ii. tinjauan pustaka a. ginjal - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/9939/13/bab ii-1.pdf · b....
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ginjal
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak
(sangat vaskuler), tugas dasarnya adalah “menyaring atau membersihkan”
darah dan membuang produk akhir metabolism tubuh (Smeltzer, 2002).
Tubuh manusia normal memiliki sepasang ginjal. Dua organ ginjal ini
masing-masing mempunyai lebih dari satu juta unit penyaringan mini yang
disebut nefron.
Ginjal merupakan salah satu organ yang penting bagi makhluk hidup. Ginjal
memiliki berbagai fungsi seperti pengaturan keseimbangan air dan elektrolit,
pengaturan konsentrasi osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit,
pengaturan keseimbangan asam-basa, ekskresi sisa metabolisme dan bahan
kimia asing, pengatur tekanan arteri, sekresi hormon, dan glukoneogenesis.
Jika ginjal dibagi dua dari atas ke bawah, akan terlihat dua bagian utama
yaitu korteks di bagian luar dan medulla di bagian dalam. Ginjal tidak dapat
membentuk nefron baru sehingga apabila terjadi trauma pada ginjal, penyakit
ginjal, atau terjadi penuaan normal, akan terjadi penurunan jumlah nefron
secara bertahap (Guyton, 2007)
9
Fungsi ginjal pada dasarnya meliputi :
1. Fungsi Ekskresi
Ginjal akan mengeluarkan urin sekitar 1,5 liter/24 jam (1 ml/menit),
yang mengandung banyak sekali zat-zat sisa/limbah metabolisme
(proses pembangunan energi, bahan dasar jaringan tubuh dan lain-lain
dari bahan makanan yang masuk ke dalam tubuh, dari berbagai jalur).
Zat-zat ini banyak sekali yang sifatnya toksik (racun) yang berbahaya
bila terlalu banyak tertumpuk di dalam tubuh.
2. Fungsi Regulasi
Ginjal memproduksi urin sebanyak cairan yang masuk ke dalam tubuh
dikurangi kebutuhan tubuh. Urin ini semula adalah berupa filtrasi
darah di glomerulus. Ginjal dapat mengatur jumlah produksi urin,
banyaknya bahan-bahan yang harus diserap kembali oleh tubuh, dan
banyaknya bahan-bahan yang dikeluarkan. Dengan demikian regulasi
air dan elektrolit darah merupakan salah satu fungsi utama ginjal.
3. Fungsi Sekresi
Ginjal menghasilkan berbagai substansi yang sangat perlu bagi tubuh,
seperti :
a. Renin
Hormon ini menyebabkan pembentukan angiotensin II yaitu
protein yang bersifat vasokonstriktor kuat yang berguna untuk
memacu retensi garam. Hormon ini perlu untuk pemeliharaan
tekanan darah.
10
b. Vitamin D
Merupakan hormon steroid yang dimetabolisme di ginjal menjadi
bentuk aktif 1,25-dihidroksikolekalsiferol, yang terutama berperan
meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat dari usus.
c. Eritropoetin
Merupakan protein yang diproduksi di ginjal; meningkatkan
pembentukan sel darah merah di sumsum tulang.
d. Prostaglandin
Diproduksi di ginjal; memiliki berbagai efek, terutama pada tonus
pembuluh darah ginjal.
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif.
Dalam proses pembentukan urin, ginjal menyerap kembali elektrolit penting
melalui transport aktif dalam tahap reabsorpsi. Komposisi dan volume cairan
ekstraseluler ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi
tubulus. (Sherwood, 2006)
1. Filtrasi Glomerulus
Merupakan proses pertama dalam pembentukan urin. Air, ion dan zat
makanan serta zat terlarut dikeluarkan dari darah ke tubulus proksimal.
Cairan yang difiltrasi dari glomerulus ke dalam kapsula Bowman harus
melewati tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus, yaitu
dinding kapiler glomerulus, membran basal dan lapisan dalam kapsula
11
Bowman. Sel darah dan beberapa protein besar atau protein bermuatan
negative seperti albumin secara efektif tertahan oleh karena ukuran dan
muatan pada membrane filtrasi glomerular. Sedangkan molekul yang
berukuran lebih kecil atau yang bermuatan positif, seperti air dan
kristaloid akan tersaring. Tujuan utama filtrasi glomerulus adalah
terbentuknya filtral primer di tubulus proksimal. (Sherwood, 2006)
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus
difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10 mHg dan menghasilkan 180 L filtrat
glomerulus setiap hari untuk GFR rata-rata 125 ml/menit pada pria dan
160 L filtrate per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk wanita.
(Sherwood, 2006)
2. Reabsorpsi Tubulus
Reabsorpsi tubulus merupakan proses menyerap zat-zat yang diperlukan
tubuh dari lumen tubulus ke kapiler peritubulus. Proses ini merupakan
transport transepitel aktif dan pasif karena sel-sel tubulus yang berdekatan
dihubungkan oleh tight junction.
Berikut ini merupakan zat-zat yang direabsorpsi di ginjal :
a. Reabsorpsi glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transport aktif di tubulus proksimal.
Proses reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase,
12
karena molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa
menembus membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi.
b. Reabsorpsi natrium
Natrium yang difiltrasi seluruhnya oleh glomerulus, 98-99% akan
direabsorpsi secara aktif di tubulus. Sebagian natrium 67%
direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% direabsorpsi di lengkung
Henle, dan 8% di tubulus distal dan tubulus pengumpul (Sherwood,
2006). Natrium yang direabsorpsi sebagian ada yang kembali ke
sirkulasi kapiler dan dapat juga berperan penting untuk reabsorpsi
glukosa, asam amino, air, dan urea (Corwin, 2009).
c. Reabsorpsi air
Air secara pasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus.
Sebanyak 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan ansa
Henle. Sisanya akan direabsorpsi di tubulus distal dan duktus
pengumpul dengan kontrol vasopressin. (Sherwood, 2006)
d. Reabsorpsi klorida
Direabsorpsi secara pasif mengikuti penurunan gradien reabsorpsi
aktif dari natrium. Jumlah ion klorida yang direabsorpsi ditentukan
oleh kecepatan reabsorpsi ion natrium. (Sherwood, 2006)
e. Reabsorpsi kalium
Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan
direabsorpsi secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%,
40% kalium akan direabsorpsi di ansa henle pars asendens tebal, dan
sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul. (Corwin, 2009)
13
f. Reabsorpsi urea
Urea merupakan produk akhir dari metabolism protein. Ureum akan
difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi
sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses
sekresi. Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal
karena tubulus kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea.
Saat mencapai duktus pengumpul, urea akan mulai direabsorpsi
kembali. (Sherwood, 2006)
g. Reabsorpsi fosfat dan kalsium
Ginjal secara langsung mengatur kadar ion fosfat dan kalsium dalam
plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 40% direabsorpsi
di tubulus kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi di ansa henle
pars asendens. Dalam reabsorpsi kalsium dikendalikan oleh hormone
paratiroid. Ion fosfat yang difiltrasi, akan direabsorpsi sebanyak 80%
di tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya akan diekskresikan
ke dalam urin.
14
Gambar 3. Proses reabsorpsi tubulus
3. Sekresi Tubulus
Sekresi adalah proses perpindahan zat dari kapiler peritubulus kembali ke
lumen tubulus. Proses sekresi yang terpenting adalah sekresi ion H+, K
+
dan ion-ion organik. Proses sekresi ini melibatkan transport transepitel. Di
sepanjang tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus
sehingga dapat tercapai keseimbangan asam-basa. Asam urat dan K+
disekresi ke dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi
akan disekresikan dalam urin dan kontrol ion K+ tersebut diatur oleh
hormone antidiuretik (ADH).
15
B. Gagal Ginjal Kronis
1. Definisi
Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang ireversibel
atau apabila Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) berada di bawah 60 ml/min/1.73
m2 dan telah berlangsung minimal 3 bulan. Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
tidak bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan dalam jangka waktu
lama. Dalam kondisi tersebut diperlukan terapi pengganti untuk
mempertahankan hidup penderita yaitu hemodialisis, peritoneal dialisis dan
transplantasi ginjal. (Suwitra, 2007)
Batasan penyakit ginjal kronik sebagai berikut:
a. Kerusakan ginjal >3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
i. kelainan patalogik
ii. petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
b. Laju filtrasi glomerulus <60 ml/menit/1,73 m2 selama >3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal
Sesuai dengan tes kreatinin klirens, maka gagal ginjal kronik dapat
diklasifikasikan dengan derajat penurunan faal ginjal sebagai berikut
(Sukandar, 2006):
16
Tabel 1. Klasifikasi gagal ginjal kronis
Derajat Primer (LFG) Sekunder (kreatinin mg%)
Normal
1
2
3
4
5
Normal
50 – 80 % normal
20 – 50 % normal
10 – 5 %normal
5 – 10 % normal
< 5 % normal
Normal
Normal – 2,4
2,5 – 4,9
5,0 – 7,9
8,0 – 12,0
>12,0
Klasifikasi stadium penyakit gagal ginjal kronik ditentukan oleh nilai laju
filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju
filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Pada tahun 2002, The Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation
(NKF) mengklasifikasikan tahapan perkembangan penyakit gagal ginjal
kronis sebagai berikut:
Stadium 1 : kerusakan ginjal dengan LFG normal atau > 90 ml/min/1.73 m2
Stadium 2 : penurunan ringan pada LFG: 60-89 ml/min/1.73 m2
Stadium 3 : penurunan sedang pada LFG: 30-59 ml/min/1.73 m2
Stadium 4 : penurunan berat di LFG: 15-29 ml/min/1.73 m2
Stadium 5 : gagal ginjal LFG <15 ml/min/1.73 m2 atau dialisis
2. Etiologi
Adapun sebab-sebab gagal ginjal kronik yang sering ditemukan dapat
dibagi menjadi 8 golongan yaitu, sebagai berikut (Soenarso, 2004) :
a. Penyakit glomerulus primer : penyakit glomerulus akut termasuk
gromerulonefrintis progresif cepat, penyebab terbanyak adalah
gromerulonefrintis kronik.
17
b. Penyakit tubulus primer : hiperkalamia primer, hipokalemia
kronik, keracunan logam berat seperti tembaga.
c. Penyakit vaskuler : iskemia ginjal akibat kongenital atau stenosis
arteri ginjal, hipertensi.
d. Infeksi : pielonefritis kronik atrofi, tuberkulosis.
e. Obstruksi : batu ginjal, fibrosis, retroperitoneal, pembesaran
prostat, striktur, uretra dan tumor.
f. Penyakit autoimun : lupus eritematosus, sistemik, poliarperitis
nodosa, seklerodema.
g. Penyakit ginjal metabolik : diabetes melitus, amelordosis,
nefropatik, analgesik, gout.
Penyebab gagal ginjal pasein yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun
2000 (Suwitra, 2007) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Penyebab penyakit ginjal kronis
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis
Diabetes mellitus
Obstruksi dan infeksi
Hipertensi
Sebab lain
46,39%
18,65%
12,85%
8,46%
13,65%
18
3. Patofisiologi
Gagal ginjal kronik ditandai dengan penurunan laju penyaringan glomerulus
(GFR), sehingga kadar urea darah meningkat, kenaikan kadar urea darah dan
meningkatnya proses penyaringan oleh nefron yang mengalami hipertropi,
menyebabakan muatan solut yang sampai ke masing masing tubulus yang
masih berfungsi akan menjadi lebih besar daripada keadaan normal (William,
2009).
Menurut teori nefron utuh, kehilangan fungsi ginjal normal akibat dari
penurunan jumlah nefron yang berfungsi dengan tepat. Gambaran parsial dari
teori ini adalah bahwa keseimbangan antara glomerulus dan tubulus
dipertahankan nilai jumlah nefron berkurang sampai yang tidak adekuat untuk
mempertahankan keseimbangan hemostastis akibatnya mempengaruhi semua
sistem tubuh karena ketidakmampuan ginjal melakukan fungsi metaboliknya
dan untuk membersihkan toksin dari darah (Tambayong, 2000).
4. Diagnosis
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa
penderita gagal ginjal kronis (Alatas, 2002) :
1. Pemeriksaan laboratorium: urin, kreatinin darah, sedimen urin dan
elektrolit serum.
2. Pemeriksaan EKG.
3. Ultrasonografi (USG).
4. Foto polos abdomen.
19
5. Pemeriksaan radiologi tulang.
6. Pielografi Intra Vena (PIV).
7. Pemeriksaan Pielografi Retrograd.
8. Pemeriksaan foto dada.
C. Gambaran Natrium pada Gagal Ginjal Kronis
Elektrolit adalah senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi partikel
yang bermuatan (ion) positif atau negatif. Sebagian besar proses metabolisme
memerlukan dan dipengaruhi oleh elektrolit. Konsentrasi elektrolit yang tidak
normal dapat menyebabkan banyak gangguan. Pemeliharaan tekanan osmotik
dan distribusi beberapa kompartemen cairan tubuh manusia adalah fungsi
utama empat elektrolit mayor, yaitu natrium (Na+), kalium (K
+) , klorida
(Cl-), dan bikarbonat (HCO3
-). Pemeriksaan keempat elektrolit mayor
tersebut dalam klinis dikenal sebagai ”profil elektrolit”.
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, kalium kation
terbanyak dalam cairan intrasel dan klorida merupakan anion terbanyak
dalam cairan ekstrasel. Jumlah natrium, kalium dan klorida dalam tubuh
merupakan cermin keseimbangan antara yang masuk terutama dari saluran
cerna dan yang keluar terutama melalui ginjal. Gangguan keseimbangan
natrium, kalium dan klorida berupa hipo- dan hiper-. Hipo- terjadi bila
konsentrasi elektrolit tersebut dalam tubuh turun lebih dari beberapa
miliekuivalen dibawah nilai normal dan hiper- bila konsentrasinya meningkat
di atas normal. (Yaswir, 2012).
20
Profil elektrolit biasa digunakan sebagai skrining keseimbangan elektrolit
atau asam basa dan monitor efek suatu terapi pada ketidakseimbangan yang
dipengaruhi fungsi organ tubuh. Tes bagi elektrolit meliputi pengukuran
kadar natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat terutama dalam diagnosis dan
manajemen ginjal, endokrin, asam-basa, keseimbangan air, dan keadaan
lainnya. Kalium paling sering digunakan sebagai elektrolit marker bagi gagal
ginjal. Kombinasi penurunan filtrasi dan sekresi kalium pada tubulus distal
pada gagal ginjal mengakibatkan peningkatan kalium plasma. Sedangkan
natrium dapat digunakan sebagai marker fungsi tubular (Gowda, 2010).
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar
10-14 mEq/L) berada dalam cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan
osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam yang mengandung natrium,
khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat
(NaHCO3) sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel
menggambarkan perubahan konsentrasi natrium (Darwis, dkk, 2008).
Natrium dan anion terkait (terutama klorida) bertanggung jawab atas lebih
dari 90 persen elektrolit dalam cairan ekstrasel, maka konsentrasi natrium
plasma merupakan indikator yang cukup baik bagi osmolaritas plasma pada
banyak keadaan. Seseorang dikatakan hiponatremia, bila konsentrasi natrium
plasma dalam tubuhnya turun lebih dari beberapa miliekivalen di bawah
normal (sekitar 142 mEq/L) (Guyton, 2007).
21
Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara
natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang
berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan
pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit.
Natrium berperan dalam menjaga keseimbangan asam-basa di dalam tubuh
dengan mengimbangi zat-zat yang membentuk asam. Natrium berperan dalam
trasmisi saraf dan kontraksi otot. Natrium berperan pula dalam absorbpsi
glukosa dan sebagai alat angkut zat-zat gizi lain melelui membran terutama
melalui dinding usus (Almatsier, 2002).
Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini
dilakukan untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat
diperlukan untuk mempertahankan volume cairan tubuh. Natrium difiltrasi
bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-65% di tubulus proksimal
bersama dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya
direabsorpsi di lengkung henle (25-30%), tubulus distal (5%) dan duktus
koligentes (4%). Sekresi natrium di urine <1%. Aldosteron menstimulasi
tubulus distal untuk mereabsorpsi natrium bersama air secara pasif dan
mensekresi kalium pada sistem renin-angiotensin-aldosteron untuk
mempertahankan elektroneutralitas (Yaswir, 2012).
Sejumlah mekanisme homeostatik bekerja tidak hanya untuk
mempertahankan konsentrasi elektrolit dan osmotik cairan tubuh, tetapi juga
22
volume cairan tubuh total. Keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit normal
terjadi akibat keseimbangan dinamis antara makanan dan minuman yang
masuk dengan keseimbangan yang melibatkan sejumlah besar sistem organ.
Ginjal memperantarai sebagian besar pengendalian kadar elektrolit dan
cairan. TBW (Total Body Water) dan konsentrasi elektrolit sangat ditentukan
oleh “apa yang disimpan ginjal”. Ginjal sendiri berespons terhadap seumlah
hormon dalam menjalankan fungsi regulasinya.
Keseimbangan air tubuh dan garam (NaCl) berkaitan erat, mempengaruhi
osmolalitas maupun volume ECF. Keseimbangan air tubuh terutama diatur
oleh mekanisme rasa haus dan hormone antidiuretic (ADH) untuk
mempertahankan isoosmotik plasma (hampir 287 mOsm/kg). Sebaliknya,
keseimbangan natrium terutama diatur oleh aldosterone untuk
mempertahankan volume ECF dan perfusi jaringan. Pengaturan osmotik
diperantarai oleh hipotalamus, hipofisis, dan tubulus ginjal.
Natrium serum umummya mencerminkan osmolalitas plasma karena garam
natrium merupakan 90% dari elektrolit ECF. Hiponatremia menunjukkan
bahwa pengenceran cairan tubuh terjadi oleh kelebihan air relatif terhadap
elektrolit total; tidak setara dengan kekurangan NA+. Hipernatremia selalu
menunjukkan hiperosmotik cairan tubuh (terdapat kekurangan air relatif
terhadap elektrolit total); jarang disebabkan oleh kelebihan natrium absolut.
Kadar glukosa serum turut mempengaruhi kadar narium serum. Pada keadaan
osmosis substansi aktif (misalnya pada pasien hiperglikemia atau pasien yang
23
menerima infus manitol), peningkatan osmolalitas serum diamati, hasilnya
pergerakan air keluar dari sel dan selanjutnya pengurangan kadar natrium
serum oleh pengenceran. Hal ini telah dihitung bahwa setiap kenaikan 3,4
mmol/L kadar glukosa darah akan menarik air keluar dari sel yang cukup
untuk mengurangi 1 mmol/L konsentrasi natrium serum (dengan kata lain,
penurunan 1,6 mmol/L kadar natrium serum tiap kenaikan 5,6 mmol/L kadar
glukosa). Namun, bukti terbaru menunjukkan bahwa hiperglikemia yang
disebabkan penurunan konsentrasi natrium diperkirakan jauh lebih tinggi dari
“standar” faktor koreksi 1,6 mmol/L, khususnya apabila kadar glukosa lebih
besar dari 22,2 mmol/L. Hillier dan rekannya telah mengusulkan bahwa
faktor koreksi 2,4 mmol/L adalah perkiraan yang lebih baik secara
keseluruhan estimasi dari hubungan kadar natrium dan glukosa. (Milionis,
2002)
Berkurangnya natrium tubuh (hiponatremia) secara akut menimbulkan gejala-
gejala hipovolemia disertai hipotensi, syok, dan kelainan jantung terkait
seperti takikardia. Pada keadaan yang lebih kronis, hiponatremia yang
signifikan menyebabkan kelainan susunan saraf pusat (kebingungan dan
kelainan mental). Kekurangan natrium dapat terjadi karena beberapa
abnormalitas. Mungkin terdpat penyakit ginjal yang disertai pengeluaran
garam (salt-losing renal disorder) atau penyakit ginjal lain yang mengganggu
kemampuan ginjal mengatur elektrolit. Retensi natrium dapat terjadi pada
penyakit ginjal atau jantung, tetapi biasanya juga terjadi retensi air sehingga
tidak terjadi peningkatan kadar natrium (Sacher, 2004).
24
Hiponatremia mungkin terjadi karena gangguan ekskresi air yang tidak terkait
dengan kekurangan atau kelebihan garam yang cukup banyak. Pada keadaan
ini volume ekstraseluler hanya sedikit berlebih, karena kelebihan air akan
didistribusikan di seluruh ruang intraseluler dan ruang ekstraseluler dalam
proporsi sesuai dengan volumenya. Jadi hanya sekitar sepertiga dari
kelebihan air akan berada di ruang ekstraseluler. Pasien oliguria akan
mengalami hiponatremia pengenceran (dilutional), jika restriksi air lewat oral
atau parenteral tidak dilakukan dengan baik. Kemampuan untuk
mengeluarkan air sangat terbatas pada gagal ginjal kronik lanjut. Pengaturan
boleh minum jika haus dapat mencegah hiponatremia delusional. Akan tetapi,
hiponatremia dapat timbul karena masukan cairan meningkat (misalnya
pasien disuruh minum paksa). Karena kemampuan ekskresi garam pada gagal
ginjal kronik juga terganggu, pada banyak pasien dijumpai adanya
hiponatremia terkait dengan edema atau deplesi garam dari pada volume
ekstraseluler yang normal (Isselbacher, 2008).
Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang berlebihan akan
menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponatremia
dapat dirandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare, dan
muntah. Pemberian garam pada pasien GGK harus dalam batas toleransi
maksimal dengan tujuan untuk mempertahankan volume cairan
ekstravaskular. Oleh karena itu pengawasan terhadap terjadinya hiponatremia
sangat penting untuk dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium elektrolit
Na+
dalam urin dan darah. (Sukandar, 2006)
25
Tabel 3. Penyebab gangguan metabolisme natrium dan air
Gangguan Metabolisme Natrium dan Air
I. Kehilangan natrium dan air (kehilangan volume)
A. Kehilangan ekstrarenal
1. Saluran makanan (muntah, diare, pengisapan saluran cerna,
fistula)
2. Sekuestrasi abdominal (peritonitis, reakumulasi cepat
asites)
3. Kulit (keringat, luka bakar)
B. Kehilangan renal
1. Penyakit ginjal (fase diuretik gagal ginjal akut, diuresis
pasca obstruksi, gagal ginjal kronik, penyakit tubulus boros
garam)
2. Kelebihan diuretic
3. Diuresis osmotic (glikosuria diabetic)
4. Defisiensi mineralokortikoid (penyakit Addison,
hipoaldosteronisme)
II. Hiponatremia
A. Dengan kehilangan volume ekstraseluler
B. Dengan kelebihan volume ekstraseluler dan edema
C. Dengan volume ekstraseluler yang normal atau meningkat sedang
(tanpa edema)
1. Gagal ginjal akut dan kronik
2. Gangguan diuresis air sementara (nyeri, obat-obat, emosi)
3. Sindroma sekresi hormone antidiuretic yang tidak memadai
(SIADH)
4. Endokrin (defisiensi glukokortikoid, hipotiroidisme)
5. Polydipsia berat
6. Esensial (“sindroma sel sabit”)
D. Tanpa hipoosmolalitas plasma
1. Osmotic (hiperglikemia, manitol)
2. Artifak (hiperlipemia, hiperproteinemia, kesalahan
laboratorium)
III. Hipernatremia
A. Terutama karena kehilangan air
1. Ekstrarenal
i. Kulit (kehilangan tidak disadari)
ii. Paru-paru
2. Renal
i. Diabetes insipidus (sentral, nefrogenik)
3. Gangguan fungsi hipotalamus
B. Akibat kehilangan air yang disertai kehilangan natrium
1. Ekstrarenal
i. Keringat
2. Renal
i. Diuresis osmotic (glikosuria, urea)
C. Akibat mendapat natrium
1. Pemberian natrium berlebihan
2. Hiperfungsi adrenal (hiperaldosteronisme, sindroma
Cushing)
26
Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa pada gagal ginjal
kronik antara lain (Sukandar, 2006) :
1. Homeostasis natrium dan air
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil
kandungan natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara
perlahan. Penyebabnya adalah terganggunya keseimbangan
glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari
proses pencernaan yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra
seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang
menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal
kronik yang belum didialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, maka
pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat
digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga
memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O.
2. Homeostasis kalium
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan
penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat
terjadi oleh karena konstipasi, katabolisme protein, hemolisis, pendarahan,
transfusion of stored red blood cells, augmented dietary intake, metabolik
asidosis dan beberapa obat yang dapat menghambat kalium masuk ke
dalam sel atau menghambat sekresi kalium di nefron bagian distal.
Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik dan biasanya
27
merupakan tanda kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi
diuretik atau kehilangan dari gastrointestinal.
3. Asidosis metabolik
Dengan berlanjutnya PGK, maka seluruh ekskresi asam sehari hari dan
produksi penyangga (buffer) akan turun yang dapat menyebabkan
terjadinya asidosis metabolik. Pada kebanyakan pasien dengan PGK yang
stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat
memperbaiki asidosis. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan
perhatian yang seksama terhadap status volume.
Kemampuan ekskresi garam pada gagal ginjal kronik juga terganggu, pada
banyak pasien dijumpai adanya hiponatremia terkait dengan edema atau
deplesi garam dari pada volume ekstraseluler yang normal (Isselbacher,
2008).
Pada pasien yang menjalani hemodialisis, cairan dialisat turut mempengaruhi
keseimbangan natrium tubuh. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar
135-145 meq/L. Bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya
gangguan hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila
kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi
akan meningkatkan kadar natrium darah pascadialisis (Suwitra, 2009).
28
D. Hemodialisis
Terapi hemodialisis adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti
untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran
darah manusia, seperti urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui
membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada
ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi
(Setyawan, 2001).
Hemodialisa sebagai terapi penyakit ginjal end-stage digunakan lebih dari
300.000 orang di Amerika Serikat. Standarisasi terapi ini dimulai pada tahun
1973 oleh beberapa ahli seperti Kolff, Merrill, Sribner dan Schreiner.
Terapi ini juga mempertimbangkan segi pendidikan, pekerjaan, dan kondisi
kesehatan pasien. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan terapi
berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan
cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila
penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati
perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga
dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria
sedangkan pada wanita di atas 4 mg/100 ml. Selain itu, nilai kadar
glomelurofiltration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh
dibiarkan terus menerus berbaring di tempat tidur atau sakit berat sampai
kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
29
Tujuan hemodialisis adalah mengeluarkan sisa-sisa protein serta mengoreksi
gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara kompartemen darah pasein
dengan kompartemen larutan dialisat melalui selaput (membrane)
semipermeabel yang bertindak sebagai ginjal buatan (dialyzer). Membran
semipermeabel merupakan lapisan yang penuh pori-pori. Air dan benda yang
larut di dalamnya (solute) yang mempunyai berat molekul besar tidak dapat
melaluinya maka konsentrasinya tidak berubah.
Prinsip mekanisme kerja hemodialisis adalah pergerakan larutan dari darah
pasien melewati membrane semipermeable ke dalam cairan dialisat.
Hemodialisis merupakan pilihan utama terapi pengganti sampai sekarang.
Pada saat dialisis maka darah mengalir ke dalam suatu alat yang terdiri dari
dua bagian :
1. Kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeable buatan.
2. Kompartemen dialisat yang berisi cairan dialisis. Cairan dialisis adalah
cairan bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit yang
sesuai dengan serum normal.
Berikut ini disajikan komposisi dialisat pada alat hemodialisis :
Tabel 4. Komposisi dialisat standar
Komposisi elektrolit dalam dialisat standar
Na
K
Cl
Ca
Mg
Asetat
132 – 135 mEq/L
2 – 3 mEq/L
100 – 110 mEq/L
3.5 mEq/L
1.5 mEq/L
35 – 45 mEq/L
30
Sumber: goeshealth.com
Sumber: kidney.niddk.nih.gov
Gambar 4. Mekanisme hemodialisis
Indikasi yang mutlak untuk dialisis adalah terdapatnya sindrom uremia dan
kegawatan yang mengancam jiwa yaitu hypervolemia (edema paru-paru),
hyperkalemia atau asidosis berat yang resisten terhadap pengobatan
konservatif. Apabila terdapat kenaikan terus ureum dan kreatinin darah pada
pasien oliguria dan dengan pengobatan konservatif tidak ada tanda-tanda
perbaikan (produksi urin bertambah, ureum dan kreatinin tetap atau
menurun), maka sudah saatnya dipertimbangkan untuk melakukan dialisis.
31
Hemodialisis dapat memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, namun
tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang
mendasari, juga tidak akan memperbaiki seluruh fungsi ginjal. Pasien tetap
akan mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi. (Smeltzer dan Bare,
2004).
Masalah-masalah yang mungkin timbul pada saat pasien menjalani
hemodialisis (Suzzanne, 2004) yaitu :
1. Hipotensi biasanya terjadi selama perawatan ketika cairan dipindahkan.
Mual dan muntah, diaphoresis (berkeringat), tachicardi (nadi cepat), dan
pusing merupakan tanda dan gejala dari hipotensi.
2. Nyeri otot tiba-tiba, biasanya terjadi karena keterlambatan cairan dialisis
dan elektrolit dapat dengan cepat hilang pada CES.
3. Disrithmia disebabkan oleh pertukaran elektrolit dan pH atau dari
perpindahan anti arhythmic selama pengobatan dialisis.
4. Emboli udara biasanya jarang tetapi biasanya terdapat jika udara masuk
ke saluran pembuluh darah pasien.
5. Nyeri dada yang disebabkan oleh anemia atau pasien dengan penyakit
arteriosklerosis hati.
E. Elektroda Selektif Ion
Metode ISE (Ion-Selective Electrode) mempunyai akurasi yang baik,
koefisien variasi kurang dari 1,5%, kalibrator dapat dipercaya dan
mempunyai program pemantapan mutu yang baik.
32
Elektroda selektif-ion merupakan metoda yang digunakan untuk menentukan
konsentrasi suatu ion secara kuantitatif dengan menggunakan membran
sebagai sensor kimia yang potensialnya berubah secara reversibel terhadap
perubahan aktivitas ion yang ditentukan. Membran merupakan bagian
terpenting yang menentukan selektivitas suatu ISE.
ISE ada dua macam yaitu ISE direk dan ISE indirek. ISE direk memeriksa
secara langsung pada sampel plasma, serum dan darah utuh. Metode inilah
yang umumnya digunakan pada laboratorium gawat darurat. Metode ISE
indirek yang berkembang lebih dulu dalam sejarah teknologi ISE, yaitu
memeriksa sampel yang sudah diencerkan (Klutts, 2006).
Prinsip pengukuran :
Pada dasarnya alat yang menggunakan metode ISE untuk menghitung
kadar ion sampel dengan membandingkan kadar ion yang tidak
diketahui nilainya dengan kadar ion yang diketahui nilainya. Membran ion
selektif pada alat mengalami reaksi dengan elektrolit sampel. Membran
merupakan penukar ion, bereaksi terhadap perubahan listrik ion sehingga
menyebabkan perubahan potensial membran. Perubahan potensial
membran ini diukur, dihitung menggunakan persamaan Nerst, hasilnya
kemudian dihubungkan dengan amplifier dan ditampilkan oleh alat.
Proses ini dapat dilihat pada Gambar 5.
33
Sumber: Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)
Gambar 5. Prinsip pengukuran elektrolit dengan metode ISE
Salah satu persamaan Nernst yang dipakai yaitu:
(+) untuk kation (-) untuk anion
E = Potensial elektrik yang diukur
E’ = Sistem e.m.f pada larutan standar
R = Konstanta Gas (8,31 J/Kmol)
T = Suhu
n = Valensi ion yang diukur
F = Konstanta Faraday 96,496 A.s/g
f1 = Koefisien aktivitas
c1= Konsentrasi ion yang diukur