implikasi dari praktik spionase dalam hubungan diplomatik terhadap hubungan bilateral antara negara...

51
1 BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, di antara subyek hukum yang lainnya yaitu: “Organisasi internasional, palang merah internasional, tahta suci atau vatikan, organisasi pembebasan atau bangsa bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya, wilayah-wilayah perwalian, kaum beliigerensi dan individu”. 1 Negara merupakan subjek hukum yang paling utama 2 . Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak-hak dan Kewajiban Negara mensyaratkan suatu negara dengan karakteristik memiliki penduduk yang tetap, pada wilayah tertentu, memiliki pemerintahan yang berdaulat dan yang ke-4 berupa kemampuan melakukan 1 Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional , Mandar Maju, Bandung, 1999, h. 59. 2 J. G. Starke, “Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh”, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hal 127-128.

Upload: nabillah-sariekide

Post on 23-Oct-2015

323 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

1

BAB. I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, di antara

subyek hukum yang lainnya yaitu: “Organisasi internasional, palang merah

internasional, tahta suci atau vatikan, organisasi pembebasan atau bangsa

bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya, wilayah-wilayah

perwalian, kaum beliigerensi dan individu”.1 Negara merupakan subjek

hukum yang paling utama2. Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933

tentang Hak-hak dan Kewajiban Negara mensyaratkan suatu negara dengan

karakteristik memiliki penduduk yang tetap, pada wilayah tertentu, memiliki

pemerintahan yang berdaulat dan yang ke-4 berupa kemampuan melakukan

hubungan dengan negara lain di luar negaranya.3 Sebagai subjek hukum

internasional negara memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan

hukum internasional dalam berbagai kehidupan masyarakat internasional,

baik dengan sesama negara maupun dengan subjek-subjek hukum

internasional lainnya. Sebagai konsekuensinya maka negaralah yang paling

1 Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1999, h. 59. 2 J. G. Starke, “Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh”, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hal

127-128.3 Ibid.

Page 2: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

2

banyak memiliki, memikul dan memegang kewajiban-kewajiban berdasarkan

hukum internasional dibanding dengan subjek hukum intenasional lainnya.4

Disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) Piagam Perserikatan

Bangsa-Bangsa yang menyebutkan tujuan dari Organisasi Internasional

Perserikatan Bangsa-bangsa itu adalah :

2. Mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa

berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak

rakyat untuk menetukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-

tindakan lain yang wajar untuk memperteguh perdamaian universal;

3. Mencapai kerjasama iternasional dalam memecahkan persoalan-

persoalan internasional di lapangan ekonomi, social, kebudayaan, atau

yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha

memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi

manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua umat manusia

tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama, dan…..

Perwujudan dari Pasal 1 ayat (2) dan (3) Piagam PBB tersebut

direalisasikan dalam suatu hubungan antar-negara yang disebut dengan

hubungan diplomatik dengan aturan hukum internasional yaitu Konvensi

Wina 1961 yang mengatur tentang Hubungan Diplomatik. Pada pembukaan

Konvensi Wina 1961 disebutkan bahwa :

4 Febi Hidayat, “Pertanggungjawaban Negara Atas Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik Ditinjau dari Aspek Hukum Internasional (Studi Kasus Penyadapan KBRI di Myanmar Tahun 2004), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Sumatera Barat, 2011, hal.3

Page 3: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

3

…“Having in mind the purposes and principles of the Charter of the United

Nations concerning the sovereign equality of States, the maintenance of

international peace and security, and the promotion of friendly relations

among nations”…

Disebutkan di atas bahwa pembentukan Konvensi Wina 1961 itu

sendiri ditujukan untuk menjalankan misi yang dimuat dalam Piagam PBB

yang mengakui persamaan kedaulatan negara, untuk menjaga perdamaian dan

ketertiban dunia dan untuk mempromosikan hubungan pertemanan yang baik

antara negara-negara. Hal inilah yang menjadi landasan hukum dibukanya

suatu hubungan diplomatik.

Dengan kata lain, hukum diplomatik merujuk pada norma-norma

hukum internasional yang mengatur tentang kedudukan dan fungsi misi

diplomatik yang dipertukarkan oleh Negara-negara yang telah membina

hubugan diplomatik.5 Pada masa dinasti-dinasti besar dunia praktik

pengutusan perwakilan dari kerajaan untuk berkunjung ataupun melakukan

misi-misi tertentu di wilayah kerajaan lain sudah banyak terjadi. Utusan yang

merupakan kurir atau penyampai pesan dari raja. Baik itu di kerajaan-kerjaan

Romawi kuno, Siria, Byzantium, Mesir, Babilonia, India dan China

memberikan perlakuan khusus terhadap utusan raja walaupun utusan tersebut

hanyalah seorang kurir atau penyampai pesan dari raja. Utusan tersebut tidak

5 Ibid.

Page 4: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

4

boleh dibunuh, disakiti, dilukai ataupun disandera.6 Perlakuan khusus

terhadap utusan perwakilan diplomatik itu menjadi suatu kebiasaan dalam

hukum internasional. Seorang petugas perwakilan diplomatik memiliki

imunitas dan hak-hak keistimewaan lainnya dan diberlakukan sampai saat ini.

Pada masa pemrintahan Ratu Anne kerajaan Britania Raya (Inggris)

1706 Masehi yang memenjarakan Duta Besar Rusia dengan tuduhan

penipuan, kemudian Kaisar Russia mengirimkan ultimatum perang kepada

kerajaan Inggris karena penangkapan atas Duta Besarnya tersebut. Semenjak

itu kerajaan Inggris menyatakan bahwa “setiap perwakilan asing harus

dianggap suci, dan tidak dapat diganggu gugat” (inviolability). 7

Pemberian kekebalan dan keistimewaan pada utusan perwakilan diplomatik

ini didasarkan pada teori “Functional Necessity”. Menurut teori ini kekebalan dan

hak-hak istimewa seorang wakil diplomatik diberikan agar wakil-wakil diplomatik

dapat menjalankan tugas dan misinya dengan leluasa dan maksimal. Teori ini pula

yang dianut oleh Konvensi Wina 1961. Disebutkan dalam pembukaannya atau

preamble-nya dalam alinea ketiga :

…”Realizing that the purpose of such privileges and immunities is not to

benefit individuals but to ensure the efficient performance of the functions of

diplomatic missions as representing States” ( diartikan oleh penulis sebagai

“menyadari bahwa tujuan dari keistimewaan dan kekebalan tersebut tidak

6 Simon Szykman, “Diplomacy An Historical Perspective”. www.mellonuniversity.org diaakses tanggal 21 Desember 2013

7 Setyo Widagdo dan hanif Nur.S, Op. Cit, hal 79

Page 5: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

5

untuk kepentingan pribadi melainkan untuk memastikan efisiensi dari

pelaksanaan fungsi dari perwakilan misi diplomatik”)

Pemberian kekebalan dan keistimewaan wakil-wakil diplomatik itu

untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi misi diplomatik. Tugas

dan fungsi diplomatik ini diatur oleh Konvensi Wina 1961. Berdasarkan Pasal

3 Konvensi Wina 1961 tugas dan fungsi perwakilan diplomatik dan konsuler

adalah;

1. Representasi

2. Proteksi

3. Negosiasi

4. Pelaporan

5. Peningkatan Hubungan Persahabatan Antarnegara

Pemberian imunitas dan hak-hak keistimewaan tersebut tentunya

berdasar atas prinsip reciprocity antarnegara.8 Jadi dengan kata lain, jika

negara penerima memberikan perlakuan yang baik terhadap utusan dari

negara pengirim, maka kemungkinan besar negara pengirim juga akan

memberi perlakuan yang sama terhadap utusan dari negara penerima di negara

pengirim ataupun sebaliknya. Akan tetapi, perlakuan yang baik serta imunitas

dan hak-hak keistimewaan lainnya tersebut bukan berarti seorang petugas

diplomatik dapat berlaku di luar batas kewajaran dan kenormalan ataupun

melanggar aturan hukum dari negara penerima dengan sengaja. Para petugas

8 Ibid, hal. 80

Page 6: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

6

diplomatik juga harus menghormati kedaulatan negara penerima dengan cara

tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan kerugian

ataupun mengancam serta ikut campur dalam urusan dalam negeri negara

penerima.

Dalam praktik hubungan diplomatik ini banyak sekali kepentingan-

kepentingan lain di luar dari misi diplomatik yang ditugaskan dari negara

pengirim. Misi diplomatik menjadi kamuflase dari misi spionase yakni

melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengetahui segala

aktivitas, tujuan, rencana, kapabilitas dan kelemahan-kelemahan musuh atau

negara yang dituju baik melalui cara penyadapan ataupun pengiriman agen-

agen intelejen yang berkedok diplomat serta kegiatan-kegiatan lain yang

bertentangan dengan hukum internasional. Tugas dan misi dari hubungan

diplomatik yang memberikan kekebalan dan hak-hak istimewa kepada wakil

diplomatik ini disalahgunakan untuk kepentingan lain di luar misi yang

seharusnya. Banyak kasus-kasus yang terjadi dari penyimpangan-

penyimpangan tugas dan fungsi diplomatik itu sendiri, seperti kasus

penyadapan di kedutaan-kedutaan besar, kasus spionase yang banyak terjadi

pada masa perang dunia,dan lain-lain. Contoh kasus adalah Ryan Fogle yaitu

seorang agen CIA (Central Intellegence Agency atau  badan

intelijen pemerintah federal Amerika Serikat) yang didelegasikan oleh

pemerintah Amerika untuk berperan ganda sebagai petugas atau staf

Page 7: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

7

diplomatik di kedutaan Amerika di Negara Rusia yang akhirnya dapat

diketahui dan ditangkap oleh FSB (Federalnaya Sluzhba Bezopasnosti –

Federal Security Service atau dinas kontra-intelijen Rusia).9 Pada tahun 2006,

terdapat kasus seorang atase Angkatan Laut Kedutaan Besar Amerika Serikat

di Venezuela dituduh melakukan praktik mata-mata berkedok misi

diplomatik.10

Begitu juga kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap

Indonesia yang baru diketahui publik melalui pengakuan dari Edward

Snowden yaitu mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika

Serikat (NSA) yang membocorkan data rahasia NSA. Tindakan penyadapan

yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Australia ini

bertentangan dengan Konvensi Wina 1961 tentang cara-cara yang dibenarkan

untuk mendapatkan informasi mengenai negara penerima dalam hubungan

diplomatik. Dengan kemajuan teknologi dan kurangnya aturan hukum yang

mengatur tentang tindakan penyadapan sangat memudahkan praktek-praktek

seperti ini. Terutama untuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan

Australia yang memiliki teknologi yang lebih tinggi dari teknologi Indonesia.

9 Kompasioner, “Spionase Fogle di Rusia: Keberhasilan FSB vs Kegagalan CIA”, http://luar-

negeri.kompasiana.com, di upload tanggal 21 Mei 2013

10 Rita Uli Hutapea, “AS-Venezuela Saling Usir Diplomat“, http://news.detik.com, Sabtu,

04/02/2006 11:10 WIB

Page 8: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

8

Tindakan penyadapan seperti yang dilakukan oleh perwakilan Diplomatik

Australia tersebut tentunya mencedrai hubungan baik antar kedua negara.

Perbuatan tersebut juga tidak sesuai dengan prinsip umum dibentuknya suatu

perjanjian termasuk perjanjian untuk membuka hubungan diplomatik harus

berdasarkan tujuan atau niat yang baik dan tidak bertentangan dengan hukum

serta tidak sesuai dengan prinsip bertetangga yang baik antar-negara yang

bertujuan untuk menjaga perdamaian dunia. Oleh Karena banyaknya kasus-

kasus penyelewengan fungsi dan misi diplomatik seperti yang telah dijelaskan

di atas. Termasuk penyelewengan yang berhubungan dengan praktik

penyadapan yang banyak dikecam oleh negara-negara, namun tetap saja

terjadi dan dilakukan oleh hampir setiap negara. Melihat dari hal tersebut

diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul skripsi “IMPLIKASI

DARI PRAKTIK PENYADAPAN DALAM HUBUNGAN

DIPLOMATIK TERHADAP HUBUNGAN BILATERAL ANTARA

NEGARA PENGIRIM DAN NEGARA PENERIMA (Studi Kasus

Penyadapan Australia atas Pejabat Negara Indonesia 2013)”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peranan hukum internasional khususnya konvensi wina 1961

dalam mengatur masalah penyadapan antar negara?

Page 9: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

9

2. Tindakan apakah yang dapat dilakukan oleh negara penerima sebagai

akibat dari praktik penyadapan kepada negara pengirim berdasarkan

hukum internasional?

3. Bagaimakah pengaturan hukum di Indonesia mengenai tindakan spionase

dari seorang perwakilan diplomatik?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui aturan Hukum Internasional mengenai spionase dalam

hubungan diplomatik berdasarkan konvensi Wina 1961?

2. Untuk mengetahui tindakan lain yang diatur oleh hukum intrnasional yang

dapat dilakukan oleh negara penerima terhadap wakil diplomatik negara

pengirim selain Persona non-Grata?

3. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang praktik spionase di

Indonesia?

D. Manfaat Penelitian

Peniliti berharap penelitian ini memiliki manfaat praktis maupun manfaat

akademis bagi segenap civitas academica maupun masyarakat umum yang

berminat terhadap masalah-masalah spionase serta hukum diplomatik dan

konsuler :

1. Manfaat Teoritis

Page 10: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

10

a. Agar menambah ilmu pengetahuan khususnya di bidang penguasaaan

tentang hukum internasional serta hukum diplomatik dan konsuler.

b. Agar mengetahui bagaimana pertanggungjawaban dari negara yang

yang melakukan tindakan spionase terhadap negara lain melalui misi

diplomatiknya.

c. Agar mengetahui bagaimana hukum internasional mengatur tentang

praktik spionase yang banyak terjadi hamper di setiap negara.

d. Agar dapat menerapkan pengetahuan tentang hukum internasional dan

hukum diplomatik dan konsuler yang didapat selama masa

perkuliahan.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum

linternasional dan hukum diplomatik dan konsuler di Indonesia.

b. Dapat menjadi pertimbangan bagi negara-negara yang mengalami

kerugian berupa informasi penting yang disadap oleh negara lain di

wilayah negaranya sebagai akibat tindakan spionase yang dilakukan

oleh perwakilan diplomatik negara lain.

c. Menjadi bahan referensi bagi pembaca, baik mahasiswa, maupun

dosen ataupun masyarakat umum sehubungan dengan hukum

diplomatik dan konsuler.

Page 11: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

11

E. Kerangka Pemikiran

a. Teori Dasar Pemberian Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik

1) Teori Fungsional (Functional Necessity Theory)

Functional Necessity Theory dalam bahasa Indonesia disebut

teori kebutuhan fungsional. Menurut teori ini, hak-hak istimewa

dan kekebalan diplomatik perlu diberikan kepada diplomat agar

dapat melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga hasil

pekerjaannya memuaskan negara penerima dan negara pengirim.11

Hak-hak keistimewaan lainnya yang dimiliki oleh seorang pejabat

diplomatik sesuai dengan yang dimuat oleh Pasal 27 Konvensi Wina 1961

antara lain adalah “freedom of communication” kebebasan berkomunikasi.

Kebebasan berkomunikasi yang dimaksud adalah para pejabat diplomatik

dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh dan dalam

kerahasian untuk berkomunikasi dengan pemerintahnya. Kebebasan

berkomunikasi ini juga berlaku bagi semua korespondensi resmi antara

suatu perwakilan dengan pemerintahnya dan kebebasan ini harus

dilindungi oleh negara penerima. Surat menyurat para pejabat diplomatik

tidak boleh digeledah, ditahan atau disensor oleh negara penerima. Suatu

perwakilan asing dapat menggunakan kode dan sandi rahasia dalam

11 Ibid, hal. 120

Page 12: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

12

komunikasinya dengan pusat sedangkan instalasi radio dan pemancar

radio hanya dapat dilakukan atas izin negara setempat.12

b. Pasal 41 Ayat (3) Konvensi Wina 1961 yang berbunyi “Gedung (kantor)

perwakilan diplomatik tidak boleh digunakan untuk tujuan yang tidak

sesuai dengan fungsi misi sebagaimana dituangkan di dalam konvensi ini

atau aturan umum hukum internasional atau oleh perjanjian khusus yang

berlaku diantara negara pengirim dan negara penerima”. Dengan

ketentuan yang terdapat pada pasal ini terlihat bahwa bisa bertindaknya

aparat keamanan terhadap perwakilan negara asing hanya terbatas pada

tindakan-tindakan yang dianggap membahayakan.

c. Teori Par Im Paren Non Habet Imperium

Maksudnya adalah negara tidak dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap

negara berdaulat lainnya, yang dalam hal ini kepala perwakilan

diplomatik.13 Artinya negara pengirim tudak dapat menerapkan yursdiksi

hukum negaranya di wilayah negara penerima. Pemberian keistimewaan-

keistimewaan seorang pejabat diplomatik itu didasarkan pada hukum

kebiasaan internasional guna memberikan keleluasaan seorang pejabat

diplomatik dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, baik negara

pengirim ataupun pejabat diplomatik tidak dapat berlaku sewenang-

12 Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, Hukum Diplomatik: Kekebalan dan keistimewaanya, Angkasa, Bandung, 1991, hal. 39

13 A. Mansyur Effendi, “Hukum Konsuler, Hukum Diplomatik serta Hak dan Kewajiban Wakil-Wakil Organisasi Internasional/Negara”, IKIP Malang, 1994, hal. 44

Page 13: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

13

wenang dengan mengenyampingkan hukum negara penerima seperti

melakukan penyadapan.

d. Azas Resiprositas

Teori ini didasarkan pada tindakan yang dilakukan atas dasar

hubungan timbal balik dan saling menguntungkan antara kedua belah

pihak negara, yakni dalam hal ini negara penerima maupun negara

pengirim. Jadi dengan adanya perwakilan diplomatik antar kedua negara,

menyebabkan terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik dan

tentunya saling menguntungkan antara masing-masing pihak. Jadi, jika

suatu negara menginginkan suatu perlakuan yang baik dari negara lain,

maka negara tersebut juga harus memberi perlakuan yang baik terhadap

negara yang bersangkutan.14

e. Pertanggungjawaban Negara

Hukum internasional merupakan hukum yang pada dasarnya mengatur

hubungan antar negara-negara. Kaitannya dengan hukum

pertanggungjawaban yaitu dengan cirri utamanya, menempatkan negara

sebagai subyek utama. Hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam pasal

pertama mengenai tanggung jawab dalam hukum internasional oleh the

International Law Commission atau Komisi Hukum Internasional (yang

selanjutnya disingkat dengan ILC), yang menyatakan: “setiap tindakan

negara yang salah secara internasional membebani kewajiban negara

14 Eddy O.S. Hiariej,”Pengantar Hukum Pidana Internasional”, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 41

Page 14: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

14

bersangkutan (every internationally wrongfull act of a state entails the

international responsibility of that state)”.15 Tanggung jawab muncul

diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum internasional. Suatu negara

tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, yang mana

dalam kasus tersebut diatas yang terjadi adalah pelanggaran terhadap

kekebalan berkomunikasi oleh negara penerima. Pertanggungjawaban

negara berbeda-beda kadarnya tergantung pada kewajiban yang

diembannya atau besar kerugian yang telah ditimbulkan. Semua hak yang

berkarakter internasional memiliki pertanggungjawaban internasional.

f. Azas Pacta Sunt Servanda

Berdasarkan teori ini bahwa suatu perjanjian internasional adalah

dianggap sebagai undang-undang oleh para pihak-pihak yang telah

membuat perjanjian tersebut dan segera meratifikasinya menjadi hukum

nasional di negara mereka masing-masing. Prinsip ini juga mensyaratkan

bahwa kesepakatan atau perjanjian yang telah ditandatangani harus

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.16

g. Teori-teori Mengenai Hubungan Antara Hukum Internasional dan

Hukum Nasional

- Teori Monisme

15 J. Thontowi dan Pranoto Iskandar, “Hukum Internasional kontemporer”, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal.196

16 J.B. Daliyo, et. al., “Pengantar Hukum Indonesia”, PT. Prehallindo, Jakarta, 1987, hlm. 205.

Page 15: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

15

Teori mengatakan bahwa hukum internasional dan hukum

nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem, yaitu

hukum pada umumnya. Semua hukum dianggap sebagai suatu

ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang

mengikat negara-negara, individu-individu, atau kesatuan-kesatuan

lain yang bukan negara.17 Anggapan demikian didasarkan pada

karakteristik isi dari hukum itu sendiri. Hukum nasional dan hukum

internasional merupakan bagian dari himpunan peraturan yang

universal, yang mengikat semua oknum, baik secara kolektif maupun

secara individual.

- Teori Dualisme

Hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem

hukum yang berbeda sama sekali, hukum internasional dan hukum

nasional berbeda sama sekali secara instrinsik. Menurut Triepel,

terdapat perbedaan fundamental di antara kedua sistem hukum

tersebut, yaitu :

a) Subyek-subyek hukum nasional adalah individu-individu,

sedangkan subyek-subyek hukum internasional adalah

semata-mata dan secara ekslusif hanya negara-negara.

b) Sumber-sumber hukum keduanya berbeda : sumber hukum

nasional adalah kehendak negara itu sendiri, sumber hukum

17 J. G. Starke, Op. Cit, hal 98

Page 16: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

16

internasional adalah kehendak bersama (gemenwille) dari

negara-negara.18

Menurut Anziloti hukum internasional dan hukum nasional berbeda

menurut prinsip-prinsip fundamental dengan mana masing-masing

sistem itu ditentukan. Pentaatan terhadap perundang-undangan negara

didasarkan pada prinsip atau norma fundamental, sedangkan pentaatan

terhadap hukum internasional didasarkan pada azas pacta sunt

servanda.19

h. Teori Tarnsformasi dan teori delegasi

- Teori transformasi

Teori ini membedakan antara traktat yang bersifat janji (promises)

dengan undang-undang yang bersifat perintah (command). Akibat

dari perbedaan mendasar ini adalah diperlukannya suatu transformasi

dari satu tipe kepada tipe yang lain baik secara formal maupun secara

subtantif.20

- Teori delegasi

Menurut teori ini ada pendelegasian dari hukum internasional kepada

konstitusi hukum nasional mengenai hak-hak pemberlakuan traktat

atau konvensi. Mengenai prosedur atau cara-cara pengadopsian

18 Triepel, dalam J.G. Starke. Op. Cit, hal 9719 Ibid.20 Ibid, hal 102

Page 17: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

17

hukum internasional ke hukum nasional merupakan diskresi negara

sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Prosedur ratifikasi dan

asas publisitas yang bervariasi. Teori ini pula yang dianut oleh

Indonesia.

F. METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Dalam penulisan karya tulis ini akan digunakan pendekatan Yuridis

Normatif, atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.21

Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup:22

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum

2. Penelitian terhadap sistematik hukum

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal

4. Perbandingan hukum

5. Sejarah hukum

2. Jenis Data

Dalam penelitian hukum normatif sumber datanya adalah data

sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi 3

(tiga):

21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 13-14

22 Ibid, hal. 14

Page 18: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

18

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat pokok

yang menjadi acuan dasar penulisan skripsi ini.14 Bahan hukum

primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi dan

petusan-putusan hakim.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer.16 Bahan hukum sekunder

ini dapat berupa buku-buku hukum termasuk skripsi, disertasi hukum,

dan jurnal-jurnal hukum.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan

sekunder, misalnya kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan

lain sebagainya.

3. Metode Pengumpulan Data

Agar didapat hasil yang baik, maka perlu didukung dengan tersedianya

data yang cukup dan akurat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan. Sumber data diperoleh dari data sekunder

seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, literatur hukum, hasil-hasil

Page 19: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

19

penelitian, perjanjian internasional/konvensi, buku-buku, majalah, tesis,

makalah dan sebagainya, yang peneliti temukan pada:

a. Perpustakaan Universitas Negeri Padjajaran Bandung

b. Perpustakaan Universitas Islam Bandung

c. Buku-buku dan jurnal koleksi dosen

d. Buku-buku, majalah, dan literatur hukum koleksi pribadi penulis

4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Adapun pengolahan dan Analisis data yang digunkan adalah Analisis

Kualitatif, yaitu berupa uraian terhadap data yang terkumpul dengan tidak

menggunakan angka, tetapi berdasarkan peraturan perundang-undangan,

pandangan para pakar hukum, literature hukum, hasil-hasil penelitian,

perjanjian internasional/konvensi, dan sebagainya.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penelitian ini dibagi menjadi 5 (lima) bab, yang masing-

masing bab terdiri atas ;

BAB I. Pendahuluan

Bab ini berisi uraian latar belakang dari pokok permasalahan.

Sub bab nya terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

Page 20: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

20

BAB II. Tinjauan Pustaka

Pada bab ini dikaji teori-teori ilmiah yang berhubungan dengan

konsep-konsep yang dipermasalahkan dan dipakai dalam analisis

terhadap masalah yang diteliti. Kajiannya mencakup negara sebagai

subyek hukum internasional, syarat-syarat berdirinya sebuah negara,

hubungan dan hukum diplomatik, tugas dan fungsi misi diplomatik,

penyelesaian permasalahan diplomatik.

BAB III. Metode Penelitian

Pada bab ini diuraikan tentang metode yang digunakan dalam

penelitian, yang dihubungkan dengan fakta-fakta dari berbagai

sumber mengenai tindakan penyadapan dan spionase yang

dilakukan oleh kedutaan Amerika Serikat dan Australia di

Indonesia.

BAB IV. Hasil Pembahasan dan Kegunaan

Pada bab ini ditulis laporan rinci pelaksanaan kegiatan

penelitian berikut hasil-hasil penelitian yang dikumpulkan dan

dianalisis dari bahan-bahan hukum yang digunakan. Hal ini

dilakukan dengan cara studi kepustakaan dengan melihat ketentuan-

Page 21: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

21

ketentuan hukum lingkungan internasional dan hukum humaniter,

buku-buku, jurnal, artikel berita, yurisprudensi serta teori-teori para

sarjana yang dijadikan sumber kebiasaan dalam hukum

internasional yang berkaitan dengan masalah yang akana dibahas.

BAB V. Penutup

Mengemukakan rangkuman hasil penelitian dan analisis bab-

bab terdahulu sehingga dapat ditarik kesimpulan dan saran atas

analisis yang dilakukan berdasarkan pokok-pokok permasalahan.

Page 22: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

22

DAFTAR PUSTAKA

Daliyo, J.B. et. al., “Pengantar Hukum Indonesia”, PT. Prehallindo, Jakarta, 1987.

Eddy O.S. Hiariej,”Pengantar Hukum Pidana Internasional”, Erlangga, Jakarta,

2009.

Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, “Hukum Diplomatik: Kekebalan dan

keistimewaanya”, Angkasa, Bandung, 1991.

J. Thontowi dan Pranoto Iskandar, “Hukum Internasional Kontemporer”, Refika

Aditama, 2006.

Quincy Wright “The Study of International Relations” dalam Setyo Widagdo dan

Hanif Nur “Hukum diplomatik dan Konsuler”, Bayumedia, Malang, 2008.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.

Starke, J. G. “Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh”, Sinar Grafika,

Jakarta, 1988.

Syahmin, Ak, “Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis”, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Parthiana, Wayan, “Pengantar Hukum Internasional”, Mandar Maju, Bandung, 1999.

A. Mansyur Effendi, “Hukum Konsuler, Hukum Diplomatik serta Hak dan Kewajiban

Wakil-Wakil Organisasi Internasional/Negara”, IKIP Malang, 1994.

Page 23: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

23

Febi Hidayat, “Pertanggungjawaban Negara Atas Pelanggaran Hak Kekebalan

Diplomatik Ditinjau dari Aspek Hukum Internasional (Studi Kasus Penyadapan

KBRI di Myanmar Tahun 2004)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas,

Sumatera Barat, 2011.

Hutapea, Rita Uli, “AS-Venezuela Saling Usir Diplomat“, http://news.detik.com,

2006.

Kompasioner, “Spionase Fogle di Rusia: Keberhasilan FSB vs Kegagalan CIA”,

http://luar-negeri.kompasiana.com, di upload tanggal 21 Mei 2013.

Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak-hak dan Kewajiban Negara

Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1973

Page 24: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

24

BAB. II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Hukum Diplomatik

Hukum diplomatik sebelum menjadi hukum tekstual yang dituangkan

dalam Konvensi Wina 1961 merupakan hukum kebiasaan internasional yang

sudah dikenal dan dilakukan oleh kerajaaan-kerajaan kuno di dunia.

Pertukaran misi diplomatik ataupun utusan dari kerajaan menjadi agenda dari

kerajaan. Sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa-bangsa di dunia

mengenal dan menjalankan praktik hubungan diplomatik secara tetap seperti

yang ada sekarang, pada zaman India Kuno telah dikenal ketentuan-ketentuan

atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar raja-raja ataupun kerajaan,

dimana hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah mengenal istilah “duta”.23

Penerimaan duta-duta ke negara asing sudah dikenal di kerajaan-

kerajaan Indonesia dan negara-ngera Asia serta Arab sebelum negara-negara

barat mengetahuinya. Di benua Eropa, baru pada abad ke-16 soal pengiriman

dan penempatan duta itu diatur menurut hukum kebiasaan.24 Karena

banyaknya kepentingan negara yang diatur dalam hukum kebiasaan

internasional mengenai hubungan diplomatik, barulah pada abad ke-19

pembicaraan tentang pengkodifikasian hukum diplomatik ini dilakukan,

23 Setyo widagdo dan Hanif Nur,”Hukum Diplomatik dan Konsuler”, Bayumedia, Bandung, 2008, hal 9.24 Ibid.

Page 25: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

25

dimulai dengan Konvensi Wina 1815, kemudian Protokol “Aixla-Chapelle”

1818. Pada saat telah dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa usaha untuk

mengkodifikasi aturan hukum tekstual mengenai hukum diplomatik ini masih

dilanjutkan yakni pada tahun 1927, konfrensi Den Haag 1930. Kemudian

setelah terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Komisi Hukum

Internasional merancang aturan-aturan hukum diplomatik 1949-1979.

Keluarlah hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik yaitu

tanggal 2 Maret sampai 14 April 1961 atau dieknal dengan Konvensi Wina

1961 dan Konvensi Wina 1963 tentang hubungan konsuler.

Negara merupakan subyek hukum utama hukum internasional, oleh

karena itu negara dapat melakukan tindakan hukum layaknya subyek hukum

lainnya. Salah satunya adalah membuka hubungan diplomatik dengan negara

lain. Namun, berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak-

hak dan Kewajiban-kewajiban Negara mensyaratkan suatu negara yang dapat

dikatakan sebagai subyek hukum internasional harus memenuhi karateristik-

karakterstik sebagai berikut :

a. Memiliki penduduk tetap

Artinya dalam hal ini dalam suatu negara haruslah memiliki penduduk

yang tinggal, dan terdaftar tetap sebagai warga negara dari negara

tersebut dan bukan merupakan penduduk yang bersifat sementara

kemudian berpindah kepada negara lain.

b. Wilayah tertentu

Page 26: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

26

Sebuah negara haruslah memiliki wilayah territorial yang jelas dan

permanen. Dimana negara itu nanti akan menjalankan yurisdiksi

hukumnya pada wilayah tersebut. Seperti halnya Negara Indonesia

yang memiliki ribuan pulau yang menyebar dari Sabang sampai

Merauke serta kepemilikan atas wilayah laut yang memisahkan pulau-

pulau di Indonesia.

c. Pemerintahan yang berdaulat

Suatu negara harus dipimpin dan dijalankan oleh suatu rezim

pemerintahan. Baik itu bentuk negara monarki ataupun republik atau

dengan sistem pemerintahan presidensiil ataupun parlementer.

d. Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain

Dalam hukum internasional, syarat (d) merupakan syarat yang paling

penting. Suatu negara harus memiliki kemampuan untuk

menyelenggarakan hubungan-hubungan ekstern dengan negara-negara

lain. Hal ini yang membedakan negara dalam arti sesungguhnya dari

unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota suatu federasi, atau

protektorat-protektorat, yang tidak mengurus hubungan-hubungan luar

negerinya sendiri, dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai

anggota masyarakat internasional yang sepenuhnya mandiri.25

25 J. G. Starke, “Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh”, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hal 127-128.

Page 27: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

27

Syarat (d) di atas dapat menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh

suatu negara yaitu berinteraksi dengan negara lain, salah satunya adalah

dengan melakukan hubungan kerjasama dan diplomatik. Hubungan

internasional atau lintas negara semacam ini harus dilandasi dengan maksud

dan tujuan-tujuan yang baik (good offices). Menurut Hugo de Groot, bahwa

dalam hubungan internasional asas persamaan derajat merupakan dasar yang

menjadi kemauan bebas dan persetujuan dari beberapa atau semua negara.

Tujuannya adalah untuk kepentingan bersama dari mereka yang menyatukan

diri di dalamnya. Dalam hubungan internasional, dikenal beberapa asas yang

didasarkan pada daerah dan ruang lingkup berlakunya ketentuan hukum bagi

daerah dan warga negara masing-masing.

a. Asas Teritorial

Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya.

Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan

semua barang yang ada di wilayahnya. Jadi, terhadap semua barang atau

orang yang berada  di luar wilayah tersebut, berlaku hukum asing

(internasional) sepenuhnya.

b. Asas Kebangsaan

Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya.

Menurut asas ini, setiap warga negara di manapun ia berada, tetap

menapat perlakuan hukum dari negaranya. Asas ini mempunyai

Page 28: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

28

kekuatan exteritorial. Artinya hukum dari negara tersebut tetap berlaku

juga bagi warga negaranya, walaupun berada di negara asing.

c. Asas Kepentingan Umum

Asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan

mengatur kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini,

negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa

yang bersangkut paut dengan kepentingan umum. Jadi, hukum tidak

terikat pada batas-batas wilayah suatu negara. Apabila ketiga asas ini

tidak diperhatikan, akan timbul kekacauan hukum dalam hubungan antar

bangsa (internasional). Oleh sebab itu, antara satu negara dengan negara

lain perlua ada hubungan yang teratur dan tertib dalam bentuk hukum

internasional. Walaupun demikian, kerapkali masih terdapat masalah

dan pertikaian-pertikaian yang perlu dipecahkan. Misalnya persoalan

dwi-kewarganegaraan, batas-batas negara, wajib militer dan wajib

pajak.26

Hubungan internasional ini memiliki banyak cabang, salah satunya

adalah hubungan diplomatik. Berasal dari kata “diplomacy” yang memiliki

arti yang berbeda-beda dari para ahli. Sir ernest Satow memberikan batasan

diplomasi sebagai berikut.

26 Tumija Adi Prawira, “Hubungan Internasional”, www.ayobelajar.com, di upload tanggal 15 Maret 2011

Page 29: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

29

“……Application of intelligence and tact to conduct of official relations

between the Goverments of independent states, extending sometimes also to

their relations with vassal states or more briefly still, the conduct of business

between states by peaceful means.”27 (diterjemahkan oleh penulis yaitu cara-

cara atau kemampuan dan keahlian untuk mengadakan hubungan resmi antar-

pemerintahan dari suatu negara yang berdaulat, bahkan dengan negara-negara

yang dijajah atau sedang memperjuangkan kemerdekaannya, dengan cara dan

tujuan untuk perdamaian).

Kemudian Quency Wright dalam bukunya “The study of International

Relaions” memberikan batasan dalam dua hal.

1) The employment of tact, shrewdness and skill in any negotiation or

transaction (kemampuan dari kebijaksanaan, kelihaian dan

keterampilan dalam setiap negosiasi atau transaksi)

2) The art of negotiation in order to achieve the maximum of cost within

a system of politics in which war is a possibility.28( seni dari negosiasi

dalam usaha pencapaian nilai tertinggi dalam suatu sistem politik di

mana perang menjadi kemungkinan terbesar yang akan terjadi).29

27 Husni Syam, SH., LL.M, “Hukum Diplomatik dan Konsuler”, hand out bahan kuliah tanggal 6 Oktober 2013, hal 2

28 Quincy Wright “The Study of International Relations” dalam Setyo Widagdo dan Hanif Nur “Hukum diplomatik dan Konsuler, Bayumedia, Malang, 2008, hal. 529 Setyo Widagdo dan Hanif Nur, Op. Cit, hal 5.

Page 30: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

30

Hubungan diplomatik ini diatur oleh hukum diplomatik, hukum

diplomatik itu sendiri merupakan cabang hukum internasional yang terdiri

dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan

kedudukan dan fungsi para diplomat termasuk bentuk-bentuk organisasional

dari dinas diplomatik.30 Pengertian hukum diplomatik pada hakekatnya

merupakan ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional

yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar

permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip tersebut dituangkan dalam

instrumen-instrumen hukum sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan

internasional dan pengembangan hukum internasional.31 Sumber hukum dari

hukum diplomatik selalin yang dimuat dalam Pasal 38 Statuta mahkamah

Internasional antara lain ;

1. The Final Act of The Congress of Vienna (1815) on Diplomatic Ranks;

2. Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol

(1961), termasuk di dalamnya:

a. Vienna Convention on Diplomatic Relations;

b. Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality

c. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes

3. Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol

1963, yang memuat :

30 Jan Osmancyk, dalam Husni Syam, Op. Cit hal 331 Sumaryo Suryokusumo. Hukum Dilomatik, Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, 2005, hal.5.

Page 31: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

31

a. Vienna Convention on Consular Relations;

b. Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality;

c. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes

4. Convention on Special Mission and Optional Protocol (1969), yang di

dalamnya memuat :

a. Convention on Special Mission;

b. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes

5. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against

Internatioally Protected Persons, including Diplomtic Agents (1973)

6. Vienna Convention on the Reperesentation of State in their Relations

with International Organization of a Universal Character (1975).32

B. Prinsip-Prinsip Dalam Hukum Diplomatik

1. Mutual Consent/ Kesepakatan

Menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1961 menyatakan bahwa :

”The establishment of diplomatic relations between States, and of

permanent diplomatic missions, takes place by mutual consent.”

(diterjemahkan oleh penulis sebagai “syarat untuk membuka hubungan

diplomatik antar-negara dan melaksanakan misi-misi diplomatik yang

bersifat permanen (bukan misi khusus yang bersifat ad hoc) harus

berdasarkan kesepakatan bersama”).

32 Setyo Widagdo dan Hanif Nur, Op. Cit, hal 16

Page 32: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

32

Untuk membuka suatu hubungan diplomatik harus berdasarkan

kesepakatan dari negara pengirim dan negara penerima misi dan pejabat

diplomatik. Harus ada prosedur pendelegasian pejabat diplmatik danada

penerimaan resmi dari negara atau pemerintahan negara dimana suatu

misi diplomatik akan diakreditasikan. Untuk itu pembukaan suatu

hubungan diplomatik merupakan hak dari negara (Right to Legation)

2. Inviolabilitas

Pasal 29 Konvensi Wina 1961 menyatakan bahwa :

“The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall not

liable to any form of arrest or detention. The receiving state shall treat

him with due respect and shall take all appropriate steps to pre-vent

any attack on his person, freedom or dignity”. (Diterjemahkan oleh

penulis sebagai “seorang utusan diplomatik harus tidak dapat diganggu

gugat. Dia tidak dapat dikenakan penahanan atau penghukuman dalam

bentuk lainnya. Negara penerima harus memperlakukan utusan

perwakilan diplomatik dengan hormat dan melakukan segala bentuk

tindakan yang diperlukan untuk mencegah tindakan kekerasan atau

tindakan lain yang dapat mengancam kebebasan dan kehormatannya”)

Pengaturan mengenai inviolabilitas ini diatur dalam pasal 22-29

Konvensi Wina 1961. Inviolability diartikan sebagai kekebalan terhadap

alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan terhadap segala

Page 33: Implikasi Dari Praktik Spionase Dalam Hubungan Diplomatik Terhadap Hubungan Bilateral Antara Negara Pengirim Dan Negara Penerima

33

gangguan yang merugikan sehingga di sini terkandung pengertian

memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari alat-alat kekuasaan

negara penerima. Sementara Immunity diartikan sebagai kekebalan

terhadap yurisdiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun

perdata.33

3. Reasonable and Normal

33 Setyo Widagdo dan Hanif Nur.s, Op. Cit, hal 100