indeks negara hukum indonesia 2015 - ilr.or.id filev kata pengantar tahir foundation s ulit untuk...

144

Upload: dangdung

Post on 20-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015 © Indonesia Legal Roundtable, 2016

Peneliti:Andi Komara

Andri GunawanErwin Natosmal Oemar

Muhammad Indra LesmanaNabila

Yasmin Purba

Desain Sampul Satudaun Graphic

Tata Letak Dwi Pengkik

Cetakan Pertama, Agustus 2016 xvi + 128 hlm.: 15 x 23 cm

Diterbitkan oleh:

Indonesia Legal Roundtable

Jl. Perdatam VI No. 6, Pancoran, Jakarta SelatanTelp. 021-7995069, Faks. 021-7995069

Email:[email protected]

v

Kata Pengantar

Tahir Foundation

Sulit untuk memahami suatu negara tanpa ada hukum, dan begitu pula sebaliknya. Sebuah negara tanpa memiliki hukum bukanlah sebuah

negara. Hukum harus diletakan sebagai panglima dalam menyelesaikan semua permasalahan kita dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, inisiatif Indonesian Legal Roundtable untuk mengukur ketataan negara dalam menjalankan prinsip-prinsip hukum dalam penelitian Indeks Negara Hukum ini perlu didukung dan diapresiasi.

Tahir Foundation sudah memulai komitmen itu sejak tahun 2012, dengan harapan indeks ini dapat dijadikan sebagai kompas untuk mengetahui secara gradual capaian dan tantangan kita berbangsa dan bernegara yang sudah memasuki tahun ke 71 sejak merdeka.

Kemerdekaan yang sudah diraih tersebut harus diisi dengan berkontribusi di segala lini. Salah satu kontribusi yang bisa kami lakukan adalah dengan mendukung insiatif-insiatif yang positif menuju perubahan yang lebih baik. Antara lain dengan memberikan support kepada Indonesian Legal Roundtable dalam menyusun laporan Indeks Negara Hukum yang telah dilaksanakan sejak tahun 2012.

Kami berharap laporan ini mempunyai dampak yang signifikan bagi para pengambil kebijakan dalam mendorong perbaikan terhadap sistem hukum Indonesia ke arah yang lebih baik. Akhir kata, kami mengucapkan selamat kepada Indonesian Legal Roundtable yang telah menyelesaikan laporan ini. Semoga apa yang telah dikerjakan Indonesian Legal Rountable ini dapat memicu insiatif-insiatif anak bangsa lainnya untuk membuat bangsa Indonesia lebih baik di era globalisasi.

Dato’ Sri Prof. Dr Tahir MBA

Ketua Yayasan Tahir Foundation

vi

vii

Kata PengantarDirektur Eksekutif

Indonesian Legal Roundtable

Indeks Negara Hukum 2015 mempunyai nilai tersendiri dibandingkan tahun sebelumnya, karena di tahun 2015 inilah kita tanpa keraguan

dan memastikan kinerja Jokowi-Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih dalam kacamata negara hukum dapat terlihat secara utuh. Jika dalam Indeks 2014 kita masih berdebat soal keterbelahan pemerintah siapa yang bertanggung jawab (antara SBY dan Jokowi), maka pada tahun ini perdebatan itu otomatis tidak akan muncul.

Jika kita memutar lagi perjalanan hukum Indonesia sepanjang tahun 2015, banyak cerita dan episode yang membuat kita akan secara spontan bertanya: apakah negara hukum di Indonesia masih ada? Ada banyak sekali kegaduhan yang terjadi: kasus kriminalisasi pimpinan KPK dan Komisi Yudisial, putusan “ganjil” Hakim Sarpin, ditangkapnya seorang advokat senior dalam kasus suap seorang gubernur, kasus “Papa Minta Saham”, dan sederetan kasus-kasus hukum lainnya baik yang tersorot oleh media ataupun tidak.

Yang mengejutkan, sejumlah kegaduhan tersebut ternyata tidak berimbas pada nilai indeks negara hukum tahun 2015 secara keseluruhan. Nilai indeks negara hukum tahun 2015 menunjukan tren meningkat dari tahun sebelumnya, sebesar 0,14 poin (dari 5,18 ke 5,32 poin). Meskipun nilai indeks tahun 2015 meningkat namun tidak semua nilai prinsip membaik. Ada beberapa prinsip yang mengalami penurunan.

Nilai prinsip yang turun adalah prinsip legalitas formal dan prinsip hak asasi manusia. Dari dua prinsip tersebut, prinsip HAM menurun dengan tajam (0,33 poin). Bahkan tiga indikator dengan nilai terendah dalam indeks 2015 berada pada prinsip HAM, yaitu jaminan terhadap hak hidup, jaminan atas hak bebas dari penyiksaan, dan jaminan atas hak tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual.

viii

Turunnya nilai prinsip HAM tentu saja membuat bayangan kita terhadap negara hukum menjadi rapuh. Karena bagaimanapun, HAM mempunyai posisi yang sentral dalam sebuah negara hukum. Sebagaimana yang pernah dikatakan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon, bahwa tidak negara hukum dalam suatu masyarakat jika HAM tidak dilindungi; dan HAM tidak mungkin dapat dilindungi dalam sebuah masyarakat tanpa sebuah negara hukum yang kuat.

Pada sisi lain, jika kita memeriksa kembali visi dan misi Jokowi-Kalla sebagaimana yang tertuang dalam Nawacita, tiga dari sembilan agenda prioritas Nawacita berkaitan erat dengan HAM. Bahkan poin ke-4 Nawacita secara eksplisit menyebutkan: pemerintah akan melindungi anak, perempuan dan kelompok masyarakat termarginal, serta penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.

Berdasarkan hal itu pemerintah Jokowi seharusnya tidak gagap merespon International People Tribunal yang mengadili kejahatan dan pelanggaran HAM pada tahun 1965. Jokowi harus menyadari bahwa International People Tribunal (IPT 65) yang didorong sejumlah masyarakat sipil merupakan semacam respon kegagalan negara menyelesaikan kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Karena hampir dua dasawarsa Orde Baru tumbang, nasib korban kejahatan politik di masa rezim Orde Baru tidak satu pun bisa terselesaikan oleh negara.

Penyelesaian masalah korban 65 tidaklah sesederhana mengungkap luka lama -meminjam bahasa seorang pejabat pemerintahan, namun sebagai sebuah upaya mengemukakan kebenaran yang sekian lama ditenggelamkan. Bangsa ini harus belajar bahwa mengakui kesalahan itu bukanlah sebuah hal yang memalukan. Namun sebagai sebuah pelajaran di kemudian hari bahwa peristiwa yang sama tidak terulang dalam perjalanan kita berbangsa dan bernegara.

Mungkin terlalu sumir untuk mengambil kesimpulan bahwa ide negara hukum tidak ada dalam imaji pemerintahan sekarang ini. Terlepas dari itu, saya sangat berharap bahwa hasil dari indeks negara hukum ini dapat diletakan oleh pemerintah sebagai parameter dalam mencapai maksud konstitusi. Meminjam bahasa Ebiet G Ade, mumpung masih ada waktu yang tersisa.

Jakarta, 17 Agustus 2016

Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, SH., LLM.

ix

Daftar Isi

Kata Pengantar Tahir Foundation ................................................ vKata Pengantar Direktur Eksekutif .............................................. viiDaftar Isi ....................................................................................... ixDaftar Tabel, Diagram dan Grafik ................................................ xi

BAB I

PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................... 1B. Landasan Konseptual ......................................................... 3C. Tujuan ................................................................................. 4D. Struktur Laporan ................................................................. 4

BAB II

METODOLOGI ............................................................................ 7

A. Tahap Penyusunan Indeks ................................................. 7B. Penentuan Ahli .................................................................. 11C. Metode Pembobotan ......................................................... 11D. Profil Responden ............................................................... 13E. Keterbatasan Penelitian ..................................................... 16

BAB III TEMUAN DAN NILAI INDEKS .................................................... 19

A. Deskripsi Hasil Survei dan Dokumen ............................... 191. Pemerintahan Berdasarkan Hukum ............................ 19

1.1 Tindakan/Perbuatan Pemerintah Sesuai dengan Hukum ...................................................... 201.2. Pengawasan yang Efektif ....................................... 27

2. Prinsip Legalitas Formal ............................................... 312.1. Penyebarluasan Peraturan ................................... 33

x

2.2. Kejelasan Rumusan .............................................. 362.3. Stabilitas Peraturan .............................................. 40

3. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka ......................... 423.1. Independensi Hakim dalam Mengadili dan Memutus Perkara ................................................. 423.2. Independensi Hakim Terkait Dengan Manajemen Sumber Daya Hakim ....................... 453.3. Independensi Hakim Dalam Kaitannya Dengan Kebijakan Kelembagaan ........................ 493.4. Independensi Hakim Terhadap Pengaruh dari Publik dan Media Massa .............................. 51

4. Akses Terhadap Keadilan .............................................. 514.1. Keterbukaan Informasi ........................................ 514.2. Peradilan yang Cepat dan Terjangkau ................. 554.3. Ketersediaan Bantuan Hukum ............................ 57

5. Prinsip Hak Asasi Manusia .......................................... 595.1. Jaminan Hak Atas Hidup ..................................... 605.2. Jaminan Atas Hak Untuk Bebas Dari Penyiksaan .................................................... 625.3. Jaminan Perlindungan Atas Hak Untuk Tidak Diperbudak ..................................... 645.4. Jaminan Perlindungan Atas Hak untuk Tidak Dipenjara Berdasarkan Kewajiban Kontraktual . .. 665.5. Jaminan atas Perlindungan Atas Hak Untuk Tidak Dihukum Atas Tindakan Bukan Kejahatan .................................................. 675.6 Jaminan Kebebasan Berpikir, Beragama dan Berkeyakinan ................................................. 69

B. Indeks Negara Hukum Indonesia 2014 ............................ 72

BAB IV

ANALISIS ...................................................................................... 75A. Analisis ............................................................................... 75B. Rekomendasi ...................................................................... 93

Lampiran ...................................................................................... 98

xi

Daftar Diagram, Tabel dan Grafik

Tabel 2.1. Indikator Indeks Negara Hukum Indonesia ............ 8Tabel 2.2. Panduan Kualifikasi Ahli (Expert) ............................. 11Tabel 2.3 Bobot Kelima Prinsip Negara Hukum ..................... 12Tabel 3.1. Akses Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan Terhadap UU dan Perda Berdasarkan Sumber Resmi Tahun 2015 (dalam Persen) ........................... 34Tabel 3.2 Tingkat Pemahaman Masyarakat Terhadap Rumusan Undang-Undang dan Peraturan Daerah Provinsi Terkait Pilihan Kata atau Istilah dan Bahasa Hukum yang Diterbitkan Sepanjang Tahun 2015 (dalam persen) ...................................... 36Tabel 3.3. Implikasi/Praktik Hukum Ketidakjelasan Rumusan Undang-Undang dan Peraturan Daerah Terkait Pilihan Kata atau Istilah dan Bahasa Hukum Sepanjang Tahun 2015 (dalam persen) ..... 37Tabel 3.4. Undang-Undang dan Perda Provinsi yang Bertentangan/Kontradiktif dengan Undang-Undang yang Lebih Tinggi Sepanjang Tahun 2015 (dalam persen) ...................................... 38Tabel 3.5. Undang-Undang yang Paling Banyak Diujimateril di Mahkamah Konstitusi ..................... 38Tabel 3.6. Jenis Peraturan dan Jumlah Permohonan Uji Materil ke Mahkamah Agung RI Sepanjang Tahun 2015 ................................................................. 39Tabel 3.7. Proporsi Jawaban Ahli Terkait Pihak yang Paling sering Mempengaruhi, Menekan dan Mengintervensi hakim Sepanjang Tahun 2015 ....... 45

xii

Tabel 3.8. Rekrutmen Calon Hakim ad hoc Tipikor 2015 ........ 46Tabel 3.9. Perbandingan Peningkatan Sarana dan Prasarana di Pengadilan di Bawah MA .................... 50Tabel 3.10. Persentase Pendapat Ahli Terkait Proses Peradilan yang Cepat Tahun 2015 ............................................. 55Tabel 3.11. Rasio Penyelesaian kasus di Pengadilan Negeri Tahun 2015 ................................................................. 56Tabel 3.12. Rasio Penyelesaian kasus di Pengadilan Tinggi Tahun 2015 ................................................................. 56Tabel 3.13. Pandangan Ahli Terkait Keterjangkauan Biaya Pengadilan (dalam persen) ....................................... 57Tabel 3.14. Pandangan Ahli Terkait Keterjangkauan Lokasi Pengadilan (dalam persemn) ................................... 57Tabel 3.15. Ketersediaan Bantuan Hukum Bagi Kelompok Rentan ...................................................... 59Tabel 3.16. Aparatus Negara yang Melakukan Kekuatan Secara Berlebihan yang Menyebabkan Kematian Tahun 2015 ................................................................. 61Tabel 3.17. Persentase Tempat prakti-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di Provinsi di Tahun 2015 ......................................... 63Tabel 3.18. Praktik Perbudakan Anak di Bawah Umur di Provinsi di Tahun 2015 ............................................. 64Tabel 3.19. Mekanisme yang Efektif Mencegah Praktik-praktik Perbudakan di Bawah Umur di Provinsi di Tahun 2015 ......................................... 65Tabel 3.20. Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan di Tingkat Nasional dan Provinsi yang Menjamin Kebebasan Berpikir, Beragama, dan Berkeyakinan di Tahun 2015 (dalam persen) ................................. 69Tabel 3.21. Praktik Pelanggaran dan Kekerasan yang Membatasi Kebebasan Berpikir, Beragama, dan Berkeyakinan Sepanjang Tahun 2015 ............... 70Tabel 3.22. Pelaku Utama Pelanggaran dan Kekerasan Menjamin Kebebasan Berpikir, Beragama dan Berkeyakinan (dalam persen) ........................... 71

xiii

Tabel 3.23. Mekanisme Pemulihan Korban Kebebasan Berpikir, Beragama dan Berkeyakinan ...................... 71Tabel 3.24. Nilai Indeks Negara Hukum Indonesia Berdasarkan Indikator ............................................... 72Tabel 3.25. Nilai Indeks Negara Hukum Indonesia ................... 73Tabel 4.1. Nilai Survei Ahli Terkait dengan Pemerintahan Berdasarkan Hukum dan Kenaikannya ................... 76Tabel 4.2. Perbandingan Nilai Subindikator Pengawasan Efektif Berdasarkan Survei Ahli ................................ 78Tabel 4.3. Perbandingan Nilai Implementasi/Praktik Hukum Terjadinya Masalah/Konflik/Kebuntuan Akibat Ketidakjelasan Rumusan Undang-Undang dan Perda Provinsi ..................................................... 81

GrafikGrafik 4.1. Tren Nilai Indeks Negara Hukum 2012-2015 ............ 75

Daftar Gambar

Gambar 3.1. Contoh Server Pemerintah yang Sulit Diakses ........ 35

Daftar Diagram

Diagram 2.1 Komposisi Responden Berdasarkan

Jenis Kelamin (dalam persen) .............................. 14Diagram 2.2 Komposisi Responden Berdasarkan Rentang Usia (dalam persen) ............................... 15Diagram 2.3 Komposisi Responden Berdasarkan Profesi (dalam persen) .......................................... 15Diagram 2.4 Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............................................... 16Diagram 3.1. Tindakan/Perbuatan Pemerintah Pada Tahun 2015 Sesuai dengan Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku pada Bidang Penegakan Hukum ................................... 21Diagram 3.2. Tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun 2015 Sesuai dengan Hukum dan Peraturan Perundang- undangan yang Berlaku di bidang Pekerjaan Umum & Penataan Ruang ..................................................... 22

xiv

Diagram 3.3. Tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun 2015 Telah Dilakukan Sesuai dengan Hukum dan Peraturan perundang-undangan di Bidang Pertanahan & Lingkungan Hidup ............................................ 23Diagram 3.4. Tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun 2015 Sesuai dengan Hukum dan Peraturan Perundang- undangan yang Berlaku di Bidang Kehutanan ............................... 24Diagram 3.5. Tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun 2015 Sesuai dengan Hukum dan Peraturan Perundang- undangan yang Berlaku di Bidang Energi & Sumber Daya Mineral ........................................... 24Diagram 3.6. Faktor-faktor yang Paling Membuat Tindakan/ Perbuatan Pejabat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Sepanjang tahun 2015 Sesuai Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku ..................... 26Diagram 3.7. Tindakan/perbuatan yang Paling Sering Dilanggar Pejabat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Sepanjang tahun 2015 ............................................................ 27Diagram 3.8. Penggunaan Hak Menyatakan Pendapat DPRD Provinsi ....................................................... 28Diagram 3.9. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Sepanjang Tahun 2015 Sebagai Kontrol terhadap Perbuatan/Tindakan pejabat Pemerintah Daerah Provinsi ................................. 29Diagram 3.10. Pengawasan Badan Pengawas Keuangan (BPK) & Pembangunan (BPKP) terhadap Anggaran dan Kinerja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Sepanjang Tahun 2015 .............. 30Diagram 3.11. Kinerja Kompolnas Sepanjang Tahun 2015 ........ 31Diagram 3.12. Kinerja Komisi Kejaksaan (Komjak) Sepanjang Tahun 2015 ............................................................ 31

xv

Diagram 3.13. Ketersedian Akses yang Memadai bagi Penyandang Disabilitas Mengakses Undang-Undang .................................................... 36Diagram 3.14. Perilaku Masyarakat yang Mengalami Kesulitan Memahami Rumusan Peraturan Perundang-undangan dalam Melaksanakan Aktivitas Sepanjang Tahun 2015 .......................... 37Diagram 3.15. Faktor-faktor yang Menyebabkan Peraturan Perundang-undangan Bertentangan dengan Peraturan yang Lebih Tinggi ................................. 40Diagram 3.16. Faktor-faktor yang Mendominasi Perubahan Peraturan Perundang-undangan .......................... 42Diagram 3.17 Kinerja KY Terkait Dugaan Pelanggaran Etika dan Perilaku Hakim Sepanjang Tahun 2015 ....... 47Diagram 3.18. Efektifitas Pengawasan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi Terhadap Hakim Konstitusi Sepanjang Tahun 2015 ........................ 49Diagram 3.19. Memadainya Jaminan Keamanan Bagi Hakim di Provinsi Tahun 2015 ............................ 50Diagram 3.20. Hakim dalam Mengadili dan Memutus Perkara Telah Independen dari Pemberitaan Media Massa ........................................................... 51Diagram 3.21. Kemudahan Masyarakat Mendapatkan Informasi yang Dibutuhkan dalam Tahap Penyidikan Sepanjang Tahun 2015 ...................... 52Diagram 3.22. Masyarakat Mengalami Masalah dalam Tahap Penyidikan dan Melakukan Keberatan Direspon dengan Baik Tahun 2015 ...................... 52Diagram 3.23. Kemudahan Masyarakat Mendapat Informasi pada Tahap Penuntutan Sepanjang Tahun 2015 .. 53Diagram 3.24. Masyarakat Mengalami Masalah dalam Tahap Penuntutan dan Melakukan Keberatan Direspon dengan Baik Tahun 2015 ...................... 53Diagram 3.25. Akses Terhadap Informasi Salinan Putusan Sidang ...................................................... 54Diagram 3.26. Mekanisme Pemulihan bagi Korban Praktik Kekerasan Berlebihan yang Menyebabkan Kematian ................................................................ 58

xvi

Diagram 3.27. Aparat Penegak Hukum Telah Menyelenggarakan Proses Hukum yang Efektif Terhadap Praktik-praktik Perbudakan ..... 62Diagram 3.28. Banyaknya Praktik-praktik Pemenjaraan Terhadap Orang Akibat Ketidakmampuannya Memenuhi Kewajiban yang Ditentukan oleh Suatu Perjanjian/Kontrak Tertentu ....................... 63Diagram 3.29. Efektifitas Mekanisme Pemulihan Korban Praktik-praktik Penghukuman Atas Suatu Tindakan yang Tidak Diatur Sebagai Kejahatan oleh Hukum Nasional/Internasional Sepanjang Tahun 2015 ............................................................ 66Diagram 3.30. Banyaknya Praktik-praktik Pemenjaraan Terhadap Orang Akibat Ketidakmampuannya Memenuhi Kewajiban yang Ditentukan oleh Suatu Perjanjian/Kontrak Tertentu ....................... 67Diagram 3.31. Efektifitas Mekanisme Pemulihan Korban Praktik-praktik Penghukuman Atas Suatu Tindakan yang Tidak Diatur Sebagi Kejahatan oleh Hukum Nasional/ Internasional Sepanjang Tahun 2015 .................. 68Diagram 4.1. Tren Nilai Indikator Prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum 2014-2015 ........................... 76Diagram 4.2. Tren Nilai Indikator Legalitas Formal 2014-2015 ............................................................... 79Diagram 4.3 Tren Nilai Indikator Independensi Kekuasaan Kehakiman 2014-2015 ....................... 82Diagram 4.4. Tren Nilai Indikator Akses Terhadap Keadilan 2014-2015 ............................................... 85Diagram 4.5. Tren Nilai Indikator Prinsip Hak Asasi Manusia 2014-2015 ............................................................... 88

1

B A B I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAkAng

Sulit dibantah bahwa negara hukum (rule of law/rechtstaat) meru-pakan salah satu isu utama dalam perbincangan global saat ini –

sebagaimana yang terlihat dalam pertemuan sejumlah pemimpin dan kepala negara dalam Declaration of High-Level Meeting of The General Assembly On The Rule of Law at The National and International Level pada 24 September 2012 di New York yang berkomitmen mempromosikan negara hukum. Pasca berakhirnya Perang Dingin, dukungan dan komitmen terhadap ide negara hukum disampaikan oleh berbagai pemimpin negara dari sistem politik yang berbeda -termasuk negara-negara yang dulunya dikenal menolak ide demokrasi dan hak asasi.

Seperti yang berlangsung pada tingkat global, secara normatif Indonesia juga memiliki komitmen yang kuat untuk membangun negara hukum. Istilah negara hukum kemudian dicantolkan dalam konstitusi Indonesia: sebagaimana yang terlihat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Setelah hampir tidak dipraktekan selama tiga puluh dua tahun di masa pemerintahan otoriter Orde Baru, konsep atau ide negara hukum kembali didengungkan pada masa Reformasi. Dimulai sejak pemerintahan singkat B.J. Habibie, berbagai legislasi nasional yang menjamin kebebasan berpendapat dan berorganisasi, diundangkan. Bersamaan dengan itu, lembaga-lembaga yang berkarakter opresif dibubarkan yang diikuti dengan pembentukan lembaga-lembaga negara penunjang yang sebagian berfungsi sebagai pengawas (watch dog) jalannya pemerintahan.

Namun, pemberlakuan legislasi dan pembentukan lembaga-lembaga negara penunjang tidak menunjukan bahwa ide negara hukum

2

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

sedang dijalankan di Indonesia. Dengan kata lain, sistem hukum tidak berfungsi dengan baik. Lembaga-lembaga negara penunjang yang dibentuk saling tumpang tindih dan bahkan berkonflik satu sama lain. Koordinasi antarlembaga tersebut lemah sehingga menyebabkan implementasi hukum menjadi tidak efektif. Akibatnya, iregularitas berlangsung dengan frekuensi yang terbilang sering.1 Kondisi tersebut mendatangkan ketidakpastian bagi pencari keadilan, masyarakat dan pelaku ekonomi. Pada saat yang sama, sebagian masyarakat menjadi korban tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara baik karena menyuarakan pendapat atau mempertahankan harta benda (property).

Masih terus berlangsungnya keluhan dan protes oleh masyarakat sipil dan pelaku ekonomi akibat tidak berfungsinya sistem hukum secara baik mendorong sejumlah kalangan, termasuk para kandidat dalam pemilihan umum legislatif dan presiden pada tahun 2014, menyerukan perlunya kembali menyematkan identitas sebagai negara hukum pada Indonesia. Usulan penyematan kembali identitas negara hukum menandakan bahwa amanat konstitusi agar kehidupan bernegara diselenggarakan berdasarkan ide negara hukum belum sepenuhnya dijalankan.

Keperluan mewujudkan amanat konstitusional tersebut sesegera mungkin tidak lepas dari absennya upaya tersebut selama pemerintahan Orde Baru. Kebutuhan untuk itu semakin besar setelah era reformasi berjalan hampir dua dekade. Jadi sebagai negara yang pernah mempraktekan kekuasaan absolut selama lebih dari tiga dekade dan hampir dua dekade terakhir membangun sistem dengan pengawasan yang kuat terhadap penyelenggaraan kekuasaan, ide negara hukum sangat penting. Bukan hanya soal bagaimana mewujudkannya, namun juga menyangkut berkembangnya pemahaman yang baik mengenai ide tersebut.

Distribusi kewenangan dari pemerintah pusat ke unit pemerintahan yang lebih rendah dan bahkan kepada komunitas-komunitas otohton, dalam bentuk desentralisasi, lebih memungkinkan bagi perwujudan ide negara hukum. Kekuasaan yang tersebar mencegah terjadinya absolutisme di satu sisi dan memungkinkan rakyat untuk mengontrol penggunaan kekuasaan (power exercise) di sisi yang lain. Namun,

1 Todung Mulya Lubis (2014), ’Recrowning Negara Hukum: A New Challange, A New Era.’ Policy paper, Center for Indonesian Law, Islam and Society, Melbourne Law School, University of Melbourne.

3

PENDAHULUAN

penyelenggaraan desentralisasi dalam sistem sosial yang masih ditopang oleh jaringan patronase, bisa mengancam keberlangsungan negara hukum.2 Kekuasaan bisa jadi tidak lagi absolut namun praktek penyalahgunaan kekuasaan oleh kekuasaan-kekuasaan yang sudah terdistribusi, masih bisa berlangsung terus. Setiap ancaman pada negara hukum dalam penyelenggaraan negara merupakan alasan untuk memikirkan ide ini karena menyangkut amanat konstitusi dan harkat dan martabat (dignity) semua orang yang tinggal di Indonesia.

B. LAnDAsAn konsEpTuAL

Meski negara hukum adalah tujuan universal, namun seperti yang dikatakan Andrei Marmor, secara konseptual gagasan “negara hukum” sangat rumit dan membingungkan.3 Sampai saat ini para sarjana (academic scholars) belum menemukan kata sepakat terkait prinsip-prinsip umum yang terkandung di dalamnya –karena berbicara tentang negara hukum mempunyai korelasi yang erat dengan karakteristik setiap negara.

Walaupun terdapat tantangan dalam merumuskan prinsip-prinsip yang relevan untuk mengukur ketaatan suatu negara dalam mengimplementasikan ide negara hukum di suatu negara –dalam hal ini termasuk Indonesia, namun juga tidak menutup kemungkinan terdapat sebuah jalan untuk merumuskannya. Berangkat dari hal tersebut, ILR menawarkan sebuah tawaran alat analisis – dalam hal ini prinsip-prinsip negara hukum- yang relevan untuk dipertimbangkan sebagai acuan.

Menurut ILR, dalam perbincangan tentang negara hukum, hampir dipastikan terdapat lima prinsip utama, yaitu: pemerintahan berdasarkan hukum; legalitas formal; kekuasaan kehakiman yang merdeka; akses terhadap keadilan; dan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Kelima prinsip itu didapatkan dengam menarik benang merah dari perdebatan konseptual beberapa sarjana hukum terkemuka yang mengemukakan pandangannya tentang negara hukum.4

2 Gary Goodpaster (1999), ‘The Rule of Law, Economic Development and Indonesia’, dalam Timothy Lindsey, Indonesia: Law and Society. Sidney: The Federation Press.

3 Andrei Marmor, The Ideal of The Rule of Law, USC Legal Studies Research Paper Series, 2008.4 Lihat Indeks Persepsi Negara Hukum 2012, Indonesian Legal Roundtable, Jakarta, 2013. Beberapa

sarjana dan lembaga terkemuka yang diambil sebagai perbandingan adalah M Scheltema, Joseph Raz, Rachel Kleinfeld Belton, Brian Z Tamanaha, Jimly Asshidiqqie, dan The International Commission of Jurist (ICJ).

4

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Ikhtiar dalam menyusun indeks negara hukum ini adalah upaya yang keempat kalinya yang dilakukan oleh ILR, yang dimulai sejak tahun 2012. Sejak tahun 2014, ILR sudah mulai memantapkan substansi dan metodologi pengukuran ide negara hukum. Ada pun perubahan INHI 2015 dengan tahun sebelumnya, terletak dari jumlah provinsi yang diassesmen: dari jumlah lokasi penyelenggaraan survei 18 provinsi (tahun 2014) menjadi 20 provinsi. Tidak berbeda dengan indeks tahun lalu, indeks 2014 ini menggunakan survei ahli (expert survei) dan pengumpulan dokumen sebagai metode pengumpulan data.

C. TujuAn

ILR mengharapkan bahwa laporan indeks ini dapat menyajikan gambaran dan analisis yang bermutu terkait pemenuhan prinsip-prinsip negara hukum di Indonesia. Meski demikian, secara praktis, indeks negara hukum ini bertujuan untuk:

1. Mengukur sejauh mana ketaatan negara Indonesia dalam menerapkan prinsip-prinsip negara hukum.

2. Mengamati secara gradual perkembangan pemenuhan prinsip-prinsip negara hukum di Indonesia.

3. Menjadi salah satu dokumen yang relevan untuk dijadikan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam menerapkan dan mengadvokasi prinsip-prinsip negara hukum.

D. sTRukTuR LApoRAn

Agar lebih memudahkan pembaca dalam memahami, laporan ini diorganisasikan dalam empat bab, yaitu: Bab 1, Pengantar. Bab ini mendeskripsikan latar belakang dan

signifikansi negara hukum di Indonesia serta tujuan dan struktur penyajian laporan.

Bab 2, Metodologi. Bab ini mendeskripsikan cara dan tahapan penyusunan indeks. Bab ini juga memaparkan kualifikasi ahli (expert), sebaran ahli berdasarkan geografis, metode pembobotan, dan keterbatasan penelitian.

Bab 3, Temuan dan Nilai. Bab ini mendeskripsikan hasil temuan survei ahli dan pengumpulan dokumen yang digambarkan dalam bentuk narasi, angka, nilai indeks dan kasus-kasus yang mendapat

5

PENDAHULUAN

perhatian publik sepanjang tahun 2015. Di akhir bab ini, juga dapat ditemukan hasil akhir keseluruhan nilai indikator dan prinsip negara hukum yang telah dikonversi dengan nilai bobot masing-masing prinsip.

Bab 4, Analisis. Bab ini mendeskripsikan analisa terkait temuan tiap-tiap prinsip negara hukum sebagaimana yang dinarasikan dalam Bab 3 dan sejumlah rekomendasi terhadap analisa yang telah dilakukan.

6

7

B A B I I

METODOLOGI

Bab ini mendeskripsikan tahap-tahap penyusunan indeks, metode penentuan ahli, metode pembobotan prinsip negara hukum,

profil responden, dan keterbatasan penelitian.

A. TAhApAn pEnyusunAn InDEks

Tahapan penyusunan indeks meliputi: (1) pendalaman relevansi prinsip- prinsip negara hukum; (2) pengorganisasian ulang indikator prinsip; (3) penyesuaian metodologi dengan ketersediaan sumber daya; (4) penyusunan daftar dokumen; (5) menurunkan indikator ke dalam pertanyaan-pertanyaan; (6) melakukan survei ahli dan mengumpulkan dokumen; (7) pengkuantifikasian dan penilaian kuesioner dan dokumen; (8) penggabungan hasil temuan kuesioner dengan dokumen; (9) menjumlahkan nilai semua prinsip dan mengonversikannya dengan proporsi bobot setiap prinsip; dan (10) menjumlahkan nilai setiap prinsip.

Tahap pertama, pendalaman relevansi prinsip-prinsip negara hukum, dilakukan dengan mendiskusikan perkembangan discourse mengenai negara hukum. Diskusi tersebut diperlukan untuk me-mastikan bahwa prinsip-prinsip negara hukum yang digunakan dalam indeks ini masih merupakan prinsip yang diakui secara universal. Hasil diskusi menghasilkan kesepakatan bahwa kelima prinsip yang dipakai sejak indeks 2012 masih relevan, dan karena itu dipertahankan. Kelima prinsip tersebut adalah:

• Pemerintahan Berdasarkan Hukum (Prinsip 1)• Legalitas Formal (Prinsip 2)• Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka (Prinsip 3)• Akses terhadap Keadilan (Prinsip 4), dan• Hak Asasi Manusia (Prinsip 5)

8

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Tahap kedua, dilakukan dengan mengorganisir ulang indikator kelima prinsip. Kelima prinsip sebagai yang dijelaskan dalam tahap pertama diturunkan menjadi indikator. Setiap prinsip belum tentu memiliki jumlah indikator yang sama. Misalnya, prinsip legalitas formal, yang memiliki tiga indikator. Sedangkan prinsip Hak Asasi Manusia memi-liki enam indikator.

Dalam Indeks 2015 ini, tidak ada perubahan indikator yang digunakan dari tahun sebelumnya (2014). Keseluruhan indikator masing-masing prinsip dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2.1. Indikator Indeks Negara Hukum Indonesia

No. Prinsip Indikator

1 Pemerintahan Berdasarkan Hukum Perbuatan/Tindakan Pemerintah Ber-dasarkan Hukum

Pengawasan yang Efektif

2 Legalitas Formal Penyebarluasan Peraturan

Kejelasan Rumusan Peraturan

Stabilitas Peraturan

3 Kekuasan Kehakiman yang Merdeka Independensi Hakim dalam Mengadili dan Memutus Perkara

Independensi dalam Manajemen Sum-ber Daya Hakim

Independensi dalam Kebijakan Kelem-bagaan

Independensi Terhadap Pengaruh Publik dan Media Massa

4 Akses Terhadap Keadilan Keterbukaan Informasi

Peradilan yang Cepat dan Terjangkau

Ketersedian Bantuan Hukum

5 Hak Asasi Manusia Jaminan Hak atas Hidup

Jaminan atas Hak untuk Bebas dari Penyiksaan

Jaminan atas Hak untuk Tidak Diper-budak

Jaminan atas Hak untuk Tidak Dipen-jara berdasarkan Kewajiban Kontrak-tual

Jaminan atas Hak untuk Tidak Dihukum atas Tindakan yang Bukan Kejahatan

Jaminan Hak atas Kebebasan untuk Berpikir, Beragama dan Berkeyakinan

9

ME TODOLOGI

Tahap ketiga, penyesuaian metodologi dengan ketersediaan sumber daya. Penelitian dilakukan dengan metode survei ahli dan pengumpulan dokumen dilakukan di 20 provinsi. Selain melakukan pengumpulan dokumen di 20 provinsi, pengumpulan dokumen juga dilakukan di tingkat nasional berupa dokumen-dokumen yang dikeluarkan lembaga negara dan pemerintah yang berkedudukan di ibu kota. Sebagai perbandingan, penelitian indeks 2014 dilakukan di 18 provinsi, namun dalam indeks 2015 ini dilakukan di 20 provinsi. Artinya, terdapat penambahan dua provinsi dibanding tahun sebelumnya (2014).

20 provinsi dipilih berdasarkan tiga kriteria, yaitu: keterwakilan regional; performa enumerator tahun sebelumnya (2014); dan, ketersediaan ahli (expert) dan dokumen. Performa enumerator dikaitkan dengan tingkat kemungkinan dalam mendapatkan dokumen yang diperlukan. Dengan menggunakan tiga kriteria tersebut maka 20 provinsi yang dipilih adalah: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Bali, NTT, NTB, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Maluku dan Papua.

Tahapan keempat, penyusunan daftar dokumen berdasarkan indikator. Penentuan dokumen yang digunakan berdasarkan pada indikator atau subindikator, bukan pada pertanyaan. Misalnya, indikator independensi hakim dalam prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, dokumen yang diperlukan adalah dokumen yang menyediakan informasi terkait independensi hakim. Dokumen yang menyediakan informasi tersebut seperti laporan tahunan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum, agama dan tata usaha negara. Dokumen lainnya adalah laporan pemantauan kinerja hakim oleh masyarakat sipil.

Tahapan kelima, adalah menurunkan indikator ke dalam pertanyaan-pertanyaan. Jumlah pertanyaan untuk masing-masing indi kator bervariasi. Sekedar menyebut contoh, pertanyaan untuk indikator perlindungan hak atas hidup dalam prinsip HAM berjumlah 15 pertanyaan. Sementara pertanyaan untuk indikator jaminan perlindungan atas hak untuk tidak dihukum atas tindakan bukan kejahatan dalam prinsip yang sama (prinsip HAM), hanya 3 pertanyaan.

10

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Sebagian besar pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang dapat diindekskan, namun sebagian kecil tidak dapat (diindekskan).

Tahap keenam, melakukan survei ahli dan mengumpulkan dokumen. Satu provinsi memiliki satu orang enumerator. Sebelum mengumpulkan data, enumerator di 20 provinsi tersebut telah dibekali pengetahuan mengenai teknik survei dan pengumpulan dokumen dalam pertemuan yang berlangsung selama dua hari. Enumerator melakukan survei dengan mengadakan wawancara tatap muka dengan para ahli terpilih. Adapun pengumpulan dokumen dilakukan dengan cara mendapatkan dokumen-dokumen yang terdapat dalam daftar yang sudah disediakan oleh ILR. Dokumen didapatkan dari internet, kantor LSM dan kantor pemerintah.

Tahap ketujuh, adalah menguantifikasi dan menilai kuesioner dan dokumen. Penilaian terhadap kuesioner didasarkan pada derajat jawaban masing-masing ahli terhadap pertanyaan yang diajukan. Semua pertanyaan menggunakan derajat jawaban berdasarkan koefisien 2 (dengan ukuran 0-10), dengan 5 tingkatan. Sedangkan penilaian terhadap dokumen berdasarkan pada penilaian (judgment) peneliti terhadap kualitas dokumen. Interval koefisien penilaian setiap dokumen adalah 2,5. Artinya, penilian terhadap dokumen dinilai dengan kualitas: 0-2,5=tidak memadai; 2,6-5=kurang memadai; 5,1-7,5= cukup memadai; 7,6-10=memadai.

Tahap kedelapan adalah penggabungan hasil temuan kuesioner dengan dokumen. Setelah peneliti menguantifisir nilai kuisioner, semua nilai yang telah dihasilkan di setiap pertanyaan dijumlahkan pada tingkat indikator. Demikian juga dengan penilaian terhadap dokumen: setelah dinilai, hasilnya dijumlahkan pada tingkat indikator. Nilai keseluruhan kuesioner dan dokumen setiap indikator digabung. Hasil dari pengabungan itulah yang kemudian disebut dengan nilai indikator.

Tahap kesembilan adalah menjumlahkan nilai semua prinsip dan mengonversinya dengan proporsi bobot setiap prinsip. Nilai setiap prinsip diperoleh dari gabungan nilai indikator (setiap prinsip) dibagi dengan jumlah indikator yang digabung. Nilai setiap prinsip kemudian dikonversi berdasarkan jumlah bobot yang sudah ditentukan.

Tahapan kesepuluh sebagai tahapan penutup, dengan menjumlah-kan nilai semua prinsip yang dikonversi berdasarkan nilai bobot.

11

ME TODOLOGI

Jumlah nilai semua prinsip inilah yang disebut sebagai nilai indeks negara hukum.

B. pEnEnTuAn AhLI

Kredibilitas ahli (expert) yang menjadi responden merupakan salah satu indikator utama dari kehandalan indeks ini. Oleh karena itu, penentuan ahli didasarkan pada kualifikasi tertentu. Selain dari segi proses, penentuan ahli dilakukan dengan berkonsultasi dengan para enumerator yang dianggap memiliki pengetahuan yang baik terkait nama-nama yang layak direkomendasikan dan dipilih menjadi ahli. Para ahli berlatar belakang akademisi, praktisi hukum atau aktivis kemasyarakatan. Tabel berikut berisi kualifikasi untuk memilih ahli yang dibedakan menurut latar belakang.

Tabel 2.2. Panduan Kualifikasi Ahli (Expert)

No Profesi Kualifikasi

1 Akademisi • Pendidikan formal adalah sarjana hukum atau sarjana sosial/politik, diutamakan yang sudah memiliki gelar strata dua.

• Mengampu mata kuliah yang sesuai dengan salah satu prinsip negara hukum dengan pengalaman minimal 10 tahun.

• Tidak sedang menjabat sebagai tenaga ahli di pemerintahan.• Tidak sedang menjalankan program pemerintah terkait

dengan salah satu prinsip negara hukum.

2 Praktisi Hukum • Berpengalaman menjalankan profesinya minimal 10 tahun.• Tidak sedang menjabat sebagai tenaga ahli di pemerintahan.• Tidak sedang menjalankan program pemerintah terkait

dengan prinsip negara hukum yang ditanyakan.• Tidak sedang menangai kasus yang terkait dengan prinsip

negara hukum yang ditanyakan.

3 Aktivis kemasyarakatan

• Berpengalaman sebagai aktivis kemasyarakatan minimal 7 tahun yang relevan dengan prinsip negara hukum yang ditanyakan.

• Tidak sedang menjabat sebagai tenaga ahli di pemerintahan.• Tidak sedang menjalankan program pemerintah yang terkait

dengan prinsip negara hukum yang ditanyakan.

C. METoDE pEMBoBoTAn

Bagian ini memaparkan nilai bobot yang diberikan pada masing-masing prinsip negara hukum disertai penjelasan logis dibalik pemberian nilai bobot tersebut. Nilai bobot masing-masing kelima prinsip tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:

12

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Tabel 2.3 Bobot Kelima Prinsip Negara Hukum

Prinsip Nilai Bobot

Pemerintahan Berdasarkan Hukum 25

Legalitas Formal 10

Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka 25

Akses terhadap Keadilan 15

Pengakuan, Perlindungan dan Pemenuhan HAM 25

Prinsip pemerintahan berdasarkan hukum, prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan prinsip HAM berkedudukan sentral bagi tiga elemen negara hukum. Prinsip pemerintahan berdasarkan hukum sangat sentral bagi elemen prosedural. Prinsip yang dikenal juga dengan nama legalitas ini merupakan prinsip yang paling awal dalam perbincangan konsep negara hukum. Prinsip tersebut mengawali kontrol terhadap kekuasaan dengan mensyaratkan bahwa kekuasaan harus dijalankan berdasarkan hukum; bukan berdasarkan perintah atau perkataan penguasa. Sedemikian pentingnya prinsip pemerintahan berdasarkan hukum, sehingga ia ditempatkan sebagai prinsip minimal negara hukum. Dengan kata lain, sebuah negara dapat dikategorikan atau mengklaim dirinya sebagai negara hukum, apabila negara tersebut hanya memenuhi prinsip tersebut.

Sementara itu prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sentral bagi elemen mekanisme kontrol. Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan prinsip yang memungkinkan mekanisme check and balance bisa berjalan. Prinsip tersebut akan mengontrol sekaligus memastikan sejauh mana kekuasaan legislatif dan eksekutif sudah mematuhi prinsip-prinsip negara hukum. Dengan kata lain, prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka hadir untuk memastikan dipenuhinya indikator-indikator lain dari negara hukum.

Adapun prinsip HAM sentral bagi elemen substantif. Prinsip ini merupakan satu-satunya representasi dari elemen substantif negara hukum. Prinsip tersebut memberi sentuhan kualitas pada negara hukum karena berkaitan dengan dampak yang dirasakan oleh warga negara selaku objek sekaligus penerima manfaat dari penyelenggaraan kekuasaan. Dikatakan menyangkut substansi, karena prinsip tersebut berkedudukan sebagai ukuran sekaligus tujuan negara hukum. Sebagai ukuran dan tujuan, prinsip tersebut berperan menjaga negara

13

ME TODOLOGI

hukum tidak jatuh ke dalam otoritarianisme dengan penyalahgunaan kewenangan sebagai aksentuasinya. Atas dasar penjelasan-penjelasan di atas, maka ketiga prinsip tersebut masing-masing mempunyai bobot sebesar 25 poin.

Dari segi waktu, prinsip akses terhadap keadilan berkembang lebih belakangan dari prinsip legalitas formal. Sekalipun demikian, laporan ini memberikan bobot yang lebih tinggi pada prinsip akses terhadap keadilan, yaitu 15 poin. Argumen pokoknya adalah karena prinsip tersebut mengandung orientasi mengontrol penyelenggaraan kekuasaan yang relatif lebih tinggi. Sama dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, prinsip akses terhadap keadilan memungkinkan koreksi dan kontrol terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Alasan lainnya adalah prinsip akses terhadap keadilan juga mengandung elemen substantif karena bertujuan memungkinan para pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan lewat forum-forum penyelesaian sengketa yang dapat mereka akses dan jangkau.

Prinsip legalitas formal mendapatkan skor paling kecil dari kelima prinsip negara hukum, yaitu 10. Sebagai salah satu prinsip negara hukum, prinsip tersebut juga berujung pada kontrol atas penyelenggaraan kekuasaan. Namun, kontrol atas penyelenggaraan kekuasaan dicapai tidak dengan cara langsung. Sasaran pertama prinsip ini adalah kepastian dan kejelasan yang dihasilkan dari peraturan perundangan yang bercorak jelas, diketahui oleh publik dan tidak berlaku surut. Peraturan perundangan yang bercorak demikian diharapkan dapat mencegah diskresi oleh pemegang kekuasaan.

D. pRoFIL REsponDEn

Enumerator setiap provisi harus menyurvei ahli sebanyak enam (6) orang. Keenam ahli tersebut terdiri dari:

• Dua orang ahli untuk prinsip pemerintahan berdasarkan hukum dan prinsip legalitas formal;

• Dua orang ahli untuk prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan prinsip akses terhadap keadilan ; dan

• Dua orang ahli untuk prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM

Dengan demikian, total jumlah ahli yang disurvei di 20 provinsi adalah 120 ahli. Dalam pelaksanaannya, ke-120 ahli atau responden

14

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

tersebut berhasil ditemui dan diwawancarai. Adapun komposisi responden dapat dilihat dalam sejumlah diagram di bawah ini.

Diagram 2.1Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin (dalam persen)

100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0

JENIS KELAMIN Laki-laki Perempuan

86.67

13.33

Dilihat dari komposisi jenis kelamin (Diagram 1.1) dapat diketahui bahwa responden paling banyak adalah jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 86,67 persen. Sedangkan sisanya, sebanyak 13,33 persen responden merupakan perempuan.

Sedangkan jika dilihat berdasarkan rentang usia, maka responden terbesar berada pada rentang usia 35-45 tahun dengan 39,82 persen. Pada tempat kedua, di rentang usia 45-60 tahun, dengan jumlah 35,40 persen. Di tempat ketiga, dengan rentang usia 21-35 tahun, dengan jumlah 21,24 persen. Sisanya, 3,57 persen berada di rentang usia di atas 60 tahun.

15

ME TODOLOGI

Diagram 2.2 Komposisi Responden Berdasarkan Rentang Usia (dalam persen)

45

40

35

30

25

20

15

10

5

0

USIA 25-35

21.24

39.82

35.40

3.54

35-45 >6045-60

Diagram 2.3 Komposisi Responden Berdasarkan Profesi (dalam persen)

40

35

30

25

20

15

10

5

0

37.72

PROFESI Akademisi Aktivis Advokat Lainnya

30.70 30.70

0.88

Sedangkan jika kualifikasi responden dilihat berdasarkan profesinya, maka akademisi berada di tingkat paling tertinggi dengan 37,72 persen. Profesi advokat dan aktivis berada di jumlah yang sama dengan 30,70 persen. Sementara responden dengan profesi lainnya sebesar 0,88 persen.

16

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Pada sisi lain, jika dilihat dari sisi tingkat pendidikan, maka 40,35 persen responden memiliki tingkat pendidikan setingkat S2 (master). Responden dengan tingkat pendidikan setingkat S1 dengan 39,47 persen. Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan S3 sebesar 19,30 persen. Sisanya, dengan pendidikan setingkat SMA dengan 0,88 persen.

Diagram 2.4 Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

45

40

35

30

25

20

15

10

5

0

39.47 40.35

19.30

0.88

SM

A

S1

S2

S3

Ting

kat P

endi

dika

n

E. kETERBATAsAn pEnELITIAn

Tantangan utama para peneliti dalam penyusunan indeks ini terletak pada upaya mengumpulkan dokumen. Dalam prakteknya, tidak semua institusi publik di daerah yang diminta oleh enumerator bersedia menyediakan atau memberikan data yang diminta oleh peneliti. Ada beberapa alasan yang disampaikan oleh institusi tersebut: (1) tidak ada data sama sekali; (2) datanya ada namun sedang proses penyusunan; (3) lembaga penelitian tidak mempunyai legalitas hukum; dan (4) dokumen merupakan rahasia negara.

Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Gubernur adalah dokumen yang paling sulit didapatkan oleh mayoritas enumerator. Alasan umum yang dikemukakan adalah karena LPJ belum dibacakan dan dilaporkan dalam sidang pleno DPRD yang biasanya dilakukan pada bulan April. Meski sudah lewat bulan April, sejumlah persyaratan administrasi

17

ME TODOLOGI

selalu menjadi alasan informasi publik yang terbuka untuk publik tersebut tidak tersedia.

Kurangnya informasi yang memadai terhadap suatu indikator atau prinsip kemudian dilengkapi dengan cara mengumpulkan sejumlah pemberitaan melalui media massa dan kasus-kasus yang menjadi perhatian publik sepanjang tahun 2015 untuk melengkapi ketersediaan dokumen.

18

19

B A B I I I

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Bab ini memaparkan deskripsi hasil survei & dokumen dan nilai keseluruhan data yang dikonversi menjadi nilai indeks. Untuk hal

pertama, deskripsi hasil survei dan dokumen, memaparkan semua temuan yang relevan di masing-masing indikator dari prinsip negara hukum yang diteliti. Sedangkan nilai indeks adalah seluruh nilai yang dihasilkan masing-masing prinsip yang telah dikuantifisir dan kemudian dikonversi berdasarkan bobot masing-masing prinsip.

A. DEskRIpsI hAsIL suRvEI DAn DokuMEn

1. Pemerintahan Berdasarkan Hukum

Secara esensial prinsip pemerintahan berdasarkan hukum berarti semua tindakan pemerintahan harus didasarkan pada aturan hukum (legalitas). Prinsip ini merupakan prinsip yang paling umum yang dimiliki oleh setiap negara. Oleh karena itu, prinsip pemerintahan berdasarkan hukum disebut sebagai syarat minimal suatu negara disebut negara hukum. Dengan kata lain, negara yang hanya menjalankan prinsip ini disebut memiliki rule of law versi yang paling tipis (thin).

Hukum menjadi satu-satunya instrumen bagi suatu pemerintahan untuk menjalankan kegiatannya. Cara paling mudah untuk memahami esensi prinsip pemerintahan berdasarkan hukum adalah dengan membuat pernyataan pendukung: aturan hukum tidak didasarkan pada keputusan atau perkataan seseorang. Dengan mensyaratkan semua tindakan pemerintah berdasarkan aturan hukum, maka prinsip ini hendak mencegah pemerintah bertindak atas dasar kekuasaan atau melakukan tindakan yang sewenang-wenang.

20

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Pemerintahan berdasarkan hukum memerlukan sistem pengawasan yang efektif untuk menjaga konsistensi tindakan/perbuatan pemerintah agar senantiasa sesuai dengan hukum sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan (preventif) maupun penindakan (korektif atau represif) jika terjadi suatu penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan pemerintah. Dengan kata lain, adanya pengawasan yang efektif akan membuat tindakan/perbuatan pemerintah semakin sesuai dengan hukum.

Prinsip pemerintahan berdasarkan hukum ini terdiri dari 2 (dua) indikator: tindakan/perbuatan pemerintah sesuai dengan hukum dan pengawasan yang efektif. Indikator tindakan/perbuatan pemerintah berdasarkan hukum hendak mengukur apakah perbuatan/tindakan pemerintah (pusat dan daerah provinsi) dalam bidang-bidang yang telah ditentukan sudah berkesesuaian dengan hukum. Demikian halnya ketika dalam menjalankan fungsi legislasi dan budgeting bersama parlemen.

Sedangkan indikator pengawasan yang efektif hendak mengukur pelaksanaan mekanisme pengawasan yang dilakukan secara internal dan eksternal oleh kelembagaan negara/pemerintah. Pengawasan internal memfokuskan pada tindakan yang dilakukan pemerintah terhadap aparat di bawahnya. Pengawasan eksternal yang dilakukan lembaga lain di luar pemerintah memfokuskan pada pelaksanaan fungsi dan kewenangan serta respon terhadap rekomendasi dan/atau putusan yang dibuatnya.

1.1. Tindakan Pemerintah Sesuai dengan Hukum

Indikator ini mengukur sejauh mana pemerintah telah men-jalankan kewajibannya menurut hukum (baca: peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik) yang berlaku. Pemerintah yang dimaksud di sini adalah pemerintah pusat dan daerah. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, urusan pemerintah dibagi dalam tiga hal: urusan pemerintah absolut; urusan pemerintah konkuren dan urusan pemerintah umum.

Urusan pemerintah absolut adalah bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, agama, penegakan hukum, moneter dan fiskal. Sedangkan urusan pemerintah konkuren terdiri dari urusan pemerintah wajib dan urusan pemerintah pilihan. Urusan pemerintah konkuren

21

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

yang wajib berkaitan dengan pelayanan dasar dan bukan pelayanan dasar. Sedangkan urusan pemerintah konkuren pilihan, adalah urusan pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar namun juga dikerjakan berdasarkan potensi yang dimiki oleh daerah tersebut.

Meski demikian, dalam penelitian ini, membatasi ruang lingkup pada urusan pemerintah absolut dan urusan pemerintah konkuren yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Selain itu, indikator ini juga memotret sejauh mana pemerintah (pusat dan daerah) telah menjalankan fungsi budgeting dan fungsi legislasinya bersama legislatif (DPR dan DPRD).

***

Dari hasil survei ahli yang dilakukan, ternyata sebagian besar responden cukup puas dengan kinerja pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintah absolut, yaitu di urusan politik luar negeri, keamanan, agama, dan moneter & fiskal. Hal itu dapat dilihat dari sebagian besar pendapat ahli yang menjawab setuju (di atas 45 persen). Bahkan untuk urusan politik luar negeri dan pertahanan, lebih dari 80 persen responden menjawab setuju.

Meski demikian, untuk urusan pemerintahan absolut di bidang penegakan hukum, sebagian besar ahli berpendapat kurang setuju (50 persen). Bahkan jika ditambahkan dengan jawaban yang tidak setuju, maka 68 persen responden menyatakan kinerja pemerintah masih negatif.

Diagram 3.1. Tindakan/Perbuatan Pemerintah Pada Tahun 2015 Sesuai dengan Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku pada

Bidang Penegakan Hukum

Kurang Setuju50%

Setuju30%

Tidak Setuju18%

Sangat Setuju0%

Tidak Jawab2%

22

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Rendahnya pandangan ahli di bidang penegakan hukum tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kasus pengajuan Calon Kapolri Budi Gunawan oleh Presiden di awal tahun 2015. Meskipun Presiden ke-mudian membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri -wa-lau sudah disetujui oleh DPR, namun kasus itu secara tidak langsung berimplikasi kepada pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial. Tidak berapa lama setelah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, dua orang komisioner KPK, Bambang Wi-djojanto dan Abraham Samad, ditersangkakan oleh Kepolisian dengan kasus yang diduga kuat dipaksakan.

Kasus yang dalam bahasa publik disebut kriminalisasi ini tidak berhenti di situ. Tidak berapa lama, dua komisioner Komisioner Komisi Yudisial, Suparman Marzuki dan Taufiqurahman Syahuri pun ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian karena pencemaran nama baik berdasarkan laporan Hakim Sarpin, hakim yang memutus secara kontroversial praperadilan Budi Gunawan. Sampai laporan ini disusun, dua orang komisioner KY itu masih menyandang status sebagai tersangka tanpa ada kejelasan perkembangan kasus dan sejauh mana transparansi penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian.

Pada sisi lain, terkait dengan urusan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan dasar, sebagian besar responden menjawab setuju untuk bidang pendidikan, kesehatan, ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, dan sosial. Sedangkan terkait dengan bidang pekerjaan umum & penataan ruang dan perumahan & pemukiman, sebagian besar responden menjawab tidak setuju.

Diagram 3.2. Tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun 2015 Sesuai dengan Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di bidang Pekerjaan Umum & Penataan Ruang

Kurang Setuju40%

Setuju38%

Tidak Setuju 15%

Sangat Setuju 2%

Tidak Jawab 5%

23

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Sedangkan untuk urusan pemerintah daerah provinsi yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, sebagian besar responden berpendapat bahwa pemerintah daerah tidak menjalankan tugasnya dengan cukup baik. Hanya beberapa bidang yang dinilai positif, yaitu: bidang pangan, administrasi penduduk dan catatan sipil, perhubungan dan komunikasi, dan koperasi & UMKM. Sedangkan di bidang tenaga kerja, perempuan dan anak, pertanahan dan lingkungan hidup, dan kepemudaan & olah raga dinilai rendah.

Dari sejumlah bidang yang dinilai rendah tersebut, bidang pertanahan dan lingkungan hidup dianggap yang paling bermasalah (68 persen).

Diagram 3.3. Tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun 2015 Telah Dilakukan Sesuai dengan Hukum dan Peraturan perundang-

undangan di Bidang Pertanahan & Lingkungan Hidup

Kurang Setuju48%

Setuju27%

Tidak Setuju20%

Sangat Setuju5% Tidak Jawab

0%

Buruknya kinerja pemerintah di bidang pertanahan & lingkungan hidup itu linier dengan laporan masyarakat yang diterima oleh Ombudsman RI. Berdasarkan laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman sepanjang tahun 2015 yang berjumlah 6859 laporan, substansi laporan masyarakat yang paling banyak diterima berkaitan dengan pertanahan dengan 930 laporan. Artinya, 13,6 persen dari seluruh laporan yang diterima Ombusdman berkaitan dengan masalah pertanahan.

Pada sisi lain, kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan hukum di daerah yang mempunyai potensi, jauh lebih buruk dibanding kinerja di bidang yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan bukan

24

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

pelayanan dasar. Dari tujuh bidang yang disurvei, bidang kehutanan dan bidang energi & ESDM merupakan bidang yang dianggap terburuk (lebih dari 60 persen responden).

Diagram 3.4. Tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun 2015 Sesuai dengan Hukum dan Peraturan Perundang- undangan yang Berlaku di

Bidang Kehutanan

Kurang Setuju53%

Setuju27%

Tidak Setuju15%

Sangat Setuju0%

Tidak Jawab5%

Diagram 3.5. Tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun 2015 Sesuai dengan Hukum dan Peraturan Perundang- undangan yang Berlaku di

Bidang Energi & Sumber Daya Mineral

Kurang Setuju43%

Setuju33%

Sangat Setuju0%

Tidak Jawab7%

Tidak Setuju17%

Dari penelusuran dokumen yang dilakukan, tingkat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berimplikasi pada keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah ternyata masih tinggi. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I dan II Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun

25

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

2015 menemukan masih banyak pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah.

IHPS I Tahun 2015 menemukan bahwa dari 10.154 temuan BPK yang memuat 15.434 permasalahan, 7.544 (48,88%) permasalahan disebabkan oleh kelemahan Sistem Pengendalian Internal (SPI) dan 7.890 (51,12%) permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dengan nilai Rp 33,46 triliun.

Dari permasalahan ketidakpatuhan itu, sebanyak 4.609 (58,42%) merupakan permasalahan berdampak finansial senilai Rp 21,62 triliun. Selain itu, terdapat 3.281 (41,58%) permasalahan ketidakpatuhan yang tidak berdampak finansial, terdiri atas 3.137 (95,61%) penyimpangan administrasi dan 144 (4,39%) ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp 11,84 triliun.

Permasalahan ketidakpatuhan yang berdampak finansial terjadi pada pemerintah pusat sebanyak 792 (17,18%) permasalahan senilai Rp 8,65 triliun, pada pemerintah daerah 3.716 (80,63%) permasalahan senilai Rp 11,90 triliun, serta pada BUMN dan Badan Lainnya sebanyak 101 (2,19%) permasalahan senilai Rp 1,07 triliun.

Sedangkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2015 BPK menemukan bahwa dari 6.548 temuan yang memuat 8.733 per-masalahan, yang meliputi 2.175 (25%) kelemahan SPI dan 6.558 (75%) permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan dengan nilai Rp 11,49 triliun.

Dari permasalahan ketidakpatuhan itu, sebanyak 2.537 (39%) merupakan permasalahan berdampak finansial senilai Rp 9,87 triliun. Selain itu, terdapat 4.021 (61%) permasalahan ketidakpatuhan yang tidak berdampak finansial, terdiri atas 1.121 (28%) penyimpangan administrasi dan 2.900 (72%) ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp 1,61 triliun.

***

Pada sisi lain, apabila dilihat dari fungsi legislasi yang dilakukan oleh pemerintah sepanjang tahun 2015, ternyata kinerja pemerintah daerah sedikit lebih baik (50 persen) dibanding dengan pemerintah pusat (40 persen). Meskipun demikian, dalam pelaksanaan fungsi budgeting, pemerintah pusat (45 persen) sedikit lebih baik dibanding pemerintah daerah (40 persen).

26

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Dari survei ahli yang dilakukan, faktor-faktor yang membuat tindakan/perbuatan pejabat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi sepanjang tahun 2015 dinilai telah sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah: efektifnya pengawasan (30 %), peraturannya jelas (23 %), legitimasi yang kuat (18 %), memiliki integtritas yang baik (12 %), komitmen yang tinggi (7%). Sisanya, 10 persen responden menjawab lainnya.

Diagram 3.6. Faktor-faktor yang Paling Membuat Tindakan/Perbuatan Pejabat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Sepanjang tahun

2015 Sesuai Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku

Komitmen Tinggi33%

Lainnya10%

MemilikiIntergritas yang

baik12%

PeraturannyaJelas23%

Pengawasannyaefektif30%

Legitimasi yangKuat18%

Sedangkan tindakan/perbuatan yang paling sering dilanggar pejabat pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi sepanjang tahun 2015 yang dinilai tidak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah: korupsi (75 %), membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan peraturan (15 %), tidak melaksanakan/mematuhi putusan pengadilan (5%), dan pelanggaran lainnya (5%).

27

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Diagram 3.7. Tindakan/perbuatan yang Paling Sering Dilanggar Pejabat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Sepanjang Tahun 2015

Lainnya5%

Korupsi (KKN)75%

Melakukanperbuatanasusila0%

Tidakmelaksanakan/mematuhi putusanpengadilan5%

Membuatkebijakan yangtidak sesuaidenganperaturan15%

1.2. Pengawasan yang Efektif

Ada empat subindikator yang diukur oleh indikator ini, yaitu: pengawasan oleh parlemen, pengawasan lembaga peradilan, pengawasan internal, dan pengawasan dari komisi negara independen.

Pengawasan oleh parlemen mengukur sejauh mana kinerja lembaga legislatif dalam menggunakan haknya, yaitu: hak interpelasi, hak menyatakan pendapat, dan hak angket. Selain itu, subindikator ini juga mengukur sejauh mana efektifitas rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang dilakukan oleh legislatif (pusat dan daerah).

Sedangkan pengawasan oleh lembaga peradilan meninjau sejauh mana kinerja Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya menguji undang-undang dan kinerja pengadilan tata usaha negara sebagai alat koreksi terhadap tindakan pemerintah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Subindikator pengawasan yang ketiga adalah pengawasan inter-nal pemerintah. Subindikator ini ingin mengetahui sejauh mana efektifitas kinerja dari lembaga pengawasan internal yang dimiliki oleh pemerintah.

Subindikator terakhir, pengawasan komisi negara independen. Keberadaan komisi negara independen yang banyak dibentuk oleh negara ini bertujuan untuk memastikan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

28

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

a. Pengawasan Parlemen

Hasil survei ahli menunjukan bahwa kinerja legislatif, baik DPR dan DPRD, sepanjang tahun 2015 sangat mengecewakan. Hal itu terlihat dari rerata pilihan responden (lebih dari 50 persen) yang memilih tidak efektif terkait semua pengunaan hak yang dimiliki oleh lembaga legislatif tersebut, baik: hak interpelasi, hak menyatakan pendapat, dan hak angket. Bahkan untuk penggunaan hak menyatakan pendapat lembaga legislatif daerah (DPRD), sekitar 58 persen responden menyatakan tidak efektif.

Diagram 3.8. Penggunaan Hak Menyatakan Pendapat DPRD Provinsi

Efektif20%

Tidak Efektif58%

Cukup Efektif20%

Sangat Efektif0%

Tidak Jawab2%

Demikian juga dengan rapat dengar pendapat yang dilakukan oleh DPR dan DPRD. Mayoritas responden menyatakan negatif (60 persen memilih tidak efektif dan kurang efektif).

b. Pengawasan Pengadilan

Sebagai check and balance pemerintah dalam menjalankan hukum, terdapat pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Negara. Kinerja Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang dipandang positif (77 persen). Sedangkan kinerja Mahkamah Agung dalam menguji peraturan perundang-undangan dianggap masih jauh di bawah Mahkamah Konstitusi (62,5 persen menyatakan negatif). Bahkan kinerja PTUN dipandang sedikit lebih baik dibandingkan dengan kinerja Mahkamah Agung (60 persen menyatakan negatif).

29

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Diagram 3.9. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Sepanjang Tahun 2015 Sebagai Kontrol terhadap Perbuatan/Tindakan pejabat

Pemerintah Daerah Provinsi

Efektif30%

Kurang Efektif58%

Tidak Efektif 12%

Tidak Jawab0%

Sangat Efektif 0%

Meski demikian, berdasarkan penelusuran dokumen, dari 83 perkara permohonan hak uji materiil (83,84%) diputus oleh Mahkamah Agung RI sepanjang tahun 2015, sesuai dengan ketentuan jangka waktu penanganan perkara, kurang dari 3 (tiga) bulan dan sisanya sebanyak 16 perkara (16,16%) diputus dalam tenggang waktu 3 sampai 6 bulan.

Pada sisi lain, sepanjang tahun 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menangani perkara sebanyak 2.359 perkara. Perkara yang telah diputus tahun 2015 sebanyak 1.536 perkara dan dicabut sebanyak 234 perkara. Sisa perkara sebanyak 589 perkara. Jumlah perkara yang diterima PTUN sepanjang tahun 2015 meningkat sebesar 11,05 persen dibandingkan tahun 2014 yang menerima sebanyak 1.629 perkara. Perkara yang diputus berkurang 14,24 persen dari tahun 2014 yang telah memutus sebanyak 1.791 perkara. Rasio jumlah perkara putus dibandingkan dengan jumlah beban (rasio produktivitas), sebesar 65,11 persen, sedangkan rasio jumlah sisa perkara sebesar 24,97%.

c. Pengawasan Internal Pemerintah

Secara umum, pengawasan internal yang dilakukan oleh pemerintah tidak efektif. Pengawasan internal yang dimaksud meliputi pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap aparatusnya, pengawasan pemerintah daerah terhadap aparatusnya di daerah, pengawasan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait

30

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

penggunaan anggaran, pengawasan terhadap kepolisian dan kejaksaan. Rata-rata lebih dari 50 persen menjawab dengan negatif.

Apabila dibandingkan, pengawasan internal yang dilakukan oleh pemerintah pusat ternyata kurang efektif (70 persen) dibanding pengawasan internal pemerintah daerah (65 persen). Demikian juga pengawasan pemerintah terhadap institusi penegak hukum yang ada di bawah kendalinya, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Meski demikian, pengawasan terhadap Kejaksaan dipandang jauh lebih lemah dibanding pengawasan terhadap Kepolisian.

Dari semua pengawasan tersebut, pengawasan yang dilakukan oleh BPK & BPKP dianggap lebih baik dibanding pengawasan lainnya.

Diagram 3.10. Pengawasan Badan Pengawas Keuangan (BPK) & Pembangunan (BPKP) terhadap Anggaran dan Kinerja Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah Provinsi Sepanjang Tahun 2015

Kurang Efektif45%

Sangat Efektif0%

Efektif45%

Tidak Efektif 5%

Tidak Jawab5%

d. Pengawasan Terhadap Komisi Negara Independen

Untuk membantu pemerintah, maka pasca Reformasi hadirlah beberapa lembaga pengawasan untuk memperkuat pelaksaan negara hukum. Lembaga itu kerap disebut dengan Komisi Negara Independen. Dalam penelitian ini, komisi negara independen yang diambil adalah Ombudsman, Komisi Informasi, Kompolnas dan Komisi Kejaksaan.

Dari empat komisi negara independen tersebut, sepanjang tahun 2015 memiliki kinerja yang jauh dari memuaskan. Rata-rata responden memandang negatif (lebih dari 60 persen). Bahkan untuk Kompolnas dan Komisi Kejaksaan, lebih dari 70 persen responden berpandangan sangat negatif.

31

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Secara berturut-turut komisi negara independen yang dianggap memiliki performa terbaik adalah Komisi Ombudsman, Komisi Informasi, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian.

Diagram 3.11. Kinerja Kompolnas Sepanjang Tahun 2015

Kurang Efektif68%

Tidak Efektif 20%

Efektif 12%

Tidak jawab 0%

Sangat Efektif 0%

Diagram 3.12. Kinerja Komisi Kejaksaan (Komjak) Sepanjang Tahun 2015

Kurang Efektif55%

Tidak Efektif23%

Efektif 22%

Tidak jawab 0%Sangat Efektif 0%

2. Prinsip Legalitas Formal

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum, berarti semua tata aturan harus didasarkan pada hukum. Demikian juga setiap peraturan harus dirancang dan diundangkan secara benar serta berdasarkan prosedur yang sah. Dalam konsep negara hukum yang dikenal luas sebagai rule of law ataupun rechhtstaat terdapat suatu prinsip yang terkait dengan

32

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

bentuk formal dari hukum itu sendiri, yang dikenal dengan legalitas formal (formal legality).

Esensi prinsip legalitas formal dapat ditemukan pada dua tujuan pokoknya: pertama, membuat aturan hukum mampu menuntun perilaku; dan kedua, aturan hukum mampu membuat warga negara menjadi bebas dan otonom. Agar kedua tujuan pokok di atas bisa dicapai, hukum diharuskan memiliki sejumlah karakter penting yaitu berlaku umum (general), bisa diperkirakan (predictable), jelas (clear), tidak mudah berubah-ubah (stable), konsistensi antara teks hukum dengan perilaku pelaksana dan penegak hukum, tidak kontradiktif serta tidak berlaku surut (retroactive) dan diumumkan (public promulgation).

Apabila memiliki karakter-karakter penting di atas, hukum diyakini akan mampu memberikan kepastian dan kesamaan karena setiap orang sudah dapat memperkirakan terlebih dahulu apa respon negara atau pemerintah atas tindakan yang mereka lakukan. Dengan memberikan kepastian mengenai respon hukum atas setiap tindakan, hukum selanjutnya menyediakan jaminan kebebasan dan otonomi. Setiap orang bebas atau otonom untuk melakukan sesuatu yang diperkirakan tidak memiliki implikasi hukum. Dengan kata lain, hukum menjamin kebebasan kepada setiap orang yang berperilaku sesuai dengan aturan hukum (freedom what they law permit).

Sama seperti tahun sebelumnya, prinsip legalitas formal dalam Indeks Negara Hukum Tahun 2015 ini tetap mengukur aspek formal dari peraturan. Yakni, berkaitan dengan publikasi, kejelasan materi, dan stabilitas peraturan. Semua hal tersebut merupakan prasyarat dari eksistensi hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat dapat diprediksi atau bersifat 'predictable' (Asshiddiqie, 2012).

Prinsip legalitas formal, hendak menilai sejauh mana negara sudah mempublikasikan peraturan, memformulasikan rumusan peraturan, dan memastikan peraturan yang dibuat tidak berubah dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, pengukuran prinsip legalitas formal dilakukan melalui tiga indikator, yakni (1) Penyebarluasan Peraturan (2) Kejelasan Rumusan Peraturan, dan (3) Stabilitas Peraturan.

Indikator Penyebarluasan Peraturan hendak mengukur tingkat kemudahan warga negara dalam mengkases peraturan yang telah

33

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

disahkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sepanjang tahun 2015. Pendapat ahli yang diukur terkait dengan kemudahan masyarakat dalam mendapatkan peraturan, baik yang berada di kota atau di pedesaan, intensitas sosialisasi peraturan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat, ketersediaan peraturan untuk kelompok difabel (different ability). Sementara, dokumen-dokumen yang dinilai adalah ketersediaan sarana publikasi peraturan, dalam hal ini yang dilakukan adalah dengan melihat kelengkapan peraturan dalam media elektronik, yakni website resmi dari pemerintah.

Indikator Kejelasan Rumusan Peraturan mengukur pemahaman warga negara akan materi muatan yang diatur dalam suatu peraturan, atau dengan kata lain pemahaman tentang perintah atau larangan yang ditujukan kepada warga negara. Persepsi ahli yang diukur antara lain tentang kejelasan pilihan kata dan bahasa hukum yang digunakan, konflik yang muncul dari ketidakjelasan tersebut dan kontradiksi (pertentangan) dari materi peraturan, dalam hal ini terhadap peraturan yang lebih tinggi. Beberapa dokumen yang dinilai dari indikator ini adalah dilihat dari putusan lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengkoreksi peraturan yang dianggap bertentangan tersebut, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Kementerian Dalam Negeri.

Indikator Stabilitas Peraturan pada dasarnya hendak mengukur tingkat perubahan peraturan yang cukup cepat dari waktu penerbitannya, yakni 5 tahun terakhir. Persepsi ahli di sini langsung ditujukan terkait pengetahuannya terhadap intensitas peraturan yang berubah dalam kurun waktu tersebut. Selanjutnya, untuk dokumen yang dinilai adalah terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga eksekutif, baik di pusat maupun di daerah, yakni berupa Peraturan Presiden (Pusat) dan Peraturan Gubernur (daerah).

2.1. Penyebarluasan Peraturan

Hasil penilaian penyebarluasan peraturan sepanjang tahun 2015 tidak jauh berubah dengan tahun sebelumnya (2014). Menurut pandangan ahli, hampir seluruh masyarakat (baik perkotaan maupun pedesaan) mengalami kesulitan mengakses peraturan (UU/ Perda Provinsi) dari sumber-sumber resmi yang disediakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi.

34

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Angka itu dapat dilihat lebih jelas, di mana 47,5 persen ahli (40 persen menjawab sulit dan 7,5 persen sangat sulit) menyatakan masyarakat di perkotaan kesulitan mendapatkan Undang-Undang dari sumber-sumber resmi yang disediakan oleh pemerintah pusat; dan 70 persen ahli (60 persen menjawab sulit dan 10 persen sangat sulit) menyatakan masyarakat perkotaan tidak mudah untuk mendapatkan Perda Provinsi dari sumber-sumber resmi yang disediakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi.

Begitu juga dengan masyarakat pedesaan, yang juga kesulitan mendapatkan Undang-Undang dan Perda Provinsi di wilayah mereka. Sebagaimana yang terlihat dari 75 persen ahli (40 persen menjawab sulit dan 35 persen menjawab sangat sulit) yang menjawab negatif untuk undang-undang; dan 82 persen ahli menjawab (45 persen menjawab sulit dan 37,5 persen menjawab sangat sulit) kesulitan untuk mendapatkan Peraturan Daerah (Perda).

Tabel 3.1. Akses Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan Terhadap UU dan Perda Berdasarkan Sumber Resmi Tahun 2015 (dalam Persen)

No Jawaban Ahli Undang-Undang

Peraturan Daerah

Undang-Undang

Peraturan Daerah

Masyarakat Perkotaan Masyarakat Perdesaan

1 Sangat Sulit 7,5 10 35 37

2 Sulit 40 60 40 45

3 Mudah 3 25 20 12,5

4 Sangat Mudah 12,5 2,5 0 0

5 Tidak Jawab 0 2,5 5 5

Pada sisi lain, tingkat sosialisasi Undang-Undang yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat rendah. Sebagaimana yang terlihat dari 72,5 persen ahli menjawab jarang, dan 17,5 persen ahli menjawab tidak pernah. Demikian juga dengan sosialisasi terhadap Peraturan Daerah, 66 persen ahli menjawab jarang dan 22,5 persen ahli menjawab tidak pernah.

Apabila dilihat dari sejauh mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah menggunakan informasi selain media lain (selain media elektronik dan media massa) dalam menyebarkan Undang-Undang dan Peraturan Daerah Provinsi, sebagian besar ahli mengatakan tidak ada: 60 persen ahli untuk Undang-Undang dan 72,5 persen ahli untuk Peraturan Daerah (Perda) Provinsi.

35

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Gambar 3.1. Contoh Server Pemerintah yang Sulit Diakses

Dari penelusuran yang dilakukan peneliti, salah satu penyebab sulitnya masyarakat untuk mengakses peraturan adalah seringnya server website mengalami gangguan/down. Salah satu website yang sering mengalami gangguan adalah website milik Mahkamah Agung. Padahal, pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 88,1 juta, meskipun 52 juta masih didominasi oleh pulau Jawa dan Bali (viva.co.id, 13/4/2015).

Komitmen negara dalam melayani penyandang disabilitas juga terlihat masih kurang dalam hal penyediaan askes terhadap peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal ini dapat dilihat dari penilaian ahli yang sebagian besar (55 persen) menyatakan pemerintah kurang menyediakan akses yang memadai dan (30 persen) menyatakan tidak menyediakan akses yang memadai untuk mendapatkan Undang-Undang.

36

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Diagram 3.13 Ketersedian Akses yang Memadai bagi Penyandang Disabilitas

Mengakses Undang-Undang

KurangMenyediakan55%

CukupMenyediakan10%

SangatMenyediakan0%

TidakMenyediakan30%

Tidak Jawab 5%

2.2. Kejelasan Rumusan

Terkait rumusan Undang-Undang yang diterbit sepanjang tahun 2015, dari sisi pilihan kata atau istilah dan bahasa hukum, menurut ahli, masyarakat sulit untuk memahaminya. Demikian juga dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi yang diterbitkan sepanjang tahun 2015, pilihan kata & istilah dan bahasa hukum yang digunakan pembentuk peraturan masih sulit untuk dipahami oleh masyarakat (lihat tabel 3.2).

Tabel 3.2 Tingkat Pemahaman Masyarakat Terhadap Rumusan Undang-Undang dan Peraturan Daerah Provinsi Terkait Pilihan Kata atau Istilah dan

Bahasa Hukum yang Diterbitkan Sepanjang Tahun 2015 (dalam persen)

No Jawaban Ahli Undang-Undang Perda Provinsi

Pilihan kata atau istilah

Bahasa hukum

Pilihan kata atau istilah

Bahasa hukum

1 Sangat Mudah 0 0 0 0

2 Cukup Mudah 30 20 42,5 40

3 Sulit 55 70 42,5 47,5

4 Sangat Sulit 10 7,5 7,5 5

5 Tidak Jawab 5 2,5 7,5 7,5

Meskipun demikian, dalam tataran implementasi/praktik hukum, menurut ahli, jarang terdapat pilihan kata atau istilah dan bahasa hukum yang bermasalah/konflik/buntu akibat ketidakjelasan rumusan

37

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Undang-Undang dan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi sepanjang tahun 2015, kecuali dalam hal rumusan bahasa hukum dalam Undang-Undang (lihat tabel 3.3).

Tabel 3.3. Implikasi/Praktik Hukum Ketidakjelasan Rumusan Undang-Undang dan

Peraturan Daerah Terkait Pilihan Kata atau Istilah dan Bahasa Hukum Sepanjang Tahun 2015 (dalam persen)

No Derajat Jawaban Ahli

Undang-Undang Perda Provinsi

Pilihan kata atau istilah

Bahasa hukum

Pilihan kata atau istilah

Bahasa hukum

1 Tidak Pernah 0 0 0 5

2 Jarang 42,5 42,5 42,5 42,5

3 Sering 37,5 45 42,5 30

4 Sangat Sering 10 10 7,5 10

5 Tidak Jawab 5 2,5 12,5 12,5

Meski masyarakat cenderung sulit untuk memahami peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara, namun masyarakat lebih memilih untuk melaksanakan aktivitasnya karena tidak terpengaruh dengan kesulitan tersebut (lihat diagram 3.14).

Diagram 3.14. Perilaku Masyarakat yang Mengalami Kesulitan Memahami Rumusan Peraturan Perundang-undangan dalam Melaksanakan Aktivitas

Sepanjang Tahun 2015

Lainnya 7%

Memintapenafsiran/kejelasandari lembaga yangberwenag 18%

Menghentikanaktivitas karenatakut melanggaraturan 0%

Ragu-ragu dalammelaksanakanaktivitas 25%

Tetap melaksanakanaktivitas karena tidakterpengaruh dengankesulitan tersebut45%

Tidak Jawab 5%

38

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Tabel 3.4. Undang-Undang dan Perda Provinsi yang Bertentangan/Kontradiktif dengan Undang-Undang yang Lebih Tinggi Sepanjang Tahun

2015 (dalam persen)

No Jawaban Ahli Undang-Undang Perda Provinsi

1 Sangat Banyak 7,5 10

2 Banyak 65 35

3 Sedikit 25 45

4 Tidak Ada 0 2,5

5 Tidak Jawab 2,5 7,5

Penilaian dokumen yang dilakukan linier dengan survei ahli: proporsi Undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi peraturan daerah maupun peraturan di bawah undang-undang lainnya yang bertentangan dengan Undang-undang. Berdasarkan rekapitulasi putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian undang-undang terhadap UUD (judicial review) sepanjang tahun 2015, terdapat 25 undang-undang yang bertentangan dengan UUD dari 157 perkara uji materi yang diputuskan MK. Sebanyak 50 undang-undang dinyatakan tidak bertentangan dengan konstitusi, sementara sisanya dinyatakan tidak diterima karena tidak lengkap secara formil atau bukan kewenangan MK.

Tabel 3.5. Undang-Undang yang Paling Banyak Diujimateril di Mahkamah Konstitusi

NO UNDANG-UNDANG YANG DIUJIKAN Kuantitas

1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang

31 kali

2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

12 kali

3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

6 kali

4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5 kali.

5 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

4 kali

39

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

4 kali

7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial

4 kali

8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

4 kali

9 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat 4 kali

10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

4 kali

Sementara itu, jumlah peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan undang-undang terdapat 60 perda dari 3143 yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri sepanjang tahun 2015. Sedangkan menurut Mahkamah Agung, terdapat 6 peraturan di bawah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan undang-undang sepanjang tahun 2015. Dari 72 perkara uji materil yang diajukan ke MA hanya terdapat 10 Perda yang dimintakan pengujian.

Adapun klasifikasi jenis peraturan dan jumlah permohonan uji materil ke Mahkamah Agung RI sepanjang tahun 2015 adalah sebagai berikut:

Tabel 3.6. Jenis Peraturan dan Jumlah Permohonan Uji Materil ke Mahkamah Agung RI Sepanjang Tahun 2015

No Klasifikasi Jumlah Persen

1 Peraturan Pemerintah 19 26,39%

2 Peraturan Menteri 13 18,06%

3 Peraturan KPU 12 16,67%

4 Peraturan Daerah 10 13,89%

5 Peraturan Presiden 4 5,56%

6 Keputusan Menteri 2 2,78%

7 Peraturan Gubernur 2 2,78%

8 Keputusan Gubernur 1 1,39%

9 Qanun Aceh 1 1,39%

10 Peraturan Walikota 1 1,39%

11 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

1 1,39%

12 Surat Edaran Menteri 1 1,39%

13 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

1 1,39%

40

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

14 Keputusan Sengketa Panitia Pengawas Pemilihan Umum

1 1,39%

15 Surat Edaran Mahkamah Agung 1 1,39%

16 Instruksi Wakil Kepala Daerah 1 1,39%

17 Surat Keputusan Direksi PT. Bank Rakyat Indonesia

1 1,39%

Jumlah 72 100%

Masih menurut ahli, faktor-faktor yang menyebabkan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi secara berturut-turut adalah: pembuatan peraturan perundang-undangan tidak melalui perencanaan yang matang; kurangnya pemahaman legislator; kurangnya pemahaman pemerintah. Selebihnya ahli menye-butkan faktor lainnya dan tidak menjawab (lihat diagram 3.15).

Diagram 3.15. Faktor-faktor yang Menyebabkan Peraturan Perundang-undangan Bertentangan dengan Peraturan yang Lebih Tinggi

KeterbatasanSDM Pendukung0%

Lainnya12%

Kurangnyapemahamanlegislator33%

Pembuatanperaturanperundangantidak melaluiperencanaanyang matang43%

Kurangnyapemahamanpemerintah5%

Tidak Jawab 5%

2.3. Stabilitas Peraturan

Sepanjang tahun 2015, peraturan yang paling sering diubah adalah Undang-undang (52,5 persen ahli menjawab sering dan 27,5 persen ahli menjawab sangat sering) dibandingkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi (15 persen menjawab sering dan 2,5 persen ahli menjawab sangat sering). Dilihat dari sektor atau bidang yang diatur oleh undang-undang, yang paling sering mengalami perubahan adalah undang-undang terkait isu politik (37,70%), yang dalam hal ini terkait dengan pelaksanaan pemilihan umum. Selanjutnya, disusul dengan bidang

41

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

bisnis-keuangan dan perdagangan (11,48%) pendidikan (9,84%), administrasi pemerintahan (6,56%), dan pertanahan (6,56%).

Pada tingkat Peraturan Daerah Provinsi, sektor atau bidang pengaturan yang paling sering mengalami perubahan adalah terkait dengan pungutan memaksa yakni, soal pajak, retribusi dan iuran (24 %). Selanjutnya diikuti oleh bidang administrasi pemerintahan (10 %), bisnis – keuangan dan perdagangan (6 %), pendidikan (6 %), dan lingkungan hidup (4 %).

Sepanjang tahun 2015, setidaknya terdapat empat undang-undang yang umurnya kurang dari satu tahun yang diubah: UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang; UU No. 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang; UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang; dan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Keempat undang-undang tersebut merupakan undang-undang yang terkait dengan sektor politik, yaitu kepemiluan dan pemerintahan daerah. Proses perubahannya juga hampir terbilang serupa, mulanya disahkan oleh DPR sebagai undang-undang, kemudian dibatalkan oleh Presiden dengan cara menerbitkan Perpu yang kemudian disahkan kembali oleh DPR.

Jika dilihat dari faktor yang paling dominan menyebabkan perubahan peraturan, ternyata menurut ahli hanya 7,5 persen yang menyatakan karena adanya perubahan sosial masyarakat yang mengharuskan adanya perubahan peraturan. Sementara, mayoritas ahli menyatakan (70 persen) karena banyaknya kepentingan politik transaksional dari pihak-pihak tertentu. Kondisi ini sejalan dengan temuan undang-undang yang paling sering mengalami perubahan adalah bidang politik, yakni berkaitan dengan pemilu dan juga administrasi pemerintahan.

42

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Diagram 3.16. Faktor-faktor yang Mendominasi Perubahan Peraturan Perundang-undangan

Kepentinganmemaksa 8%

Kepentinganpolitiktransaksionalpihak-pihaktertentu 70%

Tidak Jawab 2%

Putusan JudicialReview danKeputusanExecutive Review5%

KepentinganKelompokMasyarakat (NGO)ormas, kalanganbisnis, profesi)5%

Perubahan SosialMasyarakat 8%

Lainnya 2%

Meskipun terdapat perubahan terhadap peraturan perundang-undangan, menurut ahli, masyarakat ternyata tetap melaksanakan aktivitas seperti biasa karena tidak terpengaruh dengan perubahan tersebut (75 persen). Hal ini jika dikaitkan dengan bidang atau sektor peraturan yang berubah dapat dipahami karena sebagian besar peraturan yang berubah (politik dan administrasi pemerintahan) tidak bersentuhan langsung dengan urusan-urusan keseharian dari masyarakat, seperti bisnis, kesehatan atau pendidikan.

3. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka pada Indeks Negara Hukum Indonesia tahun 2015 masih menggunakan indikator yang sama seperti tahun 2014. Indikator pertama, independensi hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Indikator kedua adalah independensi hakim dalam kaitannya dengan manajemen sumber daya hakim. Indikator ketiga, independensi hakim dalam kaitannya dengan kebijakan kelembagaan. Indikator keempat adalah independensi hakim terhadap pengaruh dari publik dan media massa.

3. 1 Independensi Hakim dalam Mengadili dan Memutus Perkara

Indikator ini terdiri dari dua subindikator. Subindikator Pertama, independensi hakim dalam proses persidangan, yang akan menilai: distribusi perkara oleh ketua pengadilan; pemberian kesempatan yang

43

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

sama kepada para pihak yang berperkara dalam menggunakan haknya oleh hakim; proses persidangan yang tidak berbelit-belit; dan upaya hakim dalam menghindari konflik kepentingan pada perkara yang ditanganinya.

Sedangkan Subindikator Kedua, independensi hakim dalam memutus perkara, ditujukan pada hakim dalam menggunakan per-timbangan dalam putusannya; rasa keadilan masyarakat terhadap putusan hakim; dan kebebasan hakim dari pengaruh apa pun dalam menjatuhkan putusan.

a. Independensi Hakim dalam Proses Persidangan

Hasil survei ahli menunjukan bahwa sepanjang tahun 2015, hakim Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk telah mendistribusikan perkara kepada Majelis Hakim secara adil dan merata (55 persen). Hakim pun telah memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak untuk menggunakan haknya dalam proses persidangan di sepanjang tahun 2015 (72,5 persen). Meski demikian, hakim dalam memeriksa perkara masih dianggap berbelit-belit dan sesuai dengan jadwal waktu persidangan yang telah ditentukan (60 persen).

Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2015, jumlah perkara yang diterima oleh pengadilan tingkat pertama pada tahun 2015 meningkat 17,72% dibandingkan penerimaan tahun 2014 sebanyak 3.870.714 perkara. Jumlah perkara yang diputus pun meningkat 17,96% dari tahun 2014 yang berjumlah 3.830.534 perkara. Rasio jumlah perkara putus dibandingkan dengan beban perkara sebesar 96,76%. Rasio sisa perkara dibandingkan dengan beban perkara sebesar 2,60%.

Sedangkan jumlah perkara yang diterima oleh pengadilan tingkat banding meningkat 12,17% dari tahun 2014 yang menerima sebanyak 24.537 perkara. Jumlah perkara putus meningkat 2,52% dari tahun 2014 yang berjumlah 22.465 perkara. Rasio jumlah perkara putus dibandingkan dengan beban perkara adalah 54,17%. Rasio jumlah sisa perkara dibandingkan dengan beban adalah 45,73%.

Adapun rasio produktivitas Mahkamah Agung RI dalam memutus perkara tahun 2015 meningkat 1,92% dari tahun 2014, yang memiliki rasio produktivitas sebesar 76,62 %. Rasio jumlah sisa perkara tahun 2015 berkurang 1,73% dibandingkan dari tahun 2014 yang berjumlah

44

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

23,38%. Rasio produktivitas memutus dan sisa perkara tahun 2015 melampaui capaian kinerja tahun 2014 dan merupakan capaian tertinggi dalam sejarah Mahkamah Agung RI.

Sementara itu, perkara pengujian undang-undang (PUU) yang diregistrasi Kepaniteraan MK sepanjang tahun 2015 sebanyak 140 perkara dan sisa tahun sebelumnya 80 perkara, sehingga jumlah perkara yang ditangani sebanyak 220 perkara. Dari jumlah tersebut, telah diputus 157 perkara dan sisanya, sebanyak 63 perkara masih dalam proses pemeriksaan. Artinya rasio produktivitas memutus dan sisa perkara PUU tahun 2015 adalah sebesar 71.36%.

Sedangkan untuk perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), MK hanya meregistrasi dan menyelesaikan satu perkara. Kemudian sejak MK membuka pendaftaran permohonan perselisihan hasil pilkada serentak gelombang pertama yang pemungutan suaranya digelar pada 9 Desember 2015, hingga 26 Desember 2015 MK menerima pendaftaran Perselisihan Hasil Pilkda (PHP Kada) sebanyak 147 permohonan dari 132 daerah.

b. Independensi Hakim dalam Memutus Perkara

Dalam isu konfik kepentingan hakim terhadap perkara yang ditanganinya, proporsi jawaban ahli relatif berimbang: 50 persen positif dan 47,5 persen negatif; sisanya 2,5 persen tidak memberikan jawaban. Meskipun demikian, putusan hakim pun dianggap belum mencerminkan keadilan (75 persen). Hal itu disebabkan hakim belum terbebas dari pengaruh, tekanan, dan/atau intervensi dari pihak manapun dalam memutus perkara (80 persen).

Pihak yang paling sering mempengaruhi, menekan dan mengintervensi hakim adalah pengusaha (67,5 persen) dan pihak berperkara/advokat (62,5 persen). Setelah itu berturut-turut: pejabat pengadilan yang lebih tinggi (52,5 persen); organisasi kemasyarakatan (40 persen); pemerintah pusat/daerah (35 persen); anggota dewan (35 persen); partai politik (35 persen); dan tokoh masyarakat (27,5 persen).

45

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Tabel 3.7. Proporsi Jawaban Ahli Terkait Pihak yang Paling sering Mempengaruhi, Menekan dan Mengintervensi hakim Sepanjang Tahun 2015

No Jawaban Ahli

Peme-rintah Pusat/Daerah

Anggota Dewan

Partai Politik

Tokoh Masya-rakat

Pihak ber-

perkara/Advokat

Organi-sasi

Kemasya-rakatan

Peng-usaha

Pejabat pengadilan yang lebih

tinggi

1 Sangat Sering

2,5 2,5 2,5 5 22,5 5 20 12,5

2 Sering 32,5 32,5 32,5 22,5 40 35 47,5 30

3 Jarang 42,5 40 40 45 27,5 42,5 20 27,5

4 Sangat Sering

17,5 17,5 17,5 15 7,5 12,5 5 12,5

5 Tidak Jawab

5 7,5 7,5 12,5 2,5 5 7,5 17,5

Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2015 juga mencatat bahwa jumlah perkara yang diterima oleh pengadilan tingkat pertama pada tahun 2015 meningkat 17,72 persen dibandingkan penerimaan tahun 2014, sebanyak 3.870.714 perkara. Jumlah perkara putus meningkat 17,96 persen dari tahun 2014 yang berjumlah 3.830.534 perkara. Rasio jumlah perkara putus dibandingkan dengan beban perkara sebesar 96,76 persen. Rasio sisa perkara dibandingkan dengan beban perkara sebesar 2,6 persen.

3.2. Independensi Hakim dalam Memutus Perkara

Indikator ini terdiri dari dua subindikator: manajemen SDM hakim dan manajemen pengawasan hakim. Subindikator pertama mencermati mekanisme seleksi, rekrutmen, mutasi-promosi, dan kesempatan hakim dalam peningkatan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan. Sedangkan subindikator kedua, akan menilai efektifitas pengawasan internal dan eksternal (khususnya Komisi Yudisial) serta sinergitas kedua pengawasan tersebut.

a. Manajemen SDM Hakim

Menurut ahli, sepanjang tahun 2015, rekruitmen hakim agung belum sepenuhnya bebas dari KKN (72,5 persen). Demikian juga dengan seleksi hakim ad hoc -hakim yang bukan dari karier dan ditunjuk untuk menangani kasus tertentu dalam waktu tertentu karena keahliannya- (67,5 persen). Dalam proses seleksi hakim ad hoc, dipandang belum memiliki kriteria yang terukur (55 persen).

46

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Berdasarkan penelusuran dokumen, pada tahun 2015, Komisi Yudisial kembali menyelenggarakan seleksi calon hakim agung untuk mengisi kekosongan jabatan hakim agung dan kekurangan hasil seleksi Tahun 2014 sebanyak 8 hakim agung. Adapun komposisinya, yaitu: 1 hakim agung Kamar Agama, 2 hakim agung Kamar Perdata, 2 hakim agung Kamar TUN, dan 2 hakim agung Kamar Pidana, dan 1 hakim agung Kamar Militer.

Tahun 2015 Mahkamah Agung RI juga melaksanakan rekrutmen Calon Hakim ad hoc Tipikor dengan peserta yang mendaftar pada Tingkat Pertama sebanyak 149 orang dan Tingkat Banding sebanyak 92 orang, sehingga jumlah pendaftar keseluruhannya adalah 241 orang. Data peserta yang lulus sebagaimana tabel berikut.

Tabel 3.8. Rekrutmen Calon Hakim ad hoc Tipikor 2015

No Pengadilan Jumlah Pendaftar Lulus Seleksi

Administrasi Tertulis

1 Tingkat Pertama 149 142 38

2 Tingkat Banding 92 90 20

3 Jumlah 241 232 58

Sedangkan untuk rekrutmen Calon Hakim Ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di lingkungan Peradilan Umum, MA telah menerima pendaftar sebanyak 646 orang. Setelah melalui tahap seleksi administrasi, tes tertulis, psikotes dan terakhir tes wawancara maka peserta yang dinyatakan lulus sebanyak 62 orang.

Pada tahun 2015, MA juga mengajukan kebutuhan 8 orang Hakim Ad hoc PHI di MA dengan komposisi 4 orang unsur Pengusaha (Apindo) dan 4 orang unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh kepada Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Namun ternyata pihak Kemenaker tidak mengetahui amanat Pasal 13a UU No. 18 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa pengusulan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di MA kepada DPR adalah wewenang Komisi Yudisial, sehingga tahun 2015 Komisi Yudisial dan Kemenaker tidak melakukan seleksi Calon Hakim Ad hoc di MA.

Seleksi hakim konstitusi pun tidak jauh berbeda. Seleksi hakim konstitusi dipandang masih jauh dari objektif, transparan, dan partisipatif. Dari tiga lembaga yang mengajukan hakim konstitusi, seleksi yang dilakukan oleh DPR (77 persen) merupakan yang

47

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

terburuk. Berturut-turut setelahnya: Mahkamah Agung (75 persen) dan Presiden (62,5 persen).

Sepanjang tahun 2015, promosi dan mutasi hakim belum objektif dan transparan (60 persen). Demikian pula terkait penentuan peserta pendidikan dan pelatihan bagi hakim oleh pejabat pengadilan (70 persen).

Berdasarkan penelusuran dokumen, terkait pengembangan kapasitas hakim, pada tahun 2015 MA telah mendidik dan melatih hakim sebanyak 1.803 orang dari jumlah keseluruhan hakim sebanyak 8.097 orang hakim. Rasio antara kapasitas peserta pelatihan dengan jumlah hakim adalah 22,32 persen.

b. Manajemen Pengawasan Hakim

Pengawasan oleh Pengadilan Tinggi (di lingkungan peradilan umum, agama, dan Tata Usaha Negara) terhadap dugaan pelanggaran etika dan perilaku hakim dipandang belum efektif (82,5 persen). Komisi Yudisial yang diharapkan menjadi pengawas eksternal hakim pun belum menunjukan kinerja yang efektif (lihat diagram 3.). Bahkan KY dan MA belum bersinegi dalam menangani pengaduan masyarakat (92,5 persen).

Diagram 3.17 Kinerja KY Terkait Dugaan Pelanggaran Etika dan Perilaku Hakim Sepanjang Tahun 2015

Sangat Efektif 0%

Tidak Efektif 25%

Kurang Efektif53%

Efektif 22%

Tidak Jawab 0%

Pada sisi lain, berdasarkan penelusuran dokumen, Badan Pengawasan Mahkamah Agung pada tahun 2015 menerima 1.408 surat pengaduan: turun 22.81% dari tahun sebelumnya sebanyak

48

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

1.824 surat pengaduan. Tindak lanjut atas surat tersebut dirinci sebagai berikut: diperiksa Tim Badan Pengawasan 165 surat, dijawab dengan surat 462, didelegasikan ke pengadilan tingkat banding dan tingkat pertama 345 surat, diteruskan ke Mahkamah Agung RI 119 surat, masih dalam proses telaah dan penyelesaian 115 surat dan diarsip 202. Khusus terkait dengan penyelesaian pengaduan, jumlah tunggakan tahun 2015 meningkat drastis 505.26% dari tahun sebelumnya yang hanya 19 surat.

Pada sisi lain, hukuman disiplin yang dijatuhkan kepada hakim sepanjang tahun 2015 sejumlah 122 orang. Terdapat kenaikan sebesar 4.27% dari hukuman disiplin yang dijatuhkan kepada hakim pada tahun 2014 (117 orang).

Sepanjang tahun 2015, Komisi Yudisial menerima 1.491 laporan, turun 16,28 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 1.781 laporan. Dari hasil verifikasi, 783 laporan terkait dengan dugaan pelanggaran KEPPH dan selesai di tingkat panel sejumlah 440 laporan (56,19%), dengan keputusan 165 laporan dapat ditindaklanjuti.

Pada tahun 2015 KY merekomendasikan penjatuhan hukuman disiplin sejumlah 116 hakim kepada MA, dengan rincian: 79 hakim dikenakan sanksi ringan, 29 hakim dikenakan sanksi sedang, dan 8 hakim dikenakan sanksi berat. Sidang Majelis Kehormatan Hakim pada 2015, telah dilakukan sebanyak 6 (enam) kali atas usulan dari Komisi Yudisial. Berkurang lebih dari separuh dibanding tahun sebelumnya (13 kali sidang MKH) dan tidak ada satupun berdasarkan usulan dari MA.

Jumlah permohonan pemantauan persidangan yang diterima KY pada 2015 sebanyak 309 permohonan, turun 18,47% dari tahun 2014 (379 permohonan). Dari jumlah permohonan tersebut, KY hanya dapat melakukan 79 pemantauan (25.57%, naik lebih dari 6% dibanding tahun lalu). Sebanyak 36 permohonan masih dalam tahap analisis dan pembahasan dan sisanya sebanyak 194 permohonan tidak dapat dilakukan pemantauan. Permohonan yang tidak perlu dipantau disebabkan tidak adanya dugaan pelanggaran kode etik hakim dalam perkara, bukan merupakan wewenang KY, perkara telah diputus atau ditindaklanjuti dengan pendalaman lainnya di KY.

Ahli juga memandang keberadaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dalam mengawasi pelanggaran etik hakim-hakim konstitusi belum signifikan (50 persen).

49

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Diagram 3.18. Efektifitas Pengawasan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi Terhadap

Hakim Konstitusi Sepanjang Tahun 2015

Efektif 40%

Kurang Efektif43%

Tidak Efektif 7%

Tidak Jawab 5% Sangat Efektif 5%

3.3 Independensi Hakim dalam Kaitannya dengan Kebijakan Kelembagaan

a. Sarana Prasarana dan Anggaran Pengadilan

Dilihat dari sarana dan prasarana yang dimiliki oleh pengadilan sepanjang tahun 2015, dalam hal gedung pengadilan, dipandang sudah memadai (65 persen). Demikian juga dengan ruang hakim (62 persen); rumah dinas (45 persen).Meski demikian, penggunaan teknologi informasi masih dianggap masih jauh dari memuaskan (72,5 persen), ruang tunggu para pihak (65 persen), dan kendaraan operasional pengadilan (50 persen) -disebut tidak memusakan karena 20 persen ahli tidak memberikan jawaban. Sedangkan untuk ruang sidang, pendapat ahli mempunyai proporsi yang sama (50 persen).

Pada sisi lain, ahli mengganggap kapasitas dan integritas pegawai pengadilan masih sangat jauh dalam mendukung kinerja pengadilan (80 persen). Sementara ketersediaan anggaran di pengadilan provinsi relatif dianggap mencukupi (50 persen) -disebut relatif mencukupi karena 37,5 persen ahli menggapkan belum mencukupi dan sisanya(12,5 persen) ahli tidak memberikan jawaban.

Berdasarkan penelusuran dokumen, dalam tahun anggaran 2015 MA telah melakukan peningkatan sejumlah sarana dan prasarana yang menunjang kinerja hakim. Meskipun demikian, setidaknya untuk dua tahun terakhirtidak adanya pembangunan rumah jabatan hakim.

50

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Tabel 3.9: Perbandingan Peningkatan Sarana dan Prasarana di Pengadilan

di Bawah MA

No Peningkatan Sarana Prasarana 2014 2015 %

1. Pembangunan gedung baru 111 80 (27.90)

2. Pembangunan lanjutan 106 59 (76.67)

3. Perluasan gedung kantor 2 n.a n.a

4. Renovasi gedung kantor 28 27 (3.07)

5. Pembangunan rumah jabatan 0 0

6. Renovasi rumah jabatan 3 6 50

7.Pengadaan kendaraan dinas dan kendaraan operasional roda 4

76 59 (22.36)

8.Pengadaan kendaraan dinas dan kendaraan operasional roda 2

8 44 550

Selain sarana dan prasarana, kapasitas pegawai kepaniteraan di pengadilan merupakan bagian yang dicermati dari subindikator ini. Pada tahun 2015 peningkatan kapasitas (pelatihan) teknis kepaniteraan dan juru sita hanya diikuti oleh 372 peserta (2.53%) dari jumlah keseluruhan tenaga teknis pengadilan sebanyak 13.335 orang. Jumlah ini sangat kecil terlebih jika dibandingkan dengan kapasitas pelatihan bagi hakim.

b. Fasilitas Pengamanan dan Gaji Hakim

Dilihat dari sudut jaminan keamanan bagi hakim di provinsi, sebagian besar responden menyatakan bahwa sudah memadai (50 persen). Sedangkan hak keuangan hakim sudah dianggap sangat layak (87,5 persen).

Diagram 3.19. Memadainya Jaminan Keamanan Bagi Hakim di Provinsi Tahun 2015

Setuju 43%

Kurang Setuju 38%

Sangat Setuju 7%Tidak Jawab 5%

Tidak Setuju 7%

51

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

3.4. Independensi Hakim dari Pengaruh Publik dan Media Massa

Sepanjang tahun 2015, dalam mengadili dan memutus perkara sepanjang tahun 2015, hakim masih terpengaruh oleh pemaksaan dari kelompok masyarakat yang berkepentingan (67,5 persen). Pada sisi lain, independensi hakim juga terpengaruh dari pemberitaan media massa (62,5 persen).

Diagram 3.20. Hakim dalam Mengadili dan Memutus Perkara Telah Independen dari Pemberitaan Media Massa

Tidak Jawab 3%

Kurang Setuju 60%

Setuju 35%

Sangat Setuju 0%

Tidak Setuju 2%

4. Akses terhadap Keadilan

Sebagai salah satu indikator di dalam konsep negara hukum, prinsip akses terhadap keadilan dianggap unik, karena secara konseptual, prinsip akses terhadap keadilan hadir sebagai kritik terhadap negara hukum itu sendiri. Secara teoritik, prinsip ini tidak hanya melihat hukum secara formal namun juga terhadap elemen substantif dari negara hukum. Dalam kerangka indeks negara hukum, prinsip akses terhadap keadilan hanya dibatasi dalam artian formal. Ada tiga indikator yang diukur dalam prinsip ini: keterbukaan informasi, peradilan yang cepat dan terjangkau, dan ketersediaan bantuan hukum.

4.1. Keterbukaan Informasi

Dalam tahap penyidikan, hasil survei ahli menunjukan bahwa akses masyarakat terhadap informasi masih buruk (75%); dan apabila masyarakat mendapat masalah informasi dan mengajukan keberatan,

52

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Kepolisian sebagai institusi yang punya kewenangan di tahap penyi-dikan dinilai tidak responsif (77,5%).

Diagram 3.21. Kemudahan Masyarakat Mendapatkan Informasi yang Dibutuhkan dalam Tahap Penyidikan Sepanjang Tahun 2015

Tidak jawab 0%

Kurang Setuju55%

Tidak Setuju30%

Setuju15%

Sangat Setuju0%

Diagram 3.22. Masyarakat Mengalami Masalah dalam Tahap Penyidikan dan Melakukan Keberatan Direspon dengan Baik Tahun 2015

Kurang Setuju48%

Setuju20%

Tidak Setuju30%

Sangat Setuju2%

Tidak Jawab0%

Berdasarkan Refleksi Akhir Tahun Kinerja POLRI Tahun 2015, pengaduan masyarakat terhadap Kepolisian, khususnya tentang penyidikan tindak pidana tahun 2015 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, yaitu 619 laporan dari 778 laporan. Dari laporan itu, pengaduan masyarakat paling banyak tentang lamanya proses penanganan perkara/laporan polisi, keberpihakan, tidak profesional dan proporsionalnya penyidik dalam penanganan perkara, memanipulasi perkara hingga menelantarkan perkara.

53

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Pada tahap penuntutan, survei ahli menunjukan bahwa masya-rakat masih sulit untuk mendapatkan informasi (87,5%); dan bila mengajukan keberatan terhadap informasi yang dibutuhkan pada tahap ini respon Kejaksaan pun sangat rendah (75%).

Diagram 3.23. Kemudahan Masyarakat Mendapat Informasi pada Tahap Penuntutan Sepanjang Tahun 2015

Kurang Setuju50%

Setuju12%

Tidak Setuju20%

Sangat Setuju0%

Tidak Jawab0%

Diagram 3.24. Masyarakat Mengalami Masalah dalam Tahap Penuntutan dan Melakukan Keberatan Direspon dengan Baik Tahun 2015

Kurang Setuju38%

Setuju 22%

Tidak Setuju38%

Sangat Setuju2%

Tidak Jawab0%

Hasil evaluasi dokumen pun menunjukan hal yang tidak jauh berbeda. Berdasarkan hasil Penilaian Reformasi Birokrasi dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tahun 2015, Kejaksaan menempati urutan terbawah dari 77 Lembaga/Instansi pemerintah yang dinilai. Kejaksaan mendapat nilai 50,2 atau CC.

54

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Sedangkan menurut data dari Komisi Kejaksaan RI (KKRI), sepanjang tahun 2015 Komisi Kejaksaan menerima 812 pengaduan masyarakat, turun dari tahun sebelumnya sebanyak 1036. Subtansi pengaduan yang disampaikan masyarakat kepada KKRI cukup beragam, di antaranya terkait dengan perilaku yang tercela, indisipliner, tidak professional dan pelayanan yang kurang baik.

***

Pada tahap beracara di persidangan, hasil survei ahli menunjukan bahwa publik masih sulit untuk mendapatkan informasi (60%). Sedangkan apabila publik mengajukan keberatan, hanya 22,5 persen yang mengatakan direspon dengan baik.

Dalam indikator keterbukaan informasi tahun ini, terdapat penambahan pertanyaan, yaitu terkait akses informasi terkait panggilan sidang, jadwal sidang dan salinan putusan. Di antara pertanyaan baru tersebut akses informasi tentang salinan putusan mendapat persentase terendah (87,5%). Sedangkan akses informasi panggilan sidang 67,5% ahli mengatakan mudah dan akses informasi jadwal sidang sebesar 72,5% mengatakan mudah.

Diagram 3.25. Akses Terhadap Informasi Salinan Putusan Sidang

Sulit55%

Sangat Sulit33%

Mudah12%

Meskipun demikian, hasil penelusuran dokumen agak berseberangan dengan hasil survei. Mahkamah Agung sebagai institusi tertinggi peradilan menunjukan jumlah putusan yang dipublikasikan di Direktori Putusan hingga tanggal 31 Desember 2015 sebanyak 1.622.605 putusan. Sebanyak 71.772 putusan (4,42%) dari jumlah tersebut adalah putusan Mahkamah Agung RI. Putusan

55

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

yang dipublikasikan selama tahun 2015 sebanyak 464.204 putusan, sebanyak 10.787 (2,32%) dari jumlah tersebut adalah putusan Mahkamah Agung RI. Putusan Mahkamah Agung yang dipublikasikan tahun 2015 meningkat 15,26% dari jumlah publikasi putusan tahun 2014 sebanyak 9.359 putusan.

4.2 Peradilan yang Cepat dan Terjangkau

Ada 3 subindikator dalam indikator ini: (1) apakah proses beracara di pengadilan sudah cepat; (2) apakah proses beracara di pengadilan sudah berbiaya terjangkau; dan (3) apakah proses beracara di pengadilan secara geografis sudah terjangkau. Ada sedikit perbedaan dalam indikator ini dibandingkan tahun sebelumnya, di tahun ini pengadilan umum dibagi dua: pengadilan pidana dan perdata.

Terhadap proses beracara di pengadilan sudah cepat, hasil survei menunjukan bahwa 48% ahli menyatakan proses peradilan cepat, 44,5% tidak, dan sisanya tidak menjawab. Dari 4 pengadilan, Pengadilan Tata Usaha Negara dinilai paling cepat yaitu (72,5%) dan pengadilan umum (perdata) dianggap paling lambat (60%). Bila dibandingkan dengan tahun lalu terdapat kenaikan persepsi peradilan berjalan cepat walau tidak signifikan, di mana tahun 2014 sebesar 47,22 persen.

Tabel 3.10. Persentase Pendapat Ahli Terkait Proses Peradilan yang Cepat Tahun 2015

No Pengadilan Presentase Pendapat

Sangat Setuju

Setuju Kurang Setuju

Tidak Setuju

Tidak Jawab

1 Pengadilan Pidana 5 35 42,5 17,5 0

2 Pengadilan Perdata 2,5 22,5 50 25 0

3 Pengadilan Agama 25 52,5 22,5 0 0

4 Pengadilan TUN 10 62,5 25 2,5 0

5 Pengadilan Militer 2,5 22,5 27,5 10 37,5

Rata-rata 9 39 33,5 11 7,5

Berdasarkan hasil penelusuran dokumen, jumlah perkara yang diterima di seluruh peradilan tingkat pertama pada 2015 sebanyak 4.552.420 perkara dan yang diputus sejumlah 4.514.629. Hal ini berarti rasio penyelesaian kasus sebesar 99,16%. Sedangkan di tingkat

56

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

banding, perkara yang masuk sejumlah 14.299 dan yang diputus sejumlah 13.250, berarti rasio penyelesaian perkaranya 92,66%.

Tabel 3.11. Rasio Penyelesaian Kasus di Pengadilan Negeri Tahun 2015

No Peradilan Jumlah Perkara yang Diterima

Jumlah Perkara yang Diselesaikan

Rasio Penyele-saian Kasus

1 Peradilan Umum Pidana 4.006.203 4.002.199 99,90%

Perdata 59.890 56.885 94,9%

2 Peradilan Agama 481.413 451.262 93,73%

3 Peradilan TUN 1.809 1.536 84,90%

4 Peradilan Militer 3.105 2.747 88,47%

Sumber: Diolah dari Laporan Akhir Tahun MA 2015

Tabel 3.12. Rasio Penyelesaian Kasus di Pengadilan Tinggi pada 2015

No Peradilan Jumlah Perkara yang

Diterima

Jumlah Perkara yang Disele-

saikan

Rasio Penyele-saian Kasus

1 Peradilan Umum Pidana 5.180 4.800 92,66%

Perdata 5.649 5.215 (perkara yang dicabut 23)

92,31%

2 Peradilan Agama 2.054 1.898 92,4%

3 Peradilan TUN 952 940 98,73%

4 Peradilan Militer 464 397 85,56%

Sumber: Diolah dari Laporan Akhir Tahun MA 2015

Terkait dengan biaya di pengadilan, para ahli berpandangan bahwa biaya proses di pengadilan masih tidak terjangkau oleh semua kalangan. Ini terlihat dari 46,875 persen ahli berpandangan kurang setuju dan tidak setuju. Sebaliknya, 40,625% ahli menyatakan sebaliknya.

Dari keseluruhan pengadilan, Pengadilan Agama dianggap paling terjangkau: (60 persen). Sedangkan pengadilan umum masih menjadi pengadilan yang dianggap tidak terjangkau dengan 82,5 persen.

57

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Tabel 3.13. Pandangan Ahli Terkait Keterjangkauan Biaya Pengadilan (dalam persen)

No Pengadilan Presentase Pendapat

Sangat Setuju

Setuju Kurang Setuju

Tidak Setuju

Tidak Jawab

1 Pengadilan Umum 2,5 15 40 42,5 0

2 Pengadilan Agama 10 50 35 5 0

3 Pengadilan TUN 7,5 45 37,5 10 0

4 Pengadilan Militer 2,5 30 15 2,5 50

Rata-rata 5,625 35 31,875 15 12.5

Pada sisi lain terkait keterjangkauan geografis lokasi pengadilan dapat dijangkau dengan mudah oleh publik, menurut ahli hampir semua lokasi pengadilan dapat dijangkau oleh publik. Lokasi yang paling mudah dijangkau oleh publik secara berturut-turut adalah pengadilan umum, agama, TUN, dan Militer.

Tabel 3.14. Pandangan Ahli Terkait Keterjangkauan Lokasi Pengadilan (dalam persen)

No Pengadilan Presentase Pendapat

Sangat Setuju

Setuju Kurang Setuju

Tidak Setuju

Tidak Jawab

1 Pengadilan Umum 12,5 65 17,5 5 0

2 Pengadilan Agama 12,5 55 25 7,5 0

3 Pengadilan TUN 10 50 22,5 15 2,5

4 Pengadilan Militer 5 37,5 22,5 12,5 22,5

Rata-rata 10 51,875 21,875 10 6,25

4.3 Ketersediaan Bantuan Hukum

Indikator ke tiga dari prinsip akses terhadap keadilan adalah ketersediaan bantuan hukum. Subindikator ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran sejauh mana ketersediaan bantuan hukum yang disediakan oleh negara dan efektifitasnya bagi publik yang mendapatkannya. Lebih spesifik, subindikator ini juga melihat sejauh mana ketersediaan bantuan hukum bagi masyarakat rentan seperti anak, perempuan, difabel dan masyarakat adat.

Hasil survei ahli menunjukan bahwa bantuan hukum yang diberikan negara bagi warga negara yang berhak sepanjang tahun 2015

58

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

sudah cukup memadai (55 persen). Bila dibandingkan dengan tahun 2014, terjadi peningkatan yang cukup signifikan sebesar 13 persen.

Diagram 3.26. Ketersedian Bantuan Hukum oleh Negara bagi Warga Negara yang Berhak

Kurang Setuju45%

Setuju48%

Sangat Setuju7%

Tidak Setuju0%Tidak Jawab

0%

Berdasarkan Laporan Akhir Tahun Mahkamah Agung 2015, jumlah Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di Peradilan Umum dan jumlah layanan yang diberikan bertambah dibanding tahun sebelumnya. Sepanjang 2015 terdapat 350 Posbakum -naik dari tahun sebelumnya sebanyak 56 posbakum, dan tahun 2015 sebanyak 11.551 orang terlayani Posbakum -naik dari tahun sebelumnya hanya 788 orang. Sedangkan jumlah Posbakum di Peradilan Agama sepanjang tahun 2015 berjumlah 120, naik dari sebelumnya 74. Tetapi jumlah yang terlayani Posbakum tahun 2015 sebanyak 77.344 justru menurun dari tahun sebelumnya (82.145).

Pemberian bantuan hukum juga dilakukan MA melalui pembebasan biaya perkara, di mana sepanjang tahun 2015 ada 912 perkara di 256 PN yang bebas biaya perkara. Angka ini naik dari tahun 2014 yang hanya 96 perkara di 39 PN. Sedangkan di Pengadilan Agama sepanjang 2015 terdapat 10.748 perkara di 359 PA yang bebas biaya perkara turun dari tahun 2014 terdapat 11.513 perkara di 359 PA.

Selain itu MA juga melakukan sidang di luar gedung pengadilan, di mana sepanjang 2015 terdapat 1.065 perkara di 50 lokasi yang dilakukan sidang di luar gedung pengadilan. Jumlah perkara naik dari tahun sebelumnya hanya 522 perkara di 66 lokasi. Sedangkan di lingkungan pengadilan Agama terdapat 27.580 perkara di 357 lokasi

59

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

yang dilakukan sidang di luar gedung pengadilan. Jumlah ini turun dari tahun 2014 sebesar 30.857 perkara di 523 lokasi.

Apabila ketersediaan bantuan hukum yang diberikan oleh negara tersebut dihubungkan dengan kelompok rentan seperti kelompok difabel, anak, perempuan dan masyarakat adat, maka ketersediaan bantuan hukum yang diberikan negara mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya.

Pada tahun 2015 ini sekitar 41,25 persen ahli setuju negara sudah memberikan bantuan hukum bagi kelompok rentan, angka ini naik dari tahun 2014 hanya 18,75 persen saja. Meskipun jika dilihat secara keseluruhan, tahun 2015 Negara belum menyediakan bantuan hukum bagi masyarakat rentan yaitu sebesar 55,625 persen. Angka ini naik bila dibandingkan tahun 2014 sebesar 75 persen ahli menyatakan negara belum menyediakan bantuan hukum bagi masayarakat rentan.

Tabel 3.15. Ketersediaan Bantuan Hukum Bagi Kelompok Rentan

No Masyarakat yang Berhak

Persentase Pendapat

Sangat Setuju

Setuju Kurang Setuju

Tidak Setuju

Tidak Jawab

1 Kel. Difable 2,5 20 52,5 15 10

2 Anak 7,5 52,5 32,5 7,5 0

3 Perempuan 5 50 37,5 7,5 0

4 Masyarakat Adat 5 22,5 42,5 27,5 2,5

Rata-rata 5 36,25 41,25 14,375 3,125

Pada sisi lain, jika melihat efektifitas bantuan hukum yang diberikan oleh Negara, ternyata belum efektif. Sebagaimana terlihat dari survei ahli yang menyatakan 67,5 persen bantuan hukum yang diberikan negara belum efektif. Hanya 32,5 persen ahli yang menyatakan efektif. Namun bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2014), terjadi kenaikan: di tahun 2014, 81 persen ahli menyatakan bantuan hukum tidak efektif dan hanya 17 persen yang menyatakan efektif.

5. Prinsip Hak Asasi Manusia

Prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Negara hukum yang baik menuntut lebih dari sekedar prosedur yang baik, namun juga mensyaratkan adanya hukum yang baik juga (good laws), yaitu hukum yang mengakui jaminan hak

60

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

asasi manusia (HAM).1 Di sisi lain, negara hukum adalah kendaraan yang utama bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan penguasa.

Oleh karena itu, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dijadikan salah satu prinsip yang mengindikasikan sejauh mana penegakkan negara hukum dijalankan di Indonesia. Di dalam prinsip ini, ada beberapa indikator yang dijadikan tolok ukur: 1) Jaminan hak atas hidup; 2) Jaminan atas hak untuk bebas dari penyiksaan; 3) Jaminan atas hak untuk tidak diperbudak; 4) Jaminan atas hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual; 5) Jaminan atas hak untuk tidak dihukum atas suatu perbuatan yang bukan tindak pidana; dan 6) Jaminan kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.

Keenam indikator tersebut dipilih karena merupakan bagian dari komponen hak-hak asasi manusia yang diakui, baik di dalam instrumen hukum internasional, maupun hukum nasional, sebagai hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun juga (non-derogable rights),2 atau yang juga dikenal dengan jus cogens, yaitu seperangkat norma yang utama di dalam hukum internasional, yang tidak dapat ditentang ataupun dikurangi kapanpun dan oleh siapapun juga.

Tiap-tiap indikator tersebut dipertajam ke dalam beberapa subindikator yang meliputi ketersediaan jaminan hukum bagi tiap-tiap hak tersebut, bagaimana praktik penegakan dan perlindungan atas hak-hak tersebut dilakukan oleh negara, yang terakhir adalah bagaimana mekanisme dan praktik pemulihan bagi para korban yang hak-haknya terlanggar.

5.1. Jaminan Hak Atas Hidup

Dari sisi regulasi, menurut ahli, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional sepanjang tahun 2015 belum

1 Randall Peerenboom membedakan negara hukum ke dalam dua kategori: yaitu thick rule of law dan thin rule of law. Secara singkat dapat dikatakan bahwa thin rule of law adalah negara hukum yang memenuhi penerapan aspek-aspek prosedural di dalam sistem hukumnya, sementara thick rule of law adalah negara hukum yang bukan saja menjunjung prosedur hukum yang baik, namun juga mengadopsi hukum-hukum yang baik pula. Lihat, Randall Peerenboom, Human Rights and Rule of Law: What’s the Relationship?, UCLA School of Law, California, hlm: 19-20. Dapat diakses di: http://ssrn.com/abstract=816024

2 Sifat absolut dari keenam hak asasi manusia tersebut diakui di dalam Pasal 4 paragraf (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, serta Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

61

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

memadai untuk menjamin hak untuk hidup (60 persen). Tingkat penerapan hukuman mati oleh pengadilan sepanjang tahun 2015 pun masih tinggi (72,5 persen). Meskipun penerapan hukum mati tinggi, grasi yang dikeluarkan preside diperketat (68 persen).

Pendapat itu linier dengan penelusuran dokumen, di mana sepanjang tahun 2015 situasi jaminan hak atas hidup secara umum mengalami berbagai kemunduran, salah satunya dikarenakan oleh meningkatnya pelaksanaan eksekusi hukuman mati di tahun tersebut. Berdasarkan laporan Human Rights Watch (HRW), sepanjang tahun 2015, pemerintah Indonesia mengeksekusi 14 orang terpidana mati.3 Kemudian, berdasarkan data rekapitulasi laporan yang masuk ke Komnas HAM, terdapat peningkatan jumlah laporan pelanggaran hak atas hidup sebanyak 46 kasus dibandingkan tahun sebelumnya, dari 180 laporan di tahun 2014, menjadi 226 kasus di tahun 2015.

Sepanjang tahun 2015, penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force) pun sering digunakan oleh aparat penegak hukum (72,5 persen). Kepolisian dianggap sebagai aparatus negara yang paling banyak menggunakan kekuatan secara berlebihan. Berdasarkan penelusuran dokumen, HRW juga mencatat bahwa terjadi beberapa kasus penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat yang menyebabkan tewasnya 11 orang di Papua.

Tabel 3.16. Aparatus Negara yang Melakukan Kekuatan Secara Berlebihan yang Menyebabkan Kematian Tahun 2015

No Institusi Persentase Pendapat

Sangat Setuju

Setuju Kurang Setuju

Tidak Setuju

Tidak Jawab

1 Kepolisian 30 52,5 10 2,5 5

2 Militer 25 37,5 22,5 7,5 7,5

3 Polisi Pamong Praja 7,5 20 47,5 15 10

4 Keamanan Swasta 15 30 25 17,5 12,5

Meskipun tingkat penggunaan kekuatan berlebihan masih tinggi, namun mekanisme pemulihan bagi keluarga korban praktik kekerasan berlebihan yang menyebabkan kematian tetap dianggap tidak berjalan efektif (lihat diagram 3.).

3 Human Rights Watch, World Report 2015, 2016, dapat diakses di: https://www.hrw.org/world-report/2016/country-chapters/indonesia

62

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Diagram 3.27. Mekanisme Pemulihan bagi Korban Praktik Kekerasan Berlebihan yang Menyebabkan Kematian

Kurang Efektif37%

Tidak Efektif53%

Tidak Jawab 5% Cukup Efektif 5%Sangat Efektif 0%

5.2. Jaminan Atas Hak Untuk Bebas Dari Penyiksaan

Sepanjang tahun 2015, menurut ahli, jaminan pengakuan atas hak untuk tidak disiksa di dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional, masih jauh dari kata memadai (55 persen). Demikian juga dengan jaminan hak untuk bebas dari penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan kemanusiaan (57,5 persen).

Dari hasil penelusuran dokumen, merujuk pada laporan-laporan yang diterbitkan oleh Komnas HAM dan Freedom House, tercermin juga tingginya kasus penyiksaan yang terjadi di sepanjang tahun 2015. Komnas HAM melaporkan bahwa sepanjang tahun 2015 ada 272 kasus penyiksaan yang dilaporkan oleh masyarakat, jumlah ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2014 yang berjumlah 221 laporan kasus.4

Pada sisi lain, jaminan pengakuan atas hak untuk tidak disiksa di dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait pembatasan hak untuk bebas dari penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di level propinsi lebih baik dibandingkan di tingkat nasional (42,5 persen).

4 Komnas HAM, Laporan Data Pengaduan Tahun 2015. Dapat diakses di: http://www.komnasham.go.id/laporan-pengaduan

63

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Tabel 3.17. Persentase Tempat praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat

manusia di Provinsi di Tahun 2015

No Lokasi Persentase Pendapat

Sangat Setuju

Setuju Kurang Setuju

Tidak Setuju

Tidak Jawab

1 Tempat Penahanan Kepolisian

40 50 0 5 5

2 Tempat Penahanan Militer 25 37,5 7,5 2,5 27,5

3 Rumah Tahanan Negara 15 50 12,5 7,5 15

4 Lembaga Pemasyarakatan 12,5 45 20 10 12,5

5 Rumah Tahanan Imigrasi 2,5 20 32,5 10 35

6 Asrama-asrama PJTKI 10 37,5 15 5 32,5

7 Di Tempat Lain 2,5 7,5 2,5 0 87,5

Meskipun praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di level provinsi tetap tinggi, namun negara masih gagal melakukan proses hukum terhadap para pelakunya (85 persen). Pada sisi lain, pemulihan bagi korban praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia tidak berjalan secara efektif (90 persen). Pendapat ahli ini tidak berbeda jauh dengan hasil survei tahun 2014, di mana 94,4 persen ahli menganggap mekanisme pemulihan terhadap korban penyiksaan sangat rendah.

Diagram 3.28. Proses hukum yang efektif terhadap para pelaku praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak

manusiawi dan merendahkan martabat manusia terhadap seseorang di sepanjang tahun 2015

Kurang Setuju50%

Tidak Setuju35%

Tidak Jawab 3%

Setuju10%

Sangat Setuju 2%

64

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

5.3. Jaminan Perlindungan atas Hak untuk Tidak Diperbudak

Indikator jaminan hak untuk tidak diperbudak menyoroti praktik-praktik perbudakan modern yang mencakup pemaksaan kerja yang didasarkan pada utang piutang, pemaksaan kerja bagi anak-anak di bawah umur di sektor perkebunan, perikanan, seks dan pekerjaan jalanan, eksploitasi terhadap pekerja domestik, serta perdagangan manusia.

Sepanjang tahun 2015, menurut ahli, jaminan pengakuan atas hak untuk tidak diperbudak di dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional mempunyai proporsi yang relatif seimbang: 50 persen ahli mengatakan memadai dan 42,5 persen ahli mengatakan kurang memadai; sisanya, 7,5 persen ahli tidak memberikan jawaban.

Pada sisi lain, kerja paksa di luar kehendak pekerja yang bersangkutan sepanjang tahun 2015 di tataran provinsi masih sering terjadi (62,5 persen). Fenomena yang sama juga terjadi terhadap pemaksaan dan eksploitasi kerja atas diri seseorang untuk pelunasan hutang-piutang, pemaksaan atas diri seseorang untuk bekerja sebagai pekerja seks, dan pemaksaan dan eksploitasi kerja terhadap anak-anak di bawah usia 18 tahun. Di antara pelanggaran-pelanggaran tersebut, pelanggaran yang sering terjadi adalah eksploitasi kerja terhadap anak-anak di bawah usia 18 tahun (75 persen).

Praktik perbudakan terhadap anak di bawah umur paling tinggi terjadi di provinsi berada pada industri jasa seks. Setelah itu, secara berturut-turut: mengamen/mengemis/mengasong barang dagangan, serta pekerjaan-pekerjaan jalanan lainnya; pemberian jasa domestik (pekerjaan rumah tangga); dan Pertanian/Perkebunan/Perikanan/Pertambakan (lihat Tabel 3.

Tabel 3.18. Praktik Perbudakan Anak di Bawah Umur di Provinsi di Tahun 2015

No Pekerjaan Persentase Pendapat

Sangat Setuju

Setuju Kurang Setuju

Tidak Setuju

Tidak Jawab

1 Pertanian/Perkebunan/Perikanan/Pertambakan

20 27,5 22,5 15 15

2 Industri jasa seks 25 42,5 17,5 2,5 12,5

3 Mengamen/mengemis/mengasong barang dagangan, serta pekerjaan-pekerjaan jalanan lainnya

35 52,5 5 5 2,5

4 Pemberian jasa domestik (pekerjaan rumah tangga)

17,5 37,5 27,5 7,5 10

65

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Dari hasil penelusuran dokumen juga tampak bahwa praktik-praktik perbudakan masih banyak terjadi di Indonesia. Salah satu kasus besar yang terjadi di tahun 2015 adalah terkuaknya praktik perbudakan di sektor perikanan di pulau Benjina, Maluku, di mana ratusan orang, bahkan diduga hingga 1500 orang, dipekerjakan secara paksa tanpa upah dan kondisi kerja yang layak. Berdasarkan laporan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, meskipun pemerintah Indonesia belum memenuhi standar pencegahan perdagangan manusia, namun telah berupaya keras setidak-tidaknya menuntut 119 pelaku perdagangan manusia dan memulangkan ribuan korban perdagangan manusia ke negara mereka masing-masing.5 Laporan dari Freedom House mengindikasikan bahwa praktik perdagangan manusia masih banyak terjadi di Indonesia, di mana perempuan diperdagangkan untuk menjadi pekerja domestik, sementara laki-laki diperdagangkan untuk bekerja di sektor perikanan.6

Meskipun praktik perbudakan terhadap anak di bawah umur di provinsi sepanjang tahun 2015 menunjukan tren yang tinggi, namun mekanisme yang efektif yang dilakukan untuk mencegah hal tersebut masih rendah. Mekanisme yang paling rendah mencegah hal tersebut berada pada pekerjaan rumah tangga (lebih jauh lihat Tabel 3. )

Tabel 3.19. Mekanisme yang Efektif Mencegah Praktik-praktik Perbudakan di Bawah Umur di Provinsi di Tahun 2015

No Pekerjaan Persentase Pendapat

Sangat Setuju

Setuju Kurang Setuju

Tidak Setuju

Tidak Jawab

1 Pertanian/Perkebunan/Perikanan/Pertambakan

5 25 20 30 20

2 Industri jasa seks 5 25 25 35 10

3 Mengamen/mengemis/mengasong barang dagangan, serta pekerjaan-pekerjaan jalanan lainnya

7,5 20 22,5 45 5

4 Pemberian jasa domestik (pekerjaan rumah tangga)

5 20 27,5 42,5 5

5 US Department of States, 2016 Trafficking in Persons Report, 2016, hlm. 203. Dapat diakses di: http://www.state.gov/documents/organization/258879.pdf

6 Freedom House, Freedom in the World Report, 2016. Dapat diakses di: https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2016/indonesia

66

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Pada sisi lain, pemerintah masih lemah untuk menyelenggarakan proses hukum yang efektif terhadap praktik-praktik perbudakan (70 persen).

Diagram 3.29. Aparat Penegak Hukum Telah Menyelenggarakan Proses Hukum yang Efektif Terhadap Praktik-praktik Perbudakan

Sangat Setuju 0%Tidak Jawab 7%

Setuju 22%

Kurang Setuju43%

Tidak Setuju 28%

5.4. Jaminan Perlindungan Atas Hak Untuk Tidak Dipenjara Berdasar-kan Kewajiban Kontraktual

Jaminan perlindungan atas hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual diakui di dalam Pasal 11 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan disahkan melalui UU No.12 tahun 2005. Jaminan perlindungan ini bertujuan untuk mencegah pemenjaraan sebagai bentuk hukuman bagi orang-orang yang tidak mampu memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh suatu perjanjian/kontrak tertentu, misalnya ketidakmampuan seseorang untuk membayar hutangnya kepada pihak yang memberikan piutang.

Sepanjang tahun 2015, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin hak setiap warga negaranya untuk tidak dipenjara atas ketidakmampuannya dalam memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh suatu perjanjian/kontrak masih buruk (72,5 persen). Dalam praktiknya, masih banyak terjadi praktik-praktik pemenjaraan terhadap orang akibat ketidakmampuannya di dalam memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh suatu perjanjian/kontrak (57,5 persen).

67

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Diagram 3.30. Banyaknya Praktik-praktik Pemenjaraan Terhadap Orang Akibat Ketidakmampuannya Memenuhi Kewajiban yang Ditentukan oleh

Suatu Perjanjian/Kontrak Tertentu

Tidak Setuju 2%

Tidak Jawab 15%

Setuju 50%

Kurang Setuju15%

Sangat Setuju18%

Meskipun demikian, pemerintah, khususnya aparat penegak hukum, belum secara maksimal mengupayakan pencegahan terhadap praktik pemenjaraan atas ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kewajiban yang ditentukan berdasarkan suatu perjanjian/kontrak (67,5 persen). Demikian pula dengan mekanisme pemulihan korban praktik-praktik pemenjaraan atas ketidakmampuan seseorang di dalam memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh suatu perjanjian/kontrak, pemerintah masih belum serius untuk melakukan pemulihan terhadap korban (72,5 persen).

5.5. Jaminan Perlindungan Atas Hak Untuk Tidak Dihukum Atas Tin-dakan Bukan Kejahatan.

Jaminan perlindungan atas hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang bukan kejahatan adalah bagian dari HAM yang sangat integral di dalam prinsip negara hukum, karena sangat terkait dengan prinsip legalitas hukum. Jaminan ini membatasi tanggung jawab pidana dan penghukuman hanya untuk tindakan-tindakan yang memang telah ditetapkan sebagai tindak pidana oleh undang-undang dan berlaku secara positif di suatu wilayah. Jaminan ini juga bertujuan untuk melindungi individu dari praktik pemidanaan yang bersifat surut dan menimbulkan ketidakpastian hukum atas dirinya.

Sepanjang tahun 2015, mayoritas ahli mengatakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional belum

68

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

menjamin hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang tidak diatur sebagai kejahatan oleh hukum nasional/internasional (52,5 persen). Dalam tataran praktik, penghukuman atas suatu tindakan yang tidak diatur sebagai tindak pidana oleh hukum nasional/internasional masih tinggi (55 persen). Meskipun penghukuman atas suatu tindakan yang tidak diatur sebagai tindak pidana oleh hukum nasional/internasional masih tinggi, namun mekanisme pemulihan korban praktik-praktik penghukuman belum efektif (60 persen).

Diagram 3.31. Efektifitas Mekanisme Pemulihan Korban Praktik-praktik Penghukuman Atas Suatu Tindakan yang Tidak Diatur Sebagai Kejahatan

oleh Hukum Nasional/Internasional Sepanjang Tahun 2015

Tidak Jawab 38%

Tidak Efektif 45%

Sangat Efektif 0%

Cukup Efektif15%

Efektif 2%

Salah satu kasus yang cukup disoroti dalam kaitannya dengan penghukuman atas tindakan yang bukan kejahatan adalah kasus yang menimpa Florence Sihombing. Florence diputuskan bersalah oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta karena dianggap melakukan pencemaran nama baik terhadap Propinsi Yogyakarta dan menyebarkan kebencian atas propinsi tersebut, sehingga melanggar Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Kasus ini menimbulkan kontroversi di publik, karena pada dasarnya penghinaan terhadap suatu wilayah administrasi tertentu dianggap bukan kejahatan.7

7 Lihat, ICJR, Amicus Curiae terhadap Kasus Florence Sihombing, 2015, hlm. 28-29. Dapat diakses di: http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2015/03/ICJR_Amicus-Curiae_Florence-Sihombing.pdf

69

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

5.6. Jaminan Kebebasan Berpikir, Beragama dan Berkeyakinan

Dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang menjamin kebebasan berpikir sepanjang tahun 2015, peraturan perundang-undangan di tingkat nasional (47,5 persen) sedikit lebih baik daripada di tingkat daerah (40 persen). Demikian juga terhadap jaminan kebebasan beragama, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional (42,5 persen) juga sedikit lebih baik dibanding di tingkat provinsi (40 persen).

Meskipun demikian, terkait jaminan kebebasan berkeyakinan, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat provinsi lebih baik sedikit (45 persen) dibandingkan di tingkat nasional (37,5 persen). Terkait proporsi jawaban ahli dapat dilihat dalam tabel 3.15 di bawah ini.

Tabel 3.20. Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan di Tingkat Nasional dan Provinsi yang Menjamin Kebebasan Berpikir, Beragama, dan

Berkeyakinan di Tahun 2015 (dalam persen)

No Derajat Jawaban Ahli

Peraturan Perundang-Undangan

yang Menjamin Kebebasan Berpikir

Peraturan Perundang-Undangan

yang Menjamin Kebebasan Beragama

Peraturan Perundang-Undangan

yang Menjamin Kebebasan

Berkeyakinan

Tingkat Nasional

Tingkat Provinsi

Tingkat Nasional

Tingkat Provinsi

Tingkat Nasional

Tingkat Provinsi

1 Sangat memadai

20 15 5 17,5 7,5 15

2 Memadai 27,5 25 37,5 22,5 30 30

3 Kurang memadai

35 7,5 27,5 15 30 15

4 Tidak memadai 15 47,5 25 40 27,5 35

5 Tidak Jawab 2,5 5 5 5 5 5

Dalam tataran praktik, pelanggaran dan kekerasan yang membatasi kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan sepanjang tahun 2015 masih sering terjadi. Meski demikian, pelanggaran pelanggaran dan kekerasan yang membatasi kebebasan berpikir masih dipandang positif walau gradasi jawaban ahli hanya sedikit lebih baik dibanding jawaban yang negatif (lihat tabel 3.16.).

70

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Tabel 3.21. Praktik Pelanggaran dan Kekerasan yang Membatasi Kebebasan Berpikir, Beragama, dan Berkeyakinan Sepanjang Tahun 2015

No Derajat Jawaban Ahli

Praktik Kebebasan

Berpikir

Praktik Kebebasan Beragama

Praktik Kebebasan Berkeyakinan

1 Sangat Sering 20 22,5 22,5

2 Sering 27,5 35 32,5

3 Jarang 32,5 20 22,5

4 Sangat Sering 20 17,5 17,5

5 Tidak Jawab 0 5 5

Pandangan ahli di atas linier dengan penelusuran dokumen atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak KBBB menemukan kecenderungan peningkatan jumlah praktik pelanggaran atas hak KBBB yang terjadi sepanjang tahun 2015. HRW melaporkan bahwa ada sekitar 174 penyerangan yang bermotifkan agama sepanjang tahun 2015.8 Komnas HAM juga mencatat ada 87 kasus pelanggaran hak KBBB yang dilaporkan kepada Komnas HAM di tahun 2015, jumlah ini meningkat sekitar 13 kasus dibandingkan dengan tahun 2014.9

Freedom House juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2015, masih terjadi intimidasi terhadap kelompok Ahmadiah di Indonesia.10 Selain itu, pelanggaran-pelanggaran lain yang dicatat oleh Freedom House adalah larangan pembangunan rumah ibadah, larangan beribadah bagi kelompok Shiah dan penghancuran rumah-rumah ibadah di Papua dan Aceh.

Khusus bagian yang terkait dengan pelaku utama pelanggaran, untuk alasan praktis, maka survei pelaku pelanggaran kebebasan beragama digabungkan dengan pelaku pelanggaran kebebasan berkeyakinan. Hasil survei menunjukan bahwa pelaku utama pelanggaran dan/atau kekerasan terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di tahun 2015 adalah ormas (80 persen) dan aparat penegak hukum (Apgakum) (66,5 persen).

Urutan pelaku utama juga sama dengan hasil survei tahun 2014 di mana posisi pertama juga dipegang oleh Ormas (72,2 persen) dan posisi kedua adalah Apgakum (44,4 persen). Meskipun urutan pelaku utama sama dengan tahun 2014, namun terlihat peningkatan tajam

8 Human Rights Watch, Op.cit., 2016.9 Komnas HAM, Op.cit, 2015.10 Freedom House, Op.cit, 2016.

71

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

dari persentase para ahli yang setuju dan sangat setuju bahwa kedua entitas tersebut sebagai pelaku utama pelanggaran dan atau kekerasan terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan.

Tabel 3.22. Pelaku Utama Pelanggaran dan Kekerasan Menjamin Kebebasan

Berpikir, Beragama dan Berkeyakinan (dalam persen)

No Derajat Jawaban

Ahli

Pelaku Utama Pelanggaran dan Kekerasan Menjamin Kebebasan Berpikir

Pelaku Utama Pelanggaran dan Kekerasan yang Menjamin Kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan

Aparat Penegak Hukum

Polisi Pamong

Praja

Kelompok Masyarakat

Tertentu

Aparat Pemerintah

Lainnya

Aparat Penegak Hukum

Polisi Pamong

Praja

Kelompok Masyarakat

Tertentu

Aparat Pemerintah

Lainnya

1 Sangat setuju

22,5 7,5 32,5 10 22,5 5 35 10

2 Setuju 47,5 40 47,5 37,5 40 35 45 37,5

3 Kurang setuju

12,5 22,5 5 22,5 12,5 25 5 22,5

4 Tidak setuju

7,5 17,5 10 10 15 20 7,5 12,5

5 Tidak Jawab

10 12,5 5 20 10 15 7,5 17,5

Pada sisi lain, aparat penegak hukum dipandang belum maksimal untuk memberikan mengusut, mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran dan/atau kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran berkeyakinan yang berbeda/minoritas (72,5 persen). Demikian juga dengan terhadap para pelaku pelanggaran dan/atau kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran kepercayaan yang berbeda/minoritas (75 persen) dan kelompok yang memiliki aliran berpikir yang berbeda/minoritas (70 persen).

Terhadap korban kekerasan terhadap kebebasan berpikir, beragama, dan berkeyakinan, mayoritas responden menyatakan mekanisme pemulihan masih jauh dari kata ‘efektif’ (lihat tabel 3.18).

Tabel 3.23. Mekanisme Pemulihan Korban Kebebasan Berpikir, Beragama dan Berkeyakinan

No Jawaban Ahli Kebebasan Berpikir

Kebebasan Beragama

Kebebasan Berkeyakinan

1 Sangat Efektif 2,5 0 5

2 Efektif 5 5 0

3 Kurang Efektif 35 32,5 32,5

4 Tidak Efektif 37,5 50 47,5

5 Tidak Jawab 20 12,5 15

72

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

B. InDEks nEgARA hukuM InDonEsIA 2015

Berdasarkan temuan survei ahli dan dokumen yang kemudian dikonversi menjadi nilai indeks, maka nilai rata-rata yang dihasilkan adalah:

Tabel 3.24. Nilai Indeks Negara Hukum Indonesia 2015 Berdasarkan Indikator

No. Prinsip Nilai

1 Pemerintahan Berdasarkan Hukum 5,41

Perbuatan/Tindakan Pemerintah Berdasarkan Hukum 5,33

Pengawasan yang Efektif 5,49

2 Legalitas Formal 6,53

Penyebarluasan Peraturan 5,92

Kejelasan Rumusan Peraturan 6,8

Stabilitas Peraturan 6,87

3 Independensi Kekuasan Kehakiman 5,94

Independensi Hakim dalam Mengadili dan Memutus Perkara 6,27

Independensi dalam Manajemen Sumber Daya Hakim 5,78

Independensi dalam Kebijakan Kelembagaan 6,1

Independensi Terhadap Pengaruh Publik dan Media Massa 5,59

4 Akses Terhadap Keadilan 5,96

Keterbukaan Informasi 5,71

Peradilan yang Cepat dan Terjangkau 6,61

Ketersedian Bantuan Hukum 5,55

5 Hak Asasi Manusia 3,82

Jaminan Hak atas Hidup 3,51

Jaminan atas Hak untuk Bebas dari Penyiksaan 2,99

Jaminan atas Hak untuk Tidak Diperbudak 4,08

Jaminan atas Hak untuk Tidak Dipenjara berdasarkan Kewajiban Kontraktual

3,75

Jaminan atas Hak untuk Tidak Dihukum atas Tindakan yang Bukan Kejahatan

4,38

Jaminan Hak atas Kebebasan untuk Berpikir, Beragama dan Berkeyakinan

4,22

Nilai Rata-rata Indikator 5,27

Apabila nilai setiap prinsip dikonversi menurut besaran bobot yang dimilikinya, maka nilai tiap prinsip negara hukum yang dihasilkan dalam Indeks Negara Hukum Indonesia 2015 adalah sebagai berikut:

73

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Tabel 3.25. Nilai Indeks Negara Hukum Indonesia 2015

No. Prinsip Nilai Bobot Hasil

1 Pemerintahan Berdasarkan Hukum 5,41 25 % 1,35

2 Legalitas Formal 6,53 10% 0,65

3 Independensi Kekuasan Kehakiman 5,94 25% 1,48

4 Akses Terhadap Keadilan 5,96 15% 0,89

5 Hak Asasi Manusia 3,82 25% 0,95

Nilai Indeks Negara Hukum Indonesia 2015 5,32

74

75

B A B I V

ANALISIS

Bab ini berisi analisa terkait temuan tiap-tiap prinsip negara hukum sebagaimana yang telah dinarasikan dalam Bab III dan

rekomendasi terhadap analisa yang telah dilakukan.

A. AnALIsIs

Nilai indeks tahun 2015 mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2014): nilai indeks tahun 2015 adalah 5,32; sedangkan nilai Indeks tahun 2014 sebesar 5,18, dengan demikian terdapat kenaikan 0,14 poin. Bila dilihat dari sudut prinsip, mayoritas prinsip menunjukan tren yang membaik, yaitu: prinsip pemerintahan berdasarkan hukum, prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan prinsip akses terhadap keadilan. Sedangkan dua prinsip lainnya, prinsip legalitas formal dan prinsip hak asasi manusia mengalami penurunan.

Grafik 4.1. Tren Nilai Indeks Negara Hukum 2012-2015

2012 2013 2014 2015

5.4

5.2

5

4.8

4.6

4.4

4.2

4

4.56

5.12

5.18

5.32

NB: Antara tahun 2012 dan 2013 terdapat perubahan metodologi: survei publik dan survei ahli & dokumen. Sedangkan 2013-2015 memakai metode yang sama: survei ahli dan dokumen.

76

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

1. Pemerintahan Berdasarkan Hukum

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, prinsip pemerintahan berdasarkan hukum terdiri dari dua indikator: tindakan pemerintah berdasarkan hukum dan pengawasan yang efektif. Dalam indeks 2015 ini, nilai kedua indikator tersebut menunjukan tren membaik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Indikator yang naik signifikan adalah indikator pengawasan yang efektif: naik 0,72 poin (dari 4,76 ke 5,48 poin). Sedangkan indikator tindakan pemerintah berdasarkan hukum naik 0,16 poin (lihat diagram 4.1).

Diagram 4.1. Tren Nilai Indikator Prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum 2014-2015

5.6

5.4

4.2

4.4

4.6

4.8

5

5.2

PemerintahanBerdasarkanHukum 5.17

Pengawasanyang Efektif 4.76

PemerintahanBerdasarkanHukum 5.33

Pengawasanyang Efektif 5.49

2014 2015

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya (Bab III), indikator pemerintahan berdasarkan hukum bertujuan untuk mengukur ketaatan pemerintah dalam menjalankan hukum. Merujuk pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat tiga urusan pemerintah: urusan pemerintah absolut,1 urusan pemerintah konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Meski demikian, penelitian ini, membatasi evaluasi pada urusan pemerintah absolut dan urusan pemerintah konkuren.

1 Bidang-bidang urusan pemerintah absolut yang diukur adalah: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, penegakan hukum, penegakan hukum, moneter fiskal, dan agama.

77

ANALIS IS

Tabel 4.1 Nilai Survei Ahli Terkait dengan Pemerintahan Berdasarkan Hukum dan Kenaikannya

No Urusan Pemerintah Nilai Rata-rata Tahun 2015

Kenaikan dari Tahun Sebelumnya

1 Absolut 6,32 0,92

2

Konkuren

Pelayanan Dasar 6,17 0,85

Bukan Pelayanan Dasar

5,83 0,35

Pilihan 5,83 0,97

Berdasarkan hasil survei ahli terhadap indikator pemerintahan berdasarkan hukum, pemerintah pusat dianggap lebih menaati peraturan dibandingkan pemerintah daerah. Hal itu terlihat dari nilai rata-rata nilai urusan pemerintah absolut seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, penegakan hukum, penegakan hukum, moneter fiskal, dan agama, yang lebih tinggi dibandingkan bidang lainnya di urusan pemerintah konkuren.

Meskipun dalam menjalankan pemerintah di bidang urusan absolut dan urusan konkuren menunjukan tren yang positif, namun terdapat beberapa bidang yang berada di bawah rata-rata. Untuk urusan pemerintahan absolut ada pada bidang penegakan hukum (5,18) dan keamanan (5,88); Urusan pemerintah konkuren yang berkaitan dengan pelayanan dasar pada bidang pekerjaan umum & penataan ruang (5,44) dan bidang perumahan & pemukiman (5,63). Urusan pemerintah konkuren yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar berada pada bidang pertanahan dan lingkungan hidup (5,44). Sedangkan untuk urusan pemerintah konkuren pilihan, ada pada bidang kehutanan (5,06), energi & sumber daya alam (5,00), dan transmigrasi (5,63).

Dalam konteks menjalankan fungsi legislasi dan budgeting, kinerja pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepanjang tahun 2015 juga meningkat. Meski demikian, jika dibandingkan berdasarkan dua fungsi tersebut, kinerja pemerintah pusat dianggap lebih baik dibanding pemerintah daerah. Untuk fungsi legislasi, kinerja pemerintah pusat naik 0,23; sedangkan dalam menjalankan fungsi budgeting naik sebesar 0,68.

***

78

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Kinerja pengawasan dalam Indikator pengawasan yang efektif pun juga membaik. Secara berturut-turut, pengawasan yang naik tertinggi adalah: pengawasan Komisi Negara Independen -naik 1,1 poin; pengawasan Internal Pemerintah naik 0,73; pengawasan oleh Lembaga Peradilan naik 0,32; dan pengawasan Parlemen naik sebesar 0,17 (lihat diagram 4.1).

Tabel 4.2: Perbandingan Nilai Subindikator Pengawasan Efektif Berdasarkan Survei Ahli

Tahun Pengawasan Parlemen

Pengawasan oleh Lembaga

Peradilan

Pengawasan Internal

Pemerintah

Pengawasan Komisi Negara

Independen

2104 4,16 5,76 4,88 4,13

2015 4,33 6,08 5,61 5,23

Apabila nilai survei ahli dilihat lebih spesifik, kinerja pengawasan oleh parlemen di daerah (DPRD Provinsi) lebih baik dibanding parlemen di pusat (DPR RI). Penggunaan hak interpelasi dan hak angket DPRD Provinsi meningkat dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh DPR mengalami penurunan untuk hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat. Hanya kinerja hak angket DPR yang mengalami kenaikan.

Demikian juga dengan efektifitas Rapat Dengar Pendapat, DPRD Provinsi ternyata lebih baik dibandingkan DPR RI. Hal itu terlihat dari kenaikan 0,24 poin untuk DPRD Provinsi, sedangkan untuk DPR RI hanya naik sebesar 0,05 poin.

Pada sisi lain, pengawasan eksternal oleh Lembaga Peradilan melalui Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Pengadilan Tata Usaha Negara juga membaik dari tahun sebelumnya (0,32). Dari ketiga institusi tersebut, kinerja pengawasan Mahkamah Agung dipandang paling baik (dari 4,79 ke 5,50). Setelah itu Pengadilan Tata Usaha Negara (dari 5,21 ke 5,44), dan Mahkamah Konstitusi (dari 7,29 ke 7,31).

Meskipun survei ahli menunjukan pengawasan internal pemerintah menguat, dilihat lebih spesifik, pengawasan oleh pemerintah pusat ternyata sedikit lebih baik dari pemerintah daerah. Pada sisi lain, menariknya, survei ahli menunjukan peningkatan pengawasan oleh Presiden terhadap Kepolisian dan kejaksaan. Dari lima pertanyaan

79

ANALIS IS

terkait pengawasan internal pemerintah, tren pengawasan presiden terhadap Kepolisian merupakan nilai yang tertinggi. Setelah itu berturut-turut: pengawasan oleh Presiden terhadap Kejaksaan; pengawasan pejabat pemerintah pusat; pengawasan pejabat pemerintah daerah; dan pengawasan oleh BPK & BPKP.

Merujuk pada hasil indeks tahun lalu (2014), pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Negara Indenpeden termasuk yang terendah bersama pengawasan parlemen. Namun untuk tahun sekarang, tren kinerja pengawasan Komisi Negara Independen merupakan yang tertinggi dibandingkan beberapa bentuk pengawasan lainnya. Dari empat komisi negara independen yang diukur, Komisi Kejaksaan (Komjak) dianggap yang paling baik dibandingkan komisi negara independen lainnya. Setelah itu secara berturut-turut: Komisi Informasi, Kompolnas, dan Komisi Ombudsman.

2. Legalitas Formal

Nilai prinsip legalitas formal mengalami penurunan sebesar 0,07 poin dibandingkan tahun lalu (2014, 6,60; 2015, 6,53). Dari tiga indikator prinsip ini, hanya indikator kejelasan peraturan perundang-undangan yang membaik dengan nilai sebesar 0,33 poin. Sedangkan indikator penyebarluasan peraturan dan stabilitas peraturan mengalami penurunan (lihat diagram 4.2).

Diagram 4.2. Tren Nilai Indikator Legalitas Formal 2014-2015

Pen

yeba

rluas

..

Kejelas

an..

Sta

bilitas

..

7.2

7

6.6

6.4

6.2

6

5.8

5.6

5.4

5.2

6.8

2014 6.37

2015 5.92

2014 6.47

2015 6.8

2014 6.97

2015 6.87

80

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Dalam indikator penyebarluasan peraturan perundang-undangan, menurut ahli, masyarakat perkotaan makin sulit untuk mengakses undang-undang dan peraturan daerah (perda) provinsi yang berasal dari sumber resmi yang disediakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepanjang tahun 2015. Dari kedua bentuk regulasi tersebut (undang-undang dan perda provinsi), masyarakat perkotaan ternyata lebih sulit mengakses perda provinsi (turun 0,52 poin) dibandingkan undang-undang (turun 0,44 poin). Demikian juga dengan masyarakat di pedesaan: perda provinsi yang berasal dari sumber resmi juga lebih sulit diakses dibandingkan undang-undang.

Survei ahli di atas liner dengan penelusuran yang dilakukan peneliti. Sampai saat ini masih banyak situs lembaga-lembaga negara yang jarang diperbaharui. Misalnya, situs Kementerian Hukum dan HAM, di mana peraturan yang dipublikasikan hanya sampai dengan peraturan yang diterbitkan pada tahun 2014 saja, sedangkan peraturan yang diterbitkan sepanjang tahun 2015 sampai saat ini belum tersedia.

Terkait isu sosialiasi peraturan perundang-undangan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah ternyata makin jarang menyosialisasikan undang-undang dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan sosialisasi perda provinsi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah tidak mengalami perubahan atau stagnan. Apabila dilacak lebih dalam, ternyata lebih dari 60 persen responden mengatakan bahwa sosialisasi yang dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi) terhadap undang-undang dan perda provinsi hanya sebatas media elektronik dan media cetak.

Komitmen pemerintah pusat dalam menyediakan akses peraturan perundang-undangan yang memadai bagi penyandang difabel memburuk daripada tahun sebelumnya. Hal sebaliknya terjadi bagi pemerintah daerah. Ketersediaan akses yang memadai terhadap peraturan perundang-undangan bagi kelompok difabel yang dilakukan oleh pemerintah daerah sepanjang tahun 2015 relatif membaik (naik 2,8 poin).

***

Dalam indikator kejelasan rumusan peraturan, menurut ahli, pilihan kata atau istilah yang digunakan dalam rumusan undang-undang yang dikeluarkan sepanjang tahun 2015 makin menyulitkan masyarakat (turun 0,17 poin). Meskipun demikian, terkait dengan

81

ANALIS IS

bahasa hukum yang digunakan (dalam rumusan undang-undang yang dikeluarkan sepanjang tahun 2015) relatif membaik (naik 0,04 poin).

Pada tataran implementasi/praktik hukum, masalah/konflik/kebuntuan yang disebabkan oleh ketidakjelasan rumusan pilihan kata atau istilah dan rumusan bahasa hukum dalam undang-undang yang terbit sepanjang tahun 2015 ternyata semakin berkurang.

Tabel 4.3. Perbandingan Nilai Implementasi/Praktik Hukum Terjadinya Masalah/Konflik/Kebuntuan Akibat Ketidakjelasan Rumusan Undang-

Undang dan Perda Provinsi

Undang-Undang Peraturan Daerah

Pilihan kata atau Istilah

Bahasa Hukum

Pilihan kata atau Istilah

Bahasa Hukum

Tahun 2014 5,28 5,28 5,28 5,21

Tahun 2015 5,44 5,69 5,38 5,44

Pada sisi lain, meningkatnya masalah/konflik/kebuntuan akibat ketidakjelasan rumusan peraturan daerah yang terbit sepanjang tahun 2015 berada pada pilihan kata atau istilah. Meskipun demikian, masalah/konflik/kebuntuan akibat ketidakjelasan bahasa hukum dalam rumusan peraturan daerah menurun.

Dalam tataran implementasi hukum/praktik hukum, ketidak-jelasan rumusan peraturan daerah yang terbit sepanjang tahun 2015 akibat pilihan kata/istilah dan bahasa hukum menurun.

Masih menurut pendapat ahli, sepanjang tahun 2015 terdapat peningkatan undang-undang yang bertentangan (kontradiksi) dengan konstitusi. Sedangkan pertentangan atau kontradiksi antara peraturan daerah provinsi dengan peraturan perundang-undangan di atasnya menurun.

***

Dilihat dari stabilitas peraturan perundang-undangan dalam lima tahun terakhir, menurut ahli, undang-undang makin sering diubah. Sedangkan peraturan daerah provinsi yang diubah dalam lima tahun terakhir, relatif berkurang. Setidaknya terdapat empat undang-undang yang umurnya kurang dari satu tahun namun telah diubah sepanjang di tahun 2015.2

2 Empat undang-undang yang diubah dalam jangka waktu setahun adalah: UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang; UU No. 2 Tahun 2015

82

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Keempat undang-undang tersebut merupakan undang-undang yang terkait dengan sektor politik, yaitu kepemiluan dan pemerintahan daerah. Proses perubahannya juga hampir terbilang serupa, mulanya disahkan oleh DPR sebagai undang-undang kemudian dibatalkan oleh Presiden melalui Perpu, dan disahkan kembali oleh DPR. Hal ini semakin menunjukan bahwa konfigurasi politik sangat mempengaruhi ketidakstabilan peraturan.

3. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

Nilai semua indikator prinsip independensi kekuasaan kehakiman membaik. Meski demikian, untuk indikator independensi dalam manajemen sumber daya hakim bisa dikatakan “stagnan”, karena hanya naik sebesar 0,01 poin. Jika dilihat secara keseluruhan, indikator independensi dari pengaruh publik dan media massa merupakan indikator yang naik tertinggi dengan nilai 0,94 poin. Setelah itu berturut-turut: indikator independensi dalam kebijakan kelembagaan (naik 0,19 poin); dan indikator independensi hakim dalam mengadili dan memutus perkara (naik 0,14 poin).

Diagram 4.3 Tren Nilai Indikator Independensi Kekuasaan Kehakiman 2014-2015

Independensi Terhadap Pengaruh Publik danMedia Massa

Independensi dalam Kebijakan Kelembagaan

Independensi Hakim dalam Mengadili danMemutus Perkara

Independensi dalam Manajemen SumberDaya Hakim

2015 2014

0 1 2 3 4 5 6 7

2015 5.59

2014 4.65

2015 6.10

2014 5.91

2015 5.78

2014 5.77

2015 6.27

2014 6.13

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang; UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang; UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

83

ANALIS IS

Indikator independensi hakim dalam mengadili dan memutus perkara, terdiri dari dua subindikator: independensi hakim dalam proses persidangan dan independensi hakim dalam memutus perkara. Berdasarkan penilaian ahli terhadap kedua subindikator tersebut, nilai subindikator independensi hakim dalam proses persidangan lebih baik daripada subindikator independensi hakim dalam memutus perkara. Tren kenaikan subindikator independensi hakim dalam proses persidangan sebesar 0,44 poin, sedangkan subindikator independensi hakim dalam memutus perkara naik 0,07 poin.

Meskipun tren nilai kedua subindikator meningkat, namun jika disigi berdasarkan penilaian ahli, dalam beberapa isu mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk subindikator independensi hakim dalam proses persidangan, dalam memeriksa perkara, hakim masih berbelit-belit dan tidak sesuai dengan jadwal waktu persidangan yang telah ditentukan. Sedangkan untuk subindikator independensi hakim dalam memutus perkara berada pada isu hakim belum mempertimbangkan keterangan pihak dan fakta persidangan dalam memutus perkara.

Pada sisi lain, hasil penelusuran dokumen menunjukan sebaliknya. Berdasarkan laporan tahunan Mahkamah Agung, produktivitas Mahkamah Agung RI dalam memutus perkara tahun 2015 meningkat 1,92 persen dari tahun 2014 yang memiliki rasio produktivitas sebesar 76,62 persen. Rasio jumlah sisa perkara tahun 2015 berkurang 1,73 persen dibandingkan dari tahun 2014 yang berjumlah 23,38 persen. Rasio produktivitas memutus dan sisa perkara tahun 2015 melampaui capaian kinerja tahun 2014 dan capaian tertinggi dalam sejarah Mahkamah Agung RI.

Selain pertanyaan yang dapat diindekskan, ahli juga diberikan beberapa pertanyaan untuk mengetahui pihak yang paling sering memengaruhi, menekan, dan/atau mengintervensi hakim dalam memutus perkara sepanjang tahun 2015. Seperti tahun sebelumnya, pengusaha dan advokat/pihak yang berperkara masih merupakan pihak-pihak yang paling sering memengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan. Demikian halnya dengan pejabat pengadilan yang lebih tinggi yang juga masih di urutan ke tiga.

***

84

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Indikator independensi hakim dalam kaitannya dengan manajemen sumber daya hakim, juga terdiri dari dua subindikator: manajemen sumberdaya hakim dan manajemen pengawasan hakim. Berdasarkan penilaian ahli, terdapat peningkatan terhadap kinerja manajemen sumberdaya hakim. Sedangkan subindikator manajemen pengawasan hakim mengalami penurunan.

Pada sisi lain, hasil penelusuran dokumen menunjukan sebaliknya. Hukuman disiplin yang dijatuhkan kepada hakim sepanjang tahun 2015 sejumlah 122 orang. Artinya, naik sebesar 4,27 persen dari hukuman disiplin yang dijatuhkan kepada hakim pada tahun 2014 (117 orang). Sedangkan sepanjang tahun 2015 KY merekomendasikan penjatuhan hukuman disiplin sejumlah 116 hakim kepada MA, dengan rincian: 79 hakim dikenakan sanksi ringan, 29 hakim dikenakan sanksi sedang, dan 8 hakim dikenakan sanksi berat.

Meski nilai subindikator manajemen sumberdaya hakim secara umum membaik, namun dalam beberapa isu, masih dianggap bermasalah. Isu yang masih dianggap bermasalah sepanjang tahun 2015 adalah seleksi hakim ad hoc dan mekanisme rekruitmen seleksi hakim konstitusi.

Terkait dengan rekruitmen hakim konstitusi, seleksi yang dianggap paling transparan, objektif dan partisipatif adalah seleksi hakim konstitusi yang dilakukan oleh Presiden (5,31). Setelah itu berturut-turut: seleksi dari DPR (4,81) dan Mahkamah Agung (4,56).

***

Indikator independensi hakim dalam kaitannya dengan kebijakan kelembagaan juga terbagi atas dua subindikator: sarana dan prasarana pengadilan dan fasilitas pengamanan dan gaji hakim. Nilai kedua subindikator tersebut meningkat dibanding tahun sebelumnya. Meski demikian, menurut ahli, tren kenaikan subindikator fasilitas pengamanan dan gaji hakim (0,53) lebih baik dari subindikator sarana dan prasarana pengadilan (0,23).

Secara umum, subindikator sarana dan prasarana memang menunjukan tren yang membaik, namun dalam dua hal masih dianggap memiliki persoalan: kurang memadainya kendaraan operasional pengadilan dan kapasitas & integritas pegawai pengadilan.

Dalam hal indikator independensi pengaruh publik dan media massa, menurut pandangan ahli, independensi kekuasan kehakiman

85

ANALIS IS

relatif membaik sepanjang tahun 2015. Dari dua pertanyaan yang diajukan kepada ahli: dalam memutus tidak terpengaruh oleh pemaksaan dari kelompok masyarakat yang berkepentingan dan pemberitaan media massa, ternyata pemberitaan media massa masih dianggap mempengaruhi independensi hakim.

4. Akses Terhadap Keadilan

Dalam prinsip akses terhadap keadilan, nilai setiap indikatornya membaik. Tren nilai indikator yang mengalami kenaikan tertinggi berada pada indikator ketersediaan bantuan hukum dengan 0,46 poin. Setelah itu, indikator keterbukaan informasi publik (naik 0,38 poin); dan indikator peradilan yang cepat dan terjangkau (naik 0,2 poin).

Diagram 4.4. Tren Nilai Indikator Akses Terhadap Keadilan 2014-2015

4 5 6 70 1 2 3

Ketersediaan Bantuan Hukum

Peradilan yang Cepat dan Terjangkau

Keterbukaan Informasi Publik

2015 5.55

2014 5.09

2015 6.61

2014 6.41

2015 5.71

2014 5.33

Dalam indikator keterbukaan informasi, menurut survei ahli, pada tahap penyidikan, penuntutan dan beracara di pengadilan, publik makin sulit untuk mengakses informasi yang mereka butuhkan dibandingkan tahun lalu. Tahap yang paling sulit diakses oleh publik dalam mendapatkan informasi ada pada tahap penuntutan. Setelah itu secara berturut-turut pada tahap penyidikan dan proses beracara di pengadilan.

Pandangan ahli ini selaras dengan penelusuran dokumen yang dilakukan. Berdasarkan hasil Penilaian Reformasi Birokrasi dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

86

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

tahun 2015 Kejaksaan menempati urutan terbawah dari 77 Lembaga/Instansi pemerintah yang dinilai. Kejaksaan mendapat nilai 50,2 atau CC. Pada tahun 2015, Komisi Kejaksaan RI (KKRI) menerima pengaduan masyarakat sebanyak 812 pengaduan menurun dari tahun sebelumnya sebanyak 1036. Subtansi pengaduan yang disampaikan masyarakat kepada KKRI cukup beragam, diantaranya terkait dengan perilaku yang tercela, indisipliner, tidak professional dan pelayanan yang kurang baik.

Meskipun publik sulit mendapatkan informasi pada tahap penuntutan, namun jika publik mengajukan keberetan, pada tahap penuntutan pula lah yang merespon paling baik dibandingkan tahap lainnya. Setelah itu, respon paling baik terkait keberatan terhadap informasi yang dibutuhkan publik berada pada tahap penyidikan dan proses beracara di pengadilan.

Indeks tahun 2015 juga meminta pendapat ahli terkait akses informasi panggilan sidang di pengadilan, akses informasi jadwal sidang, dan akses terhadap salinan putusan pengadilan. Berdasarkan pada tiga item tersebut, akses informasi panggilan sidang di pengadilan dan akses informasi jadwal sidang dipandang sudah baik. Meski demikian, akses publik terhadap salinan putusan masih dianggap buruk.

Hasil penelusuran dokumen agak bertolak belakang dengan hasil survey, Mahkamah Agung sebagai institusi tertinggi peradilan menunjukan jumlah putusan yang dipublikasikan sepanjang tahun 2015 sebanyak 464.204 putusan, sebanyak 10.787 (2,32%) dari jumlah tersebut adalah putusan Mahkamah Agung RI. Putusan Mahkamah Agung yang dipublikasikan tahun 2015 meningkat 15,26% dari jumlah publikasi putusan tahun 2014 sebanyak 9.359 putusan.

Pada sisi lain, dalam hal proses peradilan yang cepat, menurut pendapat ahli terdapat peningkatan di setiap lembaga peradilan. Proses peradilan yang dinilai cepat berada pada proses peradilan agama. Setelah itu, berturut-turut: peradilan tata usaha negara, peradilan pidana, peradilan perdata, dan peradilan militer.

Sedangkan jika dilihat dari sisi biaya berproses di pengadilan, secara umum menunjukan peningkatan. Hanya proses beracara di peradilan perdata yang dianggap sulit terjangkau oleh semua kalangan. Secara berturut-turut, proses peradilan yang terjangkau oleh semua

87

ANALIS IS

kalangan adalah: peradilan militer (0,88), peradilan tata usaha negara (7,83), dan peradilan agama (6,6).

Akses terhadap keadilan juga berkaitan dengan keterjangkauan lokasi. Berdasarkan hasil penilaian ahli, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer merupakan lokasi yang sulit untuk dijangkau dibandingkan peradilan lain sepanjang tahun 2015. Sedangkan peradilan lain yang menunjukan tren yang meningkat. Tren nilai keterjangkuan lokasi tertinggi secara berturut-turut adalah: peradilan agama dan peradilan umum (baik perdata dan pidana).

Indikator terakhir dari prinsip akses terhadap keadilan adalah ketersediaan bantuan hukum. Tren nilai indikator ini merupakan yang tertinggi dari indikator lainnya. Sepanjang tahun 2015, bantuan hukum yang diberikan oleh negara meningkat sebesar 0,87 poin. Meskipun negara sudah menyediakan bantuan, namun efektifitasnya perlu diketahui. Berdasarkan survei ahli, efektitas bantuan hukum yang diberikan oleh negara sepanjang tahun 2015 juga meningkat (0,84).

Apabila dilacak lebih jauh, kelompok masyarakat yang diberikan bantuan hukum oleh negara ada pada bantuan hukum bagi kelompok anak. Setelah itu, secara berturut-turut: bantuan hukum bagi masyarakat adat, kelompok difabel, dan kelompok minoritas.

5. Hak Asasi Manusia

Prinsip hak asasi manusia terdiri dari enam indikator. Nilai semua indikator pada prinsip ini menunjukan penurunan. Tren penurun tertinggi terletak pada indikator jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan (0,73). Setelah itu berturut-turut: jaminan atas hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang bukan kejahatan (0,53 poin); jaminan atas hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual (0,43 poin); jaminan hak atas hidup (0,29); jaminan hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (0,23); dan jaminan hak untuk tidak diperbudak (0,08).

88

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Diagram 4.5. Tren Nilai Indikator Prinsip Hak Asasi Manusia 2014-2015

6.00

5.00

4.00

3.00

2.00

1.00

0.00

Jam

inan

Hak

ata

s Hidup

Jam

inan

ata

s Hak

unt

uk B

ebas

dar

i...

Jam

inan

ata

s Hak

unt

ukTi

dak...

Jam

inan

ata

s Hak

unt

ukTi

dak...

Jam

inan

ata

s Hak

unt

ukTi

dak...

Jam

inan

Hak

ata

s Keb

ebas

an u

ntuk

...

20152014

2015, 3.51 2015, 2.99 2015, 4.08 2015, 3.75 2015, 4.38 2015, 422

2014, 3.80 2014, 3.72 2014, 4.16 2014, 4.32 2014, 4.91 2014, 3.99

Terkait indikator jaminan hak untuk hidup, menurut ahli, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional sepanjang tahun 2015 yang menjamin hak untuk hidup sedikit membaik. Meskipun demikian, penerapan hukuman mati masih memburuk. Pada sisi lain, pemberian grasi oleh Presiden sedikit berkurang.

Berdasarkan penelusuran dokumen, situasi jaminan hak atas hidup di tahun 2015 secara umum mengalami berbagai kemunduran, salah satunya dikarenakan oleh meningkatnya pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Berdasarkan laporan Human Rights Watch (HRW), sepanjang tahun 2015, pemerintah Indonesia mengeksekusi 14 orang terpidana mati. Kemudian, berdasarkan data rekapitulasi laporan yang masuk ke Komnas HAM, terdapat peningkatan jumlah laporan pelanggaran hak atas hidup sebanyak 46 kasus dibandingkan tahun sebelumnya, dari 180 laporan di tahun 2014, menjadi 226 kasus di tahun 2015.

Sedangkan penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) yang menyebabkan kematian tidak berkurang atau meningkat. Pihak yang paling banyak menggunakan kekuatan berlebihan (excessive use of force) yang menyebabkan kematian adalah Kepolisian. Setelah itu secara berturut-turut dilakukan oleh: polisi pamong praja, militer, pihak keamanan swasta, dan pihak lainnya.

89

ANALIS IS

Meskipun tren penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) yang menyebabkan kematian meningkat, menurut pandangan ahli, pemulihan hak bagi korban ternyata relatif membaik.

***

Pada sisi lain, terkait indikator jaminan hak atas bebas dari penyik-saan, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional sepanjang tahun 2015 yang berkaitan dengan indikator ini memburuk. Demikian juga dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional yang berkaitan dengan jaminan bebas dari perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia juga tidak memadai. Pada level daerah, juga terjadi penurunan terkait peraturan perundang-undangan dan kebijakan sepanjang tahun 2015 yang berkaitan hak atas bebas dari penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.

Situasi semacam ini linier dengan beberapa laporan. Merujuk pada laporan-laporan yang diterbitkan oleh Komnas HAM dan Freedom House, tercermin juga tingginya kasus penyiksaan yang terjadi di tahun 2015. Komnas HAM melaporkan bahwa sepanjang tahun 2015 ada 272 kasus penyiksaan yang dilaporkan oleh masyarakat, jumlah ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2014 yang berjumlah 221 laporan kasus.

Dalam tataran praktik di daerah, menurut ahli, praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia sering terjadi di asrama-asrama PJTKI. Setelah itu secara berturut-turut: rumah tahanan imigrasi, tempat penahanan militer, rumah tahanan negara, lembaga pemasyarakatan, dan tempat lainnya.

Pemerintah pusat dan/atau pemerintah propinsi juga belum memadai dalam mengawasi tempat-tempat penahanan dan/atau penampungan dalam rangka mencegah terjadinya praktik-praktik penyiksaan dan penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia sepanjang tahun 2015. Jika pun terjadi praktik-praktik penyiksaan dan penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, pemerintah tidak efektif melakukan proses hukum. Sementara itu, pemulihan terhadap korban masih relatif stagnan.

***

90

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Dalam indikator jaminan hak untuk tidak diperbudak, peraturan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin hak setiap warga negara untuk tidak dipekerjakan secara paksa di luar kehendaknya sendiri masih stagnan. Padahal, dalam tataran praktik masih sering terjadi. Praktik-praktik perbudakan di daerah (provinsi) yang sering terjadi adalah pemaksaan dan eksploitasi kerja atas diri seseorang untuk pelunasan hutang piutang. Setelah itu secara berturut-turut: kerja paksa di luar kehendak pekerja yang bersangkutan; pemaksaan atas diri seseorang untuk bekerja sebagai pekerja seks; dan pemaksaan dan eksploitasi kerja terhadap anak-anak di bawah usia 18 tahun.

Praktik perbudakan yang berkaitan dengan anak-anak di bawah umur pun masih tinggi dibandingkan tahun lalu. Praktik perbudakan yang berkaitan dengan anak-anak di bawah umur yang sering terjadi berada pada sektor pertanian/perkebunan/perikanan dan pertambakan. Setelah itu, secara berturut-turut: pemberian jasa domestik (pekerja rumah tangga) dan industri jasa seks. Hanya di sektor mengamen/mengemis/mengasong barang dagangan serta pekerjaan-pekerjaan jalanan lainnya yang relatif stagnan -disebut relatif stagnan karena peningkatannya hanya 0,01 poin.

Berdasarkan penelusuran dokumen juga tampak bahwa praktik-praktik perbudakan masih banyak terjadi di Indonesia. Salah satu kasus besar yang terjadi di tahun 2015 adalah terkuaknya praktik perbudakan di sektor perikanan di pulau Benjina, Maluku, di mana ratusan orang, bahkan diduga hingga 1500 orang, dipekerjakan secara paksa tanpa upah dan kondisi kerja yang layak. Berdasarkan laporan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, meskipun pemerintah Indonesia belum memenuhi standar pencegahan perdagangan manusia, namun telah berupaya keras setidak-tidaknya menuntut 119 pelaku perdagangan manusia dan memulangkan ribuan korban perdagangan manusia ke negara mereka masing-masing. Laporan dari Freedom House mengindikasikan bahwa praktik perdagangan manusia masih banyak terjadi di Indonesia, di mana perempuan diperdagangkan untuk menjadi pekerja domestik, sementara laki-laki diperdagangkan untuk bekerja di sektor perikanan.

Meskipun praktik perbudakan anak di daerah (provinsi) meningkat, namun pemerintah daerah juga terlihat serius untuk menangulanginya. Menurut ahli, sektor yang paling serius untuk

91

ANALIS IS

mencegah praktik perbudakan anak di bawah umur pada sektor mengamen/mengemis/mengasong barang dagangan serta pekerjaan-pekerjaan jalanan lainnya. Setelah itu, secara berturut-turut, pada sektor: pertanian/perkebunan/perikanan dan pertambakan; pemberian jasa domestik (pekerja rumah tangga); dan industri jasa seks.

Pada sisi lain, terdapat juga tren yang naik terkait penegakan hukum terhadap praktik-praktik perbudakan yang terjadi. Meskipun jika bicara tentang pemulihan terhadap korban praktik-praktik perbudakan makin memburuk.

***

Dalam indikator jaminan perlindungan atas hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual, peraturan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin hak tersebut makin memburuk dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam tataran praktik, juga masih sering ditemukan pemenjaraan terhadap orang akibat ketidakmampuannya di dalam memenuhi kewajiban yang ditentukan olej suatu perjanjian/kontrak tertentu. Sedangkan pemerintah, terutama aparat penegak hukum, tidak maksimal dalam mengupayakan pencegahan terhadap praktik pemenjaraan atas ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kewajiban yang ditentukan berdasarkan suatu perjanjian/kontrak.

Pada sisi korban, pemerintah juga gagal untuk memenuhi mekanisme pemulihan terhadap korban secara efektif.

***

Terkait jaminan perlindungan atas hak untuk tidak dihukum berdasarkan tindakan bukan kejahatan, peraturan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin hak tersebut juga memburuk jika dibandingkan tahun sebelumnya. Padahal, praktik penghukuman atas suatu suatu tindakan yang tidak diatur sebagai kejahatan oleh hukum nasional atau internasional makin sering terjadi. Sedangkan mekanisme pemulihan terhadap korban masih jauh dari kata “efektif”

Salah satu kasus yang cukup disoroti dalam kaitannya dengan penghukuman atas tindakan yang bukan kejahatan adalah kasus yang menimpa Florence Sihombing. Florence diputuskan bersalah oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta karena dianggap melakukan pencemaran nama baik terhadap Propinsi Yogyakarta dan menyebarkan

92

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

kebencian atas propinsi tersebut, sehingga melanggar Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Kasus ini menimbulkan kontroversi di publik, karena pada dasarnya penghinaan terhadap suatu wilayah administrasi tertentu dianggap bukan kejahatan.

***

Dalam konteks jaminan terhadap kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, menurut pendapat ahli, peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan baik di tingkat nasional dan daerah (provinsi) sepanjang tahun 2015, memburuk dibandingkan tahun sebelumnya. Di tingkat nasional, peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan yang menunjukan tren menurun adalah pada jaminan terhadap kebebasan beragama. Sedangkan di tingkat daerah (provinsi), peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan yang menunjukan tren menurun berada pada jaminan terhadap hak kebebasan berpikir.

Praktik pelanggaran dan kekerasan terhadap jaminan kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan di tingkat provinsi makin sering terjadi. Masih menurut ahli, praktik yang sering terjadi adalah pembatasan terhadap kebebasan berkeyakinan (turun 1,87 poin). Setelah itu secara berturut-turut: pembatasan terhadap kebebasan beragama (turun 1,8 poin); dan pembatasan terhadap kebebasan berpikir (turun 1,19 poin).

Hasil penelusuran dokumen atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak KBBB juga menemukan kecenderungan peningkatan jumlah praktik pelanggaran atas hak KBBB yang terjadi sepanjang tahun 2015. Human Right Watch melaporkan bahwa ada sekitar 174 penyerangan yang bermotifkan agama sepanjang tahun 2015. Komnas HAM juga mencatat ada 87 kasus pelanggaran hak KBBB yang dilaporkan kepada Komnas HAM di tahun 2015, jumlah ini meningkat sekitar 13 kasus dibandingkan dengan tahun 2014. Kemudian Freedom House juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2015, masih terjadi intimidasi terhadap kelompok Ahmadiah di Indonesia. Selain itu, pelanggaran-pelanggaran lain yang dicatat oleh Freedom House adalah larangan pembangunan rumah ibadah, larangan beribadah bagi kelompok Shiah dan penghancuran rumah-rumah ibadah di Papua dan Aceh.

93

ANALIS IS

Dilihat dari segi aktornya, jika dibandingkan dengan tahun sebelum-nya, menurut ahli, pelaku utama pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran berpikir yang berbeda/minoritas adalah aparat pemerintah lainnya. Sedangkan pelaku utama pelaku utama pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran agama yang berbeda/minoritas adalah polisi pamong praja.

Meskipun praktik pelanggaran dan kekerasan masih sering terjadi, namun kinerja aparat penegak hukum dalam mengusut, mengadili, dan menghukum para pelaku secara umum membaik. Tren positif penegakan hukum sepanjang tahun 2015 yang membaik ada pada isu jaminan terhadap kelompok yang memiliki aliran berkeyakinan yang berbeda (naik 0,52 poin); dan jaminan terhadap kelompok yang memiliki aliran beragama yang berbeda/minoritas (naik 0,39 poin). Hanya dalam isu penegakan hukum terhadap aliran berpikir yang berbeda/minoritas yang memburuk.

Pada sisi lain, mekanisme pemulihan terhadap korban kekerasan kebebasan beragama dan kebebasan berkeyakinan sepanjang tahun 2015 menunjukan penurunan. Mekanisme pemulihan terhap korban kebe-basan berpikir yang menunjukan tren yang relatif positif (naik 0,03 poin).

B. REkoMEnDAsI

Berdasarkan analisa sebagaimana yang telah dijelaskan dalam subbab di atas, rekomendasi yang harus dilakukan pengambil kebijakan untuk menguatkan penerapan prinsip-prinsip negara hukum ke depan adalah:

1. Pemerintahan Berdasarkan Hukum

• Pemerintah pusat harus mempertahankan kinerjanya dalam menjalankan kewenangan absolutnya berdasarkan aturan yang berlaku.

• Pemerintah pusat harus mengevaluasi kebijakan dalam bidang penegakan hukum dan keamanan.

• Pemerintah pusat harus melakukan pengawasan secara intensif terhadap kewenangan daerah dalam menjalankan kewenangan konkuren yang berkaitan dengan pelayanan dasar, yaitu dalam bidang pekerjaan umum & penataan ruang dan bidang perumahan & pemukiman.

94

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

• Pemerintah pusat, harus mengevaluasi kebijakan yang dikeluarkan oleh daerah dalam menjalankan kewenangannya dalam bidang pertanahan dan lingkungan hidup, kehutanan, energi dan sumberdaya alam, dan transmigrasi.

• Pemerintah pusat dan pemerintah daerah seyogianya mening katkan kinerjanya dalam menjalankan fungsi legislasi dan budjeting.

• DPR RI harus memaksimalkan fungsi pengawasan yang dimiliki-nya, dalam menggunakan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.

• DPRD Provinsi harus memaksimalkan fungsi pengawasan yang dimilikinya, dalam menggunakan hak interpelasi dan hak angket.

• DPR RI dan DPRD Provinsi harus memaksimalkan kinerjanya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

• Mahkamah Konstitusi perlu mempertahankan kinerjanya dalam menguji konstitusionalitas undang-undang.

• Mahkamah Agung harus meningatkan efektifitas kinerjanya dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

• Pejabat pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memperkuat pengawasan melekat yang dimilikinya dalam mengawasi kinerja aparatus birokrasi di bawahnya.

• Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) harus meningkatkan kinerjanya dalam mengawasi anggaran pusat dan daerah.

• Presiden harus memperkuat pengawasannya terhadap Kepolisian dan Kejaksaan dengan memperkuat kewenangan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Kejaksaan (Komjak).

• Ombudsman, Komisi Informasi, Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan harus meningkatkan kinerjanya dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

2. Legalitas Formal

• Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu mempertimbangkan menggunakan media alternatif selain situs resmi dan media massa guna memudahkan masyarakat dalam mengakses peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan.

95

ANALIS IS

• Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus meningkatkan intensitas sosialisasi undang-undang dan peraturan daerah yang dibuat.

• Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus meningkatkan penyediaan akses yang memadai bagi kelompok difabel dalam mendapatkan peraturan perundang-undangan.

• Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus meningkatkan kemampuan teknis yudisial dan memperluas ruang bagi publik dalam memberikan masukan terkait penyusunan peraturan perundang-undangan.

• Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu membuat aturan terkait limitasi perubahan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah.

3. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

• Mahkamah Agung harus mengeluarkan peraturan internal yangmenjamin terdistribusinya perkara kepada seluruh hakim dengan berpijak pada penguatan sistem kamar.

• Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus memperkuatkapasitas hakim dalam memeriksa perkara sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan.

• Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu mengeluarkanpedoman khusus pengaturan konflik kepentingan dalam memerik -sa dan mengadili perkara yang ditanganinya.

• KomisiYudisialperlumendisainulangprosesseleksihakimagung.• Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu mendesain ulang

proses seleksi hakim ad hoc yang lebih partisipatif dan transparan terhadap masukan publik.

• Pemerintah perlu mengeluarkan peraturan pemerintah yangmengatur standar seleksi hakim konstitusi.

• MahkamahAgungdanKomisiYudisalharusmembuataturanyangmengatur proses mutasi dan promosi secara adil, berkelanjutan dan partisipatif.

• Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus membuat aturanterkait alokasi pendidikan dan pelatihan hakim secara objektif dan transparan.

96

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

• Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus membuat kesepakatan bersama dalam mendesain pengawasan etika hakim yang efektif.

• DPR dan Pemerintah perlu merevisi UU MK terkait pengawasan terhadap Hakim Konstitusi.

• Pemerintah, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung perlu memberikan perhatian dan memperbaiki kondisi ruang tunggu pihak yang beperkara di pengadilan, penggunaan teknologi informasi, kendaraan operasional, dan integritas pegawai pengadilan (kepaniteraan).

• Pemerintah, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung perlu meningkatkan standar pengamanan bagi hakim.

4. Akses Terhadap Keadilan

• Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung perlu membuat standar bersama terkait keterbukaan informasi publik dalam proses peradilan agra dapat dengan mudah diakses masyarakat.

• Mahkamah Agung perlu melakukan kebijakan yang berdampak terhadap perilaku hakim dalam mempercepat proses beracara di pengadilan, terutama di peradilan militer.

• Mahkamah Agung dan Komisi Yudisal perlu melakukan kajian untuk menentukan standar minimal proses beracara di pengadilan.

• Pemerintah harus meningkatkan ketersediaan bantuan hukum yang berkualitas bagi publik.

• Pemerintah harus meningkatkan ketersediaan bantuan hukum bagi kelompok-kelompok rentan, terutama kelompok difabel dan masyarakat adat.

5. Hak Asasi Manusia

• Pemerintah harus memperkuat peraturan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin terpenuhinya hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual, hak untuk tidak dihukum berdasarkan tindakan bukan kejahatan, dan kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan.

• Kejaksaan dan Kepolisian perlu memperkuat pemahaman penegak hukum di lapangan terkait pelanggaran-pelanggaran terhadap hak

97

ANALIS IS

untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual, hak untuk tidak dihukum berdasarkan tindakan bukan kejahatan, dan kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan.

• Pemerintah harus membuat standar dan meningkatkan perhatian pada pemulihan secara efektif terhadap korban pelanggaran-pelanggaran hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual, hak untuk tidak dihukum berdasarkan tindakan bukan kejahatan, dan kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan.

• Pemerintah perlu membuat standar tentang proses dan alat ukur yang ajeg terkait permohonan grasi pihak-pihak yang dikenai sanksi hukuman mati.

• Pemerintah perlu memperkuat pemahaman Kepolisian dan Polisi Pamong Praja tentang standar penggunaan kekerasan yang dapat menyebabkan kematian.

• Kementerian Dalam Negeri perlu mengevaluasi peraturan dan kebijakan di daerah yang membatasi hak untuk bebas dari penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.

• Kementerian Hukum dan HAM harus mengevaluasi standar-standar kelayakan digunakan di beberapa tempat yang rentan terjadinya penyiksaan, seperti Lembaga Pemasyarakatan, Tempat Penahanan Kepolisian dan asrama-asrama PJTKI.

• Pemerintah harus meningkatkan perhatian kepada pekerjaan-pekerjaan yang rentan untuk diperbudak, terutama perlindungan terhadap anak-anak di bawah umur.

• Kepolisian dan Kejaksaan perlu melakukan kajian dan menyamakan persepsi terhadap jaminan untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual.

• Kepolisian dan Kejaksaan perlu melakukan kajian dan memperkuat pemahaman terhadap hak untuk tidak dihukum berdasarkan tindakan bukan kejahatan.

***

98

LAMPIRAN

99

LAMPIRAN

Pertanyaan Skor Survei

Skor Rata2 Survei

Skor Doku-men

Skor Sub Indi-kator

Skor Indi-kator

Skor Prin-sip

IndeksPrin-sip

PRINSIP PEMERINTAHAN BERDASARKAN HUKUM 5.41 1.35

I Perbuatan/Tindakan Pemerintah Sesuai Hukum 5.33

Q01.a Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada politik luar negeri?

7.31

6.1 4.55

Q01.b Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang pertahanan ?

7.19

Q01.c Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang Keamanan?

5.88

Q01.d Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang Penegakan Hukum?

5.19

Q01.e Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang moneter fiskal?

6.19

Q01.f Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang agama?

6.19

Q.02.1a Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang pendidikan?

6.81

Q.02.1b Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang kesehatan?

6.63

Q.02.1c Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang pekerjaan umum dan penataan ruang?

5.44

100

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Q.02.1d Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang perumahan dan pemukiman?

5.63

Q.02.1e Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat?

6.25

Q.02.1f Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang sosial?

6.25

Q.02.2a Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada tenaga kerja?

5.63

Q.02.2b Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang perlindungan perempuan dan anak?

6.06

Q.02.2c Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang pangan?

6.56

Q.02.2d Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang pertanahan dan lingkungan hidup?

5.44

Q.02.2e Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang administrasi penduduk dan catatan sipil?

6.56

101

LAMPIRAN

Q.02.2f Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang perhubungan dan komunikasi?

6.31

Q.02.2g Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang koperasi dan UMKM?

6.19

Q.02.2h Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang kepemudaan dan olahraga?

5.88

Q.02.2i Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang budaya?

6.31

Q.02.2j Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang perpusatakaan?

6.13

Q.02.3a Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang kelautan perikanan?

6.31

Q.02.3b Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang perpustakaan?

6.69

Q.02.3c Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang pariwisata?

6

Q.02.3d Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang pertanian dan perkebunan?

5.06

102

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Q.02.3e Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang kehutanan?

5

Q.02.3f Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang energi dan sumber daya mineral?

6.13

Q.02.3g Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada bidang perdagangan dan industri?

5.63

Q.03.a Apakah Pemerintah Pusat dalam menjalankan fungsi legislasi bersama DPR sepanjang tahun 2015 telah bertindak sesuai hukum dan peraturan yang berlaku?

6.19

Q.03.b Apakah Pemerintah Pusat dalam menjalankan fungsi budgeting bersama DPR sepanjang tahun 2015 telah bertindak sesuai hukum dan peraturan yang berlaku?

6.31

Q.04.a Apakah Pemerintah Daerah dalam menjalankan fungsi legislasi bersama DPR sepanjang tahun 2015 telah bertindak sesuai hukum dan peraturan yang berlaku?

6.06

Q.04.b Apakah Pemerintah Daerah dalam menjalankan fungsi budgeting bersama DPR sepanjang tahun 2015 telah bertindak sesuai hukum dan peraturan yang berlaku?

6

II Pengawasan yang Efektif

A Pengawasan Parlemen 5.49

Q.07a Dalam hal pengawasan, DPR memiliki hak interpelasi. Seberapa seringkah hak tersebut digunakan untuk mengawasi tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat?

4.38

4.33 n/a 4.33

Q.07b Dalam hal pengawasan, DPR memiliki hak angket. Seberapa seringkah hak tersebut digunakan untuk mengawasi tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat?

4.31

Q.07c Dalam hal pengawasan, DPR memiliki hak menyatakan pendapat. Seberapa seringkah hak tersebut digunakan untuk mengawasi tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat?

4.13

Q.08.a Dalam hal pengawasan, DPRD Provinsi memiliki hak interpelasi, seberapa seringkah hak tersebut digunakan untuk mengawasi perbuatan/tindakan Pemerintah Daerah Provinsi?

4.19

103

LAMPIRAN

Q.08.b Dalam hal pengawasan, DPRD Provinsi memiliki hak angket, seberapa seringkah hak tersebut digunakan untuk mengawasi perbuatan/tindakan Pemerintah Daerah Provinsi?

4

Q.09.a Apakah Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR merupakan sarana yang efektif untuk mengawasi kinerja Pemerintah Pusat?

3.94

Q.09.b Apakah Rapat Dengar Pendapat Umum di DPRD Provinsi merupakan sarana yang efektif untuk mengawasi kinerja Pemerintah Daerah Provinsi?

5.38

B Pengawasan oleh Pengadilan

Q.10 Apakah Mahkamah Konstitusi sepanjang tahun 2015 dalam melaksanakan kewenangannya dalam menguji konstitusionalitas undang-undang, sudah dirasakan efektif sebagai wujud kontrol terhadap hasil tindakan/perbuatan pemerintah bersama DPR?

7.31

6.08 n/a 6.08

Q.11 Apakah Mahkamah Agung sepanjang tahun 2015 dalam melaksanakan kewenangannya dalam menguji peraturan di bawah undang-undang sudah dirasakan efektif sebagai wujud kontrol terhadap perbuatan/tindakan Pemerintah Pusat?

5.5

Q.12 Apakah putusan yang dibuat sepanjang tahun 2015 oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Provinsi Anda sudah dirasakan sangat efektif, efektif atau kurang efektif sebagai kontrol terhadap perbuatan/tindakan pejabat Pemerintah Daerah Provinsi?

5.44

C Pengawasan Internal Pemerintah

Q.13.a Bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pejabat Pemerintah Pusat sepanjang tahun 2015 terhadap aparatur di bawahnya?

5.56

5.61 7.5 6.56

Q.13.b Bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pejabat Pemerintah Daerah Provinsi sepanjang tahun 2015 terhadap aparatur di bawahnya?

5.38

Q.14 Bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK) & Pembangunan (BPKP) di Propinsi anda terhadap anggaran dan kinerja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi sepanjang tahun 2015?

5.75

Q.15.a Bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan terhadap institusi Kepolisian sepanjang tahu 2015?

5.81

104

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Q.15.b Bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan terhadap institusi Kejaksaan sepanjang tahun 2015?

5.56

D Pengawasan oleh Komisi Independen

Q.16 Bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Ombudsman di daerah Anda sepanjang tahun 2015 dalam mengontrol pelayanan publik yang dilakukan pemerintah?

5.63

5.23 4.78 5.01

Q.17 Apakah pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Informasi dalam mengawasi keterbukaan informasi publik yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi sepanjang tahun 2015 berjalan efektif?

5.5

Q.18 Apakah pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional terhadap penyimpangan yang dilakukan polisi sepanjang tahun 2015 berjalan efektif?

4.81

Q.19 Apakah pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Kejaksaan dalam mengawasi penyimpangan yang dilakukan jaksa sepanjang tahun 2015 berjalan efektif?

5

105

LAMPIRAN

Pertanyaan Skor Survei

Skor Rata2 Survei

Skor Doku-men

Skor Sub Indi-kator

Skor Indi-kator

Skor Prin-sip

IndeksPrin-sip

PRINSIP LEGAL FORMAL

I Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan

Q01.a Apakah masyarakat di perkotaan sepanjang tahun 2015, sangat sulit, sulit, mudah atau sangat mudah mendapatkan Undang-Undang dari sumber-sumber resmi yang disediakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi?

6.44

4.73 7.12 5.92 6.53 0.65

Q01.b Apakah masyarakat di perkotaan sepanjang tahun 2015, sangat sulit, sulit, mudah atau sangat mudah mendapatkan Perda Provinsi dari sumber-sumber resmi yang disediakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi?

5.38

Q.2.a Apakah masyarakat di pedesaan sepanjang tahun 2015, sangat sulit, sulit, mudah atau sangat mudah mendapatkan Undang-Undang dari sumber-sumber resmi yang disediakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi?

4.38

Q.2.b Apakah masyarakat di pedesaan sepanjang tahun 2015, sangat sulit, sulit, mudah atau sangat mudah mendapatkan Perda Provinsi dari sumber-sumber resmi yang disediakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi?

4.13

Q.3.a Apakah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi sangat sering, sering, jarang atau tidak pernah, mensosialisasikan Undang-Undang secara langsung kepada masyarakat sepanjang tahun 2015?

4.81

Q.3.b Apakah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi sangat sering, sering, jarang atau tidak pernah, mensosialisasikan Perda Provinsi secara langsung kepada masyarakat sepanjang tahun 2014?

4.38

Q.4.a Apakah Pemerintah Pusat sudah menyediakan akses yang memadai bagi kelompok difabel (different ability) untuk mendapatkan Peraturan Perundang-undangan?

4.25

Q.4.b Apakah Pemerintah Daerah Provinsi sudah menyediakan akses yang memadai bagi kelompok difabel (different ability) untuk mendapatkan Peraturan Perundang-undangan?

4.06

106

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

II Kejelasan Rumusan Peraturan

Q.7.a Apakah masyarakat sangat sulit, sulit, cukup mudah atau sangat mudah memahami rumusan Undang-Undang yang terbit sepanjang tahun 2015, pada pilihan kata atau istilah?

5.25

5.43 8.17 6.8

Q.7.b Apakah masyarakat sangat sulit, sulit, cukup mudah atau sangat mudah memahami rumusan Undang-Undang yang terbit sepanjang tahun 2015, pada bahasa hukum?

5.19

Q.8.a Apakah dalam implementasi/praktik hukum, sangat sering, sering, jarang atau tidak pernah terjadi masalah/konflik/kebuntuan yang disebabkan oleh ketidakjelasan rumusan pilihan kata atau istilah Undang-Undang sepanjang tahun 2015?

5.44

Q.8.b Apakah dalam implementasi/praktik hukum, sangat sering, sering, jarang atau tidak pernah terjadi masalah/konflik/kebuntuan yang disebabkan oleh ketidakjelasan rumusan bahasa hukum Undang-Undang sepanjang tahun 2015?

5.69

Q.9.a Apakah apakah masyarakat sangat sulit, sulit, cukup mudah atau sangat mudah memahami rumusan Peraturan Daerah Provinsi yang terbit sepanjang tahun 2015, terutama pilihan kata atau istilah?

5.5

Q.9.b Apakah apakah masyarakat sangat sulit, sulit, cukup mudah atau sangat mudah memahami rumusan Peraturan Daerah Provinsi yang terbit sepanjang tahun 2015, terutama bahasa hukum?

5.5

Q.10.a Apakah dalam implementasi/praktik hukum, sangat sering, sering, jarang atau tidak pernah terjadi masalah/konflik/kebuntuan yang disebabkan oleh ketidakjelasan rumusan Perda Provinsi, khususnya pilihan kata atau istilah sepanjang tahun 2015?

5.38

Q.10.b Apakah dalam implementasi/praktik hukum, sangat sering, sering, jarang atau tidak pernah terjadi masalah/konflik/kebuntuan yang disebabkan oleh ketidakjelasan rumusan Perda Provinsi, khususnya bahasa hukum sepanjang tahun 2015?

5.44

Q.18.a Apakah Undang-Undang sangat banyak, cukup banyak, sedikit atau tidak ada yang bertentangan (kontradiktif) dengan peraturan perundang-undangan di atasnya sepanjang tahun 2015?

5.31

107

LAMPIRAN

Q.18.b Apakah Perda Provinsi sangat banyak, cukup banyak, sedikit atau tidak ada yang bertentangan (kontradiktif) dengan peraturan perundang-undangan di atasnya sepanjang tahun 2015?

5.63

III Stabilitas Peraturan

Q.13.a Apakah Undang-Undang semenjak 5 (tahun) terakhir hingga tahun 2015, sangat sering, sering, jarang atau tidak pernah mengalami perubahan?

5.25

6 7.75 6.87

Q.13.b Apakah Perda Provinsi semenjak 5 (tahun) terakhir hingga tahun 2015, sangat sering, sering, jarang atau tidak pernah mengalami perubahan?

6.75

108

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Pertanyaan Skor Survei

Skor Rata2 Survei

Skor Doku-men

Skor Sub Indi-kator

Skor Indi-kator

Skor Prin-sip

IndeksPrin-sip

PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA 5.94 1.48

A Independensi Hakim dalam Memutus Perkara 6.27

A.1 Independensi Hakim dalam Proses Persidangan 6.94

Q.01 Apakah Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk telah mendistribusikan perkara kepada Majelis Hakim secara adil dan merata sepanjang tahun 2015?

6.19

6.38 7.5

Q.02 Apakah hakim telah memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak untuk menggunakan haknya dalam proses persidangan di sepanjang tahun 2015?

7.13

Q.03 Apakah hakim dalam memeriksa perkara tidak berbelit-belit dan sesuai dengan jadwal waktu persidangan yang telah ditentukan?

5.88

Q.04 Apakah hakim telah menghindari konflik kepentingan terhadap perkara dalam memeriksa dan mengadili perkara yang ditanganinya di sepanjang tahun 2015?

6.31

A.2 Independensi Hakim dalam Memutus Perkara 5.6

Q.05 Apakah hakim telah mempertimbangkan keterangan para pihak dan fakta persidangan dalam memutus perkara di sepanjang tahun 2015?

6

5.6 n/a

Q.06 Apakah putusan pengadilan sepanjang tahun 2015 di Provinsi Anda, telah memenuhi rasa keadilan?

5.5

Q.07 Apakah hakim telah terbebas dari pengaruh, tekanan, dan/atau intervensi dari pihak manapun dalam memutus perkaradi sepanjang tahun 2015?

5.31

B Independensi Hakim dalam Kaitannya dengan Manajemen Sumber Daya Hakim

5.78

B.1 Manajemen Sumber Daya Hakim 5.92

Q.09 Apakah hakim telah mempertimbangkan keterangan para pihak dan fakta persidangan dalam memutus perkara di sepanjang tahun 2015?

4.81

4.84 7

Q.10 Apakah Anda setuju bahwa seleksi hakim ad hoc (hakim yang bukan dari karier dan ditunjuk untuk menangani kasus tertentu dalam waktu tertentu karena keahliannya) sudah bebas dari KKN?

5.25

Q.11 Apakah Anda setuju bahwa seleksi hakim ad hoc sepanjang tahun 2015 telah menggunakan kriteria yang terukur?

5

109

LAMPIRAN

Q.12a Apakah Anda setuju bahwa mekanisme rekrutmen calon Hakim Konstitusi oleh DPR untuk tahun 2015 telah dilakukan secara transparan, partisipatif dan obyektif?

4.81

Q.12b Apakah Anda setuju bahwa mekanisme rekrutmen calon Hakim Konstitusi oleh Presiden untuk tahun 2015 telah dilakukan secara transparan, partisipatif dan obyektif?

4.56

Q.12c Apakah Anda setuju bahwa mekanisme rekrutmen calon Hakim Konstitusi oleh MA untuk tahun 2015, telah dilakukan secara transparan, partisipatif dan obyektif?

4.63

Q.13 Apakah Anda setuju bahwa pelaksanaan promosi dan mutasi hakim sepanjang tahun 2015 telah obyektif dan transparan?

4.38

Q.14 Apakah Anda setuju bahwa penentuan peserta pendidikan dan pelatihan bagi hakim oleh pejabat pengadilan sepanjang tahun 2015 telah dilakukan secara obyektif dan transparan?

4.63

B.2 Manajemen Pengawasan Hakim 5.,64

Q.15 Apakah pengawasan oleh MA terhadap dugaan pelanggaran etika dan perilaku hakim sepanjang tahun 2015, sudah berjalan efektif?

4.31

4.79 6.5

Q.16 Apakah pengawasan oleh Pengadilan Tinggi (di lingkungan peradilan umum, agama, dan Tata Usaha Negara) terhadap dugaan pelanggaran etika dan perilaku hakim sepanjang tahun 2015 sudah berjalan efektif?

4.31

Q.17 Apakah pengawasan oleh KY terhadap dugaan pelanggaran etika dan perilaku hakim sepanjang tahun 2015 sudah berjalan efektif?

4.94

Q.18 Apakah Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sepanjang tahun 2015 telah bersinergi dalam menangani pengaduan masyarakat?

4.56

Q.19 Apakah pengawasan terhadap Hakim Konstitusi oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sepanjang tahun 2015 telah berjalan efektif?

5.81

C Independensi hakim dalam kaitannya dengan kebijakan kelembagaan 6.1

C.1 Sarana Prasarana dan Anggaran Pengadilan 5.45

Q.20.a Apakah Anda setuju bahwa gedung pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?

6.695.45 n/a

Q.20.b Apakah Anda setuju bahwa ruang hakim di pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?

6.38

110

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Q.20.c Apakah Anda setuju bahwa ruang tunggu para pihak di pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?

5.38

Q.20.d Apakah Anda setuju bahwa ruang sidang di pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?

6.13

Q.20.e Apakah Anda setuju bahwa perangkat Teknologi Informasi di pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?

4.88

Q.20.f Apakah Anda setuju bahwa kendaraan operasional di pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?

4.63

Q.20.g Apakah Anda setuju bahwa rumah dinas di pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?

5.13

Q.21 Apakah Anda setuju bahwa kapasitas dan integritas pegawai pengadilan (kepaniteraan) telah mendukung independensi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara di sepanjang tahun 2014?

4.38

Q.22 Apakah Anda setuju bahwa ketersediaan anggaran di pengadilan di Provinsi Anda sudah mendukung kinerja hakim?

5.5

C.2 Fasilitas Pengamanan dan Gaji Hakim 6.75

Q.23 Apakah Anda setuju bahwa jaminan keamanan bagi hakim di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 sudah memadai?

6

6.75 n/a

Q.24 Apakah Anda setuju bahwa hak keuangan hakim sudah layak?

7.5

D Independensi hakim terhadap pengaruh dari publik dan media massa 5.59

Q.25 Apakah Anda setuju bahwa hakim dalam mengadili dan memutus perkara sepanjang tahun 2015 tidak terpengaruh oleh pemaksaan dari kelompok masyarakat yang berkepentingan?

5.5

5.59 n/a

Q.26 Apakah Anda setuju bahwa hakim dalam mengadili dan memutus perkara telah independen dari pemberitaan media massa?

5.69

111

LAMPIRAN

Pertanyaan Skor Survei

Skor Rata2 Survei

Skor Doku-men

Skor Sub Indi-kator

Skor Indi-kator

Skor Prin-sip

IndeksPrin-sip

AKSES TERHADAP KEADILAN 5.96 0.89

I Keterbukaan Informasi 5.71

Q.01 Apakah Anda setuju bahwa dalam tahap penyidikan dalam sistem peradilan pidana, sepanjang tahun 2015, masyarakat di tempat Anda dapat dengan mudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan?

4.63

5.91 5.5

Q.02 Apakah Anda setuju bahwa apabila masyarakat mengalami masalah dalam mengakses informasi pada tahap penyidikan sepanjang tahun 2015, dan kemudian melakukan keberatan, sudah direspon dengan baik?

4.88

Q.03 Apakah Anda setuju bahwa pada tahap penuntutan dalam sistem peradilan pidana sepanjang tahun 2015, masyarakat di tempat Anda mudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan?

4.38

Q.04 Apakah Anda setuju bahwa apabila masyarakat mendapatkan masalah dalam mengakses informasi pada tahap penuntutan sepanjang tahun 2015, dan melakukan keberatan, sudah direspon dengan baik?

4.75

Q.05 Apakah Anda setuju bahwa dalam proses beracara di pengadilan sepanjang tahun 2015, masyarakat di tempat Anda mudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan?

5.75

Q.06 Apakah Anda setuju bahwa untuk sepanjang tahun 2015, jika masyarakat mendapatkan masalah dalam mengakses informasi dalam proses beracara di pengadilan, dan melakukan keberatan, sudah direspon dengan baik?

5.06

Q.07.a Bagaimana akses informasi Panggilan Sidang oleh publik dalam proses beracara di pengadilan?

8.83

Q.07.b Bagaimana akses informasi jadwal sidang oleh publik dalam proses beracara di pengadilan?

8.99

Q.07.c Bagaimana akses informasi Salinan Putusan Pengadilan oleh publik dalam proses beracara di pengadilan?

5.94

II Peradilan yang Cepat dan Terjangkau 6.61

Q.08.a Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa proses Peradilan Pidana di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 sudah berjalan dengan cepat?

5.69

5.73 7.5

112

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Q.08.b Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa proses Peradilan Perdata di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 sudah berjalan dengan cepat?

5.06

Q.08.c Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa proses Peradilan Agama di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 sudah berjalan dengan cepat?

7.56

Q.08.d Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa proses Peradilan Tata Usaha Negara di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 sudah berjalan dengan cepat?

7

Q.08.e Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa proses Peradilan Militer di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 sudah berjalan dengan cepat?

3.56

Q.10.a Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa biaya berproses di Peradilan Perdata di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 terjangkau oleh semua kalangan?

4.44

Q.10.b Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa biaya berproses di Peradilan Agama di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 terjangkau oleh semua kalangan?

6.63

Q.10.c Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa biaya berproses di Peradilan Tata Usaha Negara di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 terjangkau oleh semua kalangan?

6.25

Q.10.d Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa biaya berproses di Peradilan Militer di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 terjangkau oleh semua kalangan?

3.31

Q.12.a Apakah Anda setuju dengan pernyataan jika masyarakat beracara di Peradilan Umum di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015, lokasinya dapat dengan mudah dijangkau?

7.13

Q.12.b Apakah Anda setuju dengan pernyataan jika masyarakat beracara di Peradilan Agama di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 lokasinya dapat dengan mudah dijangkau?

6.81

Q.12.c Apakah Anda setuju dengan pernyataan jika masyarakat beracara di Peradilan Tata Usaha Negara di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015, lokasinya dapat dengan mudah dijangkau?

6.25

Q.12.d Apakah Anda setuju dengan pernyataan jika masyarakat beracara di Peradilan Militer di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015, lokasinya dapat dengan mudah dijangkau?

4.75

113

LAMPIRAN

III Ketersediaan Bantuan Hukum 5.55

Q.14 Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa sepanjang tahun 2015 negara sudah menyediakan bantuan hukum bagi warga negara yang berhak?

6.56

5.61 5.5

Q.15 Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa bantuan hukum yang disediakan oleh negara di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 sudah berjalan efektif?

5.56

Q.16.a Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa sepanjang tahun 2015 negara sudah menyediakan bantuan hukum bagi kelompok difabel?

4.75

Q.16.b Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa sepanjang tahun 2015 negara sudah menyediakan bantuan hukum bagi kelompok anak?

6.5

Q.16.c Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa sepanjang tahun 2015 negara sudah menyediakan bantuan hukum bagi kelompok perempuan?

6.31

Q.16.d Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa sepanjang tahun 2015 negara sudah menyediakan bantuan hukum bagi kelompok masyarakat adat?

5

Q.16.e Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa sepanjang tahun 2015 negara sudah menyediakan bantuan hukum bagi kelompok minoritas?

4.56

114

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Pertanyaan Skor Survei

Skor Rata2 Survei

Skor Doku-men

Skor Indikator

Skor Prinsip

IndeksPrinsip

PRINSIP PENGAKUAN, PERLINDUNGAN, DAN PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA 3.82 0.55

I Perlindungan Hak Atas Hidup

Q.01 Apakah menurut Anda peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional yang berlaku pada tahun 2015 dan yang menjamin terpenuhinya hak atas hidup, sudah memadai?

5.56

5.13 1.9 3.51

Q.02 Bagaimana menurut Anda perubahan tingkat penerapan hukuman mati oleh pengadilan di Indonesia untuk sepanjang tahun 2015?

5.19

Q.03 Sepengetahuan Anda, di sepanjang tahun 2015, bagaimana pemberian grasi oleh Presiden terhadap terpidana mati?

5.5

Q.04.a Apakah anda setuju bahwa hukuman mati paling banyak diterapkan terhadap tindak pidana korupsi?

6.06

Q.04.b Apakah anda setuju bahwa hukuman mati paling banyak diterapkan terhadap tindak pidana terorisme?

5.44

Q.04.c Apakah anda setuju bahwa hukuman mati paling banyak diterapkan terhadap tindak pidana Narkoba?

5

Q.04.d Apakah anda setuju bahwa hukuman mati paling banyak diterapkan terhadap tindak pidana pembunuhan berencana?

5.31

Q.04.e Apakah anda setuju bahwa hukuman mati paling banyak diterapkan terhadap tindak pidana pemerkosaan?

6

Q.05 Apakah di daerah Anda penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) yang menyebabkan kematian untuk sepanjang tahun 2015, masih merupakan pilihan oleh aparat penegak hukum?

4.88

Q.06.a Apakah anda setuju bahwa penggunaan kekuatan berlebihan yang menyebabkan kematian di Propinsi Anda seringkali dilakukan oleh pihak Kepolisian?

4.38

Q.06.b Apakah anda setuju bahwa penggunaan kekuatan berlebihan yang menyebabkan kematian di Propinsi Anda seringkali dilakukan oleh pihak militer?

4.94

Q.06.c Apakah anda setuju bahwa penggunaan kekuatan berlebihan yang menyebabkan kematian di Propinsi Anda seringkali dilakukan oleh pihak polisi pamong praja?

6.25

Q.06.d Apakah anda setuju bahwa penggunaan kekuatan berlebihan yang menyebabkan kematian di Propinsi Anda seringkali dilakukan oleh pihak keamanan swasta?

5.5

115

LAMPIRAN

Q.06.e Apakah anda setuju bahwa penggunaan kekuatan berlebihan yang menyebabkan kematian di Propinsi Anda seringkali dilakukan oleh pihak lain-lain?

2.19

Q.07 Menurut Anda, apakah pemulihan hak bagi keluarga korban penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat penegak hukum yang menyebabkan kematian terhadap seseorang, sudah berjalan efektif?

4.7

II Jaminan Atas Hak Untuk Bebas Dari Penyiksaan

Q.08 Apakah menurut Anda, di sepanjang tahun 2015, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan sudah memadai?

4.13

3.97 2 2.99

Q.09 Apakah menurut Anda, di sepanjang tahun 2015, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin hak untuk bebas dari perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan kemanusiaan sudah memadai?

3.96

Q.10 Apakah Anda setuju bahwa saat ini peraturan perundang-undangan dan kebijakan di Propinsi Anda, membatasi hak untuk bebas dari penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia?

4.88

Q.11.a Apakah Anda setuju bahwa di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di Tempat Penahanan Kepolisian sepanjang tahun 2015?

4

Q.11.b Apakah Anda setuju bahwa di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di Tempat Penahanan Militer sepanjang tahun 2015?

3.31

Q.11.c Apakah Anda setuju bahwa di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di Rumah Tahanan Negara sepanjang tahun 2015?

4.56

Q.11.d Apakah Anda setuju bahwa di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di Lembaga Pemasyarakatan sepanjang tahun 2014?

5.06

Q.11.e Apakah Anda setuju bahwa di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di Rumah Tahanan Imigrasi sepanjang tahun 2015?

4.5

116

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Q.11.f Apakah Anda setuju bahwa di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di Asrama-asrama PJTKI sepanjang tahun 2015?

3.75

Q.11.g Apakah Anda setuju bahwa di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di tempat lain sepanjang tahun 2015?

0.63

Q.12 Apakah Anda setuju bahwa Pemerintah Pusat dan/atau Pemda Propinsi Anda telah melakukan upaya yang memadai untuk mengawasi tempat-tempat penahanan dan/atau penampungan, dalam rangka mencegah terjadinya praktik-praktik penyiksaan dan penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, untuk sepanjang tahun 2015?

4.5

Q.13 Apakah Anda setuju bahwa ketika terjadi praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia terhadap seseorang di sepanjang tahun 2015, Pemerintah, melalui aparat-aparat penegak hukumnya, baik di wilayah sipil dan militer, telah melakukan proses hukum yang efektif terhadap para pelakunya?

4.38

Q.14 Menurut Anda, apakah pemulihan bagi korban praktik-praktik penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yang terjadi sepanjang tahun 2015, sudah berjalan efektif?

4

III Jaminan Perlindungan atas Hak untuk Tidak Diperbudak

Q.15 Apakah menurut Anda, sepanjang tahun 2015, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin hak setiap warga negaranya untuk tidak dipekerjakan secara paksa di luar kehendaknya sendiri, sudah memadai?

5.69

4.15 4 4.08

Q.16.a Apakah Anda setuju bahwa sepanjang tahun 2015, kerja paksa di luar kehendak pekerja yang bersangkutan masih sering terjadi di Propinsi Anda?

4.38

Q.16.b Apakah Anda setuju bahwa sepanjang tahun 2015, pemaksaan dan eksploitasi kerja atas diri seseorang untuk pelunasan hutang-piutang masih sering terjadi di Propinsi Anda?

4.75

Q.16.c Apakah Anda setuju bahwa sepanjang tahun 2015, pemaksaan atas diri seseorang untuk bekerja sebagai pekerja seks masih sering terjadi di Propinsi Anda?

4.94

117

LAMPIRAN

Q.16.d Apakah Anda setuju bahwa sepanjang tahun 2015, pemaksaan dan eksploitasi kerja terhadap anak-anak di bawah usia 18 tahun masih sering terjadi di Propinsi Anda?

4.56

Q.17.a Sepengetahuan Anda, untuk sepanjang tahun 2015, apakah sektor Pertanian/Perkebunan/Perikanan/Pertambakan memiliki tingkat praktik perbudakan yang tinggi, khususnya terhadap anak di bawah umur, di Propinsi Anda?

5.06

Q.17.b Sepengetahuan Anda, untuk sepanjang tahun 2015, apakah sektor industri jasa seks memiliki tingkat praktik perbudakan yang tinggi, khususnya terhadap anak di bawah umur, di Propinsi Anda?

4.31

Q.17.c Sepengetahuan Anda, untuk sepanjang tahun 2015, apakah sektor mengamen/mengemis/mengasong barang dagangan, serta pekerjaan-pekerjaan jalanan lainnya memiliki tingkat praktik perbudakan yang tinggi, khususnya terhadap anak di bawah umur, di Propinsi Anda?

4.38

Q.17.d Sepengetahuan Anda, untuk sepanjang tahun 2015, apakah sektor pemberian jasa domestik (pekerjaan rumah tangga) memiliki tingkat praktik perbudakan yang tinggi, khususnya terhadap anak di bawah umur, di Propinsi Anda?

5.13

Q.17.e Sepengetahuan Anda, untuk sepanjang tahun 2015, apakah sektor lain-lain memiliki tingkat praktik perbudakan yang tinggi, khususnya terhadap anak di bawah umur, di Propinsi Anda?

0.81

Q.18 Apakah pemulihan terhadap korban praktik-praktik perbudakan pada nomor 17 telah berjalan secara efektif?

3.69

Q.19.a Apakah Anda setuju bahwa sepanjang tahun 2015, Pemerintahan Propinsi Anda telah melakukan upaya-upaya yang efektif untuk mencegah terjadinya praktik-praktik perbudakan, khususnya bagi anak, di dalam bidang Pertanian/Perkebunan/Perikanan/Pertambakan?

4.13

Q.19.b Apakah Anda setuju bahwa sepanjang tahun 2015, Pemerintahan Propinsi Anda telah melakukan upaya-upaya yang efektif untuk mencegah terjadinya praktik-praktik perbudakan, khususnya bagi anak, di dalam industri jasa seks?

4.5

Q.19.c Apakah Anda setuju bahwa sepanjang tahun 2015, Pemerintahan Propinsi Anda telah melakukan upaya-upaya yang efektif untuk mencegah terjadinya praktik-praktik perbudakan, khususnya bagi anak, di dalam mengamen/mengemis/mengasong barang dagangan, serta pekerjaan-pekerjaan jalanan lainnya?

4.5

118

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Q.19.d Apakah Anda setuju bahwa sepanjang tahun 2015, Pemerintahan Propinsi Anda telah melakukan upaya-upaya yang efektif untuk mencegah terjadinya praktik-praktik perbudakan, khususnya bagi anak, di dalam pemberian jasa domestik (pekerjaan rumah tangga)?

4.44

Q.19.e Apakah Anda setuju bahwa sepanjang tahun 2015, Pemerintahan Propinsi Anda telah melakukan upaya-upaya yang efektif untuk mencegah terjadinya praktik-praktik perbudakan, khususnya bagi anak, di dalam bidang lain-lain?

0.88

Q.20 Apakah Anda sangat setuju, setuju, kurang setuju, atau tidak setuju bahwa untuk sepanjang tahun 2015, Pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, telah menyelenggarakan proses hukum yang efektif terhadap praktik-praktik perbudakan?

4.5

IV Jaminan Perlindungan atas Hak untuk Tidak Dipenjara Berdasarkan Kewajiban Kontraktual

3.75

Q.21 Apakah menurut Anda di sepanjang tahun 2015 peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin hak setiap warga negaranya untuk tidak dipenjara atas ketidakmampuannya dalam memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh suatu perjanjian/kontrak sudah memadai?

4.19

3.75 n/a

Q.22 Apakah Anda setuju bahwa untuk sepanjang tahun 2015, masih banyak terjadi praktik-praktik pemenjaraan terhadap orang akibat ketidakmampuannya di dalam memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh suatu perjanjian/kontrak tertentu?

4.31

Q.23 Apakah Anda setuju bahwa, sepanjang tahun 2015, Pemerintah, khususnya aparat penegak hukum, telah secara maksimal mengupayakan pencegahan terhadap praktik pemenjaraan atas ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kewajiban yang ditentukan berdasarkan suatu perjanjian/kontrak?

3.75

Q.24 Menurut Anda, apakah mekanisme pemulihan korban praktik-praktik pemenjaraan atas ketidakmampuan seseorang di dalam memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh suatu perjanjian/kontrak yang terjadi sepanjang tahun 2014, telah berjalan efektif?

2.75

V Jaminan Perlindungan atas Hak Untuk Tidak Dihukum Berdasarkan Tindakan Bukan Kejahatan

4.38

Q.25 Apakah menurut Anda, sepanjang tahun 2015, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang tidak diatur sebagai kejahatan oleh hukum nasional/internasional, sudah memadai?

5.06

4.38 n/a

119

LAMPIRAN

Q.26 Apakah di Provinsi Anda masih ada praktik penghukuman atas suatu tindakan yang tidak diatur sebagai tindak pidana oleh hukum nasional/internasional di sepanjang tahun 2015?

6

Q.27 Menurut Anda, apakah mekanisme pemulihan korban praktik-praktik penghukuman atas suatu tindakan yang tidak diatur sebagai kejahatan oleh hukum nasional/internasional, yang terjadi sepanjang tahun 2015, telah berjalan efektif?

2.06

VI Jaminan Kebebasan Berpikir, Beragama dan Berkeyakinan 4.22

Q.28.a Apakah menurut Anda, sepanjang tahun 2015, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin kebebasan berpikir sudah memadai?

6.19 5.19 3.25

Q.28.b Apakah menurut Anda, sepanjang tahun 2015, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin kebebasan beragama sudah memadai?

5.31

Q.28.c Apakah menurut Anda, sepanjang tahun 2015, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin kebebasan berkeyakinan sudah memadai?

5.19

Q.29.a Apakah menurut Anda peraturan perundang-undangan dan atau kebijakan di Propinsi Anda masih membatasi hak kebebasan berpikir?

6.94

Q.29.b Apakah menurut Anda peraturan perundang-undangan dan atau kebijakan di Propinsi Anda masih membatasi hak kebebasan beragama?

6.69

Q.29.c Apakah menurut Anda peraturan perundang-undangan dan atau kebijakan di Propinsi Anda masih membatasi hak kebebasan berkeyakinan?

6.5

Q.30.a Apakah di Propinsi Anda masih terjadi praktik pelanggaran dan kekerasan untuk membatasi kebebasan berpikir sepanjang tahun 2015?

6.31

Q.30.b Apakah di Propinsi Anda masih terjadi praktik pelanggaran dan kekerasan untuk membatasi kebebasan beragama sepanjang tahun 2015?

5.56

Q.30.c Apakah di Propinsi Anda masih terjadi praktik pelanggaran dan kekerasan untuk membatasi kebebasan berkeyakinan sepanjang tahun 2015?

5.63

Q.31.a Apakah Anda setuju bahwa, sepanjang tahun 2015, pelaku-pelaku utama pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran berpikir yang berbeda/minoritas adalah Aparat Penegak Hukum?

4.63

Q.31.b Apakah Anda setuju bahwa, sepanjang tahun 2015 pelaku-pelaku utama pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran berpikir yang berbeda/minoritas adalah Polisi Pamong Praja?

5.63

120

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2015

Q.31.c Apakah Anda setuju bahwa, sepanjang tahun 2015, pelaku-pelaku utama pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran berpikir yang berbeda/minoritas adalah Kelompok Masyarakat tertentu?

4.56

Q.31.d Apakah Anda setuju bahwa, sepanjang tahun 2015, pelaku-pelaku utama pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran berpikir yang berbeda/minoritas adalah Aparat Pemerintah lainnya?

4.81

Q.32.a Apakah Anda setuju bahwa, sepanjang tahun 2015, pelaku-pelaku utama pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran beragama yang berbeda/minoritas adalah Aparat Penegak Hukum?

6.25

Q.32.b Apakah Anda setuju bahwa, sepanjang tahun 2015, pelaku-pelaku utama pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran beragama yang berbeda/minoritas adalah Polisi Pamong Praja?

4.88

Q.32.c Apakah Anda setuju bahwa, sepanjang tahun 2015 pelaku-pelaku utama pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran beragama yang berbeda/minoritas adalah Kelompok Masyarakat tertentu?

7.31

Q.32.d Apakah Anda setuju bahwa, sepanjang tahun 2015, pelaku-pelaku utama pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran beragama yang berbeda/minoritas adalah Aparat Pemerintah lainnya?

5.25

Q.33.a Sepanjang tahun 2015, pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, telah secara maksimal mengusut, mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran dan/atau kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran berpikir yang berbeda/minoritas?

3.75

Q.33.b Sepanjang tahun 2015, pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, telah secara maksimal mengusut, mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran dan/atau kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran beragama yang berbeda/minoritas?

4

Q.33.c Sepanjang tahun 2015, pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, telah secara maksimal mengusut, mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran dan/atau kekerasan terhadap kelompok yang memiliki aliran berkeyakinan yang berbeda/minoritas ?

4.13

Q.34.a Apakah mekanisme pemulihan terhadap korban kekerasan kebebasan berpikir di sepanjang tahun 2015, telah berjalan efektif?

3.31

121

LAMPIRAN

Q.34.b Apakah mekanisme pemulihan terhadap korban kekerasan kebebasan beragama di sepanjang tahun 2015, telah berjalan efektif?

3.25

Q.34.c Apakah mekanisme pemulihan terhadap korban kekerasan kebebasan berkeyakinan di sepanjang tahun 2015, telah berjalan efektif?

3,31`

122

123

Manajer Program

Erwin Natosmal OemarBergabung sebagai peneliti di lembaga penelitian hukum Indonesian Legal Roundtable sejak tahun 2012. Menyelesaikan sarjana hukum dari Universitas Gadjah Mada (2011). Mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM (2007) ini memulai karir sebagai asisten pembela umum di LBH Yogyakarta (2008-2009), dan kemudian bekerja sebagai peneliti lepas di beberapa lembaga riset serta editor di Genta Publishing (2010-2012). Selain sebagai peneliti, ia juga seorang advokat dan saat ini dipercaya sebagai salah seorang koordinator nasional jejaring advokat publik di Public Interest Lawyer Network (PilNet) Indonesia (2014-2017).

Peneliti

Andi KomaraAndi menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2014 dan bergabung di ILR pada tahun 2016. Sebelum bergabung dengan ILR pernah menjadi Asisten Pengacara Publik di LBH Jakarta dan Staf Advokasi di Rimbawan Muda Indonesia (RMI). Semasa kuliah aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Moot Court Community (MCC), Business Law Community (BLC), AMPUH dan sempat menjadi Sekretaris Himpunan Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain aktif organisasi Andi pun pernah mengikuti lomba debat dan menjadi Juara 2 Lomba Debat Hukum Agraria Piala Prof. Boedhi Harsono di Universitas Trisakti pada 2012.

Profil Peneliti

124

Andri GunawanAndri menjadi peneliti di ILR sejak September 2012. Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2003) dan sedang menempuh studi pasca-sarjana Administrasi Kebijakan Publik di universitas yang sama. Pernah menjadi peneliti di Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (2002-2010) dan masih tergabung dalam Tim Pembaruan Kejaksaan sejak Oktober 2006. Saat ini juga menjadi Tenaga Ahli untuk anggota DPR RI di Komisi III.

Muhammad Indra LesmanaBergabung di ILR sejak awal 2016. Menyelesaikan sarjana hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) tahun 2015. Selama menjadi mahasiswa aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Kelompok Studi Penelitian (KSP) "Principium" dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

NabilaBergabung sebagai peneliti di Indonesian Legal Roundtable sejak 2015. Menyelesaikan sarjana hukum dari Universitas Indonesia (2015). Selama menjalani dunia perkuliahan, Ia aktif di dalam kegiatan akademik maupun non-akademik. Ia sering diminta untuk menjadi moderator dan pembawa acara di setiap kegiatan fakultas/Universitas serta menjadi asisten peneliti di FHUI. Pemudi yang satu ini sangat konsen terhadap isu-isu hukum tata negara, politik, hukum Islam dan korupsi. Sejak tahun 2014 - saat ini, dia diamanahi sebagai Ketua Bidang Pelatihan, Penyuluhan dan Konsultasi Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam FHUI.

Yasmin PurbaMenyelesaikan sarjana hukum dari Universitas Atmajaya, Jakarta. Memperoleh gelar LLM dari University of Notre Dame, USA. Memulai karir di bidang hak asasi manusia sejak tahun 2003 dan saat ini menjabat sebagai Direktur Program YLBHI.

125

Profil INDONESIAN LEGAL ROUNDTABLE (ILR)

A. LATAR BELAkAng

Dunia hukum dan peradilan Indonesia saat ini dipenuhi kontroversi demi kontroversi. Apabila dirangkum dalam suatu kesimpulan umum, berbagai kontroversi tersebut dapat dilihat mulai dari materi peraturan perundang-undangan yang tidak jelas nilai dan ideologi yang dianutnya serta multi makna dalam penafsirannya, sampai dengan kinerja lembaga peradilan yang sering kali melukai rasa keadilan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan apabila banyak pihak yang mengatakan bahwa tujuan hukum untuk memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan akhirnya hanya berlaku di atas kertas saja.

Beberapa contoh dari kebobrokan dunia hukum dan peradilan juga dapat dilihat dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat, di mana diperoleh data bahwa aktor-aktor yang terlibat pun sudah demikian luas, yaitu dimulai dari seluruh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, sipir penjara dan advokat), pegawai administrasi dengan pangkat tertinggi sampai dengan pangkat terendah di lembaga penegakan hukum, politisi pembuat peraturan perundang-undangan sampai dengan kalangan intelektual yang menjadi saksi ahli.

Fakta yang secara selintas disebutkan di atas menyebabkan berbagai laporan lembaga di dalam maupun luar negeri yang menyebutkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi

126

di dunia menjadi cukup valid dan tidak dapat disanggah sama sekali. Bahkan Daniel Kauffmann, dalam laporannya yang secara khusus menyoroti praktek korupsi di lembaga peradilan, menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang berada pada posisi yang cukup memprihatinkan berkaitan dengan kinerja aparat pada lembaga penegakan hukumnya.

Bentuk-bentuk korupsi di lembaga peradilan sendiri menurut deklarasi International Bar Association (IBA), secara umum adalah tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat). Sedangkan secara khusus dapat dilakukan dalam bentuk mencari atau menerima berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti: suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas pengadilan, perubahan dengan sengaja berkas pengadilan, memperlambat proses pengadilan, pemanfaatan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi, pertimbangan yang keliru, sikap tunduk kepada campur tangan luar/dalam pada saat memutus perkara karena adanya tekanan, ancaman, nepotisme, conflict of interest, favoritisme, kompromi dengan advokat serta tunduk kepada kemauan pemerintah dan partai politik. Praktek-praktek judicial coruption ini secara kolektif dikenal dengan sebutan mafia peradilan.

Sebagai suatu sistem, kinerja aparat penegak hukum sekarang ini memang berada pada titik nadir yang cukup mengkhawatirkan. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan seolah-olah sudah tidak dapat lagi menjadi media kontrol bagi para penegak hukum tersebut untuk kemudian melakukan berbagai perbaikan yang signifikan bagi terciptanya suatu kinerja yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat. Sayangnya lagi pemerintahan yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat tidak memiliki sense of crisis terhadap persoalan hukum. Yang terjadi malah political interest lebih menonjol ketimbang komitmen dan political will yang sungguh-sungguh untuk memperkuat law enforcement dan rule of law. Tak jarang dari banyak fakta atau kasus, justru political interest ini yang menjadi penghambat jalannya penegakan hukum.

Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah dipaparkan di atas, yang sebenarnya masih sangat singkat dan sederhana apabila

127

dibandingkan dengan fakta yang terjadi secara terus-menerus dan sistemik di lapangan, kami berpikir perlu ada suatu lembaga yang secara menyeluruh dan sistemik melakukan berbagai kajian atas berbagai masalah hukum tersebut dan menawarkan solusi pemecahannya. Sehingga diharapkan pada akhirnya secara bertahap semua per-masalahan yang seperti benang kusut tersebut sedikit demi sedikit dapat terurai dan hukum yang bertujuan untuk memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan akhirnya berlaku juga di lapangan.

Kondisi demikian bukanlah sesuatu yang datang dalam sekejap, tetapi telah berlangsung sekian lama, sistematis, dan seperti tak berkesudahan. Hampir satu dasawarsa seiring dengan euforia reformasi, namun perubahan hukum belum membuahkan hasil yang memuaskan dan berpengaruh secara signifikan. Melengkapi upaya yang telah dilakukan sejumlah kalangan, kami hadir untuk mendorong dan memperkuat proses perubahan hukum yang telah berjalan. Selain mencoba memberikan sesuatu yang lebih bermakna bagi sebuah pencapaian rule of law dan keadilan yang lebih luas.

B. nAMA LEMBAgA

INDONESIAN LEGAL ROUNDTABLE (ILR), dengan badan hukum berbentuk Yayasan.

C. sIFAT

Indonesia Legal Roundtable (ILR) adalah lembaga yang bersifat independen.

D. vIsI

Tercapainya hukum yang demokratis, responsif dan berkeadilan serta menghargai hak asasi manusia.

E. MIsI

1. Merumuskan ide dan gagasan baru tentang hukum serta perubahan hukum yang diperlukan bagi penguatan demokrasi, hak asasi dan rule of law yang berkeadilan.

2. Mendorong dan memfasilitasi peran civil society untuk terlibat secara aktif dalam proses perubahan dan penegakan hukum.

128

3. Melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk membangun kesadaran dan awarness publik terhadap perubahan hukum.

F. pRogRAM kERjA

1. Annual Report tentang Rule of Law Index 2. Interim report (Policy Papers) tentang berbagai permasalahan

hukum dan peradilan.

g. METoDE kERjA

1. Survei2. Riset3. Roundtable Discussions

h. sTRukTuR oRgAnIsAsI

Direktur Eksekutif : Todung Mulya LubisSekretaris Eksekutif : Firmansyah ArifinPeneliti : A. Irmanputra Sidin : Alexander Lay : Andi Komara : Andri Gunawan : Asep Rahmat Fajar : Erwin Natosmal Oemar : Maria Louisa Krisnanti : NabilaAsisten Peneliti : M. Indra Lesmana Staf Keuangan : Kiki PranasariStaf Administrasi : Jafar Tasdik