implementasi kebijakan pemungutan pajak bumi dan bangunan

104
i Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Magister Program Studi Magister Administrasi Publik Oleh: Larmanto NIM. S. 2405017 PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008

Upload: lengoc

Post on 11-Jan-2017

219 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

i

Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Tesis

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Magister

Program Studi Magister Administrasi Publik

Oleh:

Larmanto

NIM. S. 2405017

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2008

Page 2: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

ii

Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Oleh:

LarmantoNIM. S. 2405017

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing :

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Dr. P. Israwan Setyoko, M.S.

Pembimbing II Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si.

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik

Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.NIP. 131 884 423

Page 3: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

iii

Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Oleh:

LarmantoNIM. S. 2405017

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.

Sekretaris Dra, Kristina Setyowati, M.Si.

Anggota Penguji Dr. P. Israwan Setyoko, M.S.

Anggota Penguji Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si.

Mengetahui

Ketua Program Studi MAP

Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.NIP. 131 884 423

Direktur Program PascaSarjana

Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D.NIP 131 472 192

Page 4: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

iv

PERNYATAAN

Nama : LarmantoNIM. : S. 2405017

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Implementasi Kebijakan

Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten

Karanganyar adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya,

dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia,

menerima sangksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari

tesis tersebut.

Surakarta, Februari 2008

Yang membuat pernyataan

Larmanto

Page 5: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

v

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas limpahan

Kasih dan KaruniaNya penulis diberi kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan

tesis dengan judul Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Penelitian ini dilaksanakan untuk memenuhi sebagian persyaratan

mencapai derajat Magister pada Program Studi Magister Administrasi Publik dengan

konsentrasi Kebijakan Publik. Tesis ini dapat terselesaikan atas bantuan dan

dukungan banyak pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa

hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D. Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta staf yang telah memberikan segala

fasilitas dan kesempatan untuk penyelesaian tesis ini..

2. Bapak. Dr. P. Israwan Setyoko, MS. selaku Pembimbing I yang dengan sabar

dan bijaksana senantiasa memberikan pengarahan dan bimbingan yang terbaik

untuk penulisan tesis ini.

4. Bapak Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si, selaku Pembimbing II yang senantiasa

dengan penuh kesabaran memberikan petunjuk dan koreksi dalam penulisan tesis

ini.yang telah membantu dan memotivasi dalam penyelasaian tesis ini.

5. Segenap staf pengajar Magister Administrasi Publik atas pengetahuan dan

ketrampilan yang telah diberikan.

Page 6: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

vi

6. Drs. Sugiharto, Selaku Camat Jaten Kabupaten Karanganyar, dan para staf yang

telah dengan sabar memberikan informasi dan data untuk tesis ini.

7. Orang Tua, Istri, dan Anakku yang tak henti-hentinya membangkitkan semangat

hidup untuk lebih maju.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan. Karenanya segala sesuatu yang menjadi kekurangan dari tesis ini

dapat dijadikan renungan bagi semua pihak untuk mengadakan penelitian yang lebih

tajam dan mendalam berkaitan dengan permasalahan tesis ini.

Akhirnya Semoga tesis ini bermanfaat dan dapat membangkitkan

kepedulian terhadap upaya peningkatan pembangunan bangsa. Kiranya Tuhan

Memberkati kita semua, Amin.

Surakarta, Februari 2008

LarmantoS. 2405017

Page 7: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

vii

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul……………………………………………………..…… i.

Halaman Pengesahan Pembimbing ……………………………………. ii.

Halaman Pengesahan Tesis ……………………………………………. iii.

Pernyataan……………………………………………………………... iv.

Persembahan…………………………………………………………… v.

Kata Pengantar………………………………………………………… vi.

Daftar Isi………………………………………………………………. vii.

Daftar Tabel…………………………………………………………… viii.

Daftar Gambar………………………………………………………… ix.

Abstract………………………..……………………………………… x.

BAB I PENDAHULUAN 1A. Latar Belakang Masalah…………………..…………….. 1B. Perumusan Masalah……………………………………... 6C. Tujuan Penelitian………………………………………... 7D. Manfaat Penelitian……………………………………… 7

BAB II KAJIAN TEORI . . . . . . ………………………………….. 8A. Konsep Implementasi Kebijakan...…………………….. 8B Pemungutan PBB Sebagai Kebijakan Publik ..……….. 19C. Pemungutan dan Pembayaran PBB . . ..………………. 25D. Kerangka Berpikir ......……………………………. 32

BAB III METODE PENELITIAN 35

A Lokasi …………………….…………………………. 35B. Jenis Penelitian………………………………………… 35C. Fokus dan aspek Kajian . ……………………………… 37D. Data dan Sumber Data. ..………………………………. 37E. Teknik Teknik Penentuan Informan …………................ 38F. Teknik Pengumpulan data …………..………………… 38G. Uji Validitas Data ……………………………………. 38H. Teknik Analisis Data…………………………………… 39

Page 8: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

viii

HalamanBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 41

A. Hasil Penelitian. .............................………………… 41B. Implementasi Pemungutan PBB di Kabupaten

Karanganyar ……………………………………44

I. Isi Kebijakan …………………………………… 46 2. Sumber Daya manusia. …………………………… 55 3. Kepatuhan Pelaksana. . . .…………………………… 59 4. Komunikasi………………………………………… 67

5. Faktor Faktor –Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Implementasi Pemungutan PBB ………………

75

BAB V PENUTUP 86A. Kesimpulan………………………………………… 86B. Implikasi…………………………………………… 89C. Saran………………………………………………… 90

DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 9: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Penerimaan PBB dari Tahun 2000 sampai dengan 2005 di Kabupaten Karanganyar

2

Tabel 2 Data Realisasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten 3

Tabel 3 Data Kontribusi Penerimaan PBB Kecamatan Jaten dibandingkan Penerimaan PBB Tingkat kabupaten Karanganyar 4

Tabe 4 Luas Wilayah per Desa di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

42

Tabel 5 Tingkat Pendidikan Kepala Dusun Di Kecamartan Jaten Kabupaten Karanganyar Tahun 2005 58

Page 10: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Model Implementasi Kebijakan Grindle 13

Gambar 2 Model Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian

15

Gambar 3 Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter & Van Horn

18

Gambar 1 Skema Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan 28

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian Implementasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

29

Gambar 3 Fokus dan aspek kajian penelitian 34

Gambar 4 Model Analisis Interaktif 38

Page 11: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

xi

ABSTRAK

Larmanto S. 2405017, 2007. Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. Tesis Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dan untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB.

Teori yang dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn (1975) dan model Grindle (1980).

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan dukungan data kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Validitas data dilakukan dengan triangulasi data. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data interaktif.

Hasil analisis dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :(1) Dalam kebijakan Pemungutan PBB terdapat pemisahan kewenangan yang bersifat administratif dan operasional antara Departemen Keuangan dengan Pemerintah Kabupaten Karanganyar (2) Sumber daya manusia terdiri dari para kepala dusun sebagai petugas pemungut yang sangat mengetahui situasi wilayahnya. (3) kepatuhan pelaksana dalam menyalurkan SPPT PBB tidak dapat dilakukan tepat sesuai dengan alokasi waktu (4) Kepatuhan dalam pengadministrasian PBB belum berjalan dengan baik, (5) Sistem penghargaan (rewards) dan hukuman (punisment) telah dilakukan (6) Peraturan PBB kurang memberi sanksi yang jelas dan tegas.

faktor yang dapat menghambat keberhasilan implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar antara lain keterlambatan dan kesalahan dalam SPPT yang dikeluarkan KP PBB, belum ada shock therapyterhadap wajib pajak yang tidak membayar PBB, Kepatuhan aparat pelaksana masih kurang, lemahnya pengadministrasian dalam mutasi SPPT PBB. Banyak Pemilik tanah di Kecamatan Jaten yang berdomisili di luar wilayah Kecamatan

Faktor pendukung yang mendorong keberhasilan Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten adalah sebagai berikut : Komitmen pimpinan wilayah, Sistem rewards berupa hadiah undian,

Saran dalam penelitian ini adalah (1) Perlu ada shock therapy berupa sanksi yang tegas terhadap wajib pajak yang menunggak PBB (2) Perlu adanya penyempurnaan sistem administrasi pertanahan yang mengatur kewajiban dan kewenangan Pejabat Pembuat Akte Tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan KP PBB agar setiap mutasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah diikuti dengan mutasi SPPT PBB (3) Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektoral antara Dipenda, Kantor KP PBB, Kecamatan dan Desa (4) mekanisme upah pungut perlu ditata ulang.

Page 12: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Untuk memenuhi tuntutan perkembangan jaman yang semakin maju,

dibutuhkan pemerintahan yang responsif dan mandiri. Sejak diberlakukannya

otonomi daerah, Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih kreatif mencari

terobosan untuk meningkatkan pendapatan daerahnya. Sumber-sumber

pendapatan daerah terdiri dari komponen Pendapatan Asli Daerah Sendiri

(PADS), Dana Alokasi dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari dari Dana

Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), Pinjaman daerah

dan penerimaan lain yang sah. Pendapatan daerah dari sektor pajak termasuk

dalam komponen pendapatan asli daerah yang nilainya signifikan

dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya. Pada sektor pajak,

sumbangan terbesar untuk PADS Kabupaten Karanganyar diberikan oleh

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu sebesar 23,3 % pada tahun 2005.

Penerimaan daerah dari sektor PBB telah diatur dalam undang-undang

nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, sebagimana telah

disempurnakan dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak

Bumi Dan Bangunan., dimana pembagiannya ditetapkan untuk pemerintah

pusat 10 %, Pemerintah Provinsi 16,2 %, Pemerintah Kabupaten 64,8 % dan

Upah Pungut 9 %. Bagi pemerintah daerah pemasukan dari pembagian

pemasukan PBB ini cukup penting dalam menopang jalannya

Page 13: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

2

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, oleh karena itu

dibutuhkan adanya menajemen yang baik untuk mengendalikan penagihan

PBB ini.

Kenyataan yang terjadi di Kabupaten Karanganyar, pendapatan dari

sektor PBB belum dapat mencapai target seperti yang diharapkan. Data

penerimaan PBB dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang fluktuatif.

Kecenderungan fluktuasi Penerimaan PBB ini dapat dilihat dalam tabel 1

sebagai berikut :

Tabel 1

Penerimaan PBB dari Tahun 2000 sampai dengan 2005

di Kabupaten Karanganyar

Sumber : Kantor Dipenda Kabupaten Karanganyar, 2006.

Data diatas menunjukkan rata-rata setiap tahun terjadi peningkatan

realisasi penerimaan yang cukup besar. Meskipun pada tahun sebelumnya

masih ada tunggakan tetap saja terjadi kenaikan realisasi PBB. Besarnya

tunggakan dari tahun ke tahun tidak menunjukkan trend yang konstan

melainkan bersifat fluktuatif.

No Tahun Target ( Rp)

Realisasi ( Rp)

Persentase( %)

1. 2000 2.500.000.000,00 3.096.663.334,00 123,87

2 2001 5.175.278.000,00 4.397.408.000,00 84,97

3 2002 6.156.457.000,00 5.377.052.075,00 87.34

4 2003 6.323.031.000,00 6.060.879.291,00 95,85

5 2004 7.601.407.000,00 8.298.622.990,00 109,17

6 2005 10.645.923.221,00 10.004.563.346,00 98,21

Page 14: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

3

Perolehan pemungutan PBB di tingkat kecamatan sejak tahun 2000

juga selalu menyisakan adanya tunggakan PBB sebagaimana yang terjadi di

Kecamatan Jaten seperti data berikut :

Tabel 2

Data Realisasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten

Tahun Target

(Rp)

Realisasi

(Rp)

Persentase

(%)

2000 854.847.525,00 716.060.558,00 83,76

2001 1.384.583.500,00 1.327.980.832,00 95,91

2002 1.713.769.040,00 1.396.148.053,00 81,47

2003 2.100.950.110,00 1.680.916.882,00 80,01

2004 2.706.644.926,00 2.435.084.236,00 89,97

2005 2.864.118.090,00 2.443.639.849,00 85,32

Sumber : Kantor Kecamatan Jaten.

Data diatas menunjukkan dari tahun ke tahun selalu ada tunggakan PBB yang

berkisar antara 5 sampai 15 persen per tahun. Besarnya tunggakan PBB di

Kecamatan Jaten Membutuhkan perhatian serius karena Kecamatan Jaten

merupakan kecamatan yang memberikan kontribusi terbesar dari penerimaan

sektor PBB dibandingkan 16 Kecamatan lainnya di wilayah Kabupaten

Karanganyar.

Kontribusi penerimaan PBB Kecamatan Jaten terhadap total

penerimaan PBB tingkat Kabupaten Karanganyar cukup signifikan

sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 3 berikut ini :

Page 15: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

4

Tabel 3

Data Kontribusi Penerimaan PBB Kecamatan Jaten dibandingkan

Penerimaan PBB Tingkat kabupaten Karanganyar

TahunRealisasi

Kecamatan Jaten

(Rp)

Realisasi Kabupaten

Karanganyar

(Rp)

PersentaseKontribusi dari

Kecamatan jaten

(%)2000 716.060.558,00 3.096.663.334,00 23,12

2001 1.327.980.832,00 4.397.408.000,00 30,20

2002 1.396.148.053,00 5.377.052.075,00 25,96

2003 1.680.916.882,00 6.060.879.291,00 27,73

2004 2.435.084.236,00 8.298.622.990,00 29,34

2005 2.443.639.849,00 10.004.563.346,0024,43

Sumber : Kantor Kecamatan Jaten.

Data tersebut menunjukkan bahwa kontribusi Penerimaan PBB dari

Kecamatan Jaten menyumbangkan 23 sampai dengan 30 persen total

penerimaan PBB di Kabupaten Karanganyar.

Adanya tunggakan yang selalu terjadi setiap tahun merupakan

permasalahan rutin yang tidak mudah untuk diselesaikan. Untuk menjawab

permasalahan ini dibutuhkan strategi yang tepat untuk memberikan arah bagi

pelaksanaan kebijakan yang komprehensif dan menyentuh akar

permasalannya. Penyusunan strategi yang tepat membutuhkan informasi yang

cukup dan akurat mengenai hambatan-hambatan dalam proses implementasi

Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Jaten Kabupaten

Karanganyar.

Page 16: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

5

Permasalahan yang menyebabkan tidak optimalnya pemungutan PBB

dapat dilihat dari berbagai segi diantaranya dari segi kebijaksanaan publik

yang meliputi Formulasi maupun implementasi kebijakannya. Dari segi

otoritas pelaksana kebijakan pemungutan PBB, Kewenangan Pemungutan

PBB telah dilimpahkan oleh pemerintah Pusat kepada Bupati / Walikota

melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor 1007/KMK/04/1995.

Pelimpahan tersebut meliputi pelimpahan mekanisme penagihannya

sedangkan urusan prinsipal mengenai pendataan subyek dan obyak pajak,

penetapan besarnya nilai PBB sampai pada pemaksaan dan sanksi masih

berada pada Departemen Keuangan dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak

Bumi dan Bangunan.

Dengan adanya pemisahan kewenangan antara Pemerintah Kabupaten

dan Kantor Pelayanan pajak, seringkali terjadi permasalahan dan kendala

dalam implementasi pemungutan PBB antara lain : 1. Surat Pemberitahuan

Pajak Terhutang (SPPT) seringkali terlambat disampaikan kepada masyarakat

maupun tempat pembayaran, 2. Setiap ada kesalahan administratif mengenai

data yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)

harus diselesaikan melalui KP PBB. 3. Penentuan besaran pajak oleh KP PBB

seringkali tidak akurat sehingga masyarakat yang merasa tidak diperlakukan

secara adil atau merasa keberatan tidak mau melunasi PBB, sedangkan untuk

mengajukan keberatan harus dilakukan di KP PBB. 4. KP PBB Surakarta

memiliki cakupan wilayah pelayanan yang sangat luas meliputi Kabupaten

Sragen, Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar dengan jumlah Wajib

Page 17: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

6

pajak yang dilayani mencapai 2 juta Wajib pajak, sehinga pelayanan tidak

dapat diberikan secara cepat dan optimal karena keterbatasan kemampuan

sumber daya yang dimiliki dibandingkan dengan cakupan pelayanan yang

seharusnya diberikan.

Lemahnya koordinasi dalam administrasi pertanahan ditengarai juga

menyebabkan kendala dalam pemungutan PBB. Contohnya koordinasi antara

Badan Pertanahan Nasional dan KP PBB dalam hal pengadministrasian

mutasi tanah. Hal ini ditandai dengan banyaknya mutasi kepemilikan tanah

yang tidak diikuti oleh mutasi administrasi PBB, sehingga pada saat

penagihan nama yang tercantum dalam SPPT tidak mau membayar dengan

alasan sudah tidak menguasai tanah yang tercantum dalam SPPT PBB nya

ditagihkan kepadanya. Akibatnya petugas pemungut yang notabene

merupakan aparat pemerintah desa setempat pun menemui kesulitan untuk

melakukan penagihan. Tidak adanya penegakan hukum berupa sanksi yang

tegas kepada para penunggak PBB adalah faktor lain penyebab tidak

optimalnya pemungutan PBB.

Berbagai kendala sebagaimana disebutkan diatas menyebabkan

pemungutan PBB Tidak dapat optimal dengan hasil lunas 100 %, tetapi selalu

menyisakan tunggakan dari tahun ketahun.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana

implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten

Karanganyar?”

Page 18: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

7

C. Tujuan Penelitian.

1. Untuk mengetahui proses implementasi pemungutan PBB di Kecamatan

Jaten Kabupaten Karanganyar

2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam

implementasi kebijakan pemungutan PBB.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan

bagi Pemerintah Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dalam

rangka meningkatkan penerimaan dari sektor PBB.

2. Secara umum hasil penelitian ini diharapkan akan dapat digunakan oleh

para pembuat kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan

penerimaan pendapatan negara dari sektor PBB.

3. Sebagai masukan bagi kalangan akademis yang tertarik untuk

mlelaksanakan penelitian sejenis.

Page 19: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

8

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Konsep Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan bagian dari studi kebijakan (publik),

disamping studi formulasi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan. Terdapat

beberapa pengertian mengenai apa yang disebut dengan kebijakan publik itu.

Menurut Anderson (1975 : 5) menyatakan kebijakan publik sebagai berikut :

public policy are those policies developed by govermental bodies and officials (kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah), dan maknanya adalah :a. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau suatu tindakan

berorientasi pada tujuan;b. Kebijakan tersebut berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan

pejabat pemerintah;c. Kebijakan tersebut merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah, bukan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan atau menyatakan sesuatu;

d. Kebijakan publik didasari oleh suatu peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).

Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen

dasar yaitu tujuan yang luas, sasaran dan yang terakhir adalah cara mencapai

sasaran tersebut. Komponen yang terakhir biasanya belum dijelaskan secara

rinci, dan oleh karena itulah birokrasi harus menerjemahkan sebagai program-

program aksi dan proyek. Didalam “cara” tersebut terkandung beberapa

komponen kebijakan yang lain, yakni siapa pelaksana atau implementornya,

berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya,

bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya, dan

bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Dengan demikian

Page 20: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

9

komponen ketiga dari suatu kebijakan yaitu cara, merupakan komponen yang

berfungsi untuk mewujudkan dua komponennya yang pertama, yakni tujuan dan

sasaran khusus. Cara ini biasa disebut implementasi (Samodra Wibowo,1994: 15).

Studi implementasi mengkaji seluk beluk proses implementasi kebijakan

yakni “the execution and steering of policy actions over time” (Dunn, 1994 : 85).

Studi Implementasi menurut Dunn sebagaimana dikutip Samodra Wibowo adalah

membantu mengkaji tingkat kepatuhan, menemukan konsekuensi-konsekuensi

kebijakan yang tak diharapkan, mengidentifikasi hambatan dan kendala

implementasi, dan menentukan siapa saja yang bertanggungjawab dalam

pelaksanaan kebijakan (Samodra Wibowo 1994 : 3 )

Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan implementasi

kebijakan sebagai “those actions by public and private individual (or groups) that

are directed at the achivement of objectives set forth in prior policy decisions”.

Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan

mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur

rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut

masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan

(Grindle, 1980:3).

Di sini Grindle telah memperkirakan adanya berbagai hambatan yang

berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan,

sehingga setelah suatu kebijakan di terjemahkan kedalam program aksi, belum

tentu implementasi akan berjalan dengan lancar dan ini tergantung dari

kemampuan mengimplementasikan program tersebut (implementability).

Page 21: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

10

1. Model Grindle

Implementasi suatu kebijakan, menurut grindle (1980:8-12) sangat

ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of

policy). Studi ini melihat adanya tiga dimensi analisis dalam suatu organisasi,

yakni tujuan, pelaksanaan tugas dan kaitan organisasi dengan lingkungan.

a). Isi Kebijakan mencakup :

1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan

Dalam memformulasikan suatu kebijakan hendaknya diminimalisir

terjadinya banyak kepentingan yang berbeda yang dipengaruhinya, karena

semakin kompleks kepentingan yang dipengaruhi maka proses

implementasinya akan semakin sulit.

2) Jenis manfaat yang dihasilkan

Manfaat suatu kebijakan yang dapat dinikmati secara realistis oleh

kelompok sasaran berpengaruh terhadap dukungan atas perubahan

tersebut. Kebijakan yang manfaatnya dapat dinikmati secara nyata akan

memperoleh dukungan yang kuat dalam proses implementasinya

dibanding kebijakan yang kurang dirasakan manfaatnya bagi publik.

3) Derajad perubahan yang diinginkan

Apabila suatu kebijakan mempunyai tujuan yang menyangkut perubahan

nilai-nilai atau norma-norma, diamana antara kebijakan yang telah dibuat

dan nilai yang sudah dianut oleh kelompok sasaran bertentangan sekali,

biasanya kebijakan tersebut akan sulit dimplementasikan.

Page 22: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

11

4) Kedudukan pembuat kebijakan

Posisi dari pejabat selaku pembuat kebijakan sangatlah menentukan sekali

bagi keberhasilan implementasi, maka dalam menformulasikan kebijakan

harus diperhatikan implementornya. Suatu kebijakan yang diformulasikan

oleh bidang diluar lingkup tugas implementor akan memiliki peluang

gagal yang lebih besar.

5) Siapa pelaksana program

Ketika implementasi suatu kebijakan mulai dilaksanakan, para pelaku

program seharusnya sudah dibekali dengan berbagai sumberdaya yang

memadai. Sehingga perpaduan sumberdaya manusia dan sumber daya lain

yang meliputi sarana dan prasarana pendukung kebijakan akan

memudahkan dalam pencapaian tujuan kebijakan.

6) Sumber daya yang dikerahkan.

Suatu kebijakan yang melibatkan partisipasi kelompok yang memang

diperlukan dalam mencapai sasaran program akan semakin efektif

diimplementasikan daripada melibatkan kelompok lain yang kurang

berkepentingan atas kebijakan tersebut.

b). Konteks kebijakan meliputi :

1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

Nilai-nilai yang dimiliki para aktor yang terlibat dalam implementasi suatu

kebijakan kadangkala bertentangan dengan tujuan kebijakan, manakala

nilai-nilai tersebut sesuai dengan apa yang menjadi kepentingannyadan

mendukung jabatan yang dimbannya maka kebijakan akan semakin mudah

Page 23: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

12

dimplementasikan. Demikian pula strategi yang dibuat seharusnya

dibangun dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang memadai.

2) Karakteristik lembaga dan penguasa

Untuk mempermudah implementasi, dibutuhkan kesesuaian nilai-nilai

budaya lembaga dan penguasa dengan apa yang seharusnya atau

diharapkan oleh kebijakan tersebut. Ketika lembaga dan penguasa yang

berperan dalam implementasi memiliki nilai-nilai budaya yang

bertentangan dengan apa yang seharusnya diharapkan dari program

kebijakan tersebut, maka hal ini akan menghambat proses implementasi.

3) Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana

Kebijakan yang sudah diformulasikan dari tingkat pusat, agar lebih mudah

dalam implementasinya dijabarkan dalam kebijakan-kebijakan tingkat

dibawahnya sehingga ada kejelasan bagi pelaksana kebijakan tersebut.

Model implementasi Kebijakan menurut Grindle dapat digambarkan

sebagai berikut:

Page 24: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

13

Gambar 1 : Model Implementasi Kebijakan Grindle

Tujuan Kebijakan

Melaksanakan kebijakan dipengaruhi oleh :

a)Isi Kebijakan

(1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan

(2) Jenis manfaat yang dihasilkan

(3) Derajad perubahan yang diinginkan

(4) Kedudukan pembuat kebijakan

(5) Siapa pelaksana program

(6) Sumber daya yang dikerahkan.

b). Konteks kebijakan meliputi :

(1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor

yang terlibat

(2) Karakteristik lembaga dan penguasa

(3) Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana

Hasil kebijakan:o Dampak pada

masyarakat, individu dan kelompok,

o Perubahan dan penerimaan oleh masyarakat

Tujuan yang Ingin dicapai

Program aksi dan Proyek individu didesain dan dibiayai

Program yang dijalankan sesuai rencana?

Mengukur keberhasilanSumber : (Grindle, Merilee S,1980)

Page 25: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

14

b. Model Implementasi Sabatier dan Mazmanian

Sabatier dan Mazmanian (dalam Wibawa, 1994) melihat implementasi

kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu (a) karakteristik masalah, (b)

struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan

yang mengoperasionalkan kebijakan, dan (c) faktor-faktor di luar peraturan

kebijakan.

Kerangka pikiran Sabatier dan Mazmanian, menunjukkan bahwa suatu

kegiatan implementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasi pelaksana

mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh peraturan pelaksanaan. Oleh karenanya

model ini sering disebut sebagai model top-down. Dengan pendekatan semacam

ini sudah seharusnya tujuan dan sasaran yang akan dituju hendaknya dituangkan

dalam program maupun proyek yang jelas, dan mudah dipahami sehingga para

birokrat akan mudah untuk memahaminya kemana arah tujuan atau sasaran yang

hendak dituju. Sebagai contoh, Program Pemberdayaan Jurusan dimaksudkan

untuk memberikan kemandirian kepada jurusan, maka pengaturan hak-hak dan

kewajiban harus diatur dengan secara jelas dan terperinci tidak hanya bersifat

teoritis belaka, dengan cara seperti ini para birokrasi pelaksana akan semakin

mudah untuk menjalankannya.

Model Implementasi kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian

dapat digambarkan sebagai berikut :

Page 26: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

15

Gambar 2 : Model Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan

Mazmanian

Sumber : Samodra Wibawa, 1994

Karakteristik Masalah1. Ketersedian tehnologi & teori teknis2. Keragaman perilaku kelompok sasaran3. Sifat populasi 4. Derajad perubahan perilaku yg diharapkan

Daya Dukung Peraturan 1. Kejelasan/konsistensi

tujuan Sasaran 2. Teori kausal yg

memadai 3. Sumber keuangan yang

Memadai4. Integrasi organisasi

pelaksana 5. Diskresi pelaksana 6. Rekrutmen pejabat

pelaksana 7. Akses formal pelaks

Variabel Non Peraturan 1. Kondisi sosio ekonomi

dan teknologi2. Perhatian pers thd masalah3. Dukungan public4. Sikap & sumber daya5. Kelompok sasaran utama6. Dukungan Komitemen dan

kemam puan pejabat pelaksana kewenangan

Kesesuaian keluaran dengan sasaran

Dampak actual keluaran kebijakan

Dampak yang diperkirakan

Keluaran Kebijakan dari pelaksana organisasi

Perbaikan peraturan

Page 27: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

16

c. Model Van Horn dan Van Meter

Model yang dikembangkan oleh Van Horn dan Van Meter ini disebut

sebagai “A Model Of Policy Implementation Process” (model proses

implementasi kebijakan). Teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan

perbedaan dalam proses implementasi dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang

akan dilaksanakan. Van Horn dan Van Meter menegaskan bahwa perubahan,

kontrol, dan kepatuhan bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur-

prosedur implementasi. Atas dasar konsep tersebut, maka permasalahan yang

perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-hambatan apa yang terjadi

dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi?

Menurut Meter dan Horn dalam Wibawa (1994 : 19-22), suatu kebijakan

harus dapat secara eksplist menegaskan ada lima faktor yang mempengaruhi

implementasi suatu program yaitu :

1) Standar Dan Sasaran Kebijakan

Suatu kebijakan harus memiliki standar dan sasaran tertentu yang harus

dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Standar dan sasaran menjelaskan rincian

tujuan kebijakan secara menyeluruh. Penentuan standar dan sasaran berguna

untuk menilai tingkat keberhasilan atas pelaksanaan suatu program . Kinerja

kebijakan merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran.

Maka standar dan sasaran harus dirumuskan secara spesifik dan kongkret.

2) Sumber Daya

Supaya dapat diimplementasikan dengan baik kebijakan menuntut

tersedianya Sumber daya baik berupa dana, teknologi maupun sarana dan

Page 28: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

17

prasarana. Kinerja kebijakan akan rendah jika dana yang dibutuhkan untuk

mengimplementasikan kebijakan ini tidak tersedia secara memadai.

3) Komunikasi Antar Organisasi ,

Keberhasilan Implementasi juga ditentukan oleh adanya komunikasi antar

organisasi , yaitu semua pelaksana harus memahami standar, sasaran dan tujuan

kebijakan yang akan mereka implementasikan. Komunikasai ini penting untuk

dilakukan agar implementasi program dijamin kepatuhannya terhadap standar

yang telah ditentukan.

4) Karakteristik Birokrasi Pelaksana

Struktur birokrasi pelaksana yang meliputi karakteristik, norma, pola

hubungan, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi (Ripley

1973:10). Menurut Meter dan Horn dalam Wibawa (1994:21) organisasi

pelaksana memiliki enam variabel yaitu (1) kompetensi dan jumlah staf, (2)

rentang kendali, (3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5)

derajad keterbukaan, dan (6) keterkaitan dengan pembuatan kebijakan.

5) Kondisi Ekonomi Sosial dan Politik

Kondisi sosial ekonomi dan politik berpengaruh terhadap efektifitas

implementasi kebijakan. Hal ini merupakan implikasi dari perspektif sistemik

yang berkaitan dengan publik. Semua variabel diatas dapat membentuk sikap

pelaksana terhadap kebijakan yang mereka implementasikan, untuk akhirnya

menentukan seberapa tinggi tingkat kinerja kebijakannya.

Model Implementasi kebijakan menurut Van Meter & Van Horn dapat

digambarkan sebagai berikut :

Page 29: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

18

Gambar 3 : Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter & Van Horn

Komunikasi antar Organisasi dan Pengukuhan aktivitas

Standar danSasaran kebijakan

Karakteristik Organisasi Sikap Kinerja Komunikasi Pelaksana Kebijakan Antar orgs.Sumber daya

Kondisi Sosial Ekonomi dan politik

Sumber : (Meter, Donald S. Van, dan Horn, Carl E. Van, 1975)

Model implementasi inilah yang nantinya akan dijadikan landasan dalam

membangun kerangka teori guna menjawab pertanyaan penelitian. Dari model-

model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Grindle, Van Meter dan

Van Horn, maupun Sabatier dan Mazmanian diambil beberapa aspek kajian yang

menurut pengamatan peneliti berdasarkan gejala umum, fakta dan data yang ada

menunjukkan pengaruh terhadap proses implementasi kebijakan pemungutan

PBB.

Penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan proses implementasi yang

berlangsung melalui pengkajian atas beberapa fokus kajian yang berpengaruh

Page 30: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

19

terhadap keberhasilan implementasi pemungutan PBB antara lain : (1) Isi

Kebijakan diadopsi dari model Grindle, (2) Sumber daya manusia. Diadopsi dari

model Van Horn Van Meter (3) Komunikasi Diadopsi dari model Van Horn Van

Meter (4) Kepatuhan petugas pelaksana diadopsi dari model Grindle.

Pengambilan keempat fokus kajian ini dilakukan dengan mengadopsi model-

model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh pakar studi implementasi

kebijakan dan disesuaikan dengan mempertimbangkan gejala-gejala dan fakta-

fakta yang yang ada di dalam masyarakat.

B. Pemungutan PBB Sebagai Kebijakan Publik

Chandler dan Plano (1988) mengemukakan bahwa Kebijakan publik

adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada

untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya

dikatakan pula bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi terus-

menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung

dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam

pembangunan secara luas. Thomas R Dye (1981) memberikan pengertian dasar

mengenai kebijakan publik sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang

dilakukan oleh pemerintah.

Pajak pada dasarnya merupakan iuran yang berupa uang atau barang yang

dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya

produksi barang-barang, jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum..

Pajak merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat untuk menyerahkan sebagian

daripada kekayaan kepada negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian dan

Page 31: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

20

perbuatan memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan merupakan suatu

hukuman. Pajak ditetapkan menurut peraturan pemerintah, dapat dipaksakan,

tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung untuk memelihara

kesejahteraan secara umum (Munawir, 2000:3) Dengan demikian pajak

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Merupakan pungutan yang dilakukan oleh negara kepada rakyat.

2. Dipungut disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang

memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang.

3. Pemungutan pajak dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan peraturan yang

telah ditetapkan.

4. Pemungutannya dapat dipaksakan.

5. Pembayaran pajak oleh subyek pajak tak akan mendapat imbalan secara

langsung dari Pemerintah.

6. Pajak digunakan oleh Pemerintah untuk pembiayaan pembangunan guna

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,

yaitu Pajak Negara dan Pajak Daerah (Mardiasmo, 1997). Pajak Negara adalah

pajak yang dipungut untuk kepentingan Negara atau Pemerintah Pusat. Termasuk

dalam pajak ini antara lain adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan

Nilai atasa barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

(PPnBM), Pajak bumi dan bangunan (PBB) dan Bea Meterai. Sedangkan Pajak

Daerah adalah pajak yang dipungut Daerah berdasarkan peraturan pajak yang

ditetapkan oleh Daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga Daerah,

Page 32: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

21

yang ruang lingkupnya terbatas pada obyek pajak yang belum dikenakan oleh

negara.

Bumi dan bangunan merupakan aset yang dapat memberikan keuntungan

dan kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang

mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya, maka wajar

apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan

yang diperolehnya kepada negara melalui pajak, untuk selanjutnya negara

mendistribusikan hasil pajak tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lebih

luas.

Undang-undang nomor 12 tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan

menandai dicabutnya berbagai peraturan perpajakan yang meliputi Ordonansi

Pajak Rumah tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi

Verponding 1928, Ordonansi pajak kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalan 1942,

Pasal 14 huruf j,k,dan l Undang-undang darurat Nomor 11 tahun 1957 tentang

peraturan Umum Pajak Daerah, PERPU Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak

Hasil Bumi. Berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun 1986 ini bertujuan

memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia agar lebih sederhana, mudah, adil

dan memberi kepastian hukum.

Sebelum berlakunya UU pajak Bumi dan Bangunan, sebenarnya

Verponding-verponding Indonesia dan pajak hasil Bumi telah diganti dangan

IPEDA. Tetapi karena dasar Hukum Ipeda kurang kuat maka penghapusan

verponding tersebut dipertegas lagi dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1986.

Verponding mengenakan atas tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum

Page 33: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

22

barat, dan verponding Indonesia dikenakan atas tanah-tanah yang dimiliki

berdasarkan hukum adat yang ada di kota-kota. Pajak Hasil Bumi dikenakan atas

tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum adat yang ada di daerah luar kota.

Setelah verponding diganti dengan IPEDA orang merasakan membayar dua kali

untuk Obyek Pajak yang sama karena tanah dan bangunan yang ia miliki dikenai

pajak kekayaan maupun IPEDA. Dengan berlakunya Undang-undang nomor 12

tahun 1986 diharapkan ada kepastian hukum dan tidak ada lagi pajak ganda yang

menimbulkan keresahan masyarakat.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak obyektif yang dikenakan atas

bumi dan bangunan. Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986,

berdasarkan Undang-Undang nomor 12 tahun 1986. Dengan demikian yang

menjadi obyek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Adapun yang dimaksud

dengan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.

Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa dan

tambak) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi

teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan

untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan. Termasuk dalam

pengertian bangunan ini antara lain: (1) Jalan lingkungan dalam suatu kesatuan

dengan komplek bangunan, (2) Jalan tol, (3) Kolam renang, (4) Pagar mewah,

(4) Tempat Olah raga, (5) Galangan kapal, dermaga, (6) Taman mewah, (7)

Tempat penampungan/ kilang minyak, gas, air dan pipa minyak, (8) Fasilitas lain

yang memberikan manfaat. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah

Page 34: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

23

diperhatikan faktor-faktor seperti: (1) Letak, (2) Peruntukan, (3) Pemanfaatan, (4)

Kondisi lingkungan, dll.

Menurut Rochmat Soemitro (1989 : 79) faktor-faktor itu ditambah

dengan: (1) Luas tanah, bumi, bangunan, (2) Kesuburan atau hasil

tanah/bangunan, (3) Adanya irigasi atau tidak. Sementara dalam menentukan

klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: (1) Bahan yang

digunakan, (2) Rekayasa, (3) Letak, (4) Kondisi Lingkungan dll.

Subyek pajak dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata

mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.

Kepada subyek pajak tersebut dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi

wajib pajak. Adapun azas dari Pajak Bumi dan Bangunan adalah: (1) Memberikan

kemudahan dan kesederhanaan, (2) Adanya kepastian hukum, (3) Mudah

dimengerti dan adil, (4) Menghindari pajak berganda. Dengan memperhatikan

azas-azas tersebut diharapkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan

penetapan dan pemungutan pajak mestinya dapat dihindarkan.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak

bergerak, maka oleh karena itu yang dipentingkan adalah obyeknya dan keadaan

atau status orang atau badan yang dijadikan subyek tidaklah penting, sehingga

tidak mempengaruhi besarnya pajak (Soemitro, 1989:5). Walaupun pajak ini

merupakan pajak obyektif, tetapi pemungutannya didasarkan atas surat ketetapan

pajak yang pada prinsipnya setiap tahun dikeluarkan. Setiap tahun wajib pajak

diwajibkan memasukkan surat pemberitahuan yang untuk PBB disebut sebagai

Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan berdasarkan itu oleh kantor PBB

Page 35: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

24

kemudian dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dimana untuk PBB disebut

sebagai Surat Pemberitahun Pajak Terhutang (SPPT).

Penetapan nilai jual obyek pajak dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan

mendengar pertimbangan Gubernur Provinsi yang bersangkutan. Untuk saat ini

klasifikasi nilai jual obyek pajak untuk bumi dan bangunan dikenakan sesuai

dengan keputusan menteri keuangan nomor 174/KMK.04/1993, dimana untuk

klasifikasi NJOP untuk bumi dikelompokkan menjadi 50 kelas dan untuk

bangunan menjadi 20 kelas.

Penghitungan besarnya PBB didasarkan atas besarnya nilai jual kena

pajak yaitu besarnya NJOP sesuai dengan SK Menteri Keuangan setelah dikurangi

dengan nilai jual obyek pajak tak kena pajak (NJOPTKP) yang besarnya untuk

masing-masing daerah bisa berbeda-beda. Besarnya NJKP adalah 20% dari NJOP

setelah dikurangi NJOPTKP. Adapun besarnya tarip PBB adalah 0,5%. Dengan

demikian besarnya pajak yang harus dibayar adalah 0,5% X 20% X NJOP atau

sebesar 0,5% X NJKP.

Besarnya pajak yang harus dibayar (SPPT PBB) diberikan setiap tahun

oleh kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan setelah ditentukan NJKPnya atas

dasar surat pemberitahuan obyek pajak (SPOP) yang diisi oleh wajib pajak.

Secara teoritis SPOP ini harus diisi oleh wajib pajak dan harus ditandatangani

sendiri. Namun demikian dalam banyak kasus, hal ini jarang dilakukan. Biasanya

pihak Kantor PBB meminta bantuan pada Pemerintah setempat untuk mengisinya.

Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kesenjangan yang menyebabkan tidak

selarasnya harga pasar atas nilai jual obyek pajak, yang pada akhirnya berbuntut

Page 36: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

25

dengan munculnya berbagai penolakan serta keberatan dari wajib pajak,

khususnya jika terjadi perubahan NJOP.

Hasil Penerimaan PBB yang diterima pemerintah daerah itu dipergunakan

untuk membiayai pembangunan daerah bagi kepentingan daerah yang

bersangkutan. Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1985 tentang Pembagian

hasil Pajak Bumi dan Bangunan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,

menetapkan hasil sebagai berikut:

1) 10% dari hasil penerimaan PBB adalah bagian Pemerintah Pusat dan harus

sepenuhnya disetorkan ke Kas Negara.

2) 90% merupakan bagian pemerintah daerah setelah dikurangi dengan biaya

untuk melakukan pemungutan sebesar 10% dari 90%, kemudian dibagi untuk

pemerintah Provinsi 20% dan pemerintah kabupaten 80%. Dengan demikian

bagian masing-masing adalah sebagai berikut :

a) Pemerintah pusat : 10 %

b) Biaya pemungutan: 10% X 90% : 9 %

c) Pemerintah Provinsi: 20% X 81% : 16,2 %

d) Pemerintah kabupaten: 80% X 81% : 64,8%

C. Pemungutan dan Pembayaran PBB

Yang dijadikan subyek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata

sebagai pemilik dan atau orang atau badan yang menguasai bumi dan atau

bangunan. (pasal 8 ayat 1). Wajib Pajak adalah orang atau badan yang memenuhi

Page 37: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

26

syarat obyektif, yaitu memiliki atau menguasai dan atau mendapatkan manfaat

daripadanya. Subyek pajak PBB belum tentu merupakan Wajib Pajak PBB.

Subyek Pajak baru merupakan wajib pajak PBB kalau memenuhi syarat-syarat

obyektif, yaitu mempunyai obyek pajak yang dikenai PBB. Sedangkan obyek

pajak PBB adalah Bumi dan atau Bangunan (pasal 2).

Diberlakukannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah diharapkan dapat membawa perubahan nilai dalam

penyelenggaraan sistem pemerintahan, yaitu perubahan dari paradigma

government menuju governance. Paradigma government (paradigma klasik)

menempatkan negara (pemerintah) sebagai satu-satunya penyelenggara

pemerintahan, sedangkan paradigma governance memandang penyelenggaraan

pemerintahan sebagai proses interaksi antar aktor dalam pemerintahan dengan

kelompok sasaran atau berbagai individu dalam masyarakat (Kooiman, 1993:

255). Proses penyelenggaraan pemerintahan (governing) pada saat ini merupakan

proses koordinasi, pengendalian (steering), pemengaruhan (influencing) dan

penyeimbangan (balancing) setiap hubungan tersebut. Untuk mewujudkan proses

tersebut, maka pola penyelenggaraan pemerintahan tradisional yang mendasarkan

diri pada persepektif hubungan “top-down” dan “rational-central-rule approach”

menjadi tidak cocok. Di sinilah kemudian dibutuhkan pendekatan governance

dalam penyelenggaraan pemerintahan (Kooiman, 1993: 255 – 258).

Secara lebih luas, masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah ditinjau

dari sudut pandang manajemen diidentifikasi oleh Hariyoso (2001) ke dalam lima

kategori, yaitu:

Page 38: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

27

(1) Belum memadainya dukungan anggaran yang ditopang oleh adanya pengalaman serta telah dihayatinya etos dan acuan, sikap, dan etos kerja yang diwariskan oleh sejumlah masa lalu yang memerlukan pembelajaran, menyebabkan belum dapat diterapkannya manajemen pelayanan publik dalam konteks total quality management dalam era reformasi yang berciri desentralistik;

(2) Dewasa ini masih perlu diseleksi pilihan kiat, metode dan teknologi pelayanan yang mampu mengubah orientasi manajemen pelayanan konvensional yang perlu semakin diorientasikan pada etos dan budaya manajemen pelayanan publik berkualitas;

(3) Masih nampak belum seimbangnya hak dan kewajiban yang melayani (public server) kepada yang dilayani (public served) dalam bentuk pemberian kontraprestasi yang sepadan atas kotribusi/pengorbanan yang diberikan masyarakat;

(4) Masih belum diadakan internalisasi nuansa administrasi politik yang berkaibat jauh terhadap penerapan konsep local government productivity yang masih mengandung keretakan dalam penyelenggaraan manajemen pelayanan umum. Hal ini bahkan berimplikasi lebih jauh dengan kurangnya pengertian tentang pergeseran paradigma pemerintahan daerah oleh pelaksana yang terjadi dalam suasana transisional di era reformasi yang bercorak desentralistik dan globalisasi;

(5) Belum dapat diterapkannya konsep pelayanan prima sekaligus dengan adanya sindroma hubungan antara yang melayani dengan yang dilayanai dalam kedudukan sebagai pelanggan, konstituen partai, klien, dan kelompok sasaran.

Upaya untuk lebih memberdayakan pemerintah daerah dapat dilakukan

dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk

mendapatkan sumber sumber pendapatan termasuk pendapatan melalui pajak.

Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya

bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional. Kewenangan

pengelolaan pajak tersebut berada di tangan pemerintah sebagai pemegang

otoritas alokasi distribusi dan stabilisasi sumberdaya dalam negara. Proses

pengelolaan pajak termnasuk PBB merupakan sebuah kebijakan publik yang

memiliki implikasi baik langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat.

Page 39: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

28

Kebijakan pemerintah yang tepat akan berdampak pada peningkatan kemakmuran

masyarakat.

Kerangka dasar kebijakan perpajakan ini ditentukan oleh pusat dengan

asumsi pemerintah pusat harus menyediakan sumber-sumber keuangan untuk

daerah agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan daerah masih

sering harus dibantu pemerintah pusat dalam menjalankan fungsi daerah maupun

melaksanakan program-program pusat yang ditugaskan pada daerah.

Sumber pendapatan daerah disebutkan dalam pasal 157 Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2004, terdiri dari pendapatan asli daerah yaitu hasil pajak

daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

dan lain-lain PAD yang sah. Selain jenis pajak tersebut pendapatan daerah berasal

dari dana perimbangan yang diberikan pusat dan lain-lain pendapatan daerah yang

sah. Sementara pendapatan daerah cukup besar diperoleh dari Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB), suatu jenis pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh

pemerintah pusat, namun hasilnya diperuntukan bagi pemerintah daerah.

Pengelolaan pajak yang terpusat juga dimaksudkan sebagai upaya untuk

memeratakan hasil penerimaan PBB yang berasal dari obyek pajak, yang letaknya

di luar wilayah yang menjadi kewenangan daerah dan untuk mempermudah

pengelolaan sistem pengadministrasian pajak daerah tersebut karena selalu terkait

dengan pengelolaan jenis pajak pusat lainnya. Pengelolaan dimaksud adalah

pembagian perimbangan hasil penerimaan PBB dibagi antara pemerintah pusat

dengan daerah yaitu imbangan pembagian 90% untuk pemerintah daerah (baik

kabupaten maupun Provinsi), sedangkan 10% merupakan bagian pemerintah

Page 40: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

29

pusat, dan pada akhirnya juga akan dibagikan kembali kepada daerah namun

dengan mekanisme tertentu. Itulah sebabnya kewenangan sebagian besar

penarikan PBB diberikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.

Masyarakat adalah pelaku utama dan sekaligus merupakan obyek dari

pembangunan, sehingga keberhasilan berbagai implementasi kebijakan untuk

peningkatan pendapatan asli daerah dari sektor PBB, sangat membutuhkan

keterlibatan aktif masyarakat pada umumnya, dan pemerintah berkewajiban

menjalankan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang

(Tjokroamidjojo, 1987:206). Namun banyaknya hambatan yang dihadapi dalam

pelaksanaan pemungutan pajak, pada umumnya, menurut R.Santoso Brotodiharjo

(Munawir, 2000:7) adalah:

”Adanya perlawanan pasif dari wajib pajak yang mempersulit pemungutan pajak. Hal ini erat kaitannya dengan struktur ekonomi, perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem pemungutan pajak itu sendiri. Dalam perlawanan pasif ini tidak ada usaha secara nyata dari masyarakat untuk menghambat pemungutan pajak, namun disebabkan oleh karena kondisi masyarakat yang kurang tahu mengenai seluk beluk pajak, maka mereka tidak bersedia membayar pajak. Penghambat kedua, adalah adanya perlawanan aktif yaitu berupa semua usaha dan perbuatan yang langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan menghindari pajak. Nyata-nyata ada usaha wajib pajak untuk tidak membayar pajak, dan mengelakkan penyelundupan pajak maupun usaha melalaikan pajak.”

Untuk mengatasi hambatan tersebut dibutuhkan perangkat kebijakan yang

tepat agar wajib pajak tidak dapat lagi menghindari pajak. Dalam proses

penyusunan kebijakan tersebut perlu adanya strategi yang memperhitungkan

segala kekuatan kelemahan peluang dan ancaman yang dimiliki dan dihadapi oleh

Page 41: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

30

pemerintah selaku pemegang otoritas dan sebagai implementator dari kebijakan

itu sendiri.

Pembayaran PBB dapat dilakukan ditempat pembayaran PBB di loket-

loket yang telah ditunjuk. Loket yang ditunjuk untuk ini meliputi berbagai

lembaga keuangan antara lain Bank Central Asia (BCA) dan Badan Perkreditan

Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK)) se Kabupaten Karanganyar. Cara

lain yang dapat dilakukan untuk melakukan pembayaran PBB adalah melalui

petugas pemungut PBB. Petugas pemungut PBB ditunjuk berdasarkan Surat

Keputusan Bupati yang diterbitkan setiap tahun.

Penunjukan Petugas Pemungut PBB dimaksudkan untuk mendekatkan dan

memudahkan wajib pajak dalam melakukan pembayaran PBB. Petugas yang

ditunjuk sebagai petugas pemungut PBB sebagian besar adalah para Kepala

Dusun /Perangkat Desa.

Prosedur pemungutan PBB ditempuh melalui mekanisme yang telah

diatur oleh tim intensifikasi dibuat berjenjang mulai dari kabupaten hingga ke

dusun, yaitu Kepala Dusun sebagai petugas dilapangan yang membagikan SPPT

dan menagih pajak kepada wajib pajak. Berdasarkan mekanisme tersebut dapat

dilihat bahwa ujung tombak dari penerimaan PBB adalah para Kepala Dusun

sebagai petugas pemungut yang langsung berhadapan dengan wajib pajak. Lebih

jelasnya skema Tim Intensifikasi Pemungutan PBB adalah sebagai berikut.

Page 42: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

31

Gambar 4 : Skema Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan

Sumber : Diolah dari SK Bupati Karanganyar tanggal 9 September 2005

Nomor : 973/354 Tahun 2005.

TIM INTENSIFIKASI PBB TINGKAT KECAMATAN

KADES SELAKU KOORDINATOR PETUGAS

PEMUNGUT

PETUGAS ADMINISTRASI

PBB DESA

KADUS PETUGAS PEMUNGUT DUSUN

WAJIB PAJAK PENERIMA SPPT

BANK PERSEPSI

TIM INTENSIFIKASI PBB TINGKAT KABUPATEN

Page 43: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

32

D. KERANGKA BERPIKIR

Gambar 5 : Kerangka Pemikiran Penelitian Implementasi Pemungutan PBB di

Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Salah satu aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam

pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana meningkatkan penerimaan

guna membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan .

Undang-undang No 12 tahun 1994 dan Undang-undang no. 32 tahun 2004

memberi kesempatan kepada daerah untuk mendapatkan pendapatan yang

cukup besar dari sektor PBB. Data pemungutan PBB di Kecamatan Jaten

Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir target

penerimaan PBB tidak pernah tercapai. Kenyataan ini menunjukkan bahwa

masih ada permasalahan dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB.

Kebijakan PBBUU No 12 Tahun

1986Disempurnakan

dengan UU no 12tahun 1994

(operasionalisasi : Kep Men Keu 1007/KMK/ 04/1995)

Implementasi Pemungutan PBB

1. Isi Kebijakan2. SDM3. Komunikasi4. Kepatuhan Pelaksana

Peningkatan penerimaan PBB

sesuai target

Page 44: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

33

Penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan proses implementasi yang

berlangsung melalui pengkajian atas beberapa fokus kajian yang berpengaruh

terhadap keberhasilan implementasi pemungutan PBB antara lain : (1) Isi

Kebijakan (2) Sumber daya manusia.(3) Komunikasi (4) Kepatuhan petugas

pelaksana. Pengambilan keempat fokus kajian ini dilakukan dengan

mengadopsi model-model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh

pakar studi implementasi kebijakan dan disesuaikan dengan

mempertimbangkan gejala-gejala dan fakta-fakta yang yang ada di dalam

masyarakat.

Isi Kebijakan merupakan salah satu fokus kajian yang diadopsi dari

model Grindle, dimana kejelasan suatu kebijakan dalam mengatur mekanisme

kewenangan dan kepentingan para pihak dalam kebijakan sangat menentukan

keberhasilan proses implementasi. Isi kebijakan dan pengaruhnya terhadap

proses implementasi dapat dilihat dari aspek kewenangan dan sistem rewards

and punishment dalam kebijakan pemungutan PBB .

Salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian dalam

pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana meningkatkan pendapatan atau

penerimaan guna membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan

pembangunan. Pada umumnya penerimaan pemerintah dapat dibedakan antara

penerimaan pajak dan bukan pajak. Pajak adalah suatu pungutan yang

merupakan hak prerogatif Pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada

Undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak

Page 45: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

34

untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan

penggunaannya (Mangkusubroto, 1993:181).

Mengingat akan pentingnya peran pajak bagi kesinambungan

pembangunan di negara Indonesia maka peningkatan penerimaan dari sektor

PBB mutlak diperlukan, maka upaya mengoptimalkan faktor pendukung dan

mengatasi faktor penghambat dalam penarikan PBB perlu dilaksanakan secara

tepat.

Page 46: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi

Penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Kecamatan Jaten

Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah dengan pertimbangan Kecamatan Jaten

adalah Wilayah Kecamatan yang sebagian besar obyek pajak PBB nya adalah

pabrik / perusahaan. Karakteristik masyarakat di Kecamatan Jaten cukup

bervariasi yaitu terdiri dari masyarakat modern yang bertempat tinggal di

kompleks perumahan dan masyarakat tradisional yang berdomisili di daerah

pedesaan. Atas dasar pertimbangan itu maka menurut hemat penulis

Kecamatan Jaten tepat untuk dijadikan obyek penelitian karena akan

memberikan gambaran yang lebih lengkap berkaitan dengan proses

pemungutan PBB.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.

Ada beberapa pendapat tentang metode penelitian deskriptif diantaranya

adalah :

Metode penelitian deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian ( seseorang, lembaga, masyaraakat, dan lain – lain. ) pada saat sekarang berdasarkan fakta – fakta yang tampak atau sebagaimana adanya ( surakhmad, 1989 : 140 )

Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.

Dalam hubungan dengan riset kualititatif yang memusatkan pada deskriptif,

Page 47: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

36

HB Sutopo ( 2002 : 35 ) mengemukakan bahwa data yang dikumpulkan

berwujud kata – kata dalam kalimat atau gambar yang mempunyai arti lebih

dari sekedar angka atau jumlah. Berisi catatan yang mengambarkan situasi

sebenarnya guna mendukung penyajian data.

C. Fokus Kajian dan Aspek Kajian

Sesuai dengan kerangka pemikiran yang dibuat maka fokus dan aspek

kajian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Matrik 1

Fokus dan Aspek kajian Penelitian

No Fokus kajian Aspek Kajian

1 Isi Kebijakan a. Kewenanganb. Sistem rewards and punishment

2 SDM a. Kuantitas SDMb. Kualitas SDM

3 Kepatuhan Pelaksana a. Ketepatan waktu penyampaian SPPTb. Kepatuhan pengadministrasian

4 Komunikasi a. Komunikasi dengan wajib pajakb. Komunikasi dalam Tim Intensifikasi

PBB

Dalam penelitian ini fokus kajian juga diarahkan pada upaya

mengidentifikasi hambatan-hambatan yang muncul dan upaya yang dilakukan

dalam pelaksanaan pemungutan PBB. Dalam hal ini di identifikasi berbagai

hambatan yang bersumber pada wajib pajak dan obyek pajak, hambatan dari

Page 48: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

37

sisi petugas pemungut pajak dan juga hambatan yang berhubungan dengan

sistem penarikan pajaknya.

D. Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini dikelompokkan kedalam dua kelompok

sebagai berikut:

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan, yaitu

pegawai Kantor Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar, Kepala Desa

dan Perangkat Desa, petugas Badan Kredit Kecamatan (BKK) Kecamatan

Jaten yang menjadi sample penelitian. Dalam hal ini pengumpulan data

primer menggunakan teknik wawancara (interview).

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data yang telah diteliti

dan dikumpulkan oleh pihak lain seperti data struktur organisasi, uraian

tugas dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan

penelitian. Pengumpulan data sekunder ini menggunakan teknik

dokumenter untuk mendapatkan data pendukung yang digunakan untuk

melengkapi dan menyempurnakan hasil penelitian.

3. Adapun sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri

atas Camat Jaten Kabupaten Karanganyar, petugas pemungut pajak bumi

dan bangunan di Kecamatan Jaten, perangkat desa, petugas Bank persepsi

atau Badan Kredit Kecamatan (BKK) serta beberapa wajib pajak yang ada

di Kecamatan Jaten. Sedangkan data sekunder diperoleh dari kantor

Kecamatan Jaten dan Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten

Karanganyar.

Page 49: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

38

E. Teknik Penentuan Informan

Mengingat penelitian ini merupakan penelitian deskriptif maka

informan atau narasumber yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan

dengan tehnik purposive sampling. Namun demikian mengingat keterbatasan

kemampuan peneliti maka dimungkinkan pula menggunakan snow ball

sampling jika penjelasan informan belum memberikan informasi secara jelas

dan perlu tambahan informasi dari informan lain di bawahnya yang lebih tau

atau yang direkomendasikan oleh informan utama. Hal ini dilakukan untuk

memperoleh dan menyempurnakan data dari sumber-sumber yang belum

ditentukan peneliti dengan teknik purposive. Hal ini juga dilakukan untuk

melakukan triangulasi data atas jawaban dari nara sumber/ informan.

F. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan berbagai pertimbangan berdasar konsep teknis yang digunakan,

keinginan pribadi, karakteristik empiris dan sebagainya (Sutopo, 1988:21).

Untuk itu data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui beberapa cara yaitu:

a. Wawancara mendalam guna memperoleh data tentang berbagai upaya

pemungutan PBB yang dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten,

Kabupaten Karanganyar.

b. Studi dokumentasi dan observasi guna melengkapi data yang diperlukan

dalam penelitian ini.

G. Uji Validitas Data

Validitas menunjukkan sejauh mana alat pengukur itu mengukur apa

yang ingin diukur. Guna menjamin validitas data yang dikumpulkan dalam

Page 50: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

39

penelitian ini maka teknik yang digunakan adalah teknik triangulasi. Teknik

Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan perbandingan

terhadap data itu (Moleong, 1998:178). Triangulasi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu dengan membandingkan antara

sumber yang diperoleh dari hasil wawancara satu informan dengan informan

yang lain dalam satu masalah agar didapat simpulan yang obyektif.

H. Teknik Analisis Data

Secara umum analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif,

analisis data dilakukan dengan teknik interaktif, dimana ketiga komponen

analisis yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan dilakukan

secara interaktif dengan proses pengumpulan data yang menggunakan proses

siklus. Dalam hal proses analisis data tidak dilakukan setelah semua data

terkumpul. Analisis dilakukan sepanjang penelitian, termasuk baik pada

waktu pengumpulan data. Bila analisis data dilakukan dalam penelitian, maka

peneliti dapat menyusun pertanyaan baru dan dilanjutkan dengan

pengumpulan data berikutnya.

Adapun ketiga komponen analisis data tersebut adalah:

1. Reduksi data: yaitu merupakan suatu proses seleksi, pemfokusan,

penyederhanaan dan abstraksi data yang dilaksanakan selama

berlangsungnya proses penelitian dan mengatur data sedemikian rupa

sehingga dapat ditarik kesimpulan akhir.

2. Sajian data: yaitu rangkaian informasi yang memungkinkan kesimpulan

penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat penyajian data maka peneliti

Page 51: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

40

akan dapat mengerti apa yang akan terjadi serta analisis atas tindakan lain

berdasar pengertian tersebut.

3. Penarikan Kesimpulan

Aktivitas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6

Model Analisis Interaktif

Sumber : HB Sutopo, 1998:37

Pengumpulan data

Reduksi DataSajian Data

Penarikan Kesimpulan

Page 52: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

41

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A Hasil Penelitian

Kecamatan Jaten adalah salah satu kecamatan di Kabupaten

Karanganyar yang berbatasan dengan Kota Surakarta dan menjadi daerah

penyangga bagi Kota Surakarta. Secara geografis Kecamatan Jaten berbatasan

dengan :

a. Sebelah utara :Kecamatan Kebakkramat

b. Sebelah timur :Kecamatan Karanganyar

c. Sebelah selatan :Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo

d. Sebelah barat :Kecamatan Jebres, Kota Surakarta.

Secara administratif Kecamatan Jaten dibagi menjadi 8 desa yaitu:

1. Desa Suruhkalang

2. Desa Jati

3. Desa Jaten

4. Desa Dagen

5. Desa Ngringo

6. Desa Jetis

7. Desa Sroyo

8. Desa Brujul

Luas wilayah Kecamatan Jaten adalah 2.554,81 Ha terdiri dari sawah

1.277,59 Ha, tanah kering 1.277,22 Ha. Diantara delapan desa yang ada di

Page 53: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

42

Kecamatan Jaten tersebut, Desa Sroyo adalah desa yang paling luas

wilayahnya dan Desa Jetis adalah yang paling kecil wilayahnya. Adapun data

luas wilayah masing-masing desa selengkapnya adalah sebagai berikut:

Tabel 4

Luas Wilayah per Desa di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Nomor Desa Luas wilayah

( ha )

1 Suruhkalang 302,58

2 Jati 265,47

3 Jaten 277,37

4 Dagen 283,50

5 Ngringo 420,27

6 Jetis 262,61

7 Sroyo 459,78

8 Brujul 283,23

Jumlah 2.554,81

Sumber : Kecamatan Jaten dalam angka, 2005

Jumlah penduduk di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar pada akhir

bulan Desember 2005 sejumlah 68.100 jiwa yang terdiri dari laki-laki 34.556

jiwa dan perempuan 34.554 jiwa. Dibandingkan dengan tahun 2004 maka

terdapat pertambahan penduduk 930 jiwa, atau mengalami pertumbuhan

sebesar 1,38 %. Desa dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Desa

Ngringo yaitu 22.876 Jiwa (33,59 %), disusul Desa Jaten sebanyak 12.673

Jiwa (18,61%), dan Desa Sroyo Sebanyak 7.495 Jiwa (11,01%), sedangkan

desa yang paling sedikit penduduknya adalah Desa jetis dengan jumlah

Page 54: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

43

penduduk sebanyak 7.495 Jiwa (6,78%), Desa Dagen sebanyak 4.699 Jiwa

(6,78%), kemudian Desa Suruhkalang Sebanyak 4.625 Jiwa (6,79%).

Kepadatan penduduk Kecamatan Jaten pada tahun 2005 mencapai

2.655 jiwa / Km² dengan persebaran penduduk yang belum merata. Seluruh

desa di Kecamatan Jaten sudah merupakan desa perkotaan (urban) sehingga

mempunyai kepadatan yang cukup tinggi. Desa yang memiliki kepadatan

paling tinggi adalah Desa Ngringo yaitu 5.447 jiwa / Km², dan yang paling

rendah adalah Desa Suruhkalang yaitu 1.526 jiwa/Km².

Sesuai dengan kondisi Kecamatan Jaten yang sudah mencerminkan

daerah perkotaan dengan banyak industri, maka sebagian besar penduduknya

juga menggantungkan mata pencahariannya di sektor industri. Komposisi

ketenagakerjaan di Kecamatan Jaten menunjukkan sebanyak 15.107 (26,69%)

orang bekerja di sektor industri, selanjutnya di sektor pertanian sebagai tani

dan buruh tani sebanyak 4.936 orang (8,72%), kemudian buruh bangunan

sebanyak 3.401 orang (6.01%), dan pedagang sebanyak 1.146 orang (2,02%),

selebihnya bekerja di sektor angkutan, PNS/TNI/Polri, pensiunan, jasa-jasa

dan lain-lain.

Potensi Pajak Bumi dan Bangunan di wilayah Kecamatan Jaten

Kabupaten Karanganyar dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 masih

cukup besar. Potensi ini berupa masih banyaknya tunggakan yang belum

terbayar. Tidak terbayarnya PBB ini bisa terjadi karena berbagai hal karena

kesalahan dan belum sadarnya Wajib Pajak sendiri, maupun karena kesalahan

administrasi di KP PBB. Sedangkan kesulitas yang lain adalah adanya tanah

Page 55: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

44

yang dimiliki oleh orang-orang diluar daerah dan tidak diserahkan

pengel;olaannya kepada warga setempat, sehingga pada saatnya membayar

pajak subyek pajak tersebut tidak jelas domisilinya. Jika hal ini dikejar

pelunasannya terutama pada lahan yang tidak luas akan mengakibatkan biaya

penarikan bisa lebih besar daripada besaran pajak itu sendiri.

Selama lima tahun terakhir, yaitu sejak tahun 2001 sampai tahun 2005

masih ada tunggakan pajak yang belum dibayar. Adanya tunggakan yang

masih cukup banyak menggambarkan implementasi kebijakan pemungutan

PBB belum sepenuhnya mencapai sasaran seperti yang diharapkan.

B. Implementasi Pemungutan PBB di Kabupaten Karanganyar

Proses pemungutan PBB diawali dengan menyampaikan SPPT kepada

Wajib Pajak. SPPT merupakan surat ketetapan yang yang dikeluarkan oleh

Dirjen Pajak Melalui KP PBB. Mekanisme penyampaian SPPT ini di mulai

dari pencetakan oleh KP PBB kemudian diteruskan oleh Dinas Pendapatan

Kabupaten Karanganyar selanjutnya baru didistribusikan ke desa/kelurahan

melaui kecamatan-kecamatan. Di Desa selanjutnya di pilah-pilah perdusun

dan dibuatkan daftar nominatif PBB masing-masing dusung sambil di cek

kebenaran datanya.

Setelah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak petugas melaporkan

hasilnya kepada petugas administrasi desa untuk dilaporkabn kepada camat

dan selanjutnya Camat menyampaikan laporan perkembangan penyampaian

SPPT kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah dengan tembusan Kepala

Page 56: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

45

Dinas Pendapatan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan

Surakarta. Di tingkat desa yaitu koordinator, sebulan sekali melaporkan

perkembangan penyampaian SPPT dan STTS Pajak Bumi dan Bangunan

Kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar lewat

Camat Jaten dan menyerahkan Berita Acara penyetotan uang Pajak Bumi dan

Bangunan lembar ketiga dan keempat kepada Camat Jaten. Petugas pemungut

mempunyai tugas mencocokan nama-nama wajib pajak yang tertera dalam

DHKP ( Daftar Himpunan Ketetapan Pajak ) dengan SPPT Wajib pajak,

karena banyak dijumpai SPPT dengan alamat yang tidak jelas, Jumlah

Ketetapan Pajak dalam SPPT tidak sama dengan yang tertera dalam DHKP,

SPPT wajib pajak yang dobel nama.

Penyampaian SPPT ( Surat Pemberitahuan Pajak terhutang ) dari

Pemerintah Kecamatan Jaten kepada Desa-desa serta dari Desa kepada para

Pemungut Pajak kemudian sampai pada para Wajib Pajak merupakan hal yang

wajib dilaksanakan. Setelah SPPT sampai kepada Wajib Pajak masih

dimungkinkan merasa kurang puas, ketidak puasan Wajib Pajak yaitu dengan

dengan cara mengajukan keberatan kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan

Bangunan di Surakarta, di karenakan penetapan pajak yang terlalu tinggi, luas

tanah yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan atau nama Wajib Pajak

yang tertulis di SPPT tidak sesuai dengan nama yang tertera pada Kartu Tanda

Penduduk.

Untuk mendata pemasukan PBB, Petugas Pemungut di Desa harus

membuat Daftar Penerimaan Harian (DPH). DPH PBB yang dibuat oleh

Page 57: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

46

petugas pemungut di tiap-tiap desa, menjadi surat bukti bahwa para wajib

pajak telah menitipkan uang setoran PBB nya untuk disetorkan kepada Bank

persepsi, serta untuk mengetahui wajib pajak yang telah membayar lunas PBB

dan yang belum membayar PBB nya.

Laporan bulanan penerimaan PBB tahun yang bersangkutan dibuat

secara rutin oleh Camat dan dilaporkan kepada Bupati Karanganyar, serta

tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Kepala

Badan Pengawas Kabupaten Karanganyar, Kepala Kantor Pelayanan PBB

Surakarta dan Kepala Desa se-Wilayah Kecamatan Jaten, untuk mengetahui

realisasi PBB pada bulan yang bersangkutan serta langkah-langkah apa yang

harus dilakukan untuk mengejar target yang telah ditetapkan.

1. Isi Kebijakan

a). Kewenangan

Menurut grindle (1980:8-12) Implementasi suatu kebijakan sangat

ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of

policy). Studi ini melihat adanya salah satu aspek penting dari isi kebijakan yang

sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan yaitu aspek kejelasan

kebijakan dalam mengatur peran masing-masing pelaksana kebijakan Pemungutan

PBB. Posisi dari pejabat selaku pembuat kebijakan sangatlah menentukan sekali

bagi keberhasilan implementasi, maka dalam menformulasikan kebijakan harus

diperhatikan implementornya. Suatu kebijakan yang diformulasikan oleh bidang

diluar lingkup tugas implementor akan memiliki peluang gagal yang lebih besar.

Page 58: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

47

Ketika implementasi suatu kebijakan mulai dilaksanakan, para pelaku

program seharusnya sudah dibekali dengan berbagai sumberdaya yang memadai.

Sehingga perpaduan sumberdaya manusia dan sumber daya lain yang meliputi

sarana dan prasarana pendukung kebijakan akan memudahkan dalam pencapaian

tujuan kebijakan. Suatu kebijakan yang melibatkan partisipasi kelompok yang

memang diperlukan dalam mencapai sasaran program akan semakin efektif

diimplementasikan daripada melibatkan kelompok lain yang kurang

berkepentingan atas kebijakan tersebut.

Tentang pihak yang berwenang dan berkepentingan terhadap PPBB ini,

berdasarkan wawancara tanggal 15 Oktober 2006, Kepala Dinas Pendapatan

Daerah Kabupaten Karanganyar mengemukakan :

“Ketentuan yang ada secara eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan

dalam kebijakan PBB pada prinsipnya berada di Pemerintah Pusat dalam hal

ini Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) dan Pemerintah Daerah. Tetapi

diluar itu sebenarnya ada Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang juga perlu

berperan dalam kebijakan PBB. Selanjutnya agar kebijakan ini dapat

dijalankan secara baik maka dimana masing masing pihak mengerahkan

instansi dibawahnya yang terkait.

Berdasarkan keterangan tersebut diketahui bahwa ada lebih dari satu

pihak yang berperan dalam melaksanakan kebijakan PBB. Pemerintah Pusat

memiliki Dirjen Pajak yang menggunakan Kantor Pelayanan PBB (KP PBB)

sebagai tangan panjangnya dan Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur dan

Bupati/Walikota yang menggunakan instansi Dinas Pendapatan dan para pamong

praja yang ada di daerah sebagai pelaksana di lapangan. Instansi lain yang juga

Page 59: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

48

terkait dengan PBB adalah badan pertanahan nasional (BPN) sebagi institusi yang

membidangi administrasi pertanahan.

Penjelasan Undang-undang PBB sebagaimana dikutip Soemitro

(1989:53) menyebutkan pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan dengan obyek

PBB antara lain adalah :

1) Pejabat pembuat Akte Tanah (PPAT) baik dipegang oleh Camat atau

Notaris.

2) Kepala kelurahan atau kepala desa.

3) Pejabat Tata Kota (berkaitan dengan perijinan mendirikan bangunan)

4) Pejabat agraria sebagai pihak yang mengeluarkan sertifikat tanah.

5) Pejabat Pengawasan Bangunan.

6) Pejabat balai Harta Peninggalan

Sedangkan pejabat yang bertanggung jawab secara langsung mengenai kebijakan

PBB adalah Direktorat Jenderal Pajak. Di daerah tugas Dirjen Pajak dilaksanakan

oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB).

Tugas KP PBB dalam Kebijakan PBB ini sebagaimana keterangan

petugas di kantor Pelayanan PBB dalam wawancara tanggal 16 Oktober 2006,

dikemukakan sebagai berikut :

“Kami di KP PBB menentukan Subyek Pajak, Obyekl Pajak dan besarnya

NJOP dari masing masing Obyek pajak yang nantinya akan dijadikan dasar

menentukan berapa pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Kami juga

melayani keberatan atas beban pajak terhutang dari wajib pajak. Pada

prinsipnya KP PBB melayani pelayanan secara administratif mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, pengendalian sampai pada evaluasi Kebijakan

PBB.”

Page 60: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

49

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa kewenangan KP PBB adalah

melaksanakan kegiatan administratif dalam hal penentuan Obyek, Subyek dan

Nilai PBB. Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB juga

menjadi tanggung jawab KP PBB.

Peran Pemerintah Daerah dalam kebijakan PBB adalah melaksanakan

pemungutan PBB dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga keuangan yang

telah ditunjuk. Tentang peran Pemerintah daerah ini Kepala Dinas Pendapatan

dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006 mengemukakan :

“Pemerintah Daerah sebenarnya mendapatkan manfaat yang terbesar dari

pemasukan PBB, maka Pemerintah Daerah yang diberikan kewenangan

melaksanakan Pemungutan PBB harus bekerja intensif agar target

pendapatan PBB dapat masuk. Hal ini sungguh sangat strategis untuk

dimanfaatkan secara optimal mengingat PBB Merupuakan komponen yang

memnyumbang kontribusi terbesar terhadap Pendapatan Asli Daerah

(PADS)”.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh camat Jaten sebagaimana terungkap

dalam hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2006 sebagai berikut :

“Tugas kami selaku aparat Pemerintah Daerah adalah mengoptimalkan

penerimaan PBB dan membantu masyarakat agar lebih mudah

melaksanakan pembayaran PBB”.

Berdasarkan berbagai informasi diatas terungkap bahwa secara umum isi

kebijakan PBB telah secara jelas mengatur kewenangan masing masing instansi

dalam mendukung proses implementasinya. Tetapi yang menjadi catatan adalah

peran BPN sebagai institusi yang menguasai data dan administrasi pertanahan

Page 61: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

50

secara lebih komprehensif belum diatur keterlibatannya secara eksplisit.

Keterkaitan beberapa institusi dalam pelaksanaan sebuah kebijakan membutuhkan

komunikasi dan pengendalian yang baik agar terjadi hubungan sinergis yang

saling membantu demi tercapainya tujuan kebijakan tersebut.

B). Sistem Rewards And Punishmet

Kebijakan PBB telah mengatur secara jelas pembagian hasil penerimaan

PBB, dimana sebagian besar hasil PBB diserahkan kepada daerah. Dalam

Undang-undang PBB nomor 12 tahun 1986 pasal 18 ayat 1 telah diatur bahwa

hasil penerimaan PBB merupakan penerimaan negara yang dibagi antara

pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dengan perimbangan sekurang-

kurangnya 90 % untuk pemda Tingkat I dan Pemda Tingkat II dan 10 %

selebihnya untuk pemerintah pusat. Dari 90 % bagian pemda, sebagian besar

diberikan kepada PemerintahKabupaten (pasal 18 ayat 2). Perimbangan hasil

sebagaimana disebutkan diatas diatur dengan Peraturan Pemerintah RI nomor 47

tahun 1985 yang mengatur sebagai berikut:

1) 10 % dari hasil penerimaan PBB merupakan bagian penerimaan pemerintah

pusat oleh karena itu harus sepenuhnya disetorkan ke kas negara.

2) 90 % dari hasil penerimaan merupakan bagian penerimaan untuk pemerintah

daerah yang harus dikurangi terlebih dahulu dengan biaya pemungutan sebesar

10 %. Dan setelah itu sisanya dibagi antara pemerintah propinsi dan kabupaten

dengan perbandingan pemerintah Propinsi sebesar 20 % dan Pemerintah

kabupaten sebesar 80 %. Bagian ini merupakan bagian pemerintah daerah

sehingga sertiap tahun harus dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan

Page 62: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

51

Belanja Daerah (APBD). Hasil PBB ini digunakan untuk kepentingan

masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Sistem pembagian ini dapat dijadikan sebagai pemicu semangat daerah

untuk melaksanakan pemungutan PBB sebaik mungkin agar dapat meraih

pendapatan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kapasitas APBD di daerahnya.

Di sisi lain tersedianya upah pungut sebesar 10 % yang diambilkan dari bagian

Pemerintah Daerah merupakan perwujudan penghargaan bagi institusi pemungut

PBB. Dengan mekanisme ini maka setiap institusi yang terkait dengan

pemungutan PBB dan aparat yang ada didalamnya akan termotivasi meningkatkan

penerimaan dari sektor PBB.

Pajak adalah suatu pungutan oleh negara yang dikenakan kepada warga

negara yang bersifat wajib dan harus ditaati oleh setiap warga negara. Kebijakan

PBB dalam UU nomor 12 tahun 1986 sebagaimana disebutkan dalam konsideran

menimbang melihat bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan

kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang

mempunyai hak atasnya, atau memperoleh manfaat daripadanya, maka wajar jika

mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang

diperolehnya kepada negara melalui pajak. Dalam UU PBB maupun peraturan-

peraturan turunannya tidak mengatur rewards bagi wajib pajak yang telah

membayar pajak dengan baik.

Pemerintah daerah sebagai pihak yang berkepentingan untuk

mendapatkan pemasukan dari sektor PBB berusaha memberikan penghargaan

kepada wajib pajak maupun institusi pemungut di lapangan yang telah

Page 63: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

52

mendukung keberhasilan pemungutan PBB. Di Kabupaten Karanganyar rewards

atau bentuk penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak yang telah membayar

pajak lebih awal diberikan dalam bentuk pemberian hadiah undian bagi Wajib

pajak yang telah melunasi PBB sebelum bulan Agustus setip tahunnya. Tentang

hal ini Kasubdin Penagihan pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten

Karanganyar dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006 mengemukakan sebagai

berikut :

Kami telah mendesain cara agar masyarakat tergugah untuk sadar membayar

pajak lebih awal dari jatuh tempo yang ditentukan. Cara yang kami tempuh

adalah dengan memberikan stimulan berupa berbagai hadiah yang menarik

bagi wajib pajak yang kami undi untuk para wajib pajak yang telah lunas

PBB sampai akhir bulan Juli tahun yang bersangkutan. Program ini kami

mulai sejak tahun 2004 dan ternyata hasilnya luar biasa di kabupaten

Karanganyar yang pada tahun tahun sebelumnya tidak pernah menutup

terget ternyata pada tahun 2004 pemasukan PBB tahun 2004 lebih dari 100

%. Memang pasti ada indikator lain yang mendukung keberhasilan ini tetapi

tentunya pemberian hadiah ini turut memberi kontribusi yang signifikan

terhadap keberhasilan tersebut.

Keberhasilan sebagaimana diungkapkan Kasubdin Penagihan Dipenda

kabupaten Karanganyar tersebut memang benar karena berdasarkan data

pemasukan PBB (tabel 1 hal 2) sejak tahun 2001 sampai 2003 pemasukan

pungutan PBB berkisar antara 80 % sd 96 %, tetapi pada tahun 2004 meningkat

drastis menjadi 109, 17 %. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem

penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak merupakan salah satu faktor

pendukung keberhasilan implementasi kebijakan pemungutan PBB.

Page 64: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

53

Adanya Penghargaan bagi yang berprestasi atau yang kooperatif

tentunya juga perlu dibarengi dengan adanya hukuman atau punishment bagi

yang melanggar. Kebijakan PBB telah memuat sanksi terhadap para pelanggar

kebijakan ini. Sanksi yang dikenakan terhadap pelanggar kebijakan PBB

diberikan dalam bentuk sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi

administratif diberikan jika wajib pajak terlambat mengembalikan Surat

Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan jika wajib pajak terlambat membayar

pajak terhutang yang telah jatuh tempo. Sanksi administratif ini dikenakan dalam

bentuk denda, misalnya untuk wajib pajak yang terlambat membayaer PBB

dikenakan denda administratif sebesar 2 % dari pajak terhutang per bulan

keterlambatan pembayaran.

Sedangkan sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada wajib pajak melalui

penetapan oleh hakim pidana. Ketentuan Pidana dalam kebiajakan PBB dibagi

dalam dua kategori yaitu :

a. Tindak pidana yang disebabkan karena kealpaan (Pasal 24 UU PBB dan

Pasal 38 UU no. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

perpajakan.)

b. Tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja (pasal 25 UU PBB dan

Pasal 39 UU no 6 tahun 1983.

Tindakan yang dapat dikenakan sanksi pidana antara lain : Tidak

mengembalikan Surat Pemberitahuan Obyek pajak (SPOP), menyampaikan SPOP

yang isinya tidak benar, tidak lengkap, dan atau lampirannya tidak memberikan

Page 65: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

54

keterangan yang benar, tidak mengembalikan SPOP, menunjukkan dokumen

palsu atau yang dipalsukan, dan tidak memperlihatkan dokumen yang dibutuhkan

oleh Ditjen pajak dalam penetapan PBB. Terhadap pelanggaran-pelanggaran

tersebut dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda

paling tinggi Rp. 2.000.000.000,- (dua juta rupiah).

Tentang berbagai sanksi yang diatur terhadap pelanggaran – pelanggaran

dalam UU PBB tersebut Camat Jaten dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006

mengemukakan :

“Sanksi yang diatur dalam Undang-undang PBB kebanyakan mengatur

tentang proses terbitnya SPPT, tetapi Justru yang mengatur sanksi

terhadap wajib pajak yang tidak mau membayar PBB menurut saya kurang

tegas. Dalam hal ini Wajib Pajak hanya dikenai denda 2 % setiap bulan

keterlambatan. Sebaiknya untuk meningkatkan keberhasilan pemungutan

PBB perlu ada sanksi yang lebih keras yang diberikan kepada Wajib Pajak

yang tidak membayar PBB, karena di Jaten ini ada wajib pajak yang tidak

membayar PBB selama bertahun – tahun dan kami sendiri tidak bisa

berbuat apa apa selain hanya menagih dan menagih. Disamping itu saya

belum pernah mengetahui orang yang dikurung karena pelanggaran

terhadap UU PBB. Jadi bagi saya masalah law enforcement menjadi

sebuah persyaratan yang penting untuk diwujudkan jika kita ingin

implementasi kebijakan pemungutan PBB ini sukses.

Pernyataan Camat Jaten yang mengungkap adanya kelemahan dalam

penegakan hukum tersebut diperkuat oleh Kasi Pemerintahan Kecamatan Jaten

dalam wawancara tanggal 17 oktober 2006 yang mengemukakan :

“Permasalahan yang saya alami selama ini adalah selalu saja keengganan

Wajib Pajak untuk menyetor PBB, hal ini disebabkan karena mereka

Page 66: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

55

mengamati para penunggak yang sudah lebih dari satu tahun menunggak

PBB pun tidak diberi sangksi yang tegas sehingga mendorong keberanian

mereka untuk tidak membayar PBB. Menurut saya perlu ada shok terapi

dengan memberikan hukuman kepada penunggak PBB yang sudah lebih

dari satu tahun menunggak PBB dan dipublikasikan secara luas untuk

menimbulkan efek kepatuhan bagi wajib pajak”.

Pernyataan tersebut menunjukkan adanya sebuah ruang yang menjadi

celah dan dapat menjadi faktor penghambat dalam mengupayakan keberhasilan

implementasi pemungutan PBB di wilayah Kecamatan Jaten. Tidak tegasnya

sanksi terhadap para penunggak PBB dan penegakan hukum yang tidak berjalan

menyebabkan implementasi kebijakan pemungutan PBB tidak dapat berhasil

sesuai target yang diharapkan.

2. Sumber Daya Manusia (SDM)

a) Kuantitas SDM

Petugas yang terlibat dalam Pemungutan PBB terdiri dari para petugas

yang telah ditetapkan Bupati Karanganyar melalui SK Bupati Karanganyar nomor

973/354 tahun 2005 tentang Penetapan Tim Intensifikasi PBB Kabupaten

Karanganyar. Dalam Tim tersebut Tim Intensifikasi dibentuk berjenjang mulai

dari Kabupaten sampai Kacamatan. Selanjutnya di Desa / Kelurahan Kepala Desa

/Lurah ditunjuk sebagai koordinator petugas pemungut, Sekretaris Desa/Sekretaris

Kelurahan sebagai Petugas Administrasi PBB Desa dan Kepala Dusun sebagai

Petugas Pemungut PBB.

Page 67: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

56

Di Tingkat Kecamatan Tim Intensifikasi PBB terdiri dari Camat sebagai

penanggungjawab dengan anggota Sekretaris Kecamatan, Kasi Pemerintahan dan

beberapa staf yang membidangi. Tim Tingkat Kecamatan ini bertugas

memobilisasi proses pemungutan PBB mulai dari Penyampaian SPPT sampai

pada pelaporan realisasi pelunasan PBB. Selanjutnya Tim tingkat kecamatan Ini

menendalikan dan mengkorrdinasikan Tugas Tugas Tim Intensifikasi Pemungutan

PBB Tingkat Desa yang terdiri dari Kepala Desa selaku Penanggung jawab,

Sekdes sebagai petugas administrasi dan Kepala Dusun sebagai Petugas

Pemungut PBB.

Di Kecamatan jaten Tim Intensifikasi PBB Tingkat kecamatan terdiri

dari 5 orang yang masing-masing telah memahami peran dan fungsinya masing-

masing sebagaimana diungkapkan oleh Camat jaten Sebagai Berikut :

“Tim Intensifikasi PBB di Kecamatan Jaten ini jumlahnya ada lima orang

termasuk saya, meskipun hanya lima orang saya berupaya agar yang

sedikit ini bisa bekerja dengan efektif, maka saya membagi mereka dalam

wilayah desa binaan, dimana masing masing anggota tim kecuali saya

membina di 2 desa. Dengan begitu saya harapkan mereka lebih

bertanggungjawab dan tahu betul dan fokus terhadap permasalahan di desa

binaannya masing masing. Sebenarnya saya ingin satu orang membina

satu desa saja tetapi komposisi Tim Intensifikasi ini sudah ditentukan dari

Kabupaten, mungkin ada kaitannya dengan hak upah pungut yang

diberikan. Oleh karena itu disini yang ikut saja toh 5 orang kalau bekerja

dengan efektif itu sudah cukup”.

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Tim Intensifikasi Tingkat

Kecamatan yang berjumlah lima orang telah cukup berfungsi sebagai pengendali

Page 68: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

57

proses pemungutan PBB di Kecamatan jaten. Tolok ukur yang dapat digunakan

untuk melakukan penilaian ini adalah semua administrasi PBB di Kecamatan

Jaten tertata dan berjalan dengan Baik disamping itu setiap kesulitan dari Desa

dapat teratasi dengan baik sebagimana dikemukakan Sekretaris Desa Dagen yang

mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

“Selama ini tidak ada masalah mas komunikasi dengan Kecamatan

berjalan dengan baik setiap persoalan yang muncul selalu bisa dibantu

dengan baik oleh petugas kecamatan, tetapi kalau soal lunasnya ya itu

semua sudah kami usahakan tetapi ada saja wajib pajak yang membandel”.

Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat bahwa secara administratif

persoalan-persoalan PBB dapat teratasi, tetapi tetap saja persoalan Wajib Pajak

yang menunggak masih ada. Selanjutnya untuk tingkat desa di Kecamatan Jaten,

jumlah petugas PBB terdiri dari 8 orang Koordinator Petugas Pemungut, 8 orang

petugas administrasi, dan 46 orang Petugas Pemungut. Jumlah tersebut sesuai

dengan komposisi Kecamatan jaten yang terdiri dari 8 desa dan 46 dusun. Maka

jumlah tersebut secara umum sudah cukup memadai. Permasalahan muncul ketika

sebuah dusun memiliki penduduk yang sangat besar seperti di Desa Ngringo. Di

desa ini ada satu orang Petugas Pemungut yang harus menangani lebih dari 3.000

Wajib Pajak. Hal ini terjadi karena lingkungan ngringo adalah kompleks

perumahan yang sangat padat sehingga jumlah penduduknya sangat banyak. Atas

dasar kenyataan tersebut perlu dipikirkan untuk diusulkan penambahan petugas

pemungut PBB khusus untuk desa dengan karakteristik khusus seperti Desa

Ngringo tersebut.

Page 69: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

58

b). Kualitas SDM

Secara umum kapasitas petugas PBB di Kecamatan Jaten jika ditinjau

dari aspek tingkat Pendidikan cukup baik. Hal ini terlihat pada komposisi

tingkat pendidikan Kepala Dusun di Kecamatan Jaten sebagaimana Tabel 5

berikut ini :

Tabel 5

Tingkat Pendidikan Kepala Dusun Di Kecamartan Jaten

Kabupaten Karanganyar

Tahun 2005

Sumber : Data Kecamatan Jaten

Data tersebut menunjukkan rata rata petugas pemungut PBB di

Kecamatan jaten berpendidikan SLTA. Hal ini menunjukkan kondisi yang

cukup baik dan tingkat pendidikan yang baik ini diharapkan juga akan

berpengaruh terhadap kinerja implementasi kebijakan pemungutan PBB.

Meskipun tidak ada data yang menunjukkan kaitan langsung antara Tingkat

Pendidikan Petugas Pemungut dengan keberhasilan Pemungutan PBB,

setidaknya dengan tingkat pendidikan yang cukup maka tingkat pemahaman

dan kreatifitas seseorang dalam memahami suatu kebijakan akan lebih baik.

No Tingkat PendidikanJumlah(orang)

persentase(%)

1 SD 2 4,35

2 SLTP 11 23,91

3 SLTA 30 65,22

4 Sarjana 3 6,52

Jumlah 46 100

Page 70: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

59

Disamping pendidikan formal juga dibutuhkan pendidikan dan pelatihan

yang lebih bersifat fungsional yang langsung mengarah pada suatu program.

Diklat semacam ini belum pernah dilaksanakan. Dalam rangka meningkatkan

kecakapan pegawai dan membantu para pegawai melaksanakan tugasnya

secara efektif dan efisien maka pendidikan dan latihan sangatlah penting

untuk dilaksanakan. Menurut Camat Jaten Pelatihan bagi Petugas pemungut

PBB Selama ini belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan sumber daya

dan dana yang ada di kecamatan Jaten, sehingga kegiatan Rapat Koordinasi

dan Apel PBB dijadikan sarana untuk meningkatkan motivasi dan pemahaman

Petugas pemungut dalam penangihan PBB.

Sedangkan menurut Kasubdin Penagihan Dinas Pendapatan Kabupaten

Karanganyar, Dipenda Pernah Mengadakan Pembinaan dalam rangka

peningkatan pemasukan PBB tetapi sasarannya masih terbatas sampai pada

tim intensifikasi tingkat kecamatan se Kabupaten Karanganyar.

3. Kepatuhan Pelaksana

a). Ketepatan Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang

(SPPT)

Tugas awal yang harus dilaksanakan oleh para petugas pemungut PBB

adalah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak. SPPT merupakan surat

ketetapan yang yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak Melalui KP PBB.

Penetapan Nilai PBB dalam SPPT Mengacu pada SPOP. Mekanisme

penyampaian SPPT ini sebagaimana dikemukakan oleh Kasi Pemerintahan

Page 71: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

60

Kecamatan Jaten di mulai dari pencetakan oleh KP PBB kemudian diteruskan

oleh Dinas Pendapatan Kabupaten Karanganyar selanjutnya baru

didistribusikan ke desa/kelurahan melaui kecamatan-kecamatan. Di Desa

selanjutnya di pilah-pilah perdusun dan dibuatkan daftar nominatif PBB

masing-masing dusun sambil di cek kebenaran datanya. Setelah proses

administrasi di desa selesai baru diedarkan oleh para kepala dusun kepada

masyarakat.

Menurut Kepala Dusun Jati Kecamatan Jaten SPPT sering terlambat

sebagaimana dikemukakan sebagai berikut:

“Biasanya penyampaian SPPT disini agak molor pak, karena biasanya

SPPT sampai di desa bulan Juli dan baru beredar di masyarakat pada

bulan Agustus hal ini karena penelitian di desa membutuhkan waktu

yang cukup lama. Kalau SPPT dapat lebih awal kami terima tentunya

SPPT juga akan lebih cepat sampai ke masyarakat. Kalau tahun ini agak

lumayan pak bulan Mei kemarin sudah sampai di Desa makanya di

masyarakat pun tahun ini bisa lebih cepat”.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa terjadinya keterlambatan

penyampaiamn SPPT tidak terjadi karena semata-mata kesalahan petugas

Kadus di lapangan tetapi juga diakibatkan keterlambatan KP PBB

menerbitkan SPPT PBB. Keterlambatan Penyampaian SPPT ini jika tidak

diatasi akan merugikan Wajib Pajak karena sebenarnya wajib pajak diberi

kesempatan membayar pajak paling lambat enam bulan setelah SPPT

diterima. Jika SPPT terlambat diterima maka 6 bulan kedepan setelah SPPT

Page 72: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

61

diterima bisa jadi sudah berganti tahun yang berarti jangka waktu pembayaran

menjadi lebih singkat .

Setelah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak petugas melaporkan

hasilnya kepada petugas administrasi desa untuk dilaporkabn kepada camat

dan selanjutnya Camat menyampaikan laporan perkembangan penyampaian

SPPT kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah dengan tembusan Kepala

Dinas Pendapatan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan

Surakarta. Di tingkat desa yaitu koordinator, sebulan sekali melaporkan

perkembangan penyampaian SPPT dan STTS Pajak Bumi dan Bangunan

Kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar lewat

Camat Jaten dan menyerahkan Berita Acara penyetotan uang Pajak Bumi dan

Bangunan lembar ketiga dan keempat kepada Camat Jaten. Petugas pemungut

mempunyai tugas mencocokan nama-nama wajib pajak yang tertera dalam

DHKP ( Daftar Himpunan Ketetapan Pajak ) dengan SPPT Wajib pajak,

karena banyak dijumpai SPPT dengan alamat yang tidak jelas, Jumlah

Ketetapan Pajak dalam SPPT tidak sama dengan yang tertera dalam DHKP,

SPPT wajib pajak yang dobel nama.

Penyampaian SPPT ( Surat Pemberitahuan Pajak terhutang ) dari

Pemerintah Kecamatan Jaten kepada Desa-desa serta dari Desa kepada para

Pemungut Pajak kemudian sampai pada para Wajib Pajak merupakan hal yang

wajib dilaksanakan. Setelah SPPT sampai kepada Wajib Pajak masih

dimungkinkan merasa kurang puas, ketidak puasan Wajib Pajak yaitu dengan

dengan cara mengajukan keberatan kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan

Page 73: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

62

Bangunan di Surakarta, di karenakan penetapan pajak yang terlalu tinggi, luas

tanah yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan atau nama Wajib Pajak

yang tertulis di SPPT tidak sesuai dengan nama yang tertera pada Kartu Tanda

Penduduk. Alur administrasi sebagaimana diatas menimbulkan terjadinya

permasalahan dalam distribusi SPPT sampai ke wajib pajak.

2. Kepatuhan Pengadministrasian

Pengadministrasian PBB meliputi pembuatan laporan hasil

perkembangan penyampaian SPPT PBB tahun yang bersangkutan kepada

wajib pajak lewat koordinator pemungut pajak..Petugas Pemungut di Desa

harus membuat Daftar Penerimaan Harian (DPH). DPH PBB yang dibuat

oleh petugas pemungut di tiap-tiap desa, menjadi surat bukti bahwa para

wajib pajak telah menitipkan uang setoran PBB nya untuk disetorkan kepada

Bank persepsi, serta untuk mengetahui wajib pajak yang telah membayar lunas

PBB dan yang belum membayar PBB nya.

Laporan bulanan penerimaan PBB tahun yang bersangkutan dibuat

secara rutin oleh Camat Jaten dan dilaporkan kepada Bupati Karanganyar,

serta tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah,

Kepala Badan Pengawas Kabupaten Karanganyar, Kepala Kantor Pelayanan

PBB Surakarta dan Kepala Desa se-Wilayah Kecamatan Jaten, untuk

mengetahui realisasi PBB pada bulan yang bersangkutan serta langkah-

langkah apa yang harus dilakukan untuk mengejar target yang telah

ditetapkan. Keterlambatan dalam menyampaikan laporan bulanan kepada

Page 74: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

63

Bupati Karanganyar, akan berakibat target yang telah ditetapkan dalam bulan

yang bersangkutan tidak diketahui sehingga pimpinan terlambat dalam

mengambil keputusan.

Kesulitan administrasi yang sering dijumpai adalah ketidak sesuaian

data obyek pajak dengan wajib pajaknya, hal ini disebabkan oleh tidak

terintegrasinya sistem administrasi kepemilikan dan penguasaan tanah di BPN

dengan Administrasi PBB di KP PBB. Sebagaimana dikemukakan oleh

petugas administrasi PBB Kecamatan Jaten sebagai Berikut :

“para pelaksana di lapangan sering kesulitan menyesuaikan data

PBB dengan data kepemilikan tanah yang sering terjadi perubahan.

Di Kecamatan Jaten yang merupakan daerah perkotaan, frekuensi

mutasi tanah sangat tinggi, tetapi hal ini tidak diikuti oleh mutasi

tagihan PBB sebagaimana tercatat dalam SPPT sehingga sering

terjadi komplain dan keengganan masyarakat untuk membayar PBB

karena Tanah yang menjadi obyek pajak tersebut sudah tidak berada

dalam penguasaanya atau mereka sudah tidak menikmati manfaat

atas tanah tersebut.”

Tanggung jawab administrasi perubahan atas SPPT yang diberikan

kepada wajib pajak berada di tangan KP PBB sebagai instansi induk yang

menangani PBB. Tetapi data dan informasi untuk keperluan mutasi data

Objek pajak dan wajib pajak berasal dari para Pejabat Pembuat Akte tanah

di bawah koordinasi Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan pihak yang

mendistribusilkan dan menagih PBB adalah aparat Pemda dengan

infrastrukturnya berupa aparat kecamatan dan aparat desa/kelurahan.

Page 75: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

64

Pengadministrasian PBB juga meliputi penentuan Nilai jual Obyek

Pajak (NJOP) Yang dijadikan Dasar Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan

untuk menentukan besarnya pajak dari masing-masing obyek pajak turut

pula berpengaruh terhadap keterlambatan penyampaian SPPT sampai ke

wajib Pajak.

Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang

dievaluasi setiap tiga tahun ditetapkan oleh Menteri Keuangan kecuali untuk

daerah tertentu ditetapkan setiap tahun. Jangka waktu tiga tahun ini dianggap

wajar karena pada umumnya NJOP itu tidak cepat perubahannya kecuali

apabila terjadi perubahan klasifikasi, seperti perubahan penggunaan tanah dari

tanah ladang menjadi pemukiman atau menjadi tanah perindustrian.

Dalam menentukan nilai jual ini Menteri Keuangan mendengar dan

memperhatikan pertimbangan dari Gubernur dan Bupati setempat. Walaupun

nilai jual obyek PBB ditetapkan tiga tahun sekali, namun surat Pemberitahuan

Pajak Terhutang (SPPT) dikenakan setiap tahun. Dari NJOP ini ditetapkan

Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Penetapan NJKP ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah nomor 46 tahun 1985 dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 diatur NJKP

ditetapkan sebesar 20 % dari NJOP. Tentang penetapan besarnya NJKP ini

petugas KP PBB Surakarta mengemukakan :

Penetapan NJKP 20 % itu karena ada dua pertimbangan yaitu, pertama

karena PBB pada umumnya menggantikan pajak-pajak yang menjadi

sumber penerimaan daerah, maka diusahakan dengan adanya PBB

akan memberikan sumber pendapatan bagi daerah yang memadai

untuk membiayai kegiatan pembangunannya. Kedua, melihat

Page 76: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

65

kemampuan ekonomi masyarakat secara keseluruhan untuk membayar

pajak agar tidak timbul gejolak yang terlalu memberatkan masyarakat.

Pernyataan diatas mengandung makna bahwa dengan penetapan NJKP

20 % dari NJOP penerimaan daerah tidak akan berkurang dibandingkan

dengan jika menggunakan peraturan yang lama, dan rakyat tidak terlalu berat

menanggungnya.

Tanah dan bangunan memiliki banyak keragaman yang nilainya tidak

mungkin disamaratakan, maka dalam PBB dilakukan klasifikasi dan

kategorisasi untuk mengelompokkan bumi dan bangunan berdasarkan nilai

jualnya. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor

antara lain letak, peruntukan, pemaanfaatan, dan kondisi lingkungan

Tanah/bangunan tersebut. Sedangkan secara lebih spesifik faktor yang dapat

membedakan besarnya NJOP adalah Luas tanah dan bangunan, hasil yang bisa

didapatkan dari tanah/bangunan, adanya irigasi, dan sebagainya. Sedangkan

untuk bangunan klasifikasinya memperhatikan faktor faktor bahan bangunan,

rekayasa teknologi yang digunakan, letak, kondisi lingkungan, dan lain-lain.

Nilai Jual Tanah yang dijadikan dasar penentuan NJOP adalah harga

rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.

Mengingat transaksi jual beli tanah dalam suatu kawasan tidak sering terjadi

dan harga suatu bidang tanah belum dapat mewakili harga tanah untuk bidang

lain dalam satu kawasan, maka perlu ada metode lain dalam menentukan

besarnya NJOP. Sebagai kriteria lain yang dapat digunakan adalah

menggunakan perbandingan berdasarkan kategori dan klasifikasi tertentu.

Page 77: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

66

Pendekatan lain yang digunakan dalam penentuan NJOP adalah metode nilai

perolehan baru, yaitu suatu pendekatan metode penetuan NJOP dengan cara

menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperolrh obyek tersebut

pada saat penilaian dilakukan, dikurangi dengan penyusutan berdasarkan

kondisi fisik obyek tersebut.

Masing masing metode yang digunakan selalu memiliki kelebihan dan

kelemahan, maka dalam tataran operasional setelah ditetapkan ternyata selalu

ada pihak yang merasa tidak puas dan tidak dapat menerima NJOP yang

muaranya muncul dalam SPPT. Hal Ini seperti yang dikemukakan oleh Kepala

desa Dagen sebagai berikut :

Di sini ini kebanyakan rakyatnya petani dan buruh kecil tapi pajak

PBB nya tinggi, mungkin karena lokasinya dekat dengan kawasan

industri, bagi masyarakat ini tentu sangat memberatkan, apalagi

hampir setiap tahun selalu ada peningkatan. Kami sendiri tidak tahu

benar apa yang dijadikan dasar penghitungan, yang jelas jika pajaknya

besar banyak warga kami yang tidak mau membayar. Untuk

memperlancar pembayaran terpaksa kami membantu mengurus

pengurangan ke KP PBB tetapi tahun berikutnya nilainya selalu

kembali ke nilai yang besar.

Hai ini menunjukkan bahwa kriteria dan cara penentuan besarnya PBB

yang diawali dengan penentuan NJOP tidak dipahami secara baik di tingkat

aparat pemerintahan yang terbawah. Maka dapat dipahami jika masyarakat

juga tidak mengetahui dasar-dasar pengenaan PBB. Tentang hal ini Petugas

KP PBB mengemukakan :

Page 78: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

67

Penentuan besarnya NJOP ini telah melalui tahapan pendataan yang

melibatkan aparat pemerintah di desa dan rata rata nilai jual yang

dijadikan dasar penghitungan PBB masih berada di bawah harga pasar

yang berlaku. Atas dasar ini maka sebenarnya tidak ada alasan untuk

tidak membayar PBB. Bahkan kami juga memberi kesempatan jika

mereka merasa keberatan dengan besarnya pajak yang harus dibayar,

mereka dapat mengajukan keberatan. Jika alasannya mendasar kami

melalui Pimpinan kami di KP PBB pasti akan mengakomodasi

permohonan keberatan tersebut.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dari institusi KP PBB

sebagai tangan panjang menteri keuangan yang menetapkan besarnya PBB

yang harus dibayar masyarakat sudah berupaya memberikan layanan yang

baik kepada masyarakat, tetapi karena tidak semua informasi dapt sampai

kepada masyarakat maka masih selalu ada komplain atas penetapan

besarnya PBB atas obyek pajak yang dimiliki masyarakat.

3. Komunikasi

a. Komunikasi dengan wajib pajak

Dari sisi wajib pajak salah satu upaya yang dilakukan adalah

dengan memberikan penyadaran bagi wajib pajak mengenai perlunya

membayar PBB. Bentuk penyadaran terhadap wajib pajak yang pertama

kali dilakukan adalah dengan memberikan penyuluhan kepada wajib pajak

pada saat pertemuan tingkat RT maupun tingkat Dusun dan Desa. Dalam

hal ini pihak kecamatan bekerja sama dengan Dinas Pendapatan Daerah

Kabupaten Karanganyar. Dalam hal ini biasanya dilakukan setelah para

Page 79: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

68

wajib pajak menerima SPPT dari Petugas pemungut pajak di tingkat

Dusun. Ini seperti dikemukakan Camat Jaten sebagai berikut :

Penyadaran terhadap wajib pajak kami lakukan dengan cara

pemberian sosialisasi pada mereka. Hal yang pertama dilakukan

melalui perangkat desa, pada saat kami memberikan SPPT lewat

Kepala Desa. Kemudian kami lanjutkan pada saat pertemuan

ditingkat Dusun maupun Desa.

Hal tersebut dibenarkan oleh seorang kepala dusun yang

menyatakan sebagai berikut :

Setiap tahun kami mendapatkan pengarahan dari Dinas Pendapatan

daerah Kabupaten Karanganyar dan Bapak Camat setelah menerima

SPPT yang harus disampaikan kepada wajib pajak. SPPT untuk

dikoreksi kebenarannya mungkin saja ada kesalahan, namun apabila

telah benar keseluruhannya, masyarakat dalam hal ini wajib pajak

dimohonkan untuk segera membayarnya tidak perlu menunggu jatuh

tempo.

Disamping dalam bentuk pertemuan secara langsung upaya

penyadaran para wajib pajak juga dilakukan melalui pemasangan spanduk

yang dipasang ditempat-tempat yang startegis misalnya perempatan jalan,

kantor desa maupun bank persepsi dalam hal ini Badan Kredit Kecamatan

(BKK) Hal ini dibenarkan oleh Kepala Desa Jaten yang mengatakan sebagai

berikut:

Seperti petunjuk yang disampaikan oleh bapak Camat Jaten kamipun

memasang spanduk ditempat-tempat yang strategis, kami mendapatkan

3 spanduk satu kami pasang dibalai desa sedangkan yang lain di

tempat tempat yang strategis.

Page 80: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

69

Upaya lain yang dilakukan dalam rangka penyadaran wajib pajak

untuk membayar pajak khususnya Pajak Bumi dan Bangunan juga dilakukan

melalui media elektronik yaitu lewat RSPD Karanganyar. Dalam

pemberitaan tersebut dikemukakan pentingnya membayar pajak tepat pada

waktunya dan kegunaan dana tersebut untuk kelangsungan pembangunan di

daerah Kabupaten Karanganyar.

Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten dalam

hal meningkatkan kesadaran wajib pajak tersebut nampaknya memang telah

cukup memadai, sebab semua jalan telah ditempuh misalnya memanfaatkan

pertemuan-pertemuan di tingkat Dusun, ditempat jamuan orang punya kerja,

pemasangan spanduk ditempat-tempat yang strategis serta memanfaatkan

siaran Radio RSPD Karanganyar di setiap Minggu. Berbagai kendala

khususnya dalam hal pemberian sosialisasi masih terjadi, karena dalam

pertemuan baik ditingkat RT maupun Dusun ada masyarakat wajib pajak

yang tidak bisa hadir secara pribadi, atau pada waktu siaran radio lewat

RSPD kurang diperhatikan karena media Radio sudah tidak menarik lagi

dibandingkan media Televisi.

b. Komunikasi dalam Tim Intensifikasi PBB

Dari sisi petugas pajak persoalan yang muncul biasanya

berhubungan dengan kurangnya komitmen dan pemahaman petugas pajak.

Dalam hal ini berkaitan dengan budaya sendiko dawuh. Kalau pimpinan

belum memberikan komando untuk terjun kebawah biasanya staf juga belum

Page 81: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

70

bergerak untuk mengadakan sosialisasi, pengecekan dilapangan apakah

SPPT telah disampaikan kepada wajib pajak maupun penarikan PBB dari

wajib pajak. Dalam mengantisipasi tentang hal ini pihak Kecamatan Jaten

melakukan berbagai langkah sebagai berikut :

1) Kecamatan Jaten melibatkan beberapa Kepala Seksi dan staf untuk

menangani masalah Pajak Bumi dan Bangunan masing-masing

personil diberikan tanggung jawab per desa dari monitoring

penyampaian SPPT sampai pada wajib pajak membayar kewajibannya

dan mendapatkan STTS dari Bank persepsi dalam hal ini BKK Jaten.

Menurut Camat Jaten hal ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan

mengoptimalkan hasil pemungutan PBB, sebagaimana dikemukakan

Camat Jaten dalam wawancara sebagai berikut :

Sebenarnya PBB menjadi tugas pokok dan fungsi Kepala Seksi

Pemerintahan, namun karena banyaknya permasalahan yang

menyangkut tentang PBB, maka kami melibatkan seluruh kepala

seksi untuk ikut serta menangani PBB dan diharapkan PBB bisa

terselesaikan tepat pada waktunya.

2) Kecamatan bekerja sama dengan Kepala Desa untuk menentukan

Kepala Dusun mana yang akan diusulkan menjadi pemungut pajak,

dan Kepala Dusun mana yang tidak diusulkan serta diganti dengan

perangkat desa yang lain misalnya Kaur ditingkat desa. Hal ini penting

dilakukan karena dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, Kepala

Dusun yang itu-itu saja yang menggunakan uang setoran PBB untuk

Page 82: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

71

kepentingan pribadinya. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Desa Jetis

Kecamatan Jaten sebagai berikut:

Kalau memang ada petunjuk tertulis dari bapak Camat Jaten,

kaur boleh diserahi tugas untuk menarik PBB dari masyarakat,

kami harapkan sekali sebab banyak kepala dusun sebagai

pemungut pajak malah menghabiskan dana setoran PBB nya

untuk kepentingan pribadinya. Kalau sudah demikian akhirnya

Kepala Desa yang harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan

PBB yang digunakan oleh Kepala Dusun tersebut, karena Kepala

Desa merasa malu.

Sementara itu berkaitan dengan munculnya kenyataan bahwa

pajak yang telah diterima oleh petugas pemungut tidak disetorkan

semua, dalam hal ini pihak Kecamatan Jaten mengantisipasinya dengan

lebih banyak turun pada pertemuan-pertemuan ditingkat dusun dengan

cara jemput bola, walau memerlukan waktu yang cukup lama namun

cukup efektif karena wajib pajak dapat membayar pada pertemuan

tersebut secara kolektif dan pada pagi harinya telah mendapatkan Surat

tanda lunas membayar PBB dari Badan Kredit Kecamatan (BKK) Jaten.

Hal tersebut dibenarkan oleh perangkat desa di Desa Sroyo

sebagai berikut:

Kalau setiap tahun tim tingkat Kecamatan mau jemput bola

seperti ini, saya yakin sekali PBB akan lunas tepat pada

waktunya karena tidak dipakai oleh petugas pemungut,

sekaligus Bapak Camat dapat memberikan informasi kepada

masyarakat secara langsung tidak hanya masalah PBB

Page 83: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

72

namun, informasi yang lain yang sangat diperlukan oleh

warga masyarakat.

Dalam berbagai hal nampaknya upaya ini cukup berhasil, akan

tetapi persoalannya akan kembali pada pemberian upah pungut yang

kurang jelas yang diterima oleh petugas pemungut pajak. Selama ini upah

pungut yang diberikan pada petugas pemungut PBB lewat Kepala Desa

masih terkesan belum dilakukan secara transparan, karena Kepala Desa

tidak menjelaskan secara terbuka berapa yang telah diterima. Kepala Desa

hanya diberikan upah sebesar persentase tertentu yang dipengaruhi oleh

oleh seberapa besar realisasi dari target yang diberikan. Hal ini

menyebabkan para petugas pemungut pajak tidak menyetorkan seluruh

perolehannya kepada Bank Persepsi dalam hal ini BKK Jaten. Hal ini

dibenarkan oleh seorang Kepala Dusun yang sebagai pemungut pajak di

Desa Jetis sebagai berikut:

Sebenarnya kami harus menerima upah dari jerih payah kami sebagai

pemungut pajak, namun kami tidak pernah menerima upah pungut

tersebut, kalaupun menerima upah pungut sangat sedikit sekali dan

tidak sesuai dengan apa yang telah kami keluarkan.

Berkaitan dengan hal tersebut dibenarkan oleh Sekretaris

Kecamatan Jaten yang mengatakan sebagai berikut:

Tidak semua Kepala Desa yang ada di Kecamatan Jaten ini nakal

memang ada beberapa yang nakal, yang masih berlaku jujurpun juga

banyak sehingga apa yang semestinya diterima oleh para petugas

pemungut pajak dalam hal ini upah pungut sampai juga pada

Page 84: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

73

alamatnya misalnya di Desa Jaten tidak ada keluhan dan Desa Jetis

karena upah pungut disampaikan kepada yang berhak menerima.

Hal tersebut berarti bahwa mekanisme atau sistem penarikan dan

pemberian upah pungut belum dapat dilaksanakan secara terbuka kepada

para pemungut pajak dalam hal ini Kepala Dusun.

Persoalan yang berkaitan dengan sistem penarikan lebih banyak

berhubungan dengan mekanisme pajak dan ketidak jelasan upah

pemungutan pajak, serta ketidak jelasan sangsi terhadap para pelanggar

baik dari kalangan petugas pemungut pajak maupun dari wajib pajak.

Berkaitan dengan hal ini upaya yang dilakukan oleh Pemerintah

Kecamatan Jaten seperti yang dikemukakan oleh Kepala Seksi

Pemerintahan kecamatan sebagai berikut.

Berkaitan dengan sistem penarikan PBB di daerah pedesaan kami

juga menginstruksikan kepada petugas pemungut pajak dan Kepala

Desa untuk ditarik bersama-sama pada waktu kegiatan rapat

ditingkat dusun. Jadi wajib pajak tinggal menyetor sebesar

nominal yang ada pada SPPT, petugas dari Kecamatan Jaten dan

BKK menerima setoran dan membukukan sekaligus diberikan

tanda lunas PBB. Sehingga tidak terjadi uang setoran dipakai oleh

pemungut pajak dengan alasan untuk upah pungut.

Sementara itu berkaitan dengan sangsi atas ketidak taatan

membayar pajak, pihak Kecamatan Jaten memberikan persyaratan tertentu

tentang penggunaan bukti pembayaran PBB sebagai sarana mengurus

berbagai urusan di tingkat kecamatan, seperti pembuatan KK dan KTP.

Page 85: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

74

Hal ini seperti dikemukanan oleh Sekretaris Kecamatan Jaten sebagai

berikut :

Masyarakat kami yang akan mengurus pembuatan KK dan KTP,

diwajibkan untuk membawa juga tanda lunas telah membayar PBB

tahun yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk

mengingatkan kepada warga selain kartu KK dan KTP membayar

PBB juga menjadi kewajiban warga masyarakat untuk

membayarnya.

Hal ini juga kami konfirmasikan kepada bapak Camat Jaten yang

menyatakan sebagai berikut:

Memang kami menganjurkan setiap pemohon kartu KK dan KTP

untuk membawa tanda lunas PBB tahun yang bersangkutan,

namun kalau mereka tidak membawa kami juga melayaninya

karena ketentuan ini memang tidak ada. Kami hanya menghimbau

saja kepada masyarakat kami untuk membayar PBB tepat pada

waktunya.

Sementara upaya di tingkat Pemerintah Desa dalam hal ini

dilakukan dengan pemberian panggilan ulang dibalai desa. Biasanya

setelah waktu akan jatuh tempo pembayaran selesai. Hal ini seperti

dikemukakan Kepala Desa Jetis Kecamatan Jaten sebagai berikut:

Apabila jatuh tempo pembayaran PBB di desa kami belum 100 %,

kami adakan pemanggilan di Kantor desa, bersama Kepala Dusun

setempat untuk mengetahui kesulitan apa yang ada saat ini dan

biasanya dapat terselesaikan dengan baik karena masih ada rasa

pakewuh kepada Kepala Desa.

Page 86: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

75

Apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten dan

Pemerintah Desa di wilayah Kecamatan Jaten, adalah wujud dari upaya

yang dilakukan dari segi pengawasan atas kewajiban membayar dari wajib

pajak dan pengawasan untuk petugas pemungut pajak untuk tidak

menggunakan dana setoran PBB.

C. Faktor –Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Implementasi

Pemungutan PBB

1. Mobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Pemungutan PBB

Petugas yang terlibat dalam Pemungutan PBB terdiri dari para petugas

yang telah ditetapkan Bupati Karanganyar melalui SK Bupati Karanganyar

nomor 973/354 tahun 2005 tentang Penetapan Tim Intensifikasi PBB

Kabupaten Karanganyar. Dalam Tim tersebut Tim Intensifikasi dibentuk

berjenjang mulai dari Kabupaten sampai Kacamatan. Selanjutnya Kepala

Desa ditunjuk sebagai koordinator petugas pemungut, Sekretaris Desa sebagai

Petugas Administrasi PBB Desa dan Kepala Dusun sebagai Petugas Pemungut

PBB.

Di Tingkat Kecamatan Tim Intensifikasi PBB terdiri dari Camat

sebagai penanggungjawab dengan anggota Sekretaris Kecamatan, Kasi

Pemerintahan dan beberapa staf yang membidangi. Tim Tingkat Kecamatan

ini bertugas memobilisasi proses pemungutan PBB mulai dari Penyampaian

SPPT sampai pada pelaporan realisasi pelunasan PBB. Di Kecamatan Jaten

Tim ini terdiri dari 5 orang yang masing-masing telah memahami peran dan

Page 87: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

76

fungsinya masing-masing sebagaimana diungkapkan oleh Camat Jaten

Sebagai Berikut :

“Tim Intensifikasi PBB di Kecamatan Jaten ini jumlahnya ada lima orang

termasuk saya, meskipun hanya lima orang saya berupaya agar yang

sedikit ini bisa bekerja dengan efektif, maka saya membagi mereka dalam

wilayah desa binaan, dimana masing masing anggota tim kecuali saya

membina di 2 desa. Dengan begitu saya harapkan mereka lebih

bertanggungjawab dan tahu betul, sehingga mereka lebih fokus terhadap

permasalahan di desa binaannya masing masing. Sebenarnya saya ingin

satu orang membina satu desa saja tetapi komposisi Tim Intensifikasi ini

sudah ditentukan dari Kabupaten, mungkin ada kaitannya dengan hak upah

pungut yang diberikan. Disini ada 5 orang petugas, sebenarnya jumlah

tersebut masih kurang, tetapi kalau bekerja dengan efektif jumlah itu saya

rasa sudah cukup”.

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Tim Intensifikasi Tingkat

Kecamatan yang berjumlah lima orang telah cukup berfungsi sebagai

pengendali proses pemungutan PBB di Kecamatan Jaten. Tolok ukur yang

dapat digunakan untuk melakukan penilaian ini adalah semua administrasi

PBB di Kecamatan Jaten tertata dan berjalan dengan Baik disamping itu setiap

kesulitan dari Desa dapat teratasi dengan baik sebagimana dikemukakan

Sekretaris Desa Dagen yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

“Selama ini tidak ada masalah mas komunikasi dengan Kecamatan

berjalan dengan baik setiap persoalan yang muncul selalu bisa dibantu

dengan baik oleh petugas kecamatan, tetapi kalau soal lunasnya ya itu

semua sudah kami usahakan tetapi ada saja wajib pajak yang membandel”.

Page 88: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

77

Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat bahwa secara administratif

persoalan-persoalan PBB dapat teratasi, tetapi tetap saja persoalan Wajib

Pajak yang menunggak masih ada. Selanjutnya untuk tingkat desa di

Kecamatan Jaten, jumlah petugas PBB terdiri dari 8 orang Koordinator

Petugas Pemungut, 8 orang petugas administrasi, dan 46 orang Petugas

Pemungut. Jumlah tersebut sesuai dengan komposisi Kecamatan Jaten yang

terdiri dari 8 desa dan 46 dusun. Maka jumlah tersebut secara umum sudah

cukup memadai. Permasalahan muncul ketika sebuah dusun memiliki

penduduk yang sangat besar seperti di Desa Ngringo. Di desa ini ada satu

orang Petugas Pemungut yang harus menangani lebih dari 3.000 Wajib Pajak.

Hal ini terjadi karena Ngringo adalah kompleks perumahan yang sangat padat

sehingga jumlah penduduknya sangat banyak. Atas dasar kenyataan tersebut

perlu dipikirkan untuk diusulkan penambahan petugas pemungut PBB khusus

untuk desa dengan karakteristik khusus seperti Desa Ngringo tersebut.

Data tingkat pendidikan petugas pemungut PBB di Kecamatan Jaten

menunjukkan rata – rata berpendidikan SLTA. Hal ini menunjukkan kondisi

yang cukup baik dan tingkat pendidikan yang baik ini diharapkan juga akan

berpengaruh terhadap kinerja implementasi kebijakan pemungutan PBB.

Meskipun tidak ada data yang menunjukkan kaitan langsung antara Tingkat

Pendidikan Petugas Pemungut dengan keberhasilan Pemungutan PBB,

setidaknya dengan tingkat pendidikan yang cukup maka tingkat pemahaman

dan kreatifitas seseorang dalam memahami suatu kebijakan akan lebih baik.

Page 89: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

78

2. Penerapan Sistem rewards and punishmet dalam Pemungutan PBB.

Dalam UU PBB maupun peraturan-peraturan turunannya tidak

mengatur rewards bagi wajib pajak yang telah membayar pajak dengan baik.

Pemerintah daerah sebagai pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan

pemasukan dari sektor PBB telah berusaha memberikan penghargaan kepada

wajib pajak maupun institusi pemungut di lapangan yang telah mendukung

keberhasilan pemungutan PBB. Di Kabupaten Karanganyar, rewards atau

bentuk penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak yang telah membayar

pajak lebih awal diberikan dalam bentuk pembarian hadiah undian bagi Wajib

pajak yang telah melunasi PBB sebelum bulan agustus setip tahunnya.

Tentang hal ini Kasubdin Penagihan pada Dinas Pendapatan daerah

Kabupaten Karanganyar dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006

mengemukakan sebagai berikut :

Kami telah mendesain cara agar masyarakat tergugah untuk sadar

membayar pajak lebih awal dari jatuh tempo yang ditentukan. Cara yang

kami tempuh adalah dengan memberikan stimulan berupa berbagai

hadiah yang menarik bagi wajib pajak yang kami undi untuk para wajib

pajak yang telah lunas PBB sampai akhir bulan Juli tahun yang

bersangkutan. Program ini kami mulai sejak tahun 2004 dan ternyata

hasilnya luar biasa di Kabupaten Karanganyar yang opada tahun tahun

sebelumnya tidah pernah menutup terget ternyata pada tahun 2004

pemasukan PBB tahun 2004 lebih dari 100 %. Memang pasti ada

indikator lain yang mendukung keberhasilan ini tetapi tentunya

pemberian hadiah ini turut memberi kontribusi yang signifikan terhadap

keberhasilan tersebut.

Page 90: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

79

Keberhasilan sebagaimana diungkapkan Kasubdin Penagihan

Dipenda Kabupaten Karanganyar tersebut memang benar karena berdasarkan

data pemasukan PBB (tabel 1) sejak tahun 2001 sampai 2003 pemasukan

pungutan PBB di Tingkat Kabupaten Karanganyar berkisar antara 80 % sd 96

%, tetapi pada tahun 2004 meningkat drastis menjadi 109, 17 %. Kenyataan

ini menunjukkan bahwa sistem penghargaan yang diberikan kepada wajib

pajak merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan implementasi

kebijakan pemungutan PBB.

Adanya Penghargaan bagi yang berprestasi atau yang kooperatif

tentunya juga perlu dibarengi dengan adanya hukuman atau punishment bagi

yang melanggar. Dalam Kebijakan PBB telah memuat sanksi terhadap para

pelanggar kebijakan ini. Sanksi yang dikenakan terhadap pelanggar kebijakan

PBB diberikan dalam bentuk sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi

administratif diberikan jika wajib pajak terlambat mengembalikan Surat

Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan jika wajib pajak terlambat membayar

pajak terhutang yang telah jatuh tempo. Sanksi administratif ini dikenakan

dalam bentuk denda, misalnya untuk wajib pajak yang terlambat membayar

PBB dikenakan denda administratif sebesar 2 % dari pajak terhutang per bulan

keterlambatan pembayaran.

Tindakan yang dapat dikenakan sanksi pidana antara lain : Tidak

mengembalikan Surat Pemberitahuan Obyek pajak (SPOP), menyampaikan

SPOP yang isinya tidak benar, tidak lengkap, dan atau lampirannya tidak

memberikan keterangan yang benar, tidak mengembalikan SPOP,

Page 91: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

80

menunjukkan dokumen palsu atau yang dipalsukan, dan tidak memperlihatkan

dokumen yang dibutuhkan oleh Ditjen pajak dalam penetapan PBB. Terhadap

pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling

lama satu tahun atau denda paling tinggi Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).

Sanksi sebagaimana diatur dalam undang undang PBB tersebut hanya

mengatur hukuman bagi para Wajib pajak yang tidak taat dalam

menyampaikan informasi perpajakan yang menjadi tanggungjawabnya. UU

PBB tidak mengatur sanksi yang keras terhadap Wajib Pajak yang terlambat

atau tidak membayar PBB. Sanksi yang diatur hanyalah sanksi denda atas

keterlambatan pembayaran yang besarnya ditetapkan sebesar 2 % per bulan

keterlambatan dari ketetapan pajak yang telah ditentukan.

Pernyataan Camat Jaten yang mengungkap adanya kelemahan dalam

penegakan hukum tersebut diperkuat oleh Kasi Pemerintahan Kecamatan

Jaten dalam wawancara tanggal 17 Oktober 2006 yang mengemukakan :

“Permasalahan yang saya alami selama ini adalah selalu saja ada

perangkat Desa yang terlambat menyetor PBB dari masyarakat ke bank

persepsi, sebenarnya kalau bicara sanksi sudah jelas bagi perangkat desa

yang melanggar dapat diproses hukuman disiplin, bahkan jika petugas

ini menggunakan uang PBB bisa dikenakan pasal KUHP tentang

penggelapan atau karena mengakibatkan kerugian negara dapat dijerat

UU Korupsi, tetapi untuk sejauh itu saya rasanya belum bisa

melaksanakannya karena berbagai pertimbangan terutama pertimbangan

manusiawi. Yang jelas menurut saya akarnya adalah masalah penegakan

hukum yang tidak berjalan seperti tadi yang saya katakan sayapun belum

mampu melakukan itu”.

Page 92: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

81

Mencermati pernyataan diatas penerapan sanksi perlu juga

diterapkan terhadap para petugas pemungut karena menurut pengamatan Tim

Intensifikasi PBB Kecamatan Jaten kendala dalam pemungutan PBB

seringkali muncul dari petugas pemungut sendiri. Selama ini masih ada saja

petugas Pemungut yang tidak menyetorkan uang PBB yang mereka pungut

dari masyarakat. Permasalahan ini akan menimbulkan kekecewaan dari

masyarakat yang telah membayar pajak dengan tertib. Kekecewaan tersebut

jika tidak segera diatasi akan menimbulkan sikap wajib pajak yang menolak

membayar PBB karena menganggap negara sudah tidak bisa dipercaya karena

aparatnya yang nakal.

Untuk menjawab pemrmasalahan ini, tim intensifikasi Kabupaten

Karanganyar telah menjalin kerjasama dengan Kantor Satuan Polisi Pamong

Praja (SATPOL PP) yang akan mengerahkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) untuk melakukan penegakan hukum terhadap para petugas pemungut

yang menggunakan atau menyelewengkan setoran PBB. PPNS dari Kantor

Satpol PP ini akan dikerahkan untuk menindaklanjuti laporan camat atas

penyelewengan yang dilakukan petugas Pemungut. Menurut Kasi Penagihan

Dinas Pendapatan Kabupaten Karanganyar, kerjasama ini merupakan sebuah

langkah yang sudah rutin dilakukan tetapi mulai tahun 2005 ini

implementasinya akan lebih dioptimalkan sebagaimana diungkapkan dalam

wawancaera sebagai berikut :

Kerjasama ini bukan barang baru, tetapi tahun ini kami akan berusaha

agar pelaksanaannya lebih efektif, agar menimbulkan efek jera bagi

para petugas yang melanggar ketentuan. Permasalahannya selama ini

Page 93: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

82

laporan yang disampaiakan para camat tidak jelas sehingga sulit untuk

ditindaklanjuti, maka tahun ini kita dorong para camat untuk membuat

laporan yang jelas dan valid untuk dapat ditindaklanjuti secara tepat

oleh PPNS Satpol PP.

Kerjasama tersebut disambut baik oleh Kepala Kantor Satpol PP

sebagaimana terungkap dalam wawancara sebagai berikut :

Kami siap melaksanakan kerjasama ini, apalagi secara fungsional

kami juga masuk dalam keanggotaan tim intensifikasi PBB

Kabupaten Karanganyar. Hanya saja permasalahannya hingga saat ini

kami baru memiliki petugas PPNS sebanyak 10 orang, padahal

cakupan tugas kami sangat luas meliputi penegakan semua Peraturan

Daerah di Kabupaten Karanganyar. Jika semua Kecamatan

menyerahkan sepenuhnya kepada PPNS tentu saja kami akan sangat

kesulitan, tetapi kami punya komitmen untuk mendukung program ini

dengan sebaik-baiknya.

Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa perangkat untuk melakukan

penegakan hukum telah tersedia, selanjutnya sejauh mana perangkat tersebut

dapat dimobilisasi secara efektif untuk pencapaian tujuan keberhasilan

pemungutan PBB sangat tergantung pada kesadaran pihak-pihak tersebut

dalam menjalankan tugas tanggung jawabnya masing-masing.

3. Koordinasi dalam pemungutan PBB

Koordinasi ini dilakukan untuk memadukan langkah terkait dengan

pelaksanaan intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan di kecamatan Jaten,

antara lain tim tingkat Kecamatan yang terdiri, Camat, Sekretaris Camat,

Page 94: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

83

Petugas administrasi Pajak Bumi dan Bangunan, Para Kepala seksi dan Staf

dan Kepala Bank Persepsi dalam hal ini Kepala BKK Kecamatan Jaten.

Koordinasi bersama tim tingkat kecamatan Jaten dilakukan setiap seminggu

sekali, untuk mengetahui potensi wajib pajak, realisasi pemasukan Pajak Bumi

dan Bangunan atau target dan sisa target yang ada, serta hambatan –hambatan

yang dijumpai dilapangan.

Koordinasi tim tingkat Kecamatan, bersama Kepala BKK dilakukan

setiap saat untuk mengetahui apakah hasil pemungutan kepada para wajib

pajak telah disetorkan kepada Bank persepsi, karena berdasarkan pengalaman

sudah banyak setoran yang dipungut oleh para pemungut pajak, namun tidak

segera disetorkan, bahkan dipakai oleh para pemungut pajak sehingga terjadi

tunggakan.

Koordinasi dengan Muspika juga di perlukan, terutama apabila dijumpai

para pemungut pajak dalam hal ini Kepala Dusun menggunakan uang titipan

setoran PBB tersebut untuk kepentingan pribadi. Sebelum perkara ini

diserahkan kepada tim tingkat Kabupaten Karanganyar, biasanya masalah

tersebut diselesaikan lebih dulu di tingkat kecamatan.

Koordinasi Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan Kecamatan

Jaten dengan para Kordinator pemungut pajak, dalam hal ini semua Kepala

Desa se Wilayah Kecamatan Jaten beserta para pemungut pajak dalam hal ini

Semua Kepala Dusun se Kecamatan Jatendilaksanakan satu bulan sekali.

Kegiatan ini dilaksanakan setiap bulan sekali pada tanggal 17 setelah

Page 95: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

84

pelaksanaan Upacara bendera bertempat di ruang rapat Kantor Kecamatan

Jaten.

Koordinasi instansi Kecamatan Jaten dengan Tim Tingkat Kabupaten

Karanganyar dilakukan rutine setiap bulan sekali di Kantor Dinas Pendapatan

Daerah, yang dipimpin langsung oleh Bapak Wakil Bupati Karanganyar.

Dalam pertemuan ini Camat melaporkan jumlah baku Pajak Bumi dan

Bangunan yang ada diwilayahnya, realisasi selama satu bulan, sisa target yang

ada, serta langkah-langkah apa yang telah dilakukan untuk mencapai target

yang telah ditetapkan, sekaligus untuk mengetahui kinerja Camat dalam hal

intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan.

Koordinasi dengan instusi lain seperti KP PBB dilakukan sesuai

kebutuhan. Tim Kecamatan selalu memberikan perkembangan data terutama

mengenai perubahan hak milik tanah yang dilanjutkan dengan perubahan

Wajib Pajak yang tertulis di SPPT. Untuk pengajuan perubahan ini biasa

dilakukan sendiri oleh masyarakat atau di bantu oleh petugas administrasi desa

setelah mendapatkan pengesahan dan rekomendasi dari Camat.

Keluhan yang terjadi dan adalah pengurusan perubahan terbentur pada

persyaratan birokrasi yang rumit seperti yang dikemukakan oleh Sekdes Jaten

dalam wawancara tanggal 17 Oktober 006 sebagaio berikut :

“Pengurusan Perubahan SPPT itu butuh persyaratan yang banyak dan

bertele-tele padahal kami hanya ingin membantu agar tunggakan yang

dulu menjadi terbayar. Untuk bisa meningkatkan penerimaan negara

mestinya diberi kemudahan. Dengan banyaknya persyaratan kami

kesulitan jika harus menghubungi orang-orang diluar kota padahal kan

tidak ada pos biaya untuk itu”.

Page 96: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

85

Pernyataan Sekdes Jaten tersebut dikemukakan berkaitan dengan

perubahan data dalam SPPT mengingat wajib pajak tidak mau membayar

pajak selama data yang ada dalam SPPT tidak benar, sedangkan yang

bersangkutan tidak mau mengurus perubahannya. Beberapa wajib pajak yang

seperti itu ada yang berdomisili di luar kota, selama ini SPPT ini menjadi

beban tunggakan bagi Desa Jaten. Pihak KP PBB menanggapi hal ini,

menyatakan bahwa tidak ada yang sulit sejauh persyaratan lengkap semua

dapat terlayani dengan baik, dan menurut petugas di KP PBB hal ini sudah ada

aturan baku dan prosedur tetapnya.

Kesenjangan Koordinasi yang terjadi ketika petugas administrasi desa

mencoba membantu kelancaran PBB dengan mengurus pembetulan data

dengan institusi KP PBB yang tetap mempertahankan bahwa persyaratan

harus lengkap untuk dapat dilayani. Keadaan ini sulit untuk mendapat titik

temu karena masing masing pihak bersikap kaku pada kaca mata kepentingan

masing-masing yang sama memiliki argumen yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Page 97: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

86

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan tentang

implementasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

sebagai berikut :

1. Kepatuhan Pelaksana dalam Menyalurkan SPPT PBB tidak dapat

dilakukan tepat sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan karena

pengiriman SPPT dari KP PBB sebagai Pihak yang mengeluarkan SPPT

sudah terlambat.

2. Kepatuhan dalam pengadministrasian PBB belum berjalan dengan baik,

disebabkan karena belum padunya koordinasi antar instansi yang

menangani Pertanahan dan KP PBB yang menangani penerbitan SPPT

PBB.

3. Telah ada upaya memberlakukan sistem penghargaan (rewards) bagi wajib

pajak dan petugas pemunut yang patuh terhadap ketentuan PBB. Dan juga

diberlakukan hukuman (punisment) bagi pelanggar ketentuan, tetapi jenis

hukuman yang hanya berupa denda bagi para penunggak dan peringatan

bagi aparat yang tidak tertib menyetor menyebabkan masih adanya

tunggakan PBB di Kecamatan Jaten.

4. Peraturan PBB kurang memberi sanksi yang jelas dan tegas terhadap para

wajib pajak yang tidak membayar pajak, sehingga petugas pemungut

Page 98: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

87

seperti tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mendorong agar wajib

pajak mau membayar PBB nya.

5. Komunikasi dalam Tim Intensifikasi PBB dilaksanakan melalui rapat

koordinasi dan konsultasi, Selanjutnya untuk mengoptimalkan

keberhasilan pemungutan PBB dijalin kerjasama dengan Satpol PP

Kabupaten Karanganyar.

Secara lebih spesifik penelitian ini menemukan beberapa faktor yang

dapat menghambat keberhasilan implementasi pemungutan PBB di Kecamatan

Jaten Kabupaten Karanganyar sebagai berikut :

1. masih adanya keterlambatan dan kesalahan dalam SPPT yang dikeluarkan

KP PBB mengakibatkan keterlambatan dan permasalahan petugas pemungut

di lapangan.

2. Belum ada shock therapy berupa sanksi berat yang diterapkan terhadap

wajib pajak yang tidak membayar PBB mengakibatkan tidak adanya rasa

takut bagi wajib pajak yang menolak membayar PBB.

3. Jumlah petugas intensifikasi di Tingkat Kecamatan Jaten yang memiliki

target PBB tertinggi di wilayah Kabupaten Karanganyar diperlakukan sama

dengan kecamatan lain tanpa melihat besaran target yang menjadi tanggung

jawabnya.

4. Kepatuhan aparat pelaksana dalam hal ini petugas pemungut PBB masih

kurang hal ini ditandai dengan masih adanya petugas pemungut yang

menggunakan dana PBB untuk kepentingan pribadi.

Page 99: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

88

5. Di Kecamatan Jaten yang sebagian besar merupakan wilayah perkotaan

sangat sering terjadi mutasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah, tetapi tidak

diikuti dengan mutasi data dalam SPPT sehingga SPPT yang disampaikan

tidak valid lagi dan dijadikan alasan untuk menolak membayar PBB.

6. Komunikasi antara pelaksana di lapangan dengan pihak KP PBB sering

tidak berjalan dengan baik karena besarnya cakupan layanan KP PBB

Surakarta yang sangat luas.

Faktor pendukung yang mendorong keberhasilan Pemungutan PBB di

Kecamatan Jaten adalah sebagai berikut :

1. Komitmen pimpinan wilayah dalam hal ini Camat dalam mensukseskan

Pemungutan PBB sangat tinggi sehingga bisa mendorong motivasi petugas

di bawahnya untuk lebih giat dalam menjalankan tugasnya.

2. Sistem rewards berupa hadiah undian bagi wajib pajak yang membayar PBB

sebelum bulan agustus cukup membantu peningkatan pemasukan PBB.

Tetapi pemberian hadiah lunas awal bagi desa yang lunas PBB 100 % belum

mampu dinikmati karena target PBB di Kecamatan Jaten sangat tinggi.

3. Sumber Daya Manusia yang dikerahkan untuk melaksanakan pemungutan

PBB sudah cukup memadai dan secara umum tahu kondisi wilayah tugasnya

masing-masing.

Page 100: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

89

B. Implikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan

pemungutan PBB yang dilaksanakan oleh pemerintah Kecamatan Jaten

didasari pada kewajiban melaksanakan UU nomor 12 tahun 1986 Juncto. UU

no 12 tahun 1994 serta sebagai upaya meningkatkan pendapatan daerah dari

sektor pajak. Penyadaran pada wajib pajak dan para petugas pemungut pajak

merupakan faktor penting demi keberhasilan pemungutan PBB. Disamping itu

upaya mengatasi kendala kendala lain sepeti lemahnya komunikasi dengan

wajib pajak dan koordinasi antar instansi, tidak tegasnya penegakan hukum,

penerapan sistem insentif yang tidak optimal harus segera dilakukan. Jika hal

ini tidak segera dilaksanakan akan membawa implikasi semakin meningkatnya

tunggakan PBB dari tahun ke tahun yang tentu saja semakin menjadi beban

bagi instansi dan petugas pemungut. Besarnya tunggakan tersebut dapat pula

menimbulkan preseden buruk bagi wajib pajak, dimana mereka akan

beranggapan bahwa tidak membayar PBB tidak ada resikonya, terbukti

tunggakan PBB tahun-tahun sebelumnya juga tidak ada sanksi yang tegas.

Hal ini akan membawa konsekuensi kurangnya efektifitas pemungutan

PBB dalam rangka peningkatan penerimaan pendapatan daerah. Membangun

kesadaran para wajib pajak adalah merupakan proses yang cukup panjang.

Ketidaktegasan pejabat yang berwenang dalam menerapkan sangsi bagi para

pelanggar, baik bagi para wajib pajak maupun petugas pemungut pajak, dapat

dijadikan alasan untuk menunda membayar pajak.

Page 101: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

90

C. Saran

Atas dasar temuan penelitian diatas, beberapa saran yang diajukan untuk

meningkatkan keberhasilan Implementasi Kebijakan Pemungutan PBB adalah

sebagai berikut :

1. Perlu ada shock therapy berupa sanksi yang tegas terhadap wajib pajak yang

menunggak PBB terutama bagi yang menunggak lebih dari 1 tahun. Sanksi

tegas juga perlu diterapkan untuk petugas pemungut yang menggunakan uang

PBB dari wajib pajak untuk kepentingan pribadi.

2. Perlu adanya penyempurnaan sistem administrasi pertanahan yang mengatur

kewajiban dan kewenangan Pejabat Pembuat Akte Tanah, Badan Pertanahan

Nasional (BPN), dan KP PBB agar setiap mutasi kepemilikan dan

pemanfaatan tanah diikuti dengan mutasi SPPT PBB.

3. Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektoral antara Dipenda, Kantor KP

PBB, Kecalamatan dan Desa.

4. Mekanisme pemberian upah pungut perlu ditata ulang agar mekanisme upah

pungut benar-benar dapat dirasakan dan mampu memotivasi para petugas di

lapangan untuk bekerja maksimal sehingga hasilnya juga maskimal.

Page 102: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

91

Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten

Kabupaten Karanganyar

Tesis

Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajad Magister

Program Studi Magister Administrasi Publik

Oleh:

Larmanto

NIM. S. 2405017

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2008

Page 103: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

92

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James E, 1975, Public Policy making An Introduction, Houghton

Miflin Company, Boston USA.

Dye, Thomas R, 1978, Understanding Public Policy, New jearsey: prentice Hall

Inc. Engelwood Cliffs,

Dunn, N. William, Muhadjir Darwin (Penyunting), 2001, Analisis Kebijaksanaan Publik : Kerangka Analisis dan Dasar Prosedur Perumusan Masalah, Yogyakarta, Hanindita.

Guritno Mangkoesoebroto, 1993, ”Ekonomi Publik”, BPFE UGM, Yogyakarta.

Grindle, Merilee S, 1980, Politics and Policy Implementation in The Third World, New York, Princenton University Press.

HB Sutopo, 1998, ”Penelitian Kualitatif” , UNS Press, Surakarta.

Josep Riwu Kaho, 1997, Prospek Otonomi daerah di negara Republik Indonesia, (Identifikasi beberapa factor yang Mempengaruhinya), Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.

Meter, Donald S. Van, dan Horn, Carl E. Van, 1975, The Policy Implementation Process, A Conceptual Framework, Ohio, Sage Publication inc. Ohio State University.

Mardiasmo, 1987, ”Perpajakan”, Andi Offset, Yogyakarta.

Miles dan Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta

Mikkelsen, Britha, 2003, Metode Penelitian Partisipatoris dan upaya-upaya pemberdayaan, sebuah buku pegangan bagi para praktisi lapangan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Muhajir Darwin, 1994, ”Kebijaksanaan Publik”, UNS Press, Surakarta.

Lexy J Moleong, ,. Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung.

Munawir, H.S, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung-Jakarta.

Wahyu Nurharjadmo, 2004, Laporan Penelitian Berbagai Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Klaten Utara dalam Meningkatkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). UNS Surakarta.

Pal, Leslie A., 1987, “Public Policy Analysis An Introduction”, Departement of Political Sience, University of Calgary.

Page 104: Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

93

Pariata Westra, 1994, manajemen Pembangunan Daerah, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Parkin, M & Bade, R.,1986, Macro Economics and The Australian Economy, Allen & Unwim.

Ripley, Randall B., & Franklin Grace A.,1986, “Policy Implementation and Bureaucracy”, The Dorcey Press, Chicago.

Rochmat Soemitro, 1989, “Pajak Bumi dan Bangunan”, PT Eresco, Bandung.

Syaukani, Afan Gaffar & Ryaas Rasyid, 2002, ”Otonomi Daerah”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Steers, Richard M, 1985, ”Efektivitas Organisasi”, Erlangga, Jakarta.

Sugiyono, 2003, “Metode Penelitian Administrasi”.Edisi ke-10 (edisi revisi), Bandung : Alfabeta.

Winarno Surakhmad, 1989, “Metode Penelitian Administrasi”, Bandung, Alfabeta.

Samodra Wibawa, 1994, ” Evaluasi Kebijakan” , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sumber Lain :

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan.

Undang-Undang No 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan.

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.