ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · kecenderungan alih guna lahan di kecamatan...
TRANSCRIPT
ŀII. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Lahan
Tutupan lahan oleh pohon, baik berupa hutan alami atau sebagai permudaan
alam (natural regeration), pohon yang dibudidayakan, pohon sebagai tanaman pagar
maupun pohon monokultur (hutan tanaman industri) dapat mempengaruhi aliran air
sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.
2.1.1. Alih Guna Lahan
Kecenderungan alih guna lahan di Kecamatan Sumberjaya dapat dibedakan
menjadi dua. Pertama adanya satu fase deforestasi besar-besaran (dari 60 % hutan
menjadi 12 %) selama 30 tahun yang mengubah hutan menjadi kebun kopi
monokultur. Kedua, dalam selang waktu 15 tahun terjadi perubahan sebagian besar
lahan kopi monokultur menjadi kebun kopi dengan naungan. Meningkatnya harga
kopi dunia mendorong terjadinya konversi hutan menjadi kebun kopi, krisis moneter
di Asia pada taun 1997-2000 telah membawa keuntungan bagi petani kopi di
Kecamatan Sumberjaya khususnya dan propinsi Lampung umumnya (Verbist, et.al,
2004).
Pada dasarnya hutan adalah jenis penutupan lahan yang kompleks dan spesifik
serta sudah terbukti memiliki fungsi hidro-orologi yang sangat baik. Dari segi
penyusunnya, hutan dapat dipandang dari tiga komponen pokok yang masing-masing
memiliki sifat dan peranan tersendiri yaitu tegakan pohon, tanah dan bentang lahan.
Tegakan pohon dapat membantu dalam perbaikan sifat-sifat tanah yaitu melalui
produksi seresah yang cukup tinggi yang mampu meningkatkan ketebalan seresah
dan kandungan bahan organik lantai hutan. Dengan adanya seresah yang tebal
tersebut, lantai hutan memiliki kapasitas infiltrasi air yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan penutupan lahan bukan hutan (Agus,et.al, 2004)
Tanah hutan mempunyai laju infiltrasi permukaan yang tinggi dan
makroporositas yang relatif banyak sejalan dengan tingginya aktifitas biologi tanah
dan turnover perakaran, kondisi ini mempermudah air hujan yang jatuh mengalir
kedalam lapisan tanah yang lebih dalam. Alih guna lahan hutan menjadi kebun kopi
diduga menjadi penyebab utama perubahan hidrologi DAS Way Besai, perubahan
ŀ
9
fungsi hidrologi ini diduga disebabkan oleh menurunnya makroporositas dan laju
infiltrasi sebagai akibat penurunan kualitas tanah. Perbaikan makroporositas pada
sistem kopi monokultur masih diperlukan dengan beberapa strategi untuk
mempercepat perbaikannya yaitu dengan; (1). menghilangkan pengkerakan tanah
bagian atas dengan pengolahan dalam secara berkala, (2). peningkatan kandungan
bahan organik melalui peningkatan masukan seresah dengan cara penanaman
tanaman penutup tanah dan atau peningkatan diversitas tanaman pohon dalam bentuk
agroforestri multistrata (Suprayogo et al., 2004).
Pada sisi bentang alam (lansekap), secara umum hutan memiliki fungsi
hidrologi dan perlindungan tanah yang lebih baik dibandingkan dengan penutupan
lahan yang lain, hutan tidak peka terhadap erosi karena hutan memiliki filter berupa
seresah pada lapisan tanahnya. Dengan adanya fungsi hidrologi yang baik tersebut
maka hutan memiliki kemampuan untuk menyimpan air pada kejadian puncak hujan
dan kemudian melepaskan air secara bertahap sehingga dapat meredam tingginya
debit sungai pada musim hujan dan berpotensi memelihara kestabilan aliran air
sungai pada musim kemarau. Dengan demikian keberadaan tutupan lahan oleh pohon
pada suatu DAS sangat penting sekali dalam mempertahankan dan meningkatkan
kemampuan fungsi hidrologi dan perlindungan tanah DAS.
Alih guna lahan dari hutan menjadi non hutan akan mempengaruhi salah satu
fungsi DAS sebagai pemasok air dengan kualitas dan kuantitas yang baik terutama
akan dirasakan oleh masyarakat di daerah hilir, selain itu akan mengakibatkan
penurunan fungsi hutan dalam mengatur tata air, mencegah bahaya banjir, longsor
dan erosi pada DAS tersebut (Farida, et.al, 2004).
Beberapa pengelolaan lahan dalam mengatasi kerusakan fungsi hidrologi dari
DAS agar tidak menjadi lebih parah yang diakibatkan adanya alih guna lahan dari
hutan menjadi non-hutan adalah dengan pengendalian secara vegetatif atau secara
sipil teknis. Pengendalian secara vegetatif adalah usaha pengendalian erosi dengan
menggunakan tanaman termasuk sistem agroforestri, pengaturan pola tanam, strip
rumput dan lainnya (Agus, et.al, 2004).
10
Beberapa keunggulan pengendalian secara vegetatif yaitu adanya manfaat
sampingan dari hasil tanaman seperti kayu bakar, buah, hijauan pakan ternak dan
sumbangan bahan organik, sistem ini pada umumnya memerlukan biaya yang relatif
lebih rendah dibandingkan dengan pengendalian secara teknis. Beberapa
pengendalian secara vegetatif adalah sebagai berikut (Hairiah et al, 2003) :
• Sistem agroforestri, merupakan salah satu bentuk sistem pengelolaan tanaman
yang menggabungkan tanaman tahunan (kayu-kayuan) dengan jenis
komoditas tanaman pertanian (tanaman musiman).
• Tanaman penutup tanah, tanaman yang ditanam tersendiri atau ditanam
bersama-sama dengan tanaman pokok tujuannya adalah untuk menutupi tanah
dari terpaan langsung air hujan, menjaga kesuburan tanah dan menyediakan
bahan organik.
• Strip rumput, suatu sistem tanaman pangan/pertanian ditanam di areal di
antara jalur tanaman rumput pakan ternak
• Penyiangan secara parsial, teknik konservasi dengan cara tidak dilakukan
penyiangan pada jalur selebar 20-30 cm antara baris tanaman.
• Pola pengaturan tanaman, pengaturan pola tanaman dilakukan agar
permukaan tanah tertutup oleh tanaman sepanjang tahun sehingga tanah
terlindungi dari terpaan air hujan dan dari gerusan oleh aliran permukaan.
Teknik konservasi dengan cara teknik sipil pada umumnya memerlukan tenaga
dan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan konservasi secara
vegetatif, beberapa cara teknik sipil yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
(Agus et.al, 2002) :
• Gulud, pembuatan saluran/galian memanjang di antara barisan tanaman/pohon
yaitu untuk meningkatkan penyerapan air kedalam tanah dan untuk menahan
laju aliran permukaan
• Rorak, merupakan lubang kecil berukuran panjang 50 cm, lebar 50 cm dan
tinggi 50 cm yang dibuat diantara pohon, yang bertujuan untuk menampung
sisa tanaman/seresah dan lapisan tanah atas yang terangkut limpasan
permukaan (Gambar 2)
11
(a) (b)
Gambar 2. Teknik konservasi tanah berupa metode rorak (a) dan Gulud (b) di
Kecamatan Sumberjaya (Foto: Bambang Soeharto)
2.1.2. Agroforestri
Sistem dan teknologi penggunaan lahan dengan mengusahakan pepohonan
berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu dan lainya) dan tanaman
pangan dan atau pakan ternak berumur pendek pada petak lahan yang sama dalam
suatu pengaturan ruang dan waktu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam sistem-
sistem agroforestri tersebut terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsur
penyusun agroforestri tersebut (De Foresta dan Michon, 2000).
Ada beberapa difinisi tentang sistem agroforestri yang diberikan oleh
beberapa ahli, antara lain Nair (1987) mengemukakan bahwa sistem agroforestri
merupakan sistem penggunaan lahan terpadu yang memiliki aspek sosial dan ekologi
dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan
atau ternak, baik secara bersama-sama atau bergiliran sehingga dari satu unit lahan
tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan.
Selain itu King (1979) mendifinisikan bahwa agroforestri adalah sistem pengelolaan
lahan berkelanjutan dan mampu meningkatkan produksi lahan secara keseluruhan,
merupakan kombinasi produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman tahunan)
dengan tanaman hutan dan atau hewan (ternak), baik secara bersama atau bergiliran,
dilaksanakan pada satu bidang lahan dengan menerapkan teknik pengelolaan praktis
yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat.
12
Definisi agroforestri sebaiknya menitikberatkan pada dua karakter pokok yang
umum dipakai pada seluruh bentuk agroforestri yang membedakan dengan sistem
penggunaan lahan lainnya (Lundgren, 1982) yaitu:
1. adanya pengkombinasian yang terencana / disengaja dalam satu bidang lahan
antara tumbuhan berkayu (pepohonan), tanaman pertanian dan atau ternak
(hewan) baik secara bersamaan (pembagian ruang) ataupun bergiliran (bergantian
waktu)
2. adanya interaksi ekologis dan atau ekonomis yang nyata/jelas, baik positif dan
atau negatif antara komponen-komponen sistem yang berkayu maupun tidak
berkayu
Beberapa ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan
Raintree (1982) adalah :
1. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan
atau hewan). Paling tidak satu diantaranya tumbuhan berkayu
2. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun
3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman
tidak berkayu
4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan
ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan
5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya
pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat
berkumpulnya keluarga/masyarakat
6. untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri tergantung
pada penggunaan dan manipulasi biomassa tanaman terutama dengan
mengoptimalkan penggunaan sisa panen
7. Sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan
fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya
monokultur.
Sedangkan World Agroforestry Center (ICRAF) menggunakan definisi
Agroforestry sebagai berikut :
13
• Sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu
(pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu
atau dapat pula dengan rerumputan (pasiur), kadang-kadang ada komponen
ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis
dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
• Sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu dengan
tanaman tidak berkayu (kadang-kadang dengan hewan) yang tumbuh
bersamaan atau bergiliran pada suatu lahan, untuk memperoleh berbagai
produk dan jasa (services) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan
ekonomis antar komponen tanaman
• Sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dinamis secara ekologi dengan
penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk
memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat
meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi semua
pengguna lahan.
Sistem Agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem
agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks (De Foresta dan Michon,
1997) yaitu :
a. Sistem agroforestri sederhana
Suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang sari
dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai
pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan atau
dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi
tinggi (kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka, melinjo, petai, jati, mahoni) atau
bernilai ekonomi rendah (dadap, lamtoro, kaliandra). Jenis tanaman semusim
biasanya berkisar pada tanaman pangan (padi gogo, jagung , kedelai, kacang-
kacangan, ubikayu), sayuran, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
Dalam perkembangannya sistem agroforestri sederhana ini juga merupakan
campuran dari berbagai jenis pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Sebagai
14
contohnya adalah: kebun kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap (erythrina)
atau kelorwono/gamal (Gliricidia) sebagai tanaman naungan dan penyubur tanah,
seperti yang dilakukan petani di daerah kecamatan Sumberjaya dan daerah Ngantang,
Malang.
b. Sistem agroforestri komplek
Merupakan suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis
pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami
pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang
menyerupai hutan. Didalam sistem ini selain terdapat beraneka jenis pohon, juga
tanaman perdu, tanaman memanjat, tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah
banyak. Ciri-ciri utama sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik
dan dinamika yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun
hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest
(ICRAF, 1996)
Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestri kompleks
ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home
garden) yang letaknya disekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’ yang biasanya
disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta, 2000).
2.2.Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang dialiri sungai dan
dibatasi oleh topografi, dimana air hujan yang jatuh di dalam wilayah tersebut akan
ditampung, disimpan dan kemudian dialirkan melalui sungai menuju ke laut.
Linsley, Kohler dan Paulhus (1988) menyebutkan bahwa DAS (watershed)
dengan beberapa kata sinonim river basin, drainage basin dan catchment area
sebagai seluruh wilayah yang dialiri oleh sebuah sistem sungai yang saling
berhubungan sehingga semua aliran sungai yang berasal dari wilayah ini keluar
melalui satu muara (single outlet).
Perubahan sistem atau kondisi dari fungsi hidrologi suatu DAS sebagai
dampak dari penggunaan sumberdaya alam yang tidak terkendali seringkali mengarah
15
pada kondisi yang tidak menguntungkan, yaitu terjadinya degradasi lahan yang
berakibat menurunnya produktifitas lahan dan menurunnya daya resap air dalam
tanah. Perubahan ini secara nyata akan mengakibatkan bertambahnya lahan-lahan
kritis dan timbulnya bencana banjir di hilir. Oleh karena itu pengembangan kawasan
budidaya pada DAS memerlukan suatu perencanaan terpadu guna menjamin suatu
pembangunan yang berkelanjutan.
Pandangan tentang pendekatan pengelolaan DAS diklasifikasikan ke dalam
empat dimensi (Hufschmith, 1986) yaitu,
a) Pendekatan DAS bersifat menyeluruh (holistic)
b) DAS adalah fungsi dari wilayah
c) Pendekatan DAS dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan biofisik
dan intensitas aktifitas sosial, ekonomi dan budaya antara kegiatan di hulu
(upstream) dan di hilir (downstream)
d) Pendekatan DAS membantu mengevaluasi pengaruh lingkungan dengan
lebih mudah dan tepat.
Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) menurut Nasendi (1976) pada dasarnya
merupakan tindakan dalam mengatur keseimbangan antara ketersediaan dan
pemenuhan kebutuhan sumberdaya yang ada dalam DAS`secara lestari. Dengan
demikian tindakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) diharapkan mampu
meningkatkan daya dukung DAS terhadap tingkat kualitas hidup manusia semakin
baik.
DAS yang melingkupi Kecamatan Sumberjaya adalah sub-daerah aliran
sungai (Sub-DAS) Way Besai yang mempunyai luas 175.610,8 ha, yang terdiri dari
beberapa sub-sub DAS. Sub-sub DAS tersebut adalah Way Petai (5.545,9 ha), Way
Ringkih (1.471,4 ha), Way Anak (744 ha), Air Dingin(472 ha), Way Campang
(4.155 ha), Air Hitam (9.090 ha) dan sub-DAS Way Besai (154.131,8 ha).
Penggunaan lahan di masing-masing sub-DAS yang ada di Kecamatan Sumberjaya
disajikan pada Tabel 1 di bawah ini:
16
Tabel 1. Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai (Sub-DAS) Way Besai, Kabupaten Lampung Barat
Penggunaan
lahan (Ha)
Sub-Sub DAS
Way
Petai
Way
Ringkih
Way
Anak
Air
Dingin
Way
Campang
Air
Hitam
Multistrata 1.472 45.000 340 276 2.104 4.381,6
Hortikultur 0 52 12 4 56 216
Belukar 288 32 16 36 192 508
Kopi Muda 408 192 60 32 208 508
Kopi Monokultur 496 196 108 44 348 1460
Sawah 484 56 56 32 248 332
Perumahan 20 24 12 0 76 84
Hutan 1.609,8 590 128 24 324 364
Sumber: World Agroforestry Center (ICRAF), 2004
Penutupan lahan pada tahun 2002 di DAS Way Besai dengan Sub-Sub DAS
nya terlihat bahwa penanaman dengan sistem multistrata mempunyai luasan terbesar
(67.628 ha). Sistem multistrata merupakan tanaman campuran antara tanaman utama
yaitu tanaman kopi dengan tanaman berkayu seperti sono keling (Dalbergia latifolia),
kayu afrika (Maesopsis eminii), sengon (Paraserianthes falcataria) serta tanaman
buah-buahan seperti durian (Durio zibethinus), nangka (Artocarpus heterophillus)
dan alpukat (Persea americana). Penutupan lahan di daerah Sumberjaya yang
meliputi daerah aliran sungai (Sub-DAS) Way Besai disajikan pada (Gambar3)
17
Gambar 3. Penutupan Lahan di Sub-DAS Way Besai (Sumber: World Agroforestry Center -ICRAF, 2004)
Sistem ekologi DAS begian hulu pada umumnya dapat dipandang sebagai
suatu ekosistem pedesaan (Soemarwoto, 1982), ekosistem ini terdiri dari empat
komponen utama yaitu desa, sawah/ladang, sungai dan hutan. Komponen-komponen
yang menyusun DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya di
DAS bagian tengah ada komponen lain seperti perkebunan, sementara di daerah
pantai dijumpai adanya komponen lingkungan hutan bakau.
Masalah degradasi lingkungan yang sering terjadi akhir-akhir ini berpangkal
pada komponen desa. Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan
perbandingan antara jumlah penduduk dengan lahan pertanian tidak seimbang. Hal
ini menyebabkan pemilikan lahan pertanian menjadi semakin sempit, keterbatasan
lapangan pekerjaan dan kendala ketrampilan yang terbatas telah menyebabkan
ŀ
18
kecilnya pendapatan petani. Keadaan tersebut seringkali mendorong sebagian petani
untuk merambah hutan sebagai lahan pertanian.
2.3. Model GenRiver
GenRiver merupakan model simulasi yang dapat dimanfaatkan untuk
mengeksplorasi perubahan aliran air sungai akibat dinamika pola hujan dan
perubahan penutupan lahan (yang mempengaruhi proses filtering).
Model GenRiver disusun dalam skala lansekap, dimana daerah aliran sungai
(DAS) direpresentasikan sebagai sekumpulan sub-DAS. Masing-masing sub-DAS
mempunyai anak sungai dan pola hujan tersendiri. Pola spasial sub-DAS
direpresentasikan secara implisit di dalam model, melalui pertimbangan jarak capai
setiap sub-DAS ke suatu titik pengamatan di sungai (routing).
Model ini dapat bermanfaat untuk mempelajari perubahan aliran sungai
sebagai akibat adanya alih guna lahan, dan selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk
mempelajari beberapa skenario alih guna lahan yang mungkin terjadi di masa yang
akan datang.
Gambar 4. Siklus air dalam suatu DAS (Sumber: Farida et al., 2004)
19
Secara umum model GenRiver menggunakan neraca air dan dalam bentuk persamaan
dapat disederhanakan seperti persamaan berikut:
P = Q + E + ∆ S
Keterangan : P =Curah Hujan Q = Debit sungai E = Evaporasi (evapotraspirasi)
∆ S = perubahan kadar air tanah dan simpanan air tanah
Dalam model GenRiver, persamaan di atas disusun ke dalam bentuk neraca
air harian seperti terlihat pada diagram skematis di bawah ini (Gambar 5). Neraca air
dihitung untuk setiap sub-catchment.
Gambar 5. Siklus air dari masing-masing Sub-DAS di dalam struktur model GenRiver (Farida et al., 2004)
2.4. Penilaian Ekonomi
Nilai merupakan persepsi seseorang, yaitu harga yang diberikan terhadap
sesuatu pada waktu dan tempat tertentu. Ukuran harga dapat ditentukan oleh waktu,
barang atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki, menggunakan
atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa yang diinginkannya. Adapun penilaian
ŀ
20
adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk
menduga nilai barang atau jasa (Davis dan Johnson, 1987).
Nilai dari suatu barang atau jasa sangat membantu seorang individu,
masyarakat atau organisasi dalam mengambil suatu keputusan. Penilaian ekonomi
sumberdaya alam merupakan peralatan teknis yang dapat dipercaya dan logis untuk
digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Nilai atau perhitungan moneter dapat menunjukkan kepedulian
yang kuat terhadap aset sumberdaya alam dan lingkungan dan dapat menjadi
pendukung untuk pemihakan terhadap kualitas lingkungan sebagai dasar pembanding
secara kuantitatif dalam bentuk moneter terhadap beberapa alternatif pilihan dalam
pemutusan suatu kebijakan atau pemanfaatan dana.
Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat
penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang
semakin langka dan dapat sebagai rekomendasi tertentu pada kegiatan perencanaan
pengelolaan. Valuasi ekonomi bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal
balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan
sumberdaya alam yang baik dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang
berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program pengelolaan sumberdaya
alam sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat
sumberdaya alam.
Nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan dan kesenangan yang
diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas pada barang dan jasa yang dapat
memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Baik barang publik maupun
privat akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian manfaat fungsi
ekologis pada hakekatnya juga nilai ekonomi karena jika fungsi ekologis terganggu
maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan (disutility) atau terjadi kerugian berupa
bencana atau kerusakan (Hussen, 2000).
Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk melakukan penilaian ekonomi
sumberdaya hutan diperlukan identifikasi kondisi biofisik sumberdaya hutan dan
sosial budaya masyarakat setempat untuk mengkuantifikasi setiap indikator nilai
21
berupa hasil hutan, jasa fungsi ekosistem hutan serta atribut hutan dalam kaitannya
dengan indikator sosial budaya.
Pada prinsipnya metode penilaian sumberdaya hutan dapat dilakukan melalui
dua pendekatan yaitu berdasarkan harga Pasar dan kesediaan untuk membayar
(WTP). Kesediaan untuk membayar merupakan konsep yang mendasari berbagai
alternatif teknik penilaian ekonomi (Pearce 1993; Munasinghe 1993). Dalam kondisi
pasar yang tidak mengalami penyimpangan, WTP akan sama dengan harga pasar.
Namun pada saat mekanisme pasar tidak bekerja secara sempurna atau terjadi
distorsi, maka harga Pasar tidak akan dapat memberikan perkiraan yang akurat
mengenai WTP.
Dewasa ini para ahli telah mengembangkan berbagai teknik dan metode
valuasi dan perhitungan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan pada kondisi
pasar yang tidak sempurna. Hufschmidt et al. (1983) menyimpulkan bahwa metode
dan tehnik penilaian ekonomi dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Teknik penilaian yang berdasarkan pada harga pasar atau produktifitas seperti
perubahan nilai produk dan hilangnya penghasilan
2. Teknik penilaian yang berdasarkan pada penggunaan harga pasar bagi
input/subtitusi seperti biaya penggantian, biaya produk bayangan, analisis
biaya pengeluaran dan biaya pencegahan
3. Penilaian dengan pendekatan survey yaitu dengan menanyakan besarnya WTP
konsumen terhadap barang dan jasa lingkungan dengan menggunakan pasar
hipotetis. Teknik ini meliputi teknik penilaian Delpi, permainan alih tukar,
pilihan tanpa biaya dan teknik penilaian prioritas.
Tantangan praktis dalam pelaksanaan studi penilaian ekonomi sumberdaya
alam adalah menurunkan nilai perkiraan yang dapat dipercaya bagi sumberdaya
biologis, baik dalam konteks terdapat harga pasar atau pada pasar tidak sempurna
(Dixon dan Sherman 1990).
Masalah yang timbul dari sumberdaya alam dan lingkungan yang selain
menghasilkan produk yang dapat dikonsumsi juga menghasilkan produk yang tidak
dikonsumsi, dimana pasar tidak memberikan harga yang observable dan ini akan
22
mempersulit dalam pengukuran surplus konsumen. Krutila (1967) mengenalkan
konsep total economic value (TEV) atau nilai ekonomi total bagi setiap individu
terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. TEV pada dasarnya sama dengan net
benefit yang diperoleh dari sumberdaya alam, namun dalam konsep ini nilai yang
dikonsumsi oleh seseorang individu dapat dikategorikan kedalam dua komponen
utama yakni use value dan non-use value.
Use Value merupakan nilai yang diperoleh seseorang dengan memanfaatkan
secara langsung dari sumberdaya alam dimana seseorang berhubungan langsung
dengan sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai ini termasuk pemanfaatan secara
komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Use value
diklasifikasikan menjadi direct use value dan indirect use value. Direct use value
merupakan kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya alam (pengkapan ikan , air
minum dsb) sedangkan indirect use value merupakan nilai yang dapat dirasakan
secara tidak langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan
lingkungan (misalnya fungsi pencegahan banjir, nursery ground dsb).
Non-use value merupakan nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas
keberadaannya walupun tidak dikonsumsi secara langsung. Non-use value ini
bersifat sulit diukur (less tangible) karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap
lingkungan dibandingkan pemanfaatan langsung. Non-use value dibagi lagi menjadi
sub-class yaitu: existence value, bequest value dan option value. Exsitence value
merupakan penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan
lingkungan, nilai ini sering disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsic dari
sumberdaya alam dan lingkungan. Bequest value merupakan nilai yang diberikan
oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk
generasi mendatang. Option value diartikan sebagai pemeliharaan sumberdaya alam
sehingga pilihan untuk memanfaatkannya (option) untuk masa yang akan datang
masih tersedia. Nilai ini mengandung ketidakpastian artinya merujuk pada nilai
barang dan jasa dari sumberdaya yang mungkin timbul sehubungan dengan
ketidakpastian permintaan dimasa mendatang, jika kita yakin terhadap preferensi
dan ketersediaan sumberdaya dimasa mendatang maka nilai option value akan nol.
23
Secara skematis total economic value (TEV) dengan beberapa contoh yang
termasuk didalamnya disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Skematis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam (Total Economic Value /TEV) (Pearce, 1992)
Beberapa hasil studi penilaian ekonomi yang telah dilakukan antara lain
adalah, Darusman (1993) mengkaji manfaat tidak langsung (inderect use value) dari
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) sebagai perlindungan aliran air.
Kebutuhan air dan penilaian terhadap kesediaan masyarakat membayar agar air tetap
secara teratur mengalir dengan peruntukan air minum, sanitasi dan pertanian. Hasil
penelitian menghasilkan nilai dugaan manfaat air yang diberikan kawasan TNGP
sebesar Rp 4,341 miliar per tahun atau Rp 280 juta per hektar bagi masyarakat
sekitarnya.
Hasil Studi di Pulau Siberut yang dilakukan oleh Universitas`Duke terhadap
kesediaan turis dalam mendukung konservasi lingkungan dan kebudayaan tradisional
sebesar US$ 23, sedangkan estimasi manfaat perlindungan air secara ekologis dari
NILAI EKONOMI TOTAL
NILAI PENGGUNAAN NILAI NON-PENGGUNAAN
NILAI PENGGUNAAN
LANGSUNG Hasil yang langsung
dapat dikonsumsi
NILAI PENGGUNAAN TAK LANGSUNG
Mangfaat Fungsional
NILAI PILIHAN Nilai
Penggunaan langsung dan tak langsung di
masa depan
NILAI KEBERADAAN Nilai pengetahuan
karena keberadaan
yang berkelanjutan
NILAI NON-PENGGUNAAN
LAINNYA
• Makanan
• Biomassa
• Rekreasi
• Fungsi Ekologis
• Pengendalian banjir
• Perlindungan dari
• Keanekaragaman hayati
• Habitat
• Spesies langka (terancan punah)
Decreasing “tangiability” of value to individual
24
hutan lindung di Ruteng, Flores sebesar US$ 35 per KK per tahun (Kramer et al,
1997).
Dalam prinsip ekonomi, alokasi sumberdaya yang optimal secara sosial yaitu
manfaat sosial marginal yang diperoleh dari konsumsi setara dengan biaya sosial
marginal yang dikeluarkannya. Manfaat sosial marginal ini dicirikan adanya kurva
permintaan, sementara biaya sosial marginal yang menggambarkan kurva suplai
menggambarkan biaya yang harus dibayar oleh pengguna untuk memproduksi satu
unit tambahan. Biaya marginal atas sumberdaya air ini termasuk biaya pengguna
(user cost) atau biaya korbanan yang terjadi dengan adanya deplesi sumberdaya dan
biaya eksternal, seperti biaya lingkungan dan sebagainya. Pada Gambar 7 dibawah
ini ditunjukkan alokasi optimal berdasarkan prinsip Marginal Cost.
Gambar 7. Prinsip Biaya Marginal
Alokasi optimal secara sosial berada pada titik keseimbangan yaitu titik A
dengan harga sebesar P* dan jumlah (kuantitas) sebesar Q*, pada titik ini manfaat
marginal sama dengan biaya marginal tanpa biaya lingkungan. Jika terjadi
eksternalitas negatif dalam pemanfatan sumberdaya, maka biaya marginal akan
bergeser ke atas yaitu sebesar biaya marginal dengan biaya lingkungan dan keadaan
ini akan menyebabkan harga menjadi naik sebesar PL dengan jumlah yang dapat
diberikan (suplai) sebesar QL dan keseimbangan baru terjadi di titik A.
Penerapan mekanisme Marginal Cost (MC) ini memiliki beberapa kelebihan
yaitu secara teoritis mekanisme ini dianggap efisien dan dapat menghindari terjadinya
(Rp)
Q (kuantitas)QL Q*
PL
P*
Biaya Marginal dengan biaya lingkungan
Biaya Marginal tanpa biaya lingkungan
ManfaatMarginal
A
B
25
penilaian dibawah harga (under priced) dan penggunaan yang berkelebihan
(overuse), (Dinar et al., 1997)
Teknik valuasi sumberdaya alam yang tidak dapat dipasarkan (non-market
valuation) dapat digolongkan kedalam dua kelompok (Fauzi, 2006) yaitu:
1. teknik valuasi yang mengandalkan harga implisif dimana Willingness To Pay
terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini sering disebut
teknik yang mengandalkan revealed WTP (keinginan membayar yang
terungkap). Beberapa teknik yang termasuk kedalam kelompok ini adalah:
travel cost, hedonik pricing dan random utility model.
2. teknik valuasi yang didasarkan pada survey dimana keinginan membayar atau
WTP diperoleh langsung dari responden yang langsung diungkapkannya
secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup populer adalah
Contingent Valuation Method (CVM) dan Discreate Choice Method.
Contingent Valuation Method (CVM) pertama kali diperkenalkan oleh Davis
(1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan di Miami. Pendekatan ini
disebut contingent (tergantung) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh
sangat tergantung pada hipotesis yang yang dibangun.
Contingent Valuation Method pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui:
pertama, keinginan membayar (Willingness To Pay/WTP) dari masyarakat. Kedua
keinginan menerima (Willingness To Accept/WTA) kerusakan suatu lingkungan.
Dalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM terdapat lima tahap/proses
yaitu:
1. pada awal proses terlebih dahulu membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya
yang akan dievaluasi
2. melakukan survey dengan kuisioner yang telah disiapkan untuk mendapakan nilai
lelang. Tujuan dari survey ini adalah untuk memperoleh nilai maksimum
keinginan membayar (WTP) dari responden. Nilai lelang ini bisa dilakukan
dengan beberapa cara yaitu:
� permainan lelang (bidding game), responden diberi pertanyaan berulang-ulang
tentang apakah responden ingin membayar sejumlah tertentu. Nilai ini
26
kemudian bisa dinaikkan atau diturunkan tergantung respons atas pertanyaan
sebelumnya, pertanyaan dihentikan sampai nilai yang tetap diperoleh.
� Pertanyaan terbuka, responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai
rupiah yang ingin dibayarkan untuk suatu perbaikan lingkungan.
� Payment card, diperoleh dengan menanyakan apakah responden mau
membayar pada kisaran nilai tertentu dari nilai yang sudah ditentukan
sebelumnya, nilai ini ditunjukkan kepada responden melalui kartu.
� Model referendum atau discreate choice (dichotomous choice), responden
diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak
3. menghitung nilai rataan WTP setiap individu, nilai ini dihitung berdasarkan nilai
lelang (bid) yang diperoleh pada tahap dua. Perhitungan ini biasanya didasarkan
pada nilai rataan (mean) dan nilai tengah (median ).
4. membuat kurva lelang atau bid curve yaitu dengan meregresikan variabel tidak
bebas (dependent variabel) dengan beberapa variabel bebas.
5. mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap ke-tiga. Proses ini
melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan.
Salah satu cara untuk mengkonversi adalah dengan mengalikan rataan sampel
dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (N).