ii tinjauan pustaka a. pajak 1. definisi pajakdigilib.unila.ac.id/14266/16/bab ii.pdf · beberapa...
TRANSCRIPT
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pajak
1. Definisi Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga
dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak
dipungut berdasarkan norma-norma hukum yang hasilnya digunakan untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan nasional demi mencapai
kesejahteraan umum.
Beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli diantaranya adalah :
1. Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Soemitro, S.H. "Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintahan)
dengantidak mendapat jasa timbal (tegen prestatie) yang langsung dapat ditunjuk
dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. Pengertian lainnya pajak
adalah peralihan kekayaan dari rakyat kepada kas negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk membiayai public investment."
2. Menurut Dr. Soeparman Soemohamijaya "Pajak adalah iuran wajib berupa
uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum
guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan umum."
14
3. Menurut R.R.A. Seligman "Pajak itu merupakan suatu pungutan yang bersifat
paksaan dari orang kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
yang bertalian dengan masyarakat umum tanpa dapat ditunjuk adanya
keuntungan-keuntungan khusus sebagai imbalannya ( A tax is compulsory
contribution from the person to the government to defray the expenses inccurred
in the common interest of all without reference to special benefits conferred )"
2. Fungsi Pajak
Pajak pada dasarnya memiliki 2 fungsi utama (Sadono Sukirno : 2000) yaitu :
1. Pajak sebagai budgetary Funtion artinya pajak merupakan alat untuk
mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan Pemerintah, baik rutin
maupun pembangunan
2. Pajak sebagai regulatory function artinya pajak merupakan alat untuk mengatur
perekonomian yang direncanakan oleh Pemerintah seperti Pertumbuhan ekonomi,
distribusi pendapatan, stabilisasi ekonomi dan mengatur kegiatan
konsumen/produsen.
Sementara itu, pemerintah memiliki tiga fungsi pokok pajak (Musgrave &
Musgrave, 1989) yaitu :
1. Fungsi alokasi, yaitu merupakan usaha pemerintah untuk memberikan
pelayanan kepada warga negaranya. Dalam penggunaan dana pada fungsi ini
harus dilakukan secara seimbang dan digunakan untuk pengadaan barang dan jasa
publik.
2. Fungsi distribusi, yaitu dengan dikenakan sistem pajak yang progesif, ini
diharapkan agar distribusi pendapatan dalam masyarakat merata.
15
3. Fungsi stabilisasi, yaitu pajak merupakan salah satu dari kebijakan fiskal bila
digunakan efeknya dapat mengurangi pengangguran, menstabilkan harga,
mengatasi kelangkaan produksi, mengurangi tingkat inflasi dan sebagainya.
3. Prinsip Pemungutan Pajak
Menurut Adam Smith (dalam Suparmoko 1987 : 97), pengenaan pajak harus
memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Keadilan (Equity)
Beban pajak harus sesuai dengan kemampuan relatif dari wajib pajak.
b. Kepastian (Certainly)
Pajak harus tegas, jelas, dan pasti setiap wajib pajak sehingga mudah dimengerti
dan juga akan memudahkan administrasi bagi pemerintah.
c. Kecocokan (Convenience)
pajak jangan sampai menekan wajib pajak sehingga mereka akan dengan sukarela
dan senang hati melakukan pembayaran pajak kepada pemerintah.
d. Ekonomi (Economy)
Pajak jangan sampai menimbulkan kerugian dalam arti biaya pungutan jangan
sampai lebih besar daripada penerimaan pajaknya.
e. Ketepatan (Adequate)
pajak dapat dipungut tepat waktu dan jangan sampai mempersulit posisi
anggaraan Pemerintah.
16
4. Asas Pengenaan Pajak
Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk
mengenakan pajak adalah:
1. Asas domisili (Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan
wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnaya baik penghasilan yang berasal
dari dalam maupun luar negeri).
2. Asas sumber (Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang
bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak).
3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas adalah Pemungutan pajak yang
dilakukan berdasarkan kebangsaan atau kewarganegaraan dari wajib pajak, untuk
menghindari pajak berganda (yaitu seorang wajib pajak dikenakan pajak dari
berbagai negara yang menggunakan salah satu dari ketiga negara asas diatas)
maka diadakan suatu perjanjian perpajakan (tax treaty).
5. Sistem Pemungutan Pajak
Mardiasmo (2009:7) sistem pemungutan pajak dibagi atas 3 :
1. Official Assessment System
sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah (petugas
pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak. Sistem
pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi perpajakan pada
tahun 1984. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang
dihitung oleh petugas pajak, (ii) wajib pajak bersifat pasif, dan (iii) hutang pajak
17
timbul setelah petugas pajak menghitung pajak yang terhutang dengan
diterbitkannya surat ketetapan pajak.
2. Self Assessment System
sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk
menghitung sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar sendiri pajak yang
terhutang yang seharusnya dibayar. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah
(i) pajak terhutang dihitung sendiri oleh wajib pajak, (ii) wajib pajak bersifat aktif
dengan melaporkan dan membayar sendiri pajak terhutang yang seharusnya
dibayar, dan (iii) pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak
setiap saat kecuali oleh kasus-kasus tertentu saja seperti wajib pajak terlambat
melaporkan atau membayar pajak terhutang atau terdapat pajak yang seharusnya
dibayar tetapi tidak dibayar.
3. Withholding System
sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pihak lain atau pihak
ketiga untuk memotong dan memungut besarnya pajak yang terhutang oleh wajib
pajak. Pihak ketiga disini adalah pihak lain selain pemerintah dan wajib pajak.
Sistem pemungutan pajak di Indonesia sesuai dengan asas pemungutan
pajakmenganut sistem pemungutan pajak self assesment system dan witholding
system.
6. Struktur Tarif Pajak
Dalam pengenaan pajak dikenal struktur tarif pajak yakni
1. Tarif Tunggal yaitu pajak yang menggunakan satu macam tarif, terdiri dari :
18
a. Tarif tetap (Regresif) adalah tarif yang besarnya tetap dan tidak tergantung
kepada nilai obyek yang dikenakan pajak. Contohnya aturan bea materai untuk
cek dan bilyet giro dengan nominal berapa pun adalah Rp. 3000.000.
b. Tarif sebanding (Proporsional) adalah tarif dengan menggunakan prosentase
tetap. Sehingga jumlah pajak akan berubah sesuai dengan besarnya nilai obyek
yang dikenakan pajak. Contohnya tarif Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Tarif Tidak Tunggal yaitu pajak
a. Tarif Progesif adalah tarif yang menggunakan prosentase semakin besar untuk
nilai obyek yang jumlahnya semakin besar. Contohnya penetapan NJKP dalam
perhitungan PBB.
b. Tarif Degresif adalah tarif yang besar prosentasinya semakin menurun bila
besar obyek yang dikenakan pajak semakin besar jumlahnya. Di Indonesia tidak
menggunakan tarif degresif.
7. Teori Pajak
Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis
perbelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi
pemerintah, membangun, dan memperbaiki infrastruktur , menyediakan fasilitas
pendidikan dan kesehatan, dan membiayai anggota polisi dan tentara untuk
menjaga keamanan merupakan pengeluaran yang tidak boleh dielakkan
pemerintah. Untuk dapat membiayai pengeluaran tersebut pemerintah perlu
mencari dana. Dana tersebut terutama diperoleh dari pungutan pajak atas rumah
tangga dan perusahaan (Sukirno, 2004).
19
Secara garis besar berbagai jenis pajak yang dipungut pemerintah dapat dibedakan
kepada dua golongan, yaitu pajak langsung dan pajak tak langsung.
1. Pajak Langsung
Pajak langsung berarti jenis pungutan pemerintah yang secara langsung
dikumpulkan dari pihak yang wajib membayar pajak. Setiap individu yang
bekerja dan perusahaan yang menjalankan kegiatan dan memperoleh keuntungan
wajib membayar pajak. Pajak yang dipungut dan dikenakan keatas pendapatan
mereka dinamakan pajak langsung, yaitu pajak yang secara langsung dipungut
dari orang yang berkewajiban untuk membayar pajak.
2. Pajak tak Langsung
Pajak tak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dipindah-pindahkan kepada
pihak lain. Salah satu jenis pajak tak langsung yang peting adalah pajak impor.
Biasanya, pada akhirnya yang akan menanggung beban pajak tersebut adalah
para konsumen. Yang mula-mula membayar pajak adalah perusahaan-perusahaan
yang mengimpor barang. Akan tetapi, pada waktu menjual barng impor tersebut,
pengimpor akan menambahkan pajak impor yang dibayarnya dalam menentukan
harga penjualannya. Dengan demikian keuntungannya tidak berkurang. Pada
akhirnya, para pembeli yang akan membayar pajak, yaitu dalam bentuk harga
yang lebih tinggi. Contoh lain dari pajak tak langsung adalah pajak penjualan.
Pajak ini biasanya ditambahkan keharga penjualan yang ditentukan oleh
pedagang-pedagang. Oleh sebab itu pajak penjualan berkecenderungan akan
mengakibatkan kenaikan harga.
20
Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum
Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
1. Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi
warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun
keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya
seperti layaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran premi.
Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori
ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan
asuransi.
2. Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya
kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam
perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan,
maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak
ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan
perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan
jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang miskin justru dibebaskan
dari beban pajak.
Efek Pajak Atas Konsumsi dan Tabungan
Dalam perekonomian dua sektor, pendapatan nasional adalah sama dengan
pendapatan disposebel. Sebagai akibat adanya pajak, dalam perekonomian tiga
sektor pendapatan disposebel telah menjadi lebih kecil dari pendapatan nasional.
Dalam perekonomian yang telah mengenakan pajak, hubungan diantara
21
pendapatan disposebel dan pendapatan nasional dapat dinyatakan secara
persamaan berikut:
Yd=Y-T
Yaitu, pendapatan disposebel (Yd) adalah sama dengan pendapatan nasional(Y)
dikurangi oleh pajak (T). Penurunan pendapatan disposebel akan mengurangi
konsumsi dan tabungan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena pajak yang
dibayarkannya mengurangi kemampuannya untuk melakukan pengeluaran
konsumsi dan tabungan, secara umum dapat dirumuskan:
1. Pajak yang dipungut akan mengurangi pendapatan disposebel sebanyak pajak
yang dipungut tersebut. Dalam persamaan: Yd=Y-T.
2. Penurunan pendapatan disposebel menyebabkan pengeluaran konsumsi dan
tabungan rumah tangga akan berkurang pada berbagai tingkat pendapatan.
Ketika pemerintah merubah pengeluaran atau tingkat pajaknya, perubahan ini
mempengaruhi permintaan terhadap output barang dan jasa perekonomian serta
mengubah tabungan nasional, investasi dan tingkat bunga ekulibirium.
Peningkatan Pembelian Pemerintah berdampak langsung meningkatkan
permintaan terhadap barang dan jasa sebesar G, tetapi karena output total tetap,
maka kenaikan tersebut harus dipenuhi melalui penurunan beberapa kategori
permintaan lain. Karena disposable income Y-T tidak berubah, konsumsi C tidak
berubah, kenaikan pembelian pemerintah harus dipenuhi melaui penurunan
investasi dalam jumlah yang sama. Dan pembelian pemerintah tidak dikaitkan
dengan peningkatan pajak, maka pemerintah mendanai pengeluaranya dengan
meminjam yaitu dengan mengurangi tabungan publik. Karena tabungan publik ini
22
tidak berubah maka akan mengurangi tabungan nasional. Agar investasi turun,
tingkat bunga harus naik. Jadi, kenaikan pembelian pemerintah menyebabkan
tingkat bunga meningkat dan investasi turun. Pembelian pemerintah dikatakan
crowd out (membatasi) investasi.
Dampak langsung dari pemotongan atau penurunan pajak itu adalah peningkatan
disposable income dan dengan demikian peningkatan konsumsi. Disposable
income naik sebesar T dan konsumsi meningkat sebesar jumlah yang sama
dengan T dikali dengan kecendrungan mengkonsumsi (MPC). Semakin tinggi
MPC semakin besar dampak pemotongan pajak terhadap konsumsi.
Karena output perekonomian ditetapkan oleh faktor-faktor produksi dan tingkat
pembelian pemerintah ditetapkan oleh pembelian pemerintah, kenaikan konsumsi
harus diimbangi dengan penurunan investasi. Karena investasi turun, tingkat
bunga akan naik. Jadi, penurunan pajak, seperti kenaikan pemerintah, meng-
crowd out investasi dan meningkatkan tingkat bunga.
Kita juga bisa menganalisis dampak dari pemotongan pajak dengan menelaah
tabungan dan investasi. Karena pemotongan pajak meningkatkan disposibel
income sebesar T, konsumsi meningkat sampai MPC x T. Tabungan nasional
S, yang sama dengan Y – C – G, turun sejumlah kenaikan konsumsi. Penurunan
tabungan menggeser penawaran dan pinjaman ke kiri, yang meningkatkan tingkat
bunga ekuilibirium dan meng-crow out investasi.
23
B. Pajak Bumi dan Banguan (PBB)
1. Definisi PBB
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi dan atau bangunan. Keadaan subjek
tidak ikut menentukan besarnya pajak. PBB pada awalnya merupakan pajak pusat
yang alokasi penerimaannya dialokasikan ke daerah-daerah dengan proporsi
tertentu, namun demikian dalam perkembangannya berdasarkan Undang-Undang
No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD pajak ini khususnya sektor perkotaan dan
pedesaan menjadi sepenuhnya pajak daerah.
PBB dikenakan terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang
didasarkan pada azas kenikmatan dan manfaat, dan dibayar setiap tahun. PBB
pengenaannya didasarkan pada Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No.12 tahun 1994. Namun demikian dalam perkembangannya PBB sektor
pedesaan dan perkotaan menjadi pajak daerah yang diatur dalam Undang-
Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)
Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 mulai tahun 2010.
2. Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Pengertian
ini berarti bukan hanya tanah permukaan bumi saja tetapi betul-betul tubuh bumi
dari permukaan sampai dengan magma, hasil tambang, gas material yang lainnya.
Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan
24
tempat yang diusahakan, yang termasuk dalam pengertian bangunan antara lain
seperti dalam pasal 77 ayat (2) Undang-Undang PDRD, disebutkan bahwa
termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
a. jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang satu kesatuan dengan
kompleks bangunan tersebut,
b. jalan TOL,
c. kolam renang,
d. pagar mewah,
e. tempat olah raga,
f. galangan kapal, dermaga,
g. taman mewah,
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, fasilitas lain
yang memberikan manfaat.
Tidak semua objek bumi dan bangunan akan dikenakan PBB, ada juga objek yang
di kecualikan dari pengenaan PBB adalah apabila sebagai berikut :
a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksud-kan untuk memperoleh keuntungan,
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan
itu,
25
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang
belum di bebani suatu hak,
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik,
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
3. Subyek PBB
Subyek PBB sekaligus sebagai wajib pajak adalah orang atau badan yang
mempunyai atau memperoleh manfaat dari obyek pajak, namun apabila dalam hal
suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, maka Direktur Jendral
Pajak menentukan wajib pajaknya.
4. Dasar Pengenaan PBB
Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan
setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan
setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Penentuan NJOP ini dilakukan
dengan melakukan penilai terhadap objek pajak baik yang dilakukan secara masal
atau individual.
Secara tegas Undang-Undang No 12 tahun 1994 menjelaskan yang dimaksud
dengan NJOP mempunyai pengertian sebagai berikut :
“Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
26
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru,
atau nilai jual objek pajak pengganti”.
5. Penentuan NJOP
Penentuan besarnya NJOP adalah proses penting mengingat NJOP ini yang akan
menentukan besarnya pajak yang di bayar oleh masyarakat. Dalam Keputusan
Direktur Jenderal No. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 dijelaskan
bagaimana menentukan besarnya NJOP untuk setiap sektor PBB. Dalam
Keputusan tersebut diatur sebagai berikut :
1. NJOP atas Sektor Pedesaan/Perkotaan (Obyek PBB yang meliputi kawasan
pertanian, perumahan, perkantoran, pertokoan, industri serta obyek khusus
perkotaan).
2. NJOP atas Sektor Perkebunan (Obyek PBB yang meliputi areal pengusahaan
benih, penanaman baru, perluasan, perubahan jenis tanaman, keragaman jenis
tanaman termasuk sarana penunjangnya).
3. NJOP atas Sektor Kehutanan (Obyek PBB yang meliputi areal pengusahaan
hutan dan budidaya hutan).
4. NJOP atas Sektor Pertambangan (Obyek PBB yang meliputi areal usaha
penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian
strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya).
5. NJOP atas Sektor Perikanan (Semua usaha perorangan atau badan yang
memiliki ijin usaha untuk menangkap atau membudidayakan sumber daya ikan,
termasuk semua jenis ikan dan biota perairan lainnya serta kegiatan menyimpan,
mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial).
27
6. NJOP atas Objek Pajak yang Bersifat Khusus (Obyek pajak yang memiliki
jenis konstruksi khusus baik ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk
maupun keberadaanya memiliki arti khusus seperti: lapangan golf, pelabuhan laut,
pelabuhan udara, jalan tol, pompa bensin, dan lain-lain).
6. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
Pelaksanaan perhitungan pengenaan pajak PBB ditentukan berdasarkan Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) setelah dikurangi dengan NJOP Tidak Kena Pajak
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan R I. Nomor :
201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan PBB. Setiap wajib pajak diberikan 1 kali
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Apabila seorang Wajib
Pajak mempunyai lebih dari 1 objek pajak, maka sesuai penjelasan UU PBB, yang
diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagaimana
dimaksud dalam keputusan ini ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00
untuk setiap wajib pajak. Batasan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00
mengandung maksud bahwa apabila ada Daerah Tingkat II atau Kabupaten / Kota
yang ingin menetapkan NJOP TKPnya disesuaikan dengan kondisi, lingkungan
ekonominya, kurang dari Rp 12.000.000,00.
Penetapan besarnya NJOP TKP sebagaimana dimaksud dalam Peraturan tersebut
di atas untuk setiap daerah Kabupaten / Kota, ditetapkan oleh Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan
mempertimbangkan pendapat Pemerintah Daerah setempat. Sedangkan
28
berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (4) besarnya NJOPTKP
ditentukan paling rendah adalah Rp. 10.000.000,00 dan penetapannya dilakukan
oleh masing-masing Kepala Daerah.
7. Dasar Perhitungan PBB dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002 Tentang
Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak Untuk Penghitungan PBB, maka
besarnya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) untuk perhitungan PBB ditentukan
sebagai berikut:
1. Sebesar 40% dari NJOP untuk:
Objek Pajak Perkebunan,
Objek Pajak Kehutanan,
Objek Pajak Pertambangan,
Objek PBB lainnya apabila NJOP ≥ 1 milyar rupiah,
2. Sebesar 20% dari NJOP untuk objek PBB Lainnya apabila NJOP < 1 Milyar
rupiah.
Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 dalam perhitungan PBB tidak lagi
mengenal besarnya NJKP.
8. Tarif PBB
Tarif PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun
1994 adalah tetap sebesar 0.5%, sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009
29
Pasal 80 ayat (1) dan (2) adalah paling tinggi 0.3% yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
9.Perhitungan PBB
Perhitungan PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang No.12 tahun 1994 adalah sebagai berikut:
PBB = 0,5% X 20% X (NJOP – NJOP TKP)
Atau 0,5% X 40% X (NJOP TKP)
Sedangkan perhitungan PBB menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 81 adalah
sebagai berikut:
PBB = max 0,3* X (NJOP – NJOP TKP**)
Keterangan :
* = Paling tinggi 0.3% ditetapkan sesuai peraturan daerah
**=Paling rendah Rp. 10.000.000 sesuai peraturan daerah
Sumber : Undang-Undang No. 28/2009
NJOP dikelompokkan kedalam klas-klas yang disebut dengan klasifikasi NJOP
baik untuk bumi maupun bangunan. Klasifikasi NJOP bumi terdiri dari 2 (dua)
kelompok yaitu kelompok A (50 klas) dengan klas tertinggi Rp. 3.100.000,- per
m2
dan klas terendah Rp. 140,- per m2 dan kelompok B (50 klas) dengan klas
tertinggi sebesar Rp. 68.545.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp.
3.375.000,- per m2.
Klasifikasi NJOP bangunan terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok A (20
klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 1.200.000,- per m2 dan klas terendah
30
sebesar Rp. 50.000,- per m2 dan kelompok B (20 klas) dengan klas tertinggi
sebesar Rp. 15.250.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 1.516.000,- per m
2.
Wilayah yang dekat dengan pusat-pusat pelayanan sosial dengan jumlah
penduduk tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, nilai jual tanah setempat
akan cenderung lebih tinggi. Sebagaimana dikatakan (Eckert 1990:178) tanah
mempunyai kekuatan ekonomis yang mengikuti mekanisme pasar dimana nilai
atau harga tanah sangat tergantung pada penawaran dan permintaan, dalam jangka
pendek penawaran sangat elastis ini berarti harga tanah pada wilayah tertentu akan
tergantung pada faktor permintaan, seperti : kepadatan penduduk dan tingkat
pertumbuhannya,tingkat kesempatan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat
serta kapasitas sistem transportasi dan tingkat suku bunga.
C. Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan PBB
Kesadaran adalah keadaan mengetahui, sedangkan perpajakan adalah perihal
pajak, sehingga kesadaran perpajakan adalah keadaan mengetahui atau mengerti
perihal pajak. Kesadaran perpajakan adalah kerelaan memenuhi kewajiban dan
memberikan kontribusi kepada negara yang menunjang pembangunan negara.
Kesadaran wajib pajak berkonsekuensi logis untuk wajib pajak, yaitu kerelaan
wajib pajak memberikan kontribusi dana untuk pelaksaan fungsi perpajakan
dengan cara membayar pajak tepat waktu dan tepat jumlah (Yusnidar, 2014).
Indikator yang digunakan untuk mengukur kesadaran wajib pajak menurut Bakrin
yaitu : 1) mengetahui fungsi pajak, wajib pajak sadar bahwa dengan membayar
pajak akan digunakan pemerintah sebagai salah satu sumber dana pembiayaan
pelaksanaan fungsi dan tugas pemerintah secara rutin 2) kesadaran membayar
31
pajak, dengan sadar membayar pajak akan dapat digunakan pemerintah sebagai
dana umum pelaksanaan fungsi dan tugas pemerintah, wajib pajak sadar bahwa
negara membutuhkan pembiayaan dan pajak merupakan salah satu tulang
punggung negara (Jotopurnomo, 2013).
Kesadaran wajib pajak berkonsekuensi logis untuk para wajib pajak agar mereka
rela memberikan konstribusi dana untuk pelaksanaan fungsi perpajakan.
Kesadaran perpajakan seringkali menjadi kendala dalam masalah pengumpulan
pajak dari masyarakat. Wajib pajak yang memiliki kesadaran yang tinggi akan
melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang
berlaku. Sedangkan wajib pajak yang memiliki kesadaran yang rendah akan
cenderung untuk tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya atau melanggar
peraturan perpajakan yang berlaku. Sehingga semakin tinggi tingkat kesadaran
wajib pajak maka seharusnya semakin tinggi pula tingkat kepatuhan wajib pajak
dalam membayar pajak bumi dan bangunan dan pada akhirnya akan
meningkatkan penerimaan PBB.
D. Kemampuan Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan PBB
Kemampuan wajib pajak merupakan kondisi dimana keuangan merupakan faktor
ekonomi yang berpengaruh pada kepatuhan dalam membayar pajak. Kemampuan
finansial masyarakat untuk dapat membayar pajak sangat ditentukan dengan
pendapatan wajib pajak. Pendapatan didefinisikan sebagai jumlah penghasilan
rupiah yang dihasilkan wajib pajak yang diperoleh dari pekerjaan utama maupun
sampingan. Dengan kemampuan finansial wajib pajak akan dapat memenuhi
kewajibannya untuk membayar pajak.
32
Penelitian ini menggunakan dua indikator pertanyaan yaitu pengenaan tarif pajak
sudah sesuai dengan keadaan obyek pajak dan pengenaan tarif pajak tidak
memberatkan wajib pajak.
Kontribusi masyarakat bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia salah satunya dengan memberikan kontribusi berupa pembayaran pajak
kepada negara. Wajib pajak dapat melakukan pembayaran pajak tersebut pastinya
dengan menyisihkan sebagian pendapatan yang diperolehnya. Apabila wajib pajak
mempunyai pendapatan yang cukup, maka individu tersebut mampu untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik
yaitu dengan membayar pajak tepat pada waktunya. Dengan demikian, semakin
baik tingkat ekonomi wajib pajak maka akan berpengaruh pada niat untuk
berperilaku patuh membayar PBB (Hasannudin, 2014).
E. Pelayanan Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan PBB
Pelayanan publik yang berkualitas adalah pelayanan yang berorientasi kepada
aspirasi masyarakat, lebih efesien, efektif dan bertanggung jawab. Dapat
disimpulkan kualitas pelayanan adalah ukuran citra yang diakui masyarakat
mengenai pelayanan yang diberikan, apakah masyarakat puas atau tidak puas.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Publik,
mengharuskan setiap penyelenggaraan pelayanan publik memiliki standar
pelayanan yang dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima
pelayanan termasuk pelayanan perpajakan.
33
Kualitas pelayanan perpajakan dalam Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan menjadi dua bagian
(Yusnidar, 2014).
1. Metode Penyampaian SPPT
Mekanisme penyerahan SPPT dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset
Daerah yang disalurkan kepada kantor kelurahan sesuai domisili Wajib Pajak, dari
kantor kelurahan SPPT diserahkan kepada ketua RW yang kemudian oleh ketua
RW disampaikan kepada Ketua RT untuk disampaikan kepada wajib pajak.
2. Pelayanan pembayaran PBB-P2
Pelayanan pembayaran PBB-P2 disini adalah mekanisme pembayaran yang
dibuat sesederhana mungkin, wajib pajak hanya perlu membawa sejumlah
nominal pajak terutangnya beserta SPPT PBB-P2 jika membayar di kelurahan,
jika membayar di bank wajib pajak akan dibantu oleh petugas bank. Selain itu
fasilitas-fasilitas yang mendukung proses pembayaran yang meningkatkan
kenyamanan Wajib Pajak dalam membayar PBB-P2 harus lebih ditingkatkan serta
kemudahan bagi Wajib Pajak yang ingin membayar juga merupakan bagian dari
pelayanan.
Berkaitan dengan hubungan antara kualitas layanan dengan kepuasan dan
loyalitas pelanggan, membuktikan bahwa kualitas layanan secara langsung
maupun tidak langsung berhubungan dengan loyalitas melalui variabel antara
kepuasan. Dalam konteks pembayaran pajak, istilah pelanggan lebih umum
disebut sebagai wajib pajak (WP), sedangkan pengertian loyalitas pelanggan lebih
umum disebut sebagai kepatuhan oleh wajib pajak (WP). Kualitas layanan
34
berpengaruh terhadap kepuasan dan kepuasan berpengaruh terhadap kepatuhan
wajib pajak dalam membayar pajak dan pada akhirnya akan meningkatkan
penerimaan PBB (Ronia, 2012).
F. Penelitian Terdahulu
Tabel 1. Penelitian Terdahulu
Judul Metode Analisis Hasil Empiris
1. Christian Danang
Prihartanto (2014) “Analisis
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kepatuhan
Wajib Pajak dalam Melakukan
Pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan (Studi kasus pada
wajib pajak PBB P2
Kecamatan Pesantren Kota
Kediri)”
Metode statistik yang
digunakan analisis regresi
berganda.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
secara parsial variabel SPPT,
pengetahuan Pajak, pelayanan
Pajak dan kesadaran Wajib Pajak
berpengaruh positif dan signifikan
terhadap
kepatuhan wajib pajak dalam
membayar PBB-P2 baik secara
parsial dan simultan.
2. Cindy Jotopurnomo (2013)
“Pengaruh Kesadaran Wajib
Pajak, Kualitas Pelayanan
Fiskus, Sanksi Perpajakan,
Lingkungan Wajib Pajak
terhadap Kepatuhan Wajib
Pajak Orang Pribadi di
Surabaya”
Metode statistik yang
digunakan analisis regresi
berganda.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesadaran Wajib Pajak,
kualitas pelayanan fiskus, sanksi
perpajakan, dan lingkungan Wajib
Pajak berpengaruh signifikan
terhadap kepatuhan Wajib Pajak
Orang Pribadi di Surabaya.
35
3. Kessi Ronia (2012) “Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi
Kepatuhan Wajib Pajak dalam
Membayar Pajak Bumi dan
Bangunan (Studi Kasus pada
Kecamatan Pekalongan Utara
Kabupaten Pekalongan)”
Metode statistik yang
digunakan Regresi
bilinear digunakan
sebagai alat analisis yang
memiliki uji kuesioner
(validitas dan reliabilitas),
uji asumsi klasik
(normalitas, multi-
collinear), uji regresi
bilinear, uji hipotesis (uji
dan f) dan uji determinasi.
Hasil analisis regresi bilinear faktor
yang paling mempengaruhi
kepatuhan wajib pajak adalah
pelayanan yaitu dari nilai koefisien
regresi 0.351 berpengaruh positif
dan signifikan dengan 0.000 dari
nilai probabilitas. Pendapatan,
Penyuluhan dan SPPT berpengaruh
terhadap wajib pajak yaitu 0337;
0125 dan 0115 dari nilai koefisien
regresi. Hal positif dipengaruhi
secara signifikan 0000; 0030 dan
0027 dari nilai probabilitas. Secara
bersamaan Pendapatan, SPPT,
Penyuluhan dan Sanksi memiliki
pengaruh yang signifikan dengan
0.000 dari nilai probabilitas.
Dengan uji koefisien determinasi
lima variabel di atas dapat
menjelaskan persentase 96, 9% dari
variabel Y.
4. Hasannudin (2014) “Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi
Kepatuhan Wajib Pajak dalam
Membayar PBB (Studi
Empiris Pada Wajib Pajak
Orang Pribadi Dikota Tidore
Kepulauan)”
Metode statistik yang
digunakan analisis regresi
berganda.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesadaran wajib pajak,
motivasi wajib pajak, dan tingkat
ekonomi masing-masing wajib
pajak secara parsial tidak
berpengaruh pada kepatuhan wajib
pajak dalam membayar PBB.
36
5. Johan Yusnidar (2014)
“Pengaruh Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kepatuhan
Wajib Pajak dalam Melakukan
Pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan”
Metode analisis
menggunakan analisis
deskriptif dan analisis
regresi linier berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa SPPT, Pengetahuan Wajib
Pajak, Kualitas Pelayanan,
Kesadaran Wajib Pajak, dan Sanksi
Pajak berpengaruh secara parsial
dan simultan terhadap variabel
Kepatuhan Wajib Pajak.