implementasi perjanjian baku dalam transaksi …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi...

94
i IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI KREDIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI DI BANK PERKREDITAN RAKYAT ARTHA DAYA) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Suci Wahyu Lestari NIM. E0008435 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

Upload: lehanh

Post on 11-Apr-2019

243 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

i

IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI KREDIT

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

(STUDI DI BANK PERKREDITAN RAKYAT ARTHA DAYA)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna

Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Suci Wahyu Lestari

NIM. E0008435

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 2: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

ii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 3: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

iii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 4: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

iv

PERNYATAAN

Nama : Suci Wahyu Lestari

NIM : E0008435

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul

IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI KREDIT

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI DI BANK PERKREDITAN

RAKYAT ARTHA DAYA) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan

karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan

dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak

benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan

hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 23 Juli 2012

Yang membuat pernyataan

Suci Wahyu Lestari

NIM. E0008435

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 5: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

v

ABSTRAK Suci Wahyu Lestari, E0008435. 2012. IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI KREDIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI DI BANK PERKREDITAN RAKYAT ARTHA DAYA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketentuan perjanjian baku dalam transaksi kredit ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan mengetahui pelaksanaan perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya, Delanggu.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dilengkapi dengan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, mengkaji mengenai ketentuan perjanjian baku dalam transaksi kredit ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan pelaksanaanya di BPR Artha Daya. Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam prakteknya perjanjian kredit tumbuh sebagai perjanjian baku, karena dibuat secara tertulis dan sepihak dimana pihak lain tidak dapat mengubah atau melakukan tawar-menawar untuk mengubahnya. Yang menjadi acuan dalam pembuatan perjanjian kredit yaitu Pasal 1320 KUH Perdata dan Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Kehati-hatian dalam pengelolaan bank. Sedangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada prinsipnya tidak melarang pencantuman klausula baku dalam perjanjian kredit, akan tetapi dalam pembuat perjanjian kredit tersebut bank harus menyesuaikan dengan aturan mengenai perjanjian baku yang secara spesifik diatur dalam Pasal 18 UUPK. Hasil penelitian penulis di BPR Artha Daya yaitu dalam melaksanakan pemberian kredit, kedua belah pihak harus menandatangani pra perjanjian berupa Surat Keputusan Kredit (SKK) sebelum dibuatnya perjanjian kredit. Klausula baku dalam perjanjian kredit di BPR Artha Daya telah melakukan beberapa penyesuaian terhadap UUPK, namun terdapat klausula baku yang penafsirannya masih memenuhi unsur-unsur yang dilarang Pasal 18 UUPK yaitu penambahan biaya yang dilimpahkan kepada konsumen.

Kata Kunci : Perjanjian Baku, Transaksi Kredit, Perlindungan Konsumen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 6: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

vi

ABSTRACT

Suci Wahyu Lestari, E0008435. Implementation of Contract Standart in Credit Transaction be Based Act No. 8/1999 about Consumer Protection (CASE STUDY in Artha Daya BPR). Legal Writing. Law Faculty of Sebelas Maret University. 2012.

The aim of this research is to find out the clause of contarct standart in credit transaction be based Act No. 8/ 1999 about Consumer Protection and implematation of contract standart in credit transaction be based Act No. 8/1999 about Credit Transaction in Artha Daya BPR, Delanggu.

This research is an empiric research and equipped with a normatife research viewed by descriptive, review about the clause contract standart in credit transaction be based Act no. 8/1999 about consumer protection and the implementation in Artha Daya BPR. The data used secondary, included primary and secondary law materials. The technique of collecting data is library research, observation, and interview. The technique of data analyzes is qualitative method.

The result of this research shows in practice that credit contarct envolve as contract standart, because it was made in writing and by one party where the otjer party can not changing and bargaining to change it. The reference in making credit contract is Article 1320 BW and regulation of Indonesian Bank about prudential principle in bank management. While in Act of Consumer Protection in principle doesn’t forbid inclusion of standart clause in credit contract, however in making credit contract a bank should adjust with regulation about contract standart specifically be regulated in Article 18 UUPK. The research in Artha Daya BPR shows in the implementation of provision of credit, the parties should sign pra contract be in the form of SKK before credit contract is made. Standart clause in credit contract at Artha Daya BPR has performed some adjustment with UUPK, however there is standart contract in the interpretation still fulfill the forbidden elements in Article 18 UUPK, that is additional fees charged to consumers. Keywords : Contract Standart, Credit Transaction, Consumer Protection

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 7: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

vii

MOTTO

Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Alloh. Sesungguhnya Alloh adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

(Q.S.Al_Insan: 30)

“ ... bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negrimu) dan bertawakallah kepada Allah, supaya kamu beruntung ”

(QS. Ali’Imran: 200)

Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) sedangkan harta terhukum. Kalau harta itu akan

berkurang apabila dibelanjakan, tetapi ilmu akan bertambah apabila dibelanjakan (Sayidina Ali bin Abi Thalib)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 8: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

viii

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT, penulisan hukum ini penulis

persembahkan untuk :

Ibu, Bapa

Terima kasih untuk cinta, kasih sayang dan dukungan yang tak henti-

hentinya diberikan untukku , dan selalu menyertakan namaku disetiap doa

yang dipanjatkan.

Ketiga kakakku yang tersayang

Terima kasih atas keceriaan dan kehangatan yang indah dalam menemani

hari-hariku.

Sahabat serta teman-teman seperjuanganku

Terimakasih telah memberikan warna yang berbeda untuk hari-hariku.

Almamaterku

Semua pihak yang telah membantu penulisan hukum ini

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 9: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan

hidayahNya sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan

Hukum (Skripsi) yang berjudul “IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU

DALAM TRANSAKSI KREDIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

(STUDI DI BANK PERKREDITAN RAKYAT ARTHA DAYA)”.

Walaupun dengan data dan informasi yang terbatas, penulis tetap berusaha

menyelesaikan penulisan hukum ini sebagai informasi awal tentang pelaksanaan

perlindungan konsumen dalam perjanjian baku di BPR Artha Daya. Penulis

menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini, terdapat banyak kekurangan, untuk

itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun sehingga

dapat memperkaya isi penulisan hukum ini.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non materiil,

sehingga penulisan hukum (skripsi) ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi

Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Dr. Djoko Wahju Winarno, S.H., M.S. selaku Pembimbing Penulisan

Hukum (Skripsi) yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk

memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi penulis dalam

menyelesaikan penulisan hukum ini.

4. Ibu Siti Muslimah, S.H, M.H selaku Pembimbing Akademis yang telah

memberikan bimbingan selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 10: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

x

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menjalani perkuliahan di

Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta.

6. Bapak Trisetya Wahyu Nugroho selaku Direktur PT. BPR Artha Daya,

Delanggu yang membolehkan penulis dan membantu penulis dalam melakukan

penelitian dan menyelesaikan penulisan hukum ini.

7. Bapak Mulyadi di Direktorat Pengawasan Bank, Kantor Bank Indonesia Solo

yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis menyelesaikan

penulisan hukum ini.

8. Kedua orang tua penulis, Slamet Imam Santoso dan Endang Suharini, dan

kakak-kakakku, Nila Cahyarini, Rahmawati Sundari dan M. Adib Fauzi yang

telah mendoakan, memberikan curahan kasih sayang dan dorongan semangat

dan segala yang telah diberikan yang tidak ternilai harganya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.

9. Sahabatku, Arrumaisha Rizkita (meis) yang telah menemani penulis selama

empat tahun di kos dan di kampus, terimakasih telah menjadi kakak pertama.

Sahabat-sahabatku Puspa, Lisa, Rizka, Very, Fafa, Agnane, Upik, Dedi,

Guntur, Demek terimakasih atas motivasi, saran, kebersamaan, keceriaan, dan

telah menemani penulis dalam melakukan penelitian, dan teman-teman FH

UNS 2008.

10. Teman-teman kost “Rotterdam”, Ais, Feby, Anik, Galuh, Cintya, Nova, Mba

titik terimakasih atas kebersamaannya yang indah.

11. Semua pihak yang ikut dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada

semua pihak, baik untuk akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.

Surakarta, Juli 2012

Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 11: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ iv ABSTRAK ...................................................................................................... v ABSTRACT ..................................................................................................... vi HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... viii KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix DAFTAR ISI ................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................. 6

C. Tujuan Penelitian ............................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ............................................................. 8

E. Metode Penelitian ............................................................. 9

F. Sistematika Penulisan Hukum ........................................... 14

BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori .................................................................. 16

1. Tinjauan Umum mengenai Perlindungan Konsumen ...... 16

a. Pengertian Perlindungan Konsumen .......................... 16

b. Hubungan Hukum Antara Produsen dengan

Konsumen................................................................... 17

c. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Konsumen .... 18

d. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen ...... 21

e. Penyelesaian Sengketa Konsumen ............................. 22

2. Tinjuan Umum mengenai Perjanjian ................................. 23

a. Pengertian Perjanjian.................................................. 23

b. Syarat Sahnya Perjanjian ............................................ 24

c. Asas-Asas Perjanjian .................................................. 25

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 12: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

xii

d. Perjanjian Baku ......................................................... 27

3. Tinjauan Umum mengenai Perbankan.......................... 30

a. Pengertian Bank ........................................................ 30

b. Jenis-Jenis Bank ........................................................ 30

c. Kegiatan Bank ........................................................... 33

B. Kerangka Pemikiran ......................................................... 35

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum dan Lokasi ........................................... 37

1. Kantor Bank Indonesia Solo ............................................. 37

a. Struktur Organisasi ..................................................... 37

b. Wewenang Kantor Bank Indonesia Solo .................. 40

2. Bank Perkreditan Rakyat Artha Daya ............................... 41

a. Struktur Organisasi .................................................... 41

B. PEMBAHASAN ............................................................... 42

1. Ketentuan Perjanjian Baku dalam Transaksi Kredit

Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen ..................................... 42

2. Pelaksanaan Perjanjian Baku dalam Transaksi Kredit

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen di Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) Artha Daya ................................................ 57

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ............................................................................ 77

1. Ketentuan Perjanjian Baku dalam Transaksi Kredit

Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen ..................................... 77

2. Pelaksanaan Perjanjian Baku dalam Transaksi Kredit

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen di Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) Artha Daya ................................................ 77

B. Saran ................................................................................. 78

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 13: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

xiii

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 80 LAMPIRAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 14: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan antara Bank Umum dengan Bank Perkreditan Rakyat

(BPR) .............................................................................................. 32

Tabel 2. Tahapan Program Peningkatan Fungsi Pengawasan ....................... 74

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 15: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Analisis Kualitatif Model Interaktif ........................................... 14

Gambar 2 : Kerangka Pemikiran .................................................................... 35

Gambar 3 : Struktur Organisasi Kantor Bank Indonesia Solo ....................... 39

Gambar 4 : Struktur Organisasi BPR Artha Daya ......................................... 41

Gambar 5 : Proses Perizinan BPR ................................................................. 69

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 16: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan dunia usaha tidak dapat dilepaskan dari perkembangan

sektor usaha perbankan, lembaga keuangan perbankan di Indonesia diarahkan

untuk berperan sebagai agen pembangunan yaitu sebagai lembaga yang bertujuan

untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka

meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan

ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.

Bank yang mempunyai fungsi pokok sebagai agen pembangunan maupun

financial intermediary merupakan salah satu pendukung usaha pembangunan

tersebut.

Fungsi utama bank sebagai financial intermediary, yaitu dimana bank

berperan sebagai perantara dari pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana

dengan pihak-pihak yang memerlukan dana (Muhammad Djumhana, 2003: 77).

Salah satu bentuk dimana bank telah menjalankan fungsi utamanya sebagai

financial intermediary adalah menyalurkan dana pada nasabah peminjam melalui

kredit. Pembangunan diberbagai bidang usaha dan industri tentunya memerlukan

dana pendukung yang tidak sedikit, dan untuk itu peran sektor perbankan nasional

sangat menetukan. Hal tersebut tampak jelas pada perkembangan jumlah kredit

perbankan, yang mempengaruhi secara langsung sistem perekonomian nasional.

Bank tidak saja berfungsi sebagai tempat menyimpan uang dan

menyalurkan dana dalam bentuk kredit, tetapi juga berfungsi sebagai tempat

transaksi di pasar uang sebuah negara. Bank sebagai organisasi bisnis telah

menjadi alat dan sarana penunjang likuiditas usaha, dan sebagai konsekuensinya

bank dituntut untuk menjadi organisasi bisnis yang proper dan prudent di dalam

penyaluran dananya dalam bentuk kredit. Kredit di dalam fungsi usaha sebuah

bank telah disadari oleh para profesional bank sebagai jantung dan urat nadi darah

bagi kesehatan usaha bank itu sendiri (Ruddy Tri Santoso, 1996: 3).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 17: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

2

Arti kredit sebenarnya adalah kepercayaan atau saling percaya antara

kreditur dan debitur. Jadi apa yang disepakati wajib ditaati, berdasarkan Pasal 1

butir 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, definisi kredit

adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan

pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah

jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dari rumusan tersebut tampak

bahwa hubungan hukum antara pemberi kredit dalam hal ini bank (kreditur) dan

penerima kredit dalam hal ini nasabah (debitur), didasarkan pada transaksi kredit.

Fasilitas kredit tidak hanya disediakan oleh bank umum, namun menjadi

salah satu fasilitas yang ditawarkan pula oleh Bank Perkreditan Rakyat

(selanjutnya disebut BPR), yang merupakan jenis usaha bank dengan skala yang

lebih dalam penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat. Tujuan utama

pembentukan BPR di desa-desa dengan maksud untuk menghindari praktek lintah

darat maupun rentenir dengan bunga tinggi (Ruddy Tri Santoso, 1996: 5). Peran

BPR pun menjadi semakin penting sejalan dengan program pemerintah untuk

mendukung dan mengembangkan UMKM sebagai salah satu tulang punggung

perekonomian. Dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan sektor informal,

peran dan kontribusi BPR sebagai ujung tombak lembaga keuangan di daerah

dalam pembiayaan sektor informal sangat penting.

Kredit seperti halnya produk jasa perbankan lainnya mempunyai resiko,

baik resiko keuangan maupun resiko-resiko lainnya. Penekanan resiko kredit

masih dapat dilakukan sedemikian rupa seperti halnya dalam pemilihan nasabah

maupun bisnis yang ditekuninya. Namun permasalahannya selain resiko yang

ditanggung oleh pihak bank, maka perlu dilihat juga resiko yang akan ditanggung

oleh nasabah apabila bank tidak melakukan transparansi produk kredit, karena

bank wajib menyediakan informasi tertulis dalam bahasa Indonesia secara lengkap

dan jelas mengenai karakteristik setiap produk bank, dan wajib disampaikan

kepada nasabah secara tertulis dan/atau lisan. Oleh karena itu perlindungan pada

nasabah pengguna jasa perbankan, yaitu menyangkut apakah sebenarnya hak-hak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 18: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

3

nasabah yang harusnnya dipenuhi oleh pihak bank, pada saat sebelum transaksi,

saat transaksi dan hak setelah terjadinya transaksi yaitu menyangkut penyelesaian

pengaduan nasabah dan ganti kerugian, harus diterangkan pihak bank kepada

nasabah.

Salah satu ciri negara kesejahteraan adalah adanya perlindungan terhadap

konsumen. Sekalipun Indonesia belum sepenuhnya menjadi negara kesejahteraan,

tetapi Indonesia telah berusaha untuk dapat melindungi konsumen. Hal ini

tercermin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Dengan undang-undang ini, diharapkan

konsumen yang sebelum berlakunya UUPK tersebut kedudukannya lemah

dibandingkan dengan produsen, maka setelah berlakunya UUPK diharapkan dapat

disetarakan (Try Widiyono, 2006: 66). Dalam melaksanakan konsep negara

kesejahteraan ini perlindungan bagi warga negara baik sebagai individu maupun

sebagai kelompok merupakan sisi yang sangat penting, karena tanpa ada

perlindungan yang menimbulkan rasa aman bagi rakyat tidak mungkin tercapai

suatu kesejahteraan bagi masyarakat. Untuk tujuan tersebut kita dihadapkan pada

kemajuan kegiatan ekonomi perdagangan yang semakin terbuka. Saat ini

Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan sebagai akibat keterbukaan

tersebut dan untuk itu dituntut untuk dapat memiliki daya saing yang kuat (Agus

Broto Susilo, 1996: 3).

Dengan diundangkannya dan disahkannya Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka sistem perlindungan

konsumen memiliki landasan hukum yang kuat. Undang-Undang tersebut bukan

hanya dimaksudkan untuk menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap

pelaku usaha, tetapi juga mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan

bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Sebelum berlakunya UUPK telah ada beberapa undang-undang yang

secara tidak langsung bertujuan melindungi kepentingan konsumen. Salah satunya

adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Asitektur Perbankan

Indonesia (API) yang dalam salah satu pilarnya mengatur pula mengenai

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 19: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

4

perlindungan terhadap nasabah. Enam pilar dalam API adalah (i) Struktur

perbankan yang sehat, (ii) Sistem pengaturan yang efektif, (iii) Sistem

pengawasan yang independen dan efektif, (iv) Industri perbankan yang kuat, (v)

Infrastuktur yang mencukupi, (vi) Perlindungan nasabah (http://www.bi.go.id/

web/id/Perbankan/Arsitektur+Perbankan+Indonesia/).

Nasabah adalah konsumen pengguna jasa perbankan, sehingga ketika

berbicara tentang perlindungan nasabah, maka yang menjadi pembahasannya

adalah kepastian tentang terpenuhinya hak-hak nasabah, karena perlindungan

konsumen baginya merupakan suatu tuntutan yang tidak boleh diabaikan begitu

saja. Rumusan atau pengertian nasabah dalam Undang-Undang Perbankan baru

diintroduksikan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dalam Pasal 1

butir 16 yang berbunyi “Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank”.

Istilah nasabah ini tidak dijumpai pada saat Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992, padahal didalamnya dijumpai rumusan bank. Bagaimana mungkin

sebuah undang-undang seperti ini akan memberikan perlindungan yang memadai

bagi para pihak, bila salah satu pihak itu sendiri, yaitu nasabah, tidak jelas

deskripsinya (Yusuf Shofie, 2003: 40).

Kedudukan nasabah dalam pelayanan jasa perbankan, berada pada dua

posisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada. Dilihat pada

sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank maka pada

saat itu nasabah berkedudukan sebagai kreditur bank. Sedangkan pada sisi

penyaluran dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai debitur dan bank

sebagai kreditur. Tetapi semua kedudukan itu, pada dasarnya nasabah merupakan

konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di sektor usaha perbankan.

Konsumen memiliki hak-hak untuk secara proporsional dan seimbang,

menentukan sendiri pilihan akan barang atau jasa yang hendak dipakai,

dipergunakan atau dimanfaatkan olehnya. Berdasarkan hal tersebut UUPK selain

mempertegas dengan mencantumkan berbagai kewajiban yang harus dipenuhi

oleh pelaku usaha, UUPK juga telah mengatur berbagai macam larangan yang

tidak boleh dilakukan kepada para pelaku usaha. Persoalan perlindungan nasabah

tertuju pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan perjanjian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 20: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

5

yang mengatur hubungan antara bank dan nasabahnya. Hubungan hukum yang

terjadi antara bank dan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian, baik

perjanjian yang berbentuk akta dibawah tangan maupun akta otentik. Dalam

konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk

perlindungan bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank,

hal demikian perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilakukan antara bank

dengan nasabah telah dibakukan dengan sebuah perjanjian baku.

Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua

pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum untuk melaksanakan suatu prestasi

yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatuhan,

kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

Namun adakalanya kedudukan dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak

seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu

menguntungkan bagi salah satu pihak. Dalam praktek dunia usaha juga

menunjukkan bahwa keuntungan kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan

pembuatan perjanjian baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat

oleh salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya (Gunawan Widjaja

dan Ahmad Yani, 2003: 53).

Dalam memberikan pelayanan terhadap konsumen, pelaku usaha

mempergunakan perjanjian baku, khususnya untuk melayani konsumen dalam

jumlah yang banyak mengenai barang dan/atau jasa sejenis. Sebagaimana

diketahui bahwa munculnya hukum perjanjian dalam lalu lintas hukum, dilandasi

oleh kebutuhan akan pelayanan yang efektif dan efisien terhadap kegiatan yang

bersifat transaksional.

Seperti halnya suatu perjanjian antara pelaku usaha yang pada umumnya

lebih kuat, dihadapkan dengan pihak konsumen yang cenderung mempunyai

posisi lemah, bagi pihak yang lemah hanya terdapat dua pilihan, yaitu apabila

mereka membutuhkan jasa atau barang yang ditawarkan kepadanya, maka ia harus

menyetujui semua syarat-syarat yang diajukan kepadanya, tanpa menghiraukan

apakah konsumen mengetahui dan atau memahami urusan perjanjian tersebut atau

tidak, dan sebaliknya, apabila mereka tidak menyetujui syarat-syarat yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 21: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

6

diajukan kepadanya, maka mereka harus meninggalkan atau tidak mengadakan

perjanjian dengan pelaku usaha tersebut (take it or leave it contract).

Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha jelas sangat

merugikan kepentingan masyarakat. Karena pada umumnya para pelaku usaha

berlindung dibalik Standard Contract atau Perjanjian Baku yang telah

ditandatangani oleh kedua belah pihak, ataupun melalui berbagai informasi semu

yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen (Gunawan Widjaja dan

Ahmad Yani, 2003: 1). Adanya ketidakseimbangan dalam perjanjian tersebut

memberi dampak pada perlindungan hak yang sepihak pada penjual dari pada

pembeli, sehingga lebih banyak resiko atau kerugian yang harus dipikul oleh

pembeli. Begitu pula perjanjian yang diadakan dalam perbankan, besarnya resiko

atau kerugian akibat ketidakseimbangan dalam pengadaan perjanjian tersebut

harus dipikul oleh nasabah. Tentu hal ini tidak dikehendaki dan tidak dibenarkan

oleh hukum, karena hukum bertujuan untuk memberi keadilan dan mengayomi

semua pihak

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk meneliti

bagaimana ketentuan perjanjian baku dalam transaksi kredit ditinjau dari UUPK

dan implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan UUPK. Dan

untuk hal ini maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul

”IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI KREDIT

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI DI BANK

PERKREDITAN RAKYAT ARTHA DAYA)”.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang dirumuskan dalam penelitian sangat berguna

untuk membersihkan kebingungan akan sesuatu hal. Peneliti harus dapat memilih

suatu masalah bagi penelitiannya, dan merumuskannya untuk memperoleh

jawaban terhadap masalah tersebut. Perumusan masalah berguna untuk

mempermudah pemahaman materi dan agar tidak menyimpang dari pokok

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 22: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

7

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, serta menghindari terjadinya

kekaburan di dalam pembahasan dari pokok-pokok permasalahan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan perjanjian baku dalam transaksi kredit ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Bagaimana pelaksanaan perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai agar suatu

penelitian tersebut memberikan arah sesuai dengan apa yang diharapkan. Adapun

tujuan dari penelitian ini, yaitu :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan ketentuan perjanjian baku dalam

transaksi kredit ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen.

b. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian baku dalam transaksi kredit

berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam memperluas

pemahaman akan arti pentingnya ilmu hukum dalam teori dan praktek,

khususnya berkaitan dengan ketentuan perjanjian baku dalam transaksi

kredit berdasarkan UUPK.

b. Untuk mengembangkan kemampuan intelektual penulis dalam bidang

Hukum Administarasi Negara, khususnya dalam perspektif Hukum

Perlindungan Konsumen.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 23: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

8

c. Untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan dalam

bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Dalam setiap penelitian, selain ada beberapa tujuan yang hendak dicapai

maka terdapat beberapa manfaat yang diperoleh dan diambil dari penelitian

tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya

Hukum Administrasi Negara tentang pelaksanaan perlindungan

konsumen.

b. Untuk lebih mendalami teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan sumbangan jawaban masalah yang sedang diteliti oleh

penulis.

b. Penelitian ini diharapkan mampu untuk mengembangkan daya penalaran

dan membentuk pola pikir dinamis penulis, sehingga dapat memberikan

gambaran yang jelas mengenai perlindungan konsumen terhadap

ketentuan perjanjian baku dalam transaksi kredit.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan

bagi penulis maupun pihak-pihak yang membacanya mengenai berbagai

macam masalah dalam hukum perlindungan konsumen khususnya dalam

perjanjian baku dalam transaksi kredit.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 24: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

9

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah dengan tujuan untuk

melakukan, mengembangkan atau menguji suatu kebenaran dari suatu

pengetahuan yang dilakukan secara metodologis dan sistematis. Metodologi

adalah menggunakan metode-metode yang bersifat alamiah. Sedangkan sistematis

adalah sesuai dengan pedoman atau aturan penelitian yang berlaku untuk kerja

ilmiah. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Jenis Penelitian

Mengenai jenis penelitian, penulis menggunakan pendekatan empiris

atau juga dikenal dengan penelitian sosiologis, yaitu penelitian hukum yang

memperoleh data dari sumber data primer (Soerjono Soekarto, 1986: 56).

Selain itu penelitian ini dilengkapi dengan pendekatan normatif yang

memperoleh data dari sumber data sekunder, yang menelaah dari peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti

penulis.

2. Sifat penelitian

Sifat penelitian yang akan dilakukan ini adalah bersifat deskriptif yaitu

suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti

mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya. Maksudnya adalah

mempertegas hipotesis, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-

teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono

Soekanto, 1984: 10).

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah metode

kualitatif. Metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan

data deskriptif analisistis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara

tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan

dipelajari sebagai suatu yang utuh.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 25: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

10

4. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi penelitian di BPR Artha

Daya, Delanggu dan Kantor Bank Indonesia Solo. Diharapkan dapat

diperoleh data atau informasi yang cukup untuk menjawab permasalahan.

5. Jenis Data

Data adalah hasil penelitian, baik yang berupa fakta-fakta atau angka-

angka yang dapat dijadikan bahan untuk dijadikan suatu informasi, sedangkan

yang dikatakan informasi, adalah hasil pengolahan data yang digunakan

untuk suatu keperluan.

Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer

Data primer merupakan sejumlah keterangan atau fakta-fakta yang

diperoleh langsung melalui penelitian di lapangan, baik dengan cara

wawancara ataupun studi lapangan.

b. Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sejumlah keterangan

atau fakta-fakta yang digunakan oleh seseorang dan secara tidak

langsung bersumber dari bahan-bahan yang diperoleh melalui studi

kepustakaan, meliputi buku, arsip, catatan, koran, peraturan perundang-

undangan yang diperoleh tanpa terikat oleh waktu dan tempat yang

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

6. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah tempat

dimana data diperoleh. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

meliputi :

a. Sumber data primer

Sumber data primer merupakan sumber pertama di mana sebuah data

dihasilkan, seperti pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan objek

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 26: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

11

penelitian dalam hal ini adalah BPR Artha Daya dan Kantor Bank

Indonesia Solo.

b. Sumber data sekunder

Sumber data primer merupakan sumber data yang bersifat sebagai

pelengkap dari sumber data primer, yang terdiri dari :

1) Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-

undangan, meliputi :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen;

c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

d) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/26/PBI/2006 tentang Bank

Perkreditan Rakyat.

2) Bahan Hukum Sekunder

Merupakan bahan yang berasal dari data-data yang sudah tersedia

seperti hasil karya ilmiah para ahli hukum, dokumen resmi, jurnal

hukum, arsip dan literatur yang berhubungan dengan penelitian.

3) Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum

primer dan sekunder, yaitu bahan dari media internet, kamus hukum,

ensiklopedia.

7. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada suatu penelitian merupakan hal yang sangat

penting dalam penulisan, karena untuk memperoleh data-data dalam

penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis

adalah :

a. Teknik Pengumpulan Data Primer

1) Observasi atau Pengamatan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 27: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

12

Untuk mendapatkan data-data yang akurat penulis mengadakan

pengamatan dengan memperhatikan segala sesuatu yang ada

hubungannya dengan obyek yang akan diteliti, yakni dengan

mengadakan pengamatan terhadap ketentuan perjanjian baku dalam

transaksi kredit berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen di BPR Artha Daya dan melakukan

pengamatan di Kantor Bank Indonesia Solo.

2) Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian dengan cara tanya jawab antara pewawancara dengan

responden. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan

Trisetya Wahyu Nugroho selaku Direktur PT. BPR Artha Daya dan

Mulyadi S.E selaku Pengawas Bank/ Asisten Manager di Kantor Bank

Indonesia Solo.

b. Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Teknik pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini

menggunakan studi pustaka, yaitu pengumpulan data dengan

mempelajari dan mengkaji peraturan perundang-undangan, buku-buku,

tulisan dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan

yang diteliti.

8. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode

ilmiah, karena dengan analisislah, data tersebut dapat mempunyai makna dan

bermanfaat untuk menjawab masalah. Dalam penelitian ini digunakan teknik

analisis kualitatif dengan model interaktif. Teknik analisis kualitatif adalah

suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa

yang dinyatakan oleh responden secra tulisan atau lisan, dan juga perilaku

yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesutau yang utuh (Soerjono

Soekanto, 2006: 250).

Teknik analisis kualitatif ini terdiri dari tiga komponen pokok analisis

data, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 28: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

13

aktivitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai

proses siklus antara tahap-tahap tersebut. Berikut penjelasan komponen

analisis data sebagai berikut :

a. Reduksi Data

Reduksi data harus disusun pada waktu peneliti sudah mendapatkan

unit data dari sejumlah unit data yang diperlukan dalam penelitian.

Karena reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian

kepada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang

muncul pada catatan tertulis di lapangan (HB Sutopo, 2002: 97).

b. Sajian Data

Sajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan (HB Sutopo, 2002: 97). Hal tersebut dirancang untuk merakit

informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti, sehingga

sajian data ini merupakan suatu bagian dari analisis.

c. Penarikan Kesimpulan

Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai

melakukan usaha untuk menarik kesimpulan berdasarkan semua hal yang

terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Bila kesimpulan dirasa

belum bisa menjawab permasalahan, maka peneliti wajib kembali

melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah berfokus untuk

mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga bagi pendalaman data.

Jadi dari awal pengumpulan, peneliti harus mulai mengerti apa arti dari

hal-hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan peraturuan-peraturan,

pola-pola, pernyataan-pernyataan, arahan sebab akibat dan proporsi-

proporsi peneliti.

Adapun skema komponen-komponen analisis tersebut adalah

sebagai berikut :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 29: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

14

Gambar 1 : Analisis Kualitatif Model Interaktif

(HB Sutopo, 2002: 91-96)

F. Sistematika Skripsi

Untuk menyusun penelitian ini peneliti membahas dan menguraikan

masalah, yang dibagi dalam empat bab. Adapun maksud dari pembagian

penelitian ini ke dalam tiap-tiap bab dan sub-sub bab adalah untuk menjelaskan

dan menguraikan setiap permasalahan dengan baik.

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

metode penelitian serta sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini adalah dalam rangka mencoba mencari jawaban dari

perumusan masalah, yaitu terdiri dari kerangka teori yang

menguraikan tentang tinjauan umum tentang perlindungan

konsumen, tinjauan umum tentang perjanjian, tinjauan umum

tentang perbankan dan kerangka pemikiran.

Pengumpulan Data

Reduksi Data Sajian Data

Penarikan Kesimpulan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 30: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

15

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi tentang hasil penelitian yang diperoleh penulis

berdasarkan penelitian hukum empiris atau sosiologis serta

pembahasan yang berkaitan dengan pokok permasalahan, yang

meliputi ketentuan perjanjian baku dalam transakasi kredit ditinjau

dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dan implementasi perjanjian baku dalam transakasi

kredit berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen di BPR Artha Daya.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil

penelitian dan saran-saran yang diperoleh dari hasil keseluruhan

penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 31: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Perlindungan Konsumen

a. Pengertian Perlindungan Konsumen

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan

hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek

hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan

sekedar fisik, melainkan terlebih lebih hak-haknya yang bersifat abstrak.

Dengan kata lain perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan

perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen (Ahmadi

Wiru dan Sutarman Yodo, 2007: 1). Sesuai dengan Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

yang berbunyi “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen”.

Pengertian tersebut diparalelkan dengan definisi konsumen, yang

termuat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi “Setiap orang pemakai

barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain

dan tidak untuk diperdagangkan”.

Pernyataan tidak untuk diperdagangkan yang dinyatakan dalam

definisi dari konsumen ternyata memang dibuat sejalan dengan

pengertian pelaku usaha yang diberikan oleh Undang-undang, dimana

dikatakan bahwa yang dimaksud pelaku usaha adalah (Gunawan Widjaja

dan Ahmad Yani, 2003: 5) :

“Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 32: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

17

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Az Nasution dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti mengartikan

perlindungan konsumen sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah

yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan

produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya, dalam

kehidupan bermasyarakat (Celina Tri Siwi Kristiyani, 2008: 23).

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata customer, atau

consument. Pengertian dari customer atau consument itu tergantung

dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consument adalah

(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang (Celina

Tri Siwi Kristiyani, 2008: 22).

Ketentuan tentang perlindungan konsumen, yaitu UUPK berlaku

efektif tanggal 20 April 2000 satu tahun setelah diundangkan. Di tingkat

Undang-Undang, sebelum berlakunya UUPK ada beberapa undang-

undang yang secara tidak langsung bertujuan untuk melindungi

kepentingan konsumen, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan. Dan dalam dunia perbankan hakikatnya yang menjadi

konsumen adalah nasabah.

UUPK memuat aturan-aturan hukum tentang perlindungan

konsumen yang berupa payung bagi perundang-undangan lainnya yang

menyangkut konsumen, sekaligus mengintegrasikan perundang-

undangan itu sehingga memperkuat penegakkan hukum dibidang

perlindungan konsumen.

b. Hubungan Hukum Antara Produsen dengan Konsumen

Produsen dan konsumen biasa diibaratkan sekeping mata uang,

sisi mata uang yang satu adalah produsen sedangkan sisi yang lainnya

adalah konsumen. Diantara keduanya saling membutuhkan, produsen

sangat membutuhkan dan sangat tergantung atas dukungan konsumen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 33: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

18

sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen, tidak mungkin

produsen dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya

konsumen kebutuhannya sangat bergantung dari hasil produksi

produsen. Hubungan antara produsen dan konsumen pada dasarnya

berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan

itu terjadi karena keduanya saling menghendaki dan mempunyai

tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan

yang lain.

Menurut Sri Rejeki Hartono, hubungan hukum antara produsen

dan konsumen ini sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh

berbagai keadaan, antara lain (Sri Rejeki Hartono dalam Husni

Syawali, Neni Sri Imaniyati ed, 2000: 38) :

1) Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu;

2) Pemasaran dan syarat perjanjian;

3) Fasilitas yang ada, sebelum dan purnajual;

4) Kebutuhan para pihak rentang waktu tertentu.

Berbagai keadaan diatas akan sangat mempengaruhi dan

melahirkan kondisi perjanjian yang sangat variatif. Namun dalam

praktek produsen atau distributor telah secara sepihak menyiapkan satu

kondisi perjanjian dengan adanya perjanjian baku.

c. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Konsumen

1) Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Hak dan kewajiban merupakan antinomy dalam hukum,

sehingga kewajiban pihak yang satu dapat dilihat sebagai hak pihak

yang lain. Hak dari pelaku usaha adalah manivestasi lain dari

kewajiban konsumen, begitu pula sebaliknya. Demikian pula

kewajiban pelaku usaha merupakan manivestasi dan bentuk lain

dari hak konsumen, begitu sebaliknya.

a) Hak Pelaku Usaha

Dalam Pasal 6 Undang-undang Perlindungan Konsumen

ditentukan hak-hak bagi pelaku usaha, dimana hak ini diatur

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 34: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

19

untuk memberikan kepastian bagi pelaku usaha dalam berusaha,

hak-hak tersebut yaitu :

(1) Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan jasa yang

diperdagangkan;

(2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan

konsumen yang beritikad tidak baik;

(3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen;

(4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti

secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan

oleh barang dan jasa yang diperdagangkan;

(5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

b) Kewajiban Pelaku Usaha

Kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen, yaitu :

(1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

(2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan

penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

(3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan

jujur serta tidak dikriminatif;

(4) Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi dan atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang

dan atau jasa;

(5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji

dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta

memberi jaminan dan atau garasi atas barang yang dibuat

atau diperdagangkan;

(6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 35: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

20

kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan

barang dan atau jasa yang diperdagangkan;

(7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila

barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak

sesuai dengan perjanjian.

2) Hak dan Kewajiban Konsumen

a) Hak-hak Konsumen

Dalam pasal 4 UUPK ditentukan secara eksplisit delapan

hak konsumen dan satu hak lagi yang dirumuskan secara terbuka,

hak-hak tersebut yaitu :

(1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan atau jasa;

(2) Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan

barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan

kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

(3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan atau jasa;

(4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang

dan atau jasa yang digunakan;

(5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

(6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

(7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif;

(8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau

penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak

sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

(9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 36: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

21

b) Kewajiban Konsumen

Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya bahwa

kewajiban-kewajiban konsumen antinomy dengan hak-hak

produsen/ pelaku usaha. Kewajiban konsumen dalam sisi lain

adalah manivestasi dari hak-hak pelaku usaha.

Dalam UUPK pasal 5 ditentukan kewajiban konsumen

adalah :

(1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan jasa demi keamanan

dan keselamatan;

(2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan atau jasa;

(3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

(4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa

perlindungan konsumen secara patuh.

d. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam

hubungan hukum dengan pelaku usaha antara lain (Shidarta, 2000: 50) :

1) Let the buyer beware

Asas let the buyer beware atau caveat emptor ini, pelaku usaha

dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak

perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Dalam doktrin ini, yang

wajib berhati-hati adalah pembeli. Dengan adanya UUPK,

kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan menuju kepada

caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati).

2) The due care theory

Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam

memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama

konsumen tidak dapat membuktikan hal-hal yang memperkuat

gugatannya, maka pelaku usaha tidak dapat disalahkan. Namun dalam

kenyataannya konsumen agak mengalami kesulitan dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 37: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

22

menghadirkan bukti-bukti tersebut dan pelaku usaha bisa

bersembunyi dari kesalahannya.

3) The Privity of Contract

Pelaku usaha baru melakukan perlindungan terhadap konsumen

jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku

usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan.

Konsumen boleh menggugat berdasarkan wanpresstasi atau

contractual liability.

e. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen memberikan

alternatif penyelesaian sengketa, apabila pelaku usaha menolak atau

tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen

diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan

perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK), selain dengan cara mengajukan gugatan melelui

Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan

konsumen (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 72).

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui BPSK bukanlah

suatu keharusan untuk ditempuh konsumen sebelum pada akhirnya

sengketa tersebut diselesaikan melalui lembaga peradilan. Walaupun

demikian, hasil putusan BPSK memiliki suatu daya hukum yang cukup

untuk memberikan shock terapy bagi pelaku usaha yang nakal

(Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 73). Meskipun berdasarkan

Pasal 54 ayat 3 UUPK putusan BPSK bersifat final dan mengikat, para

pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan

keberatan kepada Pengadilan Negeri untuk diputus. Terhadap putusan

Pengadilan Negeri ini, meskipun dikatakan bahwa UUPK hanya

memberikan hak kepada pihak yang tidak merasa puas atas putusan

tersebut untuk mengajukan kasasi ke MA, namun dengan mengingat

akan relativitas dari “tidak merasa puas”, peluang untuk mengajukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 38: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

23

kasasi sebenarnya terbuka bagi setiap pihak dalam perkara (Gunawan

Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 79).

2. Tinjauan tentang Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu terlibat dalam

pergaulan dengan sesamanya, sehingga terjadi hubungan antar manusia

yang disebut dengan hubungan antar individu. Hubungan antar individu

menimbulkan perhubungan yang dapat bersifat perhubungan biasa dan

perhubungan hukum. Suatu perhubungan disebut perhubungan hukum,

apabila hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut diatur oleh

hukum.

Hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak atau lebih

didahului oleh perbincangan-perbincangan di antara para pihak dan

adakalanya mewujudkan suatu perjanjian atau perikatan, tetapi

adakalanya tidak mewujudkan perjanjian atau perikatan. Hubungan

hukum yang timbul karena perjanjian itu mengikat kedua belah pihak

yang membuat perjanjian, sebagaimana daya mengikat Undang-Undang.

Perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber lain, yaitu

Undang-Undang. Dalam perikatan menunjukkan adanya suatu hubungan

hukum antara para pihak yang berisi hak dan kewajiban masing-masing.

Perjanjian menunjukkan suatu janji atau perbuatan hukum yang saling

mengikat antara para pihak.

Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan definisi perjanjian, yaitu

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perjanjian

adalah sesuatu yang kongkrit yang dapat dilihat dengan panca indera.

Dalam praktek, perjanjian disebut juga kontrak yang menentukan

hubungan hukum antara para pihak.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 39: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

24

Menurut Abdulkadir Muhammad, ketentuan dalam Pasal 1313

KUH Perdata dianggap kurang memuaskan dan terdapat beberapa

kelemahannya. Kelemahan-kelemahannya yaitu :

1) Hanya menyangkut sepihak saja

Kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,

tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah saling

mengikatkan diri, jadi ada konsensus antara pihak-pihak. Kata

perbuatan juga mencakup tanpa konsensus, dalam pengertian

perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa

(zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechmatigedaad)

yang tidak mengandung suatu konsensus dan seharusnya dipakai kata

persetujuan.

2) Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas, karena

mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur

dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah

hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan

saja.

3) Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut, tidak

menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak

mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.

Berdasarkan alasan tersebut, Abdulkadir Muhammad

merumuskan pengertian perjanjian menjadi “Perjanjian adalah suatu

persetujuan antara dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk

melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan” (Abdulkadir

Muhammad, 1992: 78).

b. Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian adalah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat

yang telah ditentukan undang-undang, sehingga keberadaan perjanjian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 40: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

25

tersebut diakui oleh hukum. Syarat sahnya perjanjian dapat kita lihat

dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

1) Ada sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Ada kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3) Ada sesuatu hal tertentu;

4) Ada sesuatu sebab yang halal.

Dalam rumusan Pasal di atas disebutkan bahwa untuk sahnya

perjanjian diperlukan empat syarat. Kedua syarat pertama dinamakan

syarat subyektif, karena kedua syarat tersebut menyangkut subyek

perjanjian, sedangkan kedua syarat terakhir disebut syarat obyektif,

karena menyangkut obyek dari perjanjian.

Perjanjian lahir pada saat tercapainya kata sepakat mengenai hal-

hal pokok. Untuk mengetahui lahirnya suatu perjanjian perlu diketahui

apakah telah tercapai kata sepakat atau belum. Pengertian kata sepakat

dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overrenstemende

wilsklaring) antara pihak-pihak. Perjanjian harus dianggap dilahirkan

pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima

jawaban yang termaktub dalam surat tersebut (acceptatie), sehingga pada

detik itulah dianggap sebagai detik lahirnya sepakat (Subekti, 2001: 27).

c. Asas-Asas Perjanjian

Hukum Perjanjian mengenal beberapa asas penting yang

merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan.

Beberapa asas tersebut sebagai berikut :

1) Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Asas

ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan

perjanjian. Dalam asas konsensualisme ini memberikan batasan bahwa

suatu perjanjian terjadi sejak tercapainya kata sepakat antara pihak-

pihak, dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan membuat akibat

hukum sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak

mengenai pokok perjanjian.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 41: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

26

2) Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel), yaitu suatu asas yang

menyatakan bahwa seseoarang yang mengadakan perjanjian dengan

pihak lain menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa

satu sama lain akan memegang janjinya atau melaksanakan

prestasinya masing-masing.

3) Asas Kekuatan Mengikat Asas kekuatan mengikat mengatur bahwa para pihak pada suatu

perjanjian tidak semata-mata terikat pada apa yang diperjanjikan

dalam perjanjian, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain

sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatutan, serta moral.

4) Asas Persamaan Hukum Asas persamaan hukum menempatkan para pihak di dalam

persamaan derajat, tidak ada perbedaan yang menyangkut perbedaan

kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan dan jabatan. Masing-masing pihak

wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak

untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

5) Asas Keseimbangan

Asas ini merupakan lanjutan dari asas persamaan hukum.

Kreditur atau pelaku usaha mempunyai kekuatan untuk menuntut

prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui

kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk

melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Di sini terlihat bahwa

kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk

memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur

menjadi seimbang.

6) Asas Kepastian Hukum

Perjanjian merupakan suatu figur hukum sehingga harus

mengandung kepastian hukum. Asas kepastian hukum disebut juga

asas pacta sunt servanda. Asas pacta sunt servanda merupakan asas

dalam perjanjian yang berhubungan dengan daya mengikat suatu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 42: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

27

perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat

bagi mereka yang membuatnya seperti Undang-Undang.

7) Asas Moral

Asas moral terlihat pada perikatan wajar, dimana suatu

perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya

untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Asas moral

terlihat pula dari zaakwarneming, dimana seseorang yang melakukan

perbuatan suka rela (moral) mempunyai kewajiban untuk meneruskan

dan menyelesaikan perbuatannya.

8) Asas Kepatutan

Asas kepatutan berkaitan dengan isi perjanjian, dimana

perjanjian tersebut juga mengikat untuk segala sesuatu yang menurut

sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-

Undang. Asas kepatutan dapat disimpulkan dari Pasal 1339 KUH

Perdata.

9) Asas Kebiasaan

Asas kebiasaan menyatakan bahwa hal-hal yang menurut

kebiasaan secara diam-diam selamanya dianggap diperjanjikan. Asas

ini tersimpul dari Pasal 1339 juncto 1347 KUH Perdata.

d. Perjanjian Baku

Secara umum perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan

berkontrak di antara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang

seimbang, dan kedua belah pihak berusaha memperoleh kesepakatan

dengan melalui proses negosiasi di antara kedua belah pihak. Namun saat

ini kecenderungan memperlihatkan bahwa banyak perjanjian dalam

transaksi bisnis bukan melalui proses negosiasi yang seimbang, tetapi

perjanjian itu terjadi dengan cara salah satu pihak telah menyiapkan

syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak,

kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dan hampir tidak

memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak yang satu untuk

melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan tersebut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 43: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

28

Perjanjian yang demikian disebut perjanjian baku atau perjanjian standar

atau perjanjian baku.

Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa

inggris disebut standard contract, standard agreement. Kata baku atau

standar artinya tolok ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman

bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan

pengusaha. Yang dibakukan dalam perjanjian baku meliputi model,

rumusan dan ukuran (Abdulkadir Muhammad, 1992: 6).

Perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu :

1) Perjanjian baku sepihak

Perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat

kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini

ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat

dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam

organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif;

2) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah

Perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah.

Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir

perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri

tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa antara lain

akta jual beli, model 1156727 akta hipotik model 1045055 dan

sebagainya;

3) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat,

Terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula

sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota

masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang

bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan

“contract model”. (Muliadi Nur. Asas Kebebasan Berkontrak dalam

Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standard Contract). http://pojok

hukum.blogspot.com/2008/03/standard-contract.html).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 44: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

29

Tujuan dibuatnya perjanjian baku adalah untuk memberikan

kemudahan bagi para pihak yang bersangkutan. Pada saat sekarang

sangatlah tidak mungkin bagi kreditur (pelaku usaha) untuk membuat

perjanjian dengan debitur (konsumen) satu persatu, karena jumlah debitur

sangatlah banyak, jika harus membuat satu persatu perjanjiannya akan

menyita banyak waktu, tenaga dan biaya. Oleh karena itu kreditur

membuat suatu perjanjian yang telah dibuat sebelumnya lalu diberikan

kepada debitur dalam bentuk formulir dan debitur hanya tinggal

menandatangani tanpa bisa mendiskusikannya terlebih dahulu isi dari

perjanjian tersebut. (Muliadi Nur. Asas Kebebasan Berkontrak dalam

Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standard Contract). http://pojok

hukum.blogspot.com/2008/03/standard-contract.html).

Dalam perjanjian baku terdapat ciri-ciri yang harus sesuai dengan

perkembangan kebutuhan masyarakat, dengan cara mengikuti dan

menyesuaikan perkembangan tuntutan yang ada dalam masyarakat. Akan

tetapi dalam perjanjian baku ini lebih mencerminkan kepentingan pelaku

usaha bukan dari kepentingan konsumen, hal ini karena posisi yang tidak

seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha. Dengan pembakuan

syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pelaku usaha lebih

terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang

disodorkan oleh pelaku usaha, sehingga dalam kenyataanya penggunaan

perjanjian baku dalam perjanjian banyak merugikan konsumen. Ciri-ciri

dalam perjanjian baku tersebut adalah :

1) Bentuk perjanjian tertulis;

2) Format perjanjian dibakukan;

3) Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha;

4) Konsumen hanya menerima atau menolak;

5) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah/peradilan;

6) Perjanjian baku menuntungkan pelaku usaha.

Pembatassan dalam perjanjian baku harus diatur secara jelas agar

tidak menimbulkan dominasi pelaku usaha kepada konsumen yang akan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 45: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

30

membuat posisi konsumen dirugikan. Dengan adanya pengaturan

perjanjian baku merupakan konsekuensi dari upaya kebijakan untuk

memberdayakan konsumen supaya dalam kondisi seimbang.

3. Tinjauan tentang Perbankan

a. Pengertian Bank

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau

bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak. Berdasarkan pengertian tersebut, bank merupakan perusahaan

yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu

berkaitan dalam bidang keuangan (Anonym. Sejarah Perbankan,

Pengertian, Asas, Fungsi, Dan Tujuan. http://afand.abatasa.

com/post/detail/2357/sejarah-perbankanpengertian-asas-fungsi-dan-tuju

an).

b. Jenis-Jenis Bank

Perbedaan jenis perbankan dapat dilihat dari segi fungsi, serta

kepemilikannya. Dari segi fungsi perbedaan yang terjadi terletak pada

luasnya kegiatan atau jumlah produk yang dapat ditawawrkan serta

jangkauan wilayah operasinya. Sedangkan kepemilikan perusahaan

dilihat dari segi kepemilikan sahamnya. Selain itu, dapat dilihat dari segi

siapa nasabah yang mereka layani apakah masyarakat luas atau

masayarakat dalam lokasi tertentu (kecamatan) (Kasmir, 2010: 18).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan

ditegaskan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perbankan maka jenis perbankan berdasarkan fungsinya terdiri

dari (Kasmir, 2010: 19) :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 46: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

31

1) Bank Umum

Bank umum atau yang sering disebut bank komersil, adalah

bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau

berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa

dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum,

dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada.

Wilayah operasinya dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia,

bahkan keluar negeri (cabang).

2) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang

melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau

berdasarkan prinsip syariah. Dalam kegiatannya BPR tidak

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, artinya jasa-jasa

perbankan yang ditawarkan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan

dengan kegiatan atau jasa bank umum.

Perbandingan antara Bank Umum dengan Bank Perkreditan

Rakyat (BPR), sebagai berikut :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 47: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

32

Bank Umum BPR 1. Dapat menerima simpanan

dalam bentuk Giro 1. Tidak diperbolehkan menerima

simpanan dalam bentuk Giro

2. Dapat melakukan kegiatan usaha sebagai valuta asing

2. Tidak dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing

3. Modal disetor untuk pendirian bank baru minimal Rp. 3 triliun

3. Modal disetor untuk mendirikan BPR minimal Rp5 miliar (DKI), Rp2miliar (ibukota Provinsi Jawa Bali & Bodetabek), Rp1 miliar (ibukota Provinsi diluar Jawa Bali & wil. Jawa Bali selain ibukota), Rp500 juta (selain di atas)

4. Dapat melakukan penyertaan pada bank atau lembaga keuangan serta penyertaan sementara

4. Tidak dapat melakukan penyertaan

Tabel 1 : Perbandingan antara Bank Umum dengan BPR

Sumber : Bank Indonesia

Dengan semakin berkembangnya dunia perbankan, berpengaruh

juga terhadap perkembangan jenis bank yaitu dengan munculnya

perbankan syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah. Terdapat 3 alasan utama diperlukannya

pengembangan Bank Syariah di Indonesia, yaitu :

a) Aspek Legal Formal;

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan :

(1) Dual banking system;

(2) Dual system bank.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yang diubah oleh

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia:

(1) Cara-cara pengendalian moneter dapat dilakukan berdasarkan

Prinsip Syariah;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 48: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

33

(2) Bank Indonesia dapat memberikan pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah kepada Bank untuk mengatasi kesulitan

pendanaan jangka pendek.

b) Aspek Substantif dan Filosofis;

c) Aspek Potensi dan Prospek Ekonomi - Keuangan Syariah.

Dalam rangka menjalankan kegiatannya, bank syariah harus

berlandaskan pada Alquran dan hadis. Bank syariah mengharamkan

penggunaan harga produknya dengan bunga tertentu. Bagi bank syariah,

bunga bank adalah riba. Dalam perkembangannya kehadiran bank

syariah ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat muslim, akan

tetapi juga masyarakat non muslim.

c. Kegiatan Bank

Dalam prakteknya kegiatan bank dibedakan sesuai dengan jenis

bank tersebut. Setiap jenis bank memiliki ciri dan tugas tersendiri dalam

melakukan kegiatannya, misalnya dilihat dari segi fungsi bank yaitu

antara kegiatan bank umum dengan bank perkreditan rakyat memili tugas

atau kegiatan yang berbeda.

Kegiatan bank umum lebih luas dari bank perkreditan rakyat,

artinya produk ditawarkan oleh bank umum lebih beragam, hal ini

disebabkan bank umum mempunyai kebebasan untuk menentukan

produk dan jasanya. Sedangkan bank perkreditan rakyat mempunyai

keterbatasan tertentu, sehingga kegiatannya lebih sempit (Kasmir, 2010:

30). Hal ini dapat disebabkan karena Bank Perkreditan Rakyat

merupakan bank sekunder yang dalam kegiatannya tidak memberikan

jasa dalam lalu lintas pembayaran tetapi berfungsi sebagai penghimpun

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa deposito

berjangka atau tabungan serta pemberian kredit.

Kegiatan BPR pada dasarnya sama dengan kegiatan bank umum,

hanya yang menjadi perbedaan adalah jumlah jasa bank yang dilakukan

BPR jauh lebih sempit. BPR dibatasi oleh berbagai persyaratan, sehingga

tidak dapat berbuat seleluasa bank umum. Keterbatasan kegiatan BPR

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 49: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

34

juga dikaitkan dengan misi pendirian BPR itu sendiri. Dalam praktiknya

kegiatan BPR adalah sebagai berikut (Kasmir, 2010: 37) :

1) Menghimpun dana hanya dalam bentuk :

a) Simpanan Tabungan;

b) Simpanan Deposito.

2) Menyalurkan dana dalam bentuk :

a) Kredit Investasi;

b) Kredit Modal Kerja;

c) Kredit Perdagangan.

Jasa perbankan yang dilayani oleh BPR selain menghimpun dana

masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito, adalah dalam bentuk

penyaluran pinjaman terutama yang ditujukan bagi usaha pertanian

maupun perdagangan kecil. Tujuan utama pembentukan BPR di desa-

desa adalah untuk menghindari praktek lintah darat maupun rentenir

dengan bunga tinggi yang sering beroperasi dikedua sektor tersebut.

Dengan beroperasinya BPR di daerah pedesaan maka diharapkan

pemerataan pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan

masyarakat, juga masyarakat pedesaan (Ruddy Tri Santoso, 1996: 5).

BPR yang berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana

masyarakat, memiliki tujuan untuk melaksanakan pembangunan nasional

dalam rangka meningkatkan pemerataan, penumbuhan ekonomi, dan

stabilitas ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Sasaran BPR

adalah melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang,

pengusaha kecil, pegawai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat

terjangkau oleh bank umum dan untuk lebih mewujudkan pemerataan

layanan perbankan, pemerataan kesempatan berusaha, pemerataan

pendapatan, dan agar mereka tidak jatuh ke tangan para pelepas uang

(rentenir).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 50: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

35

Nasabah

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2 : Kerangka Pemikiran

PERLINDUNGAN KONSUMEN Perjanjian Baku

(Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)

BPR (Pasal 1 angka 3 UU No.7 Tahun 1992 jo Pasal 1 angka 4 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan)

a. KUH Perdata; b. UU No. 7 Tahun 1992

jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;

c. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

d. Peraturan Bank Indonesia Nomor:8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat.

Transakasi Kredit

Tidak sesuai Sesuai

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 51: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

36

Keterangan :

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas dapat dijelaskan bahwa dalam

perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur secara khusus

mengenai perjanjian baku yang diatur dalam Pasal 18. Dalam dunia

perbankan, hubungan hukum yang terjadi antara bank dan nasabah dapat

terwujud dari suatu perjanjian, perjanjian yang dilakukan antara bank

dengan nasabah sering telah dibakukan dengan sebuah perjanjian baku.

Dalam konteks ini perlu pengamatan untuk menjaga suatu bentuk

perlindungan bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi

bank, bank yang dimaksud dalam penelitian ini adalah BPR yang diatur

dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Pasal 1

angka 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Salah satu bentuk perjanjian baku dalam hubungan hukum yang

terjadi antara bank dan nasabah, dimana nasabah (debitor) hanya dalam

posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk tawar

menawar, yaitu dalam perjanjian transaksi kredit dimana dalam praktiknya

perjanjian tersebut telah disediakan oleh pihak bank (kreditor) sedangkan

debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Tentang

perjanjian transakasi kredit ini telah diatur dalam KUH Perdata, Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, PBI Nomor: 8/26/PBI/2006 tentang Bank

Perkreditan Rakyat.

Pada prinsipnya perjanjian baku dalam transaksi kredit lebih banyak

memuat hak-hak pelaku usaha dan kewajiban-kewajiban yang harus

dipenuhi konsumen. Ketidakseimbangan ini mengakibatkan perjanjian baku

ini tidak sesuai dengan UUPK, tetapi disisi lain perjanjian baku dapat dinilai

sesuai dengan UUPK apabila selama perjanjian baku tersebut tidak

mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 UUPK

tersebut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 52: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

37

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Kantor Bank Indonesia Solo

a. Struktur Organisasi

Struktur organisasi disusun untuk mencapai tujuan dan sasaran

yang dijadikan sebagai pedoman untuk menjalankan organisasi dan

membuat perencanaan. Tujuan organisasi akan menentukan seluruh tugas

pekerjaan, hubungan antara tugas, batas wewenang dan tanggungjawab

untuk menjalankan tugasnya masing-masing.

Berikut bentuk dan struktur organisasi Kantor Bank Indonesia

Solo agar dapat mengetahui tentang tugas dan tanggungjawab dari

masing-masing bagian, maka dapat dilihat sebagai berikut :

1) Pimpinan KBI

2) Deputi Pemimpin KBI, meliputi :

a) Deputi Pemimpin Bidang Perbankan

b) Deputi Pemimpin Bidang Sistem Manajemen Dan Pembayaran

Intern

c) Deputi Pemimpin Bidang Ekonomi Moneter

3) Kepala Bidang, meliputi :

a) Bidang Ekonomi dan Moneter

(1) Seksi pemberdayaan sektor riil dan UMKM

(2) Seksi kajian statistik dan survey

b) Bidang Sistem Pembayaran dan Manajemen Intern

(1) Seksi operasional kas

(2) Seksi pelayanan nasabah dan penyelenggara kliring

(3) Seksi sumber daya manusia

(a) Bagian sumber daya

(b) Bagian logistik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 53: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

38

(c) Bagian pengamanan

(d) Bagian kesekretariatan

c) Bidang Pengawasan Bank

(1) Kelompok pengawasan bank I

(2) Kelompok pengawasan bank II

(3) Kelompok pengawasan bank III

(4) Kelompok pengawasan bank IV

Demikian Struktur Organisasi Kantor Bank Indonesia Solo. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat dari bagan struktur organisasi Kantor Bank

Indonesia sebagai berikut :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 54: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

39

Gambar 3 : Struktur Organisasi Kantor Bank Indonesia Solo

Pimpinan KBI Solo

Deputi Bidang Perbankan

Deputi Bidang Manajemen

Intern

Deputi Bidang Ekonomi

Moneter

Kepala Bidang Pengawasan

Bank

Kepala Bidang Sistem

Pembayaran dan Manajemen Intern

Kepala Bidang Ekonomi

Dan Moneter

Kelompok Pengawasan Bank I

Kelompok Pengawasan Bank

II

Kelompok Pengawasan Bank

III

Kelompok Pengawasan Bank

IV

Seksi Operasional Kas

Seksi Pelayanan Nasabah dan

Penyelenggara Kliring

Seksi Sumber Daya Manusia

Bagian Sumber Daya

Seksi Pemberdayaan Sektor Riil dan

UMKM

Seksi Kajian Statistik dan

Survey

Bagian Logistik

Bagian Pengamanan

Bagian Kesekretariatan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 55: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

40

b. Wewenang Kantor Bank Indonesia Solo

1) Bidang Ekonomi dan Moneter

a) Memantau dan melaksanakan kebijakan moneter yang telah

dirumuskan oleh kantor pusat;

b) Mengamati dan mengumpulkan dana perkembangan ekonomi di

wilayah kinerja Solo;

c) Mengawasi kinerja Perbankan di wilayah Solo;

d) Melakukan koordinasi dengan kepala seksi beserta staff

dibawahnya.

2) Bidang Sistem Pembayaran dan Manajemen Intern

a) Mengawasi peredaran uang di wilayah Solo;

b) Melakukan pengaturan sistem pembayaran;

c) Melaksanakan fungsi Bank Indonesia sebagai kasir Pemerintah;

d) Mengawasi dan mengevaluasi kinerja seluruh pegawai;

e) Memantau ketersediaan logistik dan terjaminnya keamanan.

3) Bidang Pengawasan Bank

a) Melakukan pengawasan terhadap kinerja perbankan seluruh

wilayah Solo;

b) Membuat tingkat kesehatan seluruh bank yang ada di wilayah

Solo;

c) Merekapitulasi tingkat kesehatan seluruh bank di Solo dan

melaporkannya ke kantor pusat setiap bulan;

d) Melakukan pemeriksaan terhadap setiap bank secara periodik;

e) Mengevaluasi dan menganalisis terhadap permohonan ijin prinsip

pembukuan bank baru, pembukuan kantor cabang dan kantor kas

pelayanan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 56: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

41

2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya

a. Struktur Organisasi

Struktur organisasi merupakan kerangka yang menampilkan

seluruh kegiatan-kegiatan untuk pencapaian tujuan organisasi antara

fungsi-fungsi serta wewenang dan tanggungjawab. Struktur organisasi

disusun untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dijadikan sebagai

pedoman untuk menjalankan organisasi dan membuat perencanaan.

Selain itu tujuan tersebut diperlukan untuk menilai keberhasilan suatu

organisasi, sedangkan sasaran adalah untuk mengarahkan tindakan-

tindakan dalam pelaksanaan organisasi. Tujuan organisasi akan

menentukan seluruh tugas pekerjaan, hubungan antara tugas, batas

wewenang dan tanggungjawab untuk menjalankan tugasnya masing-

masing. Atas dasar kegiatan-kegiatan tersebut akan dapat disusun pola

tetap hubungan-hubungan antar bidang.

Berikut bagan struktur organisasi BPR Artha Daya :

Gambar 4 : Struktur Organisasi BPR Artha Daya

Sumber : Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya

RUPS

KOMISARIS

DIREKSI

KREDIT OPERASIONAL

CABANG : Palur, Kartasura, Klaten

ACCOUNT OFFICER

REMEDIAL

TELLER ADMIN KREDIT

AKUNTING

SPI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 57: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

42

B. PEMBAHASAN

1. Ketentuan Perjanjian Baku Dalam Transaksi Kredit Ditinjau Dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Berdasarkan Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam

untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian

bunga. Kata kredit sering diartikan memperoleh barang dengan membayar

cicilan atau angsuran di kemudian hari atau memperoleh pinjaman uang yang

pembayarannya dilakukan di kemudian hari dengan cicilan atau angsuran

sesuai dengan perjanjian. Artinya kredit dapat berbentuk barang atau

berbentuk uang. Baik kredit berbentuk barang maupun berbentuk uang dalam

hal pembayarannya dengan menggunakan metode angsuran atau cicilan

tertentu (Kasmir, 2000: 72).

Bank merupakan salah satu badan usaha/lembaga keuangan yang

bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa perbankan lainnya. Hal ini sesuai

dengan pengertian bank yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perbankan dalam Pasal 1 ayat 2, yang menyatakan

bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan

taraf hidup rakyat banyak.

Pemberian kredit oleh bank merupakan unsur yang terbesar dari aktiva

bank, yang juga sebagai aset utama serta sekaligus menentukan maju

mundurnya bank yang bersangkutan dalam menjalankan fungsi dan usahanya

menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Pemberian kredit ini

merupakan salah satu produk bank yang ditawarkan kepada para nasabah,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 58: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

43

dimana bank memiliki beberapa fitur jasa pemberian kredit seperti pemberian

kredit denganragam bentuk jaminan/tanggungan. Selain pemberian kredit

yang termasuk dalam produk bank yaitu pemberian jasa dalam pembayaran

dan peredaran uang, berbagai macam bentuk simpanan di bank yang meliputi

simpanan giro, deposito berjangka dan tabungan.

Di samping menjalankan fungsi dan pengerahan dana masyarakat,

bank juga menjalankan fungsi sebagai lembaga kredit sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 huruf b Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Ada pun pemberian kredit itu

dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-dana yang

dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-

alat pembayaran baru berupa uang giral.

Bisnis bank merupakan bisnis yang konservatif. Kecenderungan

kepada sifat yang konservatif tersebut, maka bank harus hati-hati dalam

menjalankan usaha. Hal ini disebabkan karena peranan bank yang cukup

menentukan dalam perkembangan moneter dan ekonomi secara makro. Dan

hal yang paling riskan dalam suatu bank biasanya berkenaan dengan

penyaluran dana yang ada pada bank tersebut (Munir Fuady, 1996: 64). Oleh

karena itu, bank dalam memberikan kredit harus melakukannya berdasarkan

analisis pemberian kredit yang memadai, agar kredit-kredit yang diberikan

oleh bank itu adalah kredit-kredit yang tidak mudah menjadi kredit-kredit

macet. Apabila kredit-kredit yang diberikan oleh suatu bank banyak

mengalami kemacetan, maka akan melumpuhkan kemampuan bank dalam

melaksanakan kewajibannya terhadap para pemyimpan dana. Kemampuan

bank untuk dapat membayar kembali simpanan dana masyarakat banyak

tergantung pula dari kemampuan bank untuk memperoleh pembayaran

kembali kredit-kredit yang diberikan oleh bank tersebut kepada para nasabah

debiturnya (Sutan Remy Sjahdeini, 1993: 16).

Dalam memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian terhadap

nasabah yang akan meminjam, agar kredit yang diberikan tidak menjadi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 59: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

44

kredit yang bermasalah di kemudian hari. Penilaian yang dilakukan bank

berupa penilaian terhadap watak (character), kemampuan (capacity), modal

(capital), agunan (collateral) dan prospek usaha dari nasabah debitur

(condition of economy), atau yang sering disebut dengan the five C of credit

analysis atau prinsip 5 C’s.

Prinsip 5 C’s harus menjadi tolok ukur atau pedoman dalam

pemberian kredit oleh bank. Menjadi suatu keharusan bagi bank menilai

secara seksama prinsip 5 C’s sebagai dasar dalam pemberian kredit, yang

meliputi :

a. Penilaian watak (character)

Penilaian watak calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran

dan itikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan

pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari.

Hal ini dapat diperoleh terutama didasarkan kepada hubungan yang telah

terjalin antara bank dan (calon) debitur atau informasi yang diperoleh

dari pihak lain yang mengetahui moral, kepribadian, dan perilaku calon

debitur dalam kehidupan kesehariannya.

b. Penilaian kemampuan (capacity)

Dalam penilaian ini bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur

dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank

yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang

yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu

mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya.

c. Penilaian modal (capital)

Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara

menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat

diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang

pembiayaan usaha calon debitur yang bersangkutan.

d. Penilaian agunan (collateral)

Untuk menanggung pembayaran kredit macet dikarenakan debitur

wanprestasi, maka calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 60: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

45

berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang

nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan

kepadanya.

e. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy)

Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar negeri, baik

masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran

dari hasil usaha calon debitur yang dibiayai dapat pula diketahui.

Pemberian kredit bank merupakan suatu perjanjian antara bank

dengan pihak peminjam/nasabah debitur. Perjanjian tersebut lahir

berdasarkan kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan peminjam

dana. Hal ini dapat diketahui karena telah disebutkan dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang dimaksud dengan nasabah

debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan

perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sedangkan yang

dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam

untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian

bunga. Oleh karena itu, sebuah perjanjian dapat terwujud karena adanya suatu

kesepakatan diantara para pihak dan dalam praktik perbankan, perjanjian

tersebut lazim dinamakan dengan perjanjian kredit.

Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, hal ini

dikarenakan apabila perjanjian kredit dilakukan dengan cara tertulis maka

akan lebih bersifat aman bagi para pihak dibandingkan dalam bentuk lisan.

Dengan bentuk tertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah

diperjanjikan, dan perjanjian ini akan menjadi bukti yang kuat dan jelas

apabila terjadi sesuatu kepada kredit yang telah disalurkan atau juga apabila

terjadi ingkar janji oleh pihak bank.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 61: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

46

Dalam setiap pemberian kredit harus dituangkan dalam perjanjian

kredit secara tertulis, hal tersebut berdasarkan ketentuan Bank Indonesia

dimana dalam pemberian kredit bank wajib dituangkan dalam perjanjian

kredit secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta

notariil. Hal ini didasari atas dasar hukum perjanjian kredit sebagai berikut :

a. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman

Kebijakan di Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966 juncto Surat

Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb. Tanggal

8 Oktober 1966 Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor

2/649/UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium

Kabinet Nomor 10/EK/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, yang menyatakan

bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk

tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dan nasabah atau

Bank Sentral dan bank-bank lainnya. Dari sini jelaslah bahwa dalam

memberikan kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjian

atau akad kreditnya;

b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995

tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan

Bank Bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit yang

telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam

perjanjian kredit secara tertulis.

Perjanjian kredit berfungsi sebagai panduan bank dalam perencanaan,

pelaksanaan, pengorganisasian, dan pengawasan dalam pemberian kredit

yang dilakukan oleh bank, sehingga bank tidak dirugikan dan kepentingan

nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank terjamin dengan sebaik-

baiknya (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010: 320). Bentuk dan

format perjanjian kredit diserahkan oleh Bank Indonesia kepada masing-

masing bank untuk menetapkannya, tetapi harus tetap memperhatikan hal-hal

sebagai berikut :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 62: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

47

a. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi

kepentingan bank;

a. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta

persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam

keputusan persetujuan kredit dimaksud.

Susunan sebuah perjanjian kredit bank pada umunya meliputi

(Rachmadi Usman, 2003: 267) :

a. Judul

Dalam dunia perbankan masih belum terdapat kesepakatan tentang judul

atau penamaan perjanjian kredit bank. Judul di sini berfungsi sebagai

nama dari perjanjian yang dibuat tersebut, setidaknya kita mengetahui

bahwa akta atau surat itu merupakan perjanjian kredit bank.

b. Komparisi

Di sini menjelaskan sejelasnya tentang identitas, dasar hukum, dan

kedudukan subyek hukum perjanjian kredit bank. Sebuah perjanjian

kredit bank akan dianggap sah apabila ditandatangani oleh subyek hukum

yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang demikian itu.

c. Substantif

Sebuah perjanjian kredit bank berisikan klausula-klausula yang

merupakan ketentuan dan syarat-syarat pemberian kredit, minimal harus

memuat maksimum kredit, bunga dan denda, jangka waktu kredit, cara

pembayaran kembali kredit, agunan kredit, opeinsbaar clause dan pilihan

hukum.

Dengan demikian, di dalam praktek setiap bank telah menyediakan

blanko atau formulir perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan atau

dibakukan terlebih dahulu tanpa diperbincangkan dengan pemohon. Pemohon

kredit atau debitur hanya dimintakan pendapatnya apakah bisa menerima

syarat-syarat yang tersebut di dalam formulir atau tidak. Pada tahap ini,

kedudukan calon debitur sangat lemah, sehingga menerima saja ketentuan

dan syarat-syarat yang disodorkan oleh pihak perbankan, karena jika tidak

demikian calon debitur tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksud. Hal-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 63: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

48

hal yang belum diisi di dalam blanko adalah hal-hal yang tidak mungkin diisi

sebelumnya, yaitu seperti jumlah pinjaman, bunga, tujuan dan jangka waktu

kredit.

Perjanjian kredit bank yang distandarkan atau dibakukan ini

diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis dan kolektif.

Berikut beberapa alasan bahwa bank selalu menyediakan formulir untuk

setiap hubungan hukum dengan nasabah (Try Widioyono, 2006: 68) :

a. Untuk mempercepat sistem pelayanan, sebab tidak mungkin setiap

nasabah harus membuat dan menegosiasikan setiap transaksi dengan

bank;

b. Formulir tersebut antara lain memuat berbagai peraturan penting yang

berkaitan dan berlaku dalam hubungn hukum antara nasabah dengan

bank;

c. Memudahkan nasabah mengetahui peraturan apa saja dan mana saja yang

berlaku dalam hubungan hukum dengan bank;

d. Tidak semua pegawai bank mengetahui mengenai hukum yang berlaku

atas suatu produk. Dengan penyediaan formulir yang dibuat oleh bagian

hukum maka pegawai lain di kantor cabang dapat dengan mudah

menyediakan formulir tanpa harus berkonsultasi pada bagian hukum. Hal

ini membantu mempercepat pelayanan;

e. Fungsi bank sebagai intermediary dengan formulir yang dibuat secara hati-

hati tersebut dapat mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa perjanjian

kredit di dalam praktek tumbuh sebagai perjanjian baku (standard contract).

Hal ini dikarenakan apabila dilihat berdasarkan pengertian perjanjian baku

yaitu perjanjian yang ketentuan dan syarat-syarat telah dipersiapkan dan

ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pemakainnya dan mengikat

pihak lain, dimana pihak lain tersebut tidak dapat mengubah atau melakukan

tawar-menawar untuk mengubahnya. Dengan demikian maka dapat dikatakan

bahwa perjanjian kredit ini merupakan perjanjian baku.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 64: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

49

Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh

perkembangan masyarakat modern dan perkembangan keadaan sosial

ekonomi, dimana tujuan semula diadakannya perjanjian baku adalah dengan

alasan efisiensi dan alasan praktis. Pengertian perjanjian standar atau

perjanjian baku tidak dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan,

untuk itu dapat dilihat beberapa pendapat dari para sarjana hukum yang

pernah ada.

a. Johannes Gunawan

Mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya telah

ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang

digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para

konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen.

b. E.H. Hondius

Perjanjian standar adalah konsep janji-janji tertulis yang disusun tanpa

membedakan isinya, serta pada umumnya dituangkan dalam perjanjian-

perjanjian yang tidak terbatas jumlahnya, namun sifatnya tertentu.

c. Sri Sudewi Masjchun Sofwan

Perjanjian standar adalah perjanjian yang terbentuknya berdasarkan

peraturan standar.

d. Mariam Darus Badrulzaman

Perjanjian standar merupakan pernjanjian yang isi perjanjian tersebut

sebagian besar telah dibakukan dan pihak lain hanya tinggal

menyetujuinya.

Menurut John J. A. Burke, sebuah perjanjian standar adalah catatan

ditetapkan sebelum berlakunya hak teratur yang digunakan oleh badan usaha

atau perusahaan dalam transaksi dengan konsumen. Isi dari perjanjian standar

adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara

perusahaan dan pihak lain. Perusahaan membutuhkan pihak lain untuk

menerima catatan tanpa perubahan, dan tanpa mengharapkan para pihak

untuk mengetahui atau memahami ketentuan-ketentuannya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 65: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

50

A standard form contract is a pre-established record of legal terms regularly used by a business entity or firm in transactions with customers. The record specifies the legal terms governing the relationship between the firm and another party. The firm requires the other party to accept the record without amendment, and without expecting the party to know or understand its terms. (John J. A. Burke, 2000: 3). Perjanjian baku merupakan salah satu materi yang menjadi muatan

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Dasar pemikirannya

bahwa dalam praktek perjanjian semacam ini sangat dibutuhkan

keberadaannya dalam kegiatan ekonomi, karena selama ini kebutuhan

perjanjian semacam ini belum didukung oleh suatu peraturan perundang-

undangan.

Oleh karena perjanjian atau klausula baku tersebut tidak berada dalam

kerangka perjanjian sebagaimana dimaksud dalam KUHP, maka untuk

melindungi kepentingan konsumen yang pada dasarnya adalah pihak yang

tidak memiliki kemampuan untuk menolak perjanjian atau klausula baku

maka didalam undang-undang ini diadakan pengaturan tersendiri. Pengaturan

ini dimaksud untuk melindungi dan memberikan keseimbangan di dalam

hubungan hukum antara produsen dan konsumen. Oleh karena itu, perjanjian

atau klausula baku ini hanya dapat diterapkan di dalam hubungan hukum

antara produsen dan konsumen. Dalam halnya terjadi hubungan hukum antara

produsen dengan sesama produsen atau pengusaha hendaknya tetap

memberlakukan ketentuan perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata

(Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, 2000: 27). Apabila dilihat secara

yuridis formal dalam membuat suatu perjanjian harus memenuhi asas

perjanjian sebagai syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal

1320 KUH Perdata, yakni sepakat mengikatkan diri, kecakapan untuk

membuat perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang hal. Disamping

itu, terdapat asas lain dalam perjanjian yaitu asas-asas kesetaraan dalam

berkontrak.

Salah satu latar belakang dari lahirnya UUPK adalah agar terdapat

suatu perjanjian yang seimbang antar konsumen dan produsen berdasarkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 66: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

51

asas kesetaraan berkontrak, hal ini dikarenakan berdasarkan fenomena

kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan

konsumen selalu berada dalam posisi yang lemah sehingga diperlukanlah

UUPK untuk dapat melindungi kepentingan konsumen.

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan

definisi tentang perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku dalam

Pasal 1 ayat 10 sebagai :

“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan

mengenai klausula baku ini diatur dalam Bab V tentang Ketentuan

Pencantuman Klausula Baku yang hanya terdiri dari satu pasal, yaitu Pasal

18. Pasal 18 tersebut, secara prinsip mengatur dua macam larangan yang

diberlakukan bagi para pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau

mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Pasal 18

ayat (1) mengatur larangan pencantuman klausula baku, dan Pasal 18 ayat (2)

mengatur bentuk atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang

(Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 54).

Lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan

masyarakat, oleh karena itu guna tetap melindungi kepercayaan masyarakat

terhadap bank, pemerintah harus berusaha melindungi masyarakat dari

tindakan lembaga ataupun oknum pegawai bank yang tidak bertanggung

jawab, dan dapat merusak kepercayaan masyarakat. Apabila suatu saat terjadi

merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan, maka hal

tersebut merupakan suatu bencana bagi ekonomi negara secara keseluruhan

dan keadaan tersebut sangat sulit untuk dipulihkan kembali. Melihat begitu

besarnya resiko yang dapat terjadi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga

perbankan merosot, maka tidak berlebihan apabila usaha perlindungan

konsumen jasa perbankan mendapat perhatian yang khusus. Dengan demikian

dalam rangka usaha melindungi konsumen maka dibentuklah Undang-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 67: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

52

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang

dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum yang kuat untuk pemerintah

maupun masyarakat itu sendiri secara swadaya untuk melakukan

pemberdayaan konsumen (Siti Ummu Adillah, 2004: 28-29).

Terdapat beberapa hal yang mengakibatkan lembaga perbankan tidak

dapat menjalankan Undang-Undang tersebut, dalam arti bahwa apabila

ketentuan dalam Pasal 18 UUPK dijalankan maka akan sangat memberatkan

lembaga perbankan. Kondisi tersebut memberikan implikasi bahwa seakan-

akan lembaga perbankan tidak mengindahkan hukum positif yakni UUPK

karena perjanjian yang dibuat antara nasabah dengan bank seharusnya tunduk

pada UUPK. Fakta tersebut memberikan indikasi adanya pelanggaran hukum

yang dilakukan oleh bank dalam membuat perjanjian dengan nasabah.

Sebagai hukum positif UUPK bersifat memaksa dan dapat

dipertahankan kepada siapapun. Dengan adanya pelanggaran yang dilakukan

oleh bank terhadap Pasal 18 UUPK, berarti secara sosiologis terdapat

permasalahan hukum baik dari segi pembuatan maupun dari segi

pelaksanaanya. Akan tetapi disisi lain, sifat bank yang mempunyai

karakteristik berbeda dengan industri lain juga dijelaskan melalui beberapa

asas dan pikiran serta perundang-undangan. Penjelasan ini berkaitan dengan

alasan yang menjadi dasar argumen oleh bank untuk menimpangi ketentuan

tersebut.

Pencantuman klausul-klausul baku dalam perjanjian kredit pada bank

sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur

maupun nasabah debitur kedua-duanya saling membutuhkan dalam upaya

mengembangkan upayanya masing-masing. Klausul yang demikian ketatnya

didasari oleh sikap bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam

pemberian kredit..

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen memberikan kosekuensi logis terhadap pelayanan

jasa perbankan. Pelaku usaha jasa perbankan oleh karenanya dituntut untuk

(Siti Ummu Adillah, 2004: 29) :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 68: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

53

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan jasa yang diberikannya;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

d. Menjamin kegiatan usaha perbankan berdasarkan ketentuan standar

perbankan yang berlaku.

Tuntutan tersebut merupakan hal yang wajar dalam rangka

menjalankan kehati-hatian di bidang jasa perbankan, para pelaku usaha

perbankan harus mempunyai integritas moral yang tinggi.

Persoalan yang sering timbul dalam aplikasi Pasal 18 UUPK adalah

perbedaan persepsi antara kedua belah pihak untuk menetapkan

keseimbangan dalam berkontrak. Oleh karena itu, sering terjadi dalam suatu

kontrak terdapat anggapan subjektif bahwa perjanjian tersebut kurang atau

tidak terpenuhinya keseimbangan. Hal ini dapat dilihat apabila seseorang

akan berhubungan dengan bank, maka nasabah atau calon nasabah tersebut

wajib menerima klausul baku yang dibuat secara sepihak oleh bank. Nasabah

merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan, perlindungan konsumen

baginya merupakan suatu tuntutan yang tidak boleh diabaikan begitu saja.

Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan unsur yang sangat

berperan sekali, mati hidupnya perbankan bersandar pada kepercayaan dari

pihak masyarakat atau nasabah. Pihak nasabah sering tidak berdaya untuk

mengoreksi klausula baku yang disodorkan oleh bank, dimana pihak nasabah

tanpa pikir panjang akan menandatangani klausula baku tersebut dengan

berbagai alasan, antara lain tulisannya kecil-kecil, bahasanya sulit dimengerti,

tidak memahami isi klausula baku tersebut, terlalu rumit, dan lain-lain.

Persoalan perlindungan hukum nasabah tertuju pada ketentuan

peraturan perundang-undangan serta ketentuan perjanjian yang mengatur

hubungan antara bank dan nasabahnya. Dalam kontek inilah perlu

pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk perlindungan bagi

konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank, hal demikian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 69: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

54

perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilakukan antara bank dengan

nasabah telah dibakukan dalam sebuah perjanjian baku.

Perlindungan konsumen dalam pelayanan bidang perkreditan adalah

pada proses yang harus ditempuh, dan warkat-warkat yang digunakan dalam

pemberian kredit tersebut. Tidak kalah pentingnya pula yaitu saat pengikatan

hukum antara bank dengan nasabah dimana secara hukum biasanya

menyangk0ut dua macam pengikatan berupa perjanjian pokok yakni

perjanjian kredit, dan perjanjian tambahan yakni perjanjian yang mengikuti

perjanjian pokok berupa suatu perjanjian penjaminan. Perlindungan

konsumen tersebut diberikan pada pelayanan jasa perbankan, penyebab

utamanya karena adanya kelemahan pada beberapa klausula perjanjian antara

bank dengan nasabah.

Oleh karena adanya kelemahan pada beberapa klausula perjanjian

antara bank dengan nasabah, yang mengakibatkan kedudukan konsumen

lemah maka diharapkan dengan berlakunya UUPK kedudukan konsumen

yang sebelumnya lemah dapat disetarakan. Dengan demikian, UUPK tersebut

dapat mengeliminasi konflik kepentingan kedua belah pihak dalam hal terjadi

transaksi atau menyelesaikan sengketa jika terjadi dispute.

Dalam ketentuan Pasal 18 ayat 1 dikatakan bahwa para pelaku usaha

dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada

setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh kuasa dari

konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak

langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan

barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 70: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

55

d. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

e. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

f. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang

dibelinya;

g. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

membebankan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap

barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat 2 dijelaskan bahwa pelaku usaha

dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat

atau tidak dapat dibaca secara jelas dan/atau yang pengungkapannya sulit

dimengerti.

Penerapan Pasal 18 ayat 1 dan 2 tersebut paling tidak akan nampak

pada formulir-formulir yang digunakan dalam melakukan transaksi antara

bank dengan nasabah. Sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap

ketentuan Pasal 18 UUPK, maka setiap klausula baku yang telah ditetapkan

oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan

yang dilarang dalam Pasal 18 ayat 1 maupun perjanjian baku atau klausula

baku yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat 2

dinyatakan batal demi hukum. Hal ini merupakan penegasan kembali akan

sifat kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata juncto

Pasal 1337 KUH Perdata.

Perjanjian yang memuat ketentuan mengenai klausula baku yang

dilarang dalam Pasal 18 ayat 1 yang memiliki format sebagaimana dilarang

dalam Pasal 18 ayat 2 dianggap tidak pernah ada dan mengikat para pihak,

pelaku usaha dan konsumen yang melaksanakan transaksi perdagangan

barang dan/atau jasa tersebut. Atas kebatalan demi hukum dari klausula

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat 3, Pasal 18 ayat 4 Undang-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 71: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

56

Undang tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya mewajibkan para

pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan

UUPK.

Walaupun ketentuan klausul baku sudah diatur dalam UUPK, akan

tetapi pada kenyataannya seringkali masih terjadi pelanggaran sehingga akan

merugikan kepentingan nasabah. Maka hal-hal yang harus diperhatikan oleh

pihak bank untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisasi terjadinya

kerugian bagi nasabah karena memang harus dalam bentuk perjanjian standar

antara lain adalah sebagai berikut :

a. Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya

dan berlakunya klausul-klausul penting dalam perjanjian;

b. Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan

perjanjian kredit;

c. Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas;

d. Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi

perjanjian.

Diharapkan apabila adanya kerjasama yang baik antara pihak bank

dengan nasabah, khususnya dalam hal adanya perjanjian standar mengenai

kredit maka diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum

bagi nasabah, sehingga dapat meminimalisir dispute yang berkepanjangan

dikemudian hari.

Hal ini berarti bahwa pada prinsipnya UUPK tidak melarang pelaku

usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap

dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau

jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku atau klausula baku tersebut tidak

mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat 1, serta

tidak berbentuk sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang

tentang Perlindungan Konsumen (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003:

57).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 72: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

57

2. Pelaksanaan Perjanjian Baku Dalam Transaksi Kredit Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya

Dengan lahirnya UUPK diharapkan menjadi payung hukum (umbrella

act) di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya

peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan

perlindungan terhadap konsumen. Karena sebelum Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disahkan, ada beberapa

perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen,

dimana materinya bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen antara

lain :

a. Pasal 202-205 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak secara khusus

menyebutkan kata konsumen dalam mengatur perbuatan yang merugikan

konsumen, tetapi secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang

terdapat dalam KUHP yang memberikan perlindungan hukum bagi

konsumen seperti Pasal 202-205 KUHP.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas merupakan salah satu badan usaha yang relatif

dominan di dalam kegiatan perekonomian Indonesia karena memiliki

sifat, ciri khas dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bentuk badan

usaha lainnya. Sehingga Perseroan Terbatas ini dominan dipergunakan

oleh para pelaku usaha untuk mengembangkan bisnisnya disebabkan

karena Perseroan Terbatas memiliki beberapa keuntungan yang membuat

para pelaku usaha lebih suka mendirikan Perseroan Terbatas.

Berdasarkan hal tersebut, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang dijadikan batasan untuk

pelaku usaha dalam mengembangkan bisnisnya agar tidak merugikan

konsumen. Karena dalam prakteknya apabila dalam mengembangkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 73: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

58

bisnisnya pelaku usaha biasanya hanya mementingkan kepentingan

pribadinya, yang dapat merugikan kepentingan konsumen.

c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan,

mengatur mengenai perlindungan terhadap nasabah salah satunya dalam

Pasal 29 ayat 3 dan 4, khusunya ketentuan yang berpihak kuat untuk

menjadi benteng perlindungan nasabah. Dalam ayat 3 menyebutkan

bahwa bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan

kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Ayat 4

menyebutkan bank wajib memberikan keterangan kepada nasabahnya

mengenai transaksi yang mengandung resiko kerugian bagi nasabah yang

dilaksanakan melalui bank. Namun ketentuan dalam undang-undang ini

hanyalah berupa usaha penekanan kepada para pelaku di bidang

perbankan untuk selalu menaati prinsip kehati-hatian.

Khususnya dalam bidang perbankan perlindungan hukum bagi

nasabah selaku konsumen menjadi urgen, karena secara factual kedudukan

antara para pihak tidak seimbang. Terutama dalam hal perjanjian kredit,

dimana yang seharusnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan para

pihak, akan tetapi karena alasan efisiensi diubah menjadi perjanjian yang

sudah dibuat oleh pihak yang mempunyai posisi tawar yang lebih kuat dalam

hal ini adalah pihak bank. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali

menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank. Oleh

karena itu, oleh hukum hal ini diragukan apakah benar-benar ada elemen kata

sepakat yang merupakan syarat sahnya perjanjian dalam perjanjian kredit

tersebut.

Bank Indonesia selaku bank sentral tidak membuat aturan mengenai

perjanjian baku dalam transaksi kredit yang dibuat oleh Bank Umum maupun

BPR. Oleh karena itu, dalam hal pembuatan perjanjian kredit oleh BPR pada

dasarnya memakai Pasal 1320 KUH Perdata dan SOP bank sebagai acuan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 74: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

59

dalam pembuatan serta pencantuman klausula dalam perjanjian kredit.

Menurut analisa penulis, tidak adanya Peraturan Bank Indonesia yang

spesifik mengatur mengenai perjanjian kredit dapat memberikan celah

terhadap BPR untuk membuat perjanjian atau mencantumkan klausula secara

sepihak berdasarkan apa yang diinginkan bank atau BPR tersebut. Namun

walaupun Bank Indonesia belum membuat Peraturan Bank Indonesia

mengenai perjanjian baku dalam transakasi kredit, akan tetapi Bank Indonesia

menetapkan bahwa Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Kehati-hatian

dalam pengelolaan bank dapat dijadikan sebagai acuan bank dalam

pelaksanaan perjanjian kredit tersebut (hasil wawancara dengan Bapak

Mulyadi, selaku Pengawas Bank/ Asisten Manager di KBI Solo pada tanggal

17 Juli 2012).

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam melaksanakan pencantuman

terhadap klausul-klausul dalam perjanjian kredit yang demikian ketatnya,

didasari oleh sikap bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam

pemberian kredit. Seperti yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan

Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009 tentang Batas Maksimum Pemberian

Kredit Bank Perkreditan Rakyat :

Pasal 2 menyatakan bahwa : BPR wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam membuat perjanjian kredit antara BPR dan peminjam yang mencantumkan penyediaan dana.

Sedangkan Pasal 3 menyatakan bahwa : a. BPR dilarang membuat perjanjian kredit sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 apabila perjanjian kredit tersebut mewajibkan BPR untuk menyediakan dana yang akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPK.

b. BPR dilarang memberikan penyediaan dana yang mengakibatkan pelanggaran BMPK.

Mengingat permasalahan tersebut, dimana bank dapat membuat

perjanjian secara sepihak berdasarkan apa yang diinginkan bank tersebut,

maka timbul suatu keberatan-keberatan terhadap perjanjian baku antara lain :

a. Isi dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 75: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

60

b. Tidak mengetahui isi dan syarat-syarat perjanjian baku dan kalaupun tahu

tidak mengetahui jangkauan akibat hukumnya;

c. Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat;

d. Ada unsur “terpaksa” dalam menandatangani perjanjian.

Oleh karena itu, sesungguhnya dalam perjanjian baku terjadi

ketidaksamaan dan ketidakseimbangan perlindungan hukum terhadap para

pihak, sehingga perjanjian baku itu merupakan perjanjian yang menindas dan

tidak adil. Ini berarti kebebasan berkontrak dapat menciptakan klausul-

klausul yang mencerminkan ketidakadilan dan sangat memberatkan salah satu

pihak bila salah satu pihak tidak seimbang dalam membuat perjanjian (Djoni

S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010: 340).

Pemberian kebebasan kepada para pihak oleh KUH Perdata dalam

menentukan bentuk dan isi perjanjian yang mengikat di antara para pihak

tersebut melalui asas kebebasan berkontrak tidak boleh menciptakan suatu

ketidakadilan yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak konsumen.

Dengan demikian pemberlakuan Pasal 18 UUPK yang membatasi

pencantuman klausula baku dengan melarang beberapa bentuk klausula baku

harus dijadikan pedoman oleh pelaku usaha dalam membuat perjanjian baku

yang akan mengikat para pihak.

Adanya pembatasan tersebut bertujuan melindungi konsumen dari

klausul-klausul yang tidak adil dan merugikan. Pembatasan atas asas

kebebasan berkontrak salah satunya diatur dengan undang-undang, hal ini

dikarenakan asas kebebasan berkontrak dapat diterapkan apabila kedudukan

para pihak seimbang, tetapi apabila tidak seimbang asas kebebasan

berkontrak dapat diterapkan apabila ada pengawasan dari negara yang

bentuknya dapat melalui undang-undang yang secara khusus bertugas

mengawasi keberadaan perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tidak

setara kedudukannya.

Dengan demikian, praktek perjanjian baku pada transaksi kredit juga

merupakan salah satu obyek kebebasan berkontrak yang masuk dan tunduk

pada ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 76: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

61

Konsumen. Sehingga dengan adanya pengaturan klausula baku dalam produk

undang-undang, diharapkan permasalahan kesepakatan atas klausul-klausul

yang tidak wajar tersebut dapat diselesaikan dengan adanya aturan yang

melarang klausul-klausul tersebut. Hal ini juga berhubungan dengan konsep

unconscionability, bahwasannya klausul yang dilarang pencantumannya itu

merupakan klausul yang tidak wajar dan tidak adil. Oleh karena itu, berlaku

juga terhadap klausul-klausul baku termasuk klausul eksemsi dalam

perjanjian atau dokumen-dokumen lainnya. Klausula eksemsi merupakan

klausula yang memberatkan dan banyak muncul dalam perjanjian baku.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini yang dimaksud klausula eksemsi adalah :

“klausula yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.” Dengan adanya pembatasan ini pun pada akhirnya turut membantu

menciptakan peningkatan posisi tawar dari konsumen yang lebih lemah ketika

berhadapan dengan perjanjian baku. Hal ini dikarenakan bahwa pada

pelaksanaan transaksi kredit antara bank dan nasabah debitur merupakan

suatu persoalan yang dilematis, dan terdapat suatu paradigma bahwa bank

dianggap sebagai pihak yang memiliki posisi tawar lebih kuat dibandingkan

dengan debitur. Hal yang memperuncing paradigma ini dikarenakan

penggunaan perjanjian baku dalam praktik perbankan untuk pemberian

berbagai fasilitas kredit perbankan (Johannes Ibrahim, 2004: 115).

Memang dalam masyarakat terdapat kesan bahwa hubungan antara

bank dan nasabah debitur tidak seimbang, dimana bank selalu berada dalam

kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan nasabah debiturnya. Hal ini

dikarenakan nasabah debitur tidak diberikan kebebasan untuk mengemukakan

pendapat dan bernegosiasi dalam menentukan ketentuan dan persyaratan-

persyaratan perjanjian kredit bank seperti yang dipersyaratkan dalam

ketentuan Pasal 1320 juncto Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 77: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

62

Pada waktu kredit akan diberikan, pada umumnya memang bank

dalam kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan nasabah debiturnya.

Hal tersebut karena pada saat pembuatan perjanjian itu, calon nasabah debitur

sangat membutuhkan bantuan kredit itu dari bank. Dalam hal yang demikian

itu pada umumnya calon nasabah debitur tidak akan banyak menuntut karena

mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan dibatalkan oleh bank. Hal itu

menyebabkan posisi tawar bank menjadi sangat kuat, tetapi setelah kredit

diberikan berdasarkan perjanjian kredit, ternyata kedudukan bank lemah.

Kedudukan bank setelah kredit diberikan banyak bergantung kepada

integritas nasabah debitur. Dengan demikian dalam perjanjian kredit bank

timbul semacam kesan, bahwa hubungan antara bank dan nasabah debitur

bukan hubungan kemitraan yang saling memerlukan, namun terlihat para

pihak saling memaksakan kehendaknya.

Namum ada hal yang berbeda dari segi konstruksi sahnya perjanjian

antara konsep sahnya perjanjian menurut KUH Perdata dengan UUPK.

Menurut konsepsi KUH Perdata, apabila syarat subyektif tidak terpenuhi

maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Selain itu harus ada kesepakatan

atau sepakat antara para pihak yang mengadakan perjanjian, dengan demikian

perjanjian itu sah atau mempunyai kekuatan hukum kecuali pihak yang mana

tidak memberikan kesepakatannya atau pihak yang tidak cakap mengajukan

pembatalan. Sedangkan menurut UUPK, perjanjian yang mencantumkan

klausula baku mempunyai konsekuensi yuridis yaitu perjanjian tersebut void

ab initio atau dianggap tidak ada perjanjian atau batal demi hukum. Dalam

prespektif KUH Perdata adanya klausula baku merupakan indikasi tidak

adanya kesepakatan. Perjanjian yang mengandung cacat dalam kesepakatan

mengandung dua kemungkinan. Pertama, bahwa perjanjian tersebut tetap

berlaku bagi pihak-pihak yang menutup perjanjian tersebut. Kedua, perjanjian

tersebut batal karena adanya pembatalan dari pihak dengan siapa ia menutup

perjanjian.

Pemaparan tersebut diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan

perjanjian baku dalam transakasi kredit di bank telah memberikan kesan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 78: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

63

bahwa perjanjian baku tersebut merugikan kepentingan konsumen. Hal

tersebut terlihat dari konsumen yang tidak hanya dihadapkan pada persoalan

ketidakmengertian dirinya ataupun kejelasan akan pemanfaatan, penggunaan

maupun pemakaian barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha,

karena kurang atau terbatasnya informasi yang disediakan, melainkan juga

terhadap bargaining position yang kadang kala sangat tidak seimbang, yang

pada umumnya tercermin dalam perjanjian baku yang tidak informatif, serta

tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh konsumen.

Namun pada sisi lain penerapan perjanjian baku di bank menunjukkan

bahwa tidak semua bank yang melakukan perjanjian baku selalu bertentangan

dengan UUPK. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis di BPR Artha Daya. Berdasarkan wawancara yang dilaksanakan oleh

penulis dengan Trisetya Wahyu Nugroho selaku Direktur PT. BPR Artha

Daya pada tanggal 8 Juni 2012.

BPR Artha Daya dimana tempat penulis melakukan penelitian

termasuk dalam BPR yang bentuk badan hukumnya berupa Perseroan

Terbatas. Berdasarkan PBI Nomor 8/26/PBI/2006 Tentang Bank Perkreditan

Rakyat, disebutkan bahwa bentuk badan hukum BPR dapat berupa :

a. Perseroan Terbatas;

b. Koperasi; atau

c. Perusahaan Daerah

BPR Artha Daya (d/h BPR Swadharma) sudah berdiri sejak tahun

1996, perkembangan kinerja BPR Artha Daya dalam 2 tahun terakhir

menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan dan terlihat bahwa

BPR Artha Daya telah dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan

melaksanakan fungsi intermediasinya sebagai lembaga keuangan mikro

dengan distribusi kredit kepada sekitar 2.000 debitur dan berhasil mencetak

laba tahunan yang signifikan. Berdasarkan modal yang disetor untuk

mendirikan BPR, yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat 1 PBI

Nomor 8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat, yang menyatakan :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 79: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

64

Modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling sedikit sebesar: a. Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan

di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta; b. Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan

di ibukota Provinsi di pulau Jawa dan Bali dan di wilayah Kabupaten atau Kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi;

c. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di ibukota Provinsi di luar pulau Jawa dan Bali dan di wilayah pulau Jawa dan Bali di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a dan huruf b;

d. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), bagi BPR yang didirikan di wilayah lain di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a, huruf b dan huruf c.

BPR Artha Daya termasuk dalam wilayah lain di luar wilayah

sebagaimana disebut dalam huruf a, huruf b dan huruf c dimana jumlah modal

yang disetor adalah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pendirian

BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Bank

Indonesia selaku Bank Sentral. Berikut gambar proses perizinan BPR :

Gambar 5 : Proses Perizinan BPR

Sumber : Bank Indonesia

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 80: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

65

Pelaksanaan perjanjian baku di BPR Artha Daya dilaksanakan sesuai

dengan dasar hukum yang telah ditetapkan antara lain Pasal 1320 KUH

Perdata yang mencakup mengenai syarat syahnya perjanjian, Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya dalam Pasal 18

yang mengatur mengenai pembatasan pencantuman klausula perjanjian baku.

Di BPR Artha Daya dalam melaksanaan perjanjian kredit dilakukan dengan

cara melakukan persetujuan kredit yang disepakati oleh kedua belah pihak

dengan menandatangani pra perjanjian berupa Surat Keputusan Kredit (SKK)

yang telah disediakan sebelumnya dengan syarat dan ketentuan yang telah

ditetapkan (hasil wawancara dengan Bapak Trisetya Wahyu Nugroho selaku

Direktur PT. BPR Artha Daya pada tanggal 8 Juni 2012).

Tidak mustahil pada saat bank dalam memberikan kredit terjadi kredit

bermasalah, dimana keadaan kredit tidak saja kurang lancar atau diragukan,

melainkan kredit tersebut menjadi macet. Apabila kredit yang disalurkan

mengalami kemacetan, maka langkah yang dilakukan oleh bank adalah

berupaya untuk menyelamatkan kredit tersebut dengan berbagai cara

tergantung dengan kondisi nasabah atau penyebab kredit tersebut macet.

Bank yang debiturnya banyak mengalami kredit macet akan berimbas pada

hilangannya kepercayaan dari masyarakat. Dengan demikian, untuk keperluan

tersebut maka pihak bank akan melakukan segala upaya preventif untuk

mencegah agar kredit tidak bermasalah. Di BPR Artha Daya ketika terjadi

kredit bermasalah tindakan yang dilakukan sebagai suatu upaya untuk

meminimalkan potensi kerugian yaitu dengan cara sebagai berikut (hasil

wawancara dengan Bapak Trisetya Wahyu Nugroho selaku Direktur PT. BPR

Artha Daya pada tanggal 8 Juni 2012) :

a. Penyelamatan Kredit

Penyelamatan kredit ini merupakan suatu langkah awal yang dilakukan

oleh BPR Artha Daya dalam menangani kredit bermasalah, dengan cara

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 81: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

66

mengunjungi nasabah debitur dengan memberikan pembinaan terhadap

kelangsungan usahanya.

b. Restucturing, Reschedulling dan Reconditioning

Upaya selanjutnya yang dilakukan BPR Artha Daya apabila dalam tahap

penyelamatan kredit tidak berhasil yaitu dengan melakukan suatu upaya

kombinasi antara restucturing, reschedulling dan reconditioning.

1) Restucturing (Restrukturisasi)

a) Dengan menambah jumlah kredit;

b) Dengan menambah equity.

2) Reschedulling (Penjadwalan kembali)

a) Memperpanjang jangka waktu kredit;

b) Memperpanjang jangka waktu angsuran.

3) Reconditioning (Penyesuaian kembali)

a) Kapitalisasi bunga;

b) Penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu;

c) Penurunan suku bunga;

d) Pembebasan bunga.

b. Pengakhiran Kredit

Apabila kedua tahap diatas tidak berhasil dalam menangani kredit

bermasalah, maka upaya terakhir yang dilakukan oleh BPR Arha Daya

yaitu dengan cara pengakhiran kredit yang dilakukan melalui proses

litigasi maupun non litigasi.

Upaya penyelamatan terhadap kredit bermasalah di BPR telah diatur

juga dalam Pasal 9 PBI Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan Atas PBI

Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif Dan Pembentukan

Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat, yaitu

sebagai berikut :

Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan BPR dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan melalui: a. Penjadwalan kembali, yaitu perubahan jadwal pembayaran

kewajiban debitur atau jangka waktu;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 82: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

67

b. Persyaratan kembali, yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan/atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum plafon kredit;

c. Penataan kembali, yaitu perubahan persyaratan kredit yang menyangkut penambahan fasilitas kredit dan konversi seluruh atau sebagian tunggakan angsuran bunga menjadi pokok kredit baru yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali.

Kriteria nasabah debitur yang dapat direstrukturisasi, yaitu :

a. Debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga

kredit; dan

b. Debitur yang memiliki prospek usaha yang baik dan diperkirakan mampu

memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi.

Bank Indonesia selaku pengawas berwenang melakukan koreksi

terhadap penetapan kualitas restrukturisasi kredit, pembentukan PPAP

(Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif) dan pendapatan bunga yang telah

diakui secara aktual, apabila :

a. Restrukturisasi Kredit menurut penilaian Bank Indonesia ternyata

dilakukan dengan tujuan menghindari penurunan kualitas kredit,

pembentukan PPAP dan pengakuan pendapatan bunga secara akrual;

b. Debitur tidak melaksanakan perjanjian atau akad Restrukturisasi Kredit;

dan

c. Restrukturisasi Kredit dilakukan secara berulang dengan tujuan hanya

untuk memperbaiki kualitas Kredit tanpa memperhatikan prospek usaha

Debitur.

Dalam hal penentuan suku bunga kredit, BPR telah diberikan

keleluasaan untuk menentukan suku bunga kredit yang akan digunakan tetapi

tetap berpedoman pada suku bunga acuan bank. Terdapat dua metode dalam

sistem perhitungan suku bunga yaitu efektif dan flat, namun dalam

prakteknya terdapat modifikasi dari metode efektif yang disebut dengan

metode anuitas. Metode efektif yaitu perhitungan bunga dilakukan setiap

akhir periode pembayaran angsuran. Pada perhitungan ini, bunga kredit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 83: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

68

dihitung dari saldo akhir setiap bulannya sehingga bunga yang dibayar

debitur setiap bulannya semakin menurun. Dengan demikian, jumlah

angsuran yang dibayar debitur setiap bulannya akan semakin mengecil.

Metode flat yaitu perhitungan bunga didasarkan pada plafond kredit dan

besarnya bunga yang dibebankan dialokasikan secara proporsional sesuai

dengan jangka waktu kredit. Dengan cara ini, jumlah pembayaran pokok dan

bunga kredit setiap bulan sama besarnya. Sedangkan metode anuitas yaitu

jumlah angsuran bulanan yang dibayar debitur tidak berubah selama jangka

waktu kredit. Namun demikian komposisi besarnya angsuran pokok maupun

angsuran bunga setiap bulannya akan berubah dimana angsuran bunga akan

semakin mengecil sedangkan angsuran pokok akan semakin membesar.

Sedangkan sifat dari perhitungan suku bunga, terdiri dari suku bunga

tetap (Fixed) dan suku bunga mengambang (Floating Rate). Suku bunga tetap

(Fixed) merupakan suku bunga yang bersifat tetap, besarnya bunga yang

harus dibayar debitur selama jangka waktu yang diperjanjikan tidak akan

berubah. Sedangkan suku bunga mengambang (Floating Rate) merupakan

suku bunga yang bersifat mengambang, besarnya bunga yang harus dibayar

debitur dapat berubah sesuai dengan tingkat suku bunga yang ditetapkan oleh

bank.

Di BPR Artha Daya dalam menentukan suku bunga kredit

menggunakan sistem flat dengan sifat perhitungan suku bunga tetap (Fixed),

dengan prosentase tingkat suku bunga 2% per bulan. Menurut Trisetya

penggunaan sistem flat ini didasari agar dapat lebih memahami nasabah

mikro, dimana dengan suku bunga tetap terdapat kepastian besarnya suku

bunga yang harus dibayar setiap periodenya oleh nasabah debitur sehingga

bisa sesuai dengan cash flow nasabah debitur. Hal ini telah sesuai dengan

peran BPR dalam mendukung pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah (UMKM) (hasil wawancara dengan Bapak Trisetya Wahyu

Nugroho selaku Direktur PT. BPR Artha Daya pada tanggal 8 Juni 2012).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 84: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

69

Dalam pelaksanaan transaksi kredit di BPR Artha Daya dilakukan

dengan perjanjian tertulis (baku) yang dibuat oleh BPR Artha Daya.

Perjanjian kredit di BPR Artha Daya mengatur mengenai :

a. Pasal 1 mengatur fasilitas kredit yang terdiri dari (i) jenis, jumlah, jangka

waktu dan bunga, (ii) penarikan fasilitas kedit, (iii) pembayaran kembali;

b. Pasal 2 mengatur mengenai kuasa-kuasa;

c. Pasal 3 mengatur pernyataan dan jaminan;

d. Pasal 4 mengatur mengenai kompensasi;

e. Pasal 5 mengatur perlindungan terhadap penghasilan bank;

f. Pasal 6 mengatur pengalihan hak;

g. Pasal 7 mengatur peristiwa kelalaian;

h. Pasal 8 mengatur mengenai jaminan; dan

i. Pasal 9 mengenai ketentuan penutup.

Berdasarkan analisa penulis meskipun BPR Artha Daya telah

melakukan penyesuaian perjanjian kredit terhadap ketentuan Pasal 18 UUPK,

hanya saja ketentuan tersebut tidak sepenuhnya diterapkan hal ini terlihat

bahwa isi perjanjian yang dibuat antara BPR Artha Daya dan nasabah masih

terdapat beberapa klausula baku yang masih berlaku yang secara prinsip

bertentangan dengan Pasal 18 UUPK, dimana isi perjanjian tersebut

menitikberatkan kepada kewajiban atau beban yang harus dipikul oleh

nasabah. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 5, yang menyebutkan bahwa :

a. Semua biaya yang dapat ditagih dan harus dibayar dan yang timbul berdasarkan perjanjian ini dan segala akibat dari pada perjanjian ini, termasuk tapi tidak terbatas kepada, biaya-biaya yang bertalian dengan penyimpanan dan pemilikan jaminan, upah serta beban-beban dan setiap pembayaran yang harus dibayar bank kepada pengacara dan/atau penasehat hukum dan/atau pihak lain yang diberi tugas oleh bank untuk menagih kredit tersebut, biaya-biaya dan jasa notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah, segala ongkos-ongkos yang bersangkutan dengan realisasi jaminan itu, termasuk komisi dan pembayaran-pembayaran lainnya kepada pihak ketiga, demikian pula pajak (seperti, namun tidak terbatas pada bea materai) daripada perjanjian ini (termasuk segala perubahan dan/atau penambahannya) menjadi tanggungan debitur.

b. Juga apabila terjadi perubahan pada Undang-Undang, peraturan perundang-undangan, petunjuk pelaksanaannya atau penafsirannya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 85: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

70

atau hal-hal lain yang mengakibatkan bertambah biaya (seperti, namun tidak terbatas pada pengenaan pajak, bea, pungutan atau biaya lain) pada bank sehubungan dengan pemberian fasilitas kredit dalam perjanjian ini merupakan tanggungan debitur.

c. Maka sejak tanggal permintaan bank, debitur wajib dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari membayar tambahan biaya-biaya tersebut kepada bank.

Seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 18 ayat 1 huruf g UUPK,

yakni bahwa bank menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang

berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang

dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa

yang dibelinya. Dari ketentuan tersebut telah dijelaskan bahwa bank dilarang

mencantumkan klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 1 huruf

g tersebut, namun dalam Pasal 5 pada perjanjian kredit BPR Artha Daya,

menurut analisa penulis bertentangan dengan Pasal 18 ayat 1 huruf g tersebut.

Bahwa Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan bahwa :

a. Segala ongkos-ongkos yang bersangkutan dengan realisasi jaminan

tersebut, termasuk komisi dan pembayaran-pembayaran lainnya kepada

pihak ketiga, demikian pula pajak daripada perjanjian ini (termasuk

segala perubahan dan/atau penambahannya) menjadi tanggungan debitur.

b. Apabila terjadi perubahan pada Undang-Undang, peraturan perundang-

undangan, petunjuk pelaksanaannya atau penafsirannya atau hal-hal lain

yang mengakibatkan bertambah biaya (seperti, namun tidak terbatas pada

pengenaan pajak, bea, pungutan atau biaya lain) pada bank sehubungan

dengan pemberian fasilitas kredit dalam perjanjian ini merupakan

tanggungan debitur.

Pasal 18 ayat 1 huruf g tersebut dimaksudkan untuk melindungi

konsumen dari pecantuman klausula baku oleh pihak pembuat perjanjian

yang dapat merugikan kepentingan konsumen, dimana dalam hal ini dapat

terjadi pembebanan resiko secara sepihak kepada konsumen diluar kredit

nasabah debitur. Berdasarkan analisa penulis, selain dalam Pasal 5 perjanjian

kredit BPR Artha Daya, sebagian besar ketentuan dalam perjanjian kredit

BPR Artha Daya telah melakukan penyesuaian terhadap Pasal 18 UUPK.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 86: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

71

Meskipun dalam hal ini tidak sepenuhnya diterapkan karena BPR juga

memikirkan terhadap dampak kondisi kesehatan BPR itu sendiri.

Oleh sebab itu, demi menjaga perkembangan usahanya di dalam

persaingan yang semakin ketat serta menanggapi akan kebutuhan masyarakat,

maka pihak BPR berusaha mengelola dana agar beroperasi dengan baik.

Perwujudan dari kesungguhan BPR dalam mengelola dana masyarakat adalah

dengan menjaga kesehatan kinerjanya, karena kesehatan bank sangat penting

bagi suatu lembaga keuangan (Aris Sunindyo dan Taufig Abdul Qohhar.

Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan Menggunakan Rasio Likuiditas,

Rentabilitas dan Solvabilitas. http://www.scribd.com/doc/86304319/

Penilaian-Tingkat-KesehatanBank).

Pada dasarnya tingkat kesehatan BPR dinilai dengan pendekatan

kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kodisi dan

perkembangan suatu bank yang meliputi aspek permodalan (Capital), kualitas

aktiva produktif (Asset Quality), manajemen (Management), rentabilitas

(Earning) dan likuiditas (Liquidity) yang disingkat CAMEL. Pengawas

menggunakan informasi yang diperoleh untuk menilai lima komponen kinerja

bank termasuk sistem penilaian CAMEL (modal, kualitas aset, manajemen,

rentabilitas, dan likuiditas) yang diberikan penilaian dari skala 1 hingga 5

sebagai berikut:. Skala 1, berarti kinerja yang kuat; 2, kinerja yang

memuaskan; 3, kinerja yang cacat sampai tingkat tertentu; 4, marjinal kinerja

yang jauh di bawah rata-rata; dan 5, kinerja tidak memuaskan dan segera

membutuhkan tindakan perbaikan.

Regulators use the information obtained through on-site exams to rate the five components of bank performance included in the CAMEL rating system capital adequacy, asset quality, management, earnings, and liquidity on a scale of 1 to 5 as follows: 1, strong performance; 2, satisfactory performance; 3, performance that is flawed to some degree; 4, marginal performance that is significantly below average; and 5, unsatisfactory performance that is critically deficient and in need of immediate remedial action. (Rebel A. Cole dan Jeffery W. Gunther, 1998: 107).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 87: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

72

Hasil penilaian yang ditetapkan ada empat predikat yaitu sehat, cukup

sehat, kurang sehat dan tidak sehat. Bank yang sehat adalah bank yang dapat

menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat, menjalankan fungsi

intermediasi, dapat membentuk kelancaran lalu lintas pembayaran serta dapat

mendukung efektifitas kebijakan moneter. Menyadari arti pentingnya

kesehatan suatu bank bagi pembentukan kepercayaan dalam dunia perbankan

serta untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam dunia perbankan, maka

Bank Indonesia selaku Bank Sentral mempunyai peranan yang penting dalam

penyehatan perbankan, karena Bank Indonesia bertugas mengatur dan

mengawasi jalannya kegiatan operasional bank. Untuk itu Bank Indonesia

menetapkan suatu ketentuan atau aturan yang harus dipenuhi dan

dilaksanakan oleh lembaga perbankan.

Hal ini sejalan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank

Indonesia, antara lain :

a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan

c. Mengatur dan mengawasi bank.

Tugas dan wewenang Bank Indonesia dalam hal mengatur dan

mengawasi bank merupakan hal yang mutlak dilaksanakan dalam

pelaksanaan penyaluran dana ke masyarakat dalam bentuk kredit. Bank

Indonesia sebagai pengawas perbankan nasional berkepentingan untuk dapat

menciptakan sistem perbankan yang sehat yang nantinya dapat mendorong

efektivitas kebijakan moneter. Mengingat hal tersebut, maka sejalan dengan

salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia

(API) yang mengatur mengenai pengawasan perbankan telah diatur mengenai

program peningkatan fungsi pengawasan yang bertujuan untuk meningkatkan

independensi dan efektivitas pengawasan perbankan yang dilakukan oleh

Bank Indonesia. Hal ini dicapai dengan peningkatkan kompetensi pemeriksa

bank, peningkatan koordinasi antar lembaga pengawas, pengembangan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 88: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

73

pengawasan berbasis risiko, peningkatkan efektivitas enforcement, dan

konsolidasi organisasi sektor perbankan di Bank Indonesia. Dalam tahapan

program peningkatan fungsi pengawasan ini, telah diatur secara spesifik

mengenai BPR dalam hal reorganisasi sektor perbankan di Bank Indonesia

dan penyempurnaan infrastruktur pendukung pengawasan bank. Berikut tabel

tahapan program peningkatan fungsi pengawasan, yang didapatkan dari

website Bank Indonesia (http://www.bi.go.id/web/id/ Perbankan/ Arsitektur+

Perbankan+Indonesia/Pengawasan+Perbankan/.)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 89: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

74

No Kegiatan (Pilar III) Periode Pelaksanaan

1 Meningkatkan koordinasi dengan lembaga pengawas lain

a.

Membuat MoU dengan lembaga pengawas lembaga keuangan lain dalam rangka peningkatan efektifitas pelaksanaan pengawasan bank dan pemantauan SSK.

2004-2006

2 Melakukan reorganisasi sector perbankan di Bank Indonesia

a. Menyempurnakan High Level Organization Structure (HLOS) Sektor Perbankan Bank Indonesia 2004-2006

b. Mengkonsolidasikan satker pengawasan dan pemeriksaan termasuk pembentukan Pooling Spesialist

2004-2006

c. Mengkonsolidasikan Direktorat Pengawasan BPR dan Biro Kredit di Bank Indonesia termasuk mengalihkan fungsi: · Penelitian dan pengembangan UMKM dari Biro Kredit ke

Unit Khusus Pengelolaan Aset · Pemeriksaan kredit dari Biro Kredit ke Direktorat

Pengawasan Bank Umum

2006-2007

d. Menyempurnakan organisasi Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat (DPBPR) untuk mengakomodasi pengalihan fungsi penjaminan BPR ke Lembaga Penjamin Simpanan serta pemindahan fungsi perizinan BPR baru dan fungsi penelitian dan pengaturan ke satuan kerja lain di Bank Indonesia.

2005-2006

e. Menyempurnakan organisasi Direktorat Perbankan Syariah. 2005-2006

3 Menyempurnakan Infrastruktur Pendukung Pengawasan Bank a. Meningkatkan kompetensi pengawas bank umum dan BPR

baik konvensional maupun syariah antara lain melalui program sertifikasi dan attachment di lembaga pengawas internasional

2004-2005

b. Penyiapan SDM Pengawas Spesialis 2006-2007

c. Menyempurnakan IT pengawasan bank 2005-2006

d. Menyempurnakan sistem pelaporan BPR 2005-2007

e. Menyempurnakan manajemen dokumen pengawasan bank 2005-2006

4 Menyempurnakan implementasi sistem pengawasan berbasis risiko dan Menyempurnakan pedoman dan alat bantu pengawasan dalam mendukung implementasi pengawasan berbasis risiko bank umum konvensional dan syariah

2004-2005

5 Meningkatkan efektivitas enforcement a.

Menyempurnakan proses investigasi kejahatan Perbankan

2004-2005

b.

Meningkatkan transparansi pengawasan dalam mendukung efektifitas enforcement

2006

c. Meningkatkan perlindungan hukum bagi pengawas Bank 2006

Tabel 2 : Tahapan Program Peningkatan Fungsi Pengawasan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 90: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

75

Sehubungan dengan tugas pengawasan bank ini, berdasarkan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yang menyebutkan

bahwa Bank Indonesia diberi wewenang untuk mengatur dan mengawasi

bank yang meliputi :

a. Menetapkan peraturan di bidang perbankan;

b. Memberikan dan mancabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha

tertentu dari bank;

c. Melakukan pengawasan bank secara langsung maupun tidak langsung; dan

d. Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia terhadap BPR sama

halnya dengan pengawasan terhadap bank umum. Pembinaan dan

pengawasan bank pada umumnya yang dilakukan oleh Bank Indonesia telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,

pada Bab IV Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal

35, Pasal 36, dan Pasal 37. Pengawasan Bank Indonesia terhadap BPR sendiri

meliputi :

a. Pemberian bantuan dan layanan perbankan kepada lapisan masyarakat

yang rendah yang tidak terjangkau bantuan dan layanan bank umum,

yaitu dengan memberikan pinjaman kepada pedagang/pengusaha kecil di

desa dan di pasar agar tidak terjerat rentenir dan menghimpun dana

mayarakat;

b. Membantu pemerintah dalam ikut mendidik masyarakat guna memahami

pola nasional dengan adanya akselerasi pembangunan; dan

c. Penciptaan pemerataan kesempatan berusaha bagi masyarakat.

Pengawasan terhadap BPR di Surakarta sendiri oleh Kantor Bank

Indonesia Solo dilakukan dalam dua tahap yaitu dengan cara pengawasan

pasif dan pengawasan aktif. Pengawasan pasif dilakukan dengan cara

menerima laporan-laporan dari BPR di Surakarta, dimana laporan-laporan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 91: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

76

tersebut terdiri dari laporan nasabah, laporan bulanan, laporan semesteran,

laporan tahunan, laporan BMPK dan laporan publikasi. Apabila hingga batas

waktu yang ditentukan BPR tidak memberikan laporan-laporan tersebut ke

Kantor Bank Indonesia Solo maka akan dikenai pemberian sanksi, berupa

sanksi denda yang telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor:

7/51/PBI/2005 tentang Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat.

Sedangkan pengawasan aktif dilakukan dengan cara Kantor Bank Indonesia

Solo melakukan pemeriksaan langsung terhadap BPR yang dilakukan satu

tahun sekali, dalam tahap pemeriksaan ini Kantor Bank Indonesia Solo pun

memberikan pembinaan terhadap BPR apabila melakukan penyimpangan

aturan terhadap regulasi perbankan. Pembinaan ini dilakukan baik secara

langsung dengan cara teguran, atau dengan cara mengirimkan surat kepada

bank yang terkait (hasil wawancara dengan Bapak Mulyadi, selaku Pengawas

Bank di KBI Solo pada tanggal 17 Juli 2012).

Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, Bank Indonesia

menetapkan regulasi perbankan berdasarkan prinsip kehati-hatian yang

disesuaikan dengan standar yang berlaku secara internasional. Regulasi

perbankan tersebut bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi

penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan baik bank umum/konvensional

maupun BPR, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Mengingat

pentingnya tujuan mewujudkan sistem perbankan yang sehat, maka regulasi

dibidang perbankan yang ditetapkan Bank Indonesia harus didukung dengan

sanksi-sanksi yang adil.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 92: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

77

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Dari hasil penelitian serta analisis-analisis yang telah penulis uraikan pada

pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Ketentuan Perjanjian Baku Dalam Transaksi Kredit Ditinjau Dari Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

a. Pemberian kredit bank wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara

tertulis. Hal tersebut bertujuan agar lebih bersifat aman bagi para pihak

serta sebagai panduan bank dalam perencanaan, pelaksanaan,

pengorganisasian, dan pengawasan dalam pemberian kredit yang

dilakukan oleh bank. Dalam prakteknya perjanjian kredit tumbuh sebagai

perjanjian baku. Dikarenakan perjanjian kredit dibuat secara tertulis dan

sepihak, yaitu perjanjian yang ketentuan dan syarat-syarat telah

dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, dimana

pihak lain tersebut tidak dapat mengubah atau melakukan tawar-menawar

untuk mengubahnya. Dalam pembuatan perjanjian kredit menggunakan

acuan Pasal 1320 KUH Perdata dan Peraturan Bank Indonesia tentang

Prinsip Kehati-hatian dalam pengelolaan bank.

b. Dalam UUPK pencantuman klausul-klausul baku dalam perjanjian kredit

bank pada prinsipnya tidak dilarang, akan tetapi dalam pembuat

perjanjian kredit tersebut bank harus menyesuaikan dengan aturan

mengenai perjanjian baku yang secara spesifik diatur dalam Pasal 18

UUPK.

2. Pelaksaaan Perjanjian Baku Dalam Transaksi Kredit Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Di Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya

a. BPR Artha Daya dalam melaksanakan pemberian kredit menggunakan

perjanjian kredit yang dibuat secara sepihak, yang sebelumnya kedua

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 93: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

78

belah pihak harus menandatangani pra perjanjian berupa Surat Keputusan

Kredit (SKK). Setelah SKK ditandatangani oleh kedua belah pihak maka

selanjutnya dibuatlah perjanjian kredit yang kemudian ditandatangani

oleh kedua belah pihak.

b. Klausula baku dalam perjanjian kredit di BPR Artha Daya jika dikaitkan

dengan UUPK, sebagian besar telah sesuai dengan Pasal 18 UUPK, akan

tetapi Pasal 5 dalam perjanjian kredit di BPR Artha Daya bertentangan

dengan Pasal 18 ayat 1 huruf g yang menyebutkan jika terdapat

penambahan dana diluar kredit nasabah maka akan menjadi tanggungan

nasabah peminjam kredit. Padahal dalam Pasal 18 ayat 1 huruf g

menyatakan mengenai larangan tunduknya konsumen terhadap ketentuan

baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan penulis diatas, penulis memberikan beberapa

saran yang perlu diperhatikan terkait rumusan masalah penulis, antara lain :

1. Meskipun UUPK telah mengatur tentang pembatasan pencantuman klausula

baku yang bersifat merugikan konsumen dalam perjanjian yang dibuat secara

baku, akan tetapi tetap perlu dilakukan suatu pengawasan yang berkelanjutan

terhadap keberadaan klausula baku karena ketentuan dalam UUPK tersebut

sangat terbatas, sedangkan kebutuhan dan perkembangan klausula baku

dalam masyarakat menunjukkan peningkatan karena keberadaan klausula

baku tersebut secara riil memang diperlukan untuk tujuan keefektifan waktu

dan biaya.

2. Pada prinsipnya pencantuman klausula baku dalam perjanjian kredit tidak

dilarang, namun BPR selaku pembuat perjanjian kredit harus tetap

mementingkan perlindungan nasabah sebagai konsumen. Oleh karena itu,

perjanjian kredit yang telah disediakan oleh BPR, khusunya BPR Artha Daya

agar meninjau kembali sehingga kepentingan konsumen didalamnya tetap

dapat terlindungi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 94: IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI …...i implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

79

3. Berkaitan dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi

oleh calon nasabah debitur, hendaknya calon nasabah debitur sebelum

menandatangani perjanjian kredit lebih mencermati dan mempelajari isi dari

perjanjian kredit tersebut. Karena nasabah memiliki hak untuk memilih bank

atau BPR yang menyediakan pelayanan jasa pemberian kredit yang tentunya

tetap melindungi kepentingan konsumen atau nasabah itu sendiri dan

pengadaan perjanjian kreditnya pun menguntungkan kedua belah pihak baik

nasabah maupun BPR.

4. Dalam rangka menegakkan hak-hak normatifnya, nasabah harus proaktif

untuk membela hak-haknya apabila dilanggar oleh Bank. Untuk itu segala

upaya harus dilakukan dengan memanfaatkan sarana hukum yang ada baik

perdata, maupun publik (Administratif/pidana).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user