekretaris Daerah, Kepala
Bappeda dan LAPAN, serta dihadiri oleh 5 staf ahli Pemda
dan 38 SKPD dilingkungan Pemerintah Daerah Tingkat II
Kabupaten Sampang. Pada acara sosialisasi tersebut dilakukan
pemaparan hasil penelitian yang disampaikan oleh peneliti
LAPAN, yang pertama pemaparan penelitian Model Simulasi
Banjir oleh Nanik Suryo Haryani dan yang kedua pemaparan
Pemetaan Jaringan Pipa PDAM oleh Bambang Trisakti. Setelah
selesai pemaparan hasil penelitian tersebut dilanjutkan acara
diskusi dengan para peserta. (NSH).
Berita Ringan
60 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
25INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pada gambar 3.2.a menyajikan obyek awan cirrus di
atas wilayah pesisir kabupaten Polewali, Sulawesi Selatan. Pada
gambar 3.2.b merupakan wilayah yang sama seperti gambar
3.2.a, akan tetapi tampilan untuk kombinasi band LDCM 432,
tidak tampak sama sekali awan cirrus. Sedangkan gambar 3.2.c
band visible (tampak warna merah) dioverlay dengan band
cirrus (tampak warna hijau) dan gambar 3.2.d band inframerah
(tampak warna merah) dioverlay dengan band cirrus (tampak
warna hijau) terlihat sangat kontras karena awan cirrus tidak
tampak pada band multi lainya, hanya pada band 9 (cirrus) saja.
a. LDCM band 1 (Coastal/Aerosol)
a. Band 9 (Cirrus)
b. Landsat 7 ETM band 1
b. Kombinasi band 432
Gambar 3.1.a. Band 1 citra LDCM berpotensi untuk deteksi garis pantai, sedimentasi, terumbu karang.
c. Overlay band 4 (red) dan band 9 (cirrus) d. Overlay band 5 (inframerah) dan band 9 (cirrus)
Gambar 3.2. Band 9 citra LDCM berpotensi untuk awan cirrus

Jakarta, 29-30 Januari 2013, Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) ikut serta dalam pameran Alat
Peralatan Pertahanan (Alpalhan). Pameran berlangsung
pada 28-29 Januari 2013 di Mabes TNI Cilangkap. Pameran
ini dihadiri oleh Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro
dan Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono dan diikuti
oleh berbagai instansi pemerintah dan industri di bidang
pertahanan.
Dalam pameran ini, LAPAN menampilkan hasil-hasil
penelitian dan pengembangan. Produk-produk LAPAN yang
dipamerkan antara lain citra satelit penginderaan jauh SPOT-
6, LANDSAT, MODIS dalam bentuk display pulau terluar, garis
pantai Semarang, informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan
(ZPPI), Pulau Morotai, dan wilayah perbatasan Indonesia.
LAPAN juga memamerkan miniatur Roket RKX-200, RKX-100,
Pesawat UAV, dan poster-poster pengembangan wahana
terbang kecepatan tinggi.
LAPAN Ikut Serta dalam Pameran Alpalhan di Mabes TNI Cilangkap
Pameran Alpahan 2013 ini bertujuan agar industri
dapat melihat perkembangan dunia pertahanan. Kegiatan ini
juga sekaligus berfungsi sebagai ajang promosi serta untuk
menumbuhkembangkan minat masyarakat terhadap dunia
kedirgantaraan Indonesia.
Peserta pameran Alpalhan meliputi instansi
pemerintah dan swasta antara lain LAPAN, PT Pindad, PT LEN,
PT INTI, PT DI, PT Dok Kodja Bahari, LIPI, CV Indopulley Perkasa,
PT CMI Teknologi, PT SOG Indonesia, PT Infra RCS, PT Sari
Bahari, PT Infoglobal Teknologi S, PT Maju Santosa Pertiwi, PT
Bogar Arta Satria, PT Sritex, PT Saba Wijaya Persada, PT Persada
Aman Sentosa, PT Gemilang Bhakti, PT Merpati Wahana, dan
PT Patria, sehingga diharapkan dunia industri pertahanan
dalam negeri akan terus berkembang. Pengunjung pameran
tersebut antara lain berasal dari TNI, siswa sekolah, dan
masyarakat umum. (BH, WB, HI, NGD)
Berita Ringan
59INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
26 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Dengan adanya penambahan band pada citra LDCM
ini tentunya akan menambah banyak kajian lagi yang
sebelumnya pada Landsat 7 ETM belum atau kurang optimal
dalam mengeksplorasi sumber lainnya.
Pada gambar 3.3 dan 3.4 menampilkan beberapa band
multispektral data LDCM dengan membandingkan secara
visiual band mutispektral data Landsat 7 ETM. Secara visual
untuk keseluruhan band, tampak semua lebih kontras band
yang ada pada data LDCM dibandingkan band pada data
Landsat 7, hal ini dikarenakan adanya perubahan besarnya
panjang gelombang tiap band yang ada di data LDCM, seperti
yang sudah di bahas pada tabel 2.5.1.
Gambar 3.3 Perbandingan Band visible pada citra LDCM dengan citra Landsat 7 ETM
Band 1 Band 2Band 2
Band 3 Band 3 Band 4
Band 4 Band 5 Band 5
Band 6 Band 7 Band 7
Gambar 3.4 Perbandingan band inframerah pada citra LDCM dengan citra L7 ETM

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
komposit yang dapat menampilkan lebih banyak variasi warna
untuk membedakan objek-objek berlainan (misalnya: lahan
sawah, permukiman, jalan, dan daerah bervegetasi), lebih dari
itu data PiSAR L-2 juga mampu membedakan penampakan
beberapa fase pertumbuhan padi di lahan sawah.
Pemanfaatan data PiSAR-L2 di LAPANLAPAN merupakan salah satu institusi yang terlibat dalam
kerjasama Airborne SAR Joint Campaign in Indonesia Using
The PiSAR-L2, dan berpartisipasi aktif untuk mengkaji data
PiSAR-L2 yang merupakan data ekperimen sensor PALSAR-2
dari satelit ALOS-2. Saat ini, peneliti LAPAN tengah mengkaji
dan menganalisis kemampuan data PiSAR-L2 untuk beberapa
aplikasi yang menjadi tujuan dalam kerjasama, yaitu: pemetaan
hutan, deteksi kapal, mitigasi bencana dan pemetaan fase
pertumbuhan padi di lahan sawah. Kajian dilakukan terhadap
kemampuan band polarisasi dalam mengindentifi kasi objek
dan membandingkan hasil yang diperoleh dengan data
pengukuran di lapangan atau data referesi lainnya. Contoh
hasil kajian data PiSAR-L2 untuk pemetaan penutup lahan
(khususnya pemetaan wilayah hutan) dan deteksi kapal
di Provinsi Riau dan Teluk Bitung Provinsi Sulawesi Utara
diperlihatkan pada Gambar 6. Hasil pemetaan penutup
lahan hutan di Provinsi Riau memperlihatkan bahwa semua
penutup lahan dapat dibedakan dengan cukup baik walau
masih terdapat beberapa permasalahan. Permasalahan utama
terjadi pada pemisahan jenis hutan, dimana objek hutan alam
dan hutan akasia masih sulit untuk dipisahkan sehingga perlu
dikaji lebih lanjut parameter yang dapat memisahkan kedua
objek tersebut. Sedangkan deteksi kapal di Teluk Bitung
dilakukan secara otomatis dengan menggunakan metode
deteksi fi tur, dan dihasilkan informasi spasial distribusi kapal
dan koordinat lokasi kapal. Akurasi dari deteksi mencapai 90%,
walaupun masih terdapat kesalahan deteksi (false detection)
yang diakibatkan oleh pengaruh batas darat dan laut akibat
masking yang kurang sempurna dan mungkin faktor lainnya
yang memerlukan kajian lebih lanjut. Tetapi secara umum
data PiSAR-L2 mempunyai potensi untuk digunakan dalam
pemetaan penutup lahan dan deteksi kapal di perairan.
PenutupBerdasarkan penjelasan di atas, data PiSAR-L2, yang
merupakan data eksperimen sensor PALSAR-2 dari satelit
ALOS-2, merupakan data yang potensial untuk dimanfaatkan
dalam berbagai aplikasi data satelit penginderaan jauh di
wilayah Indonesia yang beriklim tropis. Rencana peluncuran
satelit ALOS-2 pada tahun 2013 memberikan harapan
dan tantangan bagi para peneliti Indonesia, untuk dapat
memanfaatkan data sensor PALSAR-2 dari satelit ALOS-2
dalam rangka mendukung berbagai sektor kegiatan.
Gambar 6. Pemanfaatan data PiSAR-L2 untuk klasifi kasi penutup lahan di Provinsi Riau (kiri) dan deteksi kapal di Teluk Bitung, Provinsi Sulawesi Utara (kanan)
Akasia
LahanKosong
Karet
HutanSekunder
Hutanalam
Air
False Detection
False Detection
58 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
27INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pada gambar 3.5 menyajikan perbedaan secara visual
band pankromatik yang ada pada Landsat 7 ETM dengan LDCM,
tampak lahan terbangun lebih cerah pada band pankromatik
data LDCM dari pada band pankromatik data Landsat 7 ETM,
selain itu perbedaan kontras antara obyek yang satu dengan
lainnya pada data LDCM lebih tegas dibanding pada Landsat 7
ETM. Sedangkan resolusi spasial band pankromatik baik Landsat
7 ETM maupun LDCM sama yaitu 15 meter.
Pada gambar 3.6 dan 3.7 dibuat beberapa kombinasi band
multispektral yang ada pada data LDCM, dan dibandingkan
dengan data Landsat 7 ETM untuk beberapa aplikasi tertentu.
Pada gambar 3.6 a dan b merupakan kombinasi untuk natural
color, gambar 3.6 c dan d merupakan kombinasi false color
digunakan untuk deteksi terumbu karang yang berwarna
hijau di lautan, dari dua gambar tersebut data LDCM lebih jelas
dari Landsat 7 ETM. Untuk gambar 3.6.e dan f juga merupakan
kombinasi false color yang digunakan untuk deteksi vegetasi
sehat yang tampak berwarna merah cerah. Sedangkan
gambar 3.6.g dan h merupakan kombinasi true color yang
digunakan untuk deteksi lahan terbangun yang akan tampak
warna magenta pada data LDCM atau pun Landsat 7 ETM,
dapat juga deteksi pertanian lahan basah yang berwarna biru
dengan pola tertentu serta deteksi air warna biru dan pola
tidak teratur.
Pada gambar 3.7 menunjukan perbandingan band
thermal pada data LDCM dengan data Landsat 7 ETM,
Gambar 3.5 Perbandingan band pankromatik pada citra LDCM dengan citra Landsat 7 ETM
Band 8 (Pankromatik)
Band 8 (Pankromatik)
a. Kombinasi band 321 (L7 ETM+)
c. Kombinasi band 421 (L7ETM+)
e. Kombinasi band 431 (L7ETM+)
g. Kombinasi band 743 (L7ETM+)
b. Kombinasi band 432 (LDCM)
d. Kombinasi band 532 (LDCM)
f. Kombinasi band 542 (LDCM)
h. Kombinasi band 754 (LDCM)
Gambar 3.6 Perbandingan kombinasi band pada citra LDCM
dan Landsat 7 ETM

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
ALOS-2. Pesawat PiSAR-L2 (Gambar 4 kiri) merupakan generasi
kedua PiSAR yang didesain dan dikembangkan oleh National
Institute of Information and Communications Technology (NICT)
Jepang dari tahun 2006 hingga 2009. Operasional PiSAR-L2
dimulai pada bulan April 2012 dengan melakukan perekaman
di beberapa wilayah Jepang. Selanjutnya JAXA melakukan
inisiasi kerjasama dengan Kementerian Riset dan Teknologi
Republik Indonesia untuk menguji sensor sistem ALOS-2
tersebut, sehingga terbentuk kerjasama riset yang bertema
“JAXA-RISTEK-BPPT-LAPAN-BIG joint airborne Synthetic Aperture
Radar (SAR) campaign in Indonesia for forest carbon monitoring,
ship detection, disaster monitoring, and geometric evaluation
Airborne SAR Joint Campaign in Indonesia Using The PiSAR-L2”.
Selain lembaga/institusi yang tertulis namanya dalam tema
kerjasama, pihak Indonesia diikuti juga oleh beberapa
kementerian dan perguruan tinggi yang mempunyai
kompetensi dan ketertarikan untuk memanfaatkan data
PiSAR-L2.
Perekaman data PiSAR-L2 dilakukan pada tanggal 2 – 8
Agustus 2012 bertepatan dengan pelaksanaan Hari Teknologi
Nasional (Harteknas). Pesawat PiSAR-L2 terbang melintasi
wilayah udara Indonesia (Gambar 4 kanan) dan merekam
6 target area (Semarang, Riau, Subang, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Utara dan Gunung Gamalama) sesuai dengan
rencana pemanfaatan data untuk pemantauan hutan, deteksi
kapal, pemantauan bencana, pemantauan lahan pertanian
dan evaluasi ketelitian geometrik. Data perekaman PiSAR-L2
merupakan data L band polarisasi penuh dengan spasial
2.5 m yang cukup detil untuk memetakan informasi spasial
lahan dengan skala 1:10000. Gambar 5 memperlihatkan
contoh data PiSAR-L2 untuk wilayah Kabupaten Subang dan
perbesaran data untuk penampakkan area pertanian dan
permukiman dengan menggunakan komposit RGB (HH, HV,
VV). Dibandingkan data SAR dengan band satu polasrisasi atau
dua polarisasi yang umum digunakan, band polarisasi penuh
pada data PiSAR-L2 memungkinkan pengguna membuat
Data PiSAR-L2 wilayah Subang
Band polarisasi HH
Band polarisasi RGB: HH,VV,HV
Gambar 5. Contoh data PiSAR-L2 untuk wilayah Subang
57INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
28 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
a. Kombinasi band 321 (L7ETM+) b. Kombinasi band 432 (LDCM) c. Band 6 low (L7 ETM+)
d. Band 10 (LDCM) e. Band 6 high (L7 ETM+) f. Band 11 (LDCM)
untuk gambar a dan b ditampilkan kombinasi band natural
color untuk melihat perbedaan arah asap yang dikeluarkan
oleh gunung Paluweh, yang berada di Nusa Teggara Timur.
Untuk mengetahui perbedaan band thermal dari data LDCM
dengan Landsat 7 ETM terlihat pada gambar 3.8 b hingga e,
tampak band thermal dari data LDCM mampu menampilkan
lebih jelas kondisi abu yang panas yang tampak berwarna
putih masih berada di puncak gunung dan abu yang dingin
berwarna hitam sudah berada menjauh dari puncak kearah
barat laut untuk data LDCM sedangkan abu dingin arah barat
untuk data Landsat L 7 ETM kurang begitu jelas dibandingkan
data LDCM. Band thermal pada data LDCM baik band 10 dan
band 11 mempunyai panjang gelombang yang berbeda,
sedangkan untuk data Landsat 7 ETM untuk band 6 baik low
maupun high panjang gelombang sama hanya dibedakan
oleh nilai gain.
4. PENUTUP Dari uraian spesifi kasi citra satelit LDCM dapat
disimpulkan bahwa citra satelit LDCM diluncurkan tidak
hanya menggantikan citra satelit Landsat 7 ETM+ yang
mengalami kerusakan pada Scan Line Corrector-nya, sehingga
kehilangan data sebesar 24 persen sepanjang sisi-sisi luar dari
masing-masing citra, tetapi juga pada satelit LDCM dilakukan
perubahan secara signifi kan pada lebar panjang gelombang
pada band OLI untuk menghindari besarnya penyerapan
atmosfi r seperti terjadi di band ETM. Penambahan band
baru pada satelit LDCM diharapkan juga untuk mengatasi
kekurangan dari satelit Landsat 7 ETM.
Secara menyeluruh diharapkan dengan kehadiran
citra satelit LDCM selain mempertahankan kontinyuitas data
Landsat 7 ETM+ juga dapat menambah terwujudnya aplikasi
lain dengan memanfaatkan data satelit LDCM ini.
Gambar 3.7 Perbandingan band thermal pada citra Landsat 7 ETM dan LDCM untuk deteksi suhu

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
– 490 km, dan sensitifi tas serta kualitas data yang lebih baik
dibandingkan PALSAR. Dengan kelebihan tersebut, satelit
ALOS-2 diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pengguna
(www.jaxa.jp), yaitu:
1) Pemantauan daerah yang mengalami kerusakan akibat
bencana, baik untuk area yang luas maupun area terbatas
2) Melanjutkan updating data untuk informasi wilayah darat
dan infrastruktur
3) Pemantauan wilayah pertanian secara efektif
4) Pemantauan global hutan tropis untuk identifi kasi
kandungan karbon
Program Pesawat PiSAR-L2 untuk Ujicoba Sensor SARSelama 15 tahun terakhir (1996-2011), JAXA telah
mengoperasikan pesawat Polarimetric and Interferometric
Airborne SAR in L band (PiSAR-L) untuk melakukan ujicoba dan
demonstrasi pemanfaatan sensor SAR. PiSAR-L telah digunakan
secara efektif untuk berbagai kegiatan eksperimen data SAR,
dimana hasil eksperimen yang diperoleh sangat bermanfaat
untuk operasional satelit SAR milik JAXA, seperti Japan
Earth Resources Satellite (JERS-1) dan ALOS. JAXA melakukan
upgrade PiSAR-L menjadi PiSAR-L2 sehingga dapat digunakan
eksperimen sensor PALSAR-2 yang rencana akan dibawa oleh
Gambar 3. Ilustrasi satelit ALOS (kiri) dan Satelit ALOS-2 (kanan) (Sumber: www.jaxa.jp)
Gambar 4. Pesawat PiSAR L-2 (kiri) dan Jalur lintasan penerbangan pesawat PiSAR L-2 (Kanan) (Sumber: Shimada et al., 2012)
56 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Pendahuluan
Salah satu penyebab degradasi hutan/lahan adalah
kebakaran. Umumnya, bencana kebakaran ini
terjadi bersamaan dengan berlangsungnya musim
kemarau dan dampaknya semakin luas jika bertepatan
dengan fenomena El Nino. Hingga saat ini bencana tersebut
masih secara rutin terjadi tiap tahun, khususnya di wilayah
Sumatera dan Kalimantan. Dampak yang timbul dan sering
mengganggu adalah gangguan asap terutama bila melintasi
batas negara. Selain itu, gangguan asap juga berdampak
terhadap kesehatan masyarakat, aktivitas masyarakat, dan
transportasi udara, darat, dan laut. Bahkan, emisi karbon yang
dilepaskan ke atmosfi r diduga telah memberikan kontribusi
terhadap pemanasan global penyebab perubahan iklim.
Apabila kebakaran terjadi pada lahan gambut, maka
emisi karbon yang dikeluarkan tidak hanya terbatas dari
vegetasi yang tumbuh di atas permukaan tanah saja tetapi
bahan organik yang terdapat di dalam tanah juga akan terurai
dan mengeluarkan karbon ke atmosfi r. Hal ini dikarenakan
lahan gambut memiliki lebih banyak karbon di bawah
permukaan daripada di atasnya (CIFOR, 2009).
Hasil kajian Miettinen (2007) menyebutkan bahwa
kebakaran di wilayah tropis umumnya terjadi akibat kegiatan
manusia dalam mengelola lahan (seperti: penyiapan lahan
pertanian, pembersihan lahan, dan pembakaran pasca
panen), penggunaan api dalam sengketa lahan, perburuan,
dan ketidaksengajaan (seperti: api unggun dari aktivitas
perkemahan, kegiatan merokok, dan sebagainya), dan
aktivitas pengendalian hama. Menurut Saharjo (2000),
dalam satu kali pembukaan lahan sebuah perusahaan dapat
melakukan penebangan seluas 10 – 20 ha, bahkan sampai 40
ha, kemudian bekas tebangan dibiarkan mengering selama
2 – 3 minggu untuk selanjutnya dibakar.
Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena
global, fenomena regional, dan fenomena lokal. Salah satu
fenomena global adalah ENSO (El-Nino Southern Oscillation)
yang terdiri atas 2 komponen kelautan yaitu El-Nino dan La-
Nina. Pada saat El-Nino umumnya Indonesia akan mengalami
kekeringan yang panjang karena terjadi penurunan curah
hujan jauh di bawah normal, sebaliknya pada saat La-Nina
curah hujan di atas normal, sehingga sering terjadi banjir,
tanah longsor, Salah satu upaya untuk mengantisipasi dampak
itu adalah dengan meningkatkan ketepatan prediksi/ramalan
iklim, sehingga dampak yang ditimbulkan oleh iklim ekstrim
tersebut dapat diantisipasi lebih dini.
Pada Juni 2012 lalu, Badan Meteorologi Dunia
(WMO = World Meteorological Organization) merilis prediksi
kecenderungan El Nino yang menguat dari Juni hingga
September 2012. Kecenderungan anomali suhu permukaan
laut (SPL) (oC) di wilayah Nino 3.4 juga menunjukkan adanya
peningkatan suhu (www.cpc.ncep.noaa.gov) (Gambar 1a).
Wilayah Nino 3.4 merupakan salah satu pengukuran suhu
permukaan laut yang berada di Samudera Pasifi k, dimana
wilayah Nino 3.4 terletak pada 5º LU – 5º LS dan 170º –
120º BB yang merupakan wilayah antara Nino 3 dan Nino
4 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1b. Demikian juga
hingga tanggal 15 Oktober 2012 anomali OLR (outgoing
longwave radiation) (W/m2) positif (yang akan menghambat
proses konveksi dan terjadinya hujan, ditandai warnai
merah) masih terlihat di sekitar wilayah Indonesia (Gambar
2). Kondisi ini diprediksi dapat mempengaruhi intensitas dan
peningkatan kejadian kebakaran hutan/lahan pada puncak
musim kemarau tahun 2012, yakni bulan Juli – September
2012 bahkan kondisi ini diprediksi berlangsung hingga
pertengahan Oktober 2012 (Gambar 2). Penguatan El Nino
akan meningkatkan intensitas kekeringan akibat adanya
29INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Any Zubaidah, Indah Prasasti, Yenni Vetrita, Widya NingrumPeneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
Email: [email protected] atau [email protected]
Analisis Kondisi Kebakaran Hutan/Lahan di Sumatera dan Kalimantan Tahun 2012

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
(a) Data satelit sensor optik (b) Data satelit sensor SAR
dipengaruhi oleh tutupan awan. Oleh karena itu, data sensor
SAR merupakan salah satu sumber informasi yang penting
untuk mendukung kegiatan mitigasi bencana khususnya untuk
pemetaan cepat kerusakan wilayah paska terjadinya bencana
alam yang umumnya masih ditutupi oleh asap akibat letusan
gunung api atau kebakaran hutan. Contoh pemetaan cepat
adalah pemetaan kerusakan bangunan, pemetaan sebaran
lahar dan pemetaan lahan terbakar, yang merupakan informasi
penting untuk mendukung kegiatan paska bencana gunung
api dan kebakaran hutan.
Program Satelit ALOSJepang merupakan salah satu negara termaju
dalam teknologi satelit penginderaan jauh. Negara ini telah
meluncurkan satelit Advanced Land Observing Satellite (ALOS)
pada tanggal 24 Januari 2006 (Gambar 3 kiri) dengan
membawa 3 instrumen, yang salah satunya adalah Phased-
Array type Lband Synthetic Aperture RADAR (PALSAR) untuk
merekam data SAR. PALSAR merupakan sensor SAR pada
gelombang L band dengan resolusi spasial 10-100 m dan
revisit time (waktu yang dibutuhkan untuk melewati wilayah
yang sama) selama 46 hari. Sensor ini memiliki kemampuan
polarisasi penuh (HH, VV, HV, dan VH) untuk mendapatkan
informasi objek secara lebih spesifi k. Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah bekerjasama dengan
Japan Exploration Agency (JAXA) dan The Remote Sensing
Technology Center of Japan (RESTEC) untuk memanfaatkan data
satelit ALOS yang dilaksanakan dalam kerangka kegiatan ALOS
Pilot Project 1 dan 2 selama periode 2007-2012. Pada kegiatan
tersebut LAPAN dan beberapa kementerian/lembaga sebagai
counterpart (rekan kerja) telah mengkaji dan memanfaatkan
data ALOS, khususnya data sensor PALSAR untuk berbagai
kegiatan, seperti: pemetaan hutan, pemetaan lahan pertanian,
pemantauan penurunan level tanah (deformasi) dan gunung
api, serta pembuatan Digital Elevation Model (DEM).
Operasional perekaman data satelit ALOS berakhir
pada pertengahan tahun 2011 setelah mengorbit di atas bumi
selama kurang lebih 5 tahun, hal ini disebabkan karena baterai
satelit melemah sehingga tidak mampu mendukung kegiatan
operasional perekaman datanya. Proyek satelit ALOS dinilai
berhasil, sehingga Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA)
berencana untuk meluncurkan satelit ALOS generasi ke dua
(ALOS-2) pada akhir 2013. Satelit ALOS-2 (Gambar 3 kanan)
akan membawa sensor PALSAR-2 L band yang mempunyai
beberapa kelebihan dibandingkan dengan sensor PALSAR L
band pada satelit ALOS. Sensor PALSAR-2 mempunyai resolusi
spasial yang lebih tinggi, yaitu 1-3 m pada mode spot light dan
3 – 100 m pada mode lainnya, revisit time yang semakin cepat
14 hari, Polarisasi penuh pada mode high sensitive (spasial 3
m) dan fi ne (spasial 10 m), cakupan perekaman yang luas 25
Gambar 2. Perbandingan data sensor optik dan SAR, sensor SAR mampu menembus tutupan asap gunung api
(Sumber: directory.eoportal.org)
55INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
penurunan curah hujan. Kondisi kekeringan yang terjadi
tersebut akan dimanfaatkan bagi sebagian orang yang tidak
bertanggung jawab untuk melakukan pembersihan dan
pembakaran lahan.
Mengingat dampak yang ditimbulkan kebakaran
hutan/lahan sangat besar, maka dirasa perlu untuk
melakukan upaya pemantauan kejadian kebakaran secara
rutin, terutama di wilayah yang sering terjadi kebakaran.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemantauan titik-titik
panas (hotspots) dan sebaran asap dengan memanfaatkan
satelit penginderaan jauh seperti MODIS. Bidang Lingkungan
dan Mitigasi Bencana, PUSFATJA, LAPAN telah secara rutin
memberikan informasi hasil pemantauan hotspot dan deteksi
lokasi kebakaran serta pola sebaran asap, khususnya di
wilayah Sumatera dan Kalimantan. Tulisan ini menyajikan hasil
analisis pemantauan hotspot dan sebaran asap untuk deteksi
lokasi kebakaran hutan dan lahan pada periode bulan Januari
hingga 23 Oktober 2012.
Kecenderungan Jumlah Hotspot di Pulau Sumatera dan Kalimantan
Hasil deteksi dan pemantauan hotspot yang
dilakukan oleh bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana
(LMB) LAPAN Pekayon, Jakarta menunjukkan bahwa
hotspot tertinggi selama Januari – 23 Oktober 2012 terjadi
pada bulan September 2012, baik di Sumatera (4.647 titik)
maupun di Kalimantan (4.617 titik)(Gambar 3). Meskipun
terjadi kecenderungan penurunan total jumlah hotspot,
(a) (b)
(Sumber: www.cpc.ncep.noaa.gov)
Gambar 1. (a) Prediksi kecenderungan anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) (oC) di Nino 3.4 dari bulan November 2011 – Oktober 2012, (b) Lokasi Suhu permukaan laut Nino 1.2, Nino 3, Nino 4, dan Nino 3.4
Gambar 2. Prediksi anomali OLR (outgoing longwave radiation) (W/m2) periode 20 September – 15 Oktober 2012
(Sumber: www.cpc.ncep.noaa.gov)
30 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Pendahuluan
Data penginderaan jauh satelit telah dimanfaatkan
secara luas untuk mendukung berbagai sektor,
seperti: pertanian, kehutanan, sumber daya air,
geologi, kelautan, perikanan dan mitigasi bencana. Sampai
saat ini, data satelit sensor optik masih menjadi pilihan utama
pengguna karena kemampuan resolusi spektralnya yang
mampu menampilkan warna objek sesuai dengan warna
objek di permukaan bumi. Selain itu terdapat banyaknya
pilihan satelit yang dapat dimanfaatkan dengan resolusi
spasial data yang tinggi sehingga mampu menampilkan
objek permukaan bumi dengan sangat detil, sebagai contoh
resolusi spasial satelit GeoEye-1 telah sangat detil mencapai
40 cm (Gambar 1). Tetapi permasalahan utama pada data
satelit sensor optik adalah gangguan awan (gelombang
elektromagnetik pada kisaran cahaya tampak sampai
inframerah sangat dipengaruhi oleh molekul awan) dan
ketergantungan terhadap sinar matahari sebagai sumber
cahaya. Hal ini mengakibatkan banyak data satelit optik tidak
dapat dimanfaatkan secara optimal karena tingkat tutupan
awannya yang tinggi, terutama untuk wilayah yang beriklim
tropis seperti Indonesia.
Keuntungan Sensor Aktif SARSensor Synthetic Aperture Radar (SAR) adalah sistem satelit
penginderaan jauh sensor aktif yang memiliki pembangkit
gelombang elektromagnetik sendiri, sehingga dapat digunakan
untuk merekam permukaan bumi siang dan malam tanpa
tergantung dengan cahaya matahari. Selain itu sensor SAR
menggunakan gelombang mikro yang memiliki gelombang
yang panjang dan relatif tidak dipengaruhi molekul awan.
Oleh karena itu sensor SAR menjadi alternatif untuk mengatasi
beberapa permasalahan (tutupan awan dan ketergantungan
pada cahaya matahari) pada data satelit sensor optik, sehingga
sangat sesuai digunakan untuk wilayah beriklim tropis
basah seperti Indonesia. Gambar 2 memperlihatkan contoh
penampakan gunung api pada data optik yang dipengaruhi
oleh tutupan asap dari kepundan gunung api, dan penampakan
gunung api pada data SAR pada lokasi yang sama yang tidak
Kerjasama Airborne SAR PiSAR-L2: Potensi Pemanfaatan Data SAR untuk
Pemantauan Wilayah Indonesia
Bambang Trisakti1), Katmoko Ari Sambodo2), Arum Tjahjaningsih1) dan Agus Hidayat1)
1Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN2Peneliti Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN
Email : [email protected] atau [email protected]
Gambar 1. Contoh data GeoEye 1 wilayah perkotaan (Sumber: www.geoeye.com)
54 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
namun jumlah hotspot pada bulan oktober tampak masih
cukup tinggi, khususnya di Kalimantan. Kondisi ini terjadi
terkait dengan masih berlangungnya fenomena El Nino
(anomali SPL dan OLR positif ) yang mempengaruhi kondisi
curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia (Gambar 1
dan 2).
Berdasarkan distribusi hotspot periode Januari –
23 Oktober 2012 di masing-masing provinsi di Sumatera
memperlihatkan bahwa Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel),
Riau, dan Jambi merupakan 3 (tiga) provinsi dengan jumlah
hotspot lebih dari 1.000 titik. Sementara di Kalimantan,
Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) masih merupakan
wilayah dengan jumlah hotspot tertinggi. Selain Kalteng,
Kalimantan Barat (Kalbar) juga terdeteksi sebagai wilayah
dengan jumlah hotspot sangat tinggi (lebih dari 3.000 titik)
(Gambar 4).
Jumlah hotspot tertinggi di Provinsi Sumsel dan
Jambi terjadi pada bulan September 2012, sedangkan di
Riau pada bulan Juni 2012 (Gambar 5). Di Provinsi Kalteng,
jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan September
2012, sedangkan di Kalbar terjadi pada bulan Agustus 2012.
Di Provinsi Kalteng, jumlah hotspot tampak masih cukup
tinggi (lebih dari 1.000 titik) hingga awal minggu ke-3 bulan
Oktober (Gambar 6). Hal ini terjadi dikarenakan sebagian
besar wilayah Kalimantan Tengah merupakan lahan
gambut. Di kawasan bergambut, kebakaran tidak hanya
menghanguskan tanaman dan vegetasi hutan serta lantai
hutan (forest fl oor) termasuk lapisan serasah, dedaunan
dan bekas kayu yang gugur, tetapi juga membakar lapisan
gambut baik di permukaan maupun di bawah permukaan
(Kurnain 2005). Kebakaran lahan gambut termasuk tipe
kebakaran bawah (ground fi re). Pada tipe ini, api menjalar
a. Sumatera b. Kalimantan
Gambar 3. Distribusi hotspot bulanan di Sumatera (a) dan Kalimantan (b) periode
Bulan Januari – 23 Oktober 2012
Gambar 4. Total jumlah hotspot di masing-masing provinsi di Sumatera (a) dan
Kalimantan (b) periode Bulan Januari – 23 Oktober 2012
31INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
erupsi Gunung Merapi menjadi banjir lahar dingin di wilayah
setempat.
PenutupPemetaan zonasi bahaya aliran erupsi gunung api
dapat dilakukan dengan mengaplikasikan algoritma Monte
Carlo berdasarkan data DEM SRTM. Hasil simulasi aliran erupsi
umumnya mempunyai pola yang sama dengan bekas aliran
erupsi yang ditunjukkan dari citra resolusi tinggi di wilayah
Gunung Lokon, Soputan dan Merapi. Analisis potensi banjir
lahar dingin dapat memanfaatkan informasi yang dihasilkan
dari model simulasi aliran erupsi untuk diintegrasikan dengan
informasi curah hujan dari data TRMM. Dengan mengetahui
pola hujan bulanan dan fl uktuasi harian curah hujan maka
bencana lahar dingin dapat diwaspadai secara dini sehingga
meminimalkan dampak kerugian yang terjadi.
Gambar 7. Curah hujan dari data TRMM tanggal 26 Februari 2011 jam 06 - 09 UTC (13.00 – 16.00 WIB).
53INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
di bawah permukaan membakar bahan organik dengan
pembakaran yang tidak menyala (smoldering) (Syaufi na 2008).
Kebakaran tipe ini lebih berbahaya karena menimbulkan
kabut asap gelap dan pekat, dan melepaskan gas pencemar
lainnya ke atmosfer. Di samping itu, kebakaran tipe ini sangat
sulit untuk dipadamkan, bahkan oleh hujan lebat sekalipun
(Usup et al. 2003 dalam Kurnain 2005).
Pemantauan kebakaran hutan selain dapat dideteksi
berdasarkan jumlah hotspot, juga dapat dilakukan dengan
teknik tumpang susun (overlay) antara citra distribusi
hotspot dengan citra Terra/Aqua MODIS dari Rapid Fire
NASA (Gambar 7) dan atau citra SPOT-4 (Gambar 8) untuk
mendapatkan gambaran kepastian lokasi kejadian kebakaran
berdasarkan adanya pola sebaran asap. Hal ini dikarenakan
dari pemantauan hotspot, tidak semua hotspot merupakan
titik api kebakaran (fi re hotspot). Pada bagian selanjutnya akan
diberikan beberapa contoh kejadian kebakaran berdasarkan
hasil pemantauan hotspot dan sebaran asap.
Gambar 5. Distribusi jumlah hotspot bulanan di masing-masing provinsi di Sumatera
Gambar 6. Distribusi jumlah hotspot bulanan di masing-masing provinsi di Kalimantan
32 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Gambar 5. Grafi k pola hujan rata-rata di wilayah Gunung Lokon, Gunung Soputan, dan Gunung Merapi pada periode tahun 1998-2008.
Gunung Merapi terjadi pada tanggal 26 Februari 2011.
Sebagai contoh gambaran spasial curah hujan dari
data TRMM pada tanggal 26 Februari 2011 jam 06 - 09 UTC
(13.00 – 16.00 WIB) pada Gambar 7 menunjukkan bahwa curah
hujan di Pulau Jawa khususnya di wilayah sekitar Gunung
Merapi yang terletak di wilayah Provinsi DI. Yogyakarta dan
Jawa Tengah berkisar antara 5 mm hingga lebih dari 45 mm.
Curah hujan yang cukup lebat ini telah mendorong material
Gambar 6. Grafi k pola hujan rata-rata bulanan (1998-2008) di wilayah Gunung Merapi dan curah hujan bulanan 2011, serta fl uktuasi curah hujan harian pada bulan Februari 2011 dimana terjadi peningkatan curah hujan pada periode 22 – 26 Februari 2011 (lingkaran merah).
52 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Gambar 7. Lokasi Kejadian Kebakaran Hutan/lahan di beberapa tempat di Provinsi Riau Tanggal 12 dan 14 Juni 2012
33INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
sekitar Bandara Udara Sultan Baabullah (Gambar 4a). Kondisi
pasca letusan Gunung Gamalama yang meletus pada tanggal
16 September 2012 terlihat pada Gambar 4c dari data SPOT-
4 tanggal 21 September 2012, dimana endapan piroklastik
juga berada di wilayah timur laut, dan sekitar puncak gunung
(lingkaran warna merah). Kondisi letusan Gunung Gamalama
ini sesuai dengan hasil simulasi aliran erupsi dari metode
probabilistik dan analisis geomorfologi.
Potensi Bencana Banjir Lahar Dingin dari Informasi Curah Hujan
Terkait dengan potensi bencana banjir lahar dingin,
maka dilakukan ekstrasi nilai curah hujan dari data TRMM 3B43
di wilayah pegunungan (Lokon, Soputan, Merapi) selama
periode tahun 1998-2008 untuk mengetahui pola hujan
bulanan di sekitar wilayah gunung tersebut. Hasil ektraksi curah
hujan rata-rata per bulan selama 11 tahun dapat dilihat pada
Gambar 5. Berdasarkan grafi k pola hujan rata-rata diketahui
bahwa pola hujan di wilayah Gunung Lokon dan Soputan
memiliki pola yang sama, hujan minimum terjadi pada bulan
Agustus, sedangkan hujan maksimum terjadi pada bulan
Januari. Secara pola, Gunung Merapi mempunyai pola hujan
yang sama dengan Gunung Lokon dan Soputan, namun hujan
minimum terjadi pada bulan Juli sedangkan hujan maksimum
terjadi pada bulan Februari. Dengan mengetahui kapan
terjadinya pola hujan di suatu wilayah maka dapat diketahui
kapan terjadinya puncak hujan sehingga dapat diwaspadai
adanya bencana lahar dingin yang biasanya terjadi setelah
adanya hujan lebat.
Sebagai contoh berdasarkan data BNPB, bencana
banjir lahar dingin Gunung Merapi terjadi pada bulan Februari
2011 setelah meletus pada bulan November 2010. Mengacu
pada grafi k pola hujan di wilayah Gunung Merapi (Gambar
5), maka banjir lahar dingin berpotensi terjadi pada puncak
hujan di bulan Februari. Meskipun , curah hujan yang terjadi
pada bulan Februari 2011 masih relatif lebih rendah apabila
dibandingkan dengan curah hujan rata-rata (1998-2008).
Potensi banjir lahar juga terjadi pada bulan Maret dan April
2011. Untuk melihat potensi banjir lahar dingin harian, maka
dapat digunakan data TRMM 3B42 (Gambar 6). Terlihat pada
Gambar 6 curah hujan harian pada bulan Februari 2011
nampak menunjukkan pola meningkat dari tanggal 22
hingga 26. Pada kondisi curah hujan tinggi yang cenderung
meningkat selama periode 2-3 hari secara signifi kan dapat
menimbulkan banjir di suatu tempat. Tercatat dari beberapa
media massa, kejadian banjir lahar dingin akibat letusan
a). Hasil analisis dengan metode pro-babilistik Monte Carlo
b). Hasil analisis geomorfologi dari data Landsat-7 tahun 2010
c). Kondisi sesudah letusan Gn Gamalama dari data SPOT-4 tanggal 21 September 2012
Gambar 4. Hasil simulasi aliran erupsi Gunung Gamalama: a) berdasarkan algoritma probabilistik Monte Carlo, b) berdasarkan analisis geomorfologi, c) kondisi pasca letusan Gunung Gamalama tanggal 16 September 2012.
51INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Perkembangan Kebakaran Hutan/Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya,
selama periode pemantauan bulan Januari 2012 - 23
Oktober 2012 telah terjadi kecenderungan peningkatan
jumlah hotspot, baik di Sumatera maupun di Kalimantan.
Peningkatan jumlah hotspot tertinggi kebakaran hutan/
lahan tersebut terjadi antara bulan Juni hingga Oktober
2012. Jumlah hotspot terbanyak (lebih dari 500 titik) di
Provinsi Riau terjadi pada bulan Juni hingga September
2012, tertinggi pada bulan Juni 2012 dan Agustus 2012.
Gambar 7 - 10 memperlihatkan lokasi kebakaran di
beberapa tempat di Sumatera pada beberapa tanggal
kejadian kebakaran.
Gambar 7 memperlihatkan kejadian kebakaran hutan
pada tanggal 12 Juni dan 14 Juni 2012 di Propinsi Riau.
Kejadian kebakaran ditunjukkan berdasarkan distribusi lokasi
hotspot (titik-titik warna merah) dan sebaran asap (kepulan
asap berwarna putih tipis dengan pola memanjang). Kondisi
kejadian kebakaran ini dapat lebih jelas bila diamati dari hasil
tumpang-susun citra distribusi hotspot dengan citra SPOT-
4 pada tanggal 14 Juni 2012 seperti pada Gambar 8. Dari
Gambar 7 juga dapat dilihat sebaran asap mengarah ke Selat
Malaka. Jika kondisi ini terus berlangsung maka dimungkinkan
timbulnya komplain dari negara tetangga.
Gambar 9 memperlihatkan lokasi kejadian kebakaran
hutan/lahan di wilayah Riau dan Jambi berdasarkan distribusi
hotspot dan citra satelit Terra MODIS tanggal 1 September
2012 (ditunjukkan oleh tanda panah merah). Pada beberapa
lokasi hotspot tampak sulit untuk memastikan bahwa lokasi
hotspot tersebut adalah kebakaran, karena sebaran asap
sulit dibedakan dengan pola sebaran awan (tanda lingkaran
merah).
Berdasarkan hasil pemantauan hotspot oleh LAPAN
pada tanggal 4 September 2012 di Pulau Sumatera
terdeteksi sebanyak 1.365 titik yang tersebar merata di
sejumlah Propinsi. Jumlah hotspot di Propinsi Riau terpantau
sebanyak 334 titik, Jambi sebanyak 369 titik, Sumatera
Selatan sebanyak 559 titik, dan Lampung sebanyak 28 titik.
Hasil tumpang-susun antara citra sebaran hotspot dengan
citra MODIS Aqua tanggal 4 September 2012 terlihat bahwa
kebakaran hutan/lahan; yang ditandai oleh adanya asap
(warna putih tipis yang memanjang) yang membumbung
Gambar 8. Sebaran Hotspot dan Kabut asap di sekitar Provinsi Riau tanggal 14 Juni 2012
Gambar 9. Sebaran hotspot dan asap tanggal 1 September 2012 di wilayah Riau dan Jambi
34 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
curah hujan dari satelit TRMM dan dari satelit lain baik
dengan sensor microwave maupun inframerah. TRMM 3B42
memberikan informasi setiap 3 jam dengan arsip data sejak
01-01-1998. Cakupan wilayah datanya meliputi lintang: 50°S -
50°N; bujur:180°W - 180°E, dengan resolusi spasial 0.25° x 0.25°;
dan jumlah piksel baris = 400, piksel kolom = 1440. Contoh
produk TRMM 3B42 dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Produk data TRMM bulanan yang telah dikalibrasi
dengan data curah hujan global dari stasiun pengukur curah
hujan adalah TRMM 3B43. Data TRMM 3B43 merupakan
kombinasi antara data estimasi curah hujan dari satelit TRMM
dan curah hujan dari satelit lain, serta data curah hujan global
dari stasiun pengukur hujan (Climate Anomaly Monitoring
System/CAMS global data). Data TRMM diproduksi oleh NOAA
Climate Prediction Center (CPC), sedangkan data curah hujan
global dari stasiun pengukur hujan diproduksi oleh Global
Precipitation Climatology Center (GPCC). Saat ini data TRMM
3B43 tersedia sejak 01-01-1998 hingga Juli 2011, tim NOAA CPC
sedang melakukan kalibrasi terhadap data TRMM 3B43 untuk
memperbaiki tingkat akurasi. Cakupan TRMM 3B43 meliputi
wilayah lintang: 50°S - 50°N; bujur:180°W - 180°E, dengan
resolusi spasial 0.25° x 0.25°dan jumlah piksel baris = 400,
piksel kolom = 1440. Verifi kasi data TRMM 3B43 di Indonesia
telah dilakukan oleh Roswintiarti et al 2008 dan Parwati et
al 2011 yang menunjukkan bahwa ada korelasi yang cukup
tinggi (koefi sien korelasi (r) > 0.8) antara data curah hujan
TRMM dengan data curah hujan dari stasiun pengamatan di
beberapa wilayah di Indonesia yaitu Jawa Barat (Indramayu,
Bandung), Bali, Palangkaraya, dan Maros (Sulawesi Selatan).
Berdasarkan kajian tersebut data TRMM cukup baik dalam
merepresentasikan curah hujan lokal di wilayah Indonesia.
Aplikasi Algoritma Monte Carlo Simulasi bahaya aliran erupsi dengan algoritma
Monte Carlo pada beberapa gunung api di Indonesia yaitu
Lokon dan Soputan yang terdapat di Sulawesi Utara, serta
Gunung Merapi di Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar
3. Pada Gunung Lokon, nilai simulasi yang digunakan untuk
ketinggian material erupsi dari titik awal adalah setinggi 1
m dengan jarak jangkauan horisontal maksimum sejauh
5 km, sedangkan pada Gunung Soputan digunakan nilai
simulasi ketinggian material erupsi setinggi 1 m dengan jarak
jangkauan horisontal maksimum sejauh 10 km. Sementara
itu berdasarkan data-data kejadian dan dampak erupsi yang
pernah terjadi di Gunung Merapi, pada simulasi aliran erupsi
Gunung Merapi digunakan simulasi ketinggian material erupsi
setinggi 10 m dan jarak jangkauan horisontal maksimum
sejauh 17 km.
Hasil simulasi aliran erupsi untuk ke-3 gunung yang
menjadi kajian dapat dilihat pada Gambar 3, dimana terlihat
hasil simulasi aliran erupsi Gunung Lokon lebih dominan
berpotensi mengalir ke arah barat daya dan timur, dimana
pada lokasi tersebut menurut interpretasi citra GeoEye berupa
lahan hutan (barat daya) dan lahan bekas aliran material erupsi
(timur). Pada simulasi aliran erupsi Gunung Soputan, terlihat
bahwa aliran berpotensi mengalir menuju ke arah barat,
dimana pada lokasi tersebut terlihat pada citra resolusi tinggi
yang diunduh dari Google Earth menunjukkan lahan bekas
aliran material erupsi. Hasil simulasi aliran material erupsi
juga dilakukan pada Gunung Merapi, dimana material erupsi
berpotensi mengalir ke arah selatan dan barat daya/barat.
Berkaitan dengan kejadian erupsi Merapi pada 5 November
2010, citra Aster GDEM memperlihatkan kondisi setelah erupsi
pada tanggal 15 November 2010, dimana wilayah yang dialiri
oleh material erupsi mempunyai pola yang sama dengan hasil
simulasi aliran erupsi Merapi. Bekas material erupsi tampak
pada citra Aster GDEM yang mengalir dari puncak Merapi
menuju arah selatan ke wilayah Kecamatan Cangkringan, serta
ke arah barat/barat daya yaitu di sekitar wilayah Kecamatan
Srumbung.
Selain mengunakan metode probabilistik Monte
Carlo, analisis peluang aliran erupsi juga dapat dilakukan
melalui analisis geomorfologi. Sebagai contoh kasus Gunung
api Gamalama yang meletus pada tanggal 16 September
2012 dianalisis menggunakan citra Landsat tahun 2010
dimana secara geomorfologi dapat diketahui bahwa sifat
erupsi Gunung api Gamalama berupa semburan piroklastik
(terutama abu vulkanik) yang sebagian besar mengendap
pada bagian puncak. Selain itu, terlihat sebaran lahar dingin
yang berasal dari endapan piroklastik pada bagian puncak
yang hanyut terbawa air hujan hingga mencapai daerah
sekitar Bandara Udara Sultan Baabullah (Gambar 4b). Hasil
simulasi aliran erupsi mengunakan metode probabilistik
Monte Carlo menunjukkan pola yang mirip dengan hasil
analisis geomorfologi, dimana potensi tinggi terjadinya aliran
material erupsi mengarah ke timur laut menuju ke daerah
50 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Gambar 10. Sebaran hotspot dan kabut asap tanggal 4 September 2012 di wilayah Sumatera (Sumber: Website SIMBA-Lapan)
Gambar 11. Lokasi kebakaran berdasarkan sebaran hotspot dan asap pada tanggal 3 September 2012
di wilayah Kalimantan Tengah (a) dan Kalimantan Selatan (b)
(a) (b)
35INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Peluang aliran erupsi Gunung Lokon, Citra Gunung Lokon (Sumber: Google Earth)
Peluang aliran erupsi Gunung Soputan, Citra Gunung Soputan (Sumber: Google Earth)
Peluang aliran erupsi Gunung Merapi, Citra Gunung Merapi (Sumber: Aster GDEM 15 Nov 2010)
Gambar 3. Hasil simulasi aliran erupsi (Gunung Lokon, Soputan, dan Merapi) berdasarkan algoritma Monte Carlo dari data DEM-SRTM, beserta tampilan citra resolusi tingginya untuk menunjukkan bekas aliran erupsi.
49INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
naik ke atas ke arah barat laut, tersebar di beberapa tempat
di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Sebagian besar kebakaran hutan/lahan terjadi di Sumatera
Selatan. Banyaknya kejadian kebakaran di wilayah Sumatera
ini menyebabkan terganggunya pelaksanaan Pekan
Olahraga Nasional (PON) tahun 2012 yang diselengarakan di
Provinsi Riau seperti yang diberitakan oleh Kompas tanggal
5 September 2012) (Gambar 10).
Jumlah hotspot maksimum di Kalimantan terjadi pada
bulan September 2012 kecuali di Kalimantan Barat yang
terjadi pada bulan Juni 2012. Gambar 11 menunjukkan lokasi
kebakaran hutan/lahan di beberapa tempat di Kalimantan
Tengah (a) dan Kalimantan Selatan (b) (tanda panah)
berdasarkan hasil pantauan distribusi hotspot dari Indofi re
dan Citra Terra MODIS pada tanggal 3 September 2012. Lokasi
kebakaran diindikasikan berdasarkan adanya titik hotspot dan
sebaran asap (awan putih tipis memanjang). Namun tidak
semua hotspot mengindikasikan kebakaran seperti tampak
pada titik hotspot pada lingkaran merah.
Kebakaran yang terjadi pada tanggal 3 September
2012 merupakan rangkaian dari kebakaran yang terjadi
sebelumnya. Dari hasil pemantauan hotspot di kedua
wilayah ini terjadi penambahan jumlah hotspot mulai
tanggal 1 September 2012 hingga 3 September 2012
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12 (a – c) dan 12 (d
– f ). Tanda panah merah menunjukkan hotspot kebakaran
yang diikuti asap di wilayah Kalimantan Tengah (Gambar
12a – 12c) dan Kalimantan Selatan (Gambar 12d – 12f )
yang terpantau mulai tanggal 1 – 3 September 2012. Dari
Gambar 12 ini terlihat jelas kebakaran terjadi sejak tanggal 1
September dan belum padam hingga tanggal 3 September
2012. Kondisi ini disebabkan kebakaran terjadi di lahan
gambut, sehingga tidak mudah dipadamkan walau dengan
turunnya hujan sekalipun.
Berdasarkan hasil pemantauan hotspot di wilayah
Kalimantan pada tanggal 4 September 2012 terdeteksi
sebanyak 391 titik yang dominasi di Provinsi Kalimantan
Barat (328 titik), Kalimantan Tengah (31 titik), dan Kalimantan
Selatan (26 titik). Dari hasil pemantauan citra Terra/Aqua
MODIS tanggal 4 September 2012, wilayah Kalimantan
diselimuti oleh awan tebal sehingga kabut asap tidak bisa
dilihat dengan jelas (Gambar 13 pada insert B dan C), namun
(a) Hotspot MODIS tanggal 1 September 2012
(d) Hotspot MODIS tanggal 1 September 2012
(b) Hotspot MODIS tanggal 2 September 2012
(e) Hotspot MODIS tanggal 2 September 2012
(c) Hotspot MODIS tanggal 3 September 2012
(f)Hotspot MODIS tanggal 3 September 2012
Gambar 12. Perkembangan kebakaran hutan/lahan di Kalimantan Tengah (a – c) dan Kalimantan Selatan (d – f)
dari hasil pemantauan hotspot dan citra MODIS tanggal 1-3 September 2012
36 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
penginderaan jauh adalah data Digital Elevation Model
dari Shuttle Radar Thematic Mapper (DEM-SRTM). SRTM
diterbangkan dengan pesawat ulang alik angkasa Endeavour
pada periode 11 – 22 Februari 2000. Program ini dilakukan
atas kerjasama National Aeronautics and Space Administration
(NASA) dan National Geospatial Intelegence Agency (NGA)
dalam mengakuisisi data radar untuk dibangun menjadi peta
topografi . Penggunaan data SRTM ditujukan untuk kajian
ilmiah dengan perangkat lunak Sistem Informasi Geografi s
(SIG) atau yang lainnya. Endeavour telah mengorbit bumi
sebanyak 16 kali setiap hari selama misi 11-hari menyelesaikan
176 orbit. SRTM berhasil mengumpulkan data radar lebih dari
80% dari permukaan daratan Bumi antara 60° lintang utara
dan 56° lintang selatan dengan pengambilan titik data setiap 1
arc-detik (sekitar 30 meter). Sistem radar yang digunakan SRTM
dibangun dan diterbangkan dengan 2 misi Endeavour pada
tahun 1994. Radar-C (SIR-C) dan X-band Synthetic Aperture
Radar (X-SAR) digunakan pada bulan April dan Oktober 1994
untuk merekam data permukaan bumi. Teknologi SRTM yang
digunakan adalah radar interferometry, dimana dilakukan
perbandingan antara dua buah hasil pencitraan radar pada
sudut perekaman yang berbeda. Teknik ini menggunakan
single-pass interferometry yang mengakuisisi dua sinyal pada
saat yang sama dengan menggunakan dua antena radar yang
berbeda. Perbedaan antara dua sinyal tersebut digunakan
untuk perhitungan elevasi permukaan.
Data SRTM diproses dari sinyal radar pada interval
setiap 1-arc-detik (sekitar 30 meter) di Jet Propulsion Laboratory
(JPL) untuk dilakukan editing dan difi nalisasikan menjadi data
elevasi permukaan bumi. Selain wilayah Amerika Serikat,
data SRTM dibuat dalam resolusi spasial 3-arc-detik (sekitar
90 meter) dengan menggunakan teknik interpolasi cubic
convolution pada wilayah antara 60° lintang utara dan 56°
lintang selatan. Data SRTM ini secara mudah dan gratis dapat
diakses oleh publik melalui server di http://seamless.usgs.
gov/, atau http://edc.usgs.gov/products/elevation/srtmdted.
html. Meskipun tingkat akurasi SRTM masih belum cukup
tinggi, namun data SRTM sangat bermanfaat terutama pada
kondisi gawat darurat bencana dimana dibutuhkan pemetaan
cepat zona bahaya gunung api untuk meminimalkan dampak
kerugian akibat letusan gunung api.
Data Curah Hujan dari SatelitSementara itu untuk mengetahui potensi terjadinya
banjir lahar dingin diperlukan informasi kondisi curah hujan
secara cepat dan terkini. Secara spasial data satelit Tropical
Rainfall Measuring Mission (TRMM) mempunyai kemampuan
memberikan informasi curah hujan untuk setiap wilayah
tropik dengan resolusi spasial 27 km setiap 3 jam. Satelit
TRMM merupakan misi kerjasama antara NASA dan JAXA
(Japan Aerospace Exploration Agency) dalam memantau dan
mempelajari curah hujan di wilayah tropik. Produk data TRMM
dapat diakses dengan mudah secara gratis melalui website
Goddard Space Flight Center NASA (GSFC NASA) di http://trmm.
gsfc.nasa.gov serta website Earth Observation Research Center
JAXA (EORC) di http://www.eorc.jaxa.jp/TRMM/index_e.htm.
Berbagai penelitian, validasi, serta aplikasi data TRMM telah
banyak dilakukan.
Produk data TRMM setiap 3 jam adalah TRMM 3B42.
Data TRMM 3B42 ini merupakan hasil kombinasi data estimasi
Gambar 2. Contoh produk TRMM 3B42 pada tanggal 20-03-2012 jam 21.00 UTC (Sumber: GSFC NASA).
48 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
masih dapat dipantau adanya kejadian kebakaran dan
sebaran asap pada hari sebelumnya (insert A Gambar 13).
Gambar 13 (insert B) menunjukkan lokasi hotspot tanggal
3 September 2012 (lingkaran biru) dan 4 September 2012
(lingkaran merah). Asap tipis masih terlihat menyelimuti
Kota Palangkaraya dan sekitarnya. Pada Gambar 13 (insert
C) menunjukkan adanya kebakaran yang sebaran asapnya
menyelimuti beberapa Kota/Kabupaten di Kalimantan
Barat. Sebagian asap juga berasal dari kejadian kebakaran di
Kalimantan Tengah.
PenutupDari penjelasan di atas dapat diperoleh gambaran
bahwa hasil pemantauan hotspot dan kombinasinya dengan
citra Terra/Aqua MODIS dapat digunakan untuk mendeteksi
lokasi kebakaran secara lebih jelas. Selain itu, juga dapat
diperoleh gambaran bahwa tidak semua hotspot merupakan
lokasi kejadian kebakaran apabila tidak ditemukan indikasi
adanya sebaran asap. Keberadaan asap kebakaran akan sulit
terdeteksi apabila kondisi penutupan awan sangat tebal,
namun masih memungkinkan untuk dideteksi jika lokasi
hotspot sebelumnya berada pada lokasi yang sama.
Gambar 13. Sebaran hotspot dan kabut asap tanggal 4 September 2012
di Kalimantan (Sumber: Website SIMBA-Lapan)
37INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Model Simulasi Aliran ErupsiData penginderaan jauh dapat digunakan untuk
menentukan daerah bahaya letusan gunung api secara
obyektif. Salah satu metode pendekatan untuk zonasi bahaya
gunung api berdasarkan data penginderaan jauh adalah
metode probabilistik yang dikembangkan oleh Felpeto et
al (2007) melalui framework Sistem Informasi Geografi s (SIG)
yang dinamakan Volcano Risk Information System (VORIS).
Melalui VORIS dapat dilakukan skenario pemetaan zona
bahaya gunung api berdasarkan model probabilistic simulasi
numerik aliran lava, Pyroclastic Density Current (PDC), dan
sebaran debu volkanik. Pada artikel ini akan disajikan analisis
potensi aliran erupsi gunung api di Indonesia berdasarkan
metode probabilistic menggunakan VORIS.
Pada prinsipnya model probabilistik aliran material
erupsi mengasumsikan topografi sebagai faktor utama
yang menentukan jalannya aliran (Felpeto et al 2001). Model
probabilistik yang digunakan adalah algoritma Monte Carlo
dimana aliran hanya dapat menyebar dari sel satu ke sel lain
pada 8 sel tetangga, jika selisih tinggi topografi nya positif.
Peluang untuk aliran berpindah dari satu sel ke sel tetangga
yang lain sebanding dengan selisih topografi tersebut. Selain
itu pada algoritma Monte Carlo, jalannya aliran erupsi dapat
disimulasikan dengan menambahkan nilai ketinggian material
erupsi ke tinggi topografi di lokasi sel aliran pertama. Pada kasus
topografi yang sel pertama memiliki ketinggian lebih rendah
dibandingkan sel sekitarnya, maka peluang aliran menyebar
dari sel pertama ke sel lainnya menjadi nol, yang berarti aliran
tidak dapat menyebar ke sel yang lebih tinggi topografi nya.
Kasus lainnya adalah peluang ke-8 sel tetangga dapat
bernilai nol. Hal ini berarti aliran telah mencapai tempat
terendah dan berhenti mengalir ke sel lain. Pada kondisi
nyata, material erupsi yang berada pada topografi terendah
masih mungkin bertambah banyaknya sehingga material
erupsi akan terus mengalir. Untuk mengatasi kondisi material
erupsi yang berhenti mengalir, analisis akan diperluas menjadi
16 sel yang mengelilingi 8 sel pertama. Jika sel-sel tersebut
bisa dialiri maka akan terjadi aliran, jika tidak akan berhenti
mengalir. Suatu aliran dapat menyebar sampai mencapai
batas perhitungan area. Untuk mengatasinya, maka pada
algoritma Monte Carlo ditambahkan parameter maksimum
panjang aliran untuk menghentikan aliran ketika mencapai
panjang maksimal.
Hasil pemetaan bahaya aliran erupsi juga dapat
digunakan sebagai bahaya aliran lahar dingin, karena pada
prinsipnya lahar dingin dihasilkan dari interaksi antara
penumpukan material letusan dengan curah hujan yang jatuh.
Lahar dingin merupakan aliran sedimen pekat yang terdiri atas
batu, kerikil, pasir serta abu vulkanik yang tercampur air. Ilustrasi
proses terjadinya aliran lahar dingin dapat dilihat pada Gambar
2. Pada Gambar 2 yang dimaksud dengan daerah produksi
sedimen adalah daerah yang terletak pada lereng bagian hulu
dengan kemiringan curam. Selanjutnya daerah transportasi
sedimen adalah daerah yang memiliki kemiringan lebih rendah
yang umumnya merupakan daerah perkampungan dan
pertanian. Saat hujan lebat, karena faktor kemiringan lereng,
massa sedimen akan terangkut oleh aliran air dari daerah
produksi ke daerah transportasi dan akan diendapkan di daerah
sedimentasi. Ketika sampai di hilir, karena lereng melandai
(kemiringan kurang dari 3 %) menyebabkan kecepatan aliran
menurun sehingga akan terjadi proses sedimentasi. Endapan
material vulkanik yang mengendap tersebut banyak dijumpai
pada tebing-tebing sungai.
Data Topografi dari Shuttle Radar Thematic Mapper (SRTM)
Berdasarkan uraian di atas, maka pemetaan bahaya
aliran material erupsi gunung api dengan mengaplikasikan
metode probabilistik membutuhkan data elevasi wilayah.
Data satelit penginderaan jauh yang dapat merepresentasikan
kondisi topografi dan umum digunakan dalam aplikasi
Gambar 2. Ilustrasi proses terjadinya aliran lahar dingin
(Departemen Pekerjaan Umum, 2010)
47INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Pendahuluan
Mengawali Tahun 2012, Bengawan Solo kembali
mengalami banjir besar. Banjir di Bengawan Solo
merupakan permasalahan yang selalu terjadi setiap
tahunnya. Upaya penanggulangan dan pengendalian banjir
tidak akan pernah dapat menghilangkan banjir sama sekali,
tetapi upaya tersebut harus dilakukan untuk mengurangi
besaran banjir dan mengurangi dampak kerugian manusia
maupun kerusakan infrastruktur.
Banjir secara teknis merupakan luapan air sungai yang
mengalir melampaui kapasitas daya tampung sungai. Dengan
demikian, aliran sungai tersebut akan melewati tebing
sungai dan menggenangi daerah di sekitarnya. Berdasarkan
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa banjir adalah
bencana alam yang disebabkan oleh curah hujan tinggi dalam
kurun waktu yang relatif singkat yang sering menimbulkan
kerugian baik fi sik maupun material.
Selayang pandang Bengawan SoloSejak sekitar pertengahan 2000-an, hampir setiap
tahun daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo mengalami
banjir. Banjir yang terjadi dipenghujung 2007 dan awal 2008
dinilai yang terbesar setelah banjir 1966.
Sungai Bengawan Solo, merupakan sungai terbesar
di Pulau Jawa dengan panjang sungai sekitar 600 km yang
mengalir di dua provinsi yaitu Provinsi Jawa Tengah dan
Jawa Timur dengan luas sekitar 1.700.000 hektar (Ha). Secara
geografi s DAS Bengawan Solo terletak pada 110°26’10’’-
112°40’ Bujur Timur (BT) dan 6°50’50’’- 8°18’40’’ Lintang Selatan
(LS). Dengan topografi beragam dari pegunungan di sisi
selatan (Gunung Merapi (± 2.914 m), Gunung Merbabu (±
3.142 m) dan Gunung Lawu (± 3.265 m)) hingga dataran
rendah di bagian baratnya. .
Secara administratif Bengawan Solo mencakup 17
(tujuh belas) kabupaten dan 3 (tiga) kota, yaitu Kabupaten
Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen,
Blora, Rembang, Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi,
Bojonegoro, Tuban. Lamongan, Gresik dan Pacitan. Kota
Surakarta, Madiun dan Surabaya (Gambar 1).
Pada umumnya DAS Bengawan Solo bagian hulu
memiliki tutupan lahan berupa tanaman tinggi (hutan),
ladang, sawah, dan pemukiman. Sedangkan bagian tengah
dan hili DAS Bengawan Solo didominasi oleh pemukiman dan
sawah (Gambar 2).
Dinding sungai pada daerah hulu DAS rata-rata
bertebing curam dan tinggi. Karena banyak digunakan untuk
pertanian, daerah sekitar sungai pada bagian ini banyak
mengalami erosi dan sedimentasi yang cukup tinggi (http://
id.wikipedia.org). Oleh sebab itu kondisi ini berpeluang
menyebabkan tingginya tingkat limpasan permukaan yang
dapat terjadi.
Curah hujan yang tinggi pada musim penghujan
mengakibatkan DAS ini tidak mampu menampung aliran
langsung permukaan yang masuk pada sistem sungai,
sehingga terjadi luapan yang menggenangi wilayah-wilayah
yang dilalui oleh sungai utamanya. Curah hujan yang tinggi
bukan hanya menyebabkan banjir di sejumlah wilayah
hulu, seperti Solo atau Sragen, tetapi juga mengancam
Analisis Kejadian Banjir di DAS Bengawan Solo
Nur Febrianti dan Sayidah SulmaPeneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
Email: [email protected] atau [email protected]
38 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Bencana Gunung api
Bencana letusan gunung api di Indonesia menurut hasil
rekapitulasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) sejak tahun 1815 hingga tahun 2012 tercatat
telah terjadi sebanyak 111 kali. Berdasarkan tingkat kejadiannya
bencana letusan gunung api hanya menduduki peringkat 9
dari semua bencana alam yang terjadi di Indonesia. Namun
demikian dari sisi korban yang ditimbulkan, bencana letusan
gunung api di Indonesia merupakan jenis bencana ke-2
setelah gempa bumi dan tsunami yang telah mengakibatkan
banyak korban jiwa. Tercatat dari 111 kejadian letusan gunung
api sejak tahun 1815 hingga tahun 2012 telah menelan korban
sebanyak 78.598 jiwa (Gambar 1).
Beberapa tahun ini kasus meletusnya gunung api sering
terjadi di Indonesia. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) pada bulan Juli hingga September 2012 terdapat 5
gunung api yang berstatus siaga yaitu Gunung Ijen, Lokon,
Karangetang, Soputan, dan Gamalama. Makna status siaga
adalah menandakan gunung berapi yang sedang bergerak dan
dapat berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat
menimbulkan bencana, jika terus terjadi peningkatan kegiatan
seismic, maka letusan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu.
Tingkat bahaya gunung api di wilayah Indonesia
umumnya tinggi karena secara geografi s dan fi siografi
Indonesia terletak dalam rangkaian cincin gunung api (ring
of fi re) yang merupakan pertemuan 2 jalur pegunungan
yaitu Sirkum Pasifi k dan Sirkum Mediteranian. Jalur Sirkum
Mediteranian di Indonesia membentang dari Pulau Sumatra,
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku, sedangkan jalur Sirkum Pasifi k masuk ke Indonesia melalui Sulawesi kemudian
bercabang ke Pulau Halmahera dan berakhir di Papua. Bahaya
gunung api yang umum ditemui di Indonesia adalah berupa
bahaya primer (aliran lava, piroklastik, sebaran abu vulkanik)
dan bahaya sekunder (aliran lahar dingin). Resiko bencana
gunung api akan menjadi tinggi ketika bahaya gunung api
terletak pada wilayah yang memiliki jumlah penduduk yang
padat. Oleh karena itu, dipandang sangat penting untuk dapat
memetakan zona bahaya letusan gunung api.
Parwati, Fajar Yulianto, Suwarsono, Any Zubaidah, Totok Suprapto, WiwekaPeneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
Email : [email protected]
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis Potensi Aliran Erupsi Gunung Api dan
Banjir Lahar Dingin
Gambar 1. Data kejadian bencana dan korban meninggal periode 1815 – 2012 (Sumber: BNPB)
4151
1968 1925
1416
324 279 179 122 11113 9
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
180000
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
Korb
an (j
iwa)
Keja
dian
kejadian
korban
46 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
sejumlah wilayah hilir yaitu di Provinsi Jawa Timur, khususnya
Bojonegoro, Lamongan, Tuban, dan Gresik.
Dinamika atmosfer global yang mempengaruhi kondisi cuaca di Indonesia
Dinamika atmosfer yang mempengaruhi kondisi
cuaca di Indonesia sangatlah kompleks. Kondisi curah hujan
di Indonesia tidak hanya dipengaruhi monsun, tetapi juga
faktor lain seperti kombinasi interaksi antara fenomena ENSO
(El-Niño and Southern Oscillation), IOD (Indian Ocean Dipole),
dan fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation).
Monsun merujuk pada siklus tahunan yang
membedakan secara tegas keadaan atmosfer selama fase
kering dan fase basah. Kondisi ini karena adanya pergerakan
semu tahunan matahari antara Garis Balik Utara dan Garis Balik
Selatan. Di Indonesia, secara teoritis hujan monsun terjadi
pada bulan Oktober hingga April. Sementara di kawasan Asia
Timur terjadi bulan Mei sampai Agustus.
Kondisi curah hujan di Indonesia yang tidak lepas
dari pengaruh kondisi fenomena global tersebut. Maka
analisis curah hujan ekstrim yang menyebabkan banjir di
DAS Begawan Solo 2012 dapat menggunakan informasi sea
surface temperature anomaly (SSTA) di Samudera Pasifi k (Nino
3.4), di Samudera Hindia (IOD), serta kondisi MJO di kawasan
tropis selama Desember 2011 hingga Januari 2012.
El-Niño and Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD)
El Niño/La Niña merupakan fenomena anomali
suhu laut di Samudera Pasifi k Ekuatorial Tengah dan Timur,
sedangkan Indian Ocean Dipole (IOD) adalah beda temperatur
permukaan laut Pantai Timur Afrika dan Pantai Barat Sumatera
(Samudera Hindia). Kawasan di Samudera Pasifi k dibagi
menjadi beberapa daerah yang disebut dengan Nino, kondisi
cuaca dan perairan Indonesia dominan dipengaruhi oleh
Nino 3.4 (5oN – 5 oS, 170oW – 120oW).
Gambar 1. Peta DAS Bengawan Solo
Sumber: http://sda.pu.go.id:8181/sda/?act=peraturan_ws_detail&wid=19&gid=6
39INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
PenutupKondisi dinamika atmosfer global yang berperan
mempengaruhi kondisi cuaca di Indonesia yaitu El-Niño and
Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD), dan MJO
(Madden Julian Oscillation) pada akhir tahun 2011 cenderung
masih menghasilkan curah hujan, namun di awal tahun 2012
berada pada kondisi normal.
Kondisi normal tersebut juga yang menyebabkan
intensitas curah hujan tidak terlalu besar. Curah hujan dengan
intensitas tinggi hanya terjadi pada 09 – 16 Januari 2012
di kawasan DAS Bengawan Solo. Tingginya curah hujan
pada periode tersebut menyebabkan potensi banjir di DAS
Bengawan Solo semakin besar.
Selain curah hujan, potensi banjir terjadi karena bentukan
lahan dimana kondisi DAS Bengawan Solo secara umum
memiliki kelas datar hingga landai (kemiringan kurang dari 8%),
dan ketinggian yang tidak terlalu tinggi (kurang dari 150 mdpl).
Sedangkan kondisi gunung yang terjal dan sedikit tutupan
hutan di DAS Bengawan Solo menyebabkan curah hujan yang
terjadi di daerah ini lebih banyak menjadi limpasan langsung.
Gambar 9. Distribusi banjir di DAS Bengawan Solo pada setiap periode
45INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Beda suhu permukaan laut di Samudera Pasifi k
dikenal dengan SOI (Southern Oscillation index) sedangkan
di Samudera Hindia dikenal dengan DMI (Dipole Mode Index).
Pada saat SOI positif (El Nino) dan DMI (+) (> 0,5 oC) maka
sama-sama akan menyebabkan berkurangnya curah hujan
di wilayah perairan Indonesia. Sedangkan saat SOI negatif (La
Nina) dan DMI (–) (< – 0,5 oC) maka curah hujan di wilayah
Indonesia akan meningkat.
Hasil pengamatan terhadap kondisi Nino 3.4, IOD, dan
MJO hingga Januari 2012 terlihat bahwa selama Desember
2011, curah hujan bertambah di seluruh wilayah Benua
Maritim Indonesia, termasuk bagian Tenggara. Terjadi sedikit
penurunan intensitas La Nina karena terjadi peningkatan
SSTA dari -0.94 oC menjadi -0.84 oC (Gambar 3). Dipole Mode
(Gambar 4) di Samudera Hindia masih berada pada kondisi
normal (dari 0.45 oC menjadi 0.19 oC).
Madden-Julian Oscillation (MJO)Madden Julian Oscillation adalah suatu gelombang
atau osilasi sub musiman yang terjadi di lapisan troposfer
wilayah tropis, akibat dari sirkulasi sell skala besar di ekuatorial
yang bergerak dari barat ke timur yaitu dari Samudera Hindia
ke Pasifi k Tengah dengan rentang daerah propagasi 15°LU -
15°LS.
MJO secara alami terbentuk dari sistem interaksi laut
dan atmosfer, dengan periode osilasi kurang lebih 30-60
hari. Fenomena MJO terjadi di delapan fase yang berbeda
menurut wilayah kejadian. Wilayah Indonesia dipengaruhi
oleh pembentukan di fase-4 dan fase-5 meliputi wilayah
100oBT – 140oBT (benua maritim).
Gambar 5 memperlihatkan kondisi pada 4 Desember
2011, MJO berada dalam status aktif di Benua Maritim
Indonesia (garis hijau). Namun pada Januari 2012, MJO telah
Gambar 5: Diagram aktivitas MJO di kuadran 4 dan 5 periode Desember 2011 (garis hijau) hingga 12 Januari 2012 (garis biru) (Sumber:
http://www.bom.gov.au/climate/mjo/ )
Gambar 2. Kondisi tutupan lahan di DAS Bengawan Solo 4 Mei 2011
40 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Ponorogo, Ngawi, Magetan, dan Madiun. Sedangkan pada
periode ke-4 (25 Januari – 01 Februari 2012) hujan dengan
intensitas tinggi terjadi di bagian hili Bengawan Solo. Sehingga
daerah yang berpotensi besar terjadi banjir yaitu Bojonegoro,
Tuban, Blora, Kabupaten Ngawi, Magetan, dan Madiun.
Potensi banjir di periode ke-5 (2 – 9 Februari 2012)
terjadi di Bengawan solo bagian Hulu hingga tengah, namun
lebih luas daripada potensi banjir di periode ke-1 dan ke-
3. Banjir di Prov. Jawa Tengah yaitu meliputi Kota Surakarta,
Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar, Sragen. Serta di Prov. Jawa
Timur menggenangi Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo,
Bojonegoro, dan Lamongan. Sedangkan untuk periode ke-6
(10 – 17 Februari 2012) banjir terjadi di lokasi yang sama dengan
yang terjadi pada periode ke-5 kecuali daerah Bojonegoro dan
Lamongan tidak berpotensi banjir.
Potensi banjir di periode pertama (01 – 08 Januari 2012)
di Provinsi Jawa Tengah terjadi dari potensi ringan hingga
sedang di Kabupaten Sukoharjo, Klaten, Kodya Surakarta,
Karangayar, Kabupaten Wonogiri terutama disekitar Danau
Gajah Mungkur. Sedangkan di Provinsi Jawa Timur terjadi di
sebagian Kabupaten Ponorogo.
Sedangkan pada periode ke-2 (9 – 16 Januari 2012)
hampir seluruh dataran rendah dan relatif datar di DAS
Bengawan Solo berpotensi mengalami banjir (banjir ringan
hingga sangat berat), karena hujan dengan intensitas tinggi
hingga sangat tinggi merata di daerah ini. Daerah yang
memiliki potensi sangat tinggi yaitu di Kabupaten Ngawi,
Magetan, Madiun, Bojonegoro dan Kabupaten Lamongan.
Potensi ringan hingga sedang kembali terjadi pada
periode ke-3 (17 – 24 januari 2012) di Kabupaten Sukoharjo,
Klaten, Kodya Surakarta, Karangayar, Kabupaten Wonogiri,
Gambar 8. Dataran rawan banjir di DAS Bengawan Solo
44 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
memasuki kawasan Pasifi k Barat. Oleh karena itu curah hujan
di kawasan Indonesia mengalami peningkatan pada akhir
2011 dan kembali normal di awal tahun 2012.
Analisis curah hujan di DAS Begawan SoloKondisi curah hujan menggunakan data dari National
Centers for Environmental Prediction (NCEP) menunjukkan
bahwa pada tahun 2011 banyak terjadi hujan yang melebihi
kondisi normalnya (positif). Terutama sejak memasuki
pertengahan Oktober 2011 yang mencapai 14 kg/m2 atau
setara dengan 0.014 mm. Peningkatan curah hujan tersebut
memang tidak terlalu besar namun karena berlangsung
hingga akhir vtahun 2011 maka berpeluang mengisi kolom air
tanah. Kondisi tersebut dapat menjadi pemicu banjir di awal
tahun 2012 (Gambar 6).
Gambar 6 menunjukkan anomali precipitable water
pada Bulan Desember 2011 (Gambar 6a) hingga 1 Januari
2012 (Gambar 6b) curah hujan di kawasan DAS Bengawan
Solo masih lebih tinggi daripada kondisi normalnya. Namun
seterah itu terlihat bahwa curah hujan yang terjadi dibawah
kondisi normalnya. Tetapi pada kenyataannya dengan hujan
yang tidak telalu besar, daerah di sepanjang sungai Bengawan
Solo masih mengalami banjir.
Distribusi curah hujan dari hasil pengolahan data
TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) untuk kawasan
DAS Bengawan Solo pada 1 Januari hingga 17 Februari 2012
ditunjukkan pada Gambar 7. Bila dilihat pada periode pertama
(1 – 8 Januari 2012) curah hujan secara umum masih di kelas
menengah yaitu berkisar antara 25 – 75 mm. Begitu juga di
Gambar 3: Indek sst Nino 3.4 periode Juli 2007 hingga Januari 2012 (sumber: http://reg.bom.gov.au/climate/enso/)
Gambar 4: Indek iod periode Januari 2009 hingga April 2013 (sumber: http://www.bom.gov.au/climate/enso/indices.shtml)
Gambar 5: Diagram aktivitas MJO di kuadran 4 dan 5 periode Desember 2011 (garis hijau) hingga 12 Januari 2012 (garis biru) (Sumber:
http://www.bom.gov.au/climate/mjo/ )
41INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Gambar 8. Dataran rawan banjir di DAS Bengawan Solo
Gambar 7. Distribusi curah hujan di DAS Bengawan Solo pada setiap periode
43INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Gambar 6: Anomaly Presitable Water pada (a) sepanjang tahun 2011 dan (b) Januari 2012 yang terjadi di kawasan DAS Bengawan Solo (Sumber: http://www.esrl.noaa.gov/psd)
periode ke-4 (25 Januari – 1 Februari 2012) dan ke-5 (2 – 9
Februari 2012). Kondisi curah hujan sangat tinggi terjadi di
periode ke-2 (9 – 16 Januari 2012) yaitu lebih dari 100 mm/8-
hari (sekitar 12.5 mm/hari).
Bila dilihat dari pola distribusinya, pada umumnya
curah hujan banyak terjadi di bagian hulu DAS Bengawan
Solo yaitu di periode ke-1 hingga ke-3, dan periode ke-6.
Sedangkan di bagian hilir sungai mengalami curah hujan
tinggi hanya pada periode ke-2 dan ke-4. Pola distribusi curah
hujan perlu diperhatikan untuk melihat apakah banjir yang
terjadi merupakan banjir kiriman dari hulu atau bukan.
Dataran rawan banjir di DAS Bengawan SoloDataran banjir dari kondisi kemiringan dan ketinggian
yang diturunkan dari data SRTM (Gambar 8). Dari Gambar
8 terlihat bahwa mayoritas dataran di DAS Bengawan Solo
secara umum memang merupakan daerah datar hingga
landai dengan ketinggian kurang dari 150 meter diatas
permukaan laut (m dpl). Bagian hulu DAS Bengawan Solo
sebagian besar merupakan dataran rawan banjir sangat
tinggi (warna merah) karena memiliki relif datar (< 3%) dan
kurang dari 50 m dpl.
Pemantauan kejadian banjir DAS Begawan SoloPengolahan banjir menggunakan data curah hujan
dari TRMM, kondisi indek kehijauan dari MODIS, serta kondisi
ketinggian dan kemiringan dari SRTM. Asumsi terjadinya banjir
yang digunakan yaitu bila curah hujan terjadi lebih dari 75
mm/8-hari, ketinggian daerah kurang dari 100 m dpl, dan
kemiringan kurang dari 8%.
Dengan demikian maka dari Gambar 7 dan Gambar 8
sementara dapat dikatakan dari 1 Januari hingga 17 Februari
2012 di DAS Bengawan Solo berpeluang mengalami banjir.
Namun tentu saja tidak semua daerah mengalami banjir
karena beberapa daerah merupakan dataran tinggi dan
kemiringannya terjal. Hasil overlay faktor-faktor tersebut, maka
daerah yang berpotensi mengalami banjir ditunjukkan pada
Gambar 9.
42 INDERAJA Volume IV No. 6, Edisi Juli 2013