imunisasi anak1

38
MAKALAH DISKUSI KELOMPOK ALERGI IMUNOLOGI dan INTOKSIKASI KELOMPOK VIII 030.06.034 ARIEF ZAMIR 030.06.169 MUHAMMAD REZALDI 030.06.276 WILSON MARCEILONA 030.07.117 INDRA PRATAMA DANA 030.07.198 OLGA AYU PRATAMI 030.08.021 AMELIA CHRISTIANA 030.08.045 ASTI MEIDIANTI 030.08.081 DIAN ROSA ARIZONA 030.08.106 FRISKA MONITA 030.08.142 LAURA ESTELIA 030.08.169 MUTIARA SAZKIA 030.08.209 RINI ROSSELLINI UTAMI 030.08.229 SRI FELICIANI 030.08.263 YUNITA WULANDARI 030.08.302 SITI HANISAH BT SAMSUDIN

Upload: laura-estelia

Post on 29-Oct-2015

59 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

imunisasi anak1

TRANSCRIPT

Page 1: imunisasi anak1

MAKALAH DISKUSI KELOMPOK

ALERGI IMUNOLOGI dan INTOKSIKASI

KELOMPOK VIII

030.06.034 ARIEF ZAMIR

030.06.169 MUHAMMAD REZALDI

030.06.276 WILSON MARCEILONA

030.07.117 INDRA PRATAMA DANA

030.07.198 OLGA AYU PRATAMI

030.08.021 AMELIA CHRISTIANA

030.08.045 ASTI MEIDIANTI

030.08.081 DIAN ROSA ARIZONA

030.08.106 FRISKA MONITA

030.08.142 LAURA ESTELIA

030.08.169 MUTIARA SAZKIA

030.08.209 RINI ROSSELLINI UTAMI

030.08.229 SRI FELICIANI

030.08.263 YUNITA WULANDARI

030.08.302 SITI HANISAH BT SAMSUDIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Jakarta , 9 Februari 2010

Page 2: imunisasi anak1

PENDAHULUAN

Sejarah imunisasi telah dimulai lebih dari 200 tahun yang lalu, sejak Edward Yenner

tahun 1798 pertama kali menunjukkan bahwa dengan cara vaksinasi dapat mencegah

penyakit cacar. Untuk dapat melakukan pelayanan imuunisasi yang baik dan benar diperlukan

pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin (vaksinologi) , kekebalan (imunologi), dan cara

atau prosedur pemberian vaksin.

Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan

perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi

tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi.

Pembangunan nasional jangka panjang menitikberatkan pada kualitas hidup sumber

daya manusia yang prima. Untuk itu kita bertumpu pada generasi muda yang memerlukan

asuhan dan perlindungan terhadap penyakit yang mungkin dapat menghambat tumbuh

kembangnya menuju dewasa yang berkualitas tinggi guna meneruskan pembangunan

nasional jangka panjang tersebut.

Profil epidemiologis di Indonesia sebagai gambaran tingkat kesehatan di masyarakat

masih memerlukan perhatian khusus yaitu angka kematian kasar (CMR) : 7,51 per 1000/

tahun , angka kematian bayi (IMR) : 48 per 1000 lahir hidup / tahun , angka kematian ibu

hamil (MMR) : 470 per 100000 lahir hidup / tahun , dan cakupan imunisasi : BCG 85% ,

DTP 64%, POLIO 74%, HB1 91%, HB2 84,4% , HB3 83,0% , TT ibu hamil : TT1 84% dan

TT2 77%.

Page 3: imunisasi anak1

PEMBAHASAN

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif

terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan antigen yang serupa, tidak terjadi

penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat 2 jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif

dan kekebalan aktif.

Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh

individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau

kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan immunoglobulin. Kekebalan pasif tidak

berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG 28 hari,

sedangkan waktu paruh immunoglobulin lainnya lebih pendek.

Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada

antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif berlangsung

lebih lama daripada kekebalan pasif kerana adanya memori imunologik.

Respon imun adalah respons tubuh berupa urutan kejadian yang kompleks terhadap

antigen (Ag), untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respon imun terdiri dari 2 fase,

1) Fase pengenalan : diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen (APC),

sel limfosit B, limfosit T.

2) Fase efektor : diperankan oleh antibody, dan limfosit T efektor.

Peran utama vaksinasi ialah menimbulkan memori imunologik yang banyak. Sel B

memori terbentuk di jaringan limfoid di bagian sentral germinal. Antigen asing yang sudah

terikat dengan antibody akan membentuk kompleks Ag-antibody dan akan terikat dengan

komplemen (C). Kompleks Ag-Ab-C akan menempel pada sel dendrit folikel (FDC) karena

terdapat reseptor C di permukaan sel dendrit. Terjadi proliferasi dan diferensiasi sel limfosit

B dan akan terbentuk sel plasma yang menghasilkan antibodi dan sel B memori yang

mempunyai afinitas yang tinggi. Sel B memori akan berada di sirkulasi sedangkan sel plasma

akan migrasi ke sumsum tulang. Bila sel B memori kembali ke jaringan limfoid yang

mempunyai antigen yang serupa maka akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti

semula dengan menghasilkan antibodi yang lebih banyak dan dengan afinitas yang lebih

Page 4: imunisasi anak1

tinggi. Terbentuknya antibodi sebagai akibat ulangan vaksinasi (boosting effect) tergantung

dari dosis antigen yang diberikan.

Sel T memori dibentuk dengan melalui beberapa tahapan. Sel APC akan

mempresentasikan antigen yang sudah diprosesnya bersama-sama molekul MHC di jaringan

limfoid perifer pada sel limfosit T, bersamaan dengan ini akan disekresi sitokin. Salah satu

fungsi dari sitokin adalah proliferasi sel T dengan Ag spesifik (clonal expansion) dan

diferensiaisi yang menghasilkan sel efektor dan sel T memori. Sel efektor akan meninggalkan

jaringan limfoid dan berada di sirkulasi dan bermigrasi ke tempat terjadi infeksi untuk

mengeliminasi infeksi sedangkan sel T memori yang tidak aktif dan berada di sirkulasi untuk

jangka waktu yang lama. Antigen ekstraseluler akan diproses di APC menjadi peptida yang

akan dikenal oleh molekul MHC kelas II. Sedangkan Ag intraseluler diproses di sitoplasma

APC yang akan dikenali oleh molekul MHC kelas I. Sel limfosit T CD4+ mempunyai fungsi

memproduksi sitokin sel helper untuk mengeliminasi mikroba ekstraseluler. Sedangkan

molekul CD8+ yang mempunyai fungsi sitolitik (CTL) akan memusnahkan mikrobakterium

intrasel.

Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor yaitu :

1) Status imun penjamu

2) Faktor genetik penjamu

3) Kualitas vaksin

4) Kuantitas vaksin

Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan antigen, maka terdapat 4

faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu :

1) Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi interleukin

2) Mangaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori

3) Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi

repons imun yang ada dalam populasi kerana adanya polimorfime MHC

4) Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid

tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu

menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus menerus sehingga kadarnya tetap

tinggi.

Page 5: imunisasi anak1

Keberhasilan vaksinasi ialah apabila terbentuknya antibody spesifik pada penjamu

terhadap vaksin yang diberikan. Misalnya, pada bayi yang semasa janin mendapat antibody

maternal spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar

antibody spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan.

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi

makrofag masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA

(human leukocyte antigen) masih kurang pada permukaannya, selain deformabilitas membran

serta respons kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas opsonin

komplemen masih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel

Ts (T supresor) relatif lebih menonjol dibandingkan pada bayi atau anak karena memang

fungsi imun pada masa intra uterin lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat

pada bayi baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang.

Jadi, dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang

dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan,

jangan lupa memberikan imunisasi ulangan.

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat

imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang

menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti penyakit keganasan juga akan mempengaruhi

keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan kontra indikasi pemberian

vaksin hidup kerana dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula

vaksinasi pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak,

tuberculosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.

Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan

limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun

kadar globulin γ normal atau meninggi, immunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat

antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis

antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya

respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

Interaksi antara sel-sel imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik,

respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen

Page 6: imunisasi anak1

tertentu, tetapi terhadap antigen lain lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila menemukan

keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.h akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan

molekul MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti

bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Pada gen non MHC, secara klinis kita

melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan dengan gen tertentu, misalnya

agamaglobulinemia yang terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki-

laki atau penyakit alergi yatu penyakit yang menunjukkan perbedaan respons imun terhadap

antigen tertentu merupakan penyakit yang diturunkan. Faktor-faktor ini menyokong adanya

peran genetik dalam respons imun, hanya saja mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.

Vaksin adalah mikroorganisme atau toxoid yang diubah sedemikian rupa sehingga

patogenitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandungi sifat antigenitas.

Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi,

seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian adjuvan yang dipergunakan, dan jenis

vaksin.

Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan

menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan

menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan

yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan

melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteria.

Pada dasarnya jenis vaksin dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)

Vaksin hidup dibuat atau diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan

modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang

dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak

(replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.

Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila

terkena panas atau sinar maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan

dengan baik dan hati-hati.

Vaksin hidup tidak dapat berkembang karena mendapat pengaruh dari antibodi

yang beredar. Antibodi yang masuk melalui plasenta atau transfusi dapat

Page 7: imunisasi anak1

mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak

adanya respon.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia :

- berasal dari virus hidup : vaksin campak , gondongan (parotitis), rubella,

polio ,rotavirus, demam kuning (yellow fever).

- Berasal dari bakteri : vaksin BCG dan typhoid oral

2. Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif)

Vaksin inactivated dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau bakteri, atau

komponen (fraksi) dari kedua mikroorganisme tersebut. Vaksin komponen

dapat berbasis protein atau berbasis polisakarida. Vaksin yang berbasis protein

termasuk toksoid (toksin bakteri yang inactivated) dan produk subunit atau

subvision. Sebagaian besar vaksin berbasis polisaksarida terdiri atas dinding

sel polisakarida dari bakteri. Vaksin penggabungan (conjugate vaccine)

polisakarida adalah vaksin polisakarida yang secara kimiawi dihubungkan

dengan protein ; karena hubungan ini membuat polisakarida tersebut menjadi

lebih potent.

Tidak seperti antigen hidup, antigen inactivated umumnya tidak dipengaruhi

oleh antibodi yang beredar. Vaksin ini dapat diberikan saat antibodi berada di

sirkulasi darah (misalnya pada bayi , menyusul penerimaan antibodi yang di

hasilkan darah).

Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :

- seluruh sel virus yang inactivated ,

contoh : influenza , polio (injeksi) , rabies, dan hepatitis A.

- seluruh bakteri yang inactivated ,

contoh : pertusis, typhoid, kolera , dan lepra.

Vaksin inactivated dibagi menjadi dua yaitu :

- Vaksin polisakarida adalah vaksin subunit yang inactivated. Terdiri atas

rantai panjang molekul-molekul gula yang membentuk permukaan kapsul

bakteri tertentu.

Vaksin polisakarida murni tersedia untuk tiga macam penyakit yaitu

pneumococcus , meningococcus , dan haemophillus influenza type B

Vaksin polisakarida gabungan contohnya haemophillus influenza type B

dan pneumococcus.

Page 8: imunisasi anak1

- Vaksin rekombinan adalah vaksin yang didapatkan dari hasil teknik

rekayasa genetik.

Contohnya vaksin hepatitis B dan typhoid.

Tata cara pemberian imunisasi :

Memberitahukan secara rinci tentang resiko imunisasi dan resiko apabila tidak

divaksinasi

Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi

lanjutan yang tidak diharapkan

Baca dengan teliti informasi tentang vaksin yang akan diberikan dan jangan lupa

meminta persetujuan dari orang tua anak tersebut. Melakukan Tanya jawab dengan

orang tua atau pengasuh sebelum melakukan imunisasi

Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan

Periksa identitas pasien dan berikan anti piretik bila perlu

Berikan vaksin dengan teknik yang benar

Setelah pemberian vaksin :

- Berilah petunjuk kepada orang tua atau pengasuh tentang apa yang harus

dikerjakan bila terjadi reaksi mulai dari yang ringan sampai yang berat

- Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis

- Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan

bidang Pemberantasan Penyakit menular (P2M)

Sebelum kita melakukan imunisasi pada seseorang, kita harus menjelaskan atau

menanyakan hal – hal berikut kepada orang tua atau keluarga sebelum diberikan imunisasi.

Hal – hal yang perlu diperhatikan adalah

1. Keadaan bayi / anak

Orangtua atau pengantar bayi / anak dianjurkan mengingat dan memberitahukan

secara lisan atau melalui daftar pertanyaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan

kontra indikasi atau resiko kejadian pasca imunisasi :

o Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat (memerluka

pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit)

Page 9: imunisasi anak1

o Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin

o Sedang mendapat pengobatan steroid jangka panjang, radioterapi atau

kemoterapi,

o Menderita sakit yang menurunkan imunitas

o Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun

o Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup

o Pada 3 bulan yang lalu mendapat immunoglobulin atau transfuse darah

o Menderita penyakit susunan saraf pusat

2. Pemberian anti piretik sebelum dan sesudah imunisasi

3. Manfaat vaksinasi

Harus dijelaskan juga bahwa vaksin tidak melindungi 100%, tetapi dapat

memperkecil resiko tertular dan memperingan dampak bila terjadi infeksi.

Jadwal imunisasi IDAI secara berkala dievaluasi untuk penyempurnaan, departemen

kesehatan / WHO, kebijakan global, dan pengadaan vaksin di Indonesia. Imunisasi yang

diwajibkan meliputi :

BCG

Diberikan sebelum bayi berumur 3 bulan. Dosis yang diberikan 0,05 ml untuk bayi

yang kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak (>1 tahun). Vaksin BCG diberikan

secara intra kutan di daerah lengan atas pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran

WHO. Imunisasi ulangan untuk BCG tidak dianjurkan. Vaksin BCG merupakan

vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien imunokompromais. Apabila diberikan

pada umur yang lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu.

Vaksin baru diberikan bila uji tuberkulin negatif.

Hepatitis B

Page 10: imunisasi anak1

Vaksin hepatitis B harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi hepatitis

B merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai

penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.

Jadwal imunisasi hepatitis B :

Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah

lahir, mengingat paling tidak 3,9 % ibu hamil mengidap hepatitis B aktif

dengan resiko penularan kepada bayinya sebesar 45%

Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan dari imunisasi hepB-1 yaitu saat

bayi berumur 1 bulan. Untukmendapat respons imun optimal, interval

imunisasi HepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, paling baik 5 bulan. Maka

imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.

Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir dibuat berdasarkan status HBsAg ibu

saat melahirkan yaitu

(1) ibu dengan status HBsAg yang tidak diketahui,

(2) ibu HBsAg positif, atau

(3) ibu HBsAg negatif.

Pada bayi yang baru lahir dari ibu yang tidak diketahui status HBsAg nya,

hepB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada umur

1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila kemudian status sang ibu diketahui bahwa HBsAg nya

positif maka ditambahkan hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml sebelum bayi

berumur 7 hari. Tetapi jika bayi lahir dari ibu dengan status HBsAg yang positif ,

maka diberikan vaksin hepB-1 dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12

jam setelah lahir.

DTwP (whole-cell pertusis) dan DTaP (acelluler pertusis)

Kedua vaksin DTP ( DTwP dan DTaP) dapat digunakan secara bersamaan dalam

jadwal imunisasi.

Jadwal imunisasi :

Page 11: imunisasi anak1

Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak berumur 2 bulan (DTP tidak bole

diberikan sebelum berumur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Jadi DTP-

1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 diberikan pada umur 4 bulan, DTP-3

pada umur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu tahun

setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk

sekolah umur 5 tahun.

Dosis yang diberikan sebanyak 0,5 ml, intramuscular, dan hal ini berlaku baik

untuk imunisasi dasar maupun imunisasi ulangan.

Polio

Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio 1, 2, dan 3.

OPV ( oral polio vaccine), hidup dilemahkan, tetes, oral.

IPV (inactivated polio vaccine) , in-aktif, suntikan.

Kedua vaksin tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV dapat diberikan

pada anak sehat maupun anak yang menderita imunokompromais, dan dapat juga

diberikan sebagai imunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin IPV juga dapat diberikan

bersamaan dengan vaksin DTP, secara terpisah atau kombinasi.

Jadwal :

Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan untuk

mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Hal ini diperlukan karena

Indonesia rentan terhadap transmisi virus polio liar dari daerah endemic polio.

Mengingat OPV berisi virus polio hidup, maka diberikan saat bayi

meninggalkan rumah sakit/rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain

karena virus polio dapat menyebar melalui tinja. Untuk keperluan ini IPV

dapat menjadi alternatif.

Untuk imunisasi dasar(polio-2,3,4) diberikan pada umur 2,4,dan 6 bulan,

interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.

Dosis :

OPV diberikan 2 tetes per-oral.

Page 12: imunisasi anak1

IPV dalam kemasan 0,5 ml , intramuscular. Vaksin IPV dapat diberikan

tersendiri atau dalam kemasan kombinasi.

Imunisasi polio diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya

saat masuk sekolah(5-6 tahun)

Campak

Rutin dianjurkan untuk diberikan dalam satu dosis 0,5ml secara sub-kutan dalam ,

pada umur 9 bulan. Selain imunisasi umur 9 bulan, diberikan juga imunisasi campak

kesempatan kedua pada umur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6.

Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan umur 6

tahun ; maka ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan.

Imunisasi Kelompok Berisiko

1. Imunisasi bayi berisiko

2. Imunisasi bayi pada Ibu berisiko

Kelompok berisiko dibagi menjadi bayi yang berisiko dan ibu yang berisiko. Pada

bayi / anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi atau perhatian khusus

untuki pemberian imunisasi berikut, diperlukan panduan. Kelompok ini termasuk bayi/anak

yang menderita defisiensi imun seperti bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak

yang mendapatkan pengibatan imunospuresi, radioterapi, anak yang menderita infeksi HIV,

transplantasi sum-sum tulang/organ dan splenektomi; atau mereka yang pernah menderita

reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi.

Kelompok ibu yang berisiko dapat menularkan infeksi yang diderita terhadap bayi

yang dilahirkan, perlu mendapat pertimbangan saat bayi akan diimunisasi. Perhatian khusus

diperlukan pada ibu yang menderita hepatitis B, tuberkulosis, dan HIV.

Imunisasi pada Bayi dan Anak Berisiko

1. Pasien imunokompromais

Page 13: imunisasi anak1

Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada penyakit defisiensi imun

kongenital (primer) dan defisiensi imun didapat (sekunder).

a. Defisiensi imun primer

Pada defisiensi imun primer humoral, defisiensi imun primer seluler, dan

kombinasi defisiensi keduanya kontra indikasi untuk vaksinasi dengan vaksin hidup.

Dapat diberikan imunisasi pasif dengan gamma globulin spesifik atau dengan IGIV.

Pada defisiensi komplemen dapat diberikan semua jenis vaksin baik hidup

ataupun vaksin kuman mati atau dilemahkan. Sedangkan pada defisiensi fagosit,

misalnya pada penyakit granulomatosis, tidak boleh diberikan vaksin bakteri hidup

dan dianjurkan untuk di vaksinasi terhadap penyakit influenza dan pneumokokus.

b. Defisiensi imun sekunder

1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau lebih dari 20 mg

sehari atau 2mg/kgbb/hari dengan lama pengobatan lebih dari 7 hari atau dosis 1

mg/kgbb/hari selama pengobatan lebihg dari 1 bulan

2. Pengobatan dengan alkylating agents, antimetabolik, dan radioterapi. Untuk

penyakit keganasan seperti leukemia dan limfoma.

Pada pasien dengan sistem imun tertekan tidak boleh diberikan imunisai

vaksin hidup karena dapat berakibat fatal disebabkan kuman akan berepllikasi hebat

karena tubuh tidak dapat mengontrolnya. Vaksin hidup misalnya; vaksin polio oral,

MMR, dan BCG. Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah

penghentian pengobatan imunosupresif minimal 3 bulan.

Vaksinasi dengan mikroorganisme mati tau yang dilemahkan dapat segera

diberikan seperti hepatitis B, hepatitis A, DTP, influenza, dan Hib, dosis sama dengan

ank sehat.

c. Infeksi Human Imunpdefisiensi Virus

Pasien HIV mempunyain risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi

sehingga diperlukan imunisasi, walaupun responnya terhadap imunisasi kurang

optimal. Apabila imunisasi diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena

penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang; namun apabila

diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan

Page 14: imunisasi anak1

replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat

diimunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati.

d. Bayi prematur dan berat lahir rendah

Bayi prematur dapat diminunisasi sesuai dengan umur kronologisnya dengan

dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan. Vaksin DTwP atau DtaP, Hib

dan OPV diberikan pada umur 2 bulan. Bila bayi masih dirawat pada umur 2 bulan

sebaiknya diberikan IPV, bila akan diberikan OPV sebaiknya pemberian ini ditunda

sampai saat bayi akan dipulangkan dari rumah sakit/ rumah bersalin untuk

menghindarkan penyebaran virus polio kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada

bayi prematur respons imun kurang bila dibandingkan bayi matur terhapan imunisasi

Hepatitis B, sehingga pemberian vaksin hepatitis B dapat dilakukan dengan 2 cara

sebagai berikut:

Ibu positif HBsAg, berat lahir > 2000 g: harus diberikan vaksin hepatitis B

bersamaan dengan HBIg pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis

ke-2 diberikan 1 bulan kemudian, dosis ke-3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12

bulan. Periksa titer anti-HBs dan HBsAg pada umur 9-15 bulan. Bila HBsAg dan

anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan dan periksa

kembali HBsAg dan anti-HBs.

Ibu positif HBsAg, berat lahir < 2000 g: harus diberikan vaksin hepatitis B

bersamaan dengan HBIg pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam.

Imunisasi vaksin hepatitis B ke-2 diberikan umur 1 bulan dan berat badan

mencapai 2000g, selanjutnya umur 2-3 bulan dan 6 bulan umur kronologis.

Periksa titer anti-HBs dan HBsAg pada umur 9-15 bulan. Bila HBsAg dan anti-

HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan dan periksa

kembali HBsAg dan anti-HBs.

Ibu negatif HBsAg, berat lahir > 2000 g: pemberian imunisasi hepatitis B dosis

pertama saat lahir, selanjutnya umur 1 dan 6 bulan umur kronologis.

Ibu negatif HBsAg, berat lahir > 2000 g: imunisasi pertama saat berat badan

mencapai 2000g atau secara klinis keadaannya stabil dalam 30 hari umur

kronologis atau pada saat keluar dari RS sebelum 30 hari umur kronologis.

Imunisasi hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1-2 bulan, 2-4 bulan dan 6-18

bulan umur kronologis.

Page 15: imunisasi anak1

Ibu tidak diketahui status HBsAg, berat lahir > 2000 g: diberikan vaksin hepatitis

B dalam 12 jam. Periksa HBsAg ibu segera. Bila hasil positif ditambahkan HBIg

dalam waktu 7 hari.

Ibu tidak diketahui status HBsAg, berat lahir < 2000 g: diberikan vaksin hepatitis

B. Periksa HBsAg ibu segera, bila tidak dapat dilakukan dalam 12 jam, berikan

HBIg dalam 12 jam.

Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan DTP, DtaP (DTP/HepB).

Vaksin kombinasi baru dapat diberikan pada umur kronologis setelah 6 minggu, jadi

vaksin kombinasi tidak dapat diberikan sebagai imunisasi pertama pada bayi

prematur.

Imunisasi pada anak dengan penyakit kronis

Anak dengan penyakit kronis peka terhadap infeksi, sehingga harus diberikan imunisasi

seperti anak sehat, kecuali sudah terjadi defisiensi imun sekunder. Sangat dianjurkan untuk

imunisasi terhadap influenza dan pneumokokus.

Imunisasi pada anak dengan reaksi efek samping

Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi, harus

diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan pengawasan dokter.

Air susu ibu dan imunisasi

Tidak terdapat kontra indikasi pada bayi yang sedang disusui bila ibunya diberikan imunisasi

baik dengan kuman atau virus hidup dan kuman yang dilemahkan. Sebaliknya air susu ibu

akan menghalangi seorang bayi untuk mendapatkan imunisasi.

Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko

Ibu menderita hepatitis B

Ibu yang menderita hepatitis B akut atau uji serologis HBsAg positif, dapat menularkan

hepatitis B pada bayinya. Imunisasi hepatitis B pada bayi ditentukan oleh status HBsAg ibu

sebagaimana tertulis pada tabel berikut ini.

Status HBsAg ibu Berat lahir ≥ 2000 g Berat lahir < 2000 g

Page 16: imunisasi anak1

HBsAg positif vaksin hepatitis B + HBIg

(dalam umur 12 jam)

Imunisasi dengan 3 dosis

vaksin pada 0, 1, dan 6 bulan

kronologis.

Periksa anti-HBs dan HBsAg

pada umur 9-15 bulan +

Bila HBsAg dan anti-HBs

negatif, reimunisasi dengan 3

dosis, dengan interval 2

bulan, dan periksa kembali

HBsAg dan ati-HBs.

vaksin hepatitis B + HBIg

(dalam umur 12 jam)

Imunisasi dengan 4 dosis

vaksin pada 0, 1, 2-3, dan 6

bulan kronologis.

Periksa anti-HBs dan HBsAg

pada umur 9-15 bulan +

Bila HBsAg dan anti-HBs

negatif, reimunisasi dengan 3

dosis, dengan interval 2

bulan, dan periksa kembali

HBsAg dan ati-HBs.

HBsAg tidak diketahui vaksin hepatitis B dalam (12

jam) + HBIg (dalam 7hari)

bila hasil pemeriksaan

HBsAg ibu positif

vaksin hepatitis B + HBIg

(dalam 12 jam)

Periksa HBsAg ibu segera Periksa HBsAg ibu segera

Bila tidak dapat dilakukan

dalam 12 jam, berikan HBIg.

HBsAg negatif Dianjurkan vaksin Hepatitis

B sejak lahir.

vaksin Hepatitis B dosis 1

dalam 30 hari umur

kronologis, bila secara klinis

keadaannya stabil, atau pada

saat keluar dari RS sebelum

30 hari umur kronologis.

Imunisasi Hepatitis B dalam

3 dosis pada umur 0-2, 1-4,

dan 6-18 bulan kronologis.

Imunisasi Hepatitis B dalam

3 dosis pada umur 1-2, 2-4,

dan 6-18 bulan kronologis.

Page 17: imunisasi anak1

Bila vaksinasi kombinasi

mengandung vaksin Hepatitis

B, berikan saat usia 6-8

minggu umur kronologis.

Evaluasi anti-HBs dan

HBsAg tidak perlu

dilakukan.

Bila vaksinasi kombinasi

mengandung vaksin Hepatitis

B, berikan saat usia 6-8

minggu umur kronologis.

Evaluasi anti-HBs dan

HBsAg tidak perlu

dilakukan.

* Saat pemberian dosis vaksin Hepatitis B tidak mempertimbangkan masa gestasi dan berat

lahir.

+ Pendapat lain menganjurkan melakukan pemeriksaan serologis 1-3 bulan sesudah

pemberian jadwal vaksinasi Hepatitis B selesai.

Yakinkan ibu tetap menyusui ASI, apabila vaksin Hepatitis B sudah diberikan.

Ibu menderita tuberkulosis

Bayi dilahirkan ibu menderita (TB) paru aktif sesaat sebelum, sesudah lahir, dan

mendapatkan pengobatan kurang 2 bulan sebelum melahirkan, tidak cukuo terlindungi

dengan vaksinasi BCG.

Tindakan yang dilakukan,

Jangan diberi BCG pada saat setelah lahir.

Beri pencegahan dengan isoniazid (INH) 5 mg/kg BB sekali sehari per oral.

Pada umur 8 minggu evaluasi bayi kembali, berat badan, dan dilakukan pemeriksaan

uji tuberkulin dan foto dada bila memungkinkan.

o Apabila ditemukan kemungkinan TB aktif, mulai diberipengobatan anti TB

sesuaikan program pengobatan TB pada bayi.

o Apabila kondisi bayi baik dan hasil uji tuberkulin negatif lanjutkan

pencegahan dengan isoniazid dalam waktu 6 bulan.

Page 18: imunisasi anak1

o Tunda pemberian BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai. Bila

BCG sudah terlanjur diberikan, ulangi pemeriksaan 2 minggu setelah

pengobatan INH selesai.

o Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan dan catat berat badan bayi tiap

2 minggu.

Ibu menderita HIV

Tidak ada tanda spesifik HIVyang dapat ditemukan pada bayi saat lahir.

Tanda klinis dapat ditemukan pada umur 6 minggu setelah lahir, namun uji antibodi

baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan, untuk menentukan status HIV bayi.

Bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif, lakukan konseling pada keluarga rawat

bayi seperti bayi yang lain dan perhatian khusus pada pencegahan infeksi. Bayi tetap

diberi imunisasi rutin seperti layaknya bayi sehat lain.

MISKONSEPSI IMUNISASI

Tidak jarang di jumpai orangtua yang ragu atau bahkan menolak imunisasi dengan

berbagai alasan. Ketakutan atau penolakan mungkin berdasarkan pandangan religi, filosofi

tertentu, anggapan imunisasi sebagai intervensi pemerintah. Alasan lain adalah berhubungan

dengan keamanan dan pandangan bahwa penyakit yang dicegah oleh vaksinasi tidak

menimbulkan masalah kesehatan yang berbahaya.

1. Penyakit telah menghilang sebelum vaksin diperkenalkan, akibat perbaikan sanitasi dan

hygiene.

Kondisi sosial ekonomi yang membaik mempunyai dampak positif bagi penyakit. Nutrisi

yang cukup, penemuan antibiotic dan pengobatan lain, telah meningkatkan angka harapan

hidup bagi pasien. Kepadatan penduduk yang berkurang, telah menurunkan transmisi

penyakit. Angka kelahiran yang menurun juga telah menurunkan jumlah anak yang rentan

dan menurunkan tranmisi antar keluarga. Pengamatan insidens penyakit jangka panjang

dapat menerangkan dampak vaksin dalam menurunkan penyakit.

2. Mayoritas anak yang sakit telah di vaksinasi

Page 19: imunisasi anak1

Pendapat yang salah ini sering di jumpai dalam rumor maupun dalam literature kelompok

anti vaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa (KLB) jumlah anak yang sakit dan

pernah diimunisasi mungkin lebih banyak dibandingkan jumlah anak dan belum

diimunisasi. Perbandingan ini dapat di terangkan dengan 2 faktor yaitu

a) Tidak ada vaksin yang efektif 100%. Supaya aman, maka bakteri atau virus di

matikan atau di lemahkan terlebih dahulu. Efektifitas sebagian besar vaksin pada anak

adalah 85%-95% tergantung respon individu.

b) Jumlah anak yang diimunisasi di negara yang telah mejalankan program imunisasi.

3. Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan dan bahkan kematian.

Hampir semua efek samping vaksin bersifat ringan dan sementara seperti nyeri di lengan

pada bekas suntikan atau demam ringan. Hanya ada sebagian kecil yang memang

berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar akan bersifat ko-insidens.

Kematian yang di sebabkan oleh vaksin sangat sedikit. Institute of medicine tahun 1994

menyatakan bahwa risiko kematian akibat vaksin adalah amat rendah. Fakta

menunjukkan bahwa penyakit lebih banyak menimbulkan risiko komplikasi maupun

kematian pada anak dibanding imunisasi. Anak akan menderita lebih banyak sakit jika

tidak mendapat imunisasi.

4. Penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin telah tidak ada di negara kita, sehingga anak

tidak perlu imunisasi.

Terdapat sejumlah anak yang tidak dapat diimunisasi missal karena alergi berat terhadap

komponen vaksin dan sebagian kecil anak yang tidak member respon terhadap imunisasi.

Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang diharapkan adalah

dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan tidak menularkan penyakit kepadanya.

5. Pemberian vaksin kombinasi untuk berbagai penyakit pada waktu tertentu meningkatkan

resiko efek samping yang berbahaya dan dapat membebani system imun.

Keuntungan pemberian vaksin kombinasi adalah mengurangi jumlah suntikan yang

diperlukan untuk melindungi anak terhadap penyakit infeksi dan mengurangi biaya

kunjungan ke fasilitas kesehatan dan memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalan

program imunisasi. Kombinasi vaksin menjadi satu, tidak meningkatkan efek samping

secara keseluruhan. Vaksin kombinasi misalnya dengan DTaP, frekuensi efek samping

lebih rendah dibandingkan vaksin diberikan terpisah.

Page 20: imunisasi anak1

6. Vaksin MMR menyebabkan autisme

Penelitian menduga vaksin MMR menyebabkan IBD dan menurunkan absorpsi vitamin

dan nutrient esensial dari saluran cerna, yang selanjutnya menimbulkan autism.

Hubungan kausal dalam penelitian dinilai lemah dan mengandung beberapa kekurangan

yaitu penelitian dilakukan pada pasien yang sangat selektif sehingga tidak mewakili

populasi pasien secara umum. Kelemahan terpenting adalah hubungan vaksin dan

autisme dibuat berdasarkan ingatan orangtua yang cenderung menghubungkan gangguan

perilaku dengan kejadian yang mudah diingat seperti imunisasi.

7. Thimerosal menimbulkan gangguan perkembangan

Thimerosal merupakan pengawet vaksin yang mengandung etilmekuri, suatu senyawa

organic yang dimetabolisme menjadi merkuri. Thimerosal mengandung 49,6% merkuri,

dan berguna untuk mencegah kontaminasi bakteri dan jamur pada vaksin multidosis.

8. Bila anak tidak demam setelah divaksinasi, berarti vaksinnya tidak bekerja

Penelitian imunogenitas atau daya proteksi vaksin DTP setelah penyuntikan pertama kali

adalah 6%-29%, dan setelah penyuntikan ketiga 68%-81%. Reaktogenitas vaksin DTP

menyebabkan demam menetap setelah penyuntikan sekitar 46,9%.

9. Setelah imunisasi vaksin polio oral, bayi tidak boleh minum ASI selama beberapa jam

ASI sebenarnya tidak memperlihatkan hambatan pada pembentukan antibody terhadap

OPV pada bayi setelah periode neonatus.

KONTROVERSI DALAM IMUNISASI

Masih banyak kontroversi yang muncul dari factor penerapan program imunisasi, vaksin

dan bahan di dalamnya atau resipien penerima imunisasi. Masalah makin mencuat, karena

imunisasi dilakukan pada anak yang sehat, sehingga betapapun kecilnya reaksi yang terjadi

akan memicu rasa tidak aman pada orangtua. Kenyataan bahwa penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi masih berada di sekitar kita, mengancam kematian dan kecacatan,

merupakan alasan menempatkan imunisasi sebagai ujung tombak kesehatan anak. Setiap

anak harus mendapat manfaat imunisasi, sampai ada bukti ilmiah yang menghentikannya.

1. Pelaksanaan program imunisasi

Masalahnya yaitu :

Page 21: imunisasi anak1

a) Imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah telah merampas hak warganegara untuk

memilih tidak diimunisasi. Khusus di Indonesia, Undang-Undang Wabah memberikan

sanksi pada siapapun yang melalaikan atau menghalangi pelaksanaan penanggulangan

wabah.

b) Imunisasi pada anak mementingkan kekebalan jangka pendek terhadap beberapa

penyakit menular tertentu dan menggangu kekebalan jangka panjang, penyakit

tersebut pindah ke usia yang lebih tua.

c) Imunisasi memindahkan satu penyakit dari satu masa ke penyakit lain pada usia lain

dan juga menghilangkan satu penyakit tetapi menimbulkan penyakit lain. Bagi para

ilmuwan yang menghargai hak hidup kuman dan virus di bumi, isu ini bukan

merupakan masalah baru.

2. Vaksin dan keamanannya

a) Jenis dan bahan vaksin

Vaksin digolongkan menjadi beberapa jenis, semuanya dibuat dengan cara yang

berbeda dan memberikan kelemahan yang berbeda pula. Vaksin hidup paling banyak

menuai tuduhan, karena atenuasi atau proses pelemahan yang kurang kuat akan

menyebabkan penyakit atau menyimpangnya respon imun penerima.

b) Bahan dalam vaksin

Bahan dalam vaksin terutama adalah bahan pengawet, bahan antibeku, bahan pewarna

dan bahan yang ikut dalam proses pembuatan vaksin. Bahan ini bermanfaat untuk

penyimpanan vaksin dosis multiple, sehingga biaya imunisasi dapat ditekan. Paparan

merkuri secara menahun bersifat neurotoksik dan nefrotoksik.

c) Manfaat dan efikiasi vaksin

Efikasi vaksin harus lebih besar dari reaktogenitas vaksin, dinyatakan pada

perbandingan besaran outcome dan besaran reaksi imunisasi.

d) Kecenderungan genetik yang menyimpang

Tiap individu mempunyai probabilitas hidup dengan pola genetic yang menyimpang,

sehingga seringkali tidak dapat memberikan respons imun yang diharapkan. Semakin

tinggi cakupan imunisasi, semakin banyak pula populasi yang tercakup dalam

imunisasi yang mempunyai kecenderungn genetik tidak semestinya.

3. Respon imun penerima vaksin

Page 22: imunisasi anak1

Resipien vaksinasi yang sakit berat atau yang pertahanan tubuhnya tidak normal besar

kemungkinannya akan menjadi sakit, atau menjadi karier sehat. Imunisasi polio oral pada

anak dengan defisiensi imun akan mengakibatkan pengeluaran virus polio lebih lama

dibanding dengan anak normal. Banyak keadaan yang mempengaruhi kinerja vaksin dan

terutama berakibat pada rendahnya keberhasilan menggugah respon imun.

4. Adanya pemicu

a) Autism

b) Reaksi neurologic

Reaksi ini sangat jarang dan belum jelas patogenesisnya. Kelainan nerologik yang

diduga akibat vaksin terbagi menjadi:

Demyelinating disease (ADEM dan GBS)

Non demyelinating disease (encephalopathy, SSPE, neuropathy, bracial

neuritis)

c) Reaksi imunologik

Reaksi pasca imunisasi terutama mengarah pada hipersensitivitas, dari tipe 1-4, dari

reaksi anafilaksis, reaksi antibody dengan jaringan, reaksi Arthus dan delayed type

hypersensitivity. Reaksi pasca imunisasi seharusnya dapat diketahui dengan

memperhatikan butir-butir kewaspadaan dan indikasi kontra sebelum memberikan

imunisasi.

d) Autoimun

Beberapa penelitian menandai kenaikan insidens penyakit autoimun searah dengan

kenaikan cakupan imunisasi, tanpa memberikan penjelasan yang sahih mengenai

pengaruh perubahan gaya hidup dan lingkungan terhadap kenaikan insidens penyakit

autoimun.

e) Diabetes

Kini banyak diajukan hipotesis hubungan antara IDDM dengan vaksin HB, MMR,

DTP, HIb, pneumokokus. Selain virus yang menyerang pancreas, juga terjadi proses

autoimun yang menyerang sel pancreas, sehingga terjadi gangguan produksi insulin.

JALAN KELUAR DAN ANJURAN YANG HARUS DILAKUKAN

1. Penjelasan yang jujur

Penjelasan yang jujur dan benar kepada orangtua sangat diperlukan untuk mengimbangi

segala informasi penentang imunisasi yang seolah-olah berdasarkan alas an yang kuat dan

Page 23: imunisasi anak1

di sertai dengan riset yang mendalam. Penjelasan harus dilakukan secara proaktif,

diberikan pada setiap orangtua bayi yang akan diimunisasi dengan vaksin tertentu,

meskipun orangtua tidak menanyakannya secara aktif.

2. Menunjukkan empati dan perhatian yang besar

orangtua harus diyakinkan bahwa dokter juga sangat memperhatikan dan membantu

orangtua dalam upaya membesarkan anak. Kepercayaan pada dokter akan memperkuat

penerimaan orangtua pada imunisasi, sehingga keraguan dan kemungkinan ikut hanyut

secara emosional pada kelompok penentang imunisasi dapat dibatasi.

3. Menghindari pertempuran emosi

Menghadapi orangtua yang kecewa atau marah dengan kegeraman kita atas tidak

rasionalnya pikiran yang digunakan sangat tidak bermanfat. Sebaliknya mendengarkan

akan membawa hasil yang lebih baik.

4. Membekali diri dengan pengetahuan

Membekali diri dengan pengetahuan yang cukup perihal pokok-pokok dasar imunisasi.

Termasuk diantaranya pengetahuan tentang sifat tiap vaksin yang kita gunakan.

Daftar pustaka:

Page 24: imunisasi anak1

1. World Health Organization, The world Health Report 2007. A safer future: global public

health security in the 21st century. Diunduh dari

http://www.who.int/whr/2007/en/index.html

2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook of

Pediatrics. Edisi18. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007.

3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization

Geneva: WHO. 2002

4. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. Sensus Kesehatan Rumah

Tangga(SKRT) 2004.

5. KSK_Satgas Imunisasi IDAI, Learning about Vccination,2004.

6. SUSENAS 1989 – 2002, Direktorat Gizi Masyarakat, DepKes RI.

7. DepKes: Profil Kesehatan Indonesia, 2004.

8. American Academy of Pediatrics. Active Immunization.Dalam Pickering LK.,

Penyunting. Red Book 2000, Report of the Committee Diseases. Edisi ke 25.Elk Groove

Village: American of Pediatrics, 2000. h6-26.

9. National Health and Medical Research Council. The Australian Immunisation Handbook.

9th ed. Australian Government department of Health and Ageing. 2008.

10. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.

Geneva: WHO. 2002.

11. Plotkin SA, Mortimer SA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.

12. Centers for Disease Control and Prevention. Classification of vaccine. Dalam Atkinson

W, Humiston S, Wolfe, R., penyunting. Epidemiology and Prevention of vaccine

Preventable Disease. Edisi ke 5. Atlanta: Department of Health and Human Services,

CDC, 1999. h4-8

13. Plotskins SA, Orenstein WA., penyunting Vccines, edisi ke-4. Philadelphia, Tokyo; WB

Saunder, 2004.

Page 25: imunisasi anak1

14. Report of the Committee on Infecyious Diseases. American Academy of Pediatrics.

Illonois; Amerika Serikat, 2006.

15. National Helath and Medical Research Council. National Immunization Program: The

Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.

16. Kassianos GC. Immunization Childhood and Travel Health. Edisi keempat. London

Blackwell Science, 2001.

17. AAP, Commitee on Infectious Diseases 2006.

18. Rekomendasi Advisory Committee on Immunization Practice (ACIP), 2003.

JENIS VAKSIN

UMUR PEMBERIAN VAKSINASIBULAN TAHUN

LHR 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 2 3 5 6 10 12PROGRam pengembangan imunisasi (PPI di wajibkan)

BCGHEPATITIS B 1 2 3POLIO 0 1 2 3 4 5DTP 1 2 3 4 5 6CAMPAK 1 2

PROGRAM IMUNISASI NON PPI (DI anjurkan)Hib 1 2 3 4Pneumococcus (PCV) 1 2 3 4Influenza diberikan setahun sekaliMMR 1 2Typhoid ulangan tiap 3 tahun

Hepatitis A2kali interval 6 sampai 12

bulanVaricellaHPV