ikhtisar: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) buletin jumat

29
EDISI 11 Mei 2021 Syawal 1442H Buletin Jumat IKHTISAR: Persatuan sebuah bangsa haruslah berjalan di atas nilai-nilai kebenaran, nilai-nilai yang haqq, beriringan dengan dikendalikannya nafsul ammarah dan nafsul lawwamah. (hal. 2-7) Dalam kondisi masyarakat yang plural, konsep objektifikasi nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama melalui deliberasi publik dapat memberikan beberapa manfaat yang sangat signifikan. (hal. 7-12) Perdamaian bukan hanya persoalan Palestina, kita tidak boleh lupa akan perilaku kita sendiri yang senantiasa menindas yang lain. (hal 13-16) Model Islam kâffah yang terjebak pada simbol-simbol kesalehan hanyalah bentukan wacana dominan yang ditopang oleh tradisi. Sebagai realitas, keberagamaan bukanlah sesuatu yang statis dan konstan. (hal 17-25)

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

EDISI 11 Mei 2021Syawal 1442H

Buletin Jumat

IKHTISAR:

Persatuan sebuah bangsa haruslah berjalan di atas nilai-nilai kebenaran, nilai-nilai yang haqq, beriringan dengan dikendalikannya nafsul ammarah dan nafsul lawwamah. (hal. 2-7)

Dalam kondisi masyarakat yang plural, konsep objektifikasi nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama melalui deliberasi publik dapat memberikan beberapa manfaat yang sangat signifikan. (hal. 7-12)

Perdamaian bukan hanya persoalan Palestina, kita tidak boleh lupa akan perilaku kita sendiri yang senantiasa menindas yang lain. (hal 13-16)

Model Islam kâffah yang terjebak pada simbol-simbol kesalehan hanyalah bentukan wacana dominan yang ditopang oleh tradisi. Sebagai realitas, keberagamaan bukanlah sesuatu yang statis dan konstan. (hal 17-25)

Page 2: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

01

Forum Belajar Jumʼatan Tentang Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Keadilan Sosial

Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam

Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Sejak didirikan pada 2012, Public Virtue selalu berkomitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Terima kasih telah mendukung kami. Mari dukung keberjalanan program ini dengan berdonasi ke:

Anda juga bisa melakukan “donasi tulisan”

Bantu pejuang keadilan sosial! Mari berzakat lewat kitabisa.com/zakatprogresif.

Kirimkan naskah dengan tema demokrasi, hak asasi, dan keadilan sosial sepanjang 300-600 kata ke [email protected] untuk dimuat di Buletin Jumʼat.

Bersama kita tingkatkan mutu demokrasi kita.Salam kebajikan!

Page 3: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

Secara etimologi, Idul Fitri diambil dari Bahasa Arab ʿĪd al-Fiṭr, artinya “Festival Berbuka Puasa”. Ini adalah festival pertama dari dua festival kanonik Islam. Itu sebabnya setiap tahun, kita merayakan Idul Fitri selama awal Syawal. Saling menyapa sahabat, kerabat dan tetangga, atau saling berbagi bahagia.

Namun, saat ini, festival itu berbeda. Untuk kedua kalinya kita dihadapkan pada pandemi, krisis kesehatan, dan resesi, krisis perekonomian. Banyak orang dirumahkan, banyak usaha tutup, pola ibadah beralih pada cara virtual, kesenjangan ekonomi dan

02

sosial, naiknya kekerasan pada perempuan dan kelompok rentan, termasuk anak-anak, ancaman pada tenaga kesehatan, hingga krisis di KPK di Indonesia dan krisis HAM di Palestina. Semuanya sangat mengoyak jiwa-jiwa yang hendak kembali pada kesucian diri.

Oleh karena itu, izinkan khatib mengajak para jamaah merefleksikan satu saja dari permasalahan tersebut. Khatib juga mengajak jemaah merenungkan makna Idul Fitri dalam situasi demikian, apakah kita benar-benar telah kembali ke fitrah? Merenungkan keterkaitan hubungan diri

Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Wawasan Kebangsaan dan Kewajiban Membela KeadilanKhutbah Idul Fitri, 13 Mei 2021 | Oleh: Usman Hamid

������������������������������������������� ��������������������������������� ����� ����� �� ������ ��� ������ ������������������������ �������������������������������� �������� ������������������������������������������������������������������������� ���������������������������� ��������­���� �������������� ���

��

Page 4: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

negara dan bekerja demi kepentingannya, sedangkan seorang nasionalis tulen adalah orang yang rela mati demi tegaknya negara dan rela sakit demi kebaikan rakyatnya.

Dengan ini khatib berwasiat pada diri sendiri dan jamaah: tidak ada yang salah dari wawasan kebangsaan sejauh itu didasarkan pada nilai-nilai kebajikan dan melawan kekejian. Merupakan sifat manusia mencintai tanah airnya, tempat lahir, tumbuh, dan dibesarkan. Setiap anak bangsa yang mencintai tanah air dan penduduknya dengan cara mengamalkan agamanya dalam menunaikan tugas negara melawan korupsi dan kezaliman adalah hal yang bajik, wajib dilindungi. Bukan dicurigai.

Memang, terdapat ekspresi nasionalisme yang berlebihan, yang penuh nafsu. Laporan Komisaris Tinggi PBB pada 2020 mencatat, tumbuhnya nasionalisme telah ikut mendorong lahirnya sikap-sikap ekslusif yang membawa kebencian pada orang lain atas dasar asal-usul kebangsaan atau xenophobia, ekstremisme, serta kebencian yang menyulut kekerasan dan diskriminasi.

Perlu dibedakan antara paham nasionalisme yang artifisial dan yang esensial atau yang sejati. Demikian hal yang terkait paham lainnya, paham komunisme, sosialisme, islamisme, atau pluralisme yang ditunjukkan dengan cara-cara merendahkan dan menyingkirkan pihak lain, tidak dapat dibenarkan. Di titik inilah paham yang radikal ekstrem perlu dimoderasi, baik moderasi paham keagamaan maupun moderasi paham-paham lainnya.

Dari perspektif hukum hak asasi manusia, adalah tanggung jawab negara untuk memastikan bahwa ekspresi dan tindakan atas nama nasionalisme tidak diterapkan dengan cara-cara yang membawa nafsul

03Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

dengan Allah, sesama manusia, dan alam yang kemudian akan berpengaruh pada laku kita sehari-hari? Hikmah apa yang dipetik di balik situasi ini?

Hawa nafsu terkadang bukan datang dari sifat yang negatif. Seringkali, ia datang dari sifat yang dirasa positif. Salah satunya ialah wawasan kebangsaan, cinta tanah air atau nasionalisme yang digunakan untuk mencela yang lain, menguasai dan menyingkirkan yang lain.

Apakah itu tanah air dan nasionalisme? Sayyid Muhammad dalam al-Tahliyah wa al-Targhib fi al-Tarbiyah wa al-Tahdzib (al-Maʼhad al-Islami Lirboyo Kediri) mengatakan, “Tanah air ialah negeri tempat engkau dilahirkan, dibesarkan, dan mengambil manfaat tumbuh-tumbuhannya, binatang ternaknya, udara serta airnya. Juga tempat tinggalmu yang berada di atas tanah dan di bawah langitnya, dan hal-hal istimewa lainnya yang sangat potensial, yang mengharuskan setiap orang mengorbankan jiwa dan hartanya dalam mengabdi pada tanah air dengan melakukan upaya-upaya, yang dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraannya.”

Lebih jauh, Syaikh Musthafa al-Ghulayaini menjelaskan, nasionalisme yang sejati adalah kecintaan berusaha untuk kebaikan

Idul Fitri menandai akhir Ramadhan di mana orang-orang yang berserah diri berpuasa, sebagaimana umat-umat terdahulu sebelum Islam: Nasrani dan Yahudi. Berpuasa bukan hanya menahan diri dari lapar dan dahaga, tapi hawa nafsu, terutama nafsu menguasai (nafsu ammarah), dan nafsu membanggakan diri dan

Page 5: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

04Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

sepanjang hayat. Dari mereka pula kita belajar agar tidak melewati batas, yakni kecintaan negeri yang buta.

Rasulullah bersedih. Namun, ia tidak mencintai negerinya secara buta. Ia membangun rasa cinta pada negeri asing yang baru disinggahinya: Madinah. Diriwayatkan oleh Aisyah ra. Rasulullah Saw. berdoa: “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah atau bahkan melebihinya,” [HR. al-Bukhari]. Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Rasulullah juga bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim adalah hamba-Mu, kekasih-Mu, dan nabi-Mu. Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu dan nabi-Mu. Sungguh ia berdoa kepada-Mu untuk Makkah, maka aku berdoa kepada-Mu untuk Madinah seperti apa yang ia doakan untuk Makkah.” [HR. Imam Muslim].

Sebagaimana yang dilakukannya pada Makkah, kecintaan beliau pada Madinah didasarkan pada nilai-nilai kebajikan, terutama kewajiban menjaga lima hal pokok (al-dharuriyyat al-khamsah) tentang HAM (al-huquq al-insaniyyah):

nafsul lawwamah dan nafsul ammarah. Jika ada yang diduga melanggar, maka proses hukumlah secara adil, berikanlah hak untuk membela diri, hadirkanlah bukti-bukti yang objektif.

Dalam perspektif Islam, mencintai negeri dan mengamalkan keyakinan agama justru diajarkan. Rasulullah Saw. bersabda Hubbul wathan minal iman, mencintai negeri bagian dari iman. Kata iman merujuk siapa saja,Muslim, Nasrani, Yahudi dan semua yang mencintai negeri sebagai bagian dari keimanannya dan penerapan keyakinan agamanya.

Belajarlah dari Nabi Ibrahim a.s. Rasa kebangsaannya diabadikan dalam Alquran. QS An-Nahl ayat 41:

Beliau berdoa untuk negerinya agar aman dan sentausa; berdoa untuk penduduknya yang beriman tanpa membedakan agama, suku, warna kulit, dan identitas gender; dan berdoa pula untuk kesuburan alam yang memberikan buah-buahan sebagai rezeki untuk penduduknya. Sebuah doa yang membawa pesan keadilan sosial sekaligus pesan keadilan lingkungan.

Dari mereka kita belajar, rasa kebangsaan tumbuh karena kita menghirup udara, menempati tanah tempat tinggal, meminum airnya dan menikmati cahaya matahari yang menyinari kehidupan kita

“Dan (ingatlah), saat Ibrahim berdoa, ʻYa Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.”

Rasulullah mencintai negeri Makkah sebagai bagian dari iman. Di saat orang-orang berkuasa mengusirnya, ia bertawakal meninggalkan kota Makkah menuju Madinah: menyelamatkan diri dan pengikutnya. Sambil menangis dan menatap kota Makkah, beliau bersabda: “Demi Allah, sungguh aku tahu engkau adalah tanah Allah yang terbaik yang sangat aku cintai. Kalau tidak karena kaumku mengusirku darimu, aku tidak akan pernah tinggal di tempat lain selainmu.” [HR. al-Tirmidzi]

Page 6: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

05Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

penghormatan hak beragama (hifzhud din); penghormatan jiwa, hak hidup dan martabat individu (hifzhun nafs wa al-ʻirdh); kebebasan berpikir (hifzhul ʻaql); keharusan menjaga keturunan (hifzhun al-nasb) dan menjaga harta benda (hifzhul mal). Inilah lima hal mendasar yang dikenang dalam Pidato Perpisahan (Khuthbatul Wadâʻ) sebagai dasar-dasar keadilan.

Allah Swt. sangat mencintai keadilan. Sebagai manusia, kita diwajibkan untuk membela keadilan. Keadilan begitu menonjol dalam Al-Quran sehingga ikut menjadi alasan mengapa Allah menciptakan bumi dan langit. Allah berfirman:

Di ayat ini, keadilan dapat dikenali dari kata ʻbil-haq ,̓ artinya “di dalam Kebenaran” atau ʻin Truthʼ. Juga dari kata “balasan yang adil”. Tafsir Al-Mukhtashar (Riyadh) menjelaskan, penciptaan langit dan bumi dilakukan dengan kebenaran, keadilan, dan kebijaksanaan.

Tak ada satu jiwa pun yang tak diperlakukan adil. Allah tak mengurangi kebaikan, tak menambah kejahatan atas amal baik atau buruk, agar tak ada yang terzalimi.

Keadilan bagi “setiap jiwa” artinya tiap makhluk manusia seperti kita, gunung dan burung-burung yang bertasbih bersama Daud as. di waktu fajar, pepohonan yang bernapas dari mulut daunnya, atau air dan udara alam raya serta matahari yang menghidupkan setiap jiwa.

Allah juga berfirman:

Dari Abu Dharr, Imam Muslim meriwayatkan, Rasulullah mengabarkan perintah Allah kepada hamba-Nya:

Inilah renungan pertama ajaran keadilan Allah. Memberi keadilan atas kebaikan sekecil apa pun. Melarang ketidakadilan atas kejahatan sebesar apa pun, kecuali balasan yang adil yang pantas diterimanya.

“Dan kami telah menciptakan langit dan bumi dalam Kebenaran sehingga setiap jiwa memperoleh balasan yang adil atas apa yang diupayakan dan agar tak tertindas,” [QS. Al-Jatsiyah: 22].

“Sungguh, Allah tak akan menzalimi [siapa pun] (walaupun seukuran biji dzarrah); dan jika ada amal baik (sekecil dzarrah), niscaya Allah akan melipatgandakan dan menganugerahkan pahala yang besar dari sisi-Nya,” (QS. An-Nisa': 40).

Keadilan adalah kualitas Allah Yang Maha Adil, yang berulang kali ditegaskan-Nya. Allah berfirman:

”Sungguh, Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, kecuali manusia itu yang menzalimi diri mereka sendiri,” (QS. Yunus: 44).

“Wahai hamba-Ku, Aku telah melarang ketidakadilan pada-Ku dan membuat ketidakadilan itu terlarang bagimu dan karenanya engkau dilarang berbuat tidak adil pada sesama,” (HR Muslim).

Page 7: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

06Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Dalam memaknai rasa kebangsaan dan menerapkannya dalam kehidupan, hendaklah kita lakukan dengan rasa adil dengan perilaku yang adil.

Pejabat kita beretorika tentang perang dengan kekuatan barat, lalu berargumen bahwa keberadaan lesbian, gay, biseksual, transgender adalah impor dari barat dan merupakan perang proxy dari barat. Ini juga bukanlah wawasan kebangsaan yang berkeadilan. Ketika ditanya mengapa ada lubang tambang, pejabat kita tergagap dan mengatakan barangkali di lubang-lubang tambang itu ada hantu. Ini pun bukanlah rasa kebangsaan yang berkeadilan.

Sekali lagi, hendaklah kita semua mengendalikan nafsul ammarah dan nafsul lawwamah. Hendaklah kita tidak mencurigai apalagi berbuat tidak adil pada

seseorang yang mengamalkan ajaran Islam, Kristen, maupun agama lainnya, dalam memberantas kejahatan.

Persatuan sebuah negara, persatuan sebuah bangsa haruslah berjalan di atas nilai-nilai kebenaran, nilai-nilai yang hak (haqq). Negara kita telah mendasarkan diri pada ketuhanan, kemanusiaan, serta mengikatkan diri dalam sebuah musyawarah kerakyatan dan cita-cita keadilan.

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa (mendekati kesadaran akan Allah). Dan tetaplah sadar akan Allah: sungguh, Allah Maha Mengetahui segala yang kalian kerjakan,” (QS. Al-Maidah: 8).

Pejabat kita berseru dengan semangat berkobar ketika bicara Binneka Tunggal Ika, NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Pada saat bersamaan, pejabat kita tergagap ketika ditanya tentang wawasan gender dalam perspektif kemanusiaan. Ketika ditanya bagaimana menurut anda tentang peran istri? Jawabnya adalah peran istri itu di kasur, sumur, dan dapur. Ini bukanlah cermin wawasan kebangsaan yang berkeadilan.

Page 8: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

07Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Agama Sebagai Jalan KemanusiaanKhutbah Jumʼat, 14 Mei 2021 | Oleh: Moh. Shofan

Kita sekarang masih dalam suasana Idul Fitri. Penting bagi kita semua untuk berinstropeksi dan memeriksa segenap ibadah, tingkah laku, dan sikap batin kita—setelah menjalani ibadah puasa selama Ramadhan—apakah mengalami peningkatan mutu, biasa-biasa saja, atau justru mengalami penurunan. Suasana Idul Fitri sejatinya adalah suasana kemanusiaan. Di momen ini, kita dibangkitkan untuk kian berempati dengan sesama, membuka pintu maaf, serta melepas gengsi untuk mengakui kesalahan, lalu meminta maaf. Fithri artinya “suci, karakter asli, bawaan lahir”. Islam—melalui simbol zakat, misalnya—menjadikan solidaritas terhadap sesama, terutama kepada mereka yang sedang butuh uluran

tangan, sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan kita. Habib Ali al-Jufri pernah menulis sebuah buku berjudul “al-Insaniyyah Qabl al-Tadayyun (kemanusiaan sebelum keberagamaan). Dalam buku itu, dijelaskan bahwa agama dan kemanusiaan pasti sejalan, mengingat misi utama agama adalah kemanusiaan itu sendiri. Agama-agama Tuhan diturunkan dengan misi yang sama, yaitu untuk menjaga dan mengelola alam semesta serta memperbaiki keadaan para penghuninya, terutama umat manusia. Sehingga, sebuah agama dikatakan agama karena ia memuat seperangkat ajaran (keyakinan) dan perbuatan yang mengantarkan pemeluknya

Page 9: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

08Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

ibadah, suluk, muamalah, dan politik keagamaan. Salah satu contoh pelaksanaan ihsan adalah suka memaafkan, menampilkan perkara-perkara yang mulia, berbudi luhur sebagai alat untuk merekatkan hubungan sesama manusia, rela berkorban, dan mementingkan kepentingan orang lain.

Dalam ajaran Islam kita mengenal istilah hablun minallâh dan hablun minannâs. Kedua istilah ini memiliki pengertian bahwa seorang muslim seharusnya menjalin hubungan baik dengan Allah dan hubungan baik dengan manusia.

Oleh sebab itu, kedua istilah tersebut merupakan satu paket utuh yang tidak boleh dipisahkan. Di dalam al-Qurʼan, kata Iman selalu diikuti dengan amal shaleh. Lebih dari itu, semua ajaran dalam Islam tidak terlepas dari terwujudnya kesalehan individu dan kemaslahatan sosial.

Sementara, ibadah Zakat esensinya adalah ibadah sosial. Zakat dapat membentuk kesalehan sosial dengan melatih kepekaan sosial, sehingga diharapkan dapat terwujud sebuah tatanan sosial yang saling berbagi, saling memiliki, dan penuh dengan semangat persaudaraan.

kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Namun, tak jarang kita jumpai agama yang sejatinya hadir untuk kemanusiaan berubah menjadi alat paling mengerikan dan mematikan dalam menghancurkan kehidupan manusia. Ketika ada seseorang melakukan perbuatan buruk atas nama agama, maka sejatinya ia bukan ajaran agama, tetapi hanyalah ekspresi keberagamaan.

Sebab, kewajiban-kewajiban agama (Islam) seperti salat, puasa, dan zakat menjadi tidak sempurna dan tidak memberikan efek apa-apa tanpa adanya hubungan yang baik dengan sesama manusia. Oleh karena itu, Allah lebih mendahulukan kalimat wa qulu li an-nas husna daripada kalimat aqimu as salah wa atu az-zakah (dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat) dalam ayat 83 al-Baqarah tersebut. Dalam ranah maqâshid al-syarîʼah, ihsân (berbuat baik) termasuk salah satu tujuan syariat Islam yang harus diwujudkan dalam kehidupan manusia. Ia merupakan tujuan dari seluruh ajaran Islam, seperti akidah,

Potongan QS. al-Baqarah: 83, “Wa qûlû li al-nâs husnâ (dan bertutur katalah yang baik kepada manusia), menurut Habib Ali al-Jufri, memberikan pelajaran yang sangat berarti untuk kehidupan manusia sekarang. Pelajaran penting tersebut adalah menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia. Habib Ali al-Jufri menyimpulkan secara tegas bahwa makna berbuat baik dalam potongan ayat tersebut berlaku untuk semua manusia dan tidak terbatas kepada orang-orang salih.

Ibadah shalat, misalnya, di samping membentuk kesalehan individu, juga seharusnya dapat membentuk pribadi muslim yang memiliki kesalehan sosial. Hal ini dilambangkan dengan ucapan salam dengan menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap akhir pelaksanaan sholat. Maka, tugas selanjutnya sebagai rangkaian yang tidak bisa dipisahkan adalah menebarkan kebaikan, kedamaian, dan keselamatan kepada lingkungan sekitarnya.

Page 10: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

09Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Kelompok ini cenderung menafikan pluralisme, demokrasi, civil society, dan HAM. Di mata mereka, Islam menjadi agama yang sangat eksklusif: tak mampu memahami kemajuan.

Charles Kimball mengemukakan gagasan lima tanda peringatan (five warning signs) di mana agama memiliki potensi untuk berintegrasi dengan tindakan kekerasan.

Pertama, ketika agama mengklaim kebenaran sebagai kebenaran yang secara absolut hanya dimiliki oleh kelompoknya disertai sikap menganggap salah kelompok di luarnya.

Kedua, ketika pemimpin agama dianggap oleh pengikutnya sebagai orang yang memiliki otoritas untuk menafsirkan doktrin-doktrin agama tanpa adanya kritik oleh pengikutnya.

Ketiga, yaitu ketika agama menginginkan dan merindukan zaman ideal lalu bertekad untuk merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang.

Keempat, ketika agama membenarkan dan memperbolehkan terjadinya “tujuan yang membenarkan segala cara”.

Dan, puncak dari keempat tanda di atas adalah merebaknya ide perang suci (holy war atau jihad). Di sepanjang sejarah, ide inilah yang melandasi terjadinya kekerasan dan konflik agama.

Lalu, bagaimana sikap kita dalam memahami realitas tersebut? Bagaimana doktrin-doktrin agama harus diartikulasikan di ruang publik? Apakah doktrin-doktrin tersebut harus diimplementasikan secara harfiah dan rigid sesuai dengan tekstualitas sumber ajaran Islam?

Sayangnya, saat ini, hubungan keberagamaan dan kemanusian menjadi terpisah. Keduanya dianggap berbeda dan tak memiliki keterkaitan apapun. Hal inilah yang menjadi problem mendasar masyarakat beragama kita. Keberagamaan dibangun dengan mengabaikan sisi kemanusian. Tindakan kejahatan kemanusiaan adalah hal yang mengerikan, misalnya, serentetan aksi teror dalam berbagai bentuknya yang menelan banyak korban jiwa. Padahal, Allah dan Rasul-Nya memastikan bahwa bunuh diri atas motif apapun bukan jihad. Allah taʼala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian,” [QS. al-Nisa`: 29]. Fenomena lain adalah gencarnya dakwah nilai agama melalui media sosial yang banyak mengandung konten intoleran. Banyak konten dakwah yang cenderung berupa doktrin kebenaran sepihak, bukan “maslahah ʻâmmah” (kepentingan umum); cenderung membenarkan dan memaksakan untuk pendapatnya diakui benar dan diikuti kebenarannya.

Sementara, meningkatnya kecenderungan kelompok Islamis-ideologis dengan tawaran yang sangat simplistis: daulah islamiyah, khilafah islamiyah, teokrasi, dan lain-lain telah menimbulkan pelbagai problematika yang sangat serius. Bagaimana tidak?

Agama saat ini hanya dipahami secara dangkal dan lebih bersifat formal-ekspresif. Semua orang sibuk memikirkan cara-cara untuk mentransformasikan keyakinannya pada orang lain. Keyakinan agama justru menggiring semua pemeluknya pada terminal fanatisme dan dogmatisme

Perlunya Basis Etika

Page 11: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

10

Untuk itu diperlukan basis etika yang kuat terkait dengan pluralitas sosial dan nilai/etik, sehingga akan menghasilkan manfaat positif bagi integrasi dan kohesi sosial. Islam memiliki basis teologis tentang pluralisme etik yang dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qurʼan:

Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa Islam merupakan “kekuatan yang toleran dan saling menghargai dalam dunia yang multi-etnis dan multi-komunitas”.

Dalam konteks ini, Fazlur Rahman menekankan pentingnya pembedaan antara nilai ideal moral (ajaran Islam normatif) dan legal formal (ajaran Islam yang historis). Adanya diferensiasi ini akan memungkinkan al-Qurʼan dapat terus

berkontribusi secara fungsional dalam proses transformasi sosial dalam historisitas umat manusia. Pandangan ini menegaskan bahwa nilai-nilai moral merupakan satu sisi ajaran agama yang dapat diterapkan secara universal. Karena bersifat universal, maka di samping memungkinkan untuk diterapkan dalam berbagai konteks yang berbeda, nilai-nilai ini juga bisa dimiliki oleh agama atau ideologi lain sehingga membuka ruang dialog intersubjektif di antara berbagai komunitas. Hal ini bisa dilakukan dengan upaya objektifikasi Islam, yakni penerjemahan nilai-nilai internal Islam dalam kategori-kategori objektif. Sebuah perbuatan dikatakan objektif bila perbuatan tersebut dirasakan oleh orang-orang non-Islam sebagai sesuatu yang natural, tidak sebagai perbuatan keagamaan. Objektifikasi bermula dari internalisasi nilai, bukan dari subjektifikasi kondisi objektif. Sehingga, ia berkedudukan di antara internalisasi, eksternalisasi, subjektifikasi. dan gejala objektif. Sebagai contoh, menghormati tetangga timbul setelah adanya keyakinan secara internal bahwa begitu besarnya peran tetangga dalam kehidupan berumah tangga sehari-hari, bahwa Nabi Muhammad pun sampai-sampai menyuapi makan tetangganya yang tua dan tunanetra. Inilah internalisasi.

Ketika seorang Muslim menghargai tetangganya, membantunya saat kesusahan, maka hal tersebut merupakan eksternalisasi. Adapun ketika misalnya tetangga muslim tersebut non-Islam dan tetap dihargai Muslim tersebut sehingga ia merasakan manfaat bertetangga dengan Muslim, maka itulah yang disebut objektifikasi.

“Bagi tiap-tiap umat (bangsa) di antara kamu, Kami telah jadikan peraturan dan jalan yang terang. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat (bangsa) saja, tetapi Allah hendak menguji kamu tentang apa yang telah diberikan-Nya kepada kamu; maka berlomba-lombalah kamu berbuat kebajikan,” [QS. al-Maidah: 48].

Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Secara objektif, pluralisme etik merupakan sebuah keniscayaan sejarah, mengingat realitas pluralitas sosial yang semakin terdiferensiasi dalam berbagai aspek karena perkembangan masyarakat yang semakin kompleks. Maka, kontribusi Islam dalam ranah publik harus mempertimbangkan dua hal, yakni anjuran untuk berbuat kebajikan (amal salih) dan etika dalam berinteraksi dengan masyarakat yang pluralis, sehingga kehadiran Islam justru memberikan manfaat positif bagi masyarakat.

Page 12: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

11

Dalam konteks ini, objektifikasi bisa menjadi solusi atas problem kompleksitas “dominasi-subordinasi”. Kuatnya hubungan antara keyakinan dan realisasinya dalam ruang publik, juga disadari oleh Jurgen Habermas. Sebagai sebuah pandangan dunia, maka nilai-nilai dan ajaran agama dipandang sebagai kerangka untuk melihat dunia secara keseluruhan, sehingga nilai-nilai agama tidak dapat dilepaskan dengan tindakan sosial umatnya. Hal ini terlihat dalam realitas saat ini, di mana di beberapa tempat di Asia, Timur Tengah, Afrika dan India, beberapa kelompok agama menghendaki dominasi politis agama dalam masyarakat. Terkait dengan keterlibatan agama dalam ruang publik, Habermas memberikan beberapa batasan normatif bagi pihak kelompok agama, pihak kelompok sekuler, pihak negara, dan pihak mayoritas agama. Di antaranya, harus ada penerjemahan kontribusi-konstribusi kelompok-kelompok agama dari bahasa agama partikular mereka ke dalam bahasa yang dapat diterima oleh publik karena dalam deliberasi resmi parlemen, kementerian, peradilan, dan birokrasi hanya “alasan-alasan sekuler” yang dapat diperhitungkan. Prosedur deliberasi nilai melalui penggunaan rasional ini, menurut Robert Wuthnow, dapat menciptakan moralitas reflektif (reflective morality), yang dibangun berdasarkan kekuatan deliberasi kesadaran.

Dalam kondisi masyarakat yang plural, konsep objektifikasi nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama melalui deliberasi publik dapat memberikan beberapa manfaat yang sangat signifikan. Pertama, menghindari adanya dominasi dan monopoli kebenaran dari kelompok tertentu, karena konsensus sosial yang dihasilkan dalam proses deliberasi publik bukan lagi nilai, pandangan, atau kepentingan individu atau kelompok, tetapi merupakan pandangan dan kepentingan bersama. Kedua, meminimalisir konflik dan disintegrasi sosial karena adanya perbedaan pendapat dan kepentingan dari masing-masing kelompok atau karena adanya kesalahpahaman akibat miskomunikasi. Dalam hal ini, deliberasi publik menjadi media untuk melakukan klarifikasi pandangan masing-masing, sekaligus mengeliminasi kecurigaan di antara berbagai pihak. Ketiga, menjadi sarana terutama bagi kelompok marginal untuk meningkatkan posisinya (balance of power) dalam kontestasi diskursus publik untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Keempat, menjembatani ketegangan antara agama dan negara, terutama yang sekuler, terkait dengan penetrasi doktrin agama yang eksklusif dalam ranah publik yang justru kontraproduktif bagi pencapaian tujuan negara itu sendiri yang harus melindungi semua warganya.

Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Dalam konteks ke-Indonesia-an, objektifikasi ini sebenarnya sudah dilakukan oleh para tokoh agama sejak dulu, terutama ketika menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan ketika merumuskan silanya, serta ketika membuat undang-undang dasar. Meskipun demikian, dalam realitas sosial,

politik, bahkan ekonomi, masih ada simbol-simbol religius yang dimaknai secara eksklusif sebagai milik orang Islam.

Page 13: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

12Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Dengan mekanisme ini, agama dapat dipentaskan dalam kontestasi diskursus publik secara ramah. Dan sebagai penutup, ada banyak kisah tauladan agung yang dicontohkan Nabi Saw. untuk bisa dijadikan cermin bagaimana seharusnya berislam. Pada saat melaksanakan haji Wadaʼ di penghujung hayatnya, Nabi Saw. mengumpulkan para sahabat yang hadir pada waktu itu dan Nabi Saw. berpidato menyampaikan beberapa pesan, di antaranya pesan tanggung jawab kemanusiaan, “Sesungguhnya darah, harta benda, dan kehormatan kalian dihormati sebagaimana terhormatnya hari kalian sekarang, di bulan dan negeri kalian ini”. Andai pesan Nabi Saw. ini dilaksanakan semua umatnya, sungguh betapa tentram dan damai kehiduapan berislam ini. Semua akan selamat, baik nyawa, harta benda, maupun kehormatan diri. Sehingga, tidak ada orang lain yang khawatir dengan adanya Islam. Bahkan ketika berjihad pun bukan mendahulukan jihad dengan pedang, tetapi berjihad dengan akhlak yang mulia dengan niat mencari ridha Allah dan kedamaian untuk orang lain.

Page 14: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

13Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Palestina dan Perdamaian DuniaKhutbah Jumʼat, 21 Mei 2021 | Oleh: K.H. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

Sejak akhir Ramadan hingga hari ini, dunia diresahkan dengan perilaku agresif Israel membombardir wilayah Palestina yang mengakibatkan banyak korban, baik anak-anak maupun kaum perempuan, hancurnya gedung-gedung perumahan, sekolah, dan fasilitas umum lain. Lahan pertanian milik rakyat Palestina rusak, demikian juga fasilitas air bersih untuk rakyat Palestina banyak terkontaminasi zat-zat kimia.

Israel menjadikan wilayah Palestina sebagai halaman belakang tempat pembuangan sampah mereka. Dunia memperotes tindakan barbar ini, tapi Israel mengabaikannya. Ia tahu tidak ada kekuatan dunia yang akan menghukumnya,

karena ia dilindungi kekuatan terbesar dunia: Amerika.

Bangsa Palestina telah menderita sejak tahun 1948 saat negara Israel diproklamirkan. Mereka terusir dari tanah kelahirannya sendiri. Israel mengklaim dirinya yang berhak tinggal di wilayah yang dihuni bangsa Palestina sejak ribuan tahun lalu. Mereka mengklaim bahwa mereka dijanjikan oleh Allah untuk mendiami Yerusalem, sehingga bangsa selain Israel tidak berhak tinggal di sana. Para penulis Israel mengklaim bahwa tanah yang bernama Palestina adalah tanah kosong. Mereka menulis bahwa wilayah Palestina adalah “sepetak tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah.”

Page 15: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

Sah saja bagi bangsa Israel untuk mengklaim bahwa mereka telah dijanjikan Allah untuk tinggal di tanah tersebut, tapi bukan berarti harus mengusir warga yang telah terlebih dahulu ada. Banyak perbedaan pendapat dan pertentangan serta pertikaian antara orang-orang Yahudi sendiri maupun antara orang non-Yahudi tentang keberadaan negara Israel.

Di lingkungan kaum Yahudi banyak perbedaan pendapat tentang negara Israel ini: Yahudi Ortodoks menyebutnya sebagai bidʼah karena mendahului ketentuan Tuhan, tapi ada kaum Yahudi yang menyetujuinya. Di antara para pendukung negara Israel pun banyak pertentangan tentang bagaimana mereka harus hidup sebagai bangsa dengan Palestina dan negara-negara Arab. Tidak sedikit orang Yahudi yang mengecam Israel dan gerakan Zionisme. Para intelektual seperti Noam Chomski, Richard Falk, dan musisi jazz Gilad Atzmon adalah di antara mereka yang tak kenal lelah mengecam kebijakan pemerintah Israel. Bahkan, Gilad Atzmon mengtakan bahwa berdirinya Israel adalah sebah kesalahan dan ancaman terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Sebab, semangat negara Israel adalah nasionalisme dan rasialisme, sama persis dengan Nazi yang dulu membantai kaum Yahudi di Jerman. Gilad Atzmon dicap sebagai anti-Semit dan pernah diserang secara fisik oleh pemuda Yahudi di London. Maka, sungguh naif dan berlebihan jika umat Islam memusuhi orang Yahudi dalam konflik ini. Banyak orang Yahudi yang pro-Palestina, sebagaimana banyak orang Palestina atau Arab yang pro-Israel. Kita tidak boleh menggebyah uyah.

Banyak upaya dilakukan untuk mengakhiri konflik berdarah yang sangat miris ini. Di kalangan warga Palestina pun banyak pendapat bahwa perdamaian harus diwujudkan. Persoalannnya adalah: apakah harus ada dua negara yaitu negara Palestina dan negara Israel yang berdiri sendiri-sendiri, ataukah hanya ada satu negara yaitu Palestina di mana Yahudi dan Arab tinggal berdampingan.

Namun, persoalan yang paling utama adalah bahwa bangsa Palestina selama ini hanya menjadi objek. Semua prakarsa perdamaian hingga Perjanjian Oslo antara Yasser Arafat dengan Yitzak Rabin adalah perdamaian yang bukan merupakan keinginan seluruh masyarakat Palestina. Mereka dipaksa menerima kesepakatan yang sesungguhnya tidak memberikan konsesi apa pun bagi warga Palestina. Mereka hanya mendapatkan Tepi Barat dan Jalur Gaza, sebuah enclave yang berada di wilayah Israel. Sementara warga Palestina yang tanahnya telah tergusur oleh Israel dan kini tinggal di kamp-kamp pengungsi di

14Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

“Mereka tidak sama. Di antara Ahlul Kitab terdapat orang-orang yang taat membaca ayat-ayat Allah di waktu malam dan senantiasa bersujud di hadapan Allah,” [QS. Ali Imran: 113].

“Di antara mereka ada yang beriman, walau kebanyakan mereka ingkar,” [QS. Ali Imran: 110]

Sikap Kepada Liyan

Page 16: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

Yordania, Libanon, dan Mesir tidak diperhatikan.

Bangsa-bangsa yang berkuasa di dunia selalu memperlakukan bangsa lain itu pasrah, tidak memiliki cita-cita, diam, dan tidak dapat bicara tentang dirinya. Yang liyan itu bisa berwujud: masyarakat Asia, Afrika, kaum perempuan, kaum fiabel, buruh.

Edward Said menyebutnya dengan Orientalisme. Dengan tepat Edward Said menggambarkan sikap bangsa Barat vis a vis sang liyan. Bangsa Barat ibarat Gustave Flaubert ketika menggambarkan seorang gadis pelacur remaja dari Mesir bernama Kuchuk Hanem. Flaubert adalah sosok lelaki, berharta, dan penuh nafsu. Pada sisi yang lain, Kuchuk Hanem adalah seorang perempuan, membutuhkan uang yang dibawa para pelancong, dan selalu pasrah akan nasib dirinya. Inilah perbandingan dunia Barat dengan Timur.

Demikian pula sikap bangsa Barat (baca: Amerika dan Eropa) terhadap Palestina. Dalam sebuah dialog di CNN tentang perdamaian Timur Tengah, dari pihak Israel tampil Menteri Luar Negeri Israel, sementara dari pihak Palestina yang berbicara adalah mantan jenderal Amerika yang pernah bertugas di Palestina.

Mengapa bukan orang Palestina sendiri yang bicara tentang kepentingan Palestina? CNN yang sebuah stasiun berita internasional pun memiliki ideologi Orientalisme, bahwa “sang liyan harus direpresentasikan, karena ia tidak dapat merepresentasikan dirinya sendiri. Inilah awal dari porak porandanya tatanan kehidupan kita.

Apakah penindasan sebuah bangsa atas bangsa lain hanya terjadi di Palestina saja? Apakah pelakukan terhadap sang liyan hanya dilakukan oleh bangsa agressor Israel saja? Mari kita berkaca. Mengapa pemerintah memberikan izin kepada perusahaan kelapa sawit untuk membabat hutan lindung yang menjadi nafas dan mata pencaharian masyarakat adat yang tinggal di hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera tanpa pernah mengajak masyarakat adat untuk duduk satu meja dengan pemerintah dan pengusaha? Bagaimana bisa perusahaan multinasional mengeruk kekayaan alam dari perut bumi Papua, tanpa rakyat Papua pernah diajak bermusyawarah?

Betapa banyak kebijakan UU yang dibentuk pemerintah dan DPR, tapi dalam proses pembentukannnya tidak mengundang partisipasi masyarakat. Banyak UU yang sangat merugikan kaum perempuan karena pada saat pembentukannya kaum

15Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Bangsa Palestina dianggap tidak pernah ada. Mereka diperlakukan sebagaimana selama ini bangsa barat memperlakukan dunia “timur” atau orient. Bahkan Karl Marx dalam Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte pernah berkata tentang masyarakat Asia, bahwa “mereka tidak dapat menampilkan diri mereka sendiri, mereka harus ditampilkan”.

Menurut Habermas, kedamaian hanya tercipta jika kita meyakini bahwa lawan bicara kita adalah sama sederajat dengan kita, bahwa hasil kesepakatan sama-sama menguntungkan, dan tidak ada pihak yang dirugikan dalam kesepakatan ini, serta tidak akan ada yang membelot dari kesepakatan.

Page 17: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

16Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

perempuan tidak dilibatkan. Kaum perempuan dianggap tidak mampu menampilkan dirinya sendiri kecuali jika ditampilkan oleh pihak lain.

Kita tidak boleh hanyut dalam euforia yang tidak rasional dalam persoalan Palestina ini. Kita mengecam Israel yang menindas anak-anak Palestina, tapi di sini kita pun menindas bangsa kita sendiri. Ada pelajar yang karena kebodohannya membikin konten TikTok yang isinya dianggap menghina Palestina: apakah anak itu harus dikeluarkan dari sekolah? Ke mana anak itu harus mencari perlindungan, jika negara pun menghukumnya. Mari kita bersikap secara proporsional, dan jangan sampai berlebihan.

Di republik ini, masih banyak orang jujur dan berani yang tidak mendapat tempat. Mereka yang memperjuangkan lingkungan, justru dipersekusi. Salim Kancil menjadi korban karena memprotes kerusakan lingkungan di desanya di Lumajang. Munir harus kehilangan nyawa karena memperjuangkan hak asasi manusia. Pembunuhnya bukan orang Israel, bukan Zionis. Pembunuh Munir adalah orang Melayu juga.

Bagaimana Saudi dapat menjamin kedamaian di Palestina, sementara saat ini tentara Saudi banyak melakukan pembunuhan terhadap rakyat Yaman yang sama-sama Muslim? Para ulama yang mengeritik kebijakan kerajaan dihukum, bahkan ada seorang jurnalis yang dibunuh dengan kejam. Kita juga tidak boleh menutup mata atas apa yang dilakukan tentara Turki kepada masyarakat Kurdi, yang dilakukan tentara Maroko terhadap rakyat Sahara Barat.

Perdamaian bukan hanya persoalan Palestina. Kita harus terus menerus mengecam kebiadaban Israel, tapi kita tidak boleh lupa akan perilaku kita sendiri yang senantiasa menindas yang lain. Banyak perusahaan membuang limbah ke sungai, ke danau, ke laut, dan tidak pernah memikirkan nasib para nelayan dan masyarakat yang hidup dari sungai, danau dan laut. Mereka dianggap tidak ada. Sama sebagaimana kaum Zionis menganggap Palestina tidak pernah eksis.

Dalam kasus Palestina, selama rakyat Palestina tidak diberi kesempatan mengajukan konsep perdamaian dari mereka, maka selamanya perdamaian sejati tidak akan terjadi. Bagaimana mungkin perdamaian datang dari sebuah negara yang merusak perdamaian? Usulan perdamaian Palestina acapkali datang dari Amerika. Padahal, Amerika adalah negeri yang menciptakan kekacauan di Irak, Afghanistan, dan negara-negara Amerika Latin.

Page 18: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

17Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Islam KaffahOleh: Roland Gunawan

Saya pernah membaca sebuah artikel pendek yang ditulis oleh seorang perempuan yang dimuat dalam sebuah surat kabar mengenai problem kâffah seorang muslimah. Dalam artikel itu, si penulis mengutarakan keluh-kesah dalam upayanya menjadi muslimah yang kâffah. Ia mengatakan amat susah untuk ber-Islam secara kâffah sebagaimana konsep yang diterimanya. Sejak lama ia belajar hidup Islami, tetapi betapa sulitnya. Ia dilahirkan dari keluarga yang non-agamis. Ia baru mengenal Islam ketika di SMA, itu pun setelah belajar secara otodidak. Ia harus menghadapi ibunya yang berbeda pemahaman agamanya. Dari keturunan ayahnya, kebanyakan adalah non-Islam. Sementara ibunya sendiri adalah Islam Kejawen; sebuah lingkungan yang sangat

sinkretis.

Dia melanjutkan, kadang dia mengalami benturan budaya dalam upayanya ber-Islam kâffah. Sebagai contoh dia menyebutkan jilbab yang dianggap wajib bagi para perempuan. Tetapi, ketika ia mengenakannya, ibunya menentang habis-habisan. Sebab, katanya, di lingkungannya jilbab tidak umum.

Setelah membaca artikel itu, saya mencoba mereka-reka apa sebenarnya makna Islam kâffah yang ada di benak perempuan tersebut. Apakah seseorang dapat dikatakan telah ber-Islam kâffah hanya karena dia mengenakan jilbab (perempuan), atau jenggot (laki-laki)?

Page 19: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

18Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Dalam al-Qur`an disebutkan, “Yâ ayyuh-a al-ladzîna âmanû udkhulû fî al-silm-i kâffah.” Menurut Abu Ishaq, makna “kâffah” dalam ayat ini adalah “jamîʼ” (semuanya) dan “ihâthah” (pencakupan). Maka, menurutnya, ayat ini boleh diartikan, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, atau dalam seluruh syariatnya.” (Ibn Mandur, Lisân-u al-ʻArab)

Bagi saya, makna yang disebutkan Abu Ishaq adalah sebuah “kemungkinan”. Sebab, dia masih menyebut kata-kata “fayajûz-u an yakûn-a maʼnâh-u” yang berarti “maka boleh jadi maknanya”. Dengan kata lain, dia tidak menetapkan makna kâffah secara pasti. Itu sebabnya, kita juga bisa mencari kemungkinan-kemungkinan lain dalam memaknai kâffah.

Dalam ayat di atas, ada beberapa kata yang mesti kita pahami, yaitu “al-ladzîna âmanû”, “al-silm” dan “kâffah”. Saya mengamati, al-Qur`an tidak pernah menyebut “yâ ayyuh-a al-ladzîna aslamû” (Hai orang-orang yang beragama Islam), ia lebih sering menyebut “yâ ayyuh-a al-ladzîna âmanû” (Hai orang-orang yang beriman). Sebab, kata-kata “orang-orang yang beriman” lebih dalam maknanya ketimbang “orang-orang yang beragama Islam”. Dan Allah tidak menghendaki umat Muslim disebut “Muslim” hanya karena beragama Islam, tetapi lebih dari itu. Dia menghendaki keberislaman mereka dilandasi keimanan mendalam kepada-Nya. Maka, di sini, yang dimaksud “orang-orang yang beriman” oleh al-Qur`an tidak lain adalah umat Muslim sendiri. Sehingga, kata “al-silm” tidak perlu lagi diartikan “agama Islam”. Kata “al-silm” lebih tepat dimaknai “kedamaian” sebagaimana termaktub di dalam kamus-kamus bahasa Arab.

Lalu, tentang kata “kâffah”, secara umum ia

lebih populer diartikan “jamâʼah” (kelompok), atau “jamâʼat-un min-a an-nâs” (sekelompok orang), atau “jamîʼ” (semua). Namun, dalam konteks ayat ini, kata “kâffah” tidak menunjukkan makna “jamâʼat-un min-a an-nâs”, tetapi lebih bermakna “totalitas”. Dengan demikian, ayat itu bisa diartikan, “Hai orang-orang yang beriman (umat Muslim), masuklah kalian ʻsemuaʼ ke dalam ʻkedamaianʼ secara total.” Jelas, ini merupakan seruan kapada umat Muslim untuk selalu terlibat dalam penyebaran kedamaian secara total.

Itu hanya salah satu kemungkinan. Kemungkinan lain, bisa saja Islam kâffah lebih mengarah pada segi wawasan keislaman. Sebab, “al-ladzîn-a âmanû” (keberimanan) mensyaratkan rasionalisasi seluruh aspek yang ada dalam agama, dan rasionalisasi menuntut pengayaan nomenklatur keilmuan Islam. Di sini, Islam kâffah merupakan sebuah proses pembacaan yang terus-menerus guna menciptakan inklusivitas keimanan.

Di samping kemungkinan makna yang saya paparkan di atas, barangkali masih banyak yang lain. Dan bagi saya, setiap kemungkinan itu dibutuhkan menurut konteks serta tuntutan zamannya. Abu Ishaq memaknai kâffah dengan “menjalankan keseluruhan syariat [atau hukum] Islam”. Sebab, mungkin saja, wacana yang berkembang pada masanya memanglah demikian. Namun, pada masa sekarang, menurut saya, kita lebih membutuhkan dua kemungkinan makna lain yang juga saya sebutkan setelahnya, yaitu

Page 20: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

19Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Ketika membaca karya-karya para sufi, saya banyak sekali menemukan indikasi yang mengarah kepada dua kemungkinan makna di atas. Meski tidak secara langsung menyebut terma “Islam kâffah”, tetapi ajaran-ajaran para sufi agung yang tersaji di dalam buku ini sarat sekali dengan nilai-nilai kedamaian dan wawasan keislaman agar umat Muslim benar-benar menjadi umat pembawa rahmat kepada seluruh alam sebagaimana dicontohkan baginda Nabi saw. Dan inilah sebenarnya, menurut saya, model Islam kâffah yang “dikehendaki” Allah melalui firman-Nya di dalam al-Qur`an.

Terkait kemungkinan makna yang pertama, harus disadari, bahwa saat ini kedamaian merupakan kebutuhan urgent umat Muslim; kedamaian di dalam diri sendiri dan kedamaian menyangkut hubungan mereka dengan orang lain (baca; non-Muslim). Umat Muslim perlu menanamkan “sikap jenuh” di dalam jiwa mereka terhadap segala bentuk pertikaian di antara mereka sendiri; yang berjilbab mencela yang tidak berjilbab, dan begitu sebaliknya; yang berjenggot memandang rendah kepada orang yang tak berjenggot, dan begitu sebaliknya; yang Ahl al-Sunnah mengkafirkan yang Syiʼah, dan begitu sebaliknya. Belum lagi pertentangan-pertentangan dengan para penganut agama-agama lain, khususnya Kristen dan Yahudi. Demikianlah kondisi umat Islam dari dulu hingga sekarang.

Para sufi hadir membawa ajaran yang berbeda dengan kebanyakan ajaran pada umumnya. Perdamaian manusia adalah misi utama yang harus mereka perjuangkan

tanpa peduli akan membentur otoritas yang lebih besar, baik dari kalangan para tokoh ulama atau bahkan para penguasa.

Pada masa klasik, melihat maraknya perdebatan teologis di kalangan ulama kalam sebagai upaya untuk memperjuangkan kepentingan kelompok, para sufi mengatakan, “Ketika Allah mencintai hamba-Nya, maka Dia akan membukakan pintu amal dan menutup pintu perdebatan teologis.” Perdebatan dan kefanatikan terhadap mazhab fikih tak ayal telah memunculkan kritik dari para sufi yang mencela para figur mazhab yang tidak mengajarkan dan menanamkan ajaran moral dalam tingkah laku ritual ibadah zhahir.

Abu Hayyan al-Tauhidi, misalnya, tokoh sufi terbesar pada abad ke-4, mencela para tokoh mazhab yang suka mengobarkan api perpecahan di kalangan umat Muslim. Seperti dikatakannya sendiri dalam karya besarnya, “Kitâb al-Imtâʼ wa al-Mu`ânasah”, para tokoh mazhab sudah terjangkiti virus yang menghantarkan mereka ke puncak perpecahan. Mereka saling mengeluarkan pernyataan “kafir”, saling menuduh “fasik” (menyimpang dari doktrin agama), bahkan menghalalkan darah sesama. Mulut mereka amat doyan melontarkan kata-kata menyakitkan, mencaci-maki, memfitnah, dan memutuskan tali silaturrahmi.

Ulah para ulama kalam dan mazhab-mazhab fikih itu ternyata membawa akibat sangat fatal bagi mayoritas umat Muslim yang tidak hanya mengabaikan pesan-pesan kedamaian al-Qur`an, tetapi juga telah melupakan ajaran persatuan antarsesama sebagaimana digalakkan oleh Nabi saw. semasa beliau hidup. Demi melihat kualitas pluralisme internal, sedikit sekali dari umat Muslim yang berupaya untuk hidup selaras dengan

“totalitas sikap dalam kedamaian” dan “totalitas semangat memperkaya wawasan keislaman”.

Page 21: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

20Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

spirit inklusivisme al-Qur`an sebagai rujukan utama mereka.

Perbedaan tak terelakkan terhadap rujukan ini adalah pemahaman mereka dan kondisi di mana mereka tinggal. Pengabaian ambiguitas bahasa al-Qur`an, reduksi sejarah dan pengaruhnya terhadap penafsiran membawa konsekuensi tidak adanya perbedaan efektif antara moral normatif Islam dan perspektif mereka mengenai hal itu. Dan yang pasti, masing-masing mazhab atau aliran akan mengatakan, “Kami adalah orang-orang yang memahami al-Qur`an secara benar.”

Demikian juga menyangkut hubungan dengan para penganut agama-agama lain. Sikap mayoritas umat Muslim dalam menjaga keimanan tidak pernah sekalipun tersentuh oleh rasa kemanusiaan dari orang-orang yang berbeda agama dengan mereka. Mereka, selain tidak merasa tergugah untuk menemukan “kelapangan” dan “keluasan” di dalam ranah eksklusif keimanan mereka sendiri, tidak mampu pula secara penuh ber-istiqâmah menyaksikan kemurahan dan kasih-sayang Tuhan, dan juga tidak mampu memahami pluralisme eksternal sehingga menimbulkan kekeliruan dalam memahami kemampuan para penganut agama lain untuk mendengarkan mereka sebagai bukti bahwa mereka benar dan para penganut agama-agama lain salah, selain tentunya kedalaman tekad mereka untuk mendengarkan para penganut agama-agama lain itu. Tak mengherankan kiranya bila kedamaian hanya menjadi “hiburan” di alam mimpi!

Para sufi, dalam hal ini, telah melakukan upaya-upaya yang layak untuk diteladani. Al-Hallaj, al-Tauhidi, Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, dll. adalah tokoh-tokoh sufi yang telah berjuang demi tegaknya perdamaian antarumat beragama. Al-Hallaj, misalnya, sebagaimana termaktub di dalam buku ini, selama pengembaraannya ke beberapa negeri, telah banyak bergaul dan belajar dari orang-orang non-Muslim. Pada 899 M., dia memulai pengembaraan spiritual pertamanya ke perbatasan laut timur, lalu menuju ke selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M.

Dalam pengembaraannya itu, dia bertemu dengan guru-guru spiritual dari berbagai agama. Dari mereka dia mempelajari banyak terminologi yang mereka gunakan untuk kemudian dia tuangkan dalam karya-karyanya. Di India, dia menyerap ilmu pengetahuan yang sedang semarak dan sangat digandrungi oleh masyarakat di sana. Sebagai konsekuensi mempelajari dan menyerap ilmu esoteris-gnosis dari banyak tradisi dan budaya dengan berlandaskan rasa kemanusiaan yang tinggi, di dalam dirinya lahir spirit inklusif dalam menyikapi perbedaan agama.

Berbagai dialog spiritual dan tukar-menukar pengalaman spiritual pun telah dilakukan secara egaliter oleh para sufi Muslim dengan para tokoh agama-agama lain. Mereka membudayakan dialog dan saling menghargai subyektivitas spiritual masing-masing. Mereka juga saling bertukar pengalaman untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan.

Dan bagaimanapun, “totalitas sikap dalam kedamaian” tidak akan mungkin terwujud tanpa “totalitas semangat memperkaya wawasan keislaman”. Wawasan keislaman yang saya maksud bukan sebatas

wawasan yang dihasilkan melalui pergulatan diskursif di dalam tradisi Islam, tetapi juga wawasan progresif yang dapat mendorong kita untuk mempertanyakan kembali relevansi keimanan kita secara kontekstual.

Page 22: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

21Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Sehingga dengan sendirinya dalam diri mereka terpatri sebuah sikap yang kerapkali diabaikan oleh mayoritas umat Muslim, yaitu “sikap bijak”.

“Sikap bijak”, demikianlah kira-kira—sebagaimana dipaparkan oleh Farid Esack dalam bukunya, “On Being Muslim”—kita menerjemahkan kata “al-hikmah”. Menurut sebuah hadits, al-hikmah atau sikap bijak adalah barang yang hilang dari orang beriman, barang yang perlu diambil kembali, dari mana pun ia berasal. Bila “sikap bijak” itu ternyata adalah hasil dari keterlibatan dengan para penganut agama-agama lain, dalam hal ini adalah umat Kristiani dan umat Yahudi, itu jauh lebih baik daripada sesuatu yang dihasilkan oleh sebuah permainan cantik yurisprudensis para ulama di mimbar-mimbar.

Untuk itu, para sufi senantiasa mendorong kepada pencarian kebenaran secara terus menerus demi terciptanya pluralisme yang sehat. Dalam pencarian kebenaran itu mereka tidak lagi mempersoalkan apakah sebuah pemikiran berasal dari Timur atau Barat, Kristen atau Yahudi. Sebab, bagi mereka, tidak ada seorang pun yang memiliki semua kebenaran, sehingga pengalaman dari tempat-tempat, bangsa-bangsa dan agama-agama lain sangat diperlukan guna membuka perspektif-perspektif kebenaran yang variatif. Dari sini, dapat dikatakan bahwa para sufi telah melakukan semacam revolusi yang mampu menciptakan rangsangan dalam pikiran mereka untuk berupaya menghimpun kebenaran-kebenaran pihak lain dan kebenaran yang mereka yakini di bawah tenda yang sama guna memecahkan problem-problem umat.

Model keberislaman mereka itulah yang

saya lebih layak disebut kâffah dan sangat dibutuhkan oleh umat Muslim, terutama untuk saat ini. Dengan berpijak pada ajaran-ajaran kedamaian dan pluralisme para sufi, saya katakan bahwa Islam kâffah sejatinya adalah komitmen “menyeluruh” mengenai peningkatan kualitas diri melalui keterlibatan-keterlibatan bersama orang lain, dalam upaya mewujudkan dunia damai yang lebih manusiawi dan adil.

Problem ideologisasi agama mengajak kita untuk membedakan antara Islam sebagai identitas dan Islam sebagai kebenaran. Islam model pertama adalah alat ideologis untuk identitas sekaligus respon terhadap apa yang kita kenal saat ini “krisis identitas”. Sementara Islam model kedua menunjuk kepada Islam kâffah seperti yang saya paparkan tadi, yaitu Islam sebagai sumber kebenaran yang menunjukkan jalan kedamaian.

Oleh karena itu, saya sangat mengamini perkataan Abdul Karim Soroush, bahwa

Islam kâffah, dengan demikian, bukanlah—meminjam bahasa Abdul Karim Soroush dalam bukunya, “Menggugat Otaritas dan Tradisi Agama”—sebentuk upaya ideologisasi agama, artinya mengubah agama menjadi alat fanatisme dan kebencian. Ideologisasi agama ini merupakan penyakit pemikiran agama yang kalau dibiarkan akan menjadi virus membahayakan. Dan yang membuat kita prihatin, para ulama tidak saja merasa puas diri, tetapi bahkan secara sadar terus mempropagandakannya.

Page 23: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

22Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

Nabi Muhammad saw. adalah pembawa kebenaran dan kedamaian. Para nabi, seperti yang kita tahu, pada mulanya menyeru manusia kepada kebenaran yang membawa kedamaian. Mereka mengemban misi mempercepat proses evolusi spiritual manusia, menyempurnakan kebaikan moral, memudahkan dan menafsirkan pengalaman spiritual, memperbaiki akhlak, mengajarkan hikmah dan ajaran esoteris, mengingatkan manusia akan asal-usul mereka yang sebenarnya. Nah, manakala orang-orang menerima itu dan mereka “disetir” oleh disiplin agama, secara bertahap mereka membangun identitas. Tetapi, perlu digarisbawahi, membangun identitas bukanlah tujuan para nabi.

Makanya, lagi-lagi kata Abdul Karim Soroush, salah satu penyakit teoritis di dunia Islam yang paling berat saat ini adalah, bahwa pada umumnya umat Muslim lebih suka memahami Islam sebagai identitas ketimbang sebagai kebenaran. Adalah benar bahwa mereka mempunyai identitas, tetapi mereka tidak boleh memperalat Islam demi kepentingan identitas. Identitas muncul sebagai konsekuensi tak terencana dari aksi-aksi sadar para pelaku sosial. Identitas adalah keseluruhan pencapaian materi dan pemikiran dari banyak generasi. Identitas tidak bisa muncul dari upaya sadar segelintir orang.Identitas adalah desain spontanitas. Upaya apa pun yang direncanakan justru akan merobohkan desain tersebut. Namun tidak berarti bahwa umat Muslim tidak mempunyai identitas, melainkan bahwa Islam jangan sampai disalahgunakan demi kepentingan identitas. Di sini dapat dikatakan, bahwa Islam kâffah adalah Islam yang mencakup segala macam kebenaran. Artinya, kebenaran apapun dapat duduk harmonis di dalamnya.

Dan manusia sebagai makhluk, oleh Tuhan telah dikaruniai kelebihan khusus berupa akal yang berpotensi untuk berikhtilaf. Maka, Islam sebagai nilai-nilai Tuhan itu ditafsirkan beragam oleh manusia. Orang-orang Israel (keturunan Yaq̓ub) menafsirkan Islam itu begini, para anggota gereja menafsirkannya begitu, dan Nabi saw. juga tidak ketinggalan memberikan penafsiran berbeda.

Kemudian, mereka memilih nama-nama kesukaan masing-masing untuk disematkan kepada hasil penafsiran mereka terhadap Islam. Keturunan Yaq̓ub yang sangat fanatik terhadap ikatan suku Yehuda memberi nama “Yudaisme”. Para pengikut Isa yang tergabung dalam kelompok Messiah Yahudi memberinya nama “Kristiani” yang berasal dari “Xristos”, terjemahan Yunani untuk “Meshicha” yang merupakan istilah Aramaik yang berarti “yang diberi ucapan perminyakan suci”. “Masihi” merupakan sebutan Arab untuk orang-orang Eropa yang disebut “Xristianos”. Sementara itu, Nabi Muhammad saw. nampaknya lebih menyukai nama yang mempunyai makna cukup luas dan berarti. Makanya kemudian

Di samping itu, Islam kâffah juga berarti pengakuan bahwa Allah menciptakan manusia dengan keragaman. Ada yang beragama Islam, Yahudi, dan Kristen. Kalau kita membaca al-Qur`an, kita akan dapati bahwa Islam telah ada sejak Nabi Adam, tetapi bukan sebagai agama. Islam dideklarasikan sebagai agama resmi sejak adanya Nabi Muhammad saw. Sebelum beliau, Islam hanya merupakan nilai-nilai universal Tuhan sebagai petunjuk kebenaran.

Page 24: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

23Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

beliau memilih nama “Islam” yang berarti “keberserahan”. Nama tersebut diambil dari nama pertamanya sebagai jalan berserah diri kepada Tuhan demi meraih kebenaran.

Melihat kenyataan historis yang demikian menuntut kita membuang jauh-jauh keinginan untuk menghina para penganut agama-agama lain. Ketika masih menjadi mahasiswa di universitas al-Azhar Mesir, saya sering mengunjungi International Books Fair yang diselenggarakan di kota Cairo. Di beberapa stand pameran, saya menemukan puluhan bahkan ratusan buku yang berisi penghinaan terhadap agama Kristen yang dipamerkan secara terang-terangan, buku-buku yang secara sengaja ditulis untuk menyerang agama Kristen dengan menuduhnya sebagai agama kesyirikan. Bahkan terdapat CD yang dibagikan secara cuma-cuma yang memuat puluhan naskah buku, seperti “Limâdzâ Kassarû al-Shalîb?”, “al-Ilâh al-ladzîy lâ Wujûd-a Lah-u”, “al-Nashrânîyyah min al-Wahîd Ilâ al-Mutaʼaddid”, “Hârûnîy am Dawûdîy al-Jins”, “al-Jins fî al-ʻAhd al-Yahûdîy al-Qadîm”, “al-Kanîsah wa al-Inhirâf”, “Ummah Bilâ Shalîb”, “al-ʻAqâ`id al-Watsanîyyah fî al-Diyânah al-Nashrânîyyah”, dan beberapa buku lainnya.

Namun, yang mengherankan, penerbitan buku-buku tersebut justru atas dukungan dari negara. Ini sangat kontras dengan kehidupan di Mesir sehari-hari. Kalau dilihat, Mesir terlihat sangat damai. Antara umat Muslim dan umat Kristiani terjadi toleransi yang sangat tinggi, terjalin solidaritas yang begitu kuat. Saya sering melihat masjid berhadap-hadapan atau berdampingan dengan gereja. Saya bahkan hampir tidak bisa membedakan mana yang Muslim atau Kristiani.

Di Mesir, banyak perempuan Muslim pakai

kerudung, tetapi banyak juga yang tidak memakainya. Para perempuan Kristiani juga banyak yang memakai kerudung. Bagi mereka, pemakaian kerudung tidak murni semata-mata karena agama, akan tetapi karena kerudung merupakan pakaian tradisional yang dipakai secara turun-temurun. Jadi, siapapun boleh memakai kerudung, perempuan Muslim atau Kristiani. Tetapi, kenapa masih ada saja orang yang berusaha memutus tali pengikat yang sudah sejak lama terjalin itu dengan menyebarkan buku-buku yang antipatif terhadap agama-agama lain? Tidak hanya di Mesir, di Indonesia pun kita sering melihat buku-buku yang berisi penghinaan terhadap Kristen dan agama-agama lainnya.

Jika kita menolak orang lain menghina agama kita, kenapa kita mesti menghantam keyakinan orang lain yang hidup dengan dan di tengah-tengah kita? Sebelum melemparkan tuduhan kepada orang lain, kita harus yakin terlebih dahulu bahwa kita terbebas dari tuduhan yang sama. Inilah sebenarnya makna dari hadits Rasulullah saw. yang berbunyi, “Berbahagialah bagi orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri sehingga ia melupakan aib orang lain.” Kalau hadits ini kita tarik kepada konteks yang lebih luas, bukan sebatas hubungan manusia dengan manusia, tetapi menyangkut hubungan antarumat beragama, maka akan bermakna, “Berbahagialah bagi para pengikut suatu agama yang disibukkan dengan aib-aib mereka sendiri sehingga mereka melupakan aib-aib para pengikut agama lain.” Wajar kiranya bila umat Muslim tidak maju-maju, karena mereka selalu disibukkan dengan aktivitas mencari-cari kesalahan orang lain, tidak mau mengoreksi diri.

Kebiasaan menghina para penganut agama-agama lain yang dilakukan sebagian besar umat Muslim, tidak lain merupakan

Page 25: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

24Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

salah satu dampak negatif dari ideologisasi agama. Dan saya kira, problem ideologisasi agama itu tidak hanya terjadi di dunia Islam, agama Kristen, Yahudi dan agama-agama lainnya juga mengalami problem serupa. Para penganut dari masing-masing agama, dengan dalih menjaga kesucian agama, dengan serta-merta menolak bantuan orang lain.

Akibatnya, agama menjadi terisolasi dan kaku. Ideologisasi agama selalu menuntut idealisme dan dogmatisme sehingga berlawanan dengan obyektivitas yang pada gilirannya mendorong seseorang memandang dunia melalui celah tunggal yang sempit. Hal ini menampakkan kesan adanya kecacatan dalam agama, padahal kecacatan itu justru terjadi dalam perspektif manusia. Sebab, pikiran manusia memang tidak bisa lepas dari pengaruh kebutuhan dan kecenderungan, sehingga pemahamannya menjadi tidak sama dengan pemahaman manusia lainnya.

Sebagai bahan renungan, saya ingin katakan bahwa, tidak ada agama yang ditumbuh-kembangkan dalam sebuah “tabung kaca” yang tertutup dari dinamika luarnya; sejarah justru menunjukkan betapa agama merupakan sebuah pergulatan tanpa henti terhadap beragam masalah sosial dan sejumlah keterlibatan lainnya. Makanya, perbedaan pemahaman, atau lebih spesifiknya perbedaan agama, jangan sampai menjadi penghalang bagi kita untuk terlibat secara aktif bersama para penganut agama-agama lain menciptakan dunia yang damai.

Harus diakui, rasanya memang sangat sulit untuk menumbuhkan sikap terbuka terhadap orang lain yang berbeda agama dengan kita ketika, sekilas pandang, seolah-olah mereka hendak menghancurkan keyakinan agama kita, sementara kita berpikir bahwa agama kita adalah yang paling benar. Tetapi, akan lebih baik bila kita mengabaikan cerita-cetita menyeramkan tentang agama-agama lain dan para penganutnya, mestinya kita mendekatinya secara langsung sebagai upaya membangun sebuah ruang, meskipun kecil, yang memungkinkan orang lain ada di antara kita. Inilah makna Islam kâffah yang sebenarnya, yaitu Islam yang sejalan dengan semangat inklusivisme.

Segala bentuk permusuhan perlu segera dihindarkan. Dan kedamaian harus senantiasa ditebarkan. Sebagai umat yang secara kâffah menjalankan ajaran-ajaran Islam, kita mestinya lebih suka berdamai. Kata-kata santun yang jauh dari unsur cacian, makian dan hinaan, harus kita kedepankan demi menghormati para penganut agama-agama lain yang juga manusia seperti kita dan mempunyai hak yang sama dengan kita. Untuk saat ini, tidak relevan lagi kita memandang identitas keagamaan seseorang. Justru yang harus kita lihat adalah sisi kemanusiaannya.

Sebab, masuk dan tidaknya seseorang ke dalam surga tidak ditentukan oleh agama, kelompok atau apalah namanya, melainkan ditentukan oleh kelakuan dan sepak

Sudah saatnya kita berusaha memahami para penganut agama-agama lain dengan tetap meneguhkan kepercayaan—meminjam bahasa Farid Esack—bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang

bermakna adalah hidup yang berdasarkan pintu keyakinan sendiri sementara jendelanya terbuka lebar bagi yang lain. Sudah waktunya kita memperkuat diri dengan komitmen bersama guna mewujudkan tatanan hidup penuh keadilan di muka bumi ini.

Page 26: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

25Wawasan Kebangsaan, Toleransi, dan Perdamaian dalam Perspektif Islam |

terjangnya di muka bumi; sejauh mana kontribusinya terhadap sesama, dan apa saja yang telah diperbuatnya untuk perdamaian, ketenteraman dan kemajuan manusia. Nabi saw. pernah bersabda, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Coba kita merenungkan hadits Nabi di atas. Nabi tidak mengatakan, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang beragama Islam.” Persis seperti di dalam al-Qur`an, di mana banyak di antara ayat-ayatnya yang menekankan “perbuatan baik” (al-ʻamal al-shâlih) sebagai syarat mutlak masuk surga. Kata “iman” dan “islam” itu lebih bermakna “kepercayaan” dan “kepasrahan” kepada Tuhan semata, bukan bermakna “afiliasi” dan “kepenganutan” terhadap agama tertentu.

“Kepercayaan” dan “kepasrahan” terhadap Tuhan pun tidak memperdulikan siapa Tuhan yang disembah. Yang penting “kebertuhanan” itu menumbuhkan sifat-sifat yang luhur di dalam diri manusia untuk kemudian diejawantahkan di dalam kehidupannya sehari-hari.

Satu hal yang ingin saya tekankan di sini, bahwa model Islam kâffah yang terjebak pada simbol-simbol kesalehan—yang menurut saya sama sekali tidak signifikan—seperti jilbab dan jenggot, di samping eksklusivitas keimanan dan kungkungan ideologisasi Islam sebagai sebuah identitas, hanyalah bentukan wacana dominan yang ditopang oleh tradisi. Sebagai realitas, keberagamaan bukanlah sesuatu yang statis dan konstan. Ibarat air, ia selalu berubah bentuk, kendatipun esensinya sama. Tidak ada satu pun yang tetap dalam proses keberagamaan.

Page 27: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

Shalat Jumʼat Virtual di Masjid Jamiʼ Virtual Hilful Fudhul (Public Virtue) akan diadakan melalui wadah virtual, yaitu Zoom Meeting atau Google Meet.

Shalat Jumʼat akan dimulai dengan pembukaan, pembacaan/penyampaian khutbah oleh khatib dan dilanjutkan dengan pelaksanaan shalat Jumʼat berjamaah yang dipimpin oleh seorang imam secara virtual via Zoom Meeting.

Para jamaah shalat diwajibkan untuk menyimak dan mendengarkan khutbah yang disampaikan oleh khatib, karena khutbah merupakan salah satu syarat wajib sahnya shalat Jumʼat.

Pelaksanaan

1.

2.

3.

Hari dan Waktu Pelaksanaan

Setiap Jum’atPukul 11.30 – 13.30 WIB

Saat pelaksanaan shalat Jumʼat, para jamaah (makmum) wajib menghadap kiblat dan mendengarkan suara imam, serta mengikuti setiap gerakan shalat imam yang tampak di layar monitor laptop/notebook/komputer/ponsel.

26Perspektif Islam dalam Merawat Kebangasaan dan Menegakkan Keadilan Gender |

Page 28: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

Jadwal Acara

11.30 - 11.45 WIB

11.45 – 12.00 WIB

Pelaksana

Jamaah memasuki ruang virtual Muhammad Haikal dan Ainun Dwiyanti

Muqaddimah/prolog Usman Hamid

12.06 – 12.10 WIB Bilal adzan pertama KH. Rodilansah

Bilal berdiri sambil menghadap jamaah (layar monitor)

KH. Rodilansah

Bilal mengalihkan acara (memberikan tongkat) kepada khotib dan berdoa

KH. Rodilansah

Susunan Acara

12.10 – 12.35 WIB Khotib mengucapkan salam KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

Bilal adzan kedua KH. Rodilansah

Khutbah pertama

Bilal melantunkan sholawat KH. Rodilansah

Khutbah kedua

Iqomat KH. Rodilansah

12.35 – 12.45 WIB Sholat berjamaah

12.45 – 13.15 WIB Ramah tamah dengan jamaah (tanya jawab)

KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

Host: Usman Hamid – KH. Rodilansah

27Perspektif Islam dalam Merawat Kebangasaan dan Menegakkan Keadilan Gender |

Page 29: IKHTISAR: (hal. 2-7) 7-12) (hal 13-16) Buletin Jumat

Informasi Pelaksanaan Shalat Jumʼat Virtual 9 Syawal 1442 H / 21 Mei 2021

Imam & Khatib:KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

Tema:Palestina dan Perdamaian Dunia

Bilal:KH. Rodilansah

Takmir:Usman Hamid

Muhammad Haikal

Ainun Dwiyanti

Miya Irawati

Pradhana Adimukti

Parid Ridwanuddin

Indah Ariani

Hatib Rahmawan

Raafi Ardikoesoema

Abduh Hisyam

Anindya

28

Pengarah

& Tim Pelaksana

KH. Mukti Ali Qusyairi, KH. Rodilansah, Usman Hamid, Andar Nubowo, Syafieq Alilha, Anita Wahid, KH. Wawan Gunawan Abdul Wahid

Perspektif Islam dalam Merawat Kebangasaan dan Menegakkan Keadilan Gender |