ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv pengantar editor horizon...

38

Upload: lethu

Post on 17-Aug-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun
Page 2: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun
Page 3: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

ii

Buku adalah sebaik-baik teman duduk sepanjang masa

(Al-Mutanabbi)

Page 4: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

iii

HORIZON ILMU:

Dasar-dasar Teologis, Filosofis, dan Model Implementasinya dalam Kurikulum dan Tradisi Ilmiah UIN Mataram

Page 5: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

iv

HORIZON ILMU: DASAR-DASAR TEOLOGIS, FILOSOFIS, DAN MODEL IMPLEMENTASINYA

DALAM KURIKULUM DAN TRADISI ILMIAH UIN MATARAM

Karya: Prof. Dr. H. Mutawali, M.Ag., dkk.

Cetakan I, Jumadal-Ula 1439 H/Januari 2018 M

Editor: Masnun

Penyunting: Adi Fadli dan Abdul Quddus

Desain Sampul: M. Tahir

Diterbitkan oleh: Penerbit Pustaka Lombok

Jalan TGH. Yakub 01 Batu Kuta Narmada Lombok Barat NTB 83371

HP. 0817265590/08175789844

Diterbitkan pertama kali oleh Impressa Publishing/Leppim IAIN Mataram dengan judul:

HORIZON ILMU: Merajut Paradigma keilmuan Berbasis Internalisasi-Integrasi-Interkoneksi.

Editor: H. M. Taufik. September 2013. ISBN 978-602-7644-11-3

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Prof. Dr. H. Mutawali, M.Ag., dkk.

HORIZON ILMU: DASAR-DASAR TEOLOGIS, FILOSOFIS,

DAN MODEL IMPLEMENTASINYA DALAM KURIKULUM DAN TRADISI ILMIAH

UIN MATARAM

Lombok: Penerbit Pustaka Lombok, 2018

xv + 719 hlm.; 15 x 23 cm

ISBN 978-602-5423-07-9

Page 6: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

v

Pengantar Editor

HORIZON ILMU:

KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM

Dr. H. Masnun Tahir, M.Ag.

Dalam beberapa periodisasi sejarah pendidikan Islam, bidang ilmu yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yaitu ulumuddin (usuluddin, syari'ah, tarbiyah, adab dan dakwah). Padahal, menurut Ibn Khaldun, ilmu dibagi menjadi dua yaitu ilmu naqliyah, ilmu berdasarkan wahyu; dan ilmu aqliyah, ilmu yang berdasarkan logika. Berdasarkan klasifikasi ilmu semacam ini menjadi jelas bahwa sebetulnya perkembangan ilmu berjalan sedemikian luas.

Perkembangan budaya dan berbagai disiplin ilmu dewasa ini membuat segala bidang menjadi terintegrasi. Batas-batas antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya termasuk ilmu agama menjadi transparan. Kita tidak perlu mempermasalahkan ilmu agama dan non-agama, namun bagaimana ilmu tersebut dapat dimanfaatkan untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini pula yang memunculkan paradigma baru yang melihat bahwa pembidangan keilmuan selayaknya dikembangkan dalam lingkup yang lebih luas.

Pengembangan berbagai disiplin ilmu seperti sains dan teknologi, kedokteran, astronomi, sosiologi, filsafat dan sebagainya di lingkungan PTAI adalah langkah maju untuk pencerahan dunia pendidikan Islam. Gagasan perubahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) untuk mengembangkan berbagai disiplin ilmu bertujuan antara lain menjembatani dikotomi berkepanjangan ilmu agama dan non-agama, menghilangkan keterasingan ilmu agama dari realitas kemodernan dan mengembalikan ilmu agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Transformasi IAIN Mataram menuju UIN mengharuskan adanya re-orientasi paradigma keilmuan yang bisa menjadi acuan bersama dalam kegiatan belajar mengajar, sistem manajemen dan tradisi ilmiah di lingkungan kampus. Paradigma keimuan ini juga diperlukan oleh para stakeholder dalam memilih UIN Mataram sebagai mitra dalam pengembangan keilmuan dan kerjasama-kerjasama strategis lainnya. Paradigma keilmuan ini harus bisa menggambarkan visi dan misi UIN Mataram, dan pada saat yang sama bisa

Page 7: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

vi

diturunkan ke dalam struktur dan kurikulum, sistem managemen dan juga ke dalam tradisi akademik dan penelitian ilmiah di kampus UIN Mataram.

Reorientasi paradigmatik tersebut diarahkan pada dijalankannya pendekatan keilmuan berskema integrasi-interkoneksi dan internalisasi. Hasrat integrasi dimaksudkan sebagai upaya mengakhiri tabiat paradigma keilmuan Islam yang selama ini cenderung menerapkan dikotomi antardisiplin keilmuan yang secara umum dipilah ke dalam dua kategori besar, ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Skemanya dibangun dengan strategi memadukan antardisiplin keilmuan seraya mencegah disiplin keilmuan yang berpuspa-ragam itu tidak saling menegasikan. Agar pemaduan integratif itu sungguh-sungguh produktif bagi pengembangan keilmuan dan bersumbangsih efektif bagi pembangkitan peradaban, maka strategi interkoneksi keilmuan pada saat yang sama juga dijalankan dalam proses integrasi tersebut.1

Ikhtiar reorientasi paradigmatik keilmuan tersebut diarahkan mencakup seluruh bidang keilmuan yang dikembangkan dan dikaji melalui proses pengkajian yang secara paradigmatik berpenghampiran integratif-interkonektif.Ini niscaya. Sebab, tanpa ikhtiar sistematis ke arah itu, dinamika keilmuan Islam cepat atau lambat bakal teralienasi dan mengalami kesulitan besar untuk menempatkan signifikansi keilmuannya di tengah dinamika global kontemporer. Dalam hal itu keilmuan Islam sangat mungkin bakal kehilangan relevansi sosialnya bila produk-produk keilmuan yang dihasilkan tidak menyadari dan mempertimbangkan bagaimana discourse publik yang berkembang dalam ekonomi, politik, dan budaya global sangat mempengaruhi performa dan perilaku keagamaan dan demikian pula sebaliknya.2

Secara substantif-eksistensial, reorientasi paradigma keilmuan ini bertumpu pada spirit Islam sendiri dalam pengembangan ilmu yang bersifat universal dan sama sekali tidak mengenal dikotomi antara ilmu-ilmu qauliyah/hadlarah al-nash (ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan) dan ilmu-ilmu kauniyah-ijtima’iyah/hadlarah al-’ilm (ilmu-ilmu kealaman dan kemasyarakatan) dan juga hadlarah al-falsafah (ilmu-ilmu-etika kefilsafatan). Ilmu-ilmu tersebut secara keseluruhan dapat dikatakan sebagai ilmu-ilmu keislaman ketika secara epistemologis-aksiologis berangkat dari atau sesuai dengan nilai-nilai dan etika Islam. Ilmu yang berangkat dari nilai-nilai dan etika Islam pada dasarnya bersifat objektif; ini menjadi bukti bahwa telah terjadi proses objektivikasi dari etika Islam menjadi ilmu keislaman yang

1 Dalam Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2017 tentang UIN Mataram

secara tegas disebutkan: Bahwa dalam rangka memenuhi tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan proses integrasi ilmu Agama Islam dengan berbagai rumpun ilmu pengetahuan serta mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Universitas Islam Negeri Mataram;

2Lihat Ebrahim Moosa, “Introduction,” dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld Publicaton, 2000), 28.

Page 8: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

vii

karenanya dapat bermanfaat bagi seluruh kehidupan manusia dan kepentingan kemanusiaan tanpa menimbang sekat dan disparitas agama, jenis kelamin, etnis dan bangsa, golongan, dan seterusnya.3

Menjawab kebutuhan tersebut, UIN Mataram secara serius mempertegas rumusan bangunan keilmuannya yang kini disebut “Horizon Ilmu” sebagai payung segala kegiatan implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi di lingkungan UIN Mataram. Meski dibutuhkan evaluasi secara terus menerus, berbagai aspek, baik ontologis, epistimologis, dan asksiologis yang mendasari dan menopangnya dianalisis secara mendalam dalam kurun waktu yang cukup panjang (hampir 20 tahun). Lebih dari sebagai bangunan keilmuan, horizon ilmu ini memiliki dan menjadi distingsi tersendiri bagi UIN Mataram secara kelembagaan.

Horizon Ilmu adalah paradigma yang menjadi acuan bersama bagi segenap sivitas akademika UIN Mataram dalam menjalankan tugas pengembangan keilmuan melalui pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan juga pengabdian masyarakat. Sebagai acuan paradigmatik, maka desain modelnya harus bisa dipahami oleh semua sivitas akademik dan harus bisa diterjemahkan dalam kegiatan-kegiatan akademik di lingkungan UIN Mataram.

Paradigma keilmuan yang telah dan sedang direalisasikan di UIN Mataram adalah Horizon Ilmu berparadigma Intergasi-interkoneksi dan internalisasi, dalam arti bahwa bidang ilmu tertentu diupayakan untuk dikembangkan secara simultan dengan cara mengaitkannya dan mengkombinasikannya dengan bidang-bidang ilmu yang lain. Selama upaya ini memang secara akademik dapat diterima. Hal ini dimaksudkan agar kejumudan akademik tidak terjadi di lingkungan universitas ini. Perkembangan keilmuan di sini bisa saja terjadi secara kualitatif (kammiyyah) ataupun secara kualitatif (kayfiyyah).

Studi Islam yang mencakup studi teks dan sosial, tentunya harus terus dikembangkan, sehingga memiliki kekayaan dan varian-varian temuan yang akan bermanfaat bagi eksistensi keilmuan ini dan memiliki manfaat pragmatis bagi masyarakat. Integrasi, interkoneksi dan internalisasi studi Inslam dengan bidang-bidang ilmu lain jelas tak terelakkan. kajian teks dalam Studi Islam merupakan salah satu bagian penting yang perlu mendapatkan perhatian. Pengembangan kajian ini bisa dilakukan dengan mencoba mengaitkannya dengan bidang-bidang lain, seperti linguistik dan hermeneutika.

Wilayah kajian UIN Mataram mencakup bidang seluruh bidang keilmuan di atas, yang dikembangkan melalui konsep hadrlarah-al nash, hadlarah al ilm, maupun hadlarah al falsafah. wilayah keilmuan tersebut tidak dikaji secar parsial melainkan dikaji secara integratif dan interkonektif atau saling berhubungan satu dengan yang lainnya, serta diinternalisasi pada wilayah keilmuan yang lain. Jika ditelaah secara historis, bidang-bidang

3 IAIN Mataram, 2014, Naskah Akademik Horizon Keilmuan UIN Mataram.

Page 9: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

viii

keilmuan tersebut sesungguhnya pernah dikaji dan dikembangkan oleh para ilmuan Muslim pada era klasik dan tengah, meskipun demikian kurang memperoleh perhatian dari generasi Muslim berikutnya. Dengan demikian seluruh bidang keilmuan itu dapat dikatakan sebagai ilmu-ilmu ke Islaman selama secara ontologis, epistimologis dan aksiologis berangkat daru atau sesuai dengan nilai-nilai dan etika islam yang humanistik-etis. Di sinilah perbedaan ilmu ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu sekuler yang meskipun mengklain sebagai valeu free (bebas dari nilai dan kepentingan) namun kenyataanya penung muatan kepentingan baik secara epistimologis apalagi secara aksiologis. Realitas inilah yang mengakibatkan munculnya kritik dari berbagai pihak terhadap ilmu-ilmu sekuler yang dianggap ikut mendorong proses dehumanisasi.

Ilmu-ilmu KeIslaman dan umum yang menjadi wilayah kajian UIN, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden No 34 tahun 2017, hakikatnya berangkat dari paradigma humanistik etis dengan pola kurikulum integrasi-interkoneksi dan internalisasi keilmuan. Integrator tersebut adalah al-Quran/Sunnah (wahyu) yang berada persis di titik singgung delapan garis yang mengarah ke semua arah mata angin (horizon) dan menggambarkan distingsi antara tradisi akademik dan ilmiah Islam dengan institusi pendidikan yang lain. Visi keislamannya menjadi jelas dan menemukan identitasnya. Mengapa wahyu menjadi pusat orientasi keilmuan UIN Mataram? jawabannya jelas, karena UIN Mataram sebagai lembaga pendidikan Tinggi Islam harus memiliki distingsi dan diferensiasi yang jelas sebagaimana diamanatkan oleh negara.

Sebagai trade mark keilmuan pasca transformasi, Horizon Ilmu berparadigma intergrasi-interkoneksi dan internalisasi dapat dipandang sebagai cultural identity yang membedakan UIN Mataram dengan perguruan tinggi lainnya. Dalam pengertian ini, UIN bukan sebagai perguruan tinggi umum yang terlepas dari ilmu-ilmu keIslaman, seperti UNRAM, IKIP dan semacamnya; juga bukan sebagai perguruan tinggi agama yang tidak mengakomodir ilmu-ilmu umum, seperti IAIN sebelumnya. Demikian pula, UIN bukan perguruan tinggi yang sekedar menginterkoneksikan atau mengintegrasikan serta menginternalisasikan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu keislaman melalui pembentukkan program studi/fakultas agama dan program/fakultas umum seperti UNU, Universitas Muhammadiyah, UNW dan semacamnya. UIN sebagaimana dapat dipahami dalam grand design UIN adalah perguruan tinggi Islam yang mengintegrasikan atau menginterkoneksikan serta mengintermaslisasikan ilmu-ilmu keIslaman dengan ilmu-ilmu umum pada tataran keilmuan, bukan sekedar menghadirkan program studi/fakultas umum atau matakuliah umum berdampingan dengan program studi / fakultas agama. pola pengintegrasian atau penginterkoneksian semacam ini justru sebaliknya bersifat dikotomis.

Konskuensi logis dari horizon keilmuan tersebut, kini muncul kebutuhan dan desakan baru agar dapat diterjemahkan secara empiris dan

Page 10: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

ix

terukur dalam segala aktivitas akademik UIN Mataram. Karena memang, integrasi keilmuan yang menjadi ruhnya, pada aspek implementasinya dirasakan masih dikotomik dalam praksis pendidikan dan pembelajaran, dan kegiatan riset para dosen. Sejauh ini masih dirasakan kuatnya kecenderungan masing-masing dosen untuk melakukan pembelajaran dan penelitian dengan epistimologi keilmuannya masing-masing. Meskipun secara metodologis diupayakan untuk saling berdialektika, dalam realitasnya masih cenderung berjalan sendiri-sendiri, dan berjalan linier sesuai dengan relnya masing-masing.

Hingga saat ini “Horozin Ilmu” adalah paradigma keilmuan yang sudah disiapkan dan dipopulerkan di kalangan sivitas akademika UIN mataram. Hanya saja hingga sekarang ini, “Horizon Ilmu” belum ada turunan model, atau panduan operasional yang bisa menjadi acuan dalam mendesain kurikulum pada masing-masing jurusan dan juga dalam tradisi penelitian ilmiah di UIN Mataram. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan belum adanya model turunan tersebut antara lain: Pertama, karena paradigma keilmuan masih menjadi gagasan personal yang hanya bisa dipahami oleh kalangan terbatas, dan belum mendapat pengakuan sebagai paradigma bersama. Kurangnya sosialisasi dan adalah salah satu asumsi penyebab dari kondisi ini. Penyebab lainnya adalah karena secara teoretik “Horizon Ilmu” memang belum jadi sehingga tidak bisa langsung terbaca oleh sivitas akademika sebagai paradigma dan implimentasikannya masih jauh dari bayangan.

Dari asumsi ini, diperlukan sosialisasi, rekonstruksi, dan evaluasi oleh para ilmuwan UIN Mataram, sehingga dihasilkan paradigma keilmuan yang lebih sederhana, mudah terbaca dan memiliki ciri khas yang akan membedakan UIN Mataram dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Paradigma keilmuan yang memiliki prospek sebagai alternatif pengembangan akademik keilmuan Islam di Indonesia, Dunia Islam dan juga dalam kancah global.

Berbagai iktiar akademik untuk membumikan Horizon ilmu ini terus dilakukan, mulai dari seminar nasional, diskusi, roundtable discussion sampai penerbitan karya akademik sebagaimana buku ini. Buku ini merupakan penyempurnaan dari buku Horizon ilmu yang terbit sebelumnya dengan judul: Horizon Ilmu: Merajut paradigma Keilmuan Berbasis Internalisasi-Integrasi-Interkoneksi.4

Buku Horizon Ilmu: Dasar-dasar Teologis, Filosofis, dan Model Implimentasinya dalam Kurikulum dan Tradisi Ilmiah UIN Mataram ini

4 Lihat H. M. Taufik (ed.), Horizon Ilmu: Merajut paradigma Keilmuan

Berbasis Internalisasi-Integrasi-Interkoneksi (Mataram: Leppim, 2013). Dalam rapat kerja pimpinan tgl 16 Januari 2018 yang lalu disepakati oleh Tim Komisi A, karena substansi dalam buku Horizon Ilmu pertama masih relevan, maka perlu dicetak ulang dengan kombinasi karya-karya terbaru dari sivitas akademika UIN Mataram.

Page 11: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

x

pada awalnya diorientasikan sebagai acuan dan rancang bangun Model Paradigma Keilmuan UIN Mataram yang khas, dan mudah diimplimentasikan ke dalam kurikulum, sistem managemen dan juga tradisi Ilmiah dan penelitian. Karena buku ini memuat konsep baru tentang paradigma keilmuan "integrasi-interkoneksi-internalisasi" maka dipandang sangat penting untuk disebarluaskan sehingga konsep tersebut dapat dipahami oleh sivitas akademika dan masyarakat pada umumnya. Paradigma horizon ilmu yang dijabarkan dalam buku ini terdiri atas beberapa bagian yang saling berdialog dan berdialektika dari bagian pertama sampai yang terakhir. Bagian pertama karya ini berisi desain umum integrasi-interkoneksi agama dan ilmu atau sains. Bagian-bagian selanjutnya memuat desain model pengembangan, strategi implementasi horizon ilmu yang terintegrasi di berbagai bidang keilmuan seperti syariah, tarbiyah, dakwah, ekonomi maupun di dalam studi agama. Buku ini ditutup di bagian lima dengan tawaran implementatif integrasi sains dan agama dalam spektrum Horizon ilmu ala Mazhab UIN Mataram.

Sains dan agama memang memiliki perbedaan metodologis dan perbedaan klaim sehingga ungkapan formula serta karakter yang muncul juga berbeda. Pesan agama cenderung mengajak orang untuik return, yaitu menengok dan kembali ke belakang kepada Tuhan, sementara sains cenderung research yaitu melangkah ke depan dan menatap alam sebagai yang berada di depan dan selalu mengajak untuk difahami. Oleh karena itu, ketika sains dilihat dan diyakini sebagai ideologi kartena sebagian masyarakat merasa cukup menyelesaikan problem kehidupan melalui jasa sains, maka pada saat itu sains telah berdiri sejajar sebagai rival agama.. Akan tetapi jika sains dipandang sebagai fasilitator teknis dan metode penafsiran terhadap alam raya, masa sains dapat diposisikan sebagai salah satu medium dan ekspresi agama.

Integrasi sains dan agama dapat dilakukan dengan mengambil inti filosofis ilmu-ilmu keagamaan fundamental Islam sebagaui paradigma sains masa depan. Inti fiosofis itu adalah adanya hierarki epistemologis, aksiologis, kosmologis, dan teologis yang berkesesuaian dengan hierarki integralisme: materi, energi, informasi, nilai-nilai dan sumber. Proses integrasi ini dapat dianggap sebagai bagian dari proses Islamisasi peradaban masa depan. Dengan demikian, jika dapat melakukan hal ini, ia dapat menjadi simpul dalam jala-jala kebangkitan peradaban Islam di masa depan, menerima kembali sains sebagai si anak hilang untuk dikembangkan ke arah islami yang lebih konstruktif, produktif dan harmonis bersaing dengan universitas-universitas umum untuk menjadi center of exellence.

Pendidikan modern memang mengembangkan disiplin ilmu dengan spesialisasi secara ketat, sehingga keterpaduan diantara ilmu yang satu dengan yang lainnya menjadi hilang, dan melahirkan dikotomi kelompok ilmu-ilmu agama di satu pihak dan kelompok sains di pihak yang lain. Dikotomi itu berimplikasi pada terbentuknya perbedaan sikap di kalangan umat Islam secara tajam terhadap kedua kelompok ilmu tersebut. Ilmu-ilmu agama disikapi dan diperlakukan sebagai ilmu Allah SWT yang bersifat sakral dan wajib untuk

Page 12: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

xi

dipelajari. Sebaliknya, kelompok ilmu-ilmu sains (kealaman dan sosial) disikapi dan diperlakukan sebagai ilmu manusia yang bersifat profan dan tidak wajib untuk dipelajari. Akibatnya, terjadi reduksi ilmu agama dan dalam waktu yang sama juga terjadi pendangkalan ilmu pengetahuan. Situasi seperti ini membawa dampak pada ilmu-ilmu agama menjadi tidak menarik karena terlepas dari kehidupan nyata, sementara sains berkembangan tanpa sentuhan etika dan spiritualitas agama, sehingga disamping kehilangan makna juga bersifat destruktif.

PTAI harus mengembangkan pendidikan yang berperspektif Qur’ani, yakni pendidikan yang utuh menyentuh seluruh domain yang disebut Allah SWT dalam kitab suci tersebut secara sistemik yang dikembangkan melalui konsep iman, ilmu dan amal dalam satu tarikan nafas dengan rajutan atau anyaman yang terhubungkan antara yang satu dan lainnya secara integratif.

Ala kulli hal, Seluruh ikhtiar pewujudan horizon keilmuan di lingkungan UIN Mataram, harus didasarkan pada6 (enam) landasan pengembangan, yakni landasan teologis, filosofis, kultural, sosiologis, psikologis, dan yuridis sebagaimana spirit yang ada dalam buku ini. Setiap pengembangan keilmuan niscaya memancang al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai rujukan. Al-Qur’an memang bukan buku ilmu pengetahuan, melainkan sebagai petunjuk bagi manusia.Namun, sebagai petunjuk,ia berbicara tentang banyak hal, termasuk tentang ilmu pengetahuan itu sendiri.5 Pengembangan tersebut dilakukan secara komprehensif, menyentuh seluruh domain yang diisyaratkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Prosesnya dijalankan melalui pengintegrasian, penginterkoneksian dan penginternalisasian antara hadlarah al-nash, hadlarah al-‘ilm, danhadlarah al-falsafah dalam satu tarikan nafas.6 Semoga.

Mataram, 4 Desember 2017

5Dalam kaitan ini, al-‛Adhîm menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab

yang sangat komprehensif yang mencakup persoalan filsafat, penalaran ilmiah, dan problem sosial dengan kemampuannya mengkombinasikan urusan dunia dan akhirat; mengkaitkan ritus dengan perbuatankonkret serta menghubungkan realisme dan idealisme.Islam mempersiapkan penganutnya mampu hidup di bumi dan berkomunikasi dengan yang ada di langit. Lihat ‘Alî ‘Abd al-’Adhîm, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu, terj. Khalilullah Ahnas Masjkur Hakim (Bandung: Rosda Karya, 1989), 75-6. Lihat Naskah Akademik Horizon Ilmu....,

6Tentang ketiga dimensi hadlarah tersebut lihat pemeriannya dalam Abd. Ranchman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigm Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 24-33.

Page 13: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

xii

Daftar Isi

Pengantar Editor _ v Daftar Isi _ xii Bagian 1 DESAIN UMUM INTEGRASI-INTERKONEKSI AGAMA DAN ILMU Merajut Paradigma Keilmuan Berbasis Internalisasi-Integrasi dan Interkoneksi -- H. M. Taufik ~ 2 Horizon Ilmu: Pembacaan Ulang Konsep Desain Keilmuan UIN Mataram -- Firdaus ~ 18 Intergration of Knowledge: A Philosophical Approach -- Mulyadhi Kartanegara ~ 26

Mempertautkan ‘Ulūm al-Dīn, al-Fikr al-Islāmī, dan Dirāsāt Islāmiyyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global -- M. Amin Abdullah ~ 37 Model Interkoneksitas dan Pengintegrasian Filsafat Islam dan Filsafat Ilmu: Dalam Pemikiran dan Metode Ilmiah -- H . M utawali ~ 66 Konsep Manusia dalam Perspektif Sosiologis -- Baharudin ~ 94 Citra Manusia dalam Perspektif Sosio-Psikologis -- Musari ~ 105 Memahami Manusia dan Penyempurnaan Dirinya: Analisis Interkoneksitas Teologis dan Psiko-Filosofis -- M. Taufik ~ 113 Bagian 2 DESAIN MODEL PENGEMBANGAN KEILMUAN TARBIYAH, SAINS, DAN SOSIO-HUMANIORA

Rekonstruksi Model Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam Melalui Islamization of Knowledge Berbasis Tauhid -- Abdul Quddus ~ 137

Page 14: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

xiii

Konsep Dasar Desain Keilmuan Tarbiyah: Telaah Perspektif Ontologis -- Syamsul Arifin ~ 162 Kajian Pendidikan: Mengulas Seputar Integrasi Keilmuan -- M. Sobry ~ 169 Domain Keilmuan Tarbiyah: Studi Epistemologis dalam Perspektif Keilmuan Islam Modern -- Fathurrahman Muhtar ~ 178 Domain Keilmuan Tarbiyah: Studi Epistemologi Perspektif Sains Islami -- Lalu Supriadi ~ 198 Esensi Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam -- Syukri ~ 205 Substansi Pendidikan Karakter dalam Islam: Telaah Essensi Pendidikan Karakter Islami di Usia Dini -- Warni Djuwita ~ 215 Saintek dalam Perspektif al-Qur’an -- Suhirman ~ 230 Bagian 3 MODEL DESAIN PENGEMBANGAN KEILMUAN SYARI`AH, HUKUM, POLITIK, DAN EKONOMI

Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Hukum Islam dalam Merespon Globalisasi -- M. Amin Abdullah ~ 253 Menyegarkan Kembali Kajian Hukum Islam: Reintegrasi-Interkoneksi antara Hukum Islam dan Sains -- Miftahul Huda ~ 289 Paradigma Fikih Keluarga Islam Kontemporer: Mencari Arah Baru Studi Hukum Islam -- Masnun Tahir ~ 304 Epistemologi Ekonomi Islam: Upaya Reposisi Keilmuan Ekonomi Islam dalam Khazanah Ilmu Filsafat -- Muslihun Muslim ~ 326

Page 15: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

xiv

Menuju Paradigma Baru Ekonomi Islam -- Abdul Haris ~ 352 Politik Islam dalam Konteks Kekinian -- Muhammad Taufiq ~ 370 Tradisi Keilmuan Falak dalam Islam -- Muhammad Said Ghazali ~ 384 Bagian 4 KERANGKA DESAIN PENGEMBANGAN KEILMUAN DAKWAH, KOMUNIKASI, DAN INFORMASI

Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadith -- Subhan Abdullah ~ 398 Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi: Desain Integrasi-Interkoneksi -- Kadri ~ 413 Dakwah, Komunikasi, dan Pengembangan Masyarakat: Telaah Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi -- Lalu Ahmad Zaenuri ~ 433 Dakwah, Komunikasi, dan Konseling Masyarakat: Integrasi dan Interkoneksi -- Faizah ~ 449 Jurnalistik, Informasi, dan Dakwah Islam: Integrasi Interkoneksi Keilmuan Model Korektif, Komplementatif, dan Komparatif -- Fahrurrozi ~ 468 Menuju Paradigma Keilmuan Dakwah Berspirit Inklusif-Transformatif -- Fawaizul Umam ~ 494 Bagian 5 IMPLEMENTASI HORIZON ILMU DALAM KURIKULUM DAN TRADI SI ILMIAH UIN MATARAM Landasan, Ranah, dan Model Integrasi-Interkoneksi Ilmu -- M. Amin Abdullah ~ 505

Page 16: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

xv

Potensi Kreatif Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dan Ikhtiarnya Dalam Pengembangan Iptek di Indonesia (Refleksi Kesiapan IAIN Mataram Road To UIN) -- Abdul Fattah ~ 512 Studi Komparasi Implementasi Manajemen Konvensional dengan Manajemen Strategik di Lembaga Perguruan Tinggi -- Ahyar ~ 532 Internalisasi Nilai New Public Management Menuju Keunggulan Tata Kelola UIN Mataram -- Winengan ~ 554 Membangun Pemahaman Filsafat Pendidikan Karakter Secara Holistik-Integratif -- Abdul Malik ~ 571 Ar-Rahman-Ar-Rahim Nilai Azazi dalam Membangun Karakter Anak dan Ketahanan Keluarga -- Warni Djuwita ~ 591 Paradigma Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan Kebangsaan dan Ekonomi Ummat (Suatu Gagasan Epistemologis Berbasis Kurikulum KKNI Di Uin Mataram) -- Ahmad Sulhan ~ 608 Implementasi Horizon Ilmu dalam Metodologi Pembelajaran di UIN Mataram -- Syukri ~ 628 Implementasi Horizon Ilmu Dalam Pembelajaran Sains -- Adi Fadli ~ 643

Pendidikan Transformatif-Inovatif: Upaya Merespon Tantangan Pendidikan Islam di Era Milenium -- H. Nashuddin ~ 666 Kolaborasi Studi Agama dan Studi Perdamaian untuk Memperkuat Harmoni Sosial -- Suprapto ~ 680 Maqashid Al-Syari’ah: Logika Hukum Transformatif -- H. Mutawali ~ 696

Page 17: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

IMPLEMENTASI HORIZON ILMU DALAM

KURIKULUM DAN TRADISI ILMIAH

UIN MATARAM

bagian 5

Page 18: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

MEMBANGUN PEMAHAMAN FILSAFAT PENDIDIKAN KARAKTER SECARA HOLISTIK-INTEGRATIF

Dr. Abdul Malik, M.Ag.

A. Pendahuluan Dewasa ini pendidikan karakter menjadi tema diskursus yang hangat

diperbicangkan, baik oleh masyarakat luas maupun kalangan akademisi. Secara konten istilah pendidikan karakter sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru karena jauh sebelum pendidikan karakter diperkenalkan di Indonesia, telah banyak dikenal subjek pendidikan yang sama dengan konten pendidikan karakter. Misalnya pendidikan PPkn, moral dan pancasila, aqidah akhlak, dan pendidikan agama. Tidak hanya itu, sekarang juga dikenal pendidikan nilai, moral dan pendidikan spiritual. Persolaan kemudian, semua subjek pendidikan tersebut terkesan belum memberikan kontribusi yang berarti bagi terwujudnya perilaku manusia yang lebih baik. Kehadiran subjek pendidikan karekter dalam “rumah” pendidikan nasional hari ini seakan menjadi oase ditengah bayang- bayang fenomena kemerosotan moral yang massif dan massal saat sekarang.

Urgensinya pembahasan pendidikan karakter sebagai tema besar dalam tulisan ini bukan semata-mata untuk menjawab persoalan krisis moral atau persoalan pendidikan secara spesifik, tetapi jauh lebih besar, luas, dan lebih dalam dari itu semua. Setidaknya ada tiga masalah yang dianggap besar terkait dengan tulisan ini; pertama, secara nasional problem bangsa ini adalah krisis jati diri bangsa, kedua, culture lack, dan ketiga disorientasi tujuan pendidikan nasional. Ketiga masalah tersebut, selain memiliki hubungan satu sama lain, juga memiliki problem masing-masing. Misalnya, sampai saat ini bangsa Indonesia masih mencari jawaban yang tepat tentang bagaimana sesungguhnya manusia Indonesia itu? Seperti apa budaya masyarakat Indonesia? dan apa tujuan pendidikan nasional? Dalam kajian pendidikan karakter, ketiga hal tersebut memiliki kaitan satu sama lainnya. Karena itu, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi fokus dalam tulisan ini.

Secara umum, problem di atas berakar pada krisis teori pendidikan sebagai pijakan dalam mengkonstruk pemikiran dan praksis pendidikan yang ada di Indonesia. Sejauh ini, belum dapat dipastikan dan meyakinkan apakah pendidikan nasional dibangun berdasarkan kerangka teori yang kuat atau

~ 571 ~~ 571 ~

Page 19: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

tidak ? Apakah pendidikan nasional memiliki teori sendiri atau tidak? ataukah pendidikan nasional selama ini hanya dibangun berdasarkan konsep borrowing (pinjaman). Bukan lagi rahasia umum bahwa pemikiran dan kebijkan pendidikan nasional selama ini dibangun dengan konsep-konsep pinjaman (borrowing). Akibatnya, pendidikan nasional terombang ambing dalam lautan teori pendidikan dunia yang datang silih berganti dengan cepat. Tidak mengherankan kemudian dalam rumah pendidikan nasional, sangat familiar dengan fakta pendidikan “ganti menteri ganti kurikulum”. Hal ini dapat dipahami karena setiap menteri hadir dengan mazhab pemikiran pendidikan masing-masing. Tanpa disadari perilaku pendidikan seperti ini melahirkan disorientasi pendidikan pada satu sisi dan ketidak jelasan pijakan pendidikan nasional pada di sisi yang lain.

Terjadinya disorientasi dan ketidak jelasan landasan (pijakan) pendidikan nasional akibat dari konsep pinjaman (borrowing) tersebut berdampak pada banyak hal. Salah satunya adalah praktek pendidikan seringkali tidak kontekstual dan bahkan tidak jarang proses pendidikan tidak mengakomodir spirit, mental model, habitus dan watak manusia Indonesia yang sesungguhnya. Fenomena bongkar pasang kurikulum secar dini sesungguhnya mencerminkan adanya keyakinan bahwa kurikulum yang dimplementasikan gagal. Meskipun kegagalan kurikulum diliputi oleh banyak faktor, tetapi satu kepastian bahwa kegagalan kurikulum juga disebabkan karena ketidak singkronya formulasi kurikulum dengan lokus, tempos, daya, dan modalitas belajar manusia Indonesia. Misalnya, formulasi kurikulum yang dirancang untuk watak dan lingkungan manusai Finlandia, tiba-tiba dipinjam dan dipraktek secara “membabi buta” atas nama kebijakan. Sementara kurikulum tersebut untuk manusia Indonesia yang sungguh jauh dari core value asal kurikulum itu berada. Hal tersebut kemudian menjadikan kurikulum pinjaman (borrowing) “ditolak” secara cultur. Sebab pendidikan bukan semata-mata persoalan kebijakan politik tetapi lebih penting dari semua itu yakni persoalan budaya. Karena itu, kurikulum sejatinya harus mempresentasikan watak dan budaya manusia yang akan dibentuk. Jika tidak demikian maka pendidikan sulit membudaya apalagi menciptakan kebudayaan.

Meformulasi pendidikan karakter di Indonesia sejatinya berawal riset dan kajian yang mendalam tentang manusia dan budaya keIndonesiaan, dengan demikian akan dapat dikonstruk kurikulum yang mudah dipraktek oleh masyarakat Indonesia. Karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas hakikat manusia dan budaya dengan pendekatan filsafat sebagai awal dari membangun pemahaman pendidikan karakter secara holistic-integratif.

Pendidikan karakter akan selalu mendapatkan tempat dalam ruang public seiring silih bergantinya isu-isu kemerosotan moral. Masifnya demoralisasi dengan berbagai jenis di masyarakat mendorong setiap orang bertanya, mengapa lembaga pendidikan terkesan “gagal” menciptakan manusia baik? Benarkan pendidikan sekarang sudah terjebak pada

~ 572 ~~ 572 ~

Page 20: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

pragmatisme? Seperti apa pendidikan yang harus diterapkan? Bagaimana pendidikan itu diterapkan, bagaimana setting lingkungan pendidikan semestinya? Bagaimana menajamen sekolah yang efektif, Seperti apa manusia Indonesia yang dinginkan, apa tujuan pendidikan sesungguhnya?Apakah yang disebut dengan nilai dan moral ? Bagaimana pula perilaku yang bermoral itu? Pertanyaan-pertanyaan filosofis dan metodologis di atas adalah pijakan dasar dari tulisan ini. Persoalan karakter tidak hanya berkaitan dengan perbaikan moral akan tetapi berkaitan juga dengan perbaikan kinerja, perilaku berorganisasi, dan pembentukan budaya dan peradaban.

Pada sisi lain, kesadaran akan aspek pendidikan sebagai leading sector karakter, menjadikan masa depan suatu bangsa dibebankan pada dunia pendidikan. Ketidakjelasan secara operasional mengenai masa depan suatu bangsa juga akan mempersulit penegasan filsafat pendidikan dan pemihakan perangkat kebijakan, sebab pada dasarnya pendidikan adalah tempat penempaan manusia untuk masa depan, dan masa depan itu secara subjektif menuntut disiplin dimasa kini. Untuk itu, telaah filsafati tentang pendidikan dan ilmu kependidikan amatlah penting guna kepentingan dunia kependidikan itu sendiri.

Kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional dan terukur semata tetapi juga menyakut hal-hal intangible. Ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku. Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari cabang filsafat sosial ataupun filsafat manusia? atau apakah pendidikan nasional Indonesia memiliki teori sendiri? Untuk menyikapi hal ini, telaah filsafati tentang dunia pendidikan di Indonesia amatlah mendesak untuk segera dilakukan.

Menurut William F. O’neil, setidaknya ada tiga pendakatan dasar filsafat dalam pendidikan; Pertama, sebagai proses berpikir aktif atau “berfilsafat pendidikan”(educational philosophizing), pendekatan ini menggunakan analisis problem berbasis analitis kritis (critical thinking), kedua sebagai pendekatan sistem formal di mana sistem-sistem mendasar dalam filsafat, misalnya pendekatan realism, idialisme, dan lainnya diterapkan ke dalam pendidikan, ketiga pendekatan eklektik1.

Dalam tulisan ini, lebih ditekankan pada pendekatan educational philosophizing dan pendekatan eklektik. Untuk pendekatan kedua hanya akan disinggung sepintas. Ada beberapa alasan kenapa pendekatan educational philosophizing (berfilsafat pendidikan) dan pendekatan eklektik yang digunakan dalam tulisan ini. Pertama, karena fislafat pendidikan karakter

1 William F. O’neil, 2012: 12.

~ 573 ~~ 573 ~

Page 21: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

yang dibangun dalam tulisan ini merupakan hasil reflek kritis terhadap problem pendidikan karakter selama ini dan masalah-masalah pendidikan lain. Baik pada ranah yang makro maupun mikro. Kedua, karena filsafat pendidikan karekter dalam tulisan ini merupakan rancangan filsafat pendidikan spesifik yang dikembangkan dari cabang-cabang ilmu filsafat. Misalnya, cabang ontologis yang meliputi hakikat manusia dan tujuan pendidikan serta aspek aksiologis yang meliputi nilai yang mengitari pendidikan.

Kajian etika sosial misalnya, etika sosial meliputi wilayah-wilayah kajian yang bisa dipaparkan sebagai filsafat moral. Hal ini merujuk pada etika sebagai sebuah teori umum tentang tanggung jawab antar manusia, serta dikaitkan dengan implikasi-implikasi praktis atau posisi etis tertentu dalam tindakan-tindakan sosial. Pendidikan sebagai poros kemajuan bangsa dan karakter menjadi poros utama pendidikan merupakan faktor determinan dari indikator kemajuan pendidikan. Sebab pendidikan tidak hanya berbicara angka kelulusan, geduang sekolah, jumlah murid, proses pembelajaran, dan prestasi, tetapi jauh lebih mendalam dari semua itu, yakni hakikat manusia.

Adalah filsafat satu-satunya aspek ilmu yang berusaha memahami dan memikirkan eksistensi manusia berdasarkan aspek-aspek interior yang dimiliki sebagai makhluk yang unik sekaligus multidimensional. Bagaimanapun diskusi pendidikan adalah berbicara tentang manusia dan bicara manusia adalah bicara karkakter. Karakter sejatinya menjadi tujuan dari sagala proses pendidikan. Karena itu, membangun pendidikan karakter setidaknya dimulai dari pemahaman yang baik atas hakikat manusia. Sehingga pertanyaan-pertanyaan filsafat tentang manusia perlu diajukan untuk mencapai pemahaman tersebut. Misalnya apa yang dimaksud dengan manusia? Apa unsur-unsur yang paling hakiki dari manusia? dan bagaimana mengembangkan potensi-potensi manusia? Selain itu, membangun pendidikan karakter juga sejatinya dimulai dari pemahaman yang baik atas kerakter. Apa itu karakter? Dari mana karekter itu berasal? Bagaimana karakter itu dibangun, dan mengapa harus karakter yang dibangun? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertanyaan-pertanyaan filsafat.

Kehadiran karya ini adalah salah satu ihktiar dan jihad intelektual untuk memberikan kontribusi terhadap dunia pendidikan ditengah arus pemikiran pendidikan yang terus berkembang. Menyadari sifat ilmu itu adalah komunikatif, terbuka, dealiktis, maka karya ini merupakan kerja yang tidak berakhir karena itu tulisan ini harus terus dielaborasi untuk masa-masa selanjutnya.

B. Pembahasan Teori Filsafat

Kata filsafat berasal dari perkataan yunani “philos” (cinta) dan “sophia” (kebijaksanaan) dan berarti cinta kebijaksanaan. Filsafat adalah

~ 574 ~~ 574 ~

Page 22: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

tidak sama artinya dengan kebijaksanaan, atau hanya studi tentang kebijaksanaan; lebih dari pada itu. Implisit dalam suatu cinta ada pengejaran, dan karena alasan ini para filsuf biasanya mengatakan karya mereka sebagai “pengejaran kebijaksanaan”, atau lebih sering dikatakan sebagai “pengejaran kebenaran”2.

Filsafat dapat didekati atau didefinisikan, sekurang-kurangnya dari empat sudut pandang yang berbeda, yang lebih bersifat suplementari dari pada kontradiktori. Masing-masing sudut pandang perlu diingat sebagai suatu pemahaman yang jernih mengenai makna filsafat3: (1). Filsafat adalah suatu sikap pribadi terhadap hidup dan alam semesta, (2) Filsafat adalah suatu metode pemikiran reflektif dan pengkajian yang berdasarkan pertimbangan yang sehat, (3) Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan yang menyeluruh, (4) Filsafat adalah analisis logis mengenai bahasa dan penjernihan arti dari katakata dan konsep-konsep, (5) Filsafat adalah sekelompok masalah dan juga teori-teori tentang pemecahan masalah-masalah ini.

a. Modus-Modus Filsafat

George F. Kneller (1971) menyatakan bahwa ada tiga corak (“modes or styles”) Filsafat sebagai suatu aktivitas: (1) Filsafat Spekulatif, yang berati suatu cara berpikir secara sistematik tentang segala sesuatu yang ada (‘whole of reality”). Ini berarti bahwa berspekulasi adalah suatu tingkatan berpikir filsafats yang lebih mendalam4. Filsafat spekulatif, “is the attempt to find a coherence in the whole realm of thought and experience, (2). Filsafat Preskriptif, berusaha untuk menetapkan standar-standar untuk menilai nilai-nilai, memutuskan tindakan, dan menghargai seni. Sesungguhnya, filsafat akan gagal melakukan tuntutannya yang baik untuk meneliti dan membuat pernyataan-pernyataan tentang keutuhan realita jika ia tidak juga meneliti bidang nilai-nilai, bidang mengenai apa yang seharusnya atau sebaiknya dan juga yang mana. Karena realita dimana kita hidup adalah tidak hanya fisik tetapi juga cultural, tidak hanya suatu keseluruhan bidang material, tetapi juga suatu dunia mengenai pemerintah, hubungan-hubungan sosial, moralitas, seni, drama, dan sekumpulan proses lain yang berasal dari hakikat manusia secara totalitas, (3). Filsafat Analitik, memfokuskan pada kata-kata dan makna. Filsuf analitik meneliti konsep-konsep seperti jiwa, kebenaran, dan alasan atau sebab, kebebasan akademik, persamaan kesempatan untuk menilai perbedaan makna yang mereka bawa dalam konteks-konteks yang berbeda.

2 Van Cleve Morris, (1963). Pandangan yang sama, dijelaskan juga oleh

Dwi Siswoyo dalam papernya mengenai filsafat Pancasila. 3 Harold H.Titus, (1970). Hal 234 4 Imam Barnadib, 23-24 (1994)

~ 575 ~~ 575 ~

Page 23: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

Filsafat analitik menjelaskan apa yang telah diketahui dan menunjuk pada ketidak konsistenan dalam pemikiran manusia. Ia cenderung bersifat skeptis, berhati-hati dan tidak membuat sistem pemikiran yang baru. Pendekatan analitik ini sampai saat ini mendominasi filsafat Amerika dan Inggris. Sedangkan di Eropa, tradisi spekulatif mempunyai akar yang lebih dalam, yang tegas dan metafisik, masih tumbuh dengan subur. Tetapi jenis filsafat yang mana saja, rupanya menjadi paling penting pada suatu waktu, kebanyakan filsuf setuju bahwa semua jenis perlu. Spekulatif tanpa diikuti juga dengan analisis dengan mudah membubung tinggi ke suatu langit spekulasi itu sendiri, tidak relevan dengan dunia sebagaimana kita mengetahui, dan analisis tanpa spekulasi turun kepada hal-hal yang tidak berarti dan menjadi tak berguna dan hampa.

b. Tiga Masalah Utama Filsafat Pertama, masalah keberadaan termasuk masalah kenyataan (being and reality), masalah ini lebih dikenal dengan persoalan metafisika, kedua masalah pengetahuan termasuk masalah kebenaran yang dikenal dengan persoalan epistimologi, dan ketiga masalah nilai atau aksiologi. Masalah kebenaran terbagi kedalam tiga bagain, yakni being (yang ada), reality (yang nyata atau kenyataan), dan existence (yang bereksistensi) Berkaitan dengan masalah kebenaran tersebut, maka pemahaman atas filsafat pendidikan dapat dimulai dari kebenaran tentang manusia. Karena itu kajian filsafat pendidikan perlu melibatkan ilmu filsafat antropologi. Pemikiran berbasis integrasi dan interkoneksi keilmuan sudah saatnya dikembangkkan ditengah meluasnya paradigma dikotomis keilmuan dewasa ini. Dikotomis ilmu menyisahkan cara pandang parsial dan dangkal terhadap solusi kehidupan manusia dewasa ini. Kehidupan manusia modern saat ini, sejatinya membutuhkan cara pandang yang integrative-holistic, lebih-lebih pada persoalan keilmuan sebagai basis pemacahan masalah. Salah satu integrasi keilmuan yang dimaksud terkait dengan tulisan ini adalah integrasi ilmu antropologi filsafati (filsafat manusia) dengan filsafat pendidikan. Pada dasarnya filsafat pendidikan melanjutkan apa yang telah dikaji oleh ilmu antropologi. Karena itu kajian pendidikan merupakan bagian yang inheren dengan persoalan manusia. Maksudnya, setelah mengenal hakikat manusia secara utuh (multideminsional), kemudian pendidikan berperan mengembangkan manusia dengan segala potensi kemanusiaannya. Pendidikan merupakan ruang aktualisasi potensi positif (“daimon”) jasmani-rohani yang meliputi individualitas, sosialitas, moralitas, religiusitas, dan historitas. Sementara masalah hakikat pengetahuan, pengetahuan merupakan hasil tahu manusia. Pengetahuan manusia diperoleh lewat kerjasama antara subyek (s) yang mengetahui dan obyek (o) yang diketahui. Sehingga pengetahuan manusia selalu subyektif-obyektif dan obyektif-subyektif. Di sini terjadi kemanunggalan antara obyek dan subyek. Kemanunggalan ini

~ 576 ~~ 576 ~

Page 24: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

dimaknai sebagai external- sense experience dan internal-sense experience. Oleh karena itu, pengetahuan manusia bisa berupa intuition, revalation, dan faith. Meskipun demikian manusia memiliki keterbatasan dalam memperoleh pengetahuan. Karena itu manusia tidak mampu merengkuh obyek secara total dan utuh, selalu ada segi yang tak terungkap. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan manusia, menyangkut daya akali dan daya indarawi serta kompleksitas obyek yang diketahui (fenomenon dan noumenon) karena itu pengetahuan manusia bersifat relative. Adapun masalah kebenaran, dalam konteks ini adalah kebenaran epistimologi, dimana kaitan antara epistimologi dan filsafat pendidikan dapat dijelaskan. Oleh karena itu, masalah pengetahuan merupakan bagian dari isi pendidikan. Misalnya pendidikan mencakup aspek kognitif (pengetahuan), afektif (nilai dan sikap), dan psikomotorik (ketrampilan). Meskipun ketiga aspek ini memiliki keterbatasan sebagai standar pengukuran komptensi manusia. Artinya masih banyak dimensi kemanusiaan yang belum dilibatkan sebagai aspek yang menentukan dan mempengaruhi eksistnsi manusia. Pengetahuan manusia selalu hadir dalam kegiatan pendidikan. Begitu juga yang berkaitan dengan nilai, pendidikan bukan saja mengajarakan dan melatihkan tentang sesuatu hal melainkan menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai kebaikan dan keindahan. Karena itu pendidikan adalah kegiatan yang sarat nilai. Hakikat Manusia

Merujuk dari Driajrkara, dalam karya “percikan filsafatnya”, bagaimana dapat memulai mamandang manusia secara filsafat? Baiklah kita mulai saja dengan pandangan dan rumusan-rumusan yang sudah tersedia, yaitu dengan definisi klasik yang sudah teruji kebenarannya. Di mana manusia adalah hewan berbudi atau “animal rationale”. Filsafat modern menyebut manusia sebagai “Geist in Welt” atau Esprit incarne”. Ketiga rumusan ini ada kelebihan ada juga kekurangnnya5. Realitas manusia pada hakikatnya tidak cukup dirumuskan dengan satu kalimat, agar horizon pengertian lebih lengkap, definisi-definisi tersebut harus ditambah dengan beberapa keterangan dan cara pandangan baru.

Pandangan yang diwariskan oleh Plato “aku berpikir maka aku ada”, belakangan melahirkan filsafat idialisme kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles (384-322 SM) yang mewariskan “aku ada maka aku berpikir” yang kemudian melahirkan filsafat realisme. Mayoritas penstudi filsafat melihat bahwa kedua hal hadir sebagai suatu bentuk dialektika antara thesis dan anti thesis. Pandangan demikian tidak semuanya salah karena memang pendapat Aristoteles merupakan penolakan pandangan Plato sebagai gurunya. Lepas dari perdebatan kedua hal ini, sebenaranya kedua pandangan tersebut tetap kembali pada satu hal sebagai inti dari idialisme dan realisme yakni

5 Ibid. Drijrkara….123

~ 577 ~~ 577 ~

Page 25: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

realitas tunggal manusia, atau yang di sebut antroposentris. Sejak masa renaissanca sampai sekarang ini manusia tetap menjadi pusat kajian.

Menyadari bahwa manusia adalah sebuah poros realitas (mikrokosmos), atau sebuah alam yang menyimpan misteri tak bertepi dalam dirinya sendiri, maka tidak heran kemudian mendorong manusia terus mengkaji akan keberadaan dirinya sebagai sebagai entitas yang kompleks. Lantas, “siapakah dan apakah manusia ini”? demikianlah Max sheler bertanya, pertanyaan tersebut adalah aspek ontologis dari filsafat pendidikan karakter yang perlu dijawab. Pertanyaan kelihatannya sederhana tetapi inilah awal dari kesadaran manusia akan ketidaktahuan manusia atas dirinya sendiri. Seperti yang disampaikan oleh J.Naisbitt yang dikutip oleh Sastratejda, “apapun terobosan paling menggairahkan pada abad ke-21 ini terjadi bukan teknologi, tapi karena perkembangan konsep mengenai apa artinya menjadi manusia”6. Inovasi teknologi dalam hal apapun tidak lain merupakan tindakan memenuhi hasrat tak berujung manusia itu sendiri.

Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa mesti pertanyaan “siapa” dan “apa”, untuk mengerti jawaban pertanyaan tersebut, harus melihat eksistensi manusia dari keseluruahan aspek yang dimilikinya, walaupun manusia itu menurut suatu aspek dapat disejajarkan dengan barang atau benda lain di dunia ini. Kendatipun demikian, terdapat juga jurang yang sangat lebar antara manusia dan barang-barang materil yang disebut dengan “sebutir”, seekor, “sebuah”, “sebatang”, dan sebagainya. Dengan demikian menurut Driajrkara, bahasa sehari-sehari telah membuktikan bahwa secara spontan dan intiutif manusia dapat ditropong sebagai makhluk yang berlainan dari yang lain. Ini artinya bahwa manusia itu bukanlah hanya “apa” yang diwakili o leh aspek jasmani (materi atau benda) semata tetapi juga “siapa” yang diwakili oleh alam kesadaran dan rasionalitasnya.

Jadi, manusia bila dipandang dari sudut “ke-apa-anya” maka sulit diberikan pengertian atau definisi. Pengertian manusia akan dapat diperoleh jika dipandang sebagai “siapa”. Kendatipun hal ini dapat dibedakan tapi keduanya adalah satu kesatuan eksistensi. “Siapa” tidak akan mengarah ke manusia tanpa keterlibatan pertanyaa “apa”, begitu juga sebaliknya. Manusia sepanjang sejarah telah meninggalkan bekas-bekas dalam bentuk budaya dan pengetahuan. Dengan jejak-jejak inipula manusia dapat didefiniskan dan diketahui entitasnya, selebihnya manusia tetap menjadi misteri yang terus diungkap. Kemanusia bukanlah barang jadi, tetapi sesuatu yang harus ditemukan dan dibangun terus menerus. Itulah kenapa inovasi-inovasi pendidikkan, kesehatan, rekayasa sosial, dan lainnya tidak pernah terhenti, semua itu karena mengikuti hakikat manusia yang terus proses “menjadi” sebagai sesuatu yang tidak hanya being tetapi becoming.

Khusunya pendidikan karakter tidak lain bertujuan untuk menanamkan, mengembangkan, dan memperkuat karakter sebagi bentuk dari

6 M.Sastrapratedja, Pendidikan sebagai Humanisme

~ 578 ~~ 578 ~

Page 26: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

proses “menjadi”tersebut, semua ini dilakukan menuju penyempurnaan karakter manusia. Kendatipun manusia ini adalah entitas yang menyimpan misteri, informasi tentang hakikat manusia dapat diperoleh dari sifatnya yang menyejarah, ditemukan juga dari dimenasi-dimensi interior (emosi dan jiwa) serta dimensi exterior (perilaku yang nampak) serta kecenderungan-kencenderuang umum dari sifat alami manusia.

Merujuk dari dimensi-dimensi interior manusia ini dan kecenderungan umum dari sifat alami manusia, manusia berusaha membangun teori-teori, ilmu pengetahuan dan metode untuk mengenal dan menyingkap dirinya sendiri. Dalam aspek pendidikan misalanya, proses pendidikan itu dikenal disebabkan karena dikenal adanya dimensi-dimensi educative dalam diri manusi. Misalanya potensi akal, emosi, hati, berbagi kecerdasan, perilaku dan dimensi-dimensi bawaan lainnya. Menyadari adanya aspek-aspek educative ini maka manusiapun disebut sebagai homo academicus, educandum animal (makhluk yang dapat didik), animal thiking, dan lain-lain, walaupun mayoritas teori dan konsep pendidikan yang dibangun saat ini, masih berdasrakan pada aspek-aspek yang teramati dari dimensi exterior manusia.

Berikut ini akan diuriakan dimensi-dimensi manusia yang terkait langsung dengan ranah pendidikan karakter, walaupun pada hakikatnya pembahasan pendidikan adalah membahas realitas manusia sebagai totalitas eksistensi. Oleh karena itu, untuk mendesain pendidikan yang benar harus merujuk pada pemahaman yang benar dan tepat tentang manusia. Untuk sementara ini, pemahaman tentang manusia masih terbatas pada apa yang terungkap dari manusia (behaviorisme). Pendidikan secara umum, termasuk di dalamnya filsafat pendidikan karakter, dibangun dari pemahaman atas dimensi dan aspek yang dimiliki oleh manusia.

Untuk mengurai hal ini, dapat dimulai dari berbagai pendekatan penafsiran terhadap realitas manusia. Salah satu pendekatan itu adalah pendekatan fisika kuantum yang dikembangkan oleh Erbe Sentanu dalam bukunya “The Science and miracle of Zona Ikhlas, Aplikasi teknologi kekuatan hati”. Dalam ilmu fisika kuantum, tubuh manusia terbagai menjadi tiga realitas, yakni realitas tubuh fisik, tubuh mental, dan tubuh quantum7. Selama ini pengembangan pendidikan, masih lebih banyak beroriantasi pada realitas tubuh fisik manusia ketimbang tubuh mental dan quantum, walaupun belakangan ini, bermunculan teori pembelajaran berbasisi kuantum, seperti quantum learning and teaching terutama yang dikembangkan oleh Bobbi DePorter sebagai pencetus QLN (Quantum Learning Networking). Kemudian di Indonesia dipopulerkan oleh Munir Chatib dengan konsep pendidikan dan pengajaran yang humanis. Berikut ini akan dijelaskan lebih jauh ketiga bentuk realitas tubuh manusia tersebut;

7 (Sentanu,2009:35).

~ 579 ~~ 579 ~

Page 27: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

1. Tubuh Manusia sebagai Realitas Quantum Apa itu kuantum ? Menurut Dr. Dean Radin, peneliti senior di

Institute of Noetic Sciences di Amerika dalam bukunya Entangled Minds: Extrasensory in a Quantum Realaity menjelaskan; “prinsip nonlocal (tak berlokasi) adalah penjelasan ilmiah bahwa segala benda yang terlihat terpisah satu sama lain, akan tetapi ditingkat kuantum sebenarnya sama sekali tidak terpisah. Bahkan tubuh manusia pun ada yang tak tersentuh oleh ruang dan waktu sehingga bisa menyebar kesegala arah dan waktu8. Ada beberapa nilai karakter manusia terkait dengan realitas kuantum ini, diantaranya adalah ikhlas (pribadi yang ikhlas), sabar, dan tawakal.

Sentanu (2008) melanjutkan, meskipun zona ikhlas tidak memiliki lokasi (nonlocal) namun secara potensi maujud ia ada di mana-mana. Keberadaannya bisa dideteksi (baca: dirasakan) oleh hati lewat bantuan gelombang otak alfa dan theta di mana ruang dan waktu bisa lebih dirasa kefanaannya. Manusia yang terampil memanfaatkan tubuh kuantumnya menurut Sentanu, akan lebih tenang dan fokus dalam hidupnya. Dalam ranah fisika kuantum, tubuh kuantum berdaya elektromagnetik yang teramat hebat ini, sesungguhnya dapat diolah dan dikembangkan seperti potensi-potensi lain yang ada dalam diri manusia. Dalam tubuh kuantum ini, ikhlas adalah salah satu potensi yang bisa diasah menjadi karakter positif. Karakter ikhlas yang berpusat pada “hati kuantum” ini dapat melahirkan karakter-karekter positif lain seperti pribadi yang bersyukur, sabar, yakin, tenang, dan bahagia, lawan dari pribadi sombong, emosional, khawatir atau cemas, ragu-ragu, dan tergesa-gesa yang merupakan karakter negative.

Dalam tulisan ini, manusia sebagai realitas kuantum sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ranah ontologis filsafat pendidikan. Dewasa ini, pengembangan teori dan praktik pendidikan di Indonesia masih belum terbiasa lahir dari pendekatan-pendekatan integratif dan interkonektif, seperti dalam ranah ilmu-ilmu lainnya. Oleh karena itu terkait hal ini, manusia sebagai realitas kuantum masih belum banyak dipertimbangan dan dilibatkan dalam pengembangan pendidikan secara umum di Indonesia. Ada beberapa sebab yang mendorong hal ini terjadi, pertama karena paradigma keilmuan yang dibangun selama ini dan sampai sekarang terhegemoni oleh taradisi saintifik-positifistik. Kedua, paradigima dikotomis, antara social sicience dan natural science, antara saintifik dan spiritualitas, antra ilmu satu degan ilmu yang lain, dan seterusnya. Dikotomis sampai spesifikasi keilmuan ini, mengakibatkan keutuhan ilmu dipecah-pecah ke dalam berbagai macam bidang dan disiplin ilmu, seakan ilmu-ilmu tersebut itu tidak saling terkait satu sama lain.

Dampak dari hal di atas, manusia modern hidup dengan ilmu pengetahuan yang cukup mendeteil, tapi sangat parsial. Bahkan terkadang sedemikian parsialnya hingga lupa “hakikat dan gambar besarnya”. Sebagai

8 Sentanu, The Miracel of Iklas…..23

~ 580 ~~ 580 ~

Page 28: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

contoh, manusia hari ini memiliki ilmu kedokteran yang fasih berbicara tentang organ, penyakit, sel, dan genetika, tapi tidak memahami keterkaitannya dengan jiwa, pikiran, dan perasaan. Pada saat yang sama, manusia punya ilmu psikologi yang bisa bicara tentang ego, alam bawa sadar, perilaku, dan kepribadian tetapi tidak peka terhadap keterkaitannya dengan fisiologi tubuh dan penyakit.9 Begitu pula ilmu pendidikan dan pengajaran yang mampu berbicara tentang nilai, moral, dan kecerdasan tetapi belum mampu mensinergikan antara kecerdasan dengan kebaikan. Di antara keduanya, ada ruang kosong, pemahaman yang belum jelas, belum terisi, hingga dalam upaya untuk menyatukan kembali “hakikat atau gambar besar itu”, banyak orang terpaksa melengkapinya dengan konsep sisipan. Konsep sisipan tentang metode dan teori-teori modern serta kearifan-kearifan lokal yang sering kali hanya hadir tidak memberikan solusi apa-apa. Rentang inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai “jurang antara sains dan spiritualitas dan antara pengtahuan dan perilaku serta antara kecerdasan dan kebaikan.

Demikianlah manusia dewasa ini, sudah terlampui jauh mengalami kemajuan hingga semakin terlihat dengan jelas sisi-sisi kemunduruan dalam dirinya. Entah apa yang terjadi, ketika sains, teknologi, informasi, dan industrialisasi berkembang pesat, nalar (akal) pun mendadak memperoleh porsi yang dominan dalam kehidupan manusia modern. Sementara nurani (hati), ruh, jiwa, dan bagian-bagian intrinsik manusia semakin jauh tersisihkan dari keutuhan entitas manusia.

Pandangan dikotomis atas realitas ilmu selama ini berdampak pada kesulitan merumuskan kerangkan kerja integrasi keilmuan dalam memecahakan problem kemanusiaan. Ilmu pengetahuan seakan berajalan sendiri-sendiri tanpa disadari adanya keterkaitan antara satu ilmu dengan ilmu lainya. Hal ini terlihat dari kuatnya pemisahan ilmu kedalam disiplin-disiplin tertentu. Pemisahan ilmu ini kemudian semakin dikokohkan oleh adanya sikap profesionalisme yang membatasi kemerdekaan pola pikir, keluasan, dan keterkaitan antara ilmu-ilmu itu sendiri.

Akhirnya, ilmu pengetahuan dibongsai sedemikian rupa, sampai ilmu yang sejatinya menjadi horizon luas justru semakin sempit. Sejatinya, kecerdasan manusia itu sifatnya terbuka menjadi tertutup sehingga ahli budaya enggan bicara pendidikan, sebaliknya ahli pendidikan tidak diterima kalau bicara budaya. Padahal untuk merumuskan pendidikan perlu memahami budaya dan untuk membangun budaya perlu mamahami pendidikan. Begitupula yang terjadi antra ahli ekonomi, agama, politik, antropologi, dan seterusnya seakan “haram” untuk masuk dalam wilayah disiplin ilmu-ilmu lain.

Di Indonesia, integrasi keilmuan masih merupakan hal yang asing, hal ini terlihat dari kurang akrabnya ahli-ahli ilmu sosial dengan ilmu pendidikan. Padahal proses pendidikan, fenomena yang menyertainya, dan

9 Ibid xxxiii

~ 581 ~~ 581 ~

Page 29: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

hasil-hasilnya telah menjadi medan kajian disiplin ilmu psikologi, antropologi, ekonomi, politik, komunikasi, dan sejarah. Kajian-kajian tersebut dapat dikelompokkan sebagai upaya pihak luar untuk memahami dan menjelaskan fenomena pendidikan. Kajian semacan ini di Barat, telah berlangsung lama dan hasilnya telah memperkaya informasi teoritik dan metodologik bagi dunia pendidikan. Bahan-bahan literatur menunjukan bagaimana akrabnya pakar-pakar ilmu-ilmu sosial seperti Emile Durkheim, Max Weber, Talcot Persons, Robert Merton, dan Piere Bourdue, usaha mereka ini kemudian dilanjutkan oleh para pengikutnya.

Di Indonesia hampir tidak ada ahli ekonomi yang terbiasa akrab dengan dunia pendidikan seperti John Vaizey,Torrow, atau Jan Tienbergen. Hal serupa dari kalangan psikologi seperti Jean J.Piaget, JS Bruner Calr Rogers, atau J.B. Skinner. Tentu masih banyak hal dapat diketengahkan berkaitan dengan terbatasnya perhatian dan upaya nyata pihak di luar pendidikan melakukan kajian-kajian pendidikan. Seperti banyak dibicarakan, tradisi pengkajian-pengkajian pendidikan oleh pihak luar dan hasil-hasilnya akan memberikan sumbangan berharga menjelaskan fenomena pendidikan, yang seterusnya akan dapat menyediakan informasi untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan. Uraian di atas, mencerminan dua hal, pertama menunjukan gambaran keluasan dan komprehensipnya eksistensi manusia sebagai core dari pendidikan, kedua memperlihatkan ketidakutuhan dalam memahami manusia sebagai satu entitas utuh.

Menurut Max Scheler dan Martin Heidegger, tak ada zaman, seperti zaman sekarang, di mana manusia menjadi pertanyaan bagi dirinya sendiri atau menjadi problematic bagi dirinya. Tak ada pula zaman di mana di tengah kemajuan yang pesat, manusia paling kurang mengetahui mengenai diri dan identitasnya. Memang ilmu pengetahuan mengenai manusia, dewasa ini begitu pesat dan terspesialisasi dalam banyak ilmu, seperti fisiologi, kedokteran, biologi, sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi, politik, dan lain-lain. Masing-masing ilmu pengetahuan membicarakan aspek berbeda dari kompleksitas perilaku dan menawarkan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk mengatur dan mengembangkan kehidupan manusia. Namun justru pengetahuan yang berfragmentasi itu tidak dapat memberikan jawaban yang memadai dan utuh menganai manusia. Bahkan kerap kali satu bidang pengetahuan menggantikan keseluruhan, sehingga terjadi pengetahuan yang mereduksi manusia ke dalam salah satu fungsi dan aspek saja.

Lalu bagaimana menjawab pertanyaan apa, siapakah manusia itu atau apakah hakikat manusia? Tidak ada jawaban yang siap begitu saja terakit dengan pertanyaan ini. Maka yang bisa dirumuskan adalah dimensi-dimensi dan potensi manusia. Ada perbedaaan mendasar antara dimensi dan potensi manusia ini. Dimensi dalam hal ini, berkaitan dengan lokus dari suatu eksistensi. Sementara potensi adalah bagian atau sumber yang terpendam, kuat, dan tersembunyi dalam lokus eksistensi itu. Adapun dimensi manusia dalam hal ini adalah ada tiga, yakni dimensi fisik, jiwa, ruh, ada juga

~ 582 ~~ 582 ~

Page 30: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

mengistilahkan, fisik, mental, dan quantum seperti yang dijelaskan sebelumnya. Ketiga dimensi ini masih belum terungkap dan dimanfaatakan dengan baik sampai saat ini. Dalam realitas dimensi ini terdapat sumber-sumber bagi kehidupan yang disebut dengan potensi.

Konseptualisasi Karakter

Arti karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Istilah karakter sering digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, namun teramat jarang didefinisikan. Dalam bahasa Yunani, karakter diterjemahkan dari kata yang berarti “sesuatu yang tidak berakhir, sifatnya abadi, atau tanda yang tidak mungkin diubah”. Sifat dari karakter akan terbawa dalam perilaku sehari-hari, melekat ke dalam tindakan atau aksi dari orang yang memilikinya. Sehingga dengan sifatnya yang demikian, karakter dapat didefinisikan sebagai “nilai dalam aksi/tindakan”. Sebagaimana kita melihat karakter dari seseorang atau sekelompok orang, kita sering menunjuk karakter pada sekumpulan nilai inti (core values) yang secara konsisten selalu terdapat pada “tindakan”. Sehingga kita pun akan dengan mudah menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok orang tidak akan kita katakana memiliki karakter tertentu jika memperlihatkan perilaku yang tidak khusus, tidak terduga, tau hanya lebih berupa hasil keberuntungan semata-mata. Untuk bisa disebut berkarakter, suatu pikiran atau tindakan harus bersifat khusus, disengaja, konsisten, bebas dan secara logis dipilih dalam dan untuk menghadapi suatu kondisi atau suatu persoalan.

Karakter adalah suatu manifestasi nyata dari beberapa proses yang saling terkait, sebagai perwujudan dari kejujuran, respek, tahan banting, atau keberanian, yang merupakan hasil dari satu atau banyak proses psikologis, lebih sering digolongkan ke dalam tiga kategori umum, yaitu kognisi, afeksi, dan perilaku (psikomotor). Sementara ketiga proses ini sering dipercayai sebagai aspek yang terpisah, atau dapat dipisahkan, sebenarnya ketiganya saling terkait satu sama lain, dan hampir-hampir tidak mungkin dipisahkan. Dalam dunia olahraga, banyak ahli yang membagi karakter ini ke dalam dua jenis karakter: Pertama disebut karakter perfoma (performance character) yang berarti dimilikinya pengetahuan, kebiasaan, dan kecenderungan untuk sukses dalam olahraga, sekolah, tempat kerja, dan wilayah kinerja lainnya, yang membutuhkan kerja keras, ketabahan, disiplin diri, dan daya juang tinggi. Untuk memperoleh karakter performa ini diperlukan upaya:

1. Mengembangkan etos kerja yang kuat dan komitmen internal untuk selalu melakukan yang terbaik;

~ 583 ~~ 583 ~

Page 31: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

2. Mengembangkan keterampilan untuk mewujudkan keyakinan diri, tahan banting, dan tujuan yang realistis;

3. Mengembangkan motivasi berprestasi yang sehat. Kedua adalah karakter moral (moral character), yang menunjuk

pada keunggulan moral yang tidak terlihat, seperti integritas, kejujuran, kepedulian pada orang lain serta pada keadilan. Karakter moral ini yang mengatur nafsu atau ambisi pribadi kita dengan menyeimbangkannya dengan issu keadilan dan hak orang lain. Untuk memperoleh karakter moral ini diperlukan upaya: 1. Mengembangkan identitas moral, di mana seseorang melihat moral dirinya sebagai bagian penting dari perilakunya (sehingga dia akan merasa bersalah jika melakukan sesuatu yang dia rasa tidak pada tempatnya) dan memiliki kesadaran untuk menolak tekanan sosial manakala harus bertindak di luar yang dipercayainya bertentangan dengan kepercayaannya; 2. Mengembangkan kemampuan alasan moral (moral reasoning) dan pemecahan masalah, bersamaan dengan dimilikinya keterampilan yang diperlukan untuk menjadi warga Negara sipemokratis; dan 3. Mengembangkan gaya hidup dan tujuan hidup yang sehat, di samping dimilikinya kontrol diri dan disiplin diri untuk tetap kommit pada tujuan-tujuan yang ditetapkan. Pengembangan karakter memerlukan waktu yang lama dan kontinyu. Merupakan bentukan sejak anak masih berada dalam the golden age of growth, atau yang sering kita sebut balita (di bawah lima tahun), dan terus diperkuat olah pengalaman dan pendidikan serta pengajaran di usia-usia berikutnya. Pendidikan karakter sebernarnya harus dimulai di rumah, dan peletak dasarnya adalah orang tua. Meskipun orang tua bukan ahli pendidikan karakter, perilaku dan tindakan orang tua sedikit banyak akan membentuk karakter anak-anaknya. Melalui apa yang dilihat dan didengarnya, anak membentuk nilai dan kepercayaan yang lambat laun mengkristal menjadi ciri kepribadiannya, serta memperbesar kecenderungan dan atau potensi, akan menjadi apa karakternya kelak di kemudian hari. Kemudian potensi dan predisposisi sikap anak tadi dikembangkan juga di sekolah, bahkan juga tentu dipengaruhi oleh warna perilaku teman-teman sebayanya. Di sinilah pentingnya guru menguasai dan menyadari peranannya yang amat kuat menentukan kepribadian dan karakter seorang anak melalui model pembelajaran, ucapan, hingga perilakunya sehari-hari. Kritik kepada para ahli pendidikan, yaitu dalam hal kecederungannya dalam memperlakukan teori belajar yang sudah dikembangkan oleh para ahli psikologi pembelajaran. Kita semua mengenal teori belajar behaviorism, kemudian teori ini seolah igantikan oleh teori belajar yang lebih baru, yaitu teori cognitivism. Belum lagi teori ini diterapkan dengan baik, muncuk lagi teori belajar dari bandura yang disebut teori belajar sosial (social learning theory). Belakangan, para guru pun diperkenalkan lagi dengan teori belajar konstruktivisme.

~ 584 ~~ 584 ~

Page 32: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

Ada kecenderungan para guru seolah-olah relatif mengesampingkan teori belajar yang satu dan memilih teori belajar yang lain. Dengan pernyataan lain, guru menganggap bahwa teori belajar yang lama sudah dianggap usang (obsolete) dan mendewadewakan teori belajar yang lebih baru. Padahal kenyataannya, semua teori belajar tersebut sampai sekarang masih tetap berlaku, karena memang sesuai dengan fitrah dan cara kita manusia pada umumnya belajar dan mendewasa sebagai manusia utuh. Khususnya dalam pendidikan dan pengembangan karakter, amatlah perlu guru menyadari bahwa semua teori belajar yang disebutkan diatas tetap dipergunakan secara lengkap, karena sifatnya saling melengkapi. Teori behaviorisme, misalnya, mengerjakan ketekunan, keterulangan, keterlatihan, dan perasaan berhasil oleh adanya reward and punishment, dsb. Teori kognitivisme dan konstruktivisme mengajarkan bagaimana pentingnya penyadaran secara kognitif tentang nilai, etika, dan sikap yang terintegrasi antara ucapan dan tindakan, sehingga mengkristal dalam bentuk internalisasi sadar dan terpahami. Dan yang tidak kalah pentingnya, teori pembelajaran sosial mewajibkan adanya teladan, baik di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Guru harus menyadari bahwa upaya mengembangkan karakter anak perlu dioptimalkan upaya-upaya yang mendorong anak menerapkan nilai dan tindakan menjadi kebiasaan yang baik, perlu juga disediakan waktu dan tempat agar anak mendiskusikan dan menilai tentang perilaku-perilaku yang baik dan tidak baik, dan itu semua kemudian diperkuat oleh contoh dari semua elemen masyarakat sekolah terutama guru. Contoh kejujuran, contoh ketekunan, contoh kebersihan, contoh perilaku sehat, contoh budaya akademik yang sehat dan ilmiah, dsb. Kepemimpinan nasional memerlukan orang-orang atau pemimpin yang berkarakter. Pemimpin nasional adalah orang yang memiliki niat tulus untuk mengubah kondisi masyarakat bangsa menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya. Untuk kondisi Indonesia dewasa ini yang masih selalu ketinggalan kemajuannya dalam banyak bidang dari bangsa lain, tentu diperlukan kehadiran dari tokoh-tokoh nasional yang berkarakter pembaharu dan murni untuk kepentingan bangsa. Untuk hadirnya tokoh-tokoh yang akan mengisi kepemimpinan nasional di masa depan tentu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam membekali mereka dengan karakter yang positif. Karakter apa saja? Tentu karakter kepemimpinan yang kuat, visioner, tanpa pamrih pribadi, serta berkeinginan tulus mendorong bangsa Indonesia maju sejajar bahkan mengungguli kemajuan bangsa-bangsa lainnya, baik secara ekonomi, kesejahteraan, serta kualitas moral yang baik pula. Perhatikan tokoh-tokoh nasional yang kita akui sebagai pemimpin nasiona. Kita mengenal Sudirman, Sukarno, Bung Hatta, Syahrir, Buaya Hamka, bahkan figur sejarah yang lebih lama: Pangeran Antasari, Pangeran Diponegoro, Hamengkubuwono IX, Tan Malaka, atau Para Wali. Apa saja melekat pada mereka; tak lain adalah hadirnya karakter pada diri mereka. Mereka memiliki apa saja yang sering disebut sebagai rela berjuang tanpa

~ 585 ~~ 585 ~

Page 33: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

pamrih, tidak memikirkan diri sendiri, nasionalisme tinggi, visi yang bersih, dll. Karakter adalah gabungan kualitas moral, akhlak, serta kebajikan yang bergabung dengan kecerdasan, perhitungan matang, serta pengabdian keputusan yang tepat.

Istilah karakter sering samakan dengan watak, perangai sesorang yang berup expresi pshikologi akan tetapi sesungguhnya kalau dikaji lebih dalam maka karakter ini bisa berupa mental block, genetic, out of box. Karena itu, karakter adalah eksistensi dan entitas tersendiri dalam diri seseorang yang dapat dibedakan dari entitas manusia yang nampak (perilaku). Dua hal ini kemudian merupakan dua dimensi yang berbeda tapi menyatu satu sama lain. Sehingga dalam menjabarkan kedua hal ini, jelaskan sekali perbedaan kedunya dan saling memberikan pengaruh dan ketergantungan satu sama lain. Dalam bebarapa kajian, manusia disebut sebagai makhluk yang unik dan komprhensip. Kajian postivistik misalnya mengatakan bahwa manusia itu,terdiri dari beberapa unsure dan dimensi. Ada dimensi fisik dan dimensi non fisik. Setip pertumubuhan, perkembangan, dan perubahan diemnsi ini cenderung menjadi tolok ukur. Oleh karena itu, pendidikan dewasa ini, dimesni fisik dijadikan sebagai aspek yang paling dominan dalam evaluasi dan indkator-indikator kualitas adan kebenaran.

a. Strategi Pengembangan Pendidikan Karakter

Jika ditelusuri secara mendalam pada dasaranya karakter itu adalah nilai-nilai yang telah menjadai personality. Ade beberapa tahapan proses suatu nilai-nilai kebajikan yang mempribadi pada seseorang. Tahapan pertama adalah tahapan sumber input, pada tahap ini nilai-nilai kebajikan masih bersifat moral knowlodge (pengetahuan moral). Pada level ini pengetahuan moral merupakan input yang siap dicerna oleh setiap individu sebagai unsur-unsur karakter (karakter pilihan). Tahap kedua adalah tahapan proses penguatan input. Tahapan ini individu mencoba untuk beradaptasi, mempertimbangkan, dan merasakan kecocok atau kenyamanan dengan nilai-nilai kebajikan yang diterima. Jika individu tersebut merasa cocok dengan nilai kebajikan tersebut maka masuk pada tahapan ketiga. Tahapan ketiga yakni pembiasaan. Tahapan pimbiasaan yang dimaksud adalah nilai-nilai kebaikan yang menjadi bagian dari pikiran, perilaku, dan lingkungan kemudian mengalami penekanan dan pengulangan secara terus menerus. Tahapan ini adalah yang paling penting sekaligus penentu bagi keberlanjutan proses nilai-nilai kebajikan menjadi karakter (mempribadi). Kemudian selanjutnya adalah tahapan keempat yakni nilai menjadi personality (bagian dari integritas diri). Tahapan ke lima adalah nilai menjadi watak dasar (karakter yang berada dalam alam bawa sadar). Tahapan terakhir adalah tahapan kelima yakni tahapan penularan. Pada tahap ini, nilai-nilai kepribadian yang telah mentransformasi menjadi karakter personal, pada situasi yang dikondisikan dapat menular kepada orang lain. Misalnya dari

~ 586 ~~ 586 ~

Page 34: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

karakter individu membentuk karakter komunitas, dari karakter komunitas membentuk karakter masyarakat dan seterusnya.

Persoalan kemudian bagaimana tahapan-tahapan tersebut diterapakan dalam lembaga pendidikan seperti sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Ada beberapa strategi rill terkait dengan hal ini, diantaranya;

Strategi pertama:Karakter harus dijadikan visi. Setiap lembaga pendidikan yang ingin mengembangkan dan menerapkan karakter dalam lembaga pendidikannya maka nilai-nilai yang dianggap butir dari karakter yang direncanakan harus sudah muncul di visi lembaga pendidikan tersebut. Karena itu karakter harus diketahui dan dipahami oleh semua anggota organisasi.

Strategi kedua : Membicarakan secara terus menerus, seberapa sering lembaga berbicara tentang karakter (visi), seberapa sering kelas-kelas pada sekolah atau organisasi tersebut membicarakan visi. Kemudian seberapa sering kurikulum berbicara karakter (visi). Sampai seberapa sering mahasiswa dan siwa, guru-guru, tenaga lependidikan, pemimpin, dan semua komponen lembaga pendidikan tersebut berbicara tentang visi lembaga tersebut.

Tingkat intensitas pembicaraan tentang visi bagi komponen lembaga pendidikan atau anggota organisasi, berpengaruh pada tingkat kesadaran dalam menerapan visi tersebut. Artinya semakin sering pemimpin dan seluruh anggota organisasi atau lembaga pedidikan membicarakan visi misalnya, maka semakin berpeluang visi dan tujuan organisasi itu melekat dalam ingatan, emosi, dan hati anggota organaisasi tersebut. Dengan demikian visi tersebut akan menjadi faktor tak teramati (intangible) yang mengiringi sekaligus mengontrol secara tidak langsung perjalanan organiasasi. Visi yang terus dibicarakan dalam suatu organiasasi akan menjadi indicator apakah perjalanan suatu organisasi sedang menuju pada tujuan atau tidak.

Strategi ketiga: Menyediakan lingkungan yang mengakomodasi berkembang dan terawatnya nilai-nilai karakter. Lingkungan juga dibutuhkan untuk membantu penyebaran nilai-nilai karakter secara cepat kepada semua anggota organisasi.

b. Ciri-Ciri Entitas Karakter

Adapun ciri-ciri entitas karakter dapat dibagai menjadi empat; pertama karakter bersifat utuh, kuat, dalam, bertahan lama (ajek) dan menyebar dalam satu kesatuan identitas bangsa. Bangsa yang berkarater misalnya, akan terlihat perilakunya mempertahankan rasa malu dengan sangat kuat dalam kondisi, suasan, dan konteks apapun. Artinya melanggar aturan kecil atau yang besar dan atau melanggar di lingkungan keluarga dan di kantor tetap sama moral feeling dan moral values-nya yang berlaku. Kemudian bangsa berkarakter juga memliki nation character yang mengakar

~ 587 ~~ 587 ~

Page 35: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

kedalam totalitas entitas murni kemanusiaanya. Karena itu totalitas moralnya adalah expresi dari dalam-keluar atau dari alam bawa sadar ke alam sadar. Sehingga tidak heran apa yang dikatakan selalu selaras dengan apa yang dilakukan.

Kedua, bersifat inner sources, indikator yang lain bahwa perilaku taat hukum bangsa berkarakter itu bukan disebab oleh factor diluar dirinya tetapi karena factor dari dalam. Berhenti dilampu merah misalnya, bukan karena ada polisi yang jaga, bukan karena lampu merahnya menyala, bukan karena agar dianggap taat hukum, tetapi berhenti karena kesadaran akan nilai kebaikan yang terbangun dari dalam.

Ketiga ciri-ciri karkater yang lain adalah ke-ajeg-an (tahan lama atau tidak mudah berubah). Sesuai dengan proses terbentuknya suatu karakter yang cukup lama maka untuk merubah suatu karakterpun membutuhkan waktu yang lama pula. Karena itu, ciri-ciri karakter itu adalah corak aktualisasi diri sesorang yang mengiringi sepanjang kehidupnnya bahkan bisa melampui waktu umur sesorang itu sendiri. itulah sebabnya karakter bukanlah sesuatu yang instan dan tiba-tiba tetapi proses yang mengulang sekaligus mengalami penguatan(reinforcement).

Keempat, ciri karakter selanjutnya adalah menyebar atau menular. Bangsa berkarakter kuat, biasanya tidak hanya terlihat dari personifikasi individunya yang berkarakter tetapi juga dapat dilihat dari penggunaan bahasanya, pemilihan kosa kata dan kalimat, budaya kerja, serta peradabannya. Ini menunjukan bahwa bangsa berkarakter secara tidak langsung melukiskan karakternya ke dalam jejak kehidupannya di seluruh aspek-aspek kehidupan lainnya. Oleh karena itu, watak individu ini menyebar menjadia watak komunitas, watak komunits mengkrucut menjadi watak bangsa. Watak bangsa ini kemudia tercermin dan masuk dalam etos kerja, bahasa, dan karya-karya yang diciptakan.

Lantas bagaimana dengan bangsa Indonesia yang lahir dengan keragaman pula dan karakter daerah ? kalau bahasa Indonesia saja dapat menyatukan sekaligus mewakili ragamnya bahasa Daerah tanpa harus menghilangkan eksistensi bahasa daerah, maka national character-pun dapat dibangun seperti yang pernah diakukan para pendiri Bangsa ini dalam mega proyek national character building, tanpa harus menafikan keunikan manusia Indonesia yang plural itu. Pancasila misalnya, adalah jawaban yang teramat baik bagi realitas keragaman bangsa Indonesia saat ini. Walaupun di sisi lain, kenyataanya pancasila dewasa ini masih dimuliakan dalam kata tapi dihianti dalam laku. Bahkan lebih ekstrimnya pancasila telah ditinggalkan jauh dilorong yang sepi dari pembicaraan dan kebutuhan anak bangsa. Tidak berlebihan mungkin kalau dikatakan pancasila sedang mengalami mati suri, melihat perilaku anak bangsa hari ini sangat jauh dari nilai-nilai pancasila. Padahal pancasila sejatinya dijadikan dasar, tujuan, visi, misi,values, symbol-syimbol, proses, dan lingkungan dalam mengiringi perjalanan bangsa ini. Sebab kalau tidak maka pikiran, perasaan, dan tingkah laku anak bangsa ini

~ 588 ~~ 588 ~

Page 36: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

akan direbut dengan mudah sekaligus dikuasai oleh arus globaliasasi yang begitu cepat, intens, dan massif hadirnya.

Salah satu problem dasar tidak membuminya nilai-nilai pancasila dalam perilaku kehidupan anak bangsa dewasa ini adalah, karena pancasila jarang dibicarakan. Pancasila hanya dijadikan dasar dan tujuan di atas kertas tetapi tidak terpatri dalam pikiran, jiwa, hati, dan tingkah laku anak bangsa. Oleh karena itu pancasila sulit menjadi proses kehidupan apalagi menjadi mental bangsa. Maka dari itu geliat pendidikan karakter hari ini harus terlahir dan mendorong hidup kembalinya pancasila dalam kehidupan bangsa yang nyata. Bukunya Kottter)

Kebanyakan kajian karakter hari ini, lebih didasarkan pada paradigma behaviorisme, di mana totalitas perilaku yang nampak itu yang menjadi indicator penilaian dan kajian. Merumuskan pendidikan karakter berbasis pada paradigam behaviorisme tidak sepenuhnya salah, akan tetapi masih perlu dilibatkan factor-faktor dan paradigma yang lain. Karena bagaimanapun persoalan karakter adalah persoalan lebih daari persoalan perilaku yang nampak (tangible) semata tetapi perilaku yang tidak nampak (intangible). Dengan demikian, pendidikan karakter ini dapat disoroti dari dua sudut pandang. Pertama pandangan pada aspek yang tdak tanpak dan yang nampak. Untuk memahamai kedua hal ini, maka tidak berlebihan kalau dikatakan sebenarnya aspek-aspek karakter yang tidak nampak dalam diri seseorang merupakan suatu entitas dan eksisten tersediri yang berbeda dengan perilaku yang nampak.

Terkait dengan sifat karakter yang dapat menular, hal tersebtu dapat juga dijadikan sebagai strategi untuk menyebarluaskan karakter. Sebagai strategi dalam membentuk character imitation, maka perlu membuat satu komunitas atau kelompok yang didalamnya sudah ada kesepakatan atas nilai, tardisi, dan standar kepentingn yang sama. Komunitas ini dapat menjadi “agen” penyebar dan sosialisasi karakter. Oleh karena itu, komunitas tersebut harus mensosialisasikan secara langsungn maupun tidak langsung identitas dirinya. Komunitas ini bukanlah komunitas seperti desain komunitas organisasi politik, komunitas pengajaian atau dakwah dan sejenisnya dimana hanya memimiliki tujuan keluar semata-semata (outward looking). Akan tetapi komunitas yang dimaksud adalah komunitas sebagai wadah atau lingkungan mikro yang menumbuh kembangkan sekaligus untuk merawat nilai-nilai karaker positif. Oleh karena itu komunitas ini lebih bersifat inward looking sehingga berfungsi sebagai alat untuk merawat pergaualan.

~ 589 ~~ 589 ~

Page 37: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun

Pergaulan itu perlu dirawat sama pentingnya seperti merawat kesehatan secara berkala. Karena bagaimanapun pergaulan atau interaksi yang berdasarkan pada karakter yang sudah positif membuthkan perawatan secara berkelanjutan. Merawat pergaulan hanya bisa terjadi dengan efektif apabila berada pada ligkaran komunitas yang steril dari karakter buruk. Dengan demikian komunitas ini selain sebagai tawaran alternative pergaulan juga sebagai agen sosialisasi secara tidak langsung akan melahirkan apa yang disebut dengan habitus.

Komunitas sebagai strategi implementasi pendidikan karakter, bukanlah komunitas atau kelompok yang dibuat dengan tanpa tujuan dan aktivitas. Kajian rutin tentang pencapaian-pencapaian, tantangan-tantangan, dan membicarakan visi misi organisasi/komunitas dapat manjadi kohesi nilai pendidikan karakter bagi organiasi/komunits tersebut. Sekolah dan kelas selama ini sesungguhnya dapat menjadi satu unit komunitas atau orgnisasi dalam pembentukan karakter, akan tetapi selama ini belum dilakukan secara sistimatis dan maksiamal maka keberadaan sekolah dan kelas masih diangap kumpulan dari bangunan tembok persegi empat. Sementara kelas dianggap bangunan yang mirip penjara dengan tembok yang tinggi dan fentilasi udara yang minim.

Belum ada kajian dan penelitian yang serius, bahwa kelas sejatinya memproduksi ikatan emosi dan komunitas belajar di luar kelas. Begitu juga sekolah seharusnya memproduksi komunitas-komunitas belajar di luar sekolah, dengan demikian nilai-nilai dan pengetahuan yang ditransfer di dalam ruang kelas dihidupakn diluar kelas. Pengembangan karakter semakain tidak efektif kalau hanya mengandalkan kemampaun individu akan tetapi perlu ada komunitas sebagai wadah pengembangan pengalaman positif.

Bagaimanapun karakter tidak hanya dibicarakan tetapi juga dilakukan, itulah sebabnya untuk melihat indikator kepribadi berkarakter baik atau tidak, maka tidak hanya melihat seberapa banyak individu tersebut menghafal kosa kata positif tetapi seberapa sering dia melakukan hal-hal positif. Kemudian untuk melihat pribadi berkarakter atau tidak bukanlah diukur ketika seseorang itu dalam keadaan menyendiri dan menjauhi keramean akan tetapi harus dilihat ketika dia berintraksi dengan keramean dalam lokus dan ruang sosial. Ini kenapa pentinganya komunitas itu, sebagai laboratorium nilai sekaligus lokus interaksi.

~ 590 ~~ 590 ~

Page 38: ii - repository.uinmataram.ac.idrepository.uinmataram.ac.id/255/1/255.pdfv Pengantar Editor HORIZON ILMU: KE ARAH INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI LINGKUNGAN UIN MATARAM Dr. H. Masnun