ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · kecenderungan alih guna lahan di kecamatan...

19
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lahan Tutupan lahan oleh pohon, baik berupa hutan alami atau sebagai permudaan alam (natural regeration), pohon yang dibudidayakan, pohon sebagai tanaman pagar maupun pohon monokultur (hutan tanaman industri) dapat mempengaruhi aliran air sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. 2.1.1. Alih Guna Lahan Kecenderungan alih guna lahan di Kecamatan Sumberjaya dapat dibedakan menjadi dua. Pertama adanya satu fase deforestasi besar-besaran (dari 60 % hutan menjadi 12 %) selama 30 tahun yang mengubah hutan menjadi kebun kopi monokultur. Kedua, dalam selang waktu 15 tahun terjadi perubahan sebagian besar lahan kopi monokultur menjadi kebun kopi dengan naungan. Meningkatnya harga kopi dunia mendorong terjadinya konversi hutan menjadi kebun kopi, krisis moneter di Asia pada taun 1997-2000 telah membawa keuntungan bagi petani kopi di Kecamatan Sumberjaya khususnya dan propinsi Lampung umumnya (Verbist, et.al, 2004). Pada dasarnya hutan adalah jenis penutupan lahan yang kompleks dan spesifik serta sudah terbukti memiliki fungsi hidro-orologi yang sangat baik. Dari segi penyusunnya, hutan dapat dipandang dari tiga komponen pokok yang masing-masing memiliki sifat dan peranan tersendiri yaitu tegakan pohon, tanah dan bentang lahan. Tegakan pohon dapat membantu dalam perbaikan sifat-sifat tanah yaitu melalui produksi seresah yang cukup tinggi yang mampu meningkatkan ketebalan seresah dan kandungan bahan organik lantai hutan. Dengan adanya seresah yang tebal tersebut, lantai hutan memiliki kapasitas infiltrasi air yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan bukan hutan (Agus,et.al, 2004) Tanah hutan mempunyai laju infiltrasi permukaan yang tinggi dan makroporositas yang relatif banyak sejalan dengan tingginya aktifitas biologi tanah dan turnover perakaran, kondisi ini mempermudah air hujan yang jatuh mengalir kedalam lapisan tanah yang lebih dalam. Alih guna lahan hutan menjadi kebun kopi diduga menjadi penyebab utama perubahan hidrologi DAS Way Besai, perubahan

Upload: dodien

Post on 09-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ŀII. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Lahan

Tutupan lahan oleh pohon, baik berupa hutan alami atau sebagai permudaan

alam (natural regeration), pohon yang dibudidayakan, pohon sebagai tanaman pagar

maupun pohon monokultur (hutan tanaman industri) dapat mempengaruhi aliran air

sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.

2.1.1. Alih Guna Lahan

Kecenderungan alih guna lahan di Kecamatan Sumberjaya dapat dibedakan

menjadi dua. Pertama adanya satu fase deforestasi besar-besaran (dari 60 % hutan

menjadi 12 %) selama 30 tahun yang mengubah hutan menjadi kebun kopi

monokultur. Kedua, dalam selang waktu 15 tahun terjadi perubahan sebagian besar

lahan kopi monokultur menjadi kebun kopi dengan naungan. Meningkatnya harga

kopi dunia mendorong terjadinya konversi hutan menjadi kebun kopi, krisis moneter

di Asia pada taun 1997-2000 telah membawa keuntungan bagi petani kopi di

Kecamatan Sumberjaya khususnya dan propinsi Lampung umumnya (Verbist, et.al,

2004).

Pada dasarnya hutan adalah jenis penutupan lahan yang kompleks dan spesifik

serta sudah terbukti memiliki fungsi hidro-orologi yang sangat baik. Dari segi

penyusunnya, hutan dapat dipandang dari tiga komponen pokok yang masing-masing

memiliki sifat dan peranan tersendiri yaitu tegakan pohon, tanah dan bentang lahan.

Tegakan pohon dapat membantu dalam perbaikan sifat-sifat tanah yaitu melalui

produksi seresah yang cukup tinggi yang mampu meningkatkan ketebalan seresah

dan kandungan bahan organik lantai hutan. Dengan adanya seresah yang tebal

tersebut, lantai hutan memiliki kapasitas infiltrasi air yang jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan penutupan lahan bukan hutan (Agus,et.al, 2004)

Tanah hutan mempunyai laju infiltrasi permukaan yang tinggi dan

makroporositas yang relatif banyak sejalan dengan tingginya aktifitas biologi tanah

dan turnover perakaran, kondisi ini mempermudah air hujan yang jatuh mengalir

kedalam lapisan tanah yang lebih dalam. Alih guna lahan hutan menjadi kebun kopi

diduga menjadi penyebab utama perubahan hidrologi DAS Way Besai, perubahan

ŀ

9

fungsi hidrologi ini diduga disebabkan oleh menurunnya makroporositas dan laju

infiltrasi sebagai akibat penurunan kualitas tanah. Perbaikan makroporositas pada

sistem kopi monokultur masih diperlukan dengan beberapa strategi untuk

mempercepat perbaikannya yaitu dengan; (1). menghilangkan pengkerakan tanah

bagian atas dengan pengolahan dalam secara berkala, (2). peningkatan kandungan

bahan organik melalui peningkatan masukan seresah dengan cara penanaman

tanaman penutup tanah dan atau peningkatan diversitas tanaman pohon dalam bentuk

agroforestri multistrata (Suprayogo et al., 2004).

Pada sisi bentang alam (lansekap), secara umum hutan memiliki fungsi

hidrologi dan perlindungan tanah yang lebih baik dibandingkan dengan penutupan

lahan yang lain, hutan tidak peka terhadap erosi karena hutan memiliki filter berupa

seresah pada lapisan tanahnya. Dengan adanya fungsi hidrologi yang baik tersebut

maka hutan memiliki kemampuan untuk menyimpan air pada kejadian puncak hujan

dan kemudian melepaskan air secara bertahap sehingga dapat meredam tingginya

debit sungai pada musim hujan dan berpotensi memelihara kestabilan aliran air

sungai pada musim kemarau. Dengan demikian keberadaan tutupan lahan oleh pohon

pada suatu DAS sangat penting sekali dalam mempertahankan dan meningkatkan

kemampuan fungsi hidrologi dan perlindungan tanah DAS.

Alih guna lahan dari hutan menjadi non hutan akan mempengaruhi salah satu

fungsi DAS sebagai pemasok air dengan kualitas dan kuantitas yang baik terutama

akan dirasakan oleh masyarakat di daerah hilir, selain itu akan mengakibatkan

penurunan fungsi hutan dalam mengatur tata air, mencegah bahaya banjir, longsor

dan erosi pada DAS tersebut (Farida, et.al, 2004).

Beberapa pengelolaan lahan dalam mengatasi kerusakan fungsi hidrologi dari

DAS agar tidak menjadi lebih parah yang diakibatkan adanya alih guna lahan dari

hutan menjadi non-hutan adalah dengan pengendalian secara vegetatif atau secara

sipil teknis. Pengendalian secara vegetatif adalah usaha pengendalian erosi dengan

menggunakan tanaman termasuk sistem agroforestri, pengaturan pola tanam, strip

rumput dan lainnya (Agus, et.al, 2004).

10

Beberapa keunggulan pengendalian secara vegetatif yaitu adanya manfaat

sampingan dari hasil tanaman seperti kayu bakar, buah, hijauan pakan ternak dan

sumbangan bahan organik, sistem ini pada umumnya memerlukan biaya yang relatif

lebih rendah dibandingkan dengan pengendalian secara teknis. Beberapa

pengendalian secara vegetatif adalah sebagai berikut (Hairiah et al, 2003) :

• Sistem agroforestri, merupakan salah satu bentuk sistem pengelolaan tanaman

yang menggabungkan tanaman tahunan (kayu-kayuan) dengan jenis

komoditas tanaman pertanian (tanaman musiman).

• Tanaman penutup tanah, tanaman yang ditanam tersendiri atau ditanam

bersama-sama dengan tanaman pokok tujuannya adalah untuk menutupi tanah

dari terpaan langsung air hujan, menjaga kesuburan tanah dan menyediakan

bahan organik.

• Strip rumput, suatu sistem tanaman pangan/pertanian ditanam di areal di

antara jalur tanaman rumput pakan ternak

• Penyiangan secara parsial, teknik konservasi dengan cara tidak dilakukan

penyiangan pada jalur selebar 20-30 cm antara baris tanaman.

• Pola pengaturan tanaman, pengaturan pola tanaman dilakukan agar

permukaan tanah tertutup oleh tanaman sepanjang tahun sehingga tanah

terlindungi dari terpaan air hujan dan dari gerusan oleh aliran permukaan.

Teknik konservasi dengan cara teknik sipil pada umumnya memerlukan tenaga

dan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan konservasi secara

vegetatif, beberapa cara teknik sipil yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut

(Agus et.al, 2002) :

• Gulud, pembuatan saluran/galian memanjang di antara barisan tanaman/pohon

yaitu untuk meningkatkan penyerapan air kedalam tanah dan untuk menahan

laju aliran permukaan

• Rorak, merupakan lubang kecil berukuran panjang 50 cm, lebar 50 cm dan

tinggi 50 cm yang dibuat diantara pohon, yang bertujuan untuk menampung

sisa tanaman/seresah dan lapisan tanah atas yang terangkut limpasan

permukaan (Gambar 2)

11

(a) (b)

Gambar 2. Teknik konservasi tanah berupa metode rorak (a) dan Gulud (b) di

Kecamatan Sumberjaya (Foto: Bambang Soeharto)

2.1.2. Agroforestri

Sistem dan teknologi penggunaan lahan dengan mengusahakan pepohonan

berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu dan lainya) dan tanaman

pangan dan atau pakan ternak berumur pendek pada petak lahan yang sama dalam

suatu pengaturan ruang dan waktu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam sistem-

sistem agroforestri tersebut terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsur

penyusun agroforestri tersebut (De Foresta dan Michon, 2000).

Ada beberapa difinisi tentang sistem agroforestri yang diberikan oleh

beberapa ahli, antara lain Nair (1987) mengemukakan bahwa sistem agroforestri

merupakan sistem penggunaan lahan terpadu yang memiliki aspek sosial dan ekologi

dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan

atau ternak, baik secara bersama-sama atau bergiliran sehingga dari satu unit lahan

tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan.

Selain itu King (1979) mendifinisikan bahwa agroforestri adalah sistem pengelolaan

lahan berkelanjutan dan mampu meningkatkan produksi lahan secara keseluruhan,

merupakan kombinasi produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman tahunan)

dengan tanaman hutan dan atau hewan (ternak), baik secara bersama atau bergiliran,

dilaksanakan pada satu bidang lahan dengan menerapkan teknik pengelolaan praktis

yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat.

12

Definisi agroforestri sebaiknya menitikberatkan pada dua karakter pokok yang

umum dipakai pada seluruh bentuk agroforestri yang membedakan dengan sistem

penggunaan lahan lainnya (Lundgren, 1982) yaitu:

1. adanya pengkombinasian yang terencana / disengaja dalam satu bidang lahan

antara tumbuhan berkayu (pepohonan), tanaman pertanian dan atau ternak

(hewan) baik secara bersamaan (pembagian ruang) ataupun bergiliran (bergantian

waktu)

2. adanya interaksi ekologis dan atau ekonomis yang nyata/jelas, baik positif dan

atau negatif antara komponen-komponen sistem yang berkayu maupun tidak

berkayu

Beberapa ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan

Raintree (1982) adalah :

1. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan

atau hewan). Paling tidak satu diantaranya tumbuhan berkayu

2. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun

3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman

tidak berkayu

4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan

ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan

5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya

pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat

berkumpulnya keluarga/masyarakat

6. untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri tergantung

pada penggunaan dan manipulasi biomassa tanaman terutama dengan

mengoptimalkan penggunaan sisa panen

7. Sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan

fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya

monokultur.

Sedangkan World Agroforestry Center (ICRAF) menggunakan definisi

Agroforestry sebagai berikut :

13

• Sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu

(pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu

atau dapat pula dengan rerumputan (pasiur), kadang-kadang ada komponen

ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis

dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.

• Sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu dengan

tanaman tidak berkayu (kadang-kadang dengan hewan) yang tumbuh

bersamaan atau bergiliran pada suatu lahan, untuk memperoleh berbagai

produk dan jasa (services) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan

ekonomis antar komponen tanaman

• Sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dinamis secara ekologi dengan

penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk

memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat

meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi semua

pengguna lahan.

Sistem Agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem

agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks (De Foresta dan Michon,

1997) yaitu :

a. Sistem agroforestri sederhana

Suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang sari

dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai

pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan atau

dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.

Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi

tinggi (kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka, melinjo, petai, jati, mahoni) atau

bernilai ekonomi rendah (dadap, lamtoro, kaliandra). Jenis tanaman semusim

biasanya berkisar pada tanaman pangan (padi gogo, jagung , kedelai, kacang-

kacangan, ubikayu), sayuran, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.

Dalam perkembangannya sistem agroforestri sederhana ini juga merupakan

campuran dari berbagai jenis pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Sebagai

14

contohnya adalah: kebun kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap (erythrina)

atau kelorwono/gamal (Gliricidia) sebagai tanaman naungan dan penyubur tanah,

seperti yang dilakukan petani di daerah kecamatan Sumberjaya dan daerah Ngantang,

Malang.

b. Sistem agroforestri komplek

Merupakan suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis

pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami

pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang

menyerupai hutan. Didalam sistem ini selain terdapat beraneka jenis pohon, juga

tanaman perdu, tanaman memanjat, tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah

banyak. Ciri-ciri utama sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik

dan dinamika yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun

hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest

(ICRAF, 1996)

Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestri kompleks

ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home

garden) yang letaknya disekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’ yang biasanya

disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta, 2000).

2.2.Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang dialiri sungai dan

dibatasi oleh topografi, dimana air hujan yang jatuh di dalam wilayah tersebut akan

ditampung, disimpan dan kemudian dialirkan melalui sungai menuju ke laut.

Linsley, Kohler dan Paulhus (1988) menyebutkan bahwa DAS (watershed)

dengan beberapa kata sinonim river basin, drainage basin dan catchment area

sebagai seluruh wilayah yang dialiri oleh sebuah sistem sungai yang saling

berhubungan sehingga semua aliran sungai yang berasal dari wilayah ini keluar

melalui satu muara (single outlet).

Perubahan sistem atau kondisi dari fungsi hidrologi suatu DAS sebagai

dampak dari penggunaan sumberdaya alam yang tidak terkendali seringkali mengarah

15

pada kondisi yang tidak menguntungkan, yaitu terjadinya degradasi lahan yang

berakibat menurunnya produktifitas lahan dan menurunnya daya resap air dalam

tanah. Perubahan ini secara nyata akan mengakibatkan bertambahnya lahan-lahan

kritis dan timbulnya bencana banjir di hilir. Oleh karena itu pengembangan kawasan

budidaya pada DAS memerlukan suatu perencanaan terpadu guna menjamin suatu

pembangunan yang berkelanjutan.

Pandangan tentang pendekatan pengelolaan DAS diklasifikasikan ke dalam

empat dimensi (Hufschmith, 1986) yaitu,

a) Pendekatan DAS bersifat menyeluruh (holistic)

b) DAS adalah fungsi dari wilayah

c) Pendekatan DAS dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan biofisik

dan intensitas aktifitas sosial, ekonomi dan budaya antara kegiatan di hulu

(upstream) dan di hilir (downstream)

d) Pendekatan DAS membantu mengevaluasi pengaruh lingkungan dengan

lebih mudah dan tepat.

Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) menurut Nasendi (1976) pada dasarnya

merupakan tindakan dalam mengatur keseimbangan antara ketersediaan dan

pemenuhan kebutuhan sumberdaya yang ada dalam DAS`secara lestari. Dengan

demikian tindakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) diharapkan mampu

meningkatkan daya dukung DAS terhadap tingkat kualitas hidup manusia semakin

baik.

DAS yang melingkupi Kecamatan Sumberjaya adalah sub-daerah aliran

sungai (Sub-DAS) Way Besai yang mempunyai luas 175.610,8 ha, yang terdiri dari

beberapa sub-sub DAS. Sub-sub DAS tersebut adalah Way Petai (5.545,9 ha), Way

Ringkih (1.471,4 ha), Way Anak (744 ha), Air Dingin(472 ha), Way Campang

(4.155 ha), Air Hitam (9.090 ha) dan sub-DAS Way Besai (154.131,8 ha).

Penggunaan lahan di masing-masing sub-DAS yang ada di Kecamatan Sumberjaya

disajikan pada Tabel 1 di bawah ini:

16

Tabel 1. Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai (Sub-DAS) Way Besai, Kabupaten Lampung Barat

Penggunaan

lahan (Ha)

Sub-Sub DAS

Way

Petai

Way

Ringkih

Way

Anak

Air

Dingin

Way

Campang

Air

Hitam

Multistrata 1.472 45.000 340 276 2.104 4.381,6

Hortikultur 0 52 12 4 56 216

Belukar 288 32 16 36 192 508

Kopi Muda 408 192 60 32 208 508

Kopi Monokultur 496 196 108 44 348 1460

Sawah 484 56 56 32 248 332

Perumahan 20 24 12 0 76 84

Hutan 1.609,8 590 128 24 324 364

Sumber: World Agroforestry Center (ICRAF), 2004

Penutupan lahan pada tahun 2002 di DAS Way Besai dengan Sub-Sub DAS

nya terlihat bahwa penanaman dengan sistem multistrata mempunyai luasan terbesar

(67.628 ha). Sistem multistrata merupakan tanaman campuran antara tanaman utama

yaitu tanaman kopi dengan tanaman berkayu seperti sono keling (Dalbergia latifolia),

kayu afrika (Maesopsis eminii), sengon (Paraserianthes falcataria) serta tanaman

buah-buahan seperti durian (Durio zibethinus), nangka (Artocarpus heterophillus)

dan alpukat (Persea americana). Penutupan lahan di daerah Sumberjaya yang

meliputi daerah aliran sungai (Sub-DAS) Way Besai disajikan pada (Gambar3)

17

Gambar 3. Penutupan Lahan di Sub-DAS Way Besai (Sumber: World Agroforestry Center -ICRAF, 2004)

Sistem ekologi DAS begian hulu pada umumnya dapat dipandang sebagai

suatu ekosistem pedesaan (Soemarwoto, 1982), ekosistem ini terdiri dari empat

komponen utama yaitu desa, sawah/ladang, sungai dan hutan. Komponen-komponen

yang menyusun DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya di

DAS bagian tengah ada komponen lain seperti perkebunan, sementara di daerah

pantai dijumpai adanya komponen lingkungan hutan bakau.

Masalah degradasi lingkungan yang sering terjadi akhir-akhir ini berpangkal

pada komponen desa. Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan

perbandingan antara jumlah penduduk dengan lahan pertanian tidak seimbang. Hal

ini menyebabkan pemilikan lahan pertanian menjadi semakin sempit, keterbatasan

lapangan pekerjaan dan kendala ketrampilan yang terbatas telah menyebabkan

ŀ

18

kecilnya pendapatan petani. Keadaan tersebut seringkali mendorong sebagian petani

untuk merambah hutan sebagai lahan pertanian.

2.3. Model GenRiver

GenRiver merupakan model simulasi yang dapat dimanfaatkan untuk

mengeksplorasi perubahan aliran air sungai akibat dinamika pola hujan dan

perubahan penutupan lahan (yang mempengaruhi proses filtering).

Model GenRiver disusun dalam skala lansekap, dimana daerah aliran sungai

(DAS) direpresentasikan sebagai sekumpulan sub-DAS. Masing-masing sub-DAS

mempunyai anak sungai dan pola hujan tersendiri. Pola spasial sub-DAS

direpresentasikan secara implisit di dalam model, melalui pertimbangan jarak capai

setiap sub-DAS ke suatu titik pengamatan di sungai (routing).

Model ini dapat bermanfaat untuk mempelajari perubahan aliran sungai

sebagai akibat adanya alih guna lahan, dan selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk

mempelajari beberapa skenario alih guna lahan yang mungkin terjadi di masa yang

akan datang.

Gambar 4. Siklus air dalam suatu DAS (Sumber: Farida et al., 2004)

19

Secara umum model GenRiver menggunakan neraca air dan dalam bentuk persamaan

dapat disederhanakan seperti persamaan berikut:

P = Q + E + ∆ S

Keterangan : P =Curah Hujan Q = Debit sungai E = Evaporasi (evapotraspirasi)

∆ S = perubahan kadar air tanah dan simpanan air tanah

Dalam model GenRiver, persamaan di atas disusun ke dalam bentuk neraca

air harian seperti terlihat pada diagram skematis di bawah ini (Gambar 5). Neraca air

dihitung untuk setiap sub-catchment.

Gambar 5. Siklus air dari masing-masing Sub-DAS di dalam struktur model GenRiver (Farida et al., 2004)

2.4. Penilaian Ekonomi

Nilai merupakan persepsi seseorang, yaitu harga yang diberikan terhadap

sesuatu pada waktu dan tempat tertentu. Ukuran harga dapat ditentukan oleh waktu,

barang atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki, menggunakan

atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa yang diinginkannya. Adapun penilaian

ŀ

20

adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk

menduga nilai barang atau jasa (Davis dan Johnson, 1987).

Nilai dari suatu barang atau jasa sangat membantu seorang individu,

masyarakat atau organisasi dalam mengambil suatu keputusan. Penilaian ekonomi

sumberdaya alam merupakan peralatan teknis yang dapat dipercaya dan logis untuk

digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan dalam pengelolaan

sumberdaya alam. Nilai atau perhitungan moneter dapat menunjukkan kepedulian

yang kuat terhadap aset sumberdaya alam dan lingkungan dan dapat menjadi

pendukung untuk pemihakan terhadap kualitas lingkungan sebagai dasar pembanding

secara kuantitatif dalam bentuk moneter terhadap beberapa alternatif pilihan dalam

pemutusan suatu kebijakan atau pemanfaatan dana.

Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat

penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang

semakin langka dan dapat sebagai rekomendasi tertentu pada kegiatan perencanaan

pengelolaan. Valuasi ekonomi bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal

balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan

sumberdaya alam yang baik dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang

berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program pengelolaan sumberdaya

alam sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat

sumberdaya alam.

Nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan dan kesenangan yang

diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas pada barang dan jasa yang dapat

memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Baik barang publik maupun

privat akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian manfaat fungsi

ekologis pada hakekatnya juga nilai ekonomi karena jika fungsi ekologis terganggu

maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan (disutility) atau terjadi kerugian berupa

bencana atau kerusakan (Hussen, 2000).

Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk melakukan penilaian ekonomi

sumberdaya hutan diperlukan identifikasi kondisi biofisik sumberdaya hutan dan

sosial budaya masyarakat setempat untuk mengkuantifikasi setiap indikator nilai

21

berupa hasil hutan, jasa fungsi ekosistem hutan serta atribut hutan dalam kaitannya

dengan indikator sosial budaya.

Pada prinsipnya metode penilaian sumberdaya hutan dapat dilakukan melalui

dua pendekatan yaitu berdasarkan harga Pasar dan kesediaan untuk membayar

(WTP). Kesediaan untuk membayar merupakan konsep yang mendasari berbagai

alternatif teknik penilaian ekonomi (Pearce 1993; Munasinghe 1993). Dalam kondisi

pasar yang tidak mengalami penyimpangan, WTP akan sama dengan harga pasar.

Namun pada saat mekanisme pasar tidak bekerja secara sempurna atau terjadi

distorsi, maka harga Pasar tidak akan dapat memberikan perkiraan yang akurat

mengenai WTP.

Dewasa ini para ahli telah mengembangkan berbagai teknik dan metode

valuasi dan perhitungan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan pada kondisi

pasar yang tidak sempurna. Hufschmidt et al. (1983) menyimpulkan bahwa metode

dan tehnik penilaian ekonomi dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Teknik penilaian yang berdasarkan pada harga pasar atau produktifitas seperti

perubahan nilai produk dan hilangnya penghasilan

2. Teknik penilaian yang berdasarkan pada penggunaan harga pasar bagi

input/subtitusi seperti biaya penggantian, biaya produk bayangan, analisis

biaya pengeluaran dan biaya pencegahan

3. Penilaian dengan pendekatan survey yaitu dengan menanyakan besarnya WTP

konsumen terhadap barang dan jasa lingkungan dengan menggunakan pasar

hipotetis. Teknik ini meliputi teknik penilaian Delpi, permainan alih tukar,

pilihan tanpa biaya dan teknik penilaian prioritas.

Tantangan praktis dalam pelaksanaan studi penilaian ekonomi sumberdaya

alam adalah menurunkan nilai perkiraan yang dapat dipercaya bagi sumberdaya

biologis, baik dalam konteks terdapat harga pasar atau pada pasar tidak sempurna

(Dixon dan Sherman 1990).

Masalah yang timbul dari sumberdaya alam dan lingkungan yang selain

menghasilkan produk yang dapat dikonsumsi juga menghasilkan produk yang tidak

dikonsumsi, dimana pasar tidak memberikan harga yang observable dan ini akan

22

mempersulit dalam pengukuran surplus konsumen. Krutila (1967) mengenalkan

konsep total economic value (TEV) atau nilai ekonomi total bagi setiap individu

terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. TEV pada dasarnya sama dengan net

benefit yang diperoleh dari sumberdaya alam, namun dalam konsep ini nilai yang

dikonsumsi oleh seseorang individu dapat dikategorikan kedalam dua komponen

utama yakni use value dan non-use value.

Use Value merupakan nilai yang diperoleh seseorang dengan memanfaatkan

secara langsung dari sumberdaya alam dimana seseorang berhubungan langsung

dengan sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai ini termasuk pemanfaatan secara

komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Use value

diklasifikasikan menjadi direct use value dan indirect use value. Direct use value

merupakan kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya alam (pengkapan ikan , air

minum dsb) sedangkan indirect use value merupakan nilai yang dapat dirasakan

secara tidak langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan

lingkungan (misalnya fungsi pencegahan banjir, nursery ground dsb).

Non-use value merupakan nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas

keberadaannya walupun tidak dikonsumsi secara langsung. Non-use value ini

bersifat sulit diukur (less tangible) karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap

lingkungan dibandingkan pemanfaatan langsung. Non-use value dibagi lagi menjadi

sub-class yaitu: existence value, bequest value dan option value. Exsitence value

merupakan penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan

lingkungan, nilai ini sering disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsic dari

sumberdaya alam dan lingkungan. Bequest value merupakan nilai yang diberikan

oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk

generasi mendatang. Option value diartikan sebagai pemeliharaan sumberdaya alam

sehingga pilihan untuk memanfaatkannya (option) untuk masa yang akan datang

masih tersedia. Nilai ini mengandung ketidakpastian artinya merujuk pada nilai

barang dan jasa dari sumberdaya yang mungkin timbul sehubungan dengan

ketidakpastian permintaan dimasa mendatang, jika kita yakin terhadap preferensi

dan ketersediaan sumberdaya dimasa mendatang maka nilai option value akan nol.

23

Secara skematis total economic value (TEV) dengan beberapa contoh yang

termasuk didalamnya disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Skematis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam (Total Economic Value /TEV) (Pearce, 1992)

Beberapa hasil studi penilaian ekonomi yang telah dilakukan antara lain

adalah, Darusman (1993) mengkaji manfaat tidak langsung (inderect use value) dari

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) sebagai perlindungan aliran air.

Kebutuhan air dan penilaian terhadap kesediaan masyarakat membayar agar air tetap

secara teratur mengalir dengan peruntukan air minum, sanitasi dan pertanian. Hasil

penelitian menghasilkan nilai dugaan manfaat air yang diberikan kawasan TNGP

sebesar Rp 4,341 miliar per tahun atau Rp 280 juta per hektar bagi masyarakat

sekitarnya.

Hasil Studi di Pulau Siberut yang dilakukan oleh Universitas`Duke terhadap

kesediaan turis dalam mendukung konservasi lingkungan dan kebudayaan tradisional

sebesar US$ 23, sedangkan estimasi manfaat perlindungan air secara ekologis dari

NILAI EKONOMI TOTAL

NILAI PENGGUNAAN NILAI NON-PENGGUNAAN

NILAI PENGGUNAAN

LANGSUNG Hasil yang langsung

dapat dikonsumsi

NILAI PENGGUNAAN TAK LANGSUNG

Mangfaat Fungsional

NILAI PILIHAN Nilai

Penggunaan langsung dan tak langsung di

masa depan

NILAI KEBERADAAN Nilai pengetahuan

karena keberadaan

yang berkelanjutan

NILAI NON-PENGGUNAAN

LAINNYA

• Makanan

• Biomassa

• Rekreasi

• Fungsi Ekologis

• Pengendalian banjir

• Perlindungan dari

• Keanekaragaman hayati

• Habitat

• Spesies langka (terancan punah)

Decreasing “tangiability” of value to individual

24

hutan lindung di Ruteng, Flores sebesar US$ 35 per KK per tahun (Kramer et al,

1997).

Dalam prinsip ekonomi, alokasi sumberdaya yang optimal secara sosial yaitu

manfaat sosial marginal yang diperoleh dari konsumsi setara dengan biaya sosial

marginal yang dikeluarkannya. Manfaat sosial marginal ini dicirikan adanya kurva

permintaan, sementara biaya sosial marginal yang menggambarkan kurva suplai

menggambarkan biaya yang harus dibayar oleh pengguna untuk memproduksi satu

unit tambahan. Biaya marginal atas sumberdaya air ini termasuk biaya pengguna

(user cost) atau biaya korbanan yang terjadi dengan adanya deplesi sumberdaya dan

biaya eksternal, seperti biaya lingkungan dan sebagainya. Pada Gambar 7 dibawah

ini ditunjukkan alokasi optimal berdasarkan prinsip Marginal Cost.

Gambar 7. Prinsip Biaya Marginal

Alokasi optimal secara sosial berada pada titik keseimbangan yaitu titik A

dengan harga sebesar P* dan jumlah (kuantitas) sebesar Q*, pada titik ini manfaat

marginal sama dengan biaya marginal tanpa biaya lingkungan. Jika terjadi

eksternalitas negatif dalam pemanfatan sumberdaya, maka biaya marginal akan

bergeser ke atas yaitu sebesar biaya marginal dengan biaya lingkungan dan keadaan

ini akan menyebabkan harga menjadi naik sebesar PL dengan jumlah yang dapat

diberikan (suplai) sebesar QL dan keseimbangan baru terjadi di titik A.

Penerapan mekanisme Marginal Cost (MC) ini memiliki beberapa kelebihan

yaitu secara teoritis mekanisme ini dianggap efisien dan dapat menghindari terjadinya

(Rp)

Q (kuantitas)QL Q*

PL

P*

Biaya Marginal dengan biaya lingkungan

Biaya Marginal tanpa biaya lingkungan

ManfaatMarginal

A

B

25

penilaian dibawah harga (under priced) dan penggunaan yang berkelebihan

(overuse), (Dinar et al., 1997)

Teknik valuasi sumberdaya alam yang tidak dapat dipasarkan (non-market

valuation) dapat digolongkan kedalam dua kelompok (Fauzi, 2006) yaitu:

1. teknik valuasi yang mengandalkan harga implisif dimana Willingness To Pay

terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini sering disebut

teknik yang mengandalkan revealed WTP (keinginan membayar yang

terungkap). Beberapa teknik yang termasuk kedalam kelompok ini adalah:

travel cost, hedonik pricing dan random utility model.

2. teknik valuasi yang didasarkan pada survey dimana keinginan membayar atau

WTP diperoleh langsung dari responden yang langsung diungkapkannya

secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup populer adalah

Contingent Valuation Method (CVM) dan Discreate Choice Method.

Contingent Valuation Method (CVM) pertama kali diperkenalkan oleh Davis

(1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan di Miami. Pendekatan ini

disebut contingent (tergantung) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh

sangat tergantung pada hipotesis yang yang dibangun.

Contingent Valuation Method pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui:

pertama, keinginan membayar (Willingness To Pay/WTP) dari masyarakat. Kedua

keinginan menerima (Willingness To Accept/WTA) kerusakan suatu lingkungan.

Dalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM terdapat lima tahap/proses

yaitu:

1. pada awal proses terlebih dahulu membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya

yang akan dievaluasi

2. melakukan survey dengan kuisioner yang telah disiapkan untuk mendapakan nilai

lelang. Tujuan dari survey ini adalah untuk memperoleh nilai maksimum

keinginan membayar (WTP) dari responden. Nilai lelang ini bisa dilakukan

dengan beberapa cara yaitu:

� permainan lelang (bidding game), responden diberi pertanyaan berulang-ulang

tentang apakah responden ingin membayar sejumlah tertentu. Nilai ini

26

kemudian bisa dinaikkan atau diturunkan tergantung respons atas pertanyaan

sebelumnya, pertanyaan dihentikan sampai nilai yang tetap diperoleh.

� Pertanyaan terbuka, responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai

rupiah yang ingin dibayarkan untuk suatu perbaikan lingkungan.

� Payment card, diperoleh dengan menanyakan apakah responden mau

membayar pada kisaran nilai tertentu dari nilai yang sudah ditentukan

sebelumnya, nilai ini ditunjukkan kepada responden melalui kartu.

� Model referendum atau discreate choice (dichotomous choice), responden

diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak

3. menghitung nilai rataan WTP setiap individu, nilai ini dihitung berdasarkan nilai

lelang (bid) yang diperoleh pada tahap dua. Perhitungan ini biasanya didasarkan

pada nilai rataan (mean) dan nilai tengah (median ).

4. membuat kurva lelang atau bid curve yaitu dengan meregresikan variabel tidak

bebas (dependent variabel) dengan beberapa variabel bebas.

5. mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap ke-tiga. Proses ini

melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan.

Salah satu cara untuk mengkonversi adalah dengan mengalikan rataan sampel

dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (N).