imunologi dasar
TRANSCRIPT
Imunologi Dasar : Penyakit Auto Imunitas Posted on Februari 2, 2012by Indonesia Resources
Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk
mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang
memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan
tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang
diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun . Autoimunitas sering
disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh target
dan dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel
sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto imun yang paling seringa
dalah menonjol termasuk penyakit seliak, diabetes melitus tipe 1
(IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Sjögren ,
Churg-Strauss Syndrome , tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves ,
idiopatik thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan
alergi.
Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali
tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada
awal abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana
‘normal’ tubuh tidak mount respon kekebalan terhadap yang sendiri
jaringan. Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap menjadi
abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan penyakit manusia.
Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun merupakan bagian integral
dari sistem kekebalan tubuh vertebrata (kadang disebut ‘autoimunitas
alami’), biasanya dicegah dari penyebab penyakit oleh fenomena toleransi
imunologi diri antigen. Autoimunitas tidak harus bingung dengan
alloimmunity .
Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu
mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur
antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap
kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap
antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut autoimunitas
tersebut dapat berupa respons imun humoral dengan pembentukan
autoantibodi, atau respons imun selular.
Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai sarana
pembuangan berbagai produk akibat kerusakan sel atau jaringan.
Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan proses eliminasi.
Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri tidak selalu
menimbulkan penyakit.
Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi
fisologik akibat respons autoimun. Perbedaan ini menjadi penting karena
respons autoimun dapat terjadi tanpa penyakit atau pada penyakit yang
disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).
Istilah penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan untuk
keadaan yang berhubungan erat dengan pembentukan autoantibodi atau
respons imun selular yang terbentuk setelah timbulnya penyakit.
Faktor Genetik
Orang-orang tertentu secara genetik rentan untuk mengembangkan
penyakit autoimun. Kerentanan ini dikaitkan dengan beberapa gen
ditambah faktor risiko lainnya. Genetik individu tertentu cenderung tidak
selalu mengembangkan penyakit autoimun.
Tiga gen utama yang diduga dalam penyakit autoimun.
Imunoglobulin
T-sel reseptor
Kompleks histokompatibilitas utama (MHC).
Dua yang pertama, yang terlibat dalam pengakuan antigen, secara inheren
rentan terhadap variabel dan rekombinasi. Variasi ini memungkinkan
sistem kekebalan tubuh untuk menanggapi berbagai sangat luas penjajah,
tetapi juga dapat menimbulkan limfosit dalam swa-reaktivitas.
Para ilmuwan seperti H. McDevitt, G. Nepom, J. Bell dan J. Todd juga telah
menyediakan bukti kuat yang menunjukkan bahwa MHC kelas II tertentu
allotypes berkorelasi sangat
HLA DR2 sangat berkorelasi positif dengan Systemic Lupus
Erythematosus , narkolepsi[6] dan multiple sclerosis , dan berkorelasi
negatif dengan tipe DM 1.
HLA DR3 berkorelasi kuat dengan sindrom Sjögren , myasthenia gravis ,
SLE , dan Jenis DM 1.
HLA DR4 berkorelasi dengan asal-usul rheumatoid arthritis , tipe 1
diabetes mellitus , dan pemfigus vulgaris .
Yang paling menonjol dan konsisten adalah hubungan antara HLA B27 dan
ankylosing spondylitis . Korelasi ini mungkin ada di antara polimorfisme
dalam MHC kelas II promotor dan penyakit autoimun.
Kontribusi dari gen luar kompleks MHC tetap menjadi subjek penelitian,
pada hewan model penyakit (studi ekstensif Linda Wicker genetik diabetes
pada tikus NOD), dan pada pasien (analisis keterkaitan Brian Kotzin dari
kerentanan terhadap SLE ).
Baru-baru ini PTPN22 telah dikaitkan dengan penyakit autoimun multiple
termasuk Tipe I diabetes, rheumatoid arthritis, systemic lupus
erythematosis, tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, penyakit Addison,
Miastenia Gravis, vitiligo, sklerosis sistemik juvenil idiopatik arthritis, dan
arthritis psoriatis.
Jenis Kelamin
Rasio perempuan / laki-laki insiden penyakit autoimun
Hashimoto thyroiditis 10/1
Graves’ disease 7/1
Multiple sclerosis (MS) 2/1
Miastenia gravis 2/1
Systemic lupus erythematosus (SLE) 9/1
Rheumatoid arthritis 5/2
Jenis kelamin tampaknya memiliki beberapa peran pentingdalam
pengembangan autoimunitas, mengklasifikasikan penyakit yang paling
autoimun sebagai seks penyakit terkait . Hampir 75% lebih dari 23,5 juta
orang Amerika yang menderita penyakit autoimun adalah perempuan,
meskipun jutaan pria juga menderita penyakit ini. Menurut the American
Autoimmune Related Diseases Association (AARDA), penyakit autoimun
yang berkembang pada pria cenderung lebih parah. Penyakit autoimun
beberapa bahwa laki-laki sama atau lebih mungkin berkembang
pada perempuan, meliputi: ankylosing spondylitis , tipe 1 diabetes mellitus ,
Wegener granulomatosis , penyakit Crohn dan psoriasis .
Perempuan tampaknya umumnya me-mount respon inflamasi yang lebih
besar daripada pria ketika sistem kekebalan tubuh mereka dipicu,
meningkatkan risiko autoimunitas. [7]Keterlibatan steroid seks ini
ditunjukkan dengan bahwa penyakit autoimun cenderung berfluktuasi
sesuai dengan perubahan hormon, misalnya, selama kehamilan, dalam
siklus menstruasi, atau saat menggunakan kontrasepsi oral. Riwayat
kehamilan juga tampaknya meninggalkan peningkatan risiko gigih untuk
penyakit autoimun. Pertukaran sedikit sel antara ibu dan anak-anak mereka
selama kehamilan dapat menyebabkan otoimun. Hal ini akan ujung
keseimbangan gender dalam arah betina.
Teori lain menunjukkan kecenderungan tinggi perempuan untuk
mendapatkan autoimunitas ini disebabkan oleh ketidakseimbangan
kromosom X dinonaktifkan . Teori X-inaktivasi miring, diusulkan oleh
Princeton University Jeff Stewart, baru-baru ini telah dikonfirmasi
eksperimental pada tiroiditis skleroderma dan autoimun. kompleks lainnya
terkait-X mekanisme kerentanan genetik diusulkan dan sedang diselidiki.
Klasifikasi
autoimun dapat dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organ-
spesifik atau lokal, tergantung pada Clinico-patologis fitur utama dari
masing-masing penyakit.
Penyakit autoimun sistemik termasuk SLE , sindrom Sjögren ,
skleroderma , rheumatoid arthritis , dan dermatomiositis . Kondisi ini
cenderung berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen yang
tidak jaringan tertentu. Jadi meskipun polymyositis kurang lebih jaringan
tertentu dalam presentasi, mungkin termasuk dalam kelompok ini karena
autoantigens sering mana-mana t-RNA sintetase.
Nama Penyakit
Accepted/
suspected Tipe Autoantibodi
Notes
Acute disseminated
encephalomyelitis (ADEM) Accepted
Addison’s Disease
interferon omega;
transglutaminase; aromatic
acid carboxylase; GAD; HAI;
17 hydroxylase; 21
hydroxylase
Agammaglobulinemia
IGHM; IGLL1: CD79A;
CD79B; BLNK; LRRC8A
Alopecia areata Accepted T-cells
Amyotrophic Lateral Sclerosis
Ankylosing Spondylitis Accepted ANCA? CD8; HLA-B27
Antiphospholipid syndrome Accepted
anti-cardiolipin;anti pyruvate
dehydrogenase; β2
glycoprotein I;
phosphatidylserine; anti apoH;
Annexin A5
HLA-DR7, HLA-B8, HLA-
DR2, HLA-DR3
Antisynthetase syndrome
Atopic allergy I
Atopic dermatitis I
Autoimmune aplastic anemia
Autoimmune cardiomyopathy Accepted
Autoimmune enteropathy
Autoimmune hemolytic anemia Accepted II complement activation
Autoimmune hepatitis Accepted
cell-
medi
ated
anti-mitochondrial antibodies;
ANA; anti-smooth muscle
antibodies, LKM-1; soluble
liver antigen
Autoimmune inner ear disease Accepted
Autoimmune lymphoproliferative
syndrome Accepted
TNFRSF6; defective Fas-
CD95 apoptosis
Autoimmune peripheral neuropathy Accepted
Autoimmune pancreatitis Accepted
ANA; anti-lactoferrin
antibodiesanti-carbonic
anhydrase antibodies;
rheumatoid factor
Autoimmune polyendocrine
syndrome Accepted
Unkn
own
or
multi
ple APS-1 see Addison’s Disease
Autoimmune progesterone dermatitis Accepted
Autoimmune thrombocytopenic Accepted anti gpIIb-IIIa or 1b-IX
purpura
Autoimmune urticaria Accepted
[11]
Autoimmune uveitis Accepted HLAB-27?
Balo disease/Balo concentric
sclerosis
Behçet’s disease
immune-mediated systemic
vasculitis; linkage to HLA-B51
(HLA-B27); very different
manifestations with ulcers as
common symptom; also called
Morbus Adamandiades-Behçet
Berger’s disease
IgA (elevated in 50% of
patients), IgA (in mesangial
deposits on kidney biopsy)
Bickerstaff’s encephalitis Anti-GQ1b 2/3 patients
similar to Guillain-Barré
syndrome
Blau syndrome
overlaps both sarcoidosis and
granuloma annulare
Bullous pemphigoid
IgG autoantibodies targeting
the type XVII collagen
component of
hemidesmosomes
Cancer
Castleman’s disease Over expression of IL-6
Celiac disease Accepted IV
Anti-tissue transglutaminase
antibodies HLA-DQ8 and DQ2.5
Chagas disease Suspected
Chronic inflammatory demyelinating
polyneuropathy
Anti-ganglioside
antibodies:anti-GM1, anti-
GD1a, anti-GQ1b
similar to Guillain-Barré
syndrome
Chronic recurrent multifocal
osteomyelitis
LPIN2, D18S60,similar to
Majeed syndrome
Chronic obstructive pulmonary
disease Suspected
Churg-Strauss syndrome p-ANCA
Cicatricial pemphigoid anti-BP-1, anti BP-2 precipitates C3
Cogan syndrome
Cold agglutinin disease Accepted II IgM
idiopathic or secondary to
leukemia or infection
Complement component 2
deficiency
Contact dermatitis III
Cranial arteritis
aka Temporal arteritis;
involves giant cells
CREST syndrome
Anti-centromere antibodies
Anti-nuclear antibodies
Crohns Disease (one of two types of
idiopathic inflammatory bowel
disease “IBD”) Accepted IV
Innate immunity; Th17; Th1;
ATG16L1; CARD15;XBP1;
Cushing’s Syndrome cortisol binding globulin?
Cutaneous leukocytoclastic angiitis neutrophils
Dego’s disease Vasculopathy
Dercum’s disease Suspected Lipoid tissue.
Dermatitis herpetiformis
IgA; anti-epidermal
transglutaminase antibodies
Dermatomyositis Accepted
histidine-tRNA anti-
signal_recognition_peptide
Anti-Mi-2 Anti-Jo1.[21]
B- and T-cell perivascular
inflammatory infiltrate on
muscle biopsy
Diabetes mellitus type 1 Accepted IV Glutamic acid decarboxylase
antibodies (GADA), islet cell
antibodies (ICA), and
insulinoma-associated
autoantibodies (IA-2), anti-
insulin antibodies
Diffuse cutaneous systemic sclerosis
anti-nuclear antibodies, anti-
centromere and anti-scl70/anti-
topoisomerase antibodies COL1A2 and TGF-β1
Dressler’s syndrome
myocardial neo-antigens
formed as a result of the MI
Drug-induced lupus anti-histone
Discoid lupus erythematosus III IL-2 and IFN-gamma>
Eczema
LEKTI, SPINK5,
filaggrin.,Brain-derived
neurotrophic factor (BDNF)
and Substance P.[26]
Endometriosis
Suspected[27]
Enthesitis-related arthritis . MMP3[29] TRLR2, TLR4,
[30] ERAP1[31]
Eosinophilic fasciitis Accepted
Eosinophilic gastroenteritis IgE IL-3, IL-5, GM-CSF, eotaxin
Epidermolysis bullosa acquisita COL7A1
Erythema nodosum
Erthroblastosis fetalis II ABO, Rh, Kell antibodies
mother’s immune system
attacks fetus
Essential mixed cryoglobulinemia
Evan’s syndrome
Fibrodysplasia ossificans progressiva
ACVR1 Lymphocytes express
increased BMP4
Fibrosing aveolitis aka
Idiopathic_pulmonary_fibrosis SFTPA1, SFTPA2, TERT,
and TERC.[32]
Gastritis
serum antiparietal and anti-IF
antibodies
Gastrointestinal pemphigoid Accepted
Giant cell arteritis macrophage giant cells
Glomerulonephritis Sometimes IgA
see Buerger’s Disease for IgA;
Membranous
glomerulonephritis for IgG;
Membranoproliferative/mesan
giocapillary GN (Complement
activation); Goodpasture’s
syndrome; Wegener’s
granulomatosis
Goodpasture’s syndrome Accepted II
Anti-Basement Membrane
Collagen Type IV Protein
Graves’ disease Accepted II
thyroid autoantibodies (TSHR-
Ab) that activate the TSH-
receptor (TSHR)
Guillain-Barré syndrome (GBS) Accepted IV Anti-ganglioside
Hashimoto’s encephalopathy Accepted IV
alpha-enolase[33]
Hashimoto’s thyroiditis Accepted IV
antibodies against thyroid
peroxidase and/or
thyroglobulin HLADR5, CTLA-4
Henoch-Schonlein purpura
immunoglobulin A (IgA) and
complement component 3 (C3)
Herpes gestationis aka Gestational
Pemphigoid
IgG and C3 misdirected
antibodies intended to protect
the placenta
Hidradenitis suppurativa Suspected
Hypogammaglobulinemia
IGHM, IGLL1, CD79A,
BLNK, LRRC8A, CD79B
Idiopathic Inflammatory
Demyelinating Diseases a variant of multiple sclerosis
Idiopathic pulmonary fibrosis SFTPA1, SFTPA2, TERT,
and TERC.[32]
Idiopathic thrombocytopenic purpura
(See Autoimmune thrombocytopenic
Accepted II glycoproteins IIb-IIIa or Ib-IX,
purpura) immunoglobulin G
IgA nephropathy III?
IgA produced from marrow
rather than MALT
Inclusion body myositis
similar to polymyositis but
does not respond to steroid
therapy-activated T8 cells
Chronic inflammatory demyelinating
polyneuropathy anti-ganglioside antibodies
similar to Guillain–Barré
syndrome
Interstitial cystitis Suspected Mast cells
Juvenile idiopathic arthritis aka
Juvenile rheumatoid arthritis
inconsistent ANA
Rheumatoid_factor
Kawasaki’s Disease Suspected ITPKC HLA-B51
Lambert-Eaton myasthenic
syndrome
voltage-gated calcium
channels; Q-
type_calcium_channel,
synaptogagmin, muscarinic
acetylcholine receptor M1 HLA-DR3-B8
Leukocytoclastic vasculitis
Lichen planus
Lichen sclerosus
Linear IgA disease (LAD)
Lou Gehrig’s disease (Also
Amyotrophic lateral sclerosis)
VCP, ATXN2, OPTN, FIG4,
TARDBP, ANG, VAPB, FUS,
SETX, ALS2, SOD1
Lupoid hepatitis aka
Autoimmune_hepatitis
ANA and SMA, LKM-1 ,
LKM-2 or LKM-3; antibodies
against soluble liver antigen[37]
[38](anti-SLA, anti-LP) no
autoantibodies detected
(~20%)
Lupus erythematosus Accepted III
Anti-nuclear antibodies[39] anti-
Ro.[40] Also, they are often
present in Sjögren’s syndrome.
[41][42]
Majeed syndrome LPIN2
Ménière’s disease III
major peripheral myelin
protein P0
Microscopic polyangiitis p-ANCA myeloperoxidase
binds to neutrophils causing
them to degranulate and
damages endothelium
Miller-Fisher syndrome see Guillain-
Barre_Syndrome Accepted anti-GQ1b
Mixed Connective Tissue Disease Accepted
anti-nuclear antibody anti-U1-
RNP HLA-DR4
Morphea Suspected
Mucha-Habermann disease aka
Pityriasis_lichenoides_et_variolifor
mis_acuta T-cells
Multiple sclerosis Suspected IV PECAM-1[45] Anti-Myelin
Basic Protein
Myasthenia gravis Accepted II
nicotinic_acetylcholine_recept
or MuSK_protein HA-B8 HLA-DR3 HLA-DR1
Myositis
see Dermatomyositis and
Polymyositis see Inclusion-
body-myositis
Narcolepsy[46][47]
Suspected II hypocretin or orexin HLA-DQB1*0602
Neuromyelitis optica (Also Devic’s
Disease) II NMO-IgG aquaporin 4.
Neuromyotonia Suspected II
voltage-gated potassium
channels.
Occular cicatricial pemphigoid II? BP-1, BP-2 C3 deposition
Opsoclonus myoclonus syndrome Suspected IV? Lymphocyte recruitment to
CSF[54]
Ord’s thyroiditis
Palindromic rheumatism anti-cyclic citrullinated peptide
antibodies (anti-CCP) and
antikeratin antibodies (AKA)
PANDAS (pediatric autoimmune
neuropsychiatric disorders associated
with streptococcus) Suspected II?
antibodies against
streptococcal infection serve as
auto-antibodies
Paraneoplastic cerebellar
degeneration
IV?
II?
anti-Yo[57] (anti-cdr-2[58] in
purkinje fibers) anti-Hu, anti-
Tr, antiglutamate receptor
Paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria (PNH) Sometimes complement attacks RBCs
Parry Romberg syndrome ANA
Parsonnage-Turner syndrome
Pars planitis
Pemphigus vulgaris Accepted II Anti-Desmoglein 3
Pernicious anaemia Accepted II anti-parietal cell antibody
Perivenous encephalomyelitis
POEMS syndrome
interleukin 1β, interleukin 6
and TNFα. vascular
endothelial growth factor
(VEGF), given the .[60]
Polyarteritis nodosa
Polymyalgia rheumatica
Polymyositis Accepted IFN-gamma, IL-1, TNF-alpha
Primary biliary cirrhosis
Accepted[62]
Anti-p62, Anti-sp100, Anti-
Mitochondrial(M2)Anti-Ro
aka SSA.[63] Also, they are
often present in Sjögren’s
syndrome
Primary sclerosing cholangitis
overlap with primary biliary
cirrhosis?
Progressive inflammatory
neuropathy Suspected
Psoriasis Accepted IV?
CD-8 T-cells, HLA-Cw6, IL-
12b, IL-23b, TNFalpha, nfKb
Psoriatic arthritis Accepted IV? HLA=B27
Pyoderma gangrenosum
Can occur in conjunction with
other immune-related disorders
Pure red cell aplasia
Rasmussen’s encephalitis anti-NR2A antibodies
Raynaud phenomenon Suspected
Can occur in conjunction with
other immune-related disorders
Relapsing polychondritis Accepted
Reiter’s syndrome
Restless leg syndrome Suspected
May occur in Sjögren’s
syndrome, celiac disease, and
rheumatoid arthritis or in
derangements of iron
metabolism
Retroperitoneal fibrosis
Rheumatoid arthritis Accepted III
Rheumatoid factor (anti-
IgGFc), Anti-MCV ,
ACPAs(Vimentin
HLA-DR4, PTPN22, depleted
B cells, TNF alpha, IL-17,
(also maybe IL-1, 6, and 15)
Rheumatic_fever II
streptococcal M protein cross
reacts with human myosin,
[69]anti-DNase B, ASO
Sarcoidosis Suspected IV BTNL2; HLA-B7-DR15; HLA
DR3-DQ2.[72]
Schizophrenia Suspected
Schmidt syndrome another form of
APS
anti-21 hydroxylase, anti-17
hydroxylase DQ2, DQ8 and DRB1*0404
Schnitzler syndrome IgM?
Scleritis
Scleroderma Suspected IV? Scl-70 Anti-topoisomerase dysregulated apoptosis?
Serum Sickness III
Sjögren’s syndrome Accepted
Anti-ro. Also, they are often
present in Sjögren’s syndrome.
Spondyloarthropathy HLA-B27
Still’s disease see Juvenile
Rheumatoid Arthritis ANA macrophage migration
inhibitory factor[80]
Stiff person syndrome Suspected
glutamic acid decarboxylase
(GAD), GLRA1 (glycine receptor
Subacute bacterial endocarditis
(SBE) III
essential mixed
cryoglobulinemia
Susac’s syndrome
Sweet’s syndrome GCSF
Sydenham chorea see PANDAS
Sympathetic ophthalmia
ocular antigens following
trauma
Systemic lupus erythematosis see
Lupus erythematosis III
Takayasu’s arteritis
Temporal arteritis (also known as
“giant cell arteritis”) Accepted IV
Thrombocytopenia II
glycoproteins IIb-IIIa or Ib-IX
in ITP anti-ADAMTS13 in
TTP.[83]and HUS anti-
cardiolipin (anti-cardiolipin
antibodies) and β2glycoprotein
I in Antiphospholipid
syndrome anti-HPA-1a, anti-
HPA-5b, and others in NAIT
multiple mechanisms
Tolosa-Hunt syndrome
Transverse myelitis Accepted
Transverse Myelitis is a rare
neurological disorder that is
part of a spectrum of
neuroimmunologic diseases of
the central nervous
system. http://www.myelitis.or
g/
Ulcerative colitis (one of two types
of idiopathic inflammatory bowel
disease “IBD”) Accepted IV
Undifferentiated connective tissue
disease different from Mixed
connective tissue disease Accepted anti-nuclear antibody HLA-DR4
Undifferentiated
spondyloarthropathy
Urticarial vasculitis II? anti C1q antibodies
clinically may resemble type I
hypersensitivity!
Vasculitis Accepted III sometimes ANCA
Vitiligo Suspected
NALP-1 RERE, PTPN22,
LPP, IL2RA, GZMB,
UBASH3A and C1QTNF6
Wegener’s granulomatosis Accepted
Anti-neutrophil
cytoplasmic(cANCA)
Sindrom Lokalyang mempengaruhi organ tertentu atau jaringan:
Endokrinologik: Diabetes mellitus tipe 1 , tiroiditis Hashimoto ,
penyakit Addison
Gastrointestinal: penyakit seliaka , Penyakit Crohn , pernicious
anemia
Dermatologi: Pemphigus vulgaris , Vitiligo
Hematologi: anemia hemolitik autoimun , idiopatik purpura
thrombocytopenic
Neurologis: Miastenia gravis
Secara tradisonal skema klasifikasi menggunakan “organ tertentu” dan
“non-organ tertentu”, banyak penyakit telah disatukan di bawah payung
penyakit autoimun. Namun, banyak gangguan manusia inflamasi kronis
tidak memiliki asosiasi-tanda sel B dan T didorong immunopathology. Dalam
dekade terakhir telah mapan bahwa jaringan “peradangan terhadap diri”
tidak selalu bergantung pada T abnormal dan respon sel B.
Hal ini telah menyebabkan usulan terakhir bahwa spektrum autoimunitas
harus dilihat sepanjang “kontinum penyakit imunologi,” dengan penyakit
autoimun klasik pada satu ekstrim dan penyakit didorong oleh sistem
kekebalan tubuh bawaan pada ekstrem lainnya. Dalam skema ini, spektrum
penuh autoimunitas dapat disertakan. Banyak umum penyakit autoimun
manusia dapat dilihat untuk memiliki immunopathology dimediasi imun
bawaan yang cukup besar menggunakan skema baru. Skema klasifikasi
baru ini memiliki implikasi untuk memahami mekanisme penyakit dan untuk
pengembangan terapi
Klasifikasi Penyakit Auto Imunitas
Patogenesis autoimunitas
Beberapa mekanisme dianggap operatif dalam patogenesis penyakit
autoimun, dengan latar belakang kecenderungan genetik dan modulasi
lingkungan. Hal ini di luar cakupan artikel ini membahas masing-masing
dari mekanisme ini secara mendalam, tapi ringkasan dari beberapa
mekanisme penting telah dijelaskan:
T-Cell Bypass – Sistem kekebalan tubuh yang normal memerlukan
aktivasi sel-B dengan T-sel sebelum mantan dapat menghasilkan antibodi
dalam jumlah besar. Kebutuhan sel-T ini bisa di bypass dengan kasus
yang jarang terjadi, seperti infeksi oleh organisme memproduksi super
antigen , yang mampu memulai aktivasi poliklonal sel-B, atau bahkan T-
sel, dengan langsung mengikat β- subunit T-sel reseptor dalam mode
non-spesifik.
T-Cell-B-Cell discordance – Sebuah respon imun normal diasumsikan
melibatkan B dan respon sel T terhadap antigen yang sama, bahkan jika
kita tahu bahwa sel B dan sel T mengenali hal yang sangat berbeda:
konformasi pada permukaan molekul untuk sel B dan pra-olahan fragmen
peptida protein untuk sel T. Namun, tidak ada sejauh kita tahu bahwa
membutuhkan ini. Semua yang diperlukan adalah bahwa sel B mengenali
antigen X endocytoses dan proses protein Y (biasanya = X) dan
menyajikan itu ke sel T. Roosnek dan Lanzavecchia menunjukkan bahwa
sel B mengenali IgGFc bisa mendapatkan bantuan dari setiap sel T
menanggapi antigen co-endocytosed dengan IgG oleh sel B sebagai
bagian dari kompleks imun. Pada penyakit celiac nampaknya sel B
mengenali transglutamine jaringan dibantu oleh sel T mengenali gliadin.
Aberrant B cell receptor-mediated feedback – Sebuah fitur penyakit
autoimun manusia adalah bahwa hal itu sebagian besar terbatas pada
sekelompok kecil antigen, beberapa di antaranya telah dikenal peran
sinyal dalam respon imun (DNA, C1q, IgGFc, Ro, Con A. reseptor,
Kacang Tanah agglutinin reseptor (PNAR)). Fakta ini memunculkan
gagasan bahwa autoimun spontan dapat terjadi bila pengikatan antibodi
terhadap antigen tertentu dapat sinyal menyimpang yang makan kembali
ke induk sel B melalui ligan terikat membran. Ligan termasuk reseptor
sel B (untuk antigen), Fc IgG reseptor, CD21, yang mengikat komplemen
C3d, Pulsa seperti reseptor 9 dan 7 (yang dapat mengikat DNA dan
nucleoproteins) dan PNAR. Aktivasi menyimpang tidak langsung sel B
juga bisa dipertimbangkan dengan autoantibodies untuk reseptor asetil
kolin (pada sel myoid thymus) dan hormon dan protein hormon mengikat.
Bersama dengan konsep T-sel-sel B kejanggalan ide ini membentuk dasar
hipotesis mengabadikan diri sel B autoreaktif. Autoreaktif B sel-sel di
autoimunitas spontan dilihat sebagai surviving karena subversi kedua sel
T membantu dan jalur dari sinyal umpan balik melalui reseptor sel B,
dengan demikian mengatasi sinyal negatif yang bertanggung jawab
untuk sel B toleransi diri tanpa harus memerlukan hilangnya sel T diri-
toleransi.
Molecular Mimicry – Sebuah eksogen antigen dapat berbagi kesamaan
struktural dengan antigen host tertentu, dengan demikian, antibodi
apapun dihasilkan terhadap antigen ini (yang meniru antigen diri) juga
bisa, secara teori, mengikat antigen host, dan memperkuat respon imun.
Ide mimikri molekuler muncul dalam konteks Demam rematik , yang
mengikuti infeksi dengan Grup A beta-hemolitik streptokokus . Meskipun
demam rematik telah dikaitkan dengan mimikri molekuler selama
setengah abad antigen belum ada secara resmi diidentifikasi (jika ada
terlalu banyak telah diusulkan). Selain itu, jaringan distribusi yang
kompleks penyakit (jantung, sendi, kulit, basal ganglia) berpendapat
melawan antigen tertentu jantung. Masih mungkin bahwa penyakit ini
disebabkan misalnya interaksi yang tidak biasa antara kompleks imun,
komponen komplemen dan endotelium.
Idiotype Cross-Reaction – Idiotypes adalah antigenik epitop ditemukan
di bagian antigen-mengikat (Fab) dari molekul imunoglobulin. Plotz dan
Oldstone disajikan bukti bahwa autoimunitas dapat timbul sebagai akibat
dari reaksi silang antara idiotype pada antivirus antibodi dan sel reseptor
inang untuk virus tersebut. Dalam hal ini, reseptor sel inang
dibayangkan sebagai sebuah gambar internal dari virus, dan anti-
idiotype antibodi dapat bereaksi dengan sel inang.
Cytokine Dysregulation – sitokin telah baru-baru dibagi menjadi dua
kelompok sesuai dengan populasi sel yang fungsi mereka
mempromosikan: Helper T-sel tipe 1 atau tipe 2. Kategori kedua sitokin,
termasuk IL-4, IL-10 dan TGF-β (untuk beberapa nama), tampaknya
memiliki peran dalam pencegahan berlebihan pro-inflamasi respon imun.
Dendritic cell apoptosis – sel sistem kekebalan yang disebut sel
dendritik menyajikan antigen untuk aktif limfosit . Sel dendritik yang
cacat dalam apoptosis dapat menyebabkan tidak tepat sistemik limfosit
aktivasi dan penurunan konsekuen dalam diri toleransi.
Epitope spreading or epitope drift - ketika reaksi kekebalan
perubahan dari menargetkan utama epitop untuk juga menargetkan
epitop lainnya. Berbeda dengan mimikri molekuler, epitop lainnya tidak
perlu secara struktural mirip dengan yang utama.
Epitope modification or Cryptic epitope exposure – mekanisme
penyakit autoimun adalah unik karena bukan hasil dari cacat dalam
sistem hematopoietik. Sebaliknya, penyakit hasil dari pemaparan samar
N-glycan (polisakarida) hubungan umum untuk eukariota dan prokariota
lebih rendah pada glikoprotein dari mamalia non-sel dan organ
hematopoietik. Paparan glycans phylogenically primitif mengaktifkan
satu atau lebih sel kekebalan tubuh mamalia bawaan reseptor untuk
menginduksi kondisi inflamasi kronis steril. Dengan adanya kerusakan
sel dan inflamasi kronis, sistem kekebalan tubuh adaptif yang direkrut
dan self-toleransi hilang dengan produksi autoantibody meningkat.
Dalam bentuk penyakit, tidak adanya limfosit dapat mempercepat
kerusakan organ, dan intravena IgG administrasi dapat terapi. Meskipun
rute ini untuk penyakit autoimun mungkin mendasari berbagai negara
penyakit degeneratif, tidak ada diagnostik untuk mekanisme penyakit
ada saat ini, sehingga perannya dalam autoimunitas manusia saat ini
tidak diketahui. Peran khusus immunoregulatory jenis sel, seperti sel T
peraturan , sel NKT , γδ T-sel dalam patogenesis penyakit autoimun yang
sedang diselidiki.
SPEKTRUM PENYAKIT AUTOIMUN
Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang
bersifat organ spesifik sampai bentuk sistemik atau non-organ spesifik.
Pada penyakit autoimun organ spesifik, umumnya mempengaruhi organ
tunggal dan respons autoimun ditujukan langsung pada antigen di dalam
organ tersebut. Sebagian besar kelainan spesifik organ melibatkan satu
atau beberapa kelenjar endokrin. Target antigen dapat berupa molekul
yang diekspresikan pada permukaan sel hidup (terutama reseptor hormon)
atau molekul intraseluler (terutama enzim intraseluler). Sedangkan
penyakit autoimun non-organ spesifik mempengaruhi organ multipel dan
biasanya berkaitan dengan respons autoimun terhadap molekul yang
tersebar di seluruh tubuh, terutama molekul intraseluler yang berperan
dalam transkripsi dan translasi kode genetik (DNA dan unsur inti sel
lainnya) .
Spektrum penyakit autoimun
Beberapa contoh antigen diri dan penyakit terkait
Antigen diri Penyakit
Reseptor hormonReseptor TSHReseptor insulin
Hiper atau hipotiroidismeHiper atau hipoglikemia
Reseptor neurotransmiterReseptor asetilkolin Miastenia gravis
Molekul sel adesiMolekul sel adesi epidermal Penyakit kulit yang melepuh
Protein plasmaFaktor VIIIβ2 glikoprotein I dan protein antikoagulan lain Hemofili didapatSindrom antifosfolipid
Antigen permukaan selSel darah merah (antigen multipel)Platelet
Anemia hemolitikPurpura trombositopenia
Enzim intraselulerPeroksidase tiroidSteroid 21-hidroksilase (korteks adrenal)
Tiroiditis, kemungkinan hipotiroidismeKegagalan adrenokortikal (penyakit Addison)
Glutamat dekarboksilase (sel β di pulau pankreas)Enzim lisosom (sel fagositik)Enzim mitokondria (terutama piruvat dehidrogenase)
Diabetes autoimun Vaskulitis sistemikSirosis biliar primer
Molekul intraseluler yang melibatkan transkripsi dan translasiRantai dua DNAHistonTopoisomerase IAmino-acyl t-RNA sintaseProtein sentromer
SLESLESkleroderma difusPolimiositisSkleroderma lokal
TOLERANSI DIRI
Autoimunitas dan toleransi diri
Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B
yang bersifat autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau down-
regulation. Sel T (terutama CD4+) mempunyai peran sentral dalam
mengatur hampir semua respons imun, sehingga proses toleransi sel T lebih
penting dalam penghindaran autoimunitas dibandingkan toleransi sel B.
Selain itu, sebagian sel B yang autoreaktif juga tidak dapat memproduksi
autoantibodi apabila tidak menerima rangsangan yang tepat dari sel Th.
Toleransi timus
Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi
sel T yang dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan
proses positive selection, sel akan bertahan melalui ikatan dengan molekul
MHC. Ikatan ini akan menginduksi sinyal yang mencegah sel mati. Reseptor
sel T yang gagal berikatan dengan molekul MHC di timus akan mati melalui
apoptosis. Sel T yang bertahan dari proses ini akan berikatan dengan
molekul MHC dan kompleks peptida diri yang ada di timus dengan afinitas
yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai afinitas yang rendah akan
bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan peptida asing dengan
afinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun protektif nantinya.
Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di timus dengan
afinitas tinggi mempunyai potensial untuk pengenalan dengan antigen diri
di tubuh, dengan konsekuensi induksi autoimunitas. Sel-sel dengan afinitas
tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative selection
Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi timus
adalah banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang
cukup di timus untuk menginduksi negative selection. Sebagian besar
peptida yang berikatan dengan MHC di timus berasal baik dari protein
intraseluler atau terikat membran yang ada dimana-mana, ataupun protein
yang ada di cairan ekstraseluler, sehingga toleransi timus tidak diinduksi
terhadap protein spesifik jaringan.
Toleransi perifer
Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang merupakan
kontrol lini kedua dalam mengatur sel autoreaktif
Ignorance
Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen terasing
di organ avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen tersebut
secara efektif tidak “terlihat” oleh sistem imun. Apabila antigen tersebut
lolos dari organ tersebut, maka toleransi perifer aktif akan berkembang.
Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya mengenali angtigen yang
dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi yang terbatas
dari molekul tersebut, maka sebagian besar molekul spesifik organ tidak
akan dipresentasikan dengan kadar yang cukup untuk menginduksi aktivasi
sel T
Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen
Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas.
Sirkulasi ini membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan
darah. Untuk mencegah antigen diri mempunyai akses ke antigen-
presenting cells, debris dari jaringan diri yang rusak perlu dibersihkan
secara cepat dan dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme
pembersihan debris lainnya, termasuk sistem komplemen dan fagositosis.
Defek komplemen dan fagosit berkaitan dengan perkembangan
autoimunitas terhadap molekul intraseluler.
Anergi dan kostimulasi
Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf
melalui apoptosis atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4+
naive memerlukan dua sinyal untuk menjadi aktif dan memulai respons
imun. Sinyal pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui reseptor
antigen di sel T. Sinyal kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi,
biasanya sinyal oleh CD28 (pada sel T) yang terikat ke salah satu lingkup B7
(CD80 atau CD86) pada stimulator. Oleh karena itu, meskipun terdapat
pengenalan sel T terhadap molekul peptida spesifik jaringan atau kompleks
MHC, namun bila tidak terdapat ikatan dengan molekul ko-stimulator, maka
stimulasi melalui reseptor sel T akan berujung pada anergi atau kematian
sel T melalui apoptosis (Gambar 15-2). Ekspresi molekul ko-stimulator ini
sangat terbatas. Sinyal stimulator juga terbatas pada antigen-presenting
cells seperti sel dendritik. Dengan adanya distribusi yang terbatas dan pola
resirkulasi, interaksi sel CD4+ dengan sel dendritik hanya terjadi di
jaringan limfoid sekunder seperti nodus limfe. Ekspresi molekul ko-
stimulator dapat diinduksi melalui beberapa cara, biasanya melalui
inflamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan adanya restriksi pola
resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang telah teraktivasi sebelumnya yang
mempunyai akses ke lokasi perifer.
Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang
mempunyai struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun
mempunyai efek negatif terhadap aktivasi sel T, yaitu CTLA-4 yang
mempunyai struktur serupa dengan CD28 dan mengikat ligand yang sama.
Ikatan antara CD80 atau CD86 dengan CTLA4 menginduksi anergi atau
kematian melalui apoptosis (Gambar 15-2). Adanya defek genetik pada
mekanisme apoptosis dapat berakibat pada berkembangnya autoimunitas.
Supresi
Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel T autoreaktif
melalui penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang
sama (sel T supresor)
Toleransi sel B
Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi antibodi autoreaktif
dibatasi terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam antigen diri.
Sel B baru akan terus dibentuk secara kontinu dari prekursor sumsum
tulang dan banyak diantaranya bersifat autoreaktif. Adanya proses
hipermutasi somatik gen imunoglobulin pada sel B matur di pusat germinal
nodus limfe juga dapat menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B baru atau
hipermutasi sel B berikatan dengan antigen yang sesuai, namun tidak
terdapat bantuan sel T, maka sel B akan mengalami apoptosis atau anergi.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Etiologi
Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab
penyakit autoimun.
Faktor genetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan
autoimun yang bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota
keluarga dibandingkan penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit
autoimun hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula
hanya melibatkan gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan
defek pada apoptosis atau kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme
toleransi perifer dan kerusakannya. Hubungan antara gen dengan
autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari MHC.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab
antara lain hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.
Hormon
Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering terjadi
pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun
mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan beberapa
bukti klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai faktor
pencetus. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti
menunjukkan estrogen dapat menstimulasi beberapa respons imun.
Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca pubertas 9 kali lebih
tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi studi klinis
dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan memperlihatkan
bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh hormon sel wanita
daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan yang dikastrasi,
memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun spesifik yang lebih
tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen kronik mempunyai peran
penting terhadap prevalensi LES pada wanita. Walaupun jumlah estrogen
pada penderita tersebut normal, aktivitas estradiol dapat meningkat akibat
kelainan pola metabolisme hormon wanita. Pada wanita penderita LES
terdapat peninggian komponen 16α-hidroksil dari 16α-hidroksiestron dan
estriol serum dibandingkan dengan orang normal. Hormon hipofisis
prolaktin juga mempunyai aksi imunostimulan terutama terhadap sel T.
Infeksi
Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada
mekanisme molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain.
Infeksi pada target organ mempunyai peran penting dalam up-
regulation molekul ko-stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi
perubahan pola pemecahan antigen dan presentasi, sehingga terjadi
autoimunitas tanpa adanya molecular mimicry. Namun, sebaliknya,
autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian infeksi yang
tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum jelas.
Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi
secara horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan
berbagai jalan, antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit, pelepasan
organel subselular setelah destruksi sel, fenomena asosiasi pengenalan
akibat insersi antigen virus pada membran sel yang meningkatkan reaksi
terhadap komponen antigen diri, serta gangguan fungsi sel Ts akibat infeksi
virus. Virus yang paling sering dikaitkan sebagai pencetus autoimunitas
adalah EBV, selain miksovirus, virus hepatitis, CMV , virus coxsackie,
retrovirus, dan lain-lain.
Obat
Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang
dapat mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat
penting untuk membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas
obat), baik berasal dari bentuk asli maupun kompleks dengan molekul
pejamu, dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi
hipersensitivitas biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan
proses autoimun dapat berkembang progresif dan memerlukan pengobatan
imunosupresif.
Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti
mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur
yang serupa dengan molekul diri, sehingga dapat melewati toleransi perifer.
Beberapa obat (seperti penisiliamin) dapat terikat langsung dengan peptida
yang mengandung molekul MHC dan mempunyai kapasitas langsung untuk
menginduksi respons abnormal sel T. Kerentanan yang berbeda tersebut
terutama ditentukan oleh genetik. Variasi genetik pada metabolisme obat
juga berperan, adanya defek pada metabolisme mengakibatkan formasi
konjugat imunologi antara obat dengan molekul diri. (Pada SLE yang
diinduksi obat, asetilator kerja lambat lebih rawan menyebabkan SLE). Obat
juga mempunyai ajuvan intrinsik atau efek imunomodulator yang
mengganggu mekanisme toleransi normal.
Agen fisik lain
Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar matahari)
merupakan pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang
keterlibatan sistemik pada SLE, namun radiasi ini lebih bersifat
menyebabkan flare dalam respons autoimun yang sudah ada dibandingkan
sebagai penyebab. Radiasi ultraviolet memperberat SLE melalui beberapa
mekanisme. Radiasi dapat menyebabkan modifikasi struktur pada antigen
diri sehingga mengubah imunogenitasnya. Radiasi tersebut juga dapat
menyebabkan apoptosis sel dalam kulit melalui ekspresi autoantigen lupus
pada permukaan sel, yang berkaitan dengan fotosensitivitas (dikenal
dengan Ro dan La). Permukaan Ro dan La kemudian dapat berikatan
dengan autoantibodi dan memicu kerusakan jaringan. Variasi genetik yang
mengkode gen glutation-S-transferase juga dikaitkan dengan peningkatan
antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang diduga berkaitan dengan
penyakit autoimun antara lain stres psikologis dan faktor diet.
Patogenesis
Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis
autoimunitas tetapi tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran dan
kelemahan sendiri.
Berbagai teori patogenesis autoimunitas
Pelepasan antigen sekuesterPenurunan fungsi sel T supresorPeningkatan aktivitas sel Th, pintas sel TDefek timusKlon abnormal, defek induksi toleransiSel B refrakter terhadap sinyal supresorDefek makrofagDefek sel stemDefek jaringan idotip-antiidiotipGen abnormal: gen respons imun, gen imunoglobulinFaktor virusFaktor hormon
Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul
dugaan adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak
pernah berkontak dengan sistem limforetikular maka apabila suatu saat
terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan pembentukan
autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah
vasektomi, lensa mata setelah trauma mata, otot jantung setelah infark
miokard, atau jaringan lain yang bila terbebas akan menimbulkan
pembentukan autoantibodi.
Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh
mekanisme pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan
respons imun. Gangguan pada mekanisme supresi, baik jumlah maupun
fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan autoantibodi bila respons
imun tersebut sel ditujukan terhadap autoantigen.
Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan
telah diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel T
toleran tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau antigen silang yang
mirip dengan antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran akan
membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting untuk
diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan maka akan terjadi defek sistem
imun yang akan mempercepat proses autoimun. Produksi autoantibodi
dilakukan oleh sel B, dan gangguan imunitas selular, baik peningkatan sel
Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas sel B.
Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik,
misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap
berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen
endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat
bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang
mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran.
Aktivator poliklonal yang terdiri dari produk bakteri, virus, atau
komponen virus, parasit, atau substansi lainnya dapat langsung
merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat Gambar
15-3). Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan
antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos setelah infeksi
parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa lipopolisakarida
bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk memproduksi berbagai
autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin γ ,antitimosit, dan antieritrosit.
Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan
mempresentasikan antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai
sitokin untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya adalah sebagai
fagosit untuk mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak
diinginkan, misalnya kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun
diduga bahwa eliminasi kompleks imun tidak berfungsi dengan baik karena
jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun adherens) pada makrofag
berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi makrofag pada penyakit
autoimun masih belum konsisten.
Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang
telah dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B,
atau keduanya. Gangguan toleransi ini hanya terjadi untuk antigen tertentu
saja. Sampai sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan
komprehensif dari penelitian tentang peran defek toleransi tersebut.
Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro
atau virus terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan
jaringan atau ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai
predisposisi genetik autoimun ke resipien tanpa defek tersebut. Dengan
cara ini maka terlihat bahwa defek sel stem, terutama prekursor sel B, lebih
berperan untuk timbulnya autoimunitas daripada sel B matang.
Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari
sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B
aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini
disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor
proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons
sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan
terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin
menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun
sistemik.
Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka kejadian,
awitan, dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang
bertanggung jawab terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah lokus
tunggal, dan dihubungkan dengan gen yang menentukan respons imun
terhadap antigen, yaitu gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini terlihat
dari adanya hubungan antara suatu antigen HLA dengan penyakit tertentu
yang dinyatakan dengan risiko relatif.
Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan idiotip
atau anti-idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun.
Antibodi anti-idiotipik dapat menekan atau merangsang respons imun. Pada
umumnya autoantibodi anti-idiotipik akan menekan respons imun terhadap
idiotip. Seperti halnya antibodi biasa, autoantibodi merupakan produk
respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2 (anti-
idiotip) yang menyerupai antigen. Oleh karena itu dapat diduga bahwa
autoimunitas dapat terjadi akibat defek regulasi sistem imun yang
menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-idiopatik
(lihat Gambar 15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan produksi
autoantibodi atau stimulasi Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol walaupun
tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa defek ini berhubungan erat dengan
sirkuit sel B-Th-Ts dan idiotip serta anti-idiotipnya.
Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal
yang memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut
berperan pada patogenesis autoimunitas.
Mekanisme rusaknya toleransi
Mengatasi toleransi perifer
Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan
dengan infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan
anergi dapat terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit
autoimun yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada
keganasan. Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan
yang kehilangan sitokin imunosupresif.
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang
tidak tepat padaantigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-
stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri
dipresentasikan ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau
kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi
lokal akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga
ke antigen-presenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC
dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik pada
lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan
ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi
dipresentasikan ke sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakancryptic
epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan
radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme
juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi
rendah dan tanpa akses keantigen-presenting cells dapat bereaksi silang
dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini
mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat
mengenali peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan)
menyebabkan presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan
tersebut .
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat
Antigen mikrobial Antigen diri
Penyakit yang diduga akibatmolecular mimicry
Protein grup A streptokokus M Antigen di otot jantung Demam reumatik
Bacterial heat shock proteins Self heat shock proteins
Terkait dengan penyakit autoimun berat namun belum terbukti
Protein inti Coxsackie B4
Glutamat dekarboksilase sel pulau pankreas
Diabetes melitus dependen insulin
GlikoproteinCampylobacter jejuni
Gangliosida dan glikolipid terkait mielin Sindrom Guillain-Barre
Heat shock proteindari Eschericia coli
Subtipe rantai HLA-DR β mengandung “epitop bersama” artritis reumatoid Artritis reumatoid
Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut
pada presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan
menghasilkan percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini
disebut epitope spreading.
Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive) memerlukan
ko-stimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons imun.
Namun, sel T yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat diinduksi untuk
proliferasi dan produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-stimulasi yang lebih
luas, dicetuskan oleh molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh
karena itu, sel autoreaktif yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya
resirkulasi secara bebas di jaringan yang terinflamasi (karena adanya
peningkatan ekspresi molekul adesi) namun juga lebih mudah mengaktivasi
setelah sampai di jaringan yang mengandung peptida diri/kompleks MHC
yang sesuai. Hal ini menandakan sekali barier toleransi rusak, respons
autoimun akan lebih mudah bertahan dan menyebabkan proses patogenik
autoreaktif yang lama pula.
Mekanisme kerusakan jaringan
Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi
(hipersensitivitas tipe II dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T CD4+
atau sel T sitotoksik (hipersensitivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan dapat
tumpang tindih antara kerusakan yang diperantarai antibodi dengan sel T.
Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme
hipersensitivitas, autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan dengan
terikat pada lokasi fungsional dari antigen diri, seperti pada reseptor
hormon, reseptor neurotransmiter dan protein plasma. Autoantibodi
tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi ligand endogen dari
antigen diri, sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi tanpa adanya
inflamasi atau kerusakan jaringan. Kerusakan yang diperantarai antibodi
pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi mengenali antigen yang bebas
di cairan ekstraseluler atau diekspresikan pada permukaan sel.
DIAGNOSIS
Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis
penyakit autoimun Pemeriksaan tersebut juga bermanfaat sebagai
pemeriksaan penyaring pada kelompok risiko seperti misalnya keluarga
penderita penyakit autoimun, atau mencari penyakit autoimun lain yang
sering menyertai suatu penyakit autoimun tertentu seperti kemungkinan
tiroiditis pada gastritis autoimun atau sebaliknya.
Diagnosis gangguan autoimun sebagian besar bertumpu pada sejarah yang
akurat dan pemeriksaan fisik pasien, dan indeks kecurigaan yang tinggi
dengan latar belakang kelainan tertentu pada tes laboratorium rutin
(misalnya, tinggi protein C-reaktif ). Pada gangguan sistemik beberapa tes
serologi yang dapat mendeteksi spesifik autoantibodi dapat digunakan.
Gangguan Local paling mudah didiagnosa oleh biopsi spesimen
imunofluoresensi . Autoantibodi digunakan untuk mendiagnosa beberapa
penyakit autoimun . Tingkat autoantibodi diukur untuk menentukan
kemajuan penyakit.
Pemeriksaan autoantibodi untuk diagnosis penyakit autoimun
Penyakit Antibodi
Tiroditis Hashimoto Tiroid
Miksedema primer Tiroid
Tirotoksikosis Tiroid
Anemia pernisiosa Lambung
Atrofi adrenal idiopatik Adrenal
Miastenia gravis Otot, reseptor asetilkolin
Pemvigus vulgaris dan pemfigoid Kulit
Anemia hemolitik autoimun Eritrosit (uji Coombs)
Sindrom Sjogren Sel duktus salivarius
Sirosis biliar orimer Mitokondria
Hepatitis kronik aktif Anti Sm, mitokondria
Artritis reumatoid Antiglobulin
LES Antinuklear, DNA, sel LE
Skleroderma Nukleolus
Penyakit jaringan ikat lain Nukleolus
PENGOBATAN
Pengobatan untuk penyakit autoimun secara tradisional seperti
imunosupresif , anti-inflamasi (steroid), atau paliatif . Non-imunologi terapi,
seperti penggantian hormon pada tiroiditis Hashimoto atau tipe 1 diabetes
mellitus mengobati hasil dari respon autoaggressive, sehingga ini adalah
paliatif perawatan. Intervensi diet dan manipulasi diet membatasi
keparahan penyakit celiac, srtritis dan penyakit lainnya.Pengobatan steroid
atau NSAID membatasi gejala inflamasi dari banyak penyakit. Terapi
spesifik imunomodulator , seperti antagonis TNFa (misalnya etanercept ),
sel B depleting agen rituximab , reseptor anti-IL-6 tocilizumab dan
pemblokir costimulation abatacept telah terbukti berguna dalam mengobati
RA. Beberapa immunotherapies mungkin berhubungan dengan peningkatan
risiko efek samping, seperti kerentanan terhadap infeksi.
Terapi obat cacing adalah pendekatan eksperimental yang melibatkan
inokulasi pasien dengan spesifik usus parasit nematoda (cacing). Saat ini
ada dua perlakuan yang terkait erat tersedia, inokulasi dengan baik Necator
americanus, umumnya dikenal sebagai cacing tambang , Trichuris atau Ova
Suis, umumnya dikenal sebagai Telur cacing cambuk babi. T vaksinasi sel
juga sedang dieksplorasi sebagai terapi masa depan untuk auto-imun
gangguan.
Dua prinsip strategi pengobatan autoimun antara lain supresi respons imun
atau mengganti fungsi organ yang rusak. Penggantian fungsi merupakan
metode pengobatan yang sering digunakan pada autoimun endokrinologi
pada gagal organ yang ireversibel, contohnya pada hipotirodisme. Namun
apabila kebutuhan hormon yang defisit tidak dapat diatasi melalui terapi
pengganti, maka dapat timbul masalah metabolik. Supresi autoimun
sebelum kerusakan organ ireversibel menjadi pilihan yang lebih menarik,
namun sangat sulit dalam deteksi dini. Pada kasus autoimun seperti SLE,
artritis reumatoid dan penyakit ginjal autoimun, terapi imunosupresi
menjadi sarana yang dapat mencegah disabilitas berat dan kematian.
Pengobatan penyakit autoimun meliputi kontrol metabolik, obat anti-
inflamasi, imunosupresan, dan kontrol imunologis.
Kontrol metabolik
Sebagian besar pendekatan pengobatan penyakit autoimun adalah dengan
manipulasi respons imun. Tetapi pada penyakit organ spesifik kontrol
metabolik biasanya sudah memadai, misalnya pemberian tiroksin untuk
miksedema primer, insulin untuk diabetes juvenil, vitamin B12 untuk
anemia pernisiosa, obat antitiroid untuk penyakit Grave, dan lain-lain.
Obat antikolinesterase untuk miastenia gravis biasanya diberikan dalam
jangka panjang. Timektomi seringkali bermanfaat sehingga disimpulkan
bahwa kelenjar tersebut mengandung reseptor asetilkolin dalam bentuk
antigen.
Obat anti-inflamasi
Obat yang bekerja sebagai anti-inflamasi, misalnya kortikosteroid,
menunjukkan manfaat terhadap berbagai penyakit autoimun serius seperti
miastenia gravis, LES, dan nefritis kompleks imun. Obat AINS seperti
salisilat, indometasin, fenoprofen atau ibuprofen dipakai pula untuk artritis
rheumatoid.
Imunosupresan
Siklosporin A yang menghambat sekresi IL-2 bekerja sebagai anti-inflamasi
dan antimitotik, serta telah dicoba pemakaiannya untuk diabetes juvenil,
LES, dan artritis reumatoid walaupun masih belum dapat diambil
kesimpulan akhir tentang manfaatnya.
Imunosupresan yang dipakai saat ini umumnya obat konvensional yang
bersifat nonspesifik, misalnya azatioprin, siklofosfamid, dan metotreksat
yang biasanya diberikan bersama kortikosteroid. Pengobatan tersebut telah
sering dilakukan dengan hasil cukup baik, misalnya untuk LES, hepatitis
kronik aktif, dan anemia hemolitik autoimun.
Kontrol imunologis
Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun masih sangat
terbatas pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan percobaan.
Tindakan yang cukup sering dilakukan adalah transfusi tukar plasma untuk
mengurangi kompleks imun, yang dilaporkan bermanfaat sementara untuk
LES tetapi cukup baik untuk sindrom Goodpasture. Iradiasi kelenjar limfe
total masih terus dieksplorasi dan diamati hasilnya. Pada saatnya kelak
diharapkan akan dapat dilakukan koreksi terhadap defek sel stem atau
timus dengan transplantasi sumsum tulang, sel stem atau timus, atau
dengan hormon timus. Selain itu pemberian faktor timus diharapkan akan
dapat menjaga kontrol sel Ts terhadap autoimunitas.
Percobaan pada hewan telah berhasil untuk melakukan switching-off sel B
yang terlihat dengan menurunnya anti-DNA. Demikian pula pemberian
beberapa antibodi monoklonal seperti anti-kelas II dan antiT4
memperlihatkan perbaikan klinis LES dan artritis reumatoid pada hewan
percobaan.
Aksi imunosupresif kuat oleh antibodi anti-idiotipik telah dicoba untuk
dimanfaatkan. Bayi yang lahir dari ibu penderita miastenia gravis dapat
bertahan terhadap efek patogen anti-reseptor asetilkolin maternal dengan
membentuk anti-idiotipik terhadap antibodi maternal tersebut. Diharapkan
aplikasi pemahaman terhadap jaringan anti-idiotip akan dapat mengatasi
berbagai kesulitan pada pengobatan penyakit autoimun.
Beberapa subjek penelitian lain misalnya terhadap aktivitas kontrasupresor
atau ekspresi HLA yang tidak adekuat, antagonis limfokin, atau mengolah
berbagai matra sitotoksik baik dengan pemanfaatan toksin bakteri ataupun
bahan radioaktif.
REFERENCES RECOMMENDED
Stefanova I., Dorfman J. R. and Germain R. N. (2002). “Self-recognition
promotes the foreign antigen sensitivity of naive T lymphocytes”. Nature
420 (6914): 429–434. doi:10.1038/nature01146. PMID 12459785.
Ainsworth, Claire (Nov. 15, 2003). The Stranger Within. New Scientist
Theory: High autoimmunity in females due to imbalanced X chromosome
inactivation:
Uz E, Loubiere LS, Gadi VK, et al. (June 2008). “Skewed X-chromosome
Inactivation in Scleroderma”. Clin Rev Allergy Immunol 34 (3): 352–5.
doi:10.1007/s12016-007-8044-z. PMC 2716291. PMID 18157513.
Saunders K, Raine T, Cooke A, Lawrence C (2007). “Inhibition of
Autoimmune Type 1 Diabetes by Gastrointestinal Helminth Infection”.
Infect Immun 75 (1): 397–407.
Parasite Infection May Benefit Multiple Sclerosis Patients
Wållberg M, Harris R (2005). “Co-infection with Trypanosoma brucei
brucei prevents experimental autoimmune encephalomyelitis in DBA/1
mice through induction of suppressor APCs”. Int Immunol 17 (6): 721–8.
Edwards JC, Cambridge G (2006). “B-cell targeting in rheumatoid
arthritis and other autoimmune diseases”. Nature Reviews Immunology 6
(5): 394–403.
Kubach J, Becker C, Schmitt E, Steinbrink K, Huter E, Tuettenberg A,
Jonuleit H (2005). “Dendritic cells: sentinels of immunity and tolerance”.
Int J Hematol 81 (3): 197–203.
Induction of autoantibodies against tyrosinase-related proteins following
DNA vaccination: Unexpected reactivity to a protein paralogue Roopa
Srinivasan, Alan N. Houghton, and Jedd D. Wolchok
Green, R.S., Stone, E.L., Tenno, M., Lehtonen, E., Farquhar, M.G., and
Marth, J.D. (2007) “Mammalian N-glycan branching protects against
innate immune self-recognition and inflammation in autoimmune disease
pathogenesis” Immunity 27: 308-320.
Zaccone P, Fehervari Z, Phillips JM, Dunne DW, Cooke A (2006).
“Parasitic worms and inflammatory diseases”. Parasite Immunol. 28 (10):
515–23. doi:10.1111/j.1365-3024.2006.00879.x. PMC 1618732. PMID
16965287.
Dunne DW, Cooke A (2005). “A worm’s eye view of the immune system:
consequences for evolution of human autoimmune disease”. Nat. Rev.
Immunol. 5 (5): 420–6.
Dittrich AM, Erbacher A, Specht S, et al. (2008). “Helminth Infection
with Litomosoides sigmodontis Induces Regulatory T Cells and Inhibits
Allergic Sensitization, Airway Inflammation, and Hyperreactivity in a
Murine Asthma Model”. J. Immunol. 180 (3): 1792–9.
Wohlleben G, Trujillo C, Müller J, et al. (2004). “Helminth infection
modulates the development of allergen-induced airway inflammation”.
Int. Immunol. 16 (4): 585–96. doi:10.1093/intimm/dxh062. PMID
15039389.
Quinnell RJ, Bethony J, Pritchard DI (2004). “The immunoepidemiology of
human hookworm infection”. Parasite Immunol. 26 (11–12): 443–54.
doi:10.1111/j.0141-9838.2004.00727.x. PMID 15771680.
Pike B, Boyd A, Nossal G (1982). “Clonal anergy: the universally anergic
B lymphocyte”. Proc Natl Acad Sci USA 79 (6): 2013–7.
doi:10.1073/pnas.79.6.2013. PMC 346112. PMID 6804951.
Jerne N (1974). “Towards a network theory of the immune system”. Ann
Immunol (Paris) 125C (1–2): 373–89. PMID 4142565.
Edwards JC, Cambridge G, Abrahams VM (1999). “Do self perpetuating B
lymphocytes drive human autoimmune disease?”. Immology 97: 1868–
1876.
Klein J, Sato A (September 2000). “The HLA system. Second of two
parts”. N. Engl. J. Med. 343 (11): 782–6.
doi:10.1056/NEJM200009143431106. PMID 10984567.
Women and Autoimmune Disorders By Krisha McCoy. Medically
reviewed by Lindsey Marcellin, MD, MPH. Last Updated: 12/02/2009