independence of judiciari
DESCRIPTION
HukumTRANSCRIPT
INDEPENDECE OF JUDICIARY
(Studi Komparatif Sistem Peradilan Indonesia
dengan Sistem Peradilan Inggris)
A. Latar Belakang Masalah
Pemberantas korupsi di Indonesia oleh Komisi
Pemberantas Korupsi (KPK) tengah gencar-gencarnya
dilakukan. Hal ini merupakan semangat yang mengemuka
dari orde reformasi. Banyak Penyelenggara Negara yang
telah dijatuhi hukuman penjara. Selain itu, pada periode 2014
KPK berhasil menyelamatkan uang negara mencapai Rp 2,8
triliun. Angka ini jauh melampaui yang berhasil diselamatkan
oleh Kepolisian yang hanya Rp 67.7 milyar Rupiah dan
Kejaksa Agung sebesar Rp 792 miliar Rupiah1.
Usaha KPK dalam memberantas korupsi kini tengah
menghadapi tantangan, dimulai tanggal 13 Januari 2015
ketika KPK menetapkan Calon Kepala Kopolisian Komisaris
Jendral Budi Gunawan dalam kapasitas mantan ajudan
Megawati ketika menjadi presiden, selanjutnya sebagai
tersangka kasus korupsi. Akibat penetapan tersebut eskalasi
politik dirasakan meningkat, masyarakat menilai terjadi
serangan balik oleh Kepolisian terhadap KPK. Kepolisian
melalui kuasa hukumnya telah melaporkan pimpinan KPK ke 1 http://news.detik.com (data diakses Tanggal 9-Mei-2015).
1
Kejaksaan Agung, dengan sangkaan KPK telah menyalahi
prosedur dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai
tersangka, kemudian ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri
KPK disangka membocorkan rahasia negara berupa laporan
penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) terhadap rekening Budi Gunawan dan
keluarganya. Selanjutnya Badan Reserse Kriminal Mabes Polri
menangkap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto. Disangka
mengajukan saksi palsu dalam sengketa pilkada
Kotawaringin, Kalimantan Tengah, 2010 silam. Puncaknya
Markas besar Kepolisian RI mengajukan gugatan praperadilan
atas penetapan tersangka Komisaris Jendral Budi Gunawan
oleh KPK. Pengadilan Jakarta Pusat telah mengabulkannya
dengan memutuskan penetapan Budi Gunawan sebagi
tersangka adalah tidak sah. Sementara masyarakat menilai
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tetang
Kitab Hukum Acara Pidana, Pengadilan tidak berwenang
mengadili perkara tersebut.
Perkara lain yang mendapat perhatian masyarakat
adalah ketika Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan
Siti Hardiyanti Rukmana (Putri Mantan Presiden Suharto)
kepada PT. Berkah Raya, padahal telah disepakati
penyelesaiannya dalam Investment Agreement diselesaikan
2
melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dan tidak
melalui peradilan umum termasuk Mahkamah Agung2.
Secara ironi masyarakat menilai penegakan hukum
termasuk proses peradilan dirasakan tumpul ke atas tajam ke
bawah, yaitu ketika pengadilan menjatuhi hukuman selama
satu tahun penjara dan denda Rp 500 juta Rupiah subsider
satu hari kurungan dengan masa percobaan 1 (satu) tahun 3
(tiga) bulan kepada seorang nenek bernama Asyani, karena
dianggap bersalah memiliki dan menguasai dua potong
pohon kayu jati hasil hutan tanpa izin. Padahal nenek
tersebut bersikukuh kayu tersebut adalah miliknya3.
Perkara lain adanya dugaan tindak pidana korupsi
yang merusak citra lembaga peradilan, ketika Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar ditangkap KPK di
rumah dinasnya, di Kompleks Widya Chandra, Rabu malam
tanggal 2 Oktober 2013. Dugaan awal, ketua MK ini terkait
kasus sengketa Pilkada di salah satu kabupaten di
Kalimantan. Bersama Akil ditangkap juga seorang anggota
DPR dari Fraksi Golkar dan seorang panitera yang bertugas
sebagai perantara penyerahan uang dalam Dollar AS, yang
menurut KPK jika dalam Rupiah bernilai sekitar Rp 3 (tiga)
miliar Rupiah4.
2 http://elshinta.com/news (data diakses Tanggal 9-Mei-2015)3 http://www.tempo.co/read/news (data diakses Tanggal 9-Mei-2015)4 http://hukum.kompasiana.com/2013/10/03/ (data diakses tanggal 9 Mei 2015)
3
Perkara tersebut memberikan citra yang sangat buruk
bagi Mahkamah Konstitusi, padahal pada saat itu Mahkamah
Konstitusi menjadi lembaga yang menjadi penyegar bagi
masyarakat karena dianggap sebagai lembaga yang terbaik
di Indonesia disamping KPK.
Tidak berlebihan bilamana dari contoh kasus-kasus
diatas, merupakan gambaran perjalanan peradilan di negeri
ini dalam mewujudkan keadilan, kepastian hukum, bahkan
kemanfaatan sebagai cita-cita hukum (idee das recht)
tampaknya masih menghadapi berbagai kendala. Masih
terkatung-katungnya berbagai persoalan hukum, mulai dari
persoalan yang masih hangat hingga yang sudah bertahun-
tahun tanpa ada kejelasan, agaknya memberi sinyalemen
masih menggantungnya supremasi penegakan hukum
Peradilan yang mandiri (independence of yudiciary) yang
berfungsi untuk menegakkan keadilan, kemanfatan dan
kepastian hukum, sekaligus merupakan salah satu pilar
negara hukum (rechtstaat). Disamping adanya Pemerintah
yang didasarkan kepada konstitusi, asas legalitas, pemisahan
kekuasaan (saparation of power) dalam fungsi Pemerintahan,
jaminan perlindungan hak dan kebebasan asasi manusia
(protection of human right).
Prinsip peradilan yang mandiri, secara normatif dianut
dalam hukum positif sebagaimana tertuang dalam Pasal 24
4
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan secara
tegas bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
merdeka. Demikian pula dalam ketententuan Pasal 1 Undang-
undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Kebebasan hakim diartikan sebagai kemandirian atau
kemerdekaan, dalam arti adanya kebebasan penuh dan tidak
adanya intervensi dalam kekuasaan kehakiman, hal ini
mencakup tiga hal, yaitu: (1) Bebas dari campur tangan
kekuasaan apapun; (2) Bersih dan berintegritas; dan (3)
Profesional.
Pada hakekatnya kebebasan ini merupakan sifat
pembawaan dari pada setiap peradilan. Dalam pergaulan
masyarakat international, terdapat beberapa instrument yang
menyebutkan tentang pentingnya independensi kekuasaan
kehakiman, antara lain dalam (Universal Declaration of
Human Rights, article 10, Everyone is entitled infull equality
to afair and public hearing by an independent and partial
tribunal, in the determination of right and obligations and of
arty ctiminal charge againts him). ("Setiap orang, dalam
persamaan yarg penuh, berhak atas peradilan yang adil dan
terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak,
dalam rnenetapkan hak dan kewajiban kewajibannya, serta
dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya”).
5
Secara empiris, kekuasaan kehakiman pernah
mengalami reduksi kebebasan, hal ini disebabkan dengan
adanya ketentuan Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 dinyatakan: "Mahkamah Agung melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain,
menurut ketentuan yang ditetapkankan dengan Undang-
undang". Kemudian dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dinyatakan: "Badan
badan yang melakukan peradilan tersebut Pasal 10 ayat (1)
organisatoris, administrative dan finansial ada dibawah
kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan".
Dengan adanya ketentuan tersebut jelas telah terjadi
dualisme pembinaan terhadap diri hakim. Terlebih lagi
membuka peluang campur tangan eksekutif dalam lembaga
peradilan. Kekuasaan tersebut (terutama dalam hal mutasi,
promosi dan penjatuhan sanksi) membuka peluang intervensi
dari eksekutif terhadap pelaksanaan fungsi hakim dalam
memutus perkara, khususnya bila salah satu pihak dalam
perkara tersebut adalah eksekutif atau pihak yang dekat
dengan eksekutif.
Padahal fungsi kekuasaan kehakiman juga melakukan
kontrol terhadap kekuasan negara guna mencegah
penyalahgunaan kewenangan, mencegah terjadinya proses
6
instrumentasi yang menempatkan hukum menjadi bagian
kekuasaan.
Sebelumnya lebih ekstrim, dapat diketengahkan
bagaimana eksekutif dapat mencampuri lembaga peradilan,
seperti terlihat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman yang
menyatakan: "Demi kepentingan revolusi, kehormatan
Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang
sangat mendesak Presiden dapat turut atau campur tangan
dalam soal-soal pengadilan”. Dengan mendasarkan pada
Kenyataan empiris tersebut, dalam kehidupan bernegara
selama lebih dari setengah abad amanya kedudukan
lembaga peradilan selalu dalam kondisi subordinasi dari
kekuasaan eksekutif. Untuk menjamin dilaksanakan prinsip
kebebasan hakim setidaknya dari pengaruh eksekutif
dilakukan usaha antara lain dengan cara mewujudkan
pembinananya kedalam satu atap.
Menempatkan peradilan yang mandiri, ternyata juga
merupakan keinginan dan kepedulian masyarakat
international setidak-tidak diwilayah Asia Pasific,
sebagaimana ternyata dari Beijing Statement tanggal 19
Agustus 1995 tentang prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman
yang mandiri, yang telah ditanda tangani oleh 24 (dua puluh
empat) Ketua Mahkamah Agung wilayah Asia Pasific yang
7
hadir (termasuk Ketua Mahkamah Agung Indonesia) dan
dikukuhkan dalam Konferensi Law Asia ke XV tahun 1977 di
Manila, dalam bagian tentang Judicial Administration telah
disepakati bahwa tanggung jawab utama dari Administrasi
Pengadilan, termasuk pengangkatan, pengawasan dan
penjatuhan disiplin dari Pejabat Administrasi dan petugas
pengadilan lainnnya harus diberikan kepada Judiciary, atau
oleh suatu badan dimana Judiciary mempunyai peranan
penting (has effective role)5.
Secara yuridis formal dengan adanya Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu: Pengalihan organisasi,
administrasi dan financial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 huruf A ayat (1) dilaksanakan secara bertahap,
paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini mulai
berlaku. Hal ini jelas merupakan usaha untuk mewujudkan
hakim yang bebas secara konsekuen artinya bebas dari
campur tangan lembaga manapun termasuk dari eksekutif
atau Pemerintah. Prinsip kebebasan yang dianut oleh badan
peradilan, bukan berarti tidak terbatas, terbukti berbagai
peraturan telah membatasi kebebasan tersebut, misalnya:
5 http://www.hurights.or.jp/archives/other_documents/section1/1995/08/beijing-statement-of-principles-of-the-independence-of-the-judiciary-in-the-lawasia-region (data diakses tanggal 19-Mei-2005)
8
1) Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
yang menyatakan: "Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara
hukum Republik Indonesia.
2) Manusia dalam bidang peradilan, sekaligus prinsip
neffalitas badan peradilan", sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 19 ayat (l) jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 yang menyatakan: "Pemeriksaan
pengadilan adalah terbuka untuk umum, dan semua
putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum";
3) Prinsip "peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa", sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004;
4) Prinsip ekulialitas, yaitu "non diskriminasi dan legalitas",
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (l) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang menyatakan :
"Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan orang". Mengadili menurut hukum
merupakan salah satu asas yang mewujudkan negara
9
berdasarkan hukum. Setiap putusan hakim harus
mempunyai dasar hukum (substantif dan procedural) yang
telah ada sebelum perbuatan melawan dan pelanggaran
hukum terjadi.
5) Prinsip "korektif terhadap pengadilan bawahan",
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 jo Pasal 22
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, yang menyatakan:
"Semua putusan pengadilan tingkat pertama, dapat
dimintakan banding, dan atas putusan tingkat banding
dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung".
6) Prinsip "putusan harus disertai alasan-alasan",
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004;
Dari peraturan tersebut dapat disimpulkan, bahwa
kebebasan hakim ternyata dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan, yang membuka ruang baik
pengawasan maupun tanggung jawab. Selain itu, Hakim tidak
boleh mengadili melulu menurut perasaan keadilan diri
pribadinya, melainkan ia terikat kepada nilai-nitai yang
berlaku secara obyektif di dalam masyarakat. Hakim terikat
kepada sistem hukum yang telah terbentuk dan yang
berkembang di dalam masyarakat. Artinya hakim yang
memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pemeriksaan
persidangan, namun tetap harus menghormati peraturan
10
perundang-undangan yang berlaku, hal ini merupakan
konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 Amandemen Ke-IV, dinyatakan: Negara Indonesia
adalah Negara hukum.
Sekalipun telah ada pembatas dari kebebasan hakim,
namun secara umum konkritisasi kinerja peradilan kini
menimbulkan persoalan yang cukup serius, karena
menghadapi fenomena yang terkesan bertentangan dengan
prinsip Negara hukum (rechtstaat), yaitu tumbuh dan
berkembangnya. perbuatan main hakim sendiri
(eigenrichting), seperti misalnya maraknya “peradilan rakyat"
yang cenderung bersifat anarkis (pencuri atau penjambret
maupun begal dibakar hidup-hidup). Fenomena ini
dikhawatirkan merupakan implikasi kekecewaan, bahkan
mungkin ketidakpercayaan terhadap kinerja lembaga
peradilan. Demikian pula, terjadi kehebohan yang melanda
kehidupan hukum di Indonesia tercermin dari makin
dilecehkannya lembaga peradilan. Bukan hanya antar sub
sistem dalam peradilan pidana tapi juga oleh masyarakat
akademisi. Lahirnya istilah seperti "mafia Peradilan dan
Peradilan Sablon" menunjukan keseriusan pelecehan ini.
Hal serius lainnya, adalah adanya indikasi tindakan
koruptif dalam lembaga peradilan sebagaimana diungkapkan
seorang peneliti peradilan Indonesia asal Belanda, Sabastian
11
Pompe yang menyimpulkan bahwa korupsi di peradilan tidak
terbatas pada ; (l) individual eurruption (needs & greed);
tetapi telah dapat dikatagorikan lembaga (2) structural
corruption (melibatkan keseluruhan komponen peradilan),
dan merupakan praktek yang telah berlangsung sekian lama;
(3) institutional curruption (terdapat sikap menghambat dan
adanya gejala kehilangan motivasi untuk memerangi korupsi
secara total, serta 'menerima" praktek pola-pola korupsi; (4)
political corruption (tidak memberikan reaksi atau tanggapan
tegas terhadap praktek korupsi yang telah meluas dan
mengakar, serta tidak mengutuk praktek korupsi yang telah
diketahuinya. Kedua sikap pembiaran tersebut dianggap
melindungi dan mendukung praktek korupsi serta
menghambat upaya-upaya pembaharuan. Keberadaan
seluruh bentuk-bentuk korupsi inilah kemudian peradilan
Indonesia menyandang predikat hypercorruption. Begitu
tingginya tingkat korupsi di peradilan Indonesia sehingga
dalam laporan mengenai Bureaucratic and Judiciary Bribery
oleh Daniel Kaufmann tahun 1998, terlihat penyuapan di
peradilan Indonesia adalah paling tlnggi diantara negara-
negara Ukraina, Venezuale, Rusia, Kolombia, Mesir, Yordania,
Turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan, Singapura dan lain-
12
lain. Parahnya keadaan ini sudah dianggap 'wajar" dan
menjadi praktek yang biasa di Indonesia6.
Tanggapan senada terhadap kinerja dunia peradilan
Indonesia, dari masyarakat internasional yang dalam hal ini
dapat dianggap memiliki kredibilitas untuk mewakilinya, yaitu
Sekretaris Jendral (sekjen) PBB Kofi Annan di kantor Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tanggal 16
Februari 2000, tentang berbagai putusan pengadilan
Indonesia, ia secara spesifik menekankan bahwa ia dapat
menerima apapun keputusannya, yaitu putusan bebas
(acquital verdict) atau bersalah (guilty verdict), apabila ini
dilakukan oleh suatu reliable judiciary atau badan peradilan
andal. Annan secara khusus menggunakan kata reliable
judiciary yang tampaknya sederhana, tetapi sebenarnya
mengandung persyaratan berat bagi Indonesia untuk
mengadili pelaku pelanggar peraturan tata perekonomian
bangsa (disamping tentunya untuk mengadili pelanggaran
HAM). Indonesia wajib merestrukturisasi bandan peradilan
sehingga realible7.
Indonesia wajib merestrukturisasi badan peradilan
sehingga mejiadi realibles. Semestinya disadari kepercayaan
dunia international melalui para investor jelas merupakan
6 Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independen Peradilan (LeIP), 1999, Menuju Inependensi Kekuasaan kehakiman, Indonesian Center Environvental Law (ICEL), Jakarta. hlm 4-5
7 Charles Hirmawan, 2003, Hukum Sebagai Panglima, Kompas, Jakarta. hlm 35.13
simulus terhadap proses pensejahteraan rakyat. Intensitas
investasi dunia usaha akan mendorong proses percepatan
pembangunan yang bermuara terciptanya lapangan keda
yang luas. Kondisi yang kondusif demikian harus ditunjang
dengan adanya kepastian hukum, dan persoalan timbul,
temyata bagi pencari keadilan (justiciabelen) timbul asumsi,
bilamana harus berurusan dengan peradilan, maka "identik"
dengan pengeluaraan biaya/uang yang tidak sedikit, bahkan
terkadang melebihi nilai obyek yang dipersengketakan (kalah
menang sama-sama merugi), tidak menghasilkan
penyelesaian sengketa yang menguntungkan para pihak
(win-win solution), sehingga bagi para investor jelas hal ini
merupakan biaya tinggi yang tidak dapat diprediksi
(unpredictable high cost).
Banyak negara berkembang enggan menerima
kenyataan pahit, bahwa modal yang banyak beredar didunia
sekarang ini, sebagian besar berada dalam kekuasaan
negara-negara maju, seperti Negara-negara Eropa Barat,
Kanada, Amerika Serikat dan Jepang. Dan, mereka tidak
menyadari atau lupa, bahwa negara-negara maju ini
menjunjung tinggi sekali keampuhan hukum. Mereka
menempatkan supremasi hukum dalam hubungan bisnis
yang mereka lakukan. Secara konstitusional, kedudukan
Indonesia adalah serupa dengan mereka. Indonesia juga
14
menganut konsep negara hukum, sebagaimana terncantum
dalam Undang-Undang Dasar (Konstitusinya) dan percaya
bahwa pertumbuhan ekonominya dapat diarahkan dan
dicapai dengan menggunakan keampuhan hukum. Artinya
kinerja badan peradilan nasional, menjadi perhatian pula bagi
para investor asing, karena bagaimanapun juga mereka
menginginkan adanya jaminan keamanan berinvestasi
terutama mengenai adanya kepastian hukum, bilamana
terpaksa harus berproses dipengadilan, sehingga karenanya
keinginan masyarakat international tersebut perlu pula
mendapat perhatian.
Terkesan bahwa lembaga peradilan ibarat menara
gading yang tidak tersentuh oleh siapapun, terlebih
parameter untuk mengukur profesionalitas melalui prinsip
akuntabilitas dan integritas moral para pemegang peran
didalamnya susah untuk dilakukan, terlebih timbul
kekhawatiran semua itu merupakan perwujudan dari
kebebasan hakim yang sulit untuk diterobos.
Dalam kondisi masyarakat yang tengah mengalami
perubahan (reformasi), sebenarnya peranan hakim melalui
keputusan-keputusannya memegang posisi kunci untuk
pembentuk hukum baru dalam menunjang rekonstruksi dan
reformasi di segala bidang, sehingga karenanya lembaga
peradilan menjadi harapan sebagai pembela kepentingan
15
orang banyak dan mereka yang tertindas' Lembaga peradilan
bisa menjadi sandaran pemulihan kepercayaan rakyat atas
supremasi hukum, rasa aman, ketertiban dan pemerataan.
Hakim juga yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari
keterpurukan ekonomi dan terkoyaknya sendi-sendi bangsa,
karena kasus-kasus Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dan
kejahatan terhadap kemanusian. Hakim pada akhirnya
menjadi lambang kearifan yang bisa mensederajatkan
kembali bangsa-kita di tengah pergaulan bangsa-bangsa.
Penelitian secara komparatif secara mendalam
terhadap sistem peradilan di Negara Anglo saxon khususnya
di Inggris tentang hakekat prinsip kebebasan hakim
(independence of yudiciary), melalui asas the binding force of
precedent (asas stare decisis) adalah tepat, mengingat
sistem peradilannya yang berbeda dengan sistem peradilan
di indonesia yang dipengaharui sistem Eropa Kontinental,
sebagai salah satu cara untuk menemukan prinsip
akuntabiltas sebagai parameter yang obyektif dalam menilai
peradilan yang mandari, dan diharapkan memberikan
kontribusi dalam membangun peradilan Indoneia
sebagaimana yang diharapkan.
B. Perumusan Masalah
16
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, yang menjadi
permasalahan adalah:
1) Bagaimana prinsip Independence of judiciary di jalankan di
peradilan di Inggris;
2) Bagaimana seharusnya prinsip Independence of judiciary
di jalankan di peradilan di Indonesia.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari Penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui dan memahami dengan menganalisis
mengenai prinsip Independence of judiciary di jalankan di
peradilan di Inggris.
2) Untuk anaisis bagaimana seharusnya prinsip Independence
of judiciary di jalankan di peradilan di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan berguna secara teoritis
maupun praktis. Maka mengenai kegunaan tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Kegunaan Teoritis
Penelitian secara teoritis diharapkan berguna untuk
memperluas pengetahuan mengenai:
a) Bagaimana prinsip Independence of judiciary di
jalankan di peradilan di Inggris;
17
b) Bagaimana seharusnya prinsip Independence of
judiciary di jalankan di peradilan di Indonesia
2) Kegunaan Praktis.
Manfaat secara praktis bertujuan untuk memberikan
kontribusi Pemerintah dalam rangka mewjudkan peradilan
yang bebas (independence of judiciary) yang mampu
memujudkan keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan.
E. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual
Sesuai dengan tuntutan abad 20, terutama sesudah
perang dunia II Internasional Commission of Jurists yang
merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional dalam
konferensinya di Bangkok pada tahun 1965 memperluas
konsep mengenai Rule of Law dan menekankan apa yang
dinamai “The Dynamic Aspeets of The Rule of Law In The
Modern Age”.
Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya
pemerintahan yang demokratis dibawah Rule of Law ialah:
1) Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi
selain menjamin hak-hak individu, harus menetukan pula
cara atau prosedur untuk memperoleh perlindungan atas
hak-hak yang dijamin;
2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3) Pemilihan umum yang bebas;18
4) Bebas untuk menyatakan pendapat
5) Kebebasan untuk berserikat dan beroposisi;
6) Pendidikan kewarganegaraan (civie education)8
Selain itu, dalam menegakan hukum, peradilan dituntut
harus mampu mewujudkan cita-cita hukum (idee das recht),
yaitu Kepastian hukum (Rechtssicheit), disamping unsur
kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan unsur keadilan
(Gerechtigkeit)9.
Dengan demikian dalam menemukan dan selanjutnya
menganalisis pelaksanaan prinsip kebebasan hakim
(independence of judiciary), maka teori yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah teori yang berkaitan dengan
prinsip negara hukum, prinsip kepastian hukum, kemanfaatan
dan keadilan.
1. Kerangka Teori
a. Teori Pengertian Negara Hukum
Cikal bakal ide tentang negara hukum pertama kali
dikemukan oleh Plato, ketika ia mengemukakan tetang
konsep Nomoi, dalam ketiga dengan judul Politicous
disamping tulisan pertama Politeia dan Politicous
tulisan keduanya. Dalam buku ketiganya tersebut
Plato mengemukakan, yang dimaksud Nomoi, bahwa 8 South East And Pacific Conference of Jurits, Bangkok, February15-19, 1965, The Dynamic
Aspeets of Rule of Law In The Modern Age (Bangkok, International Commission of Jurits, 1965, hlm 39-50.
9 Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 1
19
penyelenggaraan negara yang balk ialah yang
didasarkan pada pengaturan (hukum) yang balk.10
Selanjutnya murid Plato, Aristoteles menguatkan
ide Plato tersebut. Dalam bukunya berjudul Politics.
Menurut Aristoteles, suatu negara yang balk ialah
negara yang diperintah dengan konstitusi dan
kedaulatan hukum. Menurutnya ada tiga unsur
pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu:
1) Pemerintahan yang dilaksanakan oleh kepentingan
umum,
2) Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang
berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum,
bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang
yang menyampingkan konvensi dan konstitusi.
3) Pemerintahan yang berkonstitusi berarti
pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak
rakyat, bukan berupa paksaan tekanan yang
dilaksanakan secara despotik.11
Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-
322 S.M) adalah negara yang berdiri di atas hukum
yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.
Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai 10 Budiono Kusumahamidjojo, 2004, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban
Yang Adil, Grasindo, Jakarta. hlm 36-3711 Ridwan HR, 2010, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta. hlm. 2.
20
dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila
kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara
yang balk. Bagi Aristoteles12 Gagasan negara hukum
tersebut masih bersifat samar-samar dan tenggelam
dalam waktu yang panjang, kemudian kembali muncul
secara eksplisit pada abad ke-19, yaitu dengan
munculnya konsep rechtsstaat dari Freidrich Julius
Stahl, yang diilhami pemikiran Immanuel Kant. Menurut
Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechsstaat) adalah:13
1) Perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi
manusia
2) Negara yang didasarkan pada teori trias potitica ;
3) Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-
undang (wetmatig bestuur); dan
4) Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas
menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh
pemerintah (onrechmatige overheiddaad).
Lahirnya konsep negara hukum yang dikemukakan
oleh F.J. Stahl adalah konsep pemikiran negara hukum
Eropa Kontinental atau yang dipraktekkan di negara-
negara Eropa Kontinental (civil Law). Adapun konsep
12 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, Jakarta. hlm. 153.
13 Aristoteles, 2004, Politik Diterjemahkan dari Buku Polities, Oxford University, New York, 1995, Bentang Budaya, Yogyakarta. hlm: 161
21
pemikiran negara hukum yang berkembang di negara-
negara Anglo-Saxon yang dipelopori oleh A.V. Decey
(dari inggris) dengan prinsip rule of law. Konsep negara
hukum tersebut memenuhi 3 (tiga) unsur utama: 14
1) Supermasi aturan-aturan hukum (Supremacy of the
law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-
wenang (Absence of arbitrary power), dalam arti
bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau
melanggar hukum;
2) Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum
(Equality before the law), Dalil ini berlaku balk untuk
orang biasa maupun untuk pejabat ;
3) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang
(di Negara lain dengan Undang-Undang Dasar) serta
keputusan-keputusan pengadilan.
Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam
negara hukum tersebut di atas, baik Rechtsstaat
maupun Rule of Law, mempunyai persamaan dan
perbedaan. Persamaan pokok antara Rechtsstaat
dengan Rule of Law adalah, adanya keinginan untuk
memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.
Keinginan memberikan perlindungan dan
penghormatan terhadap hak asasi itu, telah diimpikan
14 Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta. hlm. 57-58.22
sejak berabad-abad lamanya dengan perjuangan dan
pengorbanan yang besar.
Dalam perkembangannya konsepsi negara hukum
tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang
secara umum dapat dilihat diantaranya: 15
1) Sistem pemerintahan yang didasarkan atas
kedaulatan rakyat;
2) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya harus berdasar atas hukum atau
peraturan perundang-undangan;
3) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
(warga negara);
4) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
5) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan
(Rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri,
dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar
tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh
eksekutif;
6) Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota
masyarakat atau warga negara untuk turut serta
mengawasi perbuatan dan pelaksanaan
kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;'
15 Ridwan HR, op cit., hlm. 423
7) Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin
pembagian yang merata sumber daya yang
diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Khusus untuk Indonesia, istilah Negara Hukum,
sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law.
Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada
sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang
rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai
akibat dari situasi sosial politik Eropa didominir oleh
absolutisme raja16. Paham rechtstaats dikembangkan
oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti
Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl.
Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah
Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan
bukunya Introduction to Study of The Law of The
Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada
sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system.
Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant
dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der
Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara
hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham
negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan
fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat
perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara 16 Padmo Wahjono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta, hlm. 30.
24
diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai
pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat.
Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan
nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats.17
Friedrich Julius Stahl (sarjana Jerman) dalam karyanya;
Staat and Rechtslehre II, 1878, memberikan pengertian
Negara Hukum sebagai berikut: Negara harus menjadi
Negara Hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga
daya pendorong bagi perkembangan pada zaman baru
ini.
Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara
tegas disebutkan dalam UUD 1945 (setelah
amandemen) bahwa, Pasal 1 ayat (3); "Indonesia ialah
hukum (rechtsstaat)". Indikasi bahwa Indonesia
menganut konsepsi welfare state terdapat pada
kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-
tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam
alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu;
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia,
2) Memajukan kesejahteraan umum,
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4) Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial.17 M. Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 73-74.
25
Instrumen awal fundamental dan fital dalam
mewujudkan tujuan tersebut melalui pembangunan
hukum. Kajian dari hasil penelitan tentang konsep
Negara hukum dan prinsip Negara hukum di beberapa
Negara, maka18 tampak unsur-unsur Negara hukum
Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu :
a) Pancasila dijadikan dasar hukum dan sumber hukum,
Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai yang hidup di
masyarakat juga memuat prinsip dalam agama
sehingga mempunyai kesamaan dengan nomokrasi
Islam.
b) Kedaulatan Negara ada pada rakyat dilaksanakannya
oleh lembaga Negara, yaitu sebagaimana disebut
dalam konstitusi yang bermakna adanya
permusyawaratan, hal ini mengingatkan kesamaan
dengan prinsip rule of law.
c) Adanya pembagian kekuasaan kepada lembaga-
lembaga tinggi Negara (distribution of powers)
d) Kekuasaan atau pemerintahan berdasarkan atas
sistem konstitusi,
e) Adanya independensi kekuasaan kehakiman,
18 Muin Fahmal, Opcit. hlm 14126
f) Adanya kerja sama antara Dewan Perwakilan Rakyat
dan Pemerintah dalam pembentukan hukum dan
perundang-undangan,
g) Adanya jaminan hak-hak asasi manusia dan
kebebasan yang bertanggung jawab.
Pendapat Soediman Kartohadiprodjo tentang
hukum dan negara dalam kerangka Pancasila terkait
kedaulatan rakyat adalah segala aturan yang bersanksi
yang mengatur tingkah laku manusia yang dibentuk
berdasarkan penilaian tentang tingkah laku manusia
itu yang pada dasarnya tergantung dari penglihatan
manusia yang menilai tadi tentang tempat individu
dalam pergaulan hidup. Sedangkan negara hukum
Pancasila adalah negara berdasarkan hukum dimana
kegiatan pemerintahan dan negara harus sesuai
dengan hukum yang berlandaskan nilai-nilai
Pancasila19.
b. Teori Keadilan
Dikemukakan oleh John Rawls (lahir 1921)20
John Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa
prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat
dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls
19 Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta, hlm. 78
20 John Rawls, 2005, dalam Pan Mohamad Paiz. UI-Jakarta, Hlm 527
mengembangkan pemikirannya,tentang masyarakat
yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula
dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan
teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran
Utilitarianisme. John Rawls mengambil gagasan dan
pemikiran dari Thomas Hobbes, John Locke, Jospeh
Butler, J.J. Rousseau, David Hume, J.S. Mill, dan Karl
Marx mengenai Teori keadilan.
Dari beragam pemikiran yang dituangkan dalam
karya-karyanya tersebut di atas, terdapat beberapa
konsep Rawls yang memperoleh apresiasi dan
perhatian luas dari beragam kalangan, diantaranya
yaitu: (1) Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang
bersumber dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan
kesempatan yang sama, serta prinsip perbedaan (two
principle of justices), (2) Posisi asali dan tabir
ketidaktahuan (the original position and veil of
ignorance); (3) Ekuilibrium reflektif (reflective
equilibrium), (4) Kesepakatan yang saling tumpang-
tindih (overlapping consensus), dan (5) Nalar publik
(public reason).
John Rawls mencoba untuk menganalisa kembali
permasalahan mendasar dari kajian filsafat politik
dengan merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan 28
dan prinsip persamaan. Rawls mengakui bahwa
karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial
(social contract) yang pada awalnya diusung oleh
pelbagai pemikir kenamaan, seperti John Locke, Jean
Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Namun
demikian, gagasan sosial kontrak yang dibawa oleh
Rawls sedikit berbeda dengan para pendahulunya,
bahkan cenderung untuk merevitalisasi kembali teori-
teori kontrak klasik yang bersifat utilitarianistik dan
intuisionistik. Dalam hal ini, kaum utilitaris mengusung
konsep keadilan sebagai suatu keadaan dimana
masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan
kebahagiaan secara sama-rata. Rawls berpendapat
bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya
institusi-institusi sosial (social institutions). Secara
spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai
prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan
sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan
“posisi asali” (original position) dan “selubung
ketidaktahuan” (veil of ignorance). Sebagaimana pada
umumnya, setiap teori kontrak pastilah memiliki suatu
hipotesis dan tidak terkecuali pada konsep Rawls
mengenai kontrak keadilan. Dirinya berusaha untuk
29
memosisikan adanya situasi yang sama dan setara
antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak
ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu
dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan,
status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan,
kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang
tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak
lainnya secara seimbang.
Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls
sebagai “posisi asali” yang bertumpu pada pengertian
ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri
rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom) dan
persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar
masyarakat (basic structure of society). Hipotesa Rawls
yang tanpa rekam historis tersebut sebenarnya hampir
serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas
Nagel sebagai “pandangan tidak darimanapun (the
view from nowhere), hanya saja dirinya lebih
menekankan pada versi yang sangat abstrak dari “the
State of Nature”.
Sementara itu, konsep “selubung ketidaktahuan”
diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang
dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan
30
keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap
posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga
membutakan adanya konsep atau pengetahuan
tentang keadilan yang tengah berkembang. Melalui
dua teori tersebut, Rawls mencoba menggiring
masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan yang
adil. Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut
teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.
Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam
posisi asali masing-masing akan mengadopsi dua
prinsip keadilan utama. Pertama, setiap orang memiliki
hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang
paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-
kebebasan sejenis bagi orang lain. Kedua,
ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian
rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat sebesar-
besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak
diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan posisi-posisi
harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana
adanya persamaan kesempatan yang adil.
Prinsip pertama tersebut dikenal dengan “prinsip
kebebasan yang sama” (equal liberty principle), seperti
misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi
31
(freedom of speech and expression), serta kebebasan
beragama (freedom of religion). Sedangkan prinsip
kedua bagian (a) disebut dengan “prinsip perbedaan”
(difference principle) dan pada bagian (b) dinamakan
dengan “prinsip persamaan kesempatan” (equal
opportunity principle).
“Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat
dari prinsip ketidaksamaan yang dapat dibenarkan
melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang
menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah.
Sementara itu prinsip persamaan kesempatan yang
terkandung pada bagian (b) tidak hanya memerlukan
adanya prinsip kualitas kemampuan semata, namun
juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari
kualitas tersebut. Sehingga dengan kata lain,
ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan
kualitas kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat
dipandang sebagai suatu nilai yang adil berdasarkan
persepktif Rawls. Selain itu, prinsip pertama
memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar,
sementara pada prinsip kedua berpijak dari hadirnya
kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi yang
kemudian dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapat
diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap
orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang 32
kurang beruntung (the least advantage).
Teori keadilan yang diciptakan melalui kacamata
Rawls sudah dipastikan akan menjadi topik perdebatan
hangat di kalangan para filsuf etik dan politik dari
bermacam mahzab pemikiran. Hingga kini banyak para
pakar lintas disiplin yang mendukung gagasan Rawls,
namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Selaku
rekan sejawatnya di Harvard University, Robert Nozick
menjadi orang pertama yang melancarkan kritik secara
terbuka terhadap “A Theory of Justice” melalui
bukunya yang berjudul “Anarchy, State and Utopia”
(1974). Umumnya hingga saat ini, kedua buku tersebut
selalu dibaca bersandingan untuk mengetahui pelbagai
ketidaksetujuan Nozick selaku kaum “libertian justice”
terhadap konsep Rawls mengenai prinsip moral (moral
principle), aturan-aturan (roles), jejak sejarah
(historical trace), dan keadilan distibutif (distributive
justice).
Robert Paul Wolff yang menulis “Understanding
Rawls: A Critique and Reconstruction of A Theory of
Justice” (1977) dari persepktif marxist dan Michael
Walzer dari kelompok komunitarian melalui karyanya
“Spheres of Justice” (1983), juga sama-sama
menunjukkan ketidak setujuannya terhadap konsep
keadilan yang didengungkan oleh John Rawls. Bahkan 33
Amartya Sen dan G.A. Cohen turut pula mengkritisi
teori Rawls atas kedalaman dan keseriusan basis
egalitariannya.
Secara umum, kritikan yang muncul tersebut juga
mempertanyakan keabsahan dan keberfungsian
premis-premis keadilan Rawls apabila dihadapkan pada
kondisi-kondisi khusus dan pola kehidupan masyarakat
dunia yang terus berkembang, seperti misalnya
terhadap keadilan internasional (international justice).
Namun demikian, bagi John Rawls kritikan tersebut
justru dimanfaatkannya sebagai dasar penyempurnaan
dari teori kedilan yang tengah dikembangkannya.
Melalui bukunya “Political Liberalism” (1993),
Rawls mencoba untuk menjernihkan dan memperbaiki
kelemahan teori yang dibahasnya dalam beragam
perluasan masalah (problem of extension) yang
muncul di kemudian hari, berusaha dijawab olehnya
dalam yang tidak hanya sebatas bagaimana cara
membentuk keadilan sosial, namun juga bagaimana
politik yang adil, bebas, dan teratur dapat terus
dipelihara dalam konteks kekinian serta situasi sosial
yang ditandai dengan adanya keanekaragaman
agama, filsafat, dan doktrin moral. Dalam bukunya
tersebut, Rawls tidak saja memperkenalkan gagasan
34
yang disebutnya sebagai “overlapping consensus”
guna membentuk kesepakatan terhadap keadilan dan
kesamaan diantara warga negara yang memiliki
pandangan keyakinan agama dan filosofis yang
berbeda-beda, namun juga menguraikan ide tentang
“nalar publik” (public reason) sebagai penalaran
bersama dari seluruh warga negara.
Berbeda dengan konsepsi dan paham kebebasan
berpolitik yang ditawarkan oleh John Locke atau John
Stuart Mill yang lebih mengedepankan filsafat
kebebasan budaya dan metafisik, John Rawls mencoba
untuk memperkuat argumentasi dari adanya
kemungkinan kesepakatan yang lebih bebas tanpa
memperhatikan kedalaman dari nilai-nilai keyakinan
agama dan metafisik yang disetujui oleh para pihak
sepanjang kesepakatan tersebut terbuka untuk
dibicarakan secara damai, logis, adil, dan bijaksana,
serta melepaskan adanya klaim-klaim atas kebenaran
yang universal (universal truth).
Dengan demikian, John Rawls telah
menyempurnakan prinsip-prinsip keadilannya menjadi
sebagai berikut: Pertama, setiap orang memiliki klaim
yang sama untuk memenuhi hak-hak dan
kemerdekaan-kemerdekaan dasarnya yang kompatibel 35
dan sama jenisnya untuk semua orang, serta
kemerdekaan berpolitik yang sama dijamin dengan
nilai-nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan
ekonomi dapat dipenuhi atas dasar dua kondisi, yaitu:
(a) melekat untuk jabatan-jabatan dan posisi-posisi
yang dibuka bagi semua orang di bawah kondisi
adanya persamaan kesempatan yang adil; dan (b)
diperuntukan sebagai kebermanfaatan sebesar-
besarnya bagi anggota-anggota masyarakat yang
paling tidak diuntungkan.
Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukakann
pada konsep yang awalnya disebut sebagai “hak yang
sama” (equal rights) menjadi “klaim yang sama” (equal
claim), serta adanya modifikasi terhadap frasa “sistem
kemerdekaan-kemerdekaan dasar” (system of basic
liberties) menjadi “skema pemenuhan yang memadai
terhadap hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekan
dasar” (a full adequate scheme of equal basic rights
and liberties). Sebagai tujuan utama dari hukum, maka
keadilan sering menjadi fokus utama dari setiap
diskusi tentang hukum. Sayangnya, karena keadilan
merupakan konsep yang sangat abstrak, sehingga di
sepanjang sejarah manusia tidak pernah mendapatkan
36
gambaran yang pasti tentang arti dan makna yang
sebenarnya dari keadilan, jadi dalam hukum terdapat
bentrokan yang tak dapat dihindarkan pertikaian yang
selalu berulang antara tuntutan-tuntutan keadilan dan
tuntutan-tuntutan kepastian hukum. Makin banyak
hukum memenuhi syarat ”peraturan yang tetap”, yang
sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian, jadi
makin tepat dan tajam peraturan hukum itu.
c. Teori Kepastian Hukum
Dikemukakan oleh Hans Kelsen
Sistem hukum di Indonesia yang menganut sistem
Civil Law ini, dimana cenderung bersifat “rule-based”
atau menekankan pada aspek norma/kaidah/hukum
tertulis yang abstrak dan konseptual21. Seperti
diketahui sumber hukum itu ada yang tertulis maupun
yang tidak tertulis, tetapi hukum tidak tertulis di
Indonesia masih diakui seperti halnya hukum adat.
Salah satu sifat penting dari hukum tertulis
terletak dalam kekakuannya (Lex dura sed tamen
scripta) mengisyaratkan bahwa hukum itu keras atau
kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum
itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka 21 Elly Erawaty, “Pengantar Perbandingan Hukum”, (Diktat Perkuliahan Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan Tahun 2010), hlm. 5837
perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya
sebagai sebuah dokumen tertulis. Apabila semula
berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau
pencarian keadilan, maka sekarang kita dihadapkan
kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks, dan
lain-lain.22
Jika dilihat kesejarahannya, maka pemikiran
terhadap perlunya prinsip kepastian hukum ini adalah
berasal dari semangat yang digelorakan pada revolusi
eropa akhir abad ke-18. Pada saat itu, digelorakan
semangat liberty, egality, and fraternity yang artinya
adalah: kebebasan, persamaan, dan persaudaraan,
untuk menghapuskan absolutisme kekuasaan
monarkhi feodal dengan segala otoritarianismenya.
Salah satu bentuk kesewenang-wenangan kekuasaan
pada saat itu adalah seringnya dilakukan penjatuhan
hukuman terhadap seseorang hanya atas dasar
perkataan raja dan tanpa adanya dasar hukum yang
jelas, sehingga begitu revolusi eropa pada paruh akhir
abad ke-18 tersebut berhasil dengan ditandai
berhasilnya revolusi Perancis melalui tokohnya
Napoleon Bonaparte maka mulai dicanangkanlah
pemikiran tentang perlunya kepastian hukum melalui
22 Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta . hlm. 9
38
pengaturan pola perilaku masyarakat dengan
penetapan norma-norma ke dalam hukum tertulis yang
dilakukan terlebih dahulu sebelumnya, dan pemilihan
bentuk hukum tertulis ini dilakukan karena didasarkan
pada keyakinan bahwa hanya dengan bentuk hukum
tertulislah maka segala macam norma yang mengatur
masyarakat dapat dirujuk dan dilihat dengan jelas dan
pasti sehingga nantinya diharapkan dapat menjamin
kepastian hukum. Adanya perkembangan pemikiran
bahwa segala macam norma atau aturan yang
mengatur perilaku masyarakat harus dituangkan dalam
bentuk hukum tertulis ini membawa konsekuensi
munculnya apa yang dinamakan dengan pemikiran
legisme, yakni pemikiran yang menyatakan bahwa apa
yang dapat disebut sebagai hukum hanyalah undang-
undang dan oleh karenanya segala macam norma
diluar undang-undang bukanlah hukum.23
Pemikiran legisme ini kemudian mendapat
kekuatan filosofisnya melalui aliran pemikiran
positivisme hukum dengan tokoh-tokohnya yang
terkenal seperti Hans Kelsen ataupun John Austin.
Menurut Kelsen, metodologi ilmu hukum haruslah
mengikuti metodologi ilmu pada umumnya (sains)
23 Joeniarianto, “Jalan Mundur (dalam) Positivisme Hukum Indonesia, <http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/07 (diakses pada tanggal 3 Juli 2012)
39
karena menurutnya metode ilmu pada hakekatnya
adalah satu, sehingga ruang lingkup hukum haruslah
dibersihkan dari segala hal yang sifatnya abstrak dan
tidak pasti (positif = pasti) seperti halnya masalah-
masalah etika, moral, dan keadilan, sehingga ruang
lingkup hukum hanyalah apa yang sudah nyata dan
pasti saja yang tidak lain adalah undang-undang.24
Pemikiran mengenai kepastian hukum ini
dipengaruhi dari aliran positivisme yang
mengedepankan hukum tertulis yang dimana menjadi
suatu hukum yang harus ditegakkan dan terpaku
dalam undang-undang, yang mengindikasi bahwa
hakim merupakan corong dari undang-undang.
Hakim positivis atau legisme merupakan hakim
yang dipengaruhi oleh mazhab atau aliran positivisme
hukum. H. L. A. Hart mengemukakan berbagai arti dari
positivisme tersebut sebagai berikut:
a) Hukuman adalah perintah
b) Analisis hukum terhadap konsep-konsep hukum
berbeda dengan studi sosiologis, historis, dan
penilaian kritis
c) Keputusan-keputusan dapat diedukasikan secara
logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih
24 Ibid40
dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan
sosial, kebijaksanaan, dan moralitas
d) Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan
dan dipertahankan oleh penalaran rasional,
pembuktian atau pengujian
e) Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan pasti
harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang
seharusnya diciptakan dan diinginkan.25
Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-
satunya sumber hukum adalah undang-undang,
sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan
undang-undang pada peristiwa yang konkret. Undang-
Undang dan hukum diidentikkan. Hakim positivis juga
dapat dikatakan sebagai corong undang-undang.26
Hakim yang menganut positivisme hukum sejalan
dengan pengutamaan kepastian hukum, yang
beranggapan bahwa apabila hakim diberikan
wewenang menafsirkan undang-undang atau
menemukan hukum sendiri langsung ke masyarakat
maka kepastian hukum akan terganggu. Hakim dalam
memutus perkara dapat dianggap tidak perlu
memperhatikan tujuan penegakan hukum untuk
25 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2011, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori HukumCitra Aditya Bakti, Bandung. hlm. 57-58.
26 Jamaluddin Karim, 2013, Politik Hukum Legalistik, Imperium, Yogyakarta. hlm. 25-2641
mewujudkan keadilan dan kemanfaatan.27
Positivisme hukum menganggap berlakunya
hukum positif itu dasar kenyataan (tanda-tanda
lahiriah), seperti pelaksanaan peraturan secara nyata
oleh penguasa atau penyesuaian peraturan hukum
dalam sistem hukum. Jadi, berlakunya suatu peraturan
hukum itu bukan karena segi materialnya, melainkan
segi formalnya, yakni peraturan hukum itu harus
terjadi dengan cara yang benar, dibuat oleh instansi
yang berwenang dan merupakan bagian dari
istimewanya.28
Dalam bentuk yang paling murni, positivisme
hukum adalah suatu aliran dalam ilmu hukum yang
ingin memahami hukum yang berlaku semata-mata
dari dirinya sendiri, dan menolak memberikan sedikit
pun putusan nilai mengenai peraturan hukum. Dengan
kata lain, dalam memutus suatu perkara, ajaran
positivisme hukum mengutamakan “penemuan hukum,
kepastian hukum”.29
Aliran positivis mengklaim bahwa ilmu hukum
adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan tentang
kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang 27 Ibid 28 Ibid, hlm. 2729 Ibid
42
semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas)
maka mereka yang menganut aliran ini mencoba
menuliskan kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya
sebagai perundang-undangan.30
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang
hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis.
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena
mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian
tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan
logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma
dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang
ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat
berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau
distorsi norma31.
Asas kepastian hukum dalam suatu sistem hukum
memiliki bentuk dan kedudukan. Asas kepastian
hukum dalam arti bentuknya ada dua yaitu, pertama,
asas hukum dalam arti formil dan kedua, asas
kepastian hukum dalam arti materiil. Asas kepastian
30 Abdul Halim, 2009, “Teori-Teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-Kritiknya”, (Jurnal Asy-syir`ah Vol. 42 No. II. hlm. 390
31 Yance Arizona, “Apa Itu Kepastian Hukum?”, http://yancearizona.wordpress.com/2008/ (diakses pada tanggal 3 Juli 2012)
43
hukum dalam bentuk yang pertama (formil) adalah
suatu keputusan yang harus cukup jelas bagi yang
bersangkutan. Artinya, setiap keputusan hukum harus
jelas menurut isi rumusan maupun pengertiannya dan
tidak bergantung pada penafsiran orang lain. Dengan
demikian maka asas kepastian hukum formil
menunjukkan bahwa setiap orang yang berhadapan
dengan suatu keputusan hukum dalam arti materil
adalah asas kepastian hukum yang mencerminkan
asas legalitas. Sedangkan menurut Philipus Hadjon,
asas kepastian hukum materil berhubungan erat
dengan asas kepercayaan.32
Aliran positivisme ini bersifat legalistik yang
mengedepankan peraturan tertulis sebagai sumber
hukum utama yang menjadikan kepastian hukum
sebagai tujuan utama dari hukum yang dimana hakim
hanya sebagai corong undang-undang. Apeldoorn
berpendapat, pengertian kepastian hukum adalah
kepastian suatu undang-undang, namun kepastian
hukum tidak menciptakan keadilan oleh karena nilai
pasti dalam undang-undang mewajibkan hal yang
tentu sedangkan kepentingan manusia tidak pernah
32 LIPI, “PIH”, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2208125136.pdf, (diakses pada tanggal 3 Juli 2012)
44
pasti.33
Scheltema menyatakan hukum tanpa kepastian
akan kehilangan maknanya sebagai hukum karena
tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi
semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum: dimana
tiada kepastian hukum, disitu tidak ada hukum.34
Rochmat Soemitro berpendapat berbeda,
kepastian hukum adalah keadilan oleh karena
kepastian hukum yang terwujud dalam undang-undang
sudah mengakomodasi nilai keadilan. Kepastian hukum
merupakan certainty yakni tujuan setiap undang-
undang. Dalam membuat undang-undang dan
peraturan-peraturan yang mengikat umum harus
diusahakan supaya ketentuan yang dimuat dalam
undang-undang adalah jelas, tegas dan tidak
mengandung arti ganda atau memberi peluang untuk
ditafsirkan lain.35
Kepastian hukum pertama-tama berarti kepastian
dalam pelaksanaannya. Maksudnya ialah bahwa
33 L. J. Apeldoorn, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, (Jakarta: Pradnya Paramitha, hlm. 14-15; Lihat Pula, Bambang Priyambodo (1), “Kepastian Hukum Dalam Pelaksanaan Eksekusi Putusan Badan Peradilan Tata Usaha Negara”, (Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2011), hlm. 87
34 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Op.Cit, hlm. 21
35 Bambang Priyambodo, Op. Cit, Hlm. 88; Lihat pula, Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm. 16-17
45
hukum yang resmi diperundangkan dilaksanakan
dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum berarti
bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum
dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan
bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan
dikenakan sanksi menurut hukum juga.36
Pengadilan mengambil putusan melulu
berdasarkan penilaian terhadap status hukum masalah
yang diperkarakan dan tidak menurut kepentingan-
kepentingan pihak-pihak tertentu. Maka keputusan
pengadilan harus bebas dari pengaruh kekuasaan.
Aturan-aturan hukum harus dirumuskan dengan ketat
dan sempit agar keputusan dalam perkara pengadilan
tidak dapat menurut tafsiran subyektif dan selera
pribadi hakim.37
Hal yang terpenting dari unsur kepastian hukum
adalah memberikan jaminan agar suatu undang-
undang itu tidak multi-tafsir karena suatu norma yang
diatur di dalam suatu undang-undang tersebut harus
jelas yang dapat dilaksanakan berdasarkan tujuan
yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut.
Tujuan ini dimaksudkan untuk melindungi
36 Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 79-8137 Ibid
46
kepentingan-kepentingan atau hak-hak konstitusional
masyarakat karena tujuan dari kepastian hukum bukan
hanya menjalankan ketentuan-ketentuan tertulis dari
konstitusi tetapi harus menegakkan nilai-nilai
fundamental yang terkandung di dalam konstitusi.
Kepastian hukum itu adalah kepastian undang-
undang atau peraturan, segala macam cara, metode
dan lain sebagainya harus berdasarkan undang-undang
atau peraturan. Di dalam kepastian hukum terdapat
hukum positif dan hukum tertulis. Hukum tertulis ditulis
oleh lembaga yang berwenang, mempunyai sanksi
yang tegas, sah dengan sendirinya ditandai dengan
diumumkannya di lembaga negara.38 Prinsip ini dapat
dikaitkan dengan teori hukum murni (pure theory of
law) Hans Kelsen.
Hukum bukan hanya undang-undang dan
kepastian hukum tidak terletak pada undang-undang
melainkan pada cita rasa keadilan yang terdapat pada
sanubari masyarakat, aliran yang tepat saat ini adalah
aliran sosiologi hukum. Kepastian hukum tumbuh dan
berkembang dari masyarakat itu sendiri. Namun, tanpa
kita sadari, aliran positivism ini masih berurat akar
38 Sakhiyatu Sova, “Tiga Nilai Dasar Hukum Menurut Gustav Redbruch”, https://www.scribd.com/doc/170579596 (diakses pada tanggal 19 Oktober 2014).
47
pada para legislator dan bahkan pemerintah sendiri39.
2. Kerangka Konsep
a) Konsep Rechtsstaat
Secara istilah kata “Negara Hukum” dalam
kepustakaan Indonesia hak asasi manusia selalu
dipadankan dengan istilah-istilah asing antara lain
“Rechtsstaat”, “etat de droit”, “The State in according
to law”, ”Legal state” and “The rule of law”. Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 digunakan istilah
rechtsstaat diantara dua kurung setelah kata “Negara
Berdasarkan Atas Hukum”. Setelah amandemen ke 4
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, oleh
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 digunakan
istilah “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Notohamidjojo menuliskannya dengan sebutan “Negara
Hukum atau Rechtsstaat”40. Sedangkan Muh. Yamin
menuliskannya dengan “Republik Indonesia ialah
Negara Hukum (rechtsstaat, government of law)”41.
Dari istilah yang digunakan oleh kedua ahli tersebut,
sulit untuk menghilangkan nuansa rechtsstaat dari
pengertian istilah “Negara Hukum”. Sunaryati Hartono,
39 Bambang Priyambodo, 2011, Politik Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, Mahardika Parahyangan Press, Bandung. hlm. 9
40 Notohamidjojo, 1970, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, hlm. 2741 Moh. Yamin, 1982, Proklamasi dan Konstitusi Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 72
48
menyamakan arti istilah “Negara Hukum” dengan rule
of law, sebagaimana terlihat dalam tulisannya: “…
Supaya tercipta suatu Negara hukum yang membawa
keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan,
penegakan The rule of law itu harus dalam arti
materiel”.42
b) Konsep The Rule of Law
Konsep the rule of law awalnya dikembangkan oleh
seorang pemikir berkebangsaan Inggris Albert Venn
Dicey melalui karyanya Introduction toStudy of Law of
the Constitution yang diterbitkan pertama kali tahun
1885. Diceymengemukakan tiga unsur utama the rule
of law yaitu: (a) Supremacy of Law (Supremasi Hukum);
(b) Equality before the law (persamaan dihadapan
hukum); (c) Constitution based on individual right
(konstitusi yang didasarkan kepada hak-hak
perorangan).43
Makna unsur supremasi of law, adalah negara
diatur oleh hukum, seorang hanya dapat dihukum
karena melanggar hukum dan hak kebebasan seorang
warga terjamin oleh hukum. Makna dari equality before
the law, adalah semua warga negara dalam 42 Sunaryati Hartono, 1976, Apakah The Rule of Law, Alumni, Bandung, hlm. 35.43 Irfan Fachruddin, 2003, Konsekuensi Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintahan, Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung, hlm.133.49
kapasitaspribadi maupun pejabat negara tunduk pada
hukum yang sama (ordinary law) dan diadili oleh
pengadilan yang sama (ordinary court). Perbedaan
yang menonjol dari konsep rechtsstaat adalah bahwa
konsep rule of law tidak mengenal badan peradilan
khusus bagi pejabat publik, sedang pada sistem hukum
eropa continental mengenal badan peradilan khusus
bagi pejabat negara dalam mengisi tindakannya
melaksanakan tugas kenegaraan berupa badan
peradilan administrasi tersendiri dan merupakan suatu
ciri spesifik penting yang menonjol. Constitution based
on individual right, konstitusi bukanlah sumber tetapi
merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang
dirumuskan dan ditegaskan oleh pengadilan dan
parlemen hingga membatasi posisi Crown dan
aparaturnya.44
Dalam hubungannya dengan supremacy of law,
Albert Venn Dicey menjelaskan sebagai berikut :
“The Absolute supremacy or predominance of regular law as opposed to the influence of the arbitary power and excludes the existence of arbitariness of prerogative, or even wide discretionary authority on the part of the government. Englishmen are rule by the law,
44 Made Pasek Diantha, 2000, Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman, Disertasi Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 72.
50
and by the law alone, a man may with us can be punished for nothing else”.45
“Supremasi absolute atau keunggulan regular law
sebagai kebalikan dari pengaruh kekuasaan sewenang-
wenang dan meniadakan adanya kesewenang-
wenangan prerogative, atau wewenang diskresi yang
luas pada pihak pemerintah. Orang Inggris diatur oleh
hukum, dan hanya oleh hukum, seseorang barangkali
dihukum bersama kami untuk suatu pelanggaran
hukum, dia boleh dihukum tetapi bukan untuk yang
lain”.
Lebih lanjut Wade and Philips mengetengahkan
tiga unsur the rule of law, yaitu : (a) the rule of law,
adalah suatu pandangan filosofis barat terhadap
masyarakat berkaitan dengan demokrasi menentang
otokrasi. (b) the rule of law merupakan doktrin hukum
bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai
dengan hukum. (c) the rule of law merupakan kerangka
pikir politik yang harus dirinci lebih jauh dalam
peraturan-peraturan hukum substantive dan hukum
formal.46
45 Dicey AV, 1952, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, Nineth Edition, Mac.Millan and Co, London, hlm 223.
46 Notohamidjojo,O, Log.Cit., hlm. 81-82.51
Philipus M. Hadjon mengakui adanya perbedaan
dan persamaan antara konsep rechtsstaat dan the rule
of law. Kedua konsep itu ditopang oleh sistem hukum
yang berbeda. Konsep rechtsstaat lahir dari perjuangan
menentang absolutism sehingga bersifat revolusioner,
bertumpu pada sistem hukum continental yang
disebut“civil law”atau “modern roman law”, dengan
karakteristik administrative. Sebaliknya konsep the rule
of law berkembang secara revolusioner bertumpu pada
sistem hukum“common law” dengan karakteristik
judicial.47 Perbedaan itu sekarang sudah tidak
dipermasalahkan lagi, karena keduanya menuju pada
sasaran yang sama, yaitu jaminan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia.
c) Konsep Negara Hukum Indonesia
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 Amandemen ke-IV menegaskan bahwa:
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Selanjutnya
Pemerintah memperoleh kekuasaan dari hukum dan
menjalankan kekuasaan itu menurut hukum dan
kekuasaan juga dibatasi oleh hukum. Hal ini mirip
supremacy of law dalam konsep the rule of law dan 47 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm.72.
52
asas legalitas atau wetmatigheid van bestuurr yang
kemudian berubah menjadi rechtmatigheid van bestuur
dalam konsep rechtsstaat.Perbedaan yang paling asasi
dari negara hukum Indonesia hanya terletak pada
dasar bertumpu yaitu “Keseimbangan hubungan antara
pemerintah dan rakyat”.48 Indonesia disebut dengan
istilah negara hukum Pancasila. Pancasila itu adalah
asas atau “guiding principle” dalam menegara di
Indonesia. Sebagai asas menegara, Pancasila dapat
dikatakan sebagai Ideologi Negara. Secara yuridis,
Pancasila itu adalah pokok kaidah negara yang
fundamental. Dengan demikian, sebagai guiding
principle, Pancasila itu adalah norma kritis untuk
menguji dan mengkaji berbagai tindakan dan putusan
di bidang-bidang politik, kenegaraan, hukum dan
ekonomi.49
Dapat disimpulkan bahwa proses perumusan
Pancasila adalah hasil usaha para pemimpin
pergerakan nasional untuk menetapkan dasar-dasar
atau asas-asas untuk mewujudkan kemerdekaan dan
menyusun serta menyelenggarakan kemerdekaan itu
dalam suatu negara nasional. Dilihat dari sudut politik
48 Irfan Fachruddin, Op.Cit, hlm. 145.49 Bambang Priyambodo, Op.Cit, hlm. 77-78.
53
praktis, maka Pancasila itu adalah perumusan dan
konsensus nasional yang secara moral mengikat setiap
insan politik Indonesia dalam menjalankan kegiatan
politik sebagai “guiding principle”. Penempatan dalam
pembukaan dan kedudukannya dalam Undang-undang
Dasar, menyebabkan Pancasila juga mempunyai
kekuatan hukum. Karena itu pula, perilaku dalam
menjalankan kegiatan politik yang secara
konstitusional konsisten dengan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 adalah pola perilaku (politik) yang dijiwai
oleh Pancasila.50
d) Konsep Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
Kekuasaan kehakiman yang merdeka diartikan
sebagai pelaksana peradilan yang bebas dan tidak
memihak yang dilakukan oleh hakim untuk
menyelesaikan berbagai masalah hukum yang diajukan
ke pengadilan. Kekusaan Kehakiman yang merdeka ini
merupakan elemen mutlak yang harus ada didalam
sebuah negara yang berpredikat negara hukum51.
Menurut C.S.T. Kansil dan Christine ST Kansil:
Kekuasaan Kehakiman ini mengandung pengertian
50 Ibid.51 C.S.T. Kansil dan Chirstine ST Kansil, 1984, Hukum Tata Negara RI Jilid I, Rineka Cipta,
Jakarta. hlm 191-19254
didalamnya kekusaan kehakiman yang bebas dari
campur tangan pihak kekusaan negara lainnya, dan
kebebasan dari paksaan, diretiva dan rekomendasi
yang datang dari pihak ekstra yudisial dalam hal-hal
yang diizinkan Undang-Undang. Kebebasan dalam
melaksanakan wewenang yudial tidaklah mutlak
sifatnya karena tugas hukum adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dengan menafsirkan hukum dan mencari
dasar-dasar, asas-asas yang menjadi landasannya,
melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya
sehingga keputusannya mencerminkan keadaan
bangsa dan rakyat Indonesia.
Montesquie mengemukakan pentingnya
kekuasaan yudikatif karena kekuasaan Kehakiman
yang independen akan menjamin kebebasan individu
dan hak asasi manusia. Prinsip persamaan di muka
hukum merupakan elemen yang penting dalam konsep
rule of law. Selanjutnya Montequieu mengatakan:
Kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman
tidak dipisahkan dari kekusaan legislatif dan kekusaan
eksekutif. Jika kekusaan Kehakiman disatukan dengan
kekusaan legislatif, kekuasaan atas kehidupan dan
55
kebebasan warga negara akan dijalankan sewenang-
wenang karena hakim akan menjadi pembua hukum.
Jika kekuasaan Kehakiman disatukan dengan kekusaan
eksekutif, hakim bisa menjadi penindas, yang perlu
digarisbawahi adalah kemandirian kekuasaan
Kehakiman tidak saja mandiri secara kelembagaan,
tetapi juga kemandirian dalam proses peradilan yang
diindikasikan dari proses pemeriksaan perkara,
pembuktian, hingga pada vonis yang dijatuhkan.
Parameter mandiri atau tidaknya proses peradilan
ditandai oleh ada atau tidaknya intervensi dari pihak-
pihak lain di luar kekuasaan kehakiman.52
Rumusan tentang kekuasaan Kehakiman diatur
dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 pasca
amandemen yang selengkapnya berbunyi sebagai
berikut: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan”.53
Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut
dapat diartikan pada suatu kekuasaan yang terlepas
52 Andi. M. Nasrun, 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta, hlm 32
53 Ibid56
dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan karenanya
harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang
kedudukan para hakim Kekuasaan kehakiman sebagai
kekuasaan yang merdeka juga berarti bebas dari
campur tangan pemerintah atau badan negara yang
lain atau pihak manapun yang akan mempengaruhi
penyelenggaraan tugas serta wewenangnya.54
Mengenai hal ini secara eksplisit telah di
amanatkan dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, telah menentukan bahwa
kekuasaan Kehakiman adalah kekusaan yang mandiri
dan terlepas dari kekuasaan pemerintah, sehingga
dipandang perlu melaksanakan pemisahan tegas
antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif.
1) Mahkamah Agung
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
berbunyi sebagai berikut : Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
54 Sirajuddin, 2006, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm 34
57
peradilan tata usaha negara dan sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Dari rumusan pasal tersebut Mahkamah
Agung bukanlah satu- satunya pelaku kekuasaan
Kehakiman, namun demikian tugas dan kewenangan
Mahkamah Agung berbeda dengan Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Agung memiliki posisi
strategis terutama di bidang hukum dan
ketatanegaraan yang diformat:
a) Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan;
b) Mengadili pada tingkat kasasi;
c) Menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang- undang
d) Berbagai kekuasaan atau kewenangan yang
diberikan oleh Undang-Undang.
Untuk selanjutnya mengenai Mahkamah Agung
diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan ke-II Undang-Undang ini, yang
selanjutnya merubah substansi undang-undang
sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor l4 Tahun
1985. Perubahan tersebut disamping guna
58
disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah
ditetapkan dalam Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945, juga didasarkan atas Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Hal baru sebagai bagian dari perubahan Undang-
Undang Mahkamah Agung adalah mengenai
bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung
jawab Mahkamah Agung meliputi bidang pengaturan
dan pengurusan masalah organisasi, administrasi
dan finansial badan peradilan yang dikenal sebagai
penyatuan atap lembaga peradilan pada Mahkamah
Agung. Penyatuan atap merupakan pembaharuan
pengelolaan administrasi umum peradilan yang
meliputi keuangan dan ketenagaan sehingga terjadi
perubahan paradigma manajemen keorganisasian.
Meskipun penyatuan atap ini merupakan tuntutan
reformasi di bidang hukum, namun penyatuan atap
berpotensi menimbulkan monopoli kekuasaan
kehakiman oleh Mahkamah Agung. Sebab setiap
kekuasaan selalu mengandung potensi
disalahgunakan atau dilaksanakan dengan
melampaui wewenang. Untuk itulah perlu ada
59
jaminan yang dapat memberi posisi lebih baik
terhadap para pencari keadilan maupun terhadap
subyek yang dituntut melalui mekanisme
pengawasan.
2) Kewenangan Pengawasan oleh Mahkamah
Agung
Salah satu fungsi Mahkamah Agung Republik
Indonesia adalah fungsi pengawasan yang diberikan
oleh Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman yaitu dalam Bab VI Pasal 39
ayat (1) yang dinyatakan bahwa: “Pengawasan
Tertinggi pada semua badan Peradilan dibawah
Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah
Agung” berdasarkan ketentuan Undang- Undang”.
Pelaksanaan pengawasan juga bersandar pada Pasal
32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung yang menyatakan sebagai
berikut:
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan
tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di
60
semua lingkungan peradilan dalam menjalankan
kekuasaan kehakiman.
b. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan
perbuatan para hakim di semua lingkungan
peradilan dalam menjalankan tugasnya.
c. Mahkamah Agung berwenang untuk meminta
keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan
dengan teknis peradilan dan semua lingkungan
peradilan.
d. Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk,
teguran atau peringatan yang dipandang perlu
kepada pengadilan disemua lingkungan
peradilan.
Pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung
tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara. Dari
ketentuan diatas maka terlihat bahwa yang harus
diawasi oleh Mahkamah Agung adalah jalannya
peradilan (rechstsgang) dengan tujuan agar
jalannya peradilan dapat diselenggarakan oleh
pejabat pengadilan dengan seksama dan
sewajarnya.
61
Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi
jalannya peradilan, namun demikian Mahkamah
Agung dapat mendelegasikan kewenangannya pada
pengadilan tingkat banding berdasarkan asas
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Melalui asas ini memungkinkan pendelegasian
kewenangan pengawasan tersebut. Di dalam praktek
selama ini Mahkamah Agung dalam melaksanakan
pengawasan telah mendelegasikan kepada para ketua
Pengadilan Tinggi disemua lingkungan peradilan
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan
hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan (library research), yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier.
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum
normatif mencakup lima macam penelitian, yaitu
penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sisitematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi 62
hukum, penelitian perbandingan hukum dan penelitian
sejarah hukum, Negara Indonesia adalah Penganut sistem
Hukum Civil law atau Eropa Kontinental berbeda dengan
Negara Singapura, karena itu penelitian ini menggunakan
perbandingan dengan Judex Juris Lembaga Hukum
Tertinggi di Negara yang bersistem Common law atau
Anglo Saxon55.
Proses ilmiah ini mengikuti pedoman Metode
Penelitian Ilmu Hukum Normatif amat berbeda dalam
proses ilmiahnya dengan disiplin-disiplin ilmu lain seperti
misalnya dengan ilmu-ilmu sosial. Ciri-ciri utama dari
Metode Penelitian Hukum Normatif ini ialah:56
1) Deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif;
2) Tahap penelitian: Penelitian kepustakaan, data yang
dicari adalah data sekunder dengan menggunakan
bahan hukum primer, sekunder, tersier dan lain-lain;
3) Konsep, perspektif, teori, paradigma yang menjadi
landasan teoritikal penelitian mengacu pada kaidah
hukum yang ada dan berlaku pada ajaran hukum (dan
pakar hukum yang terkemuka);
4) Jarang menampilkan hipotesis;
55 Soerjono Soekamto dan Sri Mahmudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafino Persada, Jakarta. hlm 14.
56 Lili Rasjidi, 2011, Menggunakan Teori atau Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Bandung. hlm. 5-11
63
5) Analisis data dilakukan secara kualitatif artinya tanpa
menggunakan angka, rumus statistik, dan matematik.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian
hukum normatif didukung dengan hasil wawancara
dengan pihak-pihak yang relevan dengan topik
penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a) Studi kepustakaan, yaitu mempelajari referensi umum
(perundang-undangan, peraturan, buku-buku teks,
kamus) dan referensi khusus (jurnal, laporan penelitian).
b) Studi lapangan, dilakukan dengan metode analisa
terhadap putusan Mahkamah Agung yang tidak terikat
oleh undang-Undang dan meresponden dari para hakim
untuk mengetahui kelebihan maupun kekurangan jika
diterapkan adanya paradigma lain yang diadopsi
dengan pertanyaan yang telah dipersiapkan. Cara ini
digunakan untuk mengungkapkan kebenaran secara
sistematis, metodologis, dan konsisten. “Dilakukan
analisis dan konstruksi terhadap data yang telah
dikumpulkan. Melalui proses penelitian ini diadakan
64
analisa dan konstruksi terhadap data yang telah
dikumpulkan dan selanjutnya diolah”57.
3. Jenis dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini, meliputi data
primer dan data sekunder, sebagai berikut:
a) Data Primer ialah data yang diperoleh dari sumbernya
secara langsung. Data ini dilakukan dengan cara
wawancara terhadap responden.
b) Data sekunder yakni berupa:
1) Diperoleh melalui bahan hukum primer, yaitu bahan-
bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman maupun Undang-Undang
Mahkamah Agung dan lainnya yang berkaitan
dengan Mahkamah Agung
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil-hasil
karya ilmiah, buku-buku ilmiah, dan sebagainya.
57 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 1.
65
3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang
memberi petunjuk penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, antara lain kamus hukum,
kamus bahasa Indonesia, karya ilmiah maupun
Ensiklopedia, atau Media cetak dan lain sebagainya.58
4. Analisis Data
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu dengan mengadakan
penelitian di lapangan tentang Sistem Peradilan
menyangkut upaya Mahkamah Agung sebagai Judex Juris
dalam memutus tanpa terikat dengan Undang-Undang
hukum positif, dikaitkan dengan teori hukum Paradigma
Shift dari Thomas S. Khun dan Sartjipto Raharjo.
Kemudian menggunakan teknik Metode Deduktif artinya
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum
dijadikan sebagai pegangan untuk diterapkan pada data
yang diperoleh dari penelitian untuk memperoleh hasil
dari penelitian dan perubahan yang menjadi penyebab
untuk memperoleh suatu kesimpulan. Metode Induktif
artinya data yang bersifat khusus yang diperoleh dari
penelitian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
58 Soerjono Sukanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta. hlm. 45
66
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Andi. M. Nasrun, 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta.
Aristoteles, 2004, Politik Diterjemahkan dari Buku Polities, Oxford University, New York, 1995, Bentang Budaya, Yogyakarta.
Bambang Priyambodo, 2011, Politik Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, Mahardika Parahyangan Press, Bandung.
Bambang Priyambodo, Op. Cit, Hlm. 88; Lihat pula, Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, (Bandung: Refika Aditama, 2004).
Budiono Kusumahamidjojo, 2004, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban Yang Adil, Grasindo, Jakarta.
C.S.T. Kansil dan Chirstine ST Kansil, 1984, Hukum Tata Negara RI Jilid I, Rineka Cipta, Jakarta.
Charles Hirmawan, 2003, Hukum Sebagai Panglima, Kompas, Jakarta.
Dicey AV, 1952, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, Nineth Edition, Mac.Millan and Co, London.
Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jamaluddin Karim, 2013, Politik Hukum Legalistik, Imperium, Yogyakarta.
John Rawls, (2005) dalam Pan Mohamad Paiz. UI-Jakarta.
L. J. Apeldoorn, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Pradnya Paramitha, Jakarta.
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2011, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori HukumCitra Aditya Bakti, Bandung.
Lili Rasjidi, 2011, Menggunakan Teori/Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Bandung.
M. Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta.
Made Pasek Diantha, 2000, Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman, Disertasi Universitas Airlangga, Surabaya.
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, (1988), Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, Jakarta.
Moh. Yamin, 1982, Proklamasi dan Konstitusi Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Notohamidjojo, 1970, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta.
Padmo Wahjono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta.
Ridwan HR, 2010, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Sirajuddin, 2006, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta.
Soerjono Soekamto dan Sri Mahmudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafino Persada, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta.
Soerjono Sukanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sunaryati Hartono, 1976, Apakah The Rule of Law, Alumni, Bandung.
B. Sumber Artikel dan Karya Ilmiah
Abdul Halim, 2009, “Teori-Teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-Kritiknya”, (Jurnal Asy-syir`ah Vol. 42 No. II).
Bambang Priyambodo (1), “Kepastian Hukum Dalam Pelaksanaan Eksekusi Putusan Badan Peradilan Tata Usaha Negara”, (Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2011).
Elly Erawaty, “Pengantar Perbandingan Hukum”, (Diktat Perkuliahan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Tahun 2010)
Irfan Fachruddin, 2003, Konsekuensi Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintahan, Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independen Peradilan (LeIP), 1999, Menuju Inependensi Kekuasaan kehakiman, Indonesian Center Environvental Law (ICEL), Jakarta.
South East And Pacific Conference of Jurits, Bangkok, February15-19, 1965, The Dynamic Aspeets of Rule of Law In The Modern Age (Bangkok, International Commission of Jurits, 1965.
C. Sumber Media Internet
Joeniarianto, “Jalan Mundur (dalam) Positivisme Hukum Indonesia, <http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/07 (diakses pada tanggal 3 Juli 2012).
LIPI, “PIH”, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2208125136.pdf, (diakses pada tanggal 3 Juli 2012).
Sakhiyatu Sova, “Tiga Nilai Dasar Hukum Menurut Gustav Redbruch”, https://www.scribd.com/doc/170579596 (diakses pada tanggal 19 Oktober 2014).
Yance Arizona, “Apa Itu Kepastian Hukum?”, http://yancearizona.wordpress.com/2008/ (diakses pada tanggal 3 Juli 2012).
http://news.detik.com (data diakses Tanggal 9-Mei-2015).
http://elshinta.com/news (data diakses Tanggal 9-Mei-2015).
http://www.tempo.co/read/news (data diakses Tanggal 9-Mei-2015).
http://hukum.kompasiana.com/2013/10/03/ (data diakses tanggal 9 Mei 2015).
http://www.hurights.or.jp/archives/other_documents/section1/1995/08/beijing-statement-of-principles-of-the-independence-of-the-judiciary-in-the-lawasia-region (data diakses tanggal 9 Mei 2015).