independence of judiciari

91
INDEPENDECE OF JUDICIARY (Studi Komparatif Sistem Peradilan Indonesia dengan Sistem Peradilan Inggris) A. Latar Belakang Masalah Pemberantas korupsi di Indonesia oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) tengah gencar-gencarnya dilakukan. Hal ini merupakan semangat yang mengemuka dari orde reformasi. Banyak Penyelenggara Negara yang telah dijatuhi hukuman penjara. Selain itu, pada periode 2014 KPK berhasil menyelamatkan uang negara mencapai Rp 2,8 triliun. Angka ini jauh melampaui yang berhasil diselamatkan oleh Kepolisian yang hanya Rp 67.7 milyar Rupiah dan Kejaksa Agung sebesar Rp 792 miliar Rupiah 1 . Usaha KPK dalam memberantas korupsi kini tengah menghadapi tantangan, dimulai tanggal 13 Januari 2015 ketika KPK menetapkan Calon Kepala Kopolisian Komisaris Jendral Budi Gunawan dalam 1 http://news.detik.com (data diakses Tanggal 9-Mei-2015). 1

Upload: tondy

Post on 19-Feb-2016

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Hukum

TRANSCRIPT

Page 1: Independence of Judiciari

INDEPENDECE OF JUDICIARY

(Studi Komparatif Sistem Peradilan Indonesia

dengan Sistem Peradilan Inggris)

A. Latar Belakang Masalah

Pemberantas korupsi di Indonesia oleh Komisi

Pemberantas Korupsi (KPK) tengah gencar-gencarnya

dilakukan. Hal ini merupakan semangat yang mengemuka

dari orde reformasi. Banyak Penyelenggara Negara yang

telah dijatuhi hukuman penjara. Selain itu, pada periode 2014

KPK berhasil menyelamatkan uang negara mencapai Rp 2,8

triliun. Angka ini jauh melampaui yang berhasil diselamatkan

oleh Kepolisian yang hanya Rp 67.7 milyar Rupiah dan

Kejaksa Agung sebesar Rp 792 miliar Rupiah1.

Usaha KPK dalam memberantas korupsi kini tengah

menghadapi tantangan, dimulai tanggal 13 Januari 2015

ketika KPK menetapkan Calon Kepala Kopolisian Komisaris

Jendral Budi Gunawan dalam kapasitas mantan ajudan

Megawati ketika menjadi presiden, selanjutnya sebagai

tersangka kasus korupsi. Akibat penetapan tersebut eskalasi

politik dirasakan meningkat, masyarakat menilai terjadi

serangan balik oleh Kepolisian terhadap KPK. Kepolisian

melalui kuasa hukumnya telah melaporkan pimpinan KPK ke 1 http://news.detik.com (data diakses Tanggal 9-Mei-2015).

1

Page 2: Independence of Judiciari

Kejaksaan Agung, dengan sangkaan KPK telah menyalahi

prosedur dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai

tersangka, kemudian ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri

KPK disangka membocorkan rahasia negara berupa laporan

penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan (PPATK) terhadap rekening Budi Gunawan dan

keluarganya. Selanjutnya Badan Reserse Kriminal Mabes Polri

menangkap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto. Disangka

mengajukan saksi palsu dalam sengketa pilkada

Kotawaringin, Kalimantan Tengah, 2010 silam. Puncaknya

Markas besar Kepolisian RI mengajukan gugatan praperadilan

atas penetapan tersangka Komisaris Jendral Budi Gunawan

oleh KPK. Pengadilan Jakarta Pusat telah mengabulkannya

dengan memutuskan penetapan Budi Gunawan sebagi

tersangka adalah tidak sah. Sementara masyarakat menilai

berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tetang

Kitab Hukum Acara Pidana, Pengadilan tidak berwenang

mengadili perkara tersebut.

Perkara lain yang mendapat perhatian masyarakat

adalah ketika Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan

Siti Hardiyanti Rukmana (Putri Mantan Presiden Suharto)

kepada PT. Berkah Raya, padahal telah disepakati

penyelesaiannya dalam Investment Agreement diselesaikan

2

Page 3: Independence of Judiciari

melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dan tidak

melalui peradilan umum termasuk Mahkamah Agung2.

Secara ironi masyarakat menilai penegakan hukum

termasuk proses peradilan dirasakan tumpul ke atas tajam ke

bawah, yaitu ketika pengadilan menjatuhi hukuman selama

satu tahun penjara dan denda Rp 500 juta Rupiah subsider

satu hari kurungan dengan masa percobaan 1 (satu) tahun 3

(tiga) bulan kepada seorang nenek bernama Asyani, karena

dianggap bersalah memiliki dan menguasai dua potong

pohon kayu jati hasil hutan tanpa izin. Padahal nenek

tersebut bersikukuh kayu tersebut adalah miliknya3.

Perkara lain adanya dugaan tindak pidana korupsi

yang merusak citra lembaga peradilan, ketika Ketua

Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar ditangkap KPK di

rumah dinasnya, di Kompleks Widya Chandra, Rabu malam

tanggal 2 Oktober 2013. Dugaan awal, ketua MK ini terkait

kasus sengketa Pilkada di salah satu kabupaten di

Kalimantan. Bersama Akil ditangkap juga seorang anggota

DPR dari Fraksi Golkar dan seorang panitera yang bertugas

sebagai perantara penyerahan uang dalam Dollar AS, yang

menurut KPK jika dalam Rupiah bernilai sekitar Rp 3 (tiga)

miliar Rupiah4.

2 http://elshinta.com/news (data diakses Tanggal 9-Mei-2015)3 http://www.tempo.co/read/news (data diakses Tanggal 9-Mei-2015)4 http://hukum.kompasiana.com/2013/10/03/ (data diakses tanggal 9 Mei 2015)

3

Page 4: Independence of Judiciari

Perkara tersebut memberikan citra yang sangat buruk

bagi Mahkamah Konstitusi, padahal pada saat itu Mahkamah

Konstitusi menjadi lembaga yang menjadi penyegar bagi

masyarakat karena dianggap sebagai lembaga yang terbaik

di Indonesia disamping KPK.

Tidak berlebihan bilamana dari contoh kasus-kasus

diatas, merupakan gambaran perjalanan peradilan di negeri

ini dalam mewujudkan keadilan, kepastian hukum, bahkan

kemanfaatan sebagai cita-cita hukum (idee das recht)

tampaknya masih menghadapi berbagai kendala. Masih

terkatung-katungnya berbagai persoalan hukum, mulai dari

persoalan yang masih hangat hingga yang sudah bertahun-

tahun tanpa ada kejelasan, agaknya memberi sinyalemen

masih menggantungnya supremasi penegakan hukum

Peradilan yang mandiri (independence of yudiciary) yang

berfungsi untuk menegakkan keadilan, kemanfatan dan

kepastian hukum, sekaligus merupakan salah satu pilar

negara hukum (rechtstaat). Disamping adanya Pemerintah

yang didasarkan kepada konstitusi, asas legalitas, pemisahan

kekuasaan (saparation of power) dalam fungsi Pemerintahan,

jaminan perlindungan hak dan kebebasan asasi manusia

(protection of human right).

Prinsip peradilan yang mandiri, secara normatif dianut

dalam hukum positif sebagaimana tertuang dalam Pasal 24

4

Page 5: Independence of Judiciari

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan secara

tegas bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang

merdeka. Demikian pula dalam ketententuan Pasal 1 Undang-

undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Kebebasan hakim diartikan sebagai kemandirian atau

kemerdekaan, dalam arti adanya kebebasan penuh dan tidak

adanya intervensi dalam kekuasaan kehakiman, hal ini

mencakup tiga hal, yaitu: (1) Bebas dari campur tangan

kekuasaan apapun; (2) Bersih dan berintegritas; dan (3)

Profesional.

Pada hakekatnya kebebasan ini merupakan sifat

pembawaan dari pada setiap peradilan. Dalam pergaulan

masyarakat international, terdapat beberapa instrument yang

menyebutkan tentang pentingnya independensi kekuasaan

kehakiman, antara lain dalam (Universal Declaration of

Human Rights, article 10, Everyone is entitled infull equality

to afair and public hearing by an independent and partial

tribunal, in the determination of right and obligations and of

arty ctiminal charge againts him). ("Setiap orang, dalam

persamaan yarg penuh, berhak atas peradilan yang adil dan

terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak,

dalam rnenetapkan hak dan kewajiban kewajibannya, serta

dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya”).

5

Page 6: Independence of Judiciari

Secara empiris, kekuasaan kehakiman pernah

mengalami reduksi kebebasan, hal ini disebabkan dengan

adanya ketentuan Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1970 dinyatakan: "Mahkamah Agung melakukan

pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain,

menurut ketentuan yang ditetapkankan dengan Undang-

undang". Kemudian dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dinyatakan: "Badan

badan yang melakukan peradilan tersebut Pasal 10 ayat (1)

organisatoris, administrative dan finansial ada dibawah

kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan".

Dengan adanya ketentuan tersebut jelas telah terjadi

dualisme pembinaan terhadap diri hakim. Terlebih lagi

membuka peluang campur tangan eksekutif dalam lembaga

peradilan. Kekuasaan tersebut (terutama dalam hal mutasi,

promosi dan penjatuhan sanksi) membuka peluang intervensi

dari eksekutif terhadap pelaksanaan fungsi hakim dalam

memutus perkara, khususnya bila salah satu pihak dalam

perkara tersebut adalah eksekutif atau pihak yang dekat

dengan eksekutif.

Padahal fungsi kekuasaan kehakiman juga melakukan

kontrol terhadap kekuasan negara guna mencegah

penyalahgunaan kewenangan, mencegah terjadinya proses

6

Page 7: Independence of Judiciari

instrumentasi yang menempatkan hukum menjadi bagian

kekuasaan.

Sebelumnya lebih ekstrim, dapat diketengahkan

bagaimana eksekutif dapat mencampuri lembaga peradilan,

seperti terlihat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman yang

menyatakan: "Demi kepentingan revolusi, kehormatan

Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang

sangat mendesak Presiden dapat turut atau campur tangan

dalam soal-soal pengadilan”. Dengan mendasarkan pada

Kenyataan empiris tersebut, dalam kehidupan bernegara

selama lebih dari setengah abad amanya kedudukan

lembaga peradilan selalu dalam kondisi subordinasi dari

kekuasaan eksekutif. Untuk menjamin dilaksanakan prinsip

kebebasan hakim setidaknya dari pengaruh eksekutif

dilakukan usaha antara lain dengan cara mewujudkan

pembinananya kedalam satu atap.

Menempatkan peradilan yang mandiri, ternyata juga

merupakan keinginan dan kepedulian masyarakat

international setidak-tidak diwilayah Asia Pasific,

sebagaimana ternyata dari Beijing Statement tanggal 19

Agustus 1995 tentang prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman

yang mandiri, yang telah ditanda tangani oleh 24 (dua puluh

empat) Ketua Mahkamah Agung wilayah Asia Pasific yang

7

Page 8: Independence of Judiciari

hadir (termasuk Ketua Mahkamah Agung Indonesia) dan

dikukuhkan dalam Konferensi Law Asia ke XV tahun 1977 di

Manila, dalam bagian tentang Judicial Administration telah

disepakati bahwa tanggung jawab utama dari Administrasi

Pengadilan, termasuk pengangkatan, pengawasan dan

penjatuhan disiplin dari Pejabat Administrasi dan petugas

pengadilan lainnnya harus diberikan kepada Judiciary, atau

oleh suatu badan dimana Judiciary mempunyai peranan

penting (has effective role)5.

Secara yuridis formal dengan adanya Undang-undang

Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu: Pengalihan organisasi,

administrasi dan financial sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 11 huruf A ayat (1) dilaksanakan secara bertahap,

paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini mulai

berlaku. Hal ini jelas merupakan usaha untuk mewujudkan

hakim yang bebas secara konsekuen artinya bebas dari

campur tangan lembaga manapun termasuk dari eksekutif

atau Pemerintah. Prinsip kebebasan yang dianut oleh badan

peradilan, bukan berarti tidak terbatas, terbukti berbagai

peraturan telah membatasi kebebasan tersebut, misalnya:

5 http://www.hurights.or.jp/archives/other_documents/section1/1995/08/beijing-statement-of-principles-of-the-independence-of-the-judiciary-in-the-lawasia-region (data diakses tanggal 19-Mei-2005)

8

Page 9: Independence of Judiciari

1) Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,

yang menyatakan: "Kekuasaan Kehakiman adalah

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara

hukum Republik Indonesia.

2) Manusia dalam bidang peradilan, sekaligus prinsip

neffalitas badan peradilan", sebagaimana dirumuskan

dalam Pasal 19 ayat (l) jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1970 yang menyatakan: "Pemeriksaan

pengadilan adalah terbuka untuk umum, dan semua

putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan

hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk

umum";

3) Prinsip "peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa", sebagaimana dirumuskan

dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2004;

4) Prinsip ekulialitas, yaitu "non diskriminasi dan legalitas",

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (l) Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang menyatakan :

"Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak

membedakan orang". Mengadili menurut hukum

merupakan salah satu asas yang mewujudkan negara

9

Page 10: Independence of Judiciari

berdasarkan hukum. Setiap putusan hakim harus

mempunyai dasar hukum (substantif dan procedural) yang

telah ada sebelum perbuatan melawan dan pelanggaran

hukum terjadi.

5) Prinsip "korektif terhadap pengadilan bawahan",

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 jo Pasal 22

Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, yang menyatakan:

"Semua putusan pengadilan tingkat pertama, dapat

dimintakan banding, dan atas putusan tingkat banding

dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung".

6) Prinsip "putusan harus disertai alasan-alasan",

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 25 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004;

Dari peraturan tersebut dapat disimpulkan, bahwa

kebebasan hakim ternyata dibatasi oleh peraturan

perundang-undangan, yang membuka ruang baik

pengawasan maupun tanggung jawab. Selain itu, Hakim tidak

boleh mengadili melulu menurut perasaan keadilan diri

pribadinya, melainkan ia terikat kepada nilai-nitai yang

berlaku secara obyektif di dalam masyarakat. Hakim terikat

kepada sistem hukum yang telah terbentuk dan yang

berkembang di dalam masyarakat. Artinya hakim yang

memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pemeriksaan

persidangan, namun tetap harus menghormati peraturan

10

Page 11: Independence of Judiciari

perundang-undangan yang berlaku, hal ini merupakan

konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945 Amandemen Ke-IV, dinyatakan: Negara Indonesia

adalah Negara hukum.

Sekalipun telah ada pembatas dari kebebasan hakim,

namun secara umum konkritisasi kinerja peradilan kini

menimbulkan persoalan yang cukup serius, karena

menghadapi fenomena yang terkesan bertentangan dengan

prinsip Negara hukum (rechtstaat), yaitu tumbuh dan

berkembangnya. perbuatan main hakim sendiri

(eigenrichting), seperti misalnya maraknya “peradilan rakyat"

yang cenderung bersifat anarkis (pencuri atau penjambret

maupun begal dibakar hidup-hidup). Fenomena ini

dikhawatirkan merupakan implikasi kekecewaan, bahkan

mungkin ketidakpercayaan terhadap kinerja lembaga

peradilan. Demikian pula, terjadi kehebohan yang melanda

kehidupan hukum di Indonesia tercermin dari makin

dilecehkannya lembaga peradilan. Bukan hanya antar sub

sistem dalam peradilan pidana tapi juga oleh masyarakat

akademisi. Lahirnya istilah seperti "mafia Peradilan dan

Peradilan Sablon" menunjukan keseriusan pelecehan ini.

Hal serius lainnya, adalah adanya indikasi tindakan

koruptif dalam lembaga peradilan sebagaimana diungkapkan

seorang peneliti peradilan Indonesia asal Belanda, Sabastian

11

Page 12: Independence of Judiciari

Pompe yang menyimpulkan bahwa korupsi di peradilan tidak

terbatas pada ; (l) individual eurruption (needs & greed);

tetapi telah dapat dikatagorikan lembaga (2) structural

corruption (melibatkan keseluruhan komponen peradilan),

dan merupakan praktek yang telah berlangsung sekian lama;

(3) institutional curruption (terdapat sikap menghambat dan

adanya gejala kehilangan motivasi untuk memerangi korupsi

secara total, serta 'menerima" praktek pola-pola korupsi; (4)

political corruption (tidak memberikan reaksi atau tanggapan

tegas terhadap praktek korupsi yang telah meluas dan

mengakar, serta tidak mengutuk praktek korupsi yang telah

diketahuinya. Kedua sikap pembiaran tersebut dianggap

melindungi dan mendukung praktek korupsi serta

menghambat upaya-upaya pembaharuan. Keberadaan

seluruh bentuk-bentuk korupsi inilah kemudian peradilan

Indonesia menyandang predikat hypercorruption. Begitu

tingginya tingkat korupsi di peradilan Indonesia sehingga

dalam laporan mengenai Bureaucratic and Judiciary Bribery

oleh Daniel Kaufmann tahun 1998, terlihat penyuapan di

peradilan Indonesia adalah paling tlnggi diantara negara-

negara Ukraina, Venezuale, Rusia, Kolombia, Mesir, Yordania,

Turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan, Singapura dan lain-

12

Page 13: Independence of Judiciari

lain. Parahnya keadaan ini sudah dianggap 'wajar" dan

menjadi praktek yang biasa di Indonesia6.

Tanggapan senada terhadap kinerja dunia peradilan

Indonesia, dari masyarakat internasional yang dalam hal ini

dapat dianggap memiliki kredibilitas untuk mewakilinya, yaitu

Sekretaris Jendral (sekjen) PBB Kofi Annan di kantor Komisi

Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tanggal 16

Februari 2000, tentang berbagai putusan pengadilan

Indonesia, ia secara spesifik menekankan bahwa ia dapat

menerima apapun keputusannya, yaitu putusan bebas

(acquital verdict) atau bersalah (guilty verdict), apabila ini

dilakukan oleh suatu reliable judiciary atau badan peradilan

andal. Annan secara khusus menggunakan kata reliable

judiciary yang tampaknya sederhana, tetapi sebenarnya

mengandung persyaratan berat bagi Indonesia untuk

mengadili pelaku pelanggar peraturan tata perekonomian

bangsa (disamping tentunya untuk mengadili pelanggaran

HAM). Indonesia wajib merestrukturisasi bandan peradilan

sehingga realible7.

Indonesia wajib merestrukturisasi badan peradilan

sehingga mejiadi realibles. Semestinya disadari kepercayaan

dunia international melalui para investor jelas merupakan

6 Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independen Peradilan (LeIP), 1999, Menuju Inependensi Kekuasaan kehakiman, Indonesian Center Environvental Law (ICEL), Jakarta. hlm 4-5

7 Charles Hirmawan, 2003, Hukum Sebagai Panglima, Kompas, Jakarta. hlm 35.13

Page 14: Independence of Judiciari

simulus terhadap proses pensejahteraan rakyat. Intensitas

investasi dunia usaha akan mendorong proses percepatan

pembangunan yang bermuara terciptanya lapangan keda

yang luas. Kondisi yang kondusif demikian harus ditunjang

dengan adanya kepastian hukum, dan persoalan timbul,

temyata bagi pencari keadilan (justiciabelen) timbul asumsi,

bilamana harus berurusan dengan peradilan, maka "identik"

dengan pengeluaraan biaya/uang yang tidak sedikit, bahkan

terkadang melebihi nilai obyek yang dipersengketakan (kalah

menang sama-sama merugi), tidak menghasilkan

penyelesaian sengketa yang menguntungkan para pihak

(win-win solution), sehingga bagi para investor jelas hal ini

merupakan biaya tinggi yang tidak dapat diprediksi

(unpredictable high cost).

Banyak negara berkembang enggan menerima

kenyataan pahit, bahwa modal yang banyak beredar didunia

sekarang ini, sebagian besar berada dalam kekuasaan

negara-negara maju, seperti Negara-negara Eropa Barat,

Kanada, Amerika Serikat dan Jepang. Dan, mereka tidak

menyadari atau lupa, bahwa negara-negara maju ini

menjunjung tinggi sekali keampuhan hukum. Mereka

menempatkan supremasi hukum dalam hubungan bisnis

yang mereka lakukan. Secara konstitusional, kedudukan

Indonesia adalah serupa dengan mereka. Indonesia juga

14

Page 15: Independence of Judiciari

menganut konsep negara hukum, sebagaimana terncantum

dalam Undang-Undang Dasar (Konstitusinya) dan percaya

bahwa pertumbuhan ekonominya dapat diarahkan dan

dicapai dengan menggunakan keampuhan hukum. Artinya

kinerja badan peradilan nasional, menjadi perhatian pula bagi

para investor asing, karena bagaimanapun juga mereka

menginginkan adanya jaminan keamanan berinvestasi

terutama mengenai adanya kepastian hukum, bilamana

terpaksa harus berproses dipengadilan, sehingga karenanya

keinginan masyarakat international tersebut perlu pula

mendapat perhatian.

Terkesan bahwa lembaga peradilan ibarat menara

gading yang tidak tersentuh oleh siapapun, terlebih

parameter untuk mengukur profesionalitas melalui prinsip

akuntabilitas dan integritas moral para pemegang peran

didalamnya susah untuk dilakukan, terlebih timbul

kekhawatiran semua itu merupakan perwujudan dari

kebebasan hakim yang sulit untuk diterobos.

Dalam kondisi masyarakat yang tengah mengalami

perubahan (reformasi), sebenarnya peranan hakim melalui

keputusan-keputusannya memegang posisi kunci untuk

pembentuk hukum baru dalam menunjang rekonstruksi dan

reformasi di segala bidang, sehingga karenanya lembaga

peradilan menjadi harapan sebagai pembela kepentingan

15

Page 16: Independence of Judiciari

orang banyak dan mereka yang tertindas' Lembaga peradilan

bisa menjadi sandaran pemulihan kepercayaan rakyat atas

supremasi hukum, rasa aman, ketertiban dan pemerataan.

Hakim juga yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari

keterpurukan ekonomi dan terkoyaknya sendi-sendi bangsa,

karena kasus-kasus Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dan

kejahatan terhadap kemanusian. Hakim pada akhirnya

menjadi lambang kearifan yang bisa mensederajatkan

kembali bangsa-kita di tengah pergaulan bangsa-bangsa.

Penelitian secara komparatif secara mendalam

terhadap sistem peradilan di Negara Anglo saxon khususnya

di Inggris tentang hakekat prinsip kebebasan hakim

(independence of yudiciary), melalui asas the binding force of

precedent (asas stare decisis) adalah tepat, mengingat

sistem peradilannya yang berbeda dengan sistem peradilan

di indonesia yang dipengaharui sistem Eropa Kontinental,

sebagai salah satu cara untuk menemukan prinsip

akuntabiltas sebagai parameter yang obyektif dalam menilai

peradilan yang mandari, dan diharapkan memberikan

kontribusi dalam membangun peradilan Indoneia

sebagaimana yang diharapkan.

B. Perumusan Masalah

16

Page 17: Independence of Judiciari

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, yang menjadi

permasalahan adalah:

1) Bagaimana prinsip Independence of judiciary di jalankan di

peradilan di Inggris;

2) Bagaimana seharusnya prinsip Independence of judiciary

di jalankan di peradilan di Indonesia.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari Penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui dan memahami dengan menganalisis

mengenai prinsip Independence of judiciary di jalankan di

peradilan di Inggris.

2) Untuk anaisis bagaimana seharusnya prinsip Independence

of judiciary di jalankan di peradilan di Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan berguna secara teoritis

maupun praktis. Maka mengenai kegunaan tersebut adalah

sebagai berikut:

1) Kegunaan Teoritis

Penelitian secara teoritis diharapkan berguna untuk

memperluas pengetahuan mengenai:

a) Bagaimana prinsip Independence of judiciary di

jalankan di peradilan di Inggris;

17

Page 18: Independence of Judiciari

b) Bagaimana seharusnya prinsip Independence of

judiciary di jalankan di peradilan di Indonesia

2) Kegunaan Praktis.

Manfaat secara praktis bertujuan untuk memberikan

kontribusi Pemerintah dalam rangka mewjudkan peradilan

yang bebas (independence of judiciary) yang mampu

memujudkan keadilan, kepastian hukum dan

kemanfaatan.

E. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual

Sesuai dengan tuntutan abad 20, terutama sesudah

perang dunia II Internasional Commission of Jurists yang

merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional dalam

konferensinya di Bangkok pada tahun 1965 memperluas

konsep mengenai Rule of Law dan menekankan apa yang

dinamai “The Dynamic Aspeets of The Rule of Law In The

Modern Age”.

Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya

pemerintahan yang demokratis dibawah Rule of Law ialah:

1) Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi

selain menjamin hak-hak individu, harus menetukan pula

cara atau prosedur untuk memperoleh perlindungan atas

hak-hak yang dijamin;

2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

3) Pemilihan umum yang bebas;18

Page 19: Independence of Judiciari

4) Bebas untuk menyatakan pendapat

5) Kebebasan untuk berserikat dan beroposisi;

6) Pendidikan kewarganegaraan (civie education)8

Selain itu, dalam menegakan hukum, peradilan dituntut

harus mampu mewujudkan cita-cita hukum (idee das recht),

yaitu Kepastian hukum (Rechtssicheit), disamping unsur

kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan unsur keadilan

(Gerechtigkeit)9.

Dengan demikian dalam menemukan dan selanjutnya

menganalisis pelaksanaan prinsip kebebasan hakim

(independence of judiciary), maka teori yang dipergunakan

dalam penelitian ini adalah teori yang berkaitan dengan

prinsip negara hukum, prinsip kepastian hukum, kemanfaatan

dan keadilan.

1. Kerangka Teori

a. Teori Pengertian Negara Hukum

Cikal bakal ide tentang negara hukum pertama kali

dikemukan oleh Plato, ketika ia mengemukakan tetang

konsep Nomoi, dalam ketiga dengan judul Politicous

disamping tulisan pertama Politeia dan Politicous

tulisan keduanya. Dalam buku ketiganya tersebut

Plato mengemukakan, yang dimaksud Nomoi, bahwa 8 South East And Pacific Conference of Jurits, Bangkok, February15-19, 1965, The Dynamic

Aspeets of Rule of Law In The Modern Age (Bangkok, International Commission of Jurits, 1965, hlm 39-50.

9 Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 1

19

Page 20: Independence of Judiciari

penyelenggaraan negara yang balk ialah yang

didasarkan pada pengaturan (hukum) yang balk.10

Selanjutnya murid Plato, Aristoteles menguatkan

ide Plato tersebut. Dalam bukunya berjudul Politics.

Menurut Aristoteles, suatu negara yang balk ialah

negara yang diperintah dengan konstitusi dan

kedaulatan hukum. Menurutnya ada tiga unsur

pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu:

1) Pemerintahan yang dilaksanakan oleh kepentingan

umum,

2) Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang

berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum,

bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang

yang menyampingkan konvensi dan konstitusi.

3) Pemerintahan yang berkonstitusi berarti

pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak

rakyat, bukan berupa paksaan tekanan yang

dilaksanakan secara despotik.11

Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-

322 S.M) adalah negara yang berdiri di atas hukum

yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.

Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya

kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai 10 Budiono Kusumahamidjojo, 2004, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban

Yang Adil, Grasindo, Jakarta. hlm 36-3711 Ridwan HR, 2010, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta. hlm. 2.

20

Page 21: Independence of Judiciari

dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila

kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara

yang balk. Bagi Aristoteles12 Gagasan negara hukum

tersebut masih bersifat samar-samar dan tenggelam

dalam waktu yang panjang, kemudian kembali muncul

secara eksplisit pada abad ke-19, yaitu dengan

munculnya konsep rechtsstaat dari Freidrich Julius

Stahl, yang diilhami pemikiran Immanuel Kant. Menurut

Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechsstaat) adalah:13

1) Perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi

manusia

2) Negara yang didasarkan pada teori trias potitica ;

3) Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-

undang (wetmatig bestuur); dan

4) Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas

menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh

pemerintah (onrechmatige overheiddaad).

Lahirnya konsep negara hukum yang dikemukakan

oleh F.J. Stahl adalah konsep pemikiran negara hukum

Eropa Kontinental atau yang dipraktekkan di negara-

negara Eropa Kontinental (civil Law). Adapun konsep

12 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, Jakarta. hlm. 153.

13 Aristoteles, 2004, Politik Diterjemahkan dari Buku Polities, Oxford University, New York, 1995, Bentang Budaya, Yogyakarta. hlm: 161

21

Page 22: Independence of Judiciari

pemikiran negara hukum yang berkembang di negara-

negara Anglo-Saxon yang dipelopori oleh A.V. Decey

(dari inggris) dengan prinsip rule of law. Konsep negara

hukum tersebut memenuhi 3 (tiga) unsur utama: 14

1) Supermasi aturan-aturan hukum (Supremacy of the

law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-

wenang (Absence of arbitrary power), dalam arti

bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau

melanggar hukum;

2) Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum

(Equality before the law), Dalil ini berlaku balk untuk

orang biasa maupun untuk pejabat ;

3) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang

(di Negara lain dengan Undang-Undang Dasar) serta

keputusan-keputusan pengadilan.

Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam

negara hukum tersebut di atas, baik Rechtsstaat

maupun Rule of Law, mempunyai persamaan dan

perbedaan. Persamaan pokok antara Rechtsstaat

dengan Rule of Law adalah, adanya keinginan untuk

memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.

Keinginan memberikan perlindungan dan

penghormatan terhadap hak asasi itu, telah diimpikan

14 Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta. hlm. 57-58.22

Page 23: Independence of Judiciari

sejak berabad-abad lamanya dengan perjuangan dan

pengorbanan yang besar.

Dalam perkembangannya konsepsi negara hukum

tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang

secara umum dapat dilihat diantaranya: 15

1) Sistem pemerintahan yang didasarkan atas

kedaulatan rakyat;

2) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya harus berdasar atas hukum atau

peraturan perundang-undangan;

3) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia

(warga negara);

4) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

5) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan

(Rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri,

dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar

tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh

eksekutif;

6) Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota

masyarakat atau warga negara untuk turut serta

mengawasi perbuatan dan pelaksanaan

kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;'

15 Ridwan HR, op cit., hlm. 423

Page 24: Independence of Judiciari

7) Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin

pembagian yang merata sumber daya yang

diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

Khusus untuk Indonesia, istilah Negara Hukum,

sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law.

Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada

sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang

rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai

akibat dari situasi sosial politik Eropa didominir oleh

absolutisme raja16. Paham rechtstaats dikembangkan

oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti

Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl.

Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah

Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan

bukunya Introduction to Study of The Law of The

Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada

sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system.

Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant

dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der

Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara

hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham

negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan

fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat

perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara 16 Padmo Wahjono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta, hlm. 30.

24

Page 25: Independence of Judiciari

diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai

pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat.

Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan

nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats.17

Friedrich Julius Stahl (sarjana Jerman) dalam karyanya;

Staat and Rechtslehre II, 1878, memberikan pengertian

Negara Hukum sebagai berikut: Negara harus menjadi

Negara Hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga

daya pendorong bagi perkembangan pada zaman baru

ini.

Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara

tegas disebutkan dalam UUD 1945 (setelah

amandemen) bahwa, Pasal 1 ayat (3); "Indonesia ialah

hukum (rechtsstaat)". Indikasi bahwa Indonesia

menganut konsepsi welfare state terdapat pada

kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-

tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam

alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu;

1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia,

2) Memajukan kesejahteraan umum,

3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

4) Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan

perdamaian abadi dan keadilan sosial.17 M. Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 73-74.

25

Page 26: Independence of Judiciari

Instrumen awal fundamental dan fital dalam

mewujudkan tujuan tersebut melalui pembangunan

hukum. Kajian dari hasil penelitan tentang konsep

Negara hukum dan prinsip Negara hukum di beberapa

Negara, maka18 tampak unsur-unsur Negara hukum

Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu :

a) Pancasila dijadikan dasar hukum dan sumber hukum,

Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai yang hidup di

masyarakat juga memuat prinsip dalam agama

sehingga mempunyai kesamaan dengan nomokrasi

Islam.

b) Kedaulatan Negara ada pada rakyat dilaksanakannya

oleh lembaga Negara, yaitu sebagaimana disebut

dalam konstitusi yang bermakna adanya

permusyawaratan, hal ini mengingatkan kesamaan

dengan prinsip rule of law.

c) Adanya pembagian kekuasaan kepada lembaga-

lembaga tinggi Negara (distribution of powers)

d) Kekuasaan atau pemerintahan berdasarkan atas

sistem konstitusi,

e) Adanya independensi kekuasaan kehakiman,

18 Muin Fahmal, Opcit. hlm 14126

Page 27: Independence of Judiciari

f) Adanya kerja sama antara Dewan Perwakilan Rakyat

dan Pemerintah dalam pembentukan hukum dan

perundang-undangan,

g) Adanya jaminan hak-hak asasi manusia dan

kebebasan yang bertanggung jawab.

Pendapat Soediman Kartohadiprodjo tentang

hukum dan negara dalam kerangka Pancasila terkait

kedaulatan rakyat adalah segala aturan yang bersanksi

yang mengatur tingkah laku manusia yang dibentuk

berdasarkan penilaian tentang tingkah laku manusia

itu yang pada dasarnya tergantung dari penglihatan

manusia yang menilai tadi tentang tempat individu

dalam pergaulan hidup. Sedangkan negara hukum

Pancasila adalah negara berdasarkan hukum dimana

kegiatan pemerintahan dan negara harus sesuai

dengan hukum yang berlandaskan nilai-nilai

Pancasila19.

b. Teori Keadilan

Dikemukakan oleh John Rawls (lahir 1921)20

John Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa

prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat

dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls

19 Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta, hlm. 78

20 John Rawls, 2005, dalam Pan Mohamad Paiz. UI-Jakarta, Hlm 527

Page 28: Independence of Judiciari

mengembangkan pemikirannya,tentang masyarakat

yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula

dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan

teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran

Utilitarianisme. John Rawls mengambil gagasan dan

pemikiran dari Thomas Hobbes, John Locke, Jospeh

Butler, J.J. Rousseau, David Hume, J.S. Mill, dan Karl

Marx mengenai Teori keadilan.

Dari beragam pemikiran yang dituangkan dalam

karya-karyanya tersebut di atas, terdapat beberapa

konsep Rawls yang memperoleh apresiasi dan

perhatian luas dari beragam kalangan, diantaranya

yaitu: (1) Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang

bersumber dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan

kesempatan yang sama, serta prinsip perbedaan (two

principle of justices), (2) Posisi asali dan tabir

ketidaktahuan (the original position and veil of

ignorance); (3) Ekuilibrium reflektif (reflective

equilibrium), (4) Kesepakatan yang saling tumpang-

tindih (overlapping consensus), dan (5) Nalar publik

(public reason).

John Rawls mencoba untuk menganalisa kembali

permasalahan mendasar dari kajian filsafat politik

dengan merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan 28

Page 29: Independence of Judiciari

dan prinsip persamaan. Rawls mengakui bahwa

karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial

(social contract) yang pada awalnya diusung oleh

pelbagai pemikir kenamaan, seperti John Locke, Jean

Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Namun

demikian, gagasan sosial kontrak yang dibawa oleh

Rawls sedikit berbeda dengan para pendahulunya,

bahkan cenderung untuk merevitalisasi kembali teori-

teori kontrak klasik yang bersifat utilitarianistik dan

intuisionistik. Dalam hal ini, kaum utilitaris mengusung

konsep keadilan sebagai suatu keadaan dimana

masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan

kebahagiaan secara sama-rata. Rawls berpendapat

bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya

institusi-institusi sosial (social institutions). Secara

spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai

prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan

sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan

“posisi asali” (original position) dan “selubung

ketidaktahuan” (veil of ignorance). Sebagaimana pada

umumnya, setiap teori kontrak pastilah memiliki suatu

hipotesis dan tidak terkecuali pada konsep Rawls

mengenai kontrak keadilan. Dirinya berusaha untuk

29

Page 30: Independence of Judiciari

memosisikan adanya situasi yang sama dan setara

antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak

ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu

dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan,

status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan,

kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang

tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak

lainnya secara seimbang.

Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls

sebagai “posisi asali” yang bertumpu pada pengertian

ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri

rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom) dan

persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar

masyarakat (basic structure of society). Hipotesa Rawls

yang tanpa rekam historis tersebut sebenarnya hampir

serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas

Nagel sebagai “pandangan tidak darimanapun (the

view from nowhere), hanya saja dirinya lebih

menekankan pada versi yang sangat abstrak dari “the

State of Nature”.

Sementara itu, konsep “selubung ketidaktahuan”

diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang

dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan

30

Page 31: Independence of Judiciari

keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap

posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga

membutakan adanya konsep atau pengetahuan

tentang keadilan yang tengah berkembang. Melalui

dua teori tersebut, Rawls mencoba menggiring

masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan yang

adil. Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut

teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.

Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam

posisi asali masing-masing akan mengadopsi dua

prinsip keadilan utama. Pertama, setiap orang memiliki

hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang

paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-

kebebasan sejenis bagi orang lain. Kedua,

ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian

rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat sebesar-

besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak

diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan posisi-posisi

harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana

adanya persamaan kesempatan yang adil.

Prinsip pertama tersebut dikenal dengan “prinsip

kebebasan yang sama” (equal liberty principle), seperti

misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty),

kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi

31

Page 32: Independence of Judiciari

(freedom of speech and expression), serta kebebasan

beragama (freedom of religion). Sedangkan prinsip

kedua bagian (a) disebut dengan “prinsip perbedaan”

(difference principle) dan pada bagian (b) dinamakan

dengan “prinsip persamaan kesempatan” (equal

opportunity principle).

“Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat

dari prinsip ketidaksamaan yang dapat dibenarkan

melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang

menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah.

Sementara itu prinsip persamaan kesempatan yang

terkandung pada bagian (b) tidak hanya memerlukan

adanya prinsip kualitas kemampuan semata, namun

juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari

kualitas tersebut. Sehingga dengan kata lain,

ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan

kualitas kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat

dipandang sebagai suatu nilai yang adil berdasarkan

persepktif Rawls. Selain itu, prinsip pertama

memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar,

sementara pada prinsip kedua berpijak dari hadirnya

kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi yang

kemudian dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapat

diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap

orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang 32

Page 33: Independence of Judiciari

kurang beruntung (the least advantage).

Teori keadilan yang diciptakan melalui kacamata

Rawls sudah dipastikan akan menjadi topik perdebatan

hangat di kalangan para filsuf etik dan politik dari

bermacam mahzab pemikiran. Hingga kini banyak para

pakar lintas disiplin yang mendukung gagasan Rawls,

namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Selaku

rekan sejawatnya di Harvard University, Robert Nozick

menjadi orang pertama yang melancarkan kritik secara

terbuka terhadap “A Theory of Justice” melalui

bukunya yang berjudul “Anarchy, State and Utopia”

(1974). Umumnya hingga saat ini, kedua buku tersebut

selalu dibaca bersandingan untuk mengetahui pelbagai

ketidaksetujuan Nozick selaku kaum “libertian justice”

terhadap konsep Rawls mengenai prinsip moral (moral

principle), aturan-aturan (roles), jejak sejarah

(historical trace), dan keadilan distibutif (distributive

justice).

Robert Paul Wolff yang menulis “Understanding

Rawls: A Critique and Reconstruction of A Theory of

Justice” (1977) dari persepktif marxist dan Michael

Walzer dari kelompok komunitarian melalui karyanya

“Spheres of Justice” (1983), juga sama-sama

menunjukkan ketidak setujuannya terhadap konsep

keadilan yang didengungkan oleh John Rawls. Bahkan 33

Page 34: Independence of Judiciari

Amartya Sen dan G.A. Cohen turut pula mengkritisi

teori Rawls atas kedalaman dan keseriusan basis

egalitariannya.

Secara umum, kritikan yang muncul tersebut juga

mempertanyakan keabsahan dan keberfungsian

premis-premis keadilan Rawls apabila dihadapkan pada

kondisi-kondisi khusus dan pola kehidupan masyarakat

dunia yang terus berkembang, seperti misalnya

terhadap keadilan internasional (international justice).

Namun demikian, bagi John Rawls kritikan tersebut

justru dimanfaatkannya sebagai dasar penyempurnaan

dari teori kedilan yang tengah dikembangkannya.

Melalui bukunya “Political Liberalism” (1993),

Rawls mencoba untuk menjernihkan dan memperbaiki

kelemahan teori yang dibahasnya dalam beragam

perluasan masalah (problem of extension) yang

muncul di kemudian hari, berusaha dijawab olehnya

dalam yang tidak hanya sebatas bagaimana cara

membentuk keadilan sosial, namun juga bagaimana

politik yang adil, bebas, dan teratur dapat terus

dipelihara dalam konteks kekinian serta situasi sosial

yang ditandai dengan adanya keanekaragaman

agama, filsafat, dan doktrin moral. Dalam bukunya

tersebut, Rawls tidak saja memperkenalkan gagasan

34

Page 35: Independence of Judiciari

yang disebutnya sebagai “overlapping consensus”

guna membentuk kesepakatan terhadap keadilan dan

kesamaan diantara warga negara yang memiliki

pandangan keyakinan agama dan filosofis yang

berbeda-beda, namun juga menguraikan ide tentang

“nalar publik” (public reason) sebagai penalaran

bersama dari seluruh warga negara.

Berbeda dengan konsepsi dan paham kebebasan

berpolitik yang ditawarkan oleh John Locke atau John

Stuart Mill yang lebih mengedepankan filsafat

kebebasan budaya dan metafisik, John Rawls mencoba

untuk memperkuat argumentasi dari adanya

kemungkinan kesepakatan yang lebih bebas tanpa

memperhatikan kedalaman dari nilai-nilai keyakinan

agama dan metafisik yang disetujui oleh para pihak

sepanjang kesepakatan tersebut terbuka untuk

dibicarakan secara damai, logis, adil, dan bijaksana,

serta melepaskan adanya klaim-klaim atas kebenaran

yang universal (universal truth).

Dengan demikian, John Rawls telah

menyempurnakan prinsip-prinsip keadilannya menjadi

sebagai berikut: Pertama, setiap orang memiliki klaim

yang sama untuk memenuhi hak-hak dan

kemerdekaan-kemerdekaan dasarnya yang kompatibel 35

Page 36: Independence of Judiciari

dan sama jenisnya untuk semua orang, serta

kemerdekaan berpolitik yang sama dijamin dengan

nilai-nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan

ekonomi dapat dipenuhi atas dasar dua kondisi, yaitu:

(a) melekat untuk jabatan-jabatan dan posisi-posisi

yang dibuka bagi semua orang di bawah kondisi

adanya persamaan kesempatan yang adil; dan (b)

diperuntukan sebagai kebermanfaatan sebesar-

besarnya bagi anggota-anggota masyarakat yang

paling tidak diuntungkan.

Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukakann

pada konsep yang awalnya disebut sebagai “hak yang

sama” (equal rights) menjadi “klaim yang sama” (equal

claim), serta adanya modifikasi terhadap frasa “sistem

kemerdekaan-kemerdekaan dasar” (system of basic

liberties) menjadi “skema pemenuhan yang memadai

terhadap hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekan

dasar” (a full adequate scheme of equal basic rights

and liberties). Sebagai tujuan utama dari hukum, maka

keadilan sering menjadi fokus utama dari setiap

diskusi tentang hukum. Sayangnya, karena keadilan

merupakan konsep yang sangat abstrak, sehingga di

sepanjang sejarah manusia tidak pernah mendapatkan

36

Page 37: Independence of Judiciari

gambaran yang pasti tentang arti dan makna yang

sebenarnya dari keadilan, jadi dalam hukum terdapat

bentrokan yang tak dapat dihindarkan pertikaian yang

selalu berulang antara tuntutan-tuntutan keadilan dan

tuntutan-tuntutan kepastian hukum. Makin banyak

hukum memenuhi syarat ”peraturan yang tetap”, yang

sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian, jadi

makin tepat dan tajam peraturan hukum itu.

c. Teori Kepastian Hukum

Dikemukakan oleh Hans Kelsen

Sistem hukum di Indonesia yang menganut sistem

Civil Law ini, dimana cenderung bersifat “rule-based”

atau menekankan pada aspek norma/kaidah/hukum

tertulis yang abstrak dan konseptual21. Seperti

diketahui sumber hukum itu ada yang tertulis maupun

yang tidak tertulis, tetapi hukum tidak tertulis di

Indonesia masih diakui seperti halnya hukum adat.

Salah satu sifat penting dari hukum tertulis

terletak dalam kekakuannya (Lex dura sed tamen

scripta) mengisyaratkan bahwa hukum itu keras atau

kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum

itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka 21 Elly Erawaty, “Pengantar Perbandingan Hukum”, (Diktat Perkuliahan Fakultas Hukum

Universitas Katolik Parahyangan Tahun 2010), hlm. 5837

Page 38: Independence of Judiciari

perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya

sebagai sebuah dokumen tertulis. Apabila semula

berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau

pencarian keadilan, maka sekarang kita dihadapkan

kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks, dan

lain-lain.22

Jika dilihat kesejarahannya, maka pemikiran

terhadap perlunya prinsip kepastian hukum ini adalah

berasal dari semangat yang digelorakan pada revolusi

eropa akhir abad ke-18. Pada saat itu, digelorakan

semangat liberty, egality, and fraternity yang artinya

adalah: kebebasan, persamaan, dan persaudaraan,

untuk menghapuskan absolutisme kekuasaan

monarkhi feodal dengan segala otoritarianismenya.

Salah satu bentuk kesewenang-wenangan kekuasaan

pada saat itu adalah seringnya dilakukan penjatuhan

hukuman terhadap seseorang hanya atas dasar

perkataan raja dan tanpa adanya dasar hukum yang

jelas, sehingga begitu revolusi eropa pada paruh akhir

abad ke-18 tersebut berhasil dengan ditandai

berhasilnya revolusi Perancis melalui tokohnya

Napoleon Bonaparte maka mulai dicanangkanlah

pemikiran tentang perlunya kepastian hukum melalui

22 Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta . hlm. 9

38

Page 39: Independence of Judiciari

pengaturan pola perilaku masyarakat dengan

penetapan norma-norma ke dalam hukum tertulis yang

dilakukan terlebih dahulu sebelumnya, dan pemilihan

bentuk hukum tertulis ini dilakukan karena didasarkan

pada keyakinan bahwa hanya dengan bentuk hukum

tertulislah maka segala macam norma yang mengatur

masyarakat dapat dirujuk dan dilihat dengan jelas dan

pasti sehingga nantinya diharapkan dapat menjamin

kepastian hukum. Adanya perkembangan pemikiran

bahwa segala macam norma atau aturan yang

mengatur perilaku masyarakat harus dituangkan dalam

bentuk hukum tertulis ini membawa konsekuensi

munculnya apa yang dinamakan dengan pemikiran

legisme, yakni pemikiran yang menyatakan bahwa apa

yang dapat disebut sebagai hukum hanyalah undang-

undang dan oleh karenanya segala macam norma

diluar undang-undang bukanlah hukum.23

Pemikiran legisme ini kemudian mendapat

kekuatan filosofisnya melalui aliran pemikiran

positivisme hukum dengan tokoh-tokohnya yang

terkenal seperti Hans Kelsen ataupun John Austin.

Menurut Kelsen, metodologi ilmu hukum haruslah

mengikuti metodologi ilmu pada umumnya (sains)

23 Joeniarianto, “Jalan Mundur (dalam) Positivisme Hukum Indonesia, <http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/07 (diakses pada tanggal 3 Juli 2012)

39

Page 40: Independence of Judiciari

karena menurutnya metode ilmu pada hakekatnya

adalah satu, sehingga ruang lingkup hukum haruslah

dibersihkan dari segala hal yang sifatnya abstrak dan

tidak pasti (positif = pasti) seperti halnya masalah-

masalah etika, moral, dan keadilan, sehingga ruang

lingkup hukum hanyalah apa yang sudah nyata dan

pasti saja yang tidak lain adalah undang-undang.24

Pemikiran mengenai kepastian hukum ini

dipengaruhi dari aliran positivisme yang

mengedepankan hukum tertulis yang dimana menjadi

suatu hukum yang harus ditegakkan dan terpaku

dalam undang-undang, yang mengindikasi bahwa

hakim merupakan corong dari undang-undang.

Hakim positivis atau legisme merupakan hakim

yang dipengaruhi oleh mazhab atau aliran positivisme

hukum. H. L. A. Hart mengemukakan berbagai arti dari

positivisme tersebut sebagai berikut:

a) Hukuman adalah perintah

b) Analisis hukum terhadap konsep-konsep hukum

berbeda dengan studi sosiologis, historis, dan

penilaian kritis

c) Keputusan-keputusan dapat diedukasikan secara

logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih

24 Ibid40

Page 41: Independence of Judiciari

dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan

sosial, kebijaksanaan, dan moralitas

d) Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan

dan dipertahankan oleh penalaran rasional,

pembuktian atau pengujian

e) Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan pasti

harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang

seharusnya diciptakan dan diinginkan.25

Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-

satunya sumber hukum adalah undang-undang,

sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan

undang-undang pada peristiwa yang konkret. Undang-

Undang dan hukum diidentikkan. Hakim positivis juga

dapat dikatakan sebagai corong undang-undang.26

Hakim yang menganut positivisme hukum sejalan

dengan pengutamaan kepastian hukum, yang

beranggapan bahwa apabila hakim diberikan

wewenang menafsirkan undang-undang atau

menemukan hukum sendiri langsung ke masyarakat

maka kepastian hukum akan terganggu. Hakim dalam

memutus perkara dapat dianggap tidak perlu

memperhatikan tujuan penegakan hukum untuk

25 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2011, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori HukumCitra Aditya Bakti, Bandung. hlm. 57-58.

26 Jamaluddin Karim, 2013, Politik Hukum Legalistik, Imperium, Yogyakarta. hlm. 25-2641

Page 42: Independence of Judiciari

mewujudkan keadilan dan kemanfaatan.27

Positivisme hukum menganggap berlakunya

hukum positif itu dasar kenyataan (tanda-tanda

lahiriah), seperti pelaksanaan peraturan secara nyata

oleh penguasa atau penyesuaian peraturan hukum

dalam sistem hukum. Jadi, berlakunya suatu peraturan

hukum itu bukan karena segi materialnya, melainkan

segi formalnya, yakni peraturan hukum itu harus

terjadi dengan cara yang benar, dibuat oleh instansi

yang berwenang dan merupakan bagian dari

istimewanya.28

Dalam bentuk yang paling murni, positivisme

hukum adalah suatu aliran dalam ilmu hukum yang

ingin memahami hukum yang berlaku semata-mata

dari dirinya sendiri, dan menolak memberikan sedikit

pun putusan nilai mengenai peraturan hukum. Dengan

kata lain, dalam memutus suatu perkara, ajaran

positivisme hukum mengutamakan “penemuan hukum,

kepastian hukum”.29

Aliran positivis mengklaim bahwa ilmu hukum

adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan tentang

kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang 27 Ibid 28 Ibid, hlm. 2729 Ibid

42

Page 43: Independence of Judiciari

semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas)

maka mereka yang menganut aliran ini mencoba

menuliskan kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya

sebagai perundang-undangan.30

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang

hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis.

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu

peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena

mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian

tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan

logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma

dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau

menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang

ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat

berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau

distorsi norma31.

Asas kepastian hukum dalam suatu sistem hukum

memiliki bentuk dan kedudukan. Asas kepastian

hukum dalam arti bentuknya ada dua yaitu, pertama,

asas hukum dalam arti formil dan kedua, asas

kepastian hukum dalam arti materiil. Asas kepastian

30 Abdul Halim, 2009, “Teori-Teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-Kritiknya”, (Jurnal Asy-syir`ah Vol. 42 No. II. hlm. 390

31 Yance Arizona, “Apa Itu Kepastian Hukum?”, http://yancearizona.wordpress.com/2008/ (diakses pada tanggal 3 Juli 2012)

43

Page 44: Independence of Judiciari

hukum dalam bentuk yang pertama (formil) adalah

suatu keputusan yang harus cukup jelas bagi yang

bersangkutan. Artinya, setiap keputusan hukum harus

jelas menurut isi rumusan maupun pengertiannya dan

tidak bergantung pada penafsiran orang lain. Dengan

demikian maka asas kepastian hukum formil

menunjukkan bahwa setiap orang yang berhadapan

dengan suatu keputusan hukum dalam arti materil

adalah asas kepastian hukum yang mencerminkan

asas legalitas. Sedangkan menurut Philipus Hadjon,

asas kepastian hukum materil berhubungan erat

dengan asas kepercayaan.32

Aliran positivisme ini bersifat legalistik yang

mengedepankan peraturan tertulis sebagai sumber

hukum utama yang menjadikan kepastian hukum

sebagai tujuan utama dari hukum yang dimana hakim

hanya sebagai corong undang-undang. Apeldoorn

berpendapat, pengertian kepastian hukum adalah

kepastian suatu undang-undang, namun kepastian

hukum tidak menciptakan keadilan oleh karena nilai

pasti dalam undang-undang mewajibkan hal yang

tentu sedangkan kepentingan manusia tidak pernah

32 LIPI, “PIH”, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2208125136.pdf, (diakses pada tanggal 3 Juli 2012)

44

Page 45: Independence of Judiciari

pasti.33

Scheltema menyatakan hukum tanpa kepastian

akan kehilangan maknanya sebagai hukum karena

tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi

semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum: dimana

tiada kepastian hukum, disitu tidak ada hukum.34

Rochmat Soemitro berpendapat berbeda,

kepastian hukum adalah keadilan oleh karena

kepastian hukum yang terwujud dalam undang-undang

sudah mengakomodasi nilai keadilan. Kepastian hukum

merupakan certainty yakni tujuan setiap undang-

undang. Dalam membuat undang-undang dan

peraturan-peraturan yang mengikat umum harus

diusahakan supaya ketentuan yang dimuat dalam

undang-undang adalah jelas, tegas dan tidak

mengandung arti ganda atau memberi peluang untuk

ditafsirkan lain.35

Kepastian hukum pertama-tama berarti kepastian

dalam pelaksanaannya. Maksudnya ialah bahwa

33 L. J. Apeldoorn, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, (Jakarta: Pradnya Paramitha, hlm. 14-15; Lihat Pula, Bambang Priyambodo (1), “Kepastian Hukum Dalam Pelaksanaan Eksekusi Putusan Badan Peradilan Tata Usaha Negara”, (Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2011), hlm. 87

34 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Op.Cit, hlm. 21

35 Bambang Priyambodo, Op. Cit, Hlm. 88; Lihat pula, Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm. 16-17

45

Page 46: Independence of Judiciari

hukum yang resmi diperundangkan dilaksanakan

dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum berarti

bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum

dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan

bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan

dikenakan sanksi menurut hukum juga.36

Pengadilan mengambil putusan melulu

berdasarkan penilaian terhadap status hukum masalah

yang diperkarakan dan tidak menurut kepentingan-

kepentingan pihak-pihak tertentu. Maka keputusan

pengadilan harus bebas dari pengaruh kekuasaan.

Aturan-aturan hukum harus dirumuskan dengan ketat

dan sempit agar keputusan dalam perkara pengadilan

tidak dapat menurut tafsiran subyektif dan selera

pribadi hakim.37

Hal yang terpenting dari unsur kepastian hukum

adalah memberikan jaminan agar suatu undang-

undang itu tidak multi-tafsir karena suatu norma yang

diatur di dalam suatu undang-undang tersebut harus

jelas yang dapat dilaksanakan berdasarkan tujuan

yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut.

Tujuan ini dimaksudkan untuk melindungi

36 Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 79-8137 Ibid

46

Page 47: Independence of Judiciari

kepentingan-kepentingan atau hak-hak konstitusional

masyarakat karena tujuan dari kepastian hukum bukan

hanya menjalankan ketentuan-ketentuan tertulis dari

konstitusi tetapi harus menegakkan nilai-nilai

fundamental yang terkandung di dalam konstitusi.

Kepastian hukum itu adalah kepastian undang-

undang atau peraturan, segala macam cara, metode

dan lain sebagainya harus berdasarkan undang-undang

atau peraturan. Di dalam kepastian hukum terdapat

hukum positif dan hukum tertulis. Hukum tertulis ditulis

oleh lembaga yang berwenang, mempunyai sanksi

yang tegas, sah dengan sendirinya ditandai dengan

diumumkannya di lembaga negara.38 Prinsip ini dapat

dikaitkan dengan teori hukum murni (pure theory of

law) Hans Kelsen.

Hukum bukan hanya undang-undang dan

kepastian hukum tidak terletak pada undang-undang

melainkan pada cita rasa keadilan yang terdapat pada

sanubari masyarakat, aliran yang tepat saat ini adalah

aliran sosiologi hukum. Kepastian hukum tumbuh dan

berkembang dari masyarakat itu sendiri. Namun, tanpa

kita sadari, aliran positivism ini masih berurat akar

38 Sakhiyatu Sova, “Tiga Nilai Dasar Hukum Menurut Gustav Redbruch”, https://www.scribd.com/doc/170579596 (diakses pada tanggal 19 Oktober 2014).

47

Page 48: Independence of Judiciari

pada para legislator dan bahkan pemerintah sendiri39.

2. Kerangka Konsep

a) Konsep Rechtsstaat

Secara istilah kata “Negara Hukum” dalam

kepustakaan Indonesia hak asasi manusia selalu

dipadankan dengan istilah-istilah asing antara lain

“Rechtsstaat”, “etat de droit”, “The State in according

to law”, ”Legal state” and “The rule of law”. Penjelasan

Undang-Undang Dasar 1945 digunakan istilah

rechtsstaat diantara dua kurung setelah kata “Negara

Berdasarkan Atas Hukum”. Setelah amandemen ke 4

sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, oleh

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 digunakan

istilah “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Notohamidjojo menuliskannya dengan sebutan “Negara

Hukum atau Rechtsstaat”40. Sedangkan Muh. Yamin

menuliskannya dengan “Republik Indonesia ialah

Negara Hukum (rechtsstaat, government of law)”41.

Dari istilah yang digunakan oleh kedua ahli tersebut,

sulit untuk menghilangkan nuansa rechtsstaat dari

pengertian istilah “Negara Hukum”. Sunaryati Hartono,

39 Bambang Priyambodo, 2011, Politik Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, Mahardika Parahyangan Press, Bandung. hlm. 9

40 Notohamidjojo, 1970, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, hlm. 2741 Moh. Yamin, 1982, Proklamasi dan Konstitusi Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 72

48

Page 49: Independence of Judiciari

menyamakan arti istilah “Negara Hukum” dengan rule

of law, sebagaimana terlihat dalam tulisannya: “…

Supaya tercipta suatu Negara hukum yang membawa

keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan,

penegakan The rule of law itu harus dalam arti

materiel”.42

b) Konsep The Rule of Law

Konsep the rule of law awalnya dikembangkan oleh

seorang pemikir berkebangsaan Inggris Albert Venn

Dicey melalui karyanya Introduction toStudy of Law of

the Constitution yang diterbitkan pertama kali tahun

1885. Diceymengemukakan tiga unsur utama the rule

of law yaitu: (a) Supremacy of Law (Supremasi Hukum);

(b) Equality before the law (persamaan dihadapan

hukum); (c) Constitution based on individual right

(konstitusi yang didasarkan kepada hak-hak

perorangan).43

Makna unsur supremasi of law, adalah negara

diatur oleh hukum, seorang hanya dapat dihukum

karena melanggar hukum dan hak kebebasan seorang

warga terjamin oleh hukum. Makna dari equality before

the law, adalah semua warga negara dalam 42 Sunaryati Hartono, 1976, Apakah The Rule of Law, Alumni, Bandung, hlm. 35.43 Irfan Fachruddin, 2003, Konsekuensi Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan

Pemerintahan, Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung, hlm.133.49

Page 50: Independence of Judiciari

kapasitaspribadi maupun pejabat negara tunduk pada

hukum yang sama (ordinary law) dan diadili oleh

pengadilan yang sama (ordinary court). Perbedaan

yang menonjol dari konsep rechtsstaat adalah bahwa

konsep rule of law tidak mengenal badan peradilan

khusus bagi pejabat publik, sedang pada sistem hukum

eropa continental mengenal badan peradilan khusus

bagi pejabat negara dalam mengisi tindakannya

melaksanakan tugas kenegaraan berupa badan

peradilan administrasi tersendiri dan merupakan suatu

ciri spesifik penting yang menonjol. Constitution based

on individual right, konstitusi bukanlah sumber tetapi

merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang

dirumuskan dan ditegaskan oleh pengadilan dan

parlemen hingga membatasi posisi Crown dan

aparaturnya.44

Dalam hubungannya dengan supremacy of law,

Albert Venn Dicey menjelaskan sebagai berikut :

“The Absolute supremacy or predominance of regular law as opposed to the influence of the arbitary power and excludes the existence of arbitariness of prerogative, or even wide discretionary authority on the part of the government. Englishmen are rule by the law,

44 Made Pasek Diantha, 2000, Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman, Disertasi Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 72.

50

Page 51: Independence of Judiciari

and by the law alone, a man may with us can be punished for nothing else”.45

 “Supremasi absolute atau keunggulan regular law

sebagai kebalikan dari pengaruh kekuasaan sewenang-

wenang dan meniadakan adanya kesewenang-

wenangan prerogative, atau wewenang diskresi yang

luas pada pihak pemerintah. Orang Inggris diatur oleh

hukum, dan hanya oleh hukum, seseorang barangkali

dihukum bersama kami untuk suatu pelanggaran

hukum, dia boleh dihukum tetapi bukan untuk yang

lain”.

Lebih lanjut Wade and Philips mengetengahkan

tiga unsur the rule of law, yaitu : (a) the rule of law,

adalah suatu pandangan filosofis barat terhadap

masyarakat berkaitan dengan demokrasi menentang

otokrasi. (b) the rule of law merupakan doktrin hukum

bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai

dengan hukum. (c) the rule of law merupakan kerangka

pikir politik yang harus dirinci lebih jauh dalam

peraturan-peraturan hukum substantive dan hukum

formal.46

45 Dicey AV, 1952, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, Nineth Edition, Mac.Millan and Co, London, hlm 223.

46 Notohamidjojo,O, Log.Cit., hlm. 81-82.51

Page 52: Independence of Judiciari

Philipus M. Hadjon mengakui adanya perbedaan

dan persamaan antara konsep rechtsstaat dan the rule

of law. Kedua konsep itu ditopang oleh sistem hukum

yang berbeda. Konsep rechtsstaat lahir dari perjuangan

menentang absolutism sehingga bersifat revolusioner,

bertumpu pada sistem hukum continental yang

disebut“civil law”atau “modern roman law”, dengan

karakteristik administrative. Sebaliknya konsep the rule

of law berkembang secara revolusioner bertumpu pada

sistem hukum“common law” dengan karakteristik

judicial.47 Perbedaan itu sekarang sudah tidak

dipermasalahkan lagi, karena keduanya menuju pada

sasaran yang sama, yaitu jaminan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia.

c) Konsep Negara Hukum Indonesia

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945 Amandemen ke-IV menegaskan bahwa:

“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Selanjutnya

Pemerintah memperoleh kekuasaan dari hukum dan

menjalankan kekuasaan itu menurut hukum dan

kekuasaan juga dibatasi oleh hukum. Hal ini mirip

supremacy of law dalam konsep the rule of law dan 47 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm.72.

52

Page 53: Independence of Judiciari

asas legalitas atau wetmatigheid van bestuurr yang

kemudian berubah menjadi rechtmatigheid van bestuur

dalam konsep rechtsstaat.Perbedaan yang paling asasi

dari negara hukum Indonesia hanya terletak pada

dasar bertumpu yaitu “Keseimbangan hubungan antara

pemerintah dan rakyat”.48 Indonesia disebut dengan

istilah negara hukum Pancasila. Pancasila itu adalah

asas atau “guiding principle” dalam menegara di

Indonesia. Sebagai asas menegara, Pancasila dapat

dikatakan sebagai Ideologi Negara. Secara yuridis,

Pancasila itu adalah pokok kaidah negara yang

fundamental. Dengan demikian, sebagai guiding

principle, Pancasila itu adalah norma kritis untuk

menguji dan mengkaji berbagai tindakan dan putusan

di bidang-bidang politik, kenegaraan, hukum dan

ekonomi.49

Dapat disimpulkan bahwa proses perumusan

Pancasila adalah hasil usaha para pemimpin

pergerakan nasional untuk menetapkan dasar-dasar

atau asas-asas untuk mewujudkan kemerdekaan dan

menyusun serta menyelenggarakan kemerdekaan itu

dalam suatu negara nasional. Dilihat dari sudut politik

48 Irfan Fachruddin, Op.Cit, hlm. 145.49 Bambang Priyambodo, Op.Cit, hlm. 77-78.

53

Page 54: Independence of Judiciari

praktis, maka Pancasila itu adalah perumusan dan

konsensus nasional yang secara moral mengikat setiap

insan politik Indonesia dalam menjalankan kegiatan

politik sebagai “guiding principle”. Penempatan dalam

pembukaan dan kedudukannya dalam Undang-undang

Dasar, menyebabkan Pancasila juga mempunyai

kekuatan hukum. Karena itu pula, perilaku dalam

menjalankan kegiatan politik yang secara

konstitusional konsisten dengan Undang-Undang Dasar

Tahun 1945 adalah pola perilaku (politik) yang dijiwai

oleh Pancasila.50

d) Konsep Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

Kekuasaan kehakiman yang merdeka diartikan

sebagai pelaksana peradilan yang bebas dan tidak

memihak yang dilakukan oleh hakim untuk

menyelesaikan berbagai masalah hukum yang diajukan

ke pengadilan. Kekusaan Kehakiman yang merdeka ini

merupakan elemen mutlak yang harus ada didalam

sebuah negara yang berpredikat negara hukum51.

Menurut C.S.T. Kansil dan Christine ST Kansil:

Kekuasaan Kehakiman ini mengandung pengertian

50 Ibid.51 C.S.T. Kansil dan Chirstine ST Kansil, 1984, Hukum Tata Negara RI Jilid I, Rineka Cipta,

Jakarta. hlm 191-19254

Page 55: Independence of Judiciari

didalamnya kekusaan kehakiman yang bebas dari

campur tangan pihak kekusaan negara lainnya, dan

kebebasan dari paksaan, diretiva dan rekomendasi

yang datang dari pihak ekstra yudisial dalam hal-hal

yang diizinkan Undang-Undang. Kebebasan dalam

melaksanakan wewenang yudial tidaklah mutlak

sifatnya karena tugas hukum adalah untuk

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila dengan menafsirkan hukum dan mencari

dasar-dasar, asas-asas yang menjadi landasannya,

melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya

sehingga keputusannya mencerminkan keadaan

bangsa dan rakyat Indonesia.

Montesquie mengemukakan pentingnya

kekuasaan yudikatif karena kekuasaan Kehakiman

yang independen akan menjamin kebebasan individu

dan hak asasi manusia. Prinsip persamaan di muka

hukum merupakan elemen yang penting dalam konsep

rule of law. Selanjutnya Montequieu mengatakan:

Kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman

tidak dipisahkan dari kekusaan legislatif dan kekusaan

eksekutif. Jika kekusaan Kehakiman disatukan dengan

kekusaan legislatif, kekuasaan atas kehidupan dan

55

Page 56: Independence of Judiciari

kebebasan warga negara akan dijalankan sewenang-

wenang karena hakim akan menjadi pembua hukum.

Jika kekuasaan Kehakiman disatukan dengan kekusaan

eksekutif, hakim bisa menjadi penindas, yang perlu

digarisbawahi adalah kemandirian kekuasaan

Kehakiman tidak saja mandiri secara kelembagaan,

tetapi juga kemandirian dalam proses peradilan yang

diindikasikan dari proses pemeriksaan perkara,

pembuktian, hingga pada vonis yang dijatuhkan.

Parameter mandiri atau tidaknya proses peradilan

ditandai oleh ada atau tidaknya intervensi dari pihak-

pihak lain di luar kekuasaan kehakiman.52

Rumusan tentang kekuasaan Kehakiman diatur

dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 pasca

amandemen yang selengkapnya berbunyi sebagai

berikut: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilan”.53

Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut

dapat diartikan pada suatu kekuasaan yang terlepas

52 Andi. M. Nasrun, 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta, hlm 32

53 Ibid56

Page 57: Independence of Judiciari

dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan karenanya

harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang

kedudukan para hakim Kekuasaan kehakiman sebagai

kekuasaan yang merdeka juga berarti bebas dari

campur tangan pemerintah atau badan negara yang

lain atau pihak manapun yang akan mempengaruhi

penyelenggaraan tugas serta wewenangnya.54

Mengenai hal ini secara eksplisit telah di

amanatkan dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, telah menentukan bahwa

kekuasaan Kehakiman adalah kekusaan yang mandiri

dan terlepas dari kekuasaan pemerintah, sehingga

dipandang perlu melaksanakan pemisahan tegas

antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif.

1) Mahkamah Agung

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

berbunyi sebagai berikut : Kekuasaan Kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

54 Sirajuddin, 2006, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm 34

57

Page 58: Independence of Judiciari

peradilan tata usaha negara dan sebuah Mahkamah

Konstitusi”. Dari rumusan pasal tersebut Mahkamah

Agung bukanlah satu- satunya pelaku kekuasaan

Kehakiman, namun demikian tugas dan kewenangan

Mahkamah Agung berbeda dengan Mahkamah

Konstitusi, Mahkamah Agung memiliki posisi

strategis terutama di bidang hukum dan

ketatanegaraan yang diformat:

a) Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan;

b) Mengadili pada tingkat kasasi;

c) Menguji peraturan perundang-undangan di

bawah undang- undang

d) Berbagai kekuasaan atau kewenangan yang

diberikan oleh Undang-Undang.

Untuk selanjutnya mengenai Mahkamah Agung

diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Dan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang

Perubahan ke-II Undang-Undang ini, yang

selanjutnya merubah substansi undang-undang

sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor l4 Tahun

1985. Perubahan tersebut disamping guna

58

Page 59: Independence of Judiciari

disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah

ditetapkan dalam Amandemen Undang-Undang

Dasar 1945, juga didasarkan atas Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Hal baru sebagai bagian dari perubahan Undang-

Undang Mahkamah Agung adalah mengenai

bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung

jawab Mahkamah Agung meliputi bidang pengaturan

dan pengurusan masalah organisasi, administrasi

dan finansial badan peradilan yang dikenal sebagai

penyatuan atap lembaga peradilan pada Mahkamah

Agung. Penyatuan atap merupakan pembaharuan

pengelolaan administrasi umum peradilan yang

meliputi keuangan dan ketenagaan sehingga terjadi

perubahan paradigma manajemen keorganisasian.

Meskipun penyatuan atap ini merupakan tuntutan

reformasi di bidang hukum, namun penyatuan atap

berpotensi menimbulkan monopoli kekuasaan

kehakiman oleh Mahkamah Agung. Sebab setiap

kekuasaan selalu mengandung potensi

disalahgunakan atau dilaksanakan dengan

melampaui wewenang. Untuk itulah perlu ada

59

Page 60: Independence of Judiciari

jaminan yang dapat memberi posisi lebih baik

terhadap para pencari keadilan maupun terhadap

subyek yang dituntut melalui mekanisme

pengawasan.

2) Kewenangan Pengawasan oleh Mahkamah

Agung

Salah satu fungsi Mahkamah Agung Republik

Indonesia adalah fungsi pengawasan yang diberikan

oleh Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang

kekuasaan kehakiman yaitu dalam Bab VI Pasal 39

ayat (1) yang dinyatakan bahwa: “Pengawasan

Tertinggi pada semua badan Peradilan dibawah

Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan

Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah

Agung” berdasarkan ketentuan Undang- Undang”.

Pelaksanaan pengawasan juga bersandar pada Pasal

32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung yang menyatakan sebagai

berikut:

a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan

tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di

60

Page 61: Independence of Judiciari

semua lingkungan peradilan dalam menjalankan

kekuasaan kehakiman.

b. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan

perbuatan para hakim di semua lingkungan

peradilan dalam menjalankan tugasnya.

c. Mahkamah Agung berwenang untuk meminta

keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan

dengan teknis peradilan dan semua lingkungan

peradilan.

d. Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk,

teguran atau peringatan yang dipandang perlu

kepada pengadilan disemua lingkungan

peradilan.

Pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung

tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim

dalam memeriksa dan memutus perkara. Dari

ketentuan diatas maka terlihat bahwa yang harus

diawasi oleh Mahkamah Agung adalah jalannya

peradilan (rechstsgang) dengan tujuan agar

jalannya peradilan dapat diselenggarakan oleh

pejabat pengadilan dengan seksama dan

sewajarnya.

61

Page 62: Independence of Judiciari

Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi

jalannya peradilan, namun demikian Mahkamah

Agung dapat mendelegasikan kewenangannya pada

pengadilan tingkat banding berdasarkan asas

sederhana, cepat dan biaya ringan.

Melalui asas ini memungkinkan pendelegasian

kewenangan pengawasan tersebut. Di dalam praktek

selama ini Mahkamah Agung dalam melaksanakan

pengawasan telah mendelegasikan kepada para ketua

Pengadilan Tinggi disemua lingkungan peradilan

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan

hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau

penelitian hukum kepustakaan (library research), yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier.

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum

normatif mencakup lima macam penelitian, yaitu

penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap

sisitematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi 62

Page 63: Independence of Judiciari

hukum, penelitian perbandingan hukum dan penelitian

sejarah hukum, Negara Indonesia adalah Penganut sistem

Hukum Civil law atau Eropa Kontinental berbeda dengan

Negara Singapura, karena itu penelitian ini menggunakan

perbandingan dengan Judex Juris Lembaga Hukum

Tertinggi di Negara yang bersistem Common law atau

Anglo Saxon55.

Proses ilmiah ini mengikuti pedoman Metode

Penelitian Ilmu Hukum Normatif amat berbeda dalam

proses ilmiahnya dengan disiplin-disiplin ilmu lain seperti

misalnya dengan ilmu-ilmu sosial. Ciri-ciri utama dari

Metode Penelitian Hukum Normatif ini ialah:56

1) Deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif;

2) Tahap penelitian: Penelitian kepustakaan, data yang

dicari adalah data sekunder dengan menggunakan

bahan hukum primer, sekunder, tersier dan lain-lain;

3) Konsep, perspektif, teori, paradigma yang menjadi

landasan teoritikal penelitian mengacu pada kaidah

hukum yang ada dan berlaku pada ajaran hukum (dan

pakar hukum yang terkemuka);

4) Jarang menampilkan hipotesis;

55 Soerjono Soekamto dan Sri Mahmudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafino Persada, Jakarta. hlm 14.

56 Lili Rasjidi, 2011, Menggunakan Teori atau Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Bandung. hlm. 5-11

63

Page 64: Independence of Judiciari

5) Analisis data dilakukan secara kualitatif artinya tanpa

menggunakan angka, rumus statistik, dan matematik.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian

hukum normatif didukung dengan hasil wawancara

dengan pihak-pihak yang relevan dengan topik

penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

a) Studi kepustakaan, yaitu mempelajari referensi umum

(perundang-undangan, peraturan, buku-buku teks,

kamus) dan referensi khusus (jurnal, laporan penelitian).

b) Studi lapangan, dilakukan dengan metode analisa

terhadap putusan Mahkamah Agung yang tidak terikat

oleh undang-Undang dan meresponden dari para hakim

untuk mengetahui kelebihan maupun kekurangan jika

diterapkan adanya paradigma lain yang diadopsi

dengan pertanyaan yang telah dipersiapkan. Cara ini

digunakan untuk mengungkapkan kebenaran secara

sistematis, metodologis, dan konsisten. “Dilakukan

analisis dan konstruksi terhadap data yang telah

dikumpulkan. Melalui proses penelitian ini diadakan

64

Page 65: Independence of Judiciari

analisa dan konstruksi terhadap data yang telah

dikumpulkan dan selanjutnya diolah”57.

3. Jenis dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini, meliputi data

primer dan data sekunder, sebagai berikut:

a) Data Primer ialah data yang diperoleh dari sumbernya

secara langsung. Data ini dilakukan dengan cara

wawancara terhadap responden.

b) Data sekunder yakni berupa:

1) Diperoleh melalui bahan hukum primer, yaitu bahan-

bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman maupun Undang-Undang

Mahkamah Agung dan lainnya yang berkaitan

dengan Mahkamah Agung

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil-hasil

karya ilmiah, buku-buku ilmiah, dan sebagainya.

57 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 1.

65

Page 66: Independence of Judiciari

3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang

memberi petunjuk penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder, antara lain kamus hukum,

kamus bahasa Indonesia, karya ilmiah maupun

Ensiklopedia, atau Media cetak dan lain sebagainya.58

4. Analisis Data

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu dengan mengadakan

penelitian di lapangan tentang Sistem Peradilan

menyangkut upaya Mahkamah Agung sebagai Judex Juris

dalam memutus tanpa terikat dengan Undang-Undang

hukum positif, dikaitkan dengan teori hukum Paradigma

Shift dari Thomas S. Khun dan Sartjipto Raharjo.

Kemudian menggunakan teknik Metode Deduktif artinya

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum

dijadikan sebagai pegangan untuk diterapkan pada data

yang diperoleh dari penelitian untuk memperoleh hasil

dari penelitian dan perubahan yang menjadi penyebab

untuk memperoleh suatu kesimpulan. Metode Induktif

artinya data yang bersifat khusus yang diperoleh dari

penelitian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

58 Soerjono Sukanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta. hlm. 45

66

Page 67: Independence of Judiciari

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Andi. M. Nasrun, 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta.

Aristoteles, 2004, Politik Diterjemahkan dari Buku Polities, Oxford University, New York, 1995, Bentang Budaya, Yogyakarta.

Bambang Priyambodo, 2011, Politik Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, Mahardika Parahyangan Press, Bandung.

Bambang Priyambodo, Op. Cit, Hlm. 88; Lihat pula, Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, (Bandung: Refika Aditama, 2004).

Budiono Kusumahamidjojo, 2004, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban Yang Adil, Grasindo, Jakarta.

C.S.T. Kansil dan Chirstine ST Kansil, 1984, Hukum Tata Negara RI Jilid I, Rineka Cipta, Jakarta.

Charles Hirmawan, 2003, Hukum Sebagai Panglima, Kompas, Jakarta.

Dicey AV, 1952, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, Nineth Edition, Mac.Millan and Co, London.

Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Jamaluddin Karim, 2013, Politik Hukum Legalistik, Imperium, Yogyakarta.

John Rawls, (2005) dalam Pan Mohamad Paiz. UI-Jakarta.

L. J. Apeldoorn, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Pradnya Paramitha, Jakarta.

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2011, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori HukumCitra Aditya Bakti, Bandung.

Page 68: Independence of Judiciari

Lili Rasjidi, 2011, Menggunakan Teori/Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Bandung.

Page 69: Independence of Judiciari

M. Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta.

Made Pasek Diantha, 2000, Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman, Disertasi Universitas Airlangga, Surabaya.

Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, (1988), Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, Jakarta.

Moh. Yamin, 1982, Proklamasi dan Konstitusi Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Notohamidjojo, 1970, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta.

Padmo Wahjono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta.

Ridwan HR, 2010, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Sirajuddin, 2006, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta.

Soerjono Soekamto dan Sri Mahmudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafino Persada, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta.

Page 70: Independence of Judiciari

Soerjono Sukanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sunaryati Hartono, 1976, Apakah The Rule of Law, Alumni, Bandung.

B. Sumber Artikel dan Karya Ilmiah

Abdul Halim, 2009, “Teori-Teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-Kritiknya”, (Jurnal Asy-syir`ah Vol. 42 No. II).

Bambang Priyambodo (1), “Kepastian Hukum Dalam Pelaksanaan Eksekusi Putusan Badan Peradilan Tata Usaha Negara”, (Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2011).

Elly Erawaty, “Pengantar Perbandingan Hukum”, (Diktat Perkuliahan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Tahun 2010)

Irfan Fachruddin, 2003, Konsekuensi Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintahan, Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung.

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independen Peradilan (LeIP), 1999, Menuju Inependensi Kekuasaan kehakiman, Indonesian Center Environvental Law (ICEL), Jakarta.

South East And Pacific Conference of Jurits, Bangkok, February15-19, 1965, The Dynamic Aspeets of Rule of Law In The Modern Age (Bangkok, International Commission of Jurits, 1965.

C. Sumber Media Internet

Page 71: Independence of Judiciari

Joeniarianto, “Jalan Mundur (dalam) Positivisme Hukum Indonesia, <http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/07 (diakses pada tanggal 3 Juli 2012).

LIPI, “PIH”, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2208125136.pdf, (diakses pada tanggal 3 Juli 2012).

Sakhiyatu Sova, “Tiga Nilai Dasar Hukum Menurut Gustav Redbruch”, https://www.scribd.com/doc/170579596 (diakses pada tanggal 19 Oktober 2014).

Yance Arizona, “Apa Itu Kepastian Hukum?”, http://yancearizona.wordpress.com/2008/ (diakses pada tanggal 3 Juli 2012).

http://news.detik.com (data diakses Tanggal 9-Mei-2015).

http://elshinta.com/news (data diakses Tanggal 9-Mei-2015).

http://www.tempo.co/read/news (data diakses Tanggal 9-Mei-2015).

http://hukum.kompasiana.com/2013/10/03/ (data diakses tanggal 9 Mei 2015).

http://www.hurights.or.jp/archives/other_documents/section1/1995/08/beijing-statement-of-principles-of-the-independence-of-the-judiciary-in-the-lawasia-region (data diakses tanggal 9 Mei 2015).