ilmu budaya dasar
DESCRIPTION
Tradisi 12 Rabiul Awal Di Desa Lodoyo (Blitar)TRANSCRIPT
7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam makalah ini tema yang di ambil tentang tradisi
budaya, alasan diangkatnya tema tersebut salah satunya agar para
pembaca makalah ini bisa mengetahui nilai-nilai tradisi budaya yang
terkandung, khususnya tradisi penyiraman gong kyiai pradah di
Desa Kawedanan Lodoyo yang terletak di Kecamatan Sutojayan,
Kabupaten Blitar.
Secara umum gambaran Kabupaten Blitar adalah kabupaten
yang latar belakang penduduknya adalah petani, peternak, dan
perkebunan, termasuk di Desa Kawedanan Lodoyo Kecamatan
Sutojayan. Berdasarkan ciri-ciri masyarakat desa pada umumnya
warga Kota Blitar cenderung termasuk masyarakat pedesaan.
Dimana masyarakat Kota Blitar mempunyai Homogenitas serta
gotong royong yang sangat tinggi dan juga mempunyai ikatan sosial
yang kuat. 1
Agama yang dianut oleh hampir seluruh penduduk Kabupaten
Blitar khususnya Desa Kawedanan Lodoyo Kecamatan Sutojayan
adalah agama Islam, sedangkan agama lainnya yang dianut oleh
sebagian kecil penduduk Kabupaten ini antara lain,
Protestan,Katholik, Hindu dan Budha.
Dari segi kebudayaaan masyarakat Blitar termasuk bagian
dari jawa mataraman atau Masyarakat Jawa yang memiliki produk
kebudayaan tidak jauh berbeda dari komunitas Jawa yang tinggal di
Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakat Jawa Mataraman mempunyai
pola kehidupan sehari-hari sebagaimana pola kehidupan orang Jawa
1 BPS: KabupatenBlitar,
7
pada umumnya. Pola bahasa Jawa yang digunakan, meskipun tidak
sehalus masyarakat Surakarta dan Yogyakarta, mendekati kehalusan
dengan masyarakat Jawa yang terpengaruh kerajaan Mataram di
Yogyakarta. Termasuk juga masyarakat yang tinggal di wilayah
Kabupaten Ngawi, Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Pacitan,
Kabupaten Magetan, Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten
Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Trenggalek,
Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten
Bojonegoro.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah Desa Lodoyo Kecamatan Sutojayan
Kabupaten Blitar?
2. Apa tradisi yang biasa dilakukan warga Desa Lodoyo
Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar setiap tanggal 12
Rabiul Awal?
3. Bagaimana sejarah adanya tradisi di Desa Lodoyo
Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar tersebut?
4. Apa pengaruh bagi warga jika tradisi tersebut tidak
dilakukan?
C. Tujuan
1. Untuk mngetahui sejarah Desa Lodoyo Kecamatan
Sutojayan Kabupaten Blitar.
2. Untuk mengetahui tradisi yang biasa dilakukan oleh warga
Desa Lodoyo Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar.
3. Untuk mengetahui sejarah munculnya tradisi di Desa
Lodoyo Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar.
4. Untuk mengetahui pengaruh atau akibat apabila tradisi itu
tidak dilakukan.
7
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Agama, Budaya dan Masyarakat
Budaya adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan
hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik manusia dengan belajar. 2 Jadi budaya diperoleh
melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara
makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi
dalam masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja
terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam
fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat,
ethos kerja dan pandangan hidup. Pengaruh agama terhadap budaya
manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif
tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan
keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan,
menghayati dan membayangkan Tuhan. 3
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama
timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini
sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan
oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan
beberapa kondisi yang objektif.
Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya
agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya
adalah sama. Oleh karena itu peringatan maulud yang bercampur
dengan budaya local seperti yang terjadi di Blitar (penyucian gong
kiai pradah) tidak sama dengan tradisi maulud di daerah lain sebab
masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang
berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang
2 Koentjaraningrat3 Yojachem Wach
7
tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuat
dengan yang tidak. Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme
di Bali dengan Hinduisme di India, Buddhisme di Thailand dengan
yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga mempengaruhi agama.
Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan
dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari
kehidupan penganutnya 4
Tetapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama
berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya
dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk
budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat,
adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan
kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai
homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat
berkreasi dalam kebebasan menciptakan berbagai objek realitas dan
tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama.
Jika diteliti budaya Indonesia, maka budaya itu terdiri dari 5
lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu,
Buddha, Islam dan Kristen 5 .
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-
ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang
telah tiada atau lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti
sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di
Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan
dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang
sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan
tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi bangsa
4 (Andito,ed,1998:282).5 Andito, 1998, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Pustaka Hidayah: Bandung
7
Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai
kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan
peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu
dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari
pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju
kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat
Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah
mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan.
Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diri
dengan menjalani tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah
menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui
syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan
terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang
baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak
pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang
disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun
Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar
manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih
dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitukasih
tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai
tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri.
Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian
Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap
orang miskin.
7
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di
Blitar telah mengembangkan budaya agama untuk
mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan
ras.
Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut
agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material
seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai
peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah
mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam
antara lain telah mewariskan Masjid jami’ Syamsuddin (1967) di
Desa Gading Kec Selopuro Kab Blitar. Masjid ini beratap tiga susun
yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang
beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan
Ihsan.Masjid ini tanpa kubah, benar-benar khas Indonesia yang
mengutamakan keselarasan dengan alam. Kenyataan adanya legacy
tersebut membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah
membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha
manusia untuk menjadi manusia.
B. Pertemuan Islam dan Budaya Lokal (Blitar) 6
Sejak awal perkembangannya, Islam di Blitar telah
menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang
banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan
dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam
dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam
sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya.
Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut
dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai
realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau
local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang
yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
6 file:///I:/blitar%20-%20Sejarah%20Blitar.htm
7
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam
yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang
melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil
doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum
Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat
Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center
(pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of
influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam
(great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang
terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau
norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya
yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya
local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local
genius 7 , yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan
pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga
dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di
wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya.
Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain:
mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan
mengintegrasi unsur budaya luar dalam budaya asli; dan memiliki
kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada
perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas
masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan
7 Soerjanto Poespowardoyo, 1986, Pengertian Local Genius dan Relevansinya Dalam Modernisasi, “Kepribadian Budaya Bangsa (local genius)”, Pustaka Jaya: Jakarta
7
masyarakat 8 . Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus
telah menjadi budaya masyarakat Blitar. Di sisi lain budaya-budaya
local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan
kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus
dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan
ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local
dan Islam.
Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan
Islam antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di
kalangan suku Jawa. Brokohan (Tuju Hari Kelahiran Bayi). Dalam
bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian
pembacaan Macopat Ambiyah (Cerita tentang 25 Nabi yang di
lagukan dengan versi Jawa) dan wayang di Jawa pada umumnya.
Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari
agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian
ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna
nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi
juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan
kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu
memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya
local.
Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat
dilihat dalam budaya Macopat Ambiyah adalah dalam bidang seni
vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni Macopat Ambiyah sering
dibacakan jenis cerita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap
keagamaan yang tinggi dari 25 Nabi. Seringkali wawacan dari seni
ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan
dengan unsur Islam seperti pada wawacan Beluk di daerah Sunda
yang mengisahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang
8 Poerbatjaraka, R, Ng, 1952, Riwayat Indonesia I, Yayasan Pembangunan: Jakarta
7
tinggi. Seni Macopatan Ambiyah biasa disajikan pada acara-acara
selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi
ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti
kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan,
selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar nasional.
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara
sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah
lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar,
Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di
daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat
dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.
7
BAB III
HASIL OBSERVASI
Menurut Alif Fauzi (27 tahun), salah seorang wagra Desa
Kawedanan Lodoyo Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar
berdasarkan keterangan para sesepuh Lodoyo, zaman dahulu kala
sebagian besar wilayah Lodoyo merupakan hutan rimba yang juga
angker dan banyak dihuni binatang buas, seperti harimau, ular,
beruang, dan lain sebagainya. Ketika itu datanglah seorang prabu
yang bernama prabu Kyai Bicak dari Kerajaan Mataram Surakarta
(Kartosuro) ke daerah Lodoyo karena hukuman dari ayahnya.
Setelah mengetahui keadaan daerah Lodoyo sangat angker dan juga
wingit(angker) sang prabu kemudian mengambil pusaka kerajaan
berupa gong yang bisa dikatakan sangat besar dan kemudian gong
itu dinamai Gong Kyai Pradah. Dan menurut keterangannya dari Alif
Fauzi ketika gong itu dipukul sebanyak tujuh kali maka kondisi
dearah Lodoyo menjadi tentram, karena dengan itu binatang-
binatang buas bisa berubah menjadi jinak dan juga keangkeran desa
tersebut bisa ditaklukkan.
Setelah beberapa lama sang prabu hidup di Lodoyo, sang
prabu mengalami sakit keras dan kemudian meninggal disana.
Sebelumnya sang prabu berwasiat kepada istri keduanya agar
memandikan gong Kyai Pradah tersebut setiap tanggal 12 Rabiul
Awal (maulud) dan juga menjaganya dari segala macam kontoran.
Sampai sekarang tradisi tersebut masih dilestarikan oleh warga
Lodoyo. Setiap tanggal 12 Rabiul Awal lapangan Lodoyo selalu
dibanjiri oleh ribuan orang, baik dari warga setempat maupun dari
warga luar Lodoyo, bahkan meraka rela datang lebih awal dan
menginap di emperan-emperan toko. Tua dan muda, serta anak-anak,
juga rela berdesak-berdesakan hanya untuk memperebutkan air,
bunga-bunga, atau apa saja benda bekas untuk mencuci pusaka gong
Kyai Pradah tersebut. Mereka mempercayai jika barang-barang
7
maupun air tersebut bisa digunakan untuk mengobati penyakit, bisa
memperlancar rezeki, serta membuat awet muda dan juga mencegah
mara bahaya. Suatu saat ketika warga Lodoyo tidak menjalankan
tradisi tersebut, warga dari sekitar tiga dukuh di Lodoyo terjangkit
penyakit yang berbahaya.
Sebelum prosesi pemandian gong Kyai Pradah dilakukan
terlebih dahulu warga melakukan penanaman kepala kambing seta
memberi sesajen pada para leluhur dan kemudian pusaka gong Kyai
Pradah dikarak mengelilingi lapangan dan setelah itu dibawa ke atas
panggung untuk dimandikan. Di saat itulah para warga berebut
untuk mendapatkan percikan air bekas siraman Gong Kyai Pradah.
Ritual siraman gong Kyai Pradah mempunyai aspek bisnis
yang cukup besar. Banyak pedagang yang memanfaatkan acara ini
untuk mendapatkan keuntungan dari berbagai macam dagangan
yang disediakan selama kurang lebih sebulan sebelum acara puncak
prnyiraman gong Kyai Pradah dilaksanakan.
7
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tradisi pemandian gong Kyai Pradah di Desa Kawedanan
Lodoyo Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar yang dilakukan
setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal dinilai sebagai pelestarian
kebudayaan tradisional yang berasal dari Kerajaan Mataram
Surakarta. Tradisi tersebut dilakukan oleh warga Desa Kawedanan
Lodoyo Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar yang diawali dengan
penanaman kepala kembing danjuga sesajen untuk para leluhur,
dengan maksud untuk menjaga desanya dari marabahaya serta untuk
memperlancar rezeki warga desa tersebut. Dan jika tradisi tersebut
tidak dilakukan maka akan berakibat buruk bagi warga desa
setempat. Secara tidak sengaja ritual ini cukup memberikan bantuan
kepada para pedagang yang berjualan di area sekitar alon-alon
Lodoyo.
7
DAFTAR PUSTAKA
Poerbatjaraka, R, Ng, 1952, Riwayat Indonesia I , Yayasan
Pembangunan: Jakarta
Soerjanto Poespowardoyo, 1986, Pengertian Local Genius dan
Relevansinya Dalam Modernisasi, “Kepribadian Budaya
Bangsa ( local genius)”, Pustaka Jaya: Jakarta
Andito, 1998, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam
Dialog Bebas Konfl ik, Pustaka Hidayah: Bandung
BPS: KabupatenBlitar
file:///I:/blitar%20-%20Sejarah%20Blitar.htm