indeks kemahalan konstruksi

42
1. LATAR BELAKANG 1.1. Otonomi Daerah Pembangunan Bangsa Indonesia selama ini diarahkan untuk membangun tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia dengan melakukan berbagai pembangunan fisik yang sekaligus secara bertahap berupaya mengurangi tingkat kemiskinan. Pembangunan fisik yang dilakukan tersebar di seluruh daerah diharapkan dapat membawa perubahan pada tingkat kesejahteraan masyarakat secara merata. Pembangunan fisik berupa gedung-gedung perkantoran dan pemukiman penduduk, sarana transportasi, tempat ibadah, maupun tempat untuk kegiatan sosial masyarakat yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan masyarakat di berbagai bidang terus mengalami perkembangan yang dinamis sesuai dengan gerak roda perekonomian daerah masing-masing. Untuk mendukung keberhasilan pembangunan nasional tersebut, pemerintah telah menempuh kebijakan Otonomi Daerah yang ditujukan agar hasil-hasil pembangunan dapat dirasakan secara merata dan adil. Selama lima tahun terakhir ini telah terjadi perubahan mendasar pada penyelenggaraan pemerintahan baik di Pusat maupun 1

Upload: iwan-irwan-arnol

Post on 08-Aug-2015

674 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Indeks Kemahalan Konstruksi

1. LATAR BELAKANG

1.1. Otonomi Daerah

Pembangunan Bangsa Indonesia selama ini diarahkan untuk

membangun tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia dengan

melakukan berbagai pembangunan fisik yang sekaligus secara

bertahap berupaya mengurangi tingkat kemiskinan. Pembangunan

fisik yang dilakukan tersebar di seluruh daerah diharapkan

dapat membawa perubahan pada tingkat kesejahteraan masyarakat

secara merata. Pembangunan fisik berupa gedung-gedung

perkantoran dan pemukiman penduduk, sarana transportasi, tempat

ibadah, maupun tempat untuk kegiatan sosial masyarakat yang

diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan masyarakat di

berbagai bidang terus mengalami perkembangan yang dinamis

sesuai dengan gerak roda perekonomian daerah masing-masing.

Untuk mendukung keberhasilan pembangunan nasional tersebut,

pemerintah telah menempuh kebijakan Otonomi Daerah yang

ditujukan agar hasil-hasil pembangunan dapat dirasakan secara

merata dan adil.

Selama lima tahun terakhir ini telah terjadi perubahan

mendasar pada penyelenggaraan pemerintahan baik di Pusat maupun

Daerah. Perubahan tersebut mencakup antara lain : system

pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik (Undang-Undang

No. 22 tahun 1999), struktur organisasi pemerintahan di pusat

1

Page 2: Indeks Kemahalan Konstruksi

maupun di daerah (Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001),

perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah (Undang-Undang

No. 25 tahun 1999), beserta perubahan instrument kebijakan

pemerintah yang menyertainya (dituangkan dalam Peraturan

Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan

daerah (Perda) untuk mengatur tata cara pelimpahan kewenangan

pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam rangka otonomi

daerah dan transformasi pengelolaan keuangan dan anggaran

pendapatan dan belanja daerah (APBD). Semuanya itu membawa

perubahan nyata dan cepat (baca progresif) pada system hukum,

kelembagaan, penyelengaraan pemerintahan daerah, dan manajemen

keuangan dan pelayanan masyarakat yang menjadi tugas dan fungsi

utama pemerintah daerah yang berlaku selama ini.

Transformasi kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah

pusat ke pemerintah daerah, seperti yang diamanatkan oleh

undang-undang dalam rangka pemberdayaan dan kemandirian daerah

untuk melayani kebutuhan masyarakatnya, selama dua tahun

terakhir ini belum mencapai sasaran yang diinginkan karena

belum siapnya infrastruktur, kelembagaan dan sumber daya daerah

serta masih belum mantapnya konsep dan menyatunya persepsi

pada tataran pelaksanaan. Landasan hukum dan perangkat aturan

yang ada dalam membagi hak dan kewajiban masing-masing pihak

seolah-olah tumpul menghadapi berbagai macam aspirasi dan

tingkat kepentingan. Perbedaan persepsi dan sudut pandang

2

Page 3: Indeks Kemahalan Konstruksi

antara perencanaan di pemerintah pusat dan aparat daerah, dan

antara legislatif dan executif baik di tingkat pusat maupun

daerah masih lebar dan menjadi kendala utama belum lancarnya

program/upaya transformasi tersebut.

Otonomi daerah yang dilaksanakan sejak 1 Januari 2001

memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab

kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan

pembangunan di daerahnya masing-masing dalam melayani kebutuhan

masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung

pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut, kepada Pemerintahan Daerah

diberikan kewenangan untuk mendayagunakan potensi keuangan

daerah sendiri serta sumber keuangan lain seperti perimbangan

keuangan Pusat dan daerah yang berupa Dana Bagi Hasil Pajak dan

Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus

(DAK).

Selama beberapa tahun terakhir, DAU merupakan sumber

pendapatan utama Pemerintah Daerah. Azas kesenjangan fiskal

(fiskal gap) yang mendasari penghitungan DAU memerlukan

dukungan data yang valid, akurat dan terkini sehingga pembagian

DAU ke daerah menjadi adil, proporsional dan merata. Selain

dari pada itu, kebutuhan dukungan data dan informasi statistik

yang lengkap tidak hanya diperlukan oleh Lembaga Eksekutif

tetapi juga Legeslatif khususnya diperlukan untuk mengukur

3

Page 4: Indeks Kemahalan Konstruksi

kinerja Eksekutif. Sehubungan dengan keperluan itu, maka pada

saat ini sangat diperlukan tersedianya data jumlah penduduk,

Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan Konstruksi

(IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tingkat

Kabupaten.

Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) sebagai salah satu

informasi yang dibutuhkan pemerintah daerah adalah informasi

yang memuat berbagai harga barang dan jasa khususnya di bidang

konstruksi. Selain sebagai salah satu komponen/variabel dasar

dalam menghitungan Dana Alokasi Umum (DAU), Indeks Kemahalan

Konstruksi juga berguna dalam mendapatkan standarisasi harga

barang dan jasa yang digunakan dalam kegiatan pembangunan.

Selain itu perkembangan harga barang dan jasa yang diikuti dari

waktu ke waktu dapat dijadikan sebagai indikator pembangunan,

baik sebagai indikator input, indukator proses ataupun

indikator output.

1.2. Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai instrument kebijakan

fiscal pemerintah mempunyai peran yang sangat strategis dalam

proses otonomi daerah. DAU diharapkan dapat menjembatani tidak

hanya kesenjangan fiscal antara pusat dan daerah (vertical

fiscal gap), tetapi juga sebagai alat pemerataan kemampuan

fiscal antar daerah (horizontal fiscal equization). Lebih dari

4

Page 5: Indeks Kemahalan Konstruksi

itu DAU merupakan instrument kebijakan pemerintah dengan

persetujuan legeslatif yang dipakai untuk menstabilkan keamanan

dari pergolakan daerah yang dipicu oleh rasa ketidakadilan

ekonomi dan social (economic and social injustice) masyarakat

daerah. Kesenjangan fiscal antara pusat dan daerah yang selama

ini menjadi isu sensitive sehubungan dengan ketidakseimbangan

pembagian hasil sumber daya alam akan diperbaiki dengan system

pembagian bagi hasil sumber daya alam yang lebih adil.

Sedangkan kesenjangan kemampuan fiscal antara daerah yang

surplus dan daerah yang defisit akan ditutup dengan DAU.

Otonomi daerah yang dimulai 1 Januari 2001, untuk pertama

kalinya menggunakan konsep DAU sesuai dengan UU No. 25 tahun

1999 dimana DAU merupakan bagian dari dana perimbangan sebagai

sumber pembiayaan daerah untuk mendukung penyelenggaraan

otonomi daerah. Formula DAU atas dasar PP No.104 tahun 2000

direalisasikan untuk pertama kalinya dengan Keppres No. 181

tahun 2000. Jumlah DAU yang dialokasikan ke daerah-daerah

sebagian besar (80 %) didasarkan atas factor penyeimbang

(balancing factor) yakni jumlah subsidi daerah otonom (SDO)

yang selama ini merupakan sumber anggaran rutin daerah dan dana

pembangunan daerah (Inpres) yang merupakan anggaran pembangunan

daerah. Peranan formula sesuai dengan PP No. 104 dalam

mengalokasikan DAU dengan sendirinya hanya 20 %.

5

Page 6: Indeks Kemahalan Konstruksi

Sejak tahun 2002 hingga saat ini, peranan formula DAU

terus ditingkatkan dan peranan dana perimbangan dikurangi untuk

meningkatkan kapasitas fiskal daerah dalam mengoptimalkan

penerimaan asli daerah (PAD) sekaligus mengurangi

ketergantungan daerah akan DAU.

1.2.1. Konsep dan Variabel DAU

a. Konsep DAU

UU No. 25 Tahun 1999 yang dijadikan dasar dalam merumuskan

dana perimbangan menyatakan bahwa pembagian keuangan antara

Pusat-daerah dan antar daerah diberikan secara merata,

proporsional demokratis, adil dan transparan dengan

memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah. Oleh

karena itu dalam perumusan Dana Alokasi Umum (DAU) harus

memenuhi kaidah-kaidah tersebut.

Dana perimbangan akan diberikan oleh pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah untuk menutupi seluruh atau sebagian

kekurangan pembiayaan kebutuhan daerah. Jadi pemerintah daerah

terlebih dahulu membiayai kebutuhan daerahnya dengan

menggunakan pendapatan asli daerah (PAD), sedangkan pemerintah

pusat hanya membantu meringankan beban tersebut. Apabila masih

terdapat kekurangan sebaiknya daerah terlebih dahulu merevisi

APBD nya dengan cara menyusun kembali daftar skala prioritas

sasaran yang akan dicapai pada tahun anggaran yang akan

6

Page 7: Indeks Kemahalan Konstruksi

berjalan agar supaya dana tersebut dapat mencukupi kebutuhan

daerah.

Kemampuan fiscal (fiscal capacity) daerah untuk menghimpun

pendapatan, pada kenyataannya, sangat bervariasi tergantung

kepada kondisi daerah masing-masing. Ada daerah yang mempunyai

sumber daya alam sebagai sumber pendapatan langsung, ada daerah

yang intensitas ekonominya tinggi sebagai sumber pendapatan

pajak daerah, tetapi ada juga daerah yang tidak memiliki

keduanya dan bergantung kepada transfer dana dari pemerintah

pusat. Dilain pihak kebutuhan berjalan (fiscal need) daerah

juga berbeda ditinjau dari pelayanan public, kondisi penduduk,

kondisi wilayah. Kebutuhan anggaran daerah ini diperbesar lagi

dengan adanya perasaan tertinggal, ketidak adilan, dan

keinginan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dengan adanya

program otonomi daerah.

Berdasarkan hal tersebut maka dipilihlah variable-variabel

yang mencerminkan besaran potensi fiscal (fiscal capacity)

daerah dan besaran kebutuhan fiscal (fiscal need) daerah.

Selisih dari kedua besaran (fiscal gap) tersebutlah yang

nantinya akan digunakan sebagai bobot daerah dalam

memproporsikan dana alokasi umum. Secara matematis hasil

rumusan tersebut memungkinkan adanya daerah yang tidak menerima

DAU dikarenakan daerah tersebut memiliki selisih sama dengan

7

Page 8: Indeks Kemahalan Konstruksi

nol atau negative. Namun untuk sementara waktu hal tersebut

dihindari dengan memakai factor penyeimbang (balancing factor)

yang merupakan alokasi minimal berupa lumpsum dan belanja

pegawai.

Jumlah DAU yang disediakan oleh pemerintah pusat adalah

sebesar 25 % dari penerimaan dalam negeri di APBN pada tahun

bersangkutan dengan rincian 10 % untuk pemerintah propinsi dan

90 % untuk pemerintah kabupaten/kota. Skema kerangka piker DAU

adalah sebagai berikut :

Diagram 1 : Kerangka Pikir DAU

b. Variabel Yang Digunakan

VARIABEL POTENSI PDRB Industri dan JasaBagi Hasil SDA, PBB, BPHTB Pph orang pribadi

VARIABEL KEBUTUHAN Jumlah PendudukLuas WilayahKepadatan PendudukIndeks Harga BangunanProverty Gap atau Jarak KemidskinanPenduduk Miskin

MODEL DAU

8

AMANAT UU 25/1999Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

POTENSI PENERIMAANPotensi IndustriPotensi SDAPotensi SDMPDRB

KEBUTUHAN FISKALJumlah PendudukLuas WilayahKeadaan GeografiPenduduk Miskin

Page 9: Indeks Kemahalan Konstruksi

1. Variabel Kebutuhan Fiskal

Variabel kebutuhan fiscal suatu daerah hendaknya dapat

mengakomodir kebutuhan suatu daerah yang digunakan untuk

pembiayaan program-program daerah dan pembangunan fasilitas

daerah seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur

dan kebutuhan pokok lainnya. Variabel-variabel yang digunakan

disini juga diharapkan mampu untuk mengakomodir kebutuhan-

kebutuhan tersebut secara umum, sehingga dapat terbentuk suatu

rumusan yang sederhana dan mudah dihitung oleh daerah dengan

data yang mudah didapatkan. Tidak ada seorangpun yang dapat

menjamin bahwa variable-variabel yang digunakan sudah 100 %

benar. Hanya saja perlu dilakukan uji variable (specification

test) lebih lanjut apakah variable-variabel tersebut signifikan

mewakili besaran kebutuhan fiscal daerah.

2. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk suatu daerah mencerminkan kebutuhan

pelayanan yang diperlukan. Pelayanan tersebut dapat meliputi

beberapa aspek, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan

lainnya. Untuk membedakan kebutuhan satu daerah dengan daerah

lain berdasarkan jumlah penduduk, maka dibuatlah indeks

penduduk. Indeks penduduk dihitung dengan cara :

9

Page 10: Indeks Kemahalan Konstruksi

dimana

= Indeks Penduduk daerah i

= Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota ke-i

= Jumlah Penduduk Rata-rata

n = Jumlah Kabupaten/Kota

3. Luas Wilayah

Daerah dengan cakupan wilayah yang luas membutuhkan

pembiayaan yang lebih besar, maka dibentuklah suatu indeks

untuk membedakan besaran luas wilayah tersebut. Hal tersebut

yang dijadikan alasan oleh penyusun untuk digunakannya variable

luas wilayah. Padahal disisi lain luas wilayah tersebut juga

merupakan potensi yang besar dalam sisi penerimaan, seperti

hutan, perkebunan, dan pertanian. Data luas wilayah menggunakan

dua sumber yaitu yang bersumber dari Badan Pusat Statistik

serta Depdagri dan Otda. Apabila terdapat perbedaan luas daerah

yang cukup besar, maka digunakan luas daerah yang memiliki

tingkat densitas yang memenuhi kewajaran. Indeks Wilayah

tersebut adalah :

Indeks Wilayah I =Luas Daerah i

Rata-rata Luas Daerah Secara Nasional

4. Kepadatan Penduduk (Densitas)

10

Page 11: Indeks Kemahalan Konstruksi

Tingkat kepadatan penduduk (densitas) dapat dihitung

menggunakan juga jumlah dibagi dengan luas wilayah

kabupaten/kota. Sedangkan rata-rata densitas Indonesia didapat

dari jumlah penduduk Indonesia dibagi dengan Luas wilayah

Indonesia, sehingga indeksnya adalah :

Indeks Density I =Density Daerah i

Rata-rata Density Nasional

Wilayah yang luas dengan penduduk yang sedikit memiliki

masalah yang lebih ringan dibanding dengan wilayah yang lebih

padat. Hal tersebutlah yang mendasari digunakannya variabel

dasar untuk membentuk density telah digunakan dan diharapkan

tidak menjadikan variabel yang tumpang tindih.

5. Indikator Kemiskinan

Pembangunan daerah dilaksanakan bertujuan untuk

mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata.

Maka makin banyak jumlah penduduk yang berada dibawah garis

kemiskinan dibutuhkan dana yang lebih besar dalam meningkatkan

taraf hidup masyarakat. Untuk melihat perbedaan tingkat

kemiskinan antar daerah digunakan poverty gap sebagai ukuran.

Poverty gap memberikan gambaran sebaran pendapatan penduduk

miskin dari garis kemiskinan. Makin besar poverty gap-nya, maka

tingkat kemiskinannya semakin tinggi begitu juga sebaliknya

11

Page 12: Indeks Kemahalan Konstruksi

apabila poverty gap-nya makin kecil maka tingkat kemiskinannya

makin rendah bahkan apabila proverty gap tidak dapat dihitung

karena q = 0 maka suatu daerah dapat dinyatakan tidak memiliki

penduduk miskin. Rumusan poverty gap adalah sebagai berikut :

dimana :

PGi = Poverty Gap daerah ke iyj = Pendapatan penduduk ke jZ = Poverty line (batas kemiskinan)n = Jumlah penduduk suatu daerah ke iq = Jumlah penduduk miskin suatu daerah ke i

Untuk mendapatkan Indeks Poverty Gap, terlebih dahulu

kita harus mencari Head Cout Index, dan Income Gap. Setelah itu

barulah dapat dihitung Indeksnya.

Head Count Index Daerah i =Penduduk Miskin Daerah Ke i

X 100%Jumlah Penduduk daerah ke i

Income Gap Daerah i =Proverty Gap daerah Ke i

Head Count Index Daerah Ke i

Indeks Proverty Gap =Income Gap daerah Ke i

Rata-rata Income Gap Seluruh Indonesia

6. Indeks Kemahalan Konstruksi

12

Page 13: Indeks Kemahalan Konstruksi

Untuk meningkatkan pelayanan pemerintah sangat dibutuhkan sarana dan prasarana

berupa bangunan gedung, jalan, jembatan, irigasi dan lain sebagainya. Pembangunan ini

semua merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Kondisi geografis negara Indonesia

menyebabkan perbedaan pembiayaan untuk membangun fasilitas-fasilitas tersebut. Hal inilah

yang mendasari untuk digunakannya Indeks Harga Bangunan sebagai pembeda kebutuhan

suatu daerah dilihat dari sektor konstruksi. Formula indeks yang digunakan adalah indeks

Laspeyres yaitu indeks harga yang ditimbang dengan kuantitas pada tahun dasar. Sedangkan

indeks kemahalan konstruksi kabupaten/kota didapatkan dari perbandingan tingkat kemahalan

konstruksi kabupaten/kota terhadap kemahalan rata-rata nasional.

IKK Daerah i = Indeks kemahalan konstruksi daerah Ke-iRata-rata Indeks Kemahalan Konstruksi Daerah

1.3. Variabel Potensi Daerah

Yang menjadi komponen dari potensi daerah adalah Pendapatan Asli daerah (PAD),

Pajak Bumi Bangunan (PBB), Bagian Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),

Bagi Hasil Sumber Daya Alam (BHSDA), dan Pajak Penghasilan (Pph). PAD estimasi

merupakan hasil kali dari pendapatan asli daerah rata-rata dengan indeks industri dan jasa,

sedangkan untuk data lainnya tersedia di Departemen Keuangan. Variabel PAD belum

mencerminkan kapasitas fiskal daerah yang sebenarnya karena besarannya sangat tergantung

dari kemampuan daerah mengumpulkan pajak dan retribusi. Apabila data PAD ini lebih kecil

dari seharusnya, maka perkiraan penerimaan daerah akan underestimate dan mengakibatkan

ketergantungan daerah akan PAD semakin besar. Untuk menghindarinya, maka digunakan

variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor Industri dan Jasa. Untuk perumusan

PAD-nya dapat dituliskan sebagai berikut :

13

Page 14: Indeks Kemahalan Konstruksi

PAD rata-rata = PAD Seluruh Indonesia

Jumlah daerah

Indeks Industri dan Jasa Ke I =(PDRB Industri dan Jasa)i

Rata-rata PDRB Industri Jasa Nasional

PÂD = PAD rata-rata X Indeks Industri dan Jasa ke i

= 0 + 1 PDRB Jasa

Sehingga Potensi Penerimaan = PÂD + PBB + BPHTB + BHSDA + Pph

2. Permasalahan

Mengingat begitu strategisnya peranan program otonomi

daerah dalam rangka memperbaiki system penyelenggaraan

pemerintahan yang selama ini terpusat (sentralistik) dan

dianggap mengabaikan hak dan aspirasi daerah untuk

menyelenggarakan rumahtangganya sendiri, maka keberhasilan

program otonomi daerah sagat tergantung kemampuan formulasi

DAU, sebagai solusi dan instrument kebijakan pemerintah,

mengakomodir berbagai kepentingan dan aspirasi daerah. Beberapa

masalah dan kendala yang merupakan potensi penyebab

ketidakberhasilan formula DAU sebagai pengemban amanat

kemandirian dan pemerataan seperti dikehendaki oleh UU Otonomi

Daerah dan UU Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah

dapat bersumber pada : konsep, formula, variabel yang dipakai,

data/informasi yang tersedia, dan teknis pelaksanaannya.

14

Page 15: Indeks Kemahalan Konstruksi

2.1. Masalah Konseptual (Conseptual Problems)

Masalah konseptual (conceptual problem) dalam menyusun DAU

terletak pada bagaimana menterjemahkan visi otonomi dan

kemandirian fiscal yang diamanatkan oleh UU yang bersifat

normative (seperti : demokrasi, kemandirian, partisipasi

masyarakat, pemerataan dan keadilan) ke dalam variable-variable

operasional yang bersifat kuantitatif sebagai instrument

kebijakan.

2.2. Kecanggihan Formula

Misi utama DAU adalah pemerataan kemampuan fiscal antar

daerah dan keseimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah.

Tolak ukur keberhasilan rumus perhitungan DAU ditentukan oleh

sejauh mana tingkat pemeratan itu tercapai (koefesien variasi

dan indeks Williamson yang kecil). Lebih dari itu, kempuhan

rumus DAU tersebut juga diukur dengan kemampuannya menjamin

terwujudnya prinsip keadilan antar daerah.

2.3. Ketetapan Variabel

Tingkat keragaman antar daerah dan pusat dengan daerah di

Indonesia sangat tinggi baik dari aspek ekonomi, sosial,

geografis dan sumber daya manusia menyebabkan sangat sulit

untuk memilih variabel yang tepat memenuhi aspek tersebut dalam

formula DAU. Variabel yang terpilih seharusnya tidak hanya

didasarkan kepada aspek teknis kepraktisan semata, tetapi juga

15

Page 16: Indeks Kemahalan Konstruksi

mencerminkan konsep dan sasaran strategis otonomi yang akan

dicapai.

2.4. Ketersediaan Data

Formulasi DAU memerlukan berbagai jenis data yang terkini

dan lengkap pada tingkat wilayah yang lebih kecil

(kabupaten/kota) yang belum semuanya tersedia. Survei dan

sistem pengumpulan data statistik yang selama ini berorientasi

pada skala makro dan agregatif harus diubah orientasinya

menjadi skala kecil dengan jangkauan meluas dan rinci. Selain

itu perlu ditingkatkan sistem pengumpulan data sektoral yang

berasal dari instansi atau lembaga teknis.

2.5. Teknis Pelaksanaan

DAU melibatkan berbagai pihak dari mulai perencanaan,

hukum, peraturan, serta pelaksanaan baik di pusat maupun daerah

sehingga keberhasilannya sangat ditentukan oleh sejauh mana

persamaan persepsi dari pihak yang terkait tentang arti, fungsi

dan tujuan DAU.

3. Tingkat Kemahalan Konstruksi (TKK)

3.1. Pengertian dan Definisi Tingkat Kemahalan Konstruksi

16

Page 17: Indeks Kemahalan Konstruksi

Tingkat Kemahalan Konstruksi (TKK) merupakan cerminan dari

suatu nilai bangunan/konstruksi, yaitu biaya yang dibutuhkan

untuk membangun 1 (satu) unit bangunan per satuan ukuran luas

di suatu kabupaten/kota atau propinsi. Tingkat Kemahalan

Konstruksi (TKK) diperoleh melalui pendekatan terhadap harga

sejumlah jenis barang/bahan bangunan dan harga sewa alat berat

yang mempunyai nilai atau andil cukup besar dalam bangunan

tersebut.

Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) adalah angka indeks yang

menggambarkan perbandingan Tingkat Kemahalan Konstruksi (TKK)

suatu kabupaten/kota atau propinsi terhadap Tingkat Kemahalan

Konstruksi (TKK) kabupaten/kota atau propinsi lain. Sesuai

dengan pengertiannya, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) dapat

dikategorikan sebagai indes spasial, yaitu indeks yang

menggambarkan perbandingan harga untuk lokasi yang berbeda pada

periode waktu tertentu. Kondisi geografis negara Indonesia yang

sangat beragam menyebabkan perbedaan pembiayaan untuk membangun

fasilitas-fasilitas tersebut. Hal inilah yang mendasari untuk

digunakannya Indeks Kemahalan Konstruksi sebagai pembeda

kebutuhan suatu daerah dilihat dari sektor konstruksi.

IKK berbeda dengan pengertian indeks periodikal, seperti

Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) atau Indeks Harga

Konsumen (IHK), dimana kedua indeks harga tersebut

17

Page 18: Indeks Kemahalan Konstruksi

menggambarkan perkembangan harga di suatu lokasi pada periode

tertentu terhadap harga tahun dasar.

3.2. Maksud dan Tujuan

Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang

akan digunakan untuk penghitungan Indeks Kemahalan Konstruksi

yang merupakan salah satu komponen/variabel dalam penghitungan

Dana Alokasi Umum. Publikasi ini juga berguna sebagai

standarisasi harga khususnya barang dan jasa yang digunakan

dalam kegiatan konstruksi, sehingga dapat ditentukan/dinilai

kewajaran suatu anggaran proyek oleh tim pembahas anggaran

proyek. Selain itu, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) yang

dihasilkan dapat membantu pihak-pihak swasta, dalam hal ini

pengusaha untuk menilai kemampuan perusahaannya pada saat ini

dibanding pada waktu perusahaan berdiri. Tingkat kemampuan

perusahaannya pada saat ini dapat dipakai dalam proses

pelelangan suatu proyek khususnya proyek-proyek konstruksi

bangunan.

3.3. Ruang Lingkup dan Sumber Data

IKK yang akan dihitung adalah IKK Kota Tanjungpinang pada

tahun 2006, sehingga data yang dihasilkan hanya sampai level

Kota Tanjungpinang saja. Sumber data yang digunakan dalam

18

Page 19: Indeks Kemahalan Konstruksi

penghitungan IKK adalah data yang berasal dari Survei Harga

Perdagangan Besar Bahan Bangunan/Konstruksi dan harga sewa alat

berat dengan menggunakan daftar HPB-K yang dilakukan di Kota

Tanjungpinang pada tahun 2006. Secara garis besar jenis data

yang dikumpulkan meliputi:

a. Harga bahan bangunan/konstruksi

yang terdiri dari bahan-bahan bangunan dari kayu

gergajian/lapis, seperti: kayu meranti dengan berbagai

ukuran; barang-barang hasil pertambangan/penggalian,

seperti: pasir dan batu kali; serta barang-barang hasil

industri dengan berbagi kualitas, seperti: semen,

keramik, seng gelombang, barang-barang dari plastik,

barang- barang dari kaca, dan lain sebagainya.

b. Harga sewa alat-alat berat

Misalkan harga sewa satu unit dump truck, dan lain

sebagainya.

c. Harga upah jasa konstruksi

Misalnya upah seorang mandor konstruksi dalam orang

hari, dan lain sebaginya.

Data lain yang digunakan adalah Diagram Timbang (DT) yang

terdiri dari DT kelompok jenis bangunan dan DT umum. Diagram

Timbang kelompok jenis bangunan disusun dari data analisis

biaya yang diperoleh dari hasil studi tingkat kemahalan

19

Page 20: Indeks Kemahalan Konstruksi

konstruksi serta tabel input output. Sedangkan Diagram Timbang

umum diperoleh dari data realisasi APBD Kota Tanjungpinang.

3.4. Kegiatan Pengumpulan Data

Data harga bahan bangunan/konstruksi, sewa alat-alat berat

dan upah jasa konstruksi yang dikumpulkan adalah harga-harga

pada berbagai kategori, yaitu perdagangan besar/distributor

(harga jual pedagang besar), pedagang campuran, produsen,

pedagang eceran, dan kategori lainnya, seperti: kontraktor dan

instansi terkait lainnya (khususnya untuk mengumpulkan data

harga sewa alat-alat berat dan upah pekerja/jasa konstruksi).

Kegiatan pengumpulan data ini dilakukan dalam empat tahap

triwulanan, yaitu triwulan pertama (dilaksanakan Bulan

Februari), triwulan kedua (dilaksanakan Bulan Mei), triwulan

ketiga (dilaksanakan Bulan Agustus) dan triwulan keempat

(dilaksanakan Bulan November).

Data harga ini dikumpulkan melalui Survei Harga

Perdagangan Besar Barang-barang konstruksi dengan menggunakan

daftar HPB-K. Sementara itu, data yang digunakan untuk

penghitungan Indeks kemahalan Konstruksi (IKK) tahun 2007

adalah hasil survei HPB-K triwulan II dengan periode pencacahan

bulan Mei 2006. Data Harga yang dikumpulkan terdiri dari 60

jenis barang yang mencakup sekitar 145 kualitas serta harga

sewa 4 macam alat berat dan 9 upak tukang dan mandor.

20

Page 21: Indeks Kemahalan Konstruksi

Data Lain yang dikumpulkan adalah perkiraan persentase

pengeluaran kegiatan pembangunan fisik gedung/konstruksi

masing-masing kelompok jenis bangunan terhadap total nilai

pengeluaran kegiatan pembangunan tersebut. Data ini diperoleh

dari pemerintah Kota Tanjungpinang berdasarkan realisasi APBD.

3.5. Metode Penghitungan

Pada tahun 2004 dan tahun-tahun sebelumnya, Indeks

Kemahalan Konstruksi (IKK) dihitung menurut kelompok jenis

bangunan, terdiri dari 5 (lima) kelompok, mengacu pada

Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Indeks

Kemahalan Konstruksi (IKK) yang digunakan dalam penghitungan

DAU adalah IKK umum, yaitu angka tertimbang dari kelima IKK

kelompok jenis bangunan. Kelima kelompok jenis bangunan

tersebut adalah:

1. Bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal;

2. Pekerjaan umum untuk jalan, jembatan, dan pelabuhan;

3. Bangunan pekerjaan umum untuk pertanian (prasarana

pertanian);

4. Bangunan untuk instalasi listrik, gas, air minum dan

komunikasi;

5. Bangunan lainnya.

21

Page 22: Indeks Kemahalan Konstruksi

Sebagai gambaran lebih jelas, berikut dijabarkan klasifikasi

masing-masing jenis bangunan tersebut, yang dipakai pada tahun

2004 dan tahun-tahun sebelumnya:

1. Bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal:

a. Konstruksi gedung tempat tinggal, meliputi rumah yang

dibangun sendiri, real estate, rumah susun, dan

perumahan dinas.

b. Konstruksi gedung bukan tempat tinggal, meliputi

konstruksi gedung perkantoran, industri, kesehatan,

pendidikan, tempat hiburan, tempat ibadah,

terminal/stasiun, dan bangunan monumental lainnya.

2. Bangunan pekerjaan umum untuk jalan, jembatan, dan

pelabuhan:

a. Bangunan, jembatan dan landasan

meliputi: pembangunan jalan, jembatan, landasan

pesawat terbang, pagar/tembok, drainase jalan, marka

jalan dan rambu-rambu lalu lintas.

b. Bangunan jalan dan jembatan kereta

meliputi: pembangunan jalan dan jembatan kereta.

3. Bangunan pekerjaan umum untuk pertanian (prasarana

pertanian):

a. Bangunan pengairan

meliputi: pembangunan waduk (reservoir), bendungan

(weir), embung, jaringan irigasi, pintu air, sipon

22

Page 23: Indeks Kemahalan Konstruksi

dan drainase, irigasi, talang, check dam, tanggul

pengendalian banjir, tanggur laut, krib, dan viaduk.

b. Bangunan tempat proses hasil pertanian

meliputi: bangunan penggilingan dan bangunan

pengeringan.

4. Bangunan untuk instalasi listrik, gas, air minum, dan

komunikasi:

a. Bangunan elektrikal

meliputi: pembangkit tenaga listrik, transmisi dan

transmisi tegangan tinggi.

b. Konstruksi telekomunikasi udara

meliputi konstruksi bangunan telekomunikasi dan

navigasi udara, bangunan pemancar/penerima radar, dan

bangunan antena.

c. Konstruksi sinyal dan telekomunikasi kereta api

meliputi: pembangunan Konstruksi sinyal dan

telekomunikasi kereta api.

d. Konstruksi sentral telekomunikasi

meliputi bangunan sentral telepon/telegraf,

konstruksi menara pemancar radar microwave, dan

bangunan stasiun bumi kecil/stasiun satelit.

e. Instalasi air

meliputi: instalasi air bersih dan air limbah serta

saluran drainase pada gedung.

23

Page 24: Indeks Kemahalan Konstruksi

f. Instalasi listrik

meliputi: pemasangan instalasi jaringan listrik

tegangan lemah dan pemasangan instalasi listrik pada

gedung bukan tempat tinggal.

g. Instalasi gas

meliputi: pemasangan gas pada gedung tempat tinggal

dan pemasangan instalasi gas pada gedung bukan tempat

tinggal.

h. Instalasi listrik jalan

meliputi: instalasi listrik jalan raya, instalasi

listrik jalan kereta api, dan instalasi listrik

lapangan udara.

i. Instalasi jaringan pipa

meliputi: jaringan pipa, jaringan air, dan jaringan

minyak.

5. Bangunan lainnya

meliputi: bangunan sipil, pembangunan lapangan olahraga,

lapangan parkir, dan sarana lingkungan pemukiman.

Untuk keseragaman dalam penghitungan Indeks Kemahalan

Konstruksi (IKK) yang dipakai pada tahun 2004 dan tahun-tahun

sebelumnya, setiap kelompok jenis bangunan kontruksi diwakili

oleh satu unit bangunan/konstruksi yang mempunyai nilai

termahal atau andil yang paling besar di masing-masing daerah,

yaitu:

24

Page 25: Indeks Kemahalan Konstruksi

1. Bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal,

diwaliki oleh bangunan tempat tinggal

2. Pekerjaan umum untuk jalan, jembatan, dan pelabuhan,

diwaliki oleh pembangunan jalan

3. Bangunan pekerjaan umum untuk pertanian (prasarana

pertanian),

diwaliki oleh bangunan jaringan irigasi

4. Bangunan untuk instalasi listrik, gas, air minum dan

komunikasi,

diwaliki oleh instalasi listrik jalan raya

5. Bangunan lainnya,

diwaliki oleh pembangunan lapangan parkir.

Berbeda dari Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) tahun 2004

dan tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun 2005 Indeks Kemahalan

Konstruksi (IKK) dihitung hanya menurut 3 (tiga) kelompok jenis

bangunan. Kelompok jenis bangunan yang tidak diikutsertakan

adalah bangunan untuk instalasi listrik, gas, air minum dan

komunikasi, sedangkan kelompok jenis bangunan pekerjaan umum

untuk pertanian (prasarana pertanian) digabung dengan kelompok

jenis bangunan lainnya.

Perubahan pengelompokan jenis bangunan ini dilakukan agar

Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) antar kabupaten/kota yang

dihasilkan lebih mempunyai keterbandingan/comparable. Kelompok

jenis listrik, gas, air minum dan komunikasi tidak

25

Page 26: Indeks Kemahalan Konstruksi

diikutsertakan, dikarenakan kualitas barang-barang dalam

kelompok jenis bangunan tersebut sangat beragam antar

kabupaten/kota. Sedangkan kelompok jenis bangunan pekerjaan

umum untuk pertanian (prasarana pertanian), dinilai tidak

relevan lagi digunakan untuk daerah perkotaan.

Berikut ini, 3 (tiga) kelompok jenis bangunan yang

digunakan dalam penghitungan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)

tahun 2005 yang juga digunakan pada saat penghitungan IKK tahun

2006:

a. Bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal,

b. Pekerjaan umum untuk jalan, jembatan dan pelabuhan,

c. Bangunan lainnya

3.6. Paket Komoditas

Paket komoditas yang digunakan dalam penghitungan Indeks

Kemahalan Konstruksi (IKK) tahun 2006 terdiri dari 18 jenis

barang/bahan bangunan dan 4 sewa alat-alat berat. Jenis

barang/bahan bangunan dan sewa alat-alat berat tersebut dipilih

dari sekitar 60 jenis barang/bahan bangunan dan 4 sewa alat-

alat berat yang terdapat dalam daftar HPB-K, jenis barang yang

tidak termasuk dalam paket komoditas IKK 2006 adalah barang-

barang yang digunakan pada kelompok jenis bangunan listrik,

gas, air minum dan komunikasi Jumlah jenis barang/bahan

bangunan ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan paket

26

Page 27: Indeks Kemahalan Konstruksi

komoditas Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) tahun 2004 yang

terdiri dari 23 jenis barang/bahan bangunan dan 3 sewa alat-

alat berat.

Delapan belas jenis barang/bahan bangunan dan empat sewa

alat-alat berat yang menjadi paket komoditas penghitungan

Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) tahun 2005 tersebut, yaitu:

pasir pasang, batu kali, sirtu, kayu papan, kayu balok, kayu

lapis, cat tembok, cat kayu/besi, aspal, pipa PVC, kaca, batu

bata, semen, batu split, lantai keramik, besi beton, seng plat,

seng gelombang, sewa alat berat hidrolik excavator, bulldozer

dan three wheel roller (mesin gilas) dan Dump Truck. Ke 18

jenis barang/bahan bangunan dan 4 sewa alat-alat berat tersebut

dipilih karena mempunyai nilai atau andil cukup besar dan data

harga barang-barang tersebut comparable atau mempunyai

keterbandingan antar kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

3.7. Penimbang atau Bobot

Diagram Timbang (DT) atau bobot terdiri dari Diagram

Timbang (DT) kelompok jenis bangunan dan Diagram Timbang (DT)

umum. Diagram Timbang (DT) kelompok jenis bangunan disusun

berdasarkan besarnya volume masing-masing jenis bahan bangunan

untuk membangun satu unit bangunan per satuan ukuran luas.

27

Page 28: Indeks Kemahalan Konstruksi

Sedangkan Diagram Timbang (DT) umum disusun berdasarkan data

realisasi APBD dan pengeluaran belanja pembangunan dan rutin

yang diperoleh dari Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, yang

dalam hal ini berarti pihak Pemerintah Kota Tanjungpinang atau

DT disusun berdasarkan perkiraan persentase pengeluaran

pembangunan fisik yang ada di masing-masing kabupaten/kota dan

dirinci menurut 3(tiga) kelompok jenis bangunan/konstruksi.

3.8. Tingkat Kemahalan Harga Bangunan/Konstruksi (TKK)

a. Tingkat Kemahalan Harga Bangunan/Konstruksi Kelompok

Jenis Bangunan Kabupaten/Kota:

Keterangan:

TKKkj = tingkat kemahalan harga bangunan/konstruksi

kabupaten/kota k kelompok jenis bangunan j

Hi = harga bahan bangunan i

Qij = kuantitas/volume bahan bangunan i kelompok

jenis bangunan j

= diagram timbang kelompok jenis bangunan j

i = jenis barang/bahan bangunan

j = kelompok jenis bangunan

k = kabupaten/kota

28

Page 29: Indeks Kemahalan Konstruksi

m = jumlah jenis barang/bahan bangunan dan sewa

alat berat (m=22)

b. Tingkat Kemahalan Harga Bangunan/Konstruksi Kelompok

Jenis Bangunan Rata-rata Nasional:

Keterangan:

TKKnj = tingkat kemahalan harga bangunan/konstruksi

rata-rata nasional kelompok jenis bangunan

j

n = jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia

(n=434 )

3.9. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)

a. Indeks Kemahalan Harga Bangunan/Konstruksi kelompok

Jenis Bangunan Kabupaten/Kota:

Keterangan:

IKKkj = indeks kemahalan harga bangunan/konstruksi

kabupaten/kota k kelompok jenis bangunan j

b. Indeks Kemahalan Harga Bangunan/Konstruksi Umum

Kab./Kota:

29

Page 30: Indeks Kemahalan Konstruksi

Keterangan:

IKKuk = indeks kemahalan harga bangunan/konstruksi

umum kabupaten/kota k

Qj = Diagram timbang IKK umum kabupaten/kota

p = jumlah kelompok jenis bangunan (p=3)

u = umum

I = Suatu Konstanta yang menggambarkan

perkembangan harga barang-barang yang

digunakan di sektor konstruksi di Indonesia

(IHPB sektor konstruksi) februari 2004 –

Mei 2006 yaitu sebesar 1,5092.

b. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) tahun 2007

penyesuaian diperoleh dengan cara mengalikan data

IKK tahun 2006 dengan perkembangan IHPB konstruksi

bulan Februari tahun 2004 ke bulan Mei tahun 2006.

4. TENAGA AHLI DAN TENAGA PENDUKUNG YANG DI BUTUHKAN

No Tenaga Ahli Pendidikan Jumlah Personil

Pengalaman

1 Team Leader (Ahli Perencanaan Kota)

S1/S2 Teknik Sipil

1 Orang Minimum 3 Tahun

2 Ahli Ekonomi S1 Ekonomi 1 Orang Minimum 3 Tahun

30

Page 31: Indeks Kemahalan Konstruksi

No Tenaga Pendukung Pendidikan Jumlah Personil

Pengalaman

1 Estimator D3 1 Orang Minimum 3 Tahun

2 Administrasi Kantor SMA 1 Orang Minimum 3 Tahun

3 Surveyor SMEA 1 Orang Minimum 3 Tahun

5. Rencana dan Jadwal pekerjaan

NO. KEGIATAN JADWAL WAKTU

1 2 3

1. Persiapan Kegiatan 1 september -10 September 2008

2. Pengumpulan Data 20 September – 27 Sepember 2008

3. Pengolahan dan Tabulasi 28 – 31 September 2008

4. Analisa Data 1-7 Oktober 2008

5. Penyusunan Draf Publikasi 8 – 22 oktober 2008

6. Perbaikan Draf 23 – 25 ktober 2008

7. Penggandaan Publikasi 26 Oktober – 14 November 2008

6. Rencana Kerja Lengkap

6.1. Persiapan Kegiatan

Persiapan kegiatan meliputi kegiatan pengumpulan bahan

penyusunan publikasi, pengumpulan bahan dilakukan dengan

cara pengumpulan bahan referensi penyusunan dari internet,

pengumpulan publikasi yang menunjang seperti publikasi

dari Bapekko Kota Tanjungpinang, BPS Pusat Jakarta, BPS

Propinsi Kepulauan Riau, BPS Kota Tanjungpinang, dinas

Kimpraswil Kota Tanjungpinang dsb.

6.2. Pengumpulan Data

31

Page 32: Indeks Kemahalan Konstruksi

a. Pengumpulan Data Primer

Data Primer yaitu data yang dikumpulkan dan diolah

sendiri oleh suatu organisasi atau perorangan

langsung dari objeknya. Data Primer yang dikumpulkan

adalah data Harga Bahan Kontruksi dari 18 Pedagang

bahan kontruksi yang ada di seluruh Kota

Tanjungpinang, hal ini untuk mendapatkan gambaran

mengenai perbedaan harga bahan kontruksi di masing-

masing kelurahan sebagai akibat biaya transportasi

yang berbeda di masing-masing Kelurahan. Asal Bahan-

bahan Kontruksi dan tempat bongkar muat bahan

kontruksi.

b. Pengumpulan Data Sekunder

Data Sekunder ialah data yang diperoleh dalam bentuk

jadi dan telah diolah oleh pihak lain, yang biasanya

dalam bentuk publikasi. Kegiatan ini dilakukan dengan

mengumpulkan publikasi yang ada hbungannya dengan

penyusunan publikasi IKK kota Tanjungpinang

diantaranya yaitu Publikasi Tanjungpinang Dalam Angka

dari Bapekko Kota Tanjungpinang, Publikasi IKK yang

dikeluarkan BPS Propinsi Kepulauan Riau, Publikasi

Kegiatan Percepatan Penyediaan Data Statistik Dalam

Rangka Kebijakan Dana Perimbangan Tahun 2008

dikeluarkan Oleh BPS Jakarta, dan sebagainya.

32

Page 33: Indeks Kemahalan Konstruksi

6.3. Pengolahan Dan Tabulasi

Data primer atau sekunder yang sudah dikumpulkan kemudian

dilakukan pengolahan dan di tabulasikan, hal ini dilakukan

agar memudahkan dalam proses analisis data. setelah di

olah kemudian data disajikan kedalam bentuk tabel ataupun

grafik.

6.4. Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah analisis deskriftip, yaitu

analisis yang sifatnya memberikan gambaran terhadap

persoalan tentang konstruksi yang ada dan analisis SWOT

untuk penentuan kebijakan yang mungkin diambil dalam hal

kontruksi di Kota Tanjungpinang.

6.5. Penyusunan Draft Publikasi

Setelah datanya diolah dan dianalisis, hasilnya kemudian

disusun menjadi suatu publikasi.

6.6. Perbaikan Draft

Hal ini dilakukan untuk memperbaiki dan menambah hal-hal

yang dianggap penting dalam penyusunan draft akhir

publikasi ikk

6.7. Penggandaan publikasi

7. Rancangan Untuk tahap pengembangan

Untuk tahap pengembangan, akan dilakukan analisis

deskriftip sesuai dengan data yang sebenarnya dan akan

33

Page 34: Indeks Kemahalan Konstruksi

dilakukan analisis mengenai kebijakan dalam bidang

kontruksi untk menjawab semua permasalahan yang ada yang

berkaitan dengan bidang konstruksi,

DAFTAR ISI1. LATAR BELAKANG.....................................................................................................1

1.1. Otonomi Daerah...................................................................................................11.2. Dana Alokasi Umum (DAU)...............................................................................41.3. Variabel Potensi Daerah....................................................................................13

2. Permasalahan.................................................................................................................142.1. Masalah Konseptual (Conseptual Problems)....................................................152.2. Kecanggihan Formula........................................................................................152.3. Ketetapan Variabel............................................................................................162.4. Ketersediaan Data..............................................................................................162.5. Teknis Pelaksanaan............................................................................................17

3. Tingkat Kemahalan Konstruksi (TKK).........................................................................173.1. Pengertian dan Definisi Tingkat Kemahalan Konstruksi..................................173.2. Maksud dan Tujuan...........................................................................................183.3. Ruang Lingkup dan Sumber Data......................................................................193.4. Kegiatan Pengumpulan Data.............................................................................203.5. Metode Penghitungan........................................................................................213.6. Paket Komoditas................................................................................................263.7. Penimbang atau Bobot.......................................................................................283.8. Tingkat Kemahalan Harga Bangunan/Konstruksi (TKK).................................283.9. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)................................................................29

4. Tenaga Ahli Dan Tenaga Pendudkung Yang Dibutuhkan.............................................315. Rencana dan Jadwal pekerjaan......................................................................................31

34

Page 35: Indeks Kemahalan Konstruksi

6. Rencana Kerja Lengkap.................................................................................................326.1. Persiapan Kegiatan............................................................................................326.2. Pengumpulan Data.............................................................................................326.3. Pengolahan Dan Tabulasi..................................................................................336.4. Analisis Data......................................................................................................336.5. Penyusunan Draft Publikasi...............................................................................346.6. Perbaikan Draft..................................................................................................346.7. Penggandaan publikasi......................................................................................34

7. Rancangan Untuk tahap pengembangan........................................................................34

35