iii. kerangka pemikiran 3.1. kerangka pemikiran teoritis · implisit di mana willingness to pay...

15
30 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis terdiri dari beberapa teori yang digunakan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan teori-teori yang sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai yaitu Contingent Valuation Method (CVM), regresi linier berganda, dan instrumen ekonomi. 3.1.1. Contingent Valuation Method (CVM) Penilaian ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1) revealed preference approach merupakan teknik penilaian yang mengandalkan harga implisit di mana Willingness to Pay terungkap melalui model yang dikembangkan, meliputi: Travel Cost, Hedonic Pricing, dan Random Utility Model. 2) stated preference approach merupakan teknik penilaian yang didasarkan pada survei di mana keinginan membayar atau Willingness to Pay diperoleh dari responden, meliputi: Contingent Valuation, Random Utility Model, dan Contingent Choice. Menurut Yakin (1997), Contingent Valuation Method (CVM) merupakan metode yang popular digunakan saat ini, karena CVM dapat mengukur nilai penggunaan (use value) dan nilai non pengguna (non use values) dengan baik. Metode CVM ini sangat tergantung pada hipotesis yang akan dibangun. Misalnya, seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dan sebagainya. Metode CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu teknis eksperimental melalui simulasi dan teknik survei.

Upload: vanminh

Post on 24-Mar-2019

266 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

30

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis terdiri dari beberapa teori yang digunakan

dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan teori-teori yang sesuai dengan

tujuan penelitian yang hendak dicapai yaitu Contingent Valuation Method (CVM),

regresi linier berganda, dan instrumen ekonomi.

3.1.1. Contingent Valuation Method (CVM)

Penilaian ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market

valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1) revealed

preference approach merupakan teknik penilaian yang mengandalkan harga

implisit di mana Willingness to Pay terungkap melalui model yang

dikembangkan, meliputi: Travel Cost, Hedonic Pricing, dan Random Utility

Model. 2) stated preference approach merupakan teknik penilaian yang

didasarkan pada survei di mana keinginan membayar atau Willingness to Pay

diperoleh dari responden, meliputi: Contingent Valuation, Random Utility Model,

dan Contingent Choice. Menurut Yakin (1997), Contingent Valuation Method

(CVM) merupakan metode yang popular digunakan saat ini, karena CVM dapat

mengukur nilai penggunaan (use value) dan nilai non pengguna (non use values)

dengan baik.

Metode CVM ini sangat tergantung pada hipotesis yang akan dibangun.

Misalnya, seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana

pembayarannya, dan sebagainya. Metode CVM ini secara teknis dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu teknis eksperimental melalui simulasi dan teknik survei.

31

Metode CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif sumber daya alam

atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaaan. Metode CVM pada dasarnya

bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (Willingness To Pay) dari

masyarakat terhadap perbaikan lingkungan dan keinginan menerima kompensasi

(Willingness To Accept) dari kerusakan lingkungan (Fauzi, 2006).

3.1.1.1 Kelebihan Contingent Valuation Method (CVM)

Menurut Hanley dan Spash (1993) kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh

pendekatan CVM dalam memperkirakan nilai ekonomi suatu lingkungan adalah

sebagai berikut :

1) Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting, yaitu

seringkali menjadi satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat dan

dapat diaplikasikan pada berbagai konteks kebijakan lingkungan.

2) Dapat digunakan dalam berbagai macam penelitian barang-barang

lingkungan di sekitar masyarakat.

3) Dibandingkan dengan teknik penilaian lingkungan lainnya, CVM memiliki

kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna. Dengan CVM,

seseorang mungkin dapat mengukur utilitas dari penggunaan barang

lingkungan bahkan jika tidak digunakan secara langsung. Meskipun teknik

dalam CVM membutuhkan analis yang kompeten, namun hasil penelitian

dari peneliti yang menggunakan metode ini tidak sulit untuk dianalisis dan

dijabarkan.

32

3.1.1.2 Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM)

Menurut Fauzi (2006), meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang

cukup baik untuk mengukur WTP, namun terdapat beberapa kelemahan yang

perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama dari

pendekatan ini adalah timbulnya bias.

Bias dalam pengumpulan data dengan mengunakan teknik CVM menurut

Hanley dan Spash (1993) terdiri dari :

1) Bias Strategi (Strategic Bias)

Adanya responden yang memberikan suatu nilai WTP yang relatif kecil

karena alasan bahwa ada responden lain yang akan membayar upaya

peningkatan kualitas lingkungan dengan harga yang lebih tinggi

kemungkinan dapat terjadi. Alternatif untuk mengurangi bias strategi ini

adalah melalui penjelasan bahwa semua orang akan membayar nilai tawaran

rata-rata atau penekanan sifat hipotetis dari perlakuan. Hal ini akan

mendorong responden untuk memberikan nilai WTP yang benar. Mitchell

dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash (1993) menyarankan empat

langkah untuk meminimalkan bias strategi yaitu :

a) Menghilangkan seluruh pencilan (outliner)

b) Penekanan bahwa pembayaran oleh responden adalah dapat dijamin

c) Menyembunyikan nilai tawaran responden lain

d) Membuat perubahan lingkungan bergantung pada nilai tawaran

Sedangkan Hoehn dan Randall (1987) dalam Hanley dan Spash (1993)

menyarankan bahwa bias strategi dapat dihilangkan dengan menggunakan

format referendum terhadap nilai WTP yang terlalu tinggi.

33

2) Bias Rancangan (Design Bias)

Beberapa hal dalam rencangan survei yang dapat mempengaruhi responden

adalah :

a) Pemilihan jenis tawaran (bid vehicle). Jenis tawaran yang diberikan dapat

mempengaruhi nilai-nilai rata-rata tawaran.

b) Bias titik awal (starting point bias). Pada metode bidding game, titik

awal yang diberikan kepada responden dapat mempengaruhi nilai

tawaran (bid) yang ditawarkan. Hal ini dapat dikarenakan responden

yang ditanyai merasa kurang sabar atau karena titik awal yang

mengemukakan besarnya nilai tawaran adalah tepat dengan selera

responden (disukai responden karena responden tidak memiliki

pengalaman tentang nilai perdagangan benda lingkungan yang

dipermasalahkan).

c) Sifat informasi yang ditawarkan (nature of information provided). Dalam

sebuah pasar hipotesis, responden mengkombinasikan informasi benda

lingkungan yang diberikan kepadanya dan bagaimana pasar akan bekerja.

Tanggapan responden dapat dipengaruhi oleh pasar hipotesis maupun

komoditas spesifik yang diinformasikan pada saat survei.

3) Bias yang Berhubungan dengan Kondisi Kejiwaan Responden (Mental

Account Bias)

Bias ini terkait dengan langkah proses pembuatan keputusan seorang

individu dalam memutuskan seberapa besar pendapatan, kekayaan, dan

waktunya yang dapat dihabiskan untuk benda lingkungan tertentu dalam

periode waktu tertentu.

34

4) Kesalahan Pasar Hipotetik (Hypotetical Market Error)

Kesalahan pasar hipotetik terjadi jika fakta yang ditanyakan kepada

responden di dalam pasar hipotetik membuat tanggapan responden berbeda

dengan konsep yang diinginkan peneliti sehingga nilai WTP yang dihasilkan

menjadi berbeda dengan nilai yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan studi

CVM tidak berhadapan dengan perdagangan aktual, melainkan suatu

perdagangan atau pasar yang murni hipotetik yang didapatkan dari

pertemuan antara kondisi psikologi dan sosiologi prilaku. Terjadinya bias

pasar hipotetik bergantung pada :

a) Bagaimana pertanyaan disampaikan ketika melaksanakan survei.

b) Seberapa realitistik responden merasakan pasar hipotetik akan terjadi.

c) Bagaimana format WTP yang digunakan.

Solusi untuk menghilangkan bias ini salah satunya yaitu desain dari alat

survei sedemikian rupa sehingga maksimisasi realitas dari situasi yang akan

diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk kekonsistenan dari

responden.

3.1.1.3 Tahap-tahap Contingent Valuation Method (CVM)

Menurut Hanley dan Spash (1993), beberapa tahap dalam penerapan

analisis CVM, yaitu :

1) Membuat Pasar Hipotetik

Tahap awal dalam menjalankan CVM adalah membuat pasar hipotetik.

Pasar hipotetik tersebut dibangun untuk memberikan suatu alasan mengapa

masyarakat seharusnya membayar terhadap suatu barang/jasa lingkungan

dimana tidak terdapat nilai dalam mata uang berapa harga barang/jasa

35

lingkungan tersebut. Dalam pasar hipotetik harus menggambarkan

bagaimana mekanisme pembayaran yang dilakukan. Skenario kegiatan

harus diuraikan secara jelas dalam kuisioner sehingga responden dapat

memahami barang lingkungan yang dipertanyakan serta keterlibatan

masyarakat dalam rencana kegiatan. Selain itu, di dalam kuisioner juga

perlu dijelaskan perubahan yang akan terjadi jika terdapat keinginan

masyrakat membayar.

2) Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP

Penawaran besarnya nilai WTP dilakukan dengan menggunakan kuesioner.

Setelah itu dilakukan kegiatan pengambilan sampel. Hal ini dapat dilakukan

melalui wawancara dengan tatap muka, dengan perantara telepon, atau surat.

Terdapat empat metode yang dapat digunakan untuk memperoleh

penawaran besarnya nilai WTP responden (Hanley dan Spash, 1993), yaitu:

a) Bidding Game adalah metode tawar-menawar dimana responden

ditawarkan sebuah nilai tawaran yang dimulai dari nilai terkecil hingga

nilai terbesar sehingga mencapai nilai WTP maksimum yang sanggup

dibayarkan responden.

b) Open-ended Question adalah metode yang memberikan pertanyaan

terbuka kepada responden tentang WTP maksimum yang mampu

mereka bayarkan dengan tidak ada nilai tawaran sebelumnya sehingga

tidak menimbulkan bias titik awal (starting point bias). Kelebihan

metode ini yaitu responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa

mempengaruhi nilai yang akan diberikan. Kelemahan metode ini yaitu

36

nilai yang diberikan kurang akurat dan variasi yang dihasilkan terlalu

besar.

c) Payment Card adalah metode yang menawarkan kepada responden nilai

tawaran yang disajikan dalam bentuk kisaran nilai dalam sebuah kartu

yang terdiri dari berbagai nilai kemampuan untuk membayar dimana

responden dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang sesuai

dengan preferensinya. Metode ini pada awalnya dikembangkan untuk

mengatasi bias titik awal dari metode tawar-menawar.

d) Closed-ended Referendum adalah metode yang memberikan sebuah

nilai tawaran tunggal kepada responden, baik responden setuju ataupun

tidak setuju dengan nilai tersebut. Metode ini menawarkan responden

jumlah uang tertentu dan menanyakan apakah respnden mau membayar

atau tidak sejumlah uang untuk memperoleh peningkatan kualitas

lingkungan.

3) Memperkirakan Nilai Tengah dan Nilai Rata-Rata WTP

Setelah data mengenai nilai WTP terkumpul, tahap selanjutnya adalah

menghitung nilai tengah (median) dan nilai rata-rata (mean) dari WTP

tersebut. Nilai tengah digunakan apabila terjadi rentang nilai penawaran

yang terlalu jauh. Jika penghitungan nilai penawaran menggunakan rata-

rata, maka akan diperoleh nilai yang lebih tinggi dari yang sebenarnya. Oleh

karena itu, lebih baik menggunakan nilai tengah karena nilai tengah tidak

dipengaruhi oleh rentang penawaran yang cukup besar. Nilai tengah

penawaran selalu lebih kecil daripada nilai rata-rata penawaran.

37

4) Memperkirakan Kurva WTP

Suatu kurva WTP dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai WTP

sebagai variabel dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai

tersebut sebagai variabel independen. Kurva WTP ini dapat digunakan

untuk memperkirakan perubahan nilai WTP karena perubahan sejumlah

variabel independen yang berhubungan dengan mutu lingkungan. Hubungan

antara variabel bebas dan variabel terikat dapat berkorelasi linier dengan

bentuk persamaan umum sebagai berikut :

WTPi = f(Yi, Ei, Ki, Ai, Qi)

dimana i adalah responden ke-i.

5) Menjumlahkan Data

Penjumlahan data merupakan proses dimana rata-rata penawaran

dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Bentuk ini sebaiknya

termasuk seluruh komponen dari nilai relevan yang ditemukan seperti nilai

keberadaan dan nilai penggunaan.

6) Mengevaluasi Penggunaan CVM

Pada tahap ini dilakukan penilaian sejauh mana penerapan CVM telah

berhasil dilakukan. Penilaian tersebut dilakukan dengan memberikan

pertanyaan-pertanyaan seperti apakah responden benar-benar mengerti dan

memahami mengenai pasar hipotetik, berapa banyak kepemilikan responden

terhadap barang/jasa lingkungan yang terdapat dalam pasar hipotetik,

seberapa baik pasar hipotetik yang dibuat dapat mencakup semua aspek

barang/jasa lingkungan, asumsi apa yang diperlukan untuk menghasilkan

38

nilai tengah dan menggambarkan nilai tawaran agregat, dan pertanyaan

sejenis lainnya.

3.1.1.4 Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam organisasi pengoperasian

CVM, yaitu :

1) Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kredibilitas dan realitas.

2) Alat pembayaran yang digunakan dan atau ukuran kesejahteraan (WTP)

sebaiknya tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang terkait di

masyarakat.

3) Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang

publik yang dimaksud dalam kuisioner dan alat pembayaran untuk

penawaran mereka.

4) Jika memungkinkan, ukuran WTP sebaiknya dicari, karena responden

sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan.

5) Ukuran contoh yang cukup besar sebaiknya dipilih untuk mempermudah

perolehan selang kepercayaan dan reabilitas.

6) Pengujian kebiasaan, sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi uuntuk

memperkecil strategi bias secara khusus.

7) Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi.

8) Diperlukan pengetahuan dengan pasti jika contoh memiliki karakteristik

yang sama dengan populasi dan penyesuaian diperlukan.

9) Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali untuk melihat jika mereka setuju

dengan harapan yang tepat. Nilai minimum dari 15% untuk R adjusted

39

direkomendasikan oleh Mitchell dan Carson (1989) dalam Hanley dan

Spash (1993).

3.1.2. Regresi Linier Berganda

Menurut Gujarati (2003), model ekonometrika yang baik harus memenuhi

tiga kriteria yaitu kiteria ekonometrika, statistika, dan ekonomi. Berdasarkan

kriteria ekonometrika, model harus sesuai dengan asumsi klasik, artinya harus

terbebas dari gejala heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas.

Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji F, uji t, dan

koefisien determinasi (R2). Berdasarkan kriteria ekonomi, tanda dan besarnya

variabel-variabel eksogen dalam model harus seesuai dengan hipotesis, kecuali

pada kondisi-kondisi tertentu yang bisa dijelaskan. Metode statistik inferensia

yang digunakan yaitu model regresi berganda dengan metode pendugaan kuadrat

terkecil OLS (Ordinary Least Square) yang didasarkan pada asumsi yang ada.

Pada regresi berganda (multiple regression model) diasumsikan bahwa

peubah tak bebas (respons) Y merupakan fungsi linier dari beberapa peubah bebas

X1, X2, ... , Xk dan komponen sisaan ε (error). Persamaan model regresi liner

berganda secara umum adalah sebagai berikut:

Yi = β0 + β1X1i + β2X2i + β3X3i + ... + βkXki + εi

dengan i menunjukkan nomor pengamatan dari 1 sampai N untuk data populasi

atau sampai n untuk data contoh (sample). Xki merupakan pengamatan ke-i untuk

peubah bebas Xk . Koefisien β1 dapat merupakan intersep model regresi berganda.

Metode OLS dilakukan dengan pemilihan parameter yang tidak diketahui

sehingga jumlah kuadrat kesalahan pengganggu (Residual Sum of Square atau

40

RRS) yaitu Σei2 = minimum (terkecil). Asumsi utama yang mendasari model

regresi berganda dengan metode OLS adalah sebagai berikut (Firdaus, 2004) :

1) Nilai yang diharapkan bersyarat (Conditional Expected Value) dari εi

tergantung pada Xi tertentu adalah nol.

2) Tidak ada korelasi berurutan atau tidak ada korelasi (non-autokorelasi)

artinya dengan Xi tertentu simpangan setiap Y yang manapun dari nilai rata-

ratanya tidak menunjukkan adanya korelasi, baik secara positif atau negatif.

3) Varians bersyarat dari € adalah konstan. Asumsi ini dikenal dengan nama

asumsi homoskedastisitas.

4) Variabel bebas adalah nonstokastik yaitu tetap dalam penyampelan berulang

jika stokastik maka didistribusikan secara independent dari gangguan €.

5) Tidak ada multikolinearitas antara variabel penjelas satu dengan yang

lainnya.

6) € didistibusikan secara normal dengan rata-rata dan varians yang diberikan

oleh asumsi 1 dan 2.

Apabila semua asumsi yang mendasari model tersebut terpenuhi maka

suatu fungsi regresi yang diperoleh dari hasil perhitungan pendugaan dengan

metode OLS dari koefisien regresi adalah penduga tak bias linier terbaik (best

linier unbiased estimator atau BLUE). Sebaliknya jika ada asumsi dalam model

regresi yang tidak terpenuhi oleh fungsi regresi yang diperoleh maka kebenaran

pendugaan model tersebut atau pengujian hipotesis untuk pengambilan keputusan

dapat diragukan. Penyimpangan 2, 3, dan 5 memiliki pengaruh yang serius

sedangkan asumsi 1,4, dan 6 tidak.

41

3.1.3. Instrumen Ekonomi

Instrumen ekonomi adalah sebagian dari kebijakan lingkungan dalam

mengendalikan dampak negatif yang terjadi pada lingkungan melalui mekanisme

pasar (Fauzi, 2007). James (1997) dalam Fauzi (2007) mendefinisikan instrumen

ekonomi untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sebagai

mekanisme administratif yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi

perilaku siapapun yang mendapatkan nilai dari sumber daya, memanfaatkannya,

atau menyebabkan dampak sebagai efek lain atau eksternalitas yang disebabkan

aktivitas mereka.

Fungsi instrument ekonomi menurut Panayotou (1994) dalam Fauzi (2007)

menyebutkan paling tidak ada empat hal utama menyangkut fungsi instrumen

ekonomi dalam pengelolaan lingkungan, yaitu :

1) Menginternalisasikan eksternalitas dengan cara mengoreksi kegagalan pasar

melalui mekanisme full cost pricing dimana biaya subsidi, biaya lingkungan

dan biaya eksternalitas diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

2) Mampu mengurangi konflik pembangunan versus lingkungan, bahkan jika

dilakukan secara tepat dapat menjadikan pembangunan ekonomi sebagai

wahana (vehicle) untuk perlindungan lingkungan dan sebaliknya.

3) Instrumen ekonomi berfungsi untuk menganjurkan efisiensi dalam

penggunaan barang dan jasa dari sumber daya alam sehingga tidak

menimbulkan kelebihan konsumsi karena pasar, melalui isntrumen ekonomi

akan memberikan sinyal yang tepat terhadap penggunaan yang tidak efisien.

4) Instrumen ekonomi dapat digunakan sebagai sumber penerimaan (revenue

generating).

42

Instrumen ekonomi dapat dibagi berdasarkan tiga kategori umum menurut

dampaknya terhadap keuangan pemerintah (Fauzi, 2007), yaitu :

1) Instrumen peningkatan revenue, seperti pajak, dan biaya perijinan yang

dapat meningkatkan biaya relatif dari teknologi intensif dan produk emisi.

Instrumen ini menciptakan insentif yang terus menerus pada inovasi untuk

meningkatkan efisiensi emisi atau untuk mengganti pada pengganti emisi

yang lebih rendah, serta memberikan penerimaan bagi pemerintah.

2) Instrumen Budget-neutral, yang meningkatkan biaya relatif emisi dan atau

teknologi intensif energi dan produk, namun tidak meningkatkan

penerimaan bagi pemerintah. Kategori ini meliputi peraturan yang bersifat

market-based, yang mengharuskan perusahaan memenuhi standar baku

mutu tetapi membolehkan mereka untuk menjual belikannya dengan pihak

lain untuk memenuhi komitmen standar ini. Instrumen budget-neutral ini

dapat dikhususkan pada teknologi (misalnya renewable portfolio standard

atau emisi kendaraan bermotor), atau dapat juga dikhususkan pada kinerja

(misalnya domestic emission trading program).

3) Instrumen Ekspenditur, seperti subsidi dan insentif lainnya yang

menurunkan biaya relatif dari teknologi dan produk dengan emisi yang lebih

rendah dan atau intensitas energi, membuatnya semakin kompetitif dengan

teknologi yang ada. Instrumen ini dapat ditujukan pada keputusan yang ada

(misalnya melalui akselerasi depresiasi untuk tujuan pajak) atau biaya

kompetitif jangka panjang melalui pembiayaan atau penelitian,

pengembangan dan komersialisasi teknologi baru. Dengan membiayai

43

subsidi ini, pemerintah layaknya harus meningkatkan pajak lainnya atau

menurunkan ekspenditur.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Populasi penduduk Jakarta meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini

disebabkan karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan yang memiliki daya

tarik besar untuk mencari pekerjaan sehingga arus urbanisasinya besar. Populasi

penduduk yang besar berimplikasi pada peningkatan permintaan transportasi

untuk memudahkan aktivitas sehari-hari. Hal tersebut akan mengakibatkan jumlah

kendaraan semakin meningkat, sehingga menimbulkan kemacetan yang semakin

sulit diatasi di kota Jakarta. Kemacetan ini menimbulkan berbagai masalah yang

erat kaitannya dengan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Kemacetan menimbulkan

ketidaklancaran lalu lintas, sehingga berimplikasi pada peningkatan konsumsi

BBM yang dapat menyebabkan pencemaran udara akibatnya lingkungan menjadi

rusak dan tidak sehat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah di sekor

transportasi agar sustainable transportation dapat tercapai dan kualitas

lingkungan di kota Jakarta dapat diperbaiki.

Electronic Road Pricing (ERP) merupakan kebijakan yang bertujuan

untuk mengendalikan laju penggunaan kendaraan pribadi dimana setiap kendaraan

yang melintasi zona ERP tersebut dikenai biaya dengan harga tertentu. Kebijakan

ini bertujuan agar kelancaran lalu lintas dapat dicapai sehingga masalah

lingkungan yang berdampak pula pada sosial ekonomi masyarakat dapat diatasi.

Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk melihat WTP masyarakat yang

mencerminkan nilai ERP yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah. Hasil

44

dari pemberlakuan ERP berupa pendapatan daerah yang digunakan sebagai dana

perbaikan dan pengadaan transportasi publik yang layak dan nyaman.