ii. a. kelapa sawit - repository.ipb.ac.id · termasuk dalam famili palmae. kelapa sawit dapat...
TRANSCRIPT
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KELAPA SAWIT
Kelapa sawit adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri,
maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar sehingga
banyak hutan dan perkebunan jenis lainnya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Indonesia adalah penghasil kelapa sawit pertama di dunia. Taksonomi dari tanaman kelapa sawit
dapat dilihat padaTabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Taksonomi tanamankelapa sawit
Kerajaan Plantae
Divisi Tracheophyta
Subdivisi Pteropsida
Kelas Angiospermae
Subkelas Monocotyledoneae
Ordo Cocoideae
Famili Palmae
Subfamili Cocoideae
Genus Elaeis
Spesies Elaeis guineensisJacq. Sumber: Lubis 2008
Tanaman kelapa sawit (Elais guinensis Jacq.) merupakan tanaman berkeping satu yang
termasuk dalam famili Palmae. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah beriklim
tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dengan kisaran suhu 22-32 °C. Masa berbuah
tanaman ini setelah berumur 2,5 tahun dan pemanenan didasarkan pada saat kadar minyak
mesokarp mencapai maksimum dan kandungan asam lemak bebas minimum, yaitu pada saat
buah mencapai tingkat kematangan dengan ciri-ciri buah yang lepas atau jatuh sekurang-
kurangnya 5-10 buah per tandan (Hartley 1977).
Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon dan memiliki waktu
pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki
bentuk lancip dan panjang. Sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar. Habitat
aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh di daerah tropis (15° LU-15° LS).
Tanaman ini tumbuh sempurna pada ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan
kelembaban 80-90%. Tanaman sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan sekitar 2000 mm
per tahun (Ketaren 1986).
Secara anatomi bagian buah kelapa sawit terdiri atas perikarp dan biji. Pada Gambar 1 dapat
dilihat anatomi kelapa sawit. Perikarp tersusun atas epikarp dan mesokarp. Epikarp merupakan
kulit buah yang licin dan keras, sedangkan mesokarp adalah daging buah yang berserabut dan
mengandung minyak dengan rendemen tinggi, menghasilkan minyak sawit mentah (CPO). Biji
tersusun oleh endokarp, endosperm, dan lembaga embrio. Endokarp adalah tempurung kulit biji
yang berwarna hitam dan keras, sedangkan endosperm adalah daging biji yang berwarna putih
dan dari bagian ini dihasilkan minyak inti sawit (Anonim 2009).
4
Gambar 1. Anatomi kelapa sawit (Anonim 2009)
Bagian yang paling sering digunakan untuk diolah lebih lanjut adalah buah kelapa sawit.
Buah sawit umumnya berukuran 2-5 cm dan beratnya 3-30 g, berwarna ungu hitam pada saat
muda, kemudian menjadi berwarna kuning merah pada saat tua dan matang (Muchtadi 1992).
B. MINYAK SAWIT ASLI (MSA)
Minyak sawit asli (MSA) merupakan minyak yang dihasilkan dari mesokarp atau daging
buah kelapa sawit, sedangkan minyak yang dihasilkan dari inti kelapa sawit disebut minyak inti
sawit (MIS). Perbedaan kedua jenis minyak ini terutama terletak pada kandungan karotenoid,
dimana MSA mengandung pigmen karotenoid sehingga berwarna jingga-kemerahan, sedangkan
MIS tidak mengandung karotenoid (Muchtadi 1992). Choo et al. (1989) menjelaskan bahwa
komponen utama dari MSA adalah trigliserida (94%), sedangkan sisanya berupa asam lemak
bebas (3-5%) dan komponen minor (1%) yang terdiri atas karotenoid, tokoferol, tokotrienol,
sterol, fosfolipid, glikolipid, squalen, gugus hidroksi alifatik, dan elemen sisa lainnya seperti
yang terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komponen minor MSA
Komponen Minor Konsentrasi (ppm)
Karotenoid 500-700
Tokoferol dan tokotrienol 600-1000
Sterol 326-527
Fosfolipid 5-130
Squalen 200-500
Alkohol alifatik 100-200 Sumber: Choo et al. 1989
Dibandingkan dengan minyak nabati lain seperti minyak kelapa, minyak jagung, dan minyak
kedelai, minyak sawit asli mengandung karotenoid yang besar begitu pula kandungan vitamin E
yang berupa tokoferol dan tokotrienol. Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit asli merupakan
sumber vitamin A dan sumber vitamin E yang baik bagi tubuh dan tersedia secara melimpah di
alam Indonesia. Perbandingan komposisi minyak sawit asli dengan minyak nabati lain dapat
dlihat padaTabel 3.
5
Tabel 3. Perbandingan komposisi minyak sawit asli dengan minyak nabati lain
Komponen
dalam
minyak
Minyak
sawit asli
Minyak
Kelapa
Minyak
Jagung
Minyak
Kedelai
Karotenoid (ppm) 800 - - -
Vitamin E (ppm)
- Tokoferol
- Tokotrienol
642
530
11
25
782
-
958
-
Asam Lemak (%)
- Jenuh
- Tidak Jenuh
0
49
94
5.9
16
83
14
85
Fitosterol (ppm) 18 14 50 28
Sumber: De Witt & Chong 1998
Kandungan komponen pada minyak kelapa sawit tersebut mempengaruhi kualitas minyak
yang dihasilkan. Komponen trigliserida sering disebut neutral oil. Dalam CPO, trigliserida
campuran merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang (Devine & Williams
1961). Standar kualitas CPO menurut Standar Nasional Indonesia (1998) dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Standar kualitas CPO
No. Karakteristik SNI 01-0016-1998 (%)
1 Asam lemak bebas (sebagai palmitat) (b/b) Maks 5,0
2 Kadar air (b/b) Maks 2,0
3
4
Kadar kotoran (b/b)
Bilangan Iod
Maks 0,02
Min 56
Sumber: BSN 1998
Menurut Purwanto (1997), proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO terdiri atas tahap
berikut:
1) Proses penerimaan buah
Pada proses ini dilakukan penimbangan dan penampungan sementara TBS (tandan buah
segar).
2) Proses perebusan
Perebusan dilakukan untuk menonaktifkan enzim-enzim lipase yang menyebabkan
kerusakan buah melalui reaksi enzimatik.
3) Proses penebahan
Proses ini bertujuan memisahkan buah dari tandannya sehingga memudahkan proses
pelumatan dan ekstraksi minyak dari buah.
4) Proses pelumatan dan ekstraksi minyak
Pada proses ini dilakukan pengambilan minyak dari berondolan kelapa sawit dengan cara
melumat buah (digesting) untuk melepaskan sel minyak dan mengempa (pressing) untuk
memisahkan minyak kasar dari ampas.
5) Proses pemurnian/klarifikasi minyak
Pada proses ini dilakukan pemisahan antara minyak kasar, air, dan sludge (kotoran)
sehingga diperoleh minyak yang bebas dari kotoran, memiliki kadar air yang sesuai (0,1%).
Kadar air merupakan salah satu parameter mutu minyak sawit yang mempengaruhi
keasaman. Apabila konsentrasi air semakin tinggi, maka akan berpengaruh pada proses
hidrolisis yang dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas.
6
C. MINYAK SAWIT MERAH
Minyak sawit merah merupakan minyak sawit asli kaya karotenoid yang diproses secara
minimal sehingga secara alami mengandung tokoferol, tokotrienol dan karotenoid yang
memberikan warna merah pada minyak. Minyak sawit merah juga merupakan sumber dari
beberapa antioksidan termasuk vitamin E dan provitamin A karotenoid yang berperan dalam
mencegah penyakit kanker dan penyakit kronis lainnya (Zeba et al. 2006). Minyak sawit merah
tidak hanya merupakan sumber vitamin A, tetapi juga mengandung lemak dalam jumlah terbatas
yang mempengaruhi efektivitas asupan karotenoid. Secara umum, proses produksi minyak sawit
merah prinsipnya sama dengan proses produksi minyak sawit asli komersial (minyak goreng).
Satu hal yang membedakan adalah pada proses produksi minyak sawit merah tidak ada tahapan
bleaching (pemucatan) sehingga minyak masih tetap berwarna merah. Dibandingkan dengan
minyak goreng biasa, minyak sawit merah memiliki aktivitas provitamin A dan vitamin E yang
jauh lebih tinggi. Karakter ini membuat minyak sawit merah sangat baik dipandang dari segi
nutrisi (Jatmika & Guritno 1997). Kandungan karotenoid pada masing-masing fraksi dari
beragam jenis minyak sawit juga berbeda-beda seperti dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Kandungan karotenoid pada fraksi beragam minyak sawit
Fraksi minyak sawit Turunan karotenoid (ppm)
Crude palm oil 630-700
Crude palm olein 680-760
Crude palm stearin 380-540
Residual oil from fibre 4000-6000
Second pressed oil 1800-2400
Red palm oil 500-700 Sumber: Zeb & Mehmood 2004
Minyak sawit merah mengandung 15-300 kali retinol ekuivalen lebih besar dibandingkan
dengan wortel, sayuran daun, dan tomat (Canfield et al. 2001). Di alam telah diisolasi 600 jenis
karotenoid (Ong & Tee 1992). Karotenoid yang terkandung di dalam minyak sawit merah
sebesar 91,18%, di antaranya merupakan β-karoten dan α-karoten yang mempunyai aktivitas
provitamin A yang tinggi (Naibaho 1990). Kadar karoten minyak sawit merah 60 kali lebih besar
dibandingkan dengan minyak goreng (Jatmika & Guritno 1997).
Menurut Naibaho (1990), MSM mengandung karotenoid total 600-1000 ppm dengan
presentase α-karoten 36,2%, β-karoten 54,4%, γ-karoten 3,3%, likopen 3,8%, dan xantofil 2,2%.
Kandungan karotenoid yang tinggi menyebabkan MSM berwarna kemerahan. Menurut Olson
(1991), pemberian 7 ml MSM dianjurkan untuk nutrisi anak-anak pra sekolah. Sebanyak kurang
lebih 800 ppm tokoferol terdapat dalam minyak sawit. Kelompok senyawa tokoferol ini tidak
hanya penting karena peranannya sebagai antioksidan alami, tetapi secara fisiologis juga aktif
sebagai vitamin, yaitu vitamin E. MSM mulai dikembangkan seiring dengan semakin
disadarinya peranan penting karotenoid bagi kesehatan manusia. Di Malaysia, MSM telah
dikembangkan menjadi produk baru, tetapi sampai saat ini belum ada MSM yang dijual secara
komersil.
Pada umumnya, pemanfaatan minyak sawit masih didominasi untuk produk pangan.
Menurut Muchtadi (1992), sekitar 90% minyak sawit digunakan untuk produk-produk pangan
seperti minyak goreng, minyak salad, margarin, shortening, vanaspati, dan sebagainya,
sedangkan 10% sisanya digunakan untuk produk-produk non pangan. Menurut Meridian (2000),
proses pengolahan minyak sawit merah adalah sebagai berikut:
7
1) Degumming
CPO ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam reaktor, larutan asam oksalat ditambahkan
sebanyak 7%, setelah itu ditambahkan 5-10% CPO. Lalu CPO dipanaskan pada suhu 60 °C
kondisi vakum selama 20 menit sambil terus diaduk.
2) Netralisasir
Minyak dimasukkan ke dalam reaktor, kemudian suhu proses diatur sehingga mencapai 30-
40 °C. Selanjutnya, larutan NaOH ditambahkan dalam jumlah tertentu, kemudian diaduk
dengan kecepatan 65-75 rpm tekanan <1 atm selama 30 menit. Sabun yang terbentuk
dipisahkan dengan pencucian.
3) Deodorized
Minyak dimasukkan kedalam deodorizer, kemudian dipanaskan sampai mencapai suhu 180
°C selama 30 menit dengan tekanan 5 torr. Setelah itu, injeksikan uap sebanyak 4% dari
berat minyak setelah mencapai waktu deodorisasi. Selanjutnya, minyak didinginkan sampai
suhu 120 °C dan dilakukan filtrasi dengan menggunakan kertas Whatman no 42.
4) Fraksinasi
Proses fraksinasi dilakukan berdasarkan prinsip pendinginan dibawah kontrol tanpa
penambahan bahan kimia, kemudian diikuti dengan proses filtrasi. Gliserida jenuh dari
minyak dipisahkan dengan suhu rendah, pemisahan dilakukan dengan filtrasi.Dari proses
ini dihasilkan minyak dengan asam lemak bebas 0,23% dan karotenoid sebesar 256,55 ppm
dengan karotenoid awal 850 ppm.
D. MINYAK SAWIT MERAH TANPA FRAKSINASI (MSMTF)
Proses pembuatan minyak sawit merah tanpa fraksinasi dilakukan hampir sama dengan
proses pembuatan MSM pada umumnya. Hal yang membedakan dalam proses pembuatan
MSMTF ini adalah pada pembuatan MSMTF tidak dilakukan proses degumming (pemisahan
gum) dan fraksinasi antara fraksi padat dan cair. Hal ini dikarenakan pada proses degumming
digunakan air panas dan asam mineral pekat yang dapat menurunkan kandungan beta karoten.
Adanya gum pada produk tidak akan menimbulkan bahaya karena gum merupakan serat yang
dapat larut sehingga dapat dikonsumsi dengan baik. Selain itu, stearin atau fraksi padat dapat
memberikan rasa gurih pada produk minyak ini. Pada pembuatan MSMTF di program SawitA,
MSMTF berasal dari MSA yang dinetralisasi untuk memisahkan asam lemak bebas dengan cara
mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lain yang membentuk sabun. Pada
proses ini, digunakan soda kaustik (NaOH) 16 °Be ke dalam MSA selama 26 menit sambil
diaduk. Sabun tersebut membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fosfatida dan protein
dengan membentuk emulsi. Penambahan air panas bertujuan melarutkan sabun yang terbentuk.
Proses ini dilakukan tiga kali hingga sabun terbuang semuanya.
Penghilangan bau dilakukan dengan proses yang dinamakan deodorisasi dalam keadaan
vakum pada suhu 140-150 °C selama satu jam. Deodorisasi dilakukan dengan proses
penyulingan minyak menggunakan uap panas pada tekanan atmosfer atau keadaan vakum.
Menurut Zakaria et al. (2011), nilai intensitas odor minyak sawit merah sebesar 3,3 merupakan
kategori netral untuk produk minyak sawit merah yang masih memiliki aroma sawit. Hasil
tersebut dapat diperoleh apabila suhu yang digunakan pada proses deodorisasi sebesar 140 °C
selama satu jam. Kondisi tersebut mampu mempertahankan total karotenoid hampir 70% dan
menghasilkan aroma khas sawit yang netral, yaitu sebesar 3,3. Proses pembuatan MSMTF dalam
bentuk bagan dapat dilihat pada Gambar 2.
8
E. KAROTENOID DAN VITAMIN A
Karotenoid adalah suatu pigmen alami berupa zat warna kuning sampai merah yang
mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang disusun oleh 8 unit isopren, 4 gugus metil dan
selalu terdapat ikatan ganda terkonjugasi di antaragugus metil tersebut. Sebagian besar sumber
vitamin A adalah karoten, yang banyak terdapat dalam bahan-bahan nabati seperti pada sayuran
hijau, buah-buahan berwarna kuning dan merah serta minyak sawit. Tubuh mempunyai
kemampuan mengubah sejumlah karoten menjadi vitamin A (retinol), sehingga karoten ini
disebut provitamin A (Winarno 1991).
Karotenoid umum yang dikenal sebagai sumber vitamin A adalah beta karoten (100%), alfa
karoten (53%) dan gamma karoten. Beta karoten sebagai salah satu zat gizi mikro di dalam
minyak sawit mempunyai beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh menurut Tan
(1987) dan Muhilal (1991). Manfaat beta karoten antara lain untuk menanggulangi kebutaan
karena xeroftalmia, mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker, proses penuaan yang terlalu
dini, meningkatkan sistem imun tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif. Tabel 6
memperlihatkan kandungan karotenoid pada beberapa pangan nabati.
Tabel 6. Kandungan karotenoid beberapa pangan nabati
Jenis tanaman Kandungan karotenoid RE/100gr
Minyak sawit merah 30.000
Wortel 2.000
Daun sayur-sayuran 685
Aprikot 250
Tomat 100
Pisang 20
Air Jeruk 8 Sumber: Choo et al.1989
50 kg CPO
Netralisasi
NaOH teknis 16°Be,
26 menit
Pencucian Menghilangkan sabun
yang terbentuk
Deodorisasi 140°C
60 menit
Diamkan hingga
dingin
36.7 kg MSMTF
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan MSMTF (Zakaria et al. 2011)
9
Bentuk β-karoten mempunyai aktivitas 100% vitamin A, α-karoten memiliki aktivitas 50-
54% vitamin A, dan γ-karoten memiliki 40-50% vitamin A. Sifat fisika dan kimia karotenoid
adalah larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, benzen,
karbondisulfida, dan proteleum eter, tidak larut dalam metanol dan etanol dingin, tahan terhadap
panas apabila dalam keadaan vakum, peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya, juga
mempunyai ciri khas absorpsi cahaya. Beta karoten mempunyai tugas sebagai provitamin A
karena adanya cincin beta ionon yang tidak terhidrolisis (Olson 1991). Beta karoten murni lebih
cepat rusak oleh cahaya dengan adanya iodin atau asam. Faktor utama yang mempengaruhi
karotenoid selama pengolahan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen maupun
perubahan struktur oleh panas. Panas akan mendekomposisi karotenoid danmengubah
stereoisomer.
Dalam tubuh, vitamin A berperan dalam penglihatan, permukaan epitel, serta membantu
proses pertumbuhan. Peran retinol untuk penglihatan normal sangat penting karena daya
penglihatan mata sangat tergantung oleh adanya rodopsin, suatu pigmen yang mengandung
retinol. Di Indonesia, anak penderita xeroftalmia kornea aktif diperkirakan lebih dari 60.000
setiap tahunnya. Sebanyak 20.000-30.000 penderita itu akan mengalami kebutaan selama
hidupnya (Winarno 1991). Beta karoten mempunyai efek positif dalam mereduksi plak dalam
pembuluh nadi sehingga beta karoten bersifat anti arterosklerosis (Gazianoet al. 1990).
Kemampuan ini menyebabkan beta karoten dapat digunakan untuk mencegah penyakit
kardiovaskuler.
Karotenoid tersebar luas di alam, pada umumnya memberikan warna kuning, merah, atau
jingga. Karotenoid disintesis oleh bakteri, jamur, dan tanaman tingkat tinggi. Karotenoid
merupakan prekursor vitamin A yang membantu metabolisme dan pertumbuhan. Produk nabati
yang mengandung karotenoid antara lain wortel, tomat, dan jeruk. Sementara itu, pada produk
hewani sumber beta karoten antara lain dari kuning telur, hati, lemak, lobster, salmon, dan lemak
susu (Zeb & Mehmood 2004).
Dalam tubuh, beta karoten yang berasal dari makanan akan mengalami absorpsi dalam
pencernaan. Sekitar 23% dari beta karoten yang diabsorpsi oleh mukosa usus tetap dalam bentuk
utuh, sedangkan 7% sisanya diubah menjadi retinol (vitamin A) dengan bantuan enzim
karotenoid dioksigenase (Fennema 1996). Pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri atas α,
β,γ karoten dan likopen diperlukan oleh tubuh sebagai prekursor vitamin A (Winarno 1991).
Tanaman sawit merupakan penghasil karotenoid tertinggi di dunia. Minyak sawit yang
diperoleh berwarna merah pekat dan mengandung beta karoten provitamin A sebanyak 600-1000
mg per kg atau ppm. Jika kebutuhan manusia dewasa per hari akan vitamin A sebanyak 900
µgram, dengan mengambil nilai vitamin A sebesar 600 mg per kg, maka hanya diperlukan 1.5 ml
atau setengah sendok teh minyak sawit untuk memenuhi kebutuhan vitamin A setiap orang
dewasa per hari. Karotenoid yang terdapat pada minyak sawit menyebabkan provitamin A sangat
mudah diserap. Pada sel mukosa saluran pencernaan, karotenoid diubah menjadi retinol atau
vitamin A, dimana satu unit beta karoten diubah menjadi dua unit retinol (Zakaria et al. 2011).
Vitamin A merupakan vitamin yang esensial untuk pertumbuhan, bahkan vitamin A disebut
pula sebagai vitamin penunjang pertumbuhan (Sherman & Smith 1922). Beta karoten memiliki
beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh, antara lain menanggulangi kebutaan
karena xeropthalmia, mencegah proses penuaan dini, dan meningkatkan imunitas tubuh, serta
antioksidan yang dapat memusnahkan radikal bebas yang dapat mencegah timbulnya
kanker.Vitamin A dalam hati disimpan dalam bentuk retinol, sedangkan dalam darah retinol
terikat dalam protein spesifik disebut retinol binding protein yang akan diangkut ke jaringan
10
seperti mata, usus, dan kelenjar ludah (Winarno 1991). Recommended Dietary Allowance (RDA)
vitamin A dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Recommended Dietary Allowance (RDA) vitamin A
Umur dan jenis kelamin FAO/WHO (IU)
0-1 tahun 350
1-6 tahun 400
6-10 tahun 400
10-12 tahun 500
12-15 tahun 600
Laki-laki, 15-18 tahun ke atas 600
Perempuan, 15-18 tahun ke atas 500
Hamil 600
Menyusui 850 Sumber: Bloomhoff 1994
Menurut Winarno (1991) konsumsi vitaminA yang dianjurkan untuk bayi kurang dari 1
tahun adalah 350 retinol ekivalen (RE) perhari, sedangkan untuk anak dan orang dewasa sebesar
10 µg retinol/kg berat badan per hari. Sementara itu untuk ibu hamil dan menyusui perlu
ditambah masing-masing sebanyak 200 RE dan 400 RE per hari. Defisiensi vitamin A dapat
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tubuh dan karena tubuh tidak sanggup mensintesis
rhodopsin tanpa retinol, kemampuan melihat dalam sinar yang kurang akan terganggu dan
akhirnya menyebabkan buta senja (night blindness). Kekurangan vitamin A juga dapat
mempengaruhi kesehatan kulit dan menurunkan daya tahan terhadap infeksi sehubungan dengan
kondisi yang jelek dari selaput lendir saluran pernafasan. Defisiensi yang lama dapat
mengakibatkan terjadinya pemborokan pada kornea mata yang menyebabkan kebutaan.
Defisiensi vitamin A merupakan penyebab umum kebutaan di negara-negara berkembang yang
makanan sehari-harinya adalah serealia dan tidak tersedia sayuran dan buah-buahan yang
mengandung karotenoid.
F. TOKOFEROL
Komponen minor minyak nabati yang mempunyai aktivitas vitamin E adalah tokoferol.
Tokoferol dibagi menjadi dua tipe yaitu tokoferol dan tokotrienol. Struktur kimia keduanya
merupakan turunan homolog dari 6-hidroksi kroman. Kelompok tokoferol mempunyai rantai
samping isopren jenuh yang dibedakan menjadi alfa, beta, gamma, dan sigma tokoferol.
Sedangkan kelompok tokotrienol mempunyai rantai samping isopren tidak jenuh. Tokoferol
tersusun atas cincin aromatik tersubstitusi oleh metal dan rantai panjang isoprenoid sebagai
rantai samping. Aktivitas keempat jenis tokoferol ini berdasarkan urutannya dari aktivitas
terbesar adalah alfa, beta, dan terendah adalah gama-tokoferol (Lehninger 1982).
Fungsi utama tokoferol adalah sebagai zat antioksidan yang sangat penting bagi tubuh
karena adanya ikatan jenuh pada tokoferol yang menyebabkan senyawa ini mudah teroksidasi.
Dahulu vitamin E hanya dikenal dalam kaitannya dengan fertilitas,tetapi belakangan ini
diketahui berfungsi pula sebagai antioksidan. Asam lemak tidak jenuh mengandung tokoferol
paling tinggi. Tokoferol dipercaya dalam pencegahan penyakit jantung dan kanker. Pemberian
alfa tokoferol pada anak-anak yang menderita defisiensi vitamin A ternyata dapat menaikkan
konsentrasi retinol dalam plasmanya. Hal ini berhubungan dengan kerja vitamin E yang
mencegah oksidasi vitamin A. Selain berfungsi sebagai antioksidan, vitamin E juga berperan
dalam sintesis asam nukleat, pembentukan sel darah merah dan sintesis koenzim A yang penting
dalam proses pernafasan (Winarno 1991).
11
Dalam jaringan, tokoferol juga mencegah terjadinya oksidasi asam lemak tidak jenuh dan
membantu mempertahankan fungsi membran sel. Tokoferol dapat mencegah proses oksidasi
dengan memberikan elektron sehingga melindungi asam lemak tidak jenuh dalam membran sel
dari kerusakan karena oksidasi. Oleh sebab itu, istilah antioksidan digunakan untuk
menunjukkan peran vitamin E dalam melindungi sel dan membran sel dari kerusakan tersebut
(Williams 1973). Kekurangan tokoferol dapat menyebabkan kerusakan hati dan perubahan
fungsi membran (Lehninger 1982). Menurut Winarno (1991), kekurangan vitamin ini pada
manusia dapat menyebabkan terjadinya peningkatan hemolisis butir darah merah. Dampak
kekurangan vitamin E pada manusia dapat menyebabkan jangka hidup butir darah merah
menjadi lebih pendek, yaitu hanya 110 hari dibandingkan dengan 123 hari pada kondisi normal.
Menurut Recommended Dietary Allowances (RDA), kebutuhan tubuh akan vitamin E bagi orang
dewasa berkisar antara 2,6-15,4 mg per hari dengan rata-rata 7,4 mg per hari.
Tokoferol ditemukan pada minyak sayuran, terutama kecambah (Lehninger 1982). Sumber
vitamin E lainnya adalah minyak tumbuh-tumbuhan, susu, telur, daging, ikan, padi-padian, dan
sayuran hijau. Kandungan vitamin E tinggi ditemukan dalam jaringan hijau yang gelap, masa
pertengahan tumbuhan, daun-daun hijau, dan buah-buahan berwarna. Produk hewani seperti
daging, ikan, unggas, dan produk-produk hewani turunan seperti susu, telur memiliki kandungan
tokoferol yang lebih rendah dibandingkan dengankan produk serealia dan sayuran. Tokoferol
adalah senyawa minor yang terdapat pada CPO. Menurut Wong et al. (1988), crude palm oil
mengandung tokoferol sebesar 794 ppm, refined, bleached, and deodorized (RBD) sebesar 563
ppm, RBD palm oil sebesar 643 ppm, dan RBD palm stearin sebesar 261 ppm.
G. KEKURANGAN VITAMIN A DI INDONESIA
Telah diperkirakan lebih dari 254 juta anak-anak usia pra sekolah mengalami risiko KVA
dan 50% dari anak-anak tersebut berasal dari Asia Tenggara. Adanya kasus KVA di seluruh
dunia menyebabkan kematian pada anak-anak setiap tahunnya dan menyebabkan kebutaan pada
lebih dari setengah juta anak-anak di seluruh dunia. Pada tahun 1970, sebanyak 2-7% penduduk
Indonesia menderita xeropthalmia. Program penanggulangan KVA di Indonesia dimulai sejak
tahun 1970-an, namun sampai saat ini masalah KVA masih menjadi salah satu masalah gizi
utama di Indonesia. Pada tahun 1988, WHO menyebutkan bahwa terdapat 23 negara di seluruh
dunia yang memiliki risiko kekurangan vitamin A yang tinggi. Empat di antaranya yaitu India,
Indonesia, Bangladesh, dan Filipina memiliki masalah yang serius dalam permasalahan KVA ini
(Gillespie& Mason 1994).
KVA tingkat berat (xeroftalmia) yang dapat menyebabkan kebutaan sudah jarang ditemui,
tetapi KVA tingkat sub-klinis, yaitu KVA yang belum menampakkan gejala nyata masih diderita
oleh sekitar 50% anak-anak usia pra sekolah di Indonesia. Sampai saat ini strategi
penanggulangan KVA masih bertumpu ada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi. Kapsul
vitamin A biru (100.000 IU) diberikan kepada bayi (6-11 bulan) satu kali dalam setahun yaitu
pada bulan Februari atau Agustus, sedangkan kapsul A merah (200.000 IU) diberikan kepada
anak balita (1-5 tahun) setiap bulan Februari dan Agustus, serta kepada ibu nifas paling lambat
30 hari setelah melahirkan (Depkes 2009).
Hingga saat ini, isu gizi yang marak timbul adalah masalah kekurangan gizi mikro
menyangkut defisiensi zat besi, yodium, asam folat, vitamin A dan beberapa jenis vitamin B.
Rendahnya asupan zat gizi mikro tersebut menyebabkan tingginya kasus penyakit kurang zat gizi
mikro (KGM). Dampaknya dapat dilihat jelas dengan meningkatnya angka kematian ibu dan
anak serta penyakit infeksi, menurunnya kecerdasan anak serta produktivitas kerja. Prevalensi
12
kurang zat gizi mikro di Indonesia sebesar 50-60%, dengan 9% angka kematian anak dan 13%
kematian ibu disebabkan oleh kekurangan vitamin A. Pada tahun 2004, 10 juta anak balita di
Indonesia mengalami KVA. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan
mengalami KVA dengan risiko yang sangat mengkhawatirkan (Siswanto 2007).
Apabila dibandingkan dengan angka kebutaan di negara-negara regional Asia Tenggara,
angka kebutaan di Indonesia (1,5%) merupakan yang tertinggi, kemudian diikuti oleh
Bangladesh (1%), India (0,7%) dan Thailand (0,3%). Sebagian besar masyarakat Indonesia yang
mengalami kebutaan berasal dari keluarga status ekonomi kurang mampu dan belum memiliki
akses langsung dengan pihak pelayanan kesehatan (Astuti 2008). Apabila seorang anak
mengalami kekurangan vitamin A, anak yang bersangkutan akan menderita penyakit rabun ayam
dan yang lebih parah lagi dapat menimbulkan kebutaan. Berdasarkan hasil survey indera
penglihatan dan pendengaran tahun 2007 yang dilakukan di delapan propinsi menunjukkan
prevalensi kebutaan di Indonesia sebesar 1,5%. Sebesar 0,78% disebabkan oleh katarak,
glaukoma 0,20% dan kelainan refraksio sebesar 0,14% (Siswanto 2007).
H. SIKAP KONSUMEN
Sikap disebut sebagai konsep yang paling khusus dan sangat dibutuhkan dalam psikologi
sosial kontemporer. Sikap juga merupakan salah satu konsep yang paling penting yang
digunakan pemasar untuk memahami konsumen (Engel et al. 1994). Menurut Gordon Allport
dalam Setiadi (2003), sikap adalah suatu mental dan syarat sehubungan dengan kesiapan untuk
menanggapi, diorganisasi melalui pengalaman dan memiliki pengaruh yang mengarahkan dan
atau dinamis terhadap perilaku.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Sumarwan (2004), yaitu sikap adalah ungkapan perasaan
konsumen tentang suatu objek apakah disukai atau tidak, dan sikap juga bisa menggambarkan
kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan manfaat dari objek tersebut. Hasil belajar,
pengalaman, kehidupan dalam kelompok mempengaruhi pembentukan sikap seseorang dan
dalam periode waktu yang cukup lama akan dapat menjadi sifat kepribadian seseorang.
Definisi lainnya mengenai sikap adalah sebagai evaluasi, perasaan, dan kecenderungan
seseorang yang relatif konsisten terhadap suatu obyek atau gagasan. Sikap menempatkan
seseorang kedalam suatu pikiran menyukai atau tidak menyukai sesuatu, bergerak mendekati
atau menjauhi sesuatu tersebut (Kottler & Armstrong 1995). Penataan skala sikap (attitude
scaling) merupakan istilah yang biasa dipakai untuk mengacu kepada proses pengukuran sikap.
Penataan skala sikap cenderung berfokus pada pengukuran keyakinan responden tentang atribut-
atribut produk (komponen kognitif) dan perasaan respon tentang daya tarik atribut-atribut ini
(komponen afektif). Berapa kombinasi keyakinan dan perasaan biasanya diasumsikan untuk
menentukan niat membeli (komponen perilaku) (Kinnear & Taylor 1991).
Daniel Kazt dalam Setiadi (2003) mengklasifikasikan empat fungsi sikap, yaitu:
1) Fungsi utilitarian
Fungsi yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar imbalan dan hukuman. Disini
konsumen mengembangkan beberapa sikap terhadap produk atas dasar apakah suatu
produk memberikan kepuasan atau kekecewaan.
2) Fungsi ekspresi nilai
Konsumen mengembangkan sikap terhadap suatu merek produk bukan didasarkan atas
manfaat produk itu, tetapi lebih didasarkan atas kemampuan merek produk itu
mengekspresikan nilai-nilai yang ada pada dirinya.
3) Fungsi mempertahankan ego
13
Sikap yang dikembangkan oleh konsumen cenderung untuk melindunginya dari tantangan
eksternal maupun perasaan internal, sehingga membentuk fungsi mempetahankan ego.
4) Fungsi pengetahuan
Sikap membantu konsumen mengorganisasikan informasi begitu banyak yang setiap hari
dipaparkan pada dirinya. Fungsi pengetahuan dapat membantu konsumen mengurangi
ketidakpastian dan kebingungan dalam memilah-milih informasi yang relevan dan tidak
relevan dengan kebutuhannya.
Selain itu, perlu diketahui mengenai tiga komponen sikap, yaitu komponen kognitif
(kepercayaan terhadap produk), komponen afektif (evaluasi produk) dan komponen konatif
(maksud untuk mengkonsumsi atau membeli). Hubungan antara ketiga komponen tersebut
menunjukkan keterlibatan tinggi (high involvement) yaitu kepercayaan produk mempengaruhi
evaluasi produk, dan evaluasi produk mempengaruhi maksud untuk membeli atau
mengkonsumsi (Setiadi 2003).
Sumarwan (2004) menjelaskan ketiga komponen sikap sebagai berikut. Pertama, yaitu
komponen afektif. Komponen ini menggambarkan perasaan dan emosi seseorang terhadap suatu
produk atau merek. Perasaan dan emosi tersebut merupakan evaluasi menyeluruh terhadap objek
sikap (produk atau merek). Komponen afektif mengungkapkan penilaian konsumen kepada suatu
produk apakah baik atau buruk,”disukai” atau “tidak disukai”. Perasaan dan emosi seseorang
tersebut terutama ditujukan kepada produk secara keseluruhan, bukan perasaan dan emosi
kepada atribut-atribut yang dimiliki produk. Perasan dan emosi digambarkan dengan ungkapan
dua kata sifat yang berbeda untuk mengevaluasi suatu produk.
Kedua, yaitu komponen kognitif. Komponen ini menggambarkan pengetahuan dan persepsi
terhadap suatu objek sikap. Pengetahuan dan persepsi tersebut diperoleh melalui pengalaman
langsung ke objek sikap tersebut dan informasi dari berbagai sumber lainnya. Pengetahuan dan
persepsi tersebut biasanya berbentuk kepercayan (belief), artinya konsumen mempercayai bahwa
suatu objeksikap memiliki berbagai atribut dan perilaku yang spesifik akan mengarahkan kepada
hasil yang spesifik. Ketiga, yaitu komponen konatif. Komponen ini menggambarkan
kecenderungan dari seseorang untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan objek
sikap (produk atau merek). Komponen konatif juga bisa meliputi perilaku yang sesungguhnya
terjadi. Komponen konatif dalam riset konsumen biasanya mengungkapkan keinginan membeli
dari seorang konsumen (intention to buy).
I. PERILAKU KONSUMEN
Perilaku adalah suatu kegiatan organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Perilaku
itu terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama yaitu rangsangan yang merupakan
faktor dari luar diri seseorang (faktor eksternal) seperti lingkungan baik fisik maupun non fisik,
serta respon yang merupakan faktor dalam diri orang yang bersangkutan (faktor internal). Faktor
eksternal yang paling besar peranannya dalam membentuk perilaku manusia adalah faktor non
fisik yang berupa sosial budaya dimana seseorang tersebut berada. Sedangkan faktor internal
yang menentukan seseorang itu merespon stimulus dari luar adalah perhatian, pengamatan,
persepsi dan motivasi (Engel et al. 1994).
Menurut Loudon dan Bitta (1998), perilaku konsumen lebih ditekankan sebagai suatu proses
pengambilan keputusan. Mereka mengatakan bahwa perilaku konsumen adalah proses
pengambilan keputusan yang mensyaratkan aktivitas individu untuk mengevaluasi, memperoleh,
menggunakan, atau barang dan jasa. Pendapat lain menurut Engel et al. (1994) mengenai
perilaku konsumen adalah segala kegiatan yang secara langsung ditujukan untuk mendapatkan,
14
mengkonsumsi, dan menyimpan atau membuang produk dan jasa, termasuk proses keputusan
yang mengawali dan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam mengambil keputusan
pembelian menurut Setiadi (2003) antara lain faktor kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologi
dari konsumen. Faktor kebudayaan merupakan faktor penentu paling dasar dari keinginan dan
perilaku seseorang. Faktor kebudayaan terdiri dari faktor sub-budaya (kelompok nasionalisme,
kelompok keagamaan, kelompok ras, dan area geografis) dan faktor kelas sosial yang relatif
homogen dan bertahan lama dalam suatu masyarakat sehingga masyarakat memiliki nilai, minat,
dan perilaku yang sama.
Faktor-faktor sosial terdiri dari kelompok referensi, keluarga, peran dan status. Kelompok
referensi seseorang terdiri dari seluruh kelompok yang mempunyai pengaruh langsung maupun
tidak langsung terhadap sikap atau perilaku seseorang. Misalnya keluarga, teman, tetangga,
teman sejawat (kelompok primer) dan kelompok sekunder, yaitu kelompok yang cenderung lebih
resmi dan interaksinya kurang berkesinambungan. Keluarga sebagai faktor sosial terdiri dari
keluarga orientasi dan keluarga prokreasi.
Faktor pribadi terdiri dari umur, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, dan kepribadian.
Pada umur, orang-orang dewasa biasanya mengalami perubahan atau transformasi tertentu pada
saat mereka menjalani hidupnya. Pekerjaan dikelompokkan berdasarkan minat di atas rata-rata
terhadap produk tertentu. Keadaan ekonomi terdiri dari kemampuan untuk meminjam, sikap
terhadap lawan menabung dan pendapatan yang akan dibelanjakan, mulai dari tingkatnya,
stabilitasnya, dan polanya. Sementara itu faktor psikologi berupa motivasi dan persepsi. Gaya
hidup seseorang adalah pola hidup yang diekspresikan oleh kegiatan, minat, dan pendapat
seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan kepribadian adalah karakteristik psikologis yang
berbeda dari setiap orang yang memandang responnya terhadap lingkungan yang relatif
konsisten. Hubungan antara sikap dan perilaku menunjukkan sejauh mana sikap konsumen
mampu dijadikan dasar untuk memprediksi perilakunya (Setiadi 2003).
Menurut Theory Planned Behavior (TPB), perilaku dapat disengaja dan direncanakan. TPB
dapat membantu memahami bagaimana perilaku seseorang dapat diubah dan diprediksi. Perilaku
manusia dipengaruhi oleh tiga pertimbangan, antara lain:
1) Behavior beliefs, mengenai kemungkinan konsekuensi dari perilaku tersebut.
2) Normative beliefs, mengenai keyakinan tentang harapan normatif orang lain.
3) Control beliefs, mengenai keyakinan tentang keberadaan faktor yang dapat memfasilitasi
atau menghambat kinerja perilaku seseorang.
Pada Gambar 3, dapat dilihat bagaimana perilaku seseorang menurut Theory Planned
Behavior.
Pengetahuan
Sikap terhadap
perilaku
Norma subjektif
Kontrol adanya
perilaku
Keinginan untuk
berperilaku
Perilaku
Gambar 3. Theory of Planned Behavior (Ajzen 1991)
15
Dalam agregat masing-masing, behavior beliefs menghasilkan sikap yang baik ataupun tidak
baik terhadap perilaku. Normative beliefs menghasilkan norma subjektif atau tekanan sosial dan
control beliefs menimbulkan kontrol perilaku yang dirasakan seseorang. Dalam kombinasi
ketiganya, sikap terhadap perilaku, norma subjektif dan persepsi dari kontrol perilaku berperan
dalam pembentukan keinginan untuk berperilaku. Semakin baik sikap dan norma subjektif serta
semakin baik kontrol, semakin kuat keinginan seseorang untuk menghasilkan perilaku yang baik
(Ajzen 1991).
J. UJI SENSORI DI RUMAH (HOME USE TEST)
Evaluasi sensori merupakan evaluasi berdasarkan indera manusia terhadap produk pangan.
Evaluasi sensori digunakan untuk mengukur, menganalisis, dan menginterpretasikan respon
terhadap suatu produk berdasarkan yang ditangkap oleh indera manusia seperti penglihatan,
penciuman, perasa, peraba dan pendengaran (Stone & Sidel 2004). Ada tiga jenis metode dalam
evaluasi sensori,yaitu uji deskriptif, uji pembeda, dan uji afektif.
Uji deskriptif merupakan uji yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur sifat-
sifat sensori. Uji pembeda adalah uji yang dilakukan untuk menguji ada tidaknya perbedaan dari
produk-produk yang diuji dan mengukur kemampuan panelis untuk mendeteksi suatu sifat
sensori (Lawless & Heymann 1998). Sedangkan uji afektif merupakan uji yang dilakukan untuk
mengetahui produk yang disukai atau produk yang lebih disukai dari yang lain oleh panelis. Uji
afektif meliputi uji kesukaan dan uji mutu hedonik (Resurreccion 1998).
Berdasarkan lokasi pengujian, uji afektif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengujian di
laboratorium (sensory laboratory test), pengujian di pusat konsumen (central location test), dan
pengujian di rumah (Home Use Test = HUT). Pengujian di laboratorium merupakan pengujian
yang keadaannya dapat dikontrol oleh peneliti karena berlokasi di laboratorium. Pengujian di
pusat konsumen dilakukan di tempat-tempat umum seperti sekolah, pusat perbelanjaan,
swalayan, dan rumah sakit. Sedangkan pengujian di rumah melibatkan kondisi natural dari
konsumen dan produknya karena mengikuti keadaan penggunaan aktual oleh konsumen itu
sendiri.
Pada HUT, pengujian dilakukan di rumah responden dimana kondisi dari pengujian tidak
dikontrol oleh peneliti. Hasil pengujian dapat berupa data yang memiliki hasil yang sangat
beragam. HUT digunakan untuk menentukan atribut produk, penerimaan, dan penyajian pada
kondisi seaktual mungkin. Sampel produk diujikan pada kondisi normal, selain itu dapat
menghasilkan data tambahan ataupun informasi yang berharga yang tidak dapat diperoleh dari
uji lainnya. Produk-produk yang diuji dengan metode HUT adalah produk-produk yang sulit
diuji pada laboratorium atau central location test (Moskowitz et al. 2006).
Resurreccion (1998) menyatakan bahwa biasanya jumlah panelis yang dibutuhkan antara 50
hingga 100 panelis per produk. Prosedur HUT secara umum adalah dua produk dibandingkan,
tetapi kedua produk tersebut tidak disediakan secara bersamaan karena dapat tercipta
kemungkinan penggunaan produk yang salah atau terjadi kesalahan penggunaan dalam evaluasi
produk. Pada penelitian ini, produk didistribusikan secara bertahap dan dalam jangka waktu
tertentu. Pemberian produk pertama dilakukan pada bulan pertama setelah dilakukan sosialisasi
mengenai manfaat dan pengetahuan produk. Selanjutnya produk kedua diberikan pada bulan
berikutnya setelah dilakukan sosialisasi tahap berikutnya.Produk diuji pada keadaan seaktual
mungkin sesuai dengan cara responden menggunakan produk tersebut di rumah mereka masing-
masing.
Tujuan menggunakan HUT untuk mendapatkan data atribut produk, penerimaan dan
kesukaan konsumen. Sampel produk diuji pada kondisi aktual, maka informasi yang diperoleh
16
pun bersifat unik dan tidak dapat diperoleh dari uji lainnya. Tingkat kepercayaan terhadap daya
terima produk yang dihasilkan HUT lebih tinggi daripada daya terima yang dihasilkan oleh uji
lainnya. HUT juga baik untuk pengembangan produk baru, dimana uji ini menghasilkan
informasi mengenai karakteristik sensori sebuah produk pada tahap persiapan, penyajian, dan
evaluasi dalam keadaan yang tidak terkontrol (Resurreccion 1998).
Secara lebih rinci, keuntungan menggunakan metode HUT menurut Resurreccion (1998)
antara lain:
1) Produk yang diuji di bawah lingkungan seaktual mungkin atau dalam keadaan penggunaan
normal.
2) Informasi yang didapatkan dari metode ini lebih banyak, karena diperoleh tanggapan dari
seluruh anggota keluarga.
3) Metode pengujian ini dapat digunakan di tahap awal fase formulasi suatu produk, dimana
tidak hanya diuji mengenai penerimaan dan preferensi responsen, tetapi juga mengenai
performa dari produk tersebut.
4) Informasi mengenai produk kompetitor lainnya dapat diperoleh, karena dapat dilihat jenis
produk tersebut di rumah responden selama tes, pola penggunaannya dan informasi lain yang
berguna dalam memasarkan suatu produk.
5) Responden dapat memberi informasi mengenai perilaku pembelian berulang suatu produk
yang terjadi pada keluarga mereka.
Kekurangan menggunakan metode HUT antara lain:
1) Metode HUT membutuhkan waktu yang cukup lama dalam implementasi, dalam
pendistribusian produk ke responden, dan untuk mengumpulkan respon dari responden.
2) Kurangnya kontrol dari peneliti dapat menyebabkan respon yang bervariasi dari responden.
3) Desain pengujian harus mudah dan hanya menggunakan produk sebanyak satu atau dua. Jika
tidak, akan timbul kesulitan untuk responden memberikan tanggapan terhadap produk
tersebut.
4) Metode HUT tidak cocok apabila ingin menguji banyak sampel.
5) Metode HUT ini sangat mahal, terutama apabila jumlah produk yang diberikan lebih banyak
daripada yang disediakan pada uji di laboratorium.
6) Apabila jumlah responden yang digunakan lebih sedikit dari central location test atau tes di
laboratorium, maka informasi yang diperoleh dari uji ini menjadi terbatas.