imajinasi orang latuhalat tentang laut: studi ekoteologi...
TRANSCRIPT
i
Imajinasi Orang Latuhalat tentang Laut:
Studi Ekoteologi tentang Laut dan Pengaruhnya terhadap Pemanfaatan Laut
oleh Jemaat GPM Latuhalat
Oleh:
Sandy Liwan
712012021
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa,
karena kasih karuniaNya yang senantiasa dirasakan dan dialami dalam kehidupan
penulis. Secara khusus, penulis mengucap syukur karena penyertaanNya yang tak
pernah berhenti mengalir bagi penulis selama penulis menjalani masa pendidikan
di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) sampai pada
proses menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “Imajinasi Orang Latuhalat
tentang Laut: Studi Ekoteologi tentang Laut dan Pengaruhnya terhadap
Pemanfaatan Laut oleh Jemaat GPM Latuhalat”.
Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk
mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol). Penulis
menyusun Tugas Akhir ini dengan harapan karya tulis ini dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi GPM, khususnya bagi Jemaat GPM Latuhalat dalam
pengembangan pelayanan ke depan. Penulis juga berharap laporan ini dapat
berguna di kemudian hari guna referensi atau sekedar menambah pengetahuan
tentang laut dalam kaitannya dengan gereja dilihat dari perspektif ekoteologi.
Dalam penyusunan tugas akhir ini juga penulis banyak mendapatkan
dorongan, saran, motivasi, semangat dan bimbingan dari berbagai pihak yang
mempunyai hubungan khusus dengan penulis. Penulis menyadari bahwa tanpa
bimbingan dan dorongan dari semua pihak, maka penulisan Tugas Akhir ini tidak
dapat berjalan lancar sesuai dengan kehendak yang diinginkan penulis. Untuk itu
dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah memberikan fasilitas, membantu, membina,
membimbing penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir tersebut. Oleh karena itu
ucapan terima kasih penulis tujukan kepada :
1. Pdt. Izak Lattu, Ph.D selaku dosen pembimbing I yang telah
meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan memberikan
semangat kepada penulis dalam mengerjakan Tugas Akhir.
2. Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo sebagai pembimbing 2 yang telah
memberikan waktu untuk membimbing dan memberikan motivasi
yang baik dalam penulisan Tugas Akhir Tersebut.
3. Seluruh dosen dan pegawai tata usaha (TU) Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana; Ibu Mariska, Kak Izak Latu, Pak
Jopie Engel, Pak Tony Tampake, Pak Yusak Setiyawan, Pak David
Samiyono, Pak Rama Tulus, Pak Simon, Pak Agus, Pak Kris, Kak
Iren, Bu Fery, Pak Jopie, Kak Astrid, Pak Nelman, Pak Handri, Bu
Budi, Mas Eko, Mas Adi, Bu Ningsih, yang telah membantu seluruh
proses dari awal perkuliahan sampai pada penulisan Tugas Akhir
Tersebut yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
sarjana Teologi.
vii
4. Orangtua terkasih, yakni Ayah (Frangky) dan Ibu (Elizabeth) yang
senantiasa mendoakan, memberi semangat, memberi motivasi dan
membiayai penulis dalam proses pendidikan yang penulis lalui selama
kurang lebih 4 tahun.
5. Bapak Pdt. Amus Papasoka selaku Ketua Majelis Jemaat GPM
Latuhalat yang telah memberikan waktu dan kesempatan juga
membantu saya dalam proses penelitian di jemaat tersebut.
6. Bapak Yohanes Soparue selaku kepala koordinator sektor yang telah
bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk mendampingi saya
selama proses penelitian dan wawancara di Jemaat GPM Latuhalat.
7. Seluruh Jemaat GPM Latuhalat yang telah bersedia menjadi
narasumber dalam penulisan tugas akhir ini.
8. Keluarga besar Teologi angkatan 2012 Fakultas Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana yang selalu mememberikan semangat dan
perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir dan telah
menjadi keluarga selama 4 tahun di kota ini.
9. Rifan Rangga (biee) yang senantiasa mendampingi, menemani,
membantu, dan memberikan semangat, dukungan dan dorongan
kepada penulis selama masa perkuliahan sampai penyusunan tugas
akhir ini selesai.
10. Teman-teman penulis yakni Monica (Monces), Angel, Esterlita, Fantri,
Sifra, estu dan teman-teman lain yang tak bisa disebutkan satu per satu
yang telah membantu, memberikan semangat dan motivasi kepada
penulis dalam masa-masa perkuliahan dan dalam menyelesaikan
penulisan Tugas Akhir.
Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, penulis juga menyadari bahwa masih
terdapat banyak kekurangan dalam penulisan oleh karena keterbatasan
pengetahuan dan wawasan yang penulis miliki. Akhir kata semoga Tugas Akhir
ini bermanfaat bagi penulis sendiri, gereja, keluarga, masyarakat dan institusi
yang terlibat dalam penulisan Tugas Akhir ini.
Salatiga, 7 Februari 2017
Penulis
viii
MOTTO
Kesulitan seringkali ada untuk mempersiapkan
orang biasa meraih hal yang luar biasa.
-C.S.Lewis-
Amsal 19:20
Dengarkanlah nasihat dan terimalah didikan,
supaya engkau menjadi bijak di masa depan.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ............................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES .................................................................... iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI .............................................. v
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi-vii
MOTTO ............................................................................................................................. viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ix-x
ABSTRAK ......................................................................................................................... xi
Pendahuluan ...................................................................................................................... 1-5
Metode ................................................................................................................................ 5
Ekoteologi, Imajinasi dan Laut
Ekoteologi ............................................................................................................... 6-7
Imajinasi .................................................................................................................. 7-8
Laut .......................................................................................................................... 8-11
Pemanfaatan Laut .................................................................................................. 11-13
Bencana Laut ......................................................................................................... 13-14
Hubungan Manusia dengan Laut ........................................................................... 14-16
Laut dalam Pandangan Jemaat Latuhalat
Gambaran Tempat Penelitian ................................................................................ 17-19
Pandangan Jemaat Latuhalat tentang Laut ............................................................ 19-23
x
Imajinasi Orang Latuhalat tentang Laut Sebagai Sebuah Refleksi dalam
Membangun Ekoteologi
Laut Sebagai Ibu .................................................................................................... 23
Laut Sebagai Teman Dekat ................................................................................... 23-24
Laut Sebagai Dapur ............................................................................................... 24
Laut Sebagai Guru Kehidupan .............................................................................. 24-25
Keterlibatan Gereja dalam Membangun Refleksi dari Pengalaman Jemaat ......... 26-28
Kesimpulan ...................................................................................................................... 28-29
Daftar Pustaka ................................................................................................................. 30-32
xi
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan imajinasi orang Latuhalat
tentang laut serta pengaruhnya terhadap pemanfaatan laut oleh Jemaat GPM
Latuhalat untuk menopang kehidupan dilihat dari perspektif ekoteologi. Tujuan
tersebut dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah yaitu apa imajinasi
Jemaat GPM Latuhalat tentang laut serta pengaruhnya terhadap pemanfaatan laut
oleh Jemaat GPM Latuhalat dilihat dari perspektif ekoteologi? Imajinasi yang
dimaksudkan oleh penulis ialah imajinasi yang lahir dari pengalaman orang
Latuhalat bersama laut, khususnya bagi para nelayan. Imajinasi-imajinasi tersebut
kemudian dipakai oleh penulis sebagai cara pandang baru bagi ekoteologi untuk
melihat dan merefleksikan hubungan antara Allah, manusia, dan alam.
Metode yang dipakai dalam melakukan penelitian ini ialah metode
kualitatif. Penulis menggunakan metode kualitatif, agar dapat memperoleh
informasi mendalam lewat wawancara yang dilakukan kepada orang-orang
Latuhalat, khususnya para nelayan. Setelah melakukan wawancara, penulis
menemukan bahwa ada begitu banyak imajinasi yang lahir dari pengalaman para
nelayan dengan laut. Sayangnya, GPM masih kurang menaruh perhatian pada laut
yang dianggap penting dan juga sebagai anugerah Tuhan. Dengan demikian,
refleksi ekoteologi terhadap laut belum nampak dalam bentuk-bentuk pelayanan
gereja terhadap jemaatnya.
Kata Kunci: Imajinasi laut, ekoteologi, Gereja Protestan Maluku (GPM), nelayan,
Latuhalat
1
Pendahuluan
Laut diciptakan dengan fungsi yang sangat penting bagi kehidupan
manusia. Dengan menyadari akan pentingnya laut, maka dapat dipahami pula
maknanya di dalam ciptaan. Artinya bahwa laut diciptakan dengan makna serta
fungsi yang jelas. Menurut para ahli, gelombang laut, arus laut, gerakan pasang
surut merupakan sumber energi yang bisa dikelola menjadi energi mekanik,
energi listrik dan seterusnya. Kita juga dapat melihat pada kenyataan di mana laut
mengandung berbagai jenis hewan laut, misalnya ikan, udang, keong, kerang,
cumi-cumi, teripang, dan lain-lain. Semuanya menyediakan protein (tinggi) bagi
manusia.1 Selain itu, Minyak bumi pun terdapat di laut serta gas alam di lepas
pantai. Bahan-bahan mineral tersedia dengan limpahnya antara lain, timah, pasir,
besi, garam, batu karang, dan lain-lain. 2
Secara khusus di masa depan manusia harus meningkatkan produksi
perikanan karena bermanfaat untuk pemecahan masalah pangan. Di saat yang
bersamaan pula sumber produksi yang begitu berharga harus dipelihara dan
dipertahankan secara terus-menerus, khususnya di Indonesia, sebab secara umum
sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut dan memiliki kekayaan hayati yang
perlu dijaga dan dikelola dengan baik.3 Namun hal ini tentu membutuhkan
keseimbangan antara kebijaksanaan dan penjagaan yang ketat untuk mencegah
eksploitasi yang berlebih-lebihan4, seperti yang terjadi di Maluku.
Maluku merupakan salah satu kawasan yang penuh dengan kekayaan laut,
terutama di Lautan Banda. Lautan Banda diperkirakan mengandung cadangan
ikan cakalang (Tuna) yang terbesar di seluruh kawasan Asia Pasifik. Selain itu,
diperkirakan juga bahwa dasar laut di kawasan Lautan Banda dan Maluku
1 H. Sapulette, “Laut sebagai Bagian dari Masyarakat Kepulauan: Suatu Tinjauan Etis”,
dalam Setia:Jurnal Teologi Persetia, diedit oleh Stephen Suleeman, Bendalina Souk, dan H.
Ongirwalu (Jakarta: 1997), 5.
2 Sapulette, “Laut”, 5.
3 Petrarca Karetji, “Menghubungkan Ketahanan Hayati dengan Pembangungan
Masyarakat di Indonesia: Menuju Strategi Komunikasi yang lebih afektif dalam pembangunan”,
dalam Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin: Journal interdisciplinary development studies”,
diedit oleh Agus Kristyanto, Dkk (Salatiga: Program pascasarjana UKSW), 231.
4 M.T.Zen, diedit., Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup (Jakarta: Gramedia, 1979), 91.
2
mengandung bahan mineral.5 Namun, dewasa ini ternyata banyak sekali terjadi
pencemaran.6 Selain itu, perkembangan saat ini menunjukkan bahwa adanya
perhatian terhadap lingkungan, termasuk laut karena terjadi kerusakan yang parah.
Berdasarkan penelitian LIPI, kualitas air di Teluk Ambon buruk
dengan jumlah kepadatan 3.300 sel bakteri Escherichia coli (E coli)
dan 27.100 sel bakteri Coliform total pada setiap 100 mililiter air yang
menjadi sampel. Sampel penelitian itu diambil di delapan lokasi, di
antaranya Pasar Batumerah, Air Salobar, pertengahan Teluk Ambon
bagian luar, dan Hatiwe Besar.7
Oleh karena itu, peran masyarakat Indonesia sangat penting dalam merawat dan
menjaga kebersihan laut, terutama warga masyarakat di Maluku yang juga
menggantungkan hidupnya pada laut.
Terlepas dari permasalahan tersebut, di dalam ilmu teologi, kita mengenal
makhluk yang bernama manusia sebagai makhluk yang mendapatkan mandat dari
Tuhan. Mandat itu merupakan mandat ganda, yakni mandat untuk menjalankan
ibadah dan mandat untuk menguasai alam semesta. Kedua mandat tersebut dapat
kita sebut sebagai mandat ilahi dan mandat kultural. Mandat ilahi adalah mandat
yang pada pokoknya meminta manusia untuk melakukan ibadah kepada Tuhan di
dalam dan melalui kehidupannya. Sedangkan mandat kultural ialah mandat yang
berisi tugas penyuruhan agar manusia berbuat dan berusaha menguasai alam dan
segala isinya. Suatu tugas untuk mengolah bumi dan mengatur alam semesta ini
agar tercipta tertib alam sebaik-baiknya.8
Tanggung jawab tersebut pada dasarnya memberikan gambaran secara
langsung kepada masyarakat Maluku, termasuk Gereja untuk turut terlibat
berkontribusi dalam menangani kerusakan lingkungan, terutama laut sebagai
bagian dari misi gereja untuk menjaga alam ciptaan Allah. Raymundus Sudhiarsa,
5 Zen, Menuju Kelestarian, 91.
6 bandingkan Rizky W. Santoso, “Dampak Pencemaran Lingkungan Laut oleh
Perusahaan Pertambangan terhadap Nelayan Tradisional”, Lex Administratum 1, no.2 (Apr-Jun
2013).
7 Ita ibnu, Pencemaran Perairan Teluk Ambon Tinggi, dipublikasi Kamis 19/02/2014,
diakses minggu 18 Oktober 2015, http://www.batukarinfo.com/news/pencemaran-perairan-teluk-
ambon-tinggi.
8 M. Suprihadi Sastrosupeno, Manusia, Alam, dan Lingkungan (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), 9.
3
menegaskan bahwa ada dua hal yang perlu dijadikan sebagai agenda misi Gereja:
Membangun kesadaran Moral dan Religius yang baru yang cinta akan lingkungan
hidup serta menerapkannya dalam upaya-upaya tindakan pastoral yang real dan
konkret.9
Biasanya dalam berbicara tentang lingkungan atau kepedulian terhadap
lingkungan melalui iman Kristen, gereja selalu berpatokan pada apa yang
dikatakan oleh Alkitab tentang lingkungan.10
Contohnya, dalam Alkitab sendiri
telah dikemukakan bahwa laut menyumbangkan yang baik bagi manusia (band.
Kej. 49:25), sebab memang dengan tujuan itulah laut itu diciptakan oleh Tuhan
(Ul. 33:13).11
Meskipun Alkitab mengungkapkan bahwa laut menyumbangkan yang
baik bagi manusia, namun tidak selamanya pandangan manusia terhadap laut itu
positif. Misalnya, pandangan orang Alor-NTT terhadap laut. Bagi mereka laut
bukan sekedar alam, tetapi kekuatan yang dapat membawa bencana. Demikian
juga cara berpikir orang Yahudi tentang laut. Laut adalah wakil roh-roh jahat yang
amat berbahaya.12
Perhatikan bagaimana murid-murid menganggap Yesus yang
berjalan di atas air sebagai hantu laut.13
Selain itu, dalam kitab-kitab Injil tidak
jarang kita membaca bahwa Yesus menganggap unsur-unsur alam adalah wahana
roh-roh jahat. Sebaliknya, Ia menunjuk kepada unsur-unsur alam, sebagaimana
adanya dalam rangka mengiaskan, mengumpamakan, mengibaratkan, atau
mempersamakan sesuatu yang hendak Ia sampaikan (Mrk. 4:8 dst, 26dst; 13:28
dst; Mat 6:19-20; 26 dst; 10:29; 13:26 dst; 24:27, 28; Luk. 12:25; 16:21).14
Sekalipun menurut pandangan masyarakat Yahudi laut adalah sesuatu
yang berbahaya, namun Yesus tidak memandangnya demikian. Bagi Yesus, alam
9A. Sunarko dan A. Eddy Kristiyanto, Menyapa Bumi Menyembah Yang Ilahi
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), 11.
10
Fred Van Dyke, Between Heaven and Earth: Christian Perspectives on environmental
Protection (California: Santa Barbara, 1954), vii.
11
Dyke, Between Heaven, 7.
12
B. Fobia, “Yesus dan Badai Laut”, dalam Setia:Jurnal Teologi Persetia, diedit oleh
Stephen Suleeman, Bendalina Souk, dan H. Ongirwalu (Jakarta: 1997), 39.
13
Fobia, “Yesus dan Badai”, 39.
14
Fobia, “Yesus dan Badai”, 39.
4
dan khususnya laut harus dipandang dari perspektif pemerintahan Allah yang
telah berlaku.15
Dalam terang pemerintahan Allah yang telah berlaku, alam
bukanlah kekuatan jahat yang membinasakan, melainkan pemberian Allah yang
sangat kaya. Roh-roh jahat mungkin berdiam dalam laut, namun roh-roh jahat
tersebut tidak berdaya. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk memandang laut
sebagai sumber ancaman, sehingga kehidupan bahari dapat dikembangkan tanpa
rasa takut.16
Inilah yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat yang tinggal di
Latuhalat. Mereka yang tinggal di sana menggantungkan kehidupan mereka pada
laut. Mereka mengembangkan kehidupan mereka dari laut yang berada di sekitar
tempat tinggal mereka. Mereka memanfaatkan hasil-hasil laut dengan menekuni
pekerjaan sebagai nelayan dan juga membuka berbagai tempat-tempat wisata
pantai di sana. Selain itu, warga gereja sendiri pun terkadang membuat acara-
acara gereja, seperti ibadah padang di daerah sekitar pantai, bahkan melakukan
retreat dan menginap di pantai.
Berbeda dengan orang Alor dan orang Yahudi, orang Maluku tidak
menganggap laut sebagai ancaman dan bahaya. Sebaliknya, orang Maluku
menggantungkan hidup mereka sepenuhnya pada laut. Oleh karena itu, jika laut
itu merupakan ancaman dan bahaya yang juga dikatakan di dalam Alkitab, maka
tentu tidak sesuai dan bertentangan dengan orang Maluku yang menganggap laut
sebagai sumber kehidupan mereka. Dengan demikian, penelitian ini akan
dilakukan untuk mengetahui imajinasi orang Maluku terutama di Jemaat Latuhalat
tentang laut. Imajinasi yang dimaksudkan di sini ialah gambaran melalui konsep-
konsep yang didapatkan melalui pengindraan.17
Kemudian imajinasi tersebut
memprakondisikan pengalaman kita di dunia melalui tindakan kita.18
Dari
imajinasi itulah, kita dapat memahami pandangan mereka serta tindakan mereka
terhadap laut. Kemudian, kita dapat membangun refleksi secara teologis terhadap
laut.
15 Fobia, “Yesus dan Badai”, 40.
16
Fobia, “Yesus dan Badai”, 40.
17
Hudjolly, Imagologi: Strategi Rekayasa Teks (Jogjakarta: AR-RUZZ, 2011), 104.
18
Hudjolly, Imagologi, 105.
5
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diteliti
adalah apa imajinasi warga Jemaat GPM Latuhalat tentang laut serta pengaruhnya
terhadap pemanfaatan laut dilihat dari perspektif Ekoteologi? Adapun tujuan dari
penelitian ini ialah: mendeskripsikan imajinasi warga jemaat Latuhalat tentang
laut serta pengaruhnya terhadap pemanfaatan laut oleh warga Jemaat GPM
Latuhalat untuk menopang kehidupan dilihat dari perspektif ekoteologi.
Metode
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian pendekatan
kualitatif dengan jenis penelitian deskiptif. Pendekatan kualitatif adalah suatu
pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala
sentral. Untuk mengerti gejala tersebut peneliti mewawancarai peserta penelitian
atau partisipan dengan mengajukan pertanyaan yang umum dan agak luas.19
Pendekatan ini tidak menggunakan pertanyaan yang rinci seperti halnya
pendekatan kuantitatif. Pertanyaan biasa dimulai dengan yang umum, tetapi
kemudian meruncing dan mendetail. Bersifat umum karena peneliti memberikan
peluang yang seluas-luasnya kepada partisipan mengungkapkan pikiran dan
pendapatnya tanpa pembatasan oleh peneliti. Informasi partisipan tersebut
kemudian diperuncing oleh peneliti sehingga terpusat. Hal ini disebabkan oleh
penekanan pada pentingnya informasi dari partisipan yang adalah sumber.20
Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian kualitatif-
deskriptif adalah wawancara dan dokumentasi:Wawancara adalah tanya jawab
lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Wawancara berguna utuk
mendapatkan data dari tangan pertama (primer) sebagai pelengkap teknik
pengumpulan lainnya untuk menguji hasil pengumpulan data lainnya.21
Penelitian
akan dilakukan di Sinode Gereja Protestan Maluku Jemaat Latuhalat. Dalam
penelitian ini, informan yang akan penulis wawancarai adalah Pendeta jemaat,
tokoh masyarakat, dan nelayan.
19 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatf, Kuantitatif, dan Mixed
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), 9.
20
Creswell, Research Design, 10.
21
Usman & Akbar, Metodologi Penelitian, 69.
6
Ekoteologi, Imajinasi dan Laut
Ekoteologi
Pada dasarnya, Ekoteologi adalah upaya mengembangkan teologi yang
berbasis pada pemahaman ekologi.22
Dengan kata lain, ekoteologi merupakan
sebuah refleksi pada aspek yang berbeda dari teologi yang membahas tentang
lingkungan dan hubungan manusia dengan alam.23
Ekoteologi berusaha untuk
mengungkap dasar teologis bagi sebuah hubungan yang tepat antara Allah,
manusia dan alam semesta.24
Pada tingkat sekuler berbagai bentuk ekoteologi
harus dilihat sebagai kontribusi penting untuk membuat mitos dan simbol, di
mana 'mitos' tidak dimaksudkan untuk menyiratkan kurangnya kebenaran,
melainkan menunjukkan kapasitasnya untuk mencapai diluar rasional termasuk
dimensi lain dari pengetahuan. Hal ini menguraikan akar mitos tersebut dan
dampaknya, negatif dan positif, yang membentuk dasar dari banyak refleksi
ekoteologis. Dengan kata lain, pemikiran dan praktik keagamaan adalah sebagai
akar masalah karena agama berpotensi untuk meneruskan pemahaman ekoteologi
ke depan.25
Ekoteologi dapat memberikan rangsangan secara religio-filosofis
terhadap perhatian-perhatian agama atas isu-isu lingkungan hidup.
Ekoteologi sendiri bukanlah sebuah konsep baru lagi. Konsep ini sudah
dikembangkan sejak tahun 1970-an sebagai wujud kepedulian gereja terhadap
krisis ekologi yang belakangan ini semakin parah. Berawal dari kritik Lynn
White, seorang ahli sejarah dari Universitas California, Los Angeles, dalam
artikelnya berjudul “The Historical Roots of our Ecological Crisis”, White
berpendapat bahwa Kekristenan mengajarkan doktrin-doktrin yang menjadikan
manusia sebagai pusat segala sesuatu (anthropocentric) dengan menggunakan
teori tentang kekuasaan manusia atas bumi (Kej. 1:26-28) dan pada akhirnya
membawa dampak buruk terhadap lingkungan hidup. Kritik White tersebut tentu
menjadi pukulan bagi Gereja. Ditambah lagi munculnya sejumlah tokoh yang
turut mencambuk Gereja dengan teorinya yang anthropocentric. Dari kritik inilah,
22 K.A.M. Jusuf Roni, Langit Memerah Bumi Membara (Jakarta: Jusuf Roni Center,
2014), 11.
23 Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Saint Mary’s Press, 2008), 7.
24
Drummond, “Eco-Theology”, 9.
25 Drummond, Eco-Theology, 8.
7
Paus Yohanes Paulus II kemudian mengarahkan perhatian gereja secara lebih
besar terhadap faktor ekologi.26
Dengan demikian, maka teologi gereja masa kini sudah seharusnya
difokuskan pada kesadaran akan lingkungan,sehingga agama lebih membumi dan
tidak lagi terhipnotis oleh perdebatan-perdebatan doktrinal atau urusan-urusan
aqidah.27
Banyak pendekatan untuk ekoteologi adalah mereka yang berusaha
untuk memulihkan kesadaran kita terhadap bumi, sebuah pengingat bahwa bumi
adalah tempat kita bersama, dan bahwa bumi dan manusia adalah satu.28
Dari
sinilah berkembang sejumlah proyek yang disebut religious-environmental
projects di seluruh dunia.29
Ekoteologi mulai digagas oleh sejumlah teolog seperti
de Chardin, Whitehead, Cobb, Moltmann, Ruether, dan McFague. Ekotetologi
juga tidak lahir hanya di kalangan Kristen saja ekoteologi berkembang, tetapi juga
di kalangan agama-agama lain, seperti Heschel dan Buber di Yahudi, Shiva di
Hindu dan Nasr di Islam.30
Imajinasi
Imajinasi telah diterima dalam dunia ilmiah, meskipun hanya diberi tempat
pada bagian paling belakang dari sebuah pencarian, penelitian, dan eksperimen.
Eksperimen dilandasi oleh sikap Imajinatif (pengandaian) yang dikenal dengan
asumsi, hipotesis, dugaan, posibilitas, atau hal-hal yang memang belum secara
nyata terjadi, tetapi dibayangkan akan terjadi jika semua syarat yang diperlukan
disediakan.31
Tujuan metode adalah menghadirkan segala syarat yang diperlukan
untuk suatu hipotesis, asumsi, dugaan, dan posibilitas. Oleh sebab itu, imajinasi
merupakan sumber inspirasi yang mendorong seseorang untuk
mengaktualisasikan imajinasinya.32
Menurut Edwards, imajinasi adalah daya untuk membentuk gambaran
melalui konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari proses
26 Roni, Langit Memerah, 6-10.
27
Roni, Langit Memerah, 17-18.
28
Drummond, Eco-Theology, 9.
29 Roni, Langit Memerah, 12.
30
Roni, Langit Memerah, 12.
31
Hudjolly, Imagologi, 103.
32
Hudjolly, Imagologi, 103-104.
8
pengindraan.33
Namun, perlu dipahami bahwa imajinasi tidak sama dengan
fantasi. Fantasi merupakan kemampuan membayangkan suatu objek dan produk
fantasi bernama khayalan atau ilusi.34
Giordano Bruno berusaha memasukkan
imajinasi ke dalam keagamaan. Ia memandang imajinasi sebagau suatu daya
spiritual di dalam diri manusia. Dengan kata lain, imajinasi adalah kendaraan bagi
Roh Kudus. Sedangkan Immanuel Kant memasukkan imajinasi dalam sistem
transendental, yaitu sebuah kondisi tersembunyi dari segala pengetahuan yang
mendasari objektivitas objek dalam subjektivitas subjek. Imajinasi itulah yang
akan memprakondisikan pengalaman manusia dengan dunia.35
Imajinasi merupakan kata kerja yang yang lebih luas dan tidak hanya
sekadar membayangkan, melainkan menuntut adanya kompleksitas dan kesadaran
mental yang tinggi untuk dapat berimajinasi. Pemakaian kata imajinasi dalam
kalimat sehari-hari mencampuradukkan pemakaian imajinasi dengan
membayangkan antara imagery (penggambaran), dan imagine (membayangkan).36
Dalam realitas modern, keberadaan imagologi menggantikan peran imajinasi
sebagai prakondisi pengetahuan. Imajinasi memprakondisikan pengetahuan
individu, sedangkan imagologi memprakondisikan pengetahuan massal. Gejala-
gejala pengetahuan mengenai agama berada dalam produksi massal. Dengan kata
lain, pengetahuan agama sudah dibentuk dalam ruang-ruang publik.37
Laut
Sebagai mahluk yang hidup di darat, pengetahuan kita pada Laut, secara
umum, harus kita akui masih sangat terbatas. Seorang ahli dan praktisi bidang
kelautan, Roberts Callum, memperkirakan bahwa kita baru memahami rahasia
laut sekitar 2% dari pengetahuan sesungguhnya.38
Misalnya saja bangsa Yunani
yang membayangkan laut sebagai sebuah sungai besar yang mengelilingi bumi.
Definisi ini tentu saja masih belum lengkap, dari pandangan manusia modern saat
33 Hudjolly, Imagologi, 104.
34
Hudjolly, Imagologi, 105.
35
Hudjolly, Imagologi, 105.
36
Hudjolly, Imagologi, 106.
37
Hudjolly, Imagologi, 109-110.
38
“Laut dan Fungsinya,” dalam Wiadnya_DGR Blog, Januari 01, 2012, diakses Agustus
26, 2016, http://wiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/1-Laut-Dan-Fungsinya.pdf
9
ini. Meskipun demikian, bangsa Yunani telah memperkenalkan istilah Okeanos,
yang selanjutnya secara global disebut Ocean. Kata Ocean, pada beberapa teks di
Indonesia, umumnya diartikan sebagai Laut. Dengan demikian, munculnya istilah
Okeanos, harus diakui sebagai kemajuan besar untuk mulai melihat, mempelajari
dan memahami peranan Laut pada kehidupan manusia.39
Laut merupakan tubuh perairan yang berisi air asin, menempati permukaan
bumi seluas 70,8% dengan kedalaman rata-rata 3.800 m.40
Lautan yang dangkal di
dekat benua yang sering disebut laut pinggir dan dangkalan serta laut pedalaman
bukanlah laut sesungguhnya, melainkan bagian benua yang kebetulan tenggelam
ke bawah air laut pada waktu permukaan air laut naik sehabis zaman es. Laut
sesungguhnya menempati cekungan-cekungan dalam yang biasa disebut lautan
atau samudera.41
Laut terdiri dari cekungan-cekungan bebatuan yang berisi air
asin. Tidak semua dasar laut bersifat datar, kadang-kadang berbentuk jurang atau
tebing. Pegunungan di dalam laut dapat membentuk jajaran pegunungan di dasar
laut di zona-zona lautan yang luas.42
Berdasarkan letaknya, Laut dibedakan menjadi tiga, yaitu Laut Tepi, Laut
Pertengahan, dan Laut Pedalaman. a) Laut Tepi. Laut Tepi adalah laut yang
terletak di tepi benua (kontinen) dan seolah-olah terpisah dari samudera luas oleh
daratan pulau-pulau atau jazirah. b) Laut Pertengahan. Laut Pertengahan adalah
laut yang terletak diantara benua-benua. Lautnya dalam dan mempunyai gugusan
pulau-pulau. c) Laut Pedalaman. Laut pedalaman adalah laut-laut yang hampir
seluruhnya dikelilingi oleh daratan.
Menurut Kedalamannya laut dibedakan berdasarkan 4 wilayah (zona),
yaitu: a) Zona Litoral. Zona ini adalah wilayah pantai atau pesisir. Di wilayah ini
pada saat air pasang akan tergenang air, dan pada saat air surut berubah menjadi
daratan. Oleh karena itu wilayah ini sering juga disebut Wilayah Pasang-Surut. b)
39 “Laut dan Fungsinya,” dalam Wiadnya_DGR Blog.
40 Ruslan H. Prawiro, Ekologi, Lingkungan, Pencemaran: memperkenalkan seluk-beluk
lingkungan dengan masalahnya dan cara mengatasi, Cetakan keempat (Semarang: Satya Wacana,
1988), 115. 41
Prawiro, Ekologi, Lingkungan, 115. 42
Friedhelm Goltenboth, Kris H. Timotius, Paciencia Po Milan, dan Josef Margraf,
Ekologi Asia Tenggara: Kepulauan Indonesia (Jakarta: Salemba Teknika, 2012), 85-86.
10
Zona Neritik. Zona Neritik adalah baris batas wilayah pasang surut hingga
kedalaman 150 m. Pada zona ini masih dapat ditembus oleh sinar matahari
sehingga pada wilayah ini paling banyak terdapat berbagai jeni kehidupan baik
hewan maupun tumbuhan. c) Zona Batial. Zona Batial adalah wilayah laut yang
memiliki kedalaman antara 150 hingga 1800 m. Wilayah ini tidak dapat
tertembus sinar matahari, oleh karena itu kehidupan organismenya tidak sebanyak
yang terdapat di Wilayah Neritik. d) Zona Abisal. Zona Abisal adalah wilayah
laut yang memiliki kedalaman lebih dari 1800 m. Di wilayah ini suhunya sangat
dingin dan tidak ada tumbuh-tumbuhan. Jenis hewan yang dapat hidup di wilayah
ini sangat terbatas (softilmu, 2013).43
Laut juga sangat kaya dengan organisme, baik jumlah maupun jenisnya.
Air dengan mineral-mineral dan sinar matahari sebagai sumber daya hidup
tercukupi. Organisme besar-kecil, tumbuhan dan hewan yang terdapat dalam
lingkungan laut, dari ganggangan-ganggangan yang sangat halus sampai mamalia
sangat besar.44
Laut dengan organisme yang sangat banyak itu merupakan sumber
daya berpotensi bagi kehidupan manusia. Sebagian telah dimanfaatkan, tetapi
sebagian besar masih merupakan cadangan untuk masa-masa yang akan datang.
Penghuni laut terdiri dari tumbuhan dan hewan yang dapat dibagi dalam tiga
golongan, yaitu plankton, nekton, bentos. Plankton berasal dari kata Yunani
“plagktos”, yang berarti mengembara. Kelompok ini terapung atau melayang di
air dan terbawa kemana-mana oleh arus air. Nekton berasal dari kata nektos yang
berarti berenang, dapat bergerak secara aktif hingga terdapat dimana-mana. Selain
itu, terdiri dari berbagai macam jenis ikan dan bukan ikan seperti lumba-lumba,
ikan paus, dan lain-lain yang termasuk binatang menyusui bernapas dengan paru-
paru. Sedangkan bentos merupakan golongan yang hidup dengan dasar. Jenis ini
hidup dari bahan organik dari kehidupan di lingkungan di atasnyayang berupa
bahan buang dan sisa-sisa bangkai yang mengendap di dasar laut. Ada yang
merangkak, melata, dan terikat lebih nyata dengan dasar. Beberapa jenis hidup
43 Hermansyah, “Potensi dan Mitigasi Bencana Laut,” Blog Hermansyah Education,
Maret 03, 2016, diakses September 01, 2016, http://blokjasa.blogspot.co.id/2016/03/potensi-dan-
mitigasi-bencana-laut.html?view=timeslide. 44
Goltenboth et al., Ekologi Asia Tenggara, 119.
11
sebagai predator dengan menangkap jenis-jenis lain yang lewat di dekat mereka.
45
Jika kita melihat ekosistem pantai, kebanyakan ekosistem pesisir pantai
yang merupakan zona pasang surut adalah pertemuan daerah laut dengan pantai
mempunyai salinitas diantara laut dan air tawar dan air pasang surut tersebut
merupakan pengatur yang penting bagi ekosistem itu. Meskipun kondisi
temperatur dan kadar garam sangat bervariasi di sini, kondisi makanan yang
tersedia sangat penting pada area ini untuk makhluk hidup. Berbeda dengan laut,
organisme-organisme yang berdiam pada ekosistem ini merupakan habitat yang
terbuka terhadap sinar matahari, udara, dan juga mudah dimangsa oleh predator
tanah, seperti burung-burung pantai pada waktu pasang rendah dan dari pemangsa
hewan laut pada saat pasang naik. Pada keadaan lain, organisme tersebut harus
tetap hidup terhadap hempasan ombak berbuih sepanjang hari.46
Pantai yang berbatuan banyak ditutupi oleh tumbuhan laut seperti Fucus
dan Laminaria; dan hewan-hewannya seperti siput laut, jenis udang kecil, lintah
laut, kerang yang menempel dengan kuat pada batuan.47
Pada pelekuan batuan
sering merupakan habitat yang berisi air laut yang banyak dihuni oleh jenis
insekta. Zona pantai dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona alga merah, zona
alga coklat dan zona kerang. 48
Pantai berpasir ditandai oleh organisme seperti
jenis tiram , cacing, siput, dan kepiting yang dapat bersembunyi pada lubang
yang dibuatnya di pasir. Tumbuhan dan hewan yang mirip dengan hewan-hewan
tersebut juga terdapat pada habitat pantai yang berlumpur pada saat pasang surut
terjadi.49
Pemanfaatan Laut
Laut, sejak dulu sudah menjadi sumber daya alam yang penting bagi
manusia. Air menjadi media yang cocok dan menyediakan kehidupan untuk
45
Goltenboth et al., Ekologi Asia Tenggara, 119-120. 46
H. Dzaki Ramli, Ekologi (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989),
202.
47
Ramli, Ekologi, 202-203.
48
Ramli, Ekologi, 203.
49
Ramli, Ekologi, 204.
12
dimanfaatkan oleh manusia sejak berabad-abad lamanya. Laut mengandung
sumber mineral yang penting bagi manusia – sebanyak 73 jenis dari 93 mineral
alam yang ada di laut sudah diketahui pada konsentrasi yang bisa diukur. Natrium
chlorida, magnesium dan bromine ialah tiga komponen mineral yang umum
diekstraksi dari laut. Laut mengandung iodium (iodine) dan merupakan komponen
esensial bagi kehidupan manusia. Iodium, tersedia atau terakumulasi pada
tumbuhan rumput laut (seaweed), selanjutnya secara mudah bisa diekstraksi oleh
manusia. Kebutuhan kita akan iodium juga bisa didapat dari garam alami laut.50
Selain itu, Nodule Mangan ialah sumber mineral mangan, cobalt dan
elemen lain dari laut yang hampir tidak pernah habis. Emas, mutiara dan logam
berat lainnya terkonsentrasi di wilayah neritik melalui bantuan gelombang pantai.
Besi sulfida terkumpul pada wilayah antara paparan benua dan dasar laut yang
lebih dalam. Bijih dan pasir besi terkumpul pada wilayah dekat pantai (neritik).
Penambangan pasir besi sudah sangat terbiasa kita lihat, dilakukan oleh berbagai
perusahaan swasta maupun pemerintah. Di bawah dasar laut, terdapat deposit
minyak dan gas yang persediaannya dipercaya lebih banyak daripada yang
tersedia di darat. Sebagian besar minyak dan gas alam cair yang kita gunakan
sehari-hari berasal dari pengeboran lepas pantai – Laut ialah satu satunya tempat
pada planet bumi untuk mencari hampir semua kebutuhan manusia. Bahkan pasir
pun kita tambang dari laut – kita telah mengambil faeces atau kotoran dari ikan
kakatua (famili: Scaridae) untuk dijadikan salah satu sumber bahan dan sumber
mata pencaharian masyarakat, bahkan sumber pendanaan pemerintah.51
Selain itu,
penangkapan ikan atau perikanan laut merupakan bentuk paling tradisional dari
usaha untuk memanfaatkan laut sebagai sumber daya, bagi kehidupan manusia.52
Laut juga mempunyai manfaat lain. Setiap hari, air laut akan naik ke arah
darat, selama beberapa lama dan kembali ke laut. Seperti sudah kita ketahui,
proses ini disebut pasang surut. Laut mempunyai pasang surut secara periodis.
Oleh sebab itu, ditempat-tempat tertentu perbedaan tinggi permukaan laut antara
pasang dan surut yang cukup tinggi dapat digunakan sebagai pembangkit listrik.
50 “Laut dan Fungsinya,” dalam Wiadnya_DGR Blog.
51
“Laut dan Fungsinya,” dalam Wiadnya_DGR Blog.
52
“Laut dan Fungsinya,” dalam Wiadnya_DGR Blog.
13
Di dalam gelombang dan arus laut juga terdapat energi yang dapat
dimanfaatkan.53
Energi lain dalam laut ialah panas matahari yang tersimpan di
dalam air laut. Di laut dalam, di bawah kondisi oseanologi tertentu terdapat
perbedaan suhu antara lapisan bawah dan atas air laut. Perbedaan suhu tersebut
dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan tenaga listrik.54
Bencana Laut
Laut tentu memiliki manfaat dan fungsi yang sangat banyak yang dapat
digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun laut
memiliki manfaat seperti yang telah dibahas di atas tadi, laut juga dapat
mendatangkan bencana bagi manusia sendiri.
Bencana laut adalah bencana alam yang berasal dari laut, lingkungan
normal atau perubahan drastis alam laut, sehingga di zona pesisir terjadi di laut
atau serius membahayakan masyarakat, ekonomi dan peristiwa-peristiwa
kehidupan serta properti.
Ada berbagai jenis bencana yang diakibatkan oleh laut. Jenis-jenis
bencana tersebut diantaranya ialah: a) Tsunami. Tsunami adalah serangkaian
gelombang panjang yang timbul karena adanya perubahan dasar laut atau
perubahan badan air yang terjadi secara tiba-tiba dan impulsif, akibat gempa
bumi, erupsi gunung api bawah laut, longsoran bawah laut, ekstrusi gas dari
volcanic mud, runtuhan gunung es, ledakan nuklir, bahkan akibat terjangan
benda-benda angkasa luar ke permukaan laut. b) Gelombang Badai. Gelombang
badai Yaitu Gelombang yang terbentuk oleh angin yang sangat kuat Dengan
Kecepatan angin lebih dari 91 Km/jam, Tinggi gelombang 7 meter – 30 meter,
Berbahaya bagi pelayaran dan pemukiman /bangunan di pantai serta Dapat
menyebabkan abrasi pantai. Contoh : Badai, typhoon / hurricane, La Nina, El
nina. c) Kenaikan Permukaan Laut. Kenaikan permukaan laut adalah suatu
peristiwa yang menimbulkan naiknya permukaan air laut ke pesisir pantai kerena
beberapa faktor. d) El nina dan La nina. Nino adalah fenomena dimana terjadi
53 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta:
Djambatan, 1985), 348.
54
Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup, 348.
14
peningkatan suhu permukaan laut yang biasanya dingin yang menyebabkan
upwelling55
dan biasaya kita indikasikasikan dengan kekeringan pada daerah
tersebut dan La-Nina adalah fenomena dimana terjadi pendingginan suhu
permukaan laut akibat menguatnya upwelling dan biasanya kita indikasikan
dengan banjir pada daerah tersebut.
e) Banjir. Banjir adalah debit aliran air sungai yang secara relatif lebih
besar dari biasanya/normalnya akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu
tempat tertentu secara terus menerus, sehingga tidak dapat ditampung oleh alur
sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya.
Selain air sungai, banjir juga dapat terjadi karena aliran air yang berasal dari laut
karena adanya bencana badai atau tsunami. f) Abrasi Pantai. Abrasi pantai yaitu
Pengikisan (erosi) pantai oleh pukulan gelombang laut yang terus menerus
terhadap dinding pantai. Hingga saat ini luas areal yang hilang dari Brebes hingga
Rembang mencapai lebih 4.000 (ha). Rata-rata daratan yang terseret arus laut 5-
30 meter per tahun. Abrasi itu mengakibatkan rusak dan hilangnya hutan bakau
(mangrove), perkebunan rakyat, areal pertambakan, dan permukiman penduduk
yang berada di bibir pantai.56
Hubungan Manusia dengan Laut
Dengan melihat manfaat dan bencana laut, maka secara tidak langsung laut
memiliki hubungan dengan makhluk lain, termasuk manusia. Laut sejak dulu
sudah menjadi sumber daya alam yang memberikan banyak manfaat penting bagi
manusia. Penangkapan ikan atau perikanan laut, ialah bentuk paling tradisional
dari usaha untuk memanfaatkan laut sebagai sumber daya, bagi kehidupan
manusia di darat.57
Penangkapan ikan tersebut kemudian dikembangkan dan
dijadikan sebagai mata pencaharian dibidang perekonomian.
Selain itu, hal yang tidak kalah menariknya antara hubungan manusia
dengan laut ialah tradisi atau kepercayaan. Pada umumnya, manusia memang
55
Upwelling merupakan sebuah fenomena di mana air laut yang lebih dingin dan
bermassa jenis lebih besar dari dasar laut bergerak ke permukaan akibat pergerakan angin di
atasnya.
56 Hermansyah et al., “Potensi dan Mitigasi Bencana Laut”.
57
“Laut dan Fungsinya,” dalam Wiadnya_DGR Blog.
15
memanfaatkan laut untuk kepentingan dan kebutuhannya. Namun di sisi lain,
manusia juga ternyata membangun hubungan yang lebih dari itu. Manusia mulai
membuat mitos-mitos tentang laut. Dari gambaran mitos-mitos tersebut ada yang
memandang laut sebagai ancaman atau bencana, tetapi ada juga yang memandang
laut sebagai anugerah dan berkat.
Kebanyakan dari bangsa-bangsa lain sering menggambarkan laut sebagai
sesuatu yang berbahaya, mengerikan, dan mengancam karena tidak selalu aman.58
Kisah-kisah tentang para petualang maupun para pelaut tentang serangan dari
makhluk-makhluk mistis dengan kekuatan gaib, maupun keanehan-keanehan laut
telah kita dengar. Misalnya saja, mitos Flying Dutchman (Belanda), mitos
Odysseus dan Serena (Yunani), legenda kapal Mary Celeste (Amerika Serikat),
misteri tentang Segi Tiga Bermuda (Samudra Atlantik), serta Sosok Leviathan
sebagai monster laut yang digambarkan dalam Perjanjian Lama oleh bangsa
yahudi dan juga dalam kebudayaan populer Barat lainnya. Mitos-mitos tersebut
menunjukkan bahwa laut sangat berbahaya dan mnyeramkan karena dihuni
makhluk-makhluk misterius yang mengerikan dan tentu saja menakutkan,
sehingga dalam kebudayaan Barat, hampir tidak ada mitos tentang laut sebagai
sebuah tempat yang penuh dengan pengharapan dan memberikan kepastian
hidup.59
Pandangan yang berbeda datang dari bangsa Indonesia yang dikenal
sebagai bangsa bahari. Bagaimana pun juga pandangan bangsa lain tentang laut
berbeda dengan bangsa Indonesia. Bangsa Barat telah berhasil mengarungi
samudera dan lautan yang bergelombang, namun mereka didasari oleh kekuatan
obsesi dan rasionalitas, bukan pada spirit kebahariannya.60
Bangsa Indonesia menggambarkan laut dengan memiliki daya tarik
tersendiri, melalui mitos dan cerita-ceritanya. Dalam berbagai kebudayaan yang
ada di Indonesia, terdapat banyak cerita tentang adanya Dewi Laut.61
Selain,
hadirnya mitos-mitos, Bangsa Indonesia juga membangun imajinasinya tentang
58 Yoseph Yapi Taum, “Berbagai Mitos Tentang Laut: Mengungkap Konsep Bahari
Bangsa Indonesia,” (Makalah dipresentasikan dalam Kongres Internasional Folklore Asia III DI
Hotel Inna Garuda, Yogyakarta, 7-9 Juni, 2013).
59 Taum, “Berbagai Mitos Tentang Laut”.
60
Taum, “Berbagai Mitos Tentang Laut”.
61
Diwilayah Lombok dikenal sebagai Putri Mandalika yaitu putri laut yang
mengorbankan dirinya dan menjadi santapan penduduk setempat. DI Sumatera Utara dan Aceh
dikenal sebagai Putri Hijau. Sedangkan bagi masyarakat Jawa dan Sunda dikenal sebagai Ratu
Laut Selatan (Kanjeng Ratu Kidul dan pembantunya Nyai Roro Kidul).
16
laut. Ada berbagai macam pandangan etnis di Indonesia yang menggambarkan
laut sebagai ibu. Bangsa Indonesia menggambarkan bahureks laut dalam bentuk
sosok perempuan. Di pulau Buru mengenal Ina Kabuki sebagai ratu yang
bertakhta di dasar Teluk kayeli. Selain itu, masyarakat nelayan Lamalera
menyebut laut sebagai Ina Fae Bele. (Lamaholot: Ina Fae (dari kata: Kefae atau
Kfae. Lamaholot: Kewae/Kwae: Istri) Belé artinya: Ibunda yang maharahim.
Laut juga disebut sebagai: Sedo Basa Hari Lolo: Ibundah yang
maharahim, mahapengasih, bunda yang senantiasa mengandung,
melahirkan, membesarkan, memelihara anak-anaknya dengan
menyediakan semua yang anak-anaknya membutuhkan. Dalam
nyanyian-nyanyian memanggil angin dan ungkapan-ungkapan adat
ketika menangkap ikan paus, pari, hiu, dll, laut disebut dengan berbagai
nama, Ina Lefa (Bunda Lautan), Ina Soro Budi: Ibu yang memberi
hatinya kepada anak-anaknya.62
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia
memberikan gambaran seorang perempuan bagi laut. Hal ini memiliki dua
kemungkinan.
Pertama, dalam konsep masyarakat di luar Pulau Jawa, perempuan
dipahami sebagai pemberi dan pelindung kehidupan. Wanita lebih
dimaknai sebagai manusia yang lembut dan penuh kasih. Itulah
sebabnya banyak sekali suku-suku bangsa di luar Jawa yang menjadi
pelaut ulung (dengan kapal Phinisi) dan bahkan ada suku laut yang
dikenal sebagai gypsi laut seperti suku Bajao di Sulawesi Selatan. Laut
juga dipahami sebagai ibu yang memberi kehidupan, seperti terlihat
jelas dalam legenda Bau Nyale masyarakat suku Sasak.63
Kedua, dalam konseps Jawa, perempuan dipahami sebagai çakti yang
dilukiskan sebagai maha hebat dan selalu dilukiskan sebagai sesuatu
yang "mengerikan". Perhatikan misalnya Sarpakenaka, Durga, dan
Calon Arang (Setiawan, 1981). Jika perempuan dipahami dalam konsep
ini, laut memiliki makna yang menakutkan. Orang menjadi takut untuk
melaut. Akan tetapi, penting diperhatikan bahwa konsep Penguasa Laut
Selatan muncul pada masa Mataram Senapati, di mana konsep gender
sangat kuat, dengan perempuan dipandang sebagai kekuatan pengayom.
Konsep ini berbalik linea recta di jaman rezim militer Orde Baru
Suharto, ketika (tubuh) perempuan dia pakai sebagai wahana dan
sarana untuk menghancurkan gerakan kiri khususnya dan gerakan
rakyat umumnya.64
62 Taum, “Berbagai Mitos Tentang Laut”.
63 Taum, “Berbagai Mitos Tentang Laut”.
64
Taum, “Berbagai Mitos Tentang Laut”.
17
Laut dalam Pandangan Jemaat Latuhalat
A. Gambaran Tempat Penelitian
Jemaat GPM Latuhalat merupakan salah satu jemaat tertua dari beberapa
jemaat yang ada di Klasis Pulau Ambon. Jemaat GPM Latuhalat terdiri dari dua
negeri yaitu Negeri Latuhalat dan Seilale, sehingga lebih dikenal sebagai Jemaat
Latuhalat-Seilale.65
Namun di kemudian hari, Negeri Seilale membentuk jemaat
sendiri dan terpisah dari Jemaat GPM Latuhalat. Jemaat GPM Latuhalat terletak
di bagian barat Jezirah Lei-timur Pulau Ambon. Secara geografis, wilayah
pelayanan Jemaat GPM Latuhalat berbatasan sebagai berikut: di bagian Utara
dengan Jemaat GPM Seilale dan Teluk Ambon; di bagian Timur dengan Jemaat
GPM Erie dan Jemaat GPM Airlow; di bagian Barat dengan Jemaat GPM
Waimahu; di bagian Selatan dengan Laut Banda.66
Pembangunan gedung gereja Jemaat GPM Latuhalat untuk pertama kali
diresmikan pada tanggal 20 April 1926 oleh Tuan D.S W.J.J. Tennu. Gedung
Gereja tersebut kemudian diberi nama PNIEL yang artinya Bertemu Tuhan Muka
dengan Muka (Kej 32:30).67
Namun, dalam perjalanan waktu sampai sekarang,
Jemaat GPM Latuhalat mengalami perkembangan, baik dari pertambahan jumlah
umat, unit dan sektor. Secara keseluruhan, Jemaat GPM Latuhalat memiliki 6
sektor dan 51 unit. Anggota Jemaat GPM Latuhalat sendiri hingga awal 2016
berjumlah 5.240 orang dan jumlah KK sebanyak 1.276. Oleh sebab itu, dengan
banyaknya jumlah anggota jemaat maka untuk menjaga agar peribadahan tetap
efektif telah dibangun 5 gedung gereja di setiap sektor. Selain itu, untuk
mengakomodasi para pendeta, maka telah dibangun 4 rumah pastori, sehingga
saat ini jumlah rumah pastori di Jemaat GPM Latuhalat berjumlah 5 buah yang
tersebar disetiap sektor. Sampai dengan tahun 2016 jumlah pendeta yang sudah
bertugas di Jemaat GPM Latuhalat sebanyak 28 pendeta.68
Pekerjaan dari anggota Jemaat GPM Latuhalat sangat bervariasi mulai dari
nelayan, papalele, petani, peternak, pedagang, pekerja bangunan, PNS,
TNI/POLRI, swasta dan pengusaha. Berikut adalah tabel yang memperlihatkan
65 Dikutip dari Rencana Strategi Jemaat GPM Latuhalat tahun 2016-2020, 4.
66
Rencana Strategi..., 7.
67
Rencana Strategi..., 5.
68 Rencana Strategi..., 5-6.
18
banyaknya orang yang berpartisipasi dalam aktivitas usaha ekonomi dan jenis
pekerjaan, pada tahun 2015.69
NO. JENIS USAHA
EKONOMI/PEKERJAAN
JUMLAH
(ORANG)
PERSENTASE
(%)
1. Nelayan 162 9.22
2. Papalele 87 4.95
3. Kios (BBM, Sembako, pulsa) 145 8.25
4. Tukang (kayu dan batu) 134 7.62
5. Batu Bata 58 3.30
6. PNS 299 17.01
7. TNI/POLRI 86 4.89
8. Ojek 71 4.04
9. Petani 75 4.27
10. Kontraktor 13 0.74
11. Pensiunan 140 7.96
12. Swasta 358 20.36
13. Rumah Makan 4 0.23
14. Peternakan 34 1.93
15. Lain-lain 92 5.23
Jumlah 1.758
Sumber : Kantor Jemaat GPM Latuhalat, data diolah 2016
Tabel 3.1 JENIS USAHA EKONOMI DAN PEKERJAAN DARI PENDUDUK JEMAAAT GPM
LATUHALAT
Dari tabel di atas, saya dapat mengetahui sumber daya ekonomi yang ada
di dalam jemaat. Berikut disajikan sumber daya ekonomi dalam jemaat GPM
Latuhalat pada tabel di bawah ini.
NO. URAIAN JUMLAH
1. Tempat Rekreasi 3
2. Hotel dan Penginapan 2
3. Restoran dan Rumah Makan 4
4. Perikanan Tangkap 67
5. Perdagangan 59
69 Rencana Strategi..., 19.
19
6. Industri Kecil 1
7. Warnet 2
8. Industri Rumah Tangga 52
9. Alat Transportasi Darat 102
10. Ojek 150
11 Koperasi 4
Sumber : Kantor Negeri Latuhalat, data diolah 2016
Tabel 3.2 SUMBER DAYA EKONOMI YANG TERSEDIA
Berdasarkan tabel-tabel yang disajikan di atas, saya dapat menemukan
bahwa ada begitu banyak pekerjaan dan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh
jemaat GPM Latuhalat.
B. Pandangan Jemaat Latuhalat tentang Laut
Berdasarkan gambaran umum dari jemaat GPM Latuhalat yang telah
dipaparkan di atas, penulis menemukan bahwa ada begitu banyak pekerjaan yang
ditekuni oleh warga Jemaat GPM Latuhalat. Namun secara khusus, penulis lebih
menyoroti pada pekerjaan sebagai nelayan dan papalele. Yang dimaksud dengan
papalele ialah mereka yang biasanya berjualan keliling baik dari rumah ke rumah
maupun dari desa ke desa.70
Pekerjaan mereka sebagai nelayan mendapat
peringkat ketiga terbanyak di dalam jemaat tersebut. Salah satu faktor yang
membuat mereka bekerja sebagai nelayan ialah jemaat tersebut sebagian besar
tinggal di daerah pesisir pantai. Itulah sebabnya cukup banyak anggota jemaat
yang menggantungkan kehidupan mereka pada laut. Hal ini tentu mempengaruhi
pandangan Jemaat GPM Latuhalat tentang laut. Bagi Jemaat GPM Latuhalat,
khususnya nelayan, ibu-ibu papalele, tokoh-tokoh masyarakat71
, serta para
pelayan gereja laut itu merupakan sesuatu yang sangat penting.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan, mereka menganggap
laut sebagai sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan mereka. Alasannya ialah
bahwa sebagian besar mereka telah mempunyai pengalaman sebagai seorang
nelayan sejak remaja. Mereka bahkan hidup dan dibesarkan dengan hasil-hasil
70
Simon Pieter Soegijono, “Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di
Ambon,” (Disertasi Doktor., Universitas Kristen Satya Wacana, 2011), 2.
71
Wawancara dengan Bapak R.L (Sekretaris RT) dan Bapak J.L (Ketua RW) pada
tanggal 5 Oktober 2016 di rumah masing-masing narasumber.
20
laut yang diperoleh. Dengan demikian, nelayan bukanlah profesi baru yang
mereka kerjakan, melainkan pekerjaan tersebut sudah dilakukan sejak dahulu.72
Namun, ada juga yang baru menjadi nelayan beberapa tahun.73
Pendapatan yang
mereka peroleh dari hasil-hasil laut telah cukup membiayai kebutuhan mereka
sehari-hari, baik itu sandang, pangan, papan, dan juga pendidikan. Hal inilah yang
membuat laut begitu penting bagi mereka. Mereka percaya bahwa laut telah
memelihara dan membesarkan mereka. Selain menganggap laut sebagai sesuatu
yang sangat penting, sebagai orang Kristen mereka juga menganggap laut itu
sebagai anugerah Tuhan. Laut merupakan ciptaan Tuhan yang patut disyukuri,
sebab lewat laut Tuhan memberikan berkat bagi para nelayan.74
Walaupun para nelayan telah menjalani kehidupan mereka bertahun-tahun
di laut, namun tentu saja tidak mudah bagi mereka untuk menaklukkan laut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan, mereka mengatakan bahwa
walaupun hampir setiap hari mereka pergi ke laut untuk mencari ikan, hal itu tidak
membuat mereka dengan serta-merta tidak takut terhadap laut. Terkadang mereka
harus berhati-hati ketika hendak pergi ke laut, apalagi jika musim ombak.75
Meskipun demikian, ada juga beberapa nelayan yang merasa sudah biasa dalam
menghadapi gelombang laut.76
Bagi mereka, laut itu bukanlah sesuatu yang
menakutkan, laut juga mempunyai sisi yang menyenangkan. Hal yang
menyenangkan bagi mereka ialah ketika mereka pergi ke laut, laut dapat
memberikan sesuatu bagi mereka untuk dibawa pulang. Dengan melihat
kenyataan tersebut, sebagai orang yang menggantungkan hidupnya di laut, mereka
tidak dapat menghindari semua ancaman-ancaman yang bisa saja membahayakan
nyawa mereka ketika pergi ke laut. Terkadang, walaupun cuaca tidak
memungkinkan, ada yang tetap turun ke laut mencari ikan demi melangsungkan
kehidupan mereka.
72
Wawancara dengan Bapak K.S, Bapak R.L, Bapak H.L, Bapak J.L, Bapak M.L, dan
Bapak C.L pada tanggal 3 Oktober 2016 di rumah masing-masing narasumber.
73
Wawancara dengan Bapak R.S.N pada tanggal 3 Oktober 2016 di rumah narasumber.
74
Wawancara dengan Bapak K.S, Bapak R.L, Bapak H.L, Bapak J.L, Bapak M.L, dan
Bapak C.L pada tanggal 3 Oktober 2016 di rumah masing-masing narasumber.
75
Wawancara dengan Bapak K.S, Bapak R.L, Bapak H.L, Bapak J.L, Bapak M.L, dan
Bapak C.L pada tanggal 3 Oktober 2016 di rumah masing-masing narasumber.
76
Wawancara dengan Bapak M.L pada tanggal 3 Oktober 2016 di rumah narasumber.
21
Meskipun ketakutan mereka terhadap laut tidak dapat dihindari, namun
ada yang lebih menarik dari hal tersebut. Oleh karena laut telah memberikan hasil
bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka mereka menganggap laut
sebagai ibu yang telah membesarkan mereka. Laut tidak hanya dipandang sebagai
ibu, tetapi juga ayah. Dengan kata lain, mereka memandang laut itu sebagai orang
tua mereka. Mereka melihat bahwa laut telah cukup banyak memberikan
kontribusi dalam kehidupan mereka, terkhususnya dalam bidang perekonomian.
Laut telah memberikan hasilnya berupa ikan dengan berbagai jenis yang dapat
mereka makan dan juga mereka jual, sehingga memperoleh uang untuk memenuhi
semua kebutuhan mereka. Selain ikan dengan berbagai jenis, terkadang mereka
juga mendapat cumi-cumi sebagai hasil tangkapan mereka.
Selain pendapat dari para nelayan, berdasarkan hasil wawancara dengan
ibu-ibu papalele, mereka mengatakan bahwa laut juga merupakan sesuatu yang
sangat penting bagi kehidupan mereka. Meskipun mereka tidak turun secara
langsung ke laut, namun hasil-hasil yang diperoleh oleh suami maupun anak-anak
mereka juga dapat mereka nikmati. Merekalah yang membawa hasil-hasil laut itu
ke pasar dan menjualnya untuk memperoleh uang.77
Selain itu, sebagai ibu rumah
tangga tentulah ikan yang diperoleh itu dimasak dan disajikan oleh mereka.
Dengan demikian, laut juga memainkan peranan penting bagi ibu-ibu papalele,
bukan hanya bagi para nelayan saja. Bagi ibu-ibu papalele, laut bisa digambarkan
sebagai dapur bagi mereka. Sebab sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa
dapur merupakan tempat di mana kita menyimpan segala jenis bahan makanan
dan tempat untuk mengolah bahan makanan.78
Bahan makanan yang mereka
peroleh berupa ikan selalu mereka dapatkan dari laut. Oleh sebab itulah, maka
mereka menggambarkan laut sebagai dapur, tempat di mana mereka menyimpan
bahan makanan yang sewaktu-waktu jika mereka perlu mereka dapat
mengambilnya.
Di sisi lain, ada budaya dari orang Latuhalat di mana mereka terkadang
pergi ke pantai dan berbicara dengan sebuah batu yang berada di pesisir pantai.
Mereka menamainya “Batu Bicara”. Orang-orang yang mempunyai peran dalam
77
Wawancara dengan Ibu Y.L, Ibu T.L, Ibu C.L, Ibu S.L, Ibu, S.N, dan Ibu E.L pada
tanggal 3 Oktober 2016 di rumah masing-masing narasumber.
78
Wawancara dengan Ibu Y.L pada tanggal 3 Oktober 2016 di rumah narasumber.
22
adat biasanya naik ke batu tersebut untuk berdialog dengan roh-roh nenek
moyang. Mereka biasanya berbicara tentang kondisi musim atau keadaan darurat
lainnya.79
Seharusnya dengan adanya budaya tersebut, gereja dapat membuat
teologi kontekstual yang berhubungan dengan laut, sehingga orang Latuhalat bisa
membangun relasi antara mereka dengan laut.
Menurut Pendeta dan Majelis, mereka mengatakan bahwa laut juga
merupakan bagian yang sangat penting, sebab laut juga merupakan tempat
makhluk hidup. Jika laut tidak penting maka Allah tidak akan menciptakan laut.
Manusia sendiri juga menggantungkan hidup mereka di laut. Contoh konkret yang
bisa dilihat dari kehidupan sehari-hari ialah para nelayan itu sendiri. Mereka
hidup dan begitu menggantungkan kehidupan mereka dengan hasil-hasil laut yang
mereka peroleh.80
Selain itu, laut juga merupakan anugerah yang Tuhan berikan
bagi kehidupan manusia. Sebab lewat laut Tuhan memberikan berkatNya berupa
hasil-hasil laut yang dinikmati oleh semua manusia, bukan hanya para nelayan
saja.81
Dilihat dari perspektif Teologi, Ketua Majelis Jemaat Latuhalat
menjelaskan bahwa laut merupakan ciptaan Tuhan sekaligus anugerah Tuhan.
Laut merupakan bagian yang tidak terlepas dari kehidupan ini, sebab kita semua
merupakan satu ekosistem yang terhubung satu dengan yang lainnya. Dengan
demikian, maka tentulah manusia juga membutuhkan laut, hanya saja manusia
kurang memperhatikan laut, termasuk Gereja itu sendiri. Orientasi Gereja
Protestan Maluku (GPM) masih banyak tertuju pada organisasi institusi dan ritual-
ritual keagamaan, meskipun perlu diakui bahwa pemikiran para Teolognya sudah
berkembang. Namun, perhatian pada mental spiritual, masalah sosial dan
lingkungan masih perlu ditindaklanjuti lebih jauh.82
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa meskipun para pelayan gereja
menganggap bahwa laut itu penting, namun dari pihak gereja sendiri kurang
membangun refleksi dan melibatkan kegiatan pelayanan jemaat dengan laut.
Kegiatan peribadahan sekitar pantai mungkin pernah dilakukan oleh Jemaat GPM
79 Wawancara dengan D.P.S (Mantan majelis, Raja, Sekretaris Desa, dan Tua Adat) pada
tanggal 8 Oktober 2016 di rumah pastori.
80
Wawancara dengan L.N (Majelis) pada tanggal 5 Oktober 2016 di rumah narasumber.
81
Wawancara dengan Y.S (Majelis sekaligus koordinator pelayanan sektor Nazaret) Pada
tanggal 5 Oktober 2016 di rumah narasumber.
82 Wawancara dengan Pdt. A.P (Ketua Majelis Jemaat) pada tanggal 7 Oktober 2016 di
rumah pastori.
23
Latuhalat, seperti retreat katekisasi.83
Namun, belum ada bentuk-bentuk
pemberdayaan atau program-program gereja yang berkaitan dengan laut dan
kehidupan para nelayan.
Imajinasi Jemaat Latuhalat tentang Laut Sebagai Sebuah Refleksi dalam
Membangun Ekoteologi
Ada beberapa imajinasi yang ditemukan oleh penulis berdasarkan hasil
wawancara bersama dengan orang-orang Latuhalat. Berikut dipaparkan imajinasi-
imajinasi yang lahir dari pengalaman keseharian mereka.
A. Laut Sebagai Ibu
Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang sudah dipaparkan di atas,
penulis menemukan bahwa orang Latuhalat menganggap laut itu sebagai seorang
ibu. Hal ini tentu berdasar pada kehidupan mereka yang bergantung pada laut.
Seorang ibu biasanya menjaga, merawat dan memberikan apa yang dibutuhkan
oleh anak-anaknya. Sama halnya juga dengan apa yang dialami oleh orang
Latuhalat dengan laut. Laut merawat, memberikan apa yang dibutuhkan, serta
membiayai kehidupan orang-orang Latuhalat, terutama para nelayan. Laut
menyimpan hasil-hasilnya untuk diberikan dan dinikmati oleh mereka. Dengan
demikian, mereka dapat mencukupi kebutuhan hidup berupa bahan pangan dan
perekonomian mereka yang diperoleh dari hasil-hasil laut yang dijual di pasar.
Selain itu, laut juga mengelola dan menghasilkan sesuatu yang baik bagi
orang-orang Latuhalat. Terkadang, manusia begitu serakah sehingga ikan-ikan
kecil juga ingin diambil. Namun, laut mempunyai gelora dan gelombang besar
untuk mencegah nelayan turun ke laut. Tentu inilah cara laut untuk mengelola
hasil-hasilnya. Sama seperti seorang ibu yang mengelola segala sesuatu bagi
anak-anaknya juga.
B. Laut Sebagai seorang Teman Dekat
Orang Latuhalat, terkhususnya para nelayan juga menganggap laut itu
sebagai teman dekat atau sahabat. Oleh karena hampir setiap hari mereka turun ke
laut, maka mereka sudah begitu bergaul karib dengan laut. Biasanya seorang
83 Wawancara dengan Pdt. A.P (Ketua Majelis Jemaat) pada tanggal 7 Oktober 2016 di
rumah pastori.
24
teman dekat atau sahabat adalah orang yang senantiasa bergaul karib dengan
teman mereka. Lebih dari itu, mereka bukan hanya bergaul karib, tetapi juga
mengetahui sifat baik dan buruk dari teman mereka. Sekalipun mereka
mengetahui sifat buruk dari teman mereka, namun mereka tidak meninggalkan
temannya. Sama halnya, hubungan antara para nelayan dengan laut. Laut
merupakan teman dekat atau sahabat mereka, sebab mereka selalu bergaul dengan
laut. Tidak hanya itu, mereka juga tahu sifat baik dan buruk yang dimiliki oleh
laut. Mereka mengetahui bahwa laut itu tidak selamanya akan tetap tenang dan
teduh. Laut juga mempunyai gelora dan gelombang yang bisa membahayakan diri
mereka sendiri, ketika mereka berada di laut. Meskipun mereka mengetahui sifat
buruk berupa bencana yang dapat mengancam diri mereka sendiri, namun mereka
tidak meninggalkan laut. Mereka masih saja pergi ke laut.
C. Laut Sebagai Dapur
Orang Latuhalat juga menjadikan laut sebagai dapur mereka. Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa dapur tentu mempunyai peranan yang cukup penting
dalam rumah. Dapur merupakan tempat khusus yang kita sediakan untuk
melakukan segala pekerjaan yang berhubungan dengan pengolahan bahan
makanan, seperti memasak. Dapur juga mempunyai fungsi sebagai tempat
penyimpanan bahan makanan. Semua bahan pangan yang dimiliki ditaruh dan
disimpan di dapur. Selain itu, dapur juga menyimpan peralatan rumah tangga
yang dipakai untuk memasak dan sebagainya.
Dengan gambaran dapur seperti inilah, maka orang Latuhalat menjadikan
laut sebagai dapur mereka. Mereka menjadikan laut sebagai dapur, sebab bahan
makanan yang mereka peroleh berupa ikan, cumi, dan hasil laut lainnya selalu
mereka ambil dan dapatkan dari laut. Oleh sebab itulah, maka mereka
menggambarkan laut sebagai dapur, tempat di mana mereka menyimpan bahan
makanan yang sewaktu-waktu jika mereka perlu mereka dapat mengambilnya.
D. Laut Sebagai Guru Kehidupan
Selain berbagai macam pandangan di atas tentang laut, orang Latuhalat
juga bisa menjadikan laut sebagai guru kehidupan. Dengan kata lain, laut dapat
mengajarkan suatu pelajaran berharga tentang bagaimana orang Latuhalat harus
menghadapi kehidupan mereka. Sebab laut tidak hanya memberikan mereka hasil-
25
hail laut yang dapat dinikmati saja, melainkan bahaya-bahaya juga yang dapat
mencelakakan mereka.
Lewat gelombang dan gelora yang dihadapi oleh nelayan, laut
memberikan tantangan dan mengajarkan mereka bagaimana bertahan dan tidak
pantang menyerah dalam menghadapi persoalan hidup. Sebesar apapun persoalan
yang mereka hadapi, mereka harus tetap berani untuk menghadapinya.
Gelombang dan gelora laut tentu membuat mereka terombang-ambing, bahkan
bisa menenggelamkan mereka. Namun, mereka harus mengetahui bagaimana cara
menghadapi gelombang dan gelora laut, agar mereka tidak sampai tenggelam.
Begitu pun ketika mereka menghadapi persoalan hidup. Persoalan hidup yang
mereka hadapi mungkin membuat mereka terombang-ambing, putus asa, bingung,
dan sebagainya. Namun, mereka tidak boleh membiarkan diri mereka tenggelam
dan hanyut dalam persoalan hidup yang mereka hadapi. Sebaliknya, mereka harus
mencari solusi, sehingga mereka bisa melalui dan menyelesaikan persoalan-
persoalan tersebut. Di sisi lain, laut juga tidak selamanya bergelombang dan
bergelora. Terkadang, ia menjadi tenang dan teduh. Dari sinilah ia mengajarkan
bahwa kehidupan ini tentu tidak selamanya diperhadapkan dengan persoalan dan
tantangan saja, melainkan ada waktu untuk menikmati kehidupan dan
memperoleh keberhasilan, keberuntungan, kesuksesan, dan sebagainya. Itulah saat
di mana mereka bebas dari persoalan hidup dan memperoleh harapan-harapan
yang baru.
Selain itu, hasil-hasil laut yang mereka peroleh berupa berbagai jenis ikan,
cumi, dan sebagainya, jumlahnya tidak menentu. Terkadang mereka memperoleh
hasil laut dengan jumlah yang banyak dan terkadang mereka memperoleh hasil
laut dengan jumlah yang sedikit. Oleh sebab itu, lewat hasil laut yang tidak
menentu itulah laut juga mengajarkan mereka untuk bersyukur dengan apa yang
mereka dapatkan dan mereka peroleh berapapun jumlahnya. Mereka tidak perlu
kecewa jika hasil yang mereka peroleh jumlahnya sedikit, sebab lebih baik sedikit
daripada tidak sama sekali. Laut juga mengajarkan mereka untuk bersabar dan
terus berusaha lebih giat dan lebih keras lagi untuk bisa memperoleh apa yang
mereka harapkan dan mereka inginkan.
26
Keterlibatan Gereja dalam Membangun Refleksi dari Pengalaman Jemaat
Dari hasil studi lapangan yang dilakukan oleh penulis, penulis melihat
bahwa upaya Gereja, khususnya Gereja Protestan Maluku dalam membangun
refleksi dari kehidupan umat masih kurang. Berdasarkan hasil wawancara dengan
para pelayan gereja (Pendeta dan Majelis), mereka mengatakan bahwa laut itu
sangat penting dengan berbagai macam alasan yang diberikan dan dipaparkan.
Mereka juga mengatakan bahwa laut itu sebagai anugerah yang Tuhan berikan
bagi manusia. Namun pada kenyataannya, pelayanan yang dilakukan oleh gereja
belum menunjukkan bahwa laut itu penting dan laut itu sebagai anugerah Tuhan.
Apalagi cukup banyak warga jemaat yang bekerja sebagai nelayan. Tentu sangat
disayangkan sekali jika dalam program-program gereja belum ada pemberdayaan-
pemberdayaan terkait dengan laut dan nelayan. Gereja masih terlalu sibuk dengan
urusan-urusan kelembagaan dan organisasi.
Oleh sebab itulah, benar yang dikatakan oleh John Chr. Ruhulessin tentang
dua belas isu yang akan terus menjadi pergumulan GPM sepuluh tahun ke depan
(2015-2025) dalam tulisannya yang berjudul “Delapan Dekade Menanam,
Menyiram, bertumbuh, dan Berbuah”. Salah satu isu yang diangkat ialah
peradaban maritim dan Teologi Kelautan.84
Ia menjelaskan bahwa GPM perlu
memikirkan kembali sebuah teologi yang merespon konteks laut-pulau GPM dan
bersinergi dengan paradigma pembangunan bangsa saat ini. Dan persoalan
merumuskan teologi yang peka terhadap konteks laut-pulau haruslah
bersinambungan dengan pengalaman hidup jemaat sehari-hari. Tujuannya ialah
agar laut dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan disorientasi
pembangunan selama ini dapat dikoreksi dan diupayakan solusi yang tepat.
Dengan begitu, dapat tercipta budaya mencintai laut dan secara optimal gereja
turut ambil bagian dalam pelestarian laut beserta segala isinya dan kegunaannya.85
Berdasarkan isu yang diangkat oleh John Ruhulessin inilah, penulis
berpikir bahwa tulisannya sangat relevan dengan kehidupan Jemaat GPM
84
Elizabeth Marantika dkk, Kata Pengantar pada Delapan Dekade GPM
Menanam,Menyiram, Betumbuh, dan Berbuah: Teologi GPM dalam Praksis Berbangsa dan
Bermasyarakat, oleh John Chr. Ruhulessin (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2015),
xxv-xxxiii.
85
Marantika dkk, Kata Pengantar, xxix.
27
Latuhalat. Jemaat yang bukan hanya terdiri dari masyarakat pegunungan saja,
melainkan masyarakat pesisir pantai juga. Lebih dari itu, Jemaat GPM Latuhalat
merupakan jemaat yang hampir sebagian warga jemaatnya berprofesi sebagai
nelayan. Oleh sebab itu, sangat disayangkan sekali jika isu ini belum diperhatikan
oleh gereja dalam jemaat GPM Latuhalat. Gereja belum membangun sebuah
teologi yang peka terhadap konteks laut-pulau sekaligus bersinambungan dengan
praktek keseharian umat.
Di sisi lain, perlu disadari bahwa kesadaran konteks GPM sebagai gereja
laut-pulau sudah muncul dalam lintasan sejarah GPM. Namun, upaya lebih lanjut
dalam merumuskan teologi yang peka terhadap konteks laut-pulau ini masih
kurang berkoneksi dengan pengalaman sehari-hari jemaat. Padahal, Teologi yang
ramah dengan konteks di mana gereja hadir itu sangat penting.86
Teologi itu
penting sebab Teologi merupakan jantung gereja. Teologi menentukan masa
depan gereja.87
Dan kini jemaat-jemaat yang ada dan telah terbentuk, mereka telah
beriman dengan format teologi mereka sendiri. Iman yang mereka alami adalah
basis dari teologi mereka. Oleh sebab itulah, yang diperlukan sekarang ialah
bagaimana gereja hadir dan mengartikulasikan iman dan teologi mereka menjadi
teologi gereja dalam konteks dan ruang tertentu, yang dapat menjadi acuan untuk
merumuskan teologi gereja bagi GPM.88
Hal ini tidak berarti bahwa GPM tidak
mempunyai teologi, melainkan suatu upaya untuk membuat pengalaman iman
jemaat dapat menjadi basis dari teologi gereja.
GPM harus berani memikul dan menghadapi tantangan ini. Dengan
demikian, GPM tidak hanya menjadi acuan bagi-gereja-gereja Belanda, tetapi juga
harus menyediakan alternatif berteologi bahkan di luar praktik berteologi para
rasul.89
Salah satunya ialah membangun teologi dari pengalaman Jemaat GPM
Latuhalat. Gereja yang hadir di tengah-tengah konteks jemaat Latuhalat haruslah
membangun teologi gerejanya sendiri berdasarkan pengalaman kehidupan jemaat
secara nyata. Ada begitu banyak pengalaman yang bisa digali oleh gereja untuk
86 Marantika dkk, Kata Pengantar, xxix.
87
Marantika dkk, Kata Pengantar, xxxv.
88 Marantika dkk, Kata Pengantar, xxxvi.
89
Marantika dkk, Kata Pengantar, xxxvi.
28
membangun sebuah refleksi yang menyentuh bagi kehidupan jemaat. Jika kita
melihat dari Jemaat GPM Latuhalat, cukup banyak warga jemaatnya yang
berprofesi sebagai nelayan, sehingga mereka banyak menikmati hasil-hasil laut
setiap harinya. Oleh sebab itu, jika Israel bersaksi tentang Tuhan yang
menurunkan manna dan burung puyuh dari langit, maka Jemaat Latuhalat
mengalami Tuhan yang memberikan mereka ikan, laor, dan hasil-hasil lautnya
sebagai persediaan di saat musim timur. Dengan begitu teologi gereja dapat hidup
di tengah-tengah dan bersama-sama dengan jemaat. Kita dapat menghasilkan
teologi gereja yang mandiri dan bertumbuh dalam pengalaman imannya sendiri.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari
pengalaman hidup sehari-hari orang Latuhalat dengan laut, mereka bisa
melahirkan suatu cara pandang baru bagi ekoteologi dalam melihat hubungan
antara Allah, manusia dan alam. Cara pandang yang baru itu lahir dari imajinasi
mereka terhadap laut. Ada begitu banyak imajinasi yang bisa dibangun terhadap
laut. Penulis menemukan ada empat imajinasi berdasarkan pengalaman hidup para
nelayan di Jemaat GPM Latuhat, yaitu laut itu sebagai ibu, teman dekat, dapur dan
sebagai guru kehidupan. Dari imajinasi-imajinasi inilah, refleksi ekoteologi dapat
dibangun berdasarkan pengalaman iman jemaat dengan laut.
Sayangnya, gereja sendiri belum memperlihatkan perhatiannya terhadap
laut yang dianggap penting dan merupakan anugerah Tuhan. Gereja belum
merumuskan teologi yang menyentuh kehidupan sehari-hari jemaatnya. Gereja
masih terlalu sibuk dengan urusan kelembagaan dan organisasi. Padahal
membangun teologi yang peka terhadap kehidupan jemaat, sama pentingnya
dengan mengatur kelembagaan dan organisasi. Sebab jemaat tidak hanya
membutuhkan organisasi yang teratur dan berjalan dengan baik saja, tetapi juga
refleksi-refleksi teologi yang lahir dari pengalaman iman dan menyentuh
kehidupan mereka setiap hari.
Oleh sebab itulah, gereja (GPM) perlu membangun sebuah refleksi
teologi yang baru dan mandiri dalam konteks dan ruang tertentu berangkat dari
pengalaman jemaat secara nyata, terlebih khusus bagi jemaat GPM Latuhalat
dalam konteksnya dengan laut. Dengan begitu, gereja tidak hanya membangun
29
teologi antara Allah dan manusia saja, melainkan antara Allah, manusia dan alam.
Pembuatan program-program pemberdayaan bagi jemaat dan aksi-aksi nyata juga
perlu dilakukan oleh gereja, bukan hanya di atas mimbar saja ketika berkhotbah.
Sebab gereja adalah mitra Allah, sehingga gereja juga mempunyai tanggung
jawab secara nyata terhadap alam.
Program-program dan aksi-aksi nyata itu mungkin bisa diwujudkan dalam
bentuk seminar atau kegiatan-kegiatan yang memberikan wawasan bagi para
nelayan sesuai dengan profesi mereka. Mengingat, kebanyakan dari mereka
memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Gereja juga perlu membuat kerja bakti
sosial yang dilakukan untuk membersihkan daerah sekitaran pantai, agar
kebersihan pantai juga tetap terjaga, dan juga program lainnya yang dapat
meningkatkan kualitas laut. Dari sisi mental-spiritual, gereja bisa mendampingi
mereka dengan membuat jadwal khusus ibadah bagi para nelayan. Mungkin tidak
setiap saat, tapi ada waktu yang disediakan oleh pelayan gereja untuk pergi ke laut
bersama mereka dan memberkati pekerjaan mereka atau mendengar keluh kesah
serta pengalaman mereka, sambil melakukan pastoral. Turun ke laut juga dapat
membahayakan mereka, maka gereja dapat memanfaatkan itu untuk
meningkatkan spiritual mereka dengan mengajak para nelayan berkumpul
bersama untuk menyerahkan aktivitas mereka kepada Tuhan sebelum turun ke
laut atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan aksi-aksi nyata tersebut, maka gereja
dapat menciptakan budaya mencintai laut bagi jemaatnya dan turut mengambil
bagian dalam pelestarian laut.
30
Daftar Pustaka
BUKU
Arsyad, Sitanala dan Ernan Rustiadi (editor). Penyelamatan Tanah, Air, dan
Lingkungan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.
Borrong, Robbert P. Etika Bumi Baru: Akses etika dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Jakarta: Gunung Mulia, 2000.
Creswell, W. J. Research Design: Pendekatan Kualitatf, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Deane-Drummond, Celia. Eco-Theology. London: Saint Mary’s Press, 2008.
Deane-Drummond, Celia. Teologi dan ekologi: buku pegangan. Diterjemahkan
oleh Robert P. Borrong. Jakarta: Gunung Mulia, 2001.
Goltenboth, Friedhelm, dkk. Ekologi Asia Tenggara: Kepulauan Indonesia.
Jakarta: Salemba Teknika, 2012.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK GM, 1996.
Hudjolly. Imagologi: Strategi Rekayasa Teks. Jogjakarta: AR-RUZZ, 2011.
Kristyanto, Agus., Sulasmono, S. B., Nuhamara, D., Suwondo, K., Wilardjo, L.
Ndoen, M. Supramono dan Budiyono, T. Diedit. Jurnal Studi
Pembangunan Interdisiplin: Journal interdisciplinary development
studies, Salatiga: Program pascasarjana UKSW, 2009.
Marantika, Elizabeth, dkk. Kata Pengantar pada Delapan Dekade GPM
Menanam, Menyiram, Bertumbuh, dan Berbuah: Teologi GPM dalam
Praksis Berbangsa dan Bermasyarakat, oleh John Chr. Ruhulessin, xxv-
xxxiii. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2015.
Pratney, Winkie. Memulihkan Negeri: Terobosan Supernatural terhadap Masalah
Ekologi. Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2003.
Prawiro, Ruslan H. Ekologi, Lingkungan, Pencemaran: Memperkenalkan Seluk-
beluk Lingkungan dengan Masalahnya dan Cara Mengatasinya.
Semarang: Satya Wacana, 1998.
Ramli, H. Dzaki. Ekologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1989.
Rasmussen, Larry L. Komunitas bumi: etika bumi – merawat bumi demi
kehidupan yang berkelanjutan bagi segenap ciptaan. Diterjemahkan oleh
Liem Sien Kie. Cetakan pertama. Jakarta: Gunung Mulia, 2010.
31
Roni, K.A.M Jusuf. Langit Memerah Bumi Membara. Jakarta: Jusuf Roni Center,
2014.
Saidi Zaim, dkk. Memahami Pencemaran Air: Panduan ringkas bagi masyarakat.
Indonesia-Kanada: WALHI, YLKI, LBH, 1990.
Sastrosupeno, M. Suprihadi. Manusia, Alam, dan Lingkungan. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.
Soemarwoto, Otto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan, 1985.
Suleeman, Stephen; Souk, B dan Ongirwalu, H. Setia:Jurnal Teologi Persetia.
Jakarta: Persetia, 1997.
Sunarko, A. dan A. Eddy Kristiyanto. Menyapa Bumi Menyembah Yang Ilahi.
Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Tucker, Mary Evelyn dan John A. Grim (editor). Agama, Filsafat dan Lingkungan
Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Usman, Husaini & Purnomo S. Akbar. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta:
Bumi Aksara, 2008.
Van Dyke, Fred. Between Heaven and Earth: Christian Perspectives on
environmental Protection. California: Santa Barbara, 1954.
Zen, M.T. (editor). Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: Gramedia,
1979.
Zuriah, Nurul. Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara,
2007.
Jurnal
Santoso, Rizky W. Dampak Pencemaran Lingkungan Laut oleh Perusahaan
Pertambangan terhadap Nelayan Tradisional. Lex Administratum 1, no.2
(Apr-Jun/2013).
Ibnu, Ita. Pencemaran Perairan Teluk Ambon Tinggi. Dipublikasikan Kamis
19/02/2014. diakses minggu 18 Oktober 2015.
http://www.batukarinfo.com/news/pencemaranperairan-teluk-a.
32
Disertasi
Soegijono, Simon Pieter. “Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil
di Ambon.” Disertasi Doktor., Universitas Kristen Satya Wacana, 2011.
Makalah
Taum, Yoseph Yapi. Berbagai Mitos Tentang Laut: Mengungkapkan Konsep
Bahari Bangsa Indonesia. Makalah dipresentasi dalam Kongres
Internasional Folklore Asia III, Jogjakarta, 7-9 Juni, 2013.
Blog
“Laut dan Fungsinya” dalam Wiadnya_DGR Blog, 01 Januari 2012. Diakses 26
Agustus 2016. http://wiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/1-Laut-
Dan-Fungsinya.pdf .
Hermansyah et al. “Potensi dan Mitigasi Bencana Laut” dalam Blog Hermansyah
Education, 03 Maret 2016. Diakses 01 September 2016.
http://blokjasa.blogspot.co.id/2016/03/potensi-dan-mitigasi-bencana-
laut.html?view=timeslide.