implikasi hukum terhadap perluasan objek hak...
TRANSCRIPT
IMPLIKASI HUKUM TERHADAP PERLUASAN OBJEK HAK ANGKET
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT TERHADAP KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Fahmi Hanif Winanto
NIM : 16160480000005
PROGRAM STUDI DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2018 M
iv
ABSTRAK
Fahmi Hanif Winanto. NIM 16160480000005. “IMPLIKASI PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PERLUASAN OBJEK HAK ANGKET
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
36/PUU-XV/2017)”, Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan
Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1439 H/2018 M. viii + 97 halaman.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim pada putusan
mahkamah konstitusi nomor 36/PUU-XV/2017 terkait perluasan objek hak angket
DPR terhadap KPK dan analisis implikasi dari putusan mahkamah konstitusi nomor
36/PUU-XV/2017 yang menyatakan bahwa Frasa “Pelaksanaan suatu Undang-
Undang dan/atau Kebijakan Pemerintah” dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga menyatakan Objek
Hak Angket DPR meliputi KPK. Penelitian ini juga menganalisis tentang kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang
Undang NRI Tahun 1945 dan Implikasinya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
yang menafsirkan suatu pasal dalam suatu undang-undang yang diujikan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
research dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
Peraturan DPR, buku-buku, dan jurnal yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian ini pada level kajian akademik menunjukkan bahwa pasca
dikeluarkannya Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017, DPR berwenang
melaksanakan pengajuan hak angket terhadap KPK, serta KPK dapat menjadi objek
dari hak angket DPR. Namun, hak angket terhadap KPK hanya terbatas pada hal-hal
yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan, tidak untuk tugas dan
kewenangan yudisial, menurut mahkamah norma yang mengatur hak angket dalam
UU 17/2014 adalah konstitusional. Karena putusan ini telah memberi penjelasan
khusus terkait status dan posisi independensi KPK sebagai lembaga negara dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia, Penelitian ini juga menjelaskan posisi
independensi KPK yang masuk di ranah lembaga eksekutif dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia sebagaimana kepolisian dan kejaksaan dalam fungsi
menjalankan tugas dan kewenangan pemerintahan.
Kata Kunci : Implikasi, Pertimbangan Hakim, Hak Angket, MK, KPK, DPR.
Pembimbing : Irfan Khairul Umam., S.H.I., L.L.M.
Daftar Pustak : 1983 s.d 2018
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, rasa syukur adalah kalimat pembuka dari barisan kata
pengantar yang hendak penulis uraikan. Segala puji, syukur dan sujud kehadirat
Allah SWT, yang selalu melimpahkan rahmat, ampunan, serta keberkahan-Nya, atas
nikmat yang tak terhitung jumlahnya, dengan petunjuk dan bimbingan-Nyalah
sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta
salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda nabi besar kita, Nabi
Muhammad SAW, yang menjadi bingkai uswatun hasanah bagi seluruh umat
manusia di muka bumi ini.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk
mencapai gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, skripsi ini
mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak selama proses penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat :
1. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. dan Drs. Abu Tamrin, S.H.,
M.Hum. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Irfan Khairul Umam, S.H.I., L.L.M. Dosen Pembimbing yang telah
memberikan nasihat, motivasi, serta perbaikan-perbaikan selama penyusunan
skripsi ini, terimakasih banyak atas arahan, masukan dan koreksi skripsinya
yang bersifat membangun menuju arah yang lebih baik.
4. Perpustakaan, Pengelola Perpustakaan, Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan.
5. Untuk kedua orang tua penulis, Bapak Edwin Yulianto dan Ibu Inayatun
yang selalu mendoakan dan membimbing penulis, memberikan dukungan
moril dan materiil. Semoga seluruh pengorbanan, keikhlasan, serta cinta
dan kasih sayang mendapat ganjaran pahala di sisi Allah SWT.
vi
6. Keluarga, saudara, dan teman teman semua yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada
peneliti dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya atas jasa, dukungan, semangat dan doa dari semua pihak baik secara
moril maupun materil, penulis berdo’a semoga Allah memberikan kebaikan pahala
atas segala kebaikan yang telah diberikan ini. Aamiin.
Jakarta, 02 November 2018 M
25 Shafar 1440 H
Fahmi Hanif Winanto
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................................iii
ABSTRAK ..............................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................................v
DAFTAR ISI .........................................................................................................................vii
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 6
C. Tujuan Penelitian....................................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 8
E. Metode Penelitian.......................................................................................................8
F. Sistematika Penulisan..............................................................................................13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................................15
A. Kerangka Teori ........................................................................................................ 15
1. Teori Negara Hukum...........................................................................................15
2. Teori Distribusi Kekuasaan................................................................................15
3. Teori Judicial Review..........................................................................................17
4. Teori Prinsip Check and Balances......................................................................18
5. Teori Lembaga Negara........................................................................................19
B. Kerangka Konseptual .............................................................................................. 22
1. Implikasi Putusan.................................................................................................22
2. Mahkamah Konstitusi..........................................................................................22
2. Hak Angket...........................................................................................................23
2. Hak Menguji.........................................................................................................24
2. Komisi Pemberantasan Korupsi.........................................................................25
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu......................,..............................................25
viii
BAB III
KEDUDUKAN DAN FUNGSI HAK ANGKET DPR DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN DI INDONESIA..........................................................................29
A. Kedudukan DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia ...........................29
B. Fungsi Lembaga DPR..............................................................................................35
C. Kedudukan Hak Angket DPR.................................................................................36
D. Mekanisme dan Fungsi Hak Angket DPR.............................................................39
BAB IV
ANALISIS IMPLIKASI HUKUM PERLUASAN OBJEK HAK ANGKET OLEH DPR
TERHADAP KPK................................................................................................................45
A. Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 ...................... 45
1. Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi .......................... 45
2. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Hak Angket DPR................... 49
3. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) ............................................................ 50
B. Analisis Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Perluasan
Objek Hak Angket Oleh DPR Terhadap KPK.....................................................58
1. Analisis Kewenangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 36/PUU-XV/2017 .................................................................................... 58
2. Analisis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 ............................................. 60
3. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
36/PUU-XV/2017 ................................................................................................. 65
4. Analisis Implikasi Hukum Terhadap Perluasan Objek Hak Angket Oleh
DPR Terhadap KPK ........................................................................................... 74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................................................85
B. Saran..........................................................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................89
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peraturan perundang-undangan dalam menyikapi permasalahan
kehidupan masyarakat akan terlambat dengan perkembangan zaman yang
selalu berjalan lebih maju. Seperti ungkapan sebuah kalimat dalam bahasa
hukum yang mengatakan, “hetrecht hinkntachter defeiten anaan”, artinya,
hukum niscaya akan datang terlambat menyertai berbagai peristiwa dan
kejadian dari belakang.1 Pelaksanaan hukum di negara Indonesia dapat
terealisasi dengan fondasi kuat sebagai suksesi bangunan utama
penyangganya, diantara pilar pilar fondasi bangunan hukum tersebut ialah,
pembatasan kekuasaan, peradilan bebas dan tidak memihak kepada
siapapun, perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), serta didirikannya
suatu lembaga negara peradilan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk
penegakkan hukum agar tidak kembali sulit mengikuti peristiwa di
belakangnya.2
Menumbuhkan pengetahuan mengenai konstitusi adalah salah satu
cara terbaik mewujudkan tujuan nasional bernegara yang telah diuraikan
dalam bab sebelumnya. paham konstitusi ini sering disebut dengan
konstitusionalisme, dalam artian paham atau aliran yang menghendaki
pembatasan kekuasaan bagi siapapun, hal ini berkorelasi dengan negara
atau pemerintah, konstitusionalime merupakan suatu paham atau mazhab
yang menghendaki adanya limit pembatasan kekuasaan dalam sebuah
negara atau pembatasan kekuasaan di sistem pemerintahan.3
Kegunaan preventif terhadap pengawasan hak angket pada anggota
DPR secara konstitusional merupakan fungsi yang melekat pada legislatif
1 Jhanedri M. Ghafar, “Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi”,
(DKI Jakarta : Penerb'it Buku Konstitusi Press, 2013), h.5. 2 Jimly Asshiddiqie, “Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi”, (DKI Jakarta :
Penerbit Buku PT Sinar Grafika, 2011), h.132. 3 Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, “Memahami Konstitusi, Makna dan Aktualisasi”,
(DKI Jakarta : Penerbit Buku PT Raja Grafindo Persada), Tahun 2014, h.146.
2
seperti termaktub dalam Pasal 20A Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pengaturan fungsi pengawasan ini pun
diatur lebih lanjut dan terdapat dalam Undang- Undang No.17 Tahun 2014
yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 .
Dalam menjalankan pekerjaannya terkait dengan fungsi pengawasan, DPR
menjalankan hak preventif dengan menggunakan kewenangan yang
dimilikinya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan secara gamblang
tentang tugas-tugas DPR RI, yaitu mengawasi jalannya kinerja
pemerintahan dengan menggunakan hak yang melekat maupun
kewajibannya sebagai wakil rakyat anggota DPR.4
Sebenarnya, penafsiran dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD mengatur
dengan jelas “hak angket sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b
tersebut salah satu hak dalam pelaksanaan pengawasan oleh lembaga
negara DPR yakni dengan Hak Angket DPR adalah hak anggota DPR
untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan diduga
bententangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Namun, dari berbagai keistimewaan yang telah dipaparkan, hak
angket tersebut menuai polemik, pada awalnya, munculnya keinginan
DPR menggunakan hak angket kepada KPK setelah adanya pemeriksaan
mantan anggota DPR Miryam oleh KPK terkait tindak pidana korupsi
KTP elektronik. Hasil pemeriksaan tersebut terungkap keterlibatan
anggota sampai pimpinan DPR Setya Novanto. Selain itu berdasarkan
hasil pemeriksaan terhadap Miryam menyampaikan bahwa mendapat
tekanan dari Komisi III DPR agar supaya tidak membeberkan keterlibatan
elit politik negeri ini dalam kasus tindak pidana korupsi e-KTP. “Drama”
4May Lim Charity, “Implikasi Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi” Jurnal Legislasi Indonesia. Vol 14 No. 03 - September
2017 Hal 246
3
yang dimainkan Miryam tidak berhenti disitu, Miryam dalam persidangan
kasus e-KTP tersebut mencabut keterangan atau Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) terhadap dirinya oleh penyidik KPK dengan alasan bahwa penyidik
KPK dalam meminta keterangan Miryam pada saat penyidikan
menggunakan ancaman dan kekerasan yang pada intinya Miryam merasa
tertekan sehingga memberikan keterangan demikian sebagaimana dalam
BAP tersebut hingga lahirlah putusan MK terbaru yang menyatakan
tentang keabsahan angket tersebut.5
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menganggap putusan
Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD khususnya terkait hak pansus DPR
terhadap KPK tidak konsisten. Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 itu juga
dianggap bertentangan dengan tiga putusan terdahulu, di mana MK
menyatakan bahwa KPK bukan lembaga yang ada di lingkup eksekutif.
Putusan terdahulu yang dimaksud antara lain putusan Nomor 012-016-
019/PUU-IV/2006, putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 dan putusan Nomor
49/PUU-XI/2013 14 November 2013.6
Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD,
putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Hak Angket Korupsi
bertentangan dengan putusan MK sebelumnya. Dalam putusan yang baru
disahkan kemarin, MK menyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari
eksekutif sehingga merupakan obyek dari hak angket DPR. Karena
sebelumnya juga sudah ada setidaknya empat putusan MK yang
menegaskan bahwa KPK bukanlah bagian dari eksekutif. putusan atas
perkara nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-
VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011. Empat putusan tersebut juga
5 May Lim Charity, “Implikasi Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi” Jurnal Legislasi Indonesia. Vol 14 No. 03 - September
2017 hal 245 6 Moh Nadlir, "MK Bantah Putusannya soal Pansus Hak Angket KPK Inkonsisten”
Website dari Kompas.com (https://nasional.kompas.com/read/2018/02/15/16560991/mk-bantah-
putusannya-soal-pansus-hak-angket-kpk-inkonsisten diakses pada tanggal 9 Maret 2018 pukul
13.20 BBWI)
4
disinggung oleh empat hakim MK yang menyatakan disssenting opinion
atau perbedaan pendapat dalam sidang putusan kemarin. Pada intinya,
keempat putusan itu menegaskan, KPK merupakan lembaga independen
yang bukan berada di dalam ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dan
putusan-putusan itu sifatnya inkrah7.
Mengacu kepada pembuatan sebuah Undang-Undang, UU yang
baru dibentuk bisa menghapus UU lama. Namun, hal serupa tidak berlaku
di pengadilan. Di pengadilan, putusan lama itu tak bisa dihapus dengan
putusan baru. Yang berlaku itu yang pertama karena sudah inkrah,"
Mahfud pun berpendapat, Pansus Angket KPK yang dibentuk DPR tak
bisa menggunakan putusan MK terbaru ini sebagai legitimasi. Sebab, saat
pansus dibentuk masih berlaku putusan MK sebelumnya dimana KPK
bukan dianggap sebagai lembaga eksekutif. " Putusan MK itu baru bisa
berlaku ke depan," Pungkas Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Karakter lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai penguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945dan sebagai penafsir terakhir atas norma hukum berujung pada
istilah Mahkamah Konstitusi sebagai garda penjaga konstitusi negara,
pertemuan dua dimensi ini melekat pada kewenangan lembaga Mahkamah
Konstitusi sebagai salah satu lembaga tinggi negara. Karakter ini menurut
penafsiran penulis secara otomatis menjadikan putusan peradilan
konstitusi menjadi salah satu sumber hukum penting di samping peraturan
tertulis, tidak hanya dalam amar putusannya, tetapi juga tafsir
konstitusionalnya.8
Dari pengamatan penulis, kewenangan dan pengambilan putusan
yang dilakukan mahkamah konstitusi saat ini bukan hanya sekedar sebagai
penghapus dan pembatal suatu undang-undang yang bertentangan dengan
7 Kontan, Mahfud MD: Putusan MK soal Angket KPK bertentangan dengan 4
sebelumnya. Artikel ini diakses pada tanggal 27 Mei 2018 Pukul 11.35 BBWI, dari situs
https://nasional.kontan.co.id/news/mahfud-md-putusan-mk-soal-angket-kpk-bertentangan-dengan-
4-sebelumnya 8 Janedri M.Ghafar, “Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi”, (DKI
Jakarta : Penerb'it Buku Konstitusi Press, 2013) hal. 6
5
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam
konteksnya, ada beberapa putusan yang membuat mahkamah konstitusi
menjadi lembaga positif legislatif. Dimana dalam hal ini yang seharusnya
bertindak sebagai positif legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dalam porsinya untuk menambah, memuat, dan
menghapus suatu norma pada undang-undang dan peraturan-peraturan
tertentu.
Aspek yuridis-filosofis dan sosiologis dari permohonan berbagai
lapisan masyarakat terhadap putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 yang
menjadikan KPK sebagai lembaga eksekutif berdampak terhadap beberapa
putusan mahkamah konstitusi sebelumnya. Setelah putusan ini diketok dan
ditetapkan, terjadi pengaruh terhadap dampak putusan ini di kalangan
masyarakat luas dan dianggap tidak berkeadilan menegakkan dukungan
tindakan pemberantasan korupsi dan keadilan substantif di negeri ini.
Putusan MK atas hak angket mesti dilihat menyeluruh. Sebab, MK
memiliki peran strategis. MK di bawah tampuk kepemimpinan Arief
Hidayat berbeda dengan zaman Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD. Di era
Jimly misalnya, MK amat menjaga komposisi putusan jumlah hakim tidak
terlampau tipis dan problematika Hak angket DPR seperti dua sisi mata
koin, di sisi lain Hak angket sebagai wujud atau pelaksanaan fungsi
pengawasan terhadap cabang kekuasaan lainnya dan sesuai prinsip check
and balance demi terwujudnya kekuasaan yang berimbang. DPR
menggunakan hak angket pada dasarnya untuk melakukan penyelidikan
terhadap pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Namun dalam
praktek penggunaan dari hak angket oleh DPR banyak memunculkan
problema hukum baru di kalangan praktisi Hukum Tata Negara saat ini.
Atas uraian masalah tersebut, peneliti menganggap pentingnya
kajian terkait dengan dasar pertimbangan hakim dan Implikasi Hukum
setelah berlakunya ketetapan putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017,
pembahasan masalah dalam kajian ini penulis uraikan dalam sebuah
6
penelitian skripsi yang berjudul “Implikasi Hukum Terhadap Perluasan
Objek Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017)”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti
mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut :
a. Apa dasar pertimbangan hukum. majelis hakim pada putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 36/PUU-XV/2017 terkait KPK
sebagai Lembaga Eksekutif ?
b. Apa Implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-
XV/2017 tentang Hak Angket KPK Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ?
c. Apa akibat hukum perluasan objek Hak angket DPR terhadap
KPK terkait pengujian norma pasal tersebut ?
d. Bagaimana Inkonsistensi putusan MK Nomor 36/PUU-
XV/2017 dengan 4 putusan sebelumnya yaitu Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006
diputus tanggal 19 Desember 2006, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 19/PUU-V/2007 diputus tanggal 13
November 2007 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-
39/PUU-VIII/2010 yang diputus tanggal 15 Oktober 2010,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 diputus
tanggal 20 Juni 2011 terkait dengan status eksekutif dari
lembaga KPK ?
e. Mengapa terjadi Dissenting opinion dari 4 majelis hakim
anggota Mahkamah Konstitusi terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi nomor : 36/PUU-XV/2017 ?
f. Apa faktor-faktor analisis hakim dalam pertimbangan putusan
anggota majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Dalam Putusan Nomor. 36/PUU-XV/2017 ?
7
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan luasnya penelitian ini, maka perlu dilakukan
pembatasan, maka penelitian hanya akan dibatasi pada aspek
latar belakang Analisis Yuridis serta Implikasi pada putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah perluasan Objek Hak
Angket Oleh DPR dalam Frasa Perluasan Pasal 79 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah dan
pembatasan masalah, maka peneliti merumuskan masalah utama
yang menjadi fokus permasalahan yakni Implikasi Putusan MK
dan Pengaruhnya Terhadap Perluasan Objek Hak Angket DPR
Terhadap KPK.
Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama di
atas, maka peneliti membatasi penulisan ini melalui rincian
perumusan masalah sebagai berikut :
a. Apa Yang Menjadi Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 36/PUU-
XV/2017 ?
b. Bagaimana Implikasi Akibat Hukum Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 Terhadap Perluasan
Objek Hak Angket KPK oleh DPR ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian sesuai dengan rumusan di atas, tujuan penelitian ini
adalah :
1. Menjelaskan Dasar-Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-
XV/2017 ?
8
2. Menjelaskan Implikasi Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 36/PUU-XV/2017 Terkait Pengujian Undang-Undang Nomor
17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Dalam Perluasan
Objek Hak Angket DPR terhadap KPK ?
D. Manfaat Penelitian
Untuk Penelitian ini terdapat beberapa manfaat, yaitu:
1. Secara teoritis, penelitian ini memberikan tambahan dokumentasi
segi hukum dalam rangka khazanah pengetahuan ilmu hukum
khususnya dalam bidang hukum tata negara dan kelembagaan negara
dalam hal ini studi yang dianalisis kedudukan KPK pasca putusan
Mahkamah Konstitusi, utamanya yang mengenai KPK sebagai
lembaga eksekutif dan perluasan objek hak angket DPR terhadap KPK
dan segala faktor-faktor dan aspek yang terkait dengan kedudukan
serta kewenangan lembaga KPK dalam sistem kelembagaan negara di
Indonesia pasca putusan mahkamah konstitusi ini.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi para peminat
hukum tata negara dan praktisi ketatanegaraan dalam menganalisis
tentang pertimbangan Hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
36/PUU-XV/2017 terkait status KPK sebagai lembaga negara.
3. Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar
Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Pada dasarnya Penelitian ini merupakan tipe penelitian hukum
normatif, yaitu penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai
sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah
mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-
9
undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta doktrin (ajaran)9
Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas
hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap
sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian
perbandingan hukum.
2. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji,
menelaah, dan menelusuri berbagai sumber literature, buku- buku,
perundang-undangan, dan sumber-sumber pustaka lainnya. adapun,
sifat Penelitian ini adalah deskriptif-normatif, yaitu akan menguraikan
tentang dasar-dasar pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah
Konstitusi terkait dengan pengujian salah satu pasal dalam Undang-
Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945yang berimplikasi pada hak angket anggota dewan perwakilan
rakyat dan status lembaga negara komisi pemberantasan korupsi, pasal
ataupun penjelasan pasal dalam undang-undang tersebut berkaitan
dengan masalah yangi dikaji, dalam hal ini terkait dengan Putusan
MK nomor 36/PUU-XV/2017.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini
dilakukan dengan metode studi kepustakaan, dimana studi kepustakaan
merupakan metode efektif dan tunggal yang dipergunakan dalam
penelitian hukum normatif. Dari bahan hukum yang sudah terkumpul
baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder
diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas.
Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk mendapatkan
penjelasan yang sistematis. Pengelolaan bahan hukum bersifat deduktif
9 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31
10
yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara
umum ke permasalahan yang khusus atau lebih konkret. Setelah bahan
hukum itu diolah dan diuraikan kemudian penulis menganalisisnya
(melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu hukum yang telah
dirumuskan dalam rumusan masalah.
4. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-
undangan (statutory approach)10
dan Pendekatan Kasus (Case
3bditerapkan guna memahami bagaimana menelaah Judicial review
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi Putusan 36/PUU-XV/2017
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan final. Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) juga dilakukan dengan
menelaah semua regulasi atau peraturan perundang-undangan yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang akan diteliti, dan juga dengan
pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam
ilmu hukum, untuk menemukan ide-ide yang melahirkan konsep-
konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu
hukum.11
Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan
suatu pendekatan yang digunakan untuk memperoleh kejelasan dan
pembenaran ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum yang
bersumber dari prinsip-prinsip hukum. Pendekatan Kasus (Case
approach) diterapkan dalam mengamati telaah beberapa kasus hak
angket KPK yang menjadi polemik dengan peraturan perundangan
yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Serta
beberapa kasus yang relevan dengan isu hukum yang telah dipecahkan.
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005).h. 136 11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Buku Kencana, Tahun
2005), h. 95.
11
5. Data dan Sumber Penelitian
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif atau mempunyai otoritas, artinya sumber-sumber hukum
yang dibentuk oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer
terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, catatan
resmi dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat12
. Bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor : 36/PUU-
XV/2017
3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi
4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD, Undang-Undang Dasar 1945
5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD, Undang-Undang Dasar 1945
6) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi
7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah
Konstitusi
8) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
b. Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang
diperoleh melalui penelusuran buku-buku dan artikel-artikel13
yang
berkaitan dengan penelitian ini, bahan hukum sekunder
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3 h.52 13
Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, Cet-3 hal.52
12
memberikan penjelasan mendalam mengenai bahan hukum primer
dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penulisan penelitian ini adalah buku-buku yang berkenaan dengan,
Ilmu Hukum, Hukum Tata Negara, Hukum Kelembagaan Negara,
skripsi hukum kelembagaan negara, tesis, disertasi, serta artikel
ilmiah dan tulisan di internet untuk memperkaya pengetahuan
sumber data dalam penulisan penelitian ini.
c. Bahan non hukum
Bahan non hukum adalah bahan lain yang memberikan
petunjuk atau penjelasan dari sumber lain non hukum terhadap
bahan hukum primer dan sekunder14
, seperti Kamus Hukum,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Ensiklopedia dan lain-
lain.
6. Pengolahan dan Analisis Data
Mekanisme proses pengolahan dan analisis data dalam
penelitian ini menguraikan semua lapisan bahan hukum, baik bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum,
berbagai intisari bahan hukum ini diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga menampilkan penulisan yang sistematis
untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam rumusan
masalah serta karya ilmiah dalam penelitian lain yang relevan dan
berkorelasi dengan penelitian ini. Adapun teknik pengumpulan
dokumenter dalam Penelitian ini berupa mengkaji bahan-bahan
pustaka baik bahan pustaka primer, sekunder, maupun non hukum
yang terkait dengan penerapan hukum di Indonesia. Setelah itu penulis
mencari gagasan dari berbagai sumber tersebut terkait objek penelitian
dan kemudian akan dituangkan dan disusun kedalam bentuk penelitian
skripsi ini.
14
Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, Cet-3 hal.53
13
7. Teknik Penulisan
Metode Tekhnik penulisan dan pedoman dasar yang digunakan
penulis dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan
karya ilmiah dan buku pedoman “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta Periode Tahun 2017”.
F. Rancangan Sistematika Penulisan
Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi saya
ini, penulis menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari lima
bab, dimana pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan
penjelasan yang terinci. Berdasarkan pada materi skripsi yang penulis
bahas, sistematika penyusunan skripsi ini terbagi sebagai berikut :
BAB-I : Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang membahas
tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan
rancangan sistematika penulisan dalam skripsi ini.
BAB-II : Pada bab ini diuraikan mengenai teori-teori yang digunakan
dalam penelitian dan pembahasan, bab ini juga mengupas
mengenai kajian pustaka, Dalam buku pedoman penelitian,
ada dua jenis kajian pustaka yang diuraikan dalam bab ini
yaitu kajian teoritis dan (review) kajian terdahululu,
diawali dengan pemaparan kerangka konsep serta tinjauan
umum mengenai putusan mahkamah konstitusi dan tinjauan
umum mengenai hak angket, kerangka teori konsep, serta
tinjauan (review) kajian terdahulu yang akan diuraikan
dalam bab ini, agar tidak tumpang tindih pembahasannya.
BAB-III : Penulis pada bab ini menjelaskan tentang data penelitian
berupa profil dari lembaga negara yang penulis teliti, dalam
hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Mahkamah Konstitusi, dalam bab ini penulis
14
juga membahas mengenai landasan yuridis tentang
kewenangan hak angket dan prosedur penggunaannya.
BAB-IV : Bab ini merupakan bab inti, yaitu berupa jawaban dari
rumusan masalah, pokok-pokok pembahasan mengenai
intisari hasil penelitian, uraian dalam bab ini merupakan
jawaban yang terdapat dalam perumusan dan pembatasan
masalah, bab ini menjelaskan tentang implikasi dan dampak
hukum putusan Mahkamah Konstitusi terkait komisi
pemberantasan korupsi yang dituangkan dalam putusan MK
atas pengujian undang undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, bab ini merupakan
analisa dan pembahasan terhadap data penelitian yang ada
di deskripsikan guna menjawab masalah penelitian ini.
BAB-V : Merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan
rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari
sistematika penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian
ini menarik beberapa kesimpulan dari penelitian untuk
menjawab rumusan masalah serta memberikan saran saran.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Teori Negara Hukum
Ide negara hukum, selain terkait dengan konsep rechtstaat dan
the rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy yang berasal
dari perkataan nomos dan cratos. Yang berarti dari nomos adalah
norma. Sedangkan cratos adalah kekuasaan.15
Berikut adalah ciri dari
Negara hukum (rechtstaat) menurut Julius Stahl, mencakup empat
elemen penting: Perlindungan hak asasi manusia, pembagian
kekuasaan, pemerintah berdasarkan Undang-Undang, dan Peradilan
Tata Usaha Negara.16
Konsep Negara Hukum merupakan objek studi
yang selalu aktual untuk dikaji. Perkembangan konsep negara hukum
merupakan produk dari sejarah penyebab munculnya suatu rumusan.
2. Teori Distribusi Kekuasaan
Menurut teori konstitusi, terdapat dua macam pendistribusian
kekuasaan dalam suatu Negara, yaitu distribusi kekuasaan yang
vertikal dan yang horizontal. Distribusi kekuasaan yang vertikal
mengajarkan tentang pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah, yang banyak muncul dalam wujud teori-
teori tentang federalisme atau otonomi daerah. Sedangkan dengan
pendistribusian yang horizontal, yang dibahas adalah pembagian
kekuasaan yang ada di tingkat pusat maupun yang ada di tingkat
daerah, yaitu pembagiannya ke dalam bidang legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, atau yang disebut dengan teori trias politica.17
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Montesquieu, bahwa
pemerintahan memiliki tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan formulasi
15Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), h.125. 16
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, h.130. 17
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), (DKI Jakarta, Penerbit PT
Refika Aditama), h 103
16
(membuat Undang-Undang), kekuasaan pelaksana Undang-Undang,
dan kekuasaan mengadili sesuai Undang-Undang. Ketiga kekuasaan
ini harus diberikan pada pihak yang berbeda-beda, terutama untuk
menjaga agar hak-hak rakyat tidak dilanggar. Menumpuknya ketiga
kekuasaan ini pada satu tangan, sangat berbahaya dan dapat
menyebabkan inefisiensi, korupsi, dan kesewenang-wenangan.
Hal ini sudah lama diakui dalam sejarah hukum. Aristoteles
pernah berpendapat bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh satu
orang bukan merupakan pemerintahan yang konstitusional. Bahkan
dalam perjalanan sejarah hukum klasik, di berbagai tempat di dunia ini
telah dijalankan suatu sistem di mana ketika raja atau petinggi militer
diminta untuk mengadili suatu perkara oleh rakyatnya, maka para
petinggi tersebut akan mengadili dengan mencopot segala lambang-
lambang tugas dan kebesaran yang ada pada tubuhnya. Ini sudah
menandakan bahwa meskipun orangnya sama, tetapi posisi mereka
dalam mengadili berbeda dengan posisi mereka ketika memerintah
atau menjalankan tugasnya sehari-hari.18
Penerapan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power)
di zaman modern sudah saling mengkombinasi antara konsep
pemisahan kekuasaan (division/separation of powers) tersebut dengan
konsep checks and balances, sehingga konsep hybrid seperti ini
disebut dengan istilah “distribusi kekuasaan” (distribution of powers).
Dalam hal ini kekuasaan tidak dipisah tetapi hanya dibagi-bagi,
sehingga memungkinkan timbulnya overlapping kekuasaan. meskipun
begitu, konsep awal dari ajaran trias politica yang berasal dari
Montesqeuie tersebut bermaksud untuk memisahkan sama sekali di
antara kekuasaan-kekuasaan tersebut, yakni antara kekuasaan
legislatif, eksekutif dan judikatif. Karena itu, konsep pemisahan
kekuasaan secara tegas tersebut sebenarnya merupakan teori
18
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), (DKI Jakarta, PT Refika
Aditama). h 104
17
ketatanegaraan yang dahulunya dianut di negara-negara Eropa
Kontinental. Sedangkan konsep checks and balances berasal dari para
founding fathers dari Negara USA, yang membagi-bagikan kekuasaan
tetapi satu sama lain saling mengawasi tanpa ada satu kekuasaan yang
berada di atas kekuasaan lainnya (balances), sehingga, dalam teori
checks and balances, memang dimungkinkan terjadi overlapping
kekuasaan.
Astim Riyanto seperti dikutip oleh Munir Fuady dalam bukunya
menjelaskan “Karena itu dapat dikatakan bahwa yang paling lazim
dilakukan dalam pendistribusian kekuasaan negara adalah pembagian
cabang-cabang pemerintahan kepada (1) badan legislatif, (2) badan
eksekutif, dan (3) badan yudikatif. Akan tetapi, ada juga para ahli yang
menambahkan badan lain selain dari tiga badan tersebut, seperti
misalnya Van Vollenhoven, yang menambahkan badan “politie” yang
bertugas menjaga tata tertib untuk mengawasi agar semua cabang
pemerintahan dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Karena itu, menurut Van Vollenhoven, keseluruhan cabang
pemerintahan menjadi empat, yaitu (1) regeling (legislatif), (2) bestuur
(eksekutif), (3) rechtsspraak (yudikatif), dan (4) politie. Bahkan ada
juga para ahli yang mencoba menambah dua cabang lagi, sehingga ke
semuanya menjadi enam cabang pemerintahan. Kedua cabang
pemerintahan tambahan tersebut adalah (1) pembuat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan (2) pelaksana
pemilihan umum”.
3. Teori Judicial Review
Pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia atau
sering disebut sebagai hak menguji (Judicial Review) tidak dapat
dilepaskan dari kemandirian kekuasaan kehakiman (Independent
Judiciary) karena Judicial Review pada dasarnya merupakan salah satu
pelaksanaan dari fungsi Independent Judiciary.
18
Hak menguji pada hakikatnya inheren dengan kekuasaan
kehakiman. Hak menguji merupakan sifat pembawaan dari tugas
hakim dalam menjalankan fungsi mengadili demi hukum itu sendiri
maka diadakan lembaga hak menguji oleh hakim. Suatu produk
peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman harus
disesuaikan, harus diubah atau dicabut. Pihak yang paling berwenang
untuk mengubah atau atau menggantinya adalah pembuat peraturan
perundang-undangan tersebut. Akan tetapi, apabila pembuat peraturan
perundang-undangan tidak mampu mengubahnya maka hakim
bertugas untuk menyesuaikannya dengan perkembangan jalan sambil
menafsirkan dan mengujinya.19
Pengertian pengujian Undang-Undang (Judicial Review) yang
berdasarkan alasan substantif dari berbagai pemaparan diatas
dilakukan dengan implikasi adanya putusan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi dengan memperhatikan hak konstitusional setiap warga
negara Indonesia. Dan esensi dari putusan hakim yang dianggap adil
mengacu pada pengertian diatas adalah putusan yang dibuat secara
imparsial atau tidak berpihak kepada apapun kecuali hanya kepada
kebenaran dan hak hak yang harus ditegakkan.
4. Teori Prinsip Check and Balances
Meskipun ada pembagian kekuasaan di antara pelaksana
kekuasaan negara secara tradisional, yakni antara kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, dan berlakunya sistem check and balances di
antara kekuasaan negara tersebut akhirnya keseimbangan (balances)
memang diperlukan, dan keseimbangan ini bersifat dinamis yang
seringkali paradoksal.20
Misalnya kekuasaan seyogyanya mesti lebih besar diberikan
terhadap pihak eksekutif, agar perjalanan sistem pemerintahan menjadi
19 Jazim Hamidi, Mohammad Sinal, Ronny Winarno, Any Suryani, I Ketut Sudantra,
Mariyadi, Tunggul Anshari S Negara, Teori Hukum Tata Negara A Turning Point od The State,
Jakarta : Penerbit Salemba Humanika, h 147. 2012. 20
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), (Jakarta, Penerbit PT Refika
Aditama). h 123
19
lancar, efektif dan efisien. Tetapi terutama jika kepala pemerintahan
bukan orang bijak seperti dikatakan plato dalam buku teori negara
modern karya Munir Fuady, maka hal ini dapat menjurus kepada
pemerintahan yang totaliter. Disamping itu legislatif sebagai
perwujudan suara rakyat semestinya juga dapat digunakan sebagai
pemutus pemula dan sekaligus pemutus terakhir terhadap suatu
kebijaksanaan, apalagi karena memang wakil rakyat dan dipilih oleh
rakyat.21
Konsep sesunggguhnya yang dibutuhkan dalam teori ini
adalah :
a. Suatu distribusi kekuasaan agar tidak berada hanya dalam satu
tangan saja) hal ini tersimpul dalam lingkup pengertian “trias
politica” atau “distribution of power”
b. Suatu keseimbangan kekuasaan (agar masing-masing pemegang
kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan
tirani).
c. Suatu pengontrolan yang satu terhadap yang lain (agar suatu
pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat
menimbulkan kesewenang-wenangan).
Keseluruhan dari prinsip tersebut sudah tersimpul dalam teori
distribusi kekuasaan dan teori check and balances. Teori ini amat
diperlukan dalam suatu sistem ketatanegaraan.
5. Teori Lembaga Negara
Ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 hasil amandemen sama sekali tidak terdapat ketentuan
hukum yang mengatur tentang definisi “Lembaga Negara”, sehingga
banyak pemikir hukum Indonesia yang melakukan penemuan hukum
untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan konsep Lembaga
Negara. Pengertian di atas juga memberi contoh frasa yang
menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga pemerintah yang diartikan
21
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), (Jakarta, Penerbit PT Refika
Aditama), h 123
20
sebagai badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif.
Secara definitif, Lembaga Negara adalah institusi-institusi yang
dibentuk untuk melaksanakan fungsi-fungsi negara.22
Has Natabaya dan Ernawati Munir mengatakan bahwa istilah
badan, organ, atau lembaga mempunyai makna yang esensinya kurang
lebih sama. Ketiganya dapat digunakan untuk menyebutkan suatu
organisasi yang tugas dan fungsinya menyelenggarakan pemerintahan
negara. Namun demikian perlu ditekankan adanya konsistensi
penggunaan istilah agar tidak digunakan dua istilah untuk maksud
yang sama.
Secara sederhana istilah Organ Negara atau Lembaga Negara
dapat dibedakan dari perkataan Organ atau Lembaga Swasta, atau
yang biasa disebut Organisasi Nonpemerintah. Oleh sebab itu,
lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat
dapat disebut sebagai Lembaga Negara. Lembaga Negara itu dapat
berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang
bersifat campuran.23
Dari segi kelembagaannya, menurut ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan
Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik
Indonesia terdapat delapan buah organ negara yang mempunyai
kedudukan sederajat yang secara langsung menerima kewenangan
konstitusional dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Delapan lembaga negara tersebut dibagi atas 4 kekuasaan
dan satu Lembaga Negara Bantu sebagai berikut: Pertama, Kekuasaan
Legislatif, yaitu: Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tersusun atas:
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah; Kedua,
Kekuasaan Eksekutif, yaitu: Presiden dan Wakil Presiden; Ketiga,
22
Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, cet.I, edisi revisi, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2000), h.241. 23
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
cet.I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.27.
21
Kekuasaan Yudisial, meliputi: Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi.24
Kekuasaan terakhir adalah di bidang Eksaminatif (Inspektif),
yaitu: Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga Negara Bantu (the state
auxiliary body), yaitu Komisi Yudisial. Di samping kedelapan
lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang
diatur kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yaitu: (1) Tentara Nasional Indonesia, (2)
Kepolisian Negara Republik Indonesia, (3) Pemerintah Daerah, dan (4)
Partai Politik.25
Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi
disebut fungsinya, namun kewenangannya dinyatakan akan diatur
dengan undang- undang, yaitu: (1) bank sentral yang tidak disebut
namanya “Bank Indonesia”, dan (2) Komisi Pemilihan Umum yang
juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil.26
Oleh karena itu,
dapat dibedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara
berdasarkan perintah Undang-Undang dan kewenangan organ negara
yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang, bahkan dalam
kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal
dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka.
Lembaga Negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan organ
konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang
merupakan organ Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk
karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan
24
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cet.I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006),h.151. 25
Titik Triwulan Tutik, Konstitusi Hukum Tata Negara Indonesia Pasaca Amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cet.I, (Jakarta: Kencana, 2010),
h.176. 26
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cet.I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), h.151.
22
derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.27
B. Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep
khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan
istilah yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.28
Berkenaan dengan uraian diatas, maka kerangka konseptual dalam
penelitian ini yakni :
1. Implikasi Putusan
Implikasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah
pelaksanaan atau penerapan.29
Implikasi merupakan sesuatu yang
bermuara pada aksi, aktivitas, tindakan, serta adanya mekanisme dari
suatu sistem. Implikasi tidak hanya sekedar aktifitas menonton belaka,
tetapi merupakan suatu kegiatan yang terencana secara baik yang
berguna untuk mencapai tujuan tertentu.30
Maka implikasi putusan
adalah keterlibatan suatu faktor dengan faktor lainnya akibat dari
pernyataan seorang hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.
2. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.31
Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.32
Dalam kewenangannya,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
27
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
cet.I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.60 28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 132 29
http://kbbi.web.id/implikasi/ diakses pada 3 Februari 2018. 30
http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-implementasi/ diakses pada 5
Februari 2018. 31
Republik Indonesia, Pasal 1 Undang- Undang No 8 Tahun 2011, Undang-Undang
Tentang Mahkamah Konstitusi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor. 28,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 5226) 32
Republik Indonesia, Pasal 2 Undang-Undang No 8 Tahun 2011, Undang-Undang
Tentang Mahkamah Konstitusi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor. 28,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 5226
23
terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
c. memutus pembubaran partai politik
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.33
Dalam pasal 10 kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain
juga disebutkan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.34
3. Hak Angket
Pengertian dan ketentuan mengenai hak angket secara eksplisit
diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 Pasal 70
Tentang Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat Menjadi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, berikut :
“Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete),
menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang,”35
Sehingga pengertian Hak Angket sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan adalah hak menyelidiki yang dimiliki oleh DPR,
yang untuk selanjutnya pengertian Hak Angket dapat dilihat pada
bagian konsiderans (Menimbang) pada Undang- Undang Nomor 6
Tahun 1954, sebagai berikut : “bahwa hak Dewan Perwakilan Rakyat
33
Republik Indonesia, Pasal 10 Undang- Undang No 24 Tahun 2003, Undang-Undang
Tentang Mahkamah Konstitusi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor. 28,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 5226 34
Republik Indonesia, Pasal 10 Undang- Undang No 24 Tahun 2003, Undang-Undang
Tentang Mahkamah Konstitusi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor. 28,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 5226 35
Republik Indonesia, Pasal 70, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950
24
untuk mengadakan penyelidikan (angket) perlu diatur dengan undang-
undang” Selanjutnya pengertian dan ketentuan tentang Hak Angket,
ditentukan kembali pada pasal 20 A ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil
Amandemen, sebagai berikut:
a. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan.
b. Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam
pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan
Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat.
Untuk selengkapnya pengertian Hak Angket dapat dilihat pada
Bagian Penjelasan Pasal 74 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 42 tahun
2014 tentang susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang menyatakan sebagai berikut:
“Hak Angket adalah Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.36
4. Hak Menguji
Dalam studi kepustakaan maupun di dalam praktek dikenal
adanya dua macam hak menguji, yaitu:
a. Hak menguji formal (formeletoetsingrecht)
Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai,
apakah suatu produk legislatif seperti Undang-Undang misalnya
terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah
ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
36
Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor. 383,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 5650)
25
berlaku ataukah tidak.37
b. Hak menguji material (materiele toetsingrecht).38
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk
menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu
kekuasaan tertentu (verordenendemacht) berhak mengeluarkan
suatu peraturan tertentu.39
5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Komisi Pemberantasan tindak pidana korupsi yang berdasarkan
Pasal 2 Dan 3 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi yang untuk selanjutnya disebut
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah “lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun”.40
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul yang peneliti ajukan dalam skripsi
ini perlu kiranya peneliti melampirkan juga beberapa rujukan untuk
menjadi bahan pertimbangan, antara lain :
1. Skripsi Roma Rizky Elhadi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2014 yang berjudul
“Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Pasca
Amandemen Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 194”. Penelitian ini meneliti dan menganalisis tentang
kewenangan penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat pasca
37
Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Ed.2, (Bandung : Penerbit Buku Alumni,
Tahun 1997), hal. 6 38
Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Ed.2, (Bandung : Penerbit Buku Alumni,
Tahun 1997), hal. 6 39
Sri Soemantri, Hak Uji Material Di Indonesia, Ed.2, (Bandung : Penerbit Buku
Alumni, Tahun 1997), hal. 11 40
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK Kajian Yuridis Normatif UU
Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002,
(Jakarta, Penerbit Buku Sinar Grafika Rawamangun, Tahun 2009) h.182
26
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan untuk mengetahui bagaimana mekanisme
penggunaan hak angket DPR dan permasalahan dalam proses
pelaksanaan hak angket itu sendiri. Metode Penelitian yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian
yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma
hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan
keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat
atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat,
karena titik tekannya adalah pada peraturan perundang-undangan serta
peraturan lainnya yang terkait dengan penggunaan hak angket DPR
pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Kesimpulan dari penelitian ini adalah dalam penggunaan
hak angket DPR pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 lebih banyak permasalahan dan
kompleks. Hal ini dikarenakan timbulnya era reformasi yang lepas
dari rezim otoriter zaman orde baru, sehingga memungkinkan
terjadinya kebebasan berpedapat terhadap kebijakan pemerintah dan
meningkatnya efektifitas dalam fungsi pengawasan, fungsi anggaran
dan fungsi legislasi, berbeda objek dengan penelitian ini yang akan
membahas tentang implikasi putusan yang telah dikeluarkan oleh
Mahkamah Konstitusi terkait Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Skripsi Yugo Asmoro, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret
Surakarta, pada tahun 2009 yang berjudul “Analisis Status Dan
Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia”. Penelitian yang dilakukan oleh penulis
dalam skripsi nya untuk berfokus menganalisis kepada bagaimana
status lembaga anti rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
suatu sistem ketatanegaraan negara Indonesia dan bagaimana
kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga
negara di dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia (RI).
27
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
normatif kepustakaan Dalam penelitian ini menguraikan status Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang bersifat
independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak
berada di bawah kekuasaan kehakiman. yang menyimpulkan dalam
hal ini juga di tegaskan terkait status keberadaan sebuah lembaga
negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, instilah “lembaga negara” tidak selalu
dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja,
atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada
lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari
peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang-Undang dan bahkan
Keputusan Presiden (Keppres).
3. Buku berjudul “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”. yang
ditulis oleh Prof. Jimly Asshiddiqie. Dalam buku ini menganalisis
tentang sejarah awal konstitusi di Indonesia demokrasi dan Nomokrasi
secara keseluruhan, prinsip kekuasaan dan bagaimana penerapan ideal
sebuah konstitusi, buku ini menjelaskan konstitusi dan
konstitusionalisme. Berbeda dengan penelitian ini yang akan
membahas tentang akibat hukum pada putusan yang telah dikeluarkan
oleh Mahkamah Konstitusi.
4. Jurnal hukum berjudul ”Implikasi Hak Angket Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Terhadap Komisi Pemberantasan
Korupsi”. ditulis oleh May Lim Charity. Dalam jurnal ini
menyimpulkan bahwa Hak angket DPR kepada KPK tidak sesuai
dengan prinsip check and balance dalam system ketatanegaraan
Indonesia mengingat hak a quo tidak memenuhi rumusan Pasal 79
ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD dan bertentangan dengan UU Komisi Informasi
Publik serta Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
28
lex specialis, berbeda dengan penelitian ini yang akan menjabarkan
secara lengkap mengenai akibat hukum terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap status Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
lembaga negara anti korupsi.
29
BAB III
KEDUDUKAN DAN FUNGSI HAK ANGKET DPR DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA
A. Kedudukan DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia adalah lembaga
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga
perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.
DPR memiliki fungsi yang diatur di dalam pasal 20 A ayat (1) perubahan
kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
Yang dimaksud fungsi legislasi adalah : Fungsi yang dimiliki oleh DPR
untuk membentuk Undang-Undang baik Undang-Undang untuk
melaksanakan ketentuan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945maupun Undang-Undang yang dibentuk atas
perintah Undang-Undang.41
Kekuasaan membentuk Undang-Undang setelah perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengalami pergeseran dari Presiden RI ke DPR. Hal ini dijelaskan di
dalam pasal 20 perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang. Dengan adanya perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945tentang
Kekuasaan membentuk Undang-Undang berarti mengembalikan fungsi
yang sebenarnya dalam membentuk Undang-Undang ke DPR RI.42
Proses
pembentukan Undang-Undang di era reformasi dijelaskan di dalam pasal
20 perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 :
41 “Sejarah Terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” Diakses dari
http://www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr pada tanggal 07 Mei 2018 pukul 10.47 42
Abu Thamrin, Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Jakarta : Penerbit Buku
Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2010),
hal. 122.
30
1. Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama
2. Jika rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan
bersama rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan DPR masa itu
3. Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang
4. Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan
Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib
diundangkan.
Dari berbagai pendapat Pakar Hukum Tata Negara tidak terdapat
perbedaan pendapat ketentuan pasal 20 ayat (4) perubahan pertama
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang
terdapat perbedaan pendapat para pakar Hukum Tata Negara adalah
ketentuan pasal 20 ayat (5) perubahan pertama Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Presiden RI dengan tidak
menandatangani Undang-Undang yang telah mendapat persetujuan
bersama DPR dan Presiden RI tidak melanggar peraturan perundang-
undangan dan pemberlakuan Undang-Undang tanpa pengesahan Presiden
RI tidak cacat yuridis.43
DPR dalam menjalankan tugasnya sebagai salah satu lembaga
negara memiliki tugas dan wewenang. Tugas dan wewenang DPR
dijelaskan di dalam pasal 71 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014
sebagai berikut:
a. Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama
43
Abu Thamrin, Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), hal. 122.
31
b. Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang
diajukan oleh Presiden untuk menjadi Undang-Undang
c. Menerima rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
d. Membahas rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud
dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden
e. Membahas rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh
Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden
f. Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan Undang-
Undang tentang APBN dan rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama
g. Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan
DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan Undang-Undang
tentang APBN yang diajukan oleh Presiden
h. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang dan
APBN
i. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang
disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan Undang-Undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
32
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan dan agama
j. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain,
serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan Negara dan / atau mengharuskan
perubahan atas pembentukan Undang-Undang
k. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian
amnesti dan abolisi
l. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat
Duta Besar dan menerima penempatan Duta Besar Negara lain
m. Memiliki anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD
n. Membahas dan menindaklanjuti hasil atas pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan Negara yang disampaikan oleh BPK
o. Memberikam persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Yudisial
p. Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan
Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh
Presiden
q. Memilih 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi dan mengajukannya
kepada Presiden untuk diresmikan dengan Keputusan Presiden
r. Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan asset Negara
yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan Negara
s. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat dan
t. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam
Undang-Undang.
33
Untuk mendukung pelaksanaan fungsi DPR tugas dan wewenang
DPR, maka DPR baik sebagai Lembaga Negara maupun secara
perserorangan sebagai anggota DPR mempunyai hak bahkan sebagai
anggota DPR disamping mempunyai hak juga mempunyai kewajiban. Hak
DPR dijelaskan di dalam pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 yaitu : Hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan
pendapat.44
Yang dimaksud hak angket DPR adalah : Hak DPR untuk
meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah
yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang dimaksud hak angket
DPR adalah : Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
pelaksanaan suatu Undang-Undang dan / atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud hak
DPR menyatakan pendapat adalah hak hak DPR untuk menyatakan
pendapat atas45
:
1) Kebijakan Pemerintah atas mengenai kejadian luar baisa yang
terjadi di tanah air atau di dunia internasional
2) Tindak lanjut pelaksanaan Hak Interpelasi
3) Dugaan bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap
Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya
maupun perbuatan tercela, Presiden dan/ atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil
Presiden.
Selanjutnya di dalam pasal 78 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
44Abu Thamrin, Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), hal. 125. 45
Abu Thamrin, Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), hal. 126.
34
dijelaskan hak anggota DPR yaitu :
a) Mengajukan usul rancangan Undang-Undang
b) Mengajukan pertanyaan
c) Menyampaikan usul dan pendapat
d) Memilih dan dipilih
e) Membela diri
f) Immunitas
g) Protokoler, dan
h) Keuangan dan administratif
Kewajiban anggota DPR dijelaskan di dalam pasal 79 Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2009 yaitu :
(1) Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila
(2) Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan
perundang-undangan
(3) Mempertahankan dan memelihara kemakmuran nasional
dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(4) Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan
pribadi, kelompok dan golongan
(5) Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat
(6) Menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Negara
(7) Menaati tata tertib dan kode etik
(8) Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan
Lembaga lain
(9) Menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
kunjungan kerja secara berkala dan menampung dan
menindaklanjuti aspirasi dan pengadaan masyarakat
Dengan adanya fungsi DPR, tugas dan wewenang DPR serta hak
baik sebagai DPR secara kelembagaan maupun hak anggota DPR serta
kewajiban anggota DPR maka DPR di era reformasi merupakan legislatif
35
heavy artinya kekuasaan DPR lebih menonjol disbanding kekuasaan
Lembaga Negara lainnya. Hal ini karena ada pergeseran kekuasaan di era
reformasi.46
B. Fungsi Lembaga DPR
DPR sebagaimana telah disebutkan tentang tugas dan
kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam rangka membatasi kekuasaan agar tidak bertindak
sewenang-wenang, rakyat kemudian memilih perwakilannya untuk duduk
dalam pemerintahan,47
dalam rangka menjalankan peran DPR tersebut,
DPR dilengkapi dengan beberapa fungsi utama yaitu :
1) Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk Undang-Undang.
Selain itu, dalam tata tertib DPR disebutkan badan Legislasi
memiliki tugas merencanakan dan menyusun program serta
urutan prioritas pembahasan RUU untuk satu masa
keanggotaan DPR dan setiap tahun anggaran dengan
menginventrisasi masukan dari anggota fraksi, Komisi, DPD,
dan masyarakat untuk ditetapkan menjadi keputusan Baleg.48
2) Fungsi anggaran adalah fungsi DPR bersama-sama dengan
pemerintah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan harus mendapatkan persetujuan DPR.49
Kedudukan DPR dalam penetapan APBN sangat kuat karena
DPR berhak menolak RAPBN yang diajukan Presiden.50
3) Fungsi pengawasan adalah fungsi untuk mengawasi
pelaksanaan undang-undang yang dijalankan oleh pemerintah,
46
Abu Thamrin, Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), hal. 127. 47
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Dian Rakyat, 1998), Cet.XIX,
hal 38 48
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Lembaga Perwakilan
Rakyat di Indonesia, (Jakarta: Penerbit FORMAPPI, Tahun 2005), hal. 95 49
Pasal 20A ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun
1945. 50
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Menghindari Jeratan
Hukum bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Penerbit Buku FORMAPPI, Tahun 2009) h. 162.
36
khususnya pelaksanaan APBN serta pengelolaan keuangan
negara dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.
C. Kedudukan Hak Angket Oleh DPR
Mengenai Pengertian secara umum dan ketentuan mengenai hak
angket secara eksplisit dan jelas diatur dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2014 sebagai berikut: “Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak menyelidiki angket (enquete), menurut aturan-aturan yang
ditetapkan dengan Undang-undang,”
Sehingga pengertian Hak Angket sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan adalah hak menyelidiki yang dimiliki oleh DPR,
yang untuk selanjutnya pengertian Hak Angket dapat dilihat pada bagian
Pasal 79 Ayat 3 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2014, sebagai berikut :
“Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan”51
Artinya, untuk melindungi hak-hak dasar manusia, kekuasaan
legislatif yang diwakili oleh DPR dibebankan kewajiban yang bersifat
maksimal untuk melindungi warga negaranya dan negara harus bersifat
aktif untuk menghormati hak-hak individu, sedangkan dalam menjalankan
norma-norma kontrol atau pengawasan, kekuasaan legislatif (diwakili oleh
DPR) dibebankan kewajiban yang minimal. Selanjutnya pengertian dan
ketentuan tentang Hak Angket, ditentukan kembali pada pasal 20 A ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen, sebagai
berikut :
51
Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor. 383,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 5650)
37
1. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran
dan fungsi pengawasan.
2. Dalam Melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal
pasal lain Undang-Undang dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat.
3. Selain hak yang diatur dalam pasal pasal lain Undang-Undang dasar
ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak
imunitas.
4. Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-
pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Untuk selengkapnya pengertian Hak Angket dapat dilihat pada
Bagian Penjelasan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2014 tentang susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, yang menyatakan sebagai berikut : “DPR
dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memberikan
rekomendasi kepada pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum,
warga negara, atau penduduk melalui mekanisme rapat kerja, rapat dengar
pendapat, rapat dengar pendapat umum, rapat panitia khusus, rapat panitia
kerja, rapat tim pengawas, atau rapat tim lain yang dibentuk oleh DPR
demi kepentingan bangsa dan negara”.52
Setiap pejabat negara, pejabat
pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk wajib
menindaklanjuti rekomendasi DPR tersebut.53
52
Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor. 383,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 5650) 53
Pasal 74 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor. 28,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 6187)
38
Hak angket merupakan Hak DPR untuk menjalankan fungsinya.
Keseluruhan hak sebagai lembaga maupun sebagai anggota dimaksudkan
agar fungsi DPR sebagai lembaga dapat dijalankan.54
Dengan kata lain hak
merupakan sesuatu untuk berjalannya suatu fungsi. Pasal 79 Ayat (3)
Undang–Undang No 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah jo Pasal 164 Ayat (3)55
Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib menyatakan
hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.56
Rumusan Pasal tersebut di atas dapat dipahami bahwa penggunaan
hak angket berkaitan dengan proses penyelidikan ketatanegaraan bukan
penyelidikan sebagaimana yang dimaksud dalam KUHAP, meskipun
menggunakan nomenklatur yang sama. Tentu dengan mempertimbangkan
rumusan secara sistematis dari maksud penggunaan hak angket tersebut.
Jika melihat maksud dari pada penggunaan hak angket dapat dilihat
dalam Pasal 164 ayat (4) huruf b dan c Peraturan Tata Tertib No 1
Tahun 2014 menyatakan, Hak menyatakan pendapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan
pendapat atas tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat
(3); atau dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
54
Philiphus M Hadjon Dkk.2011.Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.Gajahmada
University Press.Yogyakarta.Hal 82 55
Pasal 79 Ayat (1) Undang–Undang No 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah jo Pasal 164 Ayat (3) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor. 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 5568) 56
Bab 9, Tata Cara Pelaksanaan Hak DPR, Pasal 164, Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Repubik Indonesia (DPR RI) No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib
39
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela,
dan/atau Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.57
Pasal 177 ayat (4) Peraturan Tata Tertib, Keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada
Presiden paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan diambil dalam rapat
paripurna DPR RI. Sama halnya dengan Pasal 182 ayat (1) Peraturan Tata
Tertib DPR dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 181 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus terhadap
materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (4) huruf a dan
huruf b, DPR menyatakan pendapatnya kepada Pemerintah.
D. Mekanisme dan Fungsi Penggunaan Hak Angket DPR RI
Mekanisme atau tata cara penggunaan hak angket sebagai bagian
dari fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya pemerintahan sudah
dimuat dalam berbagai penjelasan, pada masa orde baru hak angket untuk
anggota DPR dinilai sangat kuat, hal ini dikarenakan fungsi pengawasan
yang dimiliki DPR pada masa itu berbeda dengan era reformasi.
Dalam Peraturan Tata Tertib Anggota DPR Tahun 2014 Pasal 169,
170 dan 171 Menguraikan secara rinci mekanisme pelaksanaan hak angket
yang dimaksud dalam Pasal 169 :
1. menyatakan Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat
(1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang
Anggota dan lebih dari 1 (satu) Fraksi.
2. Pengusulan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan dokumen yang memuat paling sedikit: a. materi kebijakan
dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan b.
alasan penyelidikan.
3. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPR
apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri
57
May Lim Charity, “Implikasi Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi” Jurnal Legislasi Indonesia. Vol 14 No. 03 -
September 2017 hal 248
40
lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah Anggota dan keputusan diambil
dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah Anggota yang
hadir58
Pasal 170 :
a. Usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169
disampaikan oleh pengusul kepada pimpinan DPR.
b. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh
pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR dan dibagikan
kepada seluruh Anggota.
c. Badan Musyawarah membahas dan menjadwalkan rapat
paripurna DPR atas usul hak angket sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan dapat 107 memberikan kesempatan kepada
pengusul untuk memberikan penjelasaan atas usul hak angket
secara ringkas.
d. Selama usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum disetujui oleh rapat paripurna DPR, pengusul berhak
mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali.
e. Perubahan atau penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) harus ditandatangani oleh semua pengusul dan
disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan
pimpinan membagikan kepada semua Anggota.
f. Dalam hal jumlah penanda tangan usul hak angket yang belum
memasuki Pembicaraan Tingkat I menjadi kurang dari jumlah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1), harus
diadakan penambahan penanda tangan sehingga jumlahnya
mencukupi.
g. Dalam hal terjadi pengunduran diri penanda tangan usul hak
angket sebelum dan pada saat rapat paripurna DPR yang telah
dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, yang berakibat terhadap
jumlah penanda tangan tidak mencukupi sebagaimana
58
Pasal 169 Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor. 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor. 5568)
41
dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1), ketua rapat paripurna DPR
mengumumkan pengunduran diri tersebut dan acara rapat
paripurna DPR untuk itu dapat ditunda dan/atau dilanjutkan
setelah jumlah penanda tangan mencukupi.
1) Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna DPR
terdapat Anggota yang menyatakan ikut sebagai pengusul
angket dengan membubuhkan tanda tangan pada lembar
pengusul, ketua rapat paripurna DPR mengumumkan hal
tersebut dan rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) tetap dapat dilanjutkan.
2) Apabila sampai 2 (dua) kali masa persidangan jumlah
penanda tangan yang dimaksud tidak terpenuhi, usul
tersebut menjadi gugur.59
Pasal 171 :
(1) DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak
angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat
(1).
(2) Dalam hal DPR menerima usul hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia
khusus yang dinamakan panitia angket yang
keanggotaannya terdiri atas semua unsur Fraksi.
(3) Dalam hal DPR menolak usul hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat
diajukan kembali.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai panitia khusus berlaku bagi panitia angket
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).60
59
Pasal 170 Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor. 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor. 5568) 60
Pasal 171 Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor. 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor. 5568)
42
Dimulai dengan adanya usulan untuk mengadakan penyelidikan
mengenai suatu hal atau permasalahan, yang dapat diajukan oleh
sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR. Usulan
tersebut disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR yang disertai
dengan daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya, dan
dinyatakan dalam suatu perumusan secara jelas tentang hal yang diselidiki
yang disertai dengan penjelasan dan rancangan biaya.61
Kemudian di dalam rapat paripurna, setelah usul pengadaan angket
diterima oleh pimpinan DPR, Ketua rapat memberitahukan kepada
anggota DPR tentang masuknya usul untuk mengadakan angket, yang
kemudian usulan-usulan tersebut beserta penjelasan dan rancangan
biayanya diberikan kepaada anggota. Selanjutnya pada rapat Badan
Musyawarah DPR, membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat
Paripurna. Selama usulan untuk mengadakan angket belum disetujui oleh
Rapat Paripurna, maka pengusul berhak mengajukan perubahan atau
menariknya kembali.62
Apabila jumlah tanda tangan usul untuk mengadakan angket yang
belum dibicarakan dalan Rapat Paripurna ternyata menjadi kurang dari
jumlah sebagaimana dimaksud pasal 166 ayat (1) tersebut, maka harus
diadakan penambahan penandatanganan sehingga jumlahnya mencukupi,
apabila sampai dua kali masa persidangan jumlah penanda tanganan tidak
terpenuhi, maka usul menjadi gugur. Apabila nantinya Rapat Paripurna
menyetujui pengadaan angket maka dibentuk Panitia Khusus dan
keputusan DPR untuk mengadakan angket.63
Terhadap hasil Keputusan DPR ini, Panitia Khusus selanjutnya
memberikan laporan tertulis secara berkala sekurang-kurangnya sekali
61
Pasal 169 Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor. 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor. 5568) 62
“Hak DPR” Diakses dari http://www.dpr.go.id/tentang/hak-dpr pada tanggal 07 Mei
2018 pukul 10.47 63
Hak DPR” Diakses dari http://www.dpr.go.id/tentang/hak-dpr pada tanggal 07 Mei
2018 pukul 10.47
43
sebulan kepada Pimpinan DPR, kemudian laporan tersebut dibagikan
kepada seluruh anggota, dan atas usul sekurang-kurangnya 25 orang
anggota tersebut, untuk selanjutnya dibuat laporan berkala yang nantinya
menjadi bahan pembicaraan dan pembahasan dalam Rapat Paripurna,
kecuali apabila nantinya Badan Musyawarah akan menentukan lain.64
Pada masa era reformasi, perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat telah berpengaruh terhadap struktur ketatanegaraan, susunan DPR
serta hubungan DPR dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Struktur
ketatanegaraan ini mengarah kepada terciptanya mekanisme check and
balances antar lembaga negara khususnya antar tiga cabang kekuasaan
yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.65
Menurut Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Teori Hukum Tata
Negara, dari ketiga kekuasaan tersebut, ternyata dalam tataran
implementasinya masih dijumpai berbagai macam persoalan dalam
kaitannya dengan pola hubungan yang terbangun antar lembaga negara
tersebut. Perubahan konstitusi yang diikuti dengan pembentukan dan
perubahan berbagai peraturan perundang-undangan adalah untuk
terbentuknya perimbangan fungsi dan tugas lembaga-lembaga negara
khhususnya Lembaga Eksekutif dan Legislatif, juga dimaksudkan untuk
saling mengimbangi dan saling mengawasi yang bekerja sama sistemik,
berdasarkan aturan-aturan yang ada.
Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 hasil amandemen menentukan bahwa DPR mempunyai fungsi
legislasi, fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan, dan pada pasal 27
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil
amandemen di tentukan bahwa DPR mempunyai Hak Interpelasi, Hak
Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat. Atas dasar hal tersebut diatas,
64
Untung Wahyono, Peran Politik Poros Tengah dalam Kancah Pepolitikan Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), h. 6192. 65
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika) h. 282.
44
Hak Angket dalam hubungannya dengan DPR merupakan hak yang
melekat pada DPR selaku Badan Legislatif berdasarkan ketentuan
konstitusi serta peraturan perundang- undangan yang berlaku.66
66
Republik Indonesia, Pasal 25-27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
45
BAB IV
ANALISIS IMPLIKASI HUKUM PERLUASAN OBJEK HAK
ANGKET OLEH DPR TERHADAP KPK
A. Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Nomor
36/PUU-XV/2017
1. Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Mekanisme constitutional control digerakkan oleh adanya
permohonan dari pemohon yang memiliki legal standing untuk
memberikan kepentingannya yang dianggap dirugikan oleh berlakunya
satu undang-undang. Atau berangkat dari kewenangan konstitusional
satu lembaga negara yang dilanggar atau dilampaui oleh lembaga
negara lainnya.67
Permohonan Pengujian Konstitusionalitas dari pemohon
tentang penjelasan Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 karena perluasan makna oleh DPR yang
menempatkan KPK sebagai objek hak angket DPR, setelah majelis
hakim Mahkamah Konstitusi memeriksa dengan seksama permohonan
para pemohon, keterangan dari Presiden dalam hal ini diwakili oleh
ahli Presiden yaitu Maruarar Siahaan, keterangan DPR, keterangan
pihak terkait, bukti-bukti surat/tulisan dan ahli yang diajukan oleh para
pemohon dan Presiden, serta kesimpulan tertulis para pemohon dan
presiden sebagaimana yang termuat pada bagian duduk perkara pada
putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-XV/2017.
Maka Hakim Mahkamah Konstitusi dalam hal ini sebelum
menuju kepada pertimbangan hukum dari pokok permohonan para
67
Maruar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012). Cet. II, h.60
46
pemohon, mahkamah memiliki beberapa pertimbangan terkait dengan
penjelasan hak angket dan status KPK sebagai lembaga negara di
Indonesia, diantaranya sebagai berikut :
a. Pertimbangan Mahkamah Terkait Hak Angket Sebagai Fungsi
Pengawasan DPR
Dalam pertimbangan mahkamah pertama, Mahkamah
menimbang, tidak selalu hasil penyelidikan DPR melalui
penggunaan hak angket harus berujung pada penggunaan hak
menyatakan pendapat, apalagi semata-mata berupa rekomendasi
atau usulan penggantian terhadap pejabat tertentu yang terbukti
melanggar undang-undang. Sebab sekali lagi, hak angket harus
dimaknai sebagai instrumen pelaksanaan fungsi pengawasan DPR,
sehingga temuan-temuan hak angket tersebut harus dapat dimaknai
sebagai rekomendasi dan acuan mengikat bagi langkah-langkah
evaluasi dan perbaikan di masa mendatang atas “suatu hal” yang
menjadi objek penyelidikan.
Untuk melaksanakan fungsi pengawasannya, DPR dapat
menggunakan hak-hak konstitusionalnya termasuk hak angket
terhadap KPK hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK selain pelaksanaan tugas
dan kewenangan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan
yudisialnya (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan).
b. Pertimbangan Mahkamah Terkait Posisi dan Status KPK sebagai
Lembaga Negara Eksekutif
Dalam pertimbangan mahkamah kedua, Mahkamah
menguraikan bahwa KPK merupakan lembaga di ranah eksekutif,
yang melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif, yakni
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK jelas bukan di
ranah yudikatif, karena bukan badan pengadilan yang berwenang
mengadili dan memutus perkara. KPK juga bukan badan legislatif,
karena bukan organ pembentuk undang-undang. KPK merupakan
47
lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun. Posisi KPK yang berada di ranah eksekutif,
tidak berarti membuat KPK tidak independen dan terbebas dari
pengaruh manapun.
KPK merupakan lembaga yang berada di ranah eksekutif
untuk melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sejatinya
merupakan kewenangan Kepolisian dan/atau Kejaksaan, bahkan
dengan mengingat fungsi KPK sebagai lembaga khusus untuk
mendorong agar pemberantasan korupsi dapat berjalan secara
efektif, efisien, dan optimal, maka dapat disimpulkan dengan
sendirinya bahwa KPK dapat menjadi objek dari hak angket DPR
dalam fungsi pengawasannya.
c. Pertimbangan Mahkamah Terkait Perwujudan Konsep
Akuntabilitas Antar Lembaga Negara Di Indonesia
Dalam pertimbangan mahkamah ketiga, sebagai rangka
penegakan hukum, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK adalah
lembaga yang diberikan tugas dan kewenangan melaksanakan
undang-undang yang salah satunya adalah pemberantasan tindak
pidana korupsi. Meskipun KPK merupakan komisi yang bersifat
independen sebagaimana yang diatur dalam UU KPK, namun telah
jelas bahwa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya
sebagaimana institusi kepolisian dan kejaksaan melaksanakan
tugas dan kewenangan pemerintahan yang masuk dalam ranah
eksekutif.
Walaupun dikatakan KPK independen dalam arti bebas
dari pengaruh kekuasaan lain, namun DPR sebagai wakil rakyat
berhak untuk meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan
kewenangan KPK, meskipun KPK juga bertanggung jawab kepada
publik, kecuali untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan yudisial.
48
Keputusan-keputusan yang diambil oleh KPK dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya tidak boleh didasarkan atas pengaruh,
arahan ataupun tekanan dari pihak manapun termasuk pihak yang
berhak meminta pertanggungjawabannya. Dalam praktiknya setiap
tahun KPK memberikan laporan terbuka menyangkut kinerja,
penggunaan anggaran dan lain lain kepada publik yang dapat
diakses secara terbuka dan juga kepada lembaga- lembaga yang
terkait. Hal ini dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas. Konsep
akuntabilitas demikian tidak menutup prinsip checks and balances
yang menjadi dasar hubungan di antara lembaga-lembaga negara
yang ada.
d. Pertimbangan Mahkamah Terkait Perwujudan Prinsip Konstitusi
Dan Sistem Pemerintahan Yang Dibangun Atas Dasar Paradigma
Checks And Balances
Isu konstitusional norma yang dipermasalahkan oleh para
Pemohon adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 79 ayat (3)
UU 17/2014 yang menyatakan, “Hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis,
dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan”. Terhadap frasa “pelaksanaan suatu undang-
undang dan/atau kebijakan Pemerintah” pada norma a quo
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat yaitu sepanjang dimaknai
lain selain yang secara eksplisit termaktub dalam norma a quo dan
Penjelasannya yakni hak angket hanya terbatas pada lingkup
kekuasaan eksekutif.
Pertimbangan mahkamah keempat terkait isu ini adalah, hal
tersebut tidak dapat dijadikan landasan untuk menyatakan Hak
49
Angket DPR tidak meliputi KPK sebagai lembaga independen,
karena secara tekstual jelas bahwa KPK adalah organ atau lembaga
yang termasuk eksekutif dan pelaksana undang-undang di bidang
penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi. secara substantif, norma yang mengatur hak angket dalam
UU 17/2014 menurut Mahkamah adalah konstitusional. Prinsip
konstitusi dan sistem pemerintahan yang dibangun atas dasar
paradigma checks and balances, tidak boleh membiarkan adanya
kekuasaan yang tidak tercakup dalam pengawasan. Oleh karenanya
Mahkamah berpendapat, tidak terdapat masalah konstitusionalitas
dalam norma yang dimohonkan pengujian a quo
2. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam
Perkara Nomor 36/PUU-XV/2017 Terkait Hak Angket DPR
Dasar hukum putusan perkara konstitusi adalah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
konstitusi tertulis negara Republik Indonesia. Untuk putusan yang
mengabulkan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat
bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa permohonan itu memenuhi
alasan dan syarat-syarat konstitusional sebagaimana dimaksud dalam
konstitusi. Oleh karena itu putusan Mahkamah Konstitusi harus
memuat fakta-fakta yang terungkap dan terbukti secara sah di
persidangan dan perimbangan hukum yang menjadi dasarnya.68
Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 36/PUU-XV/2017 tentang
pengujian KPK sebagai objek dari hak angket DPR memutuskan :69
a. Menolak permohonan provisi para Pemohon.
b. Menolak permohonan para Pemohon. Dalam Pokok Permohonan
Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang
bersifat final. Dengan putusan akhir ini menegaskan bahwa Komisi
68
Ahmad Fadhil Sumadi, Politik Hukum Konstitusi dan Hukum Konstitusi,
(Malang:Setara Press, 2013), h.60 69
Amar Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 36/PUU-XV/2017 Tentang Hak Angket DPR, h 112.
50
Pemberantasan Korupsi (KPK) Merupakan bagian dari lembaga
eksekutif dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kewenangan untuk menjadikan
KPK sebagai objek Hak Angket DPR RI.
3. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Majelis hakim dalam Pasal 25 ayat 10 Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 mengamanatkan bahwa pendapat anggota Majelis
Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan. Pendapat berbeda dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu dissenting opinion dan concurent
opinion atau consenting opinion. Dissenting opinion adalah pendapat
berbeda dari sisi substansi yang memengaruhi perbedaan amar putusan
sebagai pendapat berbeda yang memengaruhi amar putusan harus
dituangkan dalam putusan.
Di Indonesia, dissenting opinion pertama kali lahir tidak
mempunyai landasan yuridis formal karena praktik hakim yang
berkembang. Pertama kalinya dissenting opinion ini memiliki
landasan yuridis di dalam UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998. Pada
awalnya, dissenting opinion ini diperkenalkan pada pengadilan niaga,
namun kini telah diperbolehkan di pengadilan lain, termasuk dalam
uji materiil undang-undang di MK70
Suatu putusan dianggap sebagai concurring apabila terdapat
argumentasi anggota majelis hakim yang berbeda dengan
mayoritas anggota majelis hakim yang lain namun tidak berimbas
pada perbedaan amar putusan.71
Di sisi lain, suatu putusan
dikatakan dissenting jika pendapat suatu anggota majelis hakim
berbeda dengan pendapat mayoritas anggota majelis hakim yang
70
Haidar Adam, “Dissenting Opinion dan Concurring Opinion” Al-Jinayah Jurnal
Hukum Pidana Islam, Fakultas Hukum Universitas Airlanggga Surabaya Vol 03 No. 02 –
Desember 2017 hal 313 71
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Penerbit Buku
PT Sinar Grafika, 2012), Hal 201.
51
lain dan perbedaan tersebut tak sekedar dalam hal penalaran saja,
melainkan sampai menyentuh pada amar putusan.72
Dissenting opinion merupakan salah satu bentuk pertanggung
jawaban moral hukum konstitusi yang berbeda pendapat serta wujud
transparansi agar masyarakat mengetahui seluruh pertimbangan
hukum putusan Mahkamah Konstitusi.73
MK telah mengeluarkan
PMK nomor 6 PMK tahun 2005. Secara spesifik, ketentuan tentang
pendapat berbeda diatur dalam pasal 32 ayat (6). Bunyi lengkap dari
ketentuan dalam pasal tersebut adalah “Pendapat Hakim Konstitusi
yang berbeda terhadap putusan dimuat dalam putusan, kecuali
hakim yang bersangkutan tidak menghendaki”. Dengan pengaturan
yang demikian, bisa ditafsirkan bahwa bisa saja hakim memiliki
pendapat yang berbeda dalam suatu rapat permusyawaratan hakim
(RPH) namun pendapatnya tersebut tidak tertuang dalam
putusan.74
Pendapat berbeda memang mungkin dan dalam praktik sering
terjadi, karena putusan dapat diambil dengan suara terbanyak jika
musyawarah tidak dapat mencapai mufakat, empat orang Hakim
Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Hakim
Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi Suhartoyo, dan
Hakim Konstitusi Saldi Isra terhadap putusan a quo ini memiliki
pendapat yang berbeda (dissenting opinion).
Dalam putusan berbedanya mereka berpendapat bahwa
Kapasitas untuk mengontrol potensi penyimpangan kekuasaan
eksekutif adalah tugas mendasar yang harus dimiliki perlemen.
Apabila diletakkan dalam desain bernegara Indonesia yang diatur
72
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Penerbit Buku
PT Sinar Grafika, 2012), Hal 200 73
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Konstitusi, (Jakarta:Sekretariat Jenderal Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010) Hal, 58 74
Haidar Adam, “Dissenting Opinion dan Concurring Opinion” Al-Jinayah Jurnal
Hukum Pidana Islam, Fakultas Hukum Universitas Airlanggga Surabaya Vol 03 No. 02 –
Desember 2017 hal 313
52
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dengan posisi dan relasi kedua cabang kekuasaan itu, berdasarkan
Pasal 20A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya, DPR
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat. Sebagai sebuah hak yang melekat kepada institusi legislatif,
masing-masing hak tersebut memiliki latar belakang yang tidak sama.
Para hakim juga menjelaskan dalam putusannya bahwa hak
angket adalah salah satu bentuk perwujudan kewenangan pengawasan
legislatif terhadap eksekutif selaku pemegang kekuasaan
pemerintahan. Pengawasan itu ditujukan kepada pemegang kekuasaan
eksekutif sebab eksekutiflah yang melaksanakan pemerintahan sehari-
hari, baik pelaksanaan pemerintahan yang diturunkan langsung dari
atau merupakan amanat undang-undang maupun pelaksanaan
pemerintahan yang merupakan pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh
eksekutif sendiri yang tujuan akhirnya adalah terwujudnya
pemerintahan yang akuntabel.
Oleh karena itu, dalam konteks historis, Pasal 79 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD tidak dapat ditafsirkan lain selain bahwa yang menjadi objek
pengaturan norma Undang-Undang a quo adalah pemerintah beserta
segenap jajaran atau instansi yang termasuk ke dalam lingkup
kekuasaan eksekutif. Berdasarkan metode penafsiran sistematis,
dengan melihat hubungan antara keseluruhan norma yang terdapat
dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD telah ternyata pula bahwa Pasal 79 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD tidak mungkin ditafsirkan lain kecuali memang ditujukan
kepada eksekutif (pemerintah).
Bila diurai secara sistematis, materi muatan norma yang
terkandung dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014
53
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD di atas dimulai dengan uraian
atau penjelasan tentang hak-hak yang dimiliki oleh DPR, yaitu hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, sebagaimana
termuat pada ayat (1). Kemudian, pada ayat-ayat selanjutnya, diuraikan
pengertian dari masing-masing hak tersebut yang secara koheren
merujuk pada Pemerintah sebagai objeknya.
Empat Hakim konstitusi yang berbeda pendapat disini
menganggap, Pemerintah sebagai pelaku kekuasaan eksekutif yang
melaksanakan pemerintahan sehari-hari bertanggung jawab sebagai
penanggung jawab tertinggi, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah
Presiden. Dalam sistem Presidensial, kekuasaan pemerintah yang
berada di bawah pimpinan Presiden sangat besar. Oleh karena itulah,
kekuasaan yang besar tersebut harus diawasi oleh rakyat sebab
rakyatlah yang memberi mandat langsung kepada Presiden selaku
penanggung jawab pelaksanaan kekuasaan pemerintahan. DPR, secara
konstitusional, dikonstruksikan sebagai representasi rakyat. Itulah
sebabnya DPR, oleh Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, diberi fungsi pengawasan (selain
fungsi legislasi dan fungsi anggaran) yang pelaksanaannya diwujudkan
dalam bentuk pemberian hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 79 Undang-
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD yang diturunkan dari Pasal 20A ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, berdasarkan penafsiran secara sistematis,
adalah tidak koheren apabila objek dari pelaksanaan hak angket dan
hak-hak DPR lainnya yang diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dikatakan
mencakup hal-hal yang berada di luar ruang lingkup kekuasaan
Pemerintah (eksekutif).Dalam penjelasan dissenting opinion ini
54
penafsiran Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tersebut juga tidak mungkin
untuk ditafsirkan meliputi hal-hal yang berada di luar ruang lingkup
kekuasaan Pemerintah (Eksekutif).
Sebab, pembentuk undang-undang sendiri telah memberikan
penafsiran resminya terhadap maksud dari norma Undang-Undang a
quo, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan terhadap Pasal 79 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD yang menyatakan, “Pelaksanaan suatu undang-undang
dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang
dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara,
Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian.” Penjelasan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tersebut
telah dengan terang menjelaskan maksud pembentuk undang-undang
perihal makna frasa “Pelaksanaan suatu undang- undang dan/atau
kebijakan Pemerintah” dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan
kata lain, pembentuk undang-undang sendiri telah membatasi objek
hak angket itu untuk tidak mencakup objek yang berada di luar ruang
lingkup kekuasaan Eksekutif.
Empat hakim konstitusi disini dalam perbedaan pendapatnya
tidak hendak ingin bermaksud mengaitkan dengan kasus konkret,
namun menegaskan pemahaman komprehensif dalam menjelaskan
frasa “penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang
dan/atau kebijakan Pemerintah” seperti yang diatur dalam norma Pasal
79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD tersebut, hal pokok yang harus dijelaskan adalah
bagaimana sesungguhnya secara teoretis membuat perbedaan antara
lembaga negara yang secara tradisional dibedakan menjadi tiga cabang
kekuasaan dalam doktrin trias politika (yaitu: eksekutif, legislatif, dan
55
yudikatif) dengan lembaga yang disematkan status “independen”
dalam perkembangan teori hukum tata negara modern (modern
constitutional law theory).
Untuk itulah Majelis hakim dalam dissenting opinion inipun
menjelaskan perluasan hak angket yang menjadi pokok pengujian
undang-undang tersebut dipicu oleh rumusan norma dalam frasa
“penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah” tidak dimaknai dalam pengertian pemerintah
yang hanya terbatas pada eksekutif. Padahal, apabila dilihat kembali
dari perkembangan sejarah munculnya hak angket, eksistensi hak
angket dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia, serta
maksud dan tujuan diadopsinya hak angket dalam Pasal 20A ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945yang
dikehendaki oleh anggota MPR yang melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
instrumen untuk mengawasi Pemerintah dalam pengertian pengawasan
terhadap eksekutif.
Artinya, apabila diletakkan ke dalam norma Pasal 79 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD, penggunaan hak angket adalah untuk melakukan penyelidikan
atas: (1) pelaksanaan suatu undang-undang oleh Pemerintah; (2)
pelaksanaan suatu kebijakan oleh Pemerintah; dan (3) pelaksanaan
undang-undang dan kebijakan sekaligus oleh Pemerintah, di mana kata
“Pemerintah” dalam norma a quo tidak boleh dimaknai selain dalam
makna atau pengertian eksekutif. Tidak hanya itu, dalam konstruksi
norma Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, bahwa pemaknaan “pemerintah”
menjadi “eksekutif” ditambah dengan syarat pelaksanaan undang-
undang dan/atau kebijakan tersebut harus menyangkut hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
56
perundang-undangan.
Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, kami
berpendapat, Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan a quo
dengan menyatakan bahwa Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor
17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa
“pelaksanaan suatu undang-undang” dalam norma Undang-Undang a
quo tidak diartikan “pelaksanaan undang-undang oleh Pemerintah
(eksekutif)”. Sementara itu, terhadap beberapa pertimbangan dari tiga
hakim konstitusi, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mempunyai
alasan berbeda terhadap posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, yaitu sebagai berikut :
Bahwa jika pengawasan DPR melalui hak angket tersebut
dikaitkan dengan kasus konkret yang dikemukakan dalam
permohonan a quo, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mempunyai
alasan yang berbeda dengan ketiga hakim lainnya dalam dissenting
opinion ini yang menyatakan bahwa, lembaga KPK adalah lembaga
independen yang bukan berada di dalam tiga cabang lembaga
kekuasaan dalam doktrin trias politika dan tidak termasuk dalam
cabang kekuasaan eksekutif. Perbedaan alasan yang diajukan adalah
sebagai berikut :
a. KPK adalah lembaga yang terbentuk berdasarkan Ketetapan MPR
Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang mengatur antara
lain, perlunya dibentuk suatu lembaga oleh Kepala Negara yang
keanggotaannya terdiri atas Pemerintah dan masyarakat, sebagai
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang- undang
tindak pidana korupsi. Selain itu, untuk mempercepat dan
menjamin efektivitas pemberantasan korupsi, kolusi, dan
57
nepotisme tersebut dibentuklah Ketetapan MPR Nomor
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.75
b. Sebagai tindak lanjut dari kedua ketetapan MPR tersebut maka
dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengamanatkan
perlunya dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.76
c. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut dibentuklah Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang dalam Konsiderans Menimbang
huruf b menyatakan, “bahwa lembaga pemerintah yang menangani
perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan
efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”.77
d. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas saya berpendapat
bahwa KPK adalah termasuk dalam ranah kekuasaan eksekutif
yang sering disebut lembaga pemerintah walaupun mempunyai ciri
independen. Independen di sini haruslah dimaknai independen
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya (vide Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006.78
Berdasarkan pada beberapa alasan tersebut, Hakim Konstitusi
Maria Farida berpendapat, KPK termasuk dalam ranah kekuasaan
75
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia Nomor 36/PUU-
XV/2017, hal, 127 76
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia Nomor 36/PUU-
XV/2017, hal, 128 77
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia Nomor 36/PUU-
XV/2017, hal, 128 78
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia Nomor 36/PUU-
XV/2017, hal, 128
58
pemerintahan (eksekutif) yang berciri independen. Walaupun KPK
tidak bertanggung jawab kepada Presiden secara langsung, dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangannya KPK bertanggung jawab
kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan
berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan sehingga
tidak seharusnya KPK menjadi objek dari hak angket DPR. Dengan
demikian permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut
hukum dan seharusnya Mahkamah “mengabulkan” permohonan a
quo.
B. Analisis Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap
Perluasan Objek Hak Angket Oleh DPR Terhadap KPK
1. Analisis Kewenangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017
Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian
penjelasan pasal 73 UU Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pasal 24C ayat 1 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan terdapat pula dalam
Pasal 10 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.8
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.24 Tahun
2003 tentang mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang salah satunya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017
yang pada objek permohonannya untuk memandang norma Pasal 79
ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD yang menyatakan: “Hak angket sebagaimana
59
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan”.
Para Pemohon dalam putusan ini menganggap frasa
“pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah”
apabila dimaknai lain selain yang secara eksplisit termaktub dalam
norma a quo dan penjelasannya akan menimbulkan ancaman dalam
bernegara karena Hak Angket yang diberikan oleh Konstitusi dan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang, ternyata dalam
pemberlakuannya DPR memperluas lingkup Hak Angket dari
ketentuan yang telah diatur oleh norma a quo dan Penjelasannnya, Para
Pemohon memandang hak konstitusionalnya untuk mendapatkan
kepastian hukum yang dijamin khususnya termaktub dalam Pasal 28D
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 telah terlanggar oleh pemberlakuan norma akibat adanya
perluasan dan perbedaan penafsiran yang timbul.
Selanjutnya sesuai dengan uraian yang termaktub dalam
putusan, pemohon telah menguraikan penjelasan pasal 73 yang
dianggap telah melanggar hak konstitusional yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal
tersebut sesuai dengan ketentuan pada pasal 51 ayat (3) UU No.24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa dalam
permohonannya, pemohon wajib menguraikan dengan jelas materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya berdasarkan
60
yurisprudensi pada Putusan Perkara Nomor 36/PUU-XV/2017,79
penjelasan merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan
satu kesatuan dengan Undang-Undang yang bersangkutan, oleh karena
itu penjelasan pasal 73 dapat diajukan sebagai objek permohonan
dalam pengujian materil ke Mahkamah Kontitusi. Karena dalam
praktek, Menurut Jimly Asshiddiqqie sering ditemukan kenyataan
bahwa materi yang dipermasalahkan oleh pemohon bukanlah norma
yang terdapat dalam Pasal undang-undang, melainkan dalam lampiran
undang-undang.80
Dengan demikian, penulis berpendapat, bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang menguji penjelasan pasal 70 yang merupakan
satu kesatuan atas pasal 73 UU Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Analisis terhadap Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017
Dalam konteks pengujian undang-undang, kepentingan yang
digugat adalah kepentingan yang luas menyangkut kepentingan semua
orang dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, perkara yang
diajukan tidak dalam bentuk gugatan, tetapi permohonan dan subjek
yang mengajukannya disebut pemohon.
Lebih lanjut agar suatu perkara yang diajukan dapat diperiksa
dan diputus, pemohon yang mengajukan permohonan atas pengujian
undang-undang haruslah yang mempunyai persyaratan kedudukan
(legal standing), sehingga masalah pemenuhan persyaratan legal
standing pemohon ini merupakan masalah pokok dalam setiap
79
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-III/2005 Perkara Pengujian
Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-undang dasar
1945. Dalam putusan ini yang dipermasalahkan mengenai Penjelasan Pasal 59 (1) terhadap UUD
NRI Tahun 1945. h.29 80
Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006) h. 52
61
pengajuan permohonan undang-undang.81
Di dalam pengujian uji
materiil undang-undang, pemohon diharuskan untuk membuktikan
bahwa pemohon benar-benar memiliki kedudukan hukum, sehingga
permohonan pengujian yang diujikan dapat diperiksa, diadili dan
diputus oleh hakim Mahkamah Konstitusi.82
Untuk dapat dinyatakan memiliki legal standing, dalam
mengajukan permohonan merupakan hal yang sulit, hal ini
dikarenakan seseorang dalam mengajukan gugatan ke mahkamah
konstitusi memang tidak dapat serta merta dinyatakan memiliki legal
standing sebelum pemeriksaan pokok perkara, bahkan legal standing
seseorang baru diketahui setelah proses pembuktian atau bahkan dalam
kondisi tertentu keputusan tentang penentuan seseorang memiliki legal
standing baru dapat ditentukan dengan keputusan final pokok
perkara.83
Sebagai Badan Hukum dari Forum Kajian Hukum Konstitusi
(FKHK) dan perorangan warga Indonesia para pemohon mengatakan
bahwa perluasan norma dalam pasal 73 Undang- Undang No.42
Tahun 2014 tentang Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD oleh DPR telah merugikan hak
konstitusionalnya yang tercantum dalam pasal 28D ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Memang benar
bahwa, perorangan warga Indonesia merupakan salah satu subjek
hukum yang yang tercantum dalam pasal 51 ayat (1) Undang-undang
No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, dan pemohon
selanjutnya dapat menerangkan haknya yang telah disediakan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu
pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
81
Jazim Hamidi, Mohammad Sinal dkk, Teori Hukum Tata Negara, (Jakarta: Salemba
Humanika, 2012). Hal. 158 82
Jazim Hamidi, Mohammad Sinal dkk, Teori Hukum Tata Negara, (Jakarta: Salemba
Humanika, 2012). Hal. 158 83
Jimly Asshidiqie, Pokok Pokok Hukum Tata Negara (Jakarta: Bahana Ilmu Populer,
2007) Hal.65
62
Tahun 1945 dianggap berpotensial dapat terjadi pelanggaran hak
konstitusional ketidakpastian hak dan hukum akibat dari berlakunya
perluasan makna penjelasan pasal Undang-Undang Nomor 17 tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Menurut Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, pemohon adalah
subjek hukum yang memenuhi persyaratan sesuai undang-undang
untuk mengajukan permohonan perkara kepada Mahkamah
Konstitusi.84
Karena menurut pengertian, Legal Standing adalah
keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi
syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan
permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di
depan Mahkamah Konstitusi.85
pertimbangan selanjutnya para
pemohon dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD
NRI Tahun 1945 terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan
kedudukannya sebagai pemohon sebagaimana dijelaskan dalam pasal
51 ayat (1) UU MK dan kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.
Namun, penulis disini memiliki pandangan lain, dari beberapa
pertimbangan mahkamah yang menyatakan bahwasanya para pemohon
disini memiliki kedudukan hukum (legal standing). Menurut
pandangan penulis kurang tepat, Pemohon dalam putusan ini tidak
menguraikan dan mengkonstruksikan secara jelas adanya kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo, para
Pemohon tidak dapat membuktikan secara logis hubungan sebab akibat
antara kerugian yang dialami para Pemohon dengan berlakunya pasal a
quo yang dimohonkan pengujian, dan tidak memenuhi ketentuan Pasal
84
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta:Sinar
Grafika.2010) Hal 68-69 85
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010) Hal 98
63
51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta tidak memenuhi persyaratan
kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu.
Hak Angket merupakan hak khusus bagi anggota DPR yang
dijamin oleh Pasal 20A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 maka penulis berpandangan bahwa
para Pemohon yang mana dalam posisi legal standing tidak
berkedudukan sebagai anggota DPR serta tidak ada satu pun kerugian
kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon dari
berlakunya pasal a quo, dan karenanya Para Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara a quo karena
menurut penulis para pemohon disini bukanlah bagian dari Anggota
DPR ataupun pihak yang terlibat langsung dengan kegiatan KPK
sehari-hari.
Jika melihat pada uraian putusan, para pemohon pada perkara
Nomor 36/PUU-XV/2017 dalam permohonannya berulangkali
menyebutkan terkait dengan pelaksanaan hak Angket terhadap KPK
pada Permohonan Bagian 4 Huruf B angka 8 dan angka 9 Huruf C,
D, dan E, mengacu pada hal tersebut mengingat apakah para pemohon
disini mewakili KPK secara keseluruhan, penulis berpendapat ini
bahwa hal tersebut juga menunjukkan ketidakjelasan legal standing
dari para Pemohon. Karena tidak setiap warga negara Indonesia dapat
begitu saja menyatakan dirinya mempunyai hak mengatasnamakan
kepentingan KPK.
Setiap warga negara Indonesia yang mengklaim dirinya
mempunyai kepentingan KPK perlu memenuhi persyaratan kedudukan
hukum (legal standing) sebagai dasar hukum yang dapat digunakan
mewakili dan bertindak untuk dan atas nama kepentingan KPK, seperti
mengikuti mekanisme proses rekrutmen pegawai, termasuk para
Pemohon tidak boleh luput dari hal ini.
Adanya alasan bahwa fakta dari para Pemohon adalah sebagai
pihak yang terhalangi tugas dan kegiatannya sehari hari termasuk
64
kegiatan para Pemohon yang concern terhadap perkembangan hukum
tata Negara maupun persoalan penegakan hukum dan konstitusi serta
pemberantasan korupsi di Indonesia dengan demikian menurut Penulis
pada kenyataannya para Pemohon tidak dalam posisi yang terganggu,
terkurangi atau setidak-tidaknya terhalang-halangi aktifitasnya untuk
mengawal hukum dan konstitusi di Indonesia melalui berbagai sarana
yang tersedia sebagaimana dijamin oleh konstitusi maupun peraturan
perundang-undangan lainnya.
Senada dengan pemerintah, penulis menilai, tidak ada kerugian
konstitusional yang spesifik dan aktual yang dialami oleh para
Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian yang
dialami para Pemohon dengan berlakunya Pasal 79 Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan
penjelasannya. Para pemohon dalam putusan ini sebaiknya
menyampaikan perhatiannya terhadap perkembangan hukum tata
negara maupun persoalan penegakan hukum dan konstitusi serta
pemberantasan korupsi di Indonesia sebagai mana tersebut di atas
kepada DPR agar dapat dibantu pelaksanaannya.
Bahwa Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur secara
khusus mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga
negara berkenaan dengan pelaksanaan hak angket DPR tetapi
mengatur bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, dan
mengatur tentang hak warga negara yakni bahwa setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
Bahwa pengaturan mengenai hak angket dalam Pasal 79 79
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD ini tidaklah mengakibatkan pengakuan hak atas jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang
65
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi terabaikan dan
dinafikan, justru dengan adanya pengaturan mengenai hak angket DPR
dalam UU yang diuji itulah memberikan jaminan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama, mengingat bahwa pengaturan hak
tersebut berlaku sama untuk seluruh WNI yang berkedudukan sebagai
anggota DPR RI
Dengan demikian berkenaan dengan legal standing para
Pemohon, penulis menyimpulkan, bahwa Pasal 79 79 Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak
mengatur hak hak konstitusional para Pemohon, tetapi merupakan
ketentuan perundang-undangan yang mengatur hak dan kewenangan
konstitusional DPR untuk menggunakan hak angket dalam rangka
melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 20A
ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Sehingga hal ini jelas tidak terdapat hubungan sebab-
akibat antara kerugian sebagaimana yang didalilkan oleh para
Pemohon dengan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam
perkara ini.
3. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 36/PUU-XV/2017
Dalam putusan mahkamah konstitusi nomor 36/PUU-XV/2017,
mahkamah konstitusi menolak permohonan pemohon untuk
mengajukan pengujian Norma Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah oleh para pemohon
dikarenakan sejak awal para pemohon menganggap Frasa
“Pelaksanaan suatu Undang-Undang dan/atau Kebijakan Pemerintah”
adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 karena perluasan makna oleh DPR yang
menempatkan KPK sebagai eksekutif sehingga dapat menjadi objek
hak angket. Dari semua pertimbangan majelis hakim yang telah
66
penulis uraikan diatas, penulis sependapat dengan majelis hakim dan
menyatakan bahwa dalam beberapa poin tidak bertentangan dan
Inkonstitusional serta sudah sesuai dengan Konsiderans Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pokok permohonan atau objek pengujian adalah norma hukum
yang diuji. Secara umum norma hukum itu dapat berupa putusan
keputusan hukum sebagai hasil kegiatan penetapan yang bersifat
administratif atau beschiking atau sebagai hasil kegiatan penghakiman
berupa vonis oleh hakim atau yang berupa kegiatan pengaturan yang
dalam bahasa belanda biasa disebut regeling, baik yang berbentuk
legislasi berupa legislative acts ataupun yang berbentuk regulasi
berupa executive acts86
Pengujian Konstitusionalitas Pasal 73 79 Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menurut
penulis dikarenakan sejak awal terbentuknya KPK dan dalam
peraturan pembentukan lembaga anti rasuah tersebut, KPK bukanlah
sebagai bagian dari lembaga eksekutif pemerintah yang terkena objek
Hak Angket DPR, sehingga perluasan frasa dalam pasal 73 79
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD dianggap telah merugikan pemohon karena menimbulkan
kondisi ketidakpastian hukum dan multitafsir.
Dari beberapa pertimbangan dan pendapat mahkamah
sehingga menolak permohonan pemohon menurut penulis sudah tepat.
Namun dalam hal lain penulis kurang setuju dengan pendapat
mahkamah yang menempatkan posisi KPK dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia di ranah eksekutif sesuai dengan doktrin trias
politika dan lembaga penunjang negara. MK disini berpandangan,
posisi KPK yang Independen tidak berarti membuat KPK terbebas
dari pengaruh manapun. Mahkamah berpijak berdasarkan putusan
86
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006). H. 24-25
67
Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 pada
halaman 269 dinyatakan, independensi dan bebasnya KPK dari
pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam melaksanakan tugas dan
wewenang utama tersebut.
Dasar pembentukan KPK ialah karena belum optimalnya
lembaga negara in case Kepolisian dan Kejaksaan yang mengalami
public distrust dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam
rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum, dibentuklah KPK. Dalam konstruksi demikian, secara tugas
dan fungsi, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK merupakan lembaga yang
berada di ranah eksekutif. Bahkan lebih lanjut, tugas utama KPK
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ialah melakukan koordinasi
dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam hal ini menjadi trigger
mechanism bagi Kepolisian dan Kejaksaan.
Sesuai dengan konsiderans Menimbang huruf b Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dinyatakan bahwa lembaga pemerintah yang
menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Berpijak
dari Konsiderans tersebut, yang dimaksud sebagai lembaga pemerintah
yang dalam hal ini menangani perkara tindak pidana korupsi ialah
Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini dapat diketahui dengan mengingat
bahwa tugas penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi merupakan kewenangan Kepolisian
dan/atau Kejaksaan. Dengan demikian, dasar pembentukan KPK ialah
karena belum optimalnya lembaga negara in casu Kepolisian dan
Kejaksaan yang mengalami public distrust dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dalam rangka mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum, dibentuklah KPK yang ranah
nya sama dengan kepolisian dan kejaksaan.
68
Konstruksi demikian sebagai dasar pertimbangan mahkamah,
secara tugas dan fungsi yang sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan.
KPK sebenarnya merupakan lembaga di ranah eksekutif, yang
melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif, yakni
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK jelas bukan di ranah
yudikatif, karena bukan badan pengadilan yang berwenang mengadili
dan memutus perkara. KPK juga bukan badan legislatif, karena bukan
organ pembentuk undang-undang. Benar bahwa KPK merupakan
Lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Posisinya yang berada di ranah eksekutif, tidak berarti membuat KPK
tidak independen dan terbebas dari pengaruh manapun.
Penulis disini tanpa mengesampingkan berbagai pendapat
hakim mahkamah konstitusi tersebut, penulis berpendapat berdasarkan
teori hukum tata negara modern yang mendeskripsikan suatu lembaga,
lembaga dapat dikatakan independen apabila memenuhi persyaratan
berikut:
a. Posisi independen tersebut dinyatakan secara tegas (eksplisit)
dalam dasar hukum pembentukkannya, baik yang diatur dalam
konstitusi atau diatur dalam undang-undang;
b. Pengisian pimpinan lembaga bersangkutan tidak dilakukan oleh
satu lembaga saja.
c. Pemberhentian anggota lembaga independen hanya dapat
dilakukan berdasarkan oleh sebab-sebab yang diatur dalam
undang-undang yang menjadi dasar pembentukan lembaga yang
bersangkutan
d. Presiden dibatasi untuk tidak bebas memutuskan (discretionary
decision) pemberhentian pimpinan lembaga independen; dan
69
e. Pimpinan bersifat kolektif dan masa jabatan para pemimpin tidak
habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).87
Bahwa apabila pandangan teoretik dari hukum tata negara ini
penulis kaitkan dengan posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, semua elemen lembaga negara independen dipenuhi dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Atas dasar teori tersebut apabila dikaitkan secara hukum,
pendapat berbeda (dissenting opinion) 3 Hakim Mahkamah Konstitusi
yaitu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi
Suhartoyo, dan Hakim Konstitusi Saldi Isra yang dikemukakan dalam
putusan MK ini menguraikan rangkaian putusan Mahkamah
Konstitusi yang telah berulangkali menyatakan independensi posisi
KPK, di antaranya :
1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-
IV/2006, tertanggal 19 Desember 2006
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-V/2007,
tertanggal 13 November 2007
3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010,
tertanggal 15 Oktober 2010 dan
4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011,
tertanggal 20 Juni 2011.
Pengaturan pendapat yang berbeda dalam putusan
Mahkamah Konstitusi sejatinya dalam hal ini telah membuka
peluang bagi adanya deliberasi diantara sesama hakim MK pada saat
RPH. Komposisi beragam dari para personil hakimnya menjadikan
ruang interpretasi terbuka lebar, termasuk untuk menggunakan
reasoning yang berbeda. Kondisi ini menjadikan adanya kebutuhan
terhadap hakim yang kompeten yang dapat menggunakan segala
daya pikirnya untuk menghadirkan segala argumen dalam alasan
87
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.36/PUU-XV/2017, h.124
70
memutusnya (ratio decidendi).88
Penulis menyayangkan, dalam putusan ini mahkamah tidak
melihat kepada putusan-putusan sebelumnya. Independensi posisi KPK
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih dapat ditelisik dari
belasan putusan Mahkamah Konstitusi yang lain. Secara umum, yang
penulis simpulkan, serangkaian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
menegaskan :
a) Pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting
secara konstitusional (constitutionally important) dan
keberadaan komisi-komisi negara semacam KPK telah
merupakan suatu hal yang lazim.
b) Sifat kelembagaan KPK adalah sebagai lembaga penegakan
hukum dalam bidang tindak pidana korupsi.
c) KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas
dari (campur-tangan) kekuasaan manapun.
d) KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas
dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian
fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta
melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara
korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain.
e) Pimpinan bersifat kolektif dan berakhirnya masa jabatan
pimpinan dapat habis secara bergantian.
Menurut penulis, berdasarkan teori hukum tata negara dan
rekaman uraian putusan Mahkamah Konstitusi di atas telah menjadi
benteng yang kokoh dalam mempertahankan dan meneguhkan posisi
KPK dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi sebagai salah
satu amanah pokok yang diperjuangkan pada Era Reformasi serta
88
Haidar Adam, “Dissenting Opinion dan Concurring Opinion” Al-Jinayah Jurnal
Hukum Pidana Islam, Fakultas Hukum Universitas Airlanggga Surabaya Vol 03 No. 02 –
Desember 2017 hal. 322
71
menegaskan bahwa KPK merupakan lembaga independen yang bukan
berada di dalam tiga cabang lembaga kekuasaan negara di dalam
doktrin trias politika.
Dengan demikian, telah jelas penulis tidak setuju dengan
pendapat mahkamah yang menyatakan KPK adalah bagian dari
eksekutif, KPK bukan termasuk dalam cabang kekuasaan eksekutif.
Penegasan ini merupakan semacam keniscayaan karena sejak awal
terbentuknya, terutama semenjak KPK mampu membuktikan dirinya
unggul sebagai lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi yang
mampu dan berani menyentuh semua lembaga negara tanpa terkecuali
yang merupakan episentrum kekuasaan negara, serta pejabat negara di
pusat maupun daerah.
Senada dengan hal tersebut, penulis mengutip pernyataan dari
Pendiri sekaligus Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Periode
Pertama Jimly Asshiddiqie, dalam penjelasannya, Jimly menyebut
organ negara independen adalah berada di luar cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Artinya, dengan penyematan posisi
berbeda tersebut, lembaga independen tidak termasuk dalam cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif namun di luar tiga
ranah itu.
Dalam putusan ini Mahkamah juga mengatakan tidak tepat
alasan pemohon dan sama sekali tidak dapat dijadikan landasan untuk
menyatakan bahwa Hak Angket DPR tidak meliputi KPK sebagai
lembaga independen, karena secara tekstual jelas bahwa KPK adalah
organ atau lembaga yang termasuk eksekutif dan pelaksana undang-
undang di bidang penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi, karena secara substantif, norma yang mengatur
hak angket dalam UU 17/2014 menurut putusan Mahkamah adalah
konstitusional. Prinsip konstitusi dan sistem pemerintahan yang
dibangun atas dasar paradigma checks and balances, tidak boleh
membiarkan adanya kekuasaan yang tidak tercakup dalam
72
pengawasan. Oleh karenanya Mahkamah berpendapat, tidak terdapat
masalah konstitusionalitas dalam norma yang dimohonkan pengujian a
quo.
Menurut penulis, penafsiran otentik terhadap Frasa Pasal 79
ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD yang diujikan dalam perkara ini tidak mungkin
untuk ditafsirkan meliputi hal-hal yang berada di luar ruang lingkup
kekuasaan Pemerintah (Eksekutif). Sebab, pembentuk undang-undang
sendiri telah memberikan penafsiran resminya terhadap maksud dari
norma Undang-Undang a quo, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan
terhadap Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan, “Pelaksanaan
suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa
kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden,
menteri negara, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian.” Penjelasan Pasal 79 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
tersebut telah dengan terang menjelaskan maksud pembentuk undang-
undang perihal makna frasa “Pelaksanaan suatu undang- undang
dan/atau kebijakan Pemerintah” dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Dengan kata lain, pembentuk undang-undang sendiri telah
membatasi objek hak angket itu untuk tidak mencakup objek yang
berada di luar ruang lingkup kekuasaan Eksekutif sehingga tidak
seharusnya KPK menjadi objek dari hak angket DPR. Secara teoritis
fungsi pengawasan dalam hak angket oleh parlemen sebagai
lembaga perwakilan rakyat dapat pula dibedakan, yaitu:89
(1) Pengawasan terhadap penentuan kebijakan
(control of policymaking)
89
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta,2013,
73
(2) Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan
(control of policy executing);
(3) Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja
Negara (control of budgeting)
(4) Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan
belanja Negara (control of budget implementation)
(5) Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan
(control of government performances)
(6) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik
(control of political appointment of publik
officials) dalam bentuk persetujuan atau
penolakan, atau dalam bentuk pemberian
pertimbangan oleh DPR RI.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa pengawasan DPR menggunakan hak angket
terhadap KPK secara teoritis tidak terpenuhi atau salah sasaran
mengingat DPR RI menggunakan hak konstitusionalnya yaitu hak
angket. Akan sangat tidak sesuai menurut penulis baik secara hukum
maupun doktrin, apabila pembentuk undang-undang telah memberikan
penafsirannya terhadap norma undang-undang yang dibuatnya maka
norma Undang-Undang tersebut harus ditaati demikian adanya oleh
semua pihak, termasuk oleh pembentuk undang-undang sendiri.
KPK adalah lembaga negara independen dan bebas dari
intervensi kekuasaan manapun, ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal
3 UU KPK. Kekuasaan yang dimaksud tidak terlepas dari tiga cabang
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dan bentuk kekuasaan
lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Berdasarkan
ketentuan tersebut berkaitan dengan KPK sebagai objek hak angket
DPR merupakan bentuk intervensi DPR dalam penegakan hukum
pidana korupsi. Sebab Pasal 3 UU KPK maupun penjelasannya telah
membatasi kekuasaan legislatif bahwa tidak bisa menggunakan
74
upaya apapun termasuk hak angket dalam mengintervensi KPK dalam
proses penegakan hukum pidana korupsi meskipun dengan dalih
sebagai wujud pelaksanaan fungsi pengawasan.
Pelaksanaan fungsi pengawasan DPR sebagaimana pendapat
Jimly Asshiddiqie sebelumnya bahwa tidak dapat dilakukan terhadap
KPK yang notabene sebagai lembaga independen dalam penegakan
hukum pidana korupsi. Upaya pengawasan terhadap KPK sebagai
penegak hukum hanya dapat dilakukan melalui proses peradilan,
bahkan hakim pun dalam mengadili perkara konkrit yang didasarkan
pada suatu norma undang-undang yang telah diberi penafsiran otentik
oleh pembentuk undang-undang harus tunduk kepada penafsiran
otentik tersebut kecuali kemudian terbukti bahwa norma-norma
undang-undang tersebut oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan
bertentangan dengan Konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
4. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017
Terhadap Perluasan Objek Hak Angket Oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Status Komisi Pemberantasan Korupsi
Implikasi jika dipahami secara pengertian substantif dari
putusan ini adalah mengenai Pengujian Konstitusionalitas dari
Mahkamah Konstitusi tentang presentase perluasan objek dan
kewenangan DPR dalam pelaksanaan hak angket. Permasalahannya
adalah, apakah suatu putusan Mahkamah mampu mencerminkan
keadilan, dalam arti sesuai dengan heterogenitas masyarakat Indonesia
yang beragam serta dan mencerminkan keadilan hukum itu sendiri.90
Penulis dalam pembahasan penelitian ini akan menguraikan
mengenai implikasi dari perluasan norma dalam frasa pasal 73 Undang
Undang No 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
90
Samsul Wahidin, Distribusi Kekuasaan Negara Indonesia, (Daerah Istimewa
Yogyakarta : Penerbit Buku Pustaka Pelajar, 2014), h.200.
75
Perwakilan Rakyat Daerah. Perluasan makna dalam frasa pasal
tersebut oleh DPR yang dipermasalahkan oleh pemohon sebagai Objek
Pengujian pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-
XV/2017 merupakan salah satu upaya untuk mengisi kekosongan
hukum sebelum diberlakukan penambahan norma dalam suatu undang-
undang dan ini berlaku di negara di Indonesia.
Atas putusan Mahkamah Konstitusi ini telah menyebabkan
adanya implikasi pada Objek kewenangan hak angket DPR dan juga
terkait penafsiran Independensi posisi KPK dalam struktur Lembaga
Negara di Indonesia. Menurut analisa penulis, Implikasi tersebut
melingkupi Lima segi utama yakni akan penulis rincikan diantaranya:
Implikasi terhadap KPK dapat menjadi objek dari hak angket DPR
dalam fungsi pengawasannya, Implikasi terhadap Penjelasan Posisi
“Independensi” KPK sebagai Lembaga Negara dalam Struktur
Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia, Implikasi terhadap
penegakkan hak konstitusional warga negara, implikasi pada
implementasi putusan di tengah masyarakat, dan implikasi dalam
sistem ketatanegaraan di Indonesia yang pada dasarnya memiliki
prinsip checks and balances serta akuntabilitas antar lembaga negara.
Pertama, Implikasi putusan dari segi penetapan sah nya
lembaga KPK yang dapat menjadi objek dari hak angket DPR dalam
fungsi pengawasannya. Dengan demikian, dalam melaksanakan fungsi
pengawasannya, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPR
dapat menggunakan hak-hak konstitusionalnya yang termaktub dalam
undang-undang dan menjadi permasalahan utama dalam judicial
review ini termasuk hak angket terhadap KPK hanya terbatas pada hal-
hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK
selain pelaksanaan tugas dan kewenangan yang berkaitan dengan tugas
dan kewenangan yudisialnya (penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan).
76
Dengan demikian walaupun dikatakan KPK sebagai lembaga
independen dalam arti bebas dari pengaruh kekuasaan lain, Namun
DPR sebagai wakil rakyat berhak untuk meminta pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK, meskipun KPK juga
bertanggung jawab kepada publik, kecuali untuk pelaksanaan tugas
dan kewenangan yudisial. Keputusan-keputusan yang diambil oleh
KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tidak boleh
didasarkan atas pengaruh, arahan ataupun tekanan dari pihak manapun
termasuk pihak yang berhak meminta pertanggungjawabannya.
Kedua, Implikasi putusan terhadap penjelasan posisi
independensi Lembaga KPK dalam struktur ketatanegaraan Negara
Republik Indonesia, dalam putusan ini majelis hakim mahkamah
menyatakan posisi KPK merupakan lembaga di ranah eksekutif, yang
melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif, yakni
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK jelas bukan di ranah
yudikatif, karena bukan badan pengadilan yang berwenang mengadili
dan memutus perkara. KPK juga bukan badan legislatif, karena bukan
organ pembentuk undang-undang, KPK merupakan lembaga negara
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Posisinya yang berada di ranah eksekutif, tidak berarti
membuat KPK tidak independen dan terbebas dari pengaruh manapun.
Dengan demikian dalam rangka penegakan hukum, Kepolisian,
Kejaksaan dan KPK adalah lembaga yang diberikan tugas dan
kewenangan melaksanakan undang-undang yang salah satunya adalah
pemberantasan tindak pidana korupsi. Meskipun KPK merupakan
komisi yang bersifat independen sebagaimana yang diatur dalam UU
KPK, namun telah jelas bahwa dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya sebagaimana institusi kepolisian dan kejaksaan
melaksanakan tugas dan kewenangan pemerintahan yang masuk dalam
ranah eksekutif.
77
Ketiga, implikasi putusan ini terhadap penegakkan dari segi
hak-hak konstitusional warga negara Indonesia sebagai warganya yang
harus dilindungi hak-hak asasi nya, sudah tidak diragukan bahwa
negara memegang peranan penting dan aspek utama dalam mengatur
serta menata kehidupan masyarakatnya. Mekanisme pengaturan warga
negara adalah salah satunya dengan membentuk suatu aturan yang
dinormakan dalam produk undang-undang, dimana undang-undang
tersebut adalah aturan yang diserap dari norma dasar yakni Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tersebutlah
undang-undang itu bersifat konstitusional. Ketika undang-undang
tersebut mencederai hak konstitusional warga negara disinilah celah
dimana warga negara memiliki hak untuk dapat memperjuangkannya
melalui proses Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. peran negara
amat penting dalam memberikan perlindungan hak konstitusional
warga negara dalam pengujian undang-undang yang dianggap
bertentangan ataupun mencedarai hak-hak konstitusional warganya.
Mahkamah akhirnya pada putusan Nomor 21/PUU-XII/2014
menolak permohonan dari para pemohon sebagai objek perluasan hak
angket oleh DPR RI. Jika ditinjau, tujuan dari penetapan putusan
tersebut selaras dengan semangat dari dibentuknya Mahkamah
Konstitusi pada awal pembentukannya yaitu sebagai the guardian of
the constitution. Adapun alasan utama dari putusan tersebut yakni
menegakkan hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi negara
Indonesia.
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan
pemohon tetap harus dihormati, dan itu menjadi keputusan final dan
mengikat, dengan adanya putusan ini Maka dapat disimpulkan bahwa
KPK dapat menjadi objek dari hak angket DPR dalam fungsi
pengawasannya. Dengan demikian, dalam melaksanakan fungsi
pengawasannya, DPR dapat menggunakan hak-hak konstitusionalnya
termasuk hak angket terhadap KPK hanya terbatas pada hal-hal yang
78
berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK selain
pelaksanaan tugas dan kewenangan yang telah diberikan.
Keempat, Implikasi terkait dengan Implementasi putusan di
tengah masyarakat, adapun pada umumnya dalam sebuah putusan
peradilan konstitusi tidak boleh menjatuhkan putusan di luar yang
diminta oleh pihak berperkara pemohon, legitimasi dan tanggapan
yang sangat luas dari publik dan masyarakat luas terhadap putusan ini
merupakan bukti bahwa masyarakat sangat concern terhadap
penegakkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut penulis,
Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 ini masih terdapat pertentangan
dari pihak tertentu terutama akademisi dan masyarakat luas mengenai
dapat dijadikannya KPK sebagai salah satu objek Hak Angket DPR.
Tidak terdapat pembenaran sedikitpun atas alasan penggunaan hak
angket apabila nantinya hanya dijadikan sebuah alat untuk tersebut
sebagaimana diuraikan sebelumnya. Oleh karena itu apabila hak
angket tetap “dipaksakan” terindikasi adanya perbuatan untuk
menghalangi proses penyidikan untuk membongkar kasus-kasus
korupsi yang sedang ditangani oleh KPK. Apabila dalam melanjutkan
proses pembongkaran kasus korupsi KPK merasa terganggu dalam
bekerja maka anggota DPR dapat dijerat tindakan menghalangi proses
penyidikan kasus korupsi.
Kelima, Implikasi terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia
yang pada dasarnya memiliki prinsip checks and balances serta
akuntabilitas antar lembaga negara, Sebagaimana konsep teori yang
telah diuraikan sebelumnya, bahwa Indonesia menganut sistem
pembagian kekuasaan (distribution of power) yang saling melengkapi
satu sama lain. Kewenangan tersebut meliputi kewenangan legislatif
sebagai pembentuk undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana
undang-undang, dan yudikatif sebagai pengawas undang-undang.
Seperti kita ketahui bersama dalam praktiknya setiap tahun
KPK memberikan laporan terbuka menyangkut kinerja, penggunaan
79
anggaran dan lain lain kepada publik yang dapat diakses secara terbuka
dan juga kepada lembaga-lembaga yang terkait melalui website KPK.
Hal ini dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas Konsep
akuntabilitas demikian tidak menutup prinsip checks and balances
yang menjadi dasar hubungan di antara lembaga-lembaga negara yang
ada.
Teori Pembagian kekuasaan tersebut dalam putusan ini
menurut penulis tercermin dalam prinsip check and balances dimana
lembaga negara yang satu dengan yang lainnya saling mengimbangi
dan telah usang antar lembaga negara di satu negara tidak boleh ada
yang berkuasa penuh karena nantinya akan menimbulkan
kesewenangan dan arogansi. Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia
kita mengetahui, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga di bawah
naungan kekuasaan kehakiman atau lembaga yudikatif yang
kewenangan dasarnya adalah sebagai pengawas undang-undang.
Ketika Mahkamah Konstitusi memutus bahwa KPK sebagai
salah satu objek hak angket DPR RI, ini merupakan tindakan
Mahkamah Konstitusi yang telah memasuki kewenangan legislatif.
Oleh karena itu, implikasi pada sistem ketatanegaraan di Indonesia
dalam putusan ini utamanya adalah, Adanya penegasan prinsip check
and balances dalam putusan ini sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bukti sistem di Indonesia melaksanakan ajaran sistem checks
and balances adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
(yang seharusnya memiliki fungsi untuk melaksanakan undang-
undang) namun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 memberikan hak kepada presiden untuk melaksanakan fungsi
legislasi semu yakni dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang
kepada DPR, pemerintah (eksekutif) juga memiliki kewenangan untuk
80
justitie (penyelesaian sengketa), dan pengawasan (control).91
Hal ini berarti sistem checks and balances dalam
penyelenggaraan kekuasaan memungkinkan adanya saling kontrol
antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindari tindakan-tindakan
hegemonik, tiranik dan sentralisasi kekuasaan. Sistem ini mencegah
terjadinya overlapping antar kewenangan yang ada.92
Begitu pula dengan pendapat Jimly Asshiddiqie adanya sistem
checks and balances mengakibatkan kekuasaan negara dapat diatur,
dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggaraan negara yang
menduduki jabatan dalam lembaga negara dapat dicegah dan
ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.93
Menurut Philipus M. Hadjon dalam memaknai kedudukan
suatu lembaga negara dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: pertama:
kedudukan diartikan sebagai suatu posisi lembaga negara
dibandingkan dengan lembaga negara lain. Kedua, kedudukan lembaga
negara diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi
utamanya.94
Berdasarkan ketentuan yuridis di atas bahwa DPR
menggunakan hak angket terhadap KPK berdasarkan penafsiran Pasal
79 ayat (3) yaitu DPR melakukan penyelidikan terhadap pelaksaan
suatu UU. Hal ini dimaksudkan menurut DPR bahwa hak angket dapat
ditujukan kepada KPK meskipun dalam posisinya sebagai penegak
hukum yaitu melaksanakan UU dalam hal ini UU No. 30 tahun
91
Indra Rahmatullah, “Rejuvinasi Sistem Checks and Balances Dalam Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia” Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Vol 01 No. 02 - September 2013 hal 14 92
Indra Rahmatullah, “Rejuvinasi Sistem Checks and Balances Dalam Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia” Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Vol 01 No. 02 - September 2013 hal 15 93
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Buku Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Thn
2006). h. 74. 94
Philipus M. Hadjon, “Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara Menurut
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), h.
10
81
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi maupun UU No. 8
Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena
DPR melaksanakan fungsi sebagai pengawas antar lembaga negara
yang lain.
Selain ditinjau melalui perspektif teori, penulis melihat
persoalan hak angket sebenarnya dapat dilihat melalui sudut pandang
hukum positif Indonesia yaitu selain diatur Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga diatur dalam Undang-
Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
yaitu Pasal 79. Mengenai metode pengesahan usulan hak angket diatur
dalam Pasal 199 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD “usulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan
dari rapat paripurna DPR yang dihadir setengah jumlah anggota DPR
dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah
anggota DPR yang hadir”. Sedangkan untuk panitia angket dapat
dilihat dalam Pasal 201 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD berbunyi “dalam hal DPR
menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR
membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang
keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR”.
Dalam Putusan ini, penulis berkesimpulan, Putusan MK
Nomor 36/PUU-XV/2017 ini merupakan wujud representasi
Hak Angket yang digulirkan kepada KPK sebagai salah satu
bentuk pengawasan DPR terhadap lembaga Negara sekaligus
wujud prinsip check and balance serta akuntabilitas. Yang
terpenting kedepannya pada prinsip dasarnya check and balance
yang dilakukan tidak untuk melemahkan fungsi dan mengurangi
independensi lembaga lain dalam kasus putusan ini khususnya
adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri apalagi
jika nantinya hak angket ini semata hanya bertujuan untuk
82
mengintervensi, melemahkan dan menciderai kemandirian KPK
dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi di Indonesia sehingga
tidak ayal putusan ini menuai banyak tentangan dari akademisi
dan publik terkait tindakan wakil rakyat tersebut.
Walaupun Hak angket tidak seharusnya diletakkan dalam
kewenangan pengawasan objek hak Angket DPR, dimana posisi
KPK pada saat ini sebagai penegak hukum bukan sebagai
pelaksanaan kebijakan maupun penentuan kebijakan.
Pertanggungjawaban KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 20
ayat (1) UU KPK. Ketentuan ini merupakan kewajiban KPK
dalam menyampaikan laporannya kepada DPR RI, Presiden, dan
BPK bersifat berkala bukan dalam sewaktu-waktu dan KPK
dapat diminta pertanggungjawaban kinerjanya.
Selain itu ketentuan tersebut diatas berkaitan dengan asas
akuntabilitas sebagaimana dalam Pasal 5 UU KPK.
Pertanggungjawaban KPK untuk menyampaikan laporan kepada
DPR merupakan laporan tahunan dan pertanggungjawaban
tersebut tidak melalui hak angket tetapi itu merupakan
kewajiban KPK seperti diatur dalam Pasal 15 UU KPK.
Penulis berharap, semoga dengan adanya Hak angket ini
nantinya tidak akan mengganggu kinerja lembaga Komisi
Pemberantasan Koruspsi (KPK) karena jika ditinjau dari
pelanggaran terhadap UU pun hak angket tersebut tidak tepat
sasaran karena alasan atau dasar penggunaan hak angket
tersebut kurang sesuai sebagaimana penulis uraikan dalam poin
sebelumnya.
Sepanjang penggunaan Hak Angket oleh DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan hal penting strategis, dan berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan termasuk
83
dalam hal ini adalah korupsi.
Karena korupsi sebagai tindak pidana luar biasa tentu
mempunyai dampak yang sangat luas terhadap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagaimana konsideran
dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi yang menyebutkan bahwa perlu dibentuk
suatu Komisi pemberantasan korupsi yang independen dengan tugas
dan wewenang melakukan pemberantasan korupsi.
Dengan demikian KPK mempunyai andil yang besar dalam
pemberantasan korupsi. Kaitan antara penggunaan hak angket oleh
DPR terhadap kinerja dari KPK dapat dibenarkan secara teori
sepanjang hak angket itu digunakan untuk menyelidiki pelaksanaan
Undang-Undang Pemberantasan Tipikor dan Undang-Undang KPK.
Temuan atau kesimpulan dari penggunaan hak angket dapat digunakan
sebagai bahan untuk melakukan revisi atau perbaikan terhadap kedua
undang-undang tersebut.
Konklusi dari putusan ini adalah, pelaksanaan hak angket
sangat berkaitan erat dengan pelaksanaan fungsi pengawasan maupun
fungsi legislasi dari DPR RI. Hak angket merupakan bentuk
pengawasan intensif serta investigatif DPR terhadap kebijaksanaan
pemerintah. Peran DPR melalui Hak Angket akan lebih konkret
daripada hanya sekadar menggunakan hak meminta keterangan, karena
dalam hak angket terkandung unsur dimana DPR juga ikut andil
mengawal proses penyelesaian suatu kasus dan sekaligus langsung
menjadi investigator dalam kasus tersebut.
Dimana dengan terlibatnya DPR terhadap suatu kasus, maka
diharapkan upaya penyelesaian kasus ini akan semakin menemui titik
terang dan mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena
terdapat anggapan bahwa sekali hakim konstitusi memutus maka
84
ratusan masyarakat Indonesia harus patuh dan tunduk.95
Maka sudah
sepatutnya suatu norma yang dirumuskan dalam undang-undang
diberlakukan melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang-
undangan yang menjadi otoritas dari lembaga legislatif.
95
Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Gramedia, 2010, h.164.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah memperhatikan, menelaah serta menganalisa putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 terhadap Judicial review
Perluasan makna Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, khususnya dalam frasa “Pelaksanaan suatu
Undang-Undang dan/atau Kebijakan Pemerintah” yang memperluas objek
hak angket DPR terhadap lembaga eksekutif yaitu lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), serta berdasarkan penjelasan bab-bab
terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini penulis
memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa pada putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 36/PUU-XV/2017
pertimbangan hakim yang paling utama terkait Empat hal, Pertama,
Pertimbangan Mahkamah Terkait pemaknaan fungsi dan tujuan dari
hak angket itu sendiri, hak angket harus dimaknai sebagai instrumen
pelaksanaan fungsi pengawasan DPR, dalam melaksanakan fungsi
pengawasannya, DPR dapat menggunakan hak-hak konstitusionalnya
termasuk hak angket terhadap KPK. Namun, hanya terbatas pada hal-
hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK
tidak untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan yang bersifat yudisial.
Kedua, Pertimbangan Mahkamah Terkait Posisi KPK dalam Struktur
Ketatanegaraan di Indonesia, KPK merupakan lembaga di ranah
eksekutif, yang melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif,
yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK merupakan
lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Posisinya yang berada di ranah eksekutif, tidak berarti membuat KPK
tidak independen dan terbebas dari pengaruh manapun. Ketiga,
86
Pertimbangan Mahkamah Terkait Perwujudan Konsep Akuntabilitas
Antar Lembaga Negara Di Indonesia, Walaupun dikatakan KPK
independen dalam arti bebas dari pengaruh kekuasaan lain, namun
DPR sebagai wakil rakyat berhak untuk meminta pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK. Namun, Keputusan-
keputusan yang diambil oleh KPK dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya tidak boleh didasarkan atas pengaruh, arahan, ataupun
tekanan dari pihak manapun termasuk pihak yang berhak meminta
pertanggungjawabannya. Keempat Pertimbangan Mahkamah Terkait
Perwujudan Prinsip Konstitusi Dan Sistem Pemerintahan Atas Dasar
Paradigma Checks And Balances, secara substantif, norma yang
mengatur hak angket dalam pasal 79 Undang-Undang Nomor 17 tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menurut Mahkamah adalah
konstitusional. Prinsip konstitusi dan sistem pemerintahan yang
dibangun atas dasar paradigma checks and balances, tidak boleh
membiarkan adanya kekuasaan antar lembaga negara yang tidak
tercakup dalam pengawasan.
2. Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Perluasan
Makna dalam Frasa Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ini menuai beberapa
implikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya
terhadap keberlangsungan kinerja KPK. Pertama, Implikasi yang
tepat yakni Implikasi Sahnya secara legalitas KPK yang dapat menjadi
objek dari hak angket DPR terutama dalam fungsi pengawasan, Kedua,
Implikasi terhadap Penjelasan Posisi Independen KPK sebagai
Lembaga Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Negara Republik
Indonesia, dalam putusan ini majelis hakim mahkamah konstitusi
menyatakan posisi KPK merupakan lembaga di ranah eksekutif sama
seperti Lembaga Kejaksaan dan Kepolisian, yang melaksanakan
fungsi-fungsi dalam domain eksekutif, yakni penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan. KPK jelas bukan di ranah yudikatif, karena bukan
87
badan pengadilan yang berwenang mengadili dan memutus perkara,
KPK juga bukan badan legislatif, karena bukan organ pembentuk
undang-undang, KPK merupakan lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun namun dalam domain eksekutif,
Ketiga, , implikasi putusan ini memberikan penegakkan dari segi hak-
hak konstitusional warga negara Indonesia sebagai warganya,
Keempat, Implikasi terkait dengan bagaimana Implementasi terhadap
penerapan putusan ini di tengah masyarakat Indonesia, yakni
tanggapan yang sangat luas dari publik dan masyarakat luas terhadap
putusan ini merupakan bukti bahwa masyarakat sangat concern
terhadap penegakkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut
penulis, Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 ini masih terdapat
pertentangan dari pihak tertentu terutama akademisi dan masyarakat
luas mengenai dapat dijadikannya KPK sebagai salah satu objek Hak
Angket DPR, Kelima, Implikasi terhadap sistem ketatanegaraan yang
pada dasarnya memiliki prinsip checks and balances. Sebagaimana
konsep teori yang penulis uraikan sebelumnya dalam tulisan ini.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, melalui penelitian
ini, penulis mengajukan beberapa saran konstruktif dalam penelitian ini
sebagai berikut :
1. Bagi komisi pemberantasan korupsi, walaupun kedudukannya
disamakan dengan kejaksaan dan kepolisian dan lembaga eksekutif
pemerintah, agar tetap menjaga Kinerja dan menjalankan tugas fungsi
sebagai lembaga pemberantasan korupsi dengan sebaik-baiknya jangan
sampai penyamaan kedudukan tersebut berdampak negatif terhadap
kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi di negeri ini dan DPR
selaku pemilik kewenangan hak angket harus berfikir kembali secara
matang dalam pelaksanaan hak angket, jangan sampai pelaksanaan hak
angket yang dibuat menimbulkan keresahan atau diskriminasi apalagi
88
pelemahan atau kriminalisasi terhadap KPK dalam rangka penegakkan
korupsi.
2. Secara Struktur Kelembagaan Negara, terjadi penegasan prinsip check
and balances antar lembaga negara. Maka, berdasarkan prinsip checks
and balances dengan melaksanakan perintah undang-undang yang
memuat kewenangan masing-masing lembaga negara, prinsip tersebut
haruslah dipertegas dengan adanya putusan ini, lembaga negara yang
dimaksud yakni Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai negatif
legislatif dengan DPR sebagai lembaga positif legislatif.
3. Pada dasarnya sistem check and balances bertujuan untuk mewujudkan
tatanan penyelenggaraan negara yang memberi kewenangan antar
cabang kekuasan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) untuk saling
mengontrol dan menyeimbangkan pelaksanaan kekuasaannya masing-
masing. Untuk itu tidak boleh ada lembaga yang kewenangannya
dominan terhadap lembaga lain, ataupun lembaga yang tidak tersentuh
oleh lembaga lainnya agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Maka aturan-aturan yang bisa mengarah kesana dan tidak sesuai
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 seharusnya dihapuskan dan batal demi hukum apalagi jika
mengarah kepada kriminalisasi lembaga KPK.
4. DPR hanya dapat menggunakan hak-hak konstitusionalnya termasuk
hak angket terhadap KPK hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK selain pelaksanaan
tugas dan kewenangan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan
yudisialnya (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan) harus
diaplikasikan dengan baik oleh DPR RI, agar kekuasaan KPK dan
kinerja nya tetap menjadi kekuasaan independen yang merdeka tanpa
adanya intervensi dari pihak manapun dengan tujuan tegaknya hukum,
keadilan dan suksesnya pemberantasan korupsi di Indonesia.
5. Secara Kultur Hukum, dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang
memutus bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah sebagai salah
89
satu objek Hak Angket DPR adalah putusan yang mengikat seluruh
pihak secara otomatis (erga omnes). Hal tersebut diputus kemudian
diperluas norma dalam frasa pasal 79 Ayat 3 Undang-Undang Nomor
17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Oleh DPR RI,
namun tidaklah melalui tahap partisipasi masyarakat sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Maka
seharusnya, jika harus ada pemuatan norma Mahkamah Konstitusi
harus dengan tegas menyatakan bahwa hal tersebut adalah kewenangan
dari lembaga legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Penulis mengharapkan adanya kajian lanjut dan lebih mendalam
mengenai Implikasi Putusan MK No.36/PUU-XV/2017 terhadap
Perluasan Objek Hak Angket Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,
yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
khususnya terkait perluasan pasal 79 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17
tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ini yang benar
benar Valid dan Credibel.
90
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta
:Sinar Grafika, 2011.
__________, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Sinar
Grafika, 2012.
__________, Jimly, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Penerbit
Sinar Grafika, 2012.
__________, Jimly, Pokok Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta: Bahana Ilmu
Populer, 2007.
__________, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : Penerbit
Sinar Grafika, 2011.
__________, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, cet.I, Jakarta : PT Sinar Grafika, 2010.
Abdulkadir, Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum Bandung, Jakarta : PT
Citra Aditya Bakti, 2004.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Aripin Jaenal, Metode Penelitian Hukum,
Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Asikin, Amirudin Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2003.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Penerbit Dian Rakyat,
1998.
Dewa Gede Palguna, I, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint)
Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga
Negara, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2013.
Djaja, Ermansjah, Memberantas Korupsi Bersama KPK Kajian Yuridis Normatif
UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU
Nomor 30 Tahun 2002, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Menghindari
Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan, Jakarta : FORMAPPI, 2009.
91
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Lembaga
Perwakilan Rakyat di Indonesia, Jakarta : 2005.
Fuady, Munir, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), Jakarta : Refika
Aditama, 2013
Hamidi, Jazim, dkk. Teori Hukum Tata Negara A Turning Point od The State,
Jakarta : Penerbit Salemba Humanika, 2011.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia, cet.I, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2006.
Kusnardi, Muhammad, dkk. Ilmu Negara, Jakarta : Penerbit Gaya Media Pratama,
2000
M Hadjon, Philiphus, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta
: Gajahmada University Press, 2011.
M. Gaffar, Janedjri, Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: Konstitusi Press, 2013.
M. Hadjon, Philipus, “Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara Menurut
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”,
Surabaya : Bina Ilmu, 1996.
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010.
Manan, Bagir dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi, Makna dan
Aktualisasi, Jakarta : Penerbit Buku PT Raja Grafindo Persada, 2014.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cet 6., Jakarta : Penerbit PT kencana,
2010.
Rahardjo, Satjipto, Penegakkan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Gramedia, 2010.
Salman, Otje, Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika Masalah, Bandung :
PT Refika Aditama, 2012
Siahaan, Maruar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi
2. Jakarta : Sinar Grafika, 2012.
Sumadi, Ahmad Fadhil, Politik Hukum Konstitusi dan Hukum Konstitusi,
Malang:Setara Press, 2013.
92
Sutiyoso, Bambang, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
(Upaya Membangun Kesadaran Dan Pemahaman Kepada Publik akan
Hak Hak Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan Dan
Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi), Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2006.
Syahuri, Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Jakarta:
Penerbit Buku Prenada Media Grup, 2011.
Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003
Soemantri, Sri, Hak Uji Material Di Indonesia, Ed.2, Bandung: Alumni, 1997
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum ,Jakarta: UI Press, 1983.
Thamrin, Abu dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, Jakarta : Lembaga
Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Tutik, Titik Triwulan, Konstitusi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 cet.I, Jakarta : Kencana, 2010.
Wahyono, Untung, Peran Politik Poros Tengah dalam Kancah Pepolitikan
Indonesia, Jakarta : Pustaka Tarbiatuna, 2003.
Wahidin, Samsul, Distribusi Kekuasaan Negara Indonesia, Daerah Istimewa
Yogyakarta : Penerbit Buku Pustaka Pelajar, 2014.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, UU No. 17 Tahun 2014 (LN. No. 182 TLN. No.5568 Tahun
2014.)
Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.24 Tahun 2003, (LN No.
98 Tahun 2003, TLN. No.4316.)
Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.8 tahun 2011, (LN No.70 Tahun
2011, TLN No. 5266.)
93
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (LN No.137 Tahun 2002, TLN
No. 4250.)
Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 42 Tahun 2014, (LN No 383
Tahun 2014, TLN No. 5650)
Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 2 Tahun 2018, (LN No 29 Tahun
2016, TLN No. 6187)
Mahkamah Konstitusi RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Jakarta : Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi,
2011.
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Pasal 79 huruf a Undang-
Undang No.17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. MK No. 36/PUU-XV/2017.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia (DPR RI) No 1 Tahun
2014, Tentang Tata Tertib Tata Cara Pelaksanaan Hak DPR,
Jurnal
Haidar Adam, “Dissenting Opinion dan Concurring Opinion” Al-Jinayah Jurnal
Hukum Pidana Islam, Fakultas Hukum Universitas Airlanggga
Surabaya Vol 03 No. 02 – Desember 2017 hal 31
Indra Rahmatullah, “Rejuvinasi Sistem Checks and Balances Dalam Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia” Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol 01 No. 02 - September
2013 hal 14
94
May Lim, Charity, “Implikasi Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi” Jurnal Legislasi
Indonesia. Vol 14 No. 03 - September 2017 : 2
Website
Hak DPR http://www.dpr.go.id/tentang/hak-dpr diakses pada tanggal 07 Mei
2018 pukul 10.47
Ihsanuddin, “Mahfud MD: Putusan MK soal Angket KPK bertentangan dengan 4
sebelumnya”, https://nasional.kontan.co.id//, diakses pada tanggal 27
Mei 2018 Pukul 11.35 WIB, BBWI.
Moh Nadlir, "MK Bantah Putusannya soal Pansus Hak Angket KPK Inkonsisten”,
https://nasional.kompas.com//, diakses pada tanggal 9 Maret 2018 pukul
22.00 WIB, BBWI.
Rofiq Hidayat, Putusan MK Soal Hak Angket Dinilai Mengabaikan Asas Final
and Binding, http://www.hukumonline.com//, diakses pada tanggal 25
Mei 2018 Pukul 09.35 WIB, BBWI.