eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/bab ii.docx · web viewtugas akhir : keabsahan nasab...
TRANSCRIPT
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Perkawinan
Perkawinan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dan perempuan
pada dasarnya agar terhindar dari tindakan menyimpang yang dianggap
melanggar norma masyarakat dan hukum positif Indonesia. Selain itu
perkawinan salah satu tindakan sederhana yang dapat menyempurnakan
sebuah kehidupan, yang dimana nantinya melahirkan suatu keturunan dan
dapat menjadi penerus keturunannya. Pada bab ini akan membahas secara
mendasar dan menyertakan teori-teori antara lain terkait dengan pengertian
perkawinan, tujuan perkawinan, dasar Hukum perkawinan, syarat-syarat
sahnya perkawinan yang akan dibahas pada sub-sub bab secara singkat akan
tetapi dapat dipahami oleh setiap pembaca.
1. Pengertian Perkawinan
Secara etimologis perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
memiliki arti melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh untuk
membentuk keluarga dengan lawan jenisnya.38 Sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perkawinan berasal dari kata kawin yang
bermakna membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri;
menikah.39 Kata lain dari Perkawinan ialah Pernikahan dan mempunyai arti
yang sama.40
38 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Cetakan Ke-1), Kencana, Bogor, 2003, hal. 7.39 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
2001, hal. 518.40 Abdul Rahman Ghazaly, Op.cit.
21
Kemudian beberapa pengertian perkawinan yang diutarakan oleh
beberapa para ahli serta ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai
perkawinan.
1.1. Menurut Pendapat Ahli
Terdapat beberapa para ahli yang mengutarakan pendapatnya
mengenai pengertian dari Perkawinan itu sendiri, yakni :
a. Menurut Prof. Subekti, SH, Perkawinan adalah pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu
yang lama.41
b. Menurut Tengku Erwinsyahbana mengutip dari pendapat Sayuti
Thalib, Perkawinan sebagai suatu perjanjian suci antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu
keluarga.42
1.2. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Secara yuridis pengertian perkawinan telah tercantum di dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1, yang berbunyi
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.43
Dari pengertian perkawinan diatas dapat diketahui bahwa
terdapat lima unsur didalam pengertian perkawinan, yaitu :
41 Subekti dan Tjitrosudibio, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 23.42 Tengku Erwinsyahbana, Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan
Pancasila, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 No. 2, Februari 2012, hal. 16743 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1.
22
a. Adanya Ikatan Lahir Batin. Perkawinan dapat dikatakan sebagai
suatu perjanjian serta persetujuan yang menimbulkan suatu ikatan
secara lahiriyah maupun batiniah antara seorang pria dengan
seorang perempuan.
b. Antara Seorang Laki-Laki Dengan Seorang Perempuan.
Perkawinan yang dilaksanakan haruslah dilakukan oleh seseorang
yang berbeda jenis kelamin, karena salah satu tujuan dari
perkawinan itu sendiri adalah untuk menghasilkan suatu keturunan.
c. Sebagai Suami Isteri. Setelah dilaksanakannya perkawinan tentu
saja scara yuridis statusya juga berubah, yang dimana laki-laki
berubah statusnya sebagai suami dan perempuan berubah statusnya
berubah sebagai isteri
d. Adanya Tujuan. Pelaksanaan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal, sehingga pelaksanaan
perkawinan tidak boleh dalam jangka waktu tertentu saja ataupun
sebagai ajang coba-coba.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan mempunyai
hubungan erat dengan agama dan kerohanian yang dimana terdapat
unsur keagamaan didalamnya bukan hanya keperdataan saja.
Karena pelaksanaan perkawinan merupakan untuk melaksanakan
anjuran Allah SWT yang merupakan termasuk dalam kategori
melakukam ibadah.
23
1.3. Kompilasi Hukum Islam
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan
tercantum pada Pasal 2 yakni “Perkawinan hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalizan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.44
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa
perkawinan atau yang lebih dikenal dengan istilah pernikahan dalam
hukum Islam adalah pernikahan yang dilaksanakan untuk mentaati
serta melaksanakan perintah Allah, yang dimana perbuatan tersebut
dikategorikan sebagai suatu ibadah.
Sehingga dari beberpa pengertian perkawinan yang telah
dikemukakan oleh para ahli serta ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai perkawinan dapat dipahami bahwa perkawinan merupakan
sebuah hubungan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang hidup bersama guna memenuhi kebutuhan
biologis dan menciptakan suatu hubungan timbal balik antara kedua belah
pihak yang diharapkan dapat menjadi suatu keluarga yang bahagia secara
lahir dan batin guna dapat mewujudkan sebuah keluarga yang kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.45
2. Tujuan Perkawinan
44 Kompilasi Hukum Islam Pasal 2.45 Abdul Rahman Ghazaly, Op.cit, hal 22-23.
24
Tiap warga negara memiliki hak-hak dan kewajiban pada masing-
masing individu. Salah satu hak warga negara Indonesia adalah membentuk
keluarga dan melanjutkan keturuannya, hal tersebut tercantum pada
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 B ayat (1)
yang menyebutkan bahwa :
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah”.46
Kemudian beberapa tujuan perkawinan yang diutarakan oleh
beberapa para ahli serta ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai
perkawinan.
1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pengaturan perihal perkawinan itu sendiri telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mulai
berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 yang kemudian Undang-Undang
Perkawinan tersebut mengalami beberapa perubahan sehingga
diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yang dimana undang-undang tersebut mulai berlaku pada
tanggal 15 Oktober 2019. Selain itu terdapat pula Peraturan
Pelaksananya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
46 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 B ayat (1)
25
Peraturan perundang-undangan tersebut, mengatur megenai
perkawinan secara nasional, yang secara otomatis berlaku bagi semua
masyarakat yang ada di Indonesia tanpa terkecuali, tidak memandang
ras maupun golongan-golongan yang ada di Indonesia.47
Tujuan perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan diatur dalam pasal 1 yang dimana
tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.48 Kemudian selanjutnya dijelaskan pula
bahwa suami isteri perlu untuk saling membantu dan melengkapi agar
dapat membantu untuk mengembangkan dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan material masing-masing pihak.49
Hal ini dikarenakan perkawinan mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan agama. Sehingga dalam hal ini perkawinan bukan
hanya mempunyai unsur lahir secara jasmani, akan tetapi terdapat
unsur batin yang sama-sama mempunyai peranan penting
didalamnya.50
1.2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
47 Fuad Buchari, Kedudukan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hukum, Volume 1 No. 2, Oktober 2014, hal. 1.
48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1.49 Santoso, Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan
Hukum Adat, Jurnal Yudisia, Volume 7 No. 2, Desember 2016, hal. 419.50 Ibid.
26
Kompilasi Hukum Islam atau yang sering disingkat dengan
sebutan KHI merupakan pengaturan yang disusun dengan
memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat Islam yang ada di
Indonesia.51 Terwujudnya KHI didasarkan pada keinginan untuk
menyeragamkan hukum Islam yang ada di Indonesia, dikarenakan
pada saat sebelum KHI dikeluarkan, para hakim Pengadilan Agama
saat membuat putusan dalam suatu perkara hukum selalu berpedoman
pada kitab-kitab fiqih yang dimana terdapat beberapa pemahaman
yang berbeda di dalamnya.52
Sehingga tidak sedikit pula putusan yang telah dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama hasilnya berbeda-beda, padahal perkara hukum
yang dibahas sama. Dikarenakan hal tersebut, maka kemudian
diterbitkanlah KHI untuk mewujudan keseragaman pemahaman dan
kejelasan bagi kesatuan hukum Islam untuk dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan para hakim dalam memutuskan suatu perkara
yang berada di lingkungan Pengadilan Agama.53
Penyebarluasan KHI dilaksanakan melalui instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. Ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam KHI mengenai hukum perkawinan, hukum kewarisan,
dan hukum perwakafan.54
Tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat
pada Pasal 3 yang dimana menyatakan bahwa tujuan perkawinan yakni
51 Hikmatullah, Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jurnal AJUDIKASI, Volume 1 No. 2, Desember 2017, hal. 50.
52 Ibid, hal. 42.53 Ibid.54 Kompilasai Hukum Islam.
27
guna mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
dan rahmah. Dikarenakan dengan adanya pelaksanaan perkawinan
dapat menambah kesejahteraan umat baik secara individu ataupun
bermasyarakat, yang dimana kesejahteraan kelurga merupakan suatu
pondasi agar terwujudnya kesejahteraan individu sekaligus
kesejahteraan masyarakat.55
3. Syarat Sahnya Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2
menyatakan bahwa :
1. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.56
Sehingga saat akan melaksanakan perkawinan terdapat persyaratan-
persyaratan yang diatur agar perkawinan yang dilaksanakan dapat
dikatakan sah dimata hukum.
Syarat Perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan,
apabila terdapat salah satu dari persyaratan yang telah ditentukan tidak
dipenuhi, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah di mata hukum.57
Syarat sah perkawinan dibagi menjadi 2 macam, yakni
syarat sah formil, dan materil. Syarat perkawinan formil
lebih kepada tata cara ataupun prosedur pelaksanaan.
Kemudian syarat meteril yakni berupa syarat-syarat apa saja yang harus
55 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2019, hal. 9
56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan (2).57 Kang Yadi, Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
http://www.apik-web.blogspot.com, diakses pada 26 Februari 2019.
28
dipenuhi sebelum dilaksanakannya suatu perkawinan oleh masing-masing
pihak calon mempelai.
Pada pembahasan kali ini akan lebih berfokus mengenai syarat
materiil perkawinan yang dimana telah diatur berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Namun sebelumnya perlu
diketahui bahwa syarat materiil itu sendiri dibagi menjadi 2 macam. Syarat
materiil yang pertama yakni syarat materiil absolut atau mutlak, yang
dimana syarat materiil ini mengatur mengenai syarat-syarat dasar yang
harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai perihal batasan umur,
persetujuan, dan ijin.58
Syarat materiil yang kedua adalah syarat materiil relatif yang
dimana syarat ini mengatur mengenai adanya larangan perkawinan antara
seorang dengan seseorang tertentu.59 Namun Pada pembahasan kali ini
hanya akan mengutarakan mengenai syarat materiil obsolut atau mutlak
yang dimana menjadi dasar sah tidaknya suatu perkawinan, sedangkan
untuk syarat materiil relatif akan diutarakan dalam pembahasan
selanjutnya.
Berikut beberapa ketentuan yang mengatur mengenai syarat-syarat
sahnya Perkawinan.
58 Komariah, Op.cit, hal. 37-40.59 Ibid.
29
3.1. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Bahwasannya berdasarkan Undang-Undang Perkawinan,
syarat-syarat materiil absolut atau mutlak diatur dalam pasal 6
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 6
terdiri dari 6 ayat dan Pasal 7 terdiri dari 4 ayat, yakni sebagai berikut :
a. Persetujuan
Menurut Pasal 6 ayat (1), perkawinan harus berdasarkan
persetujuan kedua calon mempelai. Sehingga perkawinan tersebut
tidak terdapat unsur paksaan di dalam pelaksanaannya. Dengan
kata lain murni atas dasar suka sama suka.60
b. Usia Mencukupi
Menurut Pasal 7 ayat (1), batas umur saat akan
melaksanakan perkawinan yakni 19 tahun untuk calon mempelai
pria dan calon mempelai wanita.61 Akan tetapi apabila kedua calon
belum memenuhi batasan usia atau terjadi penyimpangan usia
untuk melaksanakan perkawinan, maka orang tua calon mempelai
laki-laki ataupun perempuan harus meminta dispensasi kepada
pengadilan dengan alasan yang sangat mendesak dan disertai
dengan bukti-bukti pendukung yang cukup.62 Selain itu disaat
60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (1)61 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1).62 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (2).
30
pengadilan akan memberikan dispensani haruslah mendengarkan
terlebih dahulu pendapat dari kedua calon mempelai yang akan
melaksanakan perkawinan tersebut.63
Kemudian berdasarkan Pasal 6 ayat (2) menerangkan
bahwa, apabila kedua calon mempelai belum mencapai umur 21
tahun, maka untuk melangsungkan perkawinan tersebut haruslah
mendapat izin dari masing-masing kedua orang tua calon
mempelai.64 Hal ini dikarenakan dianggap belum cukup untuk
diakatakan dewasa secara hukum, yang dimana belum dianggap
cakap dalam melakukan tindakan hukum.65
c. Wali
Menurut Pasal 6 ayat (3), (4) dan 5, apabila salah seorang
dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam hal lain
tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka izin pelaksanaan
perkawinan dapat dimintakan kepada orang tua yang masih hidup
ataupun orang tua yang mampu mengatakan kehendaknya.66
Akan tetapi jika kedua orang tuanya meninggal dunia
ataupun tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka izin
pelaksanaan perkawinan dapat diperoleh dari wali. Wali yang
dimaksud merupakan seseorang yang memelihara ataupun keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalah garis keturunan lurus
63 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (3).
64 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2)65 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 330.66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (3)
31
keatas selama wali terasebut masih hidup dan dapat menyatakan
kehendaknya.67
Akan tetapi berbeda halnya apabila orang tua atau wali
tidak menyatakan pendapatnya, maka calon mempelai dapat
meminta izin pelaksanaan perkawinan ke Pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal. Dan dalam hal ini Pengadilan baru dapat
memberikan izin pelaksanaan perkawinan tersebut harus
mendengar pendapat orang tua ataupun walinya terlebih dahulu.68
3.2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Berikut syarat sahnya perkawinan yang harus terpenuhi saat
ingin melaksanakan perkawinan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
yang tercantum pada Pasal 14. Dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum
Islam ini menyebutkan lima rukun perkawinan yang dijadikan sebagai
syarat sahnya perkawinan, yakni sebagai berikut :
a. Calon Mempelai
Calon mempelai terdiri dari seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-
syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai diatur
dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18.
Menurut pasal 15, kedua calon mempelai telah mencapai
umur yang di tetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, yakni calon suami minimal berusia 19
tahun dan calon isteri minimal berusia 16 tahun.69 Akan tetapi
67 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (4)68 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (5)69 Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (1)
32
apabila calon mempelai yang berusia belim mencapai 21 tahun
harus mendapatkan izin pelaksanaan perkawinan dari orang tua,
wali ataupun pengadilan.70
Menurut Pasal 16 dan 17, pelaksanaan perkawinan harus
berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai.71 Persetujuan dari
calon mempelai wanita dapat berupa penyataan tegas disertai
dengan tulisan, lisan atau isyarat. Dan apabila calon mempelai
wanita hanya diam saja berarti calon mempelai wanita setuju
dengan pelaksanaan perkawinan tersebut. Dikarenakan dalam hal
ini sikap calon mempelai tersebut dianggap tidak ada penolakan.72
Selain itu sebelum berlangsungnya perkawinan, para
pegawai pencatat nikah terlebih dahulu menanyakan persetujuan
dua calon mempelai dengan didampingi oleh 2 orang saksi nikah.73
Dan apabila salah satu calon mempelai tidak menyetujuinya, maka
pelaksanaan perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan.74
Apabila dalam hal ini calon mempelai menderita tuna wicara atau
tuna rungu persetujuan dapat dilakukan dengan tulisan atau isyarat
yang dapat dimengerti.75
Dan ketentuan yang lebih penting bagi para calon mempelai
yakni tidak ada hubungan larangan perkawinan antara calon
mempelai suami dengan calon mempelai isteri.76
70 Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (2)71 Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (1)72 Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (2)73 Kompilasi Hukum Islam Pasal 17 ayat (1)74 Kompilasi Hukum Islam Pasal 17 ayat (2)75 Kompilasi Hukum Islam Pasal 17 ayat (3)76 Kompilasi Hukum Islam Pasal 18
33
b. Wali Nikah
Wali nikah adalah seseorang yang bertindak untuk
menikahkan calon mempelai wanita. Selain itu terdapat dua jenis
wali nikah, yakni wali nasab dan wali hakim. Berikut syarat serta
penjelasan mengenai wali nikah yeng telah diatur dalam Pasal 19
sampai dengan Pasal 23.
1) Wali Nasab
Wali nasab terdiri dari empat kelompok, pertama
kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek
dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat
saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman,
yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan
keturunan laki-laki mereka. Dan keempat, kelompok saudara
laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan
laki-laki mereka. 77
Sehingga dalam hal ini yang diprioritaskan sebagai wali
nikah yakni :78
a) Ayah
b) Kakek Dari Ayah
c) Saudara Laki-Laki Kandung
d) Saudara Laki-Laki Sebapak
e) Keponakan Laki-Laki Dari Saudara Laki-Laki Kandung
77 Kompilasi Hukum Islam Pasal 21 ayat (1)78 Anggi Rosalia, Urutan Wali Nikah Dalam Islam, https://dalamislam.com, diakses pada 19
Oktober 2019.
34
f) Keponakan Laki-Laki Dari Saudara Laki-Laki Sebapak
g) Paman, Saudara Kandung Ayah
h) Paman, Saudara Ayah Yang Sebapak
i) Sepupu, Keponakan Saudara Kandung Ayah
j) Sepupu, Keponakan Saudara Ayah Yang Sebapak
Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya
sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan
kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah,
dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-
syarat wali.79 Akan tetapi berbeda halnya apabila wali nikah
yang paling berhak tidak dapat memenuhi syarat sebagai wali
yang dimana wali nikah tersebut menderita tuna wicara, tuna
rungu atau sudah udzur, maka yang berhak menjadi wali nikah
bergeser menurut urutannya.80
2) Wali Hakim
Wali hakim merupakan wali nikah yang ditunjuk oleh
Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi
hak serta kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.81
Dalam hal ini wali hakim baru dapat bertindak apabila wali
nasab tidak ada ataupun tidak mungkin dapat dihadirkan karena
tidak mengetahui tempat tinggalnya.82 Akan tetapi apabila wali
79 Kompilasi Hukum Islam Pasal 21 ayat (4).80 Kompilasi Hukum Islam Pasal 2281 Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf b.82 Kompilasi Hukum Islam Pasal 23 ayat (1).
35
adlal atau eenggan, maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah adanya putusan dari Pengadilan
Agama mengenai wali tersebut.83
c. Saksi Nikah
Saksi nikah merupakan seseorang yang ditunjuk oleh calon
ataupun keluarga yang akan melaksanakan perkawinan untuk turut
hadir dan menyaksikan saat terjadinya akad nikah dan
penandatanganan akta nikah. Berikut uraian pasal-pasal yang
menerangkan mengenai saksi nikah yang terdapat pada Pasal 24
sampai dengan Pasal 26.84
Saksi merupakan salah satu rukun dalam pelaksanaan akad
nikah, yang dimana dalam pelaksanaannya harus dihadiri dua orang
saksi.85 Seseorang yang dapat ditunjuk sebagai saksi yakni seserang
laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatannya serta
tidak menderita tuna rungu atau tuli.86 Kemudian selain itu saksi
tersebut juga harus hadir langsung dalam pelaksanaan akad nikah
untuk menyaksikan secara langsung pelaksanaan perkawinan serta
penandatanganan akta nikah saat dilangsungkannya akad nikah.87
d. Akad Nikah
Akad nikah merupakan kunci dari pelaksanaan perkawinan
itu sendiri.88 Dikarenakan akad nikah adalah upacara keagamaan
83 Kompilasi Hukum Islam Pasal 23 ayat (2).84 Kompilasi Hukum Islam Pasal 24 sampai dengan Pasal 26.85 Kompilasi Hukum Islam Pasal 24.86 Kompilasi Hukum Islam Pasal 25.87 Kompilasi Hukum Islam Pasal 26.88 Mud A.W., Pengertian Dasar Acara Akad Nikah, www.fimela.com, diakses pada 2 Oktober
2019.
36
untuk menyatakan kesepakatan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk mengikatkan dirinya dalam suatu ikatan
perkawinan,89 yang diresmikan dihadapan manusia dan Tuhan.90
Berikut pengaturan mengenai akad nikah yang diatur pada Pasal 27
sampai dengan Pasal 29.
Pada saat mengucapkan ijab dan qabul antara wali nikah
dengan mempelai pria harus secara jelas dan beruntun, yang
dimana tidak terdapat selang waktu.91 Seseorang yang berhak untuk
mengucapkan qabul adalah mempelai pria pribadi.92
Namun apabila mempelai pria terdapat dalam keadaan
tertentu, pengucapan qabul dapat diwakilkan dengan cara mempelai
pria memberikan kuasa kepada pria lain dalam bentuk tertulis yang
secara tegas menegaskan bahwa penerimaan wakil atas akad nikah
tersebut adalah untuk mempelai pria.93 Akan tetapi apabila
mempelai wanita serta wali nikahnya merasa keberatan, maka
pelaksanaan akad nikah tersebut tidak dapat dilangsungkan.94
B. Tinjauan Tentang Perkawinan Incest
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Incest merupakan
hubungan seksual antara dua orang saudara kandung atau yang masih terkait
hubungan darah.95 Perbuatan Incest pada dasarnya merupakan suatu perbuatan 89 MT Hudha, Bab II Tinjauan Umum Tentang Akad Nikah, www.eprints.walisongo.ac.id,
diakses pada 2 Oktober 2019, hal. 16.90 Wikipedia, Ijab Kabul, https://id.m.wikipedia.org, diakses pada 2 Oktober 2019.91 Kompilasi Hukum Islam Pasal 27.92 Kompilasi Hukum Islam Pasal 29 ayat (1).93 Kompilasi Hukum Islam Pasal 29 ayat (2).94 Kompilasi Hukum Islam Pasal 30.95 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1990, hal. 435.
37
yang tidak dapat dibenarkan dan sangat-sangat ditentang, baik oleh agama
maupun hukum positif yang ada di Indonesia. Sehingga banyak sekali
peraturan-peraturan yang melarang terjadinya perkawinan Incest. Dan perlu
diketahui juga bahwa perkawinan Incest merupakan salah satu bentuk
pelanggaran atas syarat materiil relatif, yang dimana terdapat hubungan yang
dilarang kawin antar kedua calon mempelai.96
1. Perkawinan Incest Menurut Hukum Nasional
Beberapa ketentuan hukum nasional yang menyinggung mengenai
Incest yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam.
1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur secara khusus
mengenai Hubungan Sedarah atau Incest. Undang-Undang Perkawinan
hanya mengatur mengenai Dasar Perkawinan, Pencegahan
Perkawinan, Batalnya Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Hak dan
Kewajiban Suami-Isteri, Harta Benda Dalam Perkawinan, Putusnya
Perkawinan Serta Akibatnya, Kedudukan Anak, Hak Dan Kewajiban
Antara Orang Tua Dan Anak, Perwakilan, dan Ketentuan-Ketentuan
Lain. Walaupun Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur
mengenai Incest secara khusus. Akan tetapi Undang-Undang
Perkawinan mempertegas larangan hubungan Incest pada Pasal 8 yaitu
96 Komariah, Op.cit, hal. 39-40.
38
menganai larangan perkawinan adanya hubungan darah.97 Hubungan
darah yang dimaksud adalah adanya hubungan sedarah antar calon
mempelai baik dalam garis lurus keatas, kebawah maupun kesamping,
yakni sebagai berikut :
a. Hubungan darah garis lurus keatas dan kebawah yakni perkawinan
yang dilakukan antara :98
1) Seorang laki-laki dengan ibu kandung,
2) Seorang laki-laki dengan nenek yakni ibu dari ayah kandung
maupun ibu kandung, dan
3) Seorang laki-laki dengan anak kandung
b. Hubungan darah garis lurus menyamping yaitu perkawinan yang
dilakukan antara :99
1) Saudara, yakni dengan saudara seayah dan/atau seibu,
2) Seorang dengan saudara orang tua baik saudara kandung ayah
ataupun saudara kandung ibu, dan
3) seorang dengan saudara neneknya.
Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Perkawinan tersebut
Incest masuk sebagai salah satu kategori hubungan yang dilarang
untuk melaksanakan suatu perkawinan, yakni antara mereka yang satu
sama lain bertalian keluarga baik dalam garis lurus keatas maupun
garis lurus kebawah baik karena kelahiran yang sah maupun tidak sah
97 Ritna Makdalena M. Arunde, Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan Sedarah Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Lex Privatum, Volume 6 No. 2, April 2018, hal. 103.
98 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 huruf a.99 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 huruf b.
39
dan garis lurus menyamping, yaitu hubungan seksual antara orang tua
dengan anak, dan hubungan seksual antara sesama saudara.100.
1.2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Sama halnya dengan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi
Hukum Islam tidak mengatur secara khusus mengenai hubungan
Incest. Akan tetapi hubungan Incest merupakan salah satu hubungan
yang dilarang dalam pelaksanaan perkawinan menurut Kompilasi
Hukum Islam.
Ketentuan mengenai larangan perkawinan Incest tercantum
dalam pasal 39 ayat (1) huruf a sampa dengan huruf c, yang dimana
terdapat 3 macam yang dikategorikan sebagai hubungan Incest, yakni :
a. Hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya,
yang dimaksud adalah hubungan seksual yang dilakukan antara
seorang anak dengan orang tua kandungnya.101
b. Hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang merupakan keturunan dari ayah atau ibu, yang dimaksud
adalah hubungan seksual yang dilakukan antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan seibu kandung ataupun seayah
kandung.102
c. Hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
saudara yang melahirkannya, yang dimaksud adalah hubungan
seksual yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang
100 Ibid.101 Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 Ayat (1) huruf a.102 Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 Ayat (1) huruf b.
40
perempuan yang merupakan saudara dari ibu kandung ataupun
ayah kandung.103
2. Perkawinan Incest Menurut Hukum Islam
Dalam perkawinan tentu saja terdapat beberapa hal-hal yang
diperbolehkan, dan terdapat pula hal-hal yang tidak diperbolehkan ataupun
yang dilarang. Salah satu hal yang tidak diperbolehkan dalam pelaksanaan
perkawinan adalah adanya hubungan sedarah atau Incest.
Incest Dalam bahasa Arab adalah ghîsyân al-mahârim, sifâh al-
qurba atau zinâ al-mahârim yaitu hubungan seksual antara orang yang
diharamkan menikah di antara mereka oleh syariah,104 dikarenakan dalam
hubungan tersebut terdapat kemahraman nasab antara kedua calon
mempelai dan haram hukumnya.
Sejak 14 abad yang lalu Al-Quran sudah mewanti-wanti dan
melarang keras hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang sedarah apalagi sampai dilaksanakannya perkawinan.
Dalam hal ini Al-Qur’an sangat ketat dan jelas merinci siapa-siapa yang
tidak boleh dan dilarang serta haram untuk dinikahi,105 yakni berdasarkan
firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 23 :
م� م� م� ه�� � � م� �� ت خ� م�� خ� ٱ م� ��ا �� �� ت� ��� خ� ٱ م� ��ا �� �� خ� م� م� ه�� ه�� �� خ� م� م� ه�� �� �� خ� م� �م �ه� �� �� �� خ� م� �م ��ا �� �� خ� م� م� ه�� � � م� خ� م� �خ �� �� خ �� ر� م! م� م� ت" اا $� ر% ر�ن م'� ت) �م( م! ت+ى ت�ى , ه� ٱ م� م� م- ت. ه�� ا (� �� خ� م� ت" اا $� ت% م ه�� � � م� �� ت/ 0� ه1� � � ٱ, �ن ر� م�� �م �ه� �� �� �� خ� م� �� خ0 1� خ) �� اى ت� , �
ه ٱخ� م� ت- ه�� خ2 �� خن ت� �ن ت4ي , � ٱ م� م� ت" اا �� خ� �� م5 ت. ه�� ا !� �� خ� م� �خ �� �� 6� ��ا م7 �9ا +� �ن ت� ت� م�� خ� �� :� م%�ا �م� �� خ� , � ت=ان +� �ن ت� ت� م�� خ� �� :� ت�ى , ه� ٱ
م� �ت! (� م) �م? @� �ن �'ا A� � � ٱ, �ن ت= B D� �� E� Fخ G� ��ا ��� ت= تن �خ �� خ� م�� خ� ٱ �ن �خ �� م0�ا �� خ( �� ن�� ��
103 Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 Ayat (1) huruf c.104 M. Zia Fikri N. B., Studi Analisis Tindak Pidana Inses Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam
(Jinayah) Dan Hukum Pidana Indonesia (KUHP), Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2012, hal. 1.
105 Rusdaya Basri, Pernikahan Sedarah Dalam Perspektif Hukum Islam, http://www.iainpare.ac.id, diakses pada 8 Oktober 2019.
41
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ : 23)106
Surat An-Nisa ayat 23 dan terjemahannya tersebut, menjelaskan
siapa saja perempuan yang haram dinikahi. Perempuan itu adalah : (1) Ibu,
(2) Ibu tiri, (3) Anak kandung, (4) Saudara kandung seayah dan/atau seibu,
(5) Bibi dari ayah atau ibu, (6) Keponakan dari saudara laki-laki atau
saudara perempuan, (7) Ibu yang menyusui, (8) Saudara sesusuan, (9)
Mertua (10) Anak tiri dari istri yang sudah diajak berhubungan suami isteri,
(11) Menantu, dan (12) Saudara isteri untuk dimadu.
Berdasarkan terjemahan ayat Surat An-Nisa tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa terdapat tiga kategori perempuan yang haram untuk
dinikahi. Pertama, karena ada hubungan darah, baik hubungan nasab
(keturunan) maupun karena hubungan persusuan. Kedua, karena ada
hubungan pernikahan, baik yang dilakukan oleh ayah, diri sendiri, maupun
anak. Dan ketiga karena status perempuan yang sudah menikah. Sehingga
dari beragam kategori tersebut, subject Incest masuk dalam kategori yang
pertama.
106 TafsirQ, Surat An-Nisa’ Ayat 23, https://tafsirq.com, diakses pada 5 Oktober 2019.
42
Sehingga dalam hal ini Incest merupakan salah satu hubungan yang
dikategorikan sebagai perbuatan yang diharamkan, dan keharaman
hubungan mahram ini bersifat abadi atau selamanya. Hal ini dikarenakan
hubungan Incest tersebut merupakan hubungan yang dilakukan antara ayah
dengan anak, ibu dengan anak, sesama saudara seayah dan/atau seibu yang
dimana masih terdapat berhubungan darah ataupun nasab dan secara
terang-terangan jelas terdapat kemahraman diantaranya. Sehingga
hubungan Incest ini dianggap dapat merusak makna sebenarnya mengenai
ayah, anak, ibu, kakak, adik, paman, bibi dan seterusnya.
Keharaman Incest baik sedarah maupun sepersusuan tampaknya
dipandang sebagai hal yang mudah diterima akal sehat, hal ini berdasarkan
Hadist Riwayat Bukhori :
م خ0 1� خ) �� Fخ G� ر%ي ت= خ ,� �Iا +� Jة �� �� خ� Aم خ� �� ��ا +� Lز تLي �� تن خ� Nت �Oا ت=ه ت�ي ��� ت� م/ �� خ� Q� �� L� �� Aم % � �� Rت ت) �Sا خ, تن خ� /� -� Iخ م� خن �� Aم � � , ��ى 2� Aت � � , Tت �Eم (� �,ى ت= U� ت' �� +� ت�ي �ت خ� -� خ! �� ��� �� ت�ي ت� خ0 1� خ) �� Vت % � �� م� �� خ� �� ��ا م/ -� Iخ م� �Oا �,� T� �Iا +� Q� �� L� �� ت�ي , � �� /� -� Iخ م� �� � � E� �� Aت �خ �� �� Aم � � , ��ى 2� Aت � � م��, �Eم (� T� �Iا +� Aم ,� ��ا $� +� ت/ �� تFي �� خ, ت�ا �� � � E� �� Aت �خ �� ��
) ( . ,-خا)ي Yم �� �خ @� م7ا خ� Z� خ S� �� %� �� م/ -� Iخ م� �Oا �G� (� �?ا +� 5�Gت Fخ G� �� D� �خ '�
“dari Uqbah bin Harits bahwa dia menikahi anak perempuan Ihab bin Azis. Kenudian datang kepadanya seorang perempuan dan berkata, “Sesungguhnya ia telah menyusui Uqbah dan perempuan yang dia nikahi.” Kemudian Uqbah menjawab, “Aku tidak tahu kalau engkau telah menyusuiku dan engkau tidak pula memberitahuku.” Lalu Uqbah berkendara ke Madinah menemui Rasulullah SAW, dia bertanya kepada beliau. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana (lagi) padahal sudah dikatakan (bahwa kalian adalah bersaudara susuan)?” Setelah mendengan ucapan Rosululloh, Uqbah menceraikannya isterinya dan menikahi perempuan”.(HR Bukhari)
Selepas dari keterangan yang berupa pengakuan dari seorang ibu susuannya
tadi, maka pernikahan yang telah terjadi itu pun dibatalkan, sehingga
Uqbah menceraikan isterinya karena terdapat kemahraman pada keduanya.
43
Dari kisah tersebut, kita bisa tahu bahwa pada jaman Rosulullah
mereka sangat amat menjaga pengetahuan mengenai siapa saja yang
bersaudara susuan. Walaupun perbuatan menyusukan anak kepada orang
lain merupakan suatu kebiasaan di Arab pada jaman dahulu, namun
pengetahuan tentang hubungan mahram ini tetap terjaga. Sehingga ketika
didapati seseorang melanggar batasan ini, terdapat orang yang segera
memberitahukannya. Sehingga dengan cara beginilah Allah hendak
memberitahukan kepada kita semua betapa pentingnya untuk mengetahui
hubungan kemahraman.
Berdasarkan Hadist Sunan An-Nasa’i No. 3251-Kitab Pernikahan,
Rosululloh juga pernah bersabda :107
� أنس، أ عن ثابت، عن المغيرة، بن سليمان حدثنا قال الله، عبد أنبأنا قال نصر، بن سويد خبرنا A��� A�, �2ى Aت � � , Tم �Eم (� T� �Gا U� �� خي Z� Jم F� ت� خ [� I� خ% ��ا ,� T� �Gا
لزيد " وسلم �ى" �� �� �ها خ� م' خ\ . Vت �خ ,� ت= ت�ي �� E� خ) �� ت�ي ت[ خ� �� Uم �� خي Z� �يا م خ� Iم +� م Iخ �� � خ% �+ا Fة خي Z� T� �Gا بصانعةشيئ3احتىأستأمرربيفقامتإلى . فقالتماأنا رسولاللهصلىاللهعليهوسلميذكرك
A��� A�, �2ى Aت � � , Tم �Eم (� _� �7ا �� من ا خ� Iم خ, T� L� %� �� �ها Fت ت( خ$ �� أمر . بغير فدخل وسلم“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ali bin Hasyim dari Abdullah bin Abi Bakr dari ayahnya dari’Amrah, ia berkata; saya mendenganr Aisyah berkata; Rosulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda;” apa yang haram karena nasab adalah haram karena persusuan”.
Berdasarkan hadist tersebut dapat diketahui bahwa telah
diharamkan kepada kita untuk menikahi saudara dari satu persusuan yang
sama. Hal ini diperkuat dengan berdasarkan terjemahan Surat An-Nisa’
ayat 23 yang telah disinggung sebelumnuya terkait apa saja yang tidak
boleh sekaligus haram untuk dinikahi.
107 Abdul Rahman Ghazaly, Op.cit, hal. 77.
44
C. Tinjauan Tentang Status Anak
Secara etimologis anak diartikan dengan manusia yang masih kecil
ataupun manusia yang belum dewasa. Pengertian anak juga tertulis dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dapat disimpulkan ialah
keturunan dari seorang pria dan seorang wanita yang melahirkan
keturunannya, yang dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel
telur laki-laki yang kemudian berkembang biak di dalam rahim wanita berupa
suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut pada waktunya nanti
melahirkan keturunannya.108
1. Status Anak Menurut Hukum Nasional
Didalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
hanya mnyantumkan 2 status anak, yakni anak sah dan anak luar kawin.
1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan hanya menerangkan 2 status anak,
yang dimana terdiri dari anak sah dan anak luar kawin. Pengertian
anak sah menurut Undang-Undang Perkawinan diatur dalam 42, yakni
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.109 Sedangkan anak luar kawin diatur dalam pasal
43, yang dimana anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan.110
108 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2016, hal. 219.
109 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 42.110 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 43.
45
1.2. Kompilasi Hukum Islam
Didalam Kompilasi Hukum Islam status anak dibedakan
menjadi 2 macam, yakni anak sah dan anak luar kawin yang diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 dan 100.
Anak sah menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat 2 kategori,
yang pertama yakni anak yang dilahirkan didalam atau akibat dari
adanya perkawinan yang sah.111 Kemudian anak sah menurut
Kompilasi Hukum Islam yang kedua yakni, anak sah merupakan anak
yang lahir dari perbuatan suami dan isteri yang telah melakukan
perkawinan yang sah akan tetapi dibuahi diluar rahim dan setelah itu
dilahirkan oleh isteri tersebut,112 contohnya seperti bayi tabung.
Sedangkan yang dimaksud anak luar kawin menurut Kompilasi
Hukum Islam adalah anak yang lahir diluar perkawinan.113
2. Status Anak Menurut Hukum Islam
Mengenai status anak berdasarkan Hukum Islam hanya menjelaskan
beberapa status anak, yakni anak sah dan anak zina. Anak sah menurut
hukum Islam yakni anak yang lahir didalam perkawinan yang sah dan
fasid. Dalam hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan yang sah
adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan
berdasarkan hukum Islam tanpa harus mendaftarkan perkawinan tersebut
secara resmi di instasi terkait.114 Sedangkan perkawinan fasid adalah
111 Kompilasi Hukum Islam Pasal 99a.112 Kompilasi Hukum Islam Pasal 99b.113 Kompilasi Hukum Islam Pasal 100.114 Fitiria Nurmalisa, Tugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak), Universitas Islam Negeri Ar-Raniry,Banda Aceh, hal. 52.
46
perkawinan yang dilangsungkan tidak terdapat wali dan saksi, ataupun
saksi yang didatangkan adalah palsu.115
Kemudian anak zina, anak zina sebenarnya hampir sama dengan
pengertian anak luar kawin. Akan tetapi dalam hukum Islam sendiri tidak
mngenal istilah anak luar kawin seperti peraturan perundang-undangan
yang ada di Indonesia saat ini. Menurut Hukum Islam anak zina merupakan
anak hasil pembuahan yang dilakukan diluar perkawinan.
Anak zina dalam hukum islam diklasifikasikan menjadi 2 macam.
Pertama anak zina hasil dari hubungan diluar perkawinan atas dasar suka
sama suka, yang dimana salah satunya atau keduanya sedang terikat
perkawinan, dengan kata lain anak hasil perselingkuhan dengan laki-laki
lain yang bukan suaminya. Kemudian yang kedua adalah anak zina hasil
dari hubungan antara seorang perempuan dan laki-laki diluar perkawinan
yang dilakukan atas dasar suka sama suka.
115 Ibid, hal. 53.
47